Peran Penting Guru Matematika dalam Mencerdaskan Siswanya Fadjar Shadiq, M.App.Sc ([email protected] & www.fadjarp3g.wordpress.com) Peran guru matematika sangat penting. Guru matematika akan sangat menentukan keberhasilan siswanya, karena dengan kemampuannya, gurulah yang akan memerahkan atau menghijaukan siswanya. Alasannya, sang guru yang akan menentukan proses pembelajarannya, di mana sang guru akan mengorganisasikan pengalaman belajar siswa sehingga mereka dapat mengubah penampilan mereka secara bermakna atau tidak. Di samping itu, cara sang guru matematika ketika membantu siswanya belajar akan menentukan keberhasilan siswanya. Oleh sebab itu, guru merupakan kata kunci bagi para siswanya. Hal seperti itu telah dinyatakan Even dan Ball (2009:1): “ ... teachers are key to students’ opportunities to learn mathematics.” Artinya, guru adalah kunci bagi siswanya yang akan memberikan peluang untuk mempelajari matematika. Contohnya Dalam Kehidupan Contoh berikut menunjukkan ketika penulis masih kecil, penulis pernah diajak ayahnya untuk kali pertama naik bus. Suasana di jalan waktu itu tidaklah seramai sekarang. Penulis lalu mengeluarkan tangannya untuk merasakan angin yang diakibatkan kecepatan bus itu. Melihat hal tersebut, si ayah lalu memukul bagian tangan yang dikeluarkan tadi. Si anak lalu bertanya: “Ayah, mengapa saya dipukul?” Pertanyaan si anak tidak dijawab malah si ayah mengajukan pertanyaan berikut: “Coba nanda pikir, apa yang akan terjadi pada diri nanda jika ada truk atau bus lain dari depan?” Jawaban si anak adalah: “Ayah, saya kan masih bisa melihat?” Pertanyaan si ayah selanjutnya: “Baik. Apa yang akan terjadi jika ada truk atau bus lain dari belakang?” Jawaban si anak: “Ayah, saya kan masih mendengar suaranya?” Komentar dan pertanyaan si ayah selanjutnya: “Wah kamu hebat. Sekarang, apa yang akan terjadi jika ada truk atau bus lain sedangkan ananda tertidur dengan tidak sengaja?” Waktu itulah penulis tidak bisa menjawab dan mengaku kalah. Waktu itu muncul pendapat pada diri si anak bahwa sesungguhnya larangan sang ayah bertujuan baik, untuk menghindarkan sang anak tercinta dari hal-hal yang akan merugikan dirinya sendiri. Pada contoh di atas, meskipun sang ayah sempat memukul tangan anaknya, namun sang anak masih diberi kesempatan untuk menggunakan haknya untuk bertanya secara demokratis. Tidak hanya itu, sang ayah sempat memuji ‘kenakalan’ dan ‘keusilan’ sang anak yang berusaha menyangkal pendapatnya dengan mengatakan: “Wah kamu hebat.” Namun, dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sang ayah, si anak pada akhirnya mengaku kalah serta menyadari kesalahan dan kebodohan yang dilakukannya. Di samping itu, dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, sang ayah telah berhasil meyakinkan anaknya bahwa larangan sang ayah adalah dengan maksud baik. 1 Dalam arti larangan itu untuk menghindarkan sang anak dari hal-hal yang akan merugikan dirinya sendiri. Contoh di atas menunjukkan bahwa sang ayah tersebut telah melakukan diskusi dengan anaknya mengenai tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan yang akan diambil, serta berusaha memberikan dorongan bagi anaknya untuk ikut aktif menentukan sendiri pendapatnya dan secara demokratis si anak didorong untuk melaksanakan semua keputusan dan kegiatankegiatan yang telah ditetapkan itu. Si ayah telah berupaya untuk membantu dan memfasilitasi anaknya untuk belajar secara mandiri menentukan dan mengambil keputusan sendiri. Contoh Dalam Pembelajaran Matematika Contoh berikut ini adalah untuk pembelajaran pangkat 0 suatu bilangan selain 0. Langkah-langkah proses pembelajarannya adalah sebagai berikut, misalkan G = Guru dan S = Siswa: G: Apa yang terjadi jika suatu bilangan yang bukan nol dibagi dengan dirinya sendiri? … . Coba kamu Mimin. S: Hasilnya haruslah 1. G: Benar. Bagaimana jika am dibagi am? S: Hasilnya haruslah 1 juga. G: Beberapa hari yang lalu sudah dibahas tentang rumus am : an bukan? Kalau begitu apa yang akan terjadi dengan am : am? S: am : am akan sama dengan am − m = a0? G: Kalau begitu, bagaimana dengan a0? S: a0 akan sama dengan 1. G: Ya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa a0 = 1 untuk a ≠ 0. Coba selidiki kenapa a ≠ 0? Berikut ini adalah contoh kedua pembelajaran pengurangan dasar bilangan seperti 13 – 7. Alternatif rancangan proses pembelajaran ini dapat saja disempurnakan dan disesuaikan dengan kondisi daerah dan keadaan siswa di kelas Bapak dan Ibu Guru. Langkah-langkah proses pembelajarannya adalah sebagai berikut. 1. Pada tahap awal, Guru mengajukan masalah seperti berikut di LCD, di papan tulis, di transparansi, ataupun di kertas peraga. Ardi memiliki 12 kelereng. 9 kelereng diberikan kepada adiknya. Berapa kelereng yang dimiliki Ardi sekarang? 2. Guru bertanya kepada para siswa, berapa kelereng yang dimiliki Ardi pada awalnya? Jawaban yang diinginkan adalah 12. Guru lalu menggambar di papan tulis, 12 buah kelereng seperti gambar di bawah ini dengan menekankan bahwa 12 bernilai 1 puluhan dan 2 satuan atau 12 = 10 + 2. 2 12 = 10 + 2 3. Guru meminta siswanya bekerja dalam kelompok dengan menggunakan bendabenda konkret yang dimilikinya untuk menggambarkan 12 kelereng yang dimiliki Ardi. 4. Guru bertanya kepada siswa, berapa butir kelereng yang diberikan kepada adiknya dan berapa sisa kelereng yang dimiliki Ardi sekarang? Biarkan siswa bekerja sendiri-sendiri atau bekerja di kelompoknya untuk menjawab soal tersebut. 5. Ada dua kemungkinan jawaban siswa atau kelompok siswa, seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini. Pada waktu diskusi kelompok, Bapak atau Ibu Guru sebaiknya menawarkan alternatif kedua ini kepada beberapa kelompok. 12 – 9 = 3 12 – 9 = 2 + 1 = 3 6. Guru memberi kesempatan kepada siswa atau kelompok untuk melaporkan cara mereka mendapatkan hasilnya. Diskusikan juga, yang mana dari dua cara tersebut yang lebih mudah digunakan. 7. Guru memberi soal tambahan seperti 13–9 dan 12–8. Para siswa masih boleh menggunakan benda-benda konkret. Bagi siswa yang masih menggunakan alternatif pertama, sarankan untuk mencoba alternatif kedua dalam proses menjawab dua soal di atas. 8. Guru memberi soal tambahan seperti 14–9 dan 13–8. Bagi siswa atau kelompok siswa yang sudah dapat menyelesaikan soal ini tanpa menggunakan benda konkret dapat mengerjakan soal-soal yang ada di buku. Peran Penting Guru Matematika Dengan dua contoh di atas, nampaklah bahwa si guru memfasilitasi siswanya dan meyakinkannya bahwa: 1. a0 = 1 untuk a ≠ 0. Bukan itu saja, sang guru memberi kesempatan pada siswanya untuk menyelidiki kenapa a ≠ 0 pada a0 = 1? Sang guru percaya pada siswanya mampu menyelesaikan tugas tersebut. 3 2. 12 – 9 lebih mudah diselesaikan dengan mengurangi 9 dari 10 atau (10 – 9 = 1) sehingga 12 – 9 = 1 + 2 = 3 Contoh di atas menunjukkan bahwa sang guru telah berdiskusi dengan dan memfasilitasi siswanya untuk keputusan-keputusan yang akan diambil. Sejalan dengan munculnya teori pembelajaran terbaru yang dikenal dengan konstruktivisme, menguatnya isu demokratisasi pendidikan, semakin canggihnya teknologi informasi dan komunikasi, semakin dibutuhkannya kemampuan memecahkan masalah dan berinvestigasi, dan semakin banyak dan cepatnya penemuan teori-teori baru, maka pendekatan seperti Pendidikan Matematika Realistik (Realistic Mathematics Education), Pembelajaran Berbasis Pemecahan Masalah (Problem Based Learning), Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning), serta Pendekatan Pembelajaran Matematika Kontekstual (Contextual Teaching & Learning) merupakan pendekatan-pendekatan yang sangat dianjurkan para pakar untuk digunakan selama proses pembelajaran di kelas-kelas di Indonesia. Karena itulah pendekatan dan strategi pembelajaran yang dapat disarankan adalah suatu pendekatan yang didasarkan pada suatu pendapat bahwa pemahaman suatu konsep atau pengetahuan haruslah dibangun sendiri (dikonstruksi) oleh para siswa yang juga akan memfasilitasi siswa untuk belajar mandiri. Penutup Tulisan ini menunjukkan hal-hal berikut beserta tambahannya berikut. 1. Guru harus membantu dan memfasilitasi siswanya untuk menemukan dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan. Guru bukan memindahkan pengetahuan yang ada di benaknya ke benak siswanya. 2. Guru harus yakin bahwa siswanya mampu melaksanakan tugas tersebut karena pengetahuan prasyaratnya sudah dimiliki siswanya. Sehingga dengan mudah siswanya dapat memahami materi yang dibahasnya (learning with understanding). Istilah lain yang dapat digunakan adalah pembelajaran bermakna (meaningful learning) yaitu suatu pembelajaran yang dapat mengaitkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah ada pada struktur kognitif siswa. Dengan kata lain, pengetahuan yang lama dikembangkan untuk mendapatkan pengetahuan yang baru. 3. Guru harus merancang tugas (activity atau task) tersebut dengan sungguhsungguh, termasuk pertanyaan kuncinya, penggunaan papan tulis, pertanyaan turunan, kesalahan yang mungkin dilakukan siswa. 4. Tugas tersebut (activity atau task) diusahakan terbuka, dalam arti jawaban yang dapat diterima guru lebih dari satu. 5. Kualitas seorang guru matematika ditentukan oleh seberapa keras upayanya untuk membantu siswanya agar lebih mandiri dalam mempelajari matematika. Ia akan tetap berusaha untuk tidak mencekoki siswanya dengan sesuatu yang sudah jadi, namun ia akan berusaha untuk memfasilitasi siswanya agar dapat belajar menemukan sendiri, dapat belajar memecahkan masalah, dapat belajar bernalar, dan dapat belajar berkomunikasi secara matematis. 6. Guru matematika juga harus memfasilitasi siswanya utuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, memiliki karakter, dan mandiri di kelak 4 kemudian hari ketika mereka menerima estafet pembangunan bangsa dan negaranya. 7. Untuk menjadi guru matematika ‘berpengalaman’, proses pembelajaran (teaching) adalah suatu proses terus menerus melalui proses refleksi atas pembelajaran yang sudah dilakukan. Fokus pembelajarannya adalah pada keberhasilan pembelajaran siswa. Pada akhirnya, mudah-mudahan usaha keras setiap jajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sekecil apapun usaha tersebut, akan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan akan berhasil dengan gemilang. Daftar Pustaka Even R.; Ball, D.L. (2009). Setting the stage for the ICMI study on the professional education and development of teachers of mathematics. Pada Even R.; Ball, D.L. (Eds). The Professional Education and Development of Teachers of Mathematics. New York: Springer 5