RINGKASAN ENUNG SRI MULYANINGSIH. Pengembangan Padi Gogo Indica Toleran Kekeringan melalui Transformasi Genetik Gen Regulator HD-Zip Oshox6 dan Seleksi Populasi Padi yang Mengandung Marka Genetik QTL 12.1. Dibimbing oleh HAJRIAL ASWIDINNOOR, DIDY SOPANDIE, INEZ H. SLAMETLOEDIN, dan PIETER B.F. OUWERKERK. Pada tahun 2009, konsumsi beras Indonesia mencapai 139 kg per orang per tahun melebihi rata-rata dunia (60 kg per orang per tahun). Dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 1,4% per tahun, kebutuhan beras Indonesia pada tahun 2030 mencapai 44 juta ton. Kebutuhan yang demikian besar tanpa diimbangi oleh produksi dikhawatirkan akan menyebabkan kerawanan pangan. Tuntutan produksi yang besar tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang menyebabkan produktivitas padi menurun. Permasalahan tersebut antara lain penyempitan areal lahan sawah, sumber air berkurang, dan perubahan iklim ekstrim akibat pemanasan global. Fenomena perubahan iklim ekstrim antara lain kemarau panjang yang menyebabkan cekaman kekeringan. Disisi lain Indonesia memiliki lahan kering yang mencapai 51 juta ha dan belum dimanfaatkan maksimal. Oleh karena itu, ekstensifikasi ke lahan kering merupakan pilihan potensial sebagai upaya memenuhi kebutuhan beras. Kultivar padi yang tepat diaplikasikan pada lahan tersebut ialah padi gogo. Namun demikian, cekaman kekeringan menjadi salah satu kendala di lahan padi gogo. Anomali iklim yang lebih sering terjadi dan tidak dapat diprediksi menyebabkan periode kekeringan lebih lama. Oleh karena itu perlu dikembangkan kultivar padi gogo toleran kekeringan untuk mengantisipasi perubahan iklim agar bisa dimanfaatkan maksimal di lahan gogo. Selain itu, galur yang dihasilkan juga dapat digunakan untuk bahan persilangan dengan padi sawah guna mengantisipasi cekaman kekeringan yang terjadi di lahan sawah atau lahan tadah hujan. Padi toleran kekeringan dapat diperoleh melalui persilangan dengan seleksi menggunakan marka molekuler dan transformasi genetik. Transformasi gen regulator faktor transkripsi (FT) berpeluang untuk mendapatkan tanaman padi toleran kekeringan. FT akan meregulasi sejumlah gen lain yang bertanggung jawab terhadap toleransi kekeringan. Gen FT yang digunakan dalam penelitian ini ialah HD-Zip Oshox6 (Homeodomain leucine zipper Oryza sativa homeobox). Gen ini responsif terhadap cekaman kekeringan. Gen ini dikendalikan oleh promotor terinduksi kekeringan (OsLEA/ late embryogenesis abundant). Promotor OsLEA::Oshox6 berada dalam plasmid pC1301H oshox-6 dan ditransformasikan ke dalam genom tanaman padi cv. Batutegi dan Kasalath. Diperoleh masingmasing 12 galur independen dari cv. Batutegi dan Kasalath, dengan jumlah salinan gen sisipan antara 1-4. Gen sisipan yang terintegrasi diwariskan secara Mendel (3:1) berdasarkan hasil PCR dan ekpresi gen hpt pada daun tanaman transgenik cv. Batutegi dan Kasalath. Sebanyak 13 galur transgenik, masing-masing 5 galur dari cv. Batutegi dan 8 galur cv. Kasalath diuji kekeringan di dalam rumah kaca menggunakan metode FTSW. Hasil percobaan menunjukkan akhir periode cekaman kekeringan cv. Batutegi lebih lama dibandingkan cv. Kasalath, hal ini sangat ditentukan oleh latar belakang genetik. Kurva hubungan NTR dan FTSW menunjukkan bahwa transpirasi cv. Batutegi mulai turun pada nilai FTSW 0,2 dan pada cv. Kasalath 0,3. Kedua nilai FTSW menunjukkan tingkat cekaman berat. Berdasarkan tingkat skoring kekeringan daun dan nilai NTR serta FTSW diperoleh 3 galur Batutegi transgenik toleran dan satu galur moderat toleran. Integrasi gen oshox-6 pada cv. Batutegi secara statistik tidak berbeda nyata untuk karakter Ψd, RWC dan kandungan prolin diantara transgenik dengan kontrol (BT-WT). kenaikan nilai pengamatan ke arah karakter toleransi kecil antara BTWT dengan transgenik. Diduga karena cv. Batutegi adalah kultivar unggul dan moderat toleran terhadap cekaman kekeringan sehingga pengaruh gen sisipan kecil. Pada cv. Kasalath diperoleh 5 galur toleran kekeringan dan satu moderat toleran. Pengaruh gen oshox6 terhadap toleransi kekeringan nyata pada cv. Kasalath di akhir periode kekeringan (30 hsk) di bandingkan pada cv. Batutegi. Karakter pengamatan yang bisa dijadikan karakter seleksi pada galur-galur transgenik (cv. Batutegi dan cv. Kasalath) untuk mendapatkan galur toleran ialah skoring kekeringan daun, nilai NTR, Ψd dan RWC, sementara kandungan prolin tidak dapat dijadikan karakter seleksi. Galur-galur yang dianggap toleran dan moderat cenderung tidak menunjukkan peningkatan prolin di akhir periode kekeringan. Berdasarkan percobaan ini, galur-galur transgenik Batutegi dan Kasalath toleran dan moderat cenderung memiliki respon pertahanan diri melalui mekanisme penghindaran, dan untuk mekanisme pertahanan lainnya perlu dievalusi lebih lanjut. Nilai produksi tanaman transgenik setelah uji kekeringan dalam pot merupakan indikasi awal normalitas tanaman. Percobaan pot lebih ditujukan untuk melihat parameter fisiologis. Seleksi galur unggul perlu dilakukan di fasilitas rumah kasa bebas hujan atau lapang. Berdasarkan pengamatan terhadap karakter agronomi, terjadi kenaikan bobot gabah per rumpun, biomassa kering dan jumlah gabah bernas per malai ketika terjadi kekeringan pada galur T1-BT II.1A, T1-BT II.2A, T1-BT III.1A, dan T1-Kas. IV.1A, galur-galur ini merupakan galur potensial unggul. Galur toleran kekeringan dalam penelitian diperoleh juga melalui seleksi terhadap populasi hasil persilangan cv. Vandana x Way rarem. Pada generasi F3 diketahui bahwa segregan persilangan ada yang mengandung marka qtl 12.1 (quantitatif trait loci) dan ada yang tidak mengandung marka. Marka ini mampu mempertahankan hasil ketika terjadi cekaman kekeringan berat pada fase reproduktif menjelang berbunga. Sebanyak 100 genotipe F7 diuji kekeringan pada MK 2008 terpilih 21 genotipe untuk di uji kembali pada MK 2009. Hasil seleksi menunjukkan bahwa karakter jumlah anakan produktif sulit dijadikan karakter seleksi karena perlakuan cekaman kekeringan dilakukan ketika jumlah anakan maksimum (menjelang fase generatif). Karakter jumlah anakan produktif sulit dijadikan karakter seleksi pada populasi hasil persilangan Vandana x Way rarem. Sementara bobot gabah per umpun, tinggi tanaman, jumlah gabah bernas per malai, bobot gabah per petak (plot), waktu berbunga, indeks panen, indeks sensitivitas kekeringan dapat menjadi karakter seleksi dalam memilih galur-galur potensial toleran dan produktivitas tinggi. Pada percobaan MK-2009, kekeringan cekaman parah dapat menurunkan bobot gabah per umpun, tinggi tanaman, jumlah gabah bernas per malai, bobot gabah per petak, indeks panen dan memperlambat pembungaan. Diperoleh 12 genotipe moderat dan satu toleran pada cekaman berat. Genotipe-genotipe tersebut memiliki daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan, artinya jika ditanam pada lokasi tanpa cekaman maka produktivitas tinggi, dan ketika dalam lingkungan kekeringan, produktivitas tanaman masih cukup tinggi. Galur dengan daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan akan bermanfaat jika ditanam di berbagai lokasi lahan kering dan dapat mengantisipasi kemungkinan kekeringan yang tidak dapat diprediksi. Berdasarkan MK I dan MK II, seleksi genotipe potensial dan toleran kekeringan cukup berdasarkan data dari lingkungan normal dan cekaman berat berat, karena hasil pengamatan lingkungan normal tidak berbeda nyata dengan lingkungan cekaman sedang. Seleksi genotipe toleran kekeringan kurang efektif bila hanya berdasarkan kerberadaan marka qtl 12.1, karena genotipe unggul diperoleh pula dari genotipe yang tidak mengandung marka tersebut. Berdasarkan karakter-karakter seleksi yang digunakan dalam penelitian ini, sulit membedakan antara tanaman toleran dari genotipe yang memiliki marka qtl 12.1 dengan genotipe toleran yang tidak memiliki marka qtl 12.1. Genotipe-genotipe pembanding QTL 71 (+) dan QTL 98(+) yang diuji kekeringan bersama dengan tanaman transgenik cenderung memiliki respon pertahanan diri penghindaran yaitu dengan mempertahankan Ψd dan RWC. Sementara karakter kandungan prolin tidak dapat dijadikan karakter seleksi. Genotipe-genotipe toleran kekeringan dari lapang diduga memiliki daya adaptasi luas, sehingga bisa ditanam diberbagai kondisi dan dapat mengantisipasi cekaman kekeringan yang tidak dapat diduga kejadiannya. Hasil uji kekeringan di rumah kaca dengan tujuan memvalidasi metode uji kekeringan menunjukkan bahwa metode FTSW dapat membedakan tingkat cekaman dan tingkat toleransi tanaman yang terjadi selama percobaan. Semakin rendah nilai FTSW semakin berat cekaman yang terjadi. Nilai FTSW yang rendah mempengaruhi nilai normalisasi transpirasi (NTR), sehingga transpirasi semakin rendah. Hasil percobaan menujukkan bahwa tingkat cekaman yang terjadi bersifat berat yang terjadi pada fase reproduktif. Hasil skoring kekeringan daun dalam menentukan klasifikasi toleransi galur-galur tanaman selaras dengan nilai NTR dan FTSW. Ada keselarasan tingkat toleransi kekeringan di lapangan dan di rumah kaca berdasarkan data dari genotipe terpilih Qtl 71 (+) dan Qtl 98(+) menunjukkan bahwa metode uji kekeringan FTSW di rumah kaca dapat representatif menggambarkan kondisi cekaman yang terjadi di lapangan. Kata kunci : padi gogo, seleksi marka, FTSW, (cv. Batutegi, cv. Kasalath), transgenik