286 METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 BAHASA, ETIKA, DAN

advertisement
BAHASA, ETIKA, DAN PEMARTABATAN BANGSA
Pardi Suratno
Balai Bahasa Jawa Tengah, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud
Sur-el: [email protected]
Abstrak: Bahasa diyakini sebagai media atau alat komunikasi sekaligus alat atau
sarana berpikir dan perekat komunikasi antar suku dan atau antar negara. Selain itu
bahasa juga merupakan identitas masyarakat/bangsa dan wadah kebudayaan
sekaligus sebagai media pewarisan kebudayaan. Pada saat yang sama, bahasa
merupakan produk budaya. Sejak lama bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa
berkebudayaan tinggi. Karya sastra seperti La Galigo, Negerakertagama,
Baratayuda, HangTuah, Sejarah Melayu, dan Serat Centhini membuktikan
kemajuan pengetahuan dan kecerdasan bangsa Indonesia dan mewadahi peradaban
sekaligus pemakaian bahasa yang lahir dari budaya tinggi. Bahasa selalu terkait dan
harus dikaitkan dengan dinamika perubahan masyarakat dan bangsa. Representasi
bahasa juga mengacu terhadap tinggi dan rendahnya budaya sebuah bangsa. Jadi,
dari segi bahasa, tinggi-rendahnya budi bahasa suatu masyarakat dan bangsa
menandai tinggi-rendahnya peradaban masyarakat dan bangsa. Dapat ditarik dalam
lingkup yang sempit, tinggi-rendahnya bahasa seseorang menjadi bukti tinggirendahnya karakter seseorang tersebut.
Terdapat gejala dinamika bahasa Indonesia yang semula berkembang dari bahasa
berbudaya tinggi (salah satunya berbahasa santun) menuju bahasa berbudaya rendah
(berbahasa kasar) yang terjadi di semua ranah kehidupan (politik, kuliner,
kosmetika, busana, dll.). Kondisi seperti itu ditandai dengan pemakaian bahasa yang
kasar dan kurang berbudaya. Tindak berbahasa harus dipandang sebagai ibadah.
Bahasa cerminan seseorang dan masyarakat berbudaya sebagai manipestasi ibadah
kepada Tuhan. Berbahasa seperti itu hanya dapat dilakukan oleh sosok yang mampu
berpikir positif (berprasangka baik atau khusnudzan), sebaliknya berbahasa kasar
dan rendah itu gambaran pikiran negatif (prasangka burukatau suudzan). Secara
otomatis berpikir positif akan menuntun pikiran penutur atau penulis terhadap
pemakaian bahasa yang cerdas, santun, berbudaya, dan intelek. Sebaiknya, berpikir
negatif akan menyeret seseorang untuk bertutur yang mencerminkan sikap curiga,
kasar, bicara menyakitkan, dan tidak berbudaya, sekaligus berbahasa yang jauh dari
nilai intelektual.
Dalam konteks masyarakat yang religius, meyakini hidup di dunia adalah ladang
menuju kehidupan akhirat yang hakiki, terdapat orientasi semua orang untuk
mendapatkan posisi mulia di hadapan Tuhannya. Memuliakan manusia atau orang
lain diwujudkan dalam performansi bahasa atau parole. Kesadaran religius itu
diharapkan menjadi penggerak hati dan tindakan untuk berbahasa secara memadai.
Kata kunci: bahasa, kesadaran religius, tingkat budaya
286
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
LANGUAGE, ETIQUETTE, AND NATION DIGNIFYING
Abstract: Language is believed as a medium or tool of communication among tribes
and nations. Besides that, language is also an identity of a nation, a place for
culture, and a medium of culture legacy. At the same time, language is a product of
a culture. Since very long time, Indonesia has been recognized as a high-cultured
nation. Literatures such as La Galigo, Negerakertagama, Baratayuda, HangTuah,
Sejarah Melayu, and Serat Centhini are the evidence of the sophistication of
knowledge and intelligence and contain civilization and the use of language borne
from high culture. Language is always correlated and must be related to the
dynamic of society and nation changes. Language representation also refers to the
level of a nation’s culture. Thus, literally, the level of language use of a society
indicates the level of a civilization of a society and nation. It can be narrowly
concluded that an individual’s language level becomes an evidence of the
individual’s character level.
There is a dynamic symptom of Indonesian language which is initially developed
from high cultured language (hospitable language) to low cultured language (rude
language) which occurs in all aspects of life (politic, culinary, cosmetic, fashion,
etc.). This condition is indicated with the use of rude and less cultured language.
Language act should be viewed as worship. Language reflects individual and
society culture as a manifestation of worship to God. Such language act can only be
performed by those who can think positively. Otherwise, rude and low language act
is a figure of negative thinking. Automatically, thinking positively will guide the
speaker’s mind to the use of smart, polite, cultured and intellectual language. In
contrary, thinking negatively will reflect individual’s language that is rude, hurting,
uncultured, and not intellectual.
Religious society believes that living in this world is a stage to the immortal afterlife
world. Thus, they pursue to obtain noble position in front of their God. Respecting
other people is created in the performance of language or parole. This religious
awareness is expected to be activator of heart and actions to speak appropriate
language.
Keyword: language, religious awareness, culture level
Bahasa diyakini sebagai media
masyarakat-suku
bangsa-antarnegara,
atau alat komunikasi. Sementara itu,
bahasa
secara
memiliki
masyarakat/bangsa, dan bahasa sebagai
kompleks,
wadah kebudayaan. Di samping itu,
misalnya bahasa sebagai alat atau
bahasa memiliki fungsi sebagai media
sarana berpikir, bahasa sebagai perekat
pewarisan kebudayaan. Dalam arti ini,
komunikasi
lintas
bahasa merupakan wadah kebudayaan,
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
287
mendasar,
berbagai
fungsi
atau
bahasa
yang
hubungan
sebagai
identitas
sekaligus sebagai media pewarisan
tercapainya harapan penutur dan respon
kebudayaan, bahkan bahasa sekaligus
positif
sebagai
demikian,
produk
budaya.
Dengan
dari
mitra
terkait
tutur.
dengan
Dengan
etika
demikian, dapat dinyatakan bahwa
berbahasa, penutur (dalam bahasa lisan)
bahasa memiliki fungsi yang beragam
dan tulisan (dalam komunikasi tulis)
dan penting dalam kehidupan manusia.
harus menyiapkan diri dan merancang
Bahasa
selalu
mengalami
perkembangan dengan harapan dapat
memenuhi kebutuhan komunikasi. Di
samping
itu,
karena
keterbatasan
bahasa
yang
digunakan
mampu
memberikan rasa simpatik atau senang
pada pihak mitra tutur. Terkait dengan
hal itu, Leech (1983) menyatakan
bahasa (misalnya bahasa daerah di
adanya prinsip relasi dalam komunikasi
Indonesia
semuanya
interpersonal, yakni (a) kerja sama, (b)
dipahami oleh masyarakat dari suku
sopan santun, (c) ironi, (d) kelakar atau
bangsa lain) menuntut hadirnya bahasa
humor, (e) daya tarik, dan (f) pollynna.
yang
dirinya
Kemunculan prinsip pollyanna bermula
sebagai media atau alat komunikasi
dari sikap gadis kecil dalam novel
lintas budaya lokal. Dalam kaitan ini,
karya Porter (1913) berjudul Pollyanna.
bangsa Indonesia yang hidup dalam
Gadis kecil itu selalu memandang
kebinekaan wajib merasa bersyukur
setiap peristiwa secara positif (positive
memiliki bahasa lintas budaya lokal,
thinking). Secara garis besar, prinsip
yakni
berpikir
yang
mampu
tidak
memerankan
bahasa
Indonesia
dalam
positif
dalam
relasi
fungsinya sebagai bahasa nasional,
interpersonal meliputi (1) seseorang
bahakan diorientasikan sebagai bahasa
cenderung
lintas bangsa atau bahaa internasional..
positif mengenai diri mereka sendiri,
Dalam
bahasa
konteks
digunakan
komunikasi,
untuk
mencapai
menyetujui
pernyataan
(2) seseorang lebih suka memandang
hidup secara positif daripada negatif,
respon positif dari mitra komunikasi,
(3)
baik mitra komunikasi berstatus sebagai
optimis dalam memandang kehidupan,
individu maupun lembaga. Ukuran
(4) seseorang selalu mencari kebaikan
keberhasilan
atau bersikap baik dalam menghadapi
288
komunikasi
adalah
seseorang
cenderung
berpikir
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
peristiwa
kehidupan
yang
diri seseorang perlu belajar bersikap
bagaimanapun, (5) seseorang melihat
(misalnya dalam budaya Jawa) wani
sesuatu yang baik untuk diri sendiri dan
ngalah
orang lain, (6) seseorang cenderung
mengalah
menyembunyikan hal negatif dengan
memangun karyenak tyasing sesama
memakai penyangkalan ( Atmawati,
‘membuat hati atau perasaan senang
2011: 56—57; Pardi, 2015: 4--5).
pada sesama’, ajen-ingajenan ‘saling
Prinsip pollyana sejalan dengan
nilai-nilai
budaya
Indonesia
yang
lokal
bangsa
menganjurkan
luhur
mulia
wekasane
pada
‘berani
akhirnya’,
menghargai’, dan janma tan kena kinira
‘manusia
tidak
dapat
ditafsirkan’.
Ungkapan janma tan kena kinira
pentingnya menghormati orang lain.
memberi
Dengan menghormati orang lain (entah
menghormati seseorang itu tidak boleh
apapun
mampu
pilih kasih dan tidak boleh didasarkan
membentuk diri seseorang untuk tidak
pada penampilan fisik belaka, terutama
merendahkan orang lain (termasuk bagi
terhadap
orang yang belum dikenalnya). Lebih
dikenalnya. Tidak jarang seseorang
lanjut, seorang yang bersikap positif
berpenampilan sederhana secara fisik.
tidak
Akan tetapi, sejatinya seseorang itu
status
sosialnya)
bermaksud
perselishan
menimbulkan
(flemming)
dalam
rambu-rambu
seseorang
bahwa
yang
belum
adalah ilmuwan yang andal yang secara
berbahasa. Sebaliknya, dalam setiap
sosial
situasi dan kondisi, dirinya selalu
bahkan
berpikir untuk membangun equilibrium
Ungkapan itu sebagai rambu-rambu
atau
kesetimbangan,
untuk tetap menghormati pihak lain
atau keharmonisan sosial. Sebaliknya,
yang baru dilihat atau dikenal walaupun
tidak
membuat
ada kalanya secara fisik tampak biasa
menimbulkan
dalam penampilan. Sebagai contoh,
perselisihan atau kecurigaan yang dapat
dalam tata pergaulan sosial masyarakat
membuat distorsi pergaulan sosial.
Jawa dikenal adanya ungkapan aja
Untuk sampai pada sikap menghargai
adigang
pihak lain dapat terinternalisasi dalam
menyombongkan
keseimbangan,
tepat
komunikasi
seseorang
yang
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
memiliki
mampu
adigung
status
terhormat,
secara
ekonomi.
adiguna
‘jangan
diri atas kelebihan
289
yang dimiliki’, lembah manah ‘rendah
produk sastra yang dikenal dunia dan
hati’,
diakui sebagai warisan pengetahuan
andhap
asor
‘rendah
hati’,
nggutuk elor kena kidul ‘menyindir
monumental
secara
papan
bangsa Indonesia tempo dulu—sebelum
dan
bernama Indonesia—adalah trah dari
situasi’, ngluruk tanpa bala, menang
masyarakat berbudaya tinggi. Sebagai
tanpa ngasorake ‘menaklukkan tanpa
contoh, naskah atau karya tertulis La
dengan pasukan, dan menang tanpa
Galigo, Negerakertagama, Baratayuda,
harus mengalahkan (pihak lain merasa
Hang Tuah, Sejarah Melayu, dan Serat
kalah), aja ngubak-ubak banyu bening
Centhini
artinya jangan memperkeruh air jernih
Surakarta
yang mengandung nasihat sebaiknya
pengetahuan dan kecerdasan bangsa
seseorang
menimbulkan
Indonesia. Semua produk unggulan
kegaduhan atau perselisihan dalam
masa silam tersebut dapat dijadikan
komunitas yang damai-tenteram, dan
pendorong
kena iwake aja nganti buthek banyune
keunggulan bangsa
‘tercapai
bangsa.
simbolik’,
empan
‘mempertimbangkan
kondisi
jangan
tujuannya
dan
tidak
telah
pada
mengantarkan
masa
Kasunanan
membuktikan
untuk
Hal
itu
kemajuan
mewariskan
kepada generasi
diarahkan
untuk
menimbulkan pertengkaran’ (Suratno,
membangun
2007).
berbudaya tinggi atau high cultures,
Sejak lama bangsa Indonesia
lahirnya
bangsa
dan menghindakan diri
yang
dari citra
dikenal sebagai bangsa berkebudayaan
bangsa yang berbudaya rendah atau low
tinggi. Ketinggian budaya itu dapat
cultures.
dilihat
yang
Karya sastra di atas mewadahi
bertaraf dunia, misalnya keberadaan
peradaban sekaligus pemakaian bahasa
Candi Borobudur, Prambanan, dan
yang lahir dari budaya tinggi. Tidak
kejayaan
pada
jarang dialog-dialog para tokoh cerita
misalnya
disampaikan secara simbolik sehingga
Majapahit dan Sriwijaya, sebagai tanda
tidak terkesan menggurui, tidak negasi,
historis
tetapi memberi teladan dan pilihan bagi
beberapa
dari
produk
beberapa
abad
atas
budaya
kerajaan
silam,
tingginya
peradaban
bangsa Indonesia. Di samping itu,
pembaca.
290
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
Selajutnya,
saya
hendak
mengatakan bahwa bahasa selalu terkait
dan berpengaruh positif terhadap pihak
dan harus dikaitkan dengan dinamika
lain.
perubahan masyarakat dan bangsa. Di
Indonesia
kondisi
terbantahkan.
menunjukkan
gumantung
seserorang
itu
Ungkapan
bangsa,
ing
tergantung
bahasa
budaya sebuah bangsa. Oleh sebab itu,
diri
‘martabat
ucapannya’,
sering
disebut
rendah
(low
ke
berbudaya
orang
tidak
adanya
masyarakat,
bangsa atau negara yang berbudaya
terdapat
selamanya
juga
mengacu terhadap tinggi dan rendahnya
lidahmu harimau-mu, dan sekali lacung
ujian
bahasa
tiada
ajining
lathi
Representasi
cultures),
masyarakat
tinggi
sebaliknya
dan
(high
bangsa
cultures).
percaya adalah media pendidikan agar
Dalam kesadaran seperti itu, setiap
setiap orang memperhatikan bahasanya.
individu
Bahasa
kompetensi
dikategorikan sebagai sosok yang tidak
seseorang, yakni langue. Kompetensi
dewasa, tidak intelek, tidak cerdas,
pengetahuan
dalam
bahkan tidak mungkin rela mendapat
ujaran yang disebut parole. Langue
label seseorang yang tidak berbudaya
menentukan
kompetensi
atau berbudaya rendah. Sebaliknya,
menentukan perfomansi atau ujaran.
setiap individu, masyarakat, dan bangsa
Sebaliknya, performen atau parole
pastilah
mengharapkan
yang dikontrol secara terus-menerus
mendapat
label
akan mewarnai langue. Pendek kata,
masyarakat, dan bangsa yang dewasa,
kompetensi
cerdas, intelek, dan berbudaya tinggi.
berasal
itu
dari
dinyatakan
parole,
dan
perfomansi
atau
penampilan ujaran yang sama-sama
tidak
Banyak
mungkin
sebagai
pihak
rela
dirinya
individu,
sering
dipengaruhi oleh proses belajar, baik
menyangsikan kaitan antara bahasa
secara
sosial.
dengan masyarakat dan bangsa budaya
Kesadaran seperti itu dapat dijadikan
tinggi. Uraian tadi telah membuktikan
orientasi bagi setiap orang dalam
keniscayaan bahwa bahasa merupakan
berbahasa
yang
parameter budaya masyarakat atau
dimiliki dapat berkembang semakin
bangsa. Namun, dalam konteks bahasa
lama semakin dewasa, semakin cerdas,
sebagai kompetensi dan perfomansi
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
291
individu
maupun
sehingga
bahasa
lebih baik dinyatakan dengan tegas
lingkup yang sempit, tinggi-rendahnya
sebagai salah satu indikator atas tinggi
bahasa seseorang menjadi bukti tinggi-
atau
rendahnya
masyarakat
atau
rendahnya karakter seseorang tersebut.
memahami
dan
Masyarakat berbudaya rendah lebih
meyakini indikator tersebut, setiap
cenderung dis-harmoni (sering ber-
individu dan masyarakat terarahkan
selisih, melakukan tindakan kekerasan,
pemikiran
untuk
cenderung menonjol fisik dibandingkan
bangsa
pengetahuan, dll.), individual dan tidak
berbudaya tinggi, baik secara individu
memiliki jiwa solidaritas yang tinggi,
maupun bersama - sama. Kemudian,
jauh dari budaya tertib sosial, tidak taat
bangsa
yang
hukum
dengan
bangsa
bangsa.
Dengan
menuju
dan
perilakunya
masyarakat
dan
bermartabat
identik
melanggar
peraturan,
atau
merusak lingkungan, jauh dari budaya
berbudaya tinggi (high culture) yang
hidup bersih, egois dan cenderung
memiliki karakteristik oposisi dengan
agitatif, tidak berorientasi terhadap
bangsa yang berperadaban rendah (low
ilmu pengetahuan, serta rendah budi
culture). Dalam konteks ini, Ibrahim
bahasanya. Secara gampang, karakter
(2013 dalam Suratno, 2015) dalam
itu, salah satunya, dapat dilihat dari
makalah
dalam
pemakaian bahasa. Dalam kehidupan
Indonesia
kaum terpelajar dan cerdas jarang dan
bangsa
tidak elok dipakai kata kakus, WC,
Kongres
berperadaban
atau
yang
dipaparkan
Kebudayaan
menyebutkan
karakteristik
berbudaya tinggi, antara lain, harmoni,
kencing,
solidaritas
sesama,
Sebaliknya,
tertib sosial, taat hukum, menghargai
masyarakat
lingkungan, hidup bersih, menghargai
(bahkan, kurang pergaulan sosial),
perbedaan, intelek atau cerdas, dan
pemakaian kata-kata yang memiliki
tinggi budi bahasa. Jadi, dari segi
nilai rasa rendah itu digunakan tanpa
bahasa, tinggi-rendahnya budi bahasa
ada rasa risih atau
suatu masyarakat dan bangsa menandai
dipastikan akan lebih elok digunakan
tinggi-rendahnya peradaban masyarakat
kata kamar kecil, toilet, buang air kecil,
dan
buang air besar atau ke belakang, dan
292
tinggi
bangsa.
terhadap
Dapat
ditarik
dalam
berak,
dan
dalam
sejenisnya.
kehidupan
yang kurang terpelajar
malu. Dapat
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
sebagainya.
Sekali
bahasa
gambaran pikiran negatif (prasangka
menunjukkan rendah tingginya budaya
buruk atau suudzan). Secara otomatis,
dan keterpelajaran pemakainya.
berpikir positif akan menuntun pikiran
Terdapat
bahasa
lagi,
gejala
Indonesia
dinamika
atau
penulis
terhadap
semula
pemakaian bahasa yang cerdas, santun,
berkembang dari bahasa berbudaya
berbudaya, dan intelektual. Sebaiknya,
tinggi (salah satunya berbahasa santun)
berpikir
menuju
seseorang
bahasa
yang
penutur
berbudaya
rendah
(berbahasa kasar) yang terjadi di semua
ranah
kehidupa
kosmetika,
(politik,
busana,
kuliner,
dll.).
Kondisi
seperti itu ditandai dengan pemakaian
bahasa
yang
berbudaya.
kasar
Untuk
dan
kurang
itu,
untuk
membangun kesadaran berbahasa yang
bermartabat perlu dirancang kesadaran
bahwa berbahasa bukan hanya sekadar
berkomunikasi. Tindak berbahasa harus
dipandang sebagai ibadah. Dengan
demikian, pada akhirnya akan muncul
kesadaran bahwa berbahasa yang rapi,
negatif
akan
untuk
menyeret
bertutur
yang
mencerminkan sikap curiga, kasar,
bicara
menyakitkan,
dan
tidak
berbudaya, sekaligus berbahasa yang
jauh dari nilai intelektual. Secara fisik,
berpikir
positif
akan
melahirkan
ekspresi wajah yang senyum dan ikhlas,
sebaliknya
berpikir
negatif
akan
memunculkan ekspresi wajah yang
kusam, cemberut, dan setengah hati,
bukan sepenuh hati dan tentunya jauh
dari pikiran yang dilakukan sejalan
dengan hati nurani. Siapapun yang
cerdas, dewasa, dan santun sebagai
mampu berpikir positif dan terintegrasi
tindakan
serta terinternalisasi dalam sikap dan
ibadah.
Bahasa
cerminan
seseorang dan masyarakat berbudaya
perilakunya
sebagai manipestasi ibadah kepada
merepresentasikan
Tuhan. Berbahasa seperti itu hanya
sosok yang mata atau wajahnya enak
dapat
yang
dipandang (mengingatkan kita terhadap
mampu berpikir positif (berprasangka
cerpen karya Haji Ahmad Tohari
baik
berjudul
dilakukan oleh
atau
khusnudzan),
berbahasa kasar dan
sosok
sebaliknya
rendah
itu
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
akan
“Mata
mampu
dirinya
yang
sebagaia
Enak
Dipandang”).
293
Internalisasi berbahasa dalam
adalah
ladang
menuju
kehidupan
kaitan berperilaku merupakan syarat
akhirat yang hakiki, terdapat orientasi
bagi seseorang agar mampu berbahasa
semua orang untuk mendapatkan posisi
yang berbudaya. Jika internalisasi itu
mulia di hadapan Tuhannya. Seseorang
lahir dari kesadaran, pastilah menjadi
akan mendapat support ganda sewaktu
pendorong
bagi
meyakini bahwa tindakannya bernilai
performansi atau ujaran seseorang yang
ibadah, entah ibadah khusus (disebut
mencerminkan
ibadah mahdoh) atau ibadah sosial.
atau
penggerak
sosok
berbudaya.
Pikiran yang dilandasi oleh sikap
Sementara
berbudaya tinggi diharapkan mampu
performansi berbahasa berada dalam
mendesain seseorang atau masyarakat
kontens sebagai ibadah sosial. Namun,
untuk tampil dan mengejawantahkan
tidak boleh lupa bahwa ibadah sosial itu
dirinya sebagai sosok berbudaya, yakni
tidak
penampilan
dengan
sumbangannya dalam mengantarkan
dirinya untuk berpikir dan bersikap
seseorang dapat sowan kepada Gusti
harmoni, sosial, taat hukum, tidak
Allah secara baik (disebut sebagai pati
agitatif, cinta lingkungan, orientasi
patitis atau khusnul khotimah). Untuk
pada pengetahuan tinggi, tertib sosial,
itu,
tidak individual, cinta tanah air secara
menjadi obor yang menerangi hati
proporsional dan berbudaya. Internali-
setiap individu untuk mencapai derajat
sasi bahasa tersebut tidak dapat dicapai
ibadah sosial yang memadai.
yang
menyatu
itu,
lebih
kompetensi
rendah
kemampuan
nilai
berbahasa
dan
dan
akan
secara tiba-tiba dan tanpa pencarian
Sebagai misal, bagi muslim,
landasan berpikir. Dalam konteks ini,
anjuran untuk berbahasa secara baik
saya hanya akan memakai dua konsep
(santun, cerdas, dan dewasa) menjadi
internalisasi
penting
bahasa
dalam
karena
merujuk
terhadap
hubungannya dengan sikap religius dan
karakteristik
sosial. Namun, dua landasan berpikir
karakteristik Nabi atau Rasul. Oleh
itu kemungkinan dapat memasuki ranah
karena
kehidupan yang lebih luas.
memadai ada kewajiban meniru (lebih
itu,
Allah
sebagai
Swt.
muslim
dan
yang
Dalam konteks masyarakat yang
tepatnya iktibaq atau mengadaptasi atau
religius, meyakini hidup di dunia
mengacu) terhadap karakteristik Tuhan
294
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
dan Nabi menjadi sebuah tindakan
lalahu
ibadah. Sewaktu seseorang mampu
‘perkataan
berbahasa yang memadai berarti dirinya
mudahan dia sadar atau takut [Surat
telah menjalankan ibadah, setidaknya
Thaha: 44, pesan untuk Musa ketika
ibadah sosial. Sementara itu, ibadah
akan bertemu Fir’aun]), berbahasa yang
sosial
yang
terinternalisasi
konsisten akan menjadi
secara
penggerak
ibadah khusus, atau sebaliknya. Jika
kondisi
itu
dapat
dibangun,
baik
yatadakaru
yang
(disebut
au
yaqsya
lembut
mudah-
qaulan
ma’rufa
‘perkataan yang baik’, Surat Annisa: 8),
berbahasa yang bermanfaat dan tidak
akan
ditemukan semua pihak suka dan rela,
bahkan merasa wajib, untuk berbahasa
yang santun, cerdas, dan intelek yang
sia-sia (disebutkan laa yasma’uuna
fiihaa lagwan walaa ta’tsiima ‘mereka
tidak mendengar di dalamnya perkataan
dilandasi oleh berpikir positif sehingga
yang sia-sia dan tidak menimbulkan
bahasa
mampu
dosa’, Surat Al Waqiah: 25), berbahasa
membuat pihak lain meneladani dan
yang mulia atau memuliakan pihak lain
akhirnya menghormati keunggulan budi
(disebut ‘qaulan kariima ‘perkataan
pekertinya melalui bahasa atau parole
yang mulia’ Surat Al Isra’: 23 sebagai
sebagai ekspresi diri.
anjuran anak ketika berbahasa atau
yang
digunakan
Dalam Quran terdapat ayat yang
menjadi
rujukan
berbahasa
secara
atas
pentingnya
memadai,
yakni
berkomunikasi kepada orangtuanya),
berbahasa yang lebih baik kepada pihak
lain (disebutkan yaquuluu llati hiya
santun, cerdas, dan benar. Ungkapan
ahsan
berbahasa yang benar dan baik dapat
mengucapkan perkataan yang lebih
disambungkan dengan semangat Quran
baik’, Surat Al Isra’: 53, dianjurkan
yang
dalam membalas ucapan orang lain),
menghendaki
berbahasa
benar
sadida,’katakankan
setiap
(disebut
perkataan
orang
qaulan
dan
‘hendaklah
berbahasa
yang
mereka
baik
yang
yang
memuliakan atau menyenangkan lawan
benar’ [Surat Al Azhab: 70]), berbahasa
bicara bahkan kepada pihak yang
lembut yang identik berbahasa santun
secara lahir lebih rendah dari diri
(disebut wa qula lahu qaulan layyina
pembicara, misalnya kepada kawan,
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
295
dan
Tempo dahulu bangsa Indonesia
sebagainya (disebutkan wa quuluu li
dikenal sebagai bangsa yang santun dan
nasi husnan ‘dan ucapkan kata-kata
berbudaya
yang baik kepada manusia’, Surat Al
tampak dalam budi bahasa tinggi.
Baqarah: 83).
Namun, terdapat gejala yang mengarah
anak
yatim,
orang
miskin,
tinggi.
Budaya
tinggi
untuk
terhadap corak bahasa yang keras,
sebagai
kasar, dan tidak berbudaya. Tidak
tindakan menjalankan kaidah agama
berbudaya itu identik dengan tidak
seperti ini pasti menjadi orientasi dalam
intelek,
semua agama karena pada prinsipnya
berorientasi terhadap kerja sama atau
semua
negosiasi, tetapi cenderung bahasa yang
Realitas
berbahasa
anjuran
yang
agama
memadai
adalah
memuliakan
tidak
menyejukkan,
manusia. Memuliakan manusia atau
menghujat,
orang
bangun perselisihan dan sebagainya.
lain
performansi
Kesadaran
diwujudkan
bahasa
religius
dalam
atau
itu
parole.
diharapkan
Ekspresi
menilai
bahasa
negatif,
tidak
itu
tidak
mem-
berdiri
sendiri, tetapi menyatu dengan tindakan
menjadi penggerak hati dan tindakan
yang
untuk
berbahasa
melahirkan pikiran waton sulaya ‘asal
Untuk
mampu
secara
memadai.
berdampak
sosial
(sehingga
yang
berbeda’ yang muncul dari pemahaman
memadai dalam setiap kesempatan
yang keliru atas budaya kebebasan).
memerlukan pengetahuan sosial yang
Padahal, dalam konteks keindonesiaan
tinggi yang terkait dengan indikator
yang
masyarakat berbudaya tinggi tersebut di
semestinya, kita menghindari berbahasa
atas.
kebencian (hate speech) dan tindakan
Pada
berbahasa
gilirannya,
kemampuan
heterogen
(hate
atau
ber-bineka,
beribadah sosial melalui bahasa dan
kebencian
action).
Dalam
mengekspresikan diri dalam budaya
kenyataannya tidak jarang dijumpai
tinggi mampu menampilkan kecantikan
ungkapan kebencian sebagai bentuk
secara batin (lazim dizebut inner beuty)
mendiskreditkan pihak lain, misalnya
yang tampak dalam berbicara yang
pernyataan Si A tidak patut berada di
elok, indah, menghargai, menyejukkan,
muka bumi, Darah A halal bagi kita,
dan memartabatkan semua pihak.
dan Kita dilaknat jika menjadikan A
296
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
sebagai pemimpin. Bahkan, pemakaian
dan sejenisnya. Tidak jarang bahasa
simbol-simbol yang berpotensi untuk
dan budaya dikesampingkan hanya
meng-intimidasi pihak lain semestinya
untuk
tidak dilakukan untuk menjaga harmoni
Semestinya,
dalam kehidupun berbineka. Namun,
dimanfaatkan
tidak sedikit orang memasang simbol
ekonomi
atau label di kendaraannya untuk
bermartabat.
menunjukkan
kepercayaan apapun, pastilah seseorang
“aku-nya”,
misalnya
lambang keluarga besar polri, lambang
angkatan
udara,
angkatan
darat,
keluarga keraton, organisasi tertentu
yang merepresentasikan diri organisasi
keras, dan sebagainya. Hal itu adalah
ekspresi sikap atau pemikiran yang
dinyatakan melalui bahasa yang sering
memanfaatkan suku, etnis, ras, agama,
dan gender untuk meminimalisasi atau
memojokkan orang atau kelompok
bahasa
untuk
secara
ekonomi.
yang
harus
kepentingan
komprehensif
Dalam
agama
dan
atau
dianjurkan berbahasa yang baik dan
berbudaya.
Akan
tetapi,
pemahaman kebebasan
alih-alih
yang tanpa
batas, tidak sedikit pemakaian bahasa
yang mengorbankan nilai-nilai adab
dan etika. Pemakaian bahasa yang
kurang memadai itu dapat dilihat di
setiap penjuru, terutama di kota besar,
misalnya bakso setan, rawon setan,
bakso bang-sat, soto dhemit, rica-rica
tertentu.
Masyarakat
waktunya
pertimbangan
untuk
Indonesia
sudah
merepresentasikan
setan, bakso iblis, dan bakmi lethek.
Bahkan, telah muncul kuliner yang
dirinya sebagai bangsa yang santun dan
menamai
berbudaya tinggi dalam berbahasa.
kosakata porno. Dapat diduga bahwa
Pemandangan yang menyejukkan dan
kemungkinan besar improvisasi bahasa
elok jika dalam mobil terpasang stiker
itu tergiring oleh orientasi menuju
bertuliskan
kehidupan yang lebih
santun
bicara-santun
menu-menunya
bebas,
dengan
modern yang
berlalu lintas, mari cintai lingkungan,
cenderung
termasuk
bebas
hormati sesama pengguna jalan, kami
berbahasa. Padahal, kota wisata tidak
senang Anda tidak membuang sampah
harus identik dengan kehidupan yang
sembarangan, gunakan air secukupnya,
bebas atau pornografi. Kondisi itu
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
297
membuat hati kita bertanya “apakah
(menilai
layak kita mengaku sebagai bangsa
pembuktian yang memadai); bukan
yang berbudaya”. Selanjutnya, muncul
bahasa yang apresiatif atau menghargai
pertanyaan
pihak
bagaimana
pengajaran
pihak
lain,
lain
salah
melainkan
tanpa
provokatif
bahasa dan sastra yang belum mampu
(membangun kebencian, merendahkan,
membentuk
menghina);
masyarakat
berbahasa
bukan
bahasa
yang
secara memadai. Padahal, salah satu
merangkul atau mengajak untuk bersatu
alasan pembelajaran bahasa dan sastra
atau bekerja sama, melainkan bahasa
adalah keyakinan bahwa bahasa dan
yang memisahkan, bukan bahasa yang
sastra memuat nilai-nilai kehidupan
memuliakan
(dalam Kurikulum 2013 tampak pada
bahasa yang merendahkan pihak lain;
dicantumkannya kompetensi sikap).
pemakaian
Saya
pernyataaan
menegaskan
kembali
asosiasi
pihak
lain,
bahasa
atau
melainkan
tidak
kebersamaan,
bersifat
tetapi
terkait dengan gejala
oposisi atau pertentangan; dan bahasa
kebahasaan yang semakin dominan
yang memisahkan, bukan bahasa yang
dalam kehidupan bermasyarakat dan
mempertemukan.
berbangsa. Dalam pemakaian bahasa
berlajar dari ungkapan nasihat Jawa
dapat
yang
yang menghargai semua orang, yaki
mewadahi
memangun karyenak tyasing sasama
disaksikan
memprihatinkan
kondisi
karena
Masyarakat
dapat
yang
‘membuat orang lain senang’ (Suyami,
budaya
2014; Suratno, 2016). Bahasa tidak lagi
rendah. Secara dominan, dewasa ini
dimanfaatkan untuk mendidik kebaikan
bahasa masyarakat tidak berorientasi
terhadap
kita, tetapi aku; tidak mencerminkan
menjerumuskan masyarakat ke dalam
keramahan,
budaya rendah. Hal itu tampak dalam
pemikiran
dari
berkecenderungan
kejengkelan,
peradaban
sebagai
tetapi
kemarahan,
kebencian;
tidak
masyarakat,
tetapi
justru
tindakan menyingkirkan, memfitnah,
menggambarkan semangat sosial, tetapi
menghujat,
membakar,
individual yang sempit; tidak dibangun
menyiksa, dan sebagainya yang dengan
dalam koridor negosiasi, tetapi negasi
mudah
298
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
disaksikan
membunuh,
melalui
media.
Bahkan,
kadang-kadang
membuat
kemungkinan
lupa
bahwa
masyarakat mengerutkan dahi karena
“penyembunyian diri” yang dilakukan
pelakunya
orang terpelajar.
melalui nama samaran dan cenderung
Dalam melihat kondisi seperti itu, perlu
nama identitas bodong itu tidak mutlak,
dibangun kembali pemuliaan bangsa
terlebih lagi jika dikaitkan dengan
bermula kembali dari bahasa.
nasihat bijaksana dalam masyarakat
adalah
Dalam komunikasi dalam media
Jawa, yakni ngono ya ngono nanging
maya atau internet, pemakaian bahasa
ojo ngono. Pada suatu kesempatan kita
yang bersifat negatif sangat kentara,
boleh kecewa, tetapi ekspresi bahasa
bahkan lebih dominan dibandingkan
haruslah terkesaan cerdas, dewasa, dan
dalam komunikasi secara langsung.
santun. Kata-kata yang tidak santun itu
Sementara ini dapat diduga penyebab
hanya layak dipahami dan tidak pantas
pemakaian bahasa di dunia maya yang
dipraktikkan. Seseorang, entah apa
kurang
dila-
profesi dan jenjang kependidikannya,
tarbelakangi oleh pandangan sebagai
yang mempraktikkan kata-kata kasar
media bebas karena seseorang dapat
berarti dirinya telah mengekspresikan
menyembunyikan
sosok pribadi yang berbudaya rendah.
berbudaya
tersebut
dirinya
(memakai
Saya akan mengenang kembali
anonim, nama samaran, dll.). Hal itu
seseorang
kisah salah satu intelektual ternama di
meyakini bahwa berbahasa itu bagian
dunia, yakni Thomas Alfa Edison. Saya
dari ibadah sosial. Dalam bahasa di
menempatkan ingatan yang mempesona
media maya-pun ada etika berbahasa
sebagai sikap arif dan bijaksana atas
yang santun dan terpelajar, berbahasa
cerita
yang cendekia. Sebagai misal, dalam
perjalanan kehidupan Thomas Alfa
komunikasi via sms, whats-app, dan
Edison, sang penemu bola lampu, dan
lain-lain perlu menghindari pemakaian
namanya tercatat dalah pahatan abadi di
bahasa yang menghina, memojokkan,
seluruh dunia. Keberhasilan Thomas
menimbulkan
Edison menempatkan dirinya sebagai
tidak
akan
menjaga
dan
terjadi
jika
perselisihan,
atau
menghormati
privasi
maestro
guru
ilmu
saya
terkait
pengetahuan
dengan
tidak
pihak lain. Pengguna media maya
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
299
terlepas dari kearifan ibunya. Thomas
Berkat ilmunya, dunia menjadi seolah-
Edison telah mematenkan penemu-
olah hidup siang dan malam
annya, yakni bola lampu, gramafon,
membuat
dan kamera film. Sementara kearifan
mudik pada malam hari.
dan
orang seluruh dunia hilir-
ibunda Edison tidak mungkin lahir
Dalam perjalanan waktu Ibunya
tanpa bahasa yang rapi, bijaksana, dan
semakin tua yang akhirnya wafat.
dewasa. Ketika itu Edison kecil tiga
Beberapa waktu setelah ibunya wafat,
bulan bersekolah di sekolah formal.
Edison menemukan surat dari gurunya
Pada suatu hari pihak sekolah mengirim
yang dulu dibaca oleh ibundanya.
surat kepada ibunya. Surat itu dikirim
Betapa terkejut hati Edison ketika
dalam sampul tertutup dan dititipkan
membaca isi surat itu. Dalam surat itu,
kepada Thomas Edison. Sang guru
Sang Guru menyatakan, “Edison anak
berpesan agar surat itu segera diberikan
kepada ibunya sesampainya Edison tiba
di
rumah.
Singkat
cerita
Edison
memberikan surat dalam sampul itu
kepada
ibunya.
Ketika
sang
ibu
membaca surat itu, Edison bertanya,
“Apa isi surat itu, Bu?” Sang Ibu
menjawab, “O, begini, kamu anak yang
sangat jenius. Karena itu, tidak ada
guru yang sanggup mengajarmu. Para
yang sangat ediot dan bodoh. Tidak ada
guru
yang
bersedia
mengajarinya.
Edison tidak boleh datang ke sekolah.”
Sejak saat itu, Edison sangat amat
mengagumi
kebaikan
dan kearifan
ibunya. Demi anak yang disayangi,
Sang Ibu mampu mengontrol emosi dan
mengatakan
kepada
Edison
kecil
sesuatu yang bertolak belakang dengan
isi surat dari sekolahnya. Dewasa ini,
tampaknya, tidak banyak orangtua yang
guru meminta kamu belajar sendiri di
mampu melakukan tindakan seperti
rumah, Anakku”. Sejak hari itu Edison
ibunda Thomas Edison. Kebanyakan
tidak pergi ke sekolah lagi. Ia belajar
semua justru meluapkan kemarahan
secara autodidak di rumah. Usia Edison
kepada anaknya. Sekali lagi, bahasa
bertambah dan sang ibupun semakin
adalah refleksi dari pemikiran arif,
tua.
Edison
dewasa, dan cerdas. Hanyalah orang
lampu.
yang pandai, dewasa, dan cerdaslah
Berkat
berhasil
300
ketekunannya
menemukan
bola
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
yang
mampu
berbahasa
yang
memotivasi bukan melemahkan, yang
menghargai bukan merendahkan, yang
merangkul bukan memisahkan, dan
sebagainya
seperti
bahasa
ibunda
Edison kepada Edison kecil ketika itu.
Perempuan itu berbahasa yang tepat,
cerdas, dan bijaksana pada waktu yang
tepat pula (dalam masyarakat Jawa
dikenal adanya nasihat berbahasa yang
empan papan atau angon wayah artinya
berbahasa sesuai dengan situasi dan
kondisinya).
Saya
sering
terkenang
sepenggal cerita yang mengesankan
terkait dengan kisah seorang nenek
yang meminta nasihat kepada seorang
ulama atau tabib. Untuk itu, saya
sertakan pada akhir paparan ringkas ini
dengan
harapan
dapat
menjadi
pengingat bagi Pembaca atau Peserta
Seminar ini untuk tetap menyadari
bahwa kesantuan berbahasa merupakan
cerminan
perilaku,
identitas,
dan
karakter seseorang, masyarakat, dan
bangsa. Kisah singkat itu sbb.
Nenek renta itu
sangat sedih. Anak satusatunya menghembuskan nafas terakhir. Ya,
setelah
sakit demam
beberapa hari. Pagi tadi
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
meninggal. Si Nenek
tidak dapat menerima. Ia
meminta Tuhan menghidupkan kembali, anaknya. “Tuhan tidak adiiiil.
Kembalikan
nyawa
anakku!” katanya. Si
Nenek
menggendong
anaknya yang sudah
tidak bernyawa itu. Si
Nenek hendak mendatangi seorang ulama
besar. Perempuan tua itu
akan meminta agar sang
Ulama memberi obat
sehingga anak si nenek
hidup kembali.
Setelah berjalan
beberapa jam. Nenek
bertemu sang Ulama
terkenal. “Bapak, anakku ini telah mati.
Tolong, berilah doa dan
obat agar anakku hidup
kembali.” Dengan santun sang Ulama berkata,
“Baiklah, sediakan sebiji
lada. Anakmu akan
hidup setelah aku obati
dengan sebiji lada. Biji
lada itu kamu minta
kepada siapapun. Dengan syarat keluarga
dari pemberi biji lada itu
belum pernah ada yang
meninggal.” Si Nenek
girang, “Hanya itu?
Hanya sebiji lada?”
tanya si Nenek meyakinkan. Sang
Ulama
menjawab,
“Benar,
Nek.”
Nenek itu segera
pergi. Didatanginya sebuah rumah, lalu dia
301
berkata, “Ki sanak,
bolehkah aku meminta
sebiji lada?” “Dengan
senang
hati.
Akan
kuambilkan”, sahut seorang ibu di rumah itu. Si
Nenek menerima sebiji
lada
dengan
hati
gembira. Lalu, si Nenek
bertanya, “Nak, apakah
keluargamu pernah ada
yang meninggal?’ “O,
ya, anakku satu-satunya
sebulan
yang
lalu
meninggal.
Sekarang
aku hidup seorang diri,”
kata pemilik rumah.
Sang Nenek minta pamit. Ia berjalan
agak jauh. Dia mendapati sebuah rumah
yang kebetulan beberapa
orang penghuninya. Nenek itu mengetuk pintu
rumah, “Asalamualaikum….” Pemilik keluar
dan menemui si Nenek
dengan ramah. “Apa
yang dapat kami bantu,
Nek?, Si Nenek berkata,
“Aku hendak meminta
sebiji
lada.”
Tanpa
banyak bicara, pemilik
rumah segera ke dapur
dan kembali ke hadapan
Nenek, sambil membawa sebiji lada.
Si Nenek menerima dengan hati berbinar.
“Terima kasih. Kalau
boleh
tahu,
apakah
keluarga di rumah ini
pernah ada yang meninggal?”, tanya si Nenek. Dengan wajah yang
302
penuh ikhlas, pemilik
rumah berkata, “Benar,
seminggu yang lalu,
kedua orangtua kami
wafat bersamaan waktunya. Lalu, dua hari
lalu, adik kami juga
meninggal.
Sekarang
saya dan keponakan di
sini
hendak berdoa
semoga semua yang
telah wafat ditempatkan
di Surga.”
Si Nenek bergegas
kembali
untuk
menemui sang Ulama.
Ia masih menggendong
jenazah anaknya. Lalu si
Nenek berkata, “Bapak
yang alim, kumohon,
kuburkan jenazah anakku ini. Aku ikhlas atas
kematian anakku. Doakan, Allah Swt. mengampuni kesalahanya!”
Sang Ulama tersenyum
mendengan ucapan si
Nenek. “Sekarang engkau menyadari. Semua
orang akan meninggal
jika
telah
sampai
waktunya. Anak itu
milik
Allah
yang
dititipkan
kepadamu.
Maka, engkau harus rela
sewaktu anak itu diminta
kembali
oleh
yang
menitipkannya. Ketahuilah, maa tasbiqu min
umatin ajalaha wa maa
yustakiruna, kematian
bagi manusia itu jika
sudah waktunya, tiada
dapat dimajukan atau
dimundurkan. Si Nenek
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
tertunduk, hatinya membenarkan ucapan sang
Ulama.
Ia
sadar,
anaknya harus kembali
ke hadapan
Allah,
karena sudah waktunya.
Si Nenek tiada bersedih
lagi.
Tidak
lama
kemudian si Nenek
meminta pamit, hendak
kembali
ke
rumah.
Dalam beberapa langkah
dipandangilah kuburan
anaknya, dan tampak
wajah si Nenek berseriseri, penuh rasa ikhlas
hati.
------------. 2015. “Pemuliaan Bangsa
melalui Internalisasi Bahasa.
Makalah dalam Seminar
Nasional bertema “Kajian
Pragmatik dalam Berbagai
Bidang” yang dilaksanakan
oleh Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret
Surakarta,
13—14
November 2015
----------------. 2016.
“Internationalization of
Indonesia Local Culture
Values”. Makalah dalam
Seminar Internasional yang
diselenggarakan oleh Pasca
Sarjana Universitas Negeri
Semarang.
Sumber Bacaan
Atmawati, Dwi. 2011. ”Prinsip
Pollyanna dalam Wacana
Dakwah (Kajian Pragmatik)”.
Jurnal Kajian Linguistik dan
Sastra. Volume 23. No.
1.2011. Surakarta: Universitas
Mummadiyah Surakarta.
Suyami. 2014. “Memangun Karyenak
Tyasing
Sasama:
Intisari
Kesantunan Jawa yang Layak
Mendunia” Makalah dalam
Kongres Kebudayaan Jawa.
Surakarta: Kongres Kebudayaan
Jawa.
Suratno, Pardi. 2008. Gusti Ora Sare:
Yogyakata: Penerbit Tiara Wacana.
Tohari, Ahmad, 2015. Mata yang Enak
Dipandang. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
303
Download