bab ii dasar kewenangan penuntut umum dalam melakukan

advertisement
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
19
BAB II
DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM DALAM MELAKUKAN
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) MENURUT KUHAP
DAN UU NOMOR 16 TAHUN 2004
2.1.
Tugas dan Wewenang Jaksa Sebagai Penuntut Umum di Indonesia
Untuk mempelajari lebih dalam kewenangan Penuntut Umum dalam
melakukan pemisahan berkas perkara (Splitsing), perlu dipelajari terlebih dahulu
latar belakang atau sejarahnya.Pada era sebelum Kolonial Belanda menjajah
Indonesia,negeri
ini
tidaklah
mengalami
kekosongan
hukum
dalam
masyarakat.Hukum Adat telah eksis dalam tubuh negeri ini.Terdapat pula
lembaga-lembaga tata hukum dan negara dalam masyarakat adat.
Lembaga Jaksa atau Penuntut Umum adalah lembaga baru.Tidak terdapat
pada masyarakat primitif.Perancis biasa disebut orang sebagai tempat kelahiran
lembaga itu.37Pada bab sebelumnya,telah penulis jelaskan istilah jaksa sendiri
berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Adhyaksa artinya sama dengan hakim pada
dunia modern sekarang ini.Di belanda pun dahulu belum dikenal istilah officier
van justitie.Istilah schout di sana yang khusus menuntut pidana.Begitu pula di
Inggris,baru tahun 1986 diciptakan lembaga berdiri sendiri yang disebut
37
Jur.Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,Edisi Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, 2008, h.47.
19
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
20
CPS.Dahulu hanya ada Crown Prosecutor yang khusus menuntut jika ada
kepentingan raja di dalam perkara.38
Di Indonesia pada era sebelum reformasi,istilah Kejaksaan sebenarnya
sudah ada dan dikenal sejak lama di Indonesia. Kerajaan Majapahit mengenal
istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa yang sudah mengacu pada posisi
dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa Sansekerta.
Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa
adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu
Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang
diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para
dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang
memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.39
Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang
mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi
(oppenrrechter). Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda,
bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga
adalah seorang adhyaksa.40
Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan
jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang
38
Donald J. Newman,Introduction to Criminal Justice,h.190.
Kejaksaan Republik Indonesia, Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia,
www.kejaksaan.go.id,2009, dikunjungi pada tanggal 8 Oktober 2014.
40
Ibid.
39
20
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
21
memerintahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier
van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen
(Pengadilan Justisi ) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung ) dibawah perintah
langsung dari Residen / Asisten Residen.41
Pada masa itu,terdapat salah satu peraturan yang mulai berlaku pada
tanggal 1 Mei 1848 yaitu Inlands Reglement atau disingkat IR.Nama lengkap IR
itu ialah Reglement op de uitoefening van de politie, de Burgerlijke Rechtspleging
en de Strafvordering onder de Inlanders en de Vreemde Oosterlingen op Java en
Madoera.IR dilahirkan dengan bentuk “ordonnatie” (undang-undang dari
Gubernur Jenderal) yang bersandarkan pada suatu Firman Raja Belanda tanggal
16 Mei 1846 (ordonnatie met Koninklijke machtiging),dan termuat dalam
Staatsblaad 1848 No.16. sedangkan sebutan Inlands Reglement secara resmi
ditetapkan dalam Firman Raja Belanda dari Staatsblaad 1901 No.15.42
Selanjutnya,dengan adanya Sbld 1941 Nomor 44 diumumkan kembali
perubahan
IR
(Inlands
Reglement)
menjadi
HIR
(Herziene
Inlands
Reglement).Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR adalah dengan
perubahan tersebut terbentuklah lembaga openbaar ministerieatau penuntut
umum,yang dahulu ditempatkan di bawah pamongpraja.Dengan perubahan ini
maka Openbaar Ministerie(OM) atau Parket itu secara bulat dan tidak terpisah-
41
Ibid.
Moch.Faisal Salam, Op.Cit, h.178.
42
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
22
pisahkan (een en ondeelbaar) berada di bawah Officier van Justitie dan Procureur
Generaal.43
Pembentukan badan Penuntut Umum yang berdiri sendiri ini menurut
Subekti dalam bukunya,merupakan hadiah dari pemerintah Belanda untuk orang
Bumiputera berhubungan dengan keguncangan (Perang Dunia II yang baru pecah)
di negeri Belanda.44Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut
secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman
pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei
No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944.
45
Eksistensi kejaksaan itu berada pada
semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan agung),
Koootooo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan negeri).
“Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan
untuk :
1. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran
2. Menuntut Perkara
3. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.
4. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.”46
Pada era pemerintahan Jepang Raad van Justitie dihapuskan sehingga tidak
ada lagi perbedaan antara orang bumi putra dengan orang Eropa.Semua warga
diadili
oleh
Pengadilan
Negeri
(Tihoo
Hooin)
sebagai
kelanjutan
43
Jur.Andi Hamzah, Op.Cit., h.54.
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, BinaCipta, Jakarta, 1982, h.4.
45
Kejaksaan Republik Indonesia,Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia,Loc. cit.
46
Ibid.
44
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
23
Landraad.Ketentuan hukum acara pidananya diberlakukan ketentuan yang termuat
dalam HIR
(
Herziene Inlands Reglement
),Landgerechtsreglement,dan
Rechtsreglement voor de Buitengewesten.47
Setelah Indonesia merdeka berdasarkan ketentuan Pasal II aturan
peralihan, maka ketentuan yang sudah berlaku pada zaman Jepang yaitu ketentuan
yang sudah berlaku pada zaman Jepang yaitu ketentuan hukum acara pidana yang
diatur dalam HIR tetap berlaku.Di indonesia pada waktu itu terdapat dua macam
peradilan yaitu “Landrechter” untuk semua orang dan “Appelraad” sebagai
pengadilan dalam pemeriksaan tingkat kedua dari perkara-perkara pidana yang
diputus oleh Pengadilan Negeri.48
Kedudukan jaksa merupakan kedudukan yang berdiri sendiri,yang
mempunyai wewenang sebagai pengusut (Pasal 39 HIR) dan wewenang menuntut
diatur dalam pasal 46 HIR.Pada tanggal 1 Januari 1981 diundangkanlah UndangUndang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang mencabut
keseluruhan tentang Hukum Acara Pidana dalam HIR,maka Indonesia pada tahun
1981 memasuki era baru dalam bidang hukum acara pidananya.
Kejaksaan sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang
sebagai penuntut umum yang dilandasi oleh Undang-Undang No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan.Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut
untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum,perlindungan
47
Ibid.h.180-181.
Moch.Faisal Salam, Op.Cit, h.181.
48
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
24
kepentingan umum,penegakkan hak asasi manusia,serta pemberantasan korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
Mengingat sebelum adanya Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan RI yang menggantikan Undang-Undang No.5 Tahun 1991 tentang
Kejaksaan RI yang sebelumnya adanya Undang-Undang No. 15 Tahun 1961
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI,menurut Pasal 2 UndangUndang No. 15 Tahun 1961,tugas pokok kejaksaan sebagai berikut:
1) a.Mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada
pengadilan yang berwenang;
b. Menjalankan keputusan dan penetapan hakim Pidana.
2) Menadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran
serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut
ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan
lain-lain peraturan negara
3) Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara
4) Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh
suatu peraturan negara.
Wewenang Jaksa sebagaimana ditentukan dalam pasal 11 Undang-Undang
No.15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan adalah sebagai
berikut:
1) Jaksa untuk menyelesaikan suatu perkara pidana berwenang :
a. Mengadakan penggeledahan badan dan penggeledahan tempattempat yang dipandang perlu;
b. Mengambil tindakan-tindakan lain;
a dan b menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum
Acara Pidana dan/atau lain peraturan negara.
2) Dalam melakukan kewajiban tersebut dalam ayat 1 diperhatikan
norma-norma keagamaan,perikemanusiaan,kesopanan dan kesusilaan.
Penuntut Umum sebagai organ dan wakil penguasa yang memiliki fungsi
menuntut dan menetapkan ketentuan pidana yang dikenakan tersangka selanjutnya
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
25
disusun menjadi surat dakwaan yang akan dilimpahkan ke pengadilan.Didalam
KUHAP,wewenang jaksa tidak mendapat pengaturan yang jelas.Yang ada adalah
wewenang penuntut umum.Hal ini dikarenakan pengertian jaksa dan penuntut
umum memang berbeda,di mana pengertian jaksa menyangkut jabatan,sedangkan
pengertian penuntut umum menyangkut fungsi.
Menurut Pasal 13 KUHAP dinyatakan wewenang Penuntut Umum adalah
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.Selain itu diatur
dalam Pasal 1 Undang-Undang Pokok Kejaksaan (UU No. 15 Tahun 1961)
menyatakan,Kejaksaan R.I. selanjutnya disebut Kejaksaan,ialah alat negara
penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum.Menurut Pasal 14
KUHAP,penuntut umum mempunyai wewenang:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
atau pembantu penyidik;
b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 Ayat (3) dan Ayat
(4),dengan memberi petunjuk dalam rangka menyempurnakan
penyidikan dari penyidik;
c. Memberikan perpanjangan penahanan,melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. Membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan,baik
kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang
yang telah ditentukan;
g. Melakukan penuntutan;
h. Menutup perkara demi kepentingan umum;
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai Penuntut Umum menurut Undang-Undang;
j. Melaksanakan penetapan hakim;
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
26
Didalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa,yang dimaksud
dengan “tindakan lain” ialah antara lain meneliti identitas tersangka,barang bukti
dengan memperhatikan secara tegas batas wewanang dan fungsi antara penyidik,
penuntut umum, dan pengadilan.
Di dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tidak
terdapat suatu ketentuan yang mengatur tentang tugas dan kewenangan dari
penuntut umum,hanya disebutkan dan diatur tentang tugas dan wewenang
kejaksaan dalam Bab III Bagian Kesatu Pasal 30 sampai 34 Undang-Undang
No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.49
Pasal 30 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI,bahwa
tugas dan wewenang kejaksaan adalah:
1) Di bidang pidana,kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. Melakukan penuntutan;50
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;51
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas
bersyarat;52
49
Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Edisi Pertama,
Kencana, Jakarta, 2014, h.96.
50
Ayat (1) Huruf a “Dalam melakukan penuntutan,jaksa dapat melakukan prapenuntutan.Pra-penuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan
setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik,petunjuk guna dilengkapi
oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke
tahap penuntutan.”
51
Ayat (1) Huruf b “Dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim,
kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan peri kemanusiaan
berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak.
Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang
mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan
yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang.”
52
Ayat (1) Huruf c yang dimaksud dengan “keputusan lepas bersyarat” adalah keputusan
yang dikeluarkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemasyarakatan.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
27
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;53
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahansebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik.54
2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa
khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan
untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan:55
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengawasan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Kewenangan penuntut umum dalam melakukan penuntutan diatur dalam
Bab XV tentang Penuntutan.Menurut Pasal 137 KUHAP menyatakan penuntut
umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa
melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan
perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Ayat (1) Huruf d “Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana
diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
54
Ayat (1) Huruf e “Untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) tidak dilakukan terhadap tersangka;
2) hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan
masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan Negara;
3) harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah dilaksanakan ketentuan
Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun1981 tentang Hukum Acara Pidana;
4) prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.”
55
Penjelasan ayat (3).Tugas dan wewenang kejaksaan dalam ayat ini bersifat preventif
dan/atau edukatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “turut menyelenggarakan“ adalah mencakup kegiatan-kegiatan bersifat
membantu, turut serta, dan bekerja sama.Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan
senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait.
53
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
28
Menurut Pasal 138 KUHAP setelah penuntut umum menerima hasil
penyidikan dari penyidik,haruslah segera mempelajari dan meneliti dan dalam
waktu 7 hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu
sudah lengkap atau belum.
2.2. Proses Penuntutan
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem hukum Civil Law
System.Dalam hal ini hukum acara pidana kita secara garis besar terdapat 5 (lima)
tahapan,yaitu:
1.
2.
3.
4.
Tahap penyidikan ( opsporing ) dilaksanakan oleh penyidik;
Tahap penuntutan ( vervolging ) dilaksanakan oleh penuntut umum;
Tahap mengadili ( rechtspraak ) dilaksanakan oleh hakim;
Tahap melaksanakan putusan hakim ( executie ) dilaksanakan oleh
jaksa;
5. Tahap pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan dilaksanakan
oleh hakim pengadilan negeri.56
Tahapan-tahapan tersebut merupakan suatu proses yang kait mengkait
antara tahap yang satu dengan tahap selanjutnya yang dilaksanakan oleh subyek
pelaksana hukum acara pidana,yang akhirnya bermuara pada tahap pemeriksaan
terdakwa dalam persidangan pengadilan (tahap mengadili).57
Dalam penelitian ini yang menjadi pembahasan dalam tahap penuntutan
( vervolging ) yang dilaksanakan oleh penuntut umum.Permasalahan yang akan
dibahas terkait proses penuntutan yang mana dalam hal penuntut umum
56
Hasibuan, Idris Khalid,Tinjauan Hukum Tentang Pertimbangan Penuntut Umum
Dalam Membuat Surat Dakwaan Secara Terpisah Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh
Beberapa Orang ( Surat Tuntutan NO.REG / PER:PDM – 190 /EP.1/Medan/2007,Skripsi,Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara,Medan,2011,h.1 Bab III.
57
Ibid.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
29
melakukan pemisahan berkas perkara dalam delik yang dilakukan oleh beberapa
orang pelaku.Dalam sub bab ini akan proses penuntutan dibagi menjadi tahap prapenuntutan dan tahap penuntutan.
2.2.1 Pra-penuntutan
Tahap pra-penuntutan terjadi pada saat penyidik melimpahkan berkas
perkara kepada penuntut umum.Dalam proses tersebut sangat terlihat hubungan
sangat erat antara penuntut umum dan penyidik dalam hal fungsi penegakkan
hukum di Indonesia.Berdasarkan Keputusan bersama Jaksa Agung Republik
Indonesia dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tanggal 6
Oktober 1981 tentang Peningkatan Usaha Pengamanan dan Kelancaran
Penyidangan Perkara-Perkara Pidana di dalam diktum angka i menyatakan bahwa
“meningkatkan kerja sama fungsional dan instansional yang sebaik-baiknya antara
Kejaksaan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menyelesaikan
perkara-perkara dengan sempurna menurut hukum mulai dari penyidikan sampai
kepelaksanaan putusan Hakim.”
KUHAP telah meyebutkan tentang proses pra-penuntutan,namun tidak
memberikan batasan batasan tentang proses pra-penuntutan.Demikian pula dalam
Pasal 1 KUHAP yang memberikan definisi bagian hukum acara pidana, seperti
penyidikan, penuntutan, dan seterusnya,namun tidak memberikan pengertian
tentang pra-penuntutan.58
Dalam proses pra-penuntutan didefinisikan dalam pasal 14 KUHAP,yakni
58
Skripsi
Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Op. cit.,h.167.
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
30
Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan yang
dilakukan penyidik menurut pendapat penuntut umum kurang
lengkap,penuntut umum segera mengembalikan berkas tersebut kepada
penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan penyidik wajib segera
melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut
umum (pasal 110 ayat (3) dan pra-penuntutan tidak dapat dilakukan
kembali apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak
mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu
tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut
umum kepada penyidik (pasal 110 ayat (4)).
”Lengkap” artinya bukti-buktinya cukup dan berkasnya disusun menurut
KUHAP.59
Dengan adanya Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri
Kehakiman, menunjuk Pasal 14 KUHAP dengan dikaitkan Pasal 110 ayat (3) dan
(4) serta Pasal 138 KUHAP sebagai pra-penuntutan.Perbedaan Pasal 110
KUHAPa dan 138 KUHAP adalah dalam Pasal 110 KUHAP mengatur wewenang
penyidik dan dalam pasal 138 KUHAP mengatur wewenang penuntut umum.
Dalam tahap pra-penuntutan yang diatur dalam KUHAP ternyata terjadi
permasalahan dalam praktiknya.Tidak ada suatu ketentuan dalam Undang-undang
No.8 Tahun 1981 yang mengatur berapa kali berkas perkara bolak-balik antara
penyidik dan penuntut umum dalam hal perkara tersebut menurut pandangan
penuntut umum belum lengkap.60
Istilah pra-penuntutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 huruf b
KUHAP yaitu hanyalah tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam
59
R.M. Surakhman dan Andi Hamzah,Jaksa di Berbagai Negara : peranan dan
kedudukannya, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, h.35.
60
Moerad B.M, Pontang, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam
Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005, h.1995.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
31
rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik.Istilah pra-penuntutan di dalam
HIR adalah termasuk penyidikan lanjutan.61
Selain itu juga di jelaskan dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI,sebagai berikut :
Dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan.
Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan
penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari
penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil
penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna
dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara
tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.
2.2.2 Penuntutan (Vervolging)
Pengertian penuntutan sebagaiamana diatur dalam Pasal 1 angka 7
KUHP,bahwa : “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”
Wirjono
perbedaanya
Pradjodikoro
bahwa
KUHP
memberikan
tidak
definisi
penuntutan,
menyebutkan
secara
namun
tegas
“terdakwa”,sedangkan Wirjono Pradjodikoro disebutkan secara tegas, lebih-lebih
lengkapnya, yaitu : “Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah
menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim
61
Skripsi
Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Loc. cit.
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
32
dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara
pidana itu terhadap terdakwa.”62
Singkatnya penuntutan adalah tindakan penuntut umum menyerahkan
berkas perkara terdakwa ke pengadilan negeri agar hakim memberikan putusan
terhadap terdakwa yang bersangkutan.63Kewenangan penuntut umum untuk
melakukan penuntutan terlihat dalam Pasal 137 KUHAP yaitu “Penuntut umum
berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan
suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke
pengadilan yang berwenang mengadili.” Daerah hukumnya dalam pasal diatas
Menurut E. Bonn – Sosrodanukusumo, (pendapatnya masih berdasarkan HIR),
seorang jaksa mempunyai daerah hukum masing-masing sesuai dengan daerah
hukum kejaksaan negeri di mana dia diangkat.64
Penuntut umum juga berwenang dalam menentukan suatu perkara hasil
penyidikan apakah sudah lengkap ataukah belum untuk dilimpahkan ke
pengadilan negeri untuk diadili.Hal itu terdapat dalam pasal 139 KUHAP yang
berisikan “Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil
penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas
perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke
pengadilan.”
62
Wirjono Prdjodikoro Prdjodikoro,R.Wirjono, Hukum Acara Pidana Di Indonesia,
Sumur Bandung, Bandung, 1983, h.34.
63
Hari Sasangka dan Tjuk Suharjanto, Penuntutan Dan Teknik Membuat Surat Dakwaan,
Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1988, h.25.
64
E. Bonn – Sosrodanukusumo,Tuntutan Pidana,Siliwangi,Jakarta,tanpa tahun,h.100.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
33
Jika menurut penuntut umum perkara tersebut sudah cukup bukti dan
lengkap,maka penuntut umum dapat melakukan penuntutan dengan membuat
surat dakwaan.Hal tersebut diatur dalam Pasal 140 ayat (1) KUHAP yang berisi
“Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat
dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.”
Jika menurut pertimbangan penuntut umum perkara tersebut kurang cukup
bukti atau perkara tersebut bukan suatu delik pidana,maka penuntut umum
membuat suatu ketetapan.Hal ini diatur dalam Pasal 140 ayat (2) butir a KUHAP
yang berisi “Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan
penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata
bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut
umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.”Isi surat ketetapan
tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan,wajib dibebaskan.Hal
ini diatur dalam Pasal 140 ayat (2) butir b KUHAP yang berisikan “Isi surat
ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib
segera dibebaskan.”
Ditentukan
selanjutnya
bahwa
turunan
ketetapan
tersebut
wajib
disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasehat hukum, pejabat
rumah tahanan negara,penyidik, dan hakim (Pasal 140 ayat (2) butir c
KUHAP).Biasanya
disebut
SP3
(Surat
Perintah
Penghentian
Penuntutan).Kewenangan penuntut umum dalam menutup perkara demi hukum
diatur dalam Pasal 140 ayat (2) butir a pedoman pelaksanaan KUHAP memberi
penjelasan bahwa “perkaranya ditutup demi hukum” diartikan sesuai dengan
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
34
Buku I KUHP Bab VIII tentang hapusnya hak menuntut tersebut dalam Pasal 76,
77 dan 78 KUHP,65 ( non bis in idem, terdakwa meninggal, dan lewat waktu).
Namun menurut pasal 140 ayat (2) butir d KUHAP bahwa “Apabila
kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan
terhadap tersangka”.Dalam hal ini bahwa ketetapan penuntut umum untuk
menyampingkan suatu perkara (yang tidak didasarkan kepada oportunitas) tidak
berlaku asas non-bis in idem.66
Selanjutnya Pasal 141 KUHAP penuntut umum dapat melakukan
penggabungan berkas perkara dengan satu surat dakwaan.Penggabungan berkas
perkara ( voeging ) dibatasi oleh syarat-syarat yang diatur dalam pasal
tersebut.Selain menggabungkan berkas perkara,penuntut umum juga dapat
memisahkan berkas perkara ( spitsing ) yang diatur dalam Pasal 142
KUHAP.Apabila hasil penyidikan oleh penyidik telah diterima oleh penuntut
umum,maka menurut Pasal 143 ayat (1) KUHAP menyebutkan “Penuntut umum
melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera
mengadii perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.”
Syarat-syarat
surat
dakwaan
diatur
dalam
Pasal
143
ayat
(2)
KUHAP.Apabila tidak memenuhi syarat formil surat dakwaan yang diatur dalam
Pasal 143 ayat (2) butir a akan berakibat dapat dibatalkan.Apabila tidak
65
Pedoman Pelaksanaan KUHAP,dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman Republik
Indonesia, cetakan ke-2,h.88.
66
Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Op. cit.,h.171.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
35
memenuhi syarat materiel surat dakwaan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2)
butir b KUHAP akan berakibat batal demi hukum ( Pasal 143 ayat (3) KUHAP).
Selanjutnya menurut Pasal 143 ayat (4) KUHAP,bahwa Turunan surat
pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau
kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik,pada saat yang bersamaan
dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.”
2.3. Surat Dakwaan
Surat dakwaan menjadi sangat penting dan dianggap sebagai Mahkota dan
kunci dari arah persidangan dan putusan berlangsung.Di Sistem peradilan pidana
Indonesia,surat dakwaan akan menjadi dasar bagi pemeriksaan di persidangan dan
sebagai dasar pengambilan putusan hakim.Surat dakwaan juga akan memperjelas
aturan-aturan hukum mana yang dilanggar oleh terdakwa67.Surat dakwaan bisa
dikatakan sebagai filter penyaring aturan hukum yang tepat dikenakan
terdakwa.Dengan demikian,hakim tidak boleh memutuskan atau mengadili
perbuatan pidana yang tidak didakwakan68.
Dalam mengemukakan pengertian surat dakwaan,pada umumnya para ahli
hukum,mengkaitkannya dengan hasil penyidikan dan fungsi surat dakwaan dalam
pemeriksaan
sidang
pengadilan.Meskipun
banyak
definisi
yang
telah
dikemukakan,kita akui memang sulit untuk merumuskan suatu pengertian yang
mencakup semua aspek yang bertalian dengan surat dakwaan.Surat dakwaan itu
67
Albert Aries, Surat Dakwaan Sebagai Dasar Putusan Hakim, www.hukumonline.com,
3 Mei 2013, h.1, dikunjungi pada tanggal 21 September 2014.
68
Ibid.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
36
sendiri mencakup beberapa aspek,antara lain aspek hukum pidana materiil dan
aspek hukum pidana formiil.69
Dakwaan menjadi sangat penting dikarenakan melalui dakwaan itu
pemeriksaan di persidangan dilakukan.Dakwaan menjadi salah satu filter
ketentuan hukum yang dikenakan oleh tersangka sebelum persidangan
dilakukan.Melalui surat dakwaan pula dalil dalil pembelaan Penasehat Hukum
bersumber.Surat dakwaan menjadi arah kemana persidangan akan dibawa dan
dikembangkan.
Menurut H.Hamrat Hamid, S.H. dalam bukunya Pembahasan KUHAP
Bidang Penuntutan Dan Eksekusi Dalam Bentuk Tanya Jawab menjelaskan fungsi
surat dakwaan dalam pemeriksaan suatu perkara adalah:
a. Bagi hakim:
- Merupakan dasar dan sekaligus menentukan ruang lingkup
pemeriksaan sidang;
- Merupakan dasar penilaian/pertimbangan dan musyawarah majelis
hakim dalam rangka mengambil keputusan tentang perbuatan dan
kesalahan terdakwa.
b. Bagi Penuntut Umum :
- Merupakan dasar pelimpahan perkara;
- Merupakan dasar pembuktian/pembahasan yuridis;
- Merupakan dasar tuntutan pidana;
- Merupakan dasar pengajuan upaya hukum.
c. Bagi terdakwa/penasihat hukumnya:
- Merupakan dasar pengajuan eksepsi;
- Merupakan dasar pembelaan diri,karena itu dakwaan harus cermat,
jelas dan lengkap agar dapat dimengerti oleh terdakwa.70
Hakim
tidak
dakwaan.Pemeriksaan
dapat
menjatuhkan
didasarkan
kepada
pidana
di
dakwaan
luar
dan
batas-batas
menurut
69
H. Hamrat Hamid dan Harun M.Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang
Penuntutan Dan EksekusiDalam Bentuk Tanya Jawab, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, h.19.
70
Ibid.h.68.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
37
Nederburg,pemeriksaan tidak batal jika batas-batas itu dilampaui tetapi putusan
hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu.71
Dengan demikian,terdakwa hanya bisa dipidana jika terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah sesuai yang didakwakan penuntut umum.Apabila
penuntut umum salah mendakwa terdakwa maka akan berakibat bebasnya jeratan
hukum terdakwa.Disinilah pentingnya surat dakwaan dan penyusunan surat
dakwaan oleh penuntut umum.Penuntut umum sebagai wakil negara untuk
mendakwa warga negara yang bersalah dan melanggar ketentuan pidana sebagai
hukum publik.
Menurut Pasal 143 ayat (1) KUHAP,”Penuntut umum melimpahkan
perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara
tersebut disertai dengan surat dakwaan”.Dalam hal ini terlihat surat dakwaan
sebagai syarat mutlak pelimpahan berkas perkara ke pengadilan agar diadili.
Terdapat pula syarat-syarat surat dakwaan dalam Pasal 143 ayat (2)
KUHAP berisikan :
Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan
ditandatangani serta berisi:
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan.
Syarat surat dakwaan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) butir a KUHAP
merupakan syarat formil surat dakwaan,yang mencakup :
71
Skripsi
E. Bonn – Sosrodanukusumo,Tuntutan Pidana,Op. cit.,h.236.
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
38
1. Diberi tanggal.
2. Memuat identitas terdakwa secara lengkap, meliputi:
a. Nama lengkap;
b. Tempat lahir,umur/tanggal lahir;
c. Jenis kelamin;
d. Kebangsaan;
e. Tempat tinggal;
f. Agama;dan
g. Pekerjaan
3. Ditandatangani oleh penuntut umum
Jadi hakim dapat membatalkan dakwaan penuntut umum,karena tidak
jelas dakwaan ditujukan kepada siapa.Tujuannya adalah untuk
mencegah terjadinya kekeliruan mengenai orang atau pelaku tindak
pidana yang sebenarnya (error of subyektum).72
Syarat meteriel menurut Pasal 143 ayat (2) butir b KUHAP,bahwa surat
dakwaan harus secara cermat, jelas,dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan berisikan waktu ( tempos delicti ) dan tempat ( locus delicti )
tindak pidana tersebut dilakukan.
Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) butir b
KUHAP ( Syarat materiel ) akan berakibatkan batal demi hukum (sesuai dengan
Pasal 143 ayat (3) KUHAP).Sedangkan surat dakwaan yang tidak memenuhi
ketentuan Pasal 143 ayat (2) butir a KUHAP ( Syarat formil ) akan berakibat
dapat dibatalkan.
Ada
dua
syarat
cara
merumuskan
surat
dakwaan
yang
harus
dipenuhi,yaitu:
a. Harus mengandung lukisan dari apa yang senyatanya terjadi;
72
Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Op. cit., h.172.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
39
b. Dalam lukisan itu harus ternyatakan pula unsur-unsur yuridis dari tindak
pidana yang didakwakan;73
Pembuatan surat dakwaan harus jeli dan teliti,baik syarat formil maupun
materiilnya.Pembuat surat dakwaan harus terlebih dahulu menganalisis dengan
seksama perbuatan yang telah dilakukan,serta menentukan pasal mana yang akan
dikenakan.Pembuat surat dakwaan juga harus benar-benar berhati-hati sehingga
semua unsur delik mencocoki unsur-unsur pasal yang didakwakan.
Menurut Ansori Sabuan,S.H.,Sharifuddin Pettanasse,S.H., dan Ruben
Achmad,S.H. dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Pidana, dalam hal
teknis penyusunan surat dakwaan dapat dilakukan sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
Dakwaan tunggal;
Dakwaan alternatif;
Dakwaan subsidair;
Dakwaan kumulatif;
Dakwaan campuran;74
2.3.1. Dakwaan tunggal
Dakawaan secara tunggal dapat digunakan apabila seseorang atau lebih
terdakwa melakukan satu macam tindak pidana.Terdakwa didakwakan satu
perbuatan saja,tanpa diikuti dengan dakwaan-dakwaan lain.
Bentuk dakwaan ini biasanya digunakan dalam perkara pidana yang
sederhana saja.Karena apabila digunakan dalam perkara pidana yang sifatnya
73
Ansori Sabuan,Sharifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana,
Cetakan ke-1, Angkasa, Bandung, 1990, h.123.
74
Ibid,h.127.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
40
tidak sederhana,maka akan menimbulkan resiko terdakwa bebas dari tuntutan JPU
yang berarti terdakwa dibebaskan.
2.3.2. Dakwaan Alternatif
Dakwaan secara alternatif,yaitu dakwaan yang saling mengecualikan
antara satu dengan yang lain.Hakim dapat mengadakan pilihan dakwaan mana
yang telah terbukti dan bebas untuk menyatakan bahwa dakwaan kedua telah
terbukti tanpa memutuskan terlebih dahulu tentang dakwaan pertama.75Ditandai
dengan kata “ATAU”... .Dengan menggunakan kata “ATAU” antara dakwaan
satu dengan yang lain memberikan arti bahwa dakwaan itu alternatif tidak secara
komulatif.Dakwaan secara alternatif bukan kejahatan Perbarengan.
Dakwaan semacam ini dibuat jika hasil pemeriksaan penuntut umum
masih ragu dalam menerapkan pasal dalam surat dakwaannya dikarenakan
perbuatan yang dilakukan hampir sama unsur-unsur antara pasal satu dengan pasal
yang lain.
Misalnya penuntut umum yang akan membuat surat dakwaan berdasarkan
berita acara Peyidikan ragu-ragu apakah suatu tindak pidana yang akan
didakwakan merupakan :
75
Skripsi

Tindak pidana penipuan atau penggelapan.

Pembantuan atau turut serta.
Van Bemmelen,yang dikutip oleh Jur.Andi Hamzah, Op.Cit., h.186.
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
41
Konsekwensi dari surat dakwaan alternatif adalah jika salah satu tindak
pidana sudah terbukti maka tindak pidana lainnya harus dikesampingkan.76
2.3.3. Dakwaan Subsidair
Dakwaan subsidair penuntut umum tidak ragu-ragu tentang jenis tindak
pidananya,tetapi yang dipermasalahkan adalah kualifikasi dari tindak pidana yang
akan didakwakan apakah tindak pidana tersebut termasuk kualifikasi berat atau
kualifikasi ringan.77
Surat
dakwaan
disusun
dalam
bentuk
bertingkat
mulai
dari
primer,subsidair, dan seterusnya dengan urutan pasal yang terberat ke pasal yang
teringan ancaman pidananya.
Dalam dakwaan subsidair yang didakwakan pertama adalah yang terberat
ancaman pidananya,kemudian apabila dakwaan primernya tidak terbukti,baru
membuktikan pada dakwaan subsidair,dan begitu seterusnya pada dakwaan
terakhir yang paling ringan ancaman pidananya.
2.3.4. Dakwaan kumulatif
Surat dakwaan kumulatif digunakan apabila ada beberapa tindak pidana
yang tidak ada hubungan antara tindak pidana satu dengan tindak pidana yang lain
dengan kata lain tindak pidananya berdiri sendiri-sendiri.Menurut Dr. Drs. Hendar
Soetarna, S.H. dalam bukunya surat dakwaan kumulatif atau kumulasi bertitik
76
Hari Sasangka dan Tjuk Suharjanto, Op. cit., h.109.
Ibid.,h.111.
77
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
42
tolak pada adanya perbarengan (concursus) baik perbarengan tindak pidananya
dan ataupun perbarengan pelakunya.78
Dakwaan kumulatif diatur dalam Pasal 141 KUHAP bahwa “Penuntut
umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu
suratdakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima
beberapa berkas perkara dalam hal:
a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan
kepentinganpemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap
penggabungannya;
b. Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;
c. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang
lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya,
yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan
pemeriksaan.
Dapat dirumuskan dakwaan kumulatif yaitu:
 Beberapa tindak pidana dilakukan satu orang sama;
 Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut;
 Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkutan.79
Dalam dakwaan kumulatif hakim harus memutuskan terbukti atau tidaknya
setiap dakwaan satu demi satu,jika dakwaan yang satu terbukti harus dijatuhi
pidana dan kalau dakwaan yang lain tak terbukti harus dibebaskan.Demikian pula
kalau satu dari dakwaan tersebut dibatalkan,maka dakwaan mengenai perbuatan
lainnya masih berlaku.80
2.3.5. Dakwaan campuran/kombinasi/gabungan
78
Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian Dalam Acara Pidana, Cetakan ke-1, Alumni,
Bandung, 2011, h.35.
79
Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Op. cit., h.178.
80
Ansori Sabuan, Sharifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad, Op. cit., h.129.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
43
Dalam dakwaan campuran atau kombinasi atau gabungan lebih didasarkan
kepada adanya berbagai bentuk dakwaan dalam satu surat dakwaan.Dalam surat
dakwaan kombinasi didakwakan lebih dari satu tindak pidana dan setiap dakwaan
berbeda bentuk dari yang lain.Surat dakwaan ini digunakan agar terdakwa tidak
lolos dari jeratan hukum.
Bentuk-bentuk surat dakwaan kombinasi adalah:
1. Kumulatif subsidair;
2. Kumulatif alternatif;
3. Subsidair kumulatif.81
2.4. Penyertaan (Deelneming)
Penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.Adapun Pasal 55 dan 56
KUHP berbunyi:
Pasal 55 KUHP :
(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:
1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut
melakukan perbuatan itu;
2. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai
kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau
dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja
membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.
(2)Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh
dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan
sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.
Pasal 56 KUHP :
81
Hari Sasangka, Lily Rosita, August Hadiwijono,
Penyidikan,Penahanan,Penuntutan,Dan Praperadilan, Cetakan Pertama, Dharma Surya Berlian,
Surabaya, 1996, h.117.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
44
Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:
1. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;
2. Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya,
atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal
menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “orang yang turut
melakukan” (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP. Menurut R. Soesilo, “turut
melakukan” dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya harus
ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut
melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta bahwa kedua orang itu
semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen
dari peristiwa tindak pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan
perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika
demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “medepleger” akan tetapi
dihukum sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige) dalam Pasal 56
KUHP.
Sedangkan mengenai Pasal 56 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa
orang “membantu melakukan” jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada
waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila
bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka orang tersebut
melakukan perbuatan “sekongkol” atau “tadah” melanggar Pasal 480 KUHP,
atau peristiwa pidana yang tersebut dalam Pasal 221 KUHP.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
45
Dalam penjelasan Pasal 56 KUHP ini dikatakan bahwa elemen “sengaja”
harus ada, sehingga orang yang secara kebetulan dengan tidak mengetahui telah
memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan
itu tidak dihukum. “Niat” untuk melakukan kejahatan itu harus timbul dari
orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya atau keterangan itu. Jika
niatnya itu timbul dari orang yang memberi bantuan sendiri, maka orang itu
bersalah berbuat “membujuk melakukan” (uitlokking).
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya yang berjudul
Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 123), mengutip pendapat
Hazewinkel-Suringa, Hoge Raad Belanda yang mengemukakan dua syarat
bagi adanya turut melakukan tindak pidana, yaitu: Kesatu, kerja sama yang
disadari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu kehendak bersama di
antara mereka; Kedua, mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.82
Lebih lanjut, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H.83, sebagaimana kami
sarikan, menjelaskan mengenai perbedaan antara “turut melakukan” dan
“membantu melakukan”. Menurutnya, berdasarkan teori subjektivitas, ada 2 (dua)
ukuran yang dipergunakan: Ukuran kesatu adalah mengenai wujud kesengajaan
yang ada pada di pelaku, sedangkan ukuran kedua adalah mengenai kepentingan
dan tujuan dari pelaku.
82
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1989,
83
Ibid, hal. 126-127
h.123.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
46
Ukuran kesengajaan dapat berupa; (1) soal kehendak si pelaku untuk
benar-benar turut melakukan tindak pidana, atau hanya untuk memberikan
bantuan, atau (2) soal kehendak si pelaku untuk benar-benar mencapai akibat yang
merupakan unsur dari tindak pidana, atau hanya turut berbuat atau membantu
apabila pelaku utama menghendakinya.Sedangkan, ukuran mengenai kepentingan
atau tujuan yang sama yaitu apabila si pelaku ada kepentingan sendiri atau tujuan
sendiri, atau hanya membantu untuk memenuhi kepentingan atau untuk mencapai
tujuan dari pelaku utama.84
2.5. Pemisahan dan Penggabungan Berkas Perkara Oleh Pununtut Umum
Didalam proses penyusunan dan pembuatan surat dakwaan terjadi 2 (dua)
kemungkinan yang dilakukan penuntut umum yaitu penggabungan berkas perkara
(Voeging) atau pemisahan berkas perakara (Splitsing).Penggabungan atau
pemisahan berkas perkara tersebut haruslah didasarkan pada pertimbangan
kepentingan pemeriksaan perkara itu sendiri di dalam sidang pengadilan.85
Pemisahan berkas perkara biasa dinamakan “pemecahan atau pemisahan
perkara (Splitsing)” satu perkara menjadi beberapa penuntutan yang diuraikan
dalam pasal 142 KUHAP.Bunyi Pasal 142 KUHAP adalah “Dalam hal penuntut
umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang
dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan
84
Letezia Tobing, Perbedaan Turut Melakukan Dengan Membantu Melakukan Tindak
Pidana, www.hukumonline.com , 28 Juni 2013, h.1, dikunjungi pada tanggal 21 September 2014.
85
Skripsi
Hari Sasangka, Lily Rosita dan August Hadiwijono, Op. cit., h.118.
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
47
Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing
terdakwa secara terpisah.”
Pemisahan berkas perkara (Splitsing) dilakukan oleh penuntut umum
dengan cara membuat berkas perkara baru.Dalam hal ini para tersangka dapat
menjadi saksi dalam pemeriksaan tersangka lain dalam suatu tindak pidana,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan baru baik terhadap saksi maupun
tersangka. Hal ini dilakukan untuk menguatkan dakwaan penuntut umum. Dalam
praktiknya seringkali suatu berkas hanya perlu digandakan dan sebagaian
tersangka dijadikan saksi terhadap tersangka lainnya. Tersangka tersebut harus
diperiksa lagi bukan sebagai tersangka tapi sebagai saksi bagi tersangka lainnya.
Dalam memecahkan berkas perkara (Splitsing) merupakan kebijaksanaan
penuntutan yang dilakukan penuntut umum berdasarkan kepada kepentingan
pemeriksaan semata-mata. Pemecahan berkas perkara (Splitsing) dilakukan
sehubungan dengan kurangnya saksi yang menguatkan dakwaan penuntut umum,
sedangkan saksi lain sulit diketemukan sehingga satu-satunya jalan adalah
mengajukan sesama tersangka sebagai saksi terhadap tersangka lainnya. 86 Untuk
itu haruslah diadakan penambahan pemeriksaan terhadap tersangka yang
dijadikan saksi. Pemeriksaan seperti ini dibenarkan oleh Mahkamah Agung dalam
putusannya No. 66K/Kr/1967 tanggal 25-10-1967 dalam perkara: MASBURO
DALIMUNTE,2.ABD.SANI,3.TOHIR MANURUNG.87
86
Ibid.,h.120-121.
Ibid.
87
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
48
Menurut komentar Pasal142 KUHAP yang ditulis M.Karjadi(Komisaris
Besar Polisi pnw) dan R.Soesilo(Ajun Komisaris Besar Polisi pnw,Bekas Dosen
AKABRI Bag. Kepolisian Sukabumi) menyatakan Pasal ini memuat tentang apa
yang biasa disebut “pemecahan” perkara pidana yaitu yang menentukan bahwa
apabila penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa
tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka maka penuntut
umum dapat “memecah” perkara tersebut, yaitu terhadap masing-masing terdakwa
dilakukan penuntutan yang terpisah.88Menurut catatan Pasal 142 KUHAP yang
ditulis Martiman Prodjohamidjojo, S.H. menyatakan penggabungan atau
pemisahan perkara, harus didasarkan kepada kepentingan pemeriksaan sematamata.
Kelemahan dari pemeriksaan pemecahan berkas perkara (Splitsing) adalah
sering mengakibatkan terjadinya keterangan palsu yang diatur dalam pasal 242
KUHP dikarenakan terdakwa yang menjadi saksi dalam pemeriksaan terdakwa
lainnya dalam suatu tindak pidana yang sama tidak ingin kejahatannya terbongkar
yang mengakibatkan terbuktinya dakwaan penuntut umum pada dirinya. Saksi
yang diajukan seperti tersebut diatas sering disebut sebagai saksi kunci atau saksi
mahkota atau kroongetuige.
Saksi kunci atau saksi mahkota atau kroongetuige tidak didefinisikan
secara jelas dalam KUHAP.Dalam alasan pemohon kasasi (kejaksaan) Putusan
88
M.Karjadi dan R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan
Penjelasan Resmi Dan Komentar (Serta Peraturan Pemerintah R.I. No.27 Tahun 1983 Tentang
Pelaksanaannya) , Bogor, Politeia, 1994, h.125.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
49
Mahkamah AgungNo. 2437 K/Pid.Sus/2011saksi mahkota didefinisikan sebagai
berikut:
Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP
mengenai Saksi mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspektif
empirik maka Saksi mahkota didefinisikan sebagai Saksi yang berasal
atau diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya
yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal
mana kepada Saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang
diberikan kepada Saksi yang berstatus Terdakwa tersebut adalah dalam
bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya
suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke
Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan.
Menurut Prof. DR. Loebby Loqman, S.H., M.H., dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan Saksi mahkota adalah kesaksian sesama
Terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.
Saksi kunci atau saksi mahkota atau kroongetuigetidak diatur secara tegas
dalam perundang-undangan Indonesia.Sehingga terjadi pertentangan di dunia
praktiknya.Menurutmantan Hakim Agung RI, Adi Andojo Soetjipto yang dalam
bukunya “Menyongsong dan Tunaikan Tugas Negara Sampai Akhir: Sebuah
Memoar” (hal. 167) menyatakan bahwa cara pembuktian dengan menggunakan
saksi mahkota (kroongetuige) tidaklah dibenarkan dan dilarang menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum.
Tentangan mengenai penggunaan saksi mahkota ini juga ditemui dalam
Yurisprudensi Mahkamah Agung No.1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 jo
No.1592 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 yang menyatakan bahwa pemeriksaan
terhadap saksi mahkota sebaiknya tidak dilakukan karena hal itu bertentangan
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
50
dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi
manusia.89
Sebaliknya,selain pemisahan berkas perkara,PU berwenang melakuan
penggabungan berkas perkara.Penggabungan berkas perkara (Voeging) adalah
penggabungan berkas perkara dalam melakukan penuntutan,Penggabungan berkas
perkara (Voeging) diatur dalam Pasal 141 KUHAP,yaitu
Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan
membuatnya dalam satu suratdakwaan, apabila pada waktu yang sama
atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:
a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan
kepentinganpemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap
penggabungannya;
b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;
c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang
lain, akantetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang
dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan
pemeriksaan.
Dalam penjelasan Pasal 141 huruf b KUHAP yang dimaksud dengan
“tindak pidana yang dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang
lain,apabila tindak pidana tersebut dilakukan:
1. Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat
yang bersamaan;
2. Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda,akan tetapi
merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat oleh
mereka sebelumnya;
3. Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan
digunakan untuk melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan
diri dari pemidanaan,karena tindak pidana lain.
Dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 141 huruf b KUHAP yaitu tindak
pidana yang dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang lain mengacu
Ilman Hadi, “Definisi Saksi Mahkota”, www.hukumonline.com , 25 mei 2012 ,
dikunjungi pada tanggal 13 oktober 2014.
89
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
51
dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.Dalam Pasal 55 KUHP terdapat pembuat (dader)
seperti mereka yang melakukan (plegen), menyuruh lakukan (doen plegen), dan
turut serta melakukan (made dader), serta menjanjikan atau memberikan sesuatu
(uit locking).Selain itu menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, ancaman atau
penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan dan sengaja
menganjurkan perbuatan.Dalam Pasal 56 meliputi membantu melakukan atau
pembantuan (medeplichtige), sengaja memberi bantuan pada waktu perbuatan
dilakukan,sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.
Mengacu dalam Pasal 141 KUHAP terdapat unsur perbarengan atau
concursus (samenloop).Perbarengan atau concursus (samenloop) dibedakan
menjadi 3 (tiga) macam.Dalam bukunya, Hari Sasangka,Lily Rosita,S.H.,August
Hadiwijono,S.H. menjelaskan 3 (tiga) macam perbarengan atau concursus
(samenloop) yaitu :
1. Endaadse samenloop/concursus idealis/perbarengan peraturan.
Yaitu dalam hal seseorang melakukan satu perbuatan, tetapi dengan
melakukan perbuatan tersebut, orang tersebut telah melanggar
beberapa peraturan pidana.Hal ini diatur dalam Pasal 63 KUHP.
2. Meerdaadse samenloop/concursus realis/perbarengan perbuatan
Yaitu dalam hal seseorang melakukan beberapa perbuatan-perbuatan
yang merupakan perbuatan sendiri-sendiri.
Didalam KUHP concursus realis dibedakan dalam:
a. Meerdaadse samenloop van misdrijven (perbarengan
perbuatan atas kejahatan) yang diatur dalam Pasal 65 dan
66 KUHP.
b. Meerdaadse samenloop van overtredingen (perbarengan
perbuatan atas pelanggaran)yang diatur dalam Pasal 70
KUHP.
3. Voorgezette handeling atau perbuatan berlanjut
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
52
Yaitu dalam hal seseorang melakukan beberapa perbuatan dan
beberapa perbuatan itu merupakan perbuatan pidana yang masingmasing berdiri sendiri-sendiri,akan tetapi perbuatan-pebuatan tersebut
ada hubungannya sedemikian rupa eratnya yang satu dengan yang
lain,sehingga beberapa perbuatan tersebut harus dianggap sebagai satu
berbuatan berlanjut.Hal ini diatur dalam Pasal 64 KUHP.90
Menurut komentar Pasal 141 KUHAP yang di tulis M.Karjadi (Komisaris
Besar Polisi pnw) dan R.Soesilo (Ajun Komisaris Besar Polisi pnw,Bekas Dosen
AKABRI Bag. Kepolisian Sukabumi) menyatakan penuntut umum menurut bunyi
pasal ini dapat mengadakan penggabungan beberapa berkas perkara menjadi satu
surat dakwaan apabila dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan ia
menerima beberapa berkas perkara tentang beberapa tindak pidana yang sama
atau yang bersangkut paut satu dengan yang lain, atau yang tidak,bersangkut-paut
satu dengan yang lain akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada
hubungannya,sedangkan penggabungan itu perlu untuk kelancaran pemeriksaan.91
Menurut Memorie van Toelichating (MvT) voorgezette handeling menurut
J.M. van Bummelen (Hermien Hadijati Koeswadji dan Woerjaningsih
1977:18) harus memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu:
1. Beberapa perbutan yang dilakukan seseorang itu harus timbul dari
satu kehendak yang terlarang;
2. Diantara perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu tidak boleh
melampaui jangka waktu yang lama;
3. Beberapa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu harus sama
jenisnya.
Menurut
Prof.
Simon
(Hermien
Hadijati
Koeswadji
dan
Woerjaningsih 1977:18) menentang penjelasan MvT ini,karena menurut Simons
90
91
Skripsi
Hari Sasangka, Lily Rosita dan August Hadiwijono, Op. cit, h.118-119.
M.Karjadi dan R.Soesilo, Loc. cit.
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
53
syarat yang ketiga adalah tidak tepat,menurut dia tidak perlu merupakan perbuatan
yang sejenis,sebab menurut simons,mungkin ada seseorang melakukan beberapa
perbuatan dan juga perbuatan-perbuatan itu timbul dari satu kehendak yang
terlarang dan masing-masing merupakan delik dan juga dilakukannya tidak dalam
waktu yang lama,namun perbuatan itu tidak sejenis.
Menurut Hari Sasangka,Lily Rosita,S.H.,August Hadiwijono,S.H. dalam
bukunya pun menjelaskan syarat-syarat umum untuk dilakukan penggabungan
penuntutan adalah :
1. Ada dua atau lebih tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang dilakukan;
2. Bahwa dua atau lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu
orang,atau lebih dalam hal penyertaan;
3. Bahwa dua atau lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili
dan penuntut umum berkeinginan untuk diadili sekaligus.92
Penggabungan berkas perkara (voeging) dilakukan sesuai dengan asas
cepat,sederhana dan biaya ringan yang mana merujuk pada Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Didalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia tidak tersirat secara tegas wewenang Penuntut Umum (PU) dalam
melakukan pemisahan berkas perkara (splitsing) maupun penggabungan berkas
perkara (voeging).Wewenang Penuntut Umum (PU) secara garis besar terlihat
dalam Pasal 1 huruf 2 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 yang mana “penuntut
umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.”
92
Skripsi
Hari Sasangka,Lily Rosita dan August Hadiwijono, Op. cit, h.120.
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
54
Terlihat secara lebih rinci dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 16
Tahun 2004 yang berisikan Tugas Dan Wewenang Kejaksaan di bidang
pidana.Yang berisikan:
Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas
bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan
penyidik.
Selain itu menurut Pasal 32 Undang-Undang No.16 Tahun 2004
menyebutkan “Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam UndangUndang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan
undang-undang.”Sehingga kewenangan Penuntut Umum (PU) dapat merujuk pada
kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang lain.Dalam hal ini UndangUndang No. 16 Tahun 2004 bersifat terbuka yang mana dapat melihat ketentuanketentuan dari undang-undang lain apabila Undang-Undang No. 16 Tahun 2004
sendiri tidak mengatur.Sehingga KUHAP lah yang lebih mengatur secara jelas
kewenangan Penuntut Umum (PU) dalam melakukan pemisahan berkas perkara
(splitsing) maupun penggabungan berkas perkara (voeging).
2.6. Fungsi Pemisahan Berkas Pekara (Splitsing) yang Dilakukan Oleh
Penuntut Umum Beserta Akibatnya
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
55
Pemisahan berkas perkara ( Splitsing ) yang diberikan kewenangan kepada
Penuntut Umum (PU) berdasarkan Pasal 142 KUHAP dilakukan dalam hal kasuskasus pidana yang tidak memiliki alat bukti yang cukup dalam proses
pembuktian.Terdapat beberapa pelaku yang melakukan satu perbuatan tindak
pidana maupun beberapa tindak pidana yang saling berhubungan.
Pemisahan berkas perkara (Splitsing) dilakukan oleh penuntut umum
dengan cara membuat berkas perkara baru. Dalam hal ini para tersangka dapat
menjadi saksi dalam pemeriksaan tersangka lain dalam suatu tindak pidana,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan baru baik terhadap saksi maupun
tersangka. Hal ini dilakukan untuk menguatkan dakwaan penuntut umum. Dalam
praktiknya seringkali suatu berkas hanya perlu digandakan dan sebagaian
tersangka dijadikan saksi terhadap tersangka lainnya. Tersangka tersebut harus
diperiksa lagi bukan sebagai tersangka tapi sebagai saksi bagi tersangka lainnya.
Dalam memecahkan berkas perkara (Splitsing) merupakan kebijaksanaan
penuntutan yang dilakukan penuntut umum berdasarkan kepada kepentingan
pemeriksaan semata-mata.Sehingga fungsi dari pemisahan berkas perkara
(Splitsing) adalah memunculkan saksi sebagai terdakwa kepada terdakwa lainnya
dalam satu tindak pidana atau beberapa tindak pidana yang saling berhubungan
dengan tujuan dapat membuka bukti-bukti di muka persidangan.Dalam hal ini,alat
bukti pun kurang sehingga dengan pemisahan berkas perkara (Splitsing) dapat
memunculkan alat bukti baru dikarenakan hanya saksi sebagai terdakwa lah yang
mengetahui tindak pidana tersebut.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
56
Akibat dari pemisahan berkas perkara (Splitsing) adalah dilakukan kembali
pemeriksaan baru baik terhadap saksi maupun tersangka. Hal ini dilakukan untuk
menguatkan dakwaan penuntut umum.Pemeriksaan dimulai kembali dari proses
pemeriksaan saksi-saksi pada proses penyelidikan hingga putusan akhir.Hal
tersebut dikarenakan para saksi dalam berkas satu tidak dapat disamakan dengan
berkas yang lain.Sehingga dalam pemisahan berkas perkara (Splitsing) dapat
memunculkan beberapa berkas perkara dan beberapa proses persidangan.
2.7. Masalah-Masalah Penerapan Pemisahan Berkas Perkara (Splitsing)
Penerapan Pemisahan berkas perkara (Splitsing) akan menimbulkan
beberapa permasalahan salah satunya adalah permasalahan penerapan hukum
yang dilakukan oleh para penegak hukum.Hakim seringkali bebeda pandangan
dalam hal melihat peran dari masing-masing terdakwa.Pandangan hakim
seringkali berbeda dalam menerapkan hukum dan memutus beberapa perkara
pidana yang di Splitsing.
Selain itu pun seolah-olah peran dari para pelaku pun menjadi
kabur.Unsur-unsur deelnemingnya bahkan akan menjadi tidak jelas apabila salah
memandang peran para pelaku.Padahal jika mengacu pada ketentuan Pasal 142
KUHAP, pemisahan perkara itu harus terdiri dari beberapa tindak pidana yang
berbeda. Namun dilakukan oleh beberapa orang dalam waktu yang sama.
Apalagi, biasanya ada terdakwa baru dalam kasus yang sama diajukan ke
pengadilan setelah ada putusan dengan terdakwa lain. Otomatis terdakwa baru itu
pasti dihukum. Sebab dalam putusan itu, terdakwa lama sudah dinyatakan
melakukan tindak pidana bersama-sama dengan terdakwa baru.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
57
Menurut ahli hukum acara pidana, Chairul Huda splitsing di Pengadilan
Tipikor tidak tepat. Bahkan bisa menutup siapa pelaku utamanya, tegasnya. Sebab
pemisahan perkara menyebabkan unsur penyertaan tidak terbukti. Pasalnya,
penentuan siapa pelaku (pleger) dan medepleger (turut serta) tidak jelas. Padahal,
unsur penyertaan itu harus dibuktikan karena itu merupakan unsur delik. Jika
tidak dibuktikan, berarti unsur dakwaan tidak terbukti.93
Hal senada juga disampaikan oleh Rudy Satrio, ahli hukum pidana
Universitas Indonesia. Ia menjelaskan splitsing dapat menyulitkan jaksa dalam
membuktikan hubungan pelaku satu dengan pelaku lainnya. Pasalnya, dalam
tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang otomatis diperlukan
pembuktian antara pelaku. Kalau perkaranya di-split bagaimana bisa mengetahui
hubungan antar pelaku, terangnya. Akibat penentuan kualitas deelneming
(penyertaan) yang tidak jelas mengakibatkan perbedaan penerapan hukum.
Padahal tidak mungkin terbukti unsur penyertaan jika tindak pidana yang
dilakukan berbeda.94
Chairul menerangkan semua atau salah satu unsur yang ada dalam
dakwaan harus dilaksanakan secara bersama-sama. Kalau dia didakwa sendiri
bagaimana membuktikan bersama-samanya, tandasnya. Terdakwa tunggal itu
tidak mungkin terbukti melakukan tindak pidana bersama-sama orang lain.
Inkonsitensi penerapan pasal menunjukan adanya dua delik yang berbeda. Padahal
93
Mon Ali, Splitsing Memungkinkan Pelanggaran Azas Hukum, www.hukumonline.com,
19 November 2007, h.1, dikunjungi pada tanggal 13 Januari 2015.
94
Ibid.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
58
didakwa melakukan deelneming. Menunjukan ketidaktepatan dalam menerapkan
pasal, terangnya.95
Dalam sub bab ini telah dijabarkan pemisahan dan penggabungan berkas
perkara oleh Penuntut Umum(PU).Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa
Penuntut Umum (PU) berwenang dalam melakukan pemisahan dan penggabungan
berkas perkara yang diatur dalam Pasal 141 dan 142 KUHAP.Dalam praktiknya
Penuntut Umum dapat melakukan pemisahan dan penggabungan berkas perkara
demi kelancaran pemeriksaan dalam persidangan.
Dalam melakukan pemisahan berkas perkara (Splitsing) merupakan
kebijaksanaan penuntutan yang dilakukan penuntut umum berdasarkan kepada
kepentingan pemeriksaan semata-mata.Didalam Undang-Undang No.16 Tahun
2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak tersirat secara tegas wewenang
Penuntut
Umum
(PU)
dalam
melakukan
pemisahan
berkas
perkara
(Splitsing).Namun sesuai dengan Pasal 32 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004
yang mana di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang
No. 16 Tahun 2004 kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain
berdasarkan undang-undang.
95
Skripsi
Ibid.
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
Download