teori harta - WordPress.com

advertisement
TEORI HARTA DALAM HUKUM FIQH ISLAM
Abstrak
Harta adalah sesuatu yang berharga yang ingin dimiliki oleh setiap orang. Dalam Islam
kepemilikan harta juga diatur agar mempermudah manusia menjadikan harta itu sebagai
sarana memenuhi kebutuhan hidup sekarang maupun nanti. Dalam tulisan teori
mengenai harta ini dapat dilihat dari berbagai kajian antara lain apakah yang dimaksud
dengan harta itu, bagaimana pandangan Islam mengenai harta itu sendiri dan
penggunaannya yang sesuai dengan tuntunan agama. Apabila agama mewajibkan
seseorang untuk mencari nafkah dan rezeki bukan berarti Islam membolehkan berbagi
cara untuk mendapatkan dan menggunakannya, oleh karena itu demi kebaikan dan
kemaslahatan umat manusia di muka bumi ini teori harta dalam Islam haruslah
diberikan panduan pandangan yang lebih luas lagi.
A. Pendahuluan
Tujuan Allah SWT menjadikan manusia di atas muka bumi bukan saja untuk
menjalankan ibadah yang khusus (mahdhoh) tetapi juga untuk menjalankan ibadah yang
bersifat umum. Tidak dinafikan bahwa di dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, ibadah
yang khusus menjadi kegiatan ibadah yang penting, akan tetapi tujuan hidup manusia itu
bukan hanya untuk beribadah yang mahdhah itu saja, melainkan juga ada perintah agama
yang menyuruh untuk mencari rezeki (bekerja) untuk memenuhi keperluan hidup di
dunia. Oleh karena itu tidaklah cukup bagi manusia untuk melaksanakan ibadah mahdah
saja, akan tetapi mencari harta (rizki) juga wajib hukumnya, dan sekiranya kegiatan
tersebut dilakukan dengan niat ikhlas untuk memberi makan anak dan istri maka ia
adalah bagian dari fi sabilillah. Namun demikian perlu diingat bahwa rezeki atau harta
yang dimiliki manusia itu selain dapat memberi kebahagiaan di dunia tetapi juga dapat
membawa kerugian di akhirat kelak. Fenomena ini dapat kita lihat melalui peringatan
Allah SWT dalam surat al-Munafiqun ayat 9 yang artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu dilalaikan oleh (urusan) harta
benda kamu daripada mengingat Allah SWT (dengan menjalankan perintahnya). Dan
(ingatlah) siapapun yang melakukan, maka mereka itulah oran yang rugi.
Perlu juga diingat bahwa harta kekayaan merupakan suatu masalah yang sulit
dilepaskan dari perhitungan atau hisab Allah SWT di akhirat kelak, Rasullullah SAW
pernah bersabda yang artinya:
Kedua-dua kaki anak Adam tidak dapat bergerak di padang Mahsyar pada hari kiamat
nanti sehingga ia ditanya tentang empat perkara yaitu pertama tentang umurnya,
kemana telah dihabiskan: kedua tentang masa mudanya, kemana ia telah pergunakan;
ketiga tentang harta kekayaan yaitu dari mana ia peroleh dan kemana ia gunakan dan
keempat tentang umurnya sejauhmana ia telah mengamalkannya (H.R. Turmuzi).
Akan tetapi janganlah menganggap agama Islam adalah agama yang melarang
umatnya untuk mencari dan memiliki harta kekayaan bahkan sebaliknya, ajaran Islam
senantiasa memotivasi dan menganjurkan umat manusia supaya mencari rezeki dan
memiliki harta dengan cara yang thoyib yaitu berdasarkan cara-cara yang dibolehkan oleh
syariat agama. Sebagaimana ditegaskan melalui firman Allah SWT dalam surah alJum’ah ayat 10 yang artinya:
Kemudian, setelah selesai sembahyang maka bertebaranlah kamu diatas muka bumi
(untuk menjalankan urusan masing-masing) dan carilah apa yang kamu hajati dari
limpah karunia Allah, serta ingatlah Allah SWT sebanyak-banyaknya (dalam segala
keadaan) supaya kamu beruntung (di dunia dan akhirat).
B. Definisi Harta
1. Dari Sudut Bahasa.
Menurut Ibn Manzur dalam Lisan al-Arab definisi harta itu ialah apa yang
dimiliki oleh seseorang dari keseluruhan sesuatu1. Manakala dalam kamus Mu’jam alWasit, harta adalah setiap apa yang dimiliki baik oleh individu atau bersama-sama seperti
harta benda, barang dagangan harta tak alih, uang, hewan dan kesemua dari harta-harta.2
Ibn al-Athir dalam kitabnya al-Nihayah, menjelaskan bahwa harta pada asalnya
adalah apa yang dimiliki seseorang yang berasal dari emas atau barang berharga
kemudian ia bertasarruf atau membelanjakan atas setiap apa yang disimpannya, harta ini
hanya dimiliki oleh orang-orang kaya atau berada.3
2. Dari Sudut Istilah.
a. Pendapat Golongan Hanafi.
Menurut golongan Hanafiah harta merupakan benda atau barang yang dapat
dikuasai dan pada kebiasaannya dapat diambil faedah darinya. Maksudnya adalah bahwa
dikatakan harta itu bila ada dua unsur, yaitu:
i.
ii.
Dapat dikuasai (dikelola/hiyazah). Oeh sebab itu, sesuatu barang yang tidak
dapat dikuasai/dikelola contohnya sesuatu yang bersifat ma’nawi, seperti ilmu
pengetahuan, kesehatan, kemuliaan dan kecerdikan, tidaklah dianggap sebagai
harta. Begitu juga dengan sesuatu yang tidak dapat dikuasai seperti udara,
panas cahaya matahari dan cahaya bulan semua ini bukanlah termasuk
kategori harta.
Dapat diambil manfaat pada kebiasaannya. Oleh sebab itu, sesuatu yang tidak
dapat diambil faedah seperti makanan yang beracun, atau sesuatu yang dapat
diambil manfaat tetapi pada kebiasaanya tidak dapat dianggap sebagai
manfaat oleh manusia seperti setitik air atau segenggam tanah maka ia tidak
dapat dianggap sebagai harta karena tidak bermanfaat secara satuannya.4
Sesuatu itu dianggap harta jika manusia atau sebagian dari mereka
menjadikannya sebagai harta. Oleh sebab itu, arak atau khinzir merupakan
harta karena ia digunakan oleh orang bukan Islam. Ibn Abidin al-Hanafi
dalam majalah al-Ahkam al-Adliyyah menyatakan harta ialah barang yang
disukai oleh tabiat manusia dan boleh disimpan untuk waktu tertentu baik itu
harta bergerak atau harta tak bergerak. Walau bagaimanapun, definisi ini
masih diperdebatkan karena ia tidak lengkap. Ini karena, walaupun sayursayuran dan buah-buahan dapat disimpan namun ia cepat rusak dan masih
tetap dianggap harta. Begitu juga dengan sebahagian barang yang tidak
disukai oleh tabiat manusia seperti obat, juga dapat dianggap sebagai harta. 5
b. Pendapat Golongan Malikiyah.
Al-Syatibi mendefinisikan harta itu sebagai apa-apa yang dimiliki dimana si
pemilik itu sendirilah yang akan menjaganya dari diambil oleh orang lain.6
c. Pendapat Golongan Syafi’iyah.
Golongan Syafi’iyah berpendapat bahwa tidak disebut dengan harta kecuali
sesuatu yang mempunyai nilai dan dapat diperjualbelikan selama manusia menyukainya.7
d. Pendapat Golongan Hanabilah.
Syamsudin Ibn Qudamah al-Maqdisi berkata bahwa harta ialah apa-apa yang
mempunyai manfaat pada saat keadaan biasa bukan pada saat keadaan darurat.8
Abd Karim Zaidan, ulama kontemporer juga memberikan definisi mengenai harta
yaitu bahwa harta itu sebagai sesuatu yang dapat dikuasai dan dimanfaatkan pada
kebiasaannya.9 Definisi ini menekankan pada dua hal, yaitu pertama dapat dikuasai dan
kedua dapat dimanfaatkan. Berdasarkan definisi-definisi di atas maka dapat diambil
kesimpulan apa yang dikatakan harta buat manusia itu sebagai berikut di bawah:
i.
ii.
iii.
Sesuatu yang dapat kuasai dan dapat dimanfaatkan secara langsung oleh
manusia merupakan harta, seperti rumah, tanah, mobil, uang dan sebagainya.
Sesuatu yang tidak dikuasai secara langsung tetapi manusia berkemampuan
untuk menguasainya juga dikatakan harta, ini karena penguasaan secara
langsung tidak menjadi syarat untuk menetapkan sesuatu itu sebagai harta.
Malahan yang menjadi syarat ialah kemungkinan sesuatu itu dapat dikuasai
ketika ia dapat dimanfaatkan. Dalam hal ini, tambang yang terdapat di perut
bumi dan mutiara yang berada di dasar laut dianggap sebagai harta.
Sesuatu yang tidak dapat dikuasai, tidak dianggap sebagai harta walaupun kita
mendapatkan manfaat darinya seperti cahaya matahari dan bulan.
iv.
v.
Sesuatu yang pada lazimnya tidak dapat dimanfaatkan walaupun dapat
dikuasai tidak dianggap sebagai harta, seperti sebiji beras atau sebatang
gandum karena pada lazimnya ia tidak dapat dimanfaatkan kalau cuman satu
biji.
Sesuatu yang dilarang oleh agama untuk dimanfaatkan oleh seluruh umat
manusia tidak dapat dianggap sebagai harta walaupun sesuatu itu dapat
dimanfaatkan seperti bangkai, sebab yang menjadi ukuran sesuatu itu
bermanfaat atau tidak haruslah berdasakan ketentuan hukum syariat.10
C. Pembagian Harta
Para ahli fiqh mengelompokan harta atas beberapa bagian atau kategori yang
berdasarkan kepada segi-segi tertentu, sebagaimana berikut ini:
1. Berdasarkan kepada boleh dan tidaknya mempergunakan benda tersebut. Ini
terbagi atas dua bagian yaitu harta bernilai (mutaqawwim) dan tidak bernilai
(ghairu mutaqawwim)
2. Berdasarkan kepada harta itu tetap dan tidak tetap di tempatnya, maka ia terbagi
atas dua macam yaitu al-aqar dan al-manqul
3. Berdasarkan kepada persamaan jenisnya, ia terbagi kepada harta qimiy dan mitsliy
4. Berdasarkan kepada pengekalan zat setelah di gunakan. Ini juga dibagi kepada
dua yaitu istihlaki dan isti’mali.11 Penjelasannya adalah sebagai berikut dibawah
ini.
a. Harta Bernilai (Mutaqawwim) dan Tidak Bernilai (Ghairu Mutaqawwim)
Apa yang dimaksud dengan harta bernilai ialah harta yang dapat dimiliki dan
syariat membolehkan penggunaannya.12 Atau dapat dikatakan juga harta mutaqawaim
adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan syariat Islam membolehkan pengambilan manfaat
darinya dengan sangat bebas dan biasa saja, yakni dalam keadaan dimana seseorang tidak
terpaksa untuk memanfaatkannya.13 Berdasarkan ta’rif diatas, maka dapatlah dirumuskan
yaitu bahwa dalam menentukan harta itu bernilai atau tidak perlu terlebih dahulu
ditentukan apakah harta itu sesuatu yang dilindungi oleh syariat Islam atau tidak.
Seandainya ia dilindungi maka sesutau itu dianggap bernilai dan begitu juga sebaliknya.
Diantara contoh harta bernilai ialah uang, emas, cek, dll.14
Harta yang tidak bernilai atau ghairu mutaqawwim adalah harta yang tidak dapat
dimiliki dan tidak dapat dimanfaatkan dalam keadaan biasa atau salah satu diatara
keduanya, yaitu tidak dapat dimiliki atau tidak dapat dimanfaatkan.15 Atau sesuatu yang
oleh syariat Islam tidak boleh digunakan kecuali dalam keadaan dharurat (terpaksa).
Contoh harta yang tidak bernilai adalah arak dan babi, walau bagaimanapun ulama fiqh
Hanafiah berpendapat bahwa kedua-dua harta diatas adalah bernilai bagi orang non
muslim.16
Dari pembagian jenis harta diatas maka akan timbul dua akibat hukum yaitu:
1.
Hukum membuat kontrak ( akad perjanjian). Adalah sah mengadakan
kontrak apa saja atas harta yang bernilai seperti jual beli, gadai, sewa
menyewa atau yang lainnya, sedangkan untuk harta yang tidak bernilai
2.
maka tidaklah sah mengadakan kontrak dan jika dilakukan juga maka
dianggap batal atau fasid (rusak).
Ganti rugi. Apabila harta yang bernilai itu dirusakkan oleh seseorang
maka wajiblah ia membayar ganti rugi dengan barang yang sama
dengan yang dirusakkan itu atau dibolehkan juga mengganti dengan
yang sesuai dengan nilai barang itu jika ia tidak ada yang sama di
pasaran. Adapun harta yang tidak berharga maka kerusakan tidak perlu
diganti, seandainya ia dimiliki oleh orang Islam. Akan tetapi jika
barang yang dirusak seperti arak atau babi itu milik non muslim maka
wajib dibayar ganti rugi, ini pendapat golongan Hanafiah. 17
b. Harta Bergerak dan Tak bergerak
1. Pendapat golongan Hanafiah harta bergerak (manqul) adalah harta yang dapat
dipindah dan diubah dari satu tempat ke tempat lainnya, baik bentuk dan
strukturnya akan tetap ataupun akan berubah akibat perpindahan tersebut,
contohnya seperti uang, barang perniagaan, hewan ternak, binatang
peliharaan, dll. Sedangkan harta tak bergerak (Aqar) adalah harta yang tetap
pada tempatnya, tidak dapat dipindah dan diubah sama sekali ke tempat lain,
contohnya seperti tanah dan rumah. 18
2. Pendapat golongan Maliki harta bergerak (manqul) sebagai sesuatu yang
dapat dialihkan dan dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya akan
tetapi bentuk dan strukturnya masih tetap seperti biasa, contohnya adalah
pakaian, buku, kendaraan, dsb. Sedangkan harta aqar adalah sebagai sesuatu
yang tidak dapat dipindah dan diubah sama sekali, atau sesuatu yang dapat
dipindah dan diubah dalam keadaan terjadi perubahan bentuk apabila
dipindah. Kadangkala harta aqar dapat berubah menjadi manqul dan
sebaliknya seperti pintu rumah, gembok, jet pam dan aliran listrik yang pada
awalnya adalah harta aqar karena terhubung dan melekat dengan bangunan
yang jenisnya termasuk harta aqar berubah menjadi manqul. Sebaliknya harta
manqul dapat menjadi aqar ketika ia terlepas dari bumi seperti bahan galian
tambang, batu, tanah , dll. Selain itu batu bata dan kayu-kayu runtuhan
bangunan juga menjadi harta aqar.19
Keuntungan harta dibagi kepada dua yaitu aqar dan manqul adalah:
1.
Penjualan barang aqar tunduk kepada hukum syuf’ah (hak bagi
tetangga untuk memiliki dan membeli terlebih dahulu daripada orang
lain). Sebaliknya, apabila barang yang dijual adalah barang manqul
maka tidaklah dapat ditetapkan dengan hukum syuf’ah. Jika barang
manqul itu melekat pada aqar maka hak syuf’ah dapat diberikan
kepada keduanya.
2.
Dalam maasalah wakaf, golongan Hanafiah berpendapat bahwa waqaf
tidaklah sah kecuali harta itu adalah harta aqar. Walaupun begitu jika
harta manqul yang diwakafkan tersebut melekat pada aqar maka
hukumnya adalah sah. Hal ini berbeda dengan pendapat ulama lain
yang menyatakan bahwa baik harta itu aqar maupun manqul keduanya
dapat untuk diwakafkan.
3.
4.
5.
6.
Wasi (orang yang mendapat amanah untuk memelihara harta orang
lain) tidak dibenarkan menjual harta aqar yang dimiliki oleh orang
yang cacat pikiran,. kecuali dengan alasan yang dibenarkan oleh syariat
seperti untuk melunasi hutang, memenuhi kebutuhan hidup yang primer
dan lainnya yang jelas demi kemaslahatan. Adapun harta manqul, wasi
dapat menjualnya kapanpun juga untuk memenuhi segala keperluan.
Dalam masalah pelunasan hutang maka dalam penjualan barang
hendaklah didahulukan harta manqul kemudian baru diikuti dengan
harta aqar sekiranya tidak mencukupi.
Dapat dibenarkan menjual kembali harta aqar sebelum barang itu
diterima oleh pembeli, sedangkan untuk harta manqul tidak dibenarkan
menjual kembali barang tersebut kecuali apabila telah diterima oleh
pembeli. Ini pendapat dari Abu Ahnifah dan Abu yusuf.
Pada harta aqar terdapat juga hak tetangga dan hak penggunaan,
sedangkan harta manqul tidak terdapat kedua hak ini.
Semua ahli fiqh sepakat bahwa mustahil untuk harta manqul untuk
diambil paksa karena sesuatu hal, sedangkan menurut Abu Hanifah dan
Abu Yusuf harta aqar lah yang mustahil untuk diambil paksa.
c. Harta Mitsliy dan Qimiy
Pembagian harta yang ketiga adalah harta mitsliy dan qimiy, Harta mitliy adalah
harta yang mempunyai bandingan atau persamaannya, sedangkan harta qimiy yaitu harta
yang tidak ada persamaan atau bandingannya di pasaran. Keduanya ini dapat dilihat dari
sudut satuan unitnya, apakah ada persamaan atau bandingan, apabila tidak ada maka
keduanya dilihat dari sudut persamaan nilainya atau harganya saja. Harta Mitsliy dibagi
atas empat macam, yaitu:
1. Al-makilat yaitu barang-barang yang ditakar seperti padi dan gandum
2. Al-mauzunat yaitu barang-barang yang ditimbang seperti kapas dan besi
3. Al-‘adadiyat yaitu barang-barang yang dapat dihitung satuan dan mempunyai
bentuk yang hampir sama seperti kelapa dan telur
4. Al-dhar’iyat yaitu barang-barang yang diukur dengan meteran seperti segala jenis
kain, botol kaca, kayu papan. Dalam hal kain tenun yang dijahit berbeda ukuran
dan bentuknya maka termasuk harta qimiy.20
Adapun harta qimiy adalah harta yang tidak mempunyai bandingan atau
keserupaan bentuknya di pasaran. Seandainya ada maka tetap berbeda nilai daripada
masing-masing barang yang terdapat di pasaran. Contohnya binatang, tanah, pohon,
rumah, batu permata, intan berlian, dll. Harga yang dapat dihitung, yang berbeda nilai
suatu barang dengan barang lainnya termasuk dalam harta qimiy karena ia berbeda
ukuran dan jenis seperti gerabah.21
Pembagian harta berdasarkan mitsliy dan qimiy ini tidaklah tetap, karena dapat
berubah mengikuti suatu keadaan. Jika terjadi keadaan yang tertentu harta mitsliy dapat
berubah menjadi qimiy dan begitu juga sebaliknya. Keadaan itu antara lain:
1. Tidak ada stok barang di pasaran. Jika harta mitsliy terputus kiriman barangnya
dari produsen maka ia dapat berubah menjadi harta qimiy.
2. Ketika terjadi percampuran. Jika dua harta mitsliy yang berbeda kemudian
dicampurkan maka benda percampuran itu merupakan harta qimiy
3. Apabila terkena bencana. Jika harta mitsliy terbakar atau terendam air maka
berubah nilainya menjadi harta qimiy.
4. Jika harta tersebut cacat atau bekas pakai maka harta mitsliy tersebut berubah
menjadi harta qimiy yang bernilai khusus.22
Hal-hal diatas merupakan pertukaran harta mitsliy menjadi qimiy, adapun harta
qimiy juga dapat berubah menjadi harta mitsliy jika harta tersebut itu pada awalnya
langka di pasaran kemudian tiba-tiba berubah menjadi banyak jumlahnya.23
Berdasarkan pembagian harta mitsliy dan qimiy ini mengakibatkan akibat hukum
yaitu:
1. Dalam masalah tanggungan (zimmah)
Harta mitsliy dapat dijadikan barang tanggungan dalam hutang piutang, dapat
dijadikan barang barter dalam jual beli dan dapat diberlakukan harga diskaun,
sedangkan harta qimiy tidak dapat dijadikan barang tanggungan karena itu ia tidak
dapat menjadi barang barter dalam jual beli sebab walaupun masih sejenis tetapi tetap
berbeda seperti sapi dan kambing.
2. Cara membayar ganti rugi.
Harta mitsliy jika dirusakkan maka wajib membayar ganti rugi yang sama banyaknya
dengan jumlah yang dirusakkan, sedangkan harta qimiy jika dirusakan dengan sengaja
maka hendaklah dibayar harganya atau nilainya saja, karena tidak dapat digantikan
dengan harta/benda yang serupa oleh karenanya jika merusakkan harta qimiy
cukuplah dengan membayar harga yang senilai dengannya
3. Cara Pembahagian
Bagi harta mitsliy pembagian saham keuntungan antara rekan kongsi dapat secara
langsung, karena itu adalah haknya dengan tidak perlu mendapat izin dari rekan
kongsinya yang lain terlebih dahulu. Tetapi berbeda dengan harta qimiy,
pembagiannya tidak secara otomatis dimana seseorang rekan kongsi itu tidak dapat
mengambil saham bagiannya dengan tanpa seizin dari rekan kongsinya yang lain
terlebih dahulu.24
4. Masalah riba.
Harta qimiy tidak mungkin terkena dengan permasalahan ribawi sementara harta
mitsliy sebaliknya, ia selalu bisa berkenaan dengan riba.25
d. Harta istihkali dan isti’mali
Pembagian harta yang terakhir adalah dilihat dari sudut tetap atau tidak tetap
zatnya, terbagi atas dua macam yaitu harta istihlaki dan isti’mali. Harta istihlaki adalah
harta yang habis dipakai dan harta isti’mali yaitu harta terpakai tidak habis.
Harta istihlaki ini adalah harta yang tidak mungkin dipakai kecuali dengan cara
merusakan zatnya, contohnya seperti makanan, minuman, uang, kertas, dll. Manakala
harta isti’mali adalah harta yang dapat digunakan zatnya dan masih tetap utuh/ada.
Contohnya seperti harta-harta yang tidak bergerak, pakaian, buku, permadani, dll.
Perbedaan ini timbul apabila dilihat dari penggunaan harta atau benda tersebut
pada pertama kali dan bukan dari penggunaannya yang berikutnya. Dengan demikian jika
zat benda atau harta itu hilang pada penggunaannya pertama kali, maka ia termasuk ke
dalam jenis harta istihlaki. Tetapi jika penggunaannya pada pertama kali itu tidak
menghilangkan zatnya maka ia dikategorikan sebagai harta yang isti’mali.26
Akibat dari pembagian harta sebagaimana diatas maka kedua-dua harta dapat
menerima kontrak (akad) yang tertentu sesuai dengan tujuannya yaitu habis dipakai atau
hanya penggunaan saja. Harta istihlaki dapat menerima kontrak yang bertujuan istihlaki
bukan istimali seperti pinjam makanan, manakala harta isti’mali dapat menerima kontrak
yang bertujuan istimali seperti akad jual beli dengan akad ida (simpanan). Namun begitu
jika kontrak itu tidak ditetapkan khusus dengan tujuannya maka kontrak tersebut sah saja
dibuat untuk kedua-dua jenis harta ini.27
D. Pandangan Islam Terhadap Harta
Islam adalah agama yang mengandung aqidah dan peraturan. Unsur dari aqidah
adalah mengesakan Allah SWT dan menyembahNya, sementara dasar dari peraturan
Allah SWT adalah untuk menjamin kebahagiaan masyarakat, menjamin hak individu,
keluarga, masyarakat dan negara supaya tidak bertentangan dengan kemaslahatan umum
serta sejalan dengan kehendak syariat agama.
Islam menggalakan manusia agar berusaha untuk mendapatkan harta dengan cara
yang baik dan menginfakan atau menafkahkan harta tersebut untuk diri sendiri, keluarga,
kaum kerabat, masyarakat, dsb. Harta menjadi jalan bagi manusia untuk memenuhi
keperluan kehidupan manusia. Islam menggalakan penganutnya supaya menjadi umat
yang memiliki harta. Walaupun arahan untuk memiliki harta tersebut dilakukan secara
tidak langsung namun dalam hal ini Rasulullah SAW pernah menyinggung bahwa tangan
yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah. Sabda Beliau ini memberi
perjelasan bahwa kedudukan orang yang berada dan suka memberi sedekah itu adalah
lebih baik dari orang yang hanya meminta-minta.
Islam tidak melarang umatnya memiliki harta kekayaan yang banyak asalkan
harta kekayaan yang dimiliki itu tidak menghalanginya untuk terus beribadah kepada
Allah. SWT. Adapun fenomena kehidupan yang dapat dilihat pada saat ini adalah makin
banyak orang yang ingin menambah terus harta kekayaannya dan lupa serta lalai dalam
menjalankan ibadah kepada Allah SWT dan banyak orang yang berharta tetapi enggan
mengeluarkan zakatnya. Allah SWT bukan sahaja tidak melarang umat Islam memiliki
harta yang banyak tetapi sebaliknya dianjurkan supaya menjadi orang yang berharta
sebagaimana yang tersirat di dalam pesan Rasululah SAW kepada Saad Bin Abi Waqas
yaitu sesungguhnya lebih baik ia meninggalkan keluarganya dalam keadaan berharta
daripada meninggalkan mereka dalam keadaaan miskin papa sehingga terpaksa memintaminta.
Sekalipun Islam mendorong umatnya mencari banyak harta, namun demikian
harus diingat bahwa harta kekayaan itu dalam pandang al-Quran adalah fitnah, dengan
kata lain Allah melarang seseorang dibutakan mata dan hatinya oleh harta karena harta
kekayaan tersebut hanyalah bersifat sementara, sebagimana firman Allah SAWT dalam
surat al Kahfi ayat 46, yang artinya:
Harta benda dan anak keturunan adalah perhiasan dunia dan amalan yang kekal
lagi baik lebih utama disisi Tuhan dan lebih baik untuk dicita-citakan.
Dengan demikian manusia haruslah bijaksana dalam memanfaatkan segala
karunia yang telah dianugrahkan oleh Allah SWT kepada mereka. Karena itu umat Islam
sangat dituntut untuk menjadi umat yang berkemampuan dan berharta, bukan umat yang
melarat bahkan menyusahkan orang lain, walaupun begitu harta kekayaan janganlah
menjadikan manusia lalai dari menunaikan tugas dan tanggungjawabnya sebagai hamba
Allah SWT.
E. Cara Penggunaan Harta Yang Benar Menurut Pandangan Islam
Islam telah memberikan kebebasan kepada umatnya untuk mendapatkan dan
menggunakan harta dalam apa saja bidang yang sesuai dengan kemampuan manusia itu
sendiri. Dalam hal ini syariat Islam telah meletakan garis-garis panduan yang manakah
yang dibolehkan dan yang manakah yang harus manusia untuk menjauhinya, kesemuanya
itu haruslah mempunyai dasar hukum yang benar. Oleh karena itu umat manusia bebas
untuk menggunakan harta namun juga harus dibekalkan dengan akal dan pedoman yang
telah termaktub dalam al Quran dan sunnah.
Dalam membicarakan cara menggunakan harta, Islam telah menganjurkan
beberapa cara penggunaan sesuai dengan keperluan dan kebutuhan. Dalam hal ini
kegunaan harta adalah untuk diri sendiri kemudian untuk orang lain, penjelasannya
sebagai berikut:28
Pertama: untuk kegunaan diri sendiri.
Cara menggunakan harta untuk keperluan diri sendiri adalah dalam bentuk yang
tidak menyusahkan manusia lain dan juga bukan dalam bentuk yang dapat menyebabkan
terjadinya kemubaziran. Dalam hal ini Islam mendorong umatnya untuk membelanjakan
harta di jalan Allah SWT agar keuntungan dan kemanfaatannya dapat digunakan oleh
banyak manusia.29
Allah SWT telah mengharamkan umat manusia menjadikan harta itu hanya
beredar di kalangan orang-orang kaya saja (al Hasyr ayat 7). Selain itu Islam melarang
umatnya untuk menyimpan dan membekukan harta. Islam menganjurkan umatnya untuk
memutar harta dengan berbagai cara yang telah digariskan, antara lain melalui infaq,
wakaf, sedekah, dsb. Islam juga telah mengenakan zakat atas harta-harta yang terimpan
supaya ia dapat beredar dalam masyakat dan untuk kepentingan banyak. Jadi di sini kita
dapat lihat bahwa syariat Islam mendorong liqiudnya keuangan dan harta dalam suatu
kegiatan perekonomian dalam batas yang wajar, tidak berlebihan dan tidak juga terlalu
kaku sehingga sulit untuk mendapatkan modal keuangan.
Kedua: Untuk kepentingan orang banyak
Cara menggunakan harta yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas
juga ditentukan oleh Allah SWT dan ijtihad para pemimpin. Ijtihad para pemimpin ini
dapat dipakai seandainya ketentuan hukum itu tidak ditetapkan dalam sebuah nash yang
qath’i. Penggunaan harta bukanlah suatu hal yang mutlak karena penggunaannya
harusllah sesuai dengan landasan-landasan yang telah ditetapkan dalam syariat Islam.
Dalam hal ini institusi baitul mal berperan sebagai media yang menyalurkan hak-hak
masyarakat atas harta benda individu yang dikumpulkan melalui zakat dan pajak untuk
diberikan lagi kepada yang berhak untuk menerimanya. Cara Masyarakat menuntut hak
atas harta seseorang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu oleh individu itu sendiri
seperti memberi bantuan kepada anak-anak yatim, dan yang kedua dapat dituntut melalui
pemerintah dari tabungan harta yang tersimpan di baitul mal.
Kesimpulan
Dalam membicarakan tentang teori harta kita dapati bahwa manusia amat
memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya baik untuk memenuhi
kebutuhannya yang sekarang maupun yang akan datang. Kini harta menjadi keperluan
manusia di seluruh dunia, dengan kepemilikan harta itu maka dapat menjadi sumber
kekuatan perekonomian individu, masyarakat dan negara. Sekarang ini perhatian manusia
terhadap harta begitu dahsyat, bahkan lebih membingungkan lagi jika dilihat umat Islam
terus terbelenggu dan dibutakan oleh kerakusan terhadap harta dan kekuasaan serta
kemiskinan, sehingga melupakan ajaran Islam. Kini kita dapati banyak manusia
melakukan penyelewengan dalam usaha untuk mendapatkan harta. Oleh karena itu
pemahaman mengenai harta dan teori yang berkaitan dengannya dalam hukum Islam
pada masa kini perlu disebarkan, begitu juga jalan penyelesain sebuah masalah ekonomi
yang baik yang mengikut cara cara Islam harus terus dikembangkan lebih jauh lagi.
Daftar Pustaka
Ahmad Ibrahim, al-Ahkam, J.3, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kulala Lumpur, 1998
Ahmad Yusuf, al Mal fi al-Syariah al- Islamiyah, Dar al-Tsaqafah, Kaherah, 1991
Hailani Muji Tahir, Baitul Mal: Institusi Kewangan Negara Islam dan Belanjawan
Negara, Terbitan Arrrahmaniah, 1982
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Jil. 11, Dar Sadr, Beirut, 1956
Ibn al-Athir, Nihayah fil Gharib al-Hadits wal Athar, Juz 4, Maktabah al Baiz, Makkah,
t.th
Mustafa Ahmad Zarqa, al-Madkhal fil Fiqhul ‘Am, Juz.3, Darul Fikri, Damaskus, t.th.
Mahmud Muhammad Baably, Penilain dan Penyelewengan Harta Menurut Pandangan
Islam, Dini Publiser, Kuala Lumpur, 1994
Majma’ Lughoh al Arabiy, Mu’jam al-Wasith, Jil.2, al-Maktabah al-Islamiyah, Istambul,
t.th
Al-Maqdisi, al-Syarhu al-Kabir, j.4, Dar al Fikri , Beirut, 1994
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushuli al- Syariah, Jil.2, Darul Ma’rifah, Beirut, t.th
Al -Sayuti, al-Asybah Wan Naza’ir, Darul Kitab al Ilmiah, Beirut, 1990
Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al- Islam Wa Adillatuhu, Juz.4, Darul Fikri, Damaskus, 1989
Zahari Hamid, Harta dan Milik dalam hukum Islam, CV Bina Usaha, Yogyakarta, 1985
1
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Jil. 11, Dar Sadr, Beirut, 1956, h.623
Majma’ Lughoh al Arabiy, Mu’jam al-Wasith, Jil.2, al-Maktabah al-Islamiyah, Istambul, t.th, h.892
3
Ibn al Athir, Nihayah fil Gharib al-Hadits wal Athar, Juz 4, Maktabah al Baiz, Makkah, t.th, h.372
4
Wahbah Zuhaily, al-Fiqhul Islam Wa Adillatuhu, Juz.4, Darul Fikri, Damaskus, 1989, h. 41
5
Ibid.
6
Al Syatibi, a- Muwafaqat fi Ushuli al- Syariah, Jil.2, Darul Ma’rifah, Beirut, t.th, h. 17
7
Al Sayuti, al-Asybah Wan Naza’ir, Darul Kitab al Ilmiah, Beirut, 1990, h. 327
8
Al Maqdisi, al-Syarhu al-Kabir, j.4, Dar al Fikri , Beirut, 1994, h.8
9
Wahbah Zuhaily, al-Fiqhul Islam Wa Adillatuhu, Juz.4, h.43
10
Ahmad Ibrahim, al-Ahkam, J.3, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kulala Lumpur, 1998, h.3
11
Wahbah Zuhailiy, h. 43
12
Ibid
13
Zahari Hamid, Harta dan Milik dalam hukum Islam, CV Bina Usaha, Yogyakarta, 1985, h. 4
14
Ahmad Ibrahim, al-Ahkam, Juz.3, h.5
15
Ibid
16
Wahbah Zuhailiy, h. 44
17
Ibid
18
Ibid., h. 46
19
Ibid., h. 47
20
Ibid., h. 49
21
Ahmad Yusuf, al Mal fisy Syariah al Islamiyah, Dar al-Tsaqafah, Kaherah, 1991, h.22
22
Wahbah Zuhaily, h. 50
23
Mustafa Ahmad Zarqa, al-Madkhal fil Fiqhul ‘Am, Juz.3, Darul Fikri, Damaskus, t.th., h.132
24
Wahbah Zuhailiy, h. 50-51
25
Ahmad Ibrahim, J.3, h.24
26
Wahbah Zuhailiy, h.55
27
Ibid.
28
Hailani Muji Tahir, Baitul Mal: Institusi Kewangan Negara Islam dan Belanjawan Negara, Terbitan
Arrrahmaniah, 1982, h.79
29
Mahmud Muhammad Baably, Penilain dan Penyelewengan Harta Menurut Pandangan Islam, Dini
Publiser, Kuala Lumpur, 1994, h.73
2
Download