BETINA UNTUK MERANGSANG PEMIJAHAN

advertisement
PERAN IKAN MAS (Cyprinus carpio L.) BETINA
UNTUK MERANGSANG PEMIJAHAN IKAN TAWES
(Barbonymus gonionotus B.) DALAM METODE CANGKRINGAN
LITA MASITHA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* 1
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Peran Ikan Mas (Cyprinus
carpio L.) Betina untuk Merangsang Pemijahan Ikan Tawes (Barbonymus
gonionotus B.) dalam Metode Cangkringan” adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Lita Masitha
NIM 100211
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
RINGKASAN
LITA MASITHA. Peran ikan mas (Cyprinus carpio L.) betina untuk merangsang
pemijahan ikan tawes (Barbonymus gonionotus B.) dalam metode Cangkringan.
Dibimbing oleh MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR, MUHAMMAD AGUS
SUPRAYUDI dan RUDHY GUSTIANO
Pemijahan ikan secara alami lebih banyak memberikan keuntungan
dibanding dengan kawin suntik. Metode Cangkringan merupakan salah satu cara
pemijahan ikan secara alami. Metode ini dilakukan dengan memijahkan ikan mas
di dalam hapa dan ikan tawes di luar hapa, dimana ikan tawes akan memijah
setelah ikan mas memijah. Pada metode di atas terjadi stimulasi dari ikan mas ke
ikan tawes. Stimulasi yang bekerja kemungkinan besar diakibatkan oleh semacam
feromon yang dilepas oleh ikan mas. Penggunaan feromon pada pemijahan ikan,
memiliki nilai praktis yang sangat tinggi karena dapat diterapkan tanpa menangani
ikan sehingga meniadakan stres, dan merangsang proses endogenus normal
sehingga mengeliminir kegagalan dalam pembuahan dan hanya bekerja pada
induk yang benar-benar matang. Stimulasi pemijahan dengan feromon sangat
potensial untuk dikembangkan pada ikan yang biasa memijah secara masal.
Keterlibatan feromon pada pemijahan ikan mas dengan metode
Cangkringan, dapat menimbulkan respon primer dan atau respon pelepas pada
ikan tawes, yang selanjutnya menyebabkan pemijahan pada ikan tawes. Metode
ini bersifat alami, lebih efektif dan lebih aman dibandingkan dengan metode
kawin suntik. Pada metode kawin suntik, baik dengan teknik hipofisasi maupun
dengan menggunakan hormon gonadotropin lain memiliki beberapa kelemahan.
Kelemahan pada teknik hipofisasi antara lain hilangnya ikan donor karena diambil
hipofisisnya, standarisasi kandungan ekstrak kelenjar hipofisis ikan sukar
dilakukan karena terlalu banyak hormon yang terlibat, ada kekhawatiran akan
terjadi interaksi antar hormon-hormon yang ada, dan penyakit dapat menular
dengan mudah dari ikan donor ke ikan resipien.
Pemijahan dengan metode Cangkringan juga memiliki beberapa kelebihan
antara lain induk tidak mengalami stres karena penanganan sehingga resiko
mortalitas kecil, induk ikan mas dapat digunakan sebagai perangsang untuk
beberapa kali pemijahan, dan metode Cangkringan memberikan alternatif untuk
pengembangan feromon sebagai perangsang. Namun, sampai saat ini belum
diketahui peran ikan mas betina dalam merangsang pemijahan ikan tawes dengan
metode Cangkringan. Metode ini perlu dikembangkan untuk menemukan feromon
yang dapat dijadikan sebagai perangsang pada pemijahan ikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran ikan mas betina dalam
merangsang pemijahan ikan tawes dalam metode cangkringan. Setiap pasang
induk ikan tawes ditempatkan dalam wadah yang sama dengan 3 ekor ikan mas
baik disuntik atau tidak disuntik ovaprim sebagai pengimbas dengan komposisi
♂♂♀ tidak disuntik (A), ♂♂♀ disuntik (B), ♂♂ tidak disuntik dan ♀ disuntik
(C), ♀♀♀ disuntik (D) dan ♀♀♀ tidak disuntik (E). Pengambilan contoh telur
dilakukan sebelum penyuntikan pertama dengan teknik kanulasi. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata diameter telur ikan mas berkisar 0.99–
1.96 mm, sedangkan rata-rata diameter telur ikan tawes berkisar 0.67–0.75 mm.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa yang bertindak sebagai pengimbas pada
pemijahan ikan dengan metode cangkringan ini adalah ikan mas karena ikan tawes
mijah jika ada ikan mas yang mijah. Ikan tawes tidak memijah mendahului ikan
mas. Pengaruh pemijahan ikan mas pada ikan tawes dapat disebabkan baik oleh
pasangan ikan mas heteroseks
♂♂♀)
( yang berovulasi maupun pasangan
monoseks betina ♀♀♀)
(
yang berovulasi . Pencapaian interval waktu imbas
tercepat pada pemijahan ikan tawes secara alami karena pengaruh pemijahan ikan
mas secara berturut-turut ditunjukkan oleh perlakuan B3 yaitu 6 jam 55 menit, E3
yaitu 6 jam 58 menit, dan C3 yaitu 8 jam 5 menit. Derajat pemijahan ikan tawes
tertinggi diperoleh pada perlakuan B yaitu sebesar 100% kemudian perlakuan D,
E, C dan A masing-masing sebesar 66.7%, 66.7%, 33.3% dan 0%.
Hasil analisis hormon testosteron dan estradiol menunjukkan bahwa
konsentrasi testosteron ikan mas jantan dan konsentrasi estradiol ikan mas betina
pada akhir pemijahan sangat menentukan status pemijahan ikan tawes.
Konsentrasi testosteron 2.2–10.19 ng mL-1 dapat memberikan pengaruh
pemijahan baik secara stripping maupun secara alami pada ikan tawes (perlakuan
B1, A1, B3 dan C3). Terjadinya pemijahan ikan tawes pada keempat perlakuan di
atas juga didukung oleh rendahnya konsentrasi estradiol yaitu berkisar antara
0.62–1.46 ng mL-1. Konsentrasi testosteron yang terlalu rendah (kurang dari 1 ng
mL-1 : perlakuan A2 dan C2) atau terlalu tinggi (12.83 ng mL-1 pada ikan mas
jantan dan >16.8 ng mL-1 pada ikan mas betina : perlakuan A3) tidak memberikan
pengaruh pemijahan pada ikan tawes.
Keseluruhan dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ovulasi
pada ikan mas betina yang disuntik atau tidak disuntik ovaprim dapat memberikan
pengaruh imbas pada pemijahan ikan tawes. Namun, pengaruh imbas tersebut
akan semakin kuat jika terdapat ikan mas jantan sebagai pengimbas.
Kata kunci: metode Cangkringan, ikan mas, ikan tawes, ovulasi, imbas pemijahan
SUMMARY
LITA MASITHA. The Role of Female Common Carp (Cyprinus carpio) to
Induce Spawning of Java Carp (Barbonymus gonionotus) Using Cangkringan
Method. Supervised by MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR, MUHAMMAD AGUS
SUPRAYUDI and RUDHY GUSTIANO
Natural spawning in fish is more preferable than induce breeding.
Cangkringan method offer an alternative that very close to natural spawning, since
this method using spawning common carp to stimulate java carp to spawn. The
stimulation most likely caused by pheromone which released from common carp.
The use of pheromones in fish spawning has a highly practical because it can be
applied without handling fish too much thus eliminating stress, and stimulate the
endogenous normal processes of mature brood stock that eliminating failures in
fertilization. Stimulation of spawning by pheromones potential to be developed
further on mass spawner fish.
The evidence of pheromones of common carp spawning in Cangkringan
method may cause primary responses or releaser responses in Java carp to spawn,
which in turn cause spawning of Java carp. In induce breeding, either by using
hypophyzation technique or other gonadotropin hormone has several
disadvantage. For using pituitary gland, the weakness are the loss of donor fish
because it was taken their hypophysis, standardized pituitary gland extract is
difficult to do because there are too many hormones involved, there are fears of an
interaction among the hormones, and disease transmition.
Spawning fish using Cangkringan method have several advantages such as
reducing stress and avoid mortality risk, repeating inducer for spawning several
times, and providing alternative to develop pheromones as an inducer. However, it
is not clear until now the control of female common carp to induce spawning of
Java carp in Cangkringan method. Therefore it is important to find the responsible
pheromone in future.
This study aimed to evaluate control of female common carp to induce
spawning of Java carp in Cangkringan method. Each pair of Java carp was placed
in the same tank with three common carp (♂♂♀ or ♀♀♀) injected or not injected
with ovaprim. Between common carp and Java carp, they were separated by net.
This study consist of three treatments, and two controls with three replications.
The composition of this treatment were♂ ♂ ♀ not injected (A), ♂ ♂ ♀ injected
(B), ♂ ♂ not injected and ♀ injected ( C), ♀ ♀♀ injected (D) and ♀ ♀♀ not
injected (E). Sampling for egg was conducted before the first injection by
cannulation tecniques. Observation indicated that egg diameter ranged from 0.99
to 1.96 mm for common carp eggs, while the diameter of Java carp eggs ranged
from 0.67 to 0.75 mm. Results of this study showed that fish which act as inducer
spawning in Cangkringan method is common carp because Java carp would
spawn only if common carp was spawn. The Java carp never spawn precedes
before common carp. These results indicated that inducing of common carp on
spawning of Java carp enabled due to ovulating heterosexual couple carp ♂♂
( ♀)
or ovulating couples monosex (♀♀♀). The fastest interval time induction of
common carp on natural spawning of Java carp indicated by B3 treatment is 6
hours 55 minutes, then E3 is 6 hours 58 minutes, and C3 is 8 hours 5 minutes.
Application of ovaprim injection in ♂♂♀ common carp (treatment B) gave 100%
spawning rate of Java carp, while treatment D, E, C and A gave 66.7%, 66.7%,
33.3% and 0%, respectively.
Analysis of testosterone and estradiol showed that testosterone
concentration of male common carp and estradiol concentration of female
common carp at the end of spawning determine the spawning status of Java carp.
Testosterone concentrations 2.26 to 10.19 ng mL-1 could affect both stripping and
natural spawning in Java carp (treatment B1, A1, B3 and C3). The occurrence of
spawning of Java carp in the four treatments is also supported by the low estradiol
concentrations ranged between 0.62–1.46 ng mL-1. Testosterone concentrations
those were too low (less than 1 ng mL-1: treatment A2 and C2) or too high (12.83
ng mL-1 in male carp and > 16.8 ng mL-1 in female one: A3 treatment) did not
impact on spawning of Java carp.
Overall result of this study showed that both ovulating female common carp
injected or not injected with ovaprim was able to influence the spawning of Java
carp. The influence was stronger when male common carp was present.
Keywords: Cangkringan method, common carp, Java carp, induce spawning,
ovulation
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PERAN IKAN MAS (Cyprinus carpio L.) BETINA
UNTUK MERANGSANG PEMIJAHAN IKAN TAWES
(Barbonymus gonionotus B.) DALAM METODE CANGKRINGAN
LITA MASITHA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA
Judul Tesis : Peran ikan mas (Cyprinus carpio L.) betina untuk merangsang
pemijahan ikan tawes (Barbonymus gonionotus B.) dalam metode
Cangkringan
Nama
: Lita Masitha
NIM
: C151100211
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Muhammad Zairin Junior, MSc
Ketua
Dr Ir Muhammad Agus Suprayudi, MSi
Anggota
Dr Ir Rudhy Gustiano, MSc
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Akuakultur
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Enang Harris, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 29 Januari 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur hanyalah kepada Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya, sehingga penelitian yang
berjudul ”Peran Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) Betina untuk Merangsang
Pemijahan Ikan Tawes (Barbonymus gonionotus B.) dalam Metode Cangkringan”
ini dapat terlaksana dengan baik. Dalam proses penelitian hingga terangkumnya
tesis ini, cukup banyak hambatan yang dijumpai, sehingga disadari karya ini tidak
dapat tersusun tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak.
Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Zairin Junior, M.Sc.,
Bapak Dr. Ir. Muhammad Agus Suprayudi, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Rudhy
Gustiano, M.Sc yang telah memberi bimbingan dan ilmu yang sangat berharga
kepada penulis, kepada Ibu Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA atas
kesediaannya menjadi penguji luar komisi, juga kepada Ibu Dr. Ir Widanarni,
M.Si dan Bapak Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S atas saran dan bimbingannya.
Teristimewa penulis ucapkan terima kasih kepada suamiku tercinta Lukmanul
Hakim dan putriku tersayang Fathimah atas limpahan kasih sayang, doa,
pengorbanan, dukungan moril dan materi serta kesabarannya telah menyertai
penulis untuk melanjutkan pendidikan. Penghargaan dan terima kasih yang tulus
juga penulis sampaikan kepada orang tua tercinta, Ayahanda Mashud Ade Basu,
S.Pd, Ibunda Mahadiah (Alm) dan Ibunda Samriati atas kasih sayang, doa restu,
pengorbanan, serta dukungan moril dan materi yang diberikan kepada penulis.
Penghargaan dan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
atas program Beasiswa BPPS, serta kepada Rektor Unidayan Baubau Bapak La
Ode Muhammad Arsal S.Sos., M.Si atas rekomendasi yang diberikan, Bapak Ir.
Tamar Mustari, M.S dan Bapak Ir. Musrif, M.P atas segala dorongan sehingga
penulis dapat melanjutkan pendidikan pada Mayor Ilmu Akuakultur IPB.
Terima kasih kepada para dosen dalam lingkup Mayor Ilmu Akuakultur
IPB, atas ilmu berharga yang telah penulis peroleh; seluruh sahabat di Akuakultur
angkatan 2010, atas kebersamaan, semangat, dan kenangan indah selama
menempuh pendidikan bersama; rekanku Lysa Simanjuntak, S.Pi., M.Si atas
dukungan dan kebersamaannya. Kepada Bapak Gholib S.Pt, M.Si terimakasih atas
bantuannya dalam analisis hormon dan kepada para peneliti dan teknisi di
Instalasi Penelitian Plasma Nutfah Budidaya Air Tawar Cijeruk Bogor, terima
kasih telah berbagi ilmu dan bantuan yang diberikan selama penelitian.
Kepada kakak-kakakku tercinta, Nur Kamariah, S.E; La Ode Herdin;
Hardono Manan, S.Pi; Suparmi, S.Sos; adik-adikku tersayang Asad Hamzah,
A.Ma.Pd; Noni Baali, A.Ma.Pd; Masriati; Masriadi; Siti Maryam dan Siti
Fathimah Az-zahra, kepada Abi Ust. Syamsi bin La Onda dan Ummi Wa Ode Ahi
beserta seluruh keluarga besarku, terima kasih atas doa, dukungan dan kasih
sayangnya. Terima kasih untuk keluargaku di Pondok Edelweis’88 serta para
sahabat seperantauan di Pondok Al-Lulu, atas kebersamaan dan semangat dari
kalian. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima
kasih atas bantuan, dukungan, serta doanya.
Semoga tesis ini dapat memberikan faedah bagi semua pihak.
Bogor, Januari 2013
Lita Masitha
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
xi
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
2
2
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Mas
Ikan Tawes
Proses Pematangan Gonad
Vitellogenesis dan Proses Pematangan Oosit Tahap Akhir
Ovulasi dan Pemijahan
Metode Cangkringan
Feromon
Hormon Testosteron dan Estradiol
3
3
4
6
7
9
9
11
3 METODOLOGI PENELITIAN
Materi Uji dan Rancangan Penelitian
Metode Penelitian
Persiapan Induk
Persiapan Wadah
Pemberokan Induk
Pengambilan Sampel Telur
Pengambilan Sampel Darah
Penyuntikan Induk
Pemijahan dengan Sistem Imbas
Parameter Penelitian
Tingkat Kematangan Gonad
Tingkah Laku Reproduksi Ikan
Diameter Telur
Waktu Induk Mencapai Ovulasi
Derajat Pemijahan (DP) Ikan Tawes
Jumlah Telur yang Diovulasikan (TO) Pada Ikan tawes
Derajat Pembuahan (Fertilization Rate, FR) Telur Ikan Tawes
Derajat Penetasan (Hatching Rate, HR) Ikan Tawes
Konsentrasi Hormon Testosteron dan Estradiol Ikan Mas
Parameter Kualitas Air
Analisis Data
12
12
12
13
13
13
14
14
14
15
15
15
15
15
15
15
16
16
16
16
16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Kematangan Gonad
Diameter Telur
Posisi Inti Telur
Tingkah Laku Pemijahan
Imbas Pemijahan Ikan Mas Terhadap Ikan Tawes
Fekunditas, Derajat Pembuahan (FR) dan Derajat Penetasan Telur (HR)
Profil Hormon Testosteron (T) dan Estradiol (E 2 ) Ikan Mas
Kualitas Air
16
17
18
19
21
22
23
25
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
25
25
DAFTAR PUSTAKA
26
LAMPIRAN
30
RIWAYAT HIDUP
38
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Oosit dengan lapisan folikel pada ikan cod (Gadus morhua),
A : bagian dari keseluruhan oosit dengan kuning telur (Y),
B : Zr menunjukkan zona radiata dan sel-sel folikel (teka, T, dan
granulosa, G) ditandai dengan panah
Perubahan morfologi pada oosit matang Black Porgy
(Acanthopagrus schlegeli). A: Butiran kuning telur terlihat lebih
besar dan kurang padat dalam sitoplasma. B: Secara perlahan inti
bergeser dari pusat telur. C: Ooplasma transparan. D: Inti telur
bergerak ke bagian peripheral. E: Oosit matang dengan satu butiran
minyak. F: inti telur melebur. g = germinal vesicle (inti telur),
o = butiran minyak
Skema kontrol hormon dalam reproduksi ikan
Proses perkembangan sel telur
Rantai endokrin, poros hipothalamus-pituitari-gonad (HPG) pada
ikan betina selama pematangan oosit dan ovulasi
Induk ikan mas (A) dan induk ikan tawes (B)
Wadah perlakuan yang digunakan selama penelitian; hapa sebagai
pemisah antara ikan mas dan ikan tawes (panah)
Pengambilan telur dengan metode kanulasi (A); pengambilan
sampel darah dari vena ekor (B); penyuntikan induk dilakukan
secara intramuscular (C)
Posisi inti telur ikan tawes, inti telur pada fase istrahat (panah
putih); inti telur bergerak ke tepi : GVM (panah hitam)
4
5
6
7
8
12
13
14
18
DAFTAR TABEL
1 Desain perlakuan pemijahan ikan mas dalam merangsang pemijahan
ikan tawes dalam metode Cangkringan
2 Ukuran diameter (mm) telur ikan mas
3 Ukuran diameter (mm) telur ikan tawes
4 Jumlah ikan mas dan tawes yang mijah, waktu ikan mas mencapai
ovulasi (WOM), waktu ikan tawes mencapai ovulasi (WOT), dan
derajat pemijahan (DP) ikan tawes
5 Bobot tubuh, fekunditas, derajat pembuahan (FR) dan derajat
penetasan (HR) ikan tawes
6 Konsentrasi hormon testosteron (T) dan estradiol (E 2 ) ikan mas
7 Nilai parameter kualitas air selama penelitian
12
17
17
20
23
24
25
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
Desain percobaan
Diameter telur ikan mas dan ikan tawes pada ulangan 1,2,3
Posisi inti telur (panah) ikan mas pada ulangan 1,2,3
Waktu suntik, waktu ovulasi/pemijahan ikan mas, waktu ovulasi/
Pemijahan ikan tawes
Fekunditas, derajat pembuahan (FR) dan derajan penetasan (HR)
Ikan tawes
Konsentrasi hormon testosteron (T) dan estradiol (E 2 ) pada setiap
perlakuan
30
31
33
35
36
37
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Upaya untuk menginduksi pemijahan ikan dapat dilakukan melalui beberapa
cara, baik melalui manipulasi lingkungan, kawin suntik maupun dengan metode
imbas. Sejak tahun 70-an, di Indonesia telah berkembang metode imbas untuk
memijahkan ikan tawes yang dikenal dengan metode Cangkringan. Metode ini
pertama kali ditemukan di Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) Cangkringan, yang
pada awalnya digunakan untuk memijahkan ikan tawes dengan rangsangan
pemijahan ikan mas. Menurut Zairin (2003) pada metode di atas terjadi stimulasi
dari ikan mas ke ikan tawes. Stimulasi yang bekerja kemungkinan besar
diakibatkan oleh semacam feromon yang dilepas oleh ikan mas.
Feromon didefinisikan sebagai bau atau campuran zat berbau, yang
dikeluarkan oleh suatu individu (pengirim) dan membangkitkan respon khas pada
individu lain sebagai penerima (Sorensen dan Stacey 2004). Terdapat tiga kategori
feromon yang dibedakan berdasarkan fungsinya yaitu isyarat anti-predator, isyarat
sosial, dan isyarat reproduksi. Masing-masing kategori terdiri dari feromon yang
dapat menimbulkan respon primer berupa efek fisiologis atau perubahan
endokrinologis yang terjadi lebih lambat atau respon pelepas yaitu perubahan
perilaku yang kuat (Sorensen dan Stacey 2004; Appelt dan Sorensen 2007;
Burnard et al. 2008; Little et al. 2011). Meskipun demikian, feromon tidak
terbatas pada jenis kelamin tertentu dan spesies yang berbeda dapat memproduksi
dan melepaskan feromon yang sama, namun respon induksinya bervariasi
(Burnard et al. 2008).
Lim dan Sorensen (2012) mengemukakan bahwa saat ovulasi, ikan betina
dari berbagai spesies diketahui melepaskan F-prostaglandin, sebuah derivat
feromon seks yang menarik ikan jantan sejenis. Feromon pada ikan mas
diidentifikasi sebagai campuran prostaglandin F2α (PGF2α) dan metabolit tubuh
lain yang tidak teridentifikasi, yang disebut sebagai feromon kompleks. Hasil
penelitian pada ikan mas betina yang diimplan dengan PGF2α dapat menarik ikan
jantan dewasa walaupun berjarak 20 m, tetapi tidak untuk ikan betina. Selanjutnya
hasil penelitian Stacey et al. (2012) menjelaskan bahwa ikan Scardinius
erythrophthalmus betina yang sudah mengalami ovulasi dapat menginduksi
respon primer individu jantan sejenis yang disebabkan karena terjadi peningkatan
konsentrasi 17α,20β-dihydroxy-4-pregnen-3-one (17α,20β-P) dan penurunan
konsentrasi androstenedion.
Zheng et al. (1997) mengemukakan bahwa respon terhadap feromon
17α,20β-P merupakan penentu utama kesuksesan reproduksi ikan mas koki jantan.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengaruh feromon 17α,20β-P
menyebabkan peningkatan aktivitas pemijahan, volume dan cairan sperma, durasi
motilitas sperma dan proporsi sperma motil. Namun, tampak bahwa perubahan
dalam kualitas sperma adalah komponen utama dari pengaruh feromon tersebut.
Hal ini dapat dilihat dalam persaingan pembuahan in vitro dimana sperma dari
ikan mas koki jantan yang dipapar dengan feromon 17α,20β-P dapat membuahi
telur lebih banyak daripada sperma pada ikan jantan kontrol.
2
Penggunaan feromon pada pemijahan ikan memiliki nilai praktis yang
sangat tinggi karena dapat diterapkan tanpa menangani ikan sehingga meniadakan
stress, merangsang proses endogenus normal sehingga mengeliminir kegagalan
dalam pembuahan dan hanya bekerja pada induk yang benar-benar matang.
Stimulasi pemijahan dengan feromon sangat potensial untuk dikembangkan pada
ikan yang biasa memijah secara masal (Zairin 2003).
Keterlibatan feromon pada pemijahan ikan mas dengan metode
Cangkringan, mungkin menimbulkan respon primer dan atau respon pelepas pada
ikan tawes, yang selanjutnya menyebabkan pemijahan pada ikan tawes. Metode
ini merupakan cara alami yang lebih efektif dan lebih aman dibandingkan dengan
metode kawin suntik. Pada metode kawin suntik, jika ikan yang disuntik tidak
mijah maka peluang terjadinya mortalitas semakin tinggi karena nekrosis telur
yang dapat menyebabkan keracunan internal (Woynarovich dan Horvath 1980).
Dengan demikian, metode Cangkringan diharapkan menelurkan alternatif cara
pemijahan ikan selain dengan metode kawin suntik dalam akuakultur.
Namun, sampai saat ini belum diketahui peran ikan mas betina dalam
merangsang pemijahan ikan tawes dalam metode Cangkringan. Metode ini perlu
dikembangkan untuk menemukan feromon yang dapat dijadikan sebagai
perangsang pada pemijahan ikan.
Perumusan Masalah
Tahapan penting dalam siklus reproduksi ikan adalah proses pemijahan.
Dewasa ini pemijahan ikan lebih banyak dilakukan dengan cara kawin suntik,
baik dengan teknik hipofisasi maupun dengan menggunakan hormon
gonadotropin lain seperti ovaprim maupun HCG (Human chorionic
gonadotropin). Namun teknik hipofisasi memiliki beberapa kelemahan antara lain
hilangnya ikan donor karena diambil hipofisisnya, standarisasi kandungan ekstrak
kelenjar hipofisis ikan sukar dilakukan (Woynarovich dan Horvath 1980), terlalu
banyak hormon yang terlibat sehingga dikhawatirkan akan terjadi interaksi antar
hormon-hormon tersebut, dan penyakit dapat menular dengan mudah dari ikan
donor ke ikan resipien (Dorafshan et al. 2003). Disamping itu metode kawin
suntik dengan menggunakan ovaprim dan HCG harganya relatif mahal sehingga
tidak ekonomis, sukar diperoleh dan spesifisitasnya tinggi.
Oleh karena itu metode Cangkringan dapat dijadikan metode alternatif
pemijahan ikan. Beberapa keunggulan metode ini antara lain induk tidak
mengalami stres karena penanganan sehingga resiko mortalitas kecil, induk ikan
mas dapat digunakan sebagai perangsang untuk beberapa kali pemijahan, metode
Cangkringan memberikan alternatif untuk pengembangan feromon sebagai
perangsang.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran ikan mas betina dalam
merangsang pemijahan ikan tawes dengan metode Cangkringan.
3
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan feromon
sebagai perangsang, sehingga menjadi solusi alternatif bagi pemijahan ikan secara
alami.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Mas
Ikan mas termasuk famili Cyprinidae merupakan jenis ikan konsumsi air
tawar, dengan daerah penyebaran alami di wilayah Eropa ke Cina dan telah
dibudidayakan di berbagai daerah di dunia. Ikan ini merupakan ikan omnivora,
sebagian besar memiliki cara makan dengan memakan makanan di dasar perairan.
Memijah dengan menempelkan telur pada tumbuhan yang terendam di air atau di
kolam (Woynarovich dan Horvath 1980).
Usia matang gonad ikan mas berhubungan dengan letak garis lintang daerah
dan jenis kelamin. Biasanya ikan jantan matang gonad lebih awal dibanding ikan
betina. Ikan yang ada di daerah garis lintang rendah akan matang lebih awal
dibandingkan dengan yang berada di daerah dengan garis lintang lebih tinggi.
Pada kolam budidaya di India, ikan jantan matang gonad pada usia 6 bulan dan
ikan betina pada usia 8 bulan, sedangkan di Kanada, ikan jantan matang gonad
pada usia 3–4 tahun dan betina pada usia 4–5 tahun. Periode pemijahan ikan mas
pada suhu air berkisar antara 18–28 °C (Tempero et al. 2006)
Pada pemijahan ikan dengan teknik hipofisasi, ikan mas sering digunakan
sebagai donor. Ikan mas diketahui sebagai donor universal, artinya dapat
digunakan secara efektif untuk banyak jenis ikan, baik yang dalam satu famili
maupun di luar famili (Sumantadinata 1983). Selain itu, ikan mas juga dikenal
sebagai ikan yang mudah memijah. Pada pemijahan ikan dengan sistem
Cangkringan, ikan yang biasa digunakan sebagai ikan donor atau perangsang
adalah induk ikan mas.
Ikan Tawes
Ikan tawes juga termasuk famili Cyprinidae. Hidup di perairan tawar dengan
suhu tropis 22–28 °C dan pH 7. Ikan ini dapat ditemukan di sungai pada
kedalaman hingga lebih dari 15 m, rawa banjiran dan waduk. Berkembangbiak
dengan baik di daerah yang letaknya 50–800 m di atas permukaan laut. Di daerah
dataran rendah yang jauh di bawah 50 m dari permukaan laut, pembiakan ikan
tawes pada umumnya kurang baik (Sumantadinata 1983).
Bentuk badan ikan tawes agak panjang dan pipih dengan punggung
meninggi, kepala kecil, moncong meruncing, mulut kecil terletak pada ujung
hidung, sungut sangat kecil atau rudimenter. Badan berwarna keperakan agak
gelap di bagian punggung. Pada moncong terdapat tonjolan-tonjolan yang sangat
kecil. Sirip punggung dan sirip ekor berwarna abu-abu atau kekuningan, sirip dada
berwarna kuning dan sirip dubur berwarna oranye terang (Kottelat et al. 1993).
4
Ikan tawes dapat memijah dengan rangsangan alami lingkungan, suntikan
hormon, dan rangsangan imbas (Sumantadinata 1983). Seperti ikan lainnya dalam
famili Cyprinidae, kematangan gonad ikan tawes sangat dipengaruhi oleh suhu,
pakan dan musim.
Proses Pematangan Gonad
Perkembangan gonad ikan secara garis besar dibagi atas dua tahap
perkembangan utama, yaitu tahap pertumbuhan gonad sampai ikan mencapai
tahap dewasa kelamin dan tahap pematangan produk seksual. Menurut Unal et al.
(2005) selama perkembangan gonad, setiap folikel ovarium terdiri dari oosit yang
berkembang yang dikelilingi oleh dua lapisan sel somatik, yaitu sel-sel granulosa
dalam dan sel-sel teka luar (Gambar 1).
Gambar 1 Oosit dengan lapisan folikel pada ikan cod (Gadus morhua), (A)
bagian dari keseluruhan oosit dengan kuning telur, (B) zona radiata
dan sel-sel folikel (Arukwe dan Goksoyr 2003). Akronim, Y – kuning
telur, Zr – zona radiata, T – teka, G – granulosa
Selama awal pertumbuhan oosit (stadia perinukleolar), oosit dikelilingi oleh
lapisan sederhana sel-sel granulosa yang rata (skuamosa) dan munculnya lapisan
sederhana sel teka luar. Dua tipe sel tersebut dipisahkan oleh membran dasar
nonselular (Arukwe dan Goksoyr 2003; Srijunngam et al. 2005; Unal et al. 2005;
Zaki et al. 2005).
Hasil studi histologis dan histometrikal pada ovarium ikan mas yang
dilakukan Shirali et al. (2012) menjelaskan bahwa terdapat tujuh jenis folikel
yang berbeda dalam tahapan siklus reproduksi yaitu 1) folikel kromatin-nukleolus,
beberapa nukleolus muncul dalam inti, tersusun teratur dan terletak pada posisi
peri nuklear. Ooplasma tipis dan basofilik. Diameter folikel ini berukuran
35.96±4.52 μm. 2) folikel perinukleolus, nukleolus besar dan banyak berada di
5
pinggiran inti. Ooplasmanya mengandung organela-organela juxta nuklear
kompleks (Balbiani body). Diameter rata-rata dari folikel ini 111.22±17.67 μm.
3) folikel kortical alveolus, kortikal alveoli muncul di berbagai kedalaman
ooplasma. Ada juga butiran-butiran kecil lemak di sekitar inti. Zona radiata
muncul seperti garis tipis. Balbiani body menjadi hilang. Diameter folikel ini
adalah 200.46±22.57μm. Ketiga folikel di atas disebut sebagai folikel pra
vitellogenik. 4) folikel vitelogenik primer, butiran-butiran kuning telur terletak
diantara kortikal alveoli. Ooplasmanya kurang basofilik. Diameter inti mencapai
diameter maksimum dalam tahap ini. Diameter folikel ini 413.10±27.53 μm.
5) folikel vitelogenik sekunder, butiran-butiran kuning telur bergerak ke tengah
sedangkan kortikal alveoli dan butiran-butiran lemak bergerak ke bagian
peripheral. Membran nukleus menjadi tidak beraturan. Zona radiata menebal dan
diameter folikel-folikel mencapai ukuran maksimum pada tahap ini yaitu
769.50±44.41 μm. 6) folikel vitelogenik tersier, butiran-butiran kuning telur
meningkat, bergabung bersama-sama dan mengisi keseluruhan ooplasma.
Nukleoli secara bertahap bergerak menuju pusat nukleus. 7) Maturasi, secara
bertahap nukleus bergerak ke kutub animalia. Selanjutnya membran nukleus
menghilang. Folikel primer, sekunder, tersier dan maturasi dianggap sebagai
folikel-folikel vitelogenik.
Selanjutnya Kucharczyk et al. (2008) menjelaskan posisi inti telur untuk
menentukan tahap kematangan telur dibagi dalam empat tahap (Gambar 2) yaitu :
tahap 1: inti telur (GV) berada di tengah, tahap 2: awal migrasi inti (kurang dari
setengah jari-jari telur), tahap 3: akhir migrasi inti (lebih dari stengah jari-jari
telur), dan tahap 4: peleburan inti atau germinal vesicle breakdown (GVBD).
Gambar 2 Perubahan morfologi pada oosit matang Black Porgy (Acanthopagrus
schlegeli), (A) butiran kuning telur terlihat lebih besar dan kurang
padat dalam sitoplasma, (B) secara perlahan inti bergeser dari pusat
telur, (C) ooplasma transparan, (D) inti telur bergerak ke bagian
peripheral, E oosit matang dengan satu butiran minyak, (F) inti telur
melebur (Yueh dan Chang 2000). Akronim, g – germinal vesicle (inti
telur), o – oil droplet (butiran minyak)
6
Vitelogenesis dan Proses Pematangan Oosit Tahap Akhir
Prinsip umum yang terjadi pada semua ikan bahwa untuk memproduksi
telur besar perlu pengisian kuning telur (large yolky eggs) yang diperoleh melalui
perkembangan oosit. Pembentukan, perkembangan dan pematangan gamet betina
dan sel telur (oogenesis) merupakan proses yang rumit yang membutuhkan
koordinasi hormon (Gambar 3) (Arukwe dan Goksoyr 2003). Hormon-hormon
tersebut berada di bawah kontrol poros hipothalamus-pituitari-gonad (HPG).
Selama fase reproduksi vertebrata ovipar betina, hati mensistesis sebuah
prekursor protein kuning telur yang disebut sebagai vitelogenin. Sintesis
vitelogenin di dalam hati (vitelogenesis) di kontrol oleh aksi hormon estrogen
(Matty 1985). Vitelogenesis merupakan rangkaian dari proses pematangan gonad.
Pada proses pematangan gonad, sinyal lingkungan seperti hujan, perubahan suhu,
substrat, petrichor dan lain-lain, diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan
ke hipotalamus. Sebagai respon, hipotalamus akan melepaskan hormon GnRH
(Gonadotropin Releasing Hormone) yang selanjutnya bekerja pada kelenjar
hipofisis. Selanjutnya hipofisis akan melepaskan hormon FSH (Follicle
Stimulating Hormon) yang bekerja pada lapisan teka pada oosit (Woynarovich
dan Horvath 1980).
Gambar 3 Skema kontrol hormon dalam reproduksi ikan (Nagahama 1994)
7
Akibat kerja FSH, lapisan teka akan mensintesis testosteron dan di lapisan
granulosa, testosteron akan diubah menjadi estradiol-17β (E 2 ) oleh enzim
aromatase. Selanjutnya E 2 akan merangsang hati mensintesis vitelogenin yang
merupakan bakal kuning telur. Vitelogenin akan dibawa oleh aliran darah menuju
gonad dan secara selektif akan diserap oleh lapisan folikel oosit (Nagahama et al.
1995). Akibat menyerap vitelogenin, oosit akan tumbuh membesar sampai
kemudian berhenti apabila telah mencapai ukuran maksimum. Pada kondisi ini
dikatakan bahwa telur telah berada pada fase dorman dan menunggu sinyal
lingkungan untuk pemijahan (Zairin 2003).
Dalam proses pematangan oosit, tidak semua oosit yang telah mengalami
vitelogenesis dapat diovulasikan. Bila keadaan lingkungan tidak mendukung,
oosit akan mengalami degradasi atau kegagalan ovulasi yang dikenal dengan
proses atresia (Gambar 4). Proses ini terjadi karena penyerapan materi oosit oleh
sel-sel granulosa yang mengalami hipertropi. Bila keadaan lingkungan
mendukung, maka akan terjadi proses praovulasi dan ovulasi (Woynarovich dan
Horvath 1980).
Fase
dorman
ovulasi
Bila hormon gonadotropin
tidak ada, maka secara
alami sel telur akan
diserap kembali
perbanyakan
sel
perkembangan
folikel
Gambar 4 Proses perkembangan sel telur (Woynarovich dan Horvath 1980)
Ovulasi dan Pemijahan
Ovulasi adalah proses terlepasnya oosit matang dari sel-sel follikel (Yueh
dan Chang 2000) untuk dibuahi (Nagahama dan Yamashita 2008). Sama halnya
dengan pematangan gonad, pada proses ovulasi dan pemijahan, sinyal lingkungan
8
diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Sebagai respon,
hipotalamus akan melepaskan GnRH yang selanjutnya bekerja pada kelenjar
hipofisis. Pada tahap ini hipofisis mensekresikan hormon LH (Luteinizing
hormon) yang bekerja pada lapisan teka oosit. Akibat kerja LH, lapisan teka akan
mensintesis hormon 17α-hidroksiprogesteron yang kemudian di lapisan granulosa
akan diubah menjadi 17α,20β-dihidroksiprogesteron (maturation inducing steroid,
MIS) oleh enzim 20β-hidroxysteroid dehidrogenase (Zairin 2003). Selain
17α,20β-dihidroxy progesteron sebagai MIS atau MIH (maturation-inducing
hormone) yang umum pada ikan, pada sebagian ikan menggunakan 17α,20β,21trihidroxy-4-pregnen-3-one (20β-S) sebagai MIH (Nagahama dan Yamashita
2008).
Sinyal MIH akan merangsang pembentukan faktor perangsang kematangan
(maturation promoting factor, MPF) yang akan menyebabkan inti telur bermigrasi
ke arah mikrofil kemudian melebur (Gambar 5). Setelah proses peleburan inti
(GVBD), lapisan folikel akan pecah dan telur dikeluarkan menuju rongga ovari,
sehingga terjadi proses ovulasi (Yaron 1995). Setelah proses ovulasi, telur
dikatakan telah mencapai kematangan secara fisiologis dan siap dibuahi sperma.
Gambar 5 Rantai endokrin, poros hipothalamus-pituitari-gonad (HPG) pada ikan
betina selama pematangan oosit dan ovulasi (Yaron dan Levavi-Sivan
2011).
Pemijahan memiliki mekanisme kontrol terpisah dari proses ovulasi.
Beberapa ikan teleostei dapat memijah beberapa kali dalam satu musim pemijahan
dimana telur-telur yang dikeluarkan dari tubuh berasal dari telur-telur yang
diovulasikan pada waktu yang sama. Namun ada pula ikan yang memijah dengan
mengeluarkan telurnya sekaligus dimana telur-telur yang diovulasikan
9
dikeluarkan sedikit demi sedikit ke rongga ovarium dan kemudian dikeluarkan
sekaligus pada saat pemijahan.
Terdapat dua faktor perangsang pemijahan yaitu faktor internal dan
eksternal. Faktor internal yang utama adalah kematangan gonad ikan, kandungan
testosteron dan estradiol; sedangkan faktor eksternal merupakan lingkungan
termasuk faktor fisika (cahaya, suhu, arus), faktor kimia (pH, kelarutan oksigen,
feromon), dan faktor biologis (adanya lawan jenis, dan hormon). Untuk
mempercepat pemijahan dapat pula diberikan rangsangan buatan berupa
manipulasi lingkungan, suntikan hormon dan imbas (Zairin et al. 2005).
Metode Cangkringan
Pada awalnya metode imbas atau metode Cangkringan muncul karena
kenyataan di BBIS (Balai Benih Ikan Sentral) Cangkringan Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) menunjukkan bahwa tetua ikan tawes tidak mau memijah di
dalam hapa bila tidak disuntik terlebih dahulu dengan ekstrak hipofisa, meskipun
kolam pemijahan telah dipersiapkan sesuai dengan keperluan cara pemijahan
tradisional. Secara kebetulan dicobalah memijahkan ikan tawes bersama dengan
ikan mas dalam satu kolam pemijahan. Kemudian diketahui bahwa ikan tawes
dapat memijah mengikuti pemijahan ikan mas (Soedarman 1979).
Metode induksi ini dinamakan sebagai "metode Cangkringan" karena cara
ini mulai dicoba dan ditemukan di BBIS Cangkringan DIY. Sejak itu pemijahan
ikan tawes di BBIS Cangkringan dilakukan dengan cara induksi. Pada
pelaksanaannya, pemijahan ikan mas yang juga berfungsi sebagai perangsang
pemijahan ikan tawes dapat dilakukan di dalam dan di luar hapa. Umumnya
pemijahan ikan tawes mengikuti pemijahan ikan mas dengan selang waktu antara
10 menit sampai dengan 1 jam 45 menit (Lestari 1998).
Feromon
Sorensen dan Stacey (2004) menjelaskan istilah feromon sebagai bau atau
campuran zat berbau, yang dikeluarkan oleh suatu individu (pengirim) dan
membangkitkan respon khas yang adaptif, spesifik, serta ekspresi yang tidak
memerlukan pengalaman sebelumnya atau pembelajaran pada individu lain
sebagai penerima. Selanjutnya Little et al. (2011), mengemukakan bahwa
feromon adalah faktor kimia yang disekresikan atau dikeluarkan oleh spesies yang
memicu respon sosial dalam anggota spesies yang sama.
Sebagian besar spesies ikan mengandalkan feromon untuk memediasi
perilaku sosial (Sorensen dan Stacey 2004). Feromon juga memediasi tingkah
laku dan respon fisiologis yang beragam dan terjadi pada berbagai spesies ikan air
tawar (Burnard et al. 2008). Terdapat tiga kategori feromon yang dibedakan
berdasarkan fungsinya yaitu isyarat anti-predator, isyarat sosial, dan isyarat
reproduksi. Masing-masing kategori terdiri dari feromon yang dapat menimbulkan
respon primer yaitu efek fisiologis atau perubahan endokrinologis yang terjadi
lebih lambat dan atau respon pelepas yaitu perubahan perilaku yang kuat
(Sorensen dan Stacey 2004; Appelt dan Sorensen 2007; Burnard et al. 2008; Little
et al. 2011).
10
Meskipun demikian, feromon tidak terbatas pada jenis kelamin tertentu dan
spesies yang berbeda dapat memproduksi dan melepaskan feromon yang sama,
namun respon induksinya bervariasi (Burnard et al. 2008). Misalnya konjugat
(sulfat) 17α,20β-P menginduksi respon pelepas pada ikan Carassius auratus
jantan (Kobayashi et al. 2002) dan pada hill trout (Barilius bendelisis Ham)
menginduksi respon primer (Bhatt dan Sajwan 2001).
Sinyal kimia memainkan peran sangat penting dalam koordinasi aktivitas
reproduksi pada sebagian besar organisme, dan tidak terkecuali ikan (Stacey dan
Sorensen 2006). Yambe et al. (2006) mengemukakan bahwa selama 20 tahun
terakhir, steroid dan prostaglandin telah diidentifikasi sebagai feromon seks yang
dilepaskan ikan dalam urinnya. Hasil penelitian Appelt dan Sorensen (2007)
menunjukkan bahwa ikan mas koki mengontrol pelepasan feromon prostaglandin
pada urin untuk mempromosikan lokasi dan status reproduksi sebagai tahap awal
sistem komunikasi kimia mereka. Selanjutnya dijelaskan bahwa frekuensi
pelepasan urin ikan mas koki betina yang diinjeksi prostaglandin F2α (PGF2α)
yang ditempatkan bersama-sama dengan jantan aktif lebih tinggi dibanding betina
tanpa jantan aktif. Ikan mas koki jantan dewasa melepaskan sejumlah besar
androstenedione (AD), yaitu suatu steroid androgenik kuat yang pada jantan
maupun betina dapat merasakan sensitivitas yang sangat kuat dan merangsang
interaksi agresif diantara jantan, walaupun tanpa isyarat steroid lainnya (Stacey
dan Sorensen 2006). Secara bersamaan, betina dewasa melepaskan produk
hormon lainnya dalam berbagai campuran, tiga diantaranya ditemukan dalam urin
mereka. Interaksi yang sama diduga terjadi pula pada ikan mas karena ikan mas
memiliki perilaku, fisiologis dan juga feromon yang hampir identik dengan ikan
mas koki (Sorensen dan Stacey 2004).
Pada saat ovulasi, betina menjadi aktif secara seksual dan meresponnya
dengan mensintesis PGF2α di dalam saluran telur. PGF2α dan metabolitnya yang
dirilis sebagai postovulatory feromon yang menyebabkan perilaku pemijahan pada
jantan yang selanjutnya akan meningkatkan produksi LH dan sperma jantan
(Kobayashi et al. 2002). Pada ikan mas, feromon ini diidentifikasi sebagai
campuran PGF2α dan metabolit tubuh lain yang tidak teridentifikasi, yang disebut
sebagai feromon kompleks (Lim dan Sorensen 2012).
Stacey et al. (2012), mengemukakan bahwa ikan S. erythrophthalmus
betina yang sudah mengalami ovulasi dapat menginduksi respon primer individu
jantan sejenis yang mencakup perubahan dalam sirkulasi steroid dan peningkatan
volume sperma. Respon primer individu jantan tersebut dimediasi oleh
peningkatan serum LH jantan yang disebabkan karena terjadi peningkatan
konsentrasi 17α,20β-P dan penurunan konsentrasi androstenedion. Namun
S. erythrophthalmus dan ikan silver bream (Blicca bjoerkna) betina yang sudah
mengalami ovulasi yang ditempatkan dalam satu wadah dengan Carassius
carassius jantan tidak menyebabkan peningkatan volume sperma pada
C. carassius. Begitu pula pada ikan mas betina yang di implan dengan PGF2α
dapat menarik ikan mas jantan dewasa walaupun berjarak 20 m, tetapi tidak
demikian untuk ikan betina (Lim dan Sorensen 2012).
Berbagai macam bahan kimia telah diupayakan agar memiliki fungsi yang
sama seperti feromon. Namun hanya steroid gonad, prostaglandin, dan asam
empedu yang diketahui dapat dideteksi organ penciuman dan menimbulkan
respon biologis (Sorensen dan Stacey 2004).
11
Hormon Testosteron dan Estradiol
Spesies yang bereproduksi secara seksual harus menyinkronkan
kematangan gamet dengan perilakunya, baik dengan sesama jenis maupun antar
lawan jenis. Ikan teleostei mengatasi tantangan ini dengan menggunakan hormon
reproduksi baik sebagai sinyal endogen untuk menyinkronkan perilaku seksual
dengan pematangan gamet maupun sebagai sinyal eksogen (feromon) untuk
menyinkronkan interaksi pemijahan antara ikan (Kobayashi et al. 2002).
Pertumbuhan gonad dan vitelogenesis pada betina dirangsang oleh E 2
(Ohga et al. 2012) juga membangkitkan pelepasan feromon (Kobayashi et al.
2002). Pada ikan rainbow trout betina, plasma E 2 meningkat dari 54 hari sebelum
ovulasi dan terus meningkat mencapai puncaknya pada 18 hari sebelum ovulasi.
Selanjutnya turun mencapai 15–17 ng mL-1 pada 12 hari sebelum ovulasi dan
mencapai level basal (2–3 ng mL-1) pada 4 hari sebelum ovulasi, kemudian tetap
rendah sampai 32 hari setelah ovulasi (Pavlidis et al. 1994).
Kobayashi et al. (2002) menyatakan bahwa pada akhir proses
vitelogenesis, plasma E 2 ovarium turun dan plasma testosteron meningkat, yang
dapat meningkatkan sistem kepekaan LH betina terhadap lingkungan (suhu,
substrat pemijahan, feromon). Isyarat ini akhirnya memicu lonjakan LH yang
mengubah jalur steroidogenik untuk mendukung produksi progesteron termasuk
17α,20β-P. Plasma 17α,20β-P merangsang pematangan oosit tetapi juga dirilis ke
air bersama dengan sulfat 17α,20β-P dan androstenedion sebagai feromon
praovulasi. Feromon ini merangsang perilaku pemijahan yang selanjutnya
meningkatkan pelepasan LH, dan produksi sperma pada jantan.
Penelitian Hong et al. (2006) menunjukkan bahwa ekstrak ovari ikan
Chinese black sleeper (B. sinensis) dapat menarik lebih banyak jantan dibanding
betina, dan ekstrak testikular dan ekstrak vesikula seminalis dapat menarik lebih
banyak betina daripada jantan. Persentase pemijahan tertinggi diperoleh pada
tempat yang diberikan 17α,20β-P dan PGE 2 , sementara jumlah telur yang
dikeluarkan dan pembuahan tertinggi diperoleh pada tempat yang diberikan
PGE 2 . Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa organ seks B. sinensis mengandung
17α-progesteron (17α-P), 17α,20β-P, PGE 2 dan PGF 2 α. Steroid-steroid tersebut
dapat bertindak sebagai feromon seks pada spesies ini yang menarik jantan dan
betina ke tempat pemijahan dan merangsang pemijahan.
Steroid 17α,20β-P juga diketahui sebagai steroid yang berfungsi
mempromosikan inisiasi meiosis sel germinal dan pematangan folikel serta
ovulasi pada betina. Pada jantan steroid ini juga menginisiasi pembelahan meiosis
spermatogonium dan mengendalikan pematangan spermatozoa serta spermiasi
(Mylonas dan Zohar 2001; Yaron dan Levavi-Sivan 2011). Steroid 17α,20β-P
dalam bentuk bebas dan konjugatnya berfungsi sebagai feromon (Yaron dan
Levavi-Sivan 2011).
12
3 METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan bulan
November 2012 di Instalasi Penelitian Plasma Nutfah Perikanan Air Tawar,
Cijeruk, Bogor. Analisis hormon testosteron dan estradiol dilakukan di
Laboratorium Hormon Unit Rehabilitasi dan Reproduksi, Departemen Klinik
Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Materi Uji dan Rancangan Penelitian
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah induk ikan mas
dengan bobot ± 1.5 kg per ekor (betina) dan ± 0.5 kg per ekor (jantan), berasal
dari Instalasi Penelitian Plasma Nutfah Perikanan Air Tawar Cijeruk Bogor
(Gambar 6A). Induk ikan tawes (jantan dan betina) dengan bobot sekitar 0.5 kg
per ekor, berasal dari petani ikan di Desa Petir Kecamatan Darmaga Bogor
(Gambar 6B).
(A)
(B)
Gambar 6 Induk ikan mas (A) dan induk ikan tawes (B)
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan satu faktor dalam
RAL dengan 5 perlakuan dan 3 kali ulangan (Tabel 1 dan Lampiran 1).
Tabel 1
Desain perlakuan pemijahan ikan mas dalam merangsang pemijahan
ikan tawes dalam metode Cangkringan
Perlakuan
A
B
C
D
E
Keterangan
Ikan Mas (♂♂♀ tidak disuntik) dan ikan tawes (♂♀)
Ikan Mas (♂♂♀ disuntik) dan ikan tawes (♂♀)
Ikan Mas (♂♂ tidak disuntik, ♀ disuntik) dan ikan tawes (♂♀)
Ikan Mas (♀♀♀disuntik) dan ikan tawes (♂♀)
Ikan Mas (♀♀♀ tidak disuntik) dan ikan tawes (♂♀)
Metode Penelitian
Persiapan Induk
Induk telah siap digunakan sebagai organisme uji ketika telah matang
gonad. Kematangan gonad pada ikan mas betina ditandai dengan perut yang
membesar, gerakan lamban, lubang genital agak terbuka dan memerah. Pada ikan
13
tawes betina, kematangan gonad ditandai dengan perut yang membuncit pula ke
arah anus dan bila diraba terasa lunak. Tanda lain adalah terlihatnya pembuluh
darah pada sirip dada, sirip perut dan sirip ekor lebih jelas daripada biasanya dan
berwarna kemerah-merahan. Kematangan induk jantan ditunjukkan oleh
keluarnya cairan putih dengan mudah jika perutnya diurut dari bagian perut ke
arah anus.
Persiapan wadah
Wadah yang digunakan berupa bak fiber berbentuk bulat dengan volume
2.25 ton sebanyak 15 unit yang masing-masing di dalamnya ditempatkan hapa
sebagai pemisah antara ikan mas dan ikan tawes (Gambar 7). Kakaban
ditempatkan dalam bak untuk tempat penempelan telur ikan mas. Air dialirkan ke
bak pemijahan hingga tinggi air kira-kira 75 cm setelah pemasangan hapa selesai
kemudian diaerasi. Temperatur berkisar antara 25–27 oC. Pada setiap wadah
ditempatkan kamera perekam dengan jarak 50 cm dari atas permukaan air untuk
pengamatan tingkah laku ikan sebelum, selama dan setelah pemijahan.
Gambar 7 Wadah perlakuan yang digunakan selama penelitian; hapa sebagai
pemisah antara ikan mas dan ikan tawes (panah)
Pemberokan Induk
Induk-induk ikan diberok terlebih dahulu sebelum dipijahkan, yaitu
dengan memelihara induk jantan dan induk betina secara terpisah untuk
menghindari pemijahan liar. Pemberokan juga bertujuan untuk membuang sisa
pakan dan mengurangi lemak pada daerah ovarium induk betina sehingga tidak
mengganggu kelancaran pelepasan telur. Pemberokan ikan mas dilakukan selama
2 hari dan ikan tawes selama 5 hari.
Pengambilan Contoh Telur
Pengambilan contoh telur dilakukan setelah pemberokan untuk keperluan
pengukuran diameter dan melihat posisi inti telur. Pengambilan contoh telur
14
dilakukan dengan metode kanulasi pada semua induk ikan mas dan ikan tawes
(Gambar 8A). Contoh telur diambil minimal sebanyak 30 butir per ekor (Taufek
et al. 2009). Pengamatan posisi inti telur dilakukan dengan meneteskan secara
merata larutan serra (alkohol 99% : formaldehida 40% : asam asetat 100% dengan
perbandingan 6 : 3 : 1) pada sampel telur (Yueh dan Chang 2000; Zarski et al.
2011), kemudian diamati di bawah mikroskop. Diameter telur diukur dengan
menggunakan mikroskop dengan pembesaran 40x yang dilengkapi dengan
mikrometer okuler.
Pengambilan Contoh Darah
Contoh darah diambil untuk keperluan analisis hormon testosteron dan
estradiol. Pengambilan contoh darah dilakukan hanya pada induk ikan mas,
sebanyak dua kali, yaitu sebelum penyuntikan pertama dan setelah pemijahan.
Ikan dianestesi terlebih dahulu sebelum pengambilan contoh darah dengan cara
direndam ke dalam larutan 2-fenoksi etanol (0.3 mL L-1 air media). Ikan
kemudian di beri tanda dan contoh darahnya diambil sebanyak 1.5 mL dari vena
ekor (MUAWC 2008) dengan menggunakan spuit 23G (UNZEN) yang telah diisi
larutan antikoagulan (Natrium citrat hydrat 3.8%) 0.1 mL (Gambar 8B), kemudian
disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm pada suhu 4 oC.
Supernatan berupa plasma diambil kemudian dimasukkan ke dalam tabung
polietilen dan disimpan pada suhu -20 oC sampai saat analisis hormon dilakukan.
Ikan uji kemudian dimasukkan ke dalam bak fiber untuk pemulihan selama 2 jam
sebelum penyuntikan dilakukan.
Penyuntikan Induk
Induk ditimbang terlebih dahulu sebelum penyuntikan dilakukan untuk
menentukan banyaknya hormon yang disuntikkan. Induk disuntik dengan ovaprim
pada dosis 0.6 mL kg-1 bobot tubuh secara intramuskular (Gambar 8C) untuk
merangsang ovulasi. Penyuntikan hanya dilakukan pada ikan mas. Penyuntikan
dilakukan sebanyak 2 kali untuk ikan betina (dosis 30 : 70) dengan interval
penyuntikan masing-masing selama 6 jam dan 1 kali untuk ikan jantan. Pada
perlakuan K(-) atau perlakuan A tidak dilakukan penyuntikan.
(A)
(B)
(C)
Gambar 8 Pengambilan telur dengan metode kanulasi (A); pengambilan sampel
darah dari vena ekor (B); penyuntikan induk dilakukan secara
intramuscular (C)
Pemijahan dengan sistem imbas
Sesaat setelah penyuntikan, induk-induk ikan kemudian dimasukkan
kedalam wadah penelitian. Padat penebaran pada masing-masing bak adalah
15
3 ekor ikan mas (jenis kelamin sesuai perlakuan) dan 2 ekor ikan tawes (1 jantan
+ 1 betina). Setelah penyuntikan kedua pada ikan mas, dilakukan pengamatan
terhadap respon ikan tawes selama 12 jam. Jika induk-induk ikan tawes belum
mijah, maka pengamatan dilanjutkan sampai 36 jam kemudian, dengan interval
pemeriksaan setiap 3 jam.
Parameter Penelitian
Tingkat Kematangan Gonad
Tingkat kematangan gonad pada induk ikan mas dan ikan tawes dapat
dilihat dari diameter dan posisi inti telurnya. Telur yang telah matang memiliki
ukuran diameter maksimum dan inti telur yang tampak jelas, lebih kecil dan
berada di tengah (fase dorman) atau sudah mulai bergerak ke tepi (germinal
vesicle migration, GVM) (Rottmann et al. 1991; Yueh dan Chang 2000).
Tingkah Laku Reproduksi Ikan
Tingkah laku reproduksi ikan dapat dibagi menjadi tiga yaitu tingkah laku
pada fase prapemijahan, pemijahan dan pasca pemijahan. Pengamatan dilakukan
pada ikan mas dan ikan tawes pada ketiga fase tersebut.
Diameter Telur
Pengukuran diameter telur dipengaruhi oleh perbesaran lensa objektif.
Penghitungan pengukuran diameter telur menggunakan rumus :
A = B/C x 0.01 mm
A = ukuran sebenarnya dalam mm, B = nilai yang diperoleh dari pengamatan
mikrometer, C = pembesaran lensa dibagi 100.
Waktu Induk Mencapai Ovulasi
Setelah penyuntikan kedua, dilakukan pencatatan terhadap lama waktu
masing-masing ikan memijah. Waktu ikan mas mencapai ovulasi (WOM)
dihitung sebagai waktu yang diperlukan ikan mas dari mulai penyuntikan kedua
hingga mijah. Waktu ikan tawes mencapai ovulasi (WOT) dihitung sebagai waktu
yang diperlukan ikan tawes mulai dari ikan mas mijah hingga ikan tawes mijah.
Derajat Pemijahan (DP) Ikan Tawes
Persentase induk yang berovulasi ditentukan dari jumlah induk yang
mengalami ovulasi pada setiap perlakuan dibagi dengan total induk pada
perlakuan tersebut dan dinyatakan dalam persen, yaitu dapat dihitung dihitung
dengan menggunakan rumus :
Jumlah induk yang mengalami ovulasi
DP =
x 100 %
Jumlah seluruh induk
Jumlah Telur yang Diovulasikan (TO) pada Ikan Tawes
Jumlah telur yang diovulasikan dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
TO = (Bg/Bs) x N
16
TO = jumlah telur yang diovulasikan, Bg = bobot gonad (g), Bs = bobot sub
sampel gonad (g), N = jumlah telur dalam sub sampel gonad (butir).
Derajat Pembuahan (Fertilization Rate, FR) Telur Ikan Tawes
Derajat pembuahan telur merupakan persentase telur yang dibuahi dari
sejumlah telur yang dipijahkan. Telur yang dibuahi akan tampak berwarna bening
transparan, sedangkan telur yang tidak dibuahi akan berwarna putih keruh.
Derajat pembuahan telur dapat dihitung dengan rumus :
Jumlah telur yang dibuahi
FR =
x 100 %
Jumlah Telur yang dipijahkan
Derajat Penetasan (Hatching Rate, HR) Ikan Tawes
Derajat penetasan pada ikan tawes ditentukan dari jumlah telur yang
menetas dibagi dengan total telur yang dibuahi dan dinyatakan dalam persen.
Derajat penetasan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Jumlah telur yang menetas
HR =
x 100 %
Jumlah Telur yang dibuahi
Konsentrasi Hormon Testosteron dan Estradiol Ikan Mas
Hormon testosteron dan estradiol dianalisis dengan Enzyme Linked Immuno
Absorbent Assay (ELISA).
Parameter Kualitas Air
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap beberapa parameter
kualitas air sebagai data penunjang seperti suhu, DO dan pH.
Analisis Data
Data dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan
gambar.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Kematangan Gonad
Induk-induk ikan yang siap dipijahkan telah matang gonad. Hal ini dapat
dilihat secara visual dengan mengamati ukuran diameter telur dan posisi intinya.
Berdasarkan hasil pengamatan diameter dan posisi inti (germinal vesicle) telur
pada penelitian ini, tampak bahwa induk-induk ikan yang digunakan baik ikan
mas maupun ikan tawes telah matang gonad. Kematangan telur tersebut juga
dapat dilihat dari penampilan telur yang bulat dan seragam ukurannya.
17
Diameter Telur
Ukuran diameter telur pada masing-masing induk ikan mas dan ikan tawes
yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2, Tabel 3 dan Lampiran 2.
Tabel 2 Ukuran diameter (mm) telur ikan mas
A
B
Perlakuan
C
1
1.5±0.12
1.5±0.07
1.6±0.08
2
1.5±0.14
1.4±0.07
1.4±0.10
3
1.4±0.05
1.5±0.06
1.5±0.09
Ulangan
D
1.3±0.18
1.2±0.13
1.8±0.16
1.2±0.04
1.5±0.06
1.7±0.11
1.5±0.05
1.6±0.09
1.6±0.10
E
1.1±0.11
1.6±0.14
1.4±0.17
1.5±0.10
1.5±0.10
1.3±0.10
1.6±0.08
1.5±0.09
1.4±0.10
D
0.7±0.04
0.7±0.05
0.7±0.03
E
0.7±0.05
0.7±0.03
0.7±0.04
n = 30, rerata±simpangan baku
Tabel 3 Ukuran diameter (mm) telur ikan tawes
Perlakuan
Ulangan
1
2
3
A
0.7±0.03
0.7±0.03
0.7±0.03
B
0.7±0.04
0.7±0.05
0.7±0.04
C
0.7±0.04
0.7±0.05
0.7±0.04
n = 30, rerata±simpangan baku
Semakin berkembang tingkat kematangan gonad, diameter telur yang ada
dalam gonad akan menjadi semakin besar sampai mencapai ukuran maksimum.
Secara umum, ukuran diameter telur ikan termasuk ikan mas dan ikan tawes
sangat dipengaruhi oleh umur, lingkungan, genetik, nutrisi dan siklus reproduksi.
Kematangan seksual pada ikan dicirikan oleh perkembangan diameter rata-rata
telur dan melalui distribusi penyebaran ukuran telurnya (Effendie 2002). Telur
yang matang pada ikan zebra (Brachydanio rerio) berbentuk bulat, transparan,
dan tidak terikat satu sama lain, sedangkan telur yang belum matang berwarna
buram, bentuk dan ukurannya tidak teratur dan saling menempel satu sama lain
(Chen dan Martinich 1975).
Berdasarkan kedua tabel di atas terlihat bahwa rata-rata diameter telur ikan
mas berkisar antara 0.99–1.96 mm, sedangkan ikan tawes berkisar antara 0.67–
0.75 mm. Hasil pengukuran diameter oosit matang untuk ikan mas oleh Rottmann
et al. (1991) berkisar antara 0.9–1.2 mm dan Linhart et al. (1995) berkisar antara
1.24–l .42 mm. Hasil penelitian Tempero et al. (2006) menunjukkan bahwa ratarata diameter oosit ikan mas berkisar antara 0.30 dan 1.85 mm dengan rata-rata
diameter oosit matang adalah 1.16 mm. Sementara ukuran diameter oosit matang
pada ikan tawes berkisar antara 0.68 dan 0.78 mm dengan rata-rata 0.70 mm
(Bhuiyan et al. 2006).
18
Posisi Inti Telur
Keberhasilan metode Cangkringan ditandai dengan memijahnya ikan tawes
karena pengaruh pemijahan ikan mas. Keberhasilan tersebut sangat ditentukan
oleh kematangan induk ikan mas dan ikan tawes. Meskipun ukuran diameter telur
beragam, tetapi jika dilihat dari kematangan secara fisiologis, yaitu dari posisi inti
telur semua induk ikan tawes dan ikan mas yang digunakan pada setiap perlakuan
sudah berada pada kondisi siap mijah (Gambar 9 dan Lampiran 3).
(A) 1
(B) 1
(C) 1
(D) 1
(E) 1
(E) 2
(A) 2
(B) 2
(C) 2
(D) 2
(E)2
(A) 3
(B) 3
(C) 3
(D) 3
(E) 3
Gambar 9 Posisi inti telur ikan tawes, inti telur pada fase istrahat (panah putih);
inti telur bergerak ke tepi : GVM (panah hitam)
Pengamatan terhadap posisi inti telur merupakan metode yang baik untuk
menentukan perkembangan dan tingkat kematangan telur. Rottmann et al. (1991)
menyatakan bahwa diameter, penampilan dan posisi inti telur adalah indikator
visual perkembangan telur. Menurut Kucharczyk et al. (2008) posisi inti telur
sebagai tanda kematangan telur, ditentukan dalam empat tahap kematangan yaitu
tahap 1 : inti telur (GV) berada di tengah, tahap 2 : awal migrasi inti (kurang dari
setengah jari-jari telur), tahap 3 : akhir migrasi inti (lebih dari setengah jari-jari
telur), tahap 4 : inti periferal atau germinal vesicle breakdown (GVBD).
Inti telur yang terlihat lebih kecil dari ooplasma dan terletak di tengah
berada pada fase istrahat/dorman, menunggu sinyal pemijahan. Gerakan inti dari
pusat telur ke tepi (germinal vesicle migration) merupakan langkah awal untuk
ovulasi (Woynarovich dan Horvath 1980; Rottmann et al. 1991). Inti telur yang
berada pada posisi lebih dekat ke pusat dibanding ke pertengahan jari-jari telur
diklasifikasikan telah mencapai keadaan matang tahap II (Zarski et al. 2011).
Selanjutnya Yueh dan Chang (2000) menjelaskan bahwa telur yang matang
ditandai dengan ooplasma yang transparan dan inti yang bergerak menuju ke
bagian peripheral.
19
Tingkah Laku Pemijahan
Tingkah laku induk-induk ikan pada semua perlakuan hampir sama sesaat
setelah dimasukkan ke dalam bak pemijahan. Pada perlakuan A, B dan C (♂♂♀),
induk-induk ikan mas baik jantan maupun betina berenang secara perlahan
mengelilingi bak pemijahan dengan arah berbeda satu sama lain. Induk ikan akan
membelokkan badannya ketika bertemu dengan ikan mas lainnya. Demikian pula
pada perlakuan D dan E (♀♀♀), induk-induk ikan berenang perlahan, beriringan,
terkadang berlawanan arah kemudian berbelok, sesekali kepalanya menyundul
kakaban atau diam bergerombol di dasar memperhatikan ikan tawes. Hal yang
sama terjadi pula pada ikan tawes, dimana induk-induk ikan tawes (♂♀) pada
semua perlakuan berenang perlahan sesaat setelah dimasukkan ke dalam bak
pemijahan. Kadang terlihat berenang di bawah kucuran air, terkadang berenang
perlahan mengitari pinggiran sekat hapa kemudian diam memperhatikan ikan mas.
Pada perlakuan B dan C, aktifitas induk-induk ikan mas mulai terlihat aktif
setelah penyuntikan kedua. Ketika mereka aktif secara seksual, ikan mas jantan
mengejar dan menyentuh bagian urogenital ikan mas betina. Terkadang berenang
disamping ikan betina, menempelkan badannya dan mendorong ikan betina
sambil mengitari bak pemijahan. Kadang-kadang ikan akan berenang ke atas
kakaban, untuk mengevaluasi manfaatnya dalam oviposisi (Kobayashi et al.
2002). Selanjutnya pemijahan terjadi, ditandai dengan ikan jantan semakin agresif
mengejar ikan betina, memastikan dirinya selalu berada di samping ikan betina.
Kadang-kadang ikan tersebut menyembulkan kepalanya ke permukaan air.
Gerakan-gerakan ini semakin agresif sehingga menimbulkan percikan-percikan air
ke permukaan. Ikan betina terlihat membalikkan badannya tepat di bawah
kakaban untuk oviposisi. Pada saat itulah ikan jantan berenang cepat melepaskan
sperma untuk membuahi telur. Selama masa pemijahan ikan jantan dan betina
secara langsung menyamakan tingkah lakunya untuk mencapai pelepasan gamet
yang serempak (terkoordinasi) seperti oviposisi dan pelepasan sperma (Liley dan
Stacey 1983). Setelah terjadi pemijahan, air terlihat seperti berminyak, berbusa
dan berbau amis.
Hal yang sama juga terjadi pada ikan tawes. Ketika ikan mas terlihat agresif,
ikan tawes juga mulai menunjukkan perilaku agresif. Ikan-ikan tawes jantan
menempelkan badannya ke badan ikan tawes betina, berputar-putar dan berusaha
untuk menggiring ikan tawes betina dari satu tempat ke tempat lain dengan
gerakan yang cepat disertai suara gaduh berupa dengungan.
Perilaku yang sama juga terjadi pada perlakuan D dan E. Jika waktu untuk
memijah telah tiba, maka perilaku agresif dan kejar-kejaran juga terjadi walaupun
tanpa ikan mas jantan. Namun yang terlihat beda dengan perlakuan lain adalah
ikan tawes lebih dahulu menunjukkan perilaku agresif baru diikuti ikan-ikan mas
betina. Meskipun demikian, ikan tawes tidak mendahului ikan mas untuk
memijah. Ikan tawes memijah mengikuti pemijahan ikan mas dengan interval
waktu antara 51 menit sampai 31 jam 19 menit, dimana pemijahan alami terjadi
dengan interval waktu antara 6 jam 55 menit sampai 8 jam 5 menit (Tabel 4).
Pascapemijahan, induk-iduk ikan mas berenang perlahan. Kadang terlihat
memakan telur-telur yang menempel pada kakaban atau sekat hapa. Oleh karena
itu, ketika kakaban terlihat sudah dipenuhi telur, perlu di pindahkan ke bak
penetasan dan diganti dengan kakaban yang baru.
20
Imbas Pemijahan Ikan Mas Terhadap Ikan Tawes
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa ikan tawes dapat memijah secara
alami atau melalui stripping karena rangsangan ikan mas yang memijah baik
disuntik maupun tidak disuntik ovaprim (Tabel 4 dan Lampiran 4).
Tabel 4 Jumlah ikan mas dan tawes yang mijah, waktu ikan mas mencapai
ovulasi (WOM), waktu ikan tawes mencapai ovulasi (WOT), dan derajat
pemijahan (DP) ikan tawes
Perlakuan
Ulangan
A (♀♂♂
tidak
disuntik)
1
2
3
1
2
3
1
2
3
B (♀♂♂
disuntik)
C (♀
disuntik
♂♂ tidak
disuntik)
D1 (♀♀♀
disuntik)
D2 (♀♀♀
disuntik)
D3 (♀♀♀
disuntik)
E1 (♀♀♀
tidak
disuntik)
E2 (♀♀♀
tidak
disuntik)
E3 (♀♀♀
tidak
disuntik)
Induk ke
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
Pemijahan ikan
mas
Ala
Strip
mi
ping
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
-
Pemijahan
ikan tawes
Ala
Strip
mi
ping
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
-
+
-
+
-
-
+
-
WOM
(jam)
WOT
(jam)
td
6.15”
8.2”
5
*
18.24”
5.13
7.23”
51”
26.3”
6.55”
8.5”
8.33”
11.06”
2.57”
2.57”
18”
18”
td
td
td
td
td
td
td
-
* Mijah sesaat sebelum penyuntikan kedua.
** Mijah alami tanpa penyuntikan, tidak dihitung sebagai kontrol negatif.
td Perlakuan tanpa penyuntikan, waktu pencapaian ovulasi tidak terdeteksi.
DP
tawes
(%)
**
0
100
33.33
-
31.19”
66.67
13.53”
12.2”
-
6.58”
66.67
21
Pencapaian interval waktu imbas tercepat pada pemijahan ikan tawes secara
alami karena pengaruh pemijahan ikan mas terjadi pada perlakuan B3 (K+), yaitu
6 jam 55 menit, kemudian perlakuan E3 yaitu 6 jam 58 menit, dan C3 yaitu 8 jam
5 menit. Begitu pula hasil pengamatan pada jumlah induk ikan tawes yang mijah
karena pengaruh imbas ikan mas, hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan B yaitu
sebesar 100%, kemudian diikuti oleh perlakuan D dan E yang memberikan hasil
yang sama yaitu 66.7%. Hasil terendah diperoleh pada perlakuan C sebesar 33.3%
dan perlakuan A (K-) sebesar 0% (Tabel 4).
Perlakuan B memberikan interval waktu imbas tercepat dan derajat
pemijahan tertinggi, diduga karena penyuntikan ovaprim pada semua induk ikan
mas baik jantan maupun betina pada perlakuan ini membantu meningkatkan
konsentrasi LH. Akibat kerja LH, lapisan teka akan mensintesis hormon 17αhidroksiprogesteron yang kemudian di lapisan granulosa akan diubah oleh enzim
20β-hidroxysteroid dehidrogenase (20β-HSD) menjadi 17α,20β-P yang beraksi
sebagai maturation inducing steroid (MIS) (Zairin 2003; Nagahama et al. 2005;
Nagahama dan Yamashita 2008). Steroid ini akan mendorong inisiasi meiosis inti
dan pematangan folikel serta ovulasi pada betina. Pada jantan steroid ini juga
menginisiasi pembelahan meiosis spermatogonium dan mengendalikan
pematangan spermatozoa serta spermiasi (Mylonas dan Zohar 2001; Yaron dan
Levavi-Sivan 2011). Steroid 17α,20β-P dalam bentuk bebas dan konjugatnya
berfungsi sebagai feromon (Yaron dan Levavi-Sivan 2011).
Selama proses ovulasi dan spermiasi, terjadi perubahan tingkah laku ikan
mas yang menjadi lebih agresif. Perubahan tingkah laku tersebut menyebabkan
banyaknya urin yang dikeluarkan oleh ikan mas yang mengakibatkan banyaknya
feromon yang dilepaskan ke air melalui urin tersebut (Appelt dan Sorensen 2007).
Feromon yang dilepaskan ke air merupakan stimulasi dari ikan mas yang memicu
terjadinya pemijahan pada ikan tawes. Isyarat-isyarat feromon ini pada ikan dapat
masuk melalui organ penciuman (olfactory bulb), kemudian di teruskan ke sistem
syaraf pusat, selanjutnya mengaktifkan poros hipothalamus-pituitari-gonad
(Zielinski dan Hara 2007).
Selanjutnya pada perlakuan D yang juga diinjeksi ovaprim terdapat dua
pasang ikan tawes yang mijah, yaitu pada ulangan ke-2 dan ke-3 dengan jumlah
ikan mas yang memijah masing-masing sebanyak 2 ekor, tetapi pada ulangan ke-1
tidak terjadi pemijahan pada ikan tawes. Hal ini diduga karena feromon yang
dikeluarkan ikan mas betina pada ulangan ini tidak cukup untuk mengimbas
tawes, karena ketiadaan ikan mas jantan. Selain itu hanya terdapat 1 ekor induk
ikan mas yang memijah yang berperan sebagai pengimbas.
Hasil yang sama ditunjukan pada perlakuan E dimana induk-induk ikan
mas tidak diinjeksi ovaprim, namun karena terjadi pemijahan pada ikan mas
sehingga terdapat 2 pasang ikan tawes yang mijah yaitu pada ulangan ke-1 dan
ke-3. Namun demikian pada ulangan ke-2 tidak terjadi pemijahan pada ikan tawes
walaupun semua ikan mas (3 ekor) mijah pada ulangan ini. Diduga telur ikan
tawes pada perlakuan ini belum benar-benar matang. Dugaan lain adalah terdapat
kelebihan metabolit dalam air yang dilepaskan ikan mas pada saat ovulasi yang
menyebabkan ikan tawes tidak terangsang untuk melakukan pemijahan. Aksi
feromon dan metabolitnya yang dikeluarkan pada saat ovulasi mungkin dapat
mengaktifkan atau menonaktifkan poros hipothalamus-pituitari-gonad (Chen dan
Martinich 1975). Sifat kimia dari metabolit penghambat pemijahan tersebut belum
22
diketahui, namun Greene (1966) menduga bahwa metabolit tersebut adalah
amonia.
Pada kedua perlakuan D dan E di atas, tidak terdapat ikan mas jantan
namun ikan mas betina pun dapat mengimbas ikan tawes (DP = 66.7%). Hal ini
disebabkan karena ikan betina juga melepaskan feromon pada saat ovulasi
(Kobayashi et al. 2002; Lim dan Sorensen 2012). Pemijahan ikan mas yang terjadi
pada perlakuan E yang tidak disuntik ovaprim dan tanpa kehadiran ikan jantan,
diduga disebabkan oleh mekanisme stres. Mekanisme ini mengaktifkan poros
hyphothalamus-hipofisis-ginjal-gonad. Gonadotropin tampaknya merangsang
interrenal ginjal untuk memproduksi kortikosteroid yang pada gilirannya beraksi
pada oosit sebagai MIS (Sundararaj dan Goswami 1977) yang membantu gonad
membentuk maturation promoting factor (MPF) yang menyebabkan inti telur
bermigrasi ke arah mikrofil kemudian melebur (Yaron 1995).
Pada perlakuan A1 terjadi pemijahan pada induk ikan mas walaupun indukinduk ikan mas pada perlakuan ini tidak disuntik ovaprim. Hal ini dapat diduga
bahwa gonad ikan betina sudah cukup matang dan didukung oleh kehadiran ikan
jantan sebagai lawan jenis (Woynarovich dan Horvath) dapat merangsang ikan
betina untuk ovulasi. Begitupula ikan jantan akan menunjukkan peningkatan
aktivitas berenang bila terkena bau ikan betina yang matang gonad (Sorensen dan
Stacey 2004). Peningkatan aktivitas berenang tersebut menyebabkan banyaknya
urin yang dikeluarkan oleh ikan mas jantan yang mengakibatkan banyaknya
feromon yang dilepaskan ke air melalui urin (Appelt dan Sorensen 2007).
Pelepasan feromon oleh ikan mas jantan dapat menyebabkan ovulasi pada ikan
mas betina yang selanjutnya memberikan pengaruh imbas pada pemijahan ikan
tawes.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa feromon dari ikan mas yang
berovulasi dapat menyebabkan ikan tawes mijah dan metode Cangkringan
berpotensi tinggi menjadi solusi alternatif pemijahan ikan menggantikan metode
kawin suntik yang menggunakan ekstrak kelenjar hipofisa atau hormon
gonadotropin lain yang selama ini biasa diterapkan dalam akuakultur.
Fekunditas, Derajat Pembuahan (FR) dan Derajat Penetasan Telur (HR)
Hasil perhitungan fekunditas ikan tawes menunjukkan bahwa ikan tawes
yang mijah karena pengaruh imbas ikan mas yang disuntik (perlakuan B, C dan
D) memberikan fekunditas yang tinggi dibanding dengan yang tidak disuntik
(perlakuan A dan E) (Tabel 5 dan Lampiran 5). Fekunditas tertinggi diperoleh
pada perlakuan B, C dan D yaitu masing-masing sebanyak 71 460, 35 730 dan
32 752 butir telur. Hal ini diduga bahwa pengaruh pemberian ovaprim
mengakibatkan tingginya konsentrasi gonadotropin pada induk-induk ikan mas
pada perlakuan ini sehingga feromon yang diberikan cukup kuat untuk
merangsang ikan tawes mijah. Feromon sebagai hormon eksternal, membantu
menaikkan konsentrasi gonadotropin internal ikan tawes sehingga peluang telur
matang dalam gonad semakin tinggi untuk diovulasikan.
23
Tabel 5 Bobot tubuh, fekunditas, derajat pembuahan (FR) dan derajat penetasan
(HR) ikan tawes
Perlakuan
A
B
C
D
E
Bobot ikan
betina (Kg)
0.25
0.56
0.31
0.49
0.42
Fekunditas rata-rata
(butir)
11 910
71 460
35 730
32 752
20 247
FR (%)
HR (%)*
0
79.3
81.3
0
81.7
0
96.7
93.4
0
94.7
* Dihitung dari jumlah telur yang terbuahi.
Derajat pembuahan dan penetasan telur ikan tawes memberikan hasil yang
tinggi dan hampir sama pada semua perlakuan hasil permijahan alami (perlakuan
B, C dan E) masing-masing berkisar antara 79.3–81.7% dan 93.4–96.7% (Tabel
5). Nilai yang hampir sama yang ditunjukkan pada perlakuan-perlakuan tersebut
diduga terjadi karena terdapat pasangan induk ikan tawes dalam jumlah yang
sama pula baik jantan maupun betina pada setiap perlakuan. Namun pada
perlakuan D dan A dimana ikan tawes memijah dengan cara distripping, tidak
terdapat telur yang menetas karena tidak terbuahi.
Derajat pembuahan sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas sperma
yang dipengaruhi oleh nutrisi, musim, temperatur, frekuensi pemakaian jantan dan
hereditas. Banyaknya jumlah sperma yang dikeluarkan dari seekor ikan jantan
bergantung pula kepada umur, ukuran dan frekuensi ejakulasi. Selain itu, tingkat
pembuahan juga dipengaruhi oleh kondisi kematangan telur yang berkaitan
dengan proses vitelogenesis sebelum telur diovulasikan (Zairin et al. 2005).
Derajat penetasan dipengaruhi oleh faktor internal berupa kerja hormon dan
volume kuning telur serta faktor eksternal berupa suhu, oksigen terlarut dan
intensitas cahaya (Affandi dan Tang 2002). Rendahnya derajat pembuahan dan
penetasan pada perlakuan yang memijah secara stripping diduga sangat
dipengaruhi oleh kesalahan manusia.
Telur ikan tawes yang terbuahi berwarna bening transparan dan embrio
berbentuk huruf koma. Telur-telur tersebut umumnya akan menetas selama 2–3
hari setelah masa inkubasi. Larva yang hidup terlihat transparan, berukuran sangat
kecil dan aktif berenang mencari makan, sedangkan larva yang mati berwarna
putih keruh dan melayang di kolom air atau tenggelam di dasar kolam.
Profil Hormon Testosteron (T) dan Estradiol (E 2 ) Ikan Mas
Berdasarkan hasil analisis hormon testosteron dan estradiol pada plasma
ikan mas, diperoleh hasil bahwa nilai T dan E 2 ikan mas berhubungan erat dengan
status pemijahan ikan tawes (Tabel 6 dan Lampiran 6).
24
Tabel 6 Konsentrasi hormon testosteron (T) dan estradiol (E 2 ) ikan mas
Status
pemijahan
Perlakuan
ikan
tawes
Alami
Alin/
Stripping
Tidak
mijah
B3
C3
E3
A1
B1
B2
D2
D3
E1
A2
A3
C1
C2
Konsentrasi hormon pada betina
E 2 (ng mL-1)
Awal
Akhir
0.22
0.89
0.13
0.62
0.39
0.86
1.40
1.46
1.45
1.35
0.37
0.28
0.51
0.40
1.06
1.13
0.46
1.01
0.72
0.72
0.48
3.55
2.70
0.96
0.11
3.23
T (ng mL-1)
Awal
Akhir
0.27
6.76
5.44
3.76
1.04
1.79
1.82
0.79
2.55
2.67
td
td
2.46
0.69
td
td
0.82
2.66
td
td
2.95
>16.8
8.19
1.40
td
td
Konsentrasi
hormon pada
jantan
T (ng mL-1)
Awal
Akhir
1.59
10.19
1.23
7.91
3.21
2.26
2.55
2.44
3.22
0.79
2.48
0.53
2.01
12.83
1.66
td
1.35
0.98
td tidak terdeteksi
Konsentrasi T ikan mas jantan sebesar 2.26–10.19 ng mL-1 pada akhir
pemijahan dapat memberikan pengaruh pemijahan baik secara stripping maupun
secara alami pada ikan tawes (perlakuan B1, A1, B3 dan C3). Testosteron maupun
steroid C19 lainnya diketahui dapat menginduksi peleburan inti pada konsentrasi
yang tinggi (Nagahama dan Yamashita 2008) dan konjugat testosteron yang
dilepaskan ke air bertindak sebagai feromon seks (Yaron dan Levavi-Sivan 2011).
Konsentrasi E 2 ikan mas betina cenderung meningkat dari pemijahan alami
ikan tawes ke tidak memijah. Pada pemijahan alami, terlihat konsentrasi berada di
bawah 1 ng mL-1. Pada pemijahan alin konsentrasi meningkat di atas nilai
1 ng mL-1 pada 66.7% data yang dimiliki. Sedangkan pada ikan tawes yang tidak
memijah, didapatkan informasi nilai konsentrasi meningkat hingga 3 ng mL-1
yang ditunjukkan oleh 50% data yang ada. Konsentrasi E 2 ikan mas betina yang
rendah pada pemijahan alami menunjukkan bahwa konsentrasi steroid C21
terutama 17α,20β-P tinggi (Kobayashi et al. 2002) karena terjadi penurunan
aktivitas enzim aromatase P450 sedangkan aktivitas enzim 20β-HSD meningkat
(Nagahama dan Yamashita 2008). Steroid 17α,20β-P dalam bentuk bebas dan
konjugatnya berfungsi sebagai feromon (Yaron dan Levavi-Sivan 2011).
Konsentrasi T yang terlalu rendah (kurang dari 1 ng mL-1 ; perlakuan A2
dan C2) atau terlalu tinggi (12.83 ng mL-1 pada ikan mas jantan dan
>16.8 ng mL-1 pada ikan mas betina ; perlakuan A3) tidak memberikan pengaruh
pemijahan pada ikan tawes. Hasil yang sama dilaporkan Simanjuntak (2013)
bahwa konsentrasi T yang tinggi (10.42–15.46 ng mL-1) pada ikan mas jantan
pada akhir pemijahan tidak memberikan pengaruh pemijahan pada ikan tawes.
25
Kualitas air
Dalam penelitian ini kualitas air yang diukur meliputi pH, oksigen terlarut
dan suhu. Nilai pH, oksigen terlarut dan suhu air selama penelitian berada pada
kisaran yang dapat ditoleransi oleh ikan mas dan ikan tawes, yaitu suhu
25–27 oC, oksigen terlarut 6.10–6.75 mg L-1 dan pH 6.5. Kondisi ini masih pada
kisaran optimum bagi ikan mas dan ikan tawes (Tabel 7).
Tabel 7 Nilai parameter kualitas air selama penelitian
Parameter kualitas air
Suhu (o C)
Oksigen terlarut (mg L-1)
pH
Nilai
pengukuran
25–27
6.10–6.75
6.5
Nilai
optimum
25–30
>5
6.5–8.5
Pustaka
SNI 1999
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Ikan mas betina yang berovulasi, baik secara alami maupun dengan suntikan
ovaprim dapat memberikan pengaruh imbas pada pemijahan ikan tawes. Pengaruh
tersebut dapat disebabkan baik berpasangan dengan jantan (heteroseks: ♂♂♀)
maupun pasangan monoseks betina (♀♀♀) saja. Namun keberadaan ikan mas
jantan memberikan pengaruh yang lebih kuat.
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui organ yang berperan
melepaskan feromon pada ikan mas dan organ yang menerima sinyal feromon
pada ikan tawes.
26
DAFTAR PUSTAKA
Affandi R, Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. Pekanbaru: UNRI Press.
Appelt CW, Sorensen PW. 2007. Female golfish signal spawning readiness by
altering when and where they release a urinary pheromone. Anim
Behaviour 74:1329-1338.
Arukwe A, Goksoyr A. 2003. Eggshell and egg yolk proteins in fish: hepatic
proteins for the next generation: oogenetic, population, and evolutionary
implications of endocrine disruption. Comp Hepatol 2:1-21.
Bhatt JP, Sajwan MS. 2001. Ovarian steroid sulphate functions as priming
pheromone in male Barilius bendelisis (Ham). J Biosci 26:253–263.
Bhuiyan AS, Islam K, Zaman T. 2006. Fecqundity and ovarian characteristics of
Puntius gonionotus (Bloch/Bleeker) (Cyprinidae: Cypriniformes). J Biosci
14:99-102.
Burnard D, Gozlan RE, Griffiths SW. 2008. The role of pheromones in freshwater
fishes. J Fish Biol 73:1-16.
Chen L, Martinich RL. 1975. Pheromonal stimulation and metabolite inhibition of
ovulation in the zebrafish, Brachydanio rerio. Fish Bull: 73:889894.Department of Zoology, San Diego State University. San Diego.
Dorafshan S, Mostafavi H, Amiri BM. 2003. Induction of spawning in Common
Carp (Cyprinus carpio) using pituitary extract and GnRH analogue in
combination with Domperidone. Iranian J Biotechnol 1:213-217.
Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
163 hal.
Greene GN. 1966. A reproduction control factor in the Cyprinids fish,
Branchdanio rerio. FAO (Food Agricultural Organization). Fish Repr
44:86-92.
Hong WS, Chen SX, Zhang QY, Zheng WY. 2006. Sex organ extract and
artificial hormonal compounds as sex pheromones to atdract broodfish and
to induce spawning of Chinese black sleeper (Bostrichthys sinensis
Lacepede). Aquaculture Res 37:529-534.
Kobayashi M, Sorensen PW, Stacey NE. 2002. Hormonal and pheromonal control
of spawning behavior in the goldfish. Fish Physiol Biochem 26:71-84.
Kottelat M, Whitden AJ, Kartikasari SN, Wiroatmodjo S. 1993. Freshwater fishes
of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Edition (HK) Ltd. Jakarta.
Kucharczyk D, Targonska K, Hliwa P, Gomułka P, Kwiatkowski M, Krejszeff S,
Perkowski J. 2008. Reproductive parameters of common carp (Cyprinus
carpio L) spawners during natural season and aout-of-season spawning.
Repr Biol 8:285-289.
27
Lestari KL. 1998. Deskripsi mengenai pemijahan ikan tawes (Puntius javanicus
Blkr) dengan cara induksi [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Liley NR, Stacey NE. 1983. Hormones, pheromones, and reproductive behaviour
in fish. Di dalam: Hoar WS, Randall DJ, Donaldson EM, editor. Fish
Physiol. Volume ke-9. New York: Academic Press
Lim H, Sorensen PW. 2012. Common carp implanted with prostaglandin F 2α
release a sex pheromone complex that atdracts conspecific males in both
the laboratory and field. J Chem Ecol:Springer. 10 hlm
Linhart O, Kudob S, Billard R, Slechtad V, Mikodina EV. 1995. Morphology,
composition and fertilization of carp eggs: a review. Aquaculture 129:7593
Little E, Calfee R, Puglis H, Sorensen P, Gilligan D. 2011. Pheromones. U.S.
Army Corps of Engineers Great Lakes and Mississippi River Interbasin
Study. hlm 1-3
Matty AJ. 1985. Fish Endocrinology. Portland Oregon: Croom Helm London &
Sidney Timber Press
[MUAWC] Monash University Animal Welfare Committee. 2008. Blood
collection guidelines. Monash University. hlm 1-10
Mylonas CC, Zohar Y. 2001. Endocrine regulation and artificial induction of
oocyte maturation and spermiation in basses of the genus Morone.
Aquaculture. 202:205-220
Nagahama Y.1994. Review, Endocrine regulation of gametogenesis in fish. Int J
Dev Biol. 38: 217-229
Nagahama Y, Yoshikuni M, Yamashita M, Tanaka M. 1995. Regulation of oocyte
maturation in fish. Di dalam: Hoar WS, Randall DJ, Donaldson EM,
editor. Fish Physiol. Volume ke-13. New York: Academic Press
Nagahama Y, Yamashita M. 2008. Review, Regulation of oocyte maturation in
fish. Develop Growth Differ 50:S195–S219
Ohga H, Kaneko K, Shimizu A, Kitano H, Selvaraj S, Nyuji M, Adachi H,
Yamaguchi A, Matsuyama M. 2012. Steroidogenic and maturationinducing potency of native gonadotropic hormones in female chub
mackerel, Scomber japonicus. Repr Biol Endocrinol. BioMed Central.
20 hlm
Pavlidis M, Dimitriou D, Dessypris A. 1994. Testosteron and 17β-estradiol
plasma fluctuations throughout spawning period in male and female
rainbow trout, Oncorhynchus mykiss (Walbaum), kept under several
photoperiod regimes. Ann Zool Fennici 31:319-327
Rottmann RW, Shireman JV, Chapman FA. 1991. Determining sexual maturity
of broodstock for induced spawning of fish. SRAC Publication No. 423.
Southern Regional Aquaculture Center. Institute of Food and Agricultural
Services, University of Florida. hlm 1-4
28
Shirali S, Majd NE, Mesbah M, Reza Seifi MR. 2012. Histological studies of
Common Carp ovarian development during breeding season in
Khouzestan Province, Iran. World J Fish Mar Sci 4:159-164
Simanjuntak L. 2013. Peran ikan mas (Cyprinus carpio) jantan dalam merangsang
pemijahan ikan tawes (Barbonymus gonionotus) dengan metode
Cangkringan [tesis]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1999. Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus
carpio Linnaeus) Strain Majalaya Kelas Benih Sebar. (SNI 01-61331999). Jakarta: Badan Standarisasi Nasional Indonesia.
Soedarman. 1979. Memijahkan ikan tawes (Puntius javanicus Blkr) dengan
"sistim Cangkringan". Dinas Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta.
27 hlm
Sorensen PW, Stacey NE. 2004. Brief review of fish pheromones and discussion
of their possibe uses in the control of non-indigenous teleost fishes. NZ J
Mar Freshwater Res 38:399-417
Srijunngam J, Kitana N, Callard IP, Watdanasirmkit K. 2005. Ultrastructural
changes in the ovarian follicular wall during oocyte growth in the Nile
Tilapia, Oreochromis niloticus Linn. The Nat History J Chulalongkorn
Univ 5:21-30
Stacey NE, Sorensen PW. 2006. Reproductive pheromones. Di dalam: Sloman
KA, Wilson RW, Balshine S, Farrel AP, Brauner CJ, editor. Behaviour
and Physiology of Fish. Fish Physiol. Volume ke-24. USA: Elsevier
Academic Press publication. hlm 359-400.
Stacey NE, Van Der Kraak GJ, Olsen KH. 2012. Male primer endocrine responses
to preovulatory female cyprinids under natural conditions in Sweden.
J Fish Biol 80:147-165
Sundararaj BI, Goswami SV. 1977. Hormonal regulation of in vivo and in vitro
oocyte maturation in the catfish, Heteropneustes fossilis (Bloch). General
Comp Endocrinol 32:17-28
Sumantadinata K. 1983. Pengembangbiakan ikan-ikan peliharaan di Indonesia.
Bogor: Sastra Hudaya
Taufek N, Harmin SA, Christianus A. 2009. Effect of chicken gonadotropinreleasing hormone (cGnRH-II) on plasma steroid hormone, maturation and
ovulation in African catfish, Clarias gariepinus (Burchell). African
J Biotechnol 8:6700-6709
Tempero GW, Ling N, Hicks BJ, Osbome MW. 2006. Age composition, growth,
and reproduction of Koi Carp (Cyprinus carpio) in the lower Waikato
region, New Zealand. NZ J Mar Freshwater Res 40:571-583
Unal G, Karakisi H, Elp M. 2005. Ovarian follicle ultrastructure and changes in
levels of ovarian steroids during oogenesis in Chalcalburnus tarichi
Pallas. Turk J Vet Anim Sci 29:645-653
29
Woynarovich E, Horvath L. 1980. The artificial propagation of warm-water
finfishes. A manual for extension. FAO Fisheries Technical Paper No.
201. Rome. Food and Agriculture Organization of the United Nation
Yambe H, Kitamura S, Kamio M, Yamada M, Matsunaga M, Fusetani M,
Yamazaki F. 2006. L-Kynurenine, an amino acid identified as a sex
pheromone in the urine of ovulate female Masu Salmon. Proc Nat Acad
Sci 103:15370-15374
Yaron Z. 1995. Endocrine control of gametogenesis and spawning induction in
the Carp. Aquaculture 129:49-73
Yaron Z, Levavi-Sivan B. 2011. Endocrine regulation of fish reproduction.
Di dalam: Farrell AP, editor. Encyclopedia of Fish Physiology: From
Genome to Environment. Volume ke-2. San Diego: Academic Press. hlm
1500–1508.
Yueh WS, Chang CF. 2000. Morphological changes and competence of maturing
oocytes in the Protandrous Black Porgy, Acanthopagrus schlegeli. Zool
Stud 39:114-122
Zairin Jr M. 2003. Endokrinologi dan peranannya bagi masa depan perikanan
Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Fisiologi Reproduksi dan
Endokrinologi Hewan Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. 70 hlm
Zairin Jr M, Sari RK, Raswin M. 2005. Pemijahan ikan tawes dengan sistem
imbas menggunakan ikan mas sebagai pemicu. J Akuakultur Indonesia
4:103–108
Zaki MI, Negm RK, El-Agamy A, Awad GS. 2005. Ovarian follicular
ultrastructure of the oocytes of Boops boops with special reference to the
vitelline envelope development and micropylar apparatus. Egyptian
J Aquatic Res 31:326-356
Zarski D, Palinska K, Targonska K, Bokor Z, Kotrik L, Krejszeff S, Kupren K,
Horvath A, Urbanyi B, Kucharczyk D. 2011. Oocyte quality indicators in
Eurasian perch, Perca fluviatilis L., during reproduction under controlled
conditions. Aquaculture 313:84–91
Zheng W, Strobeck C, Stacey N. 1997. The steroid pheromone 4-pregnen17α,20β-diol-3-one increases. J Experiment Biol 200: 2833–2840
Zielinski BS, Hara TJ. 2007. Olfaction. Fish Physiol: Sensory Systems Neurosci.
Volume ke-25. Elsevier Inc. hlm 1-43
30
Lampiran 1 Desain percobaan
31
Lampiran 2 Diameter telur ikan mas dan ikan tawes pada ulangan 1, 2, dan 3
Descriptive Statistics: A, B, C, D1, D2, D3, E1, E2, E3 (Ikan mas ulangan 1)
Variabel
A
B
C
D1
D2
D3
E1
E2
E3
Total
Count
30
30
30
30
30
30
30
30
30
N
N*
Mean
StDev
30
30
30
30
30
30
30
30
30
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1.4725
1.5092
1.5700
1.2892
1.2308
1.7508
1.1317
1.6142
1.3992
0.1209
0.0699
0.0824
0.1767
0.1254
0.1619
0.1077
0.1374
0.1656
Descriptive Statistics: A, B, C, D, E (Ikan tawes ulangan 1)
Variabel
A
B
C
D
E
Total
Count
30
30
30
30
30
N
N*
Mean
StDev
30
30
30
30
30
0
0
0
0
0
0.73417
0.66250
0.69500
0.65250
0.67750
0.02665
0.03520
0.03560
0.04012
0.04659
Descriptive Statistics: A, B, C, D1, D2, D3, E1, E2, E3 (Ikan mas ulangan 2)
Variabel
A
B
C
D1
D2
D3
E1
E2
E3
Total
Count
30
30
30
30
30
30
30
30
30
N
N*
Mean
StDev
30
30
30
30
30
30
30
30
30
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1.4500
1.4375
1.3875
1.1558
1.5392
1.6658
1.4650
1.5158
1.3317
0.1376
0.0739
0.1017
0.1017
0.0424
0.0615
0.1111
0.0990
0.1000
32
Descriptive Statistics: A, B, C, D, E (ikan tawes ulangan 2)
Variabel
A
B
C
D
E
Total
Count
30
30
30
30
30
N
N*
Mean
StDev
30
30
30
30
30
0
0
0
0
0
0.71833
0.71500
0.70500
0.69833
0.68000
0.02780
0.04807
0.04707
0.04822
0.03243
Descriptive Statistics: A, B, C, D1, D2, D3, E1, E2, E3 (ikan mas ulangan 3)
Variabel
A
B
C
D1
D2
D3
E1
E2
E3
Total
Count
30
30
30
30
30
30
30
30
30
N
N*
Mean
StDev
30
30
30
30
30
30
30
30
30
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1.3917
1.5108
1.5333
1.4700
1.5600
1.5600
1.5625
1.4617
1.4258
0.0461
0.0649
0.0862
0.0506
0.0899
0.0964
0.0825
0.0880
0.0986
Descriptive Statistics: A, B, C, D, E (Ikan tawes ulangan 3)
Variabel
A
B
C
D
E
Total
Count
30
30
30
30
30
N
N*
Mean
StDev
30
30
30
30
30
0
0
0
0
0
0.67667
0.69583
0.66917
0.70083
0.71667
0.02537
0.03601
0.03695
0.03314
0.03556
33
Lampiran 3 Posisi inti telur (panah) ikan mas pada ulangan I, II dan III
(A)1
(B) 1
(C) 1
(D1) 1
(D2) 1
(D3) 1
(E1) 1
(E2) 1
(E3) 1
(A) 2
(D1) 2
(B) 2
(D2) 2
(C)2
(D3) 2
34
(E1)
(A) 3
(D1) 3
(E1) 3
(E2) 2
(E3) 2
(B)3
(C)3
(D2) 3
(D3) 3
(E2) 3
(E3) 3
35
Lampiran 4 Waktu suntik, waktu ovulasi/pemijahan
ovulasi/pemijahan ikan tawes
Perlakuan
A (♀♂♂ tidak
disuntik)
B (♀♂♂
disuntik)
C (♀ disuntik
♂♂ tidak
disuntik)
Ulangan
Tanggal
13/8/12
3/10/12
8/11/12
13/8/12
3/10/12
8/11/12
13/8/12
3/10/12
8/11/12
Ke1
2
3
1
2
3
1
2
3
Tanggal
Induk
ke
D1 (♀♀♀
disuntik)
13/8/12
D2 (♀♀♀
disuntik)
3/10/12
D3 (♀♀♀
disuntik)
8/11/12
E1 (♀♀♀
tidak
disuntik)
E2 (♀♀♀
tidak
disuntik)
E3 (♀♀♀
tidak
disuntik)
13/8/12
3/10/12
8/11/12
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
ikan
Suntik
I
(WIB)
16.10
17.05
16.01
16.11
17.06
16.03
Suntik
II
(WIB)
22.10
23.10
22.00
23.12
22.03
Ovulasi /
pemijahan mas
Tanggal (WIB)
02.50
15/8/12
04.25
14/8/12
07.12
4/10/12
03.00
9/11/12
22.00
13/8/12
17.36
4/10/12
03.16
9/11/12
16.14
16.15
16.15
17.06
17.07
17.07
16.03
16.03
16.04
-
22.14
22.14
22.14
23.14
23.15
23.15
22.04
22.04
22.04
-
14/8/12
14/8/12
4/10/12
4/10/12
8/11/12
8/11/12
14/8/12
14/8/12
4/10/12
4/10/12
4/10/12
9/11/12
9/11/12
-
06.47
09.20
02.11
02.11
22.22
22.22
22.58
22.58
17.36
17.36
17.36
02.37
02.37
mas,
waktu
Ovulasi /
pemijahan tawes
Tanggal (WIB)
15/8/12
10.27
14/8/12
05.16
5/10/12
09.15
9/11/12
09.55
9/11/12
10.49
-
-
5/10/12
09.30
9/11/12
11.15
15/8/12
11.00
-
-
9/11/12
08.00
36
Lampiran 5 Fekunditas, derajat pembuahan (FR) dan derajat penetasan (HR)
ikan tawes
Perlakuan
Ulangan
A
1
2
3
Bobot tubuh
(g)
250
610
330
1
2
3
300
620
760
1
2
3
160
830
310
1
2
3
200
750
220
1
2
3
600
500
240
Rata-rata
B
Rata-rata
C
Rata-rata
D
Rata-rata
E
Rata-rata
Total
Rata-rata
* FR dan HR = 0 pada pemijahan secara stripping
** Dihitung dari jumlah telur yang terbuahi
Fekunditas
(butir)
11910
11910
83370
23820
107190
71460
35730
35730
35730
29775
32752.5
4764
35730
20247
160189.5
40047.38
FR (%)
HR (%)**
*
-
*
-
*
*
79.33
*
*
96.69
81.33
93.43
*
*
*
*
*
81.67
*
94.71
37
Lampiran 6 Konsentrasi hormon testosteron (T) dan estradiol (E 2 ) pada setiap
perlakuan
Perlakuan
A1
A2
A3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
D1
D2
D3
E1
E2
E3
Sex
♀
♂
♂
♀
♂
♂
♀
♂
♂
♀
♂
♂
♀
♂
♂
♀
♂
♂
♀
♂
♂
♀
♂
♂
♀
♂
♂
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
♀
Konsentrasi (ng/ml)
T
E2
Awal Akhir Awal Akhir
1.82
0.79
1.40
1.46
3.21
2.26
*
*
td
td
*
*
td
td
0.72
0.72
2.63
td
*
*
2.32
0.53
*
*
2.95 >16.8 0.48
3.55
1.53 16.21
*
*
2.48
9.44
*
*
td
2.89
1.45
1.35
2.55
2.44
*
*
td
td
*
*
td
td
0.37
0.28
4.67
0.79
*
*
1.77
td
*
*
0.27
6.76
0.22
0.89
0.75
3.57
*
*
2.42 >16.8
*
*
8.19
1.40
2.70
0.96
1.66
td
*
*
td
td
*
*
td
td
0.11
3.23
0.76
1.04
*
*
1.93
0.91
*
*
5.44
3.76
0.13
0.62
1.30
5.96
*
*
0.09
3.02
*
*
2.11
3.06
0.63
2.79
td
0.89
td
0.89
td
td
td
1.40
td
td
0.55
6.20
2.46
0.69
0.64
0.58
td
td
0.38
0.21
td
td
0.58
1.44
td
td
0.44
0.60
td
td
1.53
0.81
0.82
5.07
0.46
1.50
td
0.24
td
0.33
td
td
td
0.92
td
td
0.26
td
td
td
0.10
0.22
td
td
0.29
0.47
1.43
2.84
0.42
0.86
0.65
0.73
0.35
td
3.21 >16.8 0.74
3.74
Pemijahan ikan
mas
Alami
Alin
Pemijahan ikan
tawes
Alami
Alin
+
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
+
+
-
-
+
+
-
+
-
+
-
-
-
+
-
-
-
+
-
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
-
-
-
-
+
-
+
-
+
-
-
+
-
* Tidak dilakukan analisis estradiol pada ikan jantan; td Tidak terdeteksi
38
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Waha Tomia, Sulawesi Tenggara, pada tanggal
12 Mei 1983, sebagai putri kedua dari tujuh bersaudara, dari pasangan Bapak
Mashud Ade Basu, S.Pd dan Ibu Mahadiah (Alm).
Tahun 2000, penulis lulus dari SMA Negeri 1 Tomia Kabupaten
Wakatobi, dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Jurusan
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Dayanu
Ikhsanuddin Baubau Sulawesi Tenggara. Penulis menikah dengan Lukmanul
Hakim dan telah dikaruniai seorang putri Fathimah (21 bulan). Sejak tahun 2006
penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau
dan melanjutkan studi strata dua (S2) pada Agustus 2010 dengan bantuan dana
dari Kementerian Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
melalui Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) pada Mayor Ilmu Akuakultur
Sekolah Pascasarjana IPB.
Download