BAB I - Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya

advertisement
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
2.1. Wilayah Administratif Kota Surabaya
Kota Surabaya merupakan ibukota Propinsi Jawa Timur, yang mempunyai kedudukan
geografis pada 07º21’ Lintang Selatan dan 112º36’ sampai dengan 112º54’ Bujur Timur,
dengan batas administratif sebagai berikut:

Sebelah Utara
: Selat Madura

Sebelah Timur
: Selat Madura

Sebelah Selatan : Kabupaten Sidoarjo

Sebelah Barat
: Kabupaten Gresik
Kota Surabaya terdiri dari 31 kecamatan dengan daerah kecamatan terluas adalah
Kecamatan Sukolilo (23,69 km2) dan terkecil adalah Kecamatan Simokerto (2,59 km2).
2.2. Tinjauan Tata Ruang Kota Surabaya
Menurut Laporan Review RTRW Kota Surabaya 2005 terjadi perubahan pada beberapa
kawasan tata ruang kota Surabaya
Kawasan Timur terjadi penambahan luasan wilayah kota Surabaya akibat sedimentasi
yang terjadi di kawasan pantai timur Surabaya. Kondisi ini menyebabkan perubahan
morfologis bentuk pesisir pantai timur. Sementara itu kondisi spasial kota Surabaya pada
tahun 2005 terlihat sangat monumental karena proporsi lahan yang belum terbangun relatif
menyusut sangat luar biasa. Lahan-lahan yang relatif belum terbangun tersebut secara umum
terdapat di kawasan pantai timur Surabaya dimana eksistensinya dalam bentuk tambaktambak rakyat. Dari waktu ke waktu tampak bahwa eksistensi tambak-tambak rakyat ini mulai
mengalami terancam oleh perkembangan kegiatan hunian.
Kawasan barat Surabaya memiliki proporsi lahan yang belum terbangun relatif lebih
luas daripada kawasan Timur Surabaya. Dapat dibedakan menjadi beberapa bagian yaitu:
 Kawasan Benowo sampai Romokalisari, Tambakosowilangon, sebaran tambak garam
milik rakyat masih cukup ekstensif eksistensinya, beberapa lokasi berubah peruntukannya
menjadi hunian, industri, gudang, dan juga untuk pengembangan TPA Benowo. Di
sebelah selatannya, didominasi tanah kosong dan areal pertanian di sekitar perbatasan
dengan wilayah Kabupaten Gresik.
 Kawasan hunian Citraland, sebaran lahan pertanian mulai berkurang karena pada lokasi
ini pengembangan intensif dan eksentif justru diperuntukkan bagi hunian massal beserta
fasilitas umumnya.
2-
1
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
 kawasan perbukitan Lidah diperuntukan pada masa Master Plan Surabaya (MPS) 2000
adalah jalur hijau.
Kawasan selatan Surabaya yang dimulai dari jalan Mastrip–Menganti masih terdapat
lahan yang belum terbangun, sehingga kenampakan yang ada saat ini adalah areal pertanian
dan lahan-lahan kosong yang mungkin sebentar lagi akan tereksploitasi. Pada blok MengantiMastrip ini, kegiatan perkotaan yang intensif adalah hunian yang berorientasi ke jalan Mastrip,
Menganti, dan Balas Klumprik, serta industri dan gudang yang tersebar di sepanjang jalan
Mastrip.
Daerah terbangun, yang meliputi hampir 2/3 dari seluruh wilayah kota, cenderung
membentang di bagian tengah kota dengan arah poros Utara-Selatan. Apabila dibandingkan
dengan kondisi pada masa-masa sebelumnya, tampak terjadi perkembangan urban yang luar
biasa ke arah Timur, daripada ke arah Barat. Perkembangan ke arah Timur ini distimulasi oleh
konsentrasi lembaga pendidikan tinggi, perkembangan hunian massal, serta akses TengahTimur yang lebih lapang dibandingkan dengan akses Barat-Tengah.
Sementara itu pengembangan kawasan urban ke arah barat tidak begitu pesat, namun
pada beberapa kawasan pertumbuhan hunian massal ini terlihat cukup signifikan, khususnya
pada pengembangan kawasan hunian pada areal yang dulu diperuntukkan bagi jalur hijau,
yaitu Bukit Lidah. Terdapat beberapa kelompok hunian massal yang menempati kawasan
Bukit Lidah, yaitu kelompok Dharmala, Bukit Darmo, kelompok Pakuwon, dan kelompok
Citraland. Hunian massal yang sudah ada sebelumnya seperti kelompok Darmo Permai,
kelompok Darmo Satelit, dan lainnya di sekitar Segi Delapan Darmo tampak tidak
berkembang begitu pesat.
Kegiatan perdagangan dan jasa tampak mulai mengalami fragmentasi. Pusat-pusat
perdagangan dan jasa di tengah kota secara perlahan mulai menampakkan keusangan
seiring dengan berkembangnya pusat-pusat perdagangan dan jasa sekunder di luar pusat
kota, walaupun berbentuk linear, misalnya di sepanjang :

Koridor Kertajaya – Kertajaya Indah (Galaxy Mall),

Koridor Kenjeraan, Jagir – Panjangjiwo (Mangga Dua / Rungkut Megah),

Koridor Ngagel Jaya Selatan (Manyar Megah),

Koridor Mayjen Sungkono – HR. Muhammad – Jeruk,

Koridor Wiyung – Menganti,

Koridor Banyuurip – Tandes, dan sebagainya.
Yang menarik, walaupun pusat-pusat perdagangan dan jasa mulai tumbuh di kawasan
pinggiran, pesona pusat kota tampaknya tidak cepat pudar, khususnya apabila kita
mengamati kawasan sekitar Basuki Rahmat – Pemuda (Segitiga Emas Tunjungan).
Fenomena ini dipicu oleh perluasan Tunjungan Plasa dengan TP IV-nya serta upaya
Meningkatkan pesolek kawasan perbelanjaan Surabaya Plasa. Situasi ini hanya terjadi di
kawasan segitiga emas saja, sedangkan pada kawasan pusat kota lama lainnya tampak tidak
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang berarti. Dengan demikian maka sentra
kegiatan perdagangan dan jasa kota Surabaya tersebar secara ekstensif pada lokasi pusat
kota lama di sekitar Kembang Jepun, pengembangan pusat kota yang lebih aktual di sekitar
2-
2
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
segitiga emas, dan pengembangan pusat-pusat sekunder di kawasan kota lainnya (kalau
tidak ingin mengatakan sebagai kawasan pinggiran). Kegiatan industri tetap berkembang
pada lokasi yang ada, seperti kawasan industri SIER di Rungkut-Brebek, kawasan dan lokasi
industri di Margomulyo, serta kegiatan industri individual yang cenderung berlokasi dengan
pola urban -sprawl di seluruh penjuru kota, seperti yang terjadi di sepanjang Jalan Mastrip dan
Jalan Kalirungkut. Berikut ini adalah rangkuman arahan tata guna lahan utama berdasarkan
unit pengembangan di Kota Surabaya.
Tabel 2.1 Arahan Tata Guna Lahan Utama Kota Surabaya
Unit pengembangan
Tm
Tn
Br
Luas
Arahan guna lahan utama
(ha)
1
Kenjeran
1245,6
Pemukiman, rekreasi, Konservasi
2
Pantai Timur
1664,55
Pemukiman, Konservasi
3
Gunung Anyar
1536,54
Pemukiman, Konservasi
4
Mulyorejo
1253,51
Pemukiman, Pendidikan
5
Semolowaru
1471,6
Pemukiman, Pendidikan
6
Rungkut
1282,12
Pemukiman, Pendidikan
7
Wonokusumo
968,67
Pemukiman
8
Tambaksari
586,21
Pemukiman
9
Ngagel Pucang
1046,60
Pemukiman, perkantoran, perdagangan
10
Tenggilis Mejoyo
1738,88
Pemukiman, Industri
11
Kembang Jepun
777,69
Perdagangan, Perkantoran, Pemukiman
12
Tegalsari
893,44
Perdagangan, Perkantoran, Pemukiman
13
Bubutan
789,93
Perdagangan, Perkantoran, Pemukiman
14
Dukuh Kupang
1455,67
15
Wonocolo
1098,15
Pemukiman, perkantoran
16
Kawasan Pelabuhan
1009,73
-
17
Industri Krembangan
1399,42
Industri, Pergudangan
18
Industri Tandes
1486,67
Industri, Pergudangan
19
Tambak Osowilangon
2168,58
Konservasi, Industri, Pergudangan
20
Darmo Baru
1376,51
Permukiman, Perdagangan, Perkantoran
21
Tandes
2116,15
Permukiman, Sub pusat kota
22
Benowo
2008,88
Permukiman, konservasi, rekreasi
23
Karang Pilang
1997,79
Permukiman, Konservasi, Industri
24
Lakarsari
1263,79
Permukiman, Pendidikan
Total Luas wilayah
Perdagangan, Perkantoran, Pemukiman,
Konservasi
32636,68
Sumber : RDTRK Surabaya, Review RTRW Kota Surabaya 2005
2-
3
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
2-
4
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
2.3. Dasar teori hujan asam
2.3.1. Komposisi udara
Apabila kita berbicara tentang udara atau atmosfer, maka yang dimaksud adaah udara
diluar ruangan. Sering juga disebut udara masarakat (comunity air) atau udara ambien
(ambien air)
Udara merupakan campuran dari gas adalah udara kering yang bebada bahan
pencemar. Komposisi udara adalah sebagai berikut:
Komponen utama
1. Nitrogen (78,09%)
2. Oksigen (20,94%)
3. Komponen yang jumlahbya sedikit:
4. Argon (9,34 x 10 -1%)
5. Karbondioksida (3 x 10 -2 %)
Komponen yang jumlahnya sangat sedikit :
1. Neon (1,82 x 10 -3 %)
2. Helium (5,24 x 10 -4 %)
3. Metana (2 x 10 -4 %)
4. Kripton (1,4 x 10 -4 %)
5. Xenon (8,7 x 10 -5% )
6. Hidrogen (5 x 10 -5%)
7. CO ( 1,2 x 10 -5 %)
8. NO ( 2,5 x 10 -6 %)
9. Ozon ( 0,1 x 10 -5 %)
10. NO2 (1 x 10 -5 %)
11. Amoniak ( 1 x 10 -6 %)
12. SO2 ( 2 x 10 -8 %)
2.3.2. Pencemaran Udara
Pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien
turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat berfungsi lagi
sesuai peruntukkannya. Pencemaran udara dapat juga didefinisikan adanya zat atau bahan
pencemar di udara dalam jumlah dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan
terhadap makhluk hidup,tumbuh– tumbuhan dan atau benda lainnya. Sedangkan sumber
pencemar adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke
udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (Anonim
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 41 tahun 1999 Tentang Pengendalian
Pencemaran Udara)
Secara alami, bentuk pencemar udara dapat berupa pollen,spora, kabut, asap, dan
partikel debu yang dapat berasal dari kebakaran hutan dan letusan gunung berapi. Hal lain
yang dapat terjadi secara alami adalah gas CO dari penguraian gas metan, hidrokarbon dari
minyak tierpentin kayu pinus dan dari dekomposisi bahan organik secara anaerobik. Selain
2-
5
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
secara alami, bahan pencemar udara juga berasal dari aktifitas manusia. Penggunaan bahan
bakar fosil untuk pemanasan dan pendinginan, transportasi, industri, konversi energi dan
pembakaran beraneka macam produksi industri dan buangan rumah tangga menghasilkan
bermacam – macam buangan ke udara.
2.3.3. Emisi
Emisi merupakan buangan dalam bentuk gas yang terdiri dari bahan-bahan pencemar
utama yang penting seperti timbal (Pb), partikel halus, karbon monoksida (CO), nitrogen
oksida (NOx), hidrokarbon (HC), sulfur dioksida (SO2), dan karbon diokida (CO2) yang berasal
dari 4 macam sumber pencemar udara. Secara geografis, emisi dibedakan menjadi

Emisi on-site, emisi yang terjadi di lokasi aktifitas atau proyek, contoh: emisi CO2 dari
boiler pada cerobong.

Emisi off-site, emisi yang dihasilkan dari aktifitas di tempat lain, contoh: konsumsi energi
listrik di rumah tangga, industri dan sebagainya.
Berdasarkan sumbernya emisi dapat digolongkan menjadi 4 macam sebagai berikut :

Sumber bergerak yaitu sumber pencemar yang dapat bergerak seperti kendaraan
bermotor, pesawat udara, kereta api dan kapal bermotor.

Sumber tidak bergerak yaitu sumber pencemar yang lokasinya permananen di satu titik
seperti perumahan, dkawasan perdagangan dan kawasan industri.

Proses industri yaitu sumber pencemar yang berasal dari proses kimiawi, metalurgi,
mekanik untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi maupun bahan jadi.

Tempat pembuangan sampah yaitu sumber pencemar khas yang menghasilkan misi atau
gas buang dari dekomposisi bahan – bahan organik yang tidak memiliki nilai guna lagi
yang berasal dari buangan rumah tangga dan perdagangan, buangan hasil pertambangan
dan pertanian.
2.3.4. Pengertian Hujan Asam
Hujan asam adalah suatu masalah lingkungan yang serius yang benar-benar difikirkan
oleh manusia. Ini merupakan masalah umum yang secara berangsur-angsur mempengaruhi
kehidupan manusia. Istilah Hujan asam pertama kali diperkenalkan oleh Angus Smith ketika ia
menulis tentang polusi industri di Inggris (Anonim, 2001). Tetapi istilah hujan asam tidaklah
tepat, yang benar adalah deposisi asam.
Deposisi asam ada dua jenis, yaitu deposisi kering dan deposisi basah. Deposisi
kering ialah peristiwa kerkenanya benda dan mahluk hidup oleh asam yang ada dalam udara.
Ini dapat terjadi pada daerah perkotaan karena pencemaran udara akibat kendaraan maupun
asap pabrik. Selain itu deposisi kering juga dapat terjadi di daerah perbukitan yang terkena
angin yang membawa udara yang mengandung asam. Biasanya deposisi jenis ini terjadi
dekat dari sumber pencemaran.
Deposisi basah ialah turunnya asam dalam bentuk hujan. Hal ini terjadi apabila asap di
dalam udara larut di dalam butir-butir air di awan. Jika turun hujan dari awan tadi, maka air
hujan yang turun bersifat asam. Deposisi asam dapat pula terjadi karena hujan turun melalui
udara yang mengandung asam sehingga asam itu terlarut ke dalam air hujan dan turun ke
2-
6
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
bumi. Asam itu tercuci atau wash out. Deposisi jenis ini dapat terjadi sangat jauh dari sumber
pencemaran.
Hujan secara alami bersifat asam karena Karbon Dioksida (CO2) di udara yang larut
dengan air hujan memiliki bentuk sebagai asam lemah. Jenis asam dalam hujan ini sangat
bermanfaat karena membantu melarutkan mineral dalam tanah yang dibutuhkan oleh
tumbuhan dan binatang.
Hujan pada dasarnya memiliki tingkat keasaman berkisar pH 5,6, apabila hujan
terkontaminasi dengan karbon dioksida dan gas klorine yang bereaksi serta bercampur di
atmosphere sehingga tingkat keasaman lebih rendah dari pH 5,6, disebut dengan hujan
asam.
Hujan asam karena proses industri telah menjadi masalah yang penting di Republik
Rakyat Cina, Eropa Barat, Rusia dan daerah-daerah di arahan anginnya. Hujan asam dari
pembangkit tenaga listrik di Amerika Serikat bagian Barat telah merusak hutan-hutan di New
York dan New England. Pembangkit tenaga listrik ini umumnya menggunakan batu bara
sebagai bahan bakarnya.
1. Sumber Dan Proses Pembentukan
Secara alami hujan asam dapat terjadi akibat semburan dari gunung berapi dan dari
proses biologis di tanah atau dekomposisi biomassa, rawa, dan laut. Akan tetapi, mayoritas
hujan asam disebabkan oleh aktivitas manusia seperti industri, pembangkit tenaga listrik,
kendaraan bermotor dan pabrik pengolahan pertanian (terutama amonia). Gas-gas yang
dihasilkan oleh proses ini dapat terbawa angin hingga ratusan kilometer di atmosfer sebelum
berubah menjadi asam dan terdeposit ke tanah.
Gambar 2.2. Mekanisme
Deposisi asam
Gambar. 2.3 Mekanisme
proses hujan asam
2. Pembentukan Asam di Atmosfer
Deposisi asam terjadi apabila asam sulfat, asam nitrat, atau asam klorida yang ada do
atmosfer baik sebagai gas maupun cair terdeposisikan ke tanah, sungai, danau, hutan, lahan
pertanian, atau bangunan melalui tetes hujan, kabut, embun, salju, atau butiran-butiran cairan
(aerosol), ataupun jatuh bersama angin.
2-
7
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
Asam-asam tersebut berasal dari prekursor hujan asam dari kegiatan manusia
(anthropogenic) seperti emisi pembakaran batubara dan minyak bumi, serta emisi dari
kendaraan bermotor. Kegiatan alam seperti letusan gunung berapi juga dapat menjadi salah
satu penyebab deposisi asam. Reaksi pembentukan asam di atmosfer dari prekursor hujan
asamnya melalui reaksi katalitis dan photokimia. Reaksi-reaksi yang terjadi cukup banyak dan
kompleks, namun dapat dituliskan secara sederhana seperti dibawah ini.
3. Pembentukan Asam Sulfat (H2SO4)
Gas SO2, bersama dengan radikal hidroksil dan oksigen melalui reaksi photokatalitik di
atmosfer, akan membentuk asamnya.
SO2 + OH -> HSO3
HSO3 + O2 -> HO2 + SO3
SO3 + H2O -> H2SO4
Selanjutnya
apabila
diudara
terdapat
Nitrogen
monoksida
(NO)
maka
radikan
hidroperoksil (HO2) yang terjadi pada salah satu reaksi diatas akan bereaksi kembali seperti:
NO + HO2 -> NO2 + OH
Pada reaksi ini radikal hidroksil akan terbentuk kembali, jadi selama ada NO diudara,
maka reaksi radikal hidroksil akan terbantuk kembali, jadi semakin banyak SO2, maka akan
semakin banyak pula asam sulfat yang terbentuk.
4. Pembentukan Asam Nitrat (HNO3)
Pada siang hari, terjadi reaksi photokatalitik antara gas Nitrogen dioksida denan radikal
hidroksil.
NO2 + OH -> HNO3
Sedangkan pada malam hari terjadi reaksi antara Nitrogen dioksida dengan ozon
NO2 + O3 -> NO3 + O2
NO2 + NO3 -> N2O5
N2O5 + H2O -> HNO3
Didaerah peternakan dan pertanian akan condong menghasilkan asam pada tanahnya
mengingat kotoran hewan banyak mengandung NH3 dan tanah pertanian mengandung urea.
Amoniak di tanah semula akan menetralkan asam, namun garam-garam ammonia yang
terbentuk akan teroksidasi menjadi asam nitrat dan asam sulfat. Disisi lain amoniak yang
menguap ke udara dengan uap air akan membentuk ammonia hingga memungkinkan
penetralan asam yang ada di udara.
5. Pembentukan Asam Chlorida (HCl)
Asam klorida biasanya terbentuk di lapisan stratosfer, dimana reaksinya melibatkan
Chloroflorocarbon (CFC) dan radikal oksigen O*
CFC + hv(UV) -> Cl* + produk
CFC + O* -> ClO + produk
2-
8
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
O* + ClO -> Cl* + O2
Cl + CH4 -> HCl + CH3
Reaksi diatas merupaka bagian dari rangkaian reaksi yang menyebabkan deplesi lapisan
ozon di stratosfer. Perbandingan ketiga asam tersebut dalam hujan asam biasanya berkisar
antara 62 persen oleh Asam Sulfat, 32 persen Asam Nitrat dan 6 persen Asam Chlorida.
Pada dasarnya Hujan asam disebabkan oleh 2 polutan udara, Sulfur Dioxide (SO2) dan
nitrogen oxides (NOx) yang keduanya dihasilkan melalui pembakaran. Akan tetapi sekitar
50% SO2 yang ada di atmosfer diseluruh dunia terjadi secara alami, misalnya dari letusan
gunung berapi maupun kebakaran hutan secara alami. Sedangkan 50% lainnya berasal dari
kegiatan manusia, misalnya akibat pembakaran BBF, peleburan logam dan pembangkit listrik.
Minyak bumi mengadung belerang antara 0,1% sampai 3% dan batubara 0,4% sampai 5%.
Waktu BBF di bakar, belerang tersebut beroksidasi menjadi belerang dioksida (SO2) dan
lepas di udara. Oksida belerang itu selanjutnya berubah menjadi asam sulfat (Soemarwoto O,
1992).
Asam-asam tersebut berasal dari prekursor hujan asam dari kegiatan manusia
(anthropogenic) seperti emisi pembakaran batubara dan minyak bumi, serta emisi dari
kendaraan bermotor. Kegiatan alam seperti letusan gunung berapi juga dapat menjadi salah
satu penyebab deposisi asam. Reaksi pembentukan asam di atmosfer dari prekursor hujan
asamnya melalui reaksi katalitis dan photokimia.
6. Deposisi Basah Di Surabaya
Deposisi asam merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan guna melihat
tingkatan atau dampak polusi udara terhadap ekosistem atau lingkungan, beberapa
parameter utama yang diukur dalam pemantauan deposisi asam meliputi pH air hujan,
konduktifitas, konsentrasi ion SO42-, NO3-, Cl-, NH4+ , Na+, K+, Ca2+, dan Mg2+.
Untuk pemantauan deposisi basah (hujan asam), pengambilan sampel air hujan dilakukan
dengan gelas ukur 1000 ml yang bagian atasnya diberi corong berdiameter 10 cm (belum
dilakukan secara automatis) yang diletakkan di 31 titik sampling (kantor kecamatan).
Kemudian analisa laboratoriumnya dilakukan di LAPAN Bandung dengan metode analisa
sebagai berikut.
No
Tabel 2.2 Metode analisis kandungan ion-ion air hujan
Parameter
Metode
1
Curah Hujan
Manual / automatic Rain gauge
2
pH
pH meter Orion 201, akurasi 0,05, kalibrasi dengan Buffer 7 dan 4
3
SO42-
Spektrofotometer, kalibrasi dengan larutan standar Na2SO4
4
NO3-
Spektrofotometer, kalibrasi dengan larutan standar KNO3
5
NH4+
6
Cl-
7
Na+ ,K+ ,Mg2+.
Spektrofotometer, metode nessler, kalibrasi dengan larutan standar
NH4Cl
Spektrofotometer, metode dg larutan Mercuri (II) tiosianant, kalibrasi
dengan larutan standar NaCl
Dengan spektrofotometer, ..
Sumber : Laporan Analisa Hujan Asam LAPAN Bandung 2010
2-
9
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
Tabel 2.3 Lokasi Pengambilan Sampel Air Hujan Tiap Kecamatan
Koordinat
Koordinat
No.
Kecamatan
S
E
No.
1
Wonocolo
070 19’ 12.0”
1120 44’ 28.1”
16
2
Jambangan
070 19’ 18.8”
1120 42’ 50.9”
3
Mulyorejo
070 15’ 41.3”
4
Tambaksari
5
Kecamatan
S
E
Semampir
070 13’ 31.6”
1120 44’ 40.3”
17
Wonokromo
070 17’ 28.9”
1120 43’ 55.5”
1120 47’ 06.5”
18
Bulak
070 13’ 54.2”
1120 47’ 07.8”
070 15’ 26.3”
1120 45’ 19.3”
19
Pabean
070 13’ 01.1”
1120 43’ 45.3”
Rungkut
070 19’ 20.8”
1120 46’ 13.8”
20
Benowo
070 14’ 55.1”
1120 38’ 06.7”
6
Karang Pilang
070 19’ 59.7”
1120 41’ 57.6”
21
Tandes
070 15’ 32.9”
1120 40’ 39.9”
7
Gunung Anyar
070 20’ 27.8”
1120 46’ 59.6”
22
Genteng
070 15’ 28.6”
1120 45’ 06.4”
8
Sawahan
070 17’ 03.1”
1120 42’ 56.9”
23
Gayungan
070 20” 16.8”
1120 42’ 59.2”
9
Sukomanunggal
070 15’ 39.9”
1120 42’ 45.4”
24
Sukolilo
070 17’ 58.9”
1120 46’ 12.9”
10
Krembangan
070 13’ 57.0”
1120 43’ 21.6”
25
Tenggilis M
070 18’ 50.8”
1120 45’ 26.8”
11
Simokerto
070 14’ 36.9”
1120 45’ 29.0”
26
Tegalsari
070 17’ 15.6”
1120 44’ 25.5”
12
Pakal
070 14’ 24.4”
1120 37’ 30.9”
27
Asem Rowo
070 15’ 08.3”
1120 42’ 54.9”
13
Kenjeran
070 13’ 36.2”
1120 46’ 31.1”
28
Lakarsantri
070 18’ 11.5”
1120 37’ 56.8”
14
Wiyung
070 18’ 50.7”
1120 41’ 42.8”
29
Bubutan
070 15’ 06.2”
1120 44’ 02.7”
15
Dukuh Pakis
070 16’ 56.5”
1120 42’ 29.9”
30
Sambikerep
070 15’ 56.6”
1120 39’ 18.6”
31
Gubeng
070 16’ 18.6”
1120 45’ 21.4”
Sumber : Survey lapangan 2010
2.3.5. Perhitungan Jejak Karbon (Carbon Footprint)
Jejak Karbon (Carbon Footprint) yang disingkat CFP merupakan satuan ukuran untuk
mengukur seberapa besar pengaruh aktivitas manusia terhadap lingkungan dan terutama
terhadap perubahan iklim. Ini berhubungan dengan banyaknya
jumlah gas-gas rumah kaca yang dihasilkan pada saat kita beraktivitas sehari-hari baik
itu melalui pembakaran fosil, penggunaan listrik , dan lain sebagainya. CFP dibagi menjadi
dua jenis menurut sifat terjadinya pelepasan karbon yaitu :
a. Jejak karbon primer yaitu ukuran emisi CO2 yang berifat langsung, yang didapat dari hasil
pembakaran bahan bakar fosil seperti untuk kendaraan dan transportasi.
b. Jejak karbon sekunder yaitu ukuran emisi CO2 yang bersifat tak langsung. Hal ini didapat
dari daur hidup dari produk-produk yang kita gunakan, seperti listrik yang digunakan untuk
menyalakan mesin, peralatan elektronik dan sebagainya.
Pada umumnya, penghitungan jejak karbon dilakukan dengan mengidentifikasi
penggunaan energi yang berupa ukuran emisi yang bersifat langsung hingga penggunaan
peralatan elektronik yang berada di lingkup industri yang bersifat tidak
langsung. Informasi tentang sumber pencemaran udara atau emisi sangatlah spesifik
yaitu tergantung dari rata – rata emisi dan karakterisitik emisi itu sendiri dan bahan bakar
penghasil emisi karbon. Penggunaan energi dapat dijadikan indikator global untuk mengukur
emisi CO2. Hal ini dikarenakan konsumsi energy memakan bahan bakar minyak yang ketika
mengalami pembakaran akan menghasilkan emisi CO2. Estimasi emisi CO2 dari konsumsi
energi diperoleh dari hasil kali antara volume penggunaan energi (misalnya, kWh listrik, liter
bahan bakar) dengan faktor emisi CO2 rata-rata (contoh, faktor emisi energi listrik dalam
2-
10
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
satuan kg CO2/kWh). Perhitungan emisi CO2 merupakan cara pencarian jumlah CO2 yang
dilepaskan di suatu daerah sebagai konsekuensi kegiatan produksi dengan konsumsi bahan
bakar, untuk menghitung emisi CO2 diperlukan data konsumsi atau produksi bahan tertentu
dan
faktor emisinya. Sebagai contoh maka dapat menggunakan factor emisi yang sudah
ditentukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Menghitung Jejak
Karbon merupakan suatu upaya untuk mengetahui berapa besar sumbangan emisi karbon
yang telah diberikan kepada dunia pada satu waktu periode tertentu. Untuk melakukannya,
alat bantu seperti karbon kalkulator diperlukan. Idealnya, pengukuran jejak karbon bertujuan
untuk mengukur paparan karbon akibat gaya hidup dan konsumsi langsung individual atau
kelompok terhadap barang dan jasa. Kadang ada juga yang menghitung dengan pendekatan
yang berbeda atau lebih detail. Contoh penghitungan Jejak Karbon yang paling sederhana
adalah:
a. konsumsi energi, biasanya tenaga listrik
b. perjalanan dengan menggunakan motor/mobil
c. perjalanan dengan menggunakan pesawat.
Beberapa kalkulator karbon sudah banyak dikembangkan oleh banyak organisasi
dengan basis internet untuk mempermudah menghitung jejak karbon. Hanya saja, kalkulator
karbon yang selama ini bertebaran di dunia maya cenderung didasarkan pada pola hidup,
teknologi dan kebiasaan yang ada di negara-negara maju, khususnya negara Eropa dan
Amerika Utara. Faktor emisi yang dipakai juga lebih relevan dengan perkembangan teknologi
yang ada di negara-negara tersebut. Oleh karenanya, banyak fitur atau aktivitas yang tidak
relevan
atau
sesuai
dengan
kondisi
sehari-hari
dinegara-negara
berkembang.
(www.iesrindonesia. org/carboncalculator)
2.3.6. IPCC Metodologi
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) adalah forum kelompok ahli
internasional yang ditugaskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam badan organisasi
United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Dalam forum itu, ratusan pakar internasional dan wakil dari lebih dari 100 negara
menganalisis perubahan iklim di bumi dan menyarankan tindakan penanggulangan. IPCC
mengeluarkan sebuah metode yang telah distandarisasi oleh IPCC dalam bentuk pedoman
untuk menghitung emisi gas rumah kaca dari berbagai sumber aktivitas.
2.3.7. Perhitungan Carbon Footprint Primer
Untuk menghitung besarnya emisi CO2 primer menggunakan metodologi yang
standarisasi UNFCCC yaitu A/R Methodological Tools tentang penghitungan emisi gas rumah
kaca pada pemakaian bahan bakar fosil. Rumus yang digunakan dalam perhitungan ini
merupakan jenis langsung yang karena pemakaian bahan bakarnya ditentukan dan
digunakan pada kendaraan yang beroperasi di lingkungan industri. Berikut ini adalah rumus
yang digunakan oleh IPCC dan UNFCCC:
Emisi CO2 = ∑ FC x CEFx NCV
2-
11
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
Emisi CO2
=
jumlah emisi CO2 (satuan massa)
Σ FC
=
jumlah bahan baker fosil yang digunakan (massa/volume)
NCV
=
nilai Net Calorific Volume (energy content) per unit massa atau volume
bahan bakar (TJ/ton fuel)
CEF
=
Carbon Emission Factor (ton CO2/TJ)
2.3.8. Dampak Pencemaran Udara
Dampak dari pencemaran udara terhadap lingkungan dapat tersebar meluas melalui
beberapa media seperti media hidup (manusia, hewan, tumbuhan) dan media tak hidup
seperti material. Dampak dari pencemaran udara menyebabkan kualitas udara menjadi turun
dan tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya sehingga manusia maupun makhluk hidup
lainnya setelah menghirup udara yang telah tercemar menjadi tidak sehat serta menyebabkan
semakin tingginya konsentrasi gas rumah kaca yang ada pada atmosfer bumi. Beberapa
parameter yang sering dijadikan acuan untuk mengukur konsentrasi gas penyebab
pencemaran udara antara lain partikulat, karbon monoksida dan dioksida, sulfur oksida,
nitrogen monoksida dan dioksida serta hidrokarbon. Pada kondisi yang tercampur dengan
SO2, NO2, CO2 atau CO dari asap yang ditimbulkan dari pembakaran atau pemakaian bahan
bakar fosil dapat membantu terciptanya lapisan stabil pada troposfer yang sering dikaitkan
dengan penyebab pemanasan global. Sementara SO2 dan NO2 erat kaitannya dengan hujan
asam dan penyebab korosi pada logam.
2.3.9. Gas Rumah Kaca
Kelompok gas yang menjaga suhu permukaan bumi agar tetap hangat dikenal dengan
istilah gas rumah kaca. Disebut gas rumah kaca karena sistem kerja gas tersebut di atmosfer
bumi menyerupai dengan cara kerja rumah kaca yang berfungsi menahan panas matahari di
dalam rumah kaca agar tetap hangat. Gas – gas ini menyerap dan memantulkan kembali
radiasi
gelombang sinar matahari yang dipancarkan bumi sehingga akibatnya membuat
panas tersebut tersimpan di permukaan bumi. Gas rumah kaca (GRK) adalah gas-gas di
atmosfer yang dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia. Gas ini berkemampuan untuk
menyerap radiasi matahari di atmosfer sehingga menyebabkan suhu dipermukaan bumi
menjadi lebih hangat. Berdasarkan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yaitu
sebuah panel antarpemerintahan dunia untuk masalah perubahan iklim disebutkan bahwa
terdapat enam jenis gas yang digolongkan sebagai GRK yaitu :

Karbondioksida (CO2),

Dinitro oksida (N2O),

Metana (CH4),

Sulfur heksafluorida (SF6),

Perfluorokarbon (PFCs), dan

Hidrofluorokarbon (HFCs).
Gas yang dikategorikan sebagai GRK adalah gas-gas yang berpengaruh, baik secara
langsung atau tidak langsung terhadap efek rumah kaca. Konsentrasi gas-gas ini dalam skala
global secara kumulatif dipengaruhi langsung atau dengan sengaja diperbanyak oleh aktivitas
2-
12
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
manusia, walaupun kebanyakan dari gas-gas tersebut terjadi secara alamiah. IPCC
mengelompokkan sumber emisi GRK dalam enam kategori sumber diantaranya adalah :
1. energi,
2. proses industri,
3. penggunaan zat pelarut dan produk-produk lainnya,
4. pertanian,
5. tataguna lahan dan kehutanan
6. limbah
Gas CO2, CH4 dan N2O dihasilkan terutama dari pembakaran bahan bakar fosil di
sektor energi, transportasi, dan industri. Sementara gas seperti SF6, HFCs, dan PFCs
dihasilkan dari penggunaan aerosol. Aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi GRK
di atmosfer dari jaman revolusi industri hingga sekarang pada era millenium baru. Dalam
kurun waktu 150 tahun konsentrasi GRK di atmosfer mengalami peningkatan sebesar 28 %
yang pada setiap tahun laju peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer bumi pada dekade
terakhir telah meningkat dua kali lipat dari dekade sebelumnya. Untuk gas rumah kaca sendiri,
dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer
menyebabkan
pemanasan global atau bahkan perubahan iklim bumi.
Gas rumah kaca yang sangat kuat efeknya adalah Sulfur Heksafluorida (SF6) yang
mempunyai nilai GWP sebesar 23.900 GWP dari CO2. Potensi Pemanasan Global atau
Global Warming Potential (GWP) adalah sebuah nilai yang membandingkan potensi gas
rumah kaca sebagai penyerap dan penahan sinar matahari untuk memanaskan bumi,
dibandingkan dengan potensi karbon dioksida. Angka GWP ini yang dijadikan acuan adalah
CO2, karena berdasarkan usia CO2 berada dalam atmosfer sangat lama dan membutuhkan
waktu selama 80 – 120 tahun untuk bisa terurai (Killeen, 1996). Dengan menggunakan nilai
GWP CO2 sebagai acuan sehingga potensi gas – gas yang lain dapat dihitung.
Tabel 2.4 Nilai GWP dari gas – gas rumah kaca
Jenis
Global Warming
Kerangka Perioda (Tahun)
Gas
Potential (GWP)
20
100
500
CO2
1
1
1
1
CH4
21
56
21
6,5
N2O
310
280
310
170
HFCs
140 - 11.700
460 - 9.100
140 – 11.700
42 – 9.800
PFCs
6.500 - 9.200
4.400 – 50.000
6.500 – 9.200
10.000-12.700
SF6
23.900
16.300
23.900
34.900
Sumber : The Science of Climate Change,1995
2.4. Kondisi Eksisting Industri Kota Surabaya
2.4.1. Jenis Industri Kota Surabaya
Berdasarkan data industri dari Disperindag kota Surabaya terdapat ± 818 Industri yang
tersebar di seluruh kota Surabaya. Penggolongan jenis industri menurut komoditinya oleh
Dinas Perdagangan dan Perindustrian Pemerintah Kota Surabaya terbagi atas:
2-
13
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
Tabel 2.5 Penggolangan Jenis Usaha Kota Surabaya
No
Jenis Usaha
Jumlah
1
Industri Pulp dan Kertas
24
2
Industri Kimia
95
3
Industri Agro
20
4
Industri Hasil Hutan
105
5
Industri Logam, Mesin dan Rekayasa
104
6
Industri Elektronika dan Aneka
225
7
Industri Tekstil
34
8
Industri Alat Angkut
68
9
Industri Makanan
141
10
Industri Hasil Tambang
2
Sumber : Hasil Survey 2010
Gambar 2.4 Prosentase Pengolangan Jenis Usaha Kota Surabaya
Tabel 2.6
Penggolangan Jenis Usaha Kota Surabaya berdasarkan hasil survey
No
Jenis Usaha
Bidang usaha
Jumlah
1
Industri Pulp dan Kertas
Pulp dan Kertas
24
2
Industri Kimia
3
Industri Agro
4
Industri Hasil Hutan
5
Industri Logam, Mesin dan Rekayasa
6
Industri Elektronika dan Aneka
kimia, accu, Farmasi
Cat kayu dan logam/tinta
Detergen
kosmetik
Lilin
Semen, Tanah Liat, kapur
Minyak goreng
RPH
Pupuk
Pakan Ternak
Foam, karet
Kayu Lapis, Furniture,Moulding
seng,alumnium,tembaga
Manufaktur mesin /suku cadang
Pelapisan logam,baja dan Emas
Elektonika
29
25
12
9
8
12
13
1
2
4
28
77
16
34
54
44
2-
14
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
7
8
Industri Tekstil
Industri Alat Angkut
9
Industri Makanan
10
Industri Hasil Tambang
Plastik
Gelas,kaca
percetakan
Tekstil
Jasa Karoseri dan perakitan
packaging
Total
Gula
garam
Makanan terbuat dari susu
Pembekuan Makanan
Pengolahan makanan
Minuman, Es
Terminal pengisian BBM
Minyak BBM
100
8
73
34
48
20
68
4
7
1
11
92
26
1
1
Sumber : Hasil Survey Industri 2010
Gambar 2.5 Grafik Jumlah Industri tiap kercamatan Di Kota Surabaya
Berdasarkan grafik diatas persebaran industri di Kota Surabaya terkonsentrasi di
beberapa lokasi kecamatan dimana dalam struktur tata ruang kota surabaya merupakan area
untuk industri dan pergudangan, lokasi kecamatan yang memiliki jumlah industri tertinggi
adalah Kecamatan Tambak sari dimana industri yang ada di kecamatan ini bersifat industri
rumah tangga dan usaha perdaganagan sedangakan untuk kecamatan kenjeran, Asem
Rowo, Tandes, Karang pilang, Rungkut dan tenggilis mejoyo dan gunung anyar merupakan
industri yang bergerak dalam manufakture dan pergudangan sehingga kadar polutan sangat
mempengaruhi dalam pembentukan hujan asam
2-
15
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
2.4.2. Pemetaan Potensi Emisi Yang dihasilkan Industri Kota Surabaya
Berdasarkan Studi Global Warming yang bersumber dari penggunaan BPO dan BBM
maka dapat dipetakan emisi tiap kecamatan di kota Surabaya, untuk lebih jelasnya sebagai
berikut :
Tabel 2.7
Potensi Global Warming dari Emisi CO2 di Kota Surabaya
No
Kecamatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Gayungan
Sambikerep
lakarsantri
Tandes
Asemrowo
Karang Pilang
Tenggilis Mejoyo
Rungkut
Benowo
Tambak sari
Kenjeran
Gunung Anyar
Bulak
Dukuh Pakis
Pabean Cantikan
Jambangan
Ekivalen
dengan KT
CO2/Tahun
9
6
11,985,197
3,904,406
109,425
25,781,389
2,103,972
3,799,288
170,075
155,854
109,425
0.231
58
7,400,824
62,556
No
Kecamatan
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Semampir
Krembangan
Genteng
Tegal sari
Wiyung
Simokerto
Bubutan
Sukolilo
Pakal
Gubeng
mulyorejo
Sukomanunggal
Sawahan
Wonocolo
Wonokromo
Ekivalen
dengan KT
CO2/Tahun
22,700
4,442,909
69,894
76
1.708
153
0.755
9,187
1,348,286
55
63
30
60
51
35,746
Sumber : Hasil analisa
Gambar 2.6 Potensi Emisi CO2 Tiap Kecamatan Di Kota Surabaya
Dari grafik diatas maka kecamatan yang berpotensial menghasilkan Global Warming
Potensial Tertinggi terletak pada kecamatan
Tandes
:
11,985,197 KT CO2/Th
Asemrowo
:
3,904,406 KT CO2/Th
Tenggilis Mejoyo
:
25,781,389 KT CO2/Th
Rungkut
:
2,103,972 KT CO2/Th
Pabean
:
7,400,824 KT CO2/Th
Krembangan
:
4,442,909 KT CO2/Th
Pakal
:
1,348,286 KT CO2/Th
Benowo
:
3,799,288 KT CO2/Th
2-
16
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
2-
17
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
2.5. Kondisi Eksisting Kualitas Udara Kota Surabaya Tahun 2001-2009
Pengukuran kadar kualitas udara dengan parameter CO ini mengalami kendala dengan
tidak terbacanya kualitas udara di beberapa ISPU yang ada di Kota Surabaya yang
disebabkan rusaknya ISPU. Jumlah ISPU yang ada di Kota Surabaya berjumlah 5 ISPU
dengan lokasi yang tersebar diseluruh kota dengan lokasi sebagai berikut :
1
SUF1 Taman Prestasi
4
Gayungan
2
SUF2 Perak timur
5
Gebang Putih
3
SUF3 Sukomanunggal
2.5.1. Persebaran Konsentrasi CO Di Kota Surabaya Tahun 2001-2009
Gambar 2.8
Grafik Konsentrasi CO Tahun 2001 -2009
2-
18
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
Lanjutan Gambar 2.8
Grafik Konsentrasi CO Tahun 2001 -2009
Pola persebaran CO di kota surabaya dari tahun 2001 – tahun 2009 menunjukkan
trend peningkatan kadar CO saat memasuki musim kemarau yaitu bulan Mei, Juni dan Juli
dengan persebaran arah angin dari arah barat menuju ke timur
Dari tahun 2001 – 2009 konsentrasi CO tertinggi terjadi pada tahun 2001 dengan nilai
konsentrasi 4,5 mg/m3 sedangkan pada tahun yang lain semakin lama mengalami penurunan
kadar kosentrasi CO
Konsentrasi CO tahun 2001 - 2009 dengan 0,5 – 1,5 mg/m3 dan terus mengalami
peningkatan hingga memasuki musim kemarau yang puncaknya pada bulan Juni dan Juli
dengan Konsentrasi 1,0 – 4,5 mg/m3. Pada saat musim penghujan mengalami penurunan
konsentrasi kadar CO sekitar 0,5 – 2 mg/m3 semakin menurunnya kadar CO ini juga
dipengaruhi oleh adanya kelembaban saat musim penghujan yang tinggi dan curah hujan
yang besar berpotensi untuk mereduksi kadar polutan dalam udara ambien
Kondisi Stasiun ISPU yang ada di beberapa daerah juga dipengaruhi kondisi dan
sebaran arah angin yang terjadi saat musim kemarau, Musim Hujan dan Musim Peralihan
Arah sebaran angin saat musim kemarau dipengaruhi oleh angin dari arah barat ke
timur sedangkan musim hujan dipengaruhi angin dari arah timur ke arah barat, dan musim
peralihan dipengaruhi angin dengan arah yang bervariasi.
Pada musim peralihan konsentrasi CO akan mempengaruhi SUF yang berada pada
tengah Kota Yaitu Sukomanunggal dan Taman Prestasi sedangkan untuk musim kemarau
persebaran CO akan mempengaruhi SUF yang berada di dekat pantai yaitu Perak Timur, dan
Gebang Putih
2.5.2. Persebaran Konsentrasi NO Di Kota Surabaya Tahun 2001-2009
Dari tahun 2001 – 2009 konsentrasi NO tertinggi terjadi pada tahun 2001 dengan nilai
konsentrasi 60 mg/m3 yang terjadi pada bulan April dengan ISPU yang tertinggi terdapat
pada Gayungan hal ini disebabkan angin pada bulan April merupakan musim peralihan
dengan pola arah angin yang bervariasi, yang akan mempengaruhi penerimaan polutan pada
ISPU Gayungan yang berada di pusat kota. Sedangkan pada tahun yang lain semakin lama
terjadi mengalami penurunan kadar kosentrasi NO. peningkatan kadar NO di ISPU gayungan
menunjukkan aktifitas pencemaran polutan NO di sekitar Gayungan memilki intensitas yang
tinggi yang berasal dari sektor transportasi, sebab daerah gayungan memiliki Jalur arteri
utama di Jl A Yani yang memiliki kepadatan yang tinggi
2-
19
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
Konsentrasi NO tahun 2001, 2003, 2006 dan 2009 memiliki kecendrungan yang
hampir sama dengan tahun 2005 dengan konsentrasi tertinggi terjadi pada Bulan Maret
dengan konsentrasi 10 – 60 mg/m3 dan terus mengalami Penurunan hingga memasuki musim
kemarau dan musim penghujan mengalami penurunan kadar NO ini juga dipengaruhi oleh
adanya kelembaban yang tinggi dan curah hujan yang besar berpotensi untuk mereduksi
kadar polutan dalam udara ambien
Gambar 2.9
Grafik Konsentrasi NO Tahun 2001 -2009
2-
20
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
2.5.3. Persebaran Konsentrasi O3 Di Kota Surabaya Tahun 2001-2009
Dari tahun 2001 – 2009 konsentrasi O3 tertinggi terjadi pada tahun 2006 dengan nilai
konsentrasi 150 mg/m3
yang terjadi pada Bulan Nopember dengan ISPU yang tertinggi
terdapat pada taman prestasi hal ini disebabkan angin pada bulan Nopember merupakan
musim peralihan dengan pola arah angin yang bervariasi, yang akan mempengaruhi
penerimaan polutan pada ISPU Taman Prestasi yang berada di pusat kota. Sedangkan pada
tahun yang lain semakin lama terjadi mengalami penurunan kadar kosentrasi O3
Konsentrasi O3 tahun 2001,2002, 2003 dan 2009 memiliki kecendrungan yang hampir
sama dengan tahun 2006 dengan konsentrasi tertinggi terjadi pada Bulan Nopember dengan
konsentrasi 10 –150 mg/m3 dan terus mengalami Penurunan hingga memasuki musim
penghujan mengalami penurunan kadar O3 ini juga dipengaruhi oleh adanya kelembaban
yang tinggi dan curah hujan yang besar berpotensi untuk mereduksi kadar polutan dalam
udara ambien
Gambar 2.10
Grafik Konsentrasi O3 Tahun 2001 -2009
2-
21
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
Lanjutan Gambar 2.10
Grafik Konsentrasi O3Tahun 2001 -2009
2.5.4. Persebaran Konsentrasi PM10 Di Kota Surabaya Tahun 2001-2009
Dari tahun 2001 – 2009 konsentrasi PM10 tertinggi terjadi pada tahun 2003 dengan
nilai konsentrasi 200 mg/m3 yang terjadi pada bulan maret dengan ispu yang tertinggiterdapa
pada taman prestasi hal ini disebabkan angin pada buln maret merupakan musim peralihan
dengan pola arah angin yang bervariasi, yang akan mempengaruhi penerimaan polutan pada
ispu taman prestasi yang berada di pusat kota. Sedangkan pada tahun yang lain semakin
lama terjadi mengalami penurunan kadar kosentrasi PM10
Konsentrasi PM10 tahun 2001, 2003, 2006 dan 2009 memiliki kecendrungan yang
hampir sama dengan tahun 2005 dengan konsentrasi tertinggi terjadi pada Bulan Maret
dengan konsentrasi 10 – 200 mg/m3 dan terus mengalami Penurunan hingga memasuki
musim kemarau dan
musim penghujan mengalami penurunan kadar PM10 ini juga
dipengaruhi oleh adanya kelembaban yang tinggi dan curah hujan yang besar berpotensi
untuk mereduksi kadar polutan dalam udara ambien
Gambar 2.11
Grafik Konsentrasi PM10 Tahun 2001 -2009
2-
22
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
Lanjutan Gambar 2.11
Grafik Konsentrasi PM10 Tahun 2001 -2009
2.5.5. Persebaran Konsentrasi SO2 Di Kota Surabaya Tahun 2001-2009
Dari tahun 2001 – 2009 konsentrasi SO2 tertinggi terjadi pada tahun 2009 dengan nilai
konsentrasi 200 mg/m3 yang terjadi pada bulan maret dengan ISPU yang tertinggi terdapat
pada taman prestasi hal ini disebabkan angin pada bulan maret merupakan musim peralihan
dengan pola arah angin yang bervariasi, yang akan mempengaruhi penerimaan polutan pada
ispu taman prestasi yang berada di pusat kota. Sedangkan pada tahun yang lain semakin
lama terjadi mengalami penurunan kadar kosentrasi SO2
Konsentrasi SO2 tahun 2001, 2003, 2006 dan 2009 memiliki kecendrungan yang
hampir sama dengan tahun 2005 dengan konsentrasi tertinggi terjadi pada Bulan Maret
dengan konsentrasi 10 – 200 mg/m3 dan terus mengalami Penurunan hingga memasuki
musim kemarau dan musim penghujan mengalami penurunan kadar SO2 ini juga dipengaruhi
oleh adanya kelembaban yang tinggi dan curah hujan yang besar berpotensi untuk mereduksi
kadar polutan dalam udara ambien
2-
23
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
Gambar 2.12
Grafik Konsentrasi SO2 Tahun 2001 -2009
2.5.6. Persebaran Konsentrasi NO2 Di Kota Surabaya Tahun 2001-2009
Dari tahun 2001 – 2009 konsentrasi NO2 tertinggi terjadi pada tahun 2002 dengan nilai
konsentrasi 70 mg/m3
yang terjadi pada bulan Desember dengan ISPU yang tertinggi
terdapat pada taman prestasi hal ini disebabkan angin pada bulan Desember merupakan
musim Hujan dengan pola arah angin dari Timur Ke barat, yang akan mempengaruhi
2-
24
Identifikasi Deposisi Hujan Asam Kota Surabaya
penerimaan polutan pada ISPU Taman Prestasi yang berada di pusat kota. Sedangkan pada
tahun yang lain semakin lama terjadi mengalami penurunan kadar kosentrasi NO2
Konsentrasi NO2 tahun 2001, 2003, 2006 dan 2009 memiliki kecendrungan yang
berbeda dengan tahun 2002 dengan konsentrasi tertinggi terjadi pada Bulan Maret dengan
konsentrasi 10 – 70 mg/m3 dan terus mengalami peningkatan hingga memasuki musim
kemarau, kadar NO2 ini juga dipengaruhi oleh adanya kelembaban yang tinggi dan curah
hujan yang besar berpotensi untuk mereduksi kadar polutan dalam udara ambien
Gambar 2.13
Grafik Konsentrasi NO2 Tahun 2001 -2009
2-
25
Download