PERAN MRI DALAM DIAGNOSTIK KANKER SERVIK dr. I Nyoman Gede Budiana, SpOG(K) BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR 2014 BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kanker serviks merupakan penyebab utama di seluruh dunia kematian terkait jenis kanker pada wanita, terutama di negara-negara berkembang. Insiden kanker serviks dunia diperkirakan 496.000 kasus baru pertahun dimana 75-80% terdapat di negara-negara sedang berkembang; termasuk Indonesia(Parkin dkk, 2006). Di Asia Tenggara pada tahun 2002, insiden kanker serviks adalah 42.538 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 22.594 (Azis, 2009). Di Indonesia, prevalensi kanker serviks adalah 27% dari seluruh jenis kanker pada wanita dan menempati urutan pertama selama 3 dasa warsa (POI, 2010). Sementara di Bali, insiden kanker serviks adalah 0,98% atau 150/100.000 wanita berisiko (See and Treat Bali, 2008). Selain itu,terdapat kecenderungan peningkatan insiden kanker serviks di dunia yaitu dari 2,7‰ pada tahun 1972 menjadi 3,0‰ pada tahun 1989 dan 4,1‰ pada tahun 1998(WHO, 2000). Hal yang sama juga terjadi di Indonesia dimana insiden kanker serviks mengikuti hukum alam, termasuk Provinsi Bali. Kematian akibat kanker serviks di dunia bervariasi terkait dengan stadium ketika diagnosis ditegakkan. Di Eropa dan Amerika, kanker serviks menduduki posisi kedua setelah kanker payudara akan tetapi merupakan penyebab kematian nomor enam (Ferlay dkk, 2004).Di Indonesia, setiap satu jam terjadi kematian oleh kanker serviks (Depkes, 2008). Sementara di Bali, terdapat satu kematian setiap dua hari (Suwiyoga, 2010). Mortalitas kanker serviks masih menempati urutan teratas terkait dengan keterlambatan diagnosis (Schellekens dkk, 2004). Berbagai upaya telah dilakukan untuk menurunkan insiden dan mortalitas kanker serviks melalui prevensi primer seperti penyuluhan dan vaksinasi. Dan prevensi sekunder melalui papsmear,kolposkopi,inspeksi visual asam asetat. Akan tetapi upaya menurunkan mortalitas melalui diagnosis dini dan penanganan yang memadai tersebut tampaknya belum membuahkan hasil yang memadai (Azis, 2009). Penyebab kanker serviks adalah infeksi human papillomavirus (HPV) kelompok onkogenik risiko tinggi, terutama HPV-16 dan 18yaitu mencapai 73,5% (Suwiyoga, 2005; Doorbar, 2006). Infeksi HPV merupakan hal yang sering dimana sepanjang hidup seorang wanita berisiko menderita infeksi HPV adalah 80% (Snijder, 2006). Sebagian besar infeksi ini terjadi transien dan segera dibersihkan oleh sistem imun dalam 1-2 tahun(Ho dkk, 2009). Akan tetapi, respon imun humoral pada infeksi HPV alamiah adalah rendah, karena virus HPV umumnya tidak masuk ke pembuluh darah. Selain itu, kurang dari 5% keberadaan virus ini diisolasi dalam darah penderita yang menunjukkan bahwa HPV berafinitas kuat dengan sel epitel mukosa Federasi Internasional Ginekologi dan Obstetri merekomendasikan penetapan stadium selama operasi , namun, penetapan stadium saat operasi tidak akurat dalam kasus kanker yang lebih lanjut. Umumnya , dalam kasus ini , penetapan stadium dilakukan dengan cara pemeriksaan klinis dan ginekologi dan analisa pencitraan dasar . Pendekatan semacam itu gagal untuk menunjukkan sejauh mana sebenarnya penyakit , dan tidak termasuk faktor prognostik yang signifikan seperti volume tumor , invasi stroma dan keterlibatan kelenjar getah bening . Magnetic Resonance Imaging telah semakin digunakan dalam penetapan stadium kanker serviks , karena pada tahap awal penyakit ini kinerjanya dapat dibandingkan dengan temuan intraoperatif dan , pada stadium lanjut , hal itu menunjukkan lebih unggul evaluasi klinis . Selain itu pencitraan resonansi magnetik menyajikan resolusi gambar yang sangat baik untuk kepadatan yang berbeda dari struktur panggul , tidak memerlukan radiasi pengion , nyaman bagi pasien. Meningkatnya penetapan stadium dengan MRI , memungkinkan deteksi dini kekambuhan dan identifikasi faktor-faktor prognostik yang handal yang berkontribusi proses pengambilan keputusan dan hasil prediksi terapi dengan efektivitas biaya yang sangat baik . Federasi Internasional Ginekologi dan Obstetri merekomendasikan penentuan stadium selama operasi , namun, penentuan stadium bedah - patologis tidak akan layak dalam kasus kanker yang lebih maju . Umumnya , dalam kasus ini , penentuan stadium dilakukan dengan cara pemeriksaan klinis dan ginekologi dan studi pencitraan dasar . Namun, pendekatan semacam itu gagal untuk menunjukkan sejauh mana sebenarnya penyakit , dan tidak termasuk faktor prognostik yang signifikan seperti volume tumor , invasi stroma dan keterlibatan kelenjar getah bening . Magnetic Resonance Imaging telah semakin digunakan dalam penentuan stadium kanker serviks , karena pada tahap awal penyakit ini kinerjanya dapat dibandingkan dengan temuan intraoperatif dan , pada stadium lanjut , hal itu menunjukkan lebih unggul evaluasi klinis . Selain itu , pencitraan resonansi magnetik menyajikan resolusi gambar yang sangat baik untuk kepadatan yang berbeda dari struktur panggul , tidak memerlukan radiasi pengion , nyaman bagi pasien , meningkatkan de penentuan stadium , memungkinkan deteksi dini kekambuhan dan identifikasi faktor-faktor prognostik yang handal yang berkontribusi proses pengambilan keputusan dan hasil prediksi terapi dengan efektivitas biaya yang sangat baik . Artikel ini ditujukan untuk mengkaji aspek yang paling penting dari pencitraan resonansi magnetik pada stadium kanker serviks . Saat ini, karsinoma serviks uterus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan.Meskipun kelangsungan hidup lebih lama dari pasien karena diagnosis awal dan terapi yang lebih efektif, penyakit ini masih tetap sebagai penyebab utama kematian terkait kanker perempuan di sebagian besar negara-negara berkembang (1).Karsinoma serviks adalah penyakit tumbuh lambat, biasanya menyerang vagina dan ruang paraserviks sepanjang parametrium dan ligamentum uterosakrum.Juga, kandung kemih, rektum, panggul dan kelenjar getah bening paraaortik dapat menyerang (2).Pola penyebaran panggul karsinoma serviks membatasi pemanfaatan bedah pengobatan untuk tahap awal penyakit ini, mengingat kurangnya margin keamanan dalam reseksi tumor yang mungkin sudah mempengaruhi ruang paraserviks.Penentuan stadium yang direkomendasikan oleh International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) diadopsi secara luas baik untuk perencanaan terapi dan terapi pasca-ikutan, namun telah terbukti tidak akurat dalam estimasi tingkat tumor yang sebenarnya. Namun, di negara berkembang, peralatan pencitraan dasar tidak selalu tersedia secara luas dalam pelayanan kesehatan, maka pemeriksaan ginekologi akhirnya menjadi alternatif utama untuk penentuan stadium karsinoma serviks. Keterlibatan parametrium dievaluasi dengan pemeriksaan rektal merupakan parameter yang sering ciri karsinoma stadium lanjut (6). Kesalahan dapat terjadi, terutama akibat meremehkan jumlah penyakit sebagai konsekuensi dari keterbatasan pemeriksaan klinis-ginekologi (7) . BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Kanker Serviks 2.1.1 Pengertian kanker serviks dan penyebabnya Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di daerah skuamokolumner junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina. Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim. Kanker seviks uteri adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa. Sebelum terjadinya kanker, akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker atau neoplasia intraepitel serviks (NIS). Penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat teridentifikasi yang 40 di antaranya dapat ditularkan lewat hubungan seksual. Beberapa tipe HPV virus risiko rendah jarang menimbulkan kanker, sedangkan tipe yang lain bersifat virus risiko tinggi. Baik tipe risiko tinggi maupun tipe risiko rendah dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal pada sel tetapi pada umumnya hanya HPV tipe risiko tinggi yang dapat memicu kanker. Virus HPV risiko tinggi yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual adalah tipe 7,16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, dan mungkin masih terdapat beberapa tipe yang lain. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker leher rahim disebabkan oleh tipe 16 dan 18.Yang membedakan antara HPV risiko tinggi dengan HPV risiko rendah adalah satu asam amino saja.Asam amino tersebut adalah aspartat pada HPV risiko tinggi dan glisin pada HPV risiko rendah dan sedang (Gastout et al, 1996).Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri menyebabkan lebih dari 50% kanker leher rahim. Seseorang yang sudah terkena infeksi HPV 16 memiliki resiko kemungkinan terkena kanker leher rahim sebesar 5%. Dinyatakan pula bahwa tidak terdapat perbedaan probabilitas terjadinya kanker serviks pada infeksi HPV16 dan infeksi HPV-18 baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan (Bosch et al, 2002). Akan tetapi sifat onkogenik HPV-18 lebih tinggi daripada HPV-16 yang dibuktikan pada sel kultur dimana transformasi HPV-18 adalah 5 kali lebih besar dibandingkan dengan HPV-16. Selain itu, didapatkan pula bahwa respon imun pada HPV-18 dapat meningkatkan virulensi virus dimana mekanismenya belum jelas. HPV-16 berhubungan dengan skuamous cell carcinoma serviks sedangkan HPV-18 berhubungan dengan adenocarcinoma serviks. Prognosis dari adenocarcinoma kanker serviks lebih buruk dibandingkan squamous cell carcinoma. Peran infeksi HPV sebagai faktor risiko mayor kanker serviks telah mendekati kesepakatan, tanpa mengecilkan arti faktor risiko minor seperti umur, paritas, aktivitas seksual dini/prilaku seksual, dan merokok, pil kontrasepsi, genetik, infeksi virus lain dan beberapa infeksi kronis lain pada serviks seperti klamidia trakomatis dan HSV-2 (Hacker, 2000). 2.1.2 Faktor resiko Kanker Serviks Menurut Diananda (2007), faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu : • Usia> 35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kanker leher rahim. Semakin tua usia seseorang, maka semakin meningkat risiko terjadinya kanker laher rahim. Meningkatnya risiko kanker leher rahim pada usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia. • Usia pertama kali menikah. Menikah pada usia kurang 20 tahun dianggap terlalu muda untuk melakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker leher rahim 10-12 kali lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia > 20 tahun. Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita benarbenar matang.Ukuran kematangan bukan hanya dilihat dari sudah menstruasi atau belum.Kematangan juga bergantung pada sel-sel mukosa yang terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh.Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun ke atas. Jadi, seorang wanita yang menjalin hubungan seks pada usia remaja, paling rawan bila dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang. Artinya, masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih rentan, sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker.Sifat sel kanker selalu berubah setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi.Dengan adanya rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari sel yang mati, sehingga perubahannya tidak seimbang lagi.Kelebihan sel ini akhirnya bisa berubah sifat menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks dilakukan pada usia di atas 20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi terlalu rentan terhadap perubahan. Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi, dan sering berganti-ganti pasangan. Berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan mengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi lebih banyak sehingga tidak terkendali sehingga menjadi kanker. Penggunaan antiseptik. Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan antiseptik maupun deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks yang merangsang terjadinya kanker. Wanita yang merokok. Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Penelitian menunjukkan, lendir serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat lainnya yang ada di dalam rokok. Zat-zat tersebut akan menurunkan daya tahan serviks di samping merupakan ko-karsinogen infeksi virus. Nikotin, mempermudah semua selaput lendir sel-sel tubuh bereaksi atau menjadi terangsang, baik pada mukosa tenggorokan, paru-paru maupun serviks. Namun tidak diketahui dengan pasti berapa banyak jumlah nikotin yang dikonsumsi yang bisa menyebabkan kanker serviks. Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia. Wanita yang terkena penyakit hubungan seksual berisiko terkena virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyulit utama terjadinya kanker leher rahim sehingga wanita yang mempunyai riwayat penyakit kelamin berisiko terkena kanker serviks. Paritas (jumlah kelahiran). Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak, apalagi dengan jarak persalinan yang terlalu pendek. Dari berbagai literatur yang ada, seorang perempuan yang sering melahirkan (banyak anak) termasuk golongan risiko tinggi untuk terkena penyakit kanker leher rahim. Dengan seringnya seorang ibu melahirkan, maka berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di organ reproduksinya yang akhirnya dari luka tersebut akan memudahkan timbulnya Human Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab terjadinya penyakit kanker serviks. Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama. Penggunaan kontrasepsi oral dipakai dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko kanker serviks 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral mungkin dapat meningkatkan risiko kanker serviks karena jaringan leher rahim merupakan salah satu sasaran yang disukai oleh hormon steroid perempuan. Hingga tahun 2004, telah dilakukan studi epidemiologis tentang hubungan antara kanker leher serviks dan penggunaan kontrasepsi oral. Meskipun demikian, efek penggunaan kontrasepsi oral terhadap risiko kanker leher rahim masih kontroversional. Sebagai contoh penelitian yang dilakukan oleh Khasbiyah (2004) dengan menggunakan studi kasus control Hasil studi tidak menemukan adanya peningkatan risiko pada perempuan pengguna dan mantan pengguna kontrasepsi oral karena hasil penelitian tidak memperlihatkan hubungan dengan nilai p>0,05. 2.1.3 Klasifikasi stadium kanker serviks Penentuan tahapan klinis penting dalam memperkirakan penyebaran penyakit, membantu prognosis rencana tindakan, dan memberikan arti perbandingan dari metode terapi. Tahapan stadium klinis yang dipakai sekarang ialah pembagian yang ditentukan oleh The International Federation Of Gynecologi And Obstetric (FIGO) tahun 1976. Pembagian ini didasarkan atas pemeriksaan klinik, radiologi, suktase endoserviks dan biopsi. Tahapan –tahapan tersebut yaitu : a. Karsinoma pre invasif b. Karsinoma in-situ, karsinoma intraepitel c. Kasinoma invasive Tabel 2.1. Stadium kanker serviks menurut klasifikasi FIGO (Wiknyosastro (1997) 2.1.4 Jenis histopatologis pada kanker serviks Jenis skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan, yaitu ± karsinoma sel skuamosa (KSS), adenokarsinoma 5% dan jenis lain sebanyak skuamosa terlihat sebagai jalinan kelompok sel-sel yang berasal dari sk pertandukan atau tidak, dan kadang-kadang tumor itu sendiri berdiferensiasi bu sel yang disebut small cell, berbentuk kumparan atau kecil serta bulat seta mtumor stroma tidak jelas. Sel ini berasal dari sel basal atau reserved cell. Sedang terlihat sebagai sel-sel yang berasal dari epitel torak endoserviks, atau dari kel yang mengeluarkan mukus (Notodiharjo, 2002). Klasifikasi histologik kanker serviks ada beberapa, di antaranya : 1. Skuamous carcinoma • Keratinizing • Large cell non keratinizing • Small cell non keratinizing • Verrucous 2. Adeno carcinoma • Endocervical • Endometroid (adenocanthoma) • Clear cell - paramesonephric • Clear cell - mesonephric • Serous • Intestinal 3. Mixed carcinoma • Adenosquamous • Mucoepidermoid • Glossy cell • Adenoid cystic 4. Undifferentiated carcinoma 5. Carcinoma tumor 6. Malignant melanoma 7. Maliganant non-epithelial tumors • Sarcoma : mixed mullerian, leiomysarcoma, rhabdomyosarcoma • Lymphoma 2.1.5 Patofisiologi kanker serviks Karsinoma serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan intraepitel, berubah menjadi neoplastik, dan akhirnya menjadi kanker serviks setelah 10 tahun atau lebih.Secara histopatologi lesi pre invasif biasanya berkembang melalui beberapa stadium displasia (ringan, sedang dan berat) menjadi karsinoma insitu dan akhirnya invasif.Berdasarkan karsinogenesis umum, proses perubahan menjadi kanker diakibatkan oleh adanya mutasi gen pengendali siklus sel. Gen pengendali tersebut adalah onkogen, tumor supresor gene, dan repair genes. Onkogen dan tumor supresor gen mempunyai efek yang berlawanan dalam karsinogenesis, dimana onkogen memperantarai timbulnya transformasi maligna, sedangkan tumor supresor gen akan menghambat perkembangan tumor yang diatur oleh gen yang terlibat dalam pertumbuhan sel. Meskipun kanker invasif berkembang melalui perubahan intraepitel, tidak semua perubahan ini progres menjadi invasif. Lesi preinvasif akan mengalami regresi secara spontan sebanyak 3 -35%. Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai angka regresi yang tinggi. Waktu yang diperlukan dari displasia menjadi karsinoma insitu (KIS) berkisar antara 1 – 7 tahun, sedangkan waktu yang diperlukan dari karsinoma insitu menjadi invasif adalah 3 – 20 tahun (TIM FKUI, 1992). Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali adanya perubahan displasia yang perlahan-lahan menjadi progresif. Displasia ini dapat muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan gangguan keseimbangan hormon. Dalam jangka waktu 7 – 10 tahun perkembangan tersebut menjadi bentuk preinvasif berkembang menjadi invasif pada stroma serviks dengan adanya proses keganasan. Perluasan lesi di serviks dapat menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke kanalis serviks.Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria dan akhirnya dapat menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria. Virus DNA ini menyerang epitel permukaan serviks pada sel basal zona transformasi, dibantu oleh faktor risiko lain mengakibatkan perubahan gen pada molekul vital yang tidak dapat diperbaiki, menetap, dan kehilangan sifat serta kontrol pertumbuhan sel normal sehingga terjadi keganasan (Suryohudoyo, 1998; Debbie, 1998). Berbagai jenis protein diekspresikan oleh HPV yang pada dasarnya merupakan pendukung siklus hidup alami virus tersebut.Protein tersebut adalah E1, E2, E4, E5, E6, dan E7 yang merupakan segmen open reading frame (ORF). Di tingkat seluler, infeksi HPV pada fase laten bersifat epigenetik. Pada infeksi fase laten, terjadi terjadi ekspresi E1 dan E2 yang menstimulus ekspresi terutama terutama L1 selain L2 yang berfungsi pada replikasi dan perakitan virus baru. Virus baru tersebut menginfeksi kembali sel epitel serviks. Di samping itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi imun tipe lambat dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang mengakibatkan penurunan ekspresi E1 dan E2. Penurunan ekspresi E1 dan E2 dan jumlah HPV lebih dari ± 50.000 virion per sel dapat mendorong terjadinya integrasi antara DNA virus dengan DNA sel penjamu untuk kemudian infeksi HPV memasuki fase aktif (Djoerban, 2000). Ekspresi E1 dan E2 rendah hilang pada pos integrasi ini menstimulus ekspresi onkoprotein E6 dan E7. Selain itu, dalam karsinogenesis kanker serviks terinfeksi HPV, protein 53 (p53) sebagai supresor tumor diduga paling banyak berperan. Fungsi p53 wild type sebagai negative control cell cycle dan guardian of genom mengalami degradasi karena membentuk kompleks p53-E6 atau mutasi p53.Kompleks p53-E6 dan p53 mutan adalah stabil, sedangkan p53 wild type adalah labil dan hanya bertahan 20-30 menit. Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka proses karsinogenesis berjalan tanpa kontrol oleh p53. Oleh karena itu, p53 juga dapat dipakai sebagai indikator prognosis molekuler untuk menilai baik perkembangan lesi pre-kanker maupun keberhasilan terapi kanker serviks (Kaufman et al, 2000).Dengan demikian dapatlah diasumsikan bahwa pada kanker serviks terinfeksi HPV terjadi peningkatan kompleks p53-E6. Dengan pernyataan lain, terjadi penurunan p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV. Dan, seharusnya p53 dapat dipakai indikator molekuler untuk menentukan prognosis kanker serviks.Bila pembuluh limfe terkena invasi, kanker dapat menyebar ke pembuluh getah bening pada servikal dan parametria, kelenjar getah bening obtupator, iliaka eksterna dan kelenjar getah bening hipogastrika.Dari sini tumor menyebar ke kelenjar getah bening iliaka komunis dan pada aorta.Secara hematogen, tempat penyebaran terutama adalah paru-paru, kelenjar getah bening mediastinum dan supravesikuler, tulang, hepar, empedu, pankreas dan otak (Prayetni, 1997). 2.1.6 Gejala klinis kanker serviks Menurut Dalimartha (2004), gejala kanker serviks pada kondisi pra- kanker ditandai dengan Fluor albus (keputihan) merupakan gejala yang sering ditemukan getah yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif. Perdarahan yang dialami segera setelah bersenggama (disebut sebagai perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75 - 80%). Pada tahap awal, terjadinya kanker serviks tidak ada gejala-gejala khusus. Biasanya timbul gejala berupa ketidak teraturannya siklus haid, amenorhea, hipermenorhea, dan penyaluran sekret vagina yang sering atau perdarahan intermenstrual, post koitus serta latihan berat. Perdarahan yang khas terjadi pada penyakit ini yaitu darah yang keluar berbentuk mukoid. Nyeri dirasakan dapat menjalar ke ekstermitas bagian bawah dari daerah lumbal.Pada tahap lanjut, gejala yang mungkin dan biasa timbul lebih bervariasi, sekret dari vagina berwarna kuning, berbau dan terjadinya iritasi vagina serta mukosa vulva. Perdarahan pervagina akan makin sering terjadi dan nyeri makin progresif. Menurut Baird (1991) tidak ada tanda-tanda khusus yang terjadi pada klien kanker serviks. Perdarahan setelah koitus atau pemeriksaan dalam (vaginal toussea) merupakan gejala yang sering terjadi.Karakteristik darah yang keluar berwarna merah terang dapat bervariasi dari yang cair sampai menggumpal.Gejala lebih lanjut meliputi nyeri yang menjalar sampai kaki, hematuria dan gagal ginjal dapat terjadi karena obstruksi ureter.Perdarahan rektum dapat terjadi karena penyebaran sel c kanker yang jugamerupakan gejala penyakit lanjut. Pada pemeriksaan Pap Smear ditemukannya sel-sel abnormal di bagian bawah serviks yang dapat dideteksi melalui, atau yang baru-baru ini disosialisasikan yaitu dengan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat. Sering kali kanker serviks tidak menimbulkan gejala. Namun bila sudah berkembang menjadi kanker serviks, barulah muncul gejala-gejala seperti pendarahan serta keputihan pada vagina yang tidak normal, sakit saat buang air kecil dan rasa sakit saat berhubungan seksual (Wiknjosastro, 1997). 2.1.7 Diagnosis kanker serviks Stadium klinik seharusnya tidak berubah setelah beberapa kali pemeriksaan.Apabila ada keraguan pada stadiumnya maka stadium yang lebih dini dianjurkan. Pemeriksaan berikut dianjurkan untuk membantu penegakkan diagnosis seperti palpasi, inspeksi, kolposkopi, kuretase endoserviks, histeroskopi, sistoskopi, proktoskopi, intravenous urography, dan pemeriksaan X-ray untuk paru-paru dan tulang. Kecurigaan infiltrasi pada kandung kemih dan saluran pencernaan sebaiknya dipastikan dengan biopsi.Konisasi dan amputasi serviks dapat dilakukan untuk pemeriksaan klinis. Interpretasi dari limfangografi, arteriografi, venografi, laparoskopi, ultrasonografi, CT scan dan MRI sampai saat ini belum dapat digunakan secara baik untuk staging karsinoma atau deteksi penyebaran karsinoma karena hasilnya yang sangat subyektif. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan sebagai berikut (Suharto, 2007) : 1. Pemeriksaan pap smear Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada pasien yang tidak memberikan keluhan.Sel kanker dapat diketahui pada sekret yang diambil dari porsi serviks. Pemeriksaan ini harus mulai dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau ketika telah melakukan aktivitas seksual sebelum itu. Setelah tiga kali hasil pemeriksaan pap smear setiap tiga tahun sekali sampai usia 65 tahun. Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker leher rahim secara akurat dan dengan biaya yang tidak mahal, akibatnya angka kematian akibat kanker leher rahim pun menurun sampai lebih dari 50%. Setiap wanita yang telah aktif secara seksual sebaiknya menjalani pap smear secara teratur yaitu 1 kali setiap tahun. Apabila selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil pemeriksaan yang normal, maka pemeriksaan pap smearbisa dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali. Hasil pemeriksaan pap smear adalah sebagai berikut (Prayetni,1999): a. Normal. b. Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas). c. Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas). d. Karsinoma in situ (kanker terbatas pada lapisan serviks paling luar). e. Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih dalam atau ke organ tubuh lainnya). Tabel 2.2. Kategorisasi diagnosis deskriptif Bethesda Pap smear berdasarkan sistem 2.Pemeriksaan DNA HPV Pemeriksaan ini dimasukkan pada skrining bersama-sama dengan Pap’s smear untuk wanita dengan usia di atas 30 tahun. Penelitian dalam skala besar mendapatkan bahwa Pap’s smear negatif disertai DNA HPV yang negatif mengindikasikan tidak akan ada CIN 3 sebanyak hampir 100%. Kombinasi pemeriksaan ini dianjurkan untuk wanita dengan umur diatas 30 tahunkarena prevalensi infeksi HPV menurun sejalan dengan waktu. Infeksi HPV pada usia 29 tahun atau lebih dengan ASCUS hanya 31,2% sementara infeksi ini meningkat sampai 65% pada usia 28 tahun atau lebih muda. Walaupun infeksi ini sangat sering pada wanita muda yang aktif secara seksual tetapi nantinya akan mereda seiring dengan waktu. Sehingga, deteksi DNA HPV yang positif yang ditentukan kemudian lebih dianggap sebagai HPV yang persisten. Apabila hal ini dialami pada wanita dengan usia yang lebih tua maka akan terjadi peningkatan risiko kanker serviks. 3. Biopsi Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau luka pada serviks, atau jika hasil pemeriksaan pap smear menunjukkan suatu abnormalitas atau kanker. Biopsi ini dilakukan untuk melengkapi hasil pap smear. Teknik yang biasa dilakukan adalah punch biopsy yang tidak memerlukan anestesi dan teknik cone biopsy yang menggunakan anestesi. Biopsi dilakukan untuk mengetahui kelainan yang ada pada serviks.Jaringan yang diambil dari daerah bawah kanal servikal. Hasil biopsi akan memperjelas apakah yang terjadi itu kanker invasif atau hanya tumor saja (Prayetni, 1997). 4. Kolposkopi Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yang terkena proses metaplasia. Pemeriksaan ini kurang efisien dibandingkan dengan pap smear, karena kolposkopi memerlukan keterampilan dan kemampuan kolposkopis dalam mengetes daerah yang abnormal (Prayetni, 1997). 5. Tes Schiller Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan yodium. Pada serviks normal akan membentuk bayangan yang terjadi pada sel epitel serviks karena adanya glikogen. Sedangkan pada sel epitel serviks yang mengandung kanker akan menunjukkan warna yang tidak berubah karena tidak ada glikogen (Prayetni, 1997). 6. Radiologi a) Pelvik limphangiografi, yang dapat menunjukkan adanya gangguan pada saluran pelvik atau peroartik limfe. b) Pemeriksaan intravena urografi, yang dilakukan pada kanker serviks tahap lanjut, yang dapat menunjukkan adanya obstruksi pada ureter terminal. Pemeriksaan radiologi direkomendasikan untuk mengevaluasi kandung kemih dan rektum yang meliputi sitoskopi, pielogram intravena (IVP), enema barium, dan sigmoidoskopi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau scan CT abdomen / pelvis digunakan untuk menilai penyebaran lokal dari tumor dan / atau terkenanya nodus limpa regional (Gale & charette, 1999). 2.2 MRI Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu alat kedokteran di bidang pemeriksaan diagnostik radiologi, yang menghasilkan rekaman gambar potongan penampang tubuh /organ manusia dengan menggunakan medan magnet berkekuatan antara 0,064 – 1,5 tesla (1 tesla = 1000 Gauss) dan resonansi getaran terhadap inti atom hydrogen. Beberapa faktor kelebihan yang dimilikinya terutama kemampuannya membuat potongan koronal, sagital, aksial dan oblik tanpa banyak memanipulasi posisi tubuh pasien sehingga sesuai untuk diagnostik jaringan lunak. Teknik penggambaran MRI relative kompleks karena gambaran yang dihasilkan tergantung pada banyak parameter. Bila pemilihan parameter tersebut tepat, kualitas gambar MRI dapat memberikan gambaran detail tubuh manusia dengan perbedaan kontras, sehingga anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat dievaluasi secara teliti. Untuk menghasilkan gambaran MRI dengan kualitas yang optimal sebagai alat diagnostic, maka harus memperhitungkan hal-hal yang berkaitan dengan teknik penggambaran MRI, antara lain : a. Persiapan pasien serta teknik pemeriksaan pasien yang baik b. Kontras yang sesuai dengan tujuan pemeriksaannya c. Artefak pada gambar , dan cara mengatasinya d. Tindakan penyelamatan terhadap keadaan darurat Selanjutnya MRI bila ditinjau dari tipenya terdiri dari : a. MRI yang memiliki kerangka terbuka (open gantry) dengan ruang yang luas b. MRI yang memiliki kerangka (gantry) biasa yang berlorong sempit. Bila ditinjau dari kekuatan magnetnya terdiri dari : a. MRI Tesla tinggi ( High Field Tesla) memiliki kekuatan di atass 1 – 1,5 T b. MRI Tesla sedang ( Medium Field Tesla ) memiliki kekuatan di atas 1,5 – 0,5 T c. MRI Tesla rendah ( Low Field Tesla ) memiliki kekuatan dibawah 0,5 T Sebaiknya suatu rumah sakit memilih MRI yang memiliki tesla tinggi karena alat tersebut dapat digunakan untuk teknik Fast Scan yaitu suatu teknik yang memungkinkan 1 gambar irisan penampang dibuat dalam hitungan detik, sehingga kita dapat membuat banyak irisan penampang yang bervariasi dalam waktu yang singkat. Drngan banyaknya variasi gambar membuat suatu lesi menjadi lebih spsifik. 2.2.1 Sejarah MRI Pada tahun 1946, Felix Bloch dan Purcell mengemukakan teori,bahwa inti atom bersifat sebagi magnet kecil, dan inti atom membuat spinning dan prscessing. Dari hasil penemuat kedua orang diatas kemudian lahirlah alat Nuclear Magnetic Resonance (NMR) Spectrometer yang penggunaannya terbatas pada kimia saja. Setelah lebih dari sepuluh tahun Raymond Damandian bekerja dengan alat NMR Spectrometer, maka pada tahun 1971 ia menemukan alat tersebut untuk pemeriksaan pasien. Pada tahun 1979, The University of Nottingham Group memproduksi gambaran potongan coronal dna sagittal (disamping potongan aksial) dengan NMR. Selanjutnya karena kekaburan istilah yang digunakan untuk alat NMR dan dibagian apa sebaiknya NMR diletakan, maka disarankan oleh American Collage of Radiologi (1984), NMR dirubah menjadi Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan diletakan di bagian radiologi. 2.2.2 Prinsip Dasar MRI Struktur atom hidrogern dalam tubuh manusia saat diluar medan magnet mempunyai arah yang acak dan tidak membentuk suatu keseimbangan. Kemudian saat diletakan dalam alat MRI (gantry), maka atom H akan sejajar derngan arah medan magnet. Demikian juga arah spinning dan precessing akan sejajar dengan arah medan magnet. Saat diberikan frekuensi radio maka atom H akan mengabsorbsi enenrgi dari frekuensi radio tersebut. Akibatnya dengan bertambahnya energy atom H akan mengalami pembelokan sedangkan besarnya arah dipengaruhi oleh besar dan lamanya energy radio frekuensi yang diberikan. Sewaktu radio frekuensi dihentikan maka atom H akan sejajar kembali dengan arah medan magnet. Pada saat kembali inilah atom H akan memancarkan energy yang dimilikinya. Kemudian energy yang berupa sinyal tersebut dideteksidengan detector yang khusus dna diperkuat. Selanjutnya computer akan mengolah dan merekonstruksi citraa berdasarkan sinyal yang diperoleh dari berbagai irisan. 2.2.3 Instrumen MRI Secara garis besar instrument MRI terdiri dari : a. System magnet yang berfungsi membentuk medan magnet b. System pencitraan yang berfungsi membentuk citra yang terdiri dari tiga buah kumparan koil, yaitu : a. Gradient koil X untuk membentuk citra potongan sagital b. Gradient koli Y untuk membentuk citra potongan koronal c. Gradient koil Z untuk membentuk citra potongan aksial. Bila gradient koil X, Y, Z bekerja secara bersamaan maka akan terbentuk potongan oblik. c. System frekuensi radio berfungsi membangkitkan dan memberikan radio frekuensi serta mendeteksi sinyal d. System computer berfunsi untuk membangkitkan sekuens pulsa, mengontrol semua komponen alat MRI dan menyimpan memori berupa citra e. System pencetakan citra , berfungsi untuk mencetak gambar pada film rongent atau menyimpan citra. 2.2.4 Aplikasi Klinik Pemeriksaan MRI Pemeriksaan MRI bertujuan mengetahui karakteristik morfologik (lokasi, ukuran, bentuk, perluasan dan lain-lain dari keadaan patologis.Tujuan tersebut dapat diperoleh dengan menilai salah satu atau kombinasi gambar penampang tubuh aksial, sagital, koronal atau oblik tergantung dari letak organ dan kemungkinan patologinya. Adapun jenis pemeriksaan MRI sesuai dengan organ yang akan dilihatnya : 1. Pemeriksaan kepala untuk melihat kelainan pada : kelenjar pituitary, lobang telinga dalam, rongga mata, sinus 2. Pemeriksaan Otak untuk mendeteksi : stroke / infark, gambaran fungsi otak, perdarahan, infeksi, tumor kelainan bawaan, kelainan pembuluh darah seperti anaeurisma, angioma, proses degenerasi, atrofi 3. Pemeriksaan tulang belakanguntuk melihat proses degenerasi, tumor, infeksi, trauma,kelainan bawaan 4. Pemeriksaan Muskuloskeletal untuk organ : lutut, bahu, siku, pergelangan tangan, kaki, untuk mendeteksi robekan tulang rawan, tendon, ligament, tumor , infeksi, trauma 5. Pemeriksaan abdomen untuk melihat hati, ginjal,kantong dan saluran empedu, pancreas limpa, organ ginekologis, prostat, buli-buli 6. Pemeriksaan thorax untuk melihat : paru-paru, jantung. 2.2.5 Penalaksanaan Pasien dan Teknik Pemeriksaan Pada pemeriksaan MRI perlu diperhatikan bahwa alat-alat seperti tabung oksigen, alat resusitasi, kursi roda, dan lain-lain yang bersifat feromagnetik tidak boleh dibawa ke ruang MRI. Untuk keselamatan pasien diharuskan memakai baju pemeriksaan dan menanggalkan benda benda feromagnetik, seperti jam tangan, kunci, perhiasan jepit rambut, gigi palsu dan lainnya. Screening dan pemberian informasi kepada pasien dilakukan dengan cara mewawancarai pasien, untuk mengetahui apakah ada sesuatu yang membahayakan pasien bila dilakukan pemeriksaan MRI, misalnya pasien menggunakan alat pacu jantung, logam dalam tubuh pasien seperti IUD, sendi palsu, neurostimulator, dan klep anurisma serebral dan lain-lain. Transfer pasien menuju ruangan MRI, khususnya pasien yang tidak dapat berjalan (non ambulantory) lebih kompleks dibandingkan pemeriksaan imaging yang lainnya. Hal ini karena medan magnet pesawat MRI selalu dalam keadaan on setiap saat dapat terjadi resiko kecelakaan, dimana benda-benda feromagnetik dapat tertarik dan kemungkinan mengenai pasien atau personil lainnya. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut, meja pemeriksaan MRI dibuat mobile dengan tujuan pasien dipindahkan ke meja MRI di luar ruang pemeriksaan dan dapat segera dibawa keluar ruangan MRI bila terjadi hal-hal yang emergensi.Selain itu meja cadangan pemeriksaan perlu disediakan agar dapat mempercepat penangan pasien berikutnya sebelum pemeriksaan pasien sebelumnya selesai. Upaya untuk kenyamanan pasien diberikan antara lain dengan memberikan earplugs bagi pasien pasien untuk mengurangi kebisingan, penggunaan penyangga lutut / tungkai, pemberian selimut bagi pasien, tutup kepala. Untuk persiapan pelaksanaan pemeriksaan perlu dilakukan beberapa hal berikut. Persiapan konsul yaitu berupa identitas pasien seperti nama, usia dan lain lain, mengatur posisi tidur pasien sesuai dengan obyek yang akan diperiksa. Memilih jenis koil yang akan digunakan untuk pemeriksaan, misalnya untuk pemeriksaan kepala digunakan head coil, untuk pemeriksaan tangan, kaki dan tulang belakang digunakan surface coil. Memilih parameter yang tepat, misalnyauntuk citra anatomi dipiulih parameter yang repetition time dan echo time pendek sehingga pencitraan jaringan dengan konsentrasi hydrogen tinggi akan berwarna hitam. Untuk citra pathologis dipilih parameter yang repetition time dan echo time panjang, sehingga misalnya untuk gambaran cairan serebro spinalis dengan konsentrasihidrogen tinggi akan tampak berwarna putih. Untuk kontras citra antara antara dipiulih parameter repetition time panjang dan echo pendek sehingga gambaran jaringan den konsentrasi hydrogen tinggi akan tampak berwarna abuabu. Untuk mendapat kan hasil gambar yang optimal perlu penentuan center magnet (land marking patiernt) sehingga coil dan bagian tubuh yang diamati harus sedekat mungkin ke center magnet, misalnya pemeriksaan MRI kepala,pusat magnet pada hidung. Untuk menentukan bagian tubuh dibuat Scan Scout (panduan pengamatan), dengan parameter, ketebalan irisan dan jarak antar irisan serta format gambaran tertentu.Ini merupakan gambaran tiga dimensi dari sejumalah sinar yang telah diserap. Setelah tergambar scan scout pada TV monitor, maka dibuat pengamatanpengamatan berikut sesuai dengan kebutuhan. Pemeriksaan MRI yang menggunakan kontras media hanya pada kasus-kasus tertentu saja.Salah satu kontras media untuk pemeriksaan MRI adalah Gadolinium DTPA yang disuntikan intra vena. 2.2.6 Peran MRI dalam diagnosis Kanker Serviks Magnetic resonance imaging (MRI) dapat mengevaluasi sejauh mana penyebaran dari kanker serviks dengan adanya resolusi spasial dan kontras tinggi untuk jaringan panggul dan organ panggul. Sistem penentuan stadium FIGO tidak mempertimbangkan faktor prognostik yang relevan seperti volume tumor, vaskularisasi, endofit atau pertumbuhan exophytic, invasi stroma dan keterlibatan kelenjar getah bening (3,4). Mengingat kelemahan ini, Komite FIGO pada Gynecologic Oncology mulai merekomendasikan bahwa pasti penentuan stadium didasarkan pada dokter bedah dan temuan intraoperatif patologis (Gambar 1) (5) Dalam kasus di mana karsinoma serviks lanjut secara lokal (di atas IIb), sebagian besar pusat-pusat khusus telah memilih untuk radioterapi eksklusif atau radioterapi dalam hubungannya dengan kemoterapi.Oleh karena itu, temuan klinis yang tidak dapat dikonfirmasi intraoperatively harus didasarkan terutama pada studi yang sangat akurat. Beberapa keuntungan yang didapat dari MRI adalah waktu akuisisi yang pendek dengan gambar multi planar, kenyamanan bagi pasien, dengan tidak adanya radiasi pengion, reproduksibilitas tinggi dalam evaluasi musculotendinous struktur di panggul yang sangat relevan dalam evaluasi parametrium (8). Selain mengidentifikasi tumor primer dan luasnya, Gambar T2-tertimbang juga memberikan gambaran yang sangat baik dari anatomi serviks dan uterus normal.. Stroma serviks yang normal menghasilkan sinyal dengan kepadatan rendah, dan sekitar 95% dari tumor serviks muncul sebagai massa yang sedikit hyperintense dibandingkan dengan stroma sekitarnya (9) (Gambar 2). Lesi pra-invasif kanker serviks tidak dapat diidentifikasi pada gambar T2- tertimbang, tetapi dapat digambarkan sebagai daerah yang ditandai peresapan awal dalam fase arteri MRI studi dinamis (10). Parameter prognosis yang mempengaruhi dalam pilihan terapi yang tepat, dan yang dapat dievaluasi dengan cara pemeriksaan ginekologi, dapat dievaluasi dengan MRI dengan rasio efektivitas biaya baik, mengingat bahwa pasien dengan kanker serviks disampaikan kepada MRI sebagai metode penentuan stadium awal, membutuhkan lebih sedikit tes atau prosedur dibandingkan dengan yang disampaikan dengan metode penentuan stadium tradisional (11,12 Merupakan suatu fakta bahwa MRI telah memberikan akurasi yang lebih baik daripada pemeriksaan klinis dan computed tomography (CT) sebagai metode penentuan stadium, khususnya dalam evaluasi parametrium. Studi banding dari tiga metode (MRI, CT dan pemeriksaan klinis) telah menunjukkan akurasi 92% untuk MRI dibandingkan dengan 78% untuk pemeriksaan klinis, dan 70% untuk CT (13). Dengan adanya urutan turbo baru dan bertahap-array kumparan, sensitivitas didapat untuk invasi parametrium adalah 100% (14). Penulis lain menyoroti nilai 98% negatif prediktif untuk invasi parametrium di T2-tertimbang turbo spin-echo (TSE) dan tau pendek inversi pemulihan (Sospol) urutan (15,16). Korelasi antara rahim serviks karsinoma penentuan stadium diusulkan oleh FIGO dan temuan MRI dijelaskan pada Tabel 1 (17) Teknik pemeriksaan MRI untuk penentuan stadium rahim tumor serviks harus mencakup dari bidang yang melewati batas bawah ginjal sampai ke vulva termasuk daerah paraaortik dan panggul.Band saturasi anterior harus dimanfaatkan sebagai rutinitas untuk mengurangi pernapasan dan artefak peristaltik.Di sisi lain, band saturasi posterior harus dibuang. Penggunaan agen anti peristaltik empat sampai enam jam sebelum pemeriksaan juga dianjurkan untuk mengurangi artefak yang dihasilkan dari gerakan peristaltik usus (3,10) Array kumparan bertahap meningkatkan signal rasio noise, yang memungkinkan akuisisi gambar yang lebih rinci dibandingkan dengan kumparan tubuh sebelumnya digunakan, dan, akibatnya meningkatkan resolusi pencitraan.Namun, koil tubuh mungkin berguna untuk pasien obesitas dengan perut yang sangat menonjol, atau untuk evaluasi retroperitoneal (18).Pemanfaatan kumparan endorectal dan endovaginal telah digambarkan sebagai sarana untuk menghasilkan gambar-sinyal tinggi, tapi, meskipun tingkat tinggi definisi, penggunaannya dibatasi karena kurangnya konsensus tentang keunggulan mereka atas kumparan array bertahap (19). Penentuan stadium tumor serviks uterus membutuhkan tiga pesawat di TSE urutan T2-tertimbang dalam resolusi tinggi, yakni 512 matriks, kecil, bagian selalu <5 mm (sebaiknya 3-4 mm), dengan gap bidang-of-view (FOV) dari nol, semuanya diperoleh pada bidang aksial.Selain itu, TSE urutan T1-tertimbang pada bidang aksial sebenarnya dari pelvis dengan besar FOV sangat penting untuk akuisisi pandangan panggul dunia (17). Gambar sagital berguna untuk menunjukkan hubungan antara tumor dan leher rahim, badan rahim, vagina dan organ yang berdekatan seperti kandung kemih dan rektum. Di sisi lain, gambar aksial relevan untuk mendeteksi invasi parametrium dan dinding panggul, ureter dan keterlibatan kelenjar getah bening. Pesawat koronal, dalam hubungannya dengan sagital dan aksial, berguna dalam evaluasi parametrium, dan terutama diperlukan untuk pengukuran volume tumor (Gambar 3) T2 TSE adalah urutan pilihan dalam evaluasi keterlibatan kelenjar getah bening, karena dalam urutan ini, otot dan pembuluh muncul hyperintense, berbeda dari kelenjar getah bening. Penekanan lemak meningkatkan bahkan lebih identifikasi struktur atau lesi dikelilingi oleh jaringan adiposa seperti parametrium dan kelenjar getah bening (15,20) (Gambar 4). Seringkali, penggunaan kontras tidak diperlukan dalam penentuan stadium, karena, dalam banyak kasus, urutan kontras pra memberikan informasi yang diperlukan.Selain itu, urutan dinamis sering meremehkan volume tumor dan kedalaman invasi stroma, dan tidak boleh digunakan untuk tujuan ini (21).Namun, penggunaan agen kontras mungkin berguna untuk memfasilitasi identifikasi saluran fistulous pada penyakit lanjut atau dalam terapi pasca tindak lanjut (10) Pola Pertumbuhan Tumor Tumor muncul di kanal serviks dan meluas perifer menuju stroma serviks, semakin menggantikannya.Sebuah invasi ketebalan penuh stroma dapat terjadi, dan, oleh persentuhan, invasi parametrium (IIb). Obstruksi saluran leher rahim adalah biasa, dan sering menyebabkan rongga endometrium akan buncit dengan darah, cairan serosa atau bahan purulen (22) (Gambar 5). Tumor meluas ke dalam rongga rahim yang berhubungan dengan prognosis terburuk dan prevalensi yang lebih tinggi dari metastasis jauh (2).Secara klinis, tumor dengan pertumbuhan endofit sulit untuk diukur, karena komponen terbesar tidak dapat langsung divisualisasikan dan dievaluasi dalam pemeriksaan ginekologis.Evaluasi klinis tumor eksofitik lebih mudah, tetapi MRI memfasilitasi identifikasi invasi vagina mungkin. Evaluasi parametrium dan dinding panggul Parametrium adalah jaringan ikat antara lapisan ligamentum yang luas. Medial itu berdekatan dengan rahim, leher rahim dan proksimal Vagina; memperluas lateral ke dinding panggul. Inferior, hampir ligamen kardinal.Hal ini terutama terdiri dari lemak melalui pembuluh yang berjalan rahim, saraf dan pembuluh limfatik (11). Invasi parametrium (atas IIb) merupakan faktor prognostik yang signifikan mempengaruhi dalam diagnosis dan pilihan terapi. Pada urutan T2-tertimbang, antarmuka antara stroma serviks normal dan parametrium muncul seperti cincin hypointense atau halo di sekitar leher rahim. Sebuah hypo intens halo diawetkan merupakan nilai prediktif negatif yang tinggi untuk invasi parametrium (15,17). Indikator invasi parametrium adalah gangguan segmental atau tidak lengkap halo ini pada antarmuka antara stroma serviks dan lemak parametrium, atau belum, tonjolan yang jelas tumor ke parametrium (13,23). Beberapa penulis berkorelasi penggantian lengkap dari stroma serviks dan perluasan tumor ke dalam tubuh rahim dengan invasi parametrium. Dalam kasus ini, 94% dari parametrium yang diserang, dengan hubungan langsung antara ukuran tumor dan keterlibatan parametrium (15,22)Kehilangan lemak parametrium dapat menjadi indikator invasi, tapi ini adalah tanda non-spesifik, karena peradangan peritumoral juga dapat mengakibatkan hilangnya lemak invasi simulasi. Kontras disempurnakan urutan T1-tertimbang telah menunjukkan akurasi yang lebih tinggi daripada T2-tertimbang dalam evaluasi parametrium (10) (Gambar 6).Dalam kasus di mana tumor meluas ke parametrium itu dapat mencapai ureter, menyebabkan hidronefrosis (IIIb). Hidronefrosis berhubungan dengan massa pada servik uterus adalah tanda-tanda spesifik dari invasi parametrium (12). Parametrium invasi sampai ke dinding panggul (IIIb) didiagnosis ketika tumor tidak dapat dipisahkan dari dinding panggul pada pemeriksaan klinis. Pada MRI, diagnosis ini dibuat ketika jarak antara tumor dan dinding pelvis adalah <3 mm, atau ketika urutan T2-tertimbang menunjukkan hilangnya sebagian atau lengkap dari sebuah hyposignal normal dinding otot panggul (otot piriformis, otot obturator internal levator ani otot atau otot coccygeal) (Gambar 7). Dalam kasus ini, pembuluh iliaka menjadi dikompresi dan menyempit oleh tumor, dan destruksi tulang dapat terjadi dengan ekstensi langsung dari tumor difus disusupi (25) Invasi pada Vagina MRI sangat sensitif dalam mendeteksi invasi vagina , dengan akurasi 93 % ( 11 ) . Tanda keterlibatan vagina lebih baik ditandai pada resolusi tinggi urutan T2 weighted, yang menunjukkan gangguan segmental dari sinyal hypointense normal dari dinding vagina , atau belum penebalan vagina hyperintense ( tumor ) , atau massa sendiri dalam persentuhan dengan vagina dinding ( Gambar 8 ) . Invasi vagina sesuai dengan tahap IIa , ketika invasi ini meluas sampai ke sepertiga vagina yang lebih rendah , sesuai dengan tahap IIIa ( 25 ) . Selain itu , penggunaan gel ultrasonografi intravaginal selama akuisisi MRI dianjurkan untuk gembung dan mengisi rongga dengan bahan yang sangat hyperintense pada T2 urutan tertimbang dalam rangka meningkatkan kontras tumor ( sedikit hyperintense pada urutan T2 - weighted) dan kontras dinding vagina ( ( hypointense pada T2 urutan tertimbang ) . prosedur ini meningkatkan sensitivitas dalam evaluasi invasi vagina . Sekitar 20 ml gel diterapkan pada saat pemeriksaan yang cukup ( 10 ) . Invasi pada kelenjar getah bening Beberapa penelitian telah menunjukkan pentingnya keterlibatan kelenjar getah bening sebagai faktor yang memburuk dalam prognosis kelangsungan hidup wanita yang terkena tumor serviks uterus (3,26). Ada tiga rute drainase dari kelenjar getah bening leher di mana berpropagasi tumor (Gambar 9): rute lateral, sepanjang pembuluh iliaka eksternal, rute hipogastrik, sepanjang pembuluh iliac internal, dan rute presacral, sepanjang ligamen uterosakral. Semua dari tiga rute mengalir ke kelenjar getah bening iliaka umum, di mana tumor dapat mencapai kelenjar getah bening paraaortic. Umumnya, kelenjar getah bening paraserviks dan parametrium adalah yang pertama yang akan terkena, diikuti oleh node obturator getah bening dan, selanjutnya, kelenjar getah bening iliaka eksternal dan internal (27). T2 - weightedadalah urutan pilihan untuk evaluasi kelenjar getah bening panggul , karena dalam urutan pembuluh dan otot menjadi hypointense , memfasilitasi diferensiasi dari kelenjar getah bening yang sedikit hyperintense pada T2 weightedurutan ( Gambar 10 ) . T2 TSE lemak ditekan urutan memungkinkan penindasan jaringan adiposa sekitar pembuluh limfatik , meningkatkan akurasi dalam mendeteksi pangguladenomegalies ( 12 ) ( Gambar 11 ) . Sampai saat ini, kecurigaan metastasis kelenjar getah bening dengan menggunakan MRI terbatas pada peningkatan ukuran kelenjar getah bening .Kelenjar getah bening > 10 mm diameter aksial dianggap sebagai abnormal. Juga , beberapa batasan yang lebih tinggi disarankan untuk situs tertentu ditentukan , sebagai berikut : untuk kelenjar getah bening dalam rantai iliaka interna , 7 mm , karena kelenjar getah bening iliaka umum , 9 mm , dan untuk node iliaka eksternal bening , 10 mm . Positron emission tomography dengan glukosa fluorodeoxy - D ( PET - FDG ) tampaknya menawarkan spesifisitas lebih tinggi dibandingkan MRI untuk kelenjar getah bening panggul pembesaran ( 3 ) . Ketika kelenjar getah bening nekrosis sentral diidentifikasi , positifnilai prediktif untuk keganasan adalah 100 %. Telah sudah menunjukkan bahwa kelenjar getah bening dengan nekrosis atau intensitas sinyal yang mirip dengan tumor yang disajikan prognosis terburuk . Diagnosis kelenjar getah bening nekrosis dapat meningkatkan dengan penggunaan kontras endovenous ( 25,28 ). Baru-baru ini , perbaikan telah dibuktikan dalam sensitivitas MRI untuk mendeteksi metastasis kelenjar getah bening di rahim tumor serviks , memanfaatkan jenis baru kelenjar getah bening spesifik agen kontras disebut ferumoxtran - 10 , dengan nanopartikel oksida besi ( USPIO ) . Namun pemanfaatan agen kontras ini bukan konsensus belum ( 29 ) . Mengingat bahwa sistem staging FIGO tidak mengambil keterlibatan kelenjar getah bening menjadi pertimbangan, deteksi pembesaran kelenjar getah bening panggul pada MRI sesuai dengan tahap IIIb , serta diagnosis pembesaran kelenjar getah bening paraaortik sesuai dengan tahap IVb ( 12 ) Invasi pada kandung kemih dan rektum Invasi kandung kemih atau rektum ( IVa ) mungkin sulit untuk dideteksi hanya dengan pemeriksaan fisik . MRI telah terbukti menjadi metode yang dapat diandalkan untuk deteksi invasi kandung kemih dengan sensitivitas 83 % , spesifisitas mendekati 100 % , dan akurasi 99 % . Ketika hadiah kandung kemih diserang oleh tumor , dinding , yang biasanya adalah hypointense , menunjukkan fokal atau difus daerah dengan peningkatan intensitas sinyal pada urutan T2 - weighted, atau hanya berdiam massa ke dalam lumen diamatI . Untuk mendefinisikan invasi kandung kemih , penting untuk mengamati bahwa perubahan sinyal hadir baik untuk otot kandung kemih dan mukosa , jika tumor mungkin hanya berdekatan dengan kandung kemih ( 4 ) . Tanda-tanda indikasi lain dari invasi adalah hyperintensity pada permukaan internal dinding posterior , nodularity atau penyimpangan dalam dinding kandung kemih ( Gambar 12 ) . Di sisi lain , persimpangan vesiko - ureter buruk dievaluasi karena visualisasi sulit dari ureter non - dilatasi pada MRI . Invasi langsung dari ureter tidak sering , namun, dalam pengaturan invasi ureter , perpanjangan tumor diamati sepanjang ligamen uterosakral . Temuan , biasanya , adalah : penebalan fokal segmental atau gangguan dari sinyal hypointense di dinding rektum anterior ( 10 ) 2.2.7 Kelebihan MRI dibandingkan CT Scan Beberapa kelebihan MRI dibandingkan CT Scan yaitu : 1. MRI lebih unggul mendeteksi beberapa kelainan pada jaringan lunak seperti otak, sumsum tulang serta musculoskeletal 2. Mampu memberikan gambaran detail anatomi dengan lebih jelas 3. Mampu melakukan pemeriksaan fungsional seperti pemeriksaan difusi, perfusi dan spektoskopi yang tidak dapat dilakukan oleh CT Scan. 4. Mampu embuat gambaran potongan melintang, tegak, dan miring tanpa merubah merubah posisi pasien. 5. Tidak menggunakan radiasi pengion BAB III Ringkasan Meskipun MRI belum dimanfaatkan oleh sebagian besar layanan onkologi dan sampai saat ini belum secara resmi disetujui oleh FIGO, MRI tetap merupakan metode pencitraan terbaik dalam hal akurasi untuk penilaian tumor, dan memainkan peran penting dalam perencanaan terapi dan tindakan selanjutnya ( 31 ). MRI terbukti lebih baik dari pemeriksaan klinis, saat digunakan sebagai metode penentuan stadium awal. MRI juga mengurangi jumlah prosedur invasif dan tindakan radiologi seperti urografi , sitoskopi dan rectosigmoidoscopy , dengan biaya yang lebih rendah untuk pengelolaan penyakit . Selain itu, penilaian yang tepat dari stadium tumor dan volume tumor memungkinkan perencanaan yang optimal untuk radioterapi panggul eksternal dan brachytherapy. Sebuah penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa perencanaan radioterapi MRI dibantu dapat mengurangi kemungkinan kesalahan geografis dibandingkan dengan perencanaan radioterapi konvensional ( 32 ) . Adalah penting bahwa ahli radiologi menafsirkan MRI panggul untuk rahim serviks tumor , yang akrab dengan temuan dan , terutama , memberikan informasi mengenai volume tumor , invasi parametrium , vagina dan organ yang berdekatan , selain menunjukkan jenis pertumbuhan tumor dan keterlibatan kelenjar getah bening . DAFTAR PUSTAKA 1. Janis, C., Mendelson, D., Moore, S., Gendel, E., Dottino, P., Brodman, M. 1989. Staging of Cervical Carcinoma: Accuracy of Magnetic Resonance Imaging anf Computed Tomography. Clinical Imaging Journal: 13: 114116. 2. Rigon, G., Vallone, C., Starita, A., Flavio, M., Ialongo, P., Putignani, L., Signore, F. 2011. Diagnostic Accurancy of MRI in Primary Cervical Cancer. Open Journal of Radiology : 2: 14-21. 3. Moyle, P., Hampson, F., Addley, H., Freeman, S. 2012. Imaging of the Female Pelvis. Obstetric Gynecology and Reproductive Medicine 22:10. 4. Sohaib, SA., Verma, H., Attygalle, A. D., Thomas, E.J. 2010. Imaging of Uterine Malignancies. Semin Ultrasound CT MRI 31:377-387. 5. Loubeyre, P., Navarria, I., Undurraga, M., Bodmer, A., Ratib, O., Becker, C., Petignat, P. 2012. Is imaging relevant for treatment choice in early stage cervical uterine cancer? Surgical Oncology 21 e1-e6. 6. Schnall , M. D. 1994. Magnetic Resonance Evaluation of Uterine Malignancies. Seminars in Ultrasound, CT, andMRI, Vo115, No 1: pp 27-37. 7. Maldjian, C., Schnall M.D. 1996. Magnetic Resonance Imaging of the Uterine Body, Cervix, and Adnexa . Seminars in Roentgenology, Vol XXXJ, No 4 : pp 257-266. 8. Wolfson , A.H. 2006. Magnetic Resonance Imaging and PositronEmission Tomography Imaging in the 21st Century as Tools for the Evaluation and Management of Patients With Invasive Cervical Carcinoma. Seminars in Radiation Oncology 6:186-191. 9. Camisão, C. C., Brenna, S.M.F.,. Lombardelli, K. V.P., Djahjah, M. C. R., Zeferino, L. C. 2007. Magnetic Resonance Imaging in the Staging of Cervical Cancer. Radiol Bras;40(3):207–215. 10. Lebioda , A.,. Makarewicz, R., Żyromska, A., Szymański, M., Sokolska, E. 2009. Measurement of tumour volume by MRI to evaluate risk of pelvic nodal metastases in early cervical carcinoma patients. Rep Pract Oncol Radiother 14/4/: 146–150. 11. Javitt, M.C F., Stein, H.L., Lovecchio, J.L. 1987. Mri In Staging Of Endometrial And Cervical Carcinoma. Magnetic Resonance Imaging, Vol. 5, pp 83-92. 12. . Liyanage, S.H., Roberts, C. A., Rockal, A.G. 2010. MRI And PET Scans For Primary Staging And Detection Of Cervical Cancer Recurrence. Women's Health 6(2), 251–269 13. Bhattacharjya, T., Moore, N.R. 2005. MRI in Gynaecology. Reviews in Gynaecological Practice 5 172–181. 14. Paramasivam, S., Proietto , A., Puvaneswary, M. 2006. Pelvic anatomy and MRI. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology Vol. 20, No. 1, pp. 3–22, 2006. 15. Mayr, N. A., Yuh W. T. C., Magnotta, V. A. , Ehrhardt, J. C., Wheeler, J. A., Sorosky, J.I., Davis, C.S., Wen, B.C., .Douglas, M.D D., Martin., Pelsang, R E., Buller, R. E., Oberley, L. W. , Mellenberg, D. E., Hussey, D. H. 1996. Tumor Perfusion Studies Using Fast Magnetic Resonance Imaging Technique In Advanced Cervical Cancer: A New Noninvasive Predictive Assay. Int. .I. Radiation Oncology Biol. Phys., Vol. 36, No. 3, pp. 623-633. 16. Sheua, M.H, Chang, C. Y., Wang, J.H., Yen, M.S. 2011. MR Staging Of Clinical Stage I And Iia Cervical Carcinoma: A Reappraisal Of Efficacy And Pitfalls. European Journal of Radiology 38: 225– 231. 17. Balleyguier, C., Fournet, C., Hassen, E., Zareski, W.B., Morice, P.,.Meder, C.H., Uzan, C., Gouy, S., Duvillard, P., Lhommé, C., 2013. Management Of Cervical Cancer Detected During Pregnancy: Role Of Magnetic Resonance Imaging. Clinical Imaging 37: 70–76. 18. Hesselink, J.R. Basic Principles Of arp.ucsd.edu/neurow eb/Tex t/br-100.htm MR Imaging. http://spinw