MAKALAH MENTERI AGAMA RI TINJAUAN ASPEK LEGAL FORMAL DAN KEBIJAKAN WAKAF DISAMPAIKAN PADA DISKUSI PANEL BADAN PENGELOLA MASJID AG UNG SEMARANG SEMARANG, 27AGUSTUS 2005 I. Pendahuluan Terlebih dahulu marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan ridha-Nya kita dapat menghadiri Diskusi Panel tentang wakaf yang diselenggarakan oleh Badan Pengelola Masjid Agung Semarang pada hari ini. Wakaf sebagai pranata keagamaan dalam Islam telah tumbuh dan berkembang di tanah air kita seiring dengan perkembangan masyarakat Islam saat ini. Namun sejauh ini pola pengelolaan wakaf secara tradisional masih dominan dan pemahaman umat Islam Indonesia tentang wakaf produktif perlu ditingkatkan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf antara lain dilatar belakangi oleh kenyataan sosial bahwa wakaf sebagai perbuatan hukum telah lama melembaga dalam kehidupan masyarakat kita khususnya umat Islam. Regulasi mengenai wakaf sebelumnya telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Atas Tanah. Hukum perwakafan juga dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang diatur dengan, Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 dasar-dasar tersebut diatas menjadi pedoman bagi masyarakat dan penegak hukum di seluruh Indonesia. Regulasi yang ada tersebut masih perlu terus di kembangkan karena permasalahan wakaf yang mengemuka di masyarakat dan dihadapi oleh lembaga keagamaan dan para nadzir wakaf dari waktu ke waktu kian berkembang, seperti wakaf produktif dan wakaf uang yang selama ini belum pernah diatur melalui perundang-undangan. II. Aspek Legal Formal dalam Perwakafan Dalam hukum Islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zat dan manfaatnya) untuk dipergunakan bagi kepentingan masyarakat. Wakaf adalah salah satu amal jariah yang pahalanya tidak terputus atau berhenti walaupun yang mewakafkan telah meninggal dunia. Setiap benda yang telah diwakafkan secara hukum telah lepas dari hak milik yang mewakafkan dan bukan pula menjadi hak milik nadzir atau lembaga pengelola wakaf, tapi menjadi hak Allah yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat sesuai dengan tujuan wakaf. Dalam penerapannya di masyarakat, wakaf memiliki hubungan timbal balik dengan pola kegiatan ekonomi yang berkembang pesat seperti di sektor perdagangan dan penanaman modal. Fatwa ulama membolehkan wakaf benda bergerak, seperti wakaf uang dan sebagainya, bahkan wakaf berjangka (yang dipopulerkan di Mesir menurut versi Mazhab Hanafi), yang semuanya itu merupakan ijtihad sebagian ulama dan belum ada pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan. Di tengah keterpurukan ekonomi seperti yang dialami Indonesia saat ini, pemberdayaan wakaf dipandang sebagai instrumen alternatife yang penting bagi upaya pengentasan kemiskinan dan sekaligus sebagai sarana pengembangan ekonomi umat. Sebagai pranata keagamaan, wakaf sejak awal telah berada dalam wilayah kepentingan publik sesuai dengan karakter asli masyarakat Indonesia yang tidak menganut prinsip pemisahan antara urusan keagamaan dan kemasyarakatan. Di negara-negara muslim yang lembaga wakafnya telah mapan, masalah wakaf telah lama diatur dengan undangundang negara. Sejalan dengan Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, dan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR./ 1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 yang antara lain menetapkan arah kebijakan Pembangunan Hukum, maka penyusunan UU Wakaf merupakan bagian yang inheren dengan penataan sistem hukum nasional. Penataan sistem hukum nasional seperti dimaksud dalam GBHN adalah yang bersifat menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat. Keberadaan Undang-Undang Wakaf clan peraturan pelaksanaanya, secara legal formal memberikan kepastian hukum yang lebih kuat kepada wakif (pewakaf), nadzir (pengelola wakaf) dan mauquf'alaih (pihak yang berhak menerima hasil wakaf). Dengan demikian masing-masing pihak tidak hanya dijamin dan dilindungi oleh hukum agama tetapi juga dilindungi oleh Negara. Ada tujuh nilai strategis yang menjadi latar belakang pembuatan UndangUndang Wakaf, yaitu: 1. Mengintegrasikan berbagai peraturan perundang-undang tentang wakaf; 2. Menjamin kepastian hukum dalam bidang wakaf; 3. Melindungi dan memberikan rasa aman bagi wakif nadzir, dan mauquf 'alaih, baik perorangan maupun badan hukum; 4. Sebagai instrumen untuk mengembangkan rasa tanggung jawab bagi para pihak yang mendapat kepercayaan mengelola wakaf, 5. Sebagai koridor kebijakan publik dalam rangka advokasi dan penyelesaian sengketa wakaf; 6. Mendorong optimalisasi pengelolaan potensi wakaf, dan 7. Memperluas pengaturan mengenai wakaf sehingga mencakup pula wakaf uang dan surat-surat berharga. Sedangkan sasaran yang hendak diwujudkan dalam UndangUndang Wakaf ialah: 1. Terciptanya tertib hukum dan tertib aturan tentang wakaf dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. Terjaminnya kesinambungan dan optimalisasi pengelolaan serta pemanfaatan aset wakaf sesuai dengan sistem ekonomi syariah; 3. Tersedianya landasan peraturan perundang-undangan bagi pembentukan dan pelaksanaan peran, tugas dan fungsi Badan Wakaf Indonesia, dan 4. Terwujudnya akumulasi aset wakaf sebagai alternatif sumber pendanaan bagi pembangunan kesejahteraan bangsa Indonesia. Dalam rangka menata wakaf pasca Iahirnya Undang-Undang Wakaf, tentu hal yang sangat mendasar ialah perlindungan dan pengamanan tanah wakaf yang sudah ada. Perlindungan dan pengamanan tanah wakaf dalam jumlah yang besar dan tersebar di seluruh pelosok tanah air, secara teknis terkait dengan proses pensertifikatan yang dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan. Sebagaimana dimaklumi, bahwa saat ini sebagian besar potensi wakafdi negara kits masih terdiri atas benda tidak bergerak, yang meliputi tanah dan bangunan yang pemanfaatannya belum banyak menyentuh sisi ekonomi. Oleh karean itu maka ke depan, diperlukan perhatian dan penanganan yang sistematis dan terkoordinasi untuk mengaktualisasikan potensi wekaf agar betul-betul dapat bermanfaat bagi kesejahteraan umat. Dalam kaitan di atas, Peiinerintah pada tanggal, 19 Oktober 2004 yang lalu telah memperbarui dan meningkatkan Instruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1990 dan Nomor 24 Tahun 1990 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf menjadi Surat Keputusan Bersama (SKB). Di antara permasalahan yang menuntut perhatian khusus dari kita bersama, ialah masih banyaknya tanah wakaf yang belum dikelola sebagaimana mestinya, terlantar dan beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Sertifikasi tanah wakaf merupakan kebutuhan yang amat penthg dalam rangka perlindungan dan pengamanan aset wakaf maupun untuk pengembangan pengelolaan wakaf di masa mendatang. Setelah adanya peraturan perundang-undanag tentang wakaf, program pemberdayaan wakaf yang telah berjalan selama ini terns akan terus dipacu dan dikembangkan oleh Pemerintah. Oleh karena itu kerjasama dan koordinasi yang balk dan sating proaktif di antara pihakpihak terkait akan terus ditingkakan. III. Upaya Strategis Pengembangan Wakaf Salah satu upaya strategis pengembangan wakaf yang dilakukan oleh Pemerintah C.q. Departemen Agama adalah mengembangkan lembaga wakaf yang ada dan memberdayakan potensi wakaf supaya membawa dampak yang menguntungkan bagi kehidupan sosial dan pembangunan ekonomi umat. Pada prinsipnya harta wakaf harus tetap terpelihara dan berkembang sebagai salah satu pilar penyangga kehidupan umat Islam. Ketentuan hukum Islam dengan tegas melarang tindakan melenyapkan keabadian harta wakaf dengan alasan apa pun. Tetapi perubahan peruntukan dan penggantian benda wakaf dimungkinkan sepanjang didasarkan pada pertimbangan agar harta wakaf itu tetap mendatangkan manfaat. Untuk itulah Pemerintah. mengeluarkan peraturan perundangundangan mengenai hukum perwakafan agar perwakafan dapat terselenggara dengan sebaik-baiknya dan berdayaguna sebagai sarana pemberdayaan umat dalam bidang keagamaan maupun dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Menurut data yang dihimpun oleh Departemen Agama, jumlah tanah wakaf di Indonesia cukup besar, tersebar di 359.462 lokasi dengan luas keseluruhan 1.472.047.607 m2. Sebelum diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, perwakafan tanah milik tidak diatur secara tuntas dalam hukum positif, sehingga perubahan status tanah yang diwakafkan dapat dilakukan secara sepihak oleo nadzirnya. Hal tersebut disebabkan karena adanya keaneka ragaman bentuk perwakafan (wakaf keluarga, wakaf umum dan lain-lain) dan tidak adanya keharusan mendaftarkan harta yang diwakafkan kepada Nazir wakaf. Dalam kondisi dimana nilai dan perggunaan tanah semakin besar dan meningkat seperti sekarang ini, maka tanah wakaf yang tidak memiliki suratsurat dan tidak jelas secara hukum, sering mengundang kerawanan dan peluang terjadinya penyimpangan dari hakikat dan tujuan perwakafan sesuai dengan ajaran agama. Dalam upaya melengkapi kebutuhan aspek legal formal, maka telah diterbitkan Peraturan Pernerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Salah satu pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, yaitu pasal 9, mengharuskan perwakafan dilakukan secara tertulis, tidak cukup hanya dengan ikrar lisan saja. Tujuannya adalah untuk memperoleh bukti otentik, misalnya sebagai kelengkapan dokumen pendaftaran tanah wakaf pada Kantor Pertanahan maupun sebagai bukti hukum apabila timbul sengketa di kemudian hari tentang tanah yang telah diwakafkan oleh ahli warisnya. Oleh karena itu, seseorang yang hendak mewakafkan tanah harus melengkapi dan membawa tandap-tanda bukti kepemilikan dan surat-surat lain yang menjelaskan tidak adanya halangan untuk melakukan pelepasan haknya atas tanah tersebut. Untuk kepentingan tersebut mengharuskan adanya pejabat yang khusus ditunjuk untuk melaksanakan pembuatan akta wakaf, dan perlu adanya keseragaman mengenai bentuk dan isi ikrar wakaf. IV. Perlindungan Wakaf Peranan Departemen Agama dalam pembuatan akta wakaf sebagai badan hukum merupakan bagian integral dari upaya Pemerintah dalam perlindungan wakaf, balk yang berwujud tanah maupun Iainnya. Pengalaman operasional pembuatan akta wakaf sampai saat ini lebih banyak terkait dengan sertifikasi tanah wakaf khususnya perwakafan tanah milik sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Atas Tanah. Dalam peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik telah diatur bahwa Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan diturjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta lkrar Wakaf, dan administrasi perviakafan diselenggarakan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan. Dalam karena sesuatu hal Kecamatan tidak ada Kantor Urusan Agamanya, maka Kepala Kanwil Departemen Agama menunjuk Kepala KUA terdekat sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf di kecamatan tersebut. Tugas Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf adalah; 1. Meneliti kehendak wakaf; 2. Meneliti dan mengesahkan nadzir atau anggota nadzir yang baru; 3. Meneliti saksi ikrar wakaf; 4. Menyaksikan pelaksanaan ikrar wakaf; 5. Membuat Akta Ikrar Wakaf; 6. Menyampaikan Akta Ikrar Wakaf dan salinannya kepada pihakpihak terkait; 7. Menyelenggarakan Daftar Akta Ikrar Wakaf, 8. Menyampaikan dan memelihara Akta dan Daftarnya; dan 9. Mengurus pendaftaran per.vakafan. Peraturan Menteri Agarna Nomor I Tahun 1978 itu juga menetapkan bahwa pengawasan dan bimbingan perwakafan tanah dilakukan oleh unitunit organisasi Departemen Agama secara hirarkis sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Agama tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama. Pada kenyataannya masih banyak tanah wakaf yang status hukumnya belum jelas, sedang tanah wakaf dimaksud sudah dimanfaatkan dan digunakan sesuai dengan fungsinya sebagai tanah wakaf. Dalam pendataan tana wakaf di daerahdaerah, masih banyak ditemukan masjid, mushalla, riadrasah, panti asuhan dan bangunan keagamaan Islam Iainnya yang dibangun di atas tanah yang belum jelas statusnya. Oleh karena itu maka ur.tuk kepastian hukum atas status tanah, diperlukan Iangkah sebagai berikut: 1. Penelitian ulang terhadap tanah yang selama ini diidentifikasikan sebagai tanah wakaf. 2. Mengklasifikasikan hasil penelitian ulang tersebut menurut status dan penggunaanya. 3. Mengusahakan bukti-bukti untuk memenuhi persyaratan bagi tanah yang diidentifikasi sebagai tanah wakaf, guna pembuatan Akta lkrar Wakaf/ Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf dan penerbitan sertifikat. Kendati sertifikasi tanah wakaftelah menjadi salah satu program nasional yang merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, namun harus diakui bahwa hasilnya masih belum optimal. Dalam hal ini, kendala yang bersifat non-yuridis, seperti kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya sertifikasi wakaf, ketersediaan tenaga yang menangani penelitian, pendaftaran dan sertifikasi tanah wakaf, serta minimnya anggaran yang tersedia masih menjadi kendala yang belum sepenuhnya dapat teratasi dengan baik. Peranan dan keterlibatan pemerintah dalam hal ini Departemen Agama memang sangat strategis. Tanpa perhatian dan kepedulian pemerintah, memang akan sulit bagi lembaga perwakafan untuk berkembang. Namun di sisi lain, peranan dan sikap proaktif masyarakat juga sangat penting. Untuk itu saya mengharapkan agar Badan Pengelola Masjid Agung Semarang dapat mengambil peran sebagai nadhir yang profesional dalam rangka memperkuat lembaga wakaf dalam rangka meningkatkan kemakmuran umat Islam khususnya di kota Semarang ini. V. Penutup Pemberdayaan wakaf di negara kita diharapkan dapat tumbuh menjadi sektor yang berperan secara nyata dalam pemulihan perekonomian bangsa dan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana yang telah berjalan di Arab Saudi, Mesir, Qatar, Bangladesh, Turki dan lain-lain. Hal tersebut dapat segera diwujudkan apabila kita semua dapat bersungguh-sungguh dan bekerjasama sating bantu membantu antara Pemerintah, masyarakat dan lembaga-lembaga wakaf yang ada. Demikianlah beberapa hal yang dapat kami sampaikan dalam kesempatan yang ini. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk dan perlindungannya kepada seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai kehidupan yang aman, adil dan sejahtera Jakarta, 27 Agustus 2005 Menteri Agama RI ttd H. Muhammad M. Basyuni