BAB I PENDAHULUAN

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber bahan obat
alam dan obat tradisional yang telah digunakan oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia secara turun temurun. Keuntungan obat tradisional yang dirasakan
langsung oleh masyarakat adalah kemudahan untuk memperolehnya dan bahan
bakunya dapat ditanam di pekarangan sendiri, murah dan dapat diramu sendiri di
rumah. Hampir setiap orang Indonesia pernah menggunakan tumbuhan obat untuk
mengobati penyakit atau kelainan yang timbul pada tubuh selama hidupnya (Zein,
2005).
Pada saat ini, penggunaan dan pemanfaatan obat-obat yang berasal dari
tumbuhan di Indonesia cukup diminati oleh masyarakat. Tumbuhan obat saat ini
merupakan salah satu alternatif dalam bidang pengobatan karena adanya anggapan
bahwa obat tradisional memberikan efek samping yang lebih kecil dibandingkan
dengan obat sintesis (Wijaya, 2004). Obat alami adalah sediaan obat, baik berupa
obat tradisional dari bahan segar atau yang dikeringkan, ekstrak, kelompok
senyawa atau senyawa murni yang berasal dari alam. Dalam perkembangannya,
banyak bahan yang digunakan dalam formula obat tradisional baik yang baru
ditemukan atau baru diperkenalkan atau baru digunakan untuk tujuan pengobatan
(Maheswari, 2002).
1
Salah satu jenis tumbuhan obat yang telah dikenal oleh masyarakat yang ada
di seluruh dunia adalah Ageratum conyzoides L. yang memiliki nama daerah
babandotan (Sunda), badotan dan wedusan (Jawa). Di Indonesia, tanaman ini
digolongkan sebagai gulma sehingga sering dimusnahkan. Namun beberapa
kelompok masyarakat kita menggunakan tanaman ini sebagai obat tradisional
untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti luka koreng di kulit,
malaria, influenza, radang paru-paru dan tumor. A. conyzoides merupakan salah
satu tumbuhan herba yang banyak mendapat perhatian oleh para peneliti saat ini,
karena A. conyzoides merupakan tumbuhan yang tumbuh tersebar hampir
diseluruh bagian dunia. A. conyzoides sudah sangat popular digunakan sebagai
tumbuhan obat, meskipun aplikasinya berbeda di setiap daerah (Ming,1999).
Di India, A. conyzoides digunakan sebagai bakterisida dan antidisentri,
sedangkan di Brazil perasan/ekstrak tumbuhan ini sering dipakai untuk menangani
flu, demam, diare, rheumatik dan efektif mengobati luka bakar (Sukamto, 2007).
A. Conyzoides telah lama dikenal
sebagai obat tradisional untuk berbagai
penyakit di Afrika, Asia, dan Amerika Selatan (Oladejo et al., 2003).
Beberapa penelitian awal mengenai A. conyzoides telah dilakukan seperti
penelitian oleh Pasaribu (2009) mengenai uji bioaktivitas metabolit sekunder dari
tumbuhan A. conyzoides dan penentuan sifat kimia fisika senyawa alkaloid hasil
isolasi dari daun bandotan (A. conyzoides Linn.) oleh Hasibuan dan Nainggolan
(2007). Selain itu, ekstrak ethanol daun A. conyzoides yang mempunyai aktivitas
antimikroba oleh Gunawan et al. (2006), identifikasi senyawa alkaloid dari
ekstrak heksana daun A. conyzoides (Utami dan Robara, 2008) dan aktivitas
2
antibakteri ekstrak A. conyzoides terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus
secara in vitro (Desiarianty, 2009).
Berdasarkan kromatogram hasil analisis Gas Chromatography Mass
Spectrofotometer (GCMS) yang telah dilakukan dalam penelitian sebelumnya
oleh Desiarianty (2009), pada ekstrak methanol daun atau akar A. conyzoides
mengandung beberapa jenis senyawa-senyawa metabolit sekunder diantaranya
golongan terpenoid dan fenolik. Pada daun Ageratum diperoleh jenis senyawa
terpenoid
yaitu
Β-caryophyllene,
6,7-dimethoxy-2,2-dimethylchromene,
Ageratochromene (Precocene 2), 6-vinyl-7-methoxy-2,2-dimethylchromene,Phytol
dan golongan fenolik yaitu kelompok flavonoid yang terdiri dari senyawa 2H-1Benzopyran-6-ol. Pada akar Ageratum diperoleh senyawa golongan terpenoid
yaitu
Ageratochromene
(Precocene
2),
7-methoxy-2,2-dimethylchromene
(Precocene 1) dan golongan fenolik yaitu 1-(7-hydroxy-5-methoxy-2,2-dimethyl2H-1-benzopyran-6-yl) yang termasuk kelompok flavonoid.
Senyawa-senyawa hasil GCMS ini hampir serupa dengan hasil penelitian
yang telah dilakukan oleh Kamboj dan Saluja (2008), diantaranya seperti mono
dan sesquiterpenes, chromene, benzofuran, coumarin, flavonoids, triterpenes,
sterols dan alkaloids. Menurut Ming (1999),
A. conyzoides
juga banyak
mengandung metabolit sekunder dengan variasi yang tinggi, seperti senyawa jenis
flavonoid dan minyak esensial. Selain itu juga, tumbuhan ini mengandung
senyawa metabolit sekunder lain seperti golongan besar alkaloid, tannin dan
kumarin.
3
Alkaloid secara umum dikenal sebagai golongan amin yang dihasilkan oleh
tumbuh-tumbuhan. Nama alkaloid diambil dari kata alkaline yang merupakan
istilah untuk menggambarkan zat-zat yang mengandung nitrogen. Alkaloid
merupakan turunan dari asam amino, mempunyai rasa yang pahit dan merupakan
metabolit sekunder dari tumbuhan, hewan, jamur dan dapat diekstrak dari
sumbernya menggunakan asam (biasanya asam sulfur atau asam hidroklorik)
(Maharti, 2007).
Untuk memperoleh ekstrak alkaloid dari A. conyzoides diperlukan cara
ekstraksi khusus yang didasarkan pada sifat alkaloid sendiri. Hal tersebut
dikarenakan alkaloid termasuk ke dalam senyawa yang bersifat labil sehingga
kerusakan-kerusakan sulit untuk dihindari. Jika hanya menggunakan ekstraksi
biasa, senyawa yang bersifat labil seperti alkaloid sulit untuk ditemukan. Menurut
Harborne (1987), jumlah dan jenis senyawa yang dapat dipisahkan menjadi fraksi
yang berbeda sudah tentu berbeda tergantung pada jenis tumbuhan.
Alkaloid memiliki efek farmakologi pada manusia dan hewan sebagai zat
antibakteri. Hal ini disebabkan karena alkaloid mempunyai kemampuan dalam
menghambat kerja enzim untuk mensintesis protein bakteri. Penghambatan kerja
enzim ini dapat mengakibatkan metabolisme bakteri terganggu (Suranintyas et al.,
2008). Alkaloid juga dapat merusak komponen penyusun peptidoglikan pada sel
bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan
menyebabkan kematian pada sel tersebut (Juliantina et al., 2009). Hal ini
disebabkan karena alkaloid bersifat hidrofilik, sehingga dengan mudah berdifusi
menembus lapisan peptidoglikan dinding sel bakteri yang menyebabkan
4
biosintesis dinding sel terganggu (Mangunwardoyo et al., 2008). Kemampuan
inilah yang menyebabkan alkaloid mampu untuk menghambat pertumbuhan
bakteri Gram positif yang memiliki struktur peptidoglikan yang sangat tebal
(Pelczar dan Chan, 2005). Salah satu bakteri Gram positif adalah S. aureus.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen bagi manusia. Hampir
tiap orang akan mengalami beberapa tipe infeksi S. aureus sepanjang hidupnya.
Setiap jaringan ataupun alat tubuh dapat terinfeksi dan menyebabkan timbulnya
penyakit dengan tanda-tanda khas yaitu peradangan, nekrosis, dan pembentukan
abses. Selain itu bakteri ini juga dapat menyebakan penyakit kulit yang dapat
menyerang bayi yang baru lahir hingga orang dewasa. S. aureus dan S. pyogens
dapat menyebabkan penyakit kulit yang sangat parah bahkan penyakit kulit yang
membutuhkan perawatan seumur hidup (Chiller et al., 2001). Beberapa antibiotik
yang dapat digunakan untuk menghambat S. aureus
antara lain ampisilin,
penisilin, tetrasiklin, kloksasilin, sefalosporin, vankomisin, dan metisilin (Tirta,
2010).
Beberapa jenis Staphylococcus telah menjadi kebal terhadap antibiotika
seperti metisilin sehingga sulit untuk diobati. Pada tahun 2005 lebih 19.000 kasus
kematian di Amerika dan Inggris yang disebabkan oleh S. aureus resisten
metisilin ini (SARM). Di Inggris kasus kematian yang disebabkan oleh SARM
meningkat tajam dari 51 kasus pada tahun 1993 sampai 1.652 pada tahun 2006
(Nofiani, 2009). Dengan berkembangnya populasi bakteri yang resisten tersebut,
maka antibiotik yang pernah efektif untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu
akan kehilangan nilai kemoterapeutiknya (Pelczar dan Chan, 2005). Sehingga
5
diperlukan suatu usaha untuk mengembangkan obat tradisional yang berasal dari
tumbuhan yang dapat membunuh bakteri resisten terhadap antibiotik. Maka dari
itu, penelitian mengenai aktivitas ekstrak alkaloid A. conyzoides
terhadap
pertumbuhan S. aureus secara in vitro ini dilakukan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari penelitian
ini adalah “Bagaimana aktivitas antibakteri dari ekstrak alkaloid tumbuhan A.
conyzoides terhadap pertumbuhan S. aureus secara in vitro” ?
C.
Pertanyaan Penelitian
1.
Manakah yang lebih efektif antara ekstrak alkaloid daun atau akar A.
conyzoides dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus ?
2.
Pada konsentrasi berapa ekstrak alkaloid daun dan akar A. conyzoides
menunjukkan daya hambat tertinggi terhadap pertumbuhan S. aureus ?
3.
Berapakah nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dari ekstrak
alkaloid daun dan akar A. conyzoides. untuk menghambat pertumbuhan
bakteri S. aureus ?
4.
Berapakah nilai Minimum Bactericidal Concentration (MBC) dari
ekstrak alkaloid daun dan akar A. conyzoides
pertumbuhan bakteri S. aureus ?
6
untuk mematikan
D.
Batasan Masalah
1.
Tumbuhan A. conyzoides yang digunakan diambil dari Kebun Botani
Universitas Pendidikan Indonesia.
2.
Tumbuhan A. conyzoides
yang digunakan adalah tumbuhan A.
conyzoides L. yang sudah memiliki bunga.
E.
3.
Tumbuhan A. conyzoides yang digunakan adalah bagian daun dan akar.
4.
Strain bakteri yang digunakan adalah S. aureus ATCC 6538.
Variabel Penelitian
1.
Variabel bebas: Ekstrak alkaloid daun dan akar A. conyzoides dengan
konsentrasi 30 g/ml, 40 g/ml, 50 g/ml dan 60 g/ml.
2.
Variabel kontrol: Jumlah bakteri S. aureus ATCC 6538, lama inkubasi
(24 jam), suhu inkubasi (370C), dan jumlah medium (Kaldu nutrisi agar
dan Nutrient broth).
3.
F.
Variabel terikat: Diameter zona hambat, nilai MIC dan nilai MBC.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak alkaloid daun dan akar
tumbuhan A. conyzoides terhadap pertumbuhan S. aureus secara in vitro.
G.
Manfaat Penelitian
Memberi informasi bagi para pembaca tentang kegunaan tumbuhan A.
conyzoides sebagai salah satu alternatif zat antibakteri yang dapat dimanfaatkan
7
sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan penyakit kulit yang disebabkan
oleh bakteri S. aureus .
H.
Asumsi
1.
Ekstrak ethanol daun A. conyzoides mempunyai aktivitas antimikroba
(Gunawan et al., 2006)
2.
Ekstrak methanol dari A. conyzoides dapat menyembuhkan luka sayat
pada kulit tikus wistar (Oladejo et al., 2003)
3.
A. conyzoides mengandung flavonoid, alkaloid, kumarin, minyak
esensial dan tanin yang memiliki peran penting sebagai antibakteri
(Ming, 1999)
I.
Hipotesis
Ekstrak alkaloid
daun dan akar tumbuhan A. conyzoides dapat
mempengaruhi pertumbuhan S. aureus secara in vitro.
8
Download