36 BAB IV GERAKAN MASYARAKAT SIPIL MASA ORDE BARU DI

advertisement
BAB IV
GERAKAN MASYARAKAT SIPIL MASA ORDE BARU
DI YOGYAKARTA
4.1. Yogyakarta Dalam Konteks Sosial Politik
Yogyakarta, propinsi dengan luas wilayah paling kecil di Indonesia berada
tepat di jantung Pulau Jawa. Yogyakarta dalam sejarah perkembangan geopolitik di
Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan kedaulatan
Indonesia. Ke sinilah ibukota Republik dipindahkan dari Jakarta oleh Soekarno –
Hatta pada tanggal 4 Januari 1946 disaat-saat genting revolusi nasional1.
Peranannya dalam periode genting revolusi dan klaim sejarah yang berbeda dengan
daerah lain, kemudian menempatkan Yogyakarta sebagai daerah istimewa.
Dalam dinamika politik nasional, Raja Kraton Ngajogjakarta Hadiningrat
senantiasa menempati posisi penting. Hampir dalam setiap perhelatan politik di
Indonesia, Keraton Yogyakarta menjadi salah satu tokoh yang harus diperhatikan
oleh elit politik nasional2. Peristiwa seperti maklumat 5 September 1945,
perpindahan ibukota negara, pembentukan komando pembebasan Irian Barat,
sampai dengan Pisowanan Agung 20 Mei 1998, telah menjadi contoh bagaimana
Yogyakarta (dan rajanya) senantiasa menjadi bagian penting dari setiap peristiwa
nasional.
Tidak hanya dalam urusan politik Yogyakarta memiliki pengaruh kuat, lebih
jauh dan lebih dalam lagi dalam sosial budaya masyarakat Nusantara. Jawa adalah
etnis terbesar yang mendiami hampir seluruh pulau-pulau di Indonesia, dan bagi
1
Perpindahan ini semakin mengukuhkan posisi Yogyakarta dalam kancah politik nasional setelah
Maklumat 5 September 1945,yang menyatakan Ngajogjakarta Hadiningrat (Kerajaan Yogyakarta)
merupakan bagian dari NKRI yang berstatus istimewa. Lihat Selo Soemardjan [1981] Perubahan
Sosial di Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
2
Sebagai contoh posisi Sultan sebagai anggota Dewan Pembina Golkar dan pencalonannya sebagai
calon Presiden dari Golkar pada tahun 2003, dan Presiden di Pemilu 2009 menjadi polemik baik di
Yogyakarta di tingkat nasional. Dalam wawancara dengan Sultan, konon pernah diminta secara
pribadi oleh SBY untuk menjadi Wakil Presiden pada pemilu 2009 yang lalu, Wawancara Sri
Sultan HB X, 19 Oktober 2008 di Kraton Kilen.
36
etnis Jawa, kiblat kebudayaan (sekaligus kepemimpinan) adalah Keraton
Yogyakarta.
Raja Yogyakarta bukan hanya pemimpin politik di wilayahnya
(Gubernur), tetapi juga merupakan pemimpin tradisional masyarakat Jawa. Inilah
salah satu sisa dari feodalisme Jawa yang masih kukuh dan berwibawa
dibandingkan dengan kota tetangganya, Solo3. Pengaruhnya melebar dalam
berbagai dukungan dan sambutan terhadap kehadiran Sultan di daerah-derah yang
memiliki komunitas Jawa paling besar seperti Sumatra Utara, Lampung, Sumatra
Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, dan lain sebagainya 4.
Di luar soal politik dan budaya, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota
pendidikan yang menjadi benih kepemimpinan di berbagai daerah,seperti
Gubernur, Bupati, ketua partai, dan lain sebagainya. Kesadaran tentang pentingnya
menyiapkan sumber daya kader bangsa telah berlangsung sejak jaman revolusi
kemerdekaan, jauh sebelum pembentukan universitas tertua di Indonesia, Gadjah
Mada. Sultan Yogyakarta pada waktu itu, Sri Sultan HB IX, menyadari bahwa
pendidikan sangat penting bagi perkembangan sebuah masyarakat, sekalipun itu
kontraproduktif terhadap keyakinan feodalisme yang mapan pada waktu itu.
Melalui pengembangan beberapa badan pendidikan di Yogyakarta, Sultan telah
menancapkan tonggak perubahan yang nantinya akan dapat membahayakan
eksistensi feodalisme yang telah berkembang ratusan tahun. Namun demikian
bahwa kemajuan dan kemodernan hanya dapat dicapai melalui pendidikan begitu
disadari oleh Sultan HB IX yang merupakan anak kandung pendidikan Eropa5.
Perkembangan MS tidak dapat dilepaskan dari peran dan posisi golongan
terpelajar sebagai produk pendidikan. Disinilah kelas menengah sebagai tulang
punggung gerakan sosial (baru) berada. MS adalah produk masyarakat egaliter
yang
merupakan
nilai
(value)
utama
kaum
terpelajar
(Gidden,1993).
3
Di berbagai daerah terdapat paguyuban Jawa yang hampir seluruhnya berkiblat ke Yogyakarta
sekalipun leluhurnya bukan berasal dari Yogyakarta. Di Sumatra ada dua paguyuban Jawa, yakni
Pujakusuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatra) dan Pujasuma (Paguyuban Jawa Sumatra). Kedua
paguyuban ini seluruhnya berkiblat ke Yogyakarta, secara khusus Sri Sultan HB X sebagai
pemimpin budaya. Dalam acara-acara khusus yang diselenggarakan oleh paguyuban-paguyuban
tersebut selalu mengundang Sultan sebagai tokoh sentral. Di wilayah lain seperti Kalimantan dan
Sulawesi juga berlangsung hal yang sama. Catatan harian penelitian, 12 Desember 2008.
4
Catatan harian penelitian sepanjang Januari –Maret 2008.
5
Sultan pada tahun 1930 kuliah di Rijkuniversiteit (sekarang Universiteit Leiden), Belanda. Lihat
http://id.wikipedia.org/wiki/Hamengkubuwana_IX
37
Perkembangan MS di Yogyakarta tidak hanya ditelusuri dari struktur sosial
kotemporer, tapi keberadaannya dapat dilihat sejak masa kolonial, khususnya sejak
jaman politik etis. Menelusuri jejak MS sangat penting untuk melihat sejauh mana
peran MS dalam konteks lokal, karena dengan demikian kita akan melihat tradisi
nilai yang dikembangkan masyarakat pada jamannya. Namun demikian Bab ini
tidak akan membahas terlalu jauh sampai jaman kolonial, dan lebih fokus pada
pertumbuhan dan perkembangannya sejak masa Orde Baru. Tiga alasan mengapa
fokus bahasan pada bab ini tidak akan melangkah jauh sampai masa kolonial dan
hanya fokus pada perkembangannya seputar pemerintahan Orde Baru, pertama
adalah gerakan MS adalah produk dari pemerintahan otoriter. MS diletakkan
sebagai kekuatan oposisi yang berdiri diseberang dominasi negara. Dengan wajah
politik otoriter, sesungguhnya selama Orde Baru memerintah telah menjadi ladang
subur gerakan sosial oposisi. Kedua, Gerakan MS adalah produk dari kesadaran
kelas menengah tentang perlunya ekspresi politik yang lebih bebas. Di sinilah
ekspresi politik dimanisfestasikan ketika rezim menyumbatnya melalui berbagai
kebijakan. Ketiga, fokus kajian ini adalah transisi demokrasi pasca Orde Baru
(Hikam, 1999). Dengan sendirinya melihat jauh kebelakang pada masa kolonial
dianggap kurang relevan.
Yogyakarta selama Orde Baru juga menjadi kiblat gerakan oposisi selain
Jakarta dan Bandung. Di kota inilah Partai Rakyat Demokratik, sebuah embrio
gerakan oposisi sipil dibentuk oleh anak-anak muda terpelajar lintas universitas.
Pertumbuhannya dipengaruhi oleh iklim intelektual dan sosial yang terjadi di
sekitar Yogyakarta, misalnya penggusuran, penangkapan mahasiswa, pembunuhan
aktifis buruh dan lain sebagainya. Iklim akademikpun
juga memungkinkan
perdebatan-perdebatan sosial berkembang dengan baik. Tidak mengherankan kalau
sepanjang baru, Yogyakarta melahirkan berbagai gagasan oposisi yang bersiasat
antara represi dan perlawanan.
4.2. Pertumbuhan Gerakan Masyarakat Sipil di Yogyakarta
Kemelut politik yang ada di Jakarta pada tahun 1965/1966 terlambat untuk
diketahui di daerah. Semua kebenaran informasi masih simpang siur didengar oleh
38
rakyat Yogyakarta. Secara umum keadaan komunikasi belum begitu baik, sehingga
peristiwa politik seputar tanggal 1 Oktober 1965 dipahami rakyat di daerah secara
samar-samar. Bagi golongan kiri, sebagian berita penangkapan para jendral
dianggap sebagai penyelesaian revolusi dan perlindungan terhadap pemimpin
nasional, Bung Karno. Bagi golongan non komunis, tindakan golongan kiri
dianggap sebagai tindakan yang sudah keterlaluan, sehingga harus dibalas6.
Nampaknya angkatan bersenjata membiarkan hal ini dengan tidak mengambil
tindakan pencegahan terhadap kemungkinan bentrokan berdarah di berbagai
daerah. Di pedalaman bentrokan orang komunis dan non komunis sudah sering
terjadi, dan diantara masing-masing kelompok saling memprovokasi. Dari
penelitian dan kesaksian berbagai narasumber menunjukkan bahwa seringkali antar
golongan terlibat konflik berdarah, dengan pembiaran oleh angkatan perang. Di
berbagai lokasi seringkali antara golongan komunis dengan golongan non kemunis
saling mengancam untuk menyerang sebagaimana kesaksian berikut7 :
” ....Dulu antara orang-orang kom dan non kom (komunis) saling tantang-tantangan
(provokasi) di sungai itu (sambil menunjuk sungai). Orang kom disebelah timur, dan
orang non kom disebelah barat. Mereka menyuruh masing-masing menyeberang dan
bertarung. Kemudian pada suatu hari tentara masuk ke sebelah timur sungai dan
menyewa rumah untuk dijadikan markas. Tidak berapa lama kemudian golongan
non kom menyerbu ke sebelah timur sungai dengan sandi ”operasi tumpes”. Yakni
pembunuhan kepada laki-laki dewasa yang tinggal di timur sungai....”
Masa-masa setelah peristiwa Oktober 1965 adalah sejarah paling gelap dalam
politik Indonesia. Tidak ada yang benar dan salah atau dengan cara bagaimana
golongan tertentu menghukum golongan lain.
Yogyakarta juga tidak luput dari peristiwa tersebut. Banyak peristiwa
pelanggaran terhadap kemanusiaan yang dapat terekam dalam masa-masa genting
6
Tindakan keterlaluan ini misalnya pembentukan pengadilan partikelir untuk mengadili mereka
yang dianggap berseberangan dengan PKI . P3PK UGM pernah melakukan penelitian tentang hal
ini terhadap Darmosenjoyo, warga Prambanan, Sleman pada tahun 1965. Darmosenjoyo diculik dari
tempat kerjanya dan dituduh sebagai pengikut PNI dan bersekutu dengan Amerika.Dia juga dituduh
sebagai pengikut Katamso. PKI membentuk pengadilan lengkap dengan hakim-hakim dan sejumlah
penuntut umum. Darmosenjoyo dinyatakan bersalah tetapi diberi kesempatan untuk naik
banding.Meskipun demikian permintaannya naik banding ditolak dan ia dijatuhi hukuman mati.
Lihat, Robert Cribb (Edt), [2003] The Indonesian Killings; Pembantaian PKI di Jawa dan Bali
1965-1966, Matabangsa, Yogyakarta, hal 229.Lihat juga Soegijanto Padmo [2000] , Landreform
dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965, KPA-Media Presindo, Yogyakarta
7
Catatan tidak dipublikasikan (6 April 2006)
39
tahun 1965/1966. Dalam situasi penuh ketidakpastian, banyak dari golongan muda
yang juga menjadi korban. Kesaksian Arief Budiman dalam sebuah wawancara
untuk penelitian ini menceritakan sebagai berikut8;
”Saya punya teman seniman, namanya Usama. Dia punya teman cewek dari UGM
yang aktifis CGMI. Mereka serang berdebat, satu menggunakan teori-teori
sosialisme marxisme dan satunya pakai teori liberalisme humanisme.Mereka sering
berdebat,tetapi saling mengharagai,sampai seuatu ketika perempuan teman debatnya
ini ditangkap oleh RPKAD dengan dibantu oleh Pemuda Islam Indonesia. Mereka
ditahan disebuah gedung SD.Tiap malam atau seminggu sekali ketika Soekarno
pidato berapi-api, RPKAD datang minta 10 orang untuk diseksekusi di pinggir
sungai. Pada suatu kali Usama yang bertugas jaga, dan RPKAD datang meminta 10
orang untuk dieksekusi malam itu. Dipilih secara random dan nama teman
ceweknya tersebut ikut dalam rombongan. Hati Usama tidak tega melihat kejadian
tersebut.....”
Kesaksian yang diberikan Budi Santosa, mantan anggota IPPI (organisasi
pelajar yang berafiliasi ke PKI) lebih mengerikan dari yang diatas9 :
”Umumnya mereka yang dituduh sebagai anggota PKI dan simpatisannya akan
dibawa kesebuah tempat di Gunungkidul. Mereka akan digiring kesebuah luweng
(lubang seperti sumur yang sangat dalam dan banyak terdapat di daerah kars)
dengan mata tertutup dan tangan terikat. Di leher mereka diikat tali yang
menghubungkan antara satu dengan yang lain. Sesampai di sebuah luweng mereka
disuruh lompat satu persatu,sampai yang lain tertarik ikut masuk lubang”.
Kejadian tahun 1965/1966 adalah gambaran paling kelam dalam sejarah bangsa
Indonesia.
Secara
perlahan
dengan
tetap
mengandalkan
teror
terhadap
kemanusiaan, Presiden Soeharto memusatkan kekuasaan sepenuhnya dalam
gengamannya10.
Dasawarsa pertama pemerintahan Soeharto, Yogyakarta tidak banyak terlibat
dan merekam peristiwa politik nasional. Bulan madu pemerintahan Orde Baru
dengan Yogyakarta dapat ditemui dengan kesediaan Sri Sultan HB IX sebagai
wakil Presiden pada tahun 1971. Ini merupakan fenomena luar biasa karena Sultan
merupakan figur yang sangat dihormati dan bersedia menjadi Wakil Presiden dari
seorang Jendral yang tidak menonjol karier politiknya sebelum Soekarno jatuh.
Peristiwa ini menjadi indikasi kemesraan Yogyakarta dengan pemerintahan
8
Catatan tidak dipublikasikan (,7 Mei 2007), lihat juga Film Dokumenter Kado Buat Rakyat
Indonesia, Komunitas Seni, 2004
9
Catatan tidak dipublikasikan (9 April 2006)
10
John Roosa [2008] Dalih Pembunuhan Masal; Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, ISSI
–Hasta Mitra, Jakarta
40
Soeharto yang berpengaruh terhadap lanskap gerakan pelajar. Yogyakarta tidak
banyak merekam kejadian-kejadian penting di Jakarta dan Bandung pada tahun
1974 dan 1978 dan termasuk memberikan dukungan solidaritas atas aksi-aksi
mahasiswa. Barangkali disebabkan posisi Sultan HB IX yang menjadi bagian
pemerintahan Orde Baru. Tahun 1974 dan 1978, peristiwa Malari dan buku putih
ITB yang menjadi topik hangat di berbagai media, hanya sedikit memobilisasi
mahasiswa Yogyakarta untuk terlibat. Selebihnya hingar bingar kedua peristiwa
tersebut lebih banyak di Jakarta dan Bandung11. Penelitian terhadap berbagai media
lokal, khususnya Kedaulatan Rakyat dan Berita Nasional yang meliput peristiwa
Malari dan Buku Putih ITB, jarang memberitakan aktifitas politik mahasiswa
Yogyakarta, sekalipun hubungan antar kota sudah mulai terbentuk.
Satu-satunya politik pengendalian di dalam kampus yang cukup menonjol
pada tahun 1978 adalah dibekukannya surat kabar ”Gelora Mahasiswa” di UGM,
dan ”Derap Mahasiswa” di IKIP Yogyakarta bersamaan dengan peristiwa buku
putih ITB. Selebihnya persoalan masalah-masalah politik yang berkembang lebih
banyak disuplai dari luar Yogayakarta seperti Petisi 50, pembreidelan media,
pelarangan buku, pelabelan eks tahanan politik, dan lain sebagainya12. Terdapat
beberapa kemungkinan mengapa masalah ini tidak mendapat respons dari para
aktifis kampus di Yogyakarta, pertama berkaitan dengan kedudukan Yogyakarta
yang relatif
jauh dari pusat kekuasaan (Jakarta) sedangkan komunikasi dan
transportasi belum begitu baik. Hal ini tentu berbeda dengan Jakarta dan Bandung
yang memiliki lokasi dekat dengan Jakarta. Ketika demonstrasi tahun 1966, kedua
kota inipun secara intensif telah menjadi bagian dari dinamika gerakan mahasiswa
saat itu. Pendek kata, gerakan masyarakat sipil yang diwakili oleh mahasiswa pada
tahun 1966 sampai dengan tahun 1980-an adalah milik Bandung dan Jakarta. Di
Yogyakarta lebih kental nuansa akademiknya ketimbang politiknya. Kedua,karena
11
Dalam wawancara dengan aktifis mahasiswa angkatan 1978, hal tersebut dikarenakan posisi
dilematis mahasiswa Yogyakarta dimana Sultan menjadi bagian dari Orde Baru. Wawancara dengan
Djuwarto, 7 September 2007
12
T. Mulya Lubis dan Fauzi Abdullah [1981] Langit Masih Mendung; Laporan Keadaan Hak Asasi
Manusia di Indonesia 1980., Sinar Harapan – LBH, Jakarta. Orde Baru nampaknya secara perlahan
mulai mengukuhkan kekuasaannya melalui berbagai kebijakan yang bertumpu pada ”stabilitas”
mulai dari regulasi pemerintahan melalui UU No. 5/1975 dan UU No. 5/1979 sampai dengan
pembentukan lembaga ekstra judicial seperti Kopkamtib, Opstib dan Opsgat.
41
kedudukan Sultan yang sangat di hormati oleh masyarakat Yogyakarta, sedangkan
Sultan menjadi bagian dari pemerintah Orde Baru.
Ornop sebagai embrio kekuatan ekstra parlementer juga mulai tumbuh di
Jakarta dan Bandung. Misalnya LP3ES yang berdiri tahun 1976, YLBHI ( 1970),
LSP (1975), Bina Swadaya (1974) dan lain sebagainya. Pendek kata, Yogyakarta
sampai tahun 1980, belum menjadi pusat bagi pertumbuhan gerakan MS secara
masif.
Pembangunan institusi pendidikan pada awal-awal
kemerdekaan telah
menempatkan Yogyakarta sebagai basis pendidikan selain Jakarta dan Bandung.
Pada tahun-tahun berikutnya berdiri berbagai kampus yang semakin mengokohkan
Yogyakarta sebagai kota pendidikan, sebut saja Universitas Atma Jaya Yogyakarta
pada tanggal 31 Agustus 1973, IAIN Sunan Kalijaga 15 Juli 1965, Sanata Dharma
tanggal 17 Desember 1955,dan berbagai perguruan tinggi lainnya menyusul berdiri
yang sampai tahun 2005 mencapai jumlah yang sangat fantastis 137 buah, 12 buah
di antaranya negeri dan 125 di antaranya swasta. Kuantitas lembaga pendidikan
yang demikian tentu memposisikan Yogyakarta sebagai bagian penting dari
aktivitas politik MS.
Kasus pertama yang menyentuh kemanusiaan dan sekaligus membangunkan
masyarakat Yogyakarta dari tidur lelap stabilitas politik Orde Baru adalah kasus
Sum Kuning. Sum Kuning adalah nama seorang gadis penjual telor yang cantik
berasal dari Godean, sebuah kecamatan di sebelah barat Yogyakarta. Sum Kuning
diperkosa oleh anak seorang pembesar lokal (Pakualam) pada tanggal 18
September 197013. Dalam perkembangan kasus, mereka yang memperkosa Sum
Kuning malah dibebaskan, sedangkan Sum Kuning sendiri dipenjara. Kasus Sum
Kuning memang tidak menggerakkan rakyat Yogyakarta untuk melakukan protes,
tetapi bagi rakyat Yogyakarta kasus Sum Kuning telah menunjukkan sebuah gejala
arogansi kekuasaan yang bersumber dari pusat kekuasaan. Kasus Sum Kuning
menunjukkan wajah kekuasaan Orde Baru yang sesungguhnya, yakni
hukum
13
Kasus ini membuat heboh masyarakat Yogyakarta, kemudian diangkat ke layar lebar dalam film
yang berjudul Perawan Desa pada tahun 1978 oleh Sutradara Slamet Rahardjo. Nama asli Sum
Kuning adalah Sumarijem. Dokumen kasus LBH Yogyakarta tahun 1978, wawancara dengn
beberapa narasumber
42
menjadi alat kekuasaan. Kalau di Bandung pada tahun 1970 muncul anarkisme
massa yang dipicu arogansi taruna Akademi Polisi yang melakukan penganiayaan
terhadap mahasiswa Bandung karena kalah sepakbola pada tanggal 6 Oktober 1970,
di Yogyakarta muncul kasus Sum Kuning. Keduanya menjadi katalis bagi
”kebencian” terhadap arogansi militer dan kekuasaan Orde Baru. Namun demikian
kasus tersebut lantas tenggelam begitu saja, tapi ingatan kolektif rakyat Yogyakarta
terhadap kasus tersebut tidak akan pernah hilang.
Sejak pemberlakukan NKK/BKK oleh Menteri pendidikan Daoed Jusoef,
praktis kehidupan politik di dalam kampus menjadi lumpuh. Sistem pengajaran
diubah secara drastis, organisasi mahasiswa dibonsai, dan dengan demikian praktis
Universitas hanya menjadi pabrik intelektual.
Daoed Jusoef dalam sebuah
wawancara dengan Majalah Tempo memberikan alasan tentang kebijakan dibidang
pendidikan yang sangat represif sebagai berikut14;
”....dengan tindakan skorsing dan pemecatan,apa yang kami
pertaruhkan? Kami ingin membina kampus menjadi masyarakat
ilmiah......Hal ini bukan karena mereka memiliki pandangan politik
yang berbeda dari pemerintah, tetapi karena melanggar aturan
masyarakatnya. Yang dimaksud aturan akademik sekarang,bukan
hanya mengikuti kuliah dengan baik,tapi ikut pula menciptakan
suasana yang kondusif. Jadi Perguruan Tinggi bukan hanya tempat
mendengarkan kuliah, tapi sebagai satu lingkungan hidup yang
memungkinkan ilmu berkembang dalam artian proses...”.
Gejala birokratisasi dan intervensi terhadap institusi lembaga pendidikan
sudah terlalu jauh sampai pemerintah ikut campur dalam menentukan gelar Doctor
Honoris Causa,pencabutan subsidi kepada universitas, pemecatan pejabat kampus
seperti dalam kasus Chris Siner Key Timu, sampai keterlibatan rektor menentukan
isi pidato pengukuhan guru besar15. Peran politik mahasiswa dikendalikan melalui
berbagai macam cara, mulai penempatan sistem kridit semeter, pengendalian
kelembagaan kampus, membuang politik aliran dari dalam kampus, memecat
14
Tempo,13/ 12/1980
Chris Siner Key Timu adalah salah seorang penandatangan Petisi 50 yang diintimidasi oleh
pemerintah Orde Baru untuk dikeluarkan dari jabatannya di Universitas Atma Jaya Jakarta pada
tanggal 28 Juli 1980. Wawancara pendahuluam untuk persiapan penelitian dengan Fauzi Abdullah
tanggal 4 Mei 2008
15
43
mahasiswa, sampai dengan penempatan pejabat-pejabat kampus yang pro
kekuasaan16.
Aktivitas politik di luar kampus pun nasibnya tidak jauh berbeda. Orde Baru
menciptakan organisasi payung yang ditujukan untuk memangkas kritisme
mahasiswa. Pertama-tama organisasi aliran yang berperan penting dalam
menumbangkan Orde Lama dikonsolidasi melalui pertemuan Cipayung pada
tanggal 22 Januari 1972. Pertemuan ini yang kemudian menghasilkan kelompok
Cipayung yang terdiri dari lima organisasi mahasiswsa yaitu HMI, PMII,
GMKI,PMKRI, dan GMNI. Satu tahun setelah kelompok Cipayung lahir, pada
tanggal 23 Juli 1973, Komite Nasional Pemuda Indonesia dideklarasikan dengan
David Napitupulu, seorang tokoh Golkar, sebagai ketua umum pertama. KNPI
adalah organisasi payung pemuda yang memiliki pengaruh sampai tingkat
kabupaten. Ini merupakan bagian dari strategi Orde Baru dalam rangka membangun
korporatisme negara.
Pada tahun-tahun berikutnya setelah 1980, akibat depolitisasi di dalam dan
diluar kampus, mahasiswa mulai mencari cara baru untuk menumpahkan
kegelisahan kritisnya sekaligus membangun strategi untuk menumbuhkan kembali
basis kesadaran politik. Mulai masuk ke medio 1980, mahasiswa
mendirikan
kelompok-kelompok kecil mahasiswa yang bersifat independen diluar pengaruh
birokrasi kampus, secara swadaya yang disebut dengan Kelompok Studi (KS).
Kelompok Studi (KS) menjadi gejala baru di kalangan mahasiswa sebagai
cara untuk mencari alternatif terhadap kebuntuan politik dalam kampus dan
sekaligus cara golongan terpelajar penyampaikan protesnya (Tarrow, 1998). Nalar
intelektual yang tunggal dan hegemonik membuat bosan para mahasiswa,kemudian
mereka mulai mendirikan KS untuk mendiskusikan berbagai persoalan sosial
politik yang tidak didapatkan dari kampus. Pertama-tama KS muncul di Jakarta
dengan nama Kelompok Studi Proklamasi pada tahun 1983. Kelompok ini
dipelopori oleh Denny JA, kemudian di UI juga berkembang komunitas yang sama
16
Setelah kepemimpinan Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, UGM dipimpin oleh Prof. Dr.
Muhammad Adnan (1990-1994). Menurut para mahasiswa yang diwawancarai untuk kepentingan
penelitian, semenjak UGM dipimpin oleh Prof. Dr. Muhammad Adnan aktifitas politik mahasiswa
sering diberangus. Wawancara Dadang Juliantara tanggal 7 Juli 2008
44
dengan nama Lingkar Studi Indonesia (LSI). Di Bandung muncul Kelompok Studi
Pertanahan, Kelompok Diskusi Sabtu, Thesa, Kelompok Sukaluyu, dan
Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK)17.
Di Yogyakarta perkembangan KS sangat pesat. Pertama kali yang
mempelopori KS adalah Dasakung yang melakukan penelitian tentang fenomena
kumpul kebo diantara mahasiswa Yogyakarta dan kemudian dipublikasikan
Kompas tanggal 9 Juni 1984. Penelitian ini membuat “geger” masyarakat
Yogyakarta sekaligus melambungkan entitas intelektual baru, yakni Kelompok
Studi. Setelah KS Dasakung, muncul berbagai KS antara lain; KS Teknosofi, KS
Girli, KS Menghitung Bintang, KS F 16, KS Rode, KS IAIN, KS Palagan dan lain
sebagainya. Sampai tahun 1986 di Yogyakarta tercatat ada 20 KS yang berasal dari
berbagai kampus18. KS tumbuh dalam situasi kehidupan kampus yang tertutup
terhadap gagasan pembaruan dan sekaligus jauh dari realita sosial
yang
berkembang. KS memiliki beberapa ciri yang menonjol antara lain ; pertama, KS
memiliki tingkat keswadayaan yang tinggi. Mereka tumbuh dalam komunitas
mahasiswa yang sepenuhnya disokong oleh mahasiswa sendiri. Biasanya
sekretariat KS juga sekaligus tempat tinggal (kost) mahasiswa. Sebagai contoh
adalah KS Rode yang ada di Jalan Kusumanegara Yogyakarta yang sekaligus
menjadi tempat kost para aktifis KS19. Kedua, KS independen atau tidak memiliki
hubungan sama sekali dengan birokrasi kampus dan organisasi mahasiswa yang
sudah mapan, khususnya kelompok Cipayung dan KNPI. KS berdiri justru atas
kegelisahan dan sekaligus perlawanan terhadap seluruh infrastruktur mahasiswa
yang ada saat itu. Dengan kemandirian yang dimiliki, KS dapat bergerak secara
lentur mengikuti perkembangan situasi, pun harus bubar setiap saat. Beberapa KS
dapat bubar dan membentuk lagi sesuai dengan kebutuhan mahasiswa sendiri.
Ketiga, KS merupakan satu unit intelektualisme kelas menengah yang
mengembangkan aksi dan refleksi sebagai bagian dari atifitasnya. Sebagai contoh
KS Girli yang melakukan pendampingan terhadap anak-anak jalanan selain juga
17
Wawancara dengan Noer Fauzi, 2 Agustus 2008
Majalah TEMPO No. 8 Tahun XIX – 22 April 1989
19
KS Rode kebanyakan berasal dari aktifis mahasiswa UII, khususnya Fakultas Hukum. Sekretariat
ini memegang peranan penting bagi pertumbuhan gerakan mahasiswa di Yogyakarta tahun 1990an.
18
45
mengembangkan diskusi. KS Menghitung Bintang yang melakukan pendampingan
terhadap masyarakat kali Code dan lain sebagainya. Dengan metode aksi refleksi
ini, banyak para aktifis KS yang kemudian mendirikan LSM setelah tidak menjadi
mahasiswa sebagai langkah politik selanjutnya. Diantara KS yang ada di
Yogyakarta, yang paling menonjol adalah KS Palagan karena menyerat aktifisnya
ke penjara20.
Selain KS yang tumbuh diluar kendali kampus, terdapat organ yang menjadi
alat politik mahasiswa yang sangat penting yakni Pers Mahasiswa. Sekalipun pers
mahasiswa mengalami tekanan yang berat pasca peristiwa Malari tahun 1974 dan
buku putih ITB tahun 1978, tetapi beberapa pers mahasiswa di Yogyakarta tetap
mengangkat topik-topik sensitif diseputar kekuasaan Orde Baru. Pers mahasiswa
masa NKK/BKK tidak lepas dari politik pengendalian yang dilakukan oleh Rektor
sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Selain melalui Surat Ijin Penerbitan,
pengendalian yang juga tidak kalah kejamnya adalah soal pendanaan. Pihak
pimpinan universitas dapat sewaktu-waktu memotong biaya penerbitan jika isi nya
dianggap “membahayakan”. Sebagai contoh yang terjadi pada pers mahasiswa
ARENA milik IAIN Sunan Kalijaga. Kopkamtib pernah melarang ARENA terbit
selama 8 bulan karena dianggap mengipasi suasana panas menjelang sidang MPR
tahun 1978. Pada tahun 1988 Pangdam IV Diponegoro menegur, Pemimpin Umum
ARENA berkenaan dengan reportase ARENA Nomor 1 Tahun 1988 tentang
Waduk Kedung Ombo. Lalu pada penerbitan ARENA No. 2/1988 pihak rektorat
memaksa ARENA untuk memblok dua halaman tulisan Arief Budiman tentang
ketimpangan regenerasi Orde Baru. Guncangan kembali melanda ARENA saat No.
1/1993 mengangkat Bisnis Keluarga Presiden sebagai laporan utamanya. Akhirnya
tanpa kompromi Rektor IAIN Sunan Kalijaga saat itu membredel majalah ARENA
dengan SK No. IN/I/R/PP003/93 tertanggal 18 Mei 199321. Di Yogyakarta pers
mahasiswa dapat menjadi akternatif untuk menggerakkan kesadaran politik
20
Lihat Edward Aspinal, Student Dissent in Indonesia in the 1980s, Working Paper 79, Monas
University, 1993. Tempo, 27 Oktober 1990. Beberapa aktivis Palagan dihukum subversif di
Pengadilan Negeri Yogyakarta, pada 1989. Mereka kedapatan menjual buku karangan Pramoedya
Ananta Toer – bekas tokoh Lekra/PKI—yang dilarang pemerintah. Bambang Isti diganjar 8 tahun
penjara, Bambang Subono mendapat 7 tahun, dan Bonar Tigor Naipospos kena 8 tahun 6 bulan.
21
Wawancara dengan Imam Aziz, 7 Mei 2008
46
mahasiswa. Beberapa pers kampus yang memiliki peran sebagai alat perjuangan
kritis mahasiswa adalah Pijar (Filsafat UGM), Balirung (UGM), Himmah (UII),
dan sejumlah penerbitan bawah tanah seperti Gelora Mahasiwa
Berbeda dengan KS dan pers mahasiswa yang lebih banyak bergulat dengan
wacana pemikiran kritis, di Yogyakarta pada tahun 1980an mulai berkembang
LSM yang didirikan oleh mahasiswa. Salah satu ciri yang menonjol dari kelompok
ini adalah langkahnya yang kongkret dalam membantu menyelesaikan persoalan
masyarakat. Pada awal permulaanya berdiri, LSM tidak bersinggungan dengan
persoalan-persoalan politik sekalipun kesadaran politik telah muncul dikalangan
mahasiswa bahwa problem yang dihadapi rakyat akibat dari marginalisasi politik.
LSM pada periode awal di Yogyakarta didirikan semata-mata sebagai kegiatan
carity membantu masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya melalui berbagai
kegiatan, seperti usaha kecil, micro finance, ketrampilan, dan lain sebagainya. LSM
mula-mula belum banyak menyentuh pada persoalan advokasi, tetapi lebih banyak
berkecimpung pada pemberdayaan ekonomi22.
LSM di Yogyakarta telah tumbuh bersaman dengan berkembangnya
paradigma kritis pembangunan. Namun demikian belum ada wadah yang menjadi
tempat bertukar pengalaman di antara LSM tersebut. Tanggal 24-26 November
1986 tercatat sebagai hari yang bersejarah dalam perjalanan LSM di Yogyakarta,
karena pada hari itu LSM di Yogyakarta sepakat untuk membentuk Forum, yang
kemudian biasa dikenal dengan nama Forum LSM DIY. Inilah Forum LSM
pertama kali yang ada di Indonesia. Forum LSM DIY adalah forum yang dibentuk
sebagai wadah kerjasama antar LSM yang ada di DIY dan juga dengan pemerintah.
Dalam Forum LSM DIY ini mula-mula keanggotaanya mencakup juga pemerintah
Propinsi seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Bangdes Propinsi
DIY. Lambat laun keanggotaan pemerintah propinsi mulai dihilangkan dan baru
pada tahun 1991 keanggotaannya sepenuhnya adalah LSM. Di Yogyakarta
pertengahan tahun 1986 telah tumbuh beberapa LSM yang memiliki isu beragam,
mulai dari kesehatan reproduksi, kredit usaha kecil, buruh perempuan, media, daan
22
Katalog LSM/LPSM Daerah Istimewa Yogyakarta, Komisi Publikasi & Dokumentasi
LSM/LPSM DIY 1991/1994.
47
lain sebagainya. Beberapa LSM merupakan cabang dari LSM besar yang ada di
Jakarta seperti LBH, PKBI, Bina Swadaya. Beberapa di antaranya tumbuh dari
semangat lokal dan bahkan didirikan oleh mahasiswa, salah satunya adalah
Yayasan Anissa Swasti (Yasanti). LSM ini didirikan oleh beberapa mahasiswa
lintas kampus untuk membantu meningkatkan kesejahteraan buruh perempuan.
Yasanti adalah LSM pertama yang memberikan warna gerakan feminis di
Yogyakarta. Yasanti berdiri tanggal 28 September 1982 di Yogyakarta dengan
daerah dampingan di Ungaran Jawa Tengah23. Selain Yasanti juga ada Yayasan
Patria Nusantara, Yayasan Taman Karya Bakti, Yayasan Pengembangan Budaya,
Yayasan Prakarsa dan lain sebagainya. Beberapa LSM didirikan oleh aktifis politik
ketika melihat partai politik mengalami kemandulan, seperti Yayasan Taman Karya
Bakti yang didirikan oleh Imam Yudhotomo mantan aktifis Partai Sosialis
Indonesia.
Isu yang didalami LSM pada periode awal masih sangat terbatas pada
persoalan yang berhubungan dengan masalah sosial ekonomi masyarakat. Warna
struktural LSM pada periode ini belum begitu dominan, sekalipun kesadaran bahwa
problem rakyat salah satunya bersumber dari sistem politik Orde Baru24. Dalam
beberapa hal, pendekatan sosial ekonomi ke grassroot lebih merupakan strategi,
dari pada orientasi yang sesungguhnya. Kenyataan bahwa aparat pemerintah Orde
Baru begitu represif terhadap kekuatan oposan menjadikan sebagian LSM memilih
strategi pemberdayaan ekonomi dari pada politik. Ini yang dilakukan oleh Yasanti,
salah satu LSM yang bekerja untuk pemberdayaan buruh perempuan. Tidak jarang
LSM ini juga melakukan pendidikan kesadaran terhadap hak berserikat, upah, dan
kesepakatan kerja bersama (KKB). Selain mengembangkan kesadaran mengenai
hak-hak buruh, Yasanti juga memberikan kursus menjahit,
kursus teater,
pendidikan masyarakat sipil, dan bahkan beberapa kali mengorganisir pemogokan.
Setelah tahun 1990an warna struktural LSM mulai nampak sejalan dengan
semakin destruktifnya kebijakan Orde Baru, khususnya sejak kasus pembangunan
23
Wawancara dengan Kumoro Dewi, 2 April 2008
Buku Mansour Fakih masih relefan untuk melihat perkembangan LSM di Indonesia yang
membagi dalam beberapa kategori berdasarkan pilihan strateginya dan fokus perhatiannya. Lihat
Mansour Fakih [1996] Masyarakat Sipil Untuk Perubahan Sosial; Pergolakan Ideologi LSM
Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
24
48
waduk Kedungombo dan pembunuhan buruh perempuan Marsinah25. Pada periode
ini banyak aktifis mahasiswa yang mulai masuk ke LSM sehingga turut mewarnai
pola gerakan LSM. Langkah politiknya juga semakin berani dengan mulai
menyinggung pemerintah Orde Baru. Agaknya keterlibatan aktifis mahasiswa di
LSM lebih dimaknai sebagai strategi dari pada kebutuhan praktis, karena masalahmasalah struktural rakyat memerlukan jaringan yang lebih luas dan ini hanya dapat
ditempuh melalui LSM sebagaimana dalam kasus Kedung Ombo yang melibatkan
beberapa LSM internasional.
Hal ini tidak dapat diperoleh dalam gerakan
mahasiswa. Bagaimanapun mahasiswa tetap memiliki kemampuan terbatas,
khususnya dalam kematangan kelembagaan. LSM dapat lebih menjamin
keberlangsungan kerjasama dibandingkan mahasiswa karena keanggotan LSM
bersifat tetap (staf). Persinggungan politik mulai nampak ketika LSM mulai
dipimpin para mantan aktifis mahasiswa .Nampaknya pengalaman sebagi aktifis
mahasiswa memberikan energi keberanian yang lebih besar bagi LSM untuk mulai
menyinggung masalah-masalah politik, sebagaimana yang terjadi dalam peristiwa
Timoho dan pernyataan akhir tahun 1995 Forum LSM DIY26. . Pada periode ini
mulai berkembang LSM yang bergerak pada masalah-masalah struktural seperti
LAPERA, Patra Pala, LBH Yogyakarta di Yogyakarta, di Salatiga berdiri Yayasan
Geni, di Solo berdiri Yaphi dan berbagai kelompok LSM di Jakarta, Bandung,
Surabaya dan lain sebagainya27. LSM tersebut yang kemudian pada tahun 1997
mendirikan KIPP Yogyakarta sebagai kekuatan oposan terhadap penyelenggaraan
pemilu. Sekretariat KIPP DIY menjadi satu dengan Forum LSM DIY, bahkan ketua
Forum LSM DIY juga menjadi Presidium KIPP DIY. LSM berkembang terus
menjadi kelompok penekan efektif sampai dengan Soeharto pada tahun 1998 dan
kemudian bermetamofosa dalam berbagai isu dan kegiatan.
25
Lihat Stanley [1994] Seputar Kedungombo, Elsam, Jakarta. Marsinah adalah buruh perempuan di
Porong Sidoarjo yang dibunuh karena mengorganisir teman-temannya untuk peningkatan
kesejahteraan. Kasus Marsinah pernah diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama oleh
sutradara Slamet Rahardjo.
26
Forum LSM DIY ,Demokratisasi Dipasung Politik Administrasi, Pernyataan Akhir Tahun 1995
Forum LSM DIY, Dokumen tidak diterbitkan
27
Perkembangan LSM struktural ini juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh nasional
pertumbuhan LSM yang bercorak advokasi seperti Skephi, WALHI, INGI yang kemudian berubah
menjadi INFID, Yayasan Maju Bersama, YLBHI, dan lain sebagainya.
49
Pendekatan struktural LSM yang mulai marak pada tahun 1990 juga dipicu
perkembangan gerakan mahasiswa pada tahun 1980. Ketika kelompok-kelompok
studi tersebut mulai melepas aluminya, sebagian dari mereka mulai membentuk
LSM dengan warna struktural yang begitu kental. Sebagai contoh adalah LAPERA
yang didirikan tahun 1992 dengan tema sentralnya adalah buruh dan tanah. Ini
adalah isu yang sangat peka ketika jaman Orde Baru. LSM ini menerbitkan buletin
KAWAH sebagai media untuk mempromosikan gagasannya. Para pendirinya
adalah sebagian besar mahasiswa UGM angkatan 1980-an dan alumi kelompok
studi Rhode serta terlibat aktif dalam advokasi Kedung Ombo. LSM lain yang
senafas derngan LAPERA adalah LBH Yogyakarta. Sekalipun cabang dari YLBHI
Jakarta, tetapi sifat cabang adalah otonom. LBH Yogyakarta giat melakukan
advokasi kasus-kasus tanah dan buruh, seperti kasus Kedung Ombo, Kasus wedi
kengser di Kabupaten Bantul, kasus pembunuhan wartawan Bernas, dan lain
sebagainya.
Adanya KS yang berbasis pada kegiatan intelektual sementara LSM yang
mendasarkan diri pada kegiatan praksis di lapangan, bukan berarti aktivis
kelompok studi ibarat pemimpin dan sementara aktifis LSM adalah tukang atau
pelaksana. Tidak ada kesepakatan antara mereka untuk berbagi fungsi yang
demikian; walaupun belakangan disadari bahwa kegiatan LSM semakin kuat bila
dibarengi refleksi, dan sebaliknya kelompok diskusi menjadi praksis bila disertai
aksi. Namun sesungguhnya tidak bisa dielakkan bahwa kedua kegiatan tersebut
pada dirinya sering menimbulkan mental blok28.
Memasuki paruh 1980-an, kampus mulai mengalami pergeseran politik.
Berbagai kasus baik yang langsung bersinggungan dengan mahasiswa atau rakyat
pada umumnya mendorong mahasiswa untuk kembali menyusun strategi
perlawanan. Banyak peristiwa politik nasional yang berlangsung pada medio 1980an seperti peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1983, peristiwa Warsidi Lampung
tahun 1989, penembakan misterius tahun 1983, peristiwa pendudukan atas Timor
Leste tahun 1975, peristiwa subversif mahasiswa Yogyakarta tahun 1986,
28
Didik Supriyanto [1998] Perlawanan Pers Mahasiswa ; Protes Sepanjang NKK/BKK, Sinar
Harapan-Yayasan Sinyal, Jakarta
50
pembangunan waduk Kedung Ombo tahun 1985, dan lain sebagainya telah
membangun kesadaran politik mahasiswa untuk mulai mempersoalkan Orde
Baru29. Untuk lokal Yogyakarta, terdapat beberapa peristiwa penting yang
mempengaruhi dan berkaitan erat dengan pertumbuhan gerakan mahasiswa.
Pertama adalah pengangkatan Koesnadi Hardjasoemantri sebagai Rektor UGM.
Kedua, kasus SDSB dan kebijakan pemerintah lainnya seperti kenaikan tarif listrik
dan BBM. Ketiga kasus Kedung Ombo. Keempat, kasus subversif Bonar Tigor
Naispospos dan kawan-kawan.
Pengangkatan Koesnadi Hardjasoemantri sebagai Rektor UGM telah
membuka partisipasi politik mahasiswa lebih lebar. Koesnadi Hardjasoemantri
menganggap bahwa kegiatan politik mahasiswa merupakan bagian dari
tanggungjawab intelektual kaum terpelajar, sehingga tidak serta merta kegiatan
politik mahasiswa diberangus. Demonstrasi mahasiswa dilindungi dari intervensi
tentara. Pada jamannya pertumbuhan kegiatan politik mahasiswa sangat marak.
Barangkali hal ini karena Koesnadi sendiri adalah sosok moderat yang memiliki
pengalaman panjang dalam organisasi kemahasiswaan sebagai ketua Dewan
Mahasiswa dan pendiri Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI)30. Hanya pada
jaman Koesnadi Hardjasoemantri demo mahasiswa diantar langsung oleh Rektor ke
DPRD Propinsi DIY. Selain faktor kepemimpinan Koesnadi Hardjasoemantri, satu
hal yang juga memiliki sumbangan terhadap pertumbuhan gerakan mahasiswa di
Yogyakarta adalah kasus SDSB. SDSB memang bukan masalah politik, tetapi
moral. Protes menentang SDSB dikarenakan undian ini dipandang telah merugikan
secara sosial dan moral. Berbeda dengan kasus pelanggaran HAM, protes terhadap
SDSB jauh lebih aman resiko politiknya. Mahasiswa melihat protes SDSB
merupakan bagian untuk melatih militansi dan strategi untuk menghadapi isu yang
lebih sensitif, yang kemungkinan akan menuai resiko yang lebih besar.
Demonstrasi terhadap SDSB dengan sendirinya mendapat dukungan luas, dengan
begitu aparat keamanan tidak akan berani melakukan tindakan represif. Kasus lain
29
YLBHI, Demokrasi Masih Terbenam; Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun
1991, YLBHI 1991; YLBHI, Demokrasi di Balik Keranda; Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia
1992, YLBHI 1992
30
Wawancara dengan Dadang Juliantara, 7 Juli 2008
51
yang memberi warna bagi gerakan mahasiswa di Yogyakarta adalah kasus
subversif Bonar Tigor Naispopos dan kawan-kawan serta Kedung Ombo.
Mengapa kedua kasus tersebut sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan dinamika gerakan mahasiswa di Yogyakarta? Pertama, adalah kedua kasus
tersebut melibatkan mahasiswa secara langsung. Kasus Bonar Tigor Naispospos
dan kawan-kawan berlangsung di Yogyakarta, sedangkan pembangunan Waduk
Kedungombo di daerah Boyolali yang berjarak kurang lebih 70 km dari
Yogyakarta. Dalam kedua kasus ini keterlibatan mahasiswa Yogyakarta sangat
intensif dalam mengadvokasi dan sekaligus bersinggungan langsung dengan aparat
pemerintah, khususnya ABRI. Kedua, kasus tersebut menjadi arena latihan
mahasiwa dalam praktek melawan kekuasaan setelah era NKK/BKK yang langsung
berhubungan dengan kekerasan aparat dan bagaimana cara atau strategi
menghadapinya.
Bonar Tigor Naispospos, Bambang Isti, Bambang Subono
adalah
mahasiswa Fisipol UGM dan pegawai UGM dan sekaligus pendiri KS Palagan.
Pada tanggal 14 Juni 1989 mereka bertiga ditangkap oleh aparat keamanan karena
meminjamkan dan mendiskusikan buku karangan Pramudya Ananta Toer. Tuduhan
yang disangkakan kepada ketiganya adalah menyebarkan ajaran komunisme oleh
karena itu dikenai pasal subversif. Pengadilan Negeri Yogyakarta akhirnya
menjatuhkan vonis delapan dan tujuh tahun penjara. Hukuman yang dianggap
terlampau berat bagi sebuah kegiatan intelektual mahasiswa yang hanya
mendiskusikan dan meminjamkan buku. Persidangan mereka diikuti oleh protesprotes mahasiswa Yogyakarta. Demonstrasi tanggal 8 September 1989 berakhir
dengan bentrok antara mahasiswa dengan aparat keamanan di Jalan Kusumanegara
Yogyakarta yang mengakibatkan tiga orang mahasiswa dirawat di rumah sakit
Panti Rapih dan 27 lainnya ditangkap. Seminggu kemudian pada tanggal 15
September 1989 mahasiswa kembali melakukan long marc ke gedung DPRD
Yogyakarta untuk memprotes peristiwa berdarah tersebut. Dalam sejarah gerakan
mahasiswa di Yogyakarta, inilah bentrokan
pertama yang memakan korban
mahasiswa Yogyakarta dengan aparat keamanan. Namun bentrokan tersebut justru
52
semakin menumbuhkan militansi dikalangan kaum muda31. Kekerasan aparat
nampaknya tidak membuat mahasiswa menjadi gentar, tetapi semakin militan
sehingga muncul slogan, ”penjara tidak membuat jera, peluru tidak membuat ragu”.
Selain peristiwa subversif Bonar Tigor dan kawan-kawan, pembangunan
waduk Kedungombo juga dapat dijadikan tolok ukur untuk melihat sejauh mana
perkembangan gerakan mahasiswa di Yogyakarta. Kedungombo berjarak kurang
lebih 70 km dari Yogyakarta dengan waktu tempuh sekitar tiga jam perjalanan
kendaraan umum. Pembangunan waduk ini sejak awal telah menuai berbagai protes
karena keterlibatan militer dan dan ganti rugi tanah yang rendah. Waduk
Kedungombo mulai dibangun tahun 1983 dan pada tahun 1989 menjadi sorotan
publik karena berbagai pelanggaran yang terjadi selama masa pembebasan tanah.
Banyak aktifis LSM, intelektual kampus dan rohaniawan baik nasional maupun
internasional yang mulai terlibat memberikan bantuan advokasi kepada penduduk
Kedungombo termasuk mahasiswa. Mahasiswa sekitar lokasi pembangunan waduk,
khususnya Solo, Salatiga dan Yogyakarta segera memberikan perhatian terhadap
kasus tersebut dengan membentuk Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan
Kedung Ombo (KSKPKO). Berbagai protes dilakukan untuk membela warga yang
tinggal di lokasi waduk. Protes dilakukan dengan mendatangi langsung pusat-pusat
kekuasaan antara lain Menteri Dalam Negeri, DPR, Gubernur, dan lain
sebagainya32. Kedungombo dapat dikatakan sebagai kawah candradimuka bagi
pembentukan militansi dan ketrampilan aksi menghadapi tekanan dari aparat
keamanan. Dalam kasus Kedungombo inilah ditemukan berbagai metode aksi yang
kelak mewarnai protes-protes mahasiswa menjelang turunnya Soeharto seperti
31
Wawancara dengan Untoro Hariadi, 9 Agustus 2008. Dalam kasus Bonar Tigor ini kemudian
mahasiswa mulai menciptakan lagu-lagu perlawanan setelah sebelumnya dalam setiap aksi
menyanyikan lagu perjuangan nacional seperti lagu Halo-Halo Bandung, Satu Nusa Satu Bangsa,
atau Maju Tak Gentar. Pada tahun-tahun ini, mahasiswa menciptakan lagu perlawanannya sendiri
seperti “Di Bawah Topi Jerami”; “Darah Juang” , “Satu Kata” dan lain sebagainya yang sebagian
besar diciptakan oleh mahasiswa Filsafat bernama John Tobing. Usul penciptaan lagu ini atas saran
Ariel Haryanto yang melakukan penelitian tesis atas kasus tersebut. Lagu “Darah Juang” merupakan
lagu yang paling dikenal oleh aktifis mahasiswa dan hampir selalu dinyanyikan ketika melakukan
demonstrasi. Afnan Malay, seorang mahasiswa Hukum UGM kemudian memodifikasi Sumpah
Pemuda menjadi Sumpah Mahasiswa Indonesia yang kalimatnya dirubah menjadi ; Berbahasa satu,
bahasa kebenaran; Berbangsa satu, bangsa yang cinta keadilan; Bertanah air satu, tanah air tanpa
penindasan.
32
Stanley, op cit hal 136-180.
53
pembentukan panitia aksi, penggunaan tali pengaman aksi, penggunaan poster, yelyel atau lagu-lagu perlawanan. Pada tahun-tahun berikutnya gerakan mahasiswa
Yogyakarta bergerak diantara advokasi dan pembentukan kelembagaan yang
menjadi cikal bakal gerakan oposisi di Indonesia.
Di luar kasus Bonar Tigor dan Kedung Ombo, terdapat satu kasus
mahasiswa yang
tidak langsung berhubungan dengan mahasiswa Yogyakarta,
yakni kasus Golput di Semarang pada tahun 1992. Kasus ini melibatkan mahasiswa
Universitas Diponegoro, yakni Poltak Ike Wibowo dan Lukas Luwarso yang
melakukan apel siaga kebangkitan nasional dengan mengkapanyekan Golput33.
Kasus ini terjadi di kampus Undip menjelang pemilu 1992 dan segera saja aparat
menjerat dengan pasal mengganggu ketertiban umum. Karena jarak YogyakartaSemarang yang tidak terlalu jauh, kasus ini memobilisasi mahasiswa Yogyakarta
untuk melakukan aksi solidaritas dengan protes-protes terbatas.
Di dalam kampus UGM sendiri ketidakpuasan terhadap kelembagaan intra
kampus sebagai produk NKK/BKK mulai membuncah pada tahun 1990 dengan
gagalnya konggres Mahasiswa yang kemudian melahirkan Komite Pembelaan
Mahasiswa (KPM). Sejalan dengan pertumbuhan kesadaran politik dan munculnya
militansi dikalangan mahasiswa, pada tahun 1990-an merupakan masa konsolidasi
gerakan mahasiswa.
Salah satu strategi yang menonjol dari pola gerakan
mahasiswa pada tahun 1990an adalah bergerak antara di dalam dan di luar kampus,
berserakan membentuk komite-komite aksi. Organ aksi mahasiswa menghindari
ketokohan yang kemungkinan akan mudah digebuk dan sesudah itu mati
sebagaimana yang terjadi pada tahun 1974 dan pada tahun 197834. Pembentukan
komite-komite juga untuk menghindari perangkap aparat. Jadi strategi ini semacam
peran gerilya yang muncul dalam komite aksi dan sesudah itu menghilang.
Sekalipun tokohnya bergerak dari satu organ-ke organ lain, namun aparat sulit
untuk menangkap siapa yang paling bertanggungjawab dalam setiap aksi karena
33
Lihat Lukas Luwarso, Bangkitlah Imajinasimu Indonesiaku, Risalah Pembelaan dihadapan
Persidangan di Pengadilan Negeri Semarang, 25 Oktober 1993
34
Kalau tahun 1974 dan 1978, begitu tokoh mahasiswa ditangkap, maka segera saja gerakan
mahasiswa mengalami kemunduran. Hal ini yang dihindari aktifis mahasiswa pada tahun 1990an
dengan membentuk komite aksi dan menghindari ketokohan. Wawancara Yuli Eko Nugroho, 5 Mei
2007.
54
kepemimpinan yang selalu berganti-ganti. Sekretariat gerakan juga tersembunyi
didalam kamar kost mahasiswa, sehingga sulit dilacak. Kadang-kadang sekretariat
justru berdekatan dengan tangsi militer seperti Sekretariat SMID di Jetis yang dekat
dengan markas Kodim Yogyakarta.
Pada 1990an di Yogyakarta terbentuk Forum Komunikasi Mahasiswa
Yogyakarta (FKMY). FKMY merupakan organisasi mahasiswa pertama yang
anggotanya lintas kampus tetapi bukan bagian dari organisasi mapan semacam
Cipayung. Kelompok ini langsung menusuk jantung kekuasaan Orde Baru dengan
amunisi utamanya adalah Kedung Ombo. FKMY sempat melakukan aksi ke
Menteri Dalam Negeri (Rudini) dan Taman Makan Kalibata untuk memprotes
pembangunan waduk Kedung Ombo. Selain organisasi mahasiswa yang lintas
kampus, organisasi ”partikelir” juga mulai muncul di kampus dengan isu yang
diangkat adalah kebijakan kampus. Di IAIN muncul KMPD (Keluarga Mahasiswa
Pencinta Demokrasi) dan di UGM muncul Dewan Mahasiswa. Pada tahun 1991,
beberapa bulan setelah mengadakan kongres yang pertama, FKMY mengalami
perpecahan. Aktivis dari UGM, UII, dan Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa
pada November 1991
membentuk SMY (Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta).
Adapun aktivis dari Institut Seni Indonesia (ISI), Universitas Janabadra, dan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) serta IAIN Sunan Kalijaga
membentuk Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta (DMPY). Selain itu,
sejumlah aktivis mahasiswa membentuk Komite Rakyat (KR) yang menggarap
sektor petani diantaranya Sugeng Bahagijo, Budiman Sudjatmiko yang pernah
menjadi ketua PRD. SMY dan KR merupakan satu kesatuan yang saling bahumembahu. Jika KR hendak melakukan aksi advokasi terhadap petani yang tergusur,
KR mengajak SMY untuk mengadakan aksi bersama. Demikian juga kalau SMY
mengadakan aksi di kampus, aktivis KR turut membantu. DMPY berasosiasi
dengan kubu Skephi di Jakarta, yang adalah gaya parlemen jalanan dan
empirisisme yang didominasi watak gerakan LSM yang praktis dan konkrit.
Sedangkan SMY yang berasosiasi dengan kubu Infight yang menonjol adalah
55
watak teoritik ideologis yang kuat yang menjadi ciri khas KS35. Kelompok DMPY
pada akhirnya nanti menjadi Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI),
sedangkan dan SMY pada akhirnya menjadi jaringan Persatuan Rakyat Demokratik
(PRD) melalui organ mahasiswanya, SMID. Tidaklah mengherankan kalau
kemudian dalam sejarah gerakan mahasiswa di Yogyakarta, kedua kelompok ini
terjadi perang dingin dalam perebutan pengaruh antar kampus sampai Mei 1998.
Meskipun aktifitas FPPI sudah berjalan lama, namun sebagai organ resmi
yang berskala nasional baru disepakati pada 13 Nopember 1998 di Magelang, jauh
sesudah Soeharto tumbang. Jauh hari sebelum menjadi FPPI, organ-organ dalam
jaringan kelompok ini telah aktif melakukan aksi-aksi dalam menuntut reformasi
dan melengserkan Soeharto. Beberapa organ-organ tersebut antara lain di
Yogyakarta dengan organ Pusat Perjuangan Pemuda Yogyakarta (PPPY),
Solidaritas Orang Pinggiran untuk Kemanusiaan (SOPINK), Front Aksi Mahasiswa
Peduli Rakyat (Fampera), Fropera. Kelompok ini memandang paham Sosialisme,
Islam dan Nasionalisme sebagai basis ideologi. Bahwa realitas politik di Indonesia
bersifat unik, karena itu ideologi-ideologi besar tidak relevan bagi gerakan politik
(Widjojo, 1999: 303). Di Yogyakarta kelompok ini memiliki basis di kampuskampus non UGM dan hanya sebagian fakultas di UGM saja yang menjadi basis
anggotanya.
Organisasi lain yang menjadi ”rival” dalam menggalang aksi adalah
LMND. Organ mahasiswa yang memiliki afiliasi dengan PRD. Kelompok ini
memilih ideologi Sosialis Demokratik Kerakyatan (Widjojo, 1999: 326). Kelompok
ini memiliki organisasi yang cenderung senafas dengan format yang "sentralisme
demokratik" (Widjojo, 1999: 327). Berbeda dengan FPPI, organ-organ yang
tergabung dalam kelompok ini memiliki pilihan bahasa yang sama serta isu-isu
besar yang sama. Secara organisasi, kelompok lebih rapi dibanding dengan FPPI.
LMND adalah organ aksi PRD setelah SMID mendapat pukulan keras dari aparat
keamanan. Dalam mengantisipasi "incaran" pihak keamanan, kelompok ini
menggunakan strategi memilih nama organ "sekali pakai", yaitu menggunakan
35
Irine H Gayatri ., "Arah baru Perlawanan Gerakan Mahasiswa 1989-1993", dalam Widjojo,
Muridan S. (et.al) [1999] Penakluk Rezim Orde Baru, Gerakan Mahasiswa '98, Jakarta: Sinar
Harapan, Jakarta
56
nama kelompok terntentu hanya pada saat aksi isu tertentu pula dan setelah itu,
organ tersebut tidak terdengar lagi. Strategi ini terutama dijalankan setelah
peristiwa 27 Juli 1996 hingga akhir tahun 1997. Adapun organ-organ yang
tergabung dalam kelompok di Yogyakarta muncul Komite Nasional Penegak
Demokrasi (KNPD), Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP)
Diluar kedua kelompok besar tersebuit diatas, terdapat organ mahasiswa
yang tidak berafiliasi dengan keduanya. Kelompok ini cenderung mandiri tidak
terkooptasi oleh pengaruh kedua kelompok dan cenderung memilih isu yang
berhubungan langsung dengan mahasiswa seperti kenaikan SPP, pemilihan rektor,
pemecatan mahasiswa, dan lain sebagainya. Tanggal 26 Oktober 1994 Komite
Penegak Hak Politik Mahasiswa (Tegaklima) melakukan protes terbuka kepada
rektorat atas pelantikan 18 Dekan dan 20 Kepala Pusat Studi yang ada di UGM. Ini
adalah protes ujicoba sebelum mereka melakukan protes yang lebih berani dengan
menyentuh persoalan-persoalan politik36. Dua belas hari (9/12/1994) sesudah
”ujicoba”politik tersebut, Tegaklima kembali melakukan protes dengan Hak Asasi
Manusia sebagai amunisi , isu yang dianggap sensitif oleh pemerintah Orde Baru
pada waktu itu. Protes ini dilakukan atas dasar berbagai pelanggaran hak asasi
antara lain pembredelan pers mahasiswa, pemecatan dosen di UKSW,
pengangkatan pejabat kampus, kenaikan SPP, pemecatan mahasiswa ITB dan lainlain37. Kelompok inil tetap mengusung isu pendidikan sebagai platform politiknya.
Inilah cikal bakal pembentukan Dewan Mahasiswa di UGM yang berbeda dengan
dua kelompok diatas. Pada tanggal 29 Desember 1994 untuk pertama kalinya sejak
15 tahun, mahasiswa UGM memiliki Dewan Mahasiswa38. Pendirian Dema
merupkan protes terhadap berbagai organisasi intra kampus yang selama ini
dianggap mandul dalam memperjuangkan aspirasi mahasiswa. Lembaga produk
NKK/BKK dianggap hanya perpanjangan tangan rektorat untuk memotong
partisipasi mahasiswa. Dema adalah lembaga partikelir,oleh karena itu tidak
mendapat
dukungan fasilitas dari Universitas. Sekretariat pun harus menyewa
36
Harian Merdeka, 27 /10/ 1994
Selebaran aksi tanggal l9 Desember 1994
38
Dewan Mahasiswa atau Dema adalah organisasi intera kampus yang memiliki otonomi dan
memiliki kedudukan sejajar dengan rektorat. Wawancara dengan Arie Sujito, 1 Maret 2007
37
57
diluar kampus dengan iuran antar pengurus. Namun demikian embrio perlawanan
telah diletakkan oleh lembaga ini terhadap berbagai kemapanan kampus. Pendirian
Dema segera diikuti oleh berbagai kampus di Yogyakarta antara lain IAIN dan
UAJY.
Berbeda dengan Dema yang didirikan untuk memberikan respon terhadap
kelembagaan intra kampus yang cenderung pasif, sebagian mahasiswa yang mulai
terlibat dalam persoalan-persoalan politik mulai membentuk Solidaritas Mahasiswa
Indonesia Untuk Demokrasi (SMID). Sekalipun berasal dari kampus yang sama
(UGM), antara SMID dan Dema memiliki basis aktifis yang berbeda, kalau SMID
berasal dari lingkungan mahasiswa Filsafat, sedangkan Dema berasal dari
lingkungan mahasiswa Fisipol39. Pengelompokkan yang berlatar belakang kampus
atau fakultas, nampaknya menjadi sesuatu yang alamiah dalam gerakan mahasiswa
di Yogyakarta. Pengelompokkan ini kadangkala berkaitan dengan eksistensi
masing-masing antar kampus atau antar fakultas.
Kekuatan MS di Yogyakarta antara lain didukung LSM, KS, pers
mahasiswa, dan organisasi mahasiswa yang memiliki sumbangan besar dalam
menggerakkan aksi-aksi damai pada tahun 1998 dengan berujung ”Pisowanan
Agung” tanggal 20 Mei 1998. Peristiwa akbar tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi
memiliki hubungan antar masing-masing kelompok. Aksi menjelang kejatuhan
Soeharto yang berlangsung damai di Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari peran
berbagai kelompok dari masyarakat Yogyakarta. Gerakan mahasiswa tetap menjadi
penyumbang paling besar dalam membangun militansi perlawanan ditengah
berbagai tekanan yang gencar dilakukan oleh aparat. Namun demikian sumbangan
kelompok sipil lainnya juga tidak dapat dikatakan sedikit. LSM misalnya yang
memiliki kemampuan jaringan dan sumberdaya dalam pembentukan Yogyakarta
damai. Kelompok LSM
bersama-sama dengan kelompok sipil lainnya seperti
agamawan,
kampus,
intelektual
kelompok
lintas
SARA,
bahu-mambahu
mengembangkan prakarsa anti kekerasan sehingga sekalipun muncul berbagai
bentrokan antara mahasiswa dengan aparat keamanan, Yogyakarta tetap aman.
39
Namun kadang-kadang pembedaan itu tidak mutlak,misalnya Andi Arief ketua SMID berasal dari
Fisipol sedangkan Harry Prabowo aktifis Dema berasal dari Filsafat. Pengelompokkan ini biasanya
berasal dari latar belakang pergaulan masing-masing aktifis dan kaderisasi di dalam kampus.
58
Sekalipun antar organisasi mahasiswa, LSM, pers mahasiswa bahkan
kelompok diskusi memiliki
metode sendiri dalam bekerja mengembangkan
kekuatan sipil, tetapi pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Orde Baru mereka dapat
berdiri dalam satu platform politik, menurunkan Soeharto. Agenda ini memang
tidak dapat dibangun sekejap, tetapi memerlukan proses yang panjang dan
berkesinambungan. LSM yang memiliki basis komunitas di desa-desa memiliki
tugas untuk menjelaskan kesadaran perubahan melalui pendidikan politik dan
pertemuan dengan masyarakat. Dukungan kesadaran dari publik ini
yang
kemudian menumbuhkan simpati dari masyarakat ketika aksi-aksi demonstrasi
mahasiswa mengalami represi dari aparat keamanan40. Aksi-aksi menjelang
kejatuhan Soeharto tidak dapat dilihat sebagai proses yang tunggal, tetapi
merupakan proses kolektif antar masyarakat sipil di Yogyakarta sehingga tercapai
gerakan 1 juta massa pada tanggal 20 Mei 1998.
4.3. Ikhtisar
Salah satu unsur yang mendorong lahirnya gerakan sosial adalah situasi
politik yang melingkupi dimana gerakan sosial hadir. Tujuan dari gerakan sosial
adalah ingin mengubah situasi politik menjadi lebih bermakna bagi kelompok atau
organisasi gerakan. Faktor lain yang tidak kalah penting bagi lahirnya gerakan
sosial adalah agen penggerak gerakan, atau faktor pencetus. Faktor ini dapat berupa
kepemimpinan atau kelas yang menjadi pelopor gerakan.
Sekalipun gerakan MS di Yogyakarta belum menjadi protes yang terbuka
dan bersifat masif, namun sebagai gerakan oposisi yang mengarah ke protes telah
mulai dibangun. Misalnya sebagian kalangan LSM mengembangkan pemberdayaan
ekonomi, wacana golput, sampai dengan menolak intervensi negara dalam kampus.
Sekalipun berbagai aktor tersebut belum memiliki platform yang tunggal, namun
seluruh tujuan gerakan tertuju pada upaya mempersoalkan kebijakan politik
pemerintah Orde Baru .
40
Dalam sebuah bentrok mahasiswa dengan aparat keamanan tahun 1997 di UGM, masyarakat
pedagang kaki lima memberikan dagangannya (es, aqua, teh botol, dll) untuk mengobati mahasiswa
yang terkena gas air mata. Catatan harian tidak diterbitkan , 3 Juli 1998.
59
Download