BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1.1. Identifikasi Masalah Dewasa ini masyarakat dituntut untuk terus berkembang dalam dinamika sosial, baik secara individu maupun kelompok. Perkembangan dalam dinamika ini cenderung nampak dalam praktik kehidupan sosial, politik, ilmu pengetahuan, teknologi dan agama. Tujuannya adalah antara lain untuk membangun kehidupan masyarakat secara menyeluruh (holistik) dalam aspek fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Holism adalah cara pandang yang melihat individu sebagai satu sistem organisme yang merupakan satu kumpulan dari beberapa bagian. Pada sisi lain kehidupan masyarakat juga diperhadapkan dengan situasisituasi yang tidak bisa dihindari, sebagai konsekuensi dari dinamika politik, perilaku beragama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal-hal tersebut cenderung membuat masyarakat berlomba-lomba mencari sesuatu untuk memenuhi keinginan dan tujuan kemanusiaan atau kelompoknya. Kenyataan seperti ini adalah wajar karena dalam kesadaran subjektifitasnya, setiap individu bebas untuk meningkatkan kualitasnya dan setiap individu bebas berjuang untuk menjaga identitas dan integritas kelompoknya. Namun, dampak negatif dari situasi ini dapat muncul ketika masing-masing individu atau kelompok individu ingin mempertahankan pikiran subjektifitasnya. Maka yang akan terjadi adalah konflik kepentingan yang berujung pada konflik antar individu atau antar 1 kelompok yang berkar dalam (deep-rooted conflict).1 Contohnya, pertikaian antar kelompok yang pernah terjadi di Posso, Aceh, Papua, dan terlebih khusus Konflik Sosial di Maluku. Konflik-konflik tersebut merupakan hasil dari sebuah konflik kepentingan yang berujung pada tragedi kemanusiaan. Konflik sosial di Maluku terjadi mulai dari tahun 1999 dan terakhir terjadi pada tanggal 11 september 2011. Konflik ini menyebabkan sebagian besar penduduk Maluku harus mengungsi (baik yang beragama Kristen maupun yang beragama Islam). Fakta konflik itu sendiri telah memperlihatkan realitas pertikaian “dua komunitas” agama yang hendak membela kepercayaannya hingga saling menghancurkan. Namun kajian ini tidak berfokus untuk hubungan antara “kepercayaan” dengan eskalasi konflik itu sendiri, melainkan pada dampak maupun kehidupan masyarakat pasca konflik. Menurut firdaus pada hakekatnya konflik merupakan sebuah peristiwa wajar dalam kehidupan suatu masyarakat majemuk, karena perbedaan nilai, persepsi, kebiasaan, dan kepentingan di antara berbagai kelompok masyarakat adalah faktor pemicunya. Sebuah konflik dapat menjadi semakin parah bila perbedaan horisontal (nilai, ideologi, kebiasaan, dan sebagainya) dipertajam oleh perbedaan vertikal (kesenjangan ekonomi dan kekuasaan). Sebagai sebuah realitas sosial dalam masyarakat, konflik memiliki sisi positif dan negatif. Dalam dimensi positif, konfllik dapat menjadi hal yang penting untuk mewujudkan perubahan sosial yang lebih berarti, menyelesaikan perbedaan yang timbul, membangun dinamika, heroisme, militanisme, penguatan solidaritanisme baru, serta lompatan sejarah ke depan untuk integrasi yang lebih kokoh. Sedangkan dalam dimensi 1 Peter Haris dan Ben Reilly, eds., “deep-rooted conflict” dalam Democracy And Deep-Rooted Conflct : Options for Negotation, ( Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance/International IDEA, 1999), 1 dst 2 negatif, konflik dapat mengakibatkan kerawanan sosial dan politik serta memicu krisis dan kekacauan (chaos), seperti disorientasi nilai, disharmonisasi sosial, disorganisasi hingga disintegrasi bangsa. 2 Selanjutnya menurut Firdaus, terdapat beberapa masalah pasca konflik, seperti antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Hancurnya sumber-sumber kehidupan, harta serta mata pencaharian penduduk di daerah konflik. Hal ini menjadi beban berat bagi pemerintah pusat. Ketidakpastian keamanan dan lemahnya jaminan hukum menyebabkan terjadinya pengungsian massal guna menghindari korban konflik. Kebebasan demokrasi menjadi tidak sehat, karena dalam prosesnya di warnai politik kekerasan dari penguasa, elit politik dan masyrakat. Terjadinya perilaku politik yang bersifat egosentris dan komunal di kalangan elit lokal menciptakan ketidakharmonisan berbagai element masyarakat. Terjadinya intervensi ’asing’ secara sistematis di kawasan konflik, untuk menggoyahkan eksisitensi ideologi dan kedaulatan wilayah negara. Timbulnya rasa takut, curiga berkepanjangan, menguatnya komunalisme, kedaerahan dan disharmonisasi kelompok masyarakat. Hancurnya pranata-pranata sosial budaya masyarakat yang selama ini berfungsi sebagai perekat.3 Berdasarkan hal-hal di atas, maka pembahasan utama penelitian ini akan difokuskan pada konteks kehidupan pasca konflik yang terjadi di Maluku. Hal-hal penting lainnya yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah aspek fisik, psikologis, sosial, dan spiritual dari kehidupan masyarakat pasca konflik yang terjadi. Secara manusiawi, konflik sosial yang terjadi di Maluku telah menimbulkan akibat-akibat fatal yang sangat serius bagi mereka yang mengalaminya. Di sisi lain, keadaan fisik rumah dan bangunan yang hangus terbakar serta penjarahan 2 Noer, Mohammad, Syam, Firdaus, peran 3 Ibid. serta masyarakat dan Negara dalam penyelesaian konflik di Indonesia, (2008). 421-422. 3 harta telah menyebabkan sebagian besar orang Maluku harus tinggal di kampkamp pengungsian dan hidup dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Mereka mengunakan fasilitas-fasilitas umum milik pemerintah, menumpang ditempat keluarga/kerabat serta menempati barak-barak pengungsian. Data Pos Komando Darurat Sipil (Posko Darsi) Ambon, misalnya, mencatat jumlah pengungsi Maluku yang mencapai 248.450 jiwa selama kurun waktu konflik 19 Januari 1999 hingga Oktober 2000. Dengan rincian, 108.640 jiwa ada di Kota Ambon, 86.146 jiwa di Kabupaten Maluku Tengah, 34.945 di Maluku Tenggara, Kabupaten Buru 10.317 jiwa, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat 8.402 jiwa. Subjek utama penelitian ini adalah para pengungsi dari kabupaten Buru Utara, dan yang kini mendiami Lembah Ergo (Passo) Pulau Ambon yang berjumlah 268 Kepala Keluarga. Berikut ini akan dijelaskan beberapa hal terkait dengan diungsikannya warga Buru sebagaimana disebutkan diatas dari tempat tinggal mereka dan menetap di tempat dan situasi yang baru di kota Ambon” 1. Pasca konflik Maluku, sebagian keluarga asal pulau Buru yang tidak memiliki tempat tinggal lagi, diungsikan ke pulau Ambon dan ditampung di barak-barak pengungsian. Masing-masing keluarga menempati ruang seluas 9 . Mereka diberikan bantuan material oleh pemerintah untuk membangun kembali tempat tinggal mereka di pulau Buru maupun pada wilayah yang telah ditentukan oleh pemerintah. 2. Para pengungsi Buru diberi kesempatan oleh pemerintah Maluku untuk kembali ke tempat kediaman mereka semula di Pulau Buru. Biaya pemulangan para pengungsi ini ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. 4 Namun sebagian dari mereka memilih untuk tetap tinggal di Pulau Ambon dan mencari domisili baru. 3. Ternyata mereka berhasil menemukan wilayah pemukiman baru yang berlokasi di Desa Passo, kecamatan Baguala, Pulau Ambon. Mereka mulai menempati wilayah tersebut setelah melakukan koordinasi dengan Keluarga besar Simauw (pemilik lahan) dan mengajukan izin kepada pihak pemerintah Maluku. Wilayah ini selanjutnya menjadi wilayah pemukiman penduduk pengungsi Buru dan dikenal sebagai Lembah Agro, yang artinya lembah Pengharapan. 4. Dalam perkembangannya, para pengungsi Buru tidak mendapatkan hak-hak mereka sebagai pengungsi yaitu tunjangan dari pemerintah. 5. Mereka hidup dalam kondisi rumah yang seadanya. 6. Adapun lahan pengungsian sampai saat ini tidak bersertifikat. Sedang status kepemilikan tanah masih menjadi perebutan antara pihak pemerintah dengan pihak Keluarga Simauw. 7. Adanya permasalahan sosial antara kelompok pengungsi dengan warga di sekitar wilayah pengungsian yang berujung pada kontak fisik antar para pemuda. 8. Gejala lainnya adalah kurangnya keterlibatan dalam mengikuti setiap kegiatan ibadah dalam Jemaat setempat. Beberapa kenyataan di atas antara lain menunjukkan, bahwa para pengungsi Buru di Lembah Agro ada memiliki sejumlah permasalahan yang tidak biasa sejak dilanda konflik hingga saat menempati wilayah pengungsian. Permasalahanpermasalahan tersebut adalah antara lain; 5 (1). Pengalaman traumatis. Pengalaman traumatis yang dialami oleh para pengungsi Buru karena mereka harus kehilangan tempat tinggal dan berbagai fasilitas hidup, warisan budaya, identitas diri, atribut-atribut religiusitas dan nilai-nilai kekeluargaan. (2). Fasilitias tempat tinggal seadanya. Sejak awal kehidupan mereka di tempat pengungsian relatif tidak nyaman, yaitu kehidupan yang relatif berdesak-desakan. Keadaan ini berdampak pada kondisi kesehatan, kondisi ekonomi, kebebasan bergerak, harga diri dan kepercayaan diri masing-masing pribadi. Dalam hal berkeluarga, beberapa rumah tangga bahkan merasa tertindas saat tak mampu menjalankan aturan-aturan rumah tangganya sendiri. Bukan hanya itu saja, kehidupan ditempat pengungsian yang berdesak-desakkan ini juga secara relatif mengganggu berbagai hal yang berhubungan dengan kenyamanan dan ketertiban sosial dalam keluarga. (3). Masalah status sosial Status sosial adalah makna relasi sosial seseorang dengan orang lain. Masalah status sosial seseorang dapat berdampak pada pertumbuhan fisik, mental, sosial, dan bisa juga spiritualnya, yakni ketidakseimbangan dan gangguan pertumbuhan kualitas diri secara total. (4). Masalah Spiritual Hal ini berhubungan dengan menurunnya keterlibatan setiap individu dalam kegiatan-kegiatan keagamaan seperti ibadah minggu, ibadah unit, 6 ibadah pelayanan laki-laki, ibadah pelayanan perempuan, dan doa Pergumulan jemaat. Singkatnya, keberadaan para pengungsi Buru yang pernah mengalami trauma konflik sosial diwaktu yang lalu dan kini menempati tanah sengketa, kemudian cenderung menimbulkan kerusuhan dan keterasingan dalam kehidupan mereka yang semula normal, akibat hidup dalam suasana kompleks rasa kehilangan sosial (social bereavement). Situasi seperti ini disebut sebagai “krisis” yang terfokus pada tiga aspek, yakni: ego, benda dan orang. Krisis mempengaruhi perasaan, pikiran maupun tingkah laku seseorang. Berbagai hal yang mereka hidupi pasca konflik hingga saat ini telah menjadi sebuah sumber “kekecewaan” akan “pengalaman pahit” yang pernah mereka rasakan. Sebuah kepahitan dimasa lalu dapat mempengaruhi realitas kehidupan dimasa kini dan membangkitkan kekuatiran untuk menatap hari esok. 1.2. Alasan Pemilihan Judul Berdasarkan beberapa hal yang telah diuraikan sebelumnya diatas, maka penulis merasa penting untuk mengkaji lebih dalam tentang perkembangan kehidupan Pengungsi Buru di Jemaat GPM Fajar Pengharapan, Lemba Agro, Desa Passo. Penelitian ini akan berfokus pada empat aspek penting yakni: aspek fisik, psikologis, sosial dan spiritual dan hal ini berangkat dari asumsi bahwa tindakan pastoral yang dilakukan terhadap masayarakat Buru (dalam hal ini manusianya) harus dilihat secara Holistik (menyeluruh). Dengan kata lain dapat dijelaskan juga bahwa layanan pastoral harus dilakukan dengan memahami manusia secara utuh, baik secara fisik, psikologis, sosial dan spiritual. 7 Sehubungan dengan itu maka hasil kajian akan dituangkan dalam karya penulisan ini dan akan diberi judul sebagai berikut: PENGUNGSI BURU DI LEMBAH PENGHARAPAN ( Suatu pendekatan Holistik dalam Studi pastoral terhadap kehidupan pengungsi Buru di Jemaat GPM Fajar Pengharapan Lembah Agro) 1.2.Rumusan Masalah Mengemban status sebagai pengungsi merupakan status yang baru bagi perjalanan kehidupan seseorang atau masyarakat tertentu. Status ini sesungguhnya akan berdampak pada perjalanan kehidupan mereka sebagai seorang individu atau kehidupan sosialnya. Pengalaman sebagai pengungsi dalam memperjuangkan kehidupan akan berpengaruh pada pertumbuhan fisik, mental, sosial, dan spiritualitas. Keadaan inilah yang sementara dialami oleh pegungsi Buru yang menetap di Lembah Agro Desa Passo. Dalam menyikapi masalah ini maka rumusan masalah dalam proses penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Sejauh mana pengalaman sebagai korban konflik sosial di Maluku dan kehidupan sebagai pengungsi berdampak pada aspek fisik, psikologis, sosial dan spiritual pengungsi Buru Jemaat GPM Fajar Pengharapan Lembah Agro? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan penelitian diatas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu: a. Mendeskripsikan kondisi fisik, psikologis, sosial dan spiritual pengungsi buru di tempat pengungsian? b. Melakukan analisa kritis terhadap kondisi fisik, psikologis, sosial dan spiritual yang dialami oleh pengungsi Buru di Lembah Agro. 8 1.4.Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu: 4.1. Pengungsi Buru : Memperkuat ketahanan mental, sosial dan spiritual serta mengupayakan keadaan fisik yang lebih baik bagi masyarakat Buru di tempat pengungsian. 4.2. Pemerintah Provinsi Maluku : Kontribusi kepada Pemerintah dalam upaya rehabailitasi secara utuh kepada masyrarakat Buru. 4.3. Gereja: Kontribusi kepada Gereja dalam upaya mempersiapkan pendampingan pastoral kepada pengungsi Buru secara lebih baik. 4.4. Akedemis : Menjadi referensi bagi peningkatan ilmu pengetahuan dan referensi bagi Penelitian selanjutnya di bidang pastoral. 1.5. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada pengungsi Buru di Jemaat GPM Fajar Pengharapan- Lemba Agro Desa Passo pada bulan April – Mei 2012. 1.6. Metode Penelitian 6.1. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian adalah pendekatan Kualitatif yakni penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa pemahaman dan kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati serta eksplorasi lapangan.4 4 Robert C Bogdan & Sari Knopp Biklen, Qualitative Research for Education : An. Introduction to Theory and Methods, (Boston : Allyn and Bacon, Inc, 1982), 5 9 6.2. Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah Fenomenologi, yakni berupa deskripsi fakta-fakta fisik, psikologis, sosial dan spiritual kehidupan masyarakat pengungsi Buru di Lembah Agro Passo. 6.3. Teknik penelitian dan sumber data Data yang dikumpulkan dilakukan dengan beberapa teknik. Lexy J Moleong menyebutkan beberapa langkah strategis dalam mengumpulkan data.:.5 - Sumber dan jenis data: menurut Lofland dan Lofland (19840: 47) sumber data utama dalam penilitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lainlain yang berkaitan dengan keperluan penilitian. Dengan demikian peneliti akan melakukan wawancara atau pengamatan dalam wujud melihat, mendengar, dan bertanya langsung kepada para pengungsi Buru di Jemaat Lembah Pengharapan Passo. - Wawancara: Pencatatan sumber data utama melalui wawancara atau pengamatan yang serius dalam merekonstruksi mengenai orang, perasaan, motifasi, tuntutan, dan Fokus pada para informan yakni, para pengungsi, tokoh pemuda, dan pendeta di Jemaat Fajar Penharapan. Selain itu, juga melalui pengamatan atau observasi partisipatif terhadap upaya penanganan oleh pemerintah dan upaya konseling pastoral oleh Gereja. 5 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1988), 157-207 10 - Data sekuder diperoleh melalui buku-buku, data jemaat, atau materimateri tertulis lainnya, yang memuat informasi tentang bahasan dan masalah penelitian ini. 6.4. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan dilapangan, selanjutnya akan dijelaskan dan diuraikan dalam bentuk deskripsi, dengan menggunakan landasan teori sebagai pisau analisis. Kesimpulan dari analisis merupakan temuan baru dari hasil penelitian ini. 6 1.7.Kerangka Penulisan 1. BAB I : Berawalnya dari sebuah keprihatinan. Dalam bab ini akan dipaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan Penelitian, mamfaat Penelitian, dan metode Penelitian. 2. BAB II : Landasan teori yang menyoroti kehidupan manusia secara komperhensif (Holistik/menyeluruh) 3. BAB III : Pemaparan Hasil Penelitian BAB IV : Analisis Kritis dan Refleksi Teologis terhadap kehidupan Masyarakat Pengungsi Buru di Lembah Agro. 6 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 259 11