12 II TINJAUAN PUSTAKA 2.2. Perkembangan

advertisement
II TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Perkembangan Produksi dan Ekspor CPO (Crude palm Oil) Indonesia
Indonesia sebagai salah satu negara eksportir CPO terbesar di dunia telah
mengekspor CPO sejak pelita I sampai pelita II (1969-1978) dengan peningkatan
produksi maupun volume ekspor mencapai 72-99 persen dari total produksi yang
dihasilkan3. Peningkatan volume ekspor tersebut secara langsung dipengaruhi
oleh tingginya konsumsi CPO dunia sebagai salah satu minyak nabati dengan
pertumbuhan sebesar 14,21 persen per tahun melampaui volume perdagangan
jenis minyak nabati lainnya4. Adapun perkembangan konsumsi CPO dunia dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Perkembangan Konsumsi CPO (crude Palm Oil) Dunia Tahun 20002010
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata pert/thn
Volume Impor (kg)
2,658,906,814
3,692,292,957
4,385,857,289
4,721,227,888
5,789,846,856
6,923,447,160
8,392,092,987
8,862,800,135
11,538,504,748
13,110,899,342
12,901,496,146
14,21 %
Pertumbuhan (%/thn)
27.99
15.81
7.10
18.46
16.37
17.50
5.31
23.19
11.99
-1.62
14.21%
Sumber : UN Comtrade, 2011 (diolah)
Berdasarkan Tebel 4, dapat disimpulkan bahwa konsumsi CPO dunia
mengalami peningkatan volume ekspor dengan rata-rata pertumbuhan sebesar
14,21 persen per tahun pada tahun 2000-2011. Menurut Sitorus (2009), dalam
perkembangannya konsumsi CPO dunia secara umum digunakan sebagai bahan
3
4
Abidin Z. 2008. Analisis Ekspor Minyak Kelapa Sawit (CPO) Indonesia. Jurnal Aplikasi
Manajemen 6: 139-144
Loc.cit
12
pangan dan non pangan serta sebagai sumber energi alternatif (bio fuel).
Tingginya konsumsi CPO dunia dalam memenuhi kebutuhan nabati dan energi
tersebut memberikan andil dalam peningkatan ekspor CPO Indonesia. Hal ini
digambarkan secara jelas dalam peningkatan volume dan nilai ekspor CPO
Indonesia tahun 2000-2010 seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor CPO (Crude Palm Oil)
Indonesia Tahun 2001-2010
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Pert/thn
Nilai Ekspor (US $)
476,438,245
406,409,025
891,998,644
1,062,214,890
1,444,421,828
1,593,295,437
1,993,666,661
3,738,651,552
6,561,330,490
5,702,126,189
7,649,965,932
14.44%
Volume Ekspor (Kg)
1,817,664,367
1,849,142,144
2,804,792,251
2,892,130,288
3,819,926,626
4,565,624,657
5,199,286,871
5,701,286,129
7,904,178,630
9,566,746,050
9,444,170,400
20.92%
Sumber : UN Comtrade, 2011 (diolah)
Berdasarkan Tabel 5, dapat disimpulkan bahwa terjadi pertumbuhan
ekspor CPO Indonesia periode tahun 2000-2010 baik dilihat dari nilai ekspor
maupun volume ekspor dengan pertumbuhan volume ekspor sebesar 20,92 persen
dan nilai ekspor sebesar 14,44 persen. Tabel 5 juga menyajikan informasi
mengenai perbandingan perkembangan volume ekspor dan nilai ekspor CPO yang
digunakan untuk melihat pengaruh harga CPO dalam perkembangan ekspor CPO
Indonesia.
Pada periode tahun 2008-2009 terjadi peningkatan volume ekspor CPO
sebesar 7.904.178.630 kg pada tahun 2008 menjadi 9.566.746.050 kg pada tahun
2009. Pada periode yang sama, terjadi penurunan dalam nilai ekspor CPO sebesar
6.561.330.490 US $ pada tahun 2008 menjadi 5.702.126.189 US $ pada tahun
2009. Begitupula ditunjukkan oleh perkembangan ekspor CPO pada periode
2009-2010. Hal tersebut membawa pemahaman bahwa peningkatan volume
13
ekspor tidak selalu berbanding positif dengan peningkatan nilai ekspor akibat
terjadinya fluktuasi harga CPO. Perkembangan harga CPO di tingkat BKDI dan di
tingkat dunia tahun 2000-2010 dapat dilihat pada Gambar 6.
0.9
0.8
US $ / Kg
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
BKDI 0.26
0.22
0.32
0.37
0.38
0.35
0.38
0.66
0.83
0.6
0.81
Dunia 0.32
0.26
0.35
0.41
0.42
0.36
0.4
0.65
0.84
0.61
0.81
Gambar 6. Perkembangan harga CPO di Tingkat BKDI dan Dunia Tahun 20002010
Sumber : UN Comtrade, 2011 (diolah)
Berdasarkan informasi dari Gambar 6, perkembangan harga CPO baik di
tingkat BKDI (Bursa Komoditi Derivatif Indonesia) maupun di tingkat dunia
menunjukkan trend yang meningkat selama 10 tahun terakhir. Pada gambar 6
dapat diketahui pula bahwa harga CPO di tingkat BKDI cenderung mengikuti
pola sebaran harga di tingkat dunia dengan gap tertinggi pada tahun 2000 sebesar
0,06 US $/kg. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tingkat harga CPO di BKDI
merupakan salah satu acuan dalam penetapan harga CPO dunia.
Peningkatan harga CPO di tingkat dunia berdampak langsung terhadap
peningkatan produksi CPO Indonesia. Menurut Sitorus (2009), sejalan dengan
konsep penawaran, maka produksi CPO Indonesia akan meningkat seiiring
dengan peningkatan harga CPO dunia. Adapun perkembangan produksi CPO
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 6.
14
Tabel 6. Perkembangan Produksi CPO (Crude Palm Oil) Indonesia Tahun 20002000
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010*
Pert/thn
PR
1,905,653
2,798,032
3,426,740
3,517,324
3,847,157
4,500,769
5,783,088
6,358,389
6,923,042
7,247,979
7,774,036
12.65%
Bentuk Usaha (Ton)
PBN
PBS
1,460,954
3,633,901
1,519,289
4,079,151
1,607,734
4,587,871
1,750,651
5,172,859
1,617,706
5,365,526
1,449,254
5,911,592
2,313,729
9,254,031
2,117,035
9,189,301
1,938,134
8,678,612
1,961,813
9,431,089
2,089,908
9,980,957
2.38%
8.92%
Total
7,000,508
8,396,472
9,622,345
10,440,834
10,830,389
11,861,615
17,350,848
17,664,725
17,539,788
18,640,881
19,844,901
9.42%
Keterangan : *) angka sementara
Sumber : Direktoran Jenderal Perkebunan, 2011
Perkembangan produksi CPO Indonesia tahun 2000-2010 pada Tabel 6
dihitung berdasarkan bentuk pengusahaan yang terdiri dari Perkebunan Rakyat
(PR), Perkebunan Besar Nasional (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS)
dengan persentase pertumbuhan produksi sebesar 12,65 persen (PR), 2,38 persen
(PBN) dan 8,92 persen (PBS). PR merupakan bentuk pengusahaan CPO yang
mengalami pertumbuhan produksi tertinggi yaitu sebesar 12,65 persen per tahun
meskipun jumlah produksi totalnya masih di bawah PBS. Adapun jumlah
produksi masing-masing pengusahaan adalah 36,25 persen, 13,29 persen dan
50,46 persen terhadap total produksi tahun 2000-2010.5 Hal tersebut disebabkan
oleh tingginya produktivitas CPO pada pengusahaan CPO di Indonesia6. Saat ini
Indonesia adalah penghasil CPO terbesar di dunia mengungguli Malaysia sejak
tahun 20067
5
6
7
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011 (diolah)
Abidin Z. 2008. Op.cit. Hlm 12
Loc.cit
15
2.3. Tinjauan Umum World Trade Organization (WTO)
World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia
merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur
masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur
melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan
internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negaranegara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota
yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan
perdagangannya (Sitorus 2009). Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan
utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan
importir dalam kegiatan perdagangan.
WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995, tetapi sistem
perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu. Sejak tahun 1948,
General Agreement on Tarifs and Trade (GATT) atau Persetujuan Umum
mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini.
Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai
perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional
tertinggi.
Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade
Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem
Bretton Woods (IMF dan bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui
dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret
1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara tidak berjalan
lancar. Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang
walaupun sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi Piagam Havana sehingga ITO
secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap
merupakan instrument multilateral yang mengatur perdagangan internasional.
Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada
tahun 1948 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan
plurilateral (disepakati oleh beberapa negara saja) dan upaya-upaya pengurangan
tarif (Sitorus 2009).
16
Masalah-masalah
perdagangan
diselesaikan
melalui
serangkaian
perundingan multilateral yang dikenal dengan nama Putaran Perdagangan (trade
round), sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.
Adapun beberapa putaran perdagangan sebagai cikal bakal terbentuknya WTO
dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Putaran Perdagangan (Trade Round) Menuju Terbentuknya WTO
Tahun
1947
1949
1951
1956
1960-1961
1964-1967
1973-1979
1986-1994
Tempat
(Nama)
Geneva
Annecy
Torquay
Geneva
Geneva
(Dillon Round)
Geneva
(Kennedy Round)
Geneva
(Tokyo Round)
Geneva
(Uruguay Round)
Pokok Cakupan
Jml.
Negara
Tariffs
Tariffs
Tariffs
Tariffs
23
13
38
26
Tariffs
26
Tariffs and anti-dumping
measures
62
Tariffs, non-tariff measures,
“framework” agreements
Tariffs, non-tariff measures, rules,
services, intellectual
property, dispute settlement,
textiles, agriculture, creation of
WTO, etc
102
123
Sumber : World Trade Organization (2006) diacu dalam Widayanto (2007)
Persetujuan-persetujuan WTO mencakup bidang pertanian, tekstil dan
pakaian, jasa keuangan, telekomunikasi, standardisasi industri, peraturan Sanitary
and Phytosanitary, hak atas kekayaan intelektual dan lain-lain. Walaupun terdapat
banyak persetujuan dalam WTO, beberapa prinsip dasar di bawah ini terkandung
dalam persetujuan-persetujuan tersebut (Widayanto 2007).
a. Perlakuan sama terhadap semua mitra dagang (Most Favored Nation-MFN)
Dengan berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat begitu
saja mendiskriminasi mitra-mitra dagangnya. Keringanan tarif impor yang
diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor
dari mitra dagang negara anggota lainnya. Meskipun demikian terdapat
pengecualian yang diperbolehkan. Salah satu contohnya adalah negara-negara
17
anggota yang membentuk persetujuan perdagangan bebas diperbolehkan
untuk tidak memberikan preferensi yang sama untuk negara di luar kelompok
ini atas komitmen penurunan tarif barang. Pada bidang jasa, sebuah negara
diperbolehkan melakukan diskriminasi dalam batas dan kondisi tertentu.
b. Perlakuan Nasional (National Treatment)
Negara anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang
impor dan lokal, paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik.
Perlakuan nasional yang meliputi bidang barang, jasa dan hak atas kekayaan
intelektual tersebut diterapkan pada saat suatu produk memasuki pasar
domestik. Prinsip National Treatment tercantum dalam tiga persetujuan utama
WTO (pasal 3 GATT, pasal 17 GATS dan pasal 3 TRIPs). Masing-masing
persetujuan tersebut mempunyai perbedaan dalam implementasi prinsip
dimaksud. Namun demikian, pengenaan bea masuk terhadap barang impor
bukan merupakan pelanggaran terhadap perlakuan nasional, bahkan jika
produk-produk lokal tidak dikenakan pajak yang setara.
c. Transparansi (Transparency)
Negara anggota wajib bersikap terbuka/transparan mengenai berbagai
kebijakan perdagangannya sehingga memudahkan para pelaku usaha untuk
melakukan kegiatan perdagangan. Untuk mendukung prinsip ini, negara
anggota wajib menotifikasi segala kebijakannya yang terkait dengan
perdagangan
dan
dilengkapi
dengan
mekanisme
tinjauan
kebijakan
perdagangan dari masing-masing anggota WTO secara periodik.
Persetujuan Bidang Pertanian (Agreement on Agriculture) atau AoA
sebagai salah satu persutujuan hasil putaran Uruguay yang berlaku sejak tanggal 1
Januari 1995 bertujuan untuk melakukan reformasi kebijakan perdagangan di
bidang pertanian dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian
yang adil dan berorientasi pasar. Program reformasi tersebut berisi komitmenkomitmen spesifik untuk mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor dan
meningkatkan akses pasar melalui penciptaan peraturan dan disiplin GATT yang
kuat dan efektif. Persetujuan tersebut juga meliputi isu-isu di luar perdagangan
seperti ketahanan pangan, perlindungan lingkungan, perlakuan khusus dan
18
berbeda (special and differential treatment) bagi negara-negara berkembang,
termasuk juga perbaikan kesempatan dan persyaratan akses untuk produk-produk
pertanian bagi negara-negara tersebut.
Persetujuan Bidang Pertanian menetapkan sejumlah peraturan pelaksanaan
tindakan-tindakan perdagangan di bidang pertanian, terutama yang menyangkut
akses pasar, subsidi domestik dan subsidi ekspor.
a. Akses Pasar
Dilihat dari sisi akses pasar, Putaran Uruguay telah menghasilkan
perubahan sistemik yang sangat signifikan. Perubahan dari situasi dimana
sebelumnya ketentuan-ketentuan non-tarif yang menghambat arus perdagangan
produk pertanian menjadi suatu rezim proteksi pasar berdasarkan pengikatan tarif
beserta komitmen-komitmen pengurangan subsidinya. Aspek utama dari
perubahan yang fundamental ini adalah stimulasi terhadap investasi, produksi dan
perdagangan produk pertanian melalui : (i) akses pasar produk pertanian yang
transparan, prediktabel dan kompetitif, (ii) peningkatan hubungan antara pasar
produk pertanian nasional dengan pasar internasional, dan (iii) penekanan pada
mekanisme pasar yang mengarahkan penggunaan yang paling produktif terhadap
sumber daya yang terbatas, baik di sektor pertanian maupun perekonomian secara
luas.
Umumnya tarif merupakan satu-satunya bentuk proteksi produk pertanian
sebelum
Putaran Uruguay. Pada Putaran Uruguay, yang disepakati adalah
diikatnya tarif pada tingkat maksimum. Namun bagi sejumlah produk tertentu,
pembatasan akses pasar juga melibatkan hambatan-hambatan non-tarif. Putaran
Uruguay bertujuan untuk menghapuskan hambatan-hambatan tersebut. Untuk itu
disepakati suatu paket tarifikasi yang diantaranya mengganti kebijakan-kebijakan
non-tarif produk pertanian menjadi kebijakan tarif yang memberikan tingkat
proteksi yang sama.
Negara anggota dari kelompok negara maju sepakat untuk mengurangi
tarif mereka sebesar rata-rata 36% pada seluruh produk pertanian, dengan
pengurangan minimum 15% untuk setiap produk, dalam periode enam tahun sejak
tahun 1995. Bagi negara berkembang, pengurangannya adalah 24% dan minimum
19
10% untuk setiap produk. Negara terbelakang diminta untuk mengikat seluruh
tarif pertaniannya namun tidak diharuskan untuk melakukan pengurangan tarif.
b. Subsidi Domestik
Subsidi domestik dibagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah
subsidi domestik yang tidak terpengaruh atau kalaupun ada sangat kecil
pengaruhnya terhadap distorsi perdagangan (green box) sehingga tidak perlu
dikurangi. Kategori kedua adalah subsidi domestik yang mendistorsi perdagangan
(amber box) sehingga harus dikurangi sesuai komitmen.
Berkaitan dengan kebijakan yang diatur dalam green box terdapat tiga
jenis subsidi lainnya yang dikecualikan dari komitmen penurunan subsidi yaitu
kebijakan pembangunan tertentu di negara berkembang, pembayaran langsung
pada program pembatasan produksi (blue box), dan tingkat subsidi yang disebut
de minimis.
c. Subsidi Ekspor
Hak untuk memberlakukan subsidi ekspor pada saat ini dibatasi pada: (i)
subsidi untuk produk-produk tertentu yang masuk dalam komitmen untuk
dikurangi dan masih dalam batas yang ditentukan oleh skedul komitmen tersebut;
(ii) kelebihan pengeluaran anggaran untuk subsidi ekspor ataupun volume ekspor
yang telah disubsidi yang melebihi batas yang ditentukan oleh skedul komitmen
tetapi diatur oleh ketentuan fleksibilitas hilir (downstream flexibility); (iii) subsidi
ekspor yang sesuai dengan ketentuan S&D bagi negara-negara berkembang; dan
(iv) Subsidi ekspor di luar skedul komitmen tetapi masih sesuai dengan ketentuan
anti-circumvention. Segala jenis subsidi ekspor di luar hal-hal di atas adalah
dilarang.
2.4. Penelitian Terdahulu
Yuniarti (2007) meneliti tentang determinan perdagangan bilateral
Indonesia dengan pendekatan Gravity Model. Penelitian tersebut bertujuan untuk
melakukan estimasi terhadap determinan perdagangan Billateral Indonesia.
Adapun determinan yang dimasukan kedalam model meliputi pendapatan nasional
20
(GDP), jarak, populasi, kesamaan ukuran perekonomian, perbedaan relatif faktor
endowment, dan keanggotaan dalam area perdagangan bebas.
Berdasarkan hasil estimasi penelitian tersebut diperoleh uji signifikansi
model yang menyatakan bahwa konstanta tidak sama untuk semua unit tetapi
slopenya sama. Hal tersebut dibuktikan melalui F-Test dengan hasil perhitungan F
hitung sebesar 12,03325 lebih besar dari F-tabel (19.119) dengan α = 5% sebesar
1,69 yang berarti model metode Fixed Effect Model (FEM) lebih tepat
dibandingkan metode common effect model (CEM) dan lebih tepat dari metode
Random Effect Model (REM) karena jumlah data croos section (10) lebih besar
dari data time series (7) dengan pengambilan sampel yang tidak acak.
Berkaitan dengan tanda koefisien, semua hasil estimasi konsisten dengan
teori mengaenai Gravity Model. GDP dari negara eksportir (Yi) dan importir (Yj)
mempunyai hubungan positif dengan perdagangan bilateral, variabel jarak sebagai
proksi bagi biaya produksi berpengaruh negatif terhadap perdagangan bilateral,
variabel kesamaan ukuran perekonomian berpengaruh positif didukung oleh fakta
bahwa sebagian besar perdagangan dunia terutama negara-negara industri
merupakan pertukaran produk yang meliputi perdagangan intraindustri, variabel
kesamaan ukuran ekonomi (endowment) tidak berpengaruh terhadap perdagangan
bilateral dengan keinkonsistenan teori H-O dengan fenomena perdagangan intra
industri, variabel populasi mitra dagang mempunyai koefisien positif terhadap
perdagangan bilateral dan keanggotaan dalam area perdagangan bebas tidak
berpengaruh terhadap perdagangan bilateral.
Yuniarti (2008) dalam penelitiannya mengenai potensi perdagangan global
Indonesia dengan pendekataan Gravity Model mengemukakan bahwa hasil
estimasi Gravity Model dapat digunakan untuk memprediksi potensi perdagangan
bilateral yang selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan ekspansi negaranegara tujuan ekspor. Pengukuran potensi perdagangan bilateral dilakukan dengan
membagi nilai prediksi perdagangan dari estimasi Gravity Model dengan nilai
aktual perdagangan dari estimasi Gravity Model. Pada hasil estimasi, secara
bersama-sama variabel inpenden menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap
variabel pada derajat keyakinan 99 persen yang ditunjukkan oleh nilai F hitung
(21,424) lebih besar dari F tabel (6,103) pada α 5% = 2,18.
21
Adapaun pada signifikansi variabel independen, penelitian ini menyatakan
bahwa variabel yang berpengaruh positif terhadap perdagangan bilateral antara
lain,
pendapatan,
variabel
kesamaan
ukuran
perekonomian,
kesamaan
keanggotaan dalam APEC, dan koloni wilayah jajahan berpengaruh positif dan
signifikan. Sedangkan variabel yang berpengaruh negatif terhadap perdagangan
bilateral antara lain, variabel total populasi, kesamaan keanggotaan dalam AFTA
dan variabel batas wilayah. Dalam pengukuran potensi perdagangan berdasarkan
rasio dari hasil estimasi Gravity Model terdapat temuan pada 10 negara mitra
dagang utama Indonesia yang menunjukkan kondisi over trade (melebihi potensi)
dan under trade (berpotensi). Kondisi over trade dicapai pada hubungan dagang
Indonesia dengan negara-negara antara lain, Australia, Amerika, Korea, Malaysia,
Singapura, Jerman, Belanda dan India. Sedangkan kondisi under trade dicapai
pada negara Jepang dan China.
Penelitian oleh Sitorus (2010) dengan topik Peningkatan Ekspor CPO dan
Kakao Dibawah Pengaruh Liberalisasi Perdagangan (Suatu Pendekatan Model
Gravitasi) menyimpulkan bahwa model panel data yang digunakan dalam estimasi
faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kakao dan CPO adalah model pooled
Least Square atau PLS tanpa uji Chow. Hal tersebut disebabkan oleh
ketidaksesuaian Fixed Effect Model dengan data yang digunakan sehingga terjadi
near singular matrix.
Adapun variabel yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor
kakao dari negara importir ke negara tujuan ekspor adalah variabel populasi
negara pengimpor (POPi), populasi negara pengekspor (POPj) sedangkan variabel
GDP negara pengimpor (GDPi) memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan,
dan GDP negara pengekspor (GDPj), nilai tukar (ER) juga jarak memiliki
pengaruh negatif dan signifikan. Sedangkan variabel yang signifikan pada ekspor
CPO adalah variabel GDP negara pengekspor dan pengimpor, populasi negara
pengekspor dan pengimpor serta jarak. Sedangkan variabel nilai tukar tidak
berpengaruh nyata.
Hadi (2010) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran
perdagangan pisang dan mangga Indonesia ke negara tujuan dengan metode
deskriptif dan kuantitatif. Metode deskriptif menjelaskan potensi ekonomi negara
22
tujuan pada masa yang akan datang dari perdagangan pisang dan mangga
sedangkan metode kuantitatif menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
aliran perdagangan kedua komoditas tersebut menggunakan Gravity Model
dengan variabel-variabel penariknya antara lain pendapatan per kapita negara
tujuan, populasi, jarak antar negara, nilai tukar, harga ekspor komoditi di negara
tujuan ekspor, dan ekspor komoditi ke negara tujuan satu tahun sebelumnya.
Berdasarkan hasil perhitungan Chow Test, maka metode yang sesuai
dalam Gravity Model aliran perdagangan pisang Indonesia ke negara tujuan ini
adalah Metode Pooled Least Square. Secara keseluruhan metode tersebut telah
memenuhi pengujian asumsi model, yaitu multikolinearitas, heteroskedastisitas
dan autokorelasi. Berdasarkan hasil analisis aliran perdagangan pisang Indonesia,
diperoleh R2 sebesar 93,73 persen. Berdasarkan uji t, diperoleh variabel yang
nyata pada taraf lima persen, yaitu harga pisang Indonesia di negara tujuan (Pj)
dan volume ekspor pisang dari Indonesia ke negara tujuan satu tahun sebelumnya
(Xij-1). Variabel yang nyata pada taraf sepuluh persen yaitu pendapatan per kapita
negara tujuan (Yj). Sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata yaitu
populasi negara tujuan (Nj), jarak antara negara Indonesia dengan negara tujuan
(Dij) dan nilai tukar mata negara tujuan terhadap Dollar Amerika (ERj).
Berdasarkan sintesis dari penelitian-penelitian terdahulu diatas, dapat
disimpulkan bahwa metode Pooled Least Square dan Fixed Effect Model adalah
metode yang paling sering digunakan baik berdasarkan kriteria uji maupun dari
penarikan kesimpulan berbasiskan jenis data. Variabel-variabel yang berpengaruh
nyata dari penelitian-penelitian tersebut meliputi GDP, kesamaan ukuran
perekonomian, nilai tukar, populasi, harga dan pendapatan per kapita juga
variabel non ekonomi seperti keanggotaan dalam AFTA dan jarak. Sehingga
dalam penelitian ini akan dititik beratkan pada analisis variabel-variabel yang
berpengaruh nyata diatas. Adapun ringkasan secara terperinci dapat dilihat pada
Tabel 8.
23
Tabel 8. Ringkasan Penelitian Terdahulu
Judul (Penulis, Tahun)
1. Determinan Perdagangan bilateral Indonesia dengan Pendekatan Gravity
Model (Yanuarti, 2007)
Ringkasan :
a. Model yang digunakan adalah Fixed Effect model.
b. Tanda koefisien dan signifikansinya :
- GDP dari negara eksportir (Yi) dan importir (Yj) mempunyai hubungan positif.
- variabel jarak berpengaruh negatif terhadap perdagangan bilateral.
- variabel kesamaan ukuran perekonomian berpengaruh positif.
- variabel populasi mitra dagang mempunyai koefisien positif.
- keanggotaan dalam area perdagangan bebas tidak berpengaruh.
2. Potensi Perdagangan Global Indonesia dengan Pendekataan Gravity Model
(Yanuarti, 2008)
Ringkasan :
a. Model yang digunakan adalah Fixed Effect model.
b. Tanda koefisien dan signifikansinya :
- Pendapatan, Kesamaan ukuran perekonomian, Kesamaan keanggotaan APEC,
dan koloni wilayah jajahan berpengaruh positif dan signifikan.
- variabel total populasi, kesamaan keanggotaan dalam AFTA dan variabel batas
wilayah berpengaruh negatif dan signifikan.
c. Kondisi over trade antara lain, Australia, Amerika, Korea, Malaysia, Singapura,
Jerman, belanda dan India.
d. Kondisi under trade dicapai pada negara Jepang dan China.
3. Peningkatan Ekspor CPO dan Kakao Dibawah Pengaruh Liberalisasi
Perdagangan (Suatu Pendekatan Model Gravitasi). (Sitorus, 2009)
Ringkasan :
a. Model yang digunakan adalah Pooled Least Square.
b. Tanda koefisien dan signifikansinya :
- ekspor kakao : populasi negara pengimpor (POPi), populasi negara pengekspor
(POPj) berkorelasi positif dan signifikan.
- ekspor kakao : GDP negara pengekspor (GDPj), nilai tukar (ER) juga jarak
memiliki pengaruh negatif dan signifikan.
- ekspor CPO : variabel GDP negara pengekspor dan pengimpor, populasi negara
pengekspor dan pengimpor serta jarak berpengaruh signifikan.
4. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aliran Perdagangan Pisang
dan mangga Indonesia ke Negara Tujuan (Hadi, 2009)
a. Model yang digunakan adalah Pooled Least Square.
b. Tanda koefisien dan signifikansinya :
- harga pisang Indonesia di negara tujuan (Pj) dan volume ekspor pisang dari
Indonesia ke negara tujuan satu tahun sebelumnya (Xij-1) berpengaruh
signifikan (5%) dan pendapatan per kapita negara tujuan (Yj) (10%).
24
Download