BAHASA, ETIKA, DAN PEMARTABATAN BANGSA Pardi Suratno Balai Bahasa Jawa Tengah, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud Sur-el: [email protected] Abstrak: Bahasa diyakini sebagai media atau alat komunikasi sekaligus alat atau sarana berpikir dan perekat komunikasi antar suku dan atau antar negara. Selain itu bahasa juga merupakan identitas masyarakat/bangsa dan wadah kebudayaan sekaligus sebagai media pewarisan kebudayaan. Pada saat yang sama, bahasa merupakan produk budaya. Sejak lama bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa berkebudayaan tinggi. Karya sastra seperti La Galigo, Negerakertagama, Baratayuda, HangTuah, Sejarah Melayu, dan Serat Centhini membuktikan kemajuan pengetahuan dan kecerdasan bangsa Indonesia dan mewadahi peradaban sekaligus pemakaian bahasa yang lahir dari budaya tinggi. Bahasa selalu terkait dan harus dikaitkan dengan dinamika perubahan masyarakat dan bangsa. Representasi bahasa juga mengacu terhadap tinggi dan rendahnya budaya sebuah bangsa. Jadi, dari segi bahasa, tinggi-rendahnya budi bahasa suatu masyarakat dan bangsa menandai tinggi-rendahnya peradaban masyarakat dan bangsa. Dapat ditarik dalam lingkup yang sempit, tinggi-rendahnya bahasa seseorang menjadi bukti tinggirendahnya karakter seseorang tersebut. Terdapat gejala dinamika bahasa Indonesia yang semula berkembang dari bahasa berbudaya tinggi (salah satunya berbahasa santun) menuju bahasa berbudaya rendah (berbahasa kasar) yang terjadi di semua ranah kehidupan (politik, kuliner, kosmetika, busana, dll.). Kondisi seperti itu ditandai dengan pemakaian bahasa yang kasar dan kurang berbudaya. Tindak berbahasa harus dipandang sebagai ibadah. Bahasa cerminan seseorang dan masyarakat berbudaya sebagai manipestasi ibadah kepada Tuhan. Berbahasa seperti itu hanya dapat dilakukan oleh sosok yang mampu berpikir positif (berprasangka baik atau khusnudzan), sebaliknya berbahasa kasar dan rendah itu gambaran pikiran negatif (prasangka burukatau suudzan). Secara otomatis berpikir positif akan menuntun pikiran penutur atau penulis terhadap pemakaian bahasa yang cerdas, santun, berbudaya, dan intelek. Sebaiknya, berpikir negatif akan menyeret seseorang untuk bertutur yang mencerminkan sikap curiga, kasar, bicara menyakitkan, dan tidak berbudaya, sekaligus berbahasa yang jauh dari nilai intelektual. Dalam konteks masyarakat yang religius, meyakini hidup di dunia adalah ladang menuju kehidupan akhirat yang hakiki, terdapat orientasi semua orang untuk mendapatkan posisi mulia di hadapan Tuhannya. Memuliakan manusia atau orang lain diwujudkan dalam performansi bahasa atau parole. Kesadaran religius itu diharapkan menjadi penggerak hati dan tindakan untuk berbahasa secara memadai. Kata kunci: bahasa, kesadaran religius, tingkat budaya 286 METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 LANGUAGE, ETIQUETTE, AND NATION DIGNIFYING Abstract: Language is believed as a medium or tool of communication among tribes and nations. Besides that, language is also an identity of a nation, a place for culture, and a medium of culture legacy. At the same time, language is a product of a culture. Since very long time, Indonesia has been recognized as a high-cultured nation. Literatures such as La Galigo, Negerakertagama, Baratayuda, HangTuah, Sejarah Melayu, and Serat Centhini are the evidence of the sophistication of knowledge and intelligence and contain civilization and the use of language borne from high culture. Language is always correlated and must be related to the dynamic of society and nation changes. Language representation also refers to the level of a nation’s culture. Thus, literally, the level of language use of a society indicates the level of a civilization of a society and nation. It can be narrowly concluded that an individual’s language level becomes an evidence of the individual’s character level. There is a dynamic symptom of Indonesian language which is initially developed from high cultured language (hospitable language) to low cultured language (rude language) which occurs in all aspects of life (politic, culinary, cosmetic, fashion, etc.). This condition is indicated with the use of rude and less cultured language. Language act should be viewed as worship. Language reflects individual and society culture as a manifestation of worship to God. Such language act can only be performed by those who can think positively. Otherwise, rude and low language act is a figure of negative thinking. Automatically, thinking positively will guide the speaker’s mind to the use of smart, polite, cultured and intellectual language. In contrary, thinking negatively will reflect individual’s language that is rude, hurting, uncultured, and not intellectual. Religious society believes that living in this world is a stage to the immortal afterlife world. Thus, they pursue to obtain noble position in front of their God. Respecting other people is created in the performance of language or parole. This religious awareness is expected to be activator of heart and actions to speak appropriate language. Keyword: language, religious awareness, culture level Bahasa diyakini sebagai media masyarakat-suku bangsa-antarnegara, atau alat komunikasi. Sementara itu, bahasa secara memiliki masyarakat/bangsa, dan bahasa sebagai kompleks, wadah kebudayaan. Di samping itu, misalnya bahasa sebagai alat atau bahasa memiliki fungsi sebagai media sarana berpikir, bahasa sebagai perekat pewarisan kebudayaan. Dalam arti ini, komunikasi lintas bahasa merupakan wadah kebudayaan, METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 287 mendasar, berbagai fungsi atau bahasa yang hubungan sebagai identitas sekaligus sebagai media pewarisan tercapainya harapan penutur dan respon kebudayaan, bahkan bahasa sekaligus positif sebagai demikian, produk budaya. Dengan dari mitra terkait tutur. dengan Dengan etika demikian, dapat dinyatakan bahwa berbahasa, penutur (dalam bahasa lisan) bahasa memiliki fungsi yang beragam dan tulisan (dalam komunikasi tulis) dan penting dalam kehidupan manusia. harus menyiapkan diri dan merancang Bahasa selalu mengalami perkembangan dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan komunikasi. Di samping itu, karena keterbatasan bahasa yang digunakan mampu memberikan rasa simpatik atau senang pada pihak mitra tutur. Terkait dengan hal itu, Leech (1983) menyatakan bahasa (misalnya bahasa daerah di adanya prinsip relasi dalam komunikasi Indonesia semuanya interpersonal, yakni (a) kerja sama, (b) dipahami oleh masyarakat dari suku sopan santun, (c) ironi, (d) kelakar atau bangsa lain) menuntut hadirnya bahasa humor, (e) daya tarik, dan (f) pollynna. yang dirinya Kemunculan prinsip pollyanna bermula sebagai media atau alat komunikasi dari sikap gadis kecil dalam novel lintas budaya lokal. Dalam kaitan ini, karya Porter (1913) berjudul Pollyanna. bangsa Indonesia yang hidup dalam Gadis kecil itu selalu memandang kebinekaan wajib merasa bersyukur setiap peristiwa secara positif (positive memiliki bahasa lintas budaya lokal, thinking). Secara garis besar, prinsip yakni berpikir yang mampu tidak memerankan bahasa Indonesia dalam positif dalam relasi fungsinya sebagai bahasa nasional, interpersonal meliputi (1) seseorang bahakan diorientasikan sebagai bahasa cenderung lintas bangsa atau bahaa internasional.. positif mengenai diri mereka sendiri, Dalam bahasa konteks digunakan komunikasi, untuk mencapai menyetujui pernyataan (2) seseorang lebih suka memandang hidup secara positif daripada negatif, respon positif dari mitra komunikasi, (3) baik mitra komunikasi berstatus sebagai optimis dalam memandang kehidupan, individu maupun lembaga. Ukuran (4) seseorang selalu mencari kebaikan keberhasilan atau bersikap baik dalam menghadapi 288 komunikasi adalah seseorang cenderung berpikir METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 peristiwa kehidupan yang diri seseorang perlu belajar bersikap bagaimanapun, (5) seseorang melihat (misalnya dalam budaya Jawa) wani sesuatu yang baik untuk diri sendiri dan ngalah orang lain, (6) seseorang cenderung mengalah menyembunyikan hal negatif dengan memangun karyenak tyasing sesama memakai penyangkalan ( Atmawati, ‘membuat hati atau perasaan senang 2011: 56—57; Pardi, 2015: 4--5). pada sesama’, ajen-ingajenan ‘saling Prinsip pollyana sejalan dengan nilai-nilai budaya Indonesia yang lokal bangsa menganjurkan luhur mulia wekasane pada ‘berani akhirnya’, menghargai’, dan janma tan kena kinira ‘manusia tidak dapat ditafsirkan’. Ungkapan janma tan kena kinira pentingnya menghormati orang lain. memberi Dengan menghormati orang lain (entah menghormati seseorang itu tidak boleh apapun mampu pilih kasih dan tidak boleh didasarkan membentuk diri seseorang untuk tidak pada penampilan fisik belaka, terutama merendahkan orang lain (termasuk bagi terhadap orang yang belum dikenalnya). Lebih dikenalnya. Tidak jarang seseorang lanjut, seorang yang bersikap positif berpenampilan sederhana secara fisik. tidak Akan tetapi, sejatinya seseorang itu status sosialnya) bermaksud perselishan menimbulkan (flemming) dalam rambu-rambu seseorang bahwa yang belum adalah ilmuwan yang andal yang secara berbahasa. Sebaliknya, dalam setiap sosial situasi dan kondisi, dirinya selalu bahkan berpikir untuk membangun equilibrium Ungkapan itu sebagai rambu-rambu atau kesetimbangan, untuk tetap menghormati pihak lain atau keharmonisan sosial. Sebaliknya, yang baru dilihat atau dikenal walaupun tidak membuat ada kalanya secara fisik tampak biasa menimbulkan dalam penampilan. Sebagai contoh, perselisihan atau kecurigaan yang dapat dalam tata pergaulan sosial masyarakat membuat distorsi pergaulan sosial. Jawa dikenal adanya ungkapan aja Untuk sampai pada sikap menghargai adigang pihak lain dapat terinternalisasi dalam menyombongkan keseimbangan, tepat komunikasi seseorang yang METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 memiliki mampu adigung status terhormat, secara ekonomi. adiguna ‘jangan diri atas kelebihan 289 yang dimiliki’, lembah manah ‘rendah produk sastra yang dikenal dunia dan hati’, diakui sebagai warisan pengetahuan andhap asor ‘rendah hati’, nggutuk elor kena kidul ‘menyindir monumental secara papan bangsa Indonesia tempo dulu—sebelum dan bernama Indonesia—adalah trah dari situasi’, ngluruk tanpa bala, menang masyarakat berbudaya tinggi. Sebagai tanpa ngasorake ‘menaklukkan tanpa contoh, naskah atau karya tertulis La dengan pasukan, dan menang tanpa Galigo, Negerakertagama, Baratayuda, harus mengalahkan (pihak lain merasa Hang Tuah, Sejarah Melayu, dan Serat kalah), aja ngubak-ubak banyu bening Centhini artinya jangan memperkeruh air jernih Surakarta yang mengandung nasihat sebaiknya pengetahuan dan kecerdasan bangsa seseorang menimbulkan Indonesia. Semua produk unggulan kegaduhan atau perselisihan dalam masa silam tersebut dapat dijadikan komunitas yang damai-tenteram, dan pendorong kena iwake aja nganti buthek banyune keunggulan bangsa ‘tercapai bangsa. simbolik’, empan ‘mempertimbangkan kondisi jangan tujuannya dan tidak telah pada mengantarkan masa Kasunanan membuktikan untuk Hal itu kemajuan mewariskan kepada generasi diarahkan untuk menimbulkan pertengkaran’ (Suratno, membangun 2007). berbudaya tinggi atau high cultures, Sejak lama bangsa Indonesia lahirnya bangsa dan menghindakan diri yang dari citra dikenal sebagai bangsa berkebudayaan bangsa yang berbudaya rendah atau low tinggi. Ketinggian budaya itu dapat cultures. dilihat yang Karya sastra di atas mewadahi bertaraf dunia, misalnya keberadaan peradaban sekaligus pemakaian bahasa Candi Borobudur, Prambanan, dan yang lahir dari budaya tinggi. Tidak kejayaan pada jarang dialog-dialog para tokoh cerita misalnya disampaikan secara simbolik sehingga Majapahit dan Sriwijaya, sebagai tanda tidak terkesan menggurui, tidak negasi, historis tetapi memberi teladan dan pilihan bagi beberapa dari produk beberapa abad atas budaya kerajaan silam, tingginya peradaban bangsa Indonesia. Di samping itu, pembaca. 290 METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 Selajutnya, saya hendak mengatakan bahwa bahasa selalu terkait dan berpengaruh positif terhadap pihak dan harus dikaitkan dengan dinamika lain. perubahan masyarakat dan bangsa. Di Indonesia kondisi terbantahkan. menunjukkan gumantung seserorang itu Ungkapan bangsa, ing tergantung bahasa budaya sebuah bangsa. Oleh sebab itu, diri ‘martabat ucapannya’, sering disebut rendah (low ke berbudaya orang tidak adanya masyarakat, bangsa atau negara yang berbudaya terdapat selamanya juga mengacu terhadap tinggi dan rendahnya lidahmu harimau-mu, dan sekali lacung ujian bahasa tiada ajining lathi Representasi cultures), masyarakat tinggi sebaliknya dan (high bangsa cultures). percaya adalah media pendidikan agar Dalam kesadaran seperti itu, setiap setiap orang memperhatikan bahasanya. individu Bahasa kompetensi dikategorikan sebagai sosok yang tidak seseorang, yakni langue. Kompetensi dewasa, tidak intelek, tidak cerdas, pengetahuan dalam bahkan tidak mungkin rela mendapat ujaran yang disebut parole. Langue label seseorang yang tidak berbudaya menentukan kompetensi atau berbudaya rendah. Sebaliknya, menentukan perfomansi atau ujaran. setiap individu, masyarakat, dan bangsa Sebaliknya, performen atau parole pastilah mengharapkan yang dikontrol secara terus-menerus mendapat label akan mewarnai langue. Pendek kata, masyarakat, dan bangsa yang dewasa, kompetensi cerdas, intelek, dan berbudaya tinggi. berasal itu dari dinyatakan parole, dan perfomansi atau penampilan ujaran yang sama-sama tidak Banyak mungkin sebagai pihak rela dirinya individu, sering dipengaruhi oleh proses belajar, baik menyangsikan kaitan antara bahasa secara sosial. dengan masyarakat dan bangsa budaya Kesadaran seperti itu dapat dijadikan tinggi. Uraian tadi telah membuktikan orientasi bagi setiap orang dalam keniscayaan bahwa bahasa merupakan berbahasa yang parameter budaya masyarakat atau dimiliki dapat berkembang semakin bangsa. Namun, dalam konteks bahasa lama semakin dewasa, semakin cerdas, sebagai kompetensi dan perfomansi METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 291 individu maupun sehingga bahasa lebih baik dinyatakan dengan tegas lingkup yang sempit, tinggi-rendahnya sebagai salah satu indikator atas tinggi bahasa seseorang menjadi bukti tinggi- atau rendahnya masyarakat atau rendahnya karakter seseorang tersebut. memahami dan Masyarakat berbudaya rendah lebih meyakini indikator tersebut, setiap cenderung dis-harmoni (sering ber- individu dan masyarakat terarahkan selisih, melakukan tindakan kekerasan, pemikiran untuk cenderung menonjol fisik dibandingkan bangsa pengetahuan, dll.), individual dan tidak berbudaya tinggi, baik secara individu memiliki jiwa solidaritas yang tinggi, maupun bersama - sama. Kemudian, jauh dari budaya tertib sosial, tidak taat bangsa yang hukum dengan bangsa bangsa. Dengan menuju dan perilakunya masyarakat dan bermartabat identik melanggar peraturan, atau merusak lingkungan, jauh dari budaya berbudaya tinggi (high culture) yang hidup bersih, egois dan cenderung memiliki karakteristik oposisi dengan agitatif, tidak berorientasi terhadap bangsa yang berperadaban rendah (low ilmu pengetahuan, serta rendah budi culture). Dalam konteks ini, Ibrahim bahasanya. Secara gampang, karakter (2013 dalam Suratno, 2015) dalam itu, salah satunya, dapat dilihat dari makalah dalam pemakaian bahasa. Dalam kehidupan Indonesia kaum terpelajar dan cerdas jarang dan bangsa tidak elok dipakai kata kakus, WC, Kongres berperadaban atau yang dipaparkan Kebudayaan menyebutkan karakteristik berbudaya tinggi, antara lain, harmoni, kencing, solidaritas sesama, Sebaliknya, tertib sosial, taat hukum, menghargai masyarakat lingkungan, hidup bersih, menghargai (bahkan, kurang pergaulan sosial), perbedaan, intelek atau cerdas, dan pemakaian kata-kata yang memiliki tinggi budi bahasa. Jadi, dari segi nilai rasa rendah itu digunakan tanpa bahasa, tinggi-rendahnya budi bahasa ada rasa risih atau suatu masyarakat dan bangsa menandai dipastikan akan lebih elok digunakan tinggi-rendahnya peradaban masyarakat kata kamar kecil, toilet, buang air kecil, dan buang air besar atau ke belakang, dan 292 tinggi bangsa. terhadap Dapat ditarik dalam berak, dan dalam sejenisnya. kehidupan yang kurang terpelajar malu. Dapat METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 sebagainya. Sekali bahasa gambaran pikiran negatif (prasangka menunjukkan rendah tingginya budaya buruk atau suudzan). Secara otomatis, dan keterpelajaran pemakainya. berpikir positif akan menuntun pikiran Terdapat bahasa lagi, gejala Indonesia dinamika atau penulis terhadap semula pemakaian bahasa yang cerdas, santun, berkembang dari bahasa berbudaya berbudaya, dan intelektual. Sebaiknya, tinggi (salah satunya berbahasa santun) berpikir menuju seseorang bahasa yang penutur berbudaya rendah (berbahasa kasar) yang terjadi di semua ranah kehidupa kosmetika, (politik, busana, kuliner, dll.). Kondisi seperti itu ditandai dengan pemakaian bahasa yang berbudaya. kasar Untuk dan kurang itu, untuk membangun kesadaran berbahasa yang bermartabat perlu dirancang kesadaran bahwa berbahasa bukan hanya sekadar berkomunikasi. Tindak berbahasa harus dipandang sebagai ibadah. Dengan demikian, pada akhirnya akan muncul kesadaran bahwa berbahasa yang rapi, negatif akan untuk menyeret bertutur yang mencerminkan sikap curiga, kasar, bicara menyakitkan, dan tidak berbudaya, sekaligus berbahasa yang jauh dari nilai intelektual. Secara fisik, berpikir positif akan melahirkan ekspresi wajah yang senyum dan ikhlas, sebaliknya berpikir negatif akan memunculkan ekspresi wajah yang kusam, cemberut, dan setengah hati, bukan sepenuh hati dan tentunya jauh dari pikiran yang dilakukan sejalan dengan hati nurani. Siapapun yang cerdas, dewasa, dan santun sebagai mampu berpikir positif dan terintegrasi tindakan serta terinternalisasi dalam sikap dan ibadah. Bahasa cerminan seseorang dan masyarakat berbudaya perilakunya sebagai manipestasi ibadah kepada merepresentasikan Tuhan. Berbahasa seperti itu hanya sosok yang mata atau wajahnya enak dapat yang dipandang (mengingatkan kita terhadap mampu berpikir positif (berprasangka cerpen karya Haji Ahmad Tohari baik berjudul dilakukan oleh atau khusnudzan), berbahasa kasar dan sosok sebaliknya rendah itu METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 akan “Mata mampu dirinya yang sebagaia Enak Dipandang”). 293 Internalisasi berbahasa dalam adalah ladang menuju kehidupan kaitan berperilaku merupakan syarat akhirat yang hakiki, terdapat orientasi bagi seseorang agar mampu berbahasa semua orang untuk mendapatkan posisi yang berbudaya. Jika internalisasi itu mulia di hadapan Tuhannya. Seseorang lahir dari kesadaran, pastilah menjadi akan mendapat support ganda sewaktu pendorong bagi meyakini bahwa tindakannya bernilai performansi atau ujaran seseorang yang ibadah, entah ibadah khusus (disebut mencerminkan ibadah mahdoh) atau ibadah sosial. atau penggerak sosok berbudaya. Pikiran yang dilandasi oleh sikap Sementara berbudaya tinggi diharapkan mampu performansi berbahasa berada dalam mendesain seseorang atau masyarakat kontens sebagai ibadah sosial. Namun, untuk tampil dan mengejawantahkan tidak boleh lupa bahwa ibadah sosial itu dirinya sebagai sosok berbudaya, yakni tidak penampilan dengan sumbangannya dalam mengantarkan dirinya untuk berpikir dan bersikap seseorang dapat sowan kepada Gusti harmoni, sosial, taat hukum, tidak Allah secara baik (disebut sebagai pati agitatif, cinta lingkungan, orientasi patitis atau khusnul khotimah). Untuk pada pengetahuan tinggi, tertib sosial, itu, tidak individual, cinta tanah air secara menjadi obor yang menerangi hati proporsional dan berbudaya. Internali- setiap individu untuk mencapai derajat sasi bahasa tersebut tidak dapat dicapai ibadah sosial yang memadai. yang menyatu itu, lebih kompetensi rendah kemampuan nilai berbahasa dan dan akan secara tiba-tiba dan tanpa pencarian Sebagai misal, bagi muslim, landasan berpikir. Dalam konteks ini, anjuran untuk berbahasa secara baik saya hanya akan memakai dua konsep (santun, cerdas, dan dewasa) menjadi internalisasi penting bahasa dalam karena merujuk terhadap hubungannya dengan sikap religius dan karakteristik sosial. Namun, dua landasan berpikir karakteristik Nabi atau Rasul. Oleh itu kemungkinan dapat memasuki ranah karena kehidupan yang lebih luas. memadai ada kewajiban meniru (lebih itu, Allah sebagai Swt. muslim dan yang Dalam konteks masyarakat yang tepatnya iktibaq atau mengadaptasi atau religius, meyakini hidup di dunia mengacu) terhadap karakteristik Tuhan 294 METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 dan Nabi menjadi sebuah tindakan lalahu ibadah. Sewaktu seseorang mampu ‘perkataan berbahasa yang memadai berarti dirinya mudahan dia sadar atau takut [Surat telah menjalankan ibadah, setidaknya Thaha: 44, pesan untuk Musa ketika ibadah sosial. Sementara itu, ibadah akan bertemu Fir’aun]), berbahasa yang sosial yang terinternalisasi konsisten akan menjadi secara penggerak ibadah khusus, atau sebaliknya. Jika kondisi itu dapat dibangun, baik yatadakaru yang (disebut au yaqsya lembut mudah- qaulan ma’rufa ‘perkataan yang baik’, Surat Annisa: 8), berbahasa yang bermanfaat dan tidak akan ditemukan semua pihak suka dan rela, bahkan merasa wajib, untuk berbahasa yang santun, cerdas, dan intelek yang sia-sia (disebutkan laa yasma’uuna fiihaa lagwan walaa ta’tsiima ‘mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan dilandasi oleh berpikir positif sehingga yang sia-sia dan tidak menimbulkan bahasa mampu dosa’, Surat Al Waqiah: 25), berbahasa membuat pihak lain meneladani dan yang mulia atau memuliakan pihak lain akhirnya menghormati keunggulan budi (disebut ‘qaulan kariima ‘perkataan pekertinya melalui bahasa atau parole yang mulia’ Surat Al Isra’: 23 sebagai sebagai ekspresi diri. anjuran anak ketika berbahasa atau yang digunakan Dalam Quran terdapat ayat yang menjadi rujukan berbahasa secara atas pentingnya memadai, yakni berkomunikasi kepada orangtuanya), berbahasa yang lebih baik kepada pihak lain (disebutkan yaquuluu llati hiya santun, cerdas, dan benar. Ungkapan ahsan berbahasa yang benar dan baik dapat mengucapkan perkataan yang lebih disambungkan dengan semangat Quran baik’, Surat Al Isra’: 53, dianjurkan yang dalam membalas ucapan orang lain), menghendaki berbahasa benar sadida,’katakankan setiap (disebut perkataan orang qaulan dan ‘hendaklah berbahasa yang mereka baik yang yang memuliakan atau menyenangkan lawan benar’ [Surat Al Azhab: 70]), berbahasa bicara bahkan kepada pihak yang lembut yang identik berbahasa santun secara lahir lebih rendah dari diri (disebut wa qula lahu qaulan layyina pembicara, misalnya kepada kawan, METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 295 dan Tempo dahulu bangsa Indonesia sebagainya (disebutkan wa quuluu li dikenal sebagai bangsa yang santun dan nasi husnan ‘dan ucapkan kata-kata berbudaya yang baik kepada manusia’, Surat Al tampak dalam budi bahasa tinggi. Baqarah: 83). Namun, terdapat gejala yang mengarah anak yatim, orang miskin, tinggi. Budaya tinggi untuk terhadap corak bahasa yang keras, sebagai kasar, dan tidak berbudaya. Tidak tindakan menjalankan kaidah agama berbudaya itu identik dengan tidak seperti ini pasti menjadi orientasi dalam intelek, semua agama karena pada prinsipnya berorientasi terhadap kerja sama atau semua negosiasi, tetapi cenderung bahasa yang Realitas berbahasa anjuran yang agama memadai adalah memuliakan tidak menyejukkan, manusia. Memuliakan manusia atau menghujat, orang bangun perselisihan dan sebagainya. lain performansi Kesadaran diwujudkan bahasa religius dalam atau itu parole. diharapkan Ekspresi menilai bahasa negatif, tidak itu tidak mem- berdiri sendiri, tetapi menyatu dengan tindakan menjadi penggerak hati dan tindakan yang untuk berbahasa melahirkan pikiran waton sulaya ‘asal Untuk mampu secara memadai. berdampak sosial (sehingga yang berbeda’ yang muncul dari pemahaman memadai dalam setiap kesempatan yang keliru atas budaya kebebasan). memerlukan pengetahuan sosial yang Padahal, dalam konteks keindonesiaan tinggi yang terkait dengan indikator yang masyarakat berbudaya tinggi tersebut di semestinya, kita menghindari berbahasa atas. kebencian (hate speech) dan tindakan Pada berbahasa gilirannya, kemampuan heterogen (hate atau ber-bineka, beribadah sosial melalui bahasa dan kebencian action). Dalam mengekspresikan diri dalam budaya kenyataannya tidak jarang dijumpai tinggi mampu menampilkan kecantikan ungkapan kebencian sebagai bentuk secara batin (lazim dizebut inner beuty) mendiskreditkan pihak lain, misalnya yang tampak dalam berbicara yang pernyataan Si A tidak patut berada di elok, indah, menghargai, menyejukkan, muka bumi, Darah A halal bagi kita, dan memartabatkan semua pihak. dan Kita dilaknat jika menjadikan A 296 METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 sebagai pemimpin. Bahkan, pemakaian dan sejenisnya. Tidak jarang bahasa simbol-simbol yang berpotensi untuk dan budaya dikesampingkan hanya meng-intimidasi pihak lain semestinya untuk tidak dilakukan untuk menjaga harmoni Semestinya, dalam kehidupun berbineka. Namun, dimanfaatkan tidak sedikit orang memasang simbol ekonomi atau label di kendaraannya untuk bermartabat. menunjukkan kepercayaan apapun, pastilah seseorang “aku-nya”, misalnya lambang keluarga besar polri, lambang angkatan udara, angkatan darat, keluarga keraton, organisasi tertentu yang merepresentasikan diri organisasi keras, dan sebagainya. Hal itu adalah ekspresi sikap atau pemikiran yang dinyatakan melalui bahasa yang sering memanfaatkan suku, etnis, ras, agama, dan gender untuk meminimalisasi atau memojokkan orang atau kelompok bahasa untuk secara ekonomi. yang harus kepentingan komprehensif Dalam agama dan atau dianjurkan berbahasa yang baik dan berbudaya. Akan tetapi, pemahaman kebebasan alih-alih yang tanpa batas, tidak sedikit pemakaian bahasa yang mengorbankan nilai-nilai adab dan etika. Pemakaian bahasa yang kurang memadai itu dapat dilihat di setiap penjuru, terutama di kota besar, misalnya bakso setan, rawon setan, bakso bang-sat, soto dhemit, rica-rica tertentu. Masyarakat waktunya pertimbangan untuk Indonesia sudah merepresentasikan setan, bakso iblis, dan bakmi lethek. Bahkan, telah muncul kuliner yang dirinya sebagai bangsa yang santun dan menamai berbudaya tinggi dalam berbahasa. kosakata porno. Dapat diduga bahwa Pemandangan yang menyejukkan dan kemungkinan besar improvisasi bahasa elok jika dalam mobil terpasang stiker itu tergiring oleh orientasi menuju bertuliskan kehidupan yang lebih santun bicara-santun menu-menunya bebas, dengan modern yang berlalu lintas, mari cintai lingkungan, cenderung termasuk bebas hormati sesama pengguna jalan, kami berbahasa. Padahal, kota wisata tidak senang Anda tidak membuang sampah harus identik dengan kehidupan yang sembarangan, gunakan air secukupnya, bebas atau pornografi. Kondisi itu METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 297 membuat hati kita bertanya “apakah (menilai layak kita mengaku sebagai bangsa pembuktian yang memadai); bukan yang berbudaya”. Selanjutnya, muncul bahasa yang apresiatif atau menghargai pertanyaan pihak bagaimana pengajaran pihak lain, lain salah melainkan tanpa provokatif bahasa dan sastra yang belum mampu (membangun kebencian, merendahkan, membentuk menghina); masyarakat berbahasa bukan bahasa yang secara memadai. Padahal, salah satu merangkul atau mengajak untuk bersatu alasan pembelajaran bahasa dan sastra atau bekerja sama, melainkan bahasa adalah keyakinan bahwa bahasa dan yang memisahkan, bukan bahasa yang sastra memuat nilai-nilai kehidupan memuliakan (dalam Kurikulum 2013 tampak pada bahasa yang merendahkan pihak lain; dicantumkannya kompetensi sikap). pemakaian Saya pernyataaan menegaskan kembali asosiasi pihak lain, bahasa atau melainkan tidak kebersamaan, bersifat tetapi terkait dengan gejala oposisi atau pertentangan; dan bahasa kebahasaan yang semakin dominan yang memisahkan, bukan bahasa yang dalam kehidupan bermasyarakat dan mempertemukan. berbangsa. Dalam pemakaian bahasa berlajar dari ungkapan nasihat Jawa dapat yang yang menghargai semua orang, yaki mewadahi memangun karyenak tyasing sasama disaksikan memprihatinkan kondisi karena Masyarakat dapat yang ‘membuat orang lain senang’ (Suyami, budaya 2014; Suratno, 2016). Bahasa tidak lagi rendah. Secara dominan, dewasa ini dimanfaatkan untuk mendidik kebaikan bahasa masyarakat tidak berorientasi terhadap kita, tetapi aku; tidak mencerminkan menjerumuskan masyarakat ke dalam keramahan, budaya rendah. Hal itu tampak dalam pemikiran dari berkecenderungan kejengkelan, peradaban sebagai tetapi kemarahan, kebencian; tidak masyarakat, tetapi justru tindakan menyingkirkan, memfitnah, menggambarkan semangat sosial, tetapi menghujat, membakar, individual yang sempit; tidak dibangun menyiksa, dan sebagainya yang dengan dalam koridor negosiasi, tetapi negasi mudah 298 METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 disaksikan membunuh, melalui media. Bahkan, kadang-kadang membuat kemungkinan lupa bahwa masyarakat mengerutkan dahi karena “penyembunyian diri” yang dilakukan pelakunya orang terpelajar. melalui nama samaran dan cenderung Dalam melihat kondisi seperti itu, perlu nama identitas bodong itu tidak mutlak, dibangun kembali pemuliaan bangsa terlebih lagi jika dikaitkan dengan bermula kembali dari bahasa. nasihat bijaksana dalam masyarakat adalah Dalam komunikasi dalam media Jawa, yakni ngono ya ngono nanging maya atau internet, pemakaian bahasa ojo ngono. Pada suatu kesempatan kita yang bersifat negatif sangat kentara, boleh kecewa, tetapi ekspresi bahasa bahkan lebih dominan dibandingkan haruslah terkesaan cerdas, dewasa, dan dalam komunikasi secara langsung. santun. Kata-kata yang tidak santun itu Sementara ini dapat diduga penyebab hanya layak dipahami dan tidak pantas pemakaian bahasa di dunia maya yang dipraktikkan. Seseorang, entah apa kurang dila- profesi dan jenjang kependidikannya, tarbelakangi oleh pandangan sebagai yang mempraktikkan kata-kata kasar media bebas karena seseorang dapat berarti dirinya telah mengekspresikan menyembunyikan sosok pribadi yang berbudaya rendah. berbudaya tersebut dirinya (memakai Saya akan mengenang kembali anonim, nama samaran, dll.). Hal itu seseorang kisah salah satu intelektual ternama di meyakini bahwa berbahasa itu bagian dunia, yakni Thomas Alfa Edison. Saya dari ibadah sosial. Dalam bahasa di menempatkan ingatan yang mempesona media maya-pun ada etika berbahasa sebagai sikap arif dan bijaksana atas yang santun dan terpelajar, berbahasa cerita yang cendekia. Sebagai misal, dalam perjalanan kehidupan Thomas Alfa komunikasi via sms, whats-app, dan Edison, sang penemu bola lampu, dan lain-lain perlu menghindari pemakaian namanya tercatat dalah pahatan abadi di bahasa yang menghina, memojokkan, seluruh dunia. Keberhasilan Thomas menimbulkan Edison menempatkan dirinya sebagai tidak akan menjaga dan terjadi jika perselisihan, atau menghormati privasi maestro guru ilmu saya terkait pengetahuan dengan tidak pihak lain. Pengguna media maya METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 299 terlepas dari kearifan ibunya. Thomas Berkat ilmunya, dunia menjadi seolah- Edison telah mematenkan penemu- olah hidup siang dan malam annya, yakni bola lampu, gramafon, membuat dan kamera film. Sementara kearifan mudik pada malam hari. dan orang seluruh dunia hilir- ibunda Edison tidak mungkin lahir Dalam perjalanan waktu Ibunya tanpa bahasa yang rapi, bijaksana, dan semakin tua yang akhirnya wafat. dewasa. Ketika itu Edison kecil tiga Beberapa waktu setelah ibunya wafat, bulan bersekolah di sekolah formal. Edison menemukan surat dari gurunya Pada suatu hari pihak sekolah mengirim yang dulu dibaca oleh ibundanya. surat kepada ibunya. Surat itu dikirim Betapa terkejut hati Edison ketika dalam sampul tertutup dan dititipkan membaca isi surat itu. Dalam surat itu, kepada Thomas Edison. Sang guru Sang Guru menyatakan, “Edison anak berpesan agar surat itu segera diberikan kepada ibunya sesampainya Edison tiba di rumah. Singkat cerita Edison memberikan surat dalam sampul itu kepada ibunya. Ketika sang ibu membaca surat itu, Edison bertanya, “Apa isi surat itu, Bu?” Sang Ibu menjawab, “O, begini, kamu anak yang sangat jenius. Karena itu, tidak ada guru yang sanggup mengajarmu. Para yang sangat ediot dan bodoh. Tidak ada guru yang bersedia mengajarinya. Edison tidak boleh datang ke sekolah.” Sejak saat itu, Edison sangat amat mengagumi kebaikan dan kearifan ibunya. Demi anak yang disayangi, Sang Ibu mampu mengontrol emosi dan mengatakan kepada Edison kecil sesuatu yang bertolak belakang dengan isi surat dari sekolahnya. Dewasa ini, tampaknya, tidak banyak orangtua yang guru meminta kamu belajar sendiri di mampu melakukan tindakan seperti rumah, Anakku”. Sejak hari itu Edison ibunda Thomas Edison. Kebanyakan tidak pergi ke sekolah lagi. Ia belajar semua justru meluapkan kemarahan secara autodidak di rumah. Usia Edison kepada anaknya. Sekali lagi, bahasa bertambah dan sang ibupun semakin adalah refleksi dari pemikiran arif, tua. Edison dewasa, dan cerdas. Hanyalah orang lampu. yang pandai, dewasa, dan cerdaslah Berkat berhasil 300 ketekunannya menemukan bola METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 yang mampu berbahasa yang memotivasi bukan melemahkan, yang menghargai bukan merendahkan, yang merangkul bukan memisahkan, dan sebagainya seperti bahasa ibunda Edison kepada Edison kecil ketika itu. Perempuan itu berbahasa yang tepat, cerdas, dan bijaksana pada waktu yang tepat pula (dalam masyarakat Jawa dikenal adanya nasihat berbahasa yang empan papan atau angon wayah artinya berbahasa sesuai dengan situasi dan kondisinya). Saya sering terkenang sepenggal cerita yang mengesankan terkait dengan kisah seorang nenek yang meminta nasihat kepada seorang ulama atau tabib. Untuk itu, saya sertakan pada akhir paparan ringkas ini dengan harapan dapat menjadi pengingat bagi Pembaca atau Peserta Seminar ini untuk tetap menyadari bahwa kesantuan berbahasa merupakan cerminan perilaku, identitas, dan karakter seseorang, masyarakat, dan bangsa. Kisah singkat itu sbb. Nenek renta itu sangat sedih. Anak satusatunya menghembuskan nafas terakhir. Ya, setelah sakit demam beberapa hari. Pagi tadi METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 meninggal. Si Nenek tidak dapat menerima. Ia meminta Tuhan menghidupkan kembali, anaknya. “Tuhan tidak adiiiil. Kembalikan nyawa anakku!” katanya. Si Nenek menggendong anaknya yang sudah tidak bernyawa itu. Si Nenek hendak mendatangi seorang ulama besar. Perempuan tua itu akan meminta agar sang Ulama memberi obat sehingga anak si nenek hidup kembali. Setelah berjalan beberapa jam. Nenek bertemu sang Ulama terkenal. “Bapak, anakku ini telah mati. Tolong, berilah doa dan obat agar anakku hidup kembali.” Dengan santun sang Ulama berkata, “Baiklah, sediakan sebiji lada. Anakmu akan hidup setelah aku obati dengan sebiji lada. Biji lada itu kamu minta kepada siapapun. Dengan syarat keluarga dari pemberi biji lada itu belum pernah ada yang meninggal.” Si Nenek girang, “Hanya itu? Hanya sebiji lada?” tanya si Nenek meyakinkan. Sang Ulama menjawab, “Benar, Nek.” Nenek itu segera pergi. Didatanginya sebuah rumah, lalu dia 301 berkata, “Ki sanak, bolehkah aku meminta sebiji lada?” “Dengan senang hati. Akan kuambilkan”, sahut seorang ibu di rumah itu. Si Nenek menerima sebiji lada dengan hati gembira. Lalu, si Nenek bertanya, “Nak, apakah keluargamu pernah ada yang meninggal?’ “O, ya, anakku satu-satunya sebulan yang lalu meninggal. Sekarang aku hidup seorang diri,” kata pemilik rumah. Sang Nenek minta pamit. Ia berjalan agak jauh. Dia mendapati sebuah rumah yang kebetulan beberapa orang penghuninya. Nenek itu mengetuk pintu rumah, “Asalamualaikum….” Pemilik keluar dan menemui si Nenek dengan ramah. “Apa yang dapat kami bantu, Nek?, Si Nenek berkata, “Aku hendak meminta sebiji lada.” Tanpa banyak bicara, pemilik rumah segera ke dapur dan kembali ke hadapan Nenek, sambil membawa sebiji lada. Si Nenek menerima dengan hati berbinar. “Terima kasih. Kalau boleh tahu, apakah keluarga di rumah ini pernah ada yang meninggal?”, tanya si Nenek. Dengan wajah yang 302 penuh ikhlas, pemilik rumah berkata, “Benar, seminggu yang lalu, kedua orangtua kami wafat bersamaan waktunya. Lalu, dua hari lalu, adik kami juga meninggal. Sekarang saya dan keponakan di sini hendak berdoa semoga semua yang telah wafat ditempatkan di Surga.” Si Nenek bergegas kembali untuk menemui sang Ulama. Ia masih menggendong jenazah anaknya. Lalu si Nenek berkata, “Bapak yang alim, kumohon, kuburkan jenazah anakku ini. Aku ikhlas atas kematian anakku. Doakan, Allah Swt. mengampuni kesalahanya!” Sang Ulama tersenyum mendengan ucapan si Nenek. “Sekarang engkau menyadari. Semua orang akan meninggal jika telah sampai waktunya. Anak itu milik Allah yang dititipkan kepadamu. Maka, engkau harus rela sewaktu anak itu diminta kembali oleh yang menitipkannya. Ketahuilah, maa tasbiqu min umatin ajalaha wa maa yustakiruna, kematian bagi manusia itu jika sudah waktunya, tiada dapat dimajukan atau dimundurkan. Si Nenek METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 tertunduk, hatinya membenarkan ucapan sang Ulama. Ia sadar, anaknya harus kembali ke hadapan Allah, karena sudah waktunya. Si Nenek tiada bersedih lagi. Tidak lama kemudian si Nenek meminta pamit, hendak kembali ke rumah. Dalam beberapa langkah dipandangilah kuburan anaknya, dan tampak wajah si Nenek berseriseri, penuh rasa ikhlas hati. ------------. 2015. “Pemuliaan Bangsa melalui Internalisasi Bahasa. Makalah dalam Seminar Nasional bertema “Kajian Pragmatik dalam Berbagai Bidang” yang dilaksanakan oleh Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, 13—14 November 2015 ----------------. 2016. “Internationalization of Indonesia Local Culture Values”. Makalah dalam Seminar Internasional yang diselenggarakan oleh Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang. Sumber Bacaan Atmawati, Dwi. 2011. ”Prinsip Pollyanna dalam Wacana Dakwah (Kajian Pragmatik)”. Jurnal Kajian Linguistik dan Sastra. Volume 23. No. 1.2011. Surakarta: Universitas Mummadiyah Surakarta. Suyami. 2014. “Memangun Karyenak Tyasing Sasama: Intisari Kesantunan Jawa yang Layak Mendunia” Makalah dalam Kongres Kebudayaan Jawa. Surakarta: Kongres Kebudayaan Jawa. Suratno, Pardi. 2008. Gusti Ora Sare: Yogyakata: Penerbit Tiara Wacana. Tohari, Ahmad, 2015. Mata yang Enak Dipandang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. METAFORA Volume 2 No 2 April 2016 303