BAB IV GERAKAN MASYARAKAT SIPIL MASA ORDE BARU DI YOGYAKARTA 4.1. Yogyakarta Dalam Konteks Sosial Politik Yogyakarta, propinsi dengan luas wilayah paling kecil di Indonesia berada tepat di jantung Pulau Jawa. Yogyakarta dalam sejarah perkembangan geopolitik di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan kedaulatan Indonesia. Ke sinilah ibukota Republik dipindahkan dari Jakarta oleh Soekarno – Hatta pada tanggal 4 Januari 1946 disaat-saat genting revolusi nasional1. Peranannya dalam periode genting revolusi dan klaim sejarah yang berbeda dengan daerah lain, kemudian menempatkan Yogyakarta sebagai daerah istimewa. Dalam dinamika politik nasional, Raja Kraton Ngajogjakarta Hadiningrat senantiasa menempati posisi penting. Hampir dalam setiap perhelatan politik di Indonesia, Keraton Yogyakarta menjadi salah satu tokoh yang harus diperhatikan oleh elit politik nasional2. Peristiwa seperti maklumat 5 September 1945, perpindahan ibukota negara, pembentukan komando pembebasan Irian Barat, sampai dengan Pisowanan Agung 20 Mei 1998, telah menjadi contoh bagaimana Yogyakarta (dan rajanya) senantiasa menjadi bagian penting dari setiap peristiwa nasional. Tidak hanya dalam urusan politik Yogyakarta memiliki pengaruh kuat, lebih jauh dan lebih dalam lagi dalam sosial budaya masyarakat Nusantara. Jawa adalah etnis terbesar yang mendiami hampir seluruh pulau-pulau di Indonesia, dan bagi 1 Perpindahan ini semakin mengukuhkan posisi Yogyakarta dalam kancah politik nasional setelah Maklumat 5 September 1945,yang menyatakan Ngajogjakarta Hadiningrat (Kerajaan Yogyakarta) merupakan bagian dari NKRI yang berstatus istimewa. Lihat Selo Soemardjan [1981] Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 2 Sebagai contoh posisi Sultan sebagai anggota Dewan Pembina Golkar dan pencalonannya sebagai calon Presiden dari Golkar pada tahun 2003, dan Presiden di Pemilu 2009 menjadi polemik baik di Yogyakarta di tingkat nasional. Dalam wawancara dengan Sultan, konon pernah diminta secara pribadi oleh SBY untuk menjadi Wakil Presiden pada pemilu 2009 yang lalu, Wawancara Sri Sultan HB X, 19 Oktober 2008 di Kraton Kilen. 36 etnis Jawa, kiblat kebudayaan (sekaligus kepemimpinan) adalah Keraton Yogyakarta. Raja Yogyakarta bukan hanya pemimpin politik di wilayahnya (Gubernur), tetapi juga merupakan pemimpin tradisional masyarakat Jawa. Inilah salah satu sisa dari feodalisme Jawa yang masih kukuh dan berwibawa dibandingkan dengan kota tetangganya, Solo3. Pengaruhnya melebar dalam berbagai dukungan dan sambutan terhadap kehadiran Sultan di daerah-derah yang memiliki komunitas Jawa paling besar seperti Sumatra Utara, Lampung, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, dan lain sebagainya 4. Di luar soal politik dan budaya, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota pendidikan yang menjadi benih kepemimpinan di berbagai daerah,seperti Gubernur, Bupati, ketua partai, dan lain sebagainya. Kesadaran tentang pentingnya menyiapkan sumber daya kader bangsa telah berlangsung sejak jaman revolusi kemerdekaan, jauh sebelum pembentukan universitas tertua di Indonesia, Gadjah Mada. Sultan Yogyakarta pada waktu itu, Sri Sultan HB IX, menyadari bahwa pendidikan sangat penting bagi perkembangan sebuah masyarakat, sekalipun itu kontraproduktif terhadap keyakinan feodalisme yang mapan pada waktu itu. Melalui pengembangan beberapa badan pendidikan di Yogyakarta, Sultan telah menancapkan tonggak perubahan yang nantinya akan dapat membahayakan eksistensi feodalisme yang telah berkembang ratusan tahun. Namun demikian bahwa kemajuan dan kemodernan hanya dapat dicapai melalui pendidikan begitu disadari oleh Sultan HB IX yang merupakan anak kandung pendidikan Eropa5. Perkembangan MS tidak dapat dilepaskan dari peran dan posisi golongan terpelajar sebagai produk pendidikan. Disinilah kelas menengah sebagai tulang punggung gerakan sosial (baru) berada. MS adalah produk masyarakat egaliter yang merupakan nilai (value) utama kaum terpelajar (Gidden,1993). 3 Di berbagai daerah terdapat paguyuban Jawa yang hampir seluruhnya berkiblat ke Yogyakarta sekalipun leluhurnya bukan berasal dari Yogyakarta. Di Sumatra ada dua paguyuban Jawa, yakni Pujakusuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatra) dan Pujasuma (Paguyuban Jawa Sumatra). Kedua paguyuban ini seluruhnya berkiblat ke Yogyakarta, secara khusus Sri Sultan HB X sebagai pemimpin budaya. Dalam acara-acara khusus yang diselenggarakan oleh paguyuban-paguyuban tersebut selalu mengundang Sultan sebagai tokoh sentral. Di wilayah lain seperti Kalimantan dan Sulawesi juga berlangsung hal yang sama. Catatan harian penelitian, 12 Desember 2008. 4 Catatan harian penelitian sepanjang Januari –Maret 2008. 5 Sultan pada tahun 1930 kuliah di Rijkuniversiteit (sekarang Universiteit Leiden), Belanda. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Hamengkubuwana_IX 37 Perkembangan MS di Yogyakarta tidak hanya ditelusuri dari struktur sosial kotemporer, tapi keberadaannya dapat dilihat sejak masa kolonial, khususnya sejak jaman politik etis. Menelusuri jejak MS sangat penting untuk melihat sejauh mana peran MS dalam konteks lokal, karena dengan demikian kita akan melihat tradisi nilai yang dikembangkan masyarakat pada jamannya. Namun demikian Bab ini tidak akan membahas terlalu jauh sampai jaman kolonial, dan lebih fokus pada pertumbuhan dan perkembangannya sejak masa Orde Baru. Tiga alasan mengapa fokus bahasan pada bab ini tidak akan melangkah jauh sampai masa kolonial dan hanya fokus pada perkembangannya seputar pemerintahan Orde Baru, pertama adalah gerakan MS adalah produk dari pemerintahan otoriter. MS diletakkan sebagai kekuatan oposisi yang berdiri diseberang dominasi negara. Dengan wajah politik otoriter, sesungguhnya selama Orde Baru memerintah telah menjadi ladang subur gerakan sosial oposisi. Kedua, Gerakan MS adalah produk dari kesadaran kelas menengah tentang perlunya ekspresi politik yang lebih bebas. Di sinilah ekspresi politik dimanisfestasikan ketika rezim menyumbatnya melalui berbagai kebijakan. Ketiga, fokus kajian ini adalah transisi demokrasi pasca Orde Baru (Hikam, 1999). Dengan sendirinya melihat jauh kebelakang pada masa kolonial dianggap kurang relevan. Yogyakarta selama Orde Baru juga menjadi kiblat gerakan oposisi selain Jakarta dan Bandung. Di kota inilah Partai Rakyat Demokratik, sebuah embrio gerakan oposisi sipil dibentuk oleh anak-anak muda terpelajar lintas universitas. Pertumbuhannya dipengaruhi oleh iklim intelektual dan sosial yang terjadi di sekitar Yogyakarta, misalnya penggusuran, penangkapan mahasiswa, pembunuhan aktifis buruh dan lain sebagainya. Iklim akademikpun juga memungkinkan perdebatan-perdebatan sosial berkembang dengan baik. Tidak mengherankan kalau sepanjang baru, Yogyakarta melahirkan berbagai gagasan oposisi yang bersiasat antara represi dan perlawanan. 4.2. Pertumbuhan Gerakan Masyarakat Sipil di Yogyakarta Kemelut politik yang ada di Jakarta pada tahun 1965/1966 terlambat untuk diketahui di daerah. Semua kebenaran informasi masih simpang siur didengar oleh 38 rakyat Yogyakarta. Secara umum keadaan komunikasi belum begitu baik, sehingga peristiwa politik seputar tanggal 1 Oktober 1965 dipahami rakyat di daerah secara samar-samar. Bagi golongan kiri, sebagian berita penangkapan para jendral dianggap sebagai penyelesaian revolusi dan perlindungan terhadap pemimpin nasional, Bung Karno. Bagi golongan non komunis, tindakan golongan kiri dianggap sebagai tindakan yang sudah keterlaluan, sehingga harus dibalas6. Nampaknya angkatan bersenjata membiarkan hal ini dengan tidak mengambil tindakan pencegahan terhadap kemungkinan bentrokan berdarah di berbagai daerah. Di pedalaman bentrokan orang komunis dan non komunis sudah sering terjadi, dan diantara masing-masing kelompok saling memprovokasi. Dari penelitian dan kesaksian berbagai narasumber menunjukkan bahwa seringkali antar golongan terlibat konflik berdarah, dengan pembiaran oleh angkatan perang. Di berbagai lokasi seringkali antara golongan komunis dengan golongan non kemunis saling mengancam untuk menyerang sebagaimana kesaksian berikut7 : ” ....Dulu antara orang-orang kom dan non kom (komunis) saling tantang-tantangan (provokasi) di sungai itu (sambil menunjuk sungai). Orang kom disebelah timur, dan orang non kom disebelah barat. Mereka menyuruh masing-masing menyeberang dan bertarung. Kemudian pada suatu hari tentara masuk ke sebelah timur sungai dan menyewa rumah untuk dijadikan markas. Tidak berapa lama kemudian golongan non kom menyerbu ke sebelah timur sungai dengan sandi ”operasi tumpes”. Yakni pembunuhan kepada laki-laki dewasa yang tinggal di timur sungai....” Masa-masa setelah peristiwa Oktober 1965 adalah sejarah paling gelap dalam politik Indonesia. Tidak ada yang benar dan salah atau dengan cara bagaimana golongan tertentu menghukum golongan lain. Yogyakarta juga tidak luput dari peristiwa tersebut. Banyak peristiwa pelanggaran terhadap kemanusiaan yang dapat terekam dalam masa-masa genting 6 Tindakan keterlaluan ini misalnya pembentukan pengadilan partikelir untuk mengadili mereka yang dianggap berseberangan dengan PKI . P3PK UGM pernah melakukan penelitian tentang hal ini terhadap Darmosenjoyo, warga Prambanan, Sleman pada tahun 1965. Darmosenjoyo diculik dari tempat kerjanya dan dituduh sebagai pengikut PNI dan bersekutu dengan Amerika.Dia juga dituduh sebagai pengikut Katamso. PKI membentuk pengadilan lengkap dengan hakim-hakim dan sejumlah penuntut umum. Darmosenjoyo dinyatakan bersalah tetapi diberi kesempatan untuk naik banding.Meskipun demikian permintaannya naik banding ditolak dan ia dijatuhi hukuman mati. Lihat, Robert Cribb (Edt), [2003] The Indonesian Killings; Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Matabangsa, Yogyakarta, hal 229.Lihat juga Soegijanto Padmo [2000] , Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965, KPA-Media Presindo, Yogyakarta 7 Catatan tidak dipublikasikan (6 April 2006) 39 tahun 1965/1966. Dalam situasi penuh ketidakpastian, banyak dari golongan muda yang juga menjadi korban. Kesaksian Arief Budiman dalam sebuah wawancara untuk penelitian ini menceritakan sebagai berikut8; ”Saya punya teman seniman, namanya Usama. Dia punya teman cewek dari UGM yang aktifis CGMI. Mereka serang berdebat, satu menggunakan teori-teori sosialisme marxisme dan satunya pakai teori liberalisme humanisme.Mereka sering berdebat,tetapi saling mengharagai,sampai seuatu ketika perempuan teman debatnya ini ditangkap oleh RPKAD dengan dibantu oleh Pemuda Islam Indonesia. Mereka ditahan disebuah gedung SD.Tiap malam atau seminggu sekali ketika Soekarno pidato berapi-api, RPKAD datang minta 10 orang untuk diseksekusi di pinggir sungai. Pada suatu kali Usama yang bertugas jaga, dan RPKAD datang meminta 10 orang untuk dieksekusi malam itu. Dipilih secara random dan nama teman ceweknya tersebut ikut dalam rombongan. Hati Usama tidak tega melihat kejadian tersebut.....” Kesaksian yang diberikan Budi Santosa, mantan anggota IPPI (organisasi pelajar yang berafiliasi ke PKI) lebih mengerikan dari yang diatas9 : ”Umumnya mereka yang dituduh sebagai anggota PKI dan simpatisannya akan dibawa kesebuah tempat di Gunungkidul. Mereka akan digiring kesebuah luweng (lubang seperti sumur yang sangat dalam dan banyak terdapat di daerah kars) dengan mata tertutup dan tangan terikat. Di leher mereka diikat tali yang menghubungkan antara satu dengan yang lain. Sesampai di sebuah luweng mereka disuruh lompat satu persatu,sampai yang lain tertarik ikut masuk lubang”. Kejadian tahun 1965/1966 adalah gambaran paling kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Secara perlahan dengan tetap mengandalkan teror terhadap kemanusiaan, Presiden Soeharto memusatkan kekuasaan sepenuhnya dalam gengamannya10. Dasawarsa pertama pemerintahan Soeharto, Yogyakarta tidak banyak terlibat dan merekam peristiwa politik nasional. Bulan madu pemerintahan Orde Baru dengan Yogyakarta dapat ditemui dengan kesediaan Sri Sultan HB IX sebagai wakil Presiden pada tahun 1971. Ini merupakan fenomena luar biasa karena Sultan merupakan figur yang sangat dihormati dan bersedia menjadi Wakil Presiden dari seorang Jendral yang tidak menonjol karier politiknya sebelum Soekarno jatuh. Peristiwa ini menjadi indikasi kemesraan Yogyakarta dengan pemerintahan 8 Catatan tidak dipublikasikan (,7 Mei 2007), lihat juga Film Dokumenter Kado Buat Rakyat Indonesia, Komunitas Seni, 2004 9 Catatan tidak dipublikasikan (9 April 2006) 10 John Roosa [2008] Dalih Pembunuhan Masal; Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, ISSI –Hasta Mitra, Jakarta 40 Soeharto yang berpengaruh terhadap lanskap gerakan pelajar. Yogyakarta tidak banyak merekam kejadian-kejadian penting di Jakarta dan Bandung pada tahun 1974 dan 1978 dan termasuk memberikan dukungan solidaritas atas aksi-aksi mahasiswa. Barangkali disebabkan posisi Sultan HB IX yang menjadi bagian pemerintahan Orde Baru. Tahun 1974 dan 1978, peristiwa Malari dan buku putih ITB yang menjadi topik hangat di berbagai media, hanya sedikit memobilisasi mahasiswa Yogyakarta untuk terlibat. Selebihnya hingar bingar kedua peristiwa tersebut lebih banyak di Jakarta dan Bandung11. Penelitian terhadap berbagai media lokal, khususnya Kedaulatan Rakyat dan Berita Nasional yang meliput peristiwa Malari dan Buku Putih ITB, jarang memberitakan aktifitas politik mahasiswa Yogyakarta, sekalipun hubungan antar kota sudah mulai terbentuk. Satu-satunya politik pengendalian di dalam kampus yang cukup menonjol pada tahun 1978 adalah dibekukannya surat kabar ”Gelora Mahasiswa” di UGM, dan ”Derap Mahasiswa” di IKIP Yogyakarta bersamaan dengan peristiwa buku putih ITB. Selebihnya persoalan masalah-masalah politik yang berkembang lebih banyak disuplai dari luar Yogayakarta seperti Petisi 50, pembreidelan media, pelarangan buku, pelabelan eks tahanan politik, dan lain sebagainya12. Terdapat beberapa kemungkinan mengapa masalah ini tidak mendapat respons dari para aktifis kampus di Yogyakarta, pertama berkaitan dengan kedudukan Yogyakarta yang relatif jauh dari pusat kekuasaan (Jakarta) sedangkan komunikasi dan transportasi belum begitu baik. Hal ini tentu berbeda dengan Jakarta dan Bandung yang memiliki lokasi dekat dengan Jakarta. Ketika demonstrasi tahun 1966, kedua kota inipun secara intensif telah menjadi bagian dari dinamika gerakan mahasiswa saat itu. Pendek kata, gerakan masyarakat sipil yang diwakili oleh mahasiswa pada tahun 1966 sampai dengan tahun 1980-an adalah milik Bandung dan Jakarta. Di Yogyakarta lebih kental nuansa akademiknya ketimbang politiknya. Kedua,karena 11 Dalam wawancara dengan aktifis mahasiswa angkatan 1978, hal tersebut dikarenakan posisi dilematis mahasiswa Yogyakarta dimana Sultan menjadi bagian dari Orde Baru. Wawancara dengan Djuwarto, 7 September 2007 12 T. Mulya Lubis dan Fauzi Abdullah [1981] Langit Masih Mendung; Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1980., Sinar Harapan – LBH, Jakarta. Orde Baru nampaknya secara perlahan mulai mengukuhkan kekuasaannya melalui berbagai kebijakan yang bertumpu pada ”stabilitas” mulai dari regulasi pemerintahan melalui UU No. 5/1975 dan UU No. 5/1979 sampai dengan pembentukan lembaga ekstra judicial seperti Kopkamtib, Opstib dan Opsgat. 41 kedudukan Sultan yang sangat di hormati oleh masyarakat Yogyakarta, sedangkan Sultan menjadi bagian dari pemerintah Orde Baru. Ornop sebagai embrio kekuatan ekstra parlementer juga mulai tumbuh di Jakarta dan Bandung. Misalnya LP3ES yang berdiri tahun 1976, YLBHI ( 1970), LSP (1975), Bina Swadaya (1974) dan lain sebagainya. Pendek kata, Yogyakarta sampai tahun 1980, belum menjadi pusat bagi pertumbuhan gerakan MS secara masif. Pembangunan institusi pendidikan pada awal-awal kemerdekaan telah menempatkan Yogyakarta sebagai basis pendidikan selain Jakarta dan Bandung. Pada tahun-tahun berikutnya berdiri berbagai kampus yang semakin mengokohkan Yogyakarta sebagai kota pendidikan, sebut saja Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada tanggal 31 Agustus 1973, IAIN Sunan Kalijaga 15 Juli 1965, Sanata Dharma tanggal 17 Desember 1955,dan berbagai perguruan tinggi lainnya menyusul berdiri yang sampai tahun 2005 mencapai jumlah yang sangat fantastis 137 buah, 12 buah di antaranya negeri dan 125 di antaranya swasta. Kuantitas lembaga pendidikan yang demikian tentu memposisikan Yogyakarta sebagai bagian penting dari aktivitas politik MS. Kasus pertama yang menyentuh kemanusiaan dan sekaligus membangunkan masyarakat Yogyakarta dari tidur lelap stabilitas politik Orde Baru adalah kasus Sum Kuning. Sum Kuning adalah nama seorang gadis penjual telor yang cantik berasal dari Godean, sebuah kecamatan di sebelah barat Yogyakarta. Sum Kuning diperkosa oleh anak seorang pembesar lokal (Pakualam) pada tanggal 18 September 197013. Dalam perkembangan kasus, mereka yang memperkosa Sum Kuning malah dibebaskan, sedangkan Sum Kuning sendiri dipenjara. Kasus Sum Kuning memang tidak menggerakkan rakyat Yogyakarta untuk melakukan protes, tetapi bagi rakyat Yogyakarta kasus Sum Kuning telah menunjukkan sebuah gejala arogansi kekuasaan yang bersumber dari pusat kekuasaan. Kasus Sum Kuning menunjukkan wajah kekuasaan Orde Baru yang sesungguhnya, yakni hukum 13 Kasus ini membuat heboh masyarakat Yogyakarta, kemudian diangkat ke layar lebar dalam film yang berjudul Perawan Desa pada tahun 1978 oleh Sutradara Slamet Rahardjo. Nama asli Sum Kuning adalah Sumarijem. Dokumen kasus LBH Yogyakarta tahun 1978, wawancara dengn beberapa narasumber 42 menjadi alat kekuasaan. Kalau di Bandung pada tahun 1970 muncul anarkisme massa yang dipicu arogansi taruna Akademi Polisi yang melakukan penganiayaan terhadap mahasiswa Bandung karena kalah sepakbola pada tanggal 6 Oktober 1970, di Yogyakarta muncul kasus Sum Kuning. Keduanya menjadi katalis bagi ”kebencian” terhadap arogansi militer dan kekuasaan Orde Baru. Namun demikian kasus tersebut lantas tenggelam begitu saja, tapi ingatan kolektif rakyat Yogyakarta terhadap kasus tersebut tidak akan pernah hilang. Sejak pemberlakukan NKK/BKK oleh Menteri pendidikan Daoed Jusoef, praktis kehidupan politik di dalam kampus menjadi lumpuh. Sistem pengajaran diubah secara drastis, organisasi mahasiswa dibonsai, dan dengan demikian praktis Universitas hanya menjadi pabrik intelektual. Daoed Jusoef dalam sebuah wawancara dengan Majalah Tempo memberikan alasan tentang kebijakan dibidang pendidikan yang sangat represif sebagai berikut14; ”....dengan tindakan skorsing dan pemecatan,apa yang kami pertaruhkan? Kami ingin membina kampus menjadi masyarakat ilmiah......Hal ini bukan karena mereka memiliki pandangan politik yang berbeda dari pemerintah, tetapi karena melanggar aturan masyarakatnya. Yang dimaksud aturan akademik sekarang,bukan hanya mengikuti kuliah dengan baik,tapi ikut pula menciptakan suasana yang kondusif. Jadi Perguruan Tinggi bukan hanya tempat mendengarkan kuliah, tapi sebagai satu lingkungan hidup yang memungkinkan ilmu berkembang dalam artian proses...”. Gejala birokratisasi dan intervensi terhadap institusi lembaga pendidikan sudah terlalu jauh sampai pemerintah ikut campur dalam menentukan gelar Doctor Honoris Causa,pencabutan subsidi kepada universitas, pemecatan pejabat kampus seperti dalam kasus Chris Siner Key Timu, sampai keterlibatan rektor menentukan isi pidato pengukuhan guru besar15. Peran politik mahasiswa dikendalikan melalui berbagai macam cara, mulai penempatan sistem kridit semeter, pengendalian kelembagaan kampus, membuang politik aliran dari dalam kampus, memecat 14 Tempo,13/ 12/1980 Chris Siner Key Timu adalah salah seorang penandatangan Petisi 50 yang diintimidasi oleh pemerintah Orde Baru untuk dikeluarkan dari jabatannya di Universitas Atma Jaya Jakarta pada tanggal 28 Juli 1980. Wawancara pendahuluam untuk persiapan penelitian dengan Fauzi Abdullah tanggal 4 Mei 2008 15 43 mahasiswa, sampai dengan penempatan pejabat-pejabat kampus yang pro kekuasaan16. Aktivitas politik di luar kampus pun nasibnya tidak jauh berbeda. Orde Baru menciptakan organisasi payung yang ditujukan untuk memangkas kritisme mahasiswa. Pertama-tama organisasi aliran yang berperan penting dalam menumbangkan Orde Lama dikonsolidasi melalui pertemuan Cipayung pada tanggal 22 Januari 1972. Pertemuan ini yang kemudian menghasilkan kelompok Cipayung yang terdiri dari lima organisasi mahasiswsa yaitu HMI, PMII, GMKI,PMKRI, dan GMNI. Satu tahun setelah kelompok Cipayung lahir, pada tanggal 23 Juli 1973, Komite Nasional Pemuda Indonesia dideklarasikan dengan David Napitupulu, seorang tokoh Golkar, sebagai ketua umum pertama. KNPI adalah organisasi payung pemuda yang memiliki pengaruh sampai tingkat kabupaten. Ini merupakan bagian dari strategi Orde Baru dalam rangka membangun korporatisme negara. Pada tahun-tahun berikutnya setelah 1980, akibat depolitisasi di dalam dan diluar kampus, mahasiswa mulai mencari cara baru untuk menumpahkan kegelisahan kritisnya sekaligus membangun strategi untuk menumbuhkan kembali basis kesadaran politik. Mulai masuk ke medio 1980, mahasiswa mendirikan kelompok-kelompok kecil mahasiswa yang bersifat independen diluar pengaruh birokrasi kampus, secara swadaya yang disebut dengan Kelompok Studi (KS). Kelompok Studi (KS) menjadi gejala baru di kalangan mahasiswa sebagai cara untuk mencari alternatif terhadap kebuntuan politik dalam kampus dan sekaligus cara golongan terpelajar penyampaikan protesnya (Tarrow, 1998). Nalar intelektual yang tunggal dan hegemonik membuat bosan para mahasiswa,kemudian mereka mulai mendirikan KS untuk mendiskusikan berbagai persoalan sosial politik yang tidak didapatkan dari kampus. Pertama-tama KS muncul di Jakarta dengan nama Kelompok Studi Proklamasi pada tahun 1983. Kelompok ini dipelopori oleh Denny JA, kemudian di UI juga berkembang komunitas yang sama 16 Setelah kepemimpinan Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, UGM dipimpin oleh Prof. Dr. Muhammad Adnan (1990-1994). Menurut para mahasiswa yang diwawancarai untuk kepentingan penelitian, semenjak UGM dipimpin oleh Prof. Dr. Muhammad Adnan aktifitas politik mahasiswa sering diberangus. Wawancara Dadang Juliantara tanggal 7 Juli 2008 44 dengan nama Lingkar Studi Indonesia (LSI). Di Bandung muncul Kelompok Studi Pertanahan, Kelompok Diskusi Sabtu, Thesa, Kelompok Sukaluyu, dan Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK)17. Di Yogyakarta perkembangan KS sangat pesat. Pertama kali yang mempelopori KS adalah Dasakung yang melakukan penelitian tentang fenomena kumpul kebo diantara mahasiswa Yogyakarta dan kemudian dipublikasikan Kompas tanggal 9 Juni 1984. Penelitian ini membuat “geger” masyarakat Yogyakarta sekaligus melambungkan entitas intelektual baru, yakni Kelompok Studi. Setelah KS Dasakung, muncul berbagai KS antara lain; KS Teknosofi, KS Girli, KS Menghitung Bintang, KS F 16, KS Rode, KS IAIN, KS Palagan dan lain sebagainya. Sampai tahun 1986 di Yogyakarta tercatat ada 20 KS yang berasal dari berbagai kampus18. KS tumbuh dalam situasi kehidupan kampus yang tertutup terhadap gagasan pembaruan dan sekaligus jauh dari realita sosial yang berkembang. KS memiliki beberapa ciri yang menonjol antara lain ; pertama, KS memiliki tingkat keswadayaan yang tinggi. Mereka tumbuh dalam komunitas mahasiswa yang sepenuhnya disokong oleh mahasiswa sendiri. Biasanya sekretariat KS juga sekaligus tempat tinggal (kost) mahasiswa. Sebagai contoh adalah KS Rode yang ada di Jalan Kusumanegara Yogyakarta yang sekaligus menjadi tempat kost para aktifis KS19. Kedua, KS independen atau tidak memiliki hubungan sama sekali dengan birokrasi kampus dan organisasi mahasiswa yang sudah mapan, khususnya kelompok Cipayung dan KNPI. KS berdiri justru atas kegelisahan dan sekaligus perlawanan terhadap seluruh infrastruktur mahasiswa yang ada saat itu. Dengan kemandirian yang dimiliki, KS dapat bergerak secara lentur mengikuti perkembangan situasi, pun harus bubar setiap saat. Beberapa KS dapat bubar dan membentuk lagi sesuai dengan kebutuhan mahasiswa sendiri. Ketiga, KS merupakan satu unit intelektualisme kelas menengah yang mengembangkan aksi dan refleksi sebagai bagian dari atifitasnya. Sebagai contoh KS Girli yang melakukan pendampingan terhadap anak-anak jalanan selain juga 17 Wawancara dengan Noer Fauzi, 2 Agustus 2008 Majalah TEMPO No. 8 Tahun XIX – 22 April 1989 19 KS Rode kebanyakan berasal dari aktifis mahasiswa UII, khususnya Fakultas Hukum. Sekretariat ini memegang peranan penting bagi pertumbuhan gerakan mahasiswa di Yogyakarta tahun 1990an. 18 45 mengembangkan diskusi. KS Menghitung Bintang yang melakukan pendampingan terhadap masyarakat kali Code dan lain sebagainya. Dengan metode aksi refleksi ini, banyak para aktifis KS yang kemudian mendirikan LSM setelah tidak menjadi mahasiswa sebagai langkah politik selanjutnya. Diantara KS yang ada di Yogyakarta, yang paling menonjol adalah KS Palagan karena menyerat aktifisnya ke penjara20. Selain KS yang tumbuh diluar kendali kampus, terdapat organ yang menjadi alat politik mahasiswa yang sangat penting yakni Pers Mahasiswa. Sekalipun pers mahasiswa mengalami tekanan yang berat pasca peristiwa Malari tahun 1974 dan buku putih ITB tahun 1978, tetapi beberapa pers mahasiswa di Yogyakarta tetap mengangkat topik-topik sensitif diseputar kekuasaan Orde Baru. Pers mahasiswa masa NKK/BKK tidak lepas dari politik pengendalian yang dilakukan oleh Rektor sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Selain melalui Surat Ijin Penerbitan, pengendalian yang juga tidak kalah kejamnya adalah soal pendanaan. Pihak pimpinan universitas dapat sewaktu-waktu memotong biaya penerbitan jika isi nya dianggap “membahayakan”. Sebagai contoh yang terjadi pada pers mahasiswa ARENA milik IAIN Sunan Kalijaga. Kopkamtib pernah melarang ARENA terbit selama 8 bulan karena dianggap mengipasi suasana panas menjelang sidang MPR tahun 1978. Pada tahun 1988 Pangdam IV Diponegoro menegur, Pemimpin Umum ARENA berkenaan dengan reportase ARENA Nomor 1 Tahun 1988 tentang Waduk Kedung Ombo. Lalu pada penerbitan ARENA No. 2/1988 pihak rektorat memaksa ARENA untuk memblok dua halaman tulisan Arief Budiman tentang ketimpangan regenerasi Orde Baru. Guncangan kembali melanda ARENA saat No. 1/1993 mengangkat Bisnis Keluarga Presiden sebagai laporan utamanya. Akhirnya tanpa kompromi Rektor IAIN Sunan Kalijaga saat itu membredel majalah ARENA dengan SK No. IN/I/R/PP003/93 tertanggal 18 Mei 199321. Di Yogyakarta pers mahasiswa dapat menjadi akternatif untuk menggerakkan kesadaran politik 20 Lihat Edward Aspinal, Student Dissent in Indonesia in the 1980s, Working Paper 79, Monas University, 1993. Tempo, 27 Oktober 1990. Beberapa aktivis Palagan dihukum subversif di Pengadilan Negeri Yogyakarta, pada 1989. Mereka kedapatan menjual buku karangan Pramoedya Ananta Toer – bekas tokoh Lekra/PKI—yang dilarang pemerintah. Bambang Isti diganjar 8 tahun penjara, Bambang Subono mendapat 7 tahun, dan Bonar Tigor Naipospos kena 8 tahun 6 bulan. 21 Wawancara dengan Imam Aziz, 7 Mei 2008 46 mahasiswa. Beberapa pers kampus yang memiliki peran sebagai alat perjuangan kritis mahasiswa adalah Pijar (Filsafat UGM), Balirung (UGM), Himmah (UII), dan sejumlah penerbitan bawah tanah seperti Gelora Mahasiwa Berbeda dengan KS dan pers mahasiswa yang lebih banyak bergulat dengan wacana pemikiran kritis, di Yogyakarta pada tahun 1980an mulai berkembang LSM yang didirikan oleh mahasiswa. Salah satu ciri yang menonjol dari kelompok ini adalah langkahnya yang kongkret dalam membantu menyelesaikan persoalan masyarakat. Pada awal permulaanya berdiri, LSM tidak bersinggungan dengan persoalan-persoalan politik sekalipun kesadaran politik telah muncul dikalangan mahasiswa bahwa problem yang dihadapi rakyat akibat dari marginalisasi politik. LSM pada periode awal di Yogyakarta didirikan semata-mata sebagai kegiatan carity membantu masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya melalui berbagai kegiatan, seperti usaha kecil, micro finance, ketrampilan, dan lain sebagainya. LSM mula-mula belum banyak menyentuh pada persoalan advokasi, tetapi lebih banyak berkecimpung pada pemberdayaan ekonomi22. LSM di Yogyakarta telah tumbuh bersaman dengan berkembangnya paradigma kritis pembangunan. Namun demikian belum ada wadah yang menjadi tempat bertukar pengalaman di antara LSM tersebut. Tanggal 24-26 November 1986 tercatat sebagai hari yang bersejarah dalam perjalanan LSM di Yogyakarta, karena pada hari itu LSM di Yogyakarta sepakat untuk membentuk Forum, yang kemudian biasa dikenal dengan nama Forum LSM DIY. Inilah Forum LSM pertama kali yang ada di Indonesia. Forum LSM DIY adalah forum yang dibentuk sebagai wadah kerjasama antar LSM yang ada di DIY dan juga dengan pemerintah. Dalam Forum LSM DIY ini mula-mula keanggotaanya mencakup juga pemerintah Propinsi seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Bangdes Propinsi DIY. Lambat laun keanggotaan pemerintah propinsi mulai dihilangkan dan baru pada tahun 1991 keanggotaannya sepenuhnya adalah LSM. Di Yogyakarta pertengahan tahun 1986 telah tumbuh beberapa LSM yang memiliki isu beragam, mulai dari kesehatan reproduksi, kredit usaha kecil, buruh perempuan, media, daan 22 Katalog LSM/LPSM Daerah Istimewa Yogyakarta, Komisi Publikasi & Dokumentasi LSM/LPSM DIY 1991/1994. 47 lain sebagainya. Beberapa LSM merupakan cabang dari LSM besar yang ada di Jakarta seperti LBH, PKBI, Bina Swadaya. Beberapa di antaranya tumbuh dari semangat lokal dan bahkan didirikan oleh mahasiswa, salah satunya adalah Yayasan Anissa Swasti (Yasanti). LSM ini didirikan oleh beberapa mahasiswa lintas kampus untuk membantu meningkatkan kesejahteraan buruh perempuan. Yasanti adalah LSM pertama yang memberikan warna gerakan feminis di Yogyakarta. Yasanti berdiri tanggal 28 September 1982 di Yogyakarta dengan daerah dampingan di Ungaran Jawa Tengah23. Selain Yasanti juga ada Yayasan Patria Nusantara, Yayasan Taman Karya Bakti, Yayasan Pengembangan Budaya, Yayasan Prakarsa dan lain sebagainya. Beberapa LSM didirikan oleh aktifis politik ketika melihat partai politik mengalami kemandulan, seperti Yayasan Taman Karya Bakti yang didirikan oleh Imam Yudhotomo mantan aktifis Partai Sosialis Indonesia. Isu yang didalami LSM pada periode awal masih sangat terbatas pada persoalan yang berhubungan dengan masalah sosial ekonomi masyarakat. Warna struktural LSM pada periode ini belum begitu dominan, sekalipun kesadaran bahwa problem rakyat salah satunya bersumber dari sistem politik Orde Baru24. Dalam beberapa hal, pendekatan sosial ekonomi ke grassroot lebih merupakan strategi, dari pada orientasi yang sesungguhnya. Kenyataan bahwa aparat pemerintah Orde Baru begitu represif terhadap kekuatan oposan menjadikan sebagian LSM memilih strategi pemberdayaan ekonomi dari pada politik. Ini yang dilakukan oleh Yasanti, salah satu LSM yang bekerja untuk pemberdayaan buruh perempuan. Tidak jarang LSM ini juga melakukan pendidikan kesadaran terhadap hak berserikat, upah, dan kesepakatan kerja bersama (KKB). Selain mengembangkan kesadaran mengenai hak-hak buruh, Yasanti juga memberikan kursus menjahit, kursus teater, pendidikan masyarakat sipil, dan bahkan beberapa kali mengorganisir pemogokan. Setelah tahun 1990an warna struktural LSM mulai nampak sejalan dengan semakin destruktifnya kebijakan Orde Baru, khususnya sejak kasus pembangunan 23 Wawancara dengan Kumoro Dewi, 2 April 2008 Buku Mansour Fakih masih relefan untuk melihat perkembangan LSM di Indonesia yang membagi dalam beberapa kategori berdasarkan pilihan strateginya dan fokus perhatiannya. Lihat Mansour Fakih [1996] Masyarakat Sipil Untuk Perubahan Sosial; Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 24 48 waduk Kedungombo dan pembunuhan buruh perempuan Marsinah25. Pada periode ini banyak aktifis mahasiswa yang mulai masuk ke LSM sehingga turut mewarnai pola gerakan LSM. Langkah politiknya juga semakin berani dengan mulai menyinggung pemerintah Orde Baru. Agaknya keterlibatan aktifis mahasiswa di LSM lebih dimaknai sebagai strategi dari pada kebutuhan praktis, karena masalahmasalah struktural rakyat memerlukan jaringan yang lebih luas dan ini hanya dapat ditempuh melalui LSM sebagaimana dalam kasus Kedung Ombo yang melibatkan beberapa LSM internasional. Hal ini tidak dapat diperoleh dalam gerakan mahasiswa. Bagaimanapun mahasiswa tetap memiliki kemampuan terbatas, khususnya dalam kematangan kelembagaan. LSM dapat lebih menjamin keberlangsungan kerjasama dibandingkan mahasiswa karena keanggotan LSM bersifat tetap (staf). Persinggungan politik mulai nampak ketika LSM mulai dipimpin para mantan aktifis mahasiswa .Nampaknya pengalaman sebagi aktifis mahasiswa memberikan energi keberanian yang lebih besar bagi LSM untuk mulai menyinggung masalah-masalah politik, sebagaimana yang terjadi dalam peristiwa Timoho dan pernyataan akhir tahun 1995 Forum LSM DIY26. . Pada periode ini mulai berkembang LSM yang bergerak pada masalah-masalah struktural seperti LAPERA, Patra Pala, LBH Yogyakarta di Yogyakarta, di Salatiga berdiri Yayasan Geni, di Solo berdiri Yaphi dan berbagai kelompok LSM di Jakarta, Bandung, Surabaya dan lain sebagainya27. LSM tersebut yang kemudian pada tahun 1997 mendirikan KIPP Yogyakarta sebagai kekuatan oposan terhadap penyelenggaraan pemilu. Sekretariat KIPP DIY menjadi satu dengan Forum LSM DIY, bahkan ketua Forum LSM DIY juga menjadi Presidium KIPP DIY. LSM berkembang terus menjadi kelompok penekan efektif sampai dengan Soeharto pada tahun 1998 dan kemudian bermetamofosa dalam berbagai isu dan kegiatan. 25 Lihat Stanley [1994] Seputar Kedungombo, Elsam, Jakarta. Marsinah adalah buruh perempuan di Porong Sidoarjo yang dibunuh karena mengorganisir teman-temannya untuk peningkatan kesejahteraan. Kasus Marsinah pernah diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama oleh sutradara Slamet Rahardjo. 26 Forum LSM DIY ,Demokratisasi Dipasung Politik Administrasi, Pernyataan Akhir Tahun 1995 Forum LSM DIY, Dokumen tidak diterbitkan 27 Perkembangan LSM struktural ini juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh nasional pertumbuhan LSM yang bercorak advokasi seperti Skephi, WALHI, INGI yang kemudian berubah menjadi INFID, Yayasan Maju Bersama, YLBHI, dan lain sebagainya. 49 Pendekatan struktural LSM yang mulai marak pada tahun 1990 juga dipicu perkembangan gerakan mahasiswa pada tahun 1980. Ketika kelompok-kelompok studi tersebut mulai melepas aluminya, sebagian dari mereka mulai membentuk LSM dengan warna struktural yang begitu kental. Sebagai contoh adalah LAPERA yang didirikan tahun 1992 dengan tema sentralnya adalah buruh dan tanah. Ini adalah isu yang sangat peka ketika jaman Orde Baru. LSM ini menerbitkan buletin KAWAH sebagai media untuk mempromosikan gagasannya. Para pendirinya adalah sebagian besar mahasiswa UGM angkatan 1980-an dan alumi kelompok studi Rhode serta terlibat aktif dalam advokasi Kedung Ombo. LSM lain yang senafas derngan LAPERA adalah LBH Yogyakarta. Sekalipun cabang dari YLBHI Jakarta, tetapi sifat cabang adalah otonom. LBH Yogyakarta giat melakukan advokasi kasus-kasus tanah dan buruh, seperti kasus Kedung Ombo, Kasus wedi kengser di Kabupaten Bantul, kasus pembunuhan wartawan Bernas, dan lain sebagainya. Adanya KS yang berbasis pada kegiatan intelektual sementara LSM yang mendasarkan diri pada kegiatan praksis di lapangan, bukan berarti aktivis kelompok studi ibarat pemimpin dan sementara aktifis LSM adalah tukang atau pelaksana. Tidak ada kesepakatan antara mereka untuk berbagi fungsi yang demikian; walaupun belakangan disadari bahwa kegiatan LSM semakin kuat bila dibarengi refleksi, dan sebaliknya kelompok diskusi menjadi praksis bila disertai aksi. Namun sesungguhnya tidak bisa dielakkan bahwa kedua kegiatan tersebut pada dirinya sering menimbulkan mental blok28. Memasuki paruh 1980-an, kampus mulai mengalami pergeseran politik. Berbagai kasus baik yang langsung bersinggungan dengan mahasiswa atau rakyat pada umumnya mendorong mahasiswa untuk kembali menyusun strategi perlawanan. Banyak peristiwa politik nasional yang berlangsung pada medio 1980an seperti peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1983, peristiwa Warsidi Lampung tahun 1989, penembakan misterius tahun 1983, peristiwa pendudukan atas Timor Leste tahun 1975, peristiwa subversif mahasiswa Yogyakarta tahun 1986, 28 Didik Supriyanto [1998] Perlawanan Pers Mahasiswa ; Protes Sepanjang NKK/BKK, Sinar Harapan-Yayasan Sinyal, Jakarta 50 pembangunan waduk Kedung Ombo tahun 1985, dan lain sebagainya telah membangun kesadaran politik mahasiswa untuk mulai mempersoalkan Orde Baru29. Untuk lokal Yogyakarta, terdapat beberapa peristiwa penting yang mempengaruhi dan berkaitan erat dengan pertumbuhan gerakan mahasiswa. Pertama adalah pengangkatan Koesnadi Hardjasoemantri sebagai Rektor UGM. Kedua, kasus SDSB dan kebijakan pemerintah lainnya seperti kenaikan tarif listrik dan BBM. Ketiga kasus Kedung Ombo. Keempat, kasus subversif Bonar Tigor Naispospos dan kawan-kawan. Pengangkatan Koesnadi Hardjasoemantri sebagai Rektor UGM telah membuka partisipasi politik mahasiswa lebih lebar. Koesnadi Hardjasoemantri menganggap bahwa kegiatan politik mahasiswa merupakan bagian dari tanggungjawab intelektual kaum terpelajar, sehingga tidak serta merta kegiatan politik mahasiswa diberangus. Demonstrasi mahasiswa dilindungi dari intervensi tentara. Pada jamannya pertumbuhan kegiatan politik mahasiswa sangat marak. Barangkali hal ini karena Koesnadi sendiri adalah sosok moderat yang memiliki pengalaman panjang dalam organisasi kemahasiswaan sebagai ketua Dewan Mahasiswa dan pendiri Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI)30. Hanya pada jaman Koesnadi Hardjasoemantri demo mahasiswa diantar langsung oleh Rektor ke DPRD Propinsi DIY. Selain faktor kepemimpinan Koesnadi Hardjasoemantri, satu hal yang juga memiliki sumbangan terhadap pertumbuhan gerakan mahasiswa di Yogyakarta adalah kasus SDSB. SDSB memang bukan masalah politik, tetapi moral. Protes menentang SDSB dikarenakan undian ini dipandang telah merugikan secara sosial dan moral. Berbeda dengan kasus pelanggaran HAM, protes terhadap SDSB jauh lebih aman resiko politiknya. Mahasiswa melihat protes SDSB merupakan bagian untuk melatih militansi dan strategi untuk menghadapi isu yang lebih sensitif, yang kemungkinan akan menuai resiko yang lebih besar. Demonstrasi terhadap SDSB dengan sendirinya mendapat dukungan luas, dengan begitu aparat keamanan tidak akan berani melakukan tindakan represif. Kasus lain 29 YLBHI, Demokrasi Masih Terbenam; Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 1991, YLBHI 1991; YLBHI, Demokrasi di Balik Keranda; Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia 1992, YLBHI 1992 30 Wawancara dengan Dadang Juliantara, 7 Juli 2008 51 yang memberi warna bagi gerakan mahasiswa di Yogyakarta adalah kasus subversif Bonar Tigor Naispopos dan kawan-kawan serta Kedung Ombo. Mengapa kedua kasus tersebut sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan dinamika gerakan mahasiswa di Yogyakarta? Pertama, adalah kedua kasus tersebut melibatkan mahasiswa secara langsung. Kasus Bonar Tigor Naispospos dan kawan-kawan berlangsung di Yogyakarta, sedangkan pembangunan Waduk Kedungombo di daerah Boyolali yang berjarak kurang lebih 70 km dari Yogyakarta. Dalam kedua kasus ini keterlibatan mahasiswa Yogyakarta sangat intensif dalam mengadvokasi dan sekaligus bersinggungan langsung dengan aparat pemerintah, khususnya ABRI. Kedua, kasus tersebut menjadi arena latihan mahasiwa dalam praktek melawan kekuasaan setelah era NKK/BKK yang langsung berhubungan dengan kekerasan aparat dan bagaimana cara atau strategi menghadapinya. Bonar Tigor Naispospos, Bambang Isti, Bambang Subono adalah mahasiswa Fisipol UGM dan pegawai UGM dan sekaligus pendiri KS Palagan. Pada tanggal 14 Juni 1989 mereka bertiga ditangkap oleh aparat keamanan karena meminjamkan dan mendiskusikan buku karangan Pramudya Ananta Toer. Tuduhan yang disangkakan kepada ketiganya adalah menyebarkan ajaran komunisme oleh karena itu dikenai pasal subversif. Pengadilan Negeri Yogyakarta akhirnya menjatuhkan vonis delapan dan tujuh tahun penjara. Hukuman yang dianggap terlampau berat bagi sebuah kegiatan intelektual mahasiswa yang hanya mendiskusikan dan meminjamkan buku. Persidangan mereka diikuti oleh protesprotes mahasiswa Yogyakarta. Demonstrasi tanggal 8 September 1989 berakhir dengan bentrok antara mahasiswa dengan aparat keamanan di Jalan Kusumanegara Yogyakarta yang mengakibatkan tiga orang mahasiswa dirawat di rumah sakit Panti Rapih dan 27 lainnya ditangkap. Seminggu kemudian pada tanggal 15 September 1989 mahasiswa kembali melakukan long marc ke gedung DPRD Yogyakarta untuk memprotes peristiwa berdarah tersebut. Dalam sejarah gerakan mahasiswa di Yogyakarta, inilah bentrokan pertama yang memakan korban mahasiswa Yogyakarta dengan aparat keamanan. Namun bentrokan tersebut justru 52 semakin menumbuhkan militansi dikalangan kaum muda31. Kekerasan aparat nampaknya tidak membuat mahasiswa menjadi gentar, tetapi semakin militan sehingga muncul slogan, ”penjara tidak membuat jera, peluru tidak membuat ragu”. Selain peristiwa subversif Bonar Tigor dan kawan-kawan, pembangunan waduk Kedungombo juga dapat dijadikan tolok ukur untuk melihat sejauh mana perkembangan gerakan mahasiswa di Yogyakarta. Kedungombo berjarak kurang lebih 70 km dari Yogyakarta dengan waktu tempuh sekitar tiga jam perjalanan kendaraan umum. Pembangunan waduk ini sejak awal telah menuai berbagai protes karena keterlibatan militer dan dan ganti rugi tanah yang rendah. Waduk Kedungombo mulai dibangun tahun 1983 dan pada tahun 1989 menjadi sorotan publik karena berbagai pelanggaran yang terjadi selama masa pembebasan tanah. Banyak aktifis LSM, intelektual kampus dan rohaniawan baik nasional maupun internasional yang mulai terlibat memberikan bantuan advokasi kepada penduduk Kedungombo termasuk mahasiswa. Mahasiswa sekitar lokasi pembangunan waduk, khususnya Solo, Salatiga dan Yogyakarta segera memberikan perhatian terhadap kasus tersebut dengan membentuk Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan Kedung Ombo (KSKPKO). Berbagai protes dilakukan untuk membela warga yang tinggal di lokasi waduk. Protes dilakukan dengan mendatangi langsung pusat-pusat kekuasaan antara lain Menteri Dalam Negeri, DPR, Gubernur, dan lain sebagainya32. Kedungombo dapat dikatakan sebagai kawah candradimuka bagi pembentukan militansi dan ketrampilan aksi menghadapi tekanan dari aparat keamanan. Dalam kasus Kedungombo inilah ditemukan berbagai metode aksi yang kelak mewarnai protes-protes mahasiswa menjelang turunnya Soeharto seperti 31 Wawancara dengan Untoro Hariadi, 9 Agustus 2008. Dalam kasus Bonar Tigor ini kemudian mahasiswa mulai menciptakan lagu-lagu perlawanan setelah sebelumnya dalam setiap aksi menyanyikan lagu perjuangan nacional seperti lagu Halo-Halo Bandung, Satu Nusa Satu Bangsa, atau Maju Tak Gentar. Pada tahun-tahun ini, mahasiswa menciptakan lagu perlawanannya sendiri seperti “Di Bawah Topi Jerami”; “Darah Juang” , “Satu Kata” dan lain sebagainya yang sebagian besar diciptakan oleh mahasiswa Filsafat bernama John Tobing. Usul penciptaan lagu ini atas saran Ariel Haryanto yang melakukan penelitian tesis atas kasus tersebut. Lagu “Darah Juang” merupakan lagu yang paling dikenal oleh aktifis mahasiswa dan hampir selalu dinyanyikan ketika melakukan demonstrasi. Afnan Malay, seorang mahasiswa Hukum UGM kemudian memodifikasi Sumpah Pemuda menjadi Sumpah Mahasiswa Indonesia yang kalimatnya dirubah menjadi ; Berbahasa satu, bahasa kebenaran; Berbangsa satu, bangsa yang cinta keadilan; Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan. 32 Stanley, op cit hal 136-180. 53 pembentukan panitia aksi, penggunaan tali pengaman aksi, penggunaan poster, yelyel atau lagu-lagu perlawanan. Pada tahun-tahun berikutnya gerakan mahasiswa Yogyakarta bergerak diantara advokasi dan pembentukan kelembagaan yang menjadi cikal bakal gerakan oposisi di Indonesia. Di luar kasus Bonar Tigor dan Kedung Ombo, terdapat satu kasus mahasiswa yang tidak langsung berhubungan dengan mahasiswa Yogyakarta, yakni kasus Golput di Semarang pada tahun 1992. Kasus ini melibatkan mahasiswa Universitas Diponegoro, yakni Poltak Ike Wibowo dan Lukas Luwarso yang melakukan apel siaga kebangkitan nasional dengan mengkapanyekan Golput33. Kasus ini terjadi di kampus Undip menjelang pemilu 1992 dan segera saja aparat menjerat dengan pasal mengganggu ketertiban umum. Karena jarak YogyakartaSemarang yang tidak terlalu jauh, kasus ini memobilisasi mahasiswa Yogyakarta untuk melakukan aksi solidaritas dengan protes-protes terbatas. Di dalam kampus UGM sendiri ketidakpuasan terhadap kelembagaan intra kampus sebagai produk NKK/BKK mulai membuncah pada tahun 1990 dengan gagalnya konggres Mahasiswa yang kemudian melahirkan Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM). Sejalan dengan pertumbuhan kesadaran politik dan munculnya militansi dikalangan mahasiswa, pada tahun 1990-an merupakan masa konsolidasi gerakan mahasiswa. Salah satu strategi yang menonjol dari pola gerakan mahasiswa pada tahun 1990an adalah bergerak antara di dalam dan di luar kampus, berserakan membentuk komite-komite aksi. Organ aksi mahasiswa menghindari ketokohan yang kemungkinan akan mudah digebuk dan sesudah itu mati sebagaimana yang terjadi pada tahun 1974 dan pada tahun 197834. Pembentukan komite-komite juga untuk menghindari perangkap aparat. Jadi strategi ini semacam peran gerilya yang muncul dalam komite aksi dan sesudah itu menghilang. Sekalipun tokohnya bergerak dari satu organ-ke organ lain, namun aparat sulit untuk menangkap siapa yang paling bertanggungjawab dalam setiap aksi karena 33 Lihat Lukas Luwarso, Bangkitlah Imajinasimu Indonesiaku, Risalah Pembelaan dihadapan Persidangan di Pengadilan Negeri Semarang, 25 Oktober 1993 34 Kalau tahun 1974 dan 1978, begitu tokoh mahasiswa ditangkap, maka segera saja gerakan mahasiswa mengalami kemunduran. Hal ini yang dihindari aktifis mahasiswa pada tahun 1990an dengan membentuk komite aksi dan menghindari ketokohan. Wawancara Yuli Eko Nugroho, 5 Mei 2007. 54 kepemimpinan yang selalu berganti-ganti. Sekretariat gerakan juga tersembunyi didalam kamar kost mahasiswa, sehingga sulit dilacak. Kadang-kadang sekretariat justru berdekatan dengan tangsi militer seperti Sekretariat SMID di Jetis yang dekat dengan markas Kodim Yogyakarta. Pada 1990an di Yogyakarta terbentuk Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY). FKMY merupakan organisasi mahasiswa pertama yang anggotanya lintas kampus tetapi bukan bagian dari organisasi mapan semacam Cipayung. Kelompok ini langsung menusuk jantung kekuasaan Orde Baru dengan amunisi utamanya adalah Kedung Ombo. FKMY sempat melakukan aksi ke Menteri Dalam Negeri (Rudini) dan Taman Makan Kalibata untuk memprotes pembangunan waduk Kedung Ombo. Selain organisasi mahasiswa yang lintas kampus, organisasi ”partikelir” juga mulai muncul di kampus dengan isu yang diangkat adalah kebijakan kampus. Di IAIN muncul KMPD (Keluarga Mahasiswa Pencinta Demokrasi) dan di UGM muncul Dewan Mahasiswa. Pada tahun 1991, beberapa bulan setelah mengadakan kongres yang pertama, FKMY mengalami perpecahan. Aktivis dari UGM, UII, dan Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa pada November 1991 membentuk SMY (Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta). Adapun aktivis dari Institut Seni Indonesia (ISI), Universitas Janabadra, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) serta IAIN Sunan Kalijaga membentuk Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta (DMPY). Selain itu, sejumlah aktivis mahasiswa membentuk Komite Rakyat (KR) yang menggarap sektor petani diantaranya Sugeng Bahagijo, Budiman Sudjatmiko yang pernah menjadi ketua PRD. SMY dan KR merupakan satu kesatuan yang saling bahumembahu. Jika KR hendak melakukan aksi advokasi terhadap petani yang tergusur, KR mengajak SMY untuk mengadakan aksi bersama. Demikian juga kalau SMY mengadakan aksi di kampus, aktivis KR turut membantu. DMPY berasosiasi dengan kubu Skephi di Jakarta, yang adalah gaya parlemen jalanan dan empirisisme yang didominasi watak gerakan LSM yang praktis dan konkrit. Sedangkan SMY yang berasosiasi dengan kubu Infight yang menonjol adalah 55 watak teoritik ideologis yang kuat yang menjadi ciri khas KS35. Kelompok DMPY pada akhirnya nanti menjadi Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), sedangkan dan SMY pada akhirnya menjadi jaringan Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) melalui organ mahasiswanya, SMID. Tidaklah mengherankan kalau kemudian dalam sejarah gerakan mahasiswa di Yogyakarta, kedua kelompok ini terjadi perang dingin dalam perebutan pengaruh antar kampus sampai Mei 1998. Meskipun aktifitas FPPI sudah berjalan lama, namun sebagai organ resmi yang berskala nasional baru disepakati pada 13 Nopember 1998 di Magelang, jauh sesudah Soeharto tumbang. Jauh hari sebelum menjadi FPPI, organ-organ dalam jaringan kelompok ini telah aktif melakukan aksi-aksi dalam menuntut reformasi dan melengserkan Soeharto. Beberapa organ-organ tersebut antara lain di Yogyakarta dengan organ Pusat Perjuangan Pemuda Yogyakarta (PPPY), Solidaritas Orang Pinggiran untuk Kemanusiaan (SOPINK), Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat (Fampera), Fropera. Kelompok ini memandang paham Sosialisme, Islam dan Nasionalisme sebagai basis ideologi. Bahwa realitas politik di Indonesia bersifat unik, karena itu ideologi-ideologi besar tidak relevan bagi gerakan politik (Widjojo, 1999: 303). Di Yogyakarta kelompok ini memiliki basis di kampuskampus non UGM dan hanya sebagian fakultas di UGM saja yang menjadi basis anggotanya. Organisasi lain yang menjadi ”rival” dalam menggalang aksi adalah LMND. Organ mahasiswa yang memiliki afiliasi dengan PRD. Kelompok ini memilih ideologi Sosialis Demokratik Kerakyatan (Widjojo, 1999: 326). Kelompok ini memiliki organisasi yang cenderung senafas dengan format yang "sentralisme demokratik" (Widjojo, 1999: 327). Berbeda dengan FPPI, organ-organ yang tergabung dalam kelompok ini memiliki pilihan bahasa yang sama serta isu-isu besar yang sama. Secara organisasi, kelompok lebih rapi dibanding dengan FPPI. LMND adalah organ aksi PRD setelah SMID mendapat pukulan keras dari aparat keamanan. Dalam mengantisipasi "incaran" pihak keamanan, kelompok ini menggunakan strategi memilih nama organ "sekali pakai", yaitu menggunakan 35 Irine H Gayatri ., "Arah baru Perlawanan Gerakan Mahasiswa 1989-1993", dalam Widjojo, Muridan S. (et.al) [1999] Penakluk Rezim Orde Baru, Gerakan Mahasiswa '98, Jakarta: Sinar Harapan, Jakarta 56 nama kelompok terntentu hanya pada saat aksi isu tertentu pula dan setelah itu, organ tersebut tidak terdengar lagi. Strategi ini terutama dijalankan setelah peristiwa 27 Juli 1996 hingga akhir tahun 1997. Adapun organ-organ yang tergabung dalam kelompok di Yogyakarta muncul Komite Nasional Penegak Demokrasi (KNPD), Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP) Diluar kedua kelompok besar tersebuit diatas, terdapat organ mahasiswa yang tidak berafiliasi dengan keduanya. Kelompok ini cenderung mandiri tidak terkooptasi oleh pengaruh kedua kelompok dan cenderung memilih isu yang berhubungan langsung dengan mahasiswa seperti kenaikan SPP, pemilihan rektor, pemecatan mahasiswa, dan lain sebagainya. Tanggal 26 Oktober 1994 Komite Penegak Hak Politik Mahasiswa (Tegaklima) melakukan protes terbuka kepada rektorat atas pelantikan 18 Dekan dan 20 Kepala Pusat Studi yang ada di UGM. Ini adalah protes ujicoba sebelum mereka melakukan protes yang lebih berani dengan menyentuh persoalan-persoalan politik36. Dua belas hari (9/12/1994) sesudah ”ujicoba”politik tersebut, Tegaklima kembali melakukan protes dengan Hak Asasi Manusia sebagai amunisi , isu yang dianggap sensitif oleh pemerintah Orde Baru pada waktu itu. Protes ini dilakukan atas dasar berbagai pelanggaran hak asasi antara lain pembredelan pers mahasiswa, pemecatan dosen di UKSW, pengangkatan pejabat kampus, kenaikan SPP, pemecatan mahasiswa ITB dan lainlain37. Kelompok inil tetap mengusung isu pendidikan sebagai platform politiknya. Inilah cikal bakal pembentukan Dewan Mahasiswa di UGM yang berbeda dengan dua kelompok diatas. Pada tanggal 29 Desember 1994 untuk pertama kalinya sejak 15 tahun, mahasiswa UGM memiliki Dewan Mahasiswa38. Pendirian Dema merupkan protes terhadap berbagai organisasi intra kampus yang selama ini dianggap mandul dalam memperjuangkan aspirasi mahasiswa. Lembaga produk NKK/BKK dianggap hanya perpanjangan tangan rektorat untuk memotong partisipasi mahasiswa. Dema adalah lembaga partikelir,oleh karena itu tidak mendapat dukungan fasilitas dari Universitas. Sekretariat pun harus menyewa 36 Harian Merdeka, 27 /10/ 1994 Selebaran aksi tanggal l9 Desember 1994 38 Dewan Mahasiswa atau Dema adalah organisasi intera kampus yang memiliki otonomi dan memiliki kedudukan sejajar dengan rektorat. Wawancara dengan Arie Sujito, 1 Maret 2007 37 57 diluar kampus dengan iuran antar pengurus. Namun demikian embrio perlawanan telah diletakkan oleh lembaga ini terhadap berbagai kemapanan kampus. Pendirian Dema segera diikuti oleh berbagai kampus di Yogyakarta antara lain IAIN dan UAJY. Berbeda dengan Dema yang didirikan untuk memberikan respon terhadap kelembagaan intra kampus yang cenderung pasif, sebagian mahasiswa yang mulai terlibat dalam persoalan-persoalan politik mulai membentuk Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (SMID). Sekalipun berasal dari kampus yang sama (UGM), antara SMID dan Dema memiliki basis aktifis yang berbeda, kalau SMID berasal dari lingkungan mahasiswa Filsafat, sedangkan Dema berasal dari lingkungan mahasiswa Fisipol39. Pengelompokkan yang berlatar belakang kampus atau fakultas, nampaknya menjadi sesuatu yang alamiah dalam gerakan mahasiswa di Yogyakarta. Pengelompokkan ini kadangkala berkaitan dengan eksistensi masing-masing antar kampus atau antar fakultas. Kekuatan MS di Yogyakarta antara lain didukung LSM, KS, pers mahasiswa, dan organisasi mahasiswa yang memiliki sumbangan besar dalam menggerakkan aksi-aksi damai pada tahun 1998 dengan berujung ”Pisowanan Agung” tanggal 20 Mei 1998. Peristiwa akbar tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki hubungan antar masing-masing kelompok. Aksi menjelang kejatuhan Soeharto yang berlangsung damai di Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari peran berbagai kelompok dari masyarakat Yogyakarta. Gerakan mahasiswa tetap menjadi penyumbang paling besar dalam membangun militansi perlawanan ditengah berbagai tekanan yang gencar dilakukan oleh aparat. Namun demikian sumbangan kelompok sipil lainnya juga tidak dapat dikatakan sedikit. LSM misalnya yang memiliki kemampuan jaringan dan sumberdaya dalam pembentukan Yogyakarta damai. Kelompok LSM bersama-sama dengan kelompok sipil lainnya seperti agamawan, kampus, intelektual kelompok lintas SARA, bahu-mambahu mengembangkan prakarsa anti kekerasan sehingga sekalipun muncul berbagai bentrokan antara mahasiswa dengan aparat keamanan, Yogyakarta tetap aman. 39 Namun kadang-kadang pembedaan itu tidak mutlak,misalnya Andi Arief ketua SMID berasal dari Fisipol sedangkan Harry Prabowo aktifis Dema berasal dari Filsafat. Pengelompokkan ini biasanya berasal dari latar belakang pergaulan masing-masing aktifis dan kaderisasi di dalam kampus. 58 Sekalipun antar organisasi mahasiswa, LSM, pers mahasiswa bahkan kelompok diskusi memiliki metode sendiri dalam bekerja mengembangkan kekuatan sipil, tetapi pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Orde Baru mereka dapat berdiri dalam satu platform politik, menurunkan Soeharto. Agenda ini memang tidak dapat dibangun sekejap, tetapi memerlukan proses yang panjang dan berkesinambungan. LSM yang memiliki basis komunitas di desa-desa memiliki tugas untuk menjelaskan kesadaran perubahan melalui pendidikan politik dan pertemuan dengan masyarakat. Dukungan kesadaran dari publik ini yang kemudian menumbuhkan simpati dari masyarakat ketika aksi-aksi demonstrasi mahasiswa mengalami represi dari aparat keamanan40. Aksi-aksi menjelang kejatuhan Soeharto tidak dapat dilihat sebagai proses yang tunggal, tetapi merupakan proses kolektif antar masyarakat sipil di Yogyakarta sehingga tercapai gerakan 1 juta massa pada tanggal 20 Mei 1998. 4.3. Ikhtisar Salah satu unsur yang mendorong lahirnya gerakan sosial adalah situasi politik yang melingkupi dimana gerakan sosial hadir. Tujuan dari gerakan sosial adalah ingin mengubah situasi politik menjadi lebih bermakna bagi kelompok atau organisasi gerakan. Faktor lain yang tidak kalah penting bagi lahirnya gerakan sosial adalah agen penggerak gerakan, atau faktor pencetus. Faktor ini dapat berupa kepemimpinan atau kelas yang menjadi pelopor gerakan. Sekalipun gerakan MS di Yogyakarta belum menjadi protes yang terbuka dan bersifat masif, namun sebagai gerakan oposisi yang mengarah ke protes telah mulai dibangun. Misalnya sebagian kalangan LSM mengembangkan pemberdayaan ekonomi, wacana golput, sampai dengan menolak intervensi negara dalam kampus. Sekalipun berbagai aktor tersebut belum memiliki platform yang tunggal, namun seluruh tujuan gerakan tertuju pada upaya mempersoalkan kebijakan politik pemerintah Orde Baru . 40 Dalam sebuah bentrok mahasiswa dengan aparat keamanan tahun 1997 di UGM, masyarakat pedagang kaki lima memberikan dagangannya (es, aqua, teh botol, dll) untuk mengobati mahasiswa yang terkena gas air mata. Catatan harian tidak diterbitkan , 3 Juli 1998. 59