7 Bab 2 Landasan Teori Pada bab ini, penulis akan mengemukakan

advertisement
Bab 2
Landasan Teori
Pada bab ini, penulis akan mengemukakan beberapa teori mengenai pengertian
penerjemahan dan metode penerjemahan yang akan digunakan untuk menganalisis data
pada Bab 3.
Seperti dikutip oleh Newmark dari Jumpelt (1981: 3), abad ke-20 dikatakan
sebagai abad penerjemahan atau abad reproduksi oleh Benjamin (1923). Sejak abad ke19 pun penerjemahan adalah satu-satunya cara untuk berkomunikasi antara para filosofi
dan ilmuwan lainnya.
2.1 Pengertian Penerjemahan
Ada banyak pengertian mengenai penerjemahan yang dapat ditemukan dalam
setiap buku mengenai penerjemahan. Setelah membaca beberapa pengertian translation,
penulis menyimpulkan bahwa semua pengertian translation adalah mirip.
“Menerjemahkan adalah suatu kegiatan yang terjadi dalam bahasa: proses
mengganti teks dari suatu bahasa ke teks dalam bahasa lain” (Catford, 1965:1). Ia juga
mengatakan bahwa “menerjemahkan adalah mengganti kata-kata dari suatu bahasa
(bahasa sumber) ke bahasa lain (bahasa target) dengan susunan material yang ekuivalen”.
Forster dalam Nida (1964 : 162) menggaris bawahi bahwa penerjemahan yang
bagus adalah “penerjemahan yang memenuhi tujuan yang sama seperti dalam teks
bahasa sumber”. Knox dalam Nida (1964 : 164) juga mengemukakan bahwa
penerjemahan yang bagus adalah penerjemahan yang dapat dibaca dengan ketertarikan
dan kenikmatan yang sama seperti yang ditemukan dalam bentuk aslinya.
7
Proses merubah bentuk tulisan maupun lisan dari satu bahasa ke bahasa lain
disebut translation. Proses yang dimaksud disini adalah langkah dalam menerjemahkan.
Oleh karena itu, penerjemah maupun pemelajar bahasa asing diharapkan mengenal
setiap langkah yang harus dikerjakan dalam merubah tulisan (teks) dari bahasa sumber
ke bahasa target. Itulah yang disebut dengan membuat terjemahan atau menerjemahkan
(Newmark,1981).
Langkah-langkah dalam menerjemahkan teks menjadi kegiatan setiap orang yang
ingin mentransfer pesan dari satu bahasa ke bahasa lain. Maka dari itu, sebagai seorang
penerjemah perlu untuk memperhatikan bentuk teks dalam bahasa sumber karena
translation adalah kegiatan merubah bentuk pengertian dari bahasa sumber ke bahasa
target yang diawali dengan merubah bentuk kalimat bahasa sumber ke bentuk kalimat
bahasa target dengan memperhatikan struktur semantik. Makna adalah satu-satunya hal
yang harus tetap dijaga dan tidak boleh berubah dari bahasa sumber. Bagaimanapun juga,
yang boleh berubah dalam translation hanyalah bentuk kalimat (Larson, 1984: 3).
Oleh karena itu, seorang penerjemah harus mengetahui bahwa dalam
menerjemahkan bukan hanya masalah pengertian/makna yang harus diperhatikan. Akan
tetapi bentuk bahasa juga perlu diperhatikan untuk mendapatkan pengertian/makna yang
ekuivalen dan bentuk bahasa dalam bahasa target seperti yang dikatakan Nida dalam Lie
(2005) :
Translation consists of reproducing in the receptor language the
closest natural equivalent to the message of the (original) language,
first in terms of meaning and secondly in terms of style. By natural,
we mean that the equivalent meaning forms should not be ‘foreign’
either in form or meaning
Terjemahan :
Menerjemahkan adalah mereproduksi bahasa sumber ke bahasa target
dengan pengertian yang natural yang memiliki pengertian yang
8
semirip mungkin. Pertama adalah makna, dan kedua adalah style.
Yang dimaksud dengan natural adalah bahwa makna yang ekuivalen
tidak boleh asing baik dalam bentuk kalimat maupun makna.
Yang dimaksud dengan “source language” (bahasa sumber) dan “receptor
language” (bahasa target) yang disebut diatas menurut Nida dalam Lie (2005) adalah;
“source language” adalah bahasa yang akan diterjemahkan, sedangkan yang dimaksud
dengan “receptor language” adalah bahasa hasil terjemahan. Berdasarkan pengertian
tersebut, penulis akan memfokuskan pada analisa teks bahasa Jepang sebagai bahasa
sumber dan bahasa Indonesia sebagai bahasa target.
Menerjemahkan bukanlah suatu kegiatan yang sederhana seperti yang dikatakan
Larson dalam Meaning-Based Translation (1984: 22). Karena bukan hanya bahasa yang
berbeda, tetapi setiap bahasa memiliki kode dan peraturan yang berbeda satu sama lain.
Seperti yang kita ketahui, dalam bahasa Indonesia tidak mengenal tenses, tetapi dalam
bahasa Jepang mengenal beberap tenses. Selain itu, Jepang dan Indonesia memiliki
kebudayaan yang sangat berbeda yang mungkin tidak akan dapat diterjemahkan dari
bahasa Jepang ke bahasa Indonesia maupun sebaliknya.
Setelah
mengemukakan
beberapa
pengertian
tersebut
diatas,
penulis
menyimpulkan bahwa menerjemahkan adalah merubah bahasa sumber ke bahasa target
tanpa merubah pengertian. Dan itu berarti bahwa sebelum menerjemahkan, seorang
translator harus mengenal target pembaca hasil terjemahannya. Penerjemahan yang baik
adalah penerjemahan yang memberikan kepuasan bagi pembacanya.
9
2.2 Tujuan Penerjemahan
Forster dalam Nida (1964 : 162) menggaris bawahi bahwa penerjemahan yang
bagus adalah “penerjemahan yang memenuhi tujuan yang sama seperti dalam teks
bahasa sumber”. Knox dalam Nida (1964 : 164) juga mengemukakan bahwa
penerjemahan yang bagus adalah penerjemahan yang dapat dibaca dengan ketertarikan
dan kenikmatan yang sama seperti yang ditemukan dalam bentuk aslinya.
Dari teori di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa salah satu tujuan
penerjemahan adalah menyampaikan pesan yang sama kepada pembaca teks hasil
terjemahan dalam bahasa target sebagaimana pesan yang disampaikan oleh teks dalam
bahasa sumber.
2.3 Metode Penerjemahan
Metode penerjemahan berperan sangat penting dalam proses menerjemahkan
pesan. Hasil terjemahan sangat tergantung kepada metode penerjemahan yang
dipergunakan oleh translator.
Ada banyak metode penerjemahan yang dikemukakan oleh para ahli. Namun,
penulis hanya akan mempergunakan dua (2) metode dalam penelitian. Kedua metode
tersebut adalah metode pelesapan dan penyetaraan.
Berikut ini penulis akan mengemukakan kedua metode penerjemahan tersebut
diatas yang dikutip dari Newmark (1981).
10
2.3.1 Pelesapan (Deletion)
Pelesapan disebut juga deletion dalam bahasa Inggris. Berikut ini adalah kutipan
mengenai pelesapan menurut Newmark (1981: 149) :
”Theoretically, the translator has to account for every portion and
aspect of cognitive and pragmatic sense in the SL text. In fact, he is
justified in pruning or eliminating redudancy in poorly written
informational texts. He may sometimes reduce a ’filler’ verb (e.g. do,
take, pay, effect, etc.) plus its deverbal noun to its basic verb, where
the difference in meaning is inappreciable.”
Terjemahan :
”Secara teori, translator harus memperhitungkan setiap porsi dan
aspek kognitif dan pragmatig dalam teks bahasa sumber. Pada
kenyataannya, translator berhak untuk menghilangkan atau
mengeliminasi hal/kata yang tidak diperlukan lagi pada teks
informatif tertulis yang buruk. Translator kadang-kadang perlu untuk
mengurangi kata kerja ’penambah’ (seperti melakukan, mengambil,
membayar, efek, dll) beserta kata benda ’deverbal’ menjadi kata kerja
dasar yang tidak menimbulkan perbedaan makna”
Dari kutipan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dalam menerjemahkan,
seorang translator berhak untuk menghilangkan kata-kata yang tidak diperlukan lagi;
termasuk kata kerja ’penambah’, selama proses tersebut tidak menimbulkan perbedaan
makna/pesan yang akan disampaikan kepada pembaca teks bahasa target sebagaimana
yang disampaikan teks dalam bahasa sumber kepada pembaca teks bahasa sumber.
Contoh :
- それじゃ、おまえにもきっぷをやろう
Terjemahan : Kalau begitu ku kasih kau tiketnya
11
Pada kalimat それじゃ、おまえにもきっぷをやろう terdapat kata も yang berarti
juga. Namun pada penerjemahannya kata も tidak diterjemahkan.
2.3.2 Penyetaraan (Overtranslate)
Penyetaraan disebut juga overtranslate dalam bahasa Inggris. Newmark (1981:
39) menyatakan bahwa seorang translator berhak untuk menggunakan metode
penyetaraan atau overtranslate untuk mendapatkan hasil terjemahan yang lebih spesifik
dari teks original dan untuk mendapatkan arti lebih dalam untuk menemukan satu makna
yang sama seperti kutipan berikut ini :
”...to overtranslate, to be more specific than the original, to include
more meanings in its search for one nuance of meaning.”
Penulis mengambil kesimpulan bahwa kegiatan menambahkan kata yang tidak
ada dalam teks bahasa sumber menjadi ada dalam teks terjemahan bahasa target dalam
menerjemahkan untuk mendapatkan hasil terjemahan yang lebih spesifik dan lebih
bermakna
dikategorikan
dalam
overtranslate
atau
menyetarakan.
Singkatnya
menyetarakan adalah menghadirkan kata yang tidak ada dalam teks bahasa sumber
menjadi ada dalam teks bahasa target. Hal ini akan sering di temui dalam penerjemahan
bahasa Jepang ke bahasa Indonesia dimana dalam kalimat bahasa Jepang sering tidak
mengandung subjek sementara pada bahasa Indonesia keberadaan subjek adalah mutlak
adanya.
Contoh :
- 昨日、この本を読みました
12
= Kemarin saya membaca buku ini.
Pada kalimat 昨日、この本を読みました tidak terdapat kata わたし。Tetapi saat
menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, kita harus menambahkan kata ‘saya’
karena dalam bahasa Indonesia subjek pelaku biasanya dimunculkan dalam suatu
konteks kalimat sehingga kalimat diatas tersebut dapat dimengerti oleh para pembaca
siapa yang menjadi subjek pelakunya. Oleh karena itu perbedaan dalam mempelajari
bahasa Jepang, seringkali subjek dalam kalimat tidak muncul dan hal ini adalah hal
yang lumrah dan dapat dimengerti oleh mereka yang mengerti berbahasa di Jepang.
Sehingga diperlukan kehati-hatian bagi para translator dalam menerjemahkan suatu
karya baik fiksi ataupun non fiksi membawa suatu suasana dari bahasa asal/sumber
menuju bahasa sasaran/target yang sesuai dengan konteks ataupun kaidah dalam bahasa
Indonesia agar dapat dimengerti dan dipahami oleh para pembaca non pembelajar
bahasa Jepang.
13
Download