bab 2 tinjauan pustaka

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kesiapan Menikah
2.1.1
Pengertian Kesiapan Menikah
Konsep kesiapan menikah Wiryasti didapatkan melalui studi penelitian dari
Fowers & Olson (1992). Kemampuan-kemampuan dasar yang dibutuhkan dalam
pernikahan seperti kemampuan berkomunikasi, kemampuan dalam finansial, dan
kemampuan-kemampuan lain sangatlah penting dalam menentukan keberhasilan
pada awal pernikahan sebuah pasangan (Fowers & Olson, 1992). Kurangnya
kemampuan-kemampuan tersebut dapat terlihat dari tingkat perceraian yang tinggi
pada pasangan individu yang belum lama menikah pada saat studi dilakukan yaitu,
50% (Olson & DeFrain, 1997, dalam Olson & Olson). Dengan permasalahan
tersebut, pada tahun 1998, inventori Prepare/Enrich dikembangkan berdasarkan
indikator-indikator teoritis dan empiris dari permasalahan-permasalahan dan
konflik-konflik yang umum terjadi pada pernikahan. Indikator ini terdiri dari 4
kelompok utama yaitu personality issues, intrapersonal issues, interpersonal
issues, dan external issues.
Pada studi yang dilakukan Fowers dan Olson (1992) disimpulkan bahwa
kepuasan dan keberhasilan pernikahan dapat diprediksi dari kualitas hubungan
sebelum menikah dan pernikahan dapat ditingkatkan dan distabilisasi melalui
intervensi sebelum pernikahan. Intervensi yang dilakukan akan lebih sesuai, efektif
dan efisien bila sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh pasangan yang akan
menikah. Maka dari itu, Fowers dan Olson (1992) mengembangkan tipologi
pasangan bertunangan berdasarkan inventori Prepare agar dapat membantu dalam
menemukan intervensi yang sesuai. Mereka pun menemukan adanya 4 tipe
pasangan yaitu, vitalized couples, harmonious couples, traditional couples, dan
conflicted couples.
Karakteristik dari tipe-tipe di atas dijabarkan, sebagai berikut:
Vitalized couples adalah
•
pasangan yang memiliki tingkat kepuasan yang tinggi pada keseluruhan
5
6
hubungannya. Pasangan ini memiliki nilai yang tinggi pada kenyamanan
dalam mendiskusikan hubungannya masing-masing, dan menyelesaikan
masalahnya bersama-sama.
Harmonious couples
•
memiliki tingkat kepuasan yang sedang pada keseluruhan hubungannya.
Pasangan ini menyatakan bahwa secara relatif mereka puas akan
kepribadian dan perilaku pasangannya, merasa dimengerti oleh
pasangannya, dapat mendiskusikan perasaan-perasaannya, dapat
menghadapi perbedaan-perbedaan pada pasangannya, dan merasa
nyaman dengan teman-teman dan keluarga pasangannya.
Traditional couples memiliki
•
ketidakpuasan pada area interaksional hubungan mereka, tapi memiliki
kekuatan dalam area-area yang melibatkan pengambilan keputusan dan
perencanaan masa depan.
Conflicted couples
•
mengidikasikan kesulitan pada semua skala Prepare. Pasangan ini
menyatakan ketidakpuasannya terhadap kepribadian dan kebiasaankebiasaan pasangannya.
Pada tahun 2003, Risnawaty mengadaptasi Prepare/Enrich ke dalam bahasa
Indonesia, yang kemudian dinamakan Inventori Kesiapan Menikah. Inventori
Kesiapan Menikah lebih banyak mengadaptasi pada kategori interpersonal issues,
hal ini dikarenakan inventori tersebut tidak hanya mengevaluasi individu itu sendiri
tapi bagaimana hubungannya dengan pasangannya. Inventori Kesiapan Menikah
pun diadaptasi lebih dalam oleh Wiryasti pada tahun 2004, yang kemudian berubah
nama menjadi Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah.
Menurut Wiryasti sendiri (2004), kesiapan menikah adalah kemampuan
individu untuk siap menjalankan peran barunya sebagai suami atau istri dengan
adanya kematangan pribadi, yaitu adanya komitmen pada masing-masing individu
yang masuk ke dalam hubungan pernikahan sehingga tidak mengganggu minatminat.
7
Fowers & Olson (1992,
Risnawaty (2003)
Wiryasti
dalam Olson & DeFrain,
(2004)
2006)
Personality Issues
•
Komunikasi
•
Komunikasi
(Kepribadian)
•
Keuangan
•
Keuangan
•
Anak dan
•
Anak dan
-
Assertiveness
-
Self confidence
-
Avoidance
-
Partner dominance
Intrapersonal Issues
pengasuhan
•
Pembagian peran
pengasuhan
•
suami istri
•
Latar Belakang
Pembagian peran
suami dan istri
•
Latar belakang
-
Idealistic Distortion
pasangan dan relasi
pasangan dan
-
Spiritual Beliefs
dengan keluarga
relasi dengan
-
Leisure activities
besar
keluarga besar
-
Marriage expectation
Interpersonal Issues
•
Agama
•
Agama
•
Minat dan
-
Communication
pemanfaatan
-
Conflict Resolution
waktu luang
-
Children and parenting
-
Couple closeness
pasangan dan
-
Role relationship
pola hidup
-
Sexual relationship
•
Perubahan pada
External Issues
-
Family and friend
-
Financial management
-
Family closeness and
family flexibility
Tabel 2.1 Tabel Perbandingan Komponen Kesiapan Menikah
8
2.1.2
Aspek-aspek Kesiapan Menikah
Wiryasti (2004) mengoperasionalisasikan aspek kesiapan menikah dan
mengembangkan modifikasi inventori kesiapan menikah dengan menjabarkan aspekaspek kesiapan menikah sebagai berikut:
1)
Komunikasi
Komunikasi merupakan kemampuan untuk mengekspresikan ide dan perasaannya
dan mendengarkan pesan. Dalam komunikasi terdapat keterbukaan, kejujuran,
kepercayaan, empati, dan keterampilan mendengarkan.
2)
Keuangan
Keuangan merupakan kemampuan yang memiliki kaitan dengan pengaturan
ekonomi rumah tangga. Keuangan mencakup pengendalian atau pengaturan
keuangan dan membentuk kesepakatan yang dibuat dengan pasangan.
3)
Anak dan Pengasuhan
Setiap pasangan pasti mengharapkan memiliki anak sebagai tanda cinta kasih
antara kedua orang. Anak dan pengasuhan mencakup pengaruh kehadiran anak
terhadap relasi pasangan, perencanaan untuk memiliki anak. Kesepakatan cara KB,
kesepakatan cara pengasuhan, dan kesiapan menjalankan peran orang tua.
4)
Pembagian Peran Suami dan Istri
Pembagian peran suami dan isteri adalah bagaimana perserpsi dan sikap dalam
memandang peran-peran dalam rumah tangga, serta kesepakatan bersama dalam
pembagian pembagian peran suami-isteri dengan pasangan.
5)
Latar Belakang Pasangan dan Relasi dengan Keluarga Besar
Pasangan yang telah siap menikah akan saling mengetahui dengan baik dan
mampu mengevaluasi latar belakang pasangan yaitu, nilai-nilai dan sistem
keluarga besar yang membentuk karakter pasangan yang dipengaruhi oleh suku
bangsa keluarga. Relasi dengan keluarga besar terkait dengan bagaimana sikap
keluarga besar terhadap anggota baru.
9
6)
Agama
Agama merupakan nilai-nilai religius yang menjadi hal dasar dalam pernikahan.
Agama berperan dalam menentukan kesiapan menikah dalam hal kesamaan prinsip
agama dengan pasangan dan bagaimana penempatan nilai agam dalam relasi
hubungan pasangan.
7)
Minat dan Pemanfaatan Waktu Luang
Sikap terhadap minat pasangan dan kesepakatan mengenai pemanfaatan waktu
luang bagi diri sendiri dan pasangan.
8)
Perubahan pada Pasangan dan Pola Hidup
Hal yang mempengaruhi kesiapan menikah adalah mampu menghadapi perubahan
pasangan dan pola hidup yang terjadi setelah menikah.
2.2 Kecerdasan Emosional
2.2.1
Definisi Emosi
Kata emosi dalam bahasa Inggris adalah emotion yang berasal dari bahasa latin,
yaitu movere, yang berarti menggerakkan atau bergerak (Goleman, 2007). Selain itu,
Kartono (2011) mendefinisikan emosi sebagai getaran jiwa, keharuan, dan renjana (rasa
hati yang kuat). Sedangkan berdasarkan kamus Oxford English Dictionary (dalam
Goleman, 2007) emosi merupakan setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan,
nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.
Pada dasarnya emosi ialah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk
mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi
(Goleman, 2007). Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsang dari luar dan
dalam diri individu. Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran.
Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia.
2.2.2
Macam-macam Emosi
Menurut Goleman (2007) emosi memiliki beberapa macam, diantaranya adalah:
a. Emosi Cinta
Cinta atau perasaan kasih sayang adalah serangkaian reaksi di seluruh tubuh yang
membangkitkan keadaan menenangkan dan memuaskan, akibatnya memudahkahkan
terjalinnya kerjasama.
b. Emosi Bahagia
10
Emosi bahagia mendorong meningkatnya kegiatan di pusat otak, menenangkan
perasaan, meningkatkan energi, dan menghambat perasaan negatif. Emosi bahagia
mengistirahatkan tubuh secara menyeluruh, menimbulkan kesiapan jiwa, dan antusias
untuk menghadapi tugas-tugas kehidupan.
c. Emosi Sedih
Perasaan sedih mendorong penyesuaian diri, menurunkan energi, tetapi kalau
berlebihan kesedihan akan memperlambat metabolisme tubuh. Apabila rasa sedih
diikuti introspeksi, dapat menciptakan kesempatan untuk merenung sampai akhirnya
semangat pulih.
d. Emosi Takut
Perasaan takut membuat sirkuit-sirkuit di pusat otak memicu reproduksi hormon yang
membuat tubuh waspada, awas, siap bertindak. Emosi takut mendorong otot-otot
rangka besar, seperti kaki dan tangan siap bergerak. Emosi takut juga menimbulkan
wajah pucat dan darah terasa dingin.
e. Emosi Terkejut
Perasaan takut mendorong alis mata naik, bidak mata melebar sehingga cahaya lebih
banyak masuk ke retina. Hasilnya adalah intonasi tentang peristiwa yang diterima
menjadi baik sehingga memudahkan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.
f. Emosi Marah
Perasaan marah mendorong meningkatnya detak jantung, membanjirnya hormon
seperti adrenalin membangkitkan energi untuk bertindak luar biasa.
g. Emosi Cemas
Inti segala kecemasan adalah kekhawatiran. Isi pokok kekhawatiran adalah
kewaspadaan terhadap bahaya yang mungkin timbul. Rasa cemas memacu pemusatan
perhatian pada ancaman yang sedang dihadapi. Rasa cemas juga memaksa otak untuk
memikirkan terus-menerus bagaimana mengatasi masalah yang dihadapi, akibatnya
mengabaikan hal lainnya.
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi pada dasarnya adalah
dorongan untuk bertindak (Goleman, 2007). Jadi berbagai macam emosi itu mendorong
individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada.
2.2.3
Kecerdasan Emosional
11
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan oleh psikolog Peter Salovey
dan John Mayer pada tahun 1990 (dalam Saphiro, 2001). Salovey dan Mayer (dalam
Shapiro, 2001), menyatakan bahwa kecerdasan emosional ialah himpunan bagian dari
kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang
melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan
informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Sedangkan Baron (dalam
Goleman, 2007) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan
pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil
dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.
Menurut Robbins (2003), kecerdasan emosional merujuk pada satu
keanekeragaman keterampilan, kapabilitas, dan kompetensi kognitif, yang
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam menghadapi tuntutan dan
tekanan lingkungan. Kecerdasan emosional bukanlah lawan kecerdasan kognitif, namun
keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia
nyata. Selain itu, kecerdasan emosional tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan
(Shapiro, 2001).
Menurut Gardner (dalam Goleman, 2007) mengatakan bahwa bukan hanya satu
jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan,
melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu
linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal.
Kecerdasan interpersonal dan intrapersonal ini dinamakan kecerdasan pribadi oleh
Gardner dan Daniel Goleman menyebutnya sebagai kecerdasan emosional.
Goleman (2007), menyatakan bahwa kecerdasan pribadi terdiri dari kecerdasan
antar pribadi, yaitu kemampuan untuk memahami apa motivasi tindakan orang lain,
bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja berkembang dengan kecerdasan.
Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke
dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model bagi diri
sendiri yang teliti dan mengacu pada kemampuan yang dimiliki untuk digunakan
sebagai modal untuk menempuh kehidupan secara efektif. Dan dalam rumusan lain,
Goleman (2007) menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi ialah mencakup
kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati,
12
temperamen, motivasi dan hasrat orang lain. Dalam kecerdasan antar pribadi yang
merupakan kunci menuju pengetahuan akan kecerdasan diri yang melibatkan akses
menuju perasaan-perasaan seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaanperasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk mengontrol perilaku.
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (dalam
Goleman, 2007) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk
dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu.
Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali
emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain
(empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Goleman (2007), mengemukakan kecerdasan emosional adalah kemampuan
seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi
dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi
diri, empati dan keterampilan sosial. Skala kecerdasan emosional terdiri dari aspek
mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi
orang lain (empati), bekerjasama dengan orang lain.
Dari pengertian kecerdasan emosi di atas dapat disimpulkan kecerdasan emosi
adalah kemampuan yang dapat dilatih dan diasah seseorang. Dengan kecerdasan emosi
seseorang dapat memahami apa yang dibituhkan dirinya sendiri, sehingga ia pun dapat
mengetahui apa yang dibutuhkan orang lain. Kecerdasan emosi memiliki peran untuk
seseorang dapat mengendalikan dirinya, juga lingkungan sekitar. Memiliki kepekaan
akan hal yang terjadi di sekitar dan tahu apa yang harus dilakukan. Dengan kecerdasan
emosi seseorang memiliki hubungan interpersonal dan intrapersonal yang baik dan
efektif.
2.2.4
Kemampuan Utama Kecerdasan Emosional
Salovey (dalam Goleman, 2007), menempatkan kecerdasan pribadi Goleman
dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas
kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu:
a. Mengenali Emosi Diri (Self Awareness)
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari
13
kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai
metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.
b. Mengelola Emosi (Self Control)
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan
agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan
dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali
merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat
dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita. Kemampuan ini
mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan,
kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta
kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri (Self Motivation)
Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang
berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif,
yaitu antusiasme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
d. Mengenali Emosi Orang Lain (Empathy)
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati.
Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan
kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih
mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apaapa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang
orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan
orang lain.
e. Membina Hubungan (Socil Skills)
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang
menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Keterampilan
dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina
hubungan.
Menurt Feldman (2012) fungsi-fungsi yang penting dari emosi adalah:
14
a. Mempersiapkan individu untuk bertindak, merupakan bagaimana responyang keluar dari
dalam diri individu berdasarkan kejadian yang terjadi di lingkungan.
b. Membentuk perilaku di masa depan dengan adanya proses pembelajaran saat individu
merespon suatu kejadian dengan emosi tertentu maka di masa depan individu mampu
membentuk suatu perilaku.
c. Membantu individu untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain melalui perilaku
verbal dan non-verbal sehingga emosi dapat dilihat oleh orang lain. Perilaku tersebut dapat
menjadi pertanda bagi orang lain, sehingga mereka mengerti apa yang sedang dialami
individu dan membantu dalam memprediksi perilaku individu di masa depan.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi
dapat terbentuk pada seseorang dengan dilatih dan diasah. Kecerdasan emosi berarti
seseorang mampu memahami dirinya sendiri sebelum memahami orang lain. Seorang
wanita baik yang memiliki pasangan maupun tidak patut memiliki kecerdasan emosi
sehingga
2.3 Emerging Adult
2.3.1
Definisi Emerging Adult
Menurut Arnett (2001) tahap emerging adulthood menekankan pada pengalaman
psikologis dan subjektif dari individu. Pada tahap ini individu berada pada periode usia
eksplorasi identitas, individu merasa ada di “ditengah-tengah”, mengalami
ketidakstabilan, fokus diri dan terbukanya berbagai macam kemungkinan dalam hidup.
Emerging adulthood tertanam secara historis dan dibangun secara kultural (Arnett,
2001). Dalam tahapan perkembangan ini individu akan menerima kontrol terbesar dalam
kejadian hidup mereka. Temuan ini adalah refleksi dari emerging adulthood sebagai selffocused age, sebuah periode dimana seorang individu memiliki kebebasan untuk
membuat pilihan yang mereka inginkan.
2.3.2
Karakteristik Emerging Adulthood
Arnett (2007) menyatakan 5 ciri utama yang sangat membedakan emerging
adulthood dengan tahap perkembangan remaja dan emerging adult, yaitu:
a) The age of identity explorations
Pada tahap emerging adult individu melakukan eksplorasi pada setiap hal yang
mungkin dapat terjadi seperti halnya percintaan dan pekerjaan. Pada tahap ini, emerging
15
adult akan mengklarifikasi identitas mereka, memperdalam siapa mereka sebenarnya dan
apa yang mereka inginkan dalam kehidupannya. Pada tahap ini, individu diberikan
kesempatan terbaik untuk melakukan self-exploration (eksplorasi diri) dan menjadi lebih
mandiri dibandingkan pada tahapan remaja.
b) The age of instability
Pada tahap ini selain eksplorasi yang dilakukan oleh emerging adult akan
menimbulkan ketidakstabilan yang konsisten. Baik itu dalam hal perubahan pilihan akan
masalah percintaan dan pekerjaan. Maka masa emerging adult lebih dipenuhi oleh
periode ketidakstabilan yang intens.
c) The self-focused age
Emerging adults mulai fokus pada pengembangan diri untuk menjalani
kehidupannya sehari-hari sendiri. Individu mendapatkan pemahaman yang lebih baik
mengenai diri sendiri, apa yang diinginkan dalam hidup, dan mulai membangun dasar
untuk menjadi individu yang lebih dewasa. Dengan fokus pada diri sendiri, individu akan
belajar untuk berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan (self-sufficiency). Hal ini
menjadi normal karena dilihat sebagai tahap yang harus dilakukan sebelum berkomitmen
dalam cinta dan pekerjaan.
d) The age of feeling in-between
Eksplorasi dan ketidakstabilan yang dialami emerging adulthood memberikan
adanya suatu fase yang dihasilkan dari periode ‘diantara’ remaja. Saat di mana masih
banyak individu yang hidup dengan orangtuanya dan melanjutkan pendidikan yang lebih
tinggi, sedangkan emerging adult kebanyakan sudah menikah dan menjadi orangtua serta
memiliki hidup yang mulai stabil. Berada dipertengahan dua tahapan perkembangan ini
mendorong emerging adulthood untuk mencari tahu lebih dalam mengenai hidupnya
karena merasa hidupnya masih belum mapan dan stabil.
e) The age of possibilities
Age of possibilities, merupakan periode dimana arah kehidupan seseorang belum
begitu jelas. Pada tahap ini individu memiliki harapan serta ekspektasi tinggi, hal ini
dikarenakan beberapa mimpi dan pencapaian individu sedang ditantang dalam kehidupan
nyata. Emerging adults melihat masa depan dengan membayangkan hidup yang
16
sempurna seperti pekerjaan dengan gaji tinggi, memuaskan serta pernikahan yang seumur
hidup, bahagia serta anak-anak yang pintar.
2.4 Kerangka Berpikir
Wanita emerging adult menurut Arnet adalah wanita dengan rentang usia 18-15 tahun.
Pada usia ini wanita mulai melakukan eksplorasi dalam hal karir pekerjaan dan hubungan yang
intim dengan lawan jenis. Hubungan dengan lawan jenis pada usia ini akan lebih serius untuk
memasuki ke jenjang pernikahan. Pernikahan adalah bersatunya dua individu menjadi satu yang
diakui secara hukum dan sosial. Di mana janji yang diucapkan bersama hanya dapat dipisahkan
oleh maut. Pernikahan akan menciptakan suatu keluarga baru yang bahagia apabila kedua
individu memiliki kesiapan menikah yang baik. Disamping kesiapan materi, namun kesiapan
individu secara mental lebih diutamakan dan dibutuhkan pada setiap individu. Di mana kesiapan
menikah ini dapat dipupuk sejak individu masih lajang ataupun sudah memiliki pasangan.
Dengan adanya kesiapan menikah, wanita akan mampu menghadapi berbagai konflik
yang terjadi dalam masa pacaran maupun saat sudah menikah nantinya. Seringkali konflik yang
terjadi memicu stress pada wanita, terutama wanita cenderung menggunakan perasaannya
dibanding pikiran rasional. Disinilah faktor kecerdasan emosi dibutuhkan sehingga wanita
mampu mengerti dirinya sendiri terlebih dahuliu untuk dapat mengerti orang lain. Dengan
kecerdasan emosi wanita mampu tetap berinteraksi dengan baik pada pasangan sekalipun mereka
sedang dalam konflik dan mampu mengatasi setiap konflik yang dihadapi. Untuk itulah penulis
tertarik untuk menganalisa lebih dalam tentang hubungan antara kecerdasan emosi dan kesiapan
menikah pada wanita.
Asumsi dasar penelitian ini adalah semakin tinggi kecerdasan emosional wanita emerging
adult maka semakin siap individu untuk menikah.
Gambar 1. Kerangka Berpikir
WANITA
EMERGING
ADULT
KESIAPAN
MENIKAH
KECERDASAN
EMOSI
17
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Download