peningkatan perlindungan konsumen melalui penerapan

advertisement
LAPORAN PENELITIAN
HIBAH REVITALISASI KURIKULUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER
PENINGKATAN PERLINDUNGAN KONSUMEN MELALUI
PENERAPAN STANDARDISASI DAN SERTIFIKASI MUTU
PRODUK PANGAN OLAHAN
Oleh :
Dr. Fendi Setyawan, S.H., M.H.
Edi Wahyuni, S.H., M.Hum.
Johan Sandi Putra
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM
2012
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
DAFTAR ISI ....................................................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
iii
IDENTITAS PENELITIAN .............................................................................
iv
ABSTRAK .......................................................................................................
v
I. PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1. Latar Belakang Penelitian ..................................................................
1
2. Tujuan Penelitian ...............................................................................
2
3. Manfaat Penelitian .............................................................................
2
4. Urgensi (Keutamaan Penelitian) ........................................................
3
II. STUDI PUSTAKA ..................................................................................
6
III. METODE PENELITIAN ........................................................................
16
IV. PEMBAHASAN .....................................................................................
19
1. Instrumen Hukum yang Terkait dengan Penerapan Standardisasi
dan Sertifikasi Mutu Produk Pangan Olahan serta Tanggung Jawab
Produsen Pangan Olahan Dalam Upaya Menciptakan Pembangunan
Ekonomi Nasional yang Berkeadilan .................................................
19
2. Penerapan Tanggung Jawab Produk, Standardisasi dan Mutu
Produk
Mutu
Produk
Pangan
Olahan
untuk
Memberikan
Perlindungan Terhadap Konsumen ....................................................
42
3. Konsep Pengembangan Tanggung Jawab Produk, Standardisasi dan
Sertifikasi Mutu Produk Pangan Olahan untuk Meningkatkan Daya
Saing dan Perlindungan Konsumen ...................................................
63
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
92
1. Kesimpulan ........................................................................................
92
2. Saran ...................................................................................................
93
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
95
LAMPIRAN .....................................................................................................
106
1. Curiculum Vitae Ketua Peneliti .............................................................
106
2. Curiculum Vitae Anggota Peneliti ..........................................................
115
ii
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Penelitian
2. Bidang Ilmu
3. Ketua Peneliti
a. Nama dan Gelar
b. Jenis Kelamin
c. NIP
d. Jabatan Struktural
e. Jabatan Fungsional
f. Pangkat/Gol.
g. Fakultas/Jurusan
h. Pusat Penelitian
i. Alamat Kantor
j. Alamat Rumah
k. Telephone
l. E-mail
4. Lama kegiatan
5. Usulan Biaya
6. Sumber Pembiayaan
: Peningkatan Perlindungan Konsumen Melalui
Penerapan Standardisasi dan Sertifikas Mutu Produk
Pangan Olahan
: Hukum Ekonomi
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Dr. Fendi Setyawan, S.H., M.H.
Laki-laki
19720217 199802 1 001
Lektor
Penata /III-c
Fakultas Hukum / Jurusan Hukum Keperdataan
Lembaga Penelitian Universitas Jember
Jl. Kalimantan 37, Kampus Bumi Tegal Boto Jember
Perum Taman Anggrek Regency Blok C1/28 Jember
08156217697
[email protected], [email protected]
3 (tiga) bulan
Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah)
Dana Hibah Revitalisasi Kurikulum Fakultas Hukum
Universitas Jember
Jember, November 2012
Mengetahui,
Dekan
Ketua Peneliti,
Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H., M.Hum
NIP. 19710501 199303 1 001
Dr. Fendi Setyawan, S.H., M.H
NIP. 19720217 199802 1 001
Menyetujui
Ketua Lembaga Penelitian
Universitas Jember,
Prof. Dr. Achmad Subagio
NIP. 196905171992011001
iii
IDENTITAS PENELITIAN
1. Judul Usulan Penelitian
2. Ketua Peneliti
(a) Nama lengkap
(b) Bidang Keahlian
3. Anggota Peneliti
5. Objek Penelitian
6. Waktu Penelitian
Mulai
Selesai
7. Biaya yang Diusulkan
8. Lokasi Penelitian
9. Hasil yang Ditargetkan
: Peningkatan Perlindungan Konsumen Melalui
Penerapan Standardisasi dan Sertifikasi Mutu
Produk Pangan Olahan
: Dr. Fendi Setyawan, S.H., M.H
: Hukum Ekonomi (Hukum Perlindungan
Konsumen)
: 1. Edi Wahjuni, S.H., M.Hum.
2. Johan Sandi Putra (Mahasiswa)
: Standardisasi dan Sertifikasi Mutu Produk Pangan
Olahan
: 4 (empat) bulan
: Agustus 2012
: November 2012
: Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah)
: Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Jember.
: Menghasilkan desain/prototipe sistem (penerapan)
standardisasi dan sertifikasi produk pangan olahan
yang efektif dan efisien bagi Pelaku Usaha dan
mampu meningkatkan perlindungan konsumen.
iv
ABSTRAK
Produk pangan olahan yang beredar dipasaran belum semuanya memberikan
jaminan atas mutu dan keamanan pangan bagi konsumen. Hal ini terbukti dengan masih
banyaknya kasus yang menimpa konsumen akibat mengkonsumsi produk pangan olahan
tersebut. Permasalahan ini selain dipengaruhi oleh lemahnya kesadaran pelaku usaha
untuk berproduksi secara baik, juga karena belum diterapkannya standardisasi dan
sertifikasi mutu produk pangan olahan dengan baik serta masih lemahnya pengawasan
dalam bidang ini. Dilatarbelakangi permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti
lebih lanjut tentang upaya peningkatan perlindungan konsumen melalui penerapan
standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan. Tujuannya adalah untuk
menghasilkan desain/prototipe sistem (penerapan dan pengawasan) standardisasi dan
sertifikasi produk pangan olahan yang efektif dan efisien bagi pelaku usaha dan yang
mampu meningkatkan perlindungan konsumen. Sehingga diharapankan, proses
standardisasi dan sertifikasi produk pangan olahan dapat dilaksanakan dengan mudah,
murah dan berkualitas, sehingga akan menghasilkan produk yang berdaya saing dan
aman bagi konsumen.
Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan metode pendekatan
yuridis normatif dengan didukung oleh data primer dan data sekunder, yang selanjutnya
dianalisis secara yuridis kualitatif dan dideskriftifkan dengan menggunakan logika
deduktif maupun induktif. Penelitian ini akan dilakukan selama 4 (empat) bulan dengan
tahapan kegiatan : 1) inventarisasi bahan hukum; 2) penelitian lapangan; 3) analisis data
dan bahan hukum; 4) pelaporan dan evaluasi; dan 5) desiminasi dan publikasi.
Berdasarkan metode di atas, hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa
adanya instrumen hukum (materi dan kelembagaan) yang terkait dengan penerapan
standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan di Indonesia dan produsen
pangan olahan memiliki tanggung jawab berproduksi secara baik dengan memenuhi
standar mutu yang ditentukan dan jika produknya merugikan konsumen, maka dia harus
memberikan ganti rugi. Penerapan tanggung jawab produk pangan olahan masih
menggunakan instrumen hukum yang bersifat umum yang terkandung dalam
KUHPerdata dan undang-undang sektoral. Sedangkan penerapan standardisasi produk
pangan, masih menggunakan instrumen hukum setingkat peraturan pemerintah dan
keputusan Kepala BSN yang diadopsi dari ketentuan standar internasional, sehingga
belum memberikan kepastia hukum dan daya paksa yang kuat. Untuk itu, dalam rangka
pengembangan tanggung jawab produk dan standardisasi mutu produk kedepan, hal-hal
yang perlu dilakukan adalah: 1) penguatan regulasi dengan membentuk Undang-Undang
Sistem Standardisasi Nasional dan Undang-Undang Tanggung Jawab Produk yang
memasukkan prinsip tanggung jawab mutlak dan pembuktian terbalik; 2) melakukan
penguatan Manajemen Teknis Pengembangan SNI; 3) penerapan teknologi informasi
dan pembentukan jaringan pakar; 4) melakukan restrukturisasi kelembagaan; 5)
memperkuat fungsi Masyarakat Standardisasi Indonesia;
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Penelitian
Semakin terbukannya pasar nasional dan internasional sebagai akibat dari
proses globalisasi ekonomi yang didukung dengan kemajuan teknologi, membawa
konsekuensi terhadap semakin ketatnya tingkat persaingan dan perkembangan
produk pangan olahan yang beredar dipasaran. Produk dalam negeri harus mampu
bersaing dengan produk asing (impor) baik dari segi kuantitas maupun kualitas,
jika produk tersebut mau tetap bertahan dipasaran.
Produk pangan olahan yang beredar dipasaran tersebut belum semuanya
memberikan jaminan atas mutu dan keamanan bagi konsumen. Banyaknya kasus
yang menimpa konsumen akibat mengkonsumsi produk pangan olahan yang tidak
memenuhi standard mutu yang ditentukan, misalnya kasus susu kemasan yang
mengandung melamin, ketidakhalalan bumbu masak ajinomoto, permen yang
mengandung zat adiktif, dan lain-lain.
Masalah-masalah tersebut dapat terjadi karena dimungkinkan: a) masih
lemahnya sistem pengawasan pangan olahan yang beredar di pasaran; b) masih
lemahnya penerapan standardisasi mutu produk; c) masih rendahnya kesadaran
produsen untuk berproduksi secara baik (memenuhi standar yang ditentukan); dan
d) masih lemahnya tingkat kesadaran konsumen. Permasalahan ini dipengaruhi
(diperparah) oleh masih lemahnya regulasi yang mengatur tentang penerapan
standardisasi dan sertifikasi produk (masih bersifat voluntair) dan dimungkinkan
masih mahal dan berbelitnya proses standardisasi dan sertifikasi produk.
Dilatarbelakangi permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti
lebih lanjut tentang bagaimana upaya meningkatkan perlindungan konsumen
terhadap pangan olahan melalui penerapan standardisasi dan sertifikasi mutu
produk.
1
2.
Tujuan Penelitian
a.
Untuk mengetahui dan memahami ketersediaan instrumen hukum (materi dan
kelembagaan) yang terkait dengan penerapan standardisasi dan sertifikasi mutu
produk pangan olahan di Indonesia.
b.
Untuk mengetahui dan memahami penerapan standardisasi dan sertifikasi mutu
produk pangan olahan dalam upaya meningkatkan perlindungan terhadap
konsumen.
c.
Untuk menemukan konsep/desain sistem (penerapan dan pengawasan)
standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan yang lebih efektif dan
efisien bagi pelaku usaha dan yang mampu meningkatkan perlindungan
terhadap konsumen.
3.
Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis
Manfaat hasil penelitian ini secara umum (eksternal) dapat memberikan
sumbangan pemikiran atau bahan pengembangan ilmu pengetahuan dan
wawasan dibidang hukum ekonomi khususnya yang berkaitan dengan penerapan
standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan dalam upaya
peningkatan perlindungan
konsumen di Indonesia. Adapun secara khusus
(internal), hasil kajian dan analisis (materi) dari penelitian ini dapat menjadi
bahan publikasi ilmiah baik dalam bentuk jurnal maupun buku sehingga dapat
dinikmati oleh para akademisi ataupun masyarakat secara umum.
b. Secara Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini (luaran) secara eksternal dapat dijadikan bahan
masukan, rujukan atau pertimbangan bagi para pemangku kepentingan
(stakeholders) baik di instansi/lembaga/ badan pemerintah dalam membuat
kebijakan atau peraturan-peraturan yang terkait dengan standardisasi dan
sertifikasi produk pangan olahan, maupun bagi pihak swasta/pelaku usaha dalam
penerapan standardisasi mutu terhadap produk pangan olahan yang dihasilkan
untuk meningkatkan daya saing dan perlindungan kepada konsumen.
2
4.
Urgensi (Keutamaan Penelitian)
Terbukannya pasar nasional dan internasional sebagai akibat dari proses
globalisasi ekonomi yang didukung dengan kemajuan teknologi, membawa
konsekuensi terhadap semakin ketatnya tingkat persaingan dan perkembangan
produk pangan olahan yang beredar dipasaran. Namun produk yang beredar
tersebut belum semuanya memberikan jaminan atas mutu dan keamanan bagi
konsumen. Banyaknya kasus yang menimpa konsumen akibat mengkonsumsi
produk pangan olahan, membuktikan bahwa: a) masih lemahnya sistem
pengawasan pangan olahan yang beredar di pasaran; b) masih lemahnya penerapan
standardisasi mutu produk; c) masih rendahnya kesadaran produsen untuk
berproduksi secara baik (memenuhi standar yang ditentukan); dan d) masih
lemahnya tingkat kesadaran konsumen. Permasalahan tersebut dipengaruhi antara
lain karena masih lemahnya regulasi yang mengatur tentang penerapan
standardisasi dan sertifikasi produk serta dimungkinkan masih mahal dan
berbelitnya proses standardisasi dan sertifikasi produk. Dari kondisi yang demikian,
penelitian
ini
dimaksudkan
untuk
menghasilkan
desain/prototipe
sistem
(penerapan) standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan yang efektif
dan efisien bagi pelaku usaha dan mampu meningkatkan perlindungan kepada
konsumen. Sehingga harapannya kedepan, proses standardisasi dan sertifikasi
produk (khususnya pangan olahan) dapat dilaksanakan dengan mudah, murah dan
berkualitas, sehingga akan menghasilkan produk yang berdaya saing dan
memberikan perlindungan kepada konsumen.
Berkaitan dengan daya saing, sebagaimana yang telah disebutkan di atas,
semakin terbukannya pasar (nasional/ internasional) dalam era global, maka akan
semakin ketat tingkat persaingannya. Dalam hukum pasar, siapa yang tidak mampu
bersaing maka dia harus minggir. Dalam tingkat persaingan produk yang tinggi,
konsumen secara leluasa dapat memilih produk-produk yang dianggap murah
namun memiliki kualitas yang tinggi. Salah satu indikator untuk mengukur bahwa
suatu produk tersebut berkualitas atau tidak adalah dengan melihat apakah produk
tersebut memenuhi standard/tersertifikasi atau tidak. Untuk memenuhi prasyarat
3
tersebut, salah satu instrumen yang dapat digunakan adalah dengan menerapkan
standardisasi dan sertifikasi mutu. Artinya, suatu produk yang telah memenuhi
standard yang telah ditentukan, diasumsikan telah memenuhi jaminan keamanan
dan keselamatan bagi konsumen serta memiliki daya saing. Meskipun dalam
kenyataannya, masih ada suatu produk yang telah terstandardisasi atau tersertifikasi
masih merugikan konsumen. Jika hal demikian terjadi maka permasalahannya
dimungkinkan pada aspek lemahnya pengawasan atau kurangnya tanggung jawab
produsen untuk berproduksi secara baik. Masing-masing hal tersebut memiliki
implikasi hukum yang terkait dengan tanggung jawab hukum sesuai dengan
kewenangannya. Inilah yang menjadi masalah yang urgen dari perspektif hukum.
Berkaitan dengan perlindungan konsumen, sesuai dengan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999, konsumen memiliki hak-hak yang harus dilindungi dan
pelaku usaha (produsen) memiliki beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan,
yang salah satunya adalah untuk berproduksi sesuai dengan standard mutu yang
telah ditentukan. Hal ini semata-mata untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen. Sehingga dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen kebanyakan
pasalnya mengatur kewajiban dan larangan pelaku usaha dalam berproduksi dan
memasarkan hasil produksinya. Mengapa masalah perlindungan konsumen ini
penting? Semua produk barang dan/atau jasa yang dihasilkan dalam proses
produksi (oleh pelaku usaha), ujung-ujungnya adalah untuk dipasarkan dan
dikonsumsi konsumen. Konsumen sebagai end user memiliki hak yang dijamin
oleh undang-undang untuk mendapatkan kenyamanan dan keamanan dari produk
barang/jasa yang dikonsumsinya. Jika tidak, maka pelaku usaha harus bertanggung
jawab, dengan kata lain konsumen dapat menuntut atas hak-hak tersebut kepada
pelaku usaha atas produk yang dipasarkan yang tidak sesuai dengan kualifikasi
yang dinyatakan baik dalam iklan, label atau pernyataan lain yang oleh karenanya
konsumen tertarik untuk membeli dan mengkonsumsi barang tersebut. Dalam ranah
inilah, urgensi standardisasi dan sertifikasi produk diterapkan. Selain berfungsi
memberikan jaminan atas mutu/kualitas dan keamanan bagi konsumen, juga
sekaligus sebagai alat ukur bagi konsumen, apakah produk tersebut benar-benar
telah memenuhi standar yang telah ditentukan atau tidak. Maka jika tidak, hal ini
4
akan menjadikan dasar bagi konsumen untuk melakukan gugatan kepada pelaku
usaha. Disinilah pentingnya kajian hukum yang terkait dengan standardisasi dan
sertifikasi produk dengan pemenuhan hak-hak konsumen dan tanggung jawab
pelaku usaha.
5
BAB II
STUDI PUSTAKA
Semakin terbukanya pasar nasional dan internasional sebagai akibat dari proses
globalisasi ekonomi tersebut, harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan
masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan jasa termasuk
produk pangan olahan yang diperoleh konsumen di pasaran. Untuk menjamin kearah itu
perlu ditetapkannya standarisasi1 dan sertifikasi2 produk. Penetapan standardisasi
produk dilakukan dengan tujuan:
a.
meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan
masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun
pelestarian fungsi lingkungan hidup;
b.
membantu kelancaran perdagangan;dan
c.
mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan3.
Adapun tujuan dilakukannya sertifikasi adalah untuk memberikan jaminan
tertulis dari lembaga sertifikasi, lembaga pelatihan, lembaga inspeksi dan laboratorium
untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses dan personel telah memenuhi standard
yang dipersyaratkan. Jaminan mutu yang didukung oleh sertifikasi akan meningkatkan
1
Yang dimaksud dengan “standarisasi” menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, adalah proses merumuskan, menetapkan,
menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak.
Adapun pengertian “standar” adalah specifikasi teknis atau sesuatu yang dilakukan termasuk tata cara dan
metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syaratsyarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh
manfaat yang sebesar-besarnya (Pasal 1 angka 1 PP No. 102 Tahun 2000). Menurut International
Organzation for Standardization (ISO) dan International Electrotechnical Commision (IEC), standard is
a document established by consensus and approved by a recognized body, that provides, for common and
repeated use, rules, guidelines or characteristics or their results, aimed at the achievement ofthe
optimum degree of order in a given context. Standards should be based on the consolidated results of
science, technology and experience, and aim at the promotion of optimum community benefits; important
benefits of standardization are improvement of the suitability of products, process and services for their
intended purpose, preention of barrier to trade and facilitation of technological cooperation.
2
Yang dimaksud dengan “sertifikasi” menurut ketentuan Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat
terhadap barang dan/atau jasa. Adapun yang dimaksud “sertifikat” adalah jaminan tertulis yang diberikan
oleh lembaga/laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem
atau personil telah memenuhi standar yang dipersyaratkan.
3
Lihat ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Sandardisasi Nasional.
6
kepercayaan konsumen (nasional maupun internasional) terhadap barang/jasa yang
diproduksi.
Dengan demikian standardisasi dan sertifikasi produk dapat mendorong para
produsen untuk meingkatkan mutu dan daya saing produksinya, baik untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor dan tercapainya persaingan yang sehat
dalam perdagangan.
Indonesia yang merupakan bagian dari ekonomi global yang ditandai dengan
meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1994, membawa konsekuensi bahwa produk barang dan jasa
yang dihasilkan dan dipasarkan keluar negeri (ekspor) harus memenuhi standar dan
tersertifikasi secara internasional. Jika hal tersebut tidak terpenuhi, maka kemungkinan
besar produk barang dan jasa yang berasal dari Indonesia akan ditolak di pasar
internasional. Dengan demikian, Indonesia harus mampu bersaing dan terus
meningkatkan kualitas produk barang dan/atau jasa yang dihasilkannya yang memenuhi
standar dan kualifikasi internasional.
Di satu sisi, penerapan standard dapat mendatangkan manfaat bagi perusahaan
karena dapat membantu meningkatkan kinerjannya secara profesional. Adanya kinerja
yang profesional akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam proses produksi,
sehingga mampu menekan biaya operasional dan meningkatkan juga kualitas produksi
dan produktivitas perusahaan. Peningkatan produktivitas akan diikuti peningkatan
kualitas dan kuantitas ekspor.
Di sisi yang lain, penerapan standard akan memberikan jaminan kepada
konsumen dan akan sangat mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli suatu
produk. Hal ini dapat dipahami karena konsumen di negara maju sudah semakin kritis
dan peduli terhadap keselamatan,
keamanan dan kesehatan dirinya
dalam
mengkonsumsi suatu produk (barang maupun makanan) yang dihasilkan oleh pelaku
usaha (produsen). Posisi konsumen tidak lagi mudah dipermainkan oleh pelaku usaha.
Konsumen memiliki posisi tawar (bargaining posisition) dalam menentukan pasar dan
dapat memboikot produk-produk yang tidak memenuhi standard yang dipersyaratkan.
Dengan kondisi yang demikian, maka dapat dipahami bahwa dalam era perdagangan
7
bebas hanya produk-produk yang berkualitas yang akan mampu bersaing dan bertahan
di pasar dunia.
Terlepas dari pemikiran di atas, ada pandangan lain yang menyatakan bahwa
penerapan standardisasi dan sertifikasi (secara internasional) dapat menimbulkan
kolonialisme baru secara ekonomis dan membuat negara-negara berkembang menjadi
sangat tergantung kepada negara-negara maju. Negara maju telah memiliki kapital yang
kuat dan didukung dengan penguasaan teknologi yang canggih serta memiliki
pemahaman manajerial yang baik. Keunggulan yang dimiliki oleh negara maju tersebut,
akan memudahkan untuk menguasai pasar dunia khususnya di negara-negara sedang
berkembang. Sementara, negara-negara berkembang masih sangat membutuhkan
bantuan teknologi dan permodalan dari negara maju untuk dapat mengembangkan
perekonomian nasionalnya. Dilihat dari kondisi ini, sangatlah tidak seimbang posisi
negara maju dengan negara berkembang dalam menerapkan standarisasi dan sertifikasi
atas produk yang dihasilkan oleh industrinya. Standarisasi menjadi syarat yang tidak
terelakkan bagi negara-negara yang ingin mengakses pasar dunia. Melihat
ketidakseimbangan posisi tersebut, tuntutan penerapan standardisasi bagi negara-negara
berkembang sangatlah tidak adil.
Berdasarkan pandangan negara berkembang, penerapan standarisasi dirasakan
sebagai trade barrier untuk mengejar perkembangan negara-negara maju dan untuk
memasuki pasar dunia (internasional). Kondisi yang demikian dapat dikatakan bahwa
standarisasi merupakan usaha negara-negara maju untuk melegalkan keinginannya
menguasai pasar dunia4. Dengan mengembangkan hambatan teknis berupa standar,
negara-negara maju tidak akan begitu saja memberikan peluang bagi masuknya produkproduk dari negara berkembang yang tidak memenuhi syarat standard. Sementara
negara-negara maju telah terlebih dahulu menerapkan sistem standardisasi, khususnya
standard mutu. Dengan demikian, kesempatan ini digunakan untuk membatasi eksport
hasil industri negara-negara berkembang.
Standardisasi ternyata cukup menyulitkan negara-negara berkembang untuk
mengejar perkembangan negara-negara maju, bahkan belum secara sepenuhnya negara4
Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 16.
8
negara berkembang menerapkan sistem standard mutu ISO 9000, sudah muncul sistem
baru, yaitu standard lingkungan ISO 14000.
Terlepas dari pandangan yang negatif tersebut, standardisasi dan sertifikasi
produk juga mempunyai aspek atau dampak positif, yaitu selain untuk memenuhi
kepentingan persaingan pasar internasional, juga akan memberikan kepastian atas mutu
atau kualitas dan keamanan suatu produk yang dipasarkan dan yang akan dikonsumsi
oleh konsumen nasional maupun internasional.
Hal ini sejalan dengan tujuan disusunnya standarisasi sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 2 ayat (2) Agreement on Tecnical Barriers to Trade, yang mencakup :
a.
Untuk Kepentingan Nasional.
Penetapan standar yang disyaratkan dalam proses produksi dan perdagangan
maka suatu negara dapat terhindar dari dampak-dampak yang diakibatkan oleh
masuknya produk-produk impor yang kualitasnya berada di bawah standar yang
telah ditetapkan, dapat terhindar dari ancaman produk-produk berbahaya dan
dapat terhindar dari praktik dumping, yang kesemuanya dapat merugikan
kepentingan nasional.
b.
Untuk Pencegahan dari Paraktik yang Menyesatkan.
Penetapan standar juga mensyaratkan adanya sistem informasi yang terbuka,
sehingga pihak-pihak yang berkepentingan dapat dengan mudah mengakses
informasi yang diperlukan. Dengan demikian dapat terhindar dari praktikpraktik unfair trade yang akan merugikan pihak konsumen (terciptanya
persaingan yang sehat).
c.
Untuk Perlindungan Kesehatan dan Keamanan Konsumen.
Penerapan standar yang diikuti dengan aturan hukum yang jelas, akan
memberikan kontribusi yang besar terhadap perlindungan kesehatan dan
keamanan konsumen. Jika pelaku usaha karena kelalaian atau dengan sengaja
melanggar peraturan yang diwajibkan baginya, maka kepadanya dapat
dikenakan sanksi.
Di Indonesia sendiri dalam upaya menata jaringan dan kegiatan standardisasi
yang serasi, selaras dan terpadu serta berwawasan nasional dan internasional, membuat
suatu sistem standardisasi nasional yang di dalamnya melingkupi kegiatan penelitian
9
dan
pengembangan
standardisasi,
perumusan
standard,
penetapan
pemberlakuan standard, penerapan standard, akreditasi, sertifikasi,
standard,
metrologi,
pembinaan dan pengawasan standardisasi, kerjasama, informasi dan dokumentasi,
pemasyarakatan, pendidikan dan pelatihan standardisasi5.
Terciptanya Sistem Standardisasi Nasional tersebut,
diharapkan dapat
menghasilkan6 :
a.
Standard Nasional yang mencukupi serta selaras dengan standard internasional
untuk kebutuhan jaminan mutu internal dan kesepakatan perdagangan;
b.
Sistem penerapan standard yang dapat menunjang peningkatan efisiensi dan
produktivitas ditingkat
produksi,
menjamin
terlaksananya perlindungan
konsumen dalam aspek kesehatan, keselamatan, keamanan dan pelestarian
lingkungan hidup;
c.
Keunggulan kompetitif atas produk Indonesia di pasar global;
d.
Informasi standardisasi yang diperlukan oleh pelaku usaha, pemerinah dan
konsumendalam rangka memperlancar arus perdagangan domestik maupun
internasional; dan
e.
Tumbuh dan berkembangnya kelembagaan sertifikasi, laboratorium, dan
lembaga inspeksi yang sehat, kredibel dan berdaya saing.
Namun untuk mewujudkan hal tersebut di atas, masih adanya beberapa
kendala yang dihadapi, yaitu antara lain : masih rendahnya kesadaran masyarakat
dan pelaku usaha terhadap sandard mutu produk, masih belum mencukupinya jumlah
standard nasional yang dapat mendukung produk industri, masih belum memadainya
instrumen hukum atau peraturan yang mendorong terwujudnya penerapan standar
yang efektif dan efisien, masih kurangnya kelembagaan yang bergerak dibidang
standardisasi dan sertifikasi produk yang kompeten, masih kurangnya Sumber Daya
Manusia (SDM) yang berkualitas dibidang standardisasi dan sertifikasi produk,
belum adanya integrasi dan koordinasi yang baik antar pemangku kepentingan yang
5
Lihat pengertian Sistem Standardisasi Nasional dalam Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000
tentang Standardisasi Nasional dan Lampiran Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional No.
3401/BSN-I/HK.71/11/2001.
6
Lihat Bab II Kebijakan Strategis Pembangunan Standardisasi Nasional, dalam Lampiran Keputusan
Kepala Badan Standardisasi Nasional No. 3401/BSN-I/HK.71/11/2001 tentang Sistem Standardisasi
Nasional.
10
bergerak di bidang standardisasi dan sertifikasi produk, masih kurangnya penerapan
teknologi yang canggih yang mengahasilkan akurasi dan standard kualifikasi yang
tinggi, dan masih banyaknya kendala-kendala lain yang bersifat teknis7.
Terlepas dari masih banyaknya kendala-kendala yang dihadapi, Indonesia
telah menerapkan “Standardisasi Nasional Indonesia (SNI)”. Penerapan ini
dimaksudkan untuk mendukung terwujudnya jaminan mutu barang, jasa, proses,
sistem atau personel sehingga dapat memberikan kepercayaan kepada konsumen dan
pihak terkait bahwa suatu barang/jasa, proses, sistem atau personel, telah memenuhi
persyaratan yang ditentukan. Pada akhirnya hal ini akan mewujudkan peningkatan
produktivitas, daya guna dan hasil guna serta perlindungan terhadap konsumen
dalam mengkonsumsi barang atau jasa.
Kelembagaan yang mendukung diterapkannya SNI tersebut adalah antara
lain Badan Standardisasi Nasional (BSN), Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan
Komite Standard Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU). Badan Standardisasi
Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 sebagaimana
yang telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2001, mempunyai
tugas membantu Presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
standardisasi nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Fungsi yang dimiliki BSN antara lain adalah:
a.
Mengkaji dan menyusun kebijakan nasional di bidang standardisasi nasional;
b.
Mengkoordinasikan kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BSN;
c.
Menyelenggarakan pelancaran dan pembinaan tehadap kegiatan instansi
pemerintah di bidang standardisasi nasional; dan
d.
Menyelenggarakan kegiatan kerjasama dalam negeri dan internasional di
bidang standardisasi.
Komite Akreditasi Nasional (KAN) merupakan lembaga non-struktural yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dengan tugas menetapkan
akreditasi dan memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN dalam menetapkan
7
Lihat Sistem Standardisasi Nasional pada Bab II Kebijakan Strategis Pembangunan Standardisasi
Nasional dalam Lampiran Keputusan Kepala BSN No. 3401/BSN-I/HK.71/11/2001, hlm. 7.
11
sistem akreditasi dan sertifikasi8. Komite Akreditasi Nasional memberikan akreditasi
kepada lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi dan laboratorium baik yang berlokasi
di Indonesia maupun di luar negari. Komite Akreditasi Nasional menetapkan
peraturandan persyaratan pemberian, pemeliharaan, perluasan, perpanjangan,
penundaan dan pencabuan akreditasi, baik sebagian atau keseluruhan dari lingkup
akreditasi.
Komite Standard Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU) adalah sama
halnya dengan KAN sebagai lembaga non-struktural yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden. Tugas yang dimiliki adalah memberikan
pertimbangan dan saran kepada BSN mengenai standard nasional untuk satuan
ukuran.
Selain ketiga lembaga di atas, ada lembaga-lembaga teknis yang mendukung
penerapan standarisasi nansional, yaitu lembaga sertifikasi, laboratorium, dan
lembaga inspeksi. Lembaga sertifikasi mempunyai tugas melakukan kegiatan
penilaian kesesuaian terhadap persyaratan tertentu, dimana hasil penilaian
dinyatakan dengan sertifikat. Misalnya sertifikat sistem manajemen mutu, sistem
manajemen lingkungan, sertifikasi produk, sertifikasi personel, sertifikat sistem
keamanan pangan (Hazard Analysis and Critical Control Point – HACCP) dan
sertifikat lainnya di bidang standardisasi. Laboratorium meliputi laboratorium
penguji dan laboratorium kalibrasi yang melakukan kegiatan pengujian dan/atau
kalibrasi, dimana hasil pengujian tersebut dinyatakan dengan sertifikat hasil uji atau
sertifikat kalibrasi. Lembaga inspeksi mempunyai tugas melakukan pemeriksaan
kesesuaian barang dan/atau jasa terhadap ersyaratan tertentu, dimana hasil
pemeriksaan dinyatakan dengan sertifikasi hasil inspeksi.
Dalam perspektif hukum, penetapan standard dan/atau pemberian sertifikasi
mutu atas suatu produk barang maupun jasa oleh lembaga-lembaga sebagaimana
tersebut di atas, dapat dikonstruksi sebagai suatu perjanjian yang mengikat terhadap
para pihak (pelaku usaha, konsumen dan lembaga yang mengeluarkan standard atau
sertifikasi), jika suatu produk tersebut ditetapkan telah memenuhi suatu standar
(nasional/internasional) ataupun telah bersertifikasi. Dengan demikian ada tanggung
8
Komite Akreditasi Nasional (KAN) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 2001.
12
jawab hukum yang harus dipikul di dalamnya. Hubungan dan tanggung jawab
hukum tersebut tidak hanya melibatkan antara produsen sebagai pihak yang
memproduksi/menghasilkan suatu barang/jasa dengan konsumen sebagai pihak yang
mengkonsumsi suatu produk tersebut (end user), tetapi juga lembaga atau badan
yang mempunyai kewenangan mengeluarkan standardisasi atau sertifikasi mutu
produk tersebut. Jika konsumen mengkonsumsi atau menggunakan suatu produk
yang telah terstandarisasi dan tersertifikasi, tetapi produk tersebut masih merugikan
konsumen, maka permasalahan hukumnya adalah siapa yang bertanggung jawab,
apakah
produsen
ataukah
lembaga/badan
yang
mengeluarkan
standard
mutu/sertifikat mutu tersebut?
Terlebih lagi adalah adanya produk-produk yang beredar dipasaran yang
belum memenuhi standard atau belum tersertifikasi. Siapa yang bertanggung jawab
jika produk tersebut mengakibatkan kerugian terhadap konsumen? Pelaku sahakah
atau pemerintah? Di Indonesia, produk-produk home industry khususnya pangan
olahan kebanyakan belum terstandardisasi dan tersertifikasi dengan baik. Produkproduk ini dengan bebasnya meluncur begitu saja ke pasaran tanpa adanya kontrol.
Jangankan pada tuntutan standardisasi dan sertifikasi produk, untuk pelabelan saja
yang dapat memberikan keterangan kepada konsumen atas komposisi bahan yang
digunakan, belum tercantum label produk dalam kemasan. Melihat hal ini, sangat
rentan sekali posisi konsumen terhadap jaminan kesehatan, keselamatan dan
keamanan dalam mengkonsumsi produk makanan olahan yang beredar di pasaran.
Melihat permasalahan tersebut, penerapan standardisasi dan sertifikasi
produk (khususnya produk pangan olahan) tidak hanya untuk kepentingan
peningkatan daya saing produk, sehingga produk tersebut dapat bersaing di pasaran
(nasional maupun internasional), tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen.
Memang sampai saat ini penerapan standardisasi dan sertifikasi atas suatu
produk masih bersifat voluntary, belum merupakan mandatory terutama yang terkait
dengan produk pangan olahan. Hanya produk-produk tertentu saja terutama yang
terkait dengan konstruksi, rekayasa mekanik, rekayasa elektronik, rekayasa kima,
rekayasa otomotif, obat-obatan (diluar obat tradisional dan jamu), pertambangan dan
13
radioaktif yang diwajibkan oleh instansi teknis yang bersangkutan. Oleh karena itu,
produsen secara sukarela masih mempunyai pilihan, apakah produk yang
dihasilkannya akan distandarisasi/disertifikasi atau tidak. Mungkin pertimbangan
yang dimiliki oleh pelaku usaha tidak menstandardisasi atau mensertifikasi produk
yang dihasilkannya karena mahalnya proses standardisasi atau sertifikasi atau karena
tanpa itupun produk yang dihasilkannya laku dipasaran. Artinya, konsumen belum
menjadikan produk yang memenuhi standard dan tersertifikasi menjadi pilihan
utamanya, dengan alasan lebih mahal atau tidak ada pilihan lain.
Jika suatu produk telah distandarisasi/disertifikasi, maka produk tersebut
harus benar-benar memberikan jaminan atas kualitas dan keamanan dari produk yang
bersangkutan. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa jika suatu produk telah
memenuhi standar dan tersertifikasi, maka produk tersebut dipastikan akan
memberikan jaminan dan perlindungan kepada konsumen. Namun dalam
kenyataannya masih banyak ditemui produk-produk yang telah berstandar dan
bersertifikasi masih merugikan konsumen, apalagi terhadap produk-produk yang
belum memenuhi standar dan tersertifikasi. Padahal dengan lahirnya UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999, hak-hak konsumen secara eksplisit telah diatur,
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 4 UUPK, yaitu:
a.
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b.
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c.
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d.
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e.
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
14
diskriminatif;
h.
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dengan demikian akan menjadi suatu konsekuensi jika Pelaku Usaha dalam
menjalankan usahanya tidak mengindahkan hak-hak konsumen9 dan melanggar
kewajiban10 serta pelarangan11 yang harus ditaati, akan mendapatkan sanksi
sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang.
9
Lihat ketentuan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
10
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
11
Diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
15
BAB III
METODE PENELITIAN
Setiap penelitian hukum selalu mempunyai dasar filosofis, yaitu kebenaran,
keadilan, kejujuran, obyektivitas, dan keteraturan. Penelitian hukum merupakan proses
kegiatan berfikir dan bertindak logis, metodis, dan sistematis mengenai gejala yuridis,
peristiwa hukum atau fakta empiris yang terjadi disekitar kita untuk direkonstruksi guna
mengungkapkan kebenaran yang bermanfaat bagi kehidupan12. Dalam upaya kearah itu,
metode penelitian dalam penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut :
Metode
penelitian
yang
digunakan
menggambarkan dan menganalisis data
bersifat
deskriftif
analitis,
yaitu
yang diperoleh berupa data sekunder dan
didukung oleh data primer13 mengenai berbagai masalah yang terkait
dengan
penerapan standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan dalam upaya
meningkatkan perlindungan konsumen.
Sesuai dengan bidang kajian Ilmu Hukum, pendekatan yang dipakai dalam
penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yang didukung dengan pendekatan
undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach)14
yang terkait dengan penerapan standardisasi dan sertifikasi produk pangan olahan
dalam upaya meningkatkan perlindungan konsumen.
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1.
Bahan Hukum Primer dalam bentuk antara lain Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984
tentang Perindustrian, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan,
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan,
Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional,
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi
12
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm.1-2.
Lihat J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1995, hlm.3.
14
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif adalah penelitian terhadap asas-asas hukum,
sistematika hukum, sinkronisasi hukum secara vertikal dan horisontal dari perundang-undangan,
perbandingan hukum dan sejarah hukum, lihat dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.14. Lihat pula Peter
Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Edisi I, Cetakan ke-3,
2007, hlm.93-95.
13
16
Pangan, Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan,
Penerapan dan Pengawasan Standardisasi Nasional Indonesia.
2.
Bahan Hukum Sekunder berupa tulisan-tulisan para ahli di bidang hukum baik
nasional maupun internasional, jurnal dan majalah hukum bisnis yang didapat
melalui studi kepustakaan yang membahas tentang standardisasi dan sertifikasi
barang dan jasa khususnya produk pangan olahan dan teori atau kajian tentang
perlindungan konsumen.
3.
Bahan Hukum Tersier berupa kamus hukum, kamus ekonomi, ensiklopedia,
artikel pada surat kabar, majalah dan internet.
Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library
research) dan penelitian lapangan (field research) untuk mendukung bahan hukum
yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan mulai
dari inventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan materi bahasan
sampai pada penelitian substansi materi yang memberikan dasar pengaturan tentang
diterapkannya standardisasi dan sertifikasi produk khususnya produk pangan olahan
dalam upaya meningkatkan daya saing produk dan perlindungan terhadap konsumen.
Selain penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, dalam penelitian
kepustakaan juga melakukan inventarisasi dan kajian terhadap bahan-bahan hukum
sekunder yang berupa tulisan-tulisan para ahli hukum baik nasional maupun
internasional, jurnal dan majalah hukum serta bahan-bahan hukum tersier yang relevan
dengan materi pembahasan.
Penelitian lapangan dilakukan guna memperoleh data primer sebagai data
pendukung untuk melengkapi studi kepustakaan. Studi lapangan ini diperlukan untuk
mendapatkan data tentang bagaimana penerapan standardisasi dan sertifikasi mutu
produk pangan olahan yang menjadi obyek perdagangan. Alat bantu yang digunakan
dalam penelitian ini berupa kuesioner, pedoman wawancara dan wawancara langsung
dengan narasumber dan responden terpilih. Narasumber dan responden yang dimaksud
adalah pihak yang dianggap mengetahui dan memahami bidang yang akan diteliti.
Sesudah memperoleh bahan hukum dan data pendukung yang diperlukan,
langkah selanjutnya adalah melakukan analisis. Analisis data yang digunakan di dalam
penelitian ini adalah yuridis kualitatif dengan menggunakan daya abstraksi dan
17
penafsiran hukum (interpretasi)15, untuk selanjutnya dituangkan dalam bentuk uraianuraian (deskripsi) dengan menggunakan logika deduktif maupun induktif 16. Selain itu
akan digunakan analisis data berdasarkan pendekatan ekonomi sebagaimana yang
dikemukakan oleh Richard A. Posner (Economic Analysis of Law)17 untuk mengetahui
keterkaitan dan relevansi antara kepentingan hukum dengan kepentingan ekonomi
dalam masalah penerapan standardisasi dan sertifikasi produk yang dihubungkan
dengan peningkatan perlindungan terhadap konsumen.
Untuk memperoleh bahan hukum dan data yang diperlukan, lokasi penelitian
difokuskan pada :
1.
Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan Pusat Universitas Jember;
2.
Lembaga-lembaga Akreditasi atau sertifikasi setempat;
3.
Perpustakaan atau pusat data dan informasi lain yang menyediakan bahan
hukum yang berkaitan dengan materi penelitian;
4.
Situs atau jaringan internet yang menyediakan layanan data dan informasi yang
berkaitan dengan materi penelitian;
5.
Pusat data dan informasi Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa
Timur dan Kabupaten Jember.
Penelitian ini akan dilakukan selama 3 (tiga) bulan dengan tahapan kegiatan : 1)
inventarisasi bahan hukum; 2) penelitian lapangan; 3) analisis data dan bahan hukum; 4)
pelaporan dan evaluasi; dan 5) desiminasi dan publikasi.
15
Menurut Bagir Manan, penafsiran atau interpretasi hukum adalah usaha memberi makna suatu atau
sejumlah kaidah hukum agar dapat diterapkan secara wajar dalam memecahkan suatu persoalan hukum.
Lihat Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), FH UII-Press, Yogyakarta, 2004,
Cet. I, hlm.73-74. Lhat pula Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni,
Bandung, 2000, hlm.9-12.
16
Menurut M. Daud Silalahi, semua penelitian memerlukan “logical reasoning”. Reasoning adalah
proses berfikir yang menggunakan hukum berfikir (rules of logic), dengan mana suatu pernyataan umum
(a general statement) untuk menghasilkan kesimpulan tertentu (specific conclusion, deduction) atau
sebaliknya, dari pernyataan spesific ke suatu generalisasi (induction). Pada deductive reasoning, bilamana
premis benar, maka konklusi dengan sendirinya (automaticly) benar. Kesimpulan dari a deductive logical
syllogism tidak akan keluar dari premis (never extend beyond the content of the premises). Lihat M. Daud
Silalahi, Metodologi Penelitian Hukum (Preferensi Khusus pada Pendekatan Multi/Interdisiplin),
Lawencon Binding Centre, Bandung, 2001, hlm.7.
17
Lihat Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Little, Brown & Company, Second Edition, 1977.
18
BAB IV
PEMBAHASAN
1.
Instrumen hukum yang terkait dengan penerapan standardisasi dan
sertifikasi mutu produk pangan olahan serta Tanggung Jawab Produsen
Pangan Olahan Dalam Upaya Menciptakan Pembangunan Ekonomi Nasional
yang Berkeadilan
Sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), bahwa
tujuan dibentuknya suatu Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Amanat ini ditindaklanjuti dalam rumusan pasal-pasal yang terkandung
dalam batang tubuh UUD 1945. Dalam upaya menciptakan kesejahteraan umum
dan keadilan sosial Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 memberi arah bahwa
perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional. Asas dan prinsip ini menurut Sri Edi Swasono
mencirikan demokrasi ekonomi khas Indonesia dan menurut Muhammad Hatta
sistem ekonomi ini disebut sosialisme religius, yang lebih mengutamakan pada
kepentingan masyarakat atau dengan kata lain kemakmuran masyarakat dan
kedudukan rakyat ditempatkan dalam posisi substansial18.
Demokrasi ekonomi Indonesia selain untuk memajukan kesejahteraan
umum, juga bercita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
(social justice, fairness, equity, equality), sehingga menyandang pemihakan
(parsialisme, special favour) terhadap yang lemah, yang miskin dan yang
18
Lihat Sri Edi Swasono, Indonesia is Not for Sale: Sistem Ekonomi untuk Sebesar-besarnya
Kemakmuran Rakyat, Bappenas, Jakarta, 2007, hlm. 5-7, 14, dan 40, dan lihat pula Sri Edi Swasono,
Keparipurnaan Ekonomi Pancasila, FEUI-Depok, 2006, hlm. 17-20.
19
terbelakang untuk mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus ke arah
pemberdayaan. Parsialisme terhadap yang tertinggal ini menurut Sri Edi Swasono
bukanlah sikap yang diskriminatori apalagi bersikap “sara”, melainkan memberi
makna positif pada doktrin kebersamaan dalam asas kekeluargaan Indonesia. Dari
sinilah titik tolak untuk menegaskan bahwa efisiensi ekonomi berdimensi
kepentingan sosial. Hal inilah yang membedakan dengan pandangan ekonomi
liberal yang memaknai “efisiensi ekonomi” pada maximum gain (dalam badan
usaha ekonomi) dan maximum satisfaction (dalam transaksi ekonomi orangseorang). Untuk itu, perumusan kata “efisensi berkeadilan” yang termaktub dalam
Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945, dikandung maksud untuk menangkal masuknya
pandangan neoliberalisme dalam sistem demokrasi ekonomi Indonesia.
Keadilan sosial sering disamakan dengan kesejahteraan sosial, keadilan
hukum, keadilan ekonomi dan beragam konsep yang muncul untuk merespon
kompleksitas perubahan sosial masyarakat Indonesia dan globalisasi. Pada awalnya
definisi konseptual keadilan sosial lebih merujuk pada kecukupan sandang-pangan
dan tiadanya kemiskinan, namun dalam perkembangannya semakin meluas yang
mencakup masalah keadilan di dalam hukum, keadilan dalam hubungan sosialekonomi, adanya jaminan kesehatan dan pelayanan umum bagi seluruh masyarakat
dan lain-lain.
Untuk mengukur tercapainya keadilan sosial, Tap MPR No. VII/MPR/2001
tentang Visi Indonesia Masa Depan (2020) menentukan indikator yang terkait
dengan keadilan dan kesejahteraan. Indikator untuk mengukur tercapainya keadilan
adalah : a) tegaknya hukum yang berkeadilan tanpa diskriminasi; b) terwujudnya
institusi dan aparat hukum yang bersih dan profesional; c) terwujudnya penegakan
hak asasi manusia; d) terwujudnya keadilan gender; e) terwujudnya budaya
penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum; f) terwujudnya keadilan dalam
distribusi pendapatan, sumber daya eonomi dan penguasaan aset ekonomi, serta
hilangnya praktik monopoli; g) tersedianya peluang yang lebih besar bagi
kelompok ekonomi kecil, penduduk miskin dan tertinggal.
20
Adapun indikator untuk mengukur tercapainya kesejahteraan adalah : a)
meluasnya kesempatan kerja dan meningkatnya pendapatan penduduk sehingga
bangsa Indonesia menjadi sejahtera dan mandiri; b) meningkatnya angka partisipasi
murni anak usia sekolah; c) terpenuhinya sistem pelayanan umum, bagi seluruh
lapisan masyarakat termasuk pelayanan kepada penyandang cacat dan usia lanjut,
seperti pelayanan transportasi, komunikasi, penyediaan energi dan air bersih; d)
tercapainya hak atas hidup sehat bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk melalui
sistem kesehatan yang dapat menjamin terlindunginya masyarakat dan berbagai
risiko yang dapat mempengaruhi kesehatan dan tersedianya pelayanan kesehatan
yang bermutu, terjangkau dan merata; e) meningkatnya indeks pengembangan
manusia (human development index), yang menggambarkan keadaan ekonomi,
pendidikan dan kesehatan secara terpadu; dan f) terwujudnya keamanan dan rasa
aman dalam masyarakat.
Menurut Aristoteles, keadilan dibedakan antara keadilan distributif19 dan
keadilan korektif20. Berbeda dengan John Rawls, memaknai keadilan sebagai
kejujuran (justice as fairness). Jadi, prinsip keadilan yang paling fair itulah yang
harus dipedomani. John Rawls, mengemukakan dua prinsip keadilan, yaitu :
Pertama, setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling
luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Kebebasan ini diharuskan
setara, karena warga suatu masyarakat yang adil mempunyai hak-hak dasar yang
sama. Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa
sehingga : a) dapat diharapkan memberikan keuntungan semua orang, dan b) semua
posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang. Prinsip ini berkenaan dengan
distribusi pendapatan dan kekayaan serta dengan desain organisasi yang
menggunakan perbedaan dalam otoritas dan tanggung jawab atau rantai komando.
Sementara distribusi kekayaan dan pendapatan tidak perlu sama, harus demi
19
Keadilan distributif adalah tentang soal pembagian pada masing-masing orang sesuai dengan statusnya
dalam masyarakat. Keadilan ini menghendaki agar orang-orang yang mempunyai kedudukan yang
samamemperoleh perlakuan yang sama pula di hadapan hukum.
20
Keadilan korektif atau remedial adalah yang menetapkan kriteria dalam melaksanakan hukum seharihari, harus mempunyai standar umum untuk memulihkan akibat tindakan yang dilakukan orang dalam
hubungannya satu sama lain. Standar tersebut diterapkan tanpa membeda-bedakan orang dengan
perlakuan yang sama terhadap kesederajadan di hadapan hukum (equality before the law).
21
keuntungan semua orang, dan pada saat yang sama, posisi-posisi otoritas dan
jabatan komando harus bisa diakses oleh semua orang. Prinsip ini menekankan
keterbukaan yang dapat mengatur ketimpangan sosial-ekonomi sedemikian rupa
sehingga semua orang diuntungkan21.
Gustav Radbruch menyebutkan, keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum sebagai ‘tiga ide dasar hukum’ atau ‘tiga nilai dasar hukum’, yang dapat
dipersamakan dengan asas hukum22. Hal ini juga dapat dilihat dari tujuan hukum.
Menurut aliran etis, tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan,
sedangkan menurut aliran utilitas, tujuan hukum adalah untuk menciptakan
kemanfaatan. Adapun menurut aliran normatif-dogmatik, tujuan hukum untuk
menciptakan kepastian hukum.
Ketiga aliran tersebut menurut Achmad Ali adalah aliran konvensional yang
ekstrem dan sulit untuk dianut dalam masyarakat hukum yang kompleks seperti
masa sekarang ini. Dilihat dari tujuannya, hukum dapat dikaji dari tiga sudut
pandang, yaitu :
1.
Sudut pandang ilmu hukum positif-normatif atau yuridis-dogmatik dimana
tujuan hukum menitikberatkan pada segi kepastian hukumnya;
2.
Sudut pandang filsafat hukum dimana tujuan hukum menitikberatkan pada
segi keadilannya; dan
3.
Sudut pandang sosiologi hukum dimana tujuan hukum menitikberatkan
pada segi kemanfaatannya.
21
John Rawls, A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1995, yang
telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan
(Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Masyarakat), Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 72-73.
22
Gustav Radbruch, Einfuhrung in die Rechtswissenchaft, Stuuttgart, KF Kohler, yang dikutip dari
Achmad Ali, op.cit., hlm. 95. Lihat pula Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan
Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 26-27.
22
Achmad Ali menyatakan bahwa hukum juga seyogianya memiliki
kemampuan untuk menjadi pencerminan perubahan moralitas sosial, sehingga
ketiga tujuan hukum tersebut dapat diwujudkan secara seimbang23.
Dalam mewujudkan ketiga tujuan hukum tersebut secara bersamaan,
menurut Radbruch akan mengalami kesulitan. Dalam kenyataan, seringkali antara
tujuan yang satu dengan yang lainnya terjadi benturan. Untuk itu, menurutnya
harus digunakan asas prioritas, dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan,
baru kemanfaatan dan terakhir kepastian hukum.
Terkait hubungan antara keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum
sebagai tujuan dari hukum, Jimly Assiddiqie dapat menggambarkan dengan baik
bagaimana ketiga tujuan hukum tersebut dapat berperan dalam pembangunan
ekonomi nasional. Hukum dalam kepentingan ekonomi akan memberikan
kepastian yang adil dan kemanfaatan yang menjamin kebebasan yang teratur dalam
dinamika perekonomian, sehingga pada gilirannya dapat membawa kesejahteraan
bersama dalam kehidupan masyarakat. Tanpa kepastian hukum (certainty),
perekonomian tidak dapat berkembang dengan teratur; tanpa keadilan (justice),
perekonomian tidak akan menumbuhkan kebebasan yang sehat dan berkeadilan;
dan tanpa kebergunaan (utility), perekonomian tidak akan membawa kesejahteraan
dan kedamaian. Karena pada akhirnya, hukum itu sendiri haruslah membawa
kehidupan bersama kepada kesejahteraan dan kedamaian24.
Keterkaitan antara hukum dan ekonomi tersebut, oleh Jimly Asshiddiqie
disimpulkan bahwa dalam perkembangan ekonomi suatu negara, kedudukan dan
peranan hukum dianggap sangat penting25. Bahkan Jean Jacques Rousseau pada
tahun 1755, dalam bukunya
A Discourse on Political Economy, sudah
menguraikan keterkaitan antara hukum dan ekonomi26.
23
Achmad Ali, op.cit., hlm. 81.
Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 13.
25
Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 11.
26
Jean Jacques Rousseau, A Discourse on Political Economy, http://constitution.org.
24
23
Menurut Sunaryati Hartono27, pembangunan ekonomi sangat memerlukan
sarana dan pranata hukum, agar pembangunan ekonomi nasional itu benar-benar
mencapai tujuannya sesuai dengan yang direncanakan. Pengaturan tersebut tidak
boleh hanya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum saja atau
pertimbangan-pertimbangan ekonomi belaka, tetapi seyogianya pengaturan bidangbidang hukum ekonomi tersebut didasarkan pula pada penalaran dan pertimbangan
politik ekonomi pembangunan, yang dipadukan dengan pendekatan politik hukum
pembangunan
maupun
dengan
pertimbangan
politik
pembangunan
sosial/masyarakat secara intern dan transdisipliner secara holistik/sistematik28.
Inilah yang menjadi tugas bidang hukum, khususnya bidang hukum ekonomi, yaitu
menciptakan keseimbangan baru antara kepentingan-kepentingan konsumen,
pengusaha, masyarakat dan pemerintah29.
Dilihat
dari
pentingnya
persoalan
hubungan
antara
hukum
dan
pembangunan ekonomi inilah, pada tahun 1970-an dikembangkan apa yang
dinamakan sebagai Law and Development Movement, yaitu suatu gerakan
pemikiran yang menganjurkan agar hukum dilihat sebagai a tool of social change,
sebagai sarana perubahan masyarakat30.
Dewasa ini hubungan antara hukum dan pembangunan ekonomi kembali
mendapat perhatian serius dalam rangka pengembangan kegiatan policy-making,
karena adanya tuntutan kebutuhan dilingkungan lembaga negara/pemerintah,
oganisasi internasional dan lembaga swadaya masyarakat (non-governmental
organizations) untuk melakukan advokasi mengenai pentingnya penguatan rule of
law di negara-negara yang sedang berkembang.
Menurut Sunaryati Hartono, fungsi hukum dalam pembangunan, adalah31 :
27
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm.
30.
28
Idem., hlm. 31.
29
Idem., hlm. 35.
30
Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases,
Cambridge, Massachussett, 2003, hlm. 1-20.
31
Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1982, hlm. 10.
24
1. sebagai pemelihara dalam ketertiban dan keamanan;
2. sebagai sarana pembangunan;
3. sebagai sarana penegak keadilan; dan
4. sebagai sarana pendidikan masyarakat.
Hukum sebagai sarana pembangunan mempunyai pengertian bahwa
pembangunan hukum itu perlu dilakukan sedemikian rupa, sehingga mampu
menciptakan suatu sistem hukum pembangunan nasional. Berkaitan dengan itu,
Mochtar Kusumaatmadja32 menyatakan bahwa hukum dalam arti kaedah atau
peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana
pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia kearah yang dikehendaki
oleh pembangunan atau bisa berfungsi sebagai alat pembaruan (law as a tool of
social engineering)33. Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh
hukum disamping fungsinya yang tradisional yakni untuk menjamin adanya
kepastian dan ketertiban.
Hukum diperlukan bagi proses perubahan termasuk proses perubahan yang
cepat yang biasanya diharapkan oleh masyarakat yang sedang membangun, apabila
perubahan itu hendak dilakukan dengan teratur dan tertib. Perubahann yang teratur
melalui prosedur hukum, baik yang berwujud perundang-undangan maupun
keputusan badan-badan peradilan (yurisprodensi) lebih baik dari pada perubahan
yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-mata34. Menurut
Mochtar Kusumaatmadja, inilah tujuan pokok daripada hukum, yaitu ketertiban.
Kebutuhan akan ketertiban ini, sebagai syarat pokok (fundamental) bagi adanya
suatu masyarakat yang teratur. Ketertiban sebagai tujuan utama hukum, merupakan
suatu fakta obyektif yang berlaku bagi segala masyarakat dalam segala bentuknya.
32
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hlm.
88.
33
Menurut Jimly Asshiddiqie, hukum selain berfungsi sebagai sarana pembaruan masyarakat (tool of
social engineering) juga dapat berfungsi sebagai sarana pembebasan dan emansipasi sosial (tool of social
liberation and social emancipation), op.cit., hlm. 16.
34
Mochtar Kusumaatmadja, op.cit., hlm. 88-89.
25
Disamping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang
berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya35.
Menurut Djuhaendah Hasan, konsep hukum sebagai sarana pembaharuan
dalam pembangunan masyarakat sebagaimana yang digagas oleh Mochtar
Kusumaatmadja yang diilhami oleh konsep “law as a tool of social engineering”
dari Roscoe Pound, telah memberikan peran penting kepada hukum dalam
pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi. Apabila dulu hukum selalu
berada di belakang sebagai sarana ketertiban dan keamanan yang hanya
mempertahankan status quo, maka dengan konsepsi hukum sebagai sarana
pembaharuan dan pembangunan masyarakat, hukum tampil di depan dan
memberikan arah dalam pembaharuan dan pembangunan. Pembangunan hukum
harus dapat mengantisipasi pembangunan masyarakat ke depan. Dengan demikian
pembaharuan
hukum dan pembentukan hukum harus
melihat
kedepan,
pembentukan hukum tidak boleh hanya untuk kepentingan hari ini tetapi harus
memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi untuk waktu yang akan
datang seiring dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi36.
Hukum dalam pandangan ekonomi mempunyai tugas untuk mengatur dan
memberdayakan pelaku usaha untuk berproduksi secara baik dengan memenuhi
standar mutu yang telah ditentukan, melindungi pengusaha kecil, dan menjaga
persaingan usaha yang sehat. Pemenuhan standar mutu dimaksudkan selain untuk
memenuhi kepentingan daya saing produk di pasaran, juga yang lebih utama adalah
untuk memberikan perlindungan dan jaminan keamanan, keselamatan dan
kesehatan konsumen akibat mengkonsumsi produk yang dihasilkan oleh pelaku
usaha.Untuk itulah konsep tanggung jawab produk (product liability) dan
standardisasi mutu produk diterapkan.
Konsep dan regulasi yang terkait dengan tanggung jawab produk yang
diberlakukan di Indonesia masih bersifat umum, sebagaimana yang tertuang dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu yang memberikan
35
36
Mochtar Kusumaadmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum..., op.cit., hlm. 2-3.
Djuhaendah Hasan, op.cit., hlm.79.
26
aturan mengenai hubungan hukum yang dikerangkai dalam perikatan, tanggung
jawab hukum dalam pemenuhan prestasi, tanggung jawab hukum jika terjadi
wanprestasi, tanggung jawab hukum terhadap perbuatan melawan hukum,
tanggung jawab hukum dalam hubungan jual beli, tanggung jawab hukum terhadap
barang yang cacat tersembunyi, tanggung jawab pembuktian, dan lain-lain.
Pengaturan tanggung jawab produk yang lebih spesifik diatur di dalam undangundang sektoral. Misalnya tanggung jawab produk yang terkait dengan kemanan
dan mutu pangan, diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004
tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.
Tanggung jawab pelaku usaha
terhadap kerugian konsumen akibat mengkonsumsi produk yang dihasilkan
olehnya, diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan bagaimana
pemberlakuan prinsip tanggung jawab produk dalam Hukum Indonesia dan
bagaimana tanggung jawab produsen pangan olahan dikaitkan dengan standardisasi
mutu produk.
a.
Pemberlakuan Prinsip Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Indonesia
Prinsip tanggung jawab produk (product liability principle), adalah
suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan
suatu produk (producer, manufacturer) atau dari orang atau badan yang
bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor,
assembler) atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan
(seller, distributor) produk tersebut37.
Istilah product liability tersebut baru dikenal sekitar 72 tahun yang lalu
yaitu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat sehubungan dengan
dimulainya produk bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan
produsen, maupun penjual mengasuransikan barang-barangnya terhadap
kemungkinan
adanya
risiko
akibat
produk-produk
yang
cacat
atau
menimbulkan kerugian terhadap para konsumen.
37
E. Saefullah, Product Liablity..., op.cit, hlm. 36.
27
Namun demikian, sebelum berlakunya prinsip tanggung jawab produk
ini, sebenarnya bagi seorang pembeli yang tertipu atau korban dari
ketidakjujuran (deceit) dari penjual, hukum sudah sejak lama menyediakan
cara penyelesaiannya (remedies), yaitu hak untuk menuntut berdasarkan
adanya suatu jaminan (warranty) yang tidak ada hubungannya dengan suatu
kontrak. Namun demikian, sampai akhir abad ke-15 tidak ada tuntutan yang
dapat diajukan ke muka pengadilan terhadap suatu janji (promise) kecuali
untuk kontrak under seal38.
Perkembangan selanjutnya adalah terjadinya penggabungan antara
warranty dan promise yang sejak abad ke-19 sangat berpengaruh terhadap hakhak pembeli. Perubahan terjadi dengan menerapkan ketentuan bahwa penjual
bertanggung jawab atas semua kerugian akibat adanya pelanggaran atas
jaminannya. Namun disamping itu ada juga kecenderungan yang mengurangi
hak-hak pembeli barang dengan adanya ketentuan yang mensyaratkan bahwa
suatu jaminan harus dibuat dengan promisory intent. Sehingga suatu
pernyataan tidak dianggap sebagai jaminan kecuali dibuat with intent to
contract39.
Perkembangan hukum tentang product liability ini juga ditandai dengan
diakuinya implied warranties yang mempunyai kekuatan sama dengan express
warranties. Pembebanan tanggung jawab terhadap pihak supplier atau
produsen di dasarkan atas adanya kontrak, sehingga dengan demikian ruang
lingkupnya sangat terbatas, yaitu hanya timbul diantara pihak-pihak yang
mengadakan kontrak yaitu antara korban (injured person) dengan supplier atau
produsen barang yang cacat/rusak tersebut. Pihak lain yang juga jadi korban
dari produk yang cacat atau tidak aman itu tidak terlindungi.
Berdasarkan keadaan yang tidak memuaskan tersebut, maka diterapkan
prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on negligence/fault
liability principle) dalam product liability. Sejak itu setiap produsen atau
38
39
S.M. Waddams, Product Liability, The Carswell Company Limited, 1974, hlm.1.
Idem, hlm. 9.
28
supplier dari barang bertanggung jawab terhadap setiap orang yang menderita
kerugian akibat barang yang cacat jika dapat dibuktikan bahwa produsen atau
supplier bersalah. Namun ternyata penerapan prinsip ini tidak lebih baik dari
tanggung jawab berdasarkan implied warranty, sebab adanya keharusan
membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh produsen (manufacturer) atau
supplier, tidak mudah dilakukan. Disamping itu suatu produk sampai kepada
konsumen biasanya harus melalui agen, grosir, distributor, dan pedagang
eceran. Hal ini menambah kesulitan bagi pihak korban (konsumen) yang akan
melakukan tuntutan atas kerugian yang dideritanya. Belum lagi jika rangkaian
antara produsen dengan konsumen tersebut melampaui batas-batas negara,
maka permasalahan hukumnya akan lebih kompleks lagi.
Mengingat hal tersebut, maka hukum tentang product liability
diberlakukan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle). Dengan
diterapkannya prinsip ini maka setiap orang/konsumen yang merasa dirugikan
akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut
kompensasi tanpa harus membuktikan atau mempermasalahkan ada atau
tidaknya unsur kesalahan di pihak produsen.
Alasan-alasan yang mendasari prinsip tanggung jawab mutlak (strict
liability principle) diterapkan dalam product liability, adalah40 :
a.
diantara korban/konsumen disatu pihak dan produsen dilain pihak,
beban kerugian (risiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang
memproduksi/mengeluarkan barang yang cacat atau berbahaya tersebut
di pasaran;
b.
dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti
produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas
untuk dipergunakan (asas itikad baik), dan bilamana terbukti tidak
demikian, maka dia harus bertanggung jawab;
40
D.L. Dann, Strict Liability in the U.S.A, dalam Aviation Product and Grounding Liability Symposium,
The Royal Aeronautical Society, London, 1972, hlm. 16-17, dalam E. Saefullah, Product Liability...,
op.cit., hlm.39.
29
c.
untuk menghilangkan proses panjangnya penuntututan yaitu dari
konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir
kepada distributor, distributor kepada agen dan agen kepada produsen
yang memakan waktu cukup lama;
d.
berdasarkan social climate theory, produsen/manufacturer adalah pihak
yang berada dalam posisi keuangan yang lebih baik untuk menanggung
beban kerugian;
e.
konsumen secara individual mengalami kesulitan dalam membuktikan
adanya unsur kesalahan dalam suatu proses manufacturing yang
demikian komplek dalam suatu perusahaan/industri.
Meskipun sistem tanggung jawab pada prduct liability berlaku prinsip
strict liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung jawab,
apabila41 :
a.
jika produsen tidak mengedarkan produknya (put into circulation);
b.
cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk
diedarkan oleh produsen, atau dengan kata lain terjadinya cacat atas
barang tersebut baru timbul kemudian (namun bukan karena cacat
tersembunyi);
c.
bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual
atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan
dalam rangka bisnis;
d.
bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan
memenuhi
kewajiban
yang
ditentukan
dalam
peraturan
yang
dikeluarkan oleh pemerintah;
e.
bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scientific and technical
knowledge, state of art defense) pada saat produk tersebut diedarkan
tidak mungkin terjadi cacat;
f.
dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut
disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri dimana komponen telah
41
Jean-Michel Fobe, Aviation Product Liability and Insurance in the EU, Kluwer, Deventer, 1994, hlm.
44-53.
30
dicocokkan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan
oleh pihak produsen produk tersebut;
g.
bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut
menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contrybutory negligence);
h.
kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur.
Dalam sistem Hukum Perdata Indonesia, yang terkait dengan tanggung
jawab produk (product liability), belum mengenal adanya prinsip strict
liability. Indonesia selama ini menerapkan sistem pertanggungjawaban hukum
berdasarkan tuntutan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur di
dalam Pasal 1365 KUHPerdata atau tort dengan prinsip tanggung jawab atas
dasar adanya unsur kesalahan (based on fault liability)
42
, dimana pihak
penggugat/korban (konsumen) harus membuktikan adanya unsur kesalahan di
pihak tergugat (produsen). Hal ini diperkuat dengan adanya asas pembuktian
yang terkandung dalam Pasal 1865 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa :
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna
meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain,
menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau
peristiwa tersebut”.
Indonesia menggunakan prinsip tanggung jawab atas dasar adanya
unsur kesalahan (based on fault liability). Jika dilihat dari sejarahnya,
pertanggungjawaban produk di dalam common law system dan civil law
system, menunjukkan perbedaan asal muasal strict liability sebagaimana
dikenal sekarang. Pada saat ini strict liability lebih dikenal sebagai
pertanggungjawaban tanpa kesalahan (no-fault liability / liability based on nofault / liability without fault), atau pertanggung-jawaban berdasarkan kerugian
yang timbul (liability based on risk), sebagai dikenal dalam common law
42
Unsur yang harus dibuktikan oleh penggugat (konsumen) adalah:
a. adanya perbuatan melawan hukum;
b. adanya kesalahan/kelalaian produsen;
c. adanya kerugian yang dialami konsumen; dan
d. adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang dialami
konsumen.
31
system. Penamaan seperti ini dapat dimaklumi karena di dalam common law
system, rezim strict liability merupakan transformasi (perubahan bentuk) dari
pertanggungjawaban berdasarkan perjanjian (contractual liability), yang
memang sama sekali tidak mensyaratkan adanya unsur kesalahan. Sedangkan
di dalam civil law system, strict liability lebih dikenal sebagai derivasi
(turunan) dari pertanggungjawaban berdasarkan perbuatan melawan hukum
(tortious liability), dimana unsur kesalahan merupakan salah satu syarat untuk
meminta pertanggungjawaban. Karena hukum perdata Indonesia menganut
civil law system, dan dengan asas konkordansi B.W. Belanda diberlakukan
menjadi KUHPerdata, maka tidak dikenal dalam hukum Indonesia adanya
tanggung jawab mutlak (strict liability).
Namun dalam perkembangannya, di dalam peraturan perundangundangan yang baru, misalnya di dalam Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi, Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sudah mulai diterapkan asas
pembuktian terbalik. Di dalam asas ini, eksistensi unsur kesalahan masih
terkandung di dalamnya, namun dilakukan pengalihan beban pembuktian
unsur kesalahan tersebut dari penggugat (konsumen) kepada tergugat
(produsen) (shifting the burden of proof).
b. Tanggung Jawab Produsen Pangan Olahan
Seperti yang telah diketahui bersama bahwa pangan merupakan
kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat
Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk
melaksanakan pembangunan nasional. Pangan yang aman, bermutu, bergizi,
beragam, dan tersedia secara cukup merupakan persyaratan utama yang harus
dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem pangan43 yang
memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makin berperan
43
Pengertian sistem pangan menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996
tentang Pangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan, pembinaan, dan atau
pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi pangan dan peredaran pangan sampai dengan siap
dikonsumsi manusia.
32
dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Pangan
sebagai komoditas dagang memerlukan dukungan sistem perdagangan pangan
yang jujur dan bertanggung jawab sehingga tersedia pangan yang terjangkau
oleh daya beli masyarakat serta turut berperan dalam peningkatan
pertumbuhan ekonomi nasional.
Pengertian pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber
hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan
tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam
proses penyiapan, pengolahan, atau pembuatan makanan atau minuman44.
Pangan yang sudah diolah, disebut dengan pangan olahan, yaitu makanan atau
minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa
bahan tambahan45. Proses yang dimaksudkan adalah proses produksi pangan46.
Pangan yang dihasilkan dari proses produksi tersebut harus memenuhi
keamanan pangan, yaitu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
Upaya yang dilakukan untuk menjaga keamanan pangan tersebut
adalah dengan menetapkan aturan yang berkaitan dengan sanitasi pangan,
penggunaan bahan tambahan pangan, proses rekayasa genetika pangan,
kemasan pangan, jaminan mutu pangan dan pangan tercemar serta memberikan
beban tanggung jawab kepada produsen pangan olahan untuk berproduksi
secara baik.
Sanitasi pangan, wajib diterapkan dalam sarana dan prasarana yang
digunakan secara langsung atau tidak langsung dan penyelenggaraan dalam
kegiatan
atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau
peredaran pangan. Pangan yang diproduksi tidak boleh menggunakan bahan
44
Lihat ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Idem., Pasal 1 angka 2.
46
Produksi pangan menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan,
mengemas kembali, dan atau mengubah bentuk pangan.
45
33
tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas
maksimal yang ditetapkan oleh pemerintah. Terkait dengan proses rekayasa
genetika pangan, untuk setiap orang yang memproduksi pangan atau
menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan dan atau bahan bantu lain
dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses
rekayasa genetika diwajibkan terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan
bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan. Terkait dengan ini, pemerintah
menetapkan
persyaratan
dan
prinsip
penelitian,
pengembangan,
dan
pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam kegiatan atau proses produksi
pangan, serta menetapkan persyaratan bagi pengujian pangan yang dihasilkan
dari proses rekayasa genetika tersebut.
Berkaitan
dengan
jaminan
mutu
pangan,
setiap
orang
yang
memproduksi pangan untuk diperdagangkan diwajibkan menyelenggarakan
sistem jaminan mutu, sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi. Terhadap
pangan tertentu yang diperdagangkan, Pemerintah dapat menetapkan
persyaratan agar pangan tersebut terlebih dahulu diuji secara laboratoris
sebelum peredarannya. Pengujian tersebut dilakukan di laboratorium yang
telah memperoleh akreditasi dari Pemerintah47.
Dalam upaya menjaga keamanan pangan, sesuai dengan ketentuan
Pasal 21 Undang-undang Pangan, setiap orang tidak boleh mengedarkan
pangan yang mengandung : a) bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat
merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia; b) cemaran yang
melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan; c) bahan yang dilarang
digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan; d) bahan yang kotor,
busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau hewani yang
berpenyakit atau berasal dari bangkai sehinggga menjadikan pangan tidak
layak dikonsumsi manusia; dan e) pangan yang sudah kadaluwarsa.
Untuk mengawasi dan mencegah tercemarnya pangan yang beredar di
pasaran, pemerintah :
47
Idem., lihat ketentuan Pasal 20.
34
a.
Menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses
produksi
pangan serta ambang batas maksimal cemaran yang
diperbolehkan;
b.
Mengatur dan atau menetapkan persyaratan bagi penggunaan cara,
metode, dan atau bahan tertentu dalam kegiatan atau proses produksi,
pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan
yang dapat memiliki risiko yang merugikan dan atau membahayakan
kesehatan manusia; dan
c.
Menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam memproduksi
peralatan pengolahan, penyiapan, pemasaran, dan atau penyajian
pangan.
Berkaitan
dengan
mutu
dan
gizi
pangan,
pemerintah
dapat
memberlakukan dan mewajibkan pemenuhan standar mutu pangan serta
menetapkan persyaratan sertifikasi mutu pangan yang diperdagangkan.
Dengan demikian, pelaku usaha tidak boleh memperdagangkan pangan yang
tidak memenuhi standar mutu dan persyaratan sertifikasi pangan sebagaimana
yang ditetapkan oleh pemerintah.
Terkait tanggung jawab produsen pangan dalam labelisasi
produk,
setiap produsen yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam
wilayah Indonesia diwajibkan mencantumkan label pada kemasan pangan yang
diperdagangkan. Label tersebut harus memuat sekurang-kurangnya keterangan
mengenai48 :
a.
nama produk;
b.
daftar bahan yang digunakan ;
c.
berat bersih atau isi bersih;
d.
nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan
ke dalam wilayah Indoensia.
48
e.
keterangan tentang halal; dan
f.
tangal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.
Idem., lihat ketentuan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2).
35
Keterangan pada label tersebut, harus ditulis atau ditampilkan secara
tegas dan jelas dengan menggunakan bahasa Indonesia sehingga dapat mudah
dimengerti oleh masyarakat. Namun apabila tidak ada padanannya dalam
bahasa Indonesia atau untuk digunakan dalam kepentingan perdagangan
pangan ke luar negeri, maka dapat menggunakan istilah asing. Setiap label atau
iklan tentang pangan yang diperdagangkan tersebut harus memuat keterangan
mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan.
Terkait dengan tanggung jawab importasi pangan, yang barangnya akan
diedarkan/dipasarkan, pelaku usaha bertanggung jawab atas keamanan, mutu,
dan gizi pangan. Pemerintah dapat menetapkan persyaratan terhadap pangan
yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia, yaitu49 :
a.
pangan harus telah diuji dan diperiksan serta dinyatakan lulus dari segi
keamanan, mutu, dan gizi oleh instansi yang berwenang di negara asal
yang dibuktikan dengan dokumen hasil pengujian dan pemeriksaan.
b.
pangan harus terlebih dahulu diuji dan diperiksa di Indonesia dari segi
keamanan, mutu, dan atau gizi sebelum diedarkan.
Tanggung jawab produk oleh pelaku usaha (produsen) pangan olahan,
biasanya dihubungkan dengan adanya kerugian yang dialami oleh konsumen
akibat mengkonsumsi pangan olahan yang diproduksi oleh pelaku usaha
pangan olahan. Terkait dengan tanggung jawab industri pangan (pelaku usaha
di bidang pangan), Pasal 41 Undang-undang Pangan menentukan bahwa badan
usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan/ atau orang
perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap
jalannya usaha tersebut bertanggung jawab atas keamanan pangan yang
diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan
tersebut50. Bagi orang perseorangan yang kesehatannya terganggu atau ahli
49
Idem., lihat ketentuan Pasal 37.
Dalam hal badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan/atau orang
perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tidak diketahui
atau tidak berdomisili di Indonesia, maka penggantian kerugian diberlakukan terhadap orang yang
mengedarkan dan/atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia. Ketentuan ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUPK yang menyatakan : “Importir barang bertanggung jawab sebagai
50
36
waris dari orang yang
meninggal sebagai akibat
langsung karena
mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan berhak mengajukan gugatan
ganti rugi terhadap badan usaha atau orang perseorangan dalam badan usaha
yang memproduksi pangan olahan tersebut. Jika terbukti bahwa pangan olahan
yang diedarkan dan dikonsumsi tersebut mengandung bahan yang dapat
merugikan atau membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang
dilarang, maka badan usaha atau orang perseorang dalam badan usaha tersebut,
harus mengganti segala kerugian yang secara nyata ditimbulkan. Namun jika
badan usaha atau orang perseorang dalam badan usaha tersebut dapat
membuktikan bahwa kerugian orang dimaksud bukan diakibatkan kesalahan
atau kelalaiannya, maka badan usaha atau orang perseorangan dalam badan
usaha tersebut tidak wajib mengganti kerugian.
c.
Tanggung Jawab Produsen terhadap Standardisasi Mutu Produk
Selain pertanggungjawaban dalam hal terjadinya kerugian yang dialami
oleh konsumen akibat mengkonsumsi produk yang dihasilkan oleh pelaku
usaha (produsen),
pelaku usaha juga dibebani tanggung jawab untuk
berproduksi secara baik. Artinya, produk-produk yang dihasilkannya harus
memenuhi standard dan kualifikasi mutu yang telah ditentukan. Jika tidak,
maka ada konsekuensi hukum yang harus ditanggung yang dapat berupa beban
ganti rugi kepada pengguna produk (konsumen), jika produk tersebut
mengakibatkan gangguan keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumen
atau jika pelaku usaha (produsen) yang barang produksinya telah memperoleh
sertifikasi produk dan/atau tanda Standardisasi Nasional Indonesia dari
lembaga sertifikasi produk, tetapi produk yang dihasilkannya tidak sesuai
dengan ketentuan yang ada, maka pelaku usaha (produsen)
dilarang
memperdagangkan dan memproduksi lagi produk dimaksud51. Jika hal itu tetap
dilakukan, pelaku usaha (produsen) dapat dikenakan sanksi administratif
pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau
perwakilan produsen luar negeri”.
51
Lihat ketentuan Pasal 18 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi
Nasional.
37
dan/atau sanksi pidana. Sanksi administratif tersebut dapat berupa pencabutan
sertifikat produk dan pencabutan hak penggunaan tanda SNI yang dilakukan
oleh lembaga sertifikasi produk atau pencabutan ijin usaha dan penarikan
barang dari peredaran oleh intansi teknis yang berwenang atau Pemerintah
Daerah. Sedangkan pengenaan sanksi pidana dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku52.
Penerapan standar (SNI) pada suatu produk yang dihasilkan oleh
pelaku usaha (produsen), pada dasarnya bersifat sukarela53, yaitu atas dasar
kebutuhan pelaku usaha dalam rangka mendapatkan pengakuan atas jaminan
mutu. Sehingga produk tersebut dapat bersaing di pasaran (nasional ataupun
internasional). Oleh karena itu, kegiatan dan produk yang tidak memenuhi
ketentuan SNI tidak dilarang. Kegiatan akreditasi dan sertifikasi dalam
penerapan SNI sukarela lebih bersifat pengakuan bagi pelaku usaha bahwa
produknya telah memenuhi spesifikasi/ ketentuan SNI. Karena sifat
penerapannya sukarela, maka sertifikasi tersebut tidak diatur dalam regulasi,
namun lembaga sertifikasi produk yang menerbitkan SNI sukarela, mempunyai
kewajiban untuk melakukan survailen penggunaan sertifikat tanda SNI. Pusat
Sistem Penerapan Standar BSN dapat melakukan evaluasi SNI sukarela
melalui pemantauan barang bertanda SNI yang telah beredar. Hasil evaluasi
akan memberikan masukan informasi untuk Pusat Perumusan Standar BSN,
instansi teknis, lembaga sertifikasi produk dan KAN terhadap pemenuhan
persyaratan SNI dari produk tersebut.
Namun, untuk produk-produk yang langsung berkaitan dengan
kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat, atau kelestarian
fungsi lingkungan hidup, instansi teknis terkait dapat memberlakukan secara
wajib sebagian atau keseluruhan spesifikasi teknis dan/atau parameter dalam
SNI, yang selanjutnya disebut sebagai SNI wajib. Tetapi ada juga SNI yang
tidak berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan, dan
52
53
Idem., Pasal 24.
Idem., Pasal 12 ayat (2).
38
kelestarian fungsi lingkungan hidup, berdasarkan pertimbangan tertentu
diberlakukan penerapannya secara wajib oleh instansi teknis terkait.
Pemberlakuan SNI Wajib tersebut dilaksanakan dengan menerbitkan surat
keputusan tentang pemberlakuan SNI secara wajib oleh pimpinan instansi
teknis terkait.
Standar Nasional Indonesia yang diberlakukan penerapannya secara
wajib dikenakan ketentuan yang sama, baik terhadap barang dan/atau jasa
produksi dalam negeri maupun terhadap barang dan/atau jasa impor. Barang
atau jasa impor tersebut, pemenuhan standarnya ditunjukkan dengan sertifikat
yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi atau laboratorium yang telah
diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional atau lembaga sertifikasi atau
laboratorium negara pengekspor yang diakui Komite Akreditasi Nasional.
Pengakuan lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, lembaga pelatihan atau
laboratorium negara pengekspor oleh Komite Akreditasi Nasional didasarkan
pada perjanjian saling pengakuan baik secara bilateral ataupun multilateral.
Dalam hal barang impor tidak dilengkapi sertifikasi, pimpinan instansi teknis
dapat menunjuk salah satu lembaga sertifikasi atau laboratorium baik di dalam
maupun di luar negeri yang telah diakreditasi dan diakui oleh Komite
Akreditasi Nasional untuk melakukan sertifikasi terhadap barang impor
dimaksud.
Pemberlakuan penerapan SNI secara wajib terhadap suatu produk,
harus memperhatikan :
1) Ketersediaan infrastruktur penunjang untuk penerapan SNI-wajib
seperti lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, dan laboratorium yang
diakreditasi;
2) Perlu adanya masa transisi, untuk memberi kesempatan kepada pihak
pelaku usaha dan/atau pemberi jasa untuk melakukan penyesuaian;
Pemberlakuan SNI wajib dilakukan melalui penerbitan regulasi teknis
oleh instansi pemerintah yang memiliki kewenangan untuk meregulasi
39
kegiatan dan peredaran produk (regulator). Dalam hal ini, kegiatan dan produk
yang tidak memenuhi ketentuan SNI menjadi terlarang. Dengan demikian
pemberlakuan SNI wajib perlu dilakukan secara berhati-hati untuk
menghindarkan sejumlah dampak : (a) dapat menghambat persaingan yang
sehat; (b) dapat
menghambat
inovasi; dan (c) dapat
menghambat
perkembangan usaha kecil dan menengah. Cara yang paling baik adalah
membatasi penerapan SNI wajib hanya bagi kegiatan atau produk yang
memiliki tingkat risiko yang cukup tinggi, sehingga pengaturan kegiatan dan
peredaran produk mutlak diperlukan. Dengan kata lain, tidak semua produk
harus diterapkan atau memenuhi Standar Nasional. Namun kalau demikian,
bagaimana dapat memberikan jaminan bahwa suatu produk yang tidak
berstandar tersebut tidak merugikan konsumen. Karena dengan tidak
distandardisasi, maka produk-produk tersebut lepas dari pengawasan Komite
Akrediatasi Nasional dan Badan Standardisasi Nasional. Meskipun ada
lembaga tersendiri yang memiliki fungsi dan kewenangan melakukan
pengawasan obat dan makanan, yaitu Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM), untuk semua produk obat, makanan dan minimuan baik yang
berstandar
atau
pertanggungjawaban
tidak.
Untuk
produknya
yang
tentunya
tidak
berstandar,
berbeda
dengan
sistem
sistem
pertanggungjawaban terhadap produk yang berstandar (bersertifikasi).
Kembali pada pemberlakuan SNI wajib, bahwa pemberlakuan SNI
wajib perlu didukung oleh pengawasan pasar, baik pengawasan pra-pasar
untuk menetapkan kegiatan atau produk yang telah memenuhi ketentuan SNI
wajib tersebut maupun pengawasan pasca-pasar untuk mengawasi dan
mengkoreksi kegiatan atau produk yang belum memenuhi ketentuan SNI itu.
Apabila fungsi penilaian kesesuaian terhadap SNI yang bersifat sukarela
merupakan pengakuan, maka bagi SNI yang bersifat wajib penilaian
kesesuaian merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh semua
pihak yang terkait. Dengan demikian penilaian kesesuaian berfungsi sebagai
bagian dari pengawasan pra-pasar yang dilakukan oleh regulator.
40
Mengingat bahwa pemberlakuan regulasi teknis di suatu negara yang
terkait dengan SNI Wajib juga berlaku untuk produk impor, maka untuk
menghindarkan terjadinya hambatan perdagangan internasional/negara anggota
WTO termasuk Indonesia telah menyepakati Agreement on Technical Barrier
to Trade (TBT) dan Agreement on Sanitary and Phyto Sanitary Measures
(SPS). Upaya pengurangan hambatan perdagangan tersebut akan berjalan
dengan baik apabila masing-masing negara dalam memberlakukan standar
wajib, menerapkan Good Regulatory Practices (GRP).
Produsen pangan yang produknya terkena SNI Wajib, maka harus
memenuhi standar nasional sebagaimana yang telah ditentukan. Dengan
demikian, ada dua tanggung jawab yang harus dipikul oleh pelaku usaha
(produsen) pangan olahan, yaitu :
Pertama, tanggung jawab pemberlakuan SNI pada produk pangan
olahan yang dihasilkannya. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, untuk
produk pangan yang berkaitan dengan keselamatan, keamanan dan kesehatan
masyarakat atau karena pertimbangan ekonomis, diwajibkan untuk memenuhi
Standar Nasional Indonesia. Jika tidak, produk pangan yang dihasilkannya
dilarang untuk diedarkan/ diperdagangkan dan diproduksi kembali. Jika hal itu
tetap dilakukan, pelaku usaha (produsen) dapat dikenakan sanksi administratif
dan/atau sanksi pidana. Sanksi administratif tersebut dapat berupa pencabutan
sertifikat produk dan pencabutan hak penggunaan tanda SNI yang dilakukan
oleh lembaga sertifikasi produk atau pencabutan ijin usaha dan penarikan
barang dari peredaran oleh intansi teknis yang berwenang atau Pemerintah
Daerah. Sedangkan pengenaan sanksi pidana dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, apabila
produk pangan olahan tersebut digolongkan pada produk yang wajib
berstandar, maka produk pangan dimaksud harus benar-benar memenuhi
spesifikasi teknis atau parameter yang ditentukan dalam Standar Nasional
Indonesia.
41
Kedua, tanggung jawab kepada konsumen atas produk pangan olahan
yang dihasilkannya, yang beredar dipasaran dan telah dinyatakan memenuhi
standar. Apabila pangan olahan yang diproduksi dan diedarkan di pasaran telah
tersertifikasi dan bertanda SNI, diasumsikan bahwa pangan olahan tersebut
telah benar-benar memenuhi spesifikasi teknis dan mutu yang ditentukan.
Sehingga dipastikan akan memberikan keselamatan, keamanan dan kesehatan
bagi masyarakat yang mengkonsumsinya. Namun jika tidak demikian, dalam
arti bahwa produk pangan olahan yang dihasilkan oleh produsen yang telah
tersertifikasi dan terlabeli SNI tersebut mengakibatkan kerugian kepada
konsumen baik yang terkait dengan gangguan keselamatan maupun kesehatan
bagi konsumen, maka konsumen dapat menggugat kepada pelaku usaha
dimaksud dan pelaku usaha harus bertanggung jawab akan hal tersebut.
Tanggung jawab dimaksud adalah pelaku usaha menanggung kerugian
yang dialami oleh konsumen dengan memberikan ganti rugi dan memulihkan
keadaan semula. Sedangkan yang terkait dengan tanggung jawab produk
kepada lembaga yang memberikan sertifikasi dan label SNI, pelaku usaha
harus menjelaskan mengapa produk yang dihasilkannya merugikan konsumen.
Jika hasil pengujian dan pemantauan membuktikan bahwa produk yang
dihasilkan oleh pelaku usaha tidak sesuai dengan standar yang ditentukan,
maka lembaga tersebut dapat mencabut ijin produksi dari perusahaan tersebut
dan mewajibkan pelaku usaha menarik semua produk yang telah beredar di
pasaran, dan jika ada unsur pidananya, maka diproses sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2.
Penerapan Tanggung Jawab Produk dan Standardisasi Mutu Produk Pangan
Olahan untuk Memberikan Perlindungan Terhadap Konsumen
a.
Instrumen Hukum Penerapan Tanggung Jawab Produk Pangan Olahan
Di dalam hukum Indonesia penerapan tanggung jawab produk di
dasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yang tersebar di
42
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, Indonesia
belum memiliki satu undang-undang yang khusus mengatur tentang tanggung
jawab produk. Peraturan perundang-undangan dimaksud antara lain adalah
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Di dalam undang-undang ini diatur
prinsip-prinsip atau asas-asas umum tentang hubungan hukum antar subyek
hukum yang dikerangkai dalam bentuk perikatan yang didalamnya melahirkan
hak dan kewajiban antar kedua belah pihak. Selain itu KUHPerdata juga
mengatur tanggung jawab hukum yang terkait dengan perbuatan wanprestasi,
tanggung jawab hukum yang diakibatkan perbuatan melawan hukum,
tanggung jawab hukum dalam hubungan jual beli, tanggung jawab hukum
terhadap cacat barang yang tersembunyi, tanggung jawab pembuktian dan lainlain.
Selain KUHPerdata, undang-undang lain yang mengatur tanggung
jawab hukum (produk) terdapat dalam Undang-Undang Pangan, UndangUndang Kesehatan, Undang-Undang Perindustrian dan lain-lain. Adapun
peraturan-peraturan teknis (pelaksanaan) yang mengatur hal tersebut, adalah
antara lain Peraturan Pemerintah tentang Standardisasi dan Peraturan
Pemerintah tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Di bawah ini akan
diuraikan lebih lengkap muatan materi yang menjadi dasar penerapan
tanggung jawab hukum dan tanggung jawab produk di dalam KUHPerdata,
Undang-undang Kesehatan dan Undang-undang Pangan.
1) Penerapan Tanggung Jawab Hukum didasarkan pada KUHPerdata
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tidak ada
ketentuan yang secara spesifik mengatur tanggung jawab produk. Namun
bukan berarti ketentuan-ketentuan yang ada dalam undang-undang
tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar penerapan tanggung jawab
produk, tetapi justru dapat memberikan landasan asas dan prinsip-prinsip
yang kuat dalam kaitannya dengan penerapan tanggung jawab produk. Hal
ini dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tanggung jawab hukum
akibat wanprestasi (Pasal 1243 KUHPerdata), tanggung jawab hukum
akibat perbuatan melawan hukum (Pasal 1365, Pasal 1366 dan Pasal 1367
43
ayat (1) KUHPerdata), dan tanggung jawab penjual terhadap barang yang
cacat tersembunyi (Pasal 1504 s/d Pasal 1506 dan Pasal 1510
KUHPerdata).
Pemenuhan kewajiban dalam hukum perdata dikenal dengan
‘prestasi’. Macam prestasi dalam perikatan dapat berupa memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Tidak dipenuhinya
suatu prestasi dalam suatu perikatan akan merugikan salah satu pihak.
Pihak yang dirugikan dapat menggugat pihak yang merugikan dengan
dasar gugatan wanprestasi. Terkait dengan gugatan ini, pihak yang
mengakibatkan
kerugian,
sesuai
dengan
ketentuan
Pasal
1243
KUHPerdata mempunyai tanggung jawab : “Pengantian biaya, rugi dan
bunga karena tidak terpenuhinya suatu perikatan, barulah mulai
diwajibkan apabila yang berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi
perkatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan
atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu
yang telah dilampaukannya”.
Adapun pihak yang dirugikan memiliki hak: 1) menuntut
pemenuhan perikatan (nakomen); 2) menuntut pemutusan perikatan atau
apabila perikatan itu bersifat timbal balik, menuntut pembatalan perikatan
(ontbinding); 3) menuntut ganti rugi (schade vergoeding); 4) menuntut
pemenuhan perikatan dengan ganti rugi; dan 5) menuntut pemutusan atau
pembatalan perikatan dengan ganti rugi54.
Selain tanggung jawab akibat wanprestasi, di dalam lapangan
hukum perdata dikenal pula adanya tanggung jawab akibat perbuatan
melawan hukum sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1365 dan Pasal
1366 KUHPerdata. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut, dan setiap orang bertanggung jawab tidak
54
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., op.cit. hlm. 21.
44
saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga
untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Adapun berkaitan dengan tanggung jawab terhadap perbuatan
orang lain yang melawan hukum, yang orang lain tersebut menjadi
tanggungannya, Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata mengatur bahwa
seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kurugian yang disebabkan
karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau
disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Jika dilihat dari perspektif hubungan hukum antara produsen dan
konsumen, tanggung jawab yang ditentukan dalam Pasal 1367 ayat (1)
KUH Perdata tersebut memberikan kewajiban sekaligus tanggung jawab
kepada produsen sebagai pihak yang menghasilkan produk, untuk
menanggung segala kerugian yang disebabkan oleh keadaan barang yang
dihasilkannya.
mengadakan
Produsen
pengawasan
bertanggung
terhadap
jawab
produk
dan
yang
berkewajiban
dihasilkannya.
Pengawasan ini harus selalu dilakukan secara teliti dan menurut keahlian.
Jika tidak, produsen selaku pihak yang menghasilakan produk dapat
dianggap lalai dan kelalaian ini kalau kemudian menyebabkan sakit,
cedera, atau mati/meninggalnya konsumen pemakai produk yang
dihasilkannya, maka produsen harus dapat mempertanggungjawabkannya.
Adanya tanggung jawab produk dari produsen membawa
konsekuensi bahwa apabila terjadi kerugian yang dialami oleh konsumen
akibat mengkonsumsi produk yang dihasilkan oleh produsen, maka
produsen harus memberikan ganti rugi baik secara langsung maupun
melalui pengajuan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum.
Tuntutan ini dapat berupa ganti rugi atau pengembalian barang sambil
menuntut kembali harga pembelian atau penukaran barang dengan yang
baik mutunya. Tuntutan ganti rugi ini dapat ditujukan kepada produsen
45
dan juga kepada penjual sebagai pihak yang menyediakan jasa untuk
menyalurkan barang/produk dari produsen kepada konsumen dengan
standar dan jaminan mutu yang telah ditentukan . Jika standar ini tidak
terpenuhi maka pembeli atau konsumen dapat menuntut ganti rugi dari
pihak produsen/penjual.
Dalam lapangan hukum perdata juga mengatur tentang tanggung
jawab penjual terhadap barang yang cacat tersembunyi. Terkait dengan ini,
Pasal 1504 KUH Perdata menentukan bahwa penjual diwajibkan
menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang
membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksudkan,
atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga, seandainya
pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli
barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang.
Ketentuan pasal di atas, ditegaskan kembali dalam Pasal 1506
KUHPerdata dengan adanya pengecualian, bahwa : “Si penjual diwajibkan
menanggung terhadap cacat yang tersebunyi, meskipun ia sendiri tidak
mengetahui tentang adanya cacat itu, kecuali jika ia dalam hal yang
demikian telah meminta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan
menanggung sesuatu apapun”. Jika pembeli mengetahui sendiri bahwa
barang yang akan dibelinya mengalami cacat (cacat yang kelihatan),
sesuai dengan ketentuan Pasal 1505 KUHPerdata, maka si penjual tidak
diwajibkan menanggung cacat yang kelihatan tersebut.
Namun jika terdapat cacat tersembunyi pada barang yang dibeli
oleh si pembeli, maka pembeli dapat memilih apakah ia akan
mengembalikan barangnya sambil menuntut kembali harga pembelian,
atau ia akan tetap memiliki barang tersebut sambil menuntut pengembalian
sebagian uang yang telah dibayarnya55. Bagi penjual yang telah
mengetahui bahwa barang yang dijualnya mengalami cacat dan pembeli
55
Lihat ketentuan Pasal 1507 KUHPerdata.
46
tidak jadi membeli barang tersebut, maka penjual wajib mengembalikan
harga pembelian yang telah diterimanya dan wajib mengganti segala
biaya, kerugian dan bunga kepada pembeli. Namun, jika penjual tidak
mengetahui cacatnya barang yang dijualnya, maka ia hanya diwajibkan
mengembalikan harga pembelian dan mengganti biaya yang telah
dikeluarkan oleh pembeli dalam penyelenggaraan pembelian dan
penyerahan yang telah dibayarkan oleh pembeli56.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1510 KUHPerdata, jika barang
yang dijual yang mengandung cacat tersembunyi musnah karena
disebabkan cacatnya barang tersebut, maka kerugiannya ditanggung oleh
si penjual dan kepada si pembeli, penjual diwajibkan mengembalikan uang
harga pembelian dan mengganti segala kerugian lainnya.
2) Penerapan Tanggung Jawab Produk didasarkan pada UndangUndang Kesehatan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
mengatur dan memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam bidang
kesehatan. Hal ini tercermin dari adanya hak yang dimiliki oleh
masyarakat untuk memperoleh derajad kesehatan yang optimal57. Upaya
kesehatan yang dilakukan untuk memperoleh derajad kesehatan yang
optimal tersebut antara lain dilakukan melalui pengamanan terhadap
makanan dan minuman serta penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan58.
Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk
melindungi masyarakat (konsumen) dari makanan dan minuman yang
tidak memenuhi ketentuan mengenai standard dan persyaratan kesehatan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Kesehatan, setiap
makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang
berisi bahan yang dipakai, komposisi setiap bahan, tanggal, bulan, dan
56
Lihat ketentuan Pasal 1509 KUHPerdata.
Lihat ketentuan Pasal 4 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
58
Idem., Pasal 11 ayat (1) huruf c dan h.
57
47
tahun kedaluwarsa. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka pelaku usaha
dapat dikenakan sanksi pidana dengan pidana kurungan paling lama satu
tahun dan/atau pidana denda paling banyak 15.000.000,00 (lima belas juta
rupiah)59. Makanan yang tidak memenuhi ketentuan standar dan
persyaratan kesehatan atau membahayakan kesehatan dilarang untuk
diedarkan, harus ditarik dari peredaran dan disita untuk dimusnahkan
sesuai dengan peraturan perundang-undnagan yang berlaku60. Pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)61.
3) Penerapan Tanggung Jawab Produk didasarkan pada UndangUndang Perlindungan Konsumen
Di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK), mengatur tenggung jawab pelaku usaha
dalam
hal terjadinya kerugian konsumen
akibat
mengkonsumsi/
menggunakan produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Di dalam
ketentuan Pasal 19 UUPK, dinyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung
jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi tersebut dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis
atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pemberian ganti rugi dimaksud dilaksanakan dalam
tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
Selain terkait dengan tanggung jawab produk, UUPK juga
mengatur tanggung jawab pembuktian atas unsur kesalahan yang
59
Idem., Pasal 84 angka 1.
Idem., Pasal 21 ayat (3).
61
Idem., Pasal 80 ayat (4).
60
48
dibebankan kepada pelaku usaha. Hal ini merupakan pembaruan hukum
dan memberikan penguatan kepada konsumen, yang selama ini menjadi
beban berat bagi konsumen dalam membuktikan adanya unsur kesalahan
yang dilakukan oleh pelaku usaha. Sebab sebelum berlakunya UUPK,
apabila terjadi perbuatan melawan hukum (dalam lingkungan hukum
perdata), asas pembuktian yang digunakan adalah Pasal 163 HIR atau
Pasal 283 Rbg atau Pasal 1865 KUHPerdata. Namun setelah berlakunya
UUPK, beban pembuktian tersebut menjadi tanggung jawab pelaku usaha,
baik yang menyangkut unsur kesalahan dalam kasus pidana maupun unsur
kesalahan dalam kasus perdata, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal
22 dan Pasal 28 UUPK.
Selain mengatur tanggung jawab produk dan tanggung jawab
pembuktian, UUPK banyak mengatur larangan-larangan bagi pelaku usaha
dalam hal memproduksi, mengedarkan/memperdagangkan, mengiklankan
suatu barang/produk yang dihasilkannya yang tidak memenuhi standard
dan mutu yang telah ditentukan, tidak memenuhi ketentuan berat bersih
dan pelabelan, tidak memenuhi syarat halal untuk produk pangan tertentu,
mengiklankan suatu barang/produk secara tidak benar, dan membuat
perjanjian baku yang merugikan konsumen.
4) Penerapan Tanggung Jawab Produk Pangan didasarkan pada
Undang-Undang Pangan
Berkaitan dengan tanggung jawab produk di bidang pangan,
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan mengatur
kewajiban dan tanggung jawab produsen pangan untuk memenuhi jaminan
mutu dan keamanan atas produk pangan yang dihasilkannya. Terkait
dengan kewajiban penyelenggaraan jaminan mutu, Pasal 20 ayat (1)
Undang-undang Pangan, menyatakan setiap orang yang memproduksi
pangan untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan sistem jaminan
mutu, sesuai dengan jenis pangan yang diproduksinya.
49
Terkait dengan tanggung jawab keamanan pangan oleh pelaku
usaha, Pasal 41 Undang-undang Pangan menentukan bahwa badan usaha
yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan/ atau orang
perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap
jalannya usaha tersebut bertanggung jawab atas keamanan pangan yang
diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan
tersebut. Bagi orang perseorangan yang kesehatannya terganggu atau ahli
waris dari orang yang meninggal sebagai akibat langsung karena
mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan berhak mengajukan gugatan
ganti rugi terhadap badan usaha atau orang perseorangan dalam badan
usaha yang memproduksi pangan olahan tersebut. Jika terbukti bahwa
pangan olahan yang diedarkan dan dikonsumsi tersebut mengandung
bahan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kesehatan manusia
atau bahan lain yang dilarang, maka badan usaha dan atau orang
perseorang dalam badan usaha tersebut, harus mengganti segala kerugian
yang secara nyata ditimbulkan. Namun jika badan usaha atau orang
perseorang dalam badan usaha tersebut dapat membuktikan bahwa
kerugian orang dimaksud bukan diakibatkan kesalahan atau kelalaiannya,
maka badan usaha atau orang perseorangan dalam badan usaha tersebut
tidak wajib mengganti kerugian.
b. Instrumen Hukum Penerapan Standardisasi Mutu Pangan Olahan
Di dalam hukum Indonesia, dasar penerapan standardisasi mutu produk
pangan (olahan) tersebar di masing-masing undang-undang sektoral, misalnya
di dalam Undang-Undang Pangan dan Undang-undang Perlindungan
Konsumen. Itupun tidak mengatur secara komprehensif yang terkait dengan
penerapannya. Kedua undang-undang tersebut hanya memberikan dasar bahwa
produk (pangan) yang beredar di pasaran diharuskan memenuhi standar dan
mutu yang telah ditentukan62. Adapun bagaimana penentuan standar dan mutu
62
Lihat ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang
menyatakan bahwa : “Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib
50
tersebut, proses dan mekanisme standardisasi dan sertifikasi produk serta
ketentuan-ketentuan lain yang terkait dengan itu, belum ada undang-undang
yang mengaturnya. Selama ini, regulasi yang digunakan dalam penerapan
standardisasi dan sertifikasi mutu (pangan) mengacu pada
Peraturan
Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan,
dan Standar Internasional yang diadopsi ke dalam Standar Nasional Indonesia,
yaitu antara lain :
1) ISO 22000:2005, tentang Food Safety Management System Requirements for any Organization in the Food Chain yang diadopsi
menjadi SNI ISO 22000:2009, tentang Sistem Manajemen Keamanan
Pangan – Persyaratan untuk Organisasi dalam Rantai Pangan.
2) ISO 9001:2000, tentang Quality Management System – Requirements
telah diadobsi menjadi SNI 19-9001:2001, tentang Sistem Manajemen
Mutu – Persyaratan. ISO 9001:2000 telah direvisi menjadi ISO
9001:2008 dan diadopsi menjadi SNI ISO 9001:2008.
3) ISO 9004:2000, tentang Quality Management System – Guidelines for
Performance Improvements telah diadopsi menjadi SNI 19-9004:2002,
tentang Sistem Manajemen Mutu – Panduan untuk Perbaikan Kinerja.
4) ISO 19011:2002, tentang Guidelines for Quality and/or Enveronmental
Management Systems Auditing telah diadobsi menjadi SNI 1919011:2005, tentang Panduan Audit Sistem Manajemen Mutu dan/atau
Lingkungan.
5) ISO/IEC Guide 62:1996, tentang General Requirements for Bodies
Operating Assessment and Certification/Registration of Quality System
tidak berlaku lagi dan diganti dengan ISO/IEC 17021:2006, tentang
Conformity Assessment – Requirements for Bodies Providing Audit and
menyelenggarakan sistem jaminan mutu, sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi”. Lihat pula dalam
ketentuan Pasal 7 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang
menyatakan bahwa : “Pelaku usaha wajib menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku”.
51
Certification of Management System yang diadobsi menjadi SNI
ISO/IEC 17021:2008, tentang Penilaian Kesesuaian – Persyaratan
Lembaga Auidit dan Sertifikasi Sistem Manajemen.
Dalam penerapan standardisasi mutu pangan, selain didasari oleh
regulasi di atas, pelaksanaan standardisasi dilakukan oleh lembaga-lembaga
terkait sesuai dengan bidang tugasnya. Lembaga-lembaga dimaksud adalah
Badan Standardisasi Nasional (BSN), Komite Akreditasi Nasional (KAN),
Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU), komisi-komisi di
lingkungan BSN, lembaga sertifikasi63, laboratorium, lembaga inspeksi,
Panitia Teknis Perumusan Standar, instansi teknis dan Pemerintah Daerah.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara umum
regulasi yang memberikan dasar pengaturan mengenai penerapan standaridasi
produk (pangan) di Indonesia dan lembaga-lembaga yang terkait yang
menangani dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan standardisasi dan
sertifikasi penjaminan mutu di Indonesia.
1) Regulasi yang Digunakan dalam Penerapan Standardisasi Mutu dan
Keamanan Produk Pangan Olahan
a) Peraturan
Pemerintah
Nomor
102
Tahun
2000
tentang
Standardisasi Nasional
Muatan materi yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardissi Nasional, adalah
mencakup : a) ruang lingkup standardisasi nasional; b) tujuan
63
Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan, misalnya : 1) SAI Global Indonesia No.
LPK: LSMKP-001-IDN. Lingkup: Susu dan Produk susu ; Daging dan Produk Daging ; Unggas dan
produk Unggas ; Ikan dan produk Ikan ; Buah dan produk Buah ; Sayuran dan Produk Sayuran ; Gula dan
Produk gula ; Garam ; Produk Lemak dan Minyak ; Hotel ; Katering ; Bahan Tambahan Pangan ;
Kemasan ; Telur dan produk Telur ; Produk Pengalengan ; Restoran ; Produk Minuman Kecuali Produk
olahan Susu ; Produk Pasta dan Mi; 2) Mbrio dengan No. LPK : LSMKP-002-IDN. Lembaga Sertifikasi
Sistem manajemen Mutu, misalnya : 1) Balai Besar Bahan dan Barang Teknik – Quality System
Certification (B4&T - QSC); 2) Sucofindo International Sertification Services (SICS); 3) Aqrobase
Industry Quality Assurance (ABIQA); 4) Balai Industri Semarang Quality Assurance (BISQA); 5) PT.
Mutu Agung Lestari Quality Assurance (MALQA); 6) PT. SGS Indonesia; 7) PT. TUV International
Indonesia (TUV Rheinland Group); 8) TUV NORD Indonesia; 9) TUV SUD PSB Indonesia; 10) Yogya
Quality Assurance (YOQA); dll, dalam BSN, Sistem Informasi Standar Nasional Indonesia (SISNI),
http://www.bsn.org.id.
52
dilaksanakannya standardisasi nasional; c) pengaturan kelembagaan,
tugas dan fungsinya; d) perumusan dan penetapan SNI; e) penerapan
SNI melalui sertifikasi dan akreditasi; larangan bagi pelaku usaha; f)
pemberlakuan SNI Wajib produk dalam negeri dan produk impor; g)
biaya akreditasi; h) notifikasi; i) pembinaan dan pengawasan; dan j)
pemberian sanksi;
b) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan,
Mutu dan Gizi Pangan
Muatan materi yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2004 tentang Standardissi Nasional, adalah
mencakup : a) ketentuan mengenai keamanan pangan yang di
dalamnya mengatur masalah sanitasi, bahan tambahan pangan, pangan
produk rekayasa genetika, iradiasi pangan, keamanan pangan, jaminan
mutu pangan dan pemeriksaan laboratorium, serta pangan tercemar; b)
mutu dan gizi pangan yang di dalamnya mengatur mutu pangan,
sertifikasi mutu pangan, dan gizi pangan; c) pemasukan dan
pengeluaran pangan ke dalam dan dari wilayah Indonesia; d)
pengawasan keamanan, mutu dan gizi pangan serta pembinaan
produsen pangan.
c) SNI ISO 22000:2009, Sistem Manajemen Keamanan Pangan –
Persyaratan untuk Organisasi dalam Rantai Pangan
Mengingat bahaya keamanan pangan dapat terjadi pada setiap
tahapan rantai pangan, maka pengendalian yang cukup diseluruh
rantai pangan menjadi sangat penting. Dengan demikian keamanan
pangan dijamin melalui berbagai upaya yang terpadu oleh seluruh
pihak dalam rantai pangan. Organisasi yang terlibat dalam rantai
pangan adalah produsen primer sampai dengan pengolah pangan,
operator transportasi dan penyimpanan, outlet pengecer dan jasa boga
(bersama-sama dengan organisasi yang terkait seperti produsen
peralatan, bahan pengemas, bahan tambahan pangan dan ingredien).
53
SNI ISO 22000:2009 ini menetapkan persyaratan sistem
manajemen keamanan pangan yang mengkombinasikan unsur-unsur
komunikasi interaktif, manajemen sistem, program persyaratan dasar
dan prinsip HACCP untuk memastikan kemanan pangan di dalam
sepanjang rantai pangan sampai pangan tersebut dikonsumsi.
Komunikasi diseluruh rantai pangan sangat penting untuk
memastikan bahwa semua bahaya keamanan pangan yang elevan
diidentifikasi dan dikendalikan secara cukup pada setiap tahapan
rantai pangan. Hal ini menyiratkan perlunya komunikasi antar
organisasi hulu dan hilir yang ada dalam rantai pangan. Komunikasi
pelanggan dan pemasok mengenai bahaya tertentu dan tindakan
pengendaliannya akan membantu menjelaskan persyaratan pelanggan
dan pemasok yang berhubungan dengan kelayakan dan kebutuhan
akan persyaratan dan dampaknya pada produk akhir.
Pemahan akan peran dan posisi organisasi dalam rantai pangan
sangat penting untuk memastikan komunikasi interaktif yang efektif
disepanjang rantai pangan dalam rangka penyediaan produk pangan
yang aman kepada konsumen. Sistem keamanan pangan yang paling
efektif adalah yang ditetapkan, dioperasikan dan dimutakhirkan dalam
kerangka sistem manajemen yang terstruktur dan dipadukan ke dalam
keseluruhan kegiatan manajemen organisasi yang ada. Hal ini
memberikan manfaat maksimum bagi organisasi dan pihak-pihak
terkait. SNI ISO 22000:2009 telah diselaraskan dengan SNI ISO 9001
untuk meningkatkan kesesuaian diantara kedua standar tersebut.
SNI ISO 22000:2009 dapat diterapkan secara independen
terhadap standar sistem manajemen lainnya. Implementasinya dapat
diselaraskan
atau
diintegrasikan
dengan
persyaratan
sistem
manajemen yang ada, disamping itu organisasi dapat memanfaatkan
sistem manajemen yang ada untuk menetapkan sistem manajemen
keamanan pangan yang sesuai dengan persyaratan standar ini.
54
SNI ISO 22000:2009 menggabungkan prinsip-prinsip Sistem
Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP) dan
langkah-langkan
penerapan
yang
dikembangkan
oleh
Codex
Alimentarius Commission (CAC). Dengan menggunakan persyaratan
yang dapat diaudit, standar ini mengkombinasikan rencana HACCP
dengan Program Persyaratan Dasar (PPD). Analisi bahaya merupakan
kunci sistem manajemen keamanan pangan yang efektif, mengingat
analisis bahaya dapat membantu mengorganisasikan pengetahuan
yang diperlukan untuk menetapkan tindakan pengendalian yang
efektif. SNI ISO 22000:2009 mensyaratkan bahwa semua bahaya
yang mungkin timbul dalam rantai pangan, termasuk bahaya yang
terkait dengan jenis proses, dan fasilitas yang digunakan, dapat
diidentifikasi dan dikaji. Dengan demikian standar ini memberikan
cara untuk menetapkan dan membuktikan mengapa bahaya tertentu
perlu dikendalikan oleh organisasi dan mengapa yang lainnya tidak.
Untuk memudahkan penerapannya,
SNI ISO 22000: 2009
dikembangkan sebagai suatu standar yang dapat diaudit. Namun
demikian, organisasi bebas untuk memilih metode dan pendekatan
yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan standar ini. Untuk
membantu masing-masing organisasi dalam mengimplementasikan
standar ini, diberikan panduan penggunaan ISO/TS 22004.
Tujuan menerapkan SNI ISO 22000:2009 adalah untuk
mengharmonisasikan persyaratan manajemen keamanan pangan untuk
bisnis dalam rantai pangan pada tingkat global. Secara khusus standar
ini
dimaksudkan
untuk
diaplikasikan
oleh
organisasi
yang
menghendaki sistem manajemen keamanan pangannya terfokus,
koheren, dan terintegrasi melebihi dari yang disyaratkan oleh undangundang. Muatan materi yang terkandung dalam SNI ISO 22000:2009
adalah menyangkut : 1) ruang lingkup; 2) acuan normatif; 3) istilah
dan definis; 4) sistem manajemen keamanan pangan; 5) tanggung
jawab manajemen; 6) manajemen sumberdaya; 7) perencanaan dan
55
realisasi produk yang aman; dan 8) validasi, verifikasi dan perbaikan
sistem manajemen keamanan pangan.
Sebagaimana yang telah disinggung di awal pemaparan pada sub
bab ini (B.2), bahwa Indonesia belum memiliki suatu undang-undang yang
khusus mengatur tentang standardisasi mutu produk. Sampai saat ini
pengaturan yang terkait dengan itu masih setingkan peraturan pemerintah
dan keputusan Badan Standardisasi Nasional yang dibuat dengan
mengadopsi ISO Internasional, sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Untuk itu, penulis dalam hal ini mengusulkan perlunya dibuat
suatu undang-undang yang khusus mengatur tentang Standardisasi dan
Sertifikasi Mutu Produk, yang di dalamnya mengatur asas, prinsip, tujuan,
ruang lingkup, proses dan mekanisme standardisasi dan sertifikasi mutu
produk, hak dan kewajiban serta tanggung jawab kelembagaan yang
terkait proses standardisasi dan sertifikasi produk, hak dan kewajiban serta
tanggung jawab pemegang SNI, produk yang wajib ber-SNI, sanksi
pelanggaran penggunaan SNI, dan lain-lain.
Usulan ini disampaikan dengan pertimbangan :
1) Untuk mengoptimalkan penerapan standardisasi dan sertifikasi
mutu produk, sehingga produk Indonesia ke depan benar-benar
dapat memenuhi kualifikasi dan standar internasional, sehingga
mampu bersaing di pasar nasional maupun internasional dan akan
lebih memberikan jaminan keamanan, keselamatan dan kesehatan
terhadap konsumen. Karena dengan diterapkan dalam undangundang akan lebih memiliki daya paksa yang kuat dan lebih
memberikan kepastian hukum.
2) Memperkuat landasan pelaksanaan standardisasi nasional sehingga
terjadi sinergi yang baik antar pemangku kepentingan, dan
memberikan penguatan kelembagaan di bidang standardisasi.
3) Meningkatkan
kepercayaan
masyarakat
terhadap
proses
pengembangan SNI dan melakukan alignment terhadap standar
internasional
tanpa
mengabaikan
perlindungan
kepentingan
56
nasional, serta memfasilitasi partisipasi pemangku kepentingan
dalam proses standar dan penilaian kesesuaian.
4) Memperkuat posisi Indonesia dalam kerjasama standardisasi dan
mengembangkan saling pengakuan di tingkat regional dan
internasional.
Hal ini sejalan dengan salah satu program (dari 7 program yang
rencanakan) oleh BSN64 dalam rangka pengembangan sistem standardisasi
nasional, yaitu pada pemantapan kebijakan dan peraturan perundangundangan. Program ini bertujuan memperkuat legalitas dan kebijakan yang
melandasi perkembangan standardisasi nasional. Kegiatan yang dapat
dilakukan adalah:
1) melakukan inisiatif pembentukan Undang-Undang Sistem Standar
Nasional Indonesia; dan
2) Penguatan kebijakan dan regulasi lintas sektoral di bidang
standardisasi, khususnya yang berkaitan dengan pemberlakuan SNI
wajib dan pendayagunaan lembaga penilaian kesesuaian secara
efektif sebagai unsur pengawasan pasar.
Adanya regulasi ditingkat nasional tersebut (berupa Undangundang Standardisasi dan Sertifikasi Mutu Produk), dapat ditindaklanjuti
dalam bentuk peraturan-peraturan teknis yang sifatnya mengatur hal-hal
teknis terkait dengan pelaksanaan standardisasi dan sertifikasi produk.
Peraturan teknis dimaksud dapat berupa peraturan pemerintah, peraturan
presiden maupun peraturan daerah65. Terkait dengan peraturan daerah ini,
belum ada peraturan daerah yang secara khusus mengatur standardisasi
dan sertifikasi produk. Hal ini dikarenakan
kebijakan pengaturan
standardisasi dan sertifikasi produk dilakukan dalam skala nasional dalam
bentuk Standardisasi Nasional (SNI). Di Indonesia belum dikenal adanya
standardisasi daerah. Padahal tidak semua produk yang dihasilkan
64
Lihat Rencana Strategi (Renstra) Badan Standardisasi Nasional (BSN) Tahun 2004-2009.
Lihat hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
65
57
diwajibkan dan mampu memenuhi standar nasional. Karena konsekuensi
dari ini terkait dengan ketersediaan sumberdaya (kelembagaan dan bahan
baku) dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi standar
dimaksud.
Oleh karena itu, standardisasi daerah perlu dipikirkan. Hal ini
terkait spesifikasi kultural daerah yang mungkin tidak dapat dipaksakan
untuk memenuhi standar nasional. Misalnya adanya produk pangan olahan
tertentu di daerah dengan spesifikasi bahan baku dan cara pengolahan
yang khas, yang tidak mungkin dapat diukur dengan cara dan instrumen
standar nasional, namun produk tersebut oleh masyarakat daerah diyakini
cukup aman untuk dikonsumsi dan dapat menjadi makanan khas
daerahnya. Selain itu juga produk-produk home industry, yang dari segi
kemampuan sumber daya untuk memenuhi spesifikasi teknis dan
parameter yang ditentukan dalam standar nasional sangat berat.
Menurut penulis, sangat dimungkinkan suatu daerah dengan
regulasi daerahnya, menentukan standardisasi dan sertifikasi mutu produk
(barang atau pangan olahan) yang telah menjadi khas produk daerah yang
bersangkutan. Dengan adanya regulasi tersebut, instrumen kelembagaan
dan pengawasan akan dapat dijalankan dengan baik. Sehingga nantinya,
akan dikenal dengan adanya standardisasi produk daerah dan standardisasi
produk nasional. Tentunya ada perbedaan spesifikasi dan persyaratan
bagaimana produk tersebut memenuhi standar produk daerah dan standar
produk nasional. Yang paling penting adalah kedua standar tersebut
mensyaratkan adanya jaminan keamanan, keselamatan dan kesehatan bagi
konsumen jika konsumen menggunakan atau mengkonsumsi produk
tersebut.
2) Kelembagaan yang menangani Standardisasi Mutu Pangan Olahan
Kelembagaan
yang terkait
dengan standardisasi (termasuk
standardisasi produk pangan) adalah Badan Standardisasi Nasional (BSN),
Komite Akreditasi Nasional (KAN), Komite Standar Nasional untuk
Satuan Ukuran (KSNSU), komisi-komisi di lingkungan BSN, lembaga
58
sertifikasi, laboratorium, lembaga inspeksi, panitia teknis perumusan
standar, instansi teknis dan pemerintah daerah.
Badan Standardisasi Nasional (BSN) mempunyai tugas membantu
Presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahan di bidang standardisasi
nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Untuk melaksanakan tugas tersebut, BSN memiliki fungsi : (a)
mengkaji dan menyusun kebijakan nasional di bidang standardisasi
nasional; (b) mengkoordinasikan kegiatan fungsional dalam pelaksanaan
tugas BSN; (c) menyelenggarakan pelancaran dan pembinaan terhadap
kegiatan instansi pemerintah di bidang standardisasi nasional; (d)
menyelenggarakan kegiatan kerjasama dalam negeri dan internasional di
bidang standardisasi; dan (e) menyelenggarakan pembinaan dan pelayanan
administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan,
organisasi
dan
tata
laksana,
kepegawaian,
keuangan,
kearsipan,
persandian, perlengkapan, dan rumah tangga.
Komite Akreditasi Nasional mempunyai tugas menetapkan
akreditasi dan memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN dalam
menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi. KAN memberikan akreditasi
kepada lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi dan laboratorium baik yang
berlokasi di Indonesia maupun di luar negeri. Dalam rangka saling
pengakuan, KAN bertugas memperjuangkan keberterimaan atas sertifikat
yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi dan
laboratorium yang telah diakreditasi oleh KAN di tingkat regional dan
internasional. Sedangkan Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran
mempunyai tugas memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN
mengenai standar nasional untuk satuan ukuran.
Untuk
memperlancar
dan
menunjang
tugas
teknis,
serta
meningkatkan partisipasi aktif pihak terkait, Kepala BSN membentuk tiga
komisi, yaitu Komisi Perumusan Standar (Komisi I), Komisi Penerapan
Standar (Komisi II), dan Komisi Informasi dan Pemasyarakatan
59
Standardisasi (Komisi III) yang merupakan forum komunikasi antar
instansi teknis untuk kegiatan-kegiatan standardisasi. Komisi-komisi
tersebut mempunyai tugas membantu Kepala BSN untuk memberi saran
dan pertimbangan kepada BSN untuk hal-hal yang sangat terkait dengan
kegiatan standardisasi dan melakukan pengamatan dan pengkajian
terhadap kegiatan standardisasi yang telah ditetapkan.
Untuk kegiatan penilaian kesesuaian terhadap persyaratan tertentu,
dimana hasil penilaian dinyatakan dengan sertifikat (sistem manajemen
mutu, sistem manajemen lingkungan, produk, personel, sistem keamanan
pangan (Hazard Analysis and Critical Control Point – HACCP), sistem
pengelolaan hutan lestari, manajemen keselamatan dan kesehatan kerja)
dan sertifikat lainnya di bidang standardisasi dilakukan oleh lembaga
sertifikasi.
Lembaga
sertifikasi
yang
memberikan
Sertifikasi
Sistem
Manajemen Keamanan Pangan, antara lain adalah : SAI Global Indonesia
(No. LPK: LSMKP-001-IDN), dan Mbrio (No. LPK : LSMKP-002-IDN).
Untuk lembaga yang memberikan Sertifikasi Sistem manajemen Mutu,
antara lain adalah : Balai Besar Bahan dan Barang Teknik – Quality
System Certification (B4&T - QSC), Sucofindo International Sertification
Services (SICS), Aqrobase Industry Quality Assurance (ABIQA), Balai
Industri Semarang Quality Assurance (BISQA), PT. Mutu Agung Lestari
Quality Assurance (MALQA), PT. SGS Indonesia, PT. TUV International
Indonesia (TUV Rheinland Group), TUV NORD Indonesia, TUV SUD
PSB Indonesia, dan Yogya Quality Assurance (YOQA).
Untuk kegiatan pengujian dan/atau kalibrasi, dimana hasil
pengujian dan/atau kalibrasi tersebut dinyatakan dengan sertifikat/laporan
hasil uji atau sertifikat kalibrasi, di lakukan oleh laboratorium yang
meliputi laboratorium penguji dan/atau laboratorium kalibrasi. Sedangkan
yang menyangkut pemeriksaan kesesuaian barang dan/atau jasa terhadap
persyaratan tertentu, dimana hasil pemeriksaan dinyatakan dengan
sertifikat hasil inspeksi, dilakukan oleh lembaga inspeksi.
60
Untuk membantu instansi teknis penanggung jawab perumusan
konsep SNI dan/atau Revisi SNI yang ditetapkan BSN;
melakukan
prakonsensus dan konsensus RSNI dengan koordinasi instansi teknis yang
bertugas di bidang standardisasi; serta untuk memberikan tanggapan (atas
nama pemerintah Indonesia) terhadap konsep standar dari badan-badan
standardisasi internasional (ISO, IEC, dan CAC) maupun regional sesuai
dengan bidangnya, dibentuklah Panitia Teknis Perumusan Standar.
Instansi teknis melakukan pembinaan terhadap pelaku usaha di
bawah kewenangannya dan masyarakat dalam menerapkan standar,
meliputi
konsultasi,
pendidikan,
pelatihan
dan
pemasyarakatan
standardisasi. Pengawasan terhadap pelaku usaha, barang dan/atau jasa
tersebut yang telah memperoleh sertifikat dan/atau dibubuhi tanda SNI
yang diberlakukan secara wajib, dilakukan oleh pimpinan instansi teknis
sesuai kewenangannya.
Selain instansi teknis yang bersangkutan, Pemerintah Daerah
melakukan pembinaan terhadap pelaku usaha di bawah kewenangannya
dan masyarakat
dalam menerapkan standar,
meliputi konsultasi,
pendidikan, pelatihan dan pemasyarakatan standardisasi. Pengawasan
terhadap pelaku usaha, barang dan/atau jasa tersebut yang telah
memperoleh sertifikat dan/atau dibubuhi tanda SNI yang diberlakukan
secara wajib, dilakukan oleh pimpinan Pemerintah Daerah sesuai
kewenangannya.
Berdasarkan uraian kelembagaan yang terkait dengan standardisasi
produk di atas, baik yang menyangkut macam kelembagaan, kedudukan,
fungsi, tugas dan kewenangan yang
dimiliki oleh masing-masing
kelembagaan tersebut, penulis menyimpulkan adanya kekurangefektifan
khususnya dari segi jumlah kelembagaannya. Dari jumlah kelembagaan
tersebut, dapat penulis bagi dan katagorikan kedalam 3 (tiga) jenis fungsi
dan kewenangan, yaitu :
1) lembaga yang berfungsi sebagai regulator (regulatory body) dalam
bidang standardisasi;
61
2) lembaga yang berfungsi sebagai pelaksana standardisasi; dan
3) lembaga yang berfungsi sebagai pengawas.
Ketiga fungsi tersebut, jika dikaitkan dengan kelembagaan
sebagaimana yang disebutkan di atas, maka akan terpilah sebagai berikut :
(a) yang menjalankan fungsi regulator adalah Badan Standardisasi
Nasional (BSN), Komite Akreditasi Nasional (KAN), Komite Standar
Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU) dan Komisi-komisi dilingkungan
BSN. Untuk mengefektifkan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya,
hendaknya kelembagaan ini tergabung dalam satu badan sehingga akan
lebih memudahkan dalam koordinasi; (b) yang menjalankan fungsi teknis
pelayanan standardisasi adalah lembaga sertifikasi, laboratorium dan
panitia teknis perumusan standar. Kelembagaan ini dapat dibentuk oleh
swasta (lembaga sertifikasi swasta) atau oleh pemerintah sendiri (lembaga
sertifikasi pemerintah) yang sama sekali terlepas dari kelembagaan yang
berfungsi sebagai regulator; (c) yang menjalankan fungsi pengawasan
adalah lembaga inspeksi, instansi teknis terkait dan pemerintah daerah.
Selain menjalankan fungsi pengawasan penggunaan standardisasi oleh
elaku usaha, instansi teknis dan pemerintah daerah dapat memberikan
masukan kepada badan regulator (regulatory body) yang terkait dengan
pengembangan
sistem standardisasi nasional dan standardisasi daerah
serta dapat mengusulkan SNI wajib terhadap produk-produk yang berada
di dalam ruang lingkup kerjannya.
Terkait dengan adanya standardisasi daerah, perlu dipikirkan pula
adanya kelembagaan sebagaimana tersebut di atas di daerah. Namun untuk
masalah ini, penulis menyadari masih perlunya dilakukan pengkajian yang
lebih mendalam agar tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari.
62
3.
Konsep Pengembangan Tanggung Jawab Produk dan Standardisasi Mutu
Produk Pangan Olahan untuk Meningkatkan Daya Saing dan Perlindungan
Konsumen
a.
Konsep Pengembangan Tanggung Jawab Produk
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, penerapan tanggung jawab
produk yang dilaksanakan di Indonesia masih mengadopsi apa yang diatur di
dalam KUHPerdata dan undang-undang sektoral lainnya, misalnya di dalam
Undang-undang
Pangan,
Undang-undang
Kesehatan,
Undang-undang
Perlindungan Konsumen, dan lain-lain.
Sistem pertanggungjawaban yang selama ini digunakan adalah sistem
pertanggungjawaban hukum berdasarkan tuntutan perbuatan melawan hukum
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1365 KUHPerdata dengan prinsip
tanggung jawab atas dasar adanya unsur kesalahan (based on fault liability),
dimana pihak penggugat/korban (konsumen) harus membuktikan adanya unsur
kesalahan di pihak tergugat (produsen), sebagaimana asas yang ditentukan
dalam Pasal 1865 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang
mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya
sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu
peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.
Konsep ini diambil dari pengaruh civil law system yang dengan asas
konkordansi memberlakukan B.W. Belanda yang diberlakukan di Hindia
Belanda pada jaman penjahan menjadi hukum Indonesia, yaitu KUHPerdata
yang berlaku sampai saat ini. Jika dilihat secara historis, perkembangan
pertanggungjawaban produk di negara-negara yang menganut civil law system
di kawasan Eropa, tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Product Liability
Directive 1985
yang ditetapkan oleh Masyarakat
Eropa (European
Community). Belanda yang menganut civil law system, sebagai salah satu
anggota dari Masyarakat Eropa harus pula mengimplementasikan Directive
tersebut di dalam hukum nasionalnya. Burgerlijk Wetboek (BW) 1838 yang
63
kemudian menjadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Indonesia, merupakan BW ketiga yang pernah berlaku di negeri Belanda.
Pada awal Abad ke-20, BW 1838 telah mulai dirasakan sebagai sebuah
kodifikasi yang ketinggalan jaman (outdated) dalam pengaturan mengenai
banyak hal. Akibatnya kesenjangan antara ketentuan yang ada dalam BW 1838
dengan perkembangan kebutuhan masyarakat pada hukum perdata yang lebih
relevan, menyebabkan keputusan-keputusan pengadilan (judge made law)
memiliki peranan penting dalam mengisi kesenjangan tersebut. Contohnya
keputusan pengadilan yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum
(unlawful acts atau onrechtmatigedaad).
E.M. Meijers dari Universitas Leiden, telah lama berpendapat tentang
perlunya rekodifikasi BW 1838 dan pada tahun 1947 beliau diberi tugas untuk
merancang BW baru Belanda yang terdiri dari 9 buku. Dalam rancangan Buku
6 Bagian 3 NBW Belanda dibawah judul Produktenaansprakelijkheid, terdapat
Pasal 185 (1407a NBW) sampai dengan Pasal 193a (1407i NBW) yang
mengatur perihal pertanggungjawaban produk.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pada tahun 1985 Masyarakat
Eropa telah menetapkan Directive on the Approximation of the Laws,
Regulations and Administrative Provisions of the Member States concerning
Liability for Defective Products66, yang mengharuskan Negeri Belanda sebagai
salah satu negara anggota Masyarakat Eropa untuk mengimplementasikan
Directive tersebut ke dalam Hukum Nasionalnya.
Dalam rangka mengimplementasikan Directive tersebut, Negeri
Belanda menginkorporasikannya ke dalam NBW. Oleh karena itu pada tanggal
11 September 1986 diajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) No. 19636 ke
Parlemen Belanda tentang implementasi Directive tersebut ke dalam Pasal
1407a – i NBW. RUU tersebut disahkan sebagai UU dalam Staatsblad No. 487
tanggal 13 September 1990.
66
Official Journal No. L210, 7 Agustus 1985, hlm. 29.
64
Setelah Staatsblad No. 487/1990 berlaku, maka hukum tentang
pertanggungjawaban produk (product liability law) di Negeri Belanda, sebagai
salah satu negara yang menganut civil law system, pada umumnya serupa
dengan hukum tentang pertanggungjawaban produk yang berlaku di negaranegara anggota Masyarakat Eropa lainnya (termasuk negara anggota yang
menganut common law system) yang telah mengimplementasikannya Directive
tersebut ke dalam Hukum Nasionalnya masing-masing.
Di dalam konsep pertanggungjawaban ini, unsur kesalahan bukan
ditiadakan (without fault), melainkan dialihkan beban pembuktiannya (shifting
the burden of proof) dari pihak yang dirugikan kepada pihak yang merugikan.
Jika konsep ini digunakan dalam pertanggungjawaban produk, maka
konsumen yang menuntut ganti rugi meskipun masih harus membuktikan
adanya ketiga unsur dalam perbuatan melawan hukum, namun tidak perlu
membuktikan adanya unsur kesalahan pada produsen. Sebaliknya segera
setelah terjadi peristiwa yang merugikan konsumen, produsen langsung
dianggap bersalah (presumption of fault), sehingga sebagai konsekuensinya
produsen harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Konsep inilah yang diadopsi oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang pada Pasal 22 dan Pasal 28,
menyatakan :
“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus
pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan
Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha menutup
kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian”.
“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan
ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal
23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha”.
Berdasarkan muatan materi kedua pasal di atas dapatlah disimpulkan
bahwa konsumen tidak membuktikan ada atau tidak adanya unsur kesalahan
yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pelaku usahalah yang membuktikan apakah
dirinya bersalah atau tidak. Dengan demikian, ada penerapan asas pembuktian
65
terbalik dan asas praduga bersalah (presumption of fault), yang dapat diartikan
bahwa “pelaku usaha dinyatakan bersalah selama dia tidak mampu
membuktikan ketidakbersalahannya”. Namun dalam praktiknya, ketentuan di
atas dan asas ini jarang diberlakukan. Dalam kasus-kasus dengan gugatan
perbuatan melawan hukum, tetap saja pihak penggunggat (konsumen) harus
membuktikan unsur kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha (tergugat)
selain juga harus membuktikan adanya unsur perbuatan melawan hukum,
adanya kerugian yang dideritanya dan hubungan kausal antara perbuatan
melawan hukum tersebut dengan kerugian yang dialaminya.
Untuk itu, menurut hemat penulis perlu adanya penerapan tanggung
jawab mutlak (strict liability) dalam sistem pertanggungjawaban hukum di
Indonesia, khusunya yang terkait dengan tanggung jawab produk. Hal ini
dilatarbelakangi oleh beberapa alasan :
a.
Untuk
tuntutan
yang
didasarkan
perbuatan
melawan
hukum,
menggunakan prinsip tanggung jawab atas dasar adanya unsur
kesalahan (based on fault liability), dimana pihak penggugat
(konsumen) harus membuktikan adanya unsur kesalahan dipihak
tergugat (produsen). Bila penggugat gagal membuktikan adanya unsur
kesalahan dipihak tergugat, maka gugatannya gagal. Untuk itu,
sangatlah kecil kemungkinannya konsumen mampu membuktikan
unsur kesalahan yang dilakukan oleh produsen dalam berproduksi yang
mengunakan teknologi yang canggih.
b.
Jika konsumen menuntut pelaku usaha (produsen) dengan dasar
perbuatan melawan hukum melalui pengadilan, akan memakan waktu
yang lama dan biaya yang tinggi. Sementara, tidak semua konsumen
mempunyai kemampuan ekonomi yang baik.
c.
Di antara korban atau konsumen di satu pihak dan produsen di lain
pihak, beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang
memproduksi/mengeluarkan barang-barang cacat/ berbahaya tersebut
di pasaran.
66
d.
Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti
produsen menjamin bahwa barang-baang tersebut aman dan pantas
untuk dipergunakan dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus
tanggung jawab.
e.
Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak pun
produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui
proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran,
pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada
agen,
dan
agen
kepada
produsen.
Penerapan
strict
liability
dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini.
Selain hal tersebut diatas, ada alasan-alasan lain yang memperkuat
penerapan prinsip strict liability tersebut yang didasarkan pada social climate
theory :
a.
Manufacturer adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan yang
lebih baik untuk menanggung beban kerugian dan pada setiap kasus
yang mengharuskannya mengganti kerugian dia akan meneruskan
kerugian tersebut dan membagi risikonya kepada banyak pihak dengan
cara menutup asuransi yang preminya dimasukkan ke dalam
perhitungan harga dari barang hasil produksinya. Hal ini dikenal
dengan deep pockets theory.
b.
Terdapatnya kesulitan dalam membuktikan adanya unsur kesalahan
dalam suatu proses manufacturing yang demikian kompleks pada
perusahaan besar (industri) bagi seorang konsumen/korban/penggugat
secara individual.
Dalam hukum tentang product liability, pihak korban/konsumen yang
akan menuntut pada dasarnya hanya diharuskan menunjukkan tiga hal:
pertama, produk tersebut telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen;
kedua bahwa cacat tersebut telah menyebabkan atau turut menyebabkan
kerugaian/kecelakaan; ketiga, adanya kerugian. Namun, diakui juga secara
umum bahwa pihak korban/konsumen harus menunjukkan bahwa pada waktu
67
terjadinya kerugian, produk tersebut pada prinsipnya berada dalam keadaan
seperti waktu diserahkan oleh produsen
(artinya tidak ada modifikasi-
madifikasinya).
Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku prinsip
strict liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung
jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat
membebaskan tanggung jawab produsen tersebut adalah67:
a.
Jika produsen tidak mengedarkan produknya (put into circulation)
b.
Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk
diedarkan oleh produsen atau terjadinya cacat tersebut baru timbul
kemudian.
c.
Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual
atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun diedarkan untuk
diedarkan dalam rangka bisnis.
d.
Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan
memenuhi
kewajiban
yang
ditentukan
dalam
peraturan
yang
dikeluarkan oleh pemerintah.
e.
Bahwa secara ilmiah dan teknik (state of scientific an technical
knowledge, state or art defense) pada saat produk tersebut diedarkan
tidak mungkin cacat.
f.
Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut
disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri di mana komponen telah
dicocokkan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang dinerikan
oleh pihak produsen tersebut.
g.
Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut
menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contributory nigligence).
h.
Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur.
67
Jean-Michel Fobe, Aviation Products Liability and Insurance in the EU, Kluwer, Deventer, 1994, hlm.
44-45.
68
b. Konsep Pengembangan Standardisasi Mutu Produk Pangan Olahan
Sebelum BSN dibentuk, kegiatan standardisasi (termasuk standardisasi
dibidang pangan olahan) telah lama dilaksanakan oleh berbagai departemen
secara sendiri-sendiri dengan norma dan tata-cara yang berbeda-beda, sehingga
pada saat itu dikenal berbagai standar sektoral. Pada tahun 1984 pemeritah
membentuk Dewan Standardisasi Nasional (DSN) untuk melebur kegiatan
standardisasi sektoral tersebut kedalam kegiatan standardisasi nasional. Pada
tahun 1986 DSN berhasil membentuk kesepakatan semua pihak terkait untuk
mengembangkan SNI dimana standar sektoral yang telah ada diadopsi menjadi
SNI. Namun seluruh proses peleburan standardisasi sektoral menjadi
standardisasi nasional baru selesai pada tahun 1994. Pada tahun 1992 melalui
SK Menteri Negara Riset dan Teknologi/Ketua BPPT selaku Ketua DSN No.
465/IV.2.06/HK.01/04/9/ 92, DSN juga berhasil membentuk KAN untuk
mengkoordinasikan kegiatan akreditasi yang dilaksanakan oleh berbagai
departemen & LPND. Di dalam perkembangannya, keperluan adanya lembaga
yang secara khusus mengembangkan dan mengelola sistem standardisasi
nasional semakin dirasakan karena keberadaan DSN tidak dapat lagi
menangani hal tersebut secara efektif. Oleh karena itu pada tahun 1997,
berdasarkan pandangan DSN, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden
Nomor 13 Tahun 1997 tanggal 26 Maret 1997 untuk membentuk BSN dan
membubarkan DSN. Pada saat BSN dibentuk jumlah SNI telah mencapai lebih
dari 4000 judul yang sebagian besar merupakan hasil peleburan standar
sektoral yang dilakukan oleh DSN.
Tantangan utama yang dihadapi oleh BSN pada saat pembentukannya
adalah mengembangkan tatanan, prosedur dan pengorganisasian yang
memenuhi norma dan tata cara yang baik, serta selaras dengan praktek yang
umum dipergunakan di dunia internasional. Oleh karena itu fokus utama pada
saat itu adalah membentuk Sistem Standardisasi Nasional (SSN) serta
melakukan pembenahan kelembagaan dan proses yang berkaitan dengan
pelaksanaan pengembangan SNI dan pelaksanaan penilaian kesesuaian.
69
Setelah melalui berbagai kajian dan studi perbandingan untuk memahami
norma dan best practices yang berlaku di tingkat regional dan internasional
serta setelah melakukan koordinasi lintas sektor, kerangka SSN dapat
dibakukan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang
Standardisasi Nasional yang berisi pengaturan tentang kerangka kelembagaan
dan pokok-pokok ketentuan yang harus dipenuhi dalam mengembangkan
semua sub-sistem SSN. Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, BSN
kemudian melaksanakan sejumlah langkah-langkah penting sebagai berikut:
a.
Menjabarkan sistem kelembagaan SSN yang diperlukan untuk
melaksanakan
standardisasi
nasional
dan
menstimulasi
pembentukannya.
b.
Menetapkan pedoman-pedoman yang diperlukan untuk menjamin
keteraturan proses pengembangan standar, pelaksanaan penilaian
kesesuaian dan pemberlakuan SNI wajib sesuai dengan norma dan
ketentuan yang berlaku di tingkat internasional.
c.
Membentuk sekitar 90 buah Panitia Teknik SNI yang sekretariatnya
tersebar di sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah lain, untuk
memfasilitasi peranserta pemangku kepentingan dalam perumusan SNI.
d.
Mereposisi KAN dan memperkuat dukungan bagi KAN sehingga dapat
memenuhi persyaratan untuk diterima dalam perjanjian MRA
APLAC/ILAC dan PAC/IAF.
e.
Memfasilitasi
pembentukan
Masyarakat
Standardisasi
Indonesia
(MASTAN) suatu organisasi non-pemerintah yang diperlukan untuk
memberikan wadah dan saluran yang seluas mungkin bagi pemangku
kepentingan untuk berpartisipasi dalam berbagai proses standardisasi.
f.
Mewakili Indonesia dalam keanggotaan ISO, yang telah terdaftar sejak
tahun 1954 atas nama YDNI (Yayasan Dana Normalisasi Indonesia),
dan terpilih menjadi anggota ISO Council untuk periode tahun 20052006.
70
g.
Mewakili kepentingan Indonesia dalam berbagai forum kerjasama
standar dan penilaian kesesuaian, baik di tingkat regional (ACCSQ di
ASEAN, SCSC dan PASC di Asia-Pasifik, ASEM-SCA) maupun
dalam organisasi standardisasi di tingkat internasional (ISO, IEC, dan
CAC).
h.
Mengembangkan fungsi “notification body & enquiry point” dalam
rangka pelaksanaan perjanjian TBT-WTO.
i.
Menstimulasi kerjasama bilateral di bidang standar dan penilaian
kesesuaian.
Sampai akhir tahun 2004 jumlah SNI telah mencapai 6520 judul
dengan penambahan rata-rata sebanyak 260 standar per tahun. Pada saat BSN
dibentuk telah ada SNI yang merupakan hasil standar sektoral sebanyak 4480
judul. Oleh karena SNI tersebut telah berumur lebih dari 5 tahun dan banyak
yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pedoman
Standardisasi Nasional, maka standar tersebut perlu dikaji ulang. Di samping
itu, sejalan dengan perkembangan kerjasama regional baik di lingkungan
ASEAN maupun APEC, serta sesuai pula dengan perjanjian TBT-WTO,
sejumlah
SNI
telah
diharmonisasikan
dengan
standar
internasional.
Harmonisasi SNI seharusnya terus ditingkatkan sejalan dengan pelaksanaan
kaji ulang dan revisi SNI. Beberapa upaya yang dapat dilaksanakan BSN di
bidang ini adalah sebagai berikut:
a.
Melakukan penguatan Manajemen Teknis Pengembangan SNI (MTPS),
penerapan teknologi informasi dan pembentukan jaringan pakar untuk
mendukung pengendalian mutu, agar pengembangan SNI dapat
dilaksanakan secara teratur dan efektif sesuai dengan norma
pengembangan SNI yang telah dibahas terdahulu.
b.
Melakukan
restrukturisasi
kelembagaan
dengan
pembentukan
badan/kelembagaan yang terpisah antara badan regulator, badan
pelaksana dan badan pengawas, agar masing-masing memiliki lingkup
71
fungsi, tugas dan kewenangan yang jelas, terstruktur, dan tidak
tumpang tindih satu sama lain.
c.
memperkuat fungsi MASTAN dalam proses pengembangan SNI agar
partisipasi dan pelaksanaan konsensus pihak berkentingan dapat
semakin luas.
d.
Melakukan perubahan sistem pengembangan SNI yang mencakup
penyusunan dan revisi pedoman yang berkaitan dengan pembentukan
Panitia Teknis, pengembangan SNI, penulisan SNI, adopsi standar
internasional, serta Pedoman Standardisasi Nasional lainnya yang
terkait dengan pengembagan SNI.
Memberikan dorongan di lingkungan ILAC/APLAC, KAN untuk
menjadi signatory member untuk MRA di bidang akreditasi laboratorium uji
dan laboratorium kalibrasi serta lembaga inspeksi. Sementara itu di lingkungan
PAC/IAF, KAN didorong menjadi signatory member untuk MLA di bidang
akreditasi lembaga sertifikasi sistem manajemen mutu dan lembaga sertifikasi
sistem manajemen lingkungan hidup. Persiapan diri untuk menghadapi
international peer review dalam rangka mendapatkan MLA di bidang
sertifikasi produk, harus terus tetap dilaksanakan.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan KAN untuk memperbaiki dan
mengembangkan sistem penilaian kesesuaian, adalah:
a.
Menyempurnakan persyaratan dan kualitas proses akreditasi agar
semakin terpercaya dan status sebagai signatory member MRA/MLA di
atas dapat dipertahankan.
b. Menyempurnakan sistem akreditasi lembaga sertifikasi produk dengan
sasaran agar KAN siap untuk di peer review untuk dapat menjadi
signatory member PAC/IAF di bidang akreditasi ini.
c.
Mengembangkan dan mengoperasikan berbagai skema akreditasi yang
spesifik, seperti akreditasi untuk lembaga sertifikasi eko-label,
akreditasi untuk lembaga sertifikasi produk pertanian pangan organik,
akreditasi untuk lembaga sertifikasi laboratorium klinik, serta
72
mengembangkan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian untuk
mendukung pelaksanaan skema yang ditetapkan oleh IEC.
d. Mengembangkan pengetahuan sumber daya manusia dan penerapan
teknologi IT untuk peningkatan kualitas pelayanan KAN.
e.
Memberikan dukungan untuk menstimulasi perkembangan NMI serta
memperkuat koordinasi dengan Direktorat Metrologi Departemen
Perdagangan yang menangani metrologi legal.
Di samping itu, KAN juga harus mengupayakan MRA secara bilateral
dengan sejumlah negara tujuan ekspor, terutama untuk area produk yang
peredaran pasarnya cenderung diawasi oleh pemerintah negara-negara tersebut.
Perkembangan SNI sangat dipengaruhi oleh berbagai daya penggerak
(driving forces). Sejumlah daya penggerak yang memiliki peran yang strategis
adalah :
a.
Persepsi Pemangku Kepentingan (Stakeholders)
Persepsi pemangku kepentingan terhadap kegunaan standar (di dalamnya
termasuk
standar
mutu
pangan),
merupakan
daya
penggerak
perkembangan SNI yang sangat penting. Pemahaman tentang fungsi
standar dalam kegiatan produksi, akan mempengaruhi tarikan pasar bagi
perkembangan SNI, sekaligus akan mendorong pemangku kepentingan
untuk berpartisipasi dalam proses pengembangan SNI. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa perkembangan SNI pada dasarnya berakar pada
persepsi dan pemahaman pemangku kepentingan terhadap kegunaan
standar.
b.
Kepercayaan Terhadap Proses Pengembangan SNI
Daya penggerak kedua yang sangat penting adalah kepercayaan terhadap
proses
pengembangan
SNI.
Perkembangan
persepsi
pemangku
kepentingan tentang pentingnya standar hanya akan menjadi tarikan pasar
yang riil bagi perkembangan SNI apabila kepercayaan mereka terhadap
proses pengembangan SNI cukup baik, karena: (1) terbuka bagi partisipasi
73
pemangku kepentingan; (2) prosesnya transparan, tidak memihak serta
menjunjung tinggi konsensus; dan (3) pelaksanaannya efektif karena
menjawab kebutuhan pasar, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
serta koheren dengan berbagai standar dan praktek perdagangan
internasional.
Gambar 1
Siklus Perkembangan SNI
Perkembangan
SNI
Keberterimaan
SNI oleh pihak
berkepentingan
Partisipasi
Pihak
Berkepentingan
Investasi untuk
penerapan SNI &
penilaian kesesuaian
Efektifitas
SNI sebagai
Faktor Pasar
Sumber : BSN diolah
Seperti tampak pada Gambar 1, partisipasi pemangku kepentingan dalam
pengembangan dan pemanfaatan SNI sebagai faktor pasar hanya terjadi
apabila proses pengembangan SNI diterima oleh masyarakat.
c.
Kepercayaan Terhadap Proses Penilaian Kesesuaian
Kepercayaan terhadap proses penilaian kesesuaian juga merupakan faktor
yang sangat penting. Apabila penerapan SNI didukung oleh penilaian
kesesuaian yang dapat diandalkan dan terpercaya, maka penerapan SNI
tersebut akan semakin dirasakan sebagai faktor yang dapat meningkatkan
transparansi dan efisiensi transaksi perdagangan, serta membentuk
kepastian bisnis dan iklim persaingan yang sehat. Kepercayaan terhadap
penilaian kesesuaian sangat dipengaruhi oleh perkembangan lembaga dan
ruang lingkup penilaian kesesuaian pihak ketiga yang memiliki
74
kompetensi dan sistem manajemen yang profesional serta melaksanakan
praktek bisnis yang baik. Dengan demikian keandalan proses akreditasi
yang diselenggarakan oleh KAN juga merupakan kunci perkembangan
SNI yang penting.
d.
Kemampuan BSN dan KAN
Kemampuan BSN dan KAN yang dibentuk oleh pemerintah untuk
mendorong perkembangan semua sub-sistem SSN, tentu juga merupakan
daya penggerak perkembangan SNI yang penting. Bagaimana BSN dan
KAN dapat mempengaruhi pertumbuhan ketiga daya penggerak tersebut
yang telah dibahas di atas, tentunya juga merupakan kunci perkembangan
SNI yang penting. Demikian pula kemampuan BSN dan KAN untuk
memperkuat
keterkaitan
holistik
antara
transaksi
pasar
dengan
perkembangan SNI, antara penerapan SNI dan ketersediaan penilaian
kesesuaian, antara penilaian kesesuaian dengan kemampuan di bidang
metrologi, merupakan kunci perkembangan SNI yang penting pula.
Gambar 2
Siklus Proses Standardisasi Nasional
Kebutuhan SNI
1
Pengembangan
SNI
Transaksi
Pasar
Penerapan SNI
Perlu dukungan
3
2
Kelayakan
Referensi
Penilaian
Kesesuaian
Ketelusuran
4
Ketidakpastian
Kalibrasi
Peralatan Uji
Sumber : BSN diolah
75
Seperti tampak pada Gambar 2, pengembangan SNI harus dilandaskan
pada kebutuhan pasar dan penggunaannya dalam transaksi pasar
memerlukan dukungan penilaian kesesuaian yang dapat dijadikan
referensi yang terpercaya. Penilaian kesesuaian juga memerlukan
dukungan prasarana metrologi, khususnya yang berkaitan dengan
pelaksanaan kalibrasi dan uji profisiensi untuk menjamin unjuk kerja
hasil pengujian. Kelemahan salah satu aspek tersebut dapat mengurangi
efektivitas SNI sebagai faktor pasar.
e.
Liberalisasi Perdagangan
Perkembangan liberalisasi perdagangan juga merupakan daya penggerak
yang penting. Berbagai perjanjian internasional baik di lingkungan
lembaga-lembaga PBB dan WTO mengikat semua anggotanya untuk
menerapkan keteraturan tertentu dalam transaksi perdagangan antar
negara, sehingga masing-masing negara anggota tidak lagi menerapkan
berbagai hambatan perdagangan dengan alasan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Harmonisasi standar nasional terhadap standar
internasional, pengembangan saling pengakuan (MRA) dalam pelaksanaan
penilaian kesesuaian, dan keterbukaan serta transparansi dalam penerapan
regulasi teknis merupakan sejumlah aspek yang selalu menjadi pokok
perundingan. Sebagai contoh di lingkungan WTO telah disepakati
perjanjian Technical Barrier to Trade (TBT) yang mengatur penerapan
standar, penilaian kesesuaian dan regulasi teknis secara transparan,
berdasarkan kebutuhan yang sah dan tidak dimaksud atau menimbulkan
hambatan perdagangan yang berkelebihan, tidak membedakan perlakuan
bagi produk dalam dan luar negeri, serta tidak melakukan diskriminasi
atau memberikan perlakuan istimewa terhadap suatu negara tertentu.
Prinsip-prinsip tersebut kemudian diadopsi ke dalam berbagai perjanjian
tingkat regional, baik ASEAN maupun APEC. Perkembangan tersebut
menimbulkan kesempatan sekaligus tantangan. Bagi negara-negara yang
dapat memenuhi tingkat keteraturan yang digariskan oleh perjanjianperjanjian tersebut, terbuka kesempatan yang lebih luas untuk memasuki
76
pasar regional dan internasional. Sementara bagi yang tidak, mereka akan
kurang mampu memanfaatkan kesempatan itu namun mereka harus
membuka pasar di negaranya bagi pihak-pihak yang telah mencapai
tingkat keteraturan tersebut. Gambar 3 mengilustrasikan sejumlah
tantangan yang dihadapi oleh para produsen di Indonesia sejalan dengan
perkembangan liberalisasi perdagangan.
Gambar 3
Tantangan bagi Produsen
Kemajuan teknologi
Global
Market
Keteraturan transaksi
perdagangan global
Perkembangan Standar
Internasional
MRA di tingkat Regional
& Internasional
Produsen Dalam Negeri
Domestic
Market
Keteraturan pasar dalam
negeri
Kesiapan prasarana
penilaian kesesuaian
Kualitas SNI
Kesiapan produsen
Sumber : BSN diolah
Apabila 3 (tiga) daya penggerak yang secara langsung mempengaruhi
perkembangan SNI – yaitu persepsi pemangku kepentingan terhadap SNI,
kepercayaan terhadap proses pengembangan SNI dan kepercayaan terhadap
penilaian
kesesuaian,
digunakan
sebagai
dasar
untuk
menganalisis
perkembangan SNI di masa mendatang, maka diperoleh sejumlah skenario
yang mungkin terjadi sebagaimana dilustrasikan dalam Gambar 4 di bawah ini.
77
Gambar 4
Skenario Perkembangan SNI
Persepsi Stakeholder
terhadap Standar
Mengecewakan
Buruk
Baik
Buruk
Tidak Menentu
Baik
Baik
Lambat
Sehat
Stagnasi
Buruk
Kepercayaan thd
Penilaian
Kesesuaian
Kepercayaan thd Proses
Produksi SNI
Sumber : BSN diolah
Pada skenario pertama, persepsi masyarakat terhadap standar tidak
baik (buruk). Dalam skenario ini perkembangan SNI akan mengalami stagnasi
karena walaupun jumlah SNI terus bertambah, namun para pelaku pasar tidak
merasakan kebutuhannya sehingga SNI tersebut tidak dimanfatkan. Dalam
kondisi ini SNI tidak akan berkembang sebagai faktor pasar. Dengan demikian
pasar bagi bisnis penilaian kesesuaian juga terbatas sehingga perkembangan
lembaga penilaian kesesuaian juga akan terhambat. Dengan demikian posisi
Indonesia menghadapi liberalisasi perdagangan regional dan internasional akan
melemah pula.
Pada skenario kedua, masyarakat khususnya produsen, memiliki
persepsi yang cukup baik terhadap kegunaan standar namun kepercayaan
terhadap proses pengembangan SNI dan penilaian kesesuian tidak baik. Dalam
kondisi ini masyarakat akan kecewa dan tidak akan berpartisipasi dalam
pengembangan SNI serta menggunakan SNI sebagai acuan. Mereka akan lebih
mengandalkan standar internasional atau standar negara lain. Seperti skenario
pertama, perkembangan SNI tidak akan menstimulasi pasar bagi bisnis
78
penilaian kesesuaian, yang pada akhirnya akan memperlemah posisi Indonesia
dalam berbagai perjanjian perdagangan regional maupun internasional.
Pada skenario ketiga, masyarakat memiliki persepsi yang baik terhadap
kegunaan standar, kepercayaan pada proses penilaian kesesuaian juga baik,
namun kepercayaan terhadap proses pengembangan SNI masih buruk. Pada
kondisi seperti yang dialami Indonesia dewasa ini, perkembangan SNI tidak
menentu. Pada area bisnis yang mengalami tekanan kuat dari produk impor
berkualitas rendah yang murah, produsen dalam negeri akan berusaha
menggunakan pemberlakuan SNI wajib sebagai proteksi. Sementara pada area
bisnis lain SNI tidak terlalu dipertimbangkan sebagai faktor pasar. Walaupun
demikian, keberadaan penilaian kesesuaian yang terpercaya merupakan faktor
yang penting untuk memperkuat posisi dalam berbagai perjanjian regional dan
internasional.
Pada skenario keempat, masyarakat memiliki persepsi yang baik
terhadap kegunaan standar, kepercayaan pada proses pengembangan SNI juga
baik, namun kepercayaan terhadap proses penilaian kesesuaian masih buruk.
Pada kondisi yang demikian SNI masih akan berkembang walaupun lambat,
karena pelaku pasar masih akan berpartisipasi dalam pengembangan SNI dan
menggunakan SNI sebagai acuan kegiatan produksi dan perdagangan. Namun
tidak adanya penilaian kesesuaian yang terpercaya dapat mengurangi makna
penggunaan SNI sebagai faktor pasar, dan dapat memperlemah posisi dalam
berbagai perjanjian regional dan internasional.
Pada skenario kelima persepsi masyarakat, kepercayaan terhadap
proses pengembangan SNI dan penilaian kesesuaian berkembang dengan baik.
Dalam kondisi semacam ini SNI akan berkembang secara sehat, dipergunakan
secara efektif dalam kegiatan produksi dan perdagangan, serta akan
menimbulkan tarikan pasar yang kuat bagi perkembangan bisnis penilaian
kesesuaian. Keadaan ini akan mempengaruhi keteraturan dan sofistikasi pasar
dalam negeri, sehingga kualitas produksi akan menjadi lebih baik pula.
79
Kesiapan produsen dan keberadaan penilaian kesesuaian yang terpercaya akan
memperkuat posisi dalam berbagai perjanjian regional dan internasional.
c.
Perlindungan Konsumen dan Peningkatan Daya Saing Produk melalui
Penerapan Standardisasi Mutu Produk
Sesuai dengan arah kebijakan pembangunan nasional di bidang
ekonomi, sebagaimana yang termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN)68, pembangunan ekonomi nasional ditujukan
untuk menjawab berbagai permasalahan dan tantangan dengan tujuan akhir
adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Hal ini sejalan dengan amanat dari pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada alenia keempat, bahwa salah satu
tujuan dibentuknya suatu Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk
memajukan kesejahteraan umum yang didasarkan pada keadilan sosial.
Dalam upaya pencapaian kesejahteraan umum yang didasarkan pada
keadilan sosial tersebut, Pasal 33 UUD 1945 telah menggariskan bahwa:
“(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Pemaknaan Pasal 33 UUD 1945 di atas, ada tiga hal yang dapat
disimpulkan, yaitu adanya tanggung jawab negara di bidang ekonomi, sistem
demokrasi ekonomi Indonesia dan tujuan dari demokrasi ekonomi Indonesia,
yaitu terciptanya kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
68
Lihat dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, Buku II, Bab III Ekonomi, hlm. II.3-1.
80
Tercapainya peningkatan kesejahteraan rakyat memerlukan terciptanya
kondisi-kondisi dasar yaitu: (1) pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; (2)
penciptaan sektor ekonomi yang kokoh serta; (3) pembangunan ekonomi yang
inklusif dan berkeadilan.
Salah satu instrumen yang di perlukan untuk
mendorong terwujudnya tujuan tersebut
adalah melalui penerapan
standardisasi produk untuk meningkatkan mutu dan daya saing produk serta
perlindungan terhadap konsumen, yang akhirnya dapat memberikan kontribusi
terhadap pertumbuhan ekonomi, dan terciptanya pembangunan ekonomi yang
inklusif dan berkeadilan.
Pertumbuhan ekonomi
nasional tersebut
perlu didukung oleh
peningkatan produktivitas dan efisiensi serta sumberdaya manusia yang
berkualitas. Untuk itu diperlukan usaha peningkatan dan pemantapan program
pembangunan nasional di sektor ekonomi agar dapat menjadi penggerak utama
ekonomi yang efisien, berdaya saing tinggi, dan mempunyai struktur yang
makin mantap.
Peningkatan kesejahteraan rakyat yang berlandaskan pengembangan
usaha berkeunggulan kompetitif, termasuk usaha kecil, menengah dan
koperasi, perlu diarahkan untuk kemandirian perekonomian nasional,
meningkatkan efisiensi, produktivitas masyarakat, dan daya saing dalam
menghasilkan barang dan/atau jasa yang makin bernilai tambah tinggi dengan
selalu menjaga kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Salah satu alat
pendorong untuk menciptakan keunggulan kompetitif adalah peningkatan
mutu dan efisiensi perindustrian nasional dengan memfokuskan pada kegiatan
standardisasi. Oleh karena itu, kegiatan standardisasi di Indonesia perlu
disempurnakan dan disosialisasikan agar yang berkepentingan dengan
standardisasi (stakeholders) dan masyarakat lebih menyadari arti penting
standardisasi. Stakeholders dalam kegiatan standardisasi meliputi konsumen,
pelaku usaha, ilmuwan, dan pemerintah.
Keberadaan Sistem Standardisasi Nasional (SSN) sangat diperlukan
untuk mendukung produk nasional dalam menghadapi era perdagangan bebas,
81
guna menjamin terciptanya perdagangan yang adil dan jujur serta menunjang
pertumbuhan produk nasional dan perlindungan masyarakat, khususnya dalam
hal keselamatan, keamanan, kesehatan dan fungsi lingkungan hidup. Selain itu,
dalam meningkatkan keunggulan kompetitif produk nasional, diperlukan
pengembangan prasarana teknis standardisasi yang meliputi metrologi, standar,
pengujian, dan penilaian mutu dalam rangka meningkatkan dan menjamin
mutu barang dan/atau jasa. Pengembangan prasarana teknis tersebut
diusahakan agar manfaatnya dapat lebih dirasakan oleh semua pihak.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, standardisasi dapat digunakan
sebagai salah satu alat kebijakan pemerintah dalam menata struktur ekonomi
secara lebih baik dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Hal ini
selaras dengan dianutnya negara kesejahteraan (welfare state) oleh Indonesia,
dimana negara dapat ikut campur dalam perekonomian nasional dengan tujuan
untuk mewujukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Landasan
konstitusionalnya adalah sebagaimana yang termaktub dalam alenia keempat
Pembukaan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa :
“...Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial...”.
Dilihat dari tugas dan tanggung jawab tersebut, dapatlah dikatakan
bahwa negara (pemerinah) Indonesia menganut faham negara kesejahteraan
(welfare state)69. Hal ini tercermin pula dalam Pasal 23, Pasal 27, Pasal 31 dan
Pasal 34 UUD 1945, yang memuat kewajiban negara dalam mengelola sumber
69
Lihat pernyataan Sri Wahyu Kridasakti dalam buku Hukum Administrasi Negara, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka, 1998, hlm. 9.10, yang menyatakan “Secara
konstitusional negara Indonesia menganut prinsip welfare state maka dengan sendirinya tugas dari
pemerintah sangatlah luas. Pemerintah wajib berusaha memberikan perlindungan kepada seluruh
masyarakat baik dalam bidang politik maupun sosial ekonomi. Untuk melaksanakan tugas yang luas
tersebut, pemerintah secara legal diberi kewenangan (fries ermessen) untuk campur tangan dalam
berbagai bidang kegiatan sosial guna membangun kesejahteraan sosial... ”.
82
daya untuk kesejahteraan masyarakat. Menurut Manuel Kaisiepo70, jika
menilik cita-cita dan pemikiran perumusan Pasal 33 UUD 1945, yang
selanjutnya dijadikan landasan konstitusional perekonomian Indonesia, maka
model negara yang paling sesuai untuk merealisasikan cita-cita tersebut adalah
negara kesejahteraan (welfare state).
Secara teoritik, dalam negara kesejahteraan, peran pemerintah dituntut
responsif dalam mengelola dan mengorganisasikan perekonomian nasionalnya
untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat
tertentu bagi warga negaranya. Menurut G. Esping-Andersen, suatu negara
dapat katakan menganut faham negara kesejahteraan, apabila negara tersebut
menjalankan nilai-nilai sosialisasi hak dan kewajiban warga negara (social
citizenship); demokrasi penuh (full democracy); sistem hubungan industrial
modern (modern industrial relation systems); hak untuk mendapatkan
pendidikan dan pengembangan sistem pendidikan modern (rights to education
and the expansion of modern mass education system); dan produksi serta
penyediaan kesejahteraan warga negara tidak bisa sepenuhnya diserahkan
kepada pasar71. Adapun tiga kunci utama yang harus dijalankan oleh negara
yang menganut faham kesejahteraan adalah kebijakan makro-ekonomi yang
Keynesian, kebijakan penciptaan lapangan kerja yang penuh dan daya beli
yang tinggi dari warga negara, serta program-program jaminan sosial. Ketiga
kunci utama tersebut, dalam rangka menjawab perubahan dan transformasi
ekonomi dunia, menurut Anthony Giddens, harus dibarengi dengan prinsipprinsip persamaan, perlindungan yang lemah, kebebasan dalam bentuk
otonomi, hak yang disertai tanggung jawab, otoritas yang dibentuk atas dasar
partisipatoris dan solidaritas dalam pluralisme72. Jadi di dalam negara
70
Lihat Manuel Kaisiepo, Pancasila dan Keadilan Sosial : Peran Negara, dalam buku Restorasi
Pancasila (Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas), Prosiding Simposium Peringatan Hari Lahir
Pancasila, Jakarta, FISIP UI dan Brigten Press, 2006, hlm. 187.
71
G. Esping-Andersen, Three World of Welfare Capitalism, Oxfort University Press, 1990, hlm.78. Lihat
pula dalam Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, Harian Kompas, 9 Mei 2006.
72
Anthony Giddens, The Third Way: The Renewal of Social Democracy (1998), yang dalam edisi
Indonesia berjudul “Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial”, Jakarta, Gramedia, 1999.
83
kesejahteraan, menurut Bagir Manan73, negara atau pemerintah tidak sematamata hanya sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi
pemikul utama tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan sosial,
kesejahteraan umum, dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam kerangka itu, Indonesia menerapkan Sistem Standardisasi
Nasional sebagai salah satu kebijakan pemerintah yang responsif untuk
menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu
bagi warga negaranya, yaitu yang terkait dengan keamanan, keselamatan dan
kesehatan konsumen dalam mengkonsumsi produk yang beredar di pasaran.
Oleh karena itu, Indonesia memerlukan standar nasional dengan mutu yang
makin meningkat dan dapat memenuhi persyaratan internasional, untuk
menunjang tercapainya tujuan strategis, antara lain, peningkatan ekspor barang
dan/atau jasa Indonesia, peningkatan daya saing barang dan/atau jasa Indonesia
terhadap barang dan/atau jasa impor, peningkatan efisiensi nasional, dan
menunjang program keterkaitan sektor ekonomi dengan berbagai sektor
lainnya. Dengan demikian diperlukan suatu Sistem Standardisasi Nasional
yang merupakan tatanan jaringan sarana dan kegiatan standardisasi yang
serasi, selaras dan terpadu serta berwawasan nasional dan internasional.
Perkembangan perekonomian internasional yang menuju ke arah
penghilangan batas antar negara (borderless state) telah mendorong banyak
negara membentuk blok-blok perdagangan dalam rangka melindungi dan
mempertahankan kepentingan perdagangannya. Dengan menguatnya saling
ketergantungan antar negara dan saling keterkaitan masalah secara regional
dan internasional maka muncullah berbagai blok perdagangan, seperti AFTA
(ASEAN Free Trade Area), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), EU
(European Union), NAFTA (North American Free Trade Agreement), dan
sebagainya. Kecenderungan liberalisasi perdagangan tersebut ditandai dengan
adanya perubahan menuju kesamaan terms of trade, kebijakan yang berupa
73
Lihat Bagir Manan, “Politik Perundang-undangan dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisasi
Ekonomi”, makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional di Fakultas Hukum Universitas Lampung,
1996, hlm. 16.
84
hambatan perdagangan seperti subsidi input, tarif impor, pajak ekspor, kuota,
dan lain-lainnya secara bertahap akan dihapuskan.
Untuk menjaga dan melindungi kepentingan domestik dari serbuan
masuknya barang impor, kini banyak negara menggunakan instrumen non
tarif, antara lain dengan pemberlakuan standar dan penilaian kesesuaian. Oleh
karenanya, peran standar dan penilaian kesesuaian kini menjadi semakin besar
dalam kegiatan perdagangan internasional.
Hal ini ditandai dengan
meningkatnya kegiatan standar dan penilaian kesesuaian di berbagai blok
perdagangan regional maupun internasional, seperti ACCSQ (ASEAN
Consultative Committee for Standards and Quality), APEC-SCSC (Standards
and Conformance Sub-Committee), dan ASEM-TFAP-on SCA (Asian
European Meeting-Trade Facilitation Action Plan on Standards and
Conformity Assessment ).
Indonesia telah menandatangani kesepakatan pada beberapa organisasi
dan blok perdagangan untuk melaksanakan liberalisasi perdagangan, antara
lain WTO, AFTA, APEC, dan ASEM. Kesepakatan dalam blok-blok
perdagangan yang diikuti memaksa Indonesia harus melaksanakan liberalisasi
perdagangan internasional secara konsekwen. Berarti kebijakan perdagangan
Indonesia yang selama ini masih mengandung unsur restriksi/proteksi harus
secara
berangsur-angsur
dihilangkan.
Keadaan
ini
juga
mendorong
meningkatnya peran standardisasi di Indonesia.
Peranan standardisasi dalam perekonomian nasional juga mengalami
perkembangan yang berarti, misalnya diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang secara spesifik
mengamanatkan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan
barang/jasa
yang
tidak
memenuhi
standar
yang
dipersyaratkan; terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000
tentang Standardisasi Nasional; meningkatnya peran aktif Indonesia dalam
kegiatan standardisasi regional dan internasional seperti ISO (International
85
Organization for Standardization), IEC (International Electrotechnical
Commission), CAC (Codex Alimentarius Commission), ILAC (International
Laboratory Accreditation Cooperation), APLAC (Asia Pasific Laboratory
Accreditation Cooperation), dan sebagainya.
Namun di sisi lain, kesadaran masyarakat dan pelaku usaha terhadap
standar dan mutu produk relatif masih rendah, jumlah standar nasional yang
dapat mendukung produk industri masih dianggap belum mencukupi,
peraturan yang mendorong terwujudnya penerapan standar yang efektif juga
masih belum memadai, dan hal lain yang diperlukan dalam rangka
memfasilitasi perdagangan dan terjaminnya mutu produk dalam negeri.
Mengingat pentingnya peran standardisasi di masa kini dan masa yang
akan datang dalam meningkatkan daya saing produk dan perlindungan
terhadap konsumen serta untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan
nasional, maka diperlukan suatu sistem yang dapat dipakai sebagai landasan
dalam menciptakan pola kebijakan dan program pengembangan standardisasi
nasional ke depan, dan yang mampu untuk mengatasi permasalahanpermasalahan atau kendala-kendala yang dihadapi sebagaimana tersebut di
atas.
Tantangan bangsa Indonesia di masa mendatang adalah globalisasi
yang menuntut persaingan yang sangat ketat. Untuk itu, bangsa Indonesia perlu
memperkuat landasan ekonomi yang berfokus pada keunggulan kompetitif.
Dua faktor yang mendukung hal tersebut adalah peningkatan efisiensi dan
produktivitas.
Sebagai pendorong peningkatan efisiensi dan produktivitas diperlukan
adanya suatu infrastruktur standar dan penilaian kesesuaian yang dapat
dikembangkan untuk mendukung pembangunan nasional dalam menghadapi
era globalisasi dengan persaingan yang tajam.
Terciptanya Sistem Standardisasi Nasional yang efektif dan efisien
diharapkan dapat menghasilkan :
86
1) Standar Nasional Indonesia yang mencukupi serta selaras dengan
standar
internasional untuk kebutuhan jaminan mutu internal dan
kesepakatan perdagangan;
2) Sistem penerapan standar yang dapat menunjang peningkatan efisiensi
dan produktivitas di tingkat produksi, menjamin terlaksananya
perlindungan
konsumen
dalam
aspek
kesehatan,
keselamatan,
keamanan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
3) Keunggulan kompetitif atas produk Indonesia di pasar global;
4) Informasi standardisasi yang diperlukan oleh pelaku usaha, pemerintah
dan konsumen dalam rangka memperlancar arus perdagangan domestik
maupun internasional.
5) Tumbuh dan berkembangnya kelembagaan sertifikasi, laboratorium,
dan lembaga inspeksi yang sehat, kredibel dan berdaya saing.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, diperlukan suatu usaha yang
didukung oleh seluruh stakeholders dan diarahkan pada :
1) Upaya mewujudkan pusat pengembangan di bidang standardisasi
dengan memanfaatkan seluruh sumber daya manusia, sarana dan
prasarana secara terpadu dan terkoordinasi yang langsung mendukung
pelaksanaan pembangunan;
2) Pembentukan jaringan pusat informasi dan pemanfaatan informasi di
bidang standardisasi yang diwujudkan melalui pemanfaatan pusat
informasi standardisasi yang ada di dalam negeri (Jaringan Nasional
Informasi Standardisasi), dan di luar negeri (ISO Information Network);
3) Peningkatan hubungan kerjasama dengan badan standardisasi nasional
negara mitra dagang, lembaga standardisasi internasional dan regional,
pemerintah dan/atau swasta baik di dalam negeri maupun di luar negeri
4) Ekivalensi Standar Nasional Indonesia dengan Standar Internasional;
5) Ekivalensi kegiatan penilaian kesesuaian dengan mitra dagang
Indonesia;
87
6) Penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang standardisasi
untuk menunjang kelancaran perdagangan di pasar global;
7) Pengembangan sumber daya manusia melalui pembinaan yang
konsisten untuk meningkatkan profesionalisme dalam pelaksanaan
program; serta
8) Pembinaan usaha kelembagaan laboratorium uji, lembaga sertifikasi
dan lembaga inspeksi yang sehat dan kredibel melalui program
akreditasi.
Terkait dengan itu, visi besar yang harus dicapai adalah terwujudnya
standardisasi nasional yang mampu meningkatkan efisiensi dan daya saing
nasional yang tinggi serta dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan
perekonomian nasional, dalam upaya mewujudkan masyarakat yang adil,
makmur dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut,
misi yang harus
dijalankan adalah : (1) mewujudkan jaminan mutu barang dan/atau jasa
nasional; (2) menunjang dihasilkannya barang dan/atau jasa yang berdaya
saing tinggi; (3) melindungi kepentingan masyarakat sesuai dengan ketentuan
internasional yang telah disepakati; dan (4) memberdayakan sumberdaya
dalam negeri. Dalam rangka menjalankan misi di atas, kebijakan standardisasi
nasional dapat diarahkan pada :
1) Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap standar dan budaya mutu;
2) Peningkatan perlindungan masyarakat (konsumen), dan lingkungan
melalui penerapan standar jaminan mutu dan penegakan hukum;
3) Peningkatan perumusan standar dan penyelarasan dengan standar
internasional;
4) Peningkatan infrastruktur standardisasi;
5) Peningkatan peran aktif dalam kerjasama standardisasi nasional,
regional, multilateral dan internasional.
Untuk merealisasikan kebijakan tersebut, program kerja yang dapat
dijalankan adalah :
88
1) memantapkan dan meningkatkan ekspor barang dan/atau jasa Indonesia
melalui peningkatan produksi, dan penggunaan produk dalam negeri;
2) mengembangkan dan memantapkan SNI dan SSN dalam rangka
meningkatkan kepercayaan masyarakat di dalam dan luar negeri akan
hasil barang dan/atau jasa Indonesia;
3) mengembangkan program jaminan mutu, keselamatan, keamanan,
kesehatan,
dan
pelestarian
fungsi
lingkungan
hidup
dengan
mengembangkan jaringan informasi nasional dan meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang standardisasi;
4) meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas pelaku usaha di
Indonesia, dalam rangka peningkatan daya saing dan bernilai tambah
dalam menghasilkan barang dan/atau jasa dan penguasaan pasar dalam
dan
luar
negeri dengan
meningkatkan sarana dan prasarana
standardisasi;
5) meningkatkan partisipasi aktif Indonesia dalam kegiatan standardisasi
regional dan internasional;
6) mengembangkan dan menyempurnakan kegiatan standardisasi dalam
rangka memperoleh pengakuan pada tingkat internasional melalui
kerjasama saling pengakuan baik bilateral maupun multilateral.
Tabel 1
Kebijakan dan Program Kerja Standardisasi Nasional
dalam Pengembangan Perekonomian Nasional
Kebijakan
Program Kerja
1. Peningkatan
kesadaran masyarakat
terhadap standard dan
budaya mutu
2. Peningkatan
perlindungan
masyarakat dan
lingkungan melalui
penerapan standar
jaminan mutu dan
penegakan hukum
a. Pengembangan sistem informasi standardisasi
nasional
b. Sosialisasi standardisasi
a. Pengembangan penerapan Good Regulatory
Practice (GRP)
b. Peningkatan pemberlakuan SNI Wajib
c. Penyusunan sistem penerapan dan
pemanfaatan SNI
d. Penyusunan dan pengembangan sistem
pengawasan produk yang bertanda SNI
89
3. Peningkatan
perumusan standard
dan penyelarasan
standard dengan
standard internasional
4. Peningkatan
infrastruktur
standardisasi
5. Peningkatan peran
aktif dalam kerja sama
standardisasi nasional,
regional, multilateral
dan internasional
a. Penyelarasan SNI terhadap standar
internasional
b. Perumusan standard prioritas
a. Pengembangan sistem penilaian kesesuaian
yang memperoleh pengakuan ditingkat
regional dan internasional
b. Pengembangan kerjasama internasional untuk
ketelusuran standard nasional
c. Peningkatan SDM, sarana dan prasarana
standardisasi yang kredibel
d. Penelitian dan pengembangan standardisasi
nasional
a. Peningkatan kerjasama di tingkat nasional,
regional dan internasional
b. Pengembangan saling pengakuan (MRA)
bilateral dan multilateral.
Sumber : Disarikan dari pembahasan.
Melalui langkah atau upaya sebagaimana tersebut di atas, diharapkan
penerapan standardisasi mutu produk dapat memberikan kontribusi yang besar
terhadap pembangunan nasional, khususnya di bidang ekonomi. Hal ini
tercermin dengan semakin banyaknya produk yang memenuhi standar nasional
maupun internasional, produk tersebut akan mampu bersaing di pasaran.
Dengan demikian sektor produksi akan berjalan dengan baik dan produk yang
dihasilkannya akan terserap oleh pasar. Apabila hal ini terjadi, maka dengan
sendirinya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi nasional (khususnya
disektor produksi) akan berjalan dengan baik, meskipun ini bukan satu-satunya
faktor yang mempengaruhi. Namun setidaknya, ada kontribusi yang signifikan
(berperanan), dengan banyaknya produk (khususnya pangan olahan) yang
memenuhi standar (baik nasional maupun internasional) di pasaran, dari segi
kepentingan konsumen akan memberikan perlindungan dari aspek keamanan,
keselamatan dan kesehatan jika mengkonsumsi produk dimaksud dan dari
kepentingan produk itu sendiri akan memberikan nilai tawar dan daya saing
90
yang tinggi. Sehingga akan menjadi pilihan konsumen dan mampu bersaing
dengan produk-produk impor.
Selain itu, dengan terpenuhinya standar mutu produk khususnya
pangan, akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang secara
langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap produktifitas
kerja yang akhirnya mampu mendorong pertumbuhan dan perkembangan
perekonomian nasional.
91
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1.
Kesimpulan
a.
Instrumen hukum (materi dan kelembagaan) yang terkait dengan
standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan di Indonesia telah
tersedia. Dengan demikian, produsen pangan olahan harus bertanggung
jawab terhadap produk pangan yang dihasilkannya, jika produk tersebut
mengakibatkan kerugian bagi konsumen, dengan memberikan ganti rugi
dan/atau pemulihan ke dalam keadaan semula. Produsen juga bertanggung
jawab untuk berproduksi secara baik dengan memenuhi standar mutu yang
ditentukan, terutama pada produk yang diwajibkan berstandar nasional.
Jika hal ini tidak dipenuhi, produsen dapat dikenai sanksi administratif
ataupun pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
b.
Penerapan tanggung jawab produk pangan olahan di Indonesia masih
menggunakan instrumen hukum yang terkandung di dalam KUHPerdata
dan undang-undang sektoral yang terkait dengan pangan dan perlindungan
konsumen, yang belum memasukkan dan menerapkan prinsip tanggung
jawab mutlak (strict liability principle) di dalamnya. Demikian halnya
pada aspek pembuktian, belum menerapkan asas pembuktian terbalik,
yang berlaku adalah asas “siapa yang mendalilkan, dialah yang harus
membuktikan”. Dengan demikian berarti bahwa pihak yang dirugikan atau
penggugatlah yang harus membuktikan. Adapun yang terkait dengan
penerapan standardisasi produk pangan, masih menggunakan instrumen
hukum setingkat peraturan pemerintah dan keputusan Kepala BSN yang
diadopsi dari ketentuan standar internasional.
c.
Pengembangan tanggung jawab produk dan standardisasi mutu produk
dalam meningkatkan daya saing dan pegembangan perekonomian
nasional, dapat dilakukan dengan : 1) penguatan regulasi dengan
membentuk Undang-Undang Sistem Standardisasi Nasional dan Undang92
Undang Tanggung Jawab Produk yang memasukkan prinsip tanggung
jawab mutlak dan pembuktian terbalik; 2) Melakukan penguatan
Manajemen Teknis Pengembangan SNI (MTPS), penerapan teknologi
informasi dan pembentukan jaringan pakar; 3) melakukan restrukturisasi
kelembagaan dengan pembentukan badan/kelembagaan yang terpisah
antara badan regulator, badan pelaksana dan badan pengawas, agar
masing-masing memiliki lingkup fungsi, tugas dan kewenangan yang
jelas, terstruktur, dan tidak tumpang tindih satu sama lain; 4) memperkuat
fungsi MASTAN; 5) melakukan perubahan sistem pengembangan SNI
yang mencakup penyusunan dan revisi pedoman yang berkaitan dengan
pembentukan Panitia Teknis, pengembangan SNI, penulisan SNI, adopsi
standar internasional, serta Pedoman Standardisasi Nasional lainnya yang
terkait dengan pengembagan SNI.
2.
Saran
a.
Perlu dibuat suatu undang-undang yang khusus mengatur tentang
tanggung jawab produk dengan memasukkan prinsip tanggung jawab
mutlak (strict liability principle) ke dalam norma pengaturannya dan
beban pembuktian terbalik dalam sistem pembuktiannya.
b.
Perlu dibuat suatu undang-undang yang khusus mengatur tentang
Standardisasi dan Sertifikasi Mutu Produk, yang di dalamnya mengatur
asas, prinsip, tujuan, ruang lingkup, proses dan mekanisme standardisasi
dan sertifikasi mutu produk, hak dan kewajiban serta tanggung jawab
kelembagaan yang terkait proses standardisasi dan sertifikasi produk, hak
dan kewajiban serta tanggung jawab pemegang SNI serta produk yang
wajib ber-SNI. Sebab selama ini pengaturan standardisasi nasional hanya
diatur di dalam peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor
102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.
c.
Untuk lebih mengoptimalkan penerapan standardisasi, perlu adanya
peningkatan kualitas SDM, teknologi pengujian produk, pemantauan,
pengawasan dan pembinaan khususnya terhadap penerapan SNI Wajib
93
yang diterapkan kepada pelaku usaha untuk menjaga konsistensi dan
ketaatan pelaku usaha dalam menerapkan SNI Wajib serta perlu dilakukan
penataan
kelembagaan
dengan
memisahkan
secara
tegas
mana
kelembagaan standardisasi yang berfungsi sebagai regulator, sebagai
pelaksana standardisasi dan yang berfungsi sebagai lembaga pengawas.
94
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku, Jurnal dan Makalah
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.
_______, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofis dan sosiologis),
Chandra Pratama, 1996.
Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk dan sejarah Perkembangannya di
Beberapa Negara, Makalah Penataran Hukum Perikatan II Dewan
Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia, Jogyakarta, 1988.
Agro Observer Jurnal, No. 2, Tahun 1, November-Desember 2006.
Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia,
Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2000.
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004.
Alien, Louis A., Karya Managemen, Pustaka Sarjana, Jakarta, tth.
Asia Development Bank (ADB), Key Indicator 2007, Vol. 38, Manila, 2007.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Hasil Kajian BPKN di Bidang
Pangan Terkait Perlindungan Konsumen, Jakarta, 2008.
Badan Standardisasi Nasional, SNI ISO 22000:2009 tentang Sistem Manajemen
Keamanan Pangan – Persyaratan untuk Organisasi dalam Rantai Pangan,
BSN, Jakarta, 2009.
_______, Rencana Strategi (Renstra) Badan Standardisasi Nasional 2005 – 2009.
Bagir Manan, “Politik Perundang-undangan dalam Rangka Mengantisipasi
Liberalisasi Ekonomi”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional di
Fakultas Hukum Universitas Lampung, 1996.
_______, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), FH UII-Press,
Yogyakarta, 2004.
95
Baron, Otto van Wassennaer van Catwijk, Product Liability In Europe, The
American Journal of Comparative Law, Volume 34, 1986.
Basuki Ismail, Negara Hukum Toleransi (Telaahan Filosofis atas John Locke),
Intermedia, Jakarta, 1993.
Braun, Von J., Agriculture for Sustainable Economic Development: Global R&D
Initiative to Avoid a Deep and Complex Crisis, Charles Valentine Rile
Memorial Lecturer, Washington DC, February 2008.
Brevet, Karel W., Product Liability, Chapter 22 Dutch Business Law, Kluwer
1991.
Chaidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1976.
Clark, Alistair M., Product Liability, Sweet & Maxwell, 1989.
Clutterbuck, J., Karl Llewellyn and the Intellectual Foundations of Enterprise
Liability, 97 Yale Journal 1988.
Cohen, Steven, Total Quality Management in Government, Jossey-Bass Inc., San
Francisco, 1993.
Coie, Perkins, Product Lability in the United States (A Primer for Manufacturers
and Their Employeers), Product Liability Practice Group, Washington D.C.,
1991.
Cruz, Peter de, Comparative Law in a Changing World, London-Sydney:
Cavendish Publishing Limited, 1999, yang telah diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia oleh Narulita Yusron, Perbandingan Sistem Hukum (Civil
Law, Common Law dan Socialist Law), Nusa Media, Cet. I, April 2010.
Dadang Kurnia dan Mai Damai Ria, Model Pengawasan Industri Pangan untuk
Menjamin Keamanan Pangan Dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing
Produk Makanan dan Minuman, Hasil Kajian Pusat Penelitian Sistem Mutu
dan Teknologi Pengujian, LIPI, 2007.
Daud Silalahi, M., Metodologi Penelitian Hukum (Preferensi Khusus pada
Pendekatan Multi/Interdisiplin), Lawencon Binding Centre, Bandung, 2001.
Dann, D.L., Strict Liability in the U.S.A, dalam Aviation Product and Grounding
Liability Symposium, The Royal Aeronautical Society, London, 1972.
Diederick-Verschoor, Simillarities and Differences between Air and Space Law,
Primarily in the Fields of Private International Law, dalam Academy of
International Law, tth.
96
Djuhaendah Hasan, “Sistem Hukum, Asas-asas, dan Norma Hukum dalam
Pembangunan Hukum Indonesia”, dalam Rudi Rizky, et.al (Editor),
Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir),
Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008.
Esping, G.,-Andersen, Three World of Welfare Capitalism, Oxfort University
Press, 1990.
Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan
Perlindungan Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Fardiaz, S., Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis, makalah disampaikan
dalam Pelatihan Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan bagi Staf
Pengajar, diselenggarakan kerjasama antara Pusat Studi Pangan dan Gizi
IPB dengan Ditjen Pendidikan Tinggi, Bogor, 1997.
Fatimah Zulfah Padmadinata, Standar Keamanan Pangan sebagai Perlindungan
Terhadap Konsumen dan Faktor Daya Saing Produk, Pusat Penelitian
Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian, LIPI, Jakarta, tth.
Fernandez, Ricardo R., Mutu Terpadu dalam Manajemen Pembelian dan Pemasok,
Pustaka Binaman Pressindo, 1996.
Fobe, Jean-Michel, Aviation Product Liability and Insurance in the EU, Kluwer,
Deventer, 1994.
Friedman, Milton dan Rose Friedman, Free to Choose, Secker & Warburg,
London, 1980.
Giddens, Anthony, The Third Way: The Renewal of Social Democracy (1998),
yang dalam edisi Indonesia berjudul “Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi
Sosial”, Jakarta, Gramedia, 1999.
Ginsburg, Tom, Judicial Review in New Democracies: Constitutional Courts in
Asian Cases, Cambridge, Massachussett, 2003.
Gunawan Sumodiningrat, Sistem Ekonomi Pancasila dalam Perspektif, Impac
Wahana Cipta, Jakarta, 1999.
Hadiwihardjo, B.H., Mutu dan Keamanan Pangan dan Perdagangan Internasional,
dalam Prosiding Seminar Nasional Pangan : Penelitian dan Pengembangan
di Bidang Industri Pangan untuk Meningkatkan Mutu dan Daya Saing di
Era Pasar Bebas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kimia Terapan-LIPI,
Bandung, 1998.
97
Hartkamp, Arthur S., Civil Code Revision In The Netherlands 1947-1992.
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia (Hukum
Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia), PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2006.
Hubeis, M., Pemasyarakatan ISO9000 untuk Industri Pangan di Indonesia, Buletin
Teknologi dan Industri Pangan, Vol. V (3), Fakultas Teknologi IPB, Bogor,
1994.
Husein Sawit, M., Liberalisasi Pangan : Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha
WTO, Lembaga Penerbit, Fakultas Ekonomi UI, Jakarta, 2007.
_______, Perubahan Perdagangan Pangan Global dan Putaran Doha WTO :
Implikasi buat Indonesia, makalah disampaikan dalam Penyusunan
Kebijakan dan Strategi Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional, dalam
rangka background study RPJM 2010-2014, yang diselenggarakan oleh
Bappenas, Jakarta, 11 Agustus 2008.
IFPRI, High Food Prices : The What, Who, and How of Proposed Policy Actions,
IFPRI Policy Brief No. 1, Mey 2008.
Iwan Gardono Sujatmiko, Keadilan Sosial dalam Masyarakat Indonesia , dalam
buku Restorasi Pancasila (Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas),
Prosiding Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila, Jakarta, FISIP UI
dan Brigten Press, 2006.
Jean-Michel Fobe, Aviation Products Liability and Insurance in the EU, Kluwer,
Deventer, 1994.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, PT. Kompas, Jakarta, 2010.
Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha (Filosofi, Teori dan Implikasi
Penerapannya di Indonesia), Bayu Media Publishing, Malang, 2006.
Juran, A.M., Juran on Leadership for Quality, Juran Institute Inc., USA, 1989,
yang diterjemahkan oleh Edi Nugroho, Kepemimpinan Mutu (Pedoman
Peningkatan Mutu untuk Meraih Keunggulan Kompetitif), Lembaga PPM
dan PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1995.
Kadarisman, D., ISO (9000 dan 14000) dan Sertifikasi, Buletin Teknologi dan
Industri Pangan, Vol. VII (3), Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor,
1996.
Kramer, A., dan B.A., Twigg, Fundamental of Quality Control for the Food
Industry, The AVI Pub. Inc., USA, 1983.
98
Landreth, Harry and Davit C. Colander, History of Economic Thought, Third
Edition, Houghton Mifflin Company, Boston, 1994.
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju,
Bandung, Cet. ke-3, 2002.
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001.
Manuel Kaisiepo, Pancasila dan Keadilan Sosial : Peran Negara, dalam buku
Restorasi Pancasila (Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas),
Prosiding Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila, Jakarta, FISIP UI
dan Brigten Press, 2006.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni,
Bandung, 2002.
________, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,
Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran Bandung, yang diedarkan oleh Penerbit Binacipta, tth.
________, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta,
1976.
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, GalaMedia, Yogyakarta,
1999.
________, Demokrasi dan Konstitusi Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.
Moleong, J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung,
1995.
Mubyarto, Gagasan dan Metode Berfikir Tokoh-tokoh Besar Ekonomi dan
Penerapannya Bagi Kemanusiaan, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar
di Universitas Gajah Mada Yogyakarta tanggal 11 Mei 1979.
_______, Beberapa Ciri dan Landasan Pikir Sistem Ekonomi Pancasila,
Yogyakarta, Fakultas Pascasarjana UGM, 1984.
________, Ekonomi Pancasila Gagasan dan Kemungkinan, LP3ES, Jakarta, 1993.
Mubyarto dan Boediono (eds), Ekonomi Pancasila, Yogyakarta, BPFE, 1981.
Myrdal, Gunnar, Asian Drama : An Inquiry Into The Poverty of Nations, Pantheon
Books, New York, 1968.
99
Nevizond Chatab, Mendokumentasi Sistem Mutu ISO 9000, Penerbit ANDI,
Yogyakarta, tth.
Nimatul Huda, Negara, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta,
2005.
Official Journal No. L210, 7 Agustus 1985.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, Edisi I, Cetakan ke-3, 2007.
Phillips, Jerry J., Products Liability, In A Nutshell, 3rd ed., West Publishing Co.,
1988.
Posner, Richard A., Economic Analysis of Law, Little, Brown & Company,
Second Edition, 1977.
Puri S.C., ISO 9000 and Total Quality Management, Standards-Quality
Management Group, Ottawa and Washington, D.C., 1992.
Purwahid Patrik, Beberapa Segi Tanggung Gugat Perdata dalam Perbuatan
Melawan Hukum, tth.
Rawls, John, A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge,
Massachusetts, 1995, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan (Dasar-dasar Filsafat
Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Masyarakat),
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.
Reardon, T. dan A. Gulati, The Supermarket Revolution in Developing Countries,
IFPRI Policy Brief No. 2, Juni 2008.
Rothery, Brian, Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14000, Dilengkapi :
Hubungan ISO 9000 dan ISO 14000, Manual Manajemen Mutu, Manual
Manajemen Lingkungan, Daftar Periksa Prasertifikasi ISO 9000 dan ISO
14000, Pustaka Binaman Pressindo, 1995.
Rousseau, Jean Jacques, A Discourse on Political Economy, http://constitution.org.
Sadono Sukirman, Pengantar Teori Mikroekonomi, Edisi Kedua, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1994.
Saefullah, E., Perkembangan Hukum Tentang Product Liability di Bidang
Penerbangan, Majalah Padjadjaran, Jilid XV, No. 1-2 Fakultas Hukum
UNPAD, Bandung, 1985.
100
_______, Product Liability (Tanggung Jawab Produsen di Era Perdagangan
Bebas), dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 5, Yayasan Pengembangan
Hukum Bisnis (YPHB), Jakarta, 1998.
Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Cet. ke-1,
Jakarta, 2001.
Samuelson, Paul A. dan William D. Nordhaus, Microeconomics, Fourteenth
Edition, Mc Graw-Hill Inc., Edisi Indonesia, Mikroekonomi, alih bahasa
Haris Munandar dkk, Erlangga , Jakarta 1997.
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
Soekarno K., Dasar-dasar Managemen, Miswar, Jakarta,tth.
Soekarto, Dasar-dasar Pengawasan dan Standardisi Mutu Pangan, PAU Pangan
dan Gizi, IPB Press, Bogor, 1990.
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga
(Personeen en Familierecht), Airlangga University Press, Surabaya, 2000.
Sri Edi Swasono (ed.), Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, UI-Press, 1987.
________, Keparipurnaan Ekonomi Pancasila, FEUI-Depok, 2006.
________, Indonesia is Not for Sale: Sistem Ekonomi untuk Sebesar-besarnya
Kemakmuran Rakyat, Bappenas, Jakarta, 2007.
________, Tentang Kerakyatan dan Demokrasi Ekonomi, bahan masukan
penyusunan RUU Demokrasi Ekonomi yang disampaikan dalam Rapat
Dengar Pendapat Umum DPR RI, tangal 11 Desember 2008.
Sri Wahyu Kridasakti, Hukum Administrasi Negara, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Universitas Terbuka, 1998.
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Arbadin, Jakarta, 1999.
Stapleton, Jene, Product Liability, Butterworths, 1994.
Subekti, R., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Internusa, Cet. ke-30, Jakarta, 2002.
101
Subekti dan Tjiptosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1990.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
1986.
Suhardjo, Peraturan Perundang-undangan tentang Mutu Gizi Pangan, makalah
yang disampaikan dalam Pelatihan Pengendalian Mutu dan Keamanan
Pangan bagi Staf Pengajar, diselenggarakan kerjasama antara Pusat Studi
Pangan dan Gizi IPB dengan Ditjen Pendidikan Tinggi, Bogor, 1997.
Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 1991.
Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta,
Bandung, 1982.
_______, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung,
1991.
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang
Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut
Bankir Indonesia, 1993.
The Law Commission, “Privity of Contract : Contracts for the Benefit of Third
Parties”, Consultation Paper No. 12 (London, HMSO, 1991).
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2008.
Vries, F.J. De, Product Liability, Recent Developments in Dutch Law, Varia
Peradilan V, Vol. 58, Juli 1990.
Waddams, S.M., Product Liability,The Carswell Company Limited, 1974.
Watson, Alan, Legal Transplants, 1974.
Winardi, Azas-azas Managemen, Alumni, Bandung,tth.
Wirakartakusumah dan Dahrul Syah, Perkembangan Industri Pangan di Indonesia,
Buletin Teknologi dan Industri Pangan, Vol. II (5), Fakultas Teknologi
Pertanian IPB, Bogor, 1990.
World Bank, The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy, 1993.
102
World Trade Organization, Doha Declaration : Doha Development Agenda,
Genewa, 2001.
_______, International Trade Statistics 2005, Genewa, 2005.
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni,
Bandung, 2000.
Yun, Chang Zeph, dkk., The Quest for Global Quality (A Manifestation of Total
Quality Management by Singapore Airlines), Addison-Wesley Publishers
Ltd., yang dialihbahasakan oleh Dian Paramesti Bahar, Kualitas Global
(Perwujudan Manajemen Kualitas Total – TQM di Singapura Airlines –
SIA), Pustaka Delapratasa, Jakarta, 1998.
Zen Umar Purba, A., Kesederajadan Kedudukan antara Konsumen dan
Pengusaha: Beberapa Catatan, makalah pada diskusi terbatas Development
oh Indonesia Consumer Protection Act, yang diselenggarakan oleh YLKI,
27 Oktober 1994.
Zweigert dan Kotz, An Introduction to Comparative Law, Vol. I, 1987.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Undang-undang nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan World
Trade Organization.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
103
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005-2025.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2010-2014.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1989 tentang Standard Nasional untuk
Satuan Ukuran.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Sandardisasi Nasional.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi
Pangan.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.
Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan
Pengawasan Standardisasi Nasional Indonesia.
Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 2001 tentang Pembentukan Komite
Akreditasi Nasional (KAN).
Lampiran Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional No. 3401/BSNI/HK.71/11/2001 tentang Sistem Standardisasi Nasional.
Hague Convention on the Law Applicable to Product Liability.
International Organzation for Standardization (ISO).
International Electrotechnical Commision (IEC).
Role Abr. 96, 81 E R. 354 Association Europeene D’Etudes Juridiques et Fiscales.
Uniform Commercial Code (UCC) s2 - 318; 2 - 316, 2 - 302, 2 – 719(3); 2 – 607(3)
(a); 2 – 725.
ISO 9001:2000, Quality Management System – Requirements telah diadobsi
menjadi SNI 19-9001:2001, Sistem Manajemen Mutu – Persyaratan. ISO
9001:2000 telah direvisi menjadi ISO 9001:2008 dan diadopsi menjadi SNI
ISO 9001:2008.
104
ISO 9004:2000, Quality Management System – Guidelines for Performance
Improvements telah diadopsi menjadi SNI 19-9004:2002, Sistem
Manajemen Mutu – Panduan untuk Perbaikan Kinerja.
ISO 19011:2002, Guidelines for Quality and/or Enveronmental Management
Systems Auditing telah diadobsi menjadi SNI 19-19011:2005, Panduan
Audit Sistem Manajemen Mutu dan/atau Lingkungan.
ISO/IEC Guide 62:1996, General Requirements for Bodies Operating Assessment
and Certification/Registration of Quality System tidak berlaku lagi dan
diganti dengan ISO/IEC 17021:2006, Conformity Assessment –
Requirements for Bodies Providing Audit and Certification of Management
System yang diadobsi menjadi SNI ISO/IEC 17021:2008, Penilaian
Kesesuaian – Persyaratan Lembaga Auidit dan Sertifikasi Sistem
Manajemen.
ISO 22000:2005, Food Safety Management System - Requirements for any
Organization in the Food Chain yang diadopsi menjadi SNI ISO
22000:2009, Sistem Manajemen Keamanan Pangan – Persyaratan untuk
Organisasi dalam Rantai Pangan.
C. Internet dan Media Massa
Badan Standardisasi Nasional, Sistem Informasi Standar Nasional Indonesia
(SISNI), http://www.bsn.org.id.
Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, Harian Kompas, 9 Mei 2006.
Tempo Media, http://www.tempointeraktif.com
105
LAMPIRAN
1.
Curiculum Vitae Ketua Peneliti
A. DATA PRIBADI
Nama
Nomor Induk Pegawai
Pangkat / Golongan
Tempat, tanggal lahir
Agama
Jenis Kelamin
Jabatan Akademik
:
:
:
:
:
:
:
Riwayat
Pekerjaan/Jabatan
:
Alamat Kantor
:
Alamat Rumah
:
Unit Kerja
No. Telepon Kantor
No. Telepon rumah
No. HP
:
:
:
:
E-mail
:
Dr. Fendi Setyawan, S.H., M.H.
19720217 199802 1 001
Penata / III-c
Pacitan, 17 Pebruari 1972
Islam
Laki-laki
Lektor
1. Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember
(1998 s/d sekarang)
2. Kepala Laboratorium Hukum FH UNEJ (2011
s/d 2015)
Jl. Kalimantan 37 Kampus Bumi Tegal Boto
Jember (68121)
Taman Anggrek Regency, Blok C-1 / 28
Jl. M. Yamin, Kaliwates – Jember
Fakultas Hukum Universitas Jember
(0331) 335462, 322808, 322809
08156217697
[email protected]
[email protected]
B. DATA AKADEMIK/PENDIDIKAN
STRATA 1
Universitas
Fakultas
Jurusan/Bagian
Program Studi
Lulus tahun
:
:
:
:
:
:
Universitas Jember
Fakultas Hukum
Hukum Keperdataan
Ilmu Hukum
1996
106
Judul Skripsi
Pembebanan Ganti Rugi Materiil dan Immateriil
Akibat Perbuatan Melawan Hukum pada Lembaga
: Pendidikan Airlangga Student Group (ASG)
Surabaya (Studi Kasus No.
356/Pdt.G/1995/PN.Sby).
STRATA 2 (Magister)
Universitas
Fakultas
Jurusan/BKU
Program Studi
Lulus tahun
Bidang Keahlian
:
:
:
:
:
:
:
Judul Thesis
STRATA 3 (Doktor)
Universitas
Fakultas
Jurusan
Lulus tahun
Bidang Keahlian
Judul Disertasi
Promotor
Universitas Padjadjaran
Pascasarjana Universitas Padjadjaran
Hukum Bisnis
Ilmu Hukum
2005
Hukum Perlindungan Konsumen
Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui BPSK
Dalam Upaya Peningkatan Perlindungan
: Konsumen di Indonesia Didasarkan Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
:
:
:
:
:
:
Universitas Padjadjaran Bandung
Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung
Ilmu Hukum
2010
Standardisasi Produk dan Perlindungan Konsumen
Tanggung Jawab Produk Atas Pangan Olahan
Sebagai Obyek Perdagangan Dikaitkan Dengan
: Standardisasi Mutu Produk Dalam Rangka
Peningkatan Daya Saing dan Pengembangan
Perekonomian Nasional.
Prof. Dr. Hj. Djuhaendah Hasan, S.H. (Ketua)
: Prof. Dr. M. Daud Silalahi, S.H. (Anggota)
Dr. Supraba Sekarwati, S.H., C.N. (Anggota)
107
Bidang Ilmu yang diasuh
Strata 1 (S-1)
:
: 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pengantar Ilmu Hukum (PIH)
Hukum Perdata Internasional (HPI)
Hukum Bangunan
Hukum Perlindungan Konsumen
Filsafat Hukum
Hukum Industri
Strata 2 (S-2)
: 1.
2.
3.
4.
Ilmu Hukum
Hukum Perlindungan Konsumen
Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi
Hukum Persaingan Usaha
Strata 3 (S-3)
: -
C. PENELITIAN (7 tahun terakhir)
1.
2.
Judul Penelitian Lima
Tahun Terakhir
termasuk karya
penelitian (TTG &
HaKI
(Potensi/varietas/
Desain industri)
3.
4.
:
5.
Analisis Perlindungan Konsumen Terhadap
Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di
Indonesia (Didanai oleh : Technological and
Professional Development Sector Project
(TPSDP) – ADB Loan 1792-INO, 2005).
Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui BPSK
dalam
Upaya
Peningkatan
Perlindungan
Konsumen di Indonesia Didasarkan UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(Penelitian Tesis – Pascasarjana Universitas
Padjadjaran Badung, 2005).
Kajian dan Analisis Kebijakan Pemerintah di
Bidang Kondisi Pelayanan Transportasi (Kereta
Api) di Indonesia (Didanai oleh : Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) –
Departemen Perdagangan RI, 2006).
Model Draft Peraturan Daerah Tentang Pangan
Guna Mewujudkan Ketahanan Pangan Mandiri
Berdasarkan Optimalisasi Potensi Lokal (Hibah
Bersaing, September 2009).
Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan
Konsumen Terhadap Pangan Olahan Melalui
Penerapan Standardisasi dan Sertifikasi Mutu
Produk (Hibah Disertasi, 2010).
108
6.
7.
8.
Tanggung Jawab Produk Atas Pangan Olahan
Sebagai Obyek Perdagangan Dikaitkan Dengan
Standardisasi Mutu Produk Dalam Rangka
Peningkatan Daya Saing dan Pengembangan
Perekonomian Nasional (Penelitian Disertasi,
2010).
Analisis Kebutuhan Tenaga Kerja Sebagai
Tenaga Kerja Luar Negeri di Jawa Timur
(Kerjasama Lemlit UNEJ dengan Pemprov Jatim,
2011).
Identifikasi Potensi Industri Makanan dan
Minuman yang Mempunyai Legalitas di Jawa
Timur (Kerjasama Lemlit dengan Disperindag
Jatim, 2011).
D. KARYA ILMIAH YANG DIPUBLIKASIKAN
1.
2.
1. Naskah Ilmiah yg
dipublikasikan
3.
:
4.
5.
Judul : Regeling dan Beschikking ditinjau dari
Aspek Konsepsi, Jenis dan Materi Hukumnya,
disampaikan dalam Bimbingan Teknis Legal
Drafting Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan Kementerian Keuangan RI, tanggal 24
Juni 2008.
Judul : Praktik Hukum Penyelesaian Sengketa
Konsumen (disampaikan dalam Pendidikan
Khusus Profesi Advokat Angkatan V, Tanggal 16
Agustus 2008).
Judul : Modul Pelatihan Metodologi Penelitian,
disampaikan dalam Pelatihan Metodologi
Penelitian Staff Parliamentary Research Center
Timor Leste National Parliament, Dili, tanggal 17
s/d 19 Juni 2009.
Judul : Mengembangkan Peraturan Daerah yang
Sensitif Konflik Melalui Program Legislasi
Daerah, disampaikan dalam Workshop DPRD
Provinsi dan Kabupaten/Kota Se-Maluku, tanggal
16 November 2009.
Judul : Perencanaan Pembangunan Pemanfaatan
Sumber Daya Alam Berbasis Tata Ruang
Kepulauan yang Sensitif
Konflik dalam
109
Perspektif Regulasi, disampaikan dalam Dialog
Eksekutif, Legislatif dan Perguruang Tinggi
tentang Perencaaan & Pelaksanaan Pembangunan
di Maluku yang Partisipatif & Sensitif Konflik
Berbasis Tata Ruang Kepulauan, tanggal 14
Desember 2009.
6. Judul : Pengaturan Lembaga Legislatif Daerah
dalam UU No. 27/2009 dan PP No. 16/2010,
disampaikan dalam Workshop DPRD Kota
Madiun, tanggal 5 Maret 2010.
7. Judul : Pengaruh Neoliberalisme dalam Politik
Legislasi di Indonesia, disampaikan dalam
Seminar Nasional dalam Rangka Munas ALSA,
yang diselenggarakan oleh Asean Law Student
Assosiation (ALSA), tanggal 9 Maret 2010.
8. Judul : Persaingan Usaha yang Sehat dan Tidak
Monopolistik dalam Perspektif Kepentingan
Konsumen, disampaikan dalam Seminar Nasional
Menggagas Persaingan Usaha yang Sehat dan
Tidak Monopolistik yang diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum Universitas Jember, tanggal 25
November 2010.
9. Judul : Peran DPD dalam Kebijakan
Pembangunan Hukum Nasional, disampaikan
dalam Diklat Legislative Drafting Sekretariat
Jendral DPD RI, tanggal 8 Desember 2010.
10. Judul : Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup
(Terkait dengan Labelisasi Ramah Lingkungan),
disampaikan dalam Penyusunan Peraturan
Pemerintah
tentang
Instrumen
Ekonomi
Lingkungan Hidup, yang diselenggarakan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup, tanggal 15
Desember 2010.
11. Judul : Strategi Pengembangan Pasar Modal
Melalui Pembaruan Hukum Perjanjian dan
Hukum Benda di Indonesia, disampaikan dalam
Seminar
Nasional
Pasar
Modal
yang
diselenggarakan oleh BEI, Krisna Securitas, Fak.
Hukum dan Fak. Ekonomi UNEJ, 2011.
110
2. Buku yang ber
ISBN
:
1. Judul ………Th.
…………ISBN…………
Terbit………
Penerbit
3. Artikel Ilmiah
yang diterbitkan
dalam jurnal
:
1. Judul : Strategi Pengembangan Perlindungan
Konsumen di Indonesia.
Nama jurnal : Arena Hukum,
Nomor & Th. Terbit : Nomor 3, Tahun 2, Januari
2009.
Penerbit : Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
ISSN 20126 – 0235
2. Judul : Pandangan Strict Liability dalam Hukum
Perlindungan Konsumen Ditinjau dari Common
Law System dan Civil Law System.
Nama Jurnal/Majalah Ilmiah: Hukum dan
Kemasyarakatan, No. I/TH.XXXV/2010.
Penerbit : Fak. HukumUniv. Jember, ISSN :
0852-6206.
3. Judul : Problematika Penerapan Sistem
Keperdataan Terhadap Tindak Pidana Korupsi
Dalam Upaya Pengembalian Kerugian Negara
(Suatu Tinjauan dan Telaahan Yuridis Terhadap
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi).
Nama Jurnal : Jurnal Anti Korupsi, Vol. 01, No.
1, Hal. 1-22, Mei 2011.
Penerbit : Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fak. Hukum Univ. Jember. ISSN : 2088-3161
4. Disertasi yang
dipublikasikan
:
1. Judul …….. disajikan pada ***) …….. ….tahun
…………………
111
E. LAIN-LAIN
Pendidikan/Pengalaman
1.
Tambahan Prototype,
:
Karya Seni/Metode
Pembelajaran
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Diklat
Legal
Drafting
diselenggarakan
kerjasama Badan Legislasi DPR RI-PSHK dan
AUSAid, Depok, 2006;
Diklat
Legal
Drafting
diselenggarakan
Depkumham dengan LPPSK, Jakarta, 2006.
Diklat Harmonisasi PERDA terkait dengan
HAM yang diselenggarakan oleh Dirjend HAMDEPKUMHAM yang bekerjasama dengan
Pemerintah Canada, Jakarta, 2006.
Workshop Legislation Drafting I dan II yang
diselenggarakan oleh LIPPI dan DRSP yang
bekerjasama dengan BALEG DPR RI, Jakarta,
2007.
Diklat Fungsi Legislasi di Bidang Pertahanan
dan Keamanan yang diselengarakan oleh
LESPERSSI yang berkerjasama dengan DCAF,
Bogor, 2009.
Diklat
Legislative
Drafting
yang
diselenggarakan oleh DEPKUMHAM dan
CILC Belanda, Jakarta, 2009.
Menyusun Draft RUU Jamsostek (Badan
Legislasi DPR RI, 2006)
Menyusun Draft RUU KUHAP (Badan
Legislasi DPR RI, 2006)
Menyusun Draft RUU Perubahan atas UU No.
22/2004 tentang Komisi Yudisial (Badan
Legislasi DPR RI, 2006)
Menyusun Draft RUU Perubahan Kedua atas
UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung
(Badan Legislasi DPR RI, 2006)
Menyusun Draft RUU Perubahan atas UU
24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Badan
Legislasi DPR RI, 2006)
Menyusun Draft RUU Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (Badan
Legislasi DPR RI, 2007)
Menyusun Draft Pembuatan Naskah Akademik
112
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Pengalaman sebagai
Konsultan
:
dan Perancangan Perubahan UU Kekuasaan
Kehakiman, UU Peradilan Umum, UU
Peradilan Tata Usaha Negara dan UU Peradilan
Agama (Badan Legislasi DPR RI, 2008)
Pembuatan Naskah Akademik dan Rancangan
UU tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali
(Badan Legislasi DPR RI, 2008)
Pembuatan Naskah Akademik dan Rancangan
UU tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya (Badan Legislasi DPR
RI, 2009).
Harmonisasi
Rancangan
Undang-Undang
Pembentukan Daerah Otonom (Badan Legislasi
DPR RI, 2007).
Harmonisasi Rancangan Undang-Undang Migas
(Badan Legislasi DPR RI, 2009).
Harmonisasi
Rancangan
Undang-Undang
Arsitek (Badan Legislasi DPR RI, 2009).
Harmonisasi
Rancangan
Undang-Undang
Pendidikan Kedokteran (Badan Legislasi DPR
RI, 2009).
Menyusun beberapa Naskah Akademik dan
Draft Rancangan Peraturan Daerah di
Kabupaten Banyuwangi.
Menyusun beberapa Naskah Akademik dan
Draft Rancangan Peraturan Daerah di
Kabupaten Sampang.
Menyusun beberapa Naskah Akademik dan
Draft Rancangan Peraturan Daerah di
Kabupaten Gresik.
1. Staf Ahli Badan Legislasi DPR RI (Maret 2007
s/d Desember 2009)
2. Konsultan
dalam
Pelatihan
Metodologi
Penelitian bagi Staff Ahli Parliamentary
Research Centre (PRC) Timor Leste (17 – 19
Juni 2009).
3. Konsultan Peace Trough Development (PTD)
113
UNDP – BAPENAS dalam Penyusunan Naskah
Akademik dan Draft RUU Penanganan Konflik
Sosial (Tahun 2008 – 2009).
4. Pembuatan NA & Draft Raperda di Kabupaten
Sampang (2009 s/d 2010)
5. Konsultan Penyusunan NA & Perancangan Draft
RAPERDA Kab. Banyuwangi (2011)
Penghargaanpenghargaan
:
1. Lulus Program Magister (S-2) dengan predikat
Cumlaude (IPK 3,88).
2. Lulus Program Doktor (S-3) dengan predikat
Cumlaude (IPK 3,81)
3. Dosen Teladan Peringkat III se-Universitas
Jember (2005).
Jember, November 2012
Dr. Fendi Setyawan, S.H., M.H.
NIP. 19720217 199802 1 001
114
2. Curiculum Vitae Anggota Peneliti (1)
A. Data Pribadi
Nama Lengkap
: EDI WAHJUNI, S.H., M.Hum.
Golongan/ Jabatan
: III.c/Lektor
NIP
: 196812302003122001
Tempat/ Tanggal Lahir
: Kediri, 30 Desember 1968
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember
Alamat Kantor
: Jl. Kalimantan Nomor 37 Jember, nomor telepon : 0331335462, 330482
Alamat Rumah
: Jl. Kalimantan I nomor 67 Jember, nomor telepon :
0331325324, nomor Handphone 082132200324
Alamat E-mail : [email protected]
Pendidikan Terakhir
: Program Pasca Sarjana (S2)
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
B. Pengalaman di Bidang Penelitian :
1) 2007, Pendaftaran dan Sertipikasi Tanah Wakaf sebagai upaya memberikan
kepastian Hukum di kabupaten jember (Anggota Peneliti), sumber dana DIPA
UNEJ;
2) 2008, Efektifitas Sanksi Pidana sebagai upaya Perlindungan Hukum terhadap Hak
Cipta Perangkat Lunak Komputer di Kabupaten Jember (Ketua Peneliti), sumber
dana DIPA UNEJ;
3) 2009, Pertanggungan atas Tanggung Jawab Bisnis (Majalah Ilmiah Hukum dan
Masyarakat, nomor : I/TH.XXXIV/2009, ISSN : 0852-6206);
4) 2009, Asas Publisitas Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang
Wajib Daftar Perusahaan (Majalah Ilmiah Hukum dan Masyarakat, nomor :
II/TH.XXXIV/2009, ISSN : 0852-6206);
5) 2009, Dampak Pencemaran Udara oleh Bahan Buangan Kendaraan Bermotor
terhadap Lingkungan Hidup di Kotamadi Surabaya (Penelitian Mandiri);
115
6) 2010, Asuransi Tanggung Jawab Bisnis oleh PT. Asuransi Jasa Indonesia terhadap
Kerugian Hotel Indonesia di Jakarta (Penelitian Mandiri);
7) 2011, Perlindungan Hukum bagi Pekerja Ditinjau dari Aspek Pelaksanaan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) (Majalah Ilmiah Hukum dan Masyarakat,
nomor : III/TH.XXXV/2010, ISSN : 0852-6206);
8) 2011, Penerapan Manajemen Risiko dalam Mencegah Kerugian yang Diderita oleh
Pihak Tertanggung (Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, Volume XIII, Edisi September
2011, ISSN : 1411-5352).
3. Curiculum Vitae Anggota Peneliti (2)
A. Data Pribadi
Nama Lengkap
: JOHAN SANDI PUTRA
NIM
: 090710101167
Tempat/ Tanggal Lahir
: BATAM, 25 Februari 1991
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember
Alamat Rumah
: Jl. Karimata Perumahan Lembah Permai nomor 40
Gumuk Kerang Kabupaten Jember, nomor Handphone
083853353698
Alamat E-mail : [email protected]
Pendidikan Terakhir
: SMA 7 Negeri Kota Kediri
B. Data Akademik/ Pendidikan
1998-1999 : SD Djuwita, P. Batam
1999-2001 : SD Barru I, Kabupaten Baru-Sulawesi Selatan
2001-2002 : SDN 006, P.Batam
2002-2003 : SDN Kuningan VII, Kuningan-Jawa Barat
2003-2004 : SMP Negeri 1, Kuningan-Jawa Barat
2004-2006 : SMP Negeri 4, Kediri-Jawa Timur
2006-2009 : SMA Negeri 7, Kediri-Jawa Timur
C. Lain-Lain
1) Program Magang Kerja Mandiri di Kejaksaan Negeri Kabupaten Kediri, 2011
116
2) Anggota Posko Bantuan Hukum di Pengadilan Agama Jember, 2012;
3) Peserta Kuliah Umum “ Reformasi Regulasi Dalam Rangka Mendukung
Pencapaian Prioritas Pembangunan Nasional”, yang disampaikan oleh : Arif
Christiono Soebroto, S.H., M.Si. (Direktur Analisa Peraturan Perundangundangan BAPPENAS) Jember, 29 Maret 2012;
4) Peserta Kuliah Umum “ Revitalisasi Peran dan Fungsi Advocat dalam
Penegakan Hukum” yang diselenggrakan oleh Dewan Pimpinan Nasional
PERADI, Dewan Pimpinan Cabang PERADI Jember dan Fakultas Hukm
Universitas Jember, pada tanggal 1 April 2012;
5) Peserta Seminar Nasional “ Bersama Kopersi Bnagkitkan Perekonomian
Indonesia “ yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Koperasi Mahasiswa
Indonesia, pada tanggal 06 April 2012 di UIN-Malang;
6) Peserta Diklat Kepengawasan dan Musyawarah Nasional “ Bersama Kopersi
Bnagkitkan Perekonomian Indonesia “ yang diselenggarakan oleh Forum
Komunikasi Koperasi Mahasiswa Indonesia, pada tanggal 08 April 2012 di
UIN-Malang;
7) Peserta Kuliah Umum “ Legal Aspek dan Dokumen Penerbitan Sukuk Negara”
yang diselenggrakan oleh Fakultas Hukm Universitas Jember, pada tanggal 12
April 2012;
117
Download