STUDI EKOLOGI PERINDUKAN NYAMUK VEKTOR

advertisement
STUDI EKOLOGI PERINDUKAN NYAMUK VEKTOR MALARIA DI DESA WAY
MULI, KECAMATAN RAJABASA LAMPUNG SELATAN
Endah Setyaningrum, Sri Murwani, Emantis Rosa, Kusuma Andananta
Jurusan Bioloi F.MIPA Universitas Lampung
ABSTRAK
Malaria adalah penyakit yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu parasit/plasmodium
(agent), faktor manusia (host), nyamuk Anopheles (vektor) dan linkungan (environment). Tujuan
Penelitian ini untuk mengetahui faktor ekologi (fisisk, kima, dan biologi) tempat perindukan
larva nyamuk vektor malaria. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni – September 2007 di
Desa way Muli, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan. Stasiun pengamatan 1 berupa
selokan air mengalir, sasiun pengamatan 2 adalah rawa dan stasiun pengamatan 3 adalah selokan
air tergenang. Penghitungan jumlah larva dilakukan di Laboratoriun Zoologi Jurusan Biologi
FMIPA Universitas Lampung. Hasil penelitian pada tempat perindukan nyamuk adalah suhu
tertinggi 33,5°C, salinitas 0 ‰, pH berkisar 6-7, sedangkan warna iar tertinggi 39,27 mgPtCo
dirawa, DO berkisar 5,3-6,4 mg/L. Jenis tumbuhan disekitar tempat perindukan nyamuk
ditemukan bandotan (Ageratum conicoides), bakau (Avicinnea sp),kelapa (Cocos musifera) dan
pohon pisang (Musa paradiciaca). Pada selokan air tergenang tidak terdapat tumbhan. Hewan
air pada selokan air mengalir didominasi oleh ikan cere (Gambusia affinis). Pada rawa adalah
ikan kepala timah, ikan cere, ikan mujair, udang, kecebong, anggang-anggang,dan nympha
capung. Sedang pada selokan air tergenang tidan didapatkan hewan air. Kepadatan larva
tertinggi pada selokan air tergenang (464,25 ekor/250 ml) terendah pada rawa (6,62
ekor/250ml).
Kata Kunci : Ekologi, Perindukan Vektor Malaria
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Penyakit malaria sebagai salah satu penyakit infeksi disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus
Plasmodium, yang ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Anopheles betina
(Depkes RI, 2001). Penularan malaria dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor parasit
(plasmodium), faktor manusia (host), faktor nyamuk Anopheles (vektor), dan faktor lingkungan
(Soejoeti, 1995). Nyamuk Anopheles merupakan salah satu jenis vektor dari penyakit malaria
yang sudah meluas hampir di seluruh propinsi di Indonesia.
Pada tahun 2002, terdapat tiga Puskesmas di wilayah Lampung Selatan dan Pesawaran
mempunyai angka kejadian malaria yang tinggi, yaitu di desa Hanura 97,59 %, desa Pidada 66 %,
dan Desa Way Muli 27 % (Sahli, 2003). Untuk prevalensi ( kasus penyakit malaria ) di Desa Way
Muli memang cukup tinggi, sehingga desa ini dapat dinyatakan sebagai daerah endemik malaria
(Puskesmas Way Muli, 2006).
Desa Way Muli, Lampung Selatan adalah salah satu daerah endemis malaria dengan kondisi
sebagian besar penduduk tingkat ekonomi rendah, pengetahuan tentang kesehatan lingkungan
sangat rendah, sanitasi lingkungan terutama di rumah-rumah penduduk kurang baik. Banyak
genangan air akibat saluran air yang tidak lancar merupakan tempat yang potensial sebagai
tempat perindukan nyamuk vektor malaria.
292
PROSIDING
Lingkungan fisik dan biologi seperti suhu udara, kelembaban, intensitas cahaya, arus air,
tumbuh-tumbuhan air dan tumbuhan-tumbuhan pelindung, serta ikan predator juga merupakan
faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan larva nyamuk dan penyebarannya, sehingga akan
mempengaruhi keseimbangan populasi nyamuk di alam (Depkes RI, 2001).
Mengingat pentingnya kondisi lingkungan tersebut terhadap kehidupan larva dan penyebaran
nyamuk vektor malaria, maka perlu dilakukan penelitian dengan mengamati aspek ekologi
tempat perindukan nyamuk. Data ini penting sebagai informasi dalam upaya penanggulangan
malaria.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi ekologi tempat perindukan larva nyamuk
vektor malaria berupa faktor fisik, kimia, dan biologi di Desa Way Muli Kecamatan Rajabasa
Kalianda Kabupaten Lampung Selatan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi di dalam penanggulangan nyamuk
vektor penyebab penyakit malaria.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - September 2007 di desa Way Muli Kecamatan
Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan untuk pengamatan faktor ekologi dan pengambilan larva.
Sedangkan penghitungan jumlah larva dilakukan di Laboratorium Zoologi FMIPA Universitas
Lampung.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei pada daerah endemik malaria di
Desa Way Muli, Kalianda Kabupaten Lampung Selatan. Pengamatan langsung dilaksanakan di
tempat-tempat perindukan larva nyamuk. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk deskriptif
yang menggambarkan kondisi ekologi pada tempat perindukan nyamuk vektor malaria.
Cara Kerja
1. Penentuan Tempat Perindukan Larva Nyamuk Vektor
Sebelum penelitian ini dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan survei pendahuluan. Survei ini
dilakukan untuk menentukan tempat-tempat perindukan larva nyamuk Anopheles sp. yang
selanjutnya disebut stasiun pengamatan. Stasiun pengamatan 1 berupa selokan dengan kondisi
air mengalir yang memiliki panjang 20 m dan lebar 15 cm. Stasiun pengamatan 2 berupa rawa
dengan panjang 300 m dan lebar 5 m. Sedangkan stasiun 3 berupa selokan dengan air tergenang
memiliki panjang 20 m dan lebar 30 cm. Stasiun pengamatan ini ditentukan berdasarkan ada
tidaknya larva Anopheles sp. pada tempat-tempat yang berpotensi sebagai tempat perindukan
nyamuk vektor.
2. Pengamatan Faktor-faktor Ekologi
Meliputi pengamatan Abiotik dan Biotik.
a. Pengamatan Abiotik meliputi ; Suhu Air, pH Air, Salinitas Air , Kecerahan , Kedalaman Air.
Dasar air, Warna Air, Oksigen terlarut (DO)
Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian kepada Masyarakat, Unila, 2008
293
b. Pengamatan faktor biotik meliputi :
1. Jenis tumbuhan yang hidup di dalam perairan.
Setiap tumbuhan yang hidup di sekitar tempat perindukan difoto dan diambil sampelnya untuk
diidentifikasi di laboratorium Zoologi FMIPA Universitas Lampung.
2. Jenis hewan lain yang hidup di daerah perindukan nyamuk
Sampel air diambil dan diamati jenis hewan apa saja yang ada di perairan tersebut.
3. Kepadatan larva nyamuk selain anopheles
Larva nyamuk diambil dari genangan air dengan menggunakan gayung, kemudian dituangkan ke
dalam kantung plastik untuk dihitung kepadatannya. Setiap titik pengambilan sampel diambil 3
kali ulangan.
Larva nyamuk yang diperoleh dari tiap titik dihitung dengan menggunakan rumus yang
dipergunakan Depkes RI (1999) :
Kepadatan larva =
Jumlah larva yang didapat
Jumlah cidukan
Volume 1 cidukan = 250 ml
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Faktor Abiotik di Tempat Perindukan Nyamuk Anopheles sp.
Hasil pengukuran faktor abiotik (fisik dan kimia) pada tempat perindukan larva nyamuk
Anopheles sp. berupa suhu, pH, salinitas, kedalaman, dasar air, warna air, kecerahan, DO,
kelembaban udara pada masing-masing stasiun pengamatan berbeda, data selengkapnya
disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Faktor fisik dan kimia tempat perindukan larva nyamuk.
Stasiun Pengamatan
Suhu air (oC)
Ph air
Salinitas o/oo
Kedalaman (cm)
Dasar air
Warna air (mgPtCo)
Kecerahan (cm)
DO (Disolved Oxygen) (mg/L)
Kepadatan Larva (ekor/250ml)
Kelembaban udara (%)
I
(Selokan Air
Mengalir)
33,5
6
0
15
Lumpur
36,24
0
6,3
12,17
81,6
2
(Rawa)
33,25
6
0
100
Lumpur
39,27
20
6,4
6,62
81,6
3
(Selokan Air
Tergenang)
32
7
0
25
Lumpur
38,92
0
5,3
464,25
81,6
2. Faktor Biotik di Tempat Perindukan Nyamuk Anopheles sp.
Selain faktor-faktor abiotik, faktor biologi juga diamati di tempat perindukan nyamuk. Faktor
biotik yang diamati meliputi tumbuhan sebagai produsen dan hewan air sebagai konsumen yang
terdapat di sekitar perindukan.
294
PROSIDING
Keberadaan tumbuhan air di sekitar perindukan digunakan oleh larva sebagai tempat berlindung.
Sedangkan keberadaan hewan akuatik dapat berpotensi menjadi musuh alami (predator) yang
dapat mengurangi jumlah populasi larva nyamuk di tempat perindukan. Hasil pengamatan jenisjenis tumbuhan dan hewan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Jenis hewan air dan tumbuhan yang ditemukan di sekitar tempat perindukan larva
nyamuk Anopheles sp.
No.
Jenis
Tumbuhan/
hewan
1
Tumbuhan
2
Hewan
Stasiun
Pengamatan 1
(Selokan Air
Mengalir)
Bandotan
(Ageratum
conizoides)
Ikan cere
(Gambusia a ffinis)
Stasiun
Pengamatan 3
(Selokan air
tergenang)
Stasiun Pengamatan 2
(Rawa)
1. Kelapa (Cocos nucifera sp)
2. Pisang (Musa paradisiaca)
3. Nipah (Avicinnea sp.)
1. Ikan kepala timah
(Aplocheilus panchax)
2. Ikan cere (Gambusia affinis)
3. Ikan Mujair
(Tilapia mossambica)
4. Udang (Palaemonetes sp)
5. Kecebong (Rana sp.)
6. Anggang-anggang (Gerris sp.)
7. Nimfa Capung (Anax junius)
-
Tumbuhan yang hidup di sekitar perairan didominasi oleh tumbuhan berkayu. Pada selokan air
mengalir berupa satu jenis tumbuhan yaitu bandotan (Ageratum conizoides), sedangkan pada
rawa berupa tumbuhan bakau (Avicinnea sp), kelapa (Cocos nucifera) dan pohon pisang (Musa
paradiciaca). Pada selokan air tergenang tidak terdapat tumbuhan. Tumbuhan di sekitar tempat
prindukan nyamuk kebanyakan adalah tumbuhan berkayu dan tidak terdapat tumbuhan air yang
hidup terapung di perairan (Tabel 2).
Hasil pengamatan hewan air pada selokan air mengalir didominasi oleh ikan cere (Gambusia
affinis). Pada rawa hewan air yang didapatkan berupa ikan kepala timah (Aplocheilus
panchax), ikan cere (Gambusia affinis), ikan Mujair (Tilapia mossambica), udang (Palaemonetes
sp), kecebong (Rana sp.), anggang-anggang (Gerris sp.) dan nimfa capung (Anax junius).
Sedangkan pada selokan air tergenang tidak terdapat hewan air (Tabel 2).
464,25
Kepadatan Larva (ekor/250ml)
420
360
300
240
180
120
60
12,7
0
1
6,62t
2
3
Stasiun Pengamatan
Gambar 11. Kepadatan larva nyamuk Anopheles sp. pada tempat Perindukan
Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian kepada Masyarakat, Unila, 2008
295
Kepadatan larva pada ketiga tempat perindukan sangat berbeda. Selokan air tergenang memiliki
kepadatan larva paling tinggi yaitu 464,25 ekor/250ml, rawa memiliki kepadatan larva sebesar
6,62 ekor/250ml dan selokan air mengalir sebesar 12,17 ekor/250ml
B. Pembahasan
1. Faktor Abiotik di Tempat Perindukan Nyamuk Anopheles sp
Faktor fisik dan kimia merupakan faktor abiotik yang memiliki peranan penting dalam
perkembangan dan penyebaran nyamuk. Faktor-faktor tersebut meliputi suhu, salinitas,
kedalaman, pH, kecerahan, DO dan warna air. Setiap spesies nyamuk memiliki faktor fisik dan
kimia lingkungan yang berbeda bagi pertumbuhannya (Brown, 1979).
Stasiun pengamatan 1 berupa selokan dengan kondisi perairan yang mengalir, pada stasiun
pengamatan 2 adalah rawa yang terletak di belakang perumahan penduduk dan stasiun
pengamatan 3 adalah selokan dengan kondisi perairan yang tergenang.
Pada tabel 1
memperlihatkan perbedaan kondisi fisik dan kimia pada masing-masing stasiun pengamatan
tempat perindukan nyamuk.
Berdasarkan hasil pengamatan, suhu ke tiga tempat perindukan berkisar antara 32 - 33,5 oC .
Menurut Hoedojo (1993) suhu optimum untuk tempat perindukan nyamuk berkisar antara 20 – 28
o
C. Sedangkan menurut Depkes RI (2001) suhu optimum untuk tempat perindukan nyamuk
berkisar antara 25 – 27°C. Suhu pada ketiga tempat perindukan nyamuk di desa Way Muli
termasuk tinggi, lebih tinggi dari suhu optimum menurut Hoedojo (1993) dan Depkes RI (2001).
Namun bila dibandingkan dengan hasil penelitian Syarif (2003), suhu tempat perindukan nyamuk
di Desa Sukajaya Lempasing berkisar antara
31,9 - 33,6 °C. Hal ini menunjukkan bahwa suhu tersebut relatif sama, kesesuaian hasil
pengukuran suhu yang tinggi di Desa Way Muli dan Desa Sukajaya diduga dipengaruhi oleh musim
kemarau dengan penyinaran relatif terus menerus oleh sinar matahari. Menurut Raharjo, dkk.
(2003) suhu di sekitar tempat peridukan nyamuk Anopheles sp. pada musim kemarau dapat
mencapai 31,1 – 36,7 oC. Hal tersebut menunjukkan bahwa suhu tinggi ini terjadi saat musim
kemarau, sedangkan suhu yang diperoleh Hoedojo (1993) diduga karena penelitiannya dilakukan
pada musim hujan.
Perbedaan suhu pada masing-masing stasiun pengamatan diduga karena pengaruh keberadaan
tanaman pelindung di sekitar stasiun pengamatan. Berdasarkan hasil pengukuran suhu, selokan
air mengalir merupakan tempat perindukan yang memiliki suhu paling tinggi yaitu 33,5°C.
Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh salinitas pada ke tiga tempat perindukan larva adalah
sama yaitu 0 o/oo. Hal ini menunjukkan bahwa perairan tempat perindukan nyamuk tersebut
termasuk jenis perairan tawar. Menurut Effendi (2003) nilai salinitas perairan tawar biasanya
kurang dari 0,5 o/oo. Salinitas ini kurang baik untuk kehidupan larva Anopheles yang menurut
Soekirno,dkk (1983) berkisar antara 12-18 ppt. Hal ini didukung oleh pengamatan dari
Sundararaman (1957) dalam Budasih (1993) mengatakan bahwa Anopheles sundaicus dapat
berkembang dengan baik pada salinitas antara 4-30 o/oo , dan salinitas yang sesuai dengan
perkembangan larva di pulau Jawa adalah 15-20 o/oo. Sedangkan menurut Russel et.al (1963)
dalam Syarif (2003) larva Anopheles sundaicus mempunyai sifat yang lebih toleran terhadap
salinitas yang tinggi karena memiliki mekanisme yang dapat menetralisir tekanan osmotik di
dalam hemofile.
Pada tabel 1 menunjukkan bahwa dasar tempat perindukan nyamuk Anopheles sp. pada ketiga
stasiun pengamatan berupa tanah berlumpur. Menurut Soekirno, dkk. (1983) larva Anopheles
menyukai dasar perindukan yang cenderung berpasir, meskipun ada juga yang menyukai dasar
perindukan yang berlumpur. Dengan demikian diduga bahwa larva nyamuk tidak bergantung
pada dasar suatu perairan karena mereka hidup pada permukaan air, atau dengan kata lain dasar
perairan bukan merupakan faktor pembatas.
296
PROSIDING
Hasil pengukuran pH tempat perindukan nyamuk di Desa Way Muli berkisar antara 6-7. pH
tersebut termasuk cukup ideal sebagai habitat perindukan nyamuk. Hal ini sesuai dengan
pendapat Effendi (2003), bahwa sebagian besar biota akuatik menyukai nilai pH antara 7-8,5.
Menurut Syarif (2003) larva Anopheles memiliki toleransi terhadap pH antara 7,91-8,09. Raharjo
dkk. (2003) juga menyatakan bahwa pH tempat perindukan nyamuk Anopheles pada musim
kemarau berkisar antara 6,8 -8,6.
Berdasarkan pengukuran warna air pada selokan air mengalir nilai warna air sebesar 36,24
mgPtCo, rawa sebesar 39,27 mgPtCo dan selokan air tergenang memiliki nilai warna air sebesar
38,92mgPtCo. Menurut Effendi (2003), nilai warna air di bawah 40 mgPtCo masih tergolong
baik. Rawa merupakan tempat perindukan yang memiliki nilai warna air yang paling tinggi
dengan kedalaman perairan yang paling dalam (100 cm) dibandingkan dengan selokan air
mengalir dan tergenang (15 cm dan 25 cm). Menurut Effendi (2003) perbedaan warna pada
perairan menunjukkan indikasi bahwa semakin dalam suatu perairan, maka semakin tinggi nilai
warna karena terlarutnya bahan organik yang terakumulasi di dasar perairan. Warna air dapat
menghambat penetrasi cahaya ke dalam air dan mengakibatkan terganggunya proses
fotosintesis. Proses fotosintesis di perairan akan mempengaruhi keberadaan oksegen terlarut
(DO) dalam air, sehingga akan mempengaruhi kepadatan larva nyamuk di tempat perindukan.
Berdasarkan hasil pengukuran, DO (oksigen terlarut) pada tempat perindukan nyamuk berkisar
antara 5,3-6,4 mg/L. Kondisi oksigen terlarut pada perairan tempat larva nyamuk hidup masih
baik yaitu lebih dari 3 mg/L. Menurut UNESCO/WHO/UNEP (1992) dalam Effendi (2003) kadar
DO optimum yang baik untuk menopang kehidupan organisme akuatik berkisar antara 5,0 – 9,0
mg/L. Ketiga tempat perindukan mempunyai kadar oksigen terlarut yang lebih dari 5 mg/L, hal
tersebut menunjukkan bahwa proses fotosintesis yang dilakukan oleh produsen (tumbuhtumbuhan yang berada di sekitar tempat perindukan nyamuk) berjalan dengan baik, karena
sumber oksigen terlarut terdapat pada perairan adalah berasal dari proses fotosintesis.
2. Faktor Biotik di Tempat Perindukan Nyamuk Anopheles sp.
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa pada selokan air tergenang memiliki jumlah kepadatan
larva nyamuk yang tinggi dibandingkan dengan selokan air mengalir dan rawa. Hal tersebut
diduga karena pada kedua tempat perindukan terdapat hewan air yang berpotensi sebagai
predator larva nyamuk. Tidak ditemukannya hewan air pada selokan air tergenang menyebabkan
kepadatan larva nyamuk pada selokan ini paling tinggi, karena larva dapat hidup bebas tanpa
adanya ancaman dari hewan akuatik yang berpotensi sebagai predator. Menurut Anonim B
(2006) populasi semua organisme pada semua tingkatan dapat menurun karena aksi alami dari
predator. Predator dapat menurunkan suatu populasi dengan cara memakan mangsanya
(Campbell, 2004) atau membunuh binatang lain yang lebih kecil dan lemah (Anonim B, 2006).
Pada selokan air mengalir dan rawa ditemukan adanya tumbuhan pelindung dengan kepadatan
larva nyamuk yang lebih rendah dibandingkan dengan selokan air tergenang. Adanya tumbuhan
di sekitar perairan akan mempengaruhi keberadaan oksigen yang dibutuhkan oleh biota perairan
tersebut untuk hidup (Effendi, 2003) sehingga hal ini memungkinkan hewan air seperti ikan
kepala timah, ikan cere, udang dan ikan mujair dapat hidup dengan baik pada selokan air
mengalir dan rawa akan memangsa larva yang terdapat di habitat yang sama (Depkes RI, 2001).
Berdasarkan hasil pengukuran, pada selokan air tergenang memiliki kepadatan larva nyamuk
464,25 ekor/250ml, lebih tinggi dibandingkan dengan selokan air mengalir (12,17 ekor/250ml)
dan rawa (6,62 ekor/250ml). Tingginya kepadatan larva nyamuk pada selokan air tergenang
diduga karena musuh alami atau predator pada stasiun ini tidak ada, sehingga produktivitas larva
tinggi. Dalam ekosistem yang dikemukakan oleh Odum (1993) ada rantai makanan dan jaring
makanan pada konsep keseimbangan. Sebagai konsumen primer, larva nyamuk akan dimakan
oleh konsumen sekunder seperti ikan dan ikan akan dimakan oleh konsumen berikutnya atau
mati dan diuraikan oleh dekomposer. Keseimbangan akan terganggu bila rantai makanan atau
jaring makanan terputus. Kepadatan larva Anopheles sp. berkurang dengan bertambahnya
jumlah ikan yang terdapat di tempat perindukan. Ikan yang terdapat pada daerah bekas tambak
Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian kepada Masyarakat, Unila, 2008
297
dan tepi pantai yaitu dari kelas Pisces (Cyprinidae dan Cyprinodontidae) (Soekirno dkk., 1983).
Hasil penelitian Soekirno dkk. (1983) menyatakan bahwa ikan kepala timah merupakan pemakan
larva nyamuk Anopheles sp.
Tidak adanya hewan akuatik pada selokan air tergenang menyebabkan larva nyamuk dapat hidup
bebas tanpa ancaman dari predator, sehingga kepadatan larva nyamuk menjadi tinggi. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Setyaningrum (1998) yang menyatakan keberadaan ikan pada
tempat perindukan mempengaruhi kepadatan larva nyamuk, makin banyak ikan maka kepadatan
larva semakin kecil demikian pula sebaliknya.
KESIMPULAN
–
Ekologi perindukan vektor malaria di desa Way Muli Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan
mendukung kehidupan larva nyamuk vektor malaria.
–
Adanya predator pada perindukan (stasiun 1 & 2) diduga sangat mempengaruhi kepadatan
larva nyamuk vektor malaria
DAFTAR PUSTAKA
Anonim A, 2000. Mosquitoe Life Cycle. http://images.google.co.id/imgres?imgurl.
Anonim
B,
2006.
Pengendalian
Hayati.
http://elearning.unej.ac.id/courses/PNH1653/document/Pengantar_Pengendalian_Hayat
i.pdf?cidReq=PNH1653
Borror, D.J. , C.A. Tripelhorn And N.F. Johnson. 1992. Pengendalian Pelajaran Serangga. Edisi
Ke-6. Alih Bahasa S. Partosoedjono; Penyunting M.D. Brotowijoyo. Gadjah Mada
University. Yogyakarta.
Brown, H.W. 1979. Dasar Parasitologi Klinis. Edisi ke-3. Gramedia. Jakarta.
Budasih, H. 1993. Beberapa Aspek Ekologi Tempat Perindukan Nyamuk Anopheles sundaicus
Rodenwalt dalam kaitannya dengan Epidemiologi Malaria di Desa Labuan Lombok,
Lombok Timur. Tesis Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Campbell, Neil A. 2004. Biologi. Edisi kelima. Jilid 3. Erlangga. Jakarta.
Depkes RI. 1992. Petunjuk Teknik Pemberantasan Nyamuk Penular Penyakit Demam Berdarah
Dengue. Dirjen PPM-PLP. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Depkes RI. 1999. Modul Entomologi Malaria 3. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Depkes RI. 2001. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor. Dit. Jen. PPM-PL. Departemen
Kesehatan RI. Jakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan.Kanisius.Yogyakarta.
Hoedojo, R. 1993. Parasitologi Kedokteran. Edisi Ke-2. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Hoedojo, R. 1998. Morfologi, Daur Hidup dan Perilaku Nyamuk dalam Parasitologi Kedokteran.
Edisi Ke-3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Levine, N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
298
PROSIDING
Mulyanto. 1992. Lingkungan Hidup untuk Ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta
Noble, E.R and G.A. Noble. 1989. Parasitologi : Biologi Parasit Hewan. Alih Bahasa : Wardianto.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Tjahjono Samingan. Edisi ketiga.
Gadjah Mada University. Yogyakarta.
Puskesmas Way Muli. 2006. Pendataan Warga Sakit Penderita Penyakit Malaria 2005-2006.
Lampung Selatan.
Raharjo, M. Sutikno, S.J., mardihusodo. 2003. Karakteristik Wilayah Sebagai Determinan
Sebaran Anopheles aconitus di Kabupaten Jepara. dalam First Congress of Indonesia
Mosquito Control Association in the Commemoration of Mosquito day. Jogjakarta. Hal
56-64.
Russel,
C.
Richard.
2000.
Anopheles.
http://www.arbovirus.health.nsw.gov.au/mosquit/photos/larvaephotographs2.htm
Sahli, S. 2003. Situasi Penyakit Parasitik pada Manusia di Propinsi Lampung. Makalah Seminar
Pengendalian Penyakit Parasitik Manusia
dan Hewan pada Era Desentralisasi.
Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasitik Indonesia Cabang Bandar Lampung.
Setyaningrum, E. 1998. Aspek Ekologi Tempat Perindukan Nyamuk Anopheles sundaicus di Pulau
Legundi Padang Cermin Lampung. Jurnal Manajemen dan Kualitas Lingkungan Volume 1
Nomor 3. Pusat Studi Lingkungan Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Lampung.
Soejoeti, S. Z. 1995. Persepsi Masyarakat Mengenai Penyakit Malaria Hubungannya dengan
Kebudayaan dan Perubahan Lingkungan. Media Litbangkes. Vol. V. No. 02/1995.
Soekirno, M. Bang J.H., Sudomo., Pamayun C. P., and G.A. Fleming. 1983. Bionomics of An.
sundaicus and other Anophelines Assoiciated with Malaria Coastal Areas of Bali
(Indonesia). Sirkuler WHO/VBC/83.885.
Sukowati, S. 1990. Vektor Demam Berdarah Dengue. Training Workshop on Diagnostic Virology.
Jakarta.
Syarif, H. S. 2003. Studi Ekologi Perindukan Nyamuk Vektor Penyakit Malaria di Desa Sukajaya
Lempasing Kec. Padang Cermin Lampung Selatan. Skripsi. Universitas Lampung. Lampung.
Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian kepada Masyarakat, Unila, 2008
299
Tabel 3. Faktor ekologi tempat peridukan larva dan predator
Jenis
perindukan
Selokan air
mengalir
(1)
Rawa
(2)
Selokan air
tergenang
(3)
Titik
Suhu
Dasar air
1
Kondisi ekologi
Kedalaman
pH
(cm)
15
6
33oC
Tanah berlumpur
Salinitas
(%)
0
2
3
15
15
6
6
34 oC
34 oC
Tanah berlumpur
Tanah berlumpur
0
0
4
1
15
100
6
6
33 oC
34 oC
Tanah berlumpur
Tanah berlumpur
0
0
2
100
6
33oC
Tanah berlumpur
0
3
100
6
34 oC
Tanah berlumpur
0
4
100
6
32 oC
Tanah berlumpur
0
1
25
7
34 oC
Tanah berlumpur
0
2
25
7
31 oC
Tanah berlumpur
0
3
25
7
31oC
Tanah berlumpur
0
4
25
7
32 oC
Tanah berlumpur
0
Tabel 4. Kepadatan larva nyamuk
Jenis
perindukan
Titik
ke1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
Selokan air
mengalir
(1)
Rawa
(2)
Selokan air
tergenang
(3)
Jumlah larva / cidukan
Ulangan
1
2
3
9
8
6
6
9
16
10
8
12
7
11
8
8
5
6
9
11
7
2
5
4
10
8
5
479
280
385
815
720
675
400
255
350
430
440
346
Rerata
Kepadatan larva
(ekor/ml)
12,17
7,6
10,3
10
8,6
6,3
9
3,6
7,6
381
736
335
405
6,62
464,25
Tabel 5. Data kelembaban udara rata-rata bulanan di Lampung dari tahun 1995 – 2006 (%).
Tahun
1995
1996
1997
1998
1999
Bulan
Jan Feb
Mar
Apr
Mei
87
83
82
89
86
85
87
89
84
88
87
82
81
85
88
88
85
84
86
89
Jun
87
84
79
88
84
Jul
85
79
77
88
84
Agt
80
82
73
82
81
Sep
78
83
69
84
78
Okt
79
81
64
82
86
Nov
84
81
72
82
85
Des
86
81
76
85
88
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
87
89
87
84
86
87
86
85
89
87
86
86
87
87
86
85
87
88
87
87
87
87
87
85
91
88
86
86
83
86
88
87
85
86
85
84
84
86
85
83
86
85
89
82
85
82
86
84
82
83
80
82
78
78
83
79
78
83
80
80
75
77
76
81
84
75
84
76
83
75
Rata2 86.1 86.5 86.7 86.5 85.6 84.6 83.6 80.1 78.4 79.2
Maks. 89.0 89.0 89.0 91.0 88.0 87.0 89.0 83.0 84.0 86.0
Min.
82.0 84.0 85.0 82.0 81.0 79.0 77.0 73.0 69.0 64.0
Catatan : ( - ) tidak ada data / akibat alat rusak
Sumber : Stasiun Badan Meteorologi dan Geofisika – Geofisika. Sido Basuki.
84
86
79
85
81
83
-
86
88
85
87
85
83
-
82.0
86.0
72.0
84.6
88.0
76.0
Tegineneng. 2006
Gambar 12. Jaring ikan hias (untuk menangkap hewan air)
Gambar 13. pH meter
Gambar 14. Refractometer (untuk mengukur salinitas)
Gambar 15. Thermometer (untuk mengukur suhu)
Gambar 16. Stasiun Pengamatan 1 (Selokan air mengalir)
Gambar 17. Stasiun Pengamatan 2 (Rawa)
Gambar 18. Stasiun Pengamatan 3 (Selokan air tergenang)
Download