TINJAUAN PUSTAKA Perdagangan Internasional Perdagangan Internasional secara teori membahas hubungan ekonomi antar negara di dunia yang merupakan refleksi dari munculnya saling ketergantungan (interdependence) antara satu negara dengan negara laimya karena adanya perbedaan dalam memiliki dan mengakses faktor-faktor produltsi (resources) yang dibutuhkan. Suatu negara mungkin memiliki sumber daya alan yang melimpah tetapi tidak memiliki teknologi dan modal untuk memprosesnya, sebaliknya negara lainnya miskin SDA tetapi memiliki teknologi yang manpu menjadikan SDA tersebut lebih dekat pada penggunaan akhir dan memiliki nilai guna yang lebih tinggi (Salvatore, et.al., 1990). Perdagangan internasional secara prinsip seharusnya mendatangkan manfaat dan keuntungan (mutual gaining) bagi semua pihak yang melakukan pertukaran. Prinsip ini pula yang melatarbelakangi mengapa suatu negara melakukan perdagangan dengan negara lain. Walaupun kedua pihak memperoleh keuntungan, tetapi persoalannya adalah pihak mana yang paling diuntungkan (who is gaining the most from the trade). Teori-teori perdagangan hampir seluruhnya memusatkan perhatian pada persoalan pola perdagangan internasional yang dapat berbeda dan bergeser karena perbedaan dalam memiliki dan mengakses faktor-faktor produksi. Masalah ini pula yang menjadi agenda pembahasan terpenting pada organisasi perdagangan dunia WTO, yang menyangkut rasa keadilan Cfairness) terutama antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang dalam ha1 kepemilikan faktor produksi. Teori perdagangan internasional sesungguhnya bisa pula diterapkan untuk perdagangan antar daerah, lebih-lebih pada era otonomi daerah sekarang ini. Namun dalam prakteknya, masalah yang dihadapi lebih kompleks karena menyangkut pula adanya ~erbedaantingkat kebebasan berdagang dibanding perdagangan antar negara. Dalam perdagangan antar daerah, sering terjadi intervensi karena adanya alasan kepentingan nasional yang tinggi, adanya perizinan yang masih dikuasai oleh Pemerintah Pusat, serta hambatan-hambatan lainnya. Pada awalnya, perdagangan intemasional terjadi karena masing-masing negara berkepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya dengan mengambil keuntungan sebesar-besamya dari hubungan perdagangan tersebut. Pandangan Merkantilis yang populer pada abad 16-18 di Eropa Barat, menyatakan bahwa yang terpenting bagi suatu negara adalah upaya untuk menjadi kaya dan berkuasa dengan mendorong ekspor sebesar-besarnya dan mengimpor sekecil-kecilnya, melalui proteksi setiap produk dalam negeri. Keuntungan (surplus) perdagangan yang besar dipakai untuk menguasai emas dan logam mulia lainnya sebagai simbol kekuasaan. Dalam hukum perdagangan, setiap negara yang menikmati surplus perdagangan (net-ekspor) tentu diperoleh melalui pengorbanan negara lain (net-impor). Bila prinsip ini yang dipahami oleh setiap negara, tentu tidak akan ada perdagangan antar negara, karena siapapun tidak mau dirugikan. Di lain pihak, negara-negara yang cenderung selalu mengimpor (importing country) akan dihadapkan pada suatu pertanyaan, apakah sudah waktunya memproduksi sendiri untuk barang-barang yang selama ini diimpor. Diyakini bahwa dengan memproduksi sendiri, akan tercipta kegiatan ekonomi dan lapangan kerja di dalam negeri sekaligus mengurangi ketergantungan impor. Persoalannya adalah bila suatu negara tidak memiliki faktor produksi (endowmenij yang dibutuhkan, upaya memproduksi sendiri suatu barang hanya menyebabkan pergeseran ketergantungan luar negeri dari barang jadi ke bahan baku dan teknologi. Ini banyak dialami oleh negara-negara berkembang seperti juga kasus Indonesia ketika memulai industrialisasinya melalui kebijakan substitusi impor. Dengan kata lain, tidak ada kemajuan berarti yang dicapai oleh negara-negara berkembang dalam menghadapi dominasi ekonomi negara-negara maju. Perdagangan internasional tidak sekadar berarti pertukaran barang dari suatu negara ke negara lainnya. Akan banyak faktor dan variabel yang terlibat dalam pertukaran ini seperti mata uang dan nilai tukarnya, tarr& transportasi, selera dan image, bahkan terkait dengan kebijakan investasi (seperti PMA dan PMDN) yang dilakukan sebelumnya. Masing-masing variabel ini berpeluang dapat mendorong dan menghambat volume perdagangan intemasional, tergantung kebijakan yang dijalankan oleh negara bersangkutan. Analisis perdagangan intemasional akan berhubungan dengan variabel-variabel diatas, baik secara individual maupun simultan. Khusus dalam kajian ini akan dibahas hubungan antara kebijakan tariff dengan volume perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN lainnya dalam kerangka agenda perdagangan bebas kawasan ASEAN (AFTA). Dalam perkembangannya sekarang ini, perdagangan intemasional tidak saja terkait dengan ekspor dan impor barang, tetapi lebih luas lagi menyangkut masalah investasi, ekspor d m impor jasa, dan pariwisata. Jadi perdagangan internasional mendiskusikan pula berbagai aspek dalam hubungan ekonomi antar negara (bilateral dan multilateral), sehingga disebut juga ekonomi intemasional, yang tentunya akan melibatkan variabel-variabel yang semakin banyak dan beragam. Semangat dalam menciptakan perdagangan dunia yang sehat dalam nuansa pasar bebas, mulai dikotori oleh kepentingan-kepentingan non-ekonomi sepcrti kepentingan politik, isu mengenai hak azasi manusia (HAM), lingkungan hidup, bahkan masalah non-ekonomi tersebut seringkali lebih menonjol daripada ekonominya sendiri. Negara-negara yang kuat ekonominya seperti Amerika Serikat selalu memberikan kemudahan ekspor pada negara-negara yang mempunyai pandangan politik yang sama. Sebaliknya negara yang rentan seperti Indonesia malah sering mengalami kesulitan ekspor karena dihadang persoalan-persoalan lingkungan hidup, HAM, eksploitasi buruh, sekalipun memiliki pandangan politik yang tidak bertentangan dengan negara adidaya tersebut. Kedepan, prospek perdagangan suatu negara dalam era perdagangan bebas akan lebih sulit dikaji karena terlalu banyakrrya faktor-faktor non ekonomi yang terlibat atau dilibatkan dan sesungguhnya memiliki " uncertainty " yang tinggi. Kcunggulan Absolut, Keunggulan Komparatif dan Teori Hccltscher-Ohlin (H-0) Kcunggulan Absolut dan Manfaat Perdagangan Internasional David Ricardo, pada awal abad ke-19 mempunyai pelnikiran bahwa perdagangan internasional hams memberi manfaat dan keuntungan bagi kedua negara bempa peningkatan kesejahteraan masing-masing. Ini merupakan koreksi atas pemikiran kelompok Merkantilis pada abad 16-18 di Eropa Barat yang mengutamakan tercapainya dominasi suatu negara terhadap negara lain dengan memaksimalkan ekspor dan meminimalkan impor. Ricardo bukan orang pertama yang menentang keortodokan kaum Merkantilis. Dalam bukunya Wealth of Nations (1 776). Adam Smith mengemukakan bahwa suatu negara dapat mengkonsentrasikan untuk menghasilkan suatu barang saja, dan menjual sebagiannya untuk memperoleh barang lainnya, dan tidak perlu ada kekhawatiran atas perdagangan yang mereka lakukan. Manfaat dari adanya perdagangan internasional, akan berkaitan dengan keunggulan absolut yang dimiliki oleh masing-masing negara. Dalam pemahaman umum, keunggulan absolut suatu negara terjadi apabila untuk satu unit (kombinasi) masukan yang sama, negara tersebut dapat menghasilkan suatu barang dalam jumlah yang lebih banyak. Gambar 1 berikut ini mengilustrasikan terdapatnya keunggulan absolut pada dua negara. Q-Furniture I INDONESIA Q-Furniture MALAYSIA Gambar 1. Keunggulan Absolut Dua Negara dan Manfaat Perdagangan Pada awalnya, untuk setiap satu satuan masukan, Indonesia dapat menghasilkan 50 set furniture atau 25 unit mobil atau kombinasi keduanya disepanjang garis produksi, sedangkan Malaysia dapat menghasilkan 40 set furniture atau 100 unit mobil atau juga kornbinasi keduanya. Dengan demikian perbandingan relatif kedua barang tersebut di Indonesia adalah % mobil untuk setiap furniture dan di Malaysia 2% mobil untuk setiap furniture. Ini berarti Indonesia mempunyai keunggulan absolut dalam menghasilkan furniture dan Malaysia dalam menghasilkan mobil. Sebelurn ada perdagangan antara kedua negara, tingkat konsumsi di Indonesia adalah 20 fumiture dan 15 mobil (titik So) dan di Malaysia 12 furniture dan 70 mobil, yang tentunya dibatasi oleh kemampuan kedua negara dalam menghasilkan kombinasi kedua barang tersebut. Apabila biaya transport antara kedua negara sangat rendah (katakan 0), eksportir Indonesia cenderung ingin rnengapalkan sebagian furniture ke Malaysia karena akan memperoleh jumlah mobil yang lebih banyak. Artinya dengan mengekspor furniture ke Malaysia akan ada peluang penambahan konsumsi mobil di Indonesia. Sebaliknya, Malaysia akan mempunyai pemikiran yang sanla untuk mengekspor mobilnya, karena akan memperoleh jumlah furniture Indonesia yang lebih banyak. Dengan memperhatikan rasio perdagangan harga di kedua negara antara fumiture dan mobil maka range harga fumiture akan berada antara % dan 2% harga mobil. Apabila terjadi perdagangan antara kedua negara dan harga keseimbangan intemasional yang tercapai adalah harga satu furniture sama dengan harga satu mobil, maka ada kecenderungan kedua negara akan menamball konsumsinya'. Dengan demikian maka keunggulan absolut masing-masing negara akan memberi rangsangan pada penambahan konsumsi bila dapat dimanfaatkan melalui perdagangan intemasional. Manfaat kedua dari perdagangan internasional adalah baik Indonesia maupun Malaysia dapat mengkhususkan diri untuk rnemproduksi satu barang saja yang mempunyai keunggulan absolut, dan rnengekspor kelebihan barang yang tidak dikonsumsi. Sedangkan kebutuhan barang yang tidak diproduksi sendiri seluruhnya dipenuhi dari impor. Dalam ha1 ini, Indonesia hanya memproduksi furniture (50 set) dan Malaysia hanya memproduksi mobil (100 unit), sedangkan kebutuhan mobil untuk Indonesia dan furniture untuk Malaysia dipenuhi seluruhnya dari irnpor. Bila kebijakan ini terjadi di kedua negara, maka konsumsi di kedua negara akan ' Harga keseimbangan internasional untuk fimiture akan berada antara % dan 2% harga mobil. Apabila harga furniture di bawah % harga mobil, Indonesia tentu tidak akan melepas furniturenya untuk memperoleh mobil dari Malaysia karena harganya lebih mahal dibanding harga domestik. Demikian juga bila harga furniture diatas 2% harga mobil, Malaysia tentu juga akan berkeberatatr. bergerak naik menuju titik C. Konsumsi furniture di Indonesia naik lnenjadi 30 set dan mengekspor ke Malaysia sisanya untuk memperoleh 20 unit mobil. Sedangkan konsumsi mobil di Malaysia naik menjadi 80 unit dan mengekspor sisanya ke Indonesia untuk memperoleh 20 set furniture. Dari uraian di atas, jelas babwa perdagangan intemasional (bilateral) bila dilakukan secara adil dengan dukungan informasi yang memadai akan memberi keuntungan dan manfaat bagi kedua negara. Negara yang kurang menguasai informasi dari dinamika pasar intemasional akan kehilangan peluang dalam memperluas pasar ekspornya dan mudah dicurigai oleh pesaingnya ataupun negara mitra dagangnya. Keunggulan Komparatif dan Manfaat Perdagangan Internasional Berdasarkan pemahaman mengenai Keunggulan Absolut, kemudian Ricardo mengembangkan pemikiran barn mengenai Keunggulan Komparatif. Dasar pemikiran tersebut adalah bahwa perdagangan intemasional tetap akan memberikan manfaat pada suatu negara, sekalipun negara bersangkutan tidak memiliki keunggulan absolut apapun, sepanjang masih ada perbedaan rasio harga antara dua barang di negaranegara yang berdagang. Dengan demikian suatu "Hukum Keunggulan Komparatif" menyatakan bahwa setiap negara memiliki keunggulan komparatif dalam suatu barang dan akan memperolell manfaat dengan memperdagangkannya untuk ditukar dengan barang lain2. Keunggulan komparatif hanya dapat terjadi bila ada kemampuan untuk menemukan barang-barang yang diproduksi pada tingkat ketidakunggulan relatif lebih rendah daripada barang-barang lainnya, sebelurn dimulainya perdagangan antara dua negara. Penjelasan mengenai manfaat keunggulan komparatif, selanjutnya diberikan pada Gambar 2. Katakan, Malaysia dengan berbagai upaya mampu meningkatkan produksi furniture per satu satuan masukan menjadi 67 set (sebelumnya hanya 40 set, Gambar I), sehingga untuk jenis barang ini Malaysia merebut keunggulan absolut yang sebelumnya dimiliki Indonesia. Dalam ha1 ini Indonesia tetap hanya mampu memproduksi 50 set furniture. Konsumsi awal di Indonesia (sebelum ada perdagangan internasional) tetap tidak berubah yaitu 20 set furniture dan 15 unit mobil, sedangkan di Malaysia dengan adanya perbaikan produksi meningkat menjadi 16 set furniture dan 76 unit mobil. -- . MALAYSIA ~ e f ~ a t u arnasukan n Per saluan rnasukd: Gambar 2. Keunggulan Komparatif Dua Negara dan Manfaat Perdagangan Walaupun Indonesia tidak memiliki satupun keunggulan absolut terhadap Malaysia, tetapi sebenarnya memiliki keunggulan komparatif untuk furniture. Ini ditunjukkan oleh rasio perbandingan harga furniture di Indonesia sebesar % harga mobil, sedangkan di Malaysia 1% harga mobil. Bila terjadi perdagangan internasional, Indonesia tetap dapat n~engambilmanfaat dengan mengekspor furniture yang memiliki keunggulan komparatif dan mengimpor mobil yang tidak memiliki keunggulan komparatif, dengan harga relatif internasional, katakan, 1 set furniture = 1 unit mobi13. Keunggulan komparatif juga masih dapat digunakan sebagai alasan bkgi masing-masing negara untuk mengkhususkan diri dalam memproduksi satu jenis barang saja. Indonesia hanya memproduksi furniture 50 set dan Malaysia hanya memproduksi mobil 100 unit masing-masing pada titik SI. Dengan terjadinya perdagangan intemasional dan harga relatif internasional seperti disebutkan diatas, kedua negara masih dapat mengambil manfaat yang ditunjukkan oleh peningkatan konsumsi di Indonesia menjadi 30 set furniture dan 20 unit mobil dan di Malaysia menjadi 20 set furniture dan 80 unit rnobil. Kondisi peningkatan konsumsi ini sama dengan kondisi ketika kedua negara masing-masing mempunyai keunggulan absolut pada barang yang berbeda. Dengan demikian, perdagangan internasional sesungguhnya tidak mengenal adanya kelompok negara superior yang mendominasi perekonomian negara-negara inferior. Teori Heckscher-Ohlin (H-0) dalam Konteks Perdagangan Internasional Dasar teori ini adalah (I) adanya perbedaan antar negara dalam ha1 memiliki faktor produksi--suatu negara memiliki suatu faktor produksi yang melimpah Ricardo juga memberikan contoh lain mengenai manfaat perdagangan intemasional dalam konteks keunggulan komparatif dengan menggunakan instmmen uang sebagai alat transaksi intemasional, disamping ilustrasi pertukaran barang secara langsung. 19 sedangkan negara lainnya langka dan (2) adanya perbedaan biaya kotnparatif dalam penggunaan faktor produksi-negara yang memiliki faktor produksi melimpah cenderung memiliki biaya relatif lebih kecil untuk faktor produksi tersebut4. Dengan demikian, komoditi-komoditi yang dalam produksinya memerlukan kombinasi faktor produksi melimpah lebih banyak (dalam proporsi) dibanding faktor produksi langka, sebaiknya diekspor untuk ditukar dengan komoditi impor yang memiliki kombinasi sebaliknya. Dengan kata lain, suatu negara sebaiknya mengekspor komoditi yang menggunakan faktor produksi melimpah dan mengimpor komoditi lain yang menggunakan faktor produksi langka5. Namun demikian, ekspor maupun impor untuk komoditi-komoditi tersebut hanya dapat dilakukan bila penggunaan faktor produksi telab dilakukan secara intensif. Lebih lanjut, perbedaan dalam memiliki faktor-faktor produksi ini telah membentuk pola perdagangan intemasional yang berlangsung hingga kini. Dalam kasus Indonesia, ada dua faktor produksi yang dapat dikatakan melimpah yaitu sumber daya alam seperti minyak bumi, gas alam, pertambangan lainnya, perikanan dan kehutanan serta tenaga kerja. Dalam kaitan ini, Indonesia mencatat memiliki intensifikasi tinggi dalam memproduksi LNG berbasis sumber daya alam dan tekstil & elektronika yang berbasis tenaga kerja. Dibandingkan Malaysia misalnya, Indonesia memiliki intensitas faktor produksi lebih tinggi untuk LNG, tetapi tidak lebih tinggi untuk elektronika dan seharusnya medorong Teori ini dikembangkan oleh Eli Heckscher, seorang ahli sejarah ekonomi herkebangsaan Swedia, 1919 yang kemudian disempurnakan oleh anak didiknya sendiri, Bertil Ohlin, 1930 (Kindleberger, International Economics, 1986, Eighth edition). Teori Heckscher-Ohlin dalam kesempatan lain juga dapat diterapkan dalam perdagangan antar daerah, terutama pada daerah-daerah yang memiliki karunia sumber daya alam (endowment) berbeda-beda (Bressler & King, Markets, Prices and Interregional Trade, 1970). spesialisasi produksi yang berbeda di kedua negara seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Dalam ha1 ini, Indonesia lebih berpeluang mengekspor LNGnya (secara relatif diband~ngelektronika) karena intensitasnya lebih tinggi, sedangkan Malaysia lebih berpeluang mengekspor produk elektronikanya. Garisfkurva kemungkinan produksi yang berbeda antara Indonesia dan Malaysia menunjukkan adanya skala ekonomi yang berbeda antara kedua negara, serta adanya pola intensitas penggunaan faktor produksi yang berbeda pula. Keraguan terhadap teori Heckscher-Ohlin mulai muncul dengan terjadlnya pola perdagangan yang bergeser secara signifikan, terutama pasca perang dunia kedua. Paling tidak ada dua fenomena empiris yang menunjukkan keraguan ini : 1. Semakin tinggi dan meningkatnya pangsa perdagangan internasional yang terjadi antar negara-negara maju berpenghasilan tinggi, terutama antar negara di Eropa Barat dan Amerika Utara. Sebelum perang, perdagangan antara negara-negara berkembang yang kaya sumber daya alam dengan negara-negara maju yang memiliki modal dan teknologi lebih mendominasi perdagangan intemasional, sesuai teori H-0. 2. Semakin tinggi dan meningkatnya pangsa perdagangan intemasional untuk barang-barang sejenis dalam perdagangan dua arah. Artinya dua negara samasama mengekspor dan mengimpor jenis barang yang sama. Untuk perdagangan intra-ASEAN misalnya, setiap negara melakukan ekspor dan impor produk elektronika dalam pangsa yang besar (lihat pembahasan kasus ini pada bagian berikutnya dalam tesis ini). - (Per satuan masukan) Gambar 3. Kurva Kemungkinan Produksi Dua Negara dengan Intensitas Faktor Produksi Berbeda Keraguan terhadap teori Heckscher-Ohlin semakin tampak bila dibandingkan dengan teori-teori lain berlatarbelakang perdagangan intemasional, baik yang ada pada zamannya rnaupun yang muncul seteiah itu. Leontief Paradox merupakan salah satu bukti kuat yang mernatahkan keyakinan terhadap teori ini. Amerika Serikat, menurut Leontief, bukan merupakan negara eksportir barang-barang padat modal, tetapi juga bukan negara importir barang-barang padat tenaga kerja. Model Ricardian menunjukkan bahwa pola perdagangan intemasional lebih banyak dipengaruhi ole11 perbedaan internasional pada teknologi daripada perbedaan kekayaan sumber daya Teori-teori altematif mengenai perdagangan intemasional dibahas oleh Hemanto Siregar dalam tulisan berjudul : Alternative Theories of inlernational Trade and Their Empirical Manfaat Perdagangan Internasional Dalam Konteks Kurva Penawaran dan Permintaan Pemikiran awal terjadinya perdagangan internasional adalah karena adanya perbedaan harga komoditi di masing-masing negara. Perbedaan harga ini disebabkan Pasar Kain Amerika 14arga Pasar Kain ln~ernasional Harp (USSI (US$) Gambar 4. Pasar Kain Indonesia I-lnrga (US$) Manfaat Perdagangan Internasional dan Kurva Penawaran & Permintaan Dua Negara oleh adanya perbedaan pada faktor-faktor pembentuk harga didalam negeri seperti tingkat biaya produksi, jumlah produksi dan konsumsi. Negara-negara yang memiliki tingkat harga komoditi lebih rendah dibanding di negara lain serta memiliki ekses Support/Rejection :Is the Comparative Advantage Theory Obselete?, dalam Mimbar Sosek, IPB, Desember 2000. Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa tidak ada satupun teori yang mampu menjelaskan semua isu perdagangan. Masing-masing teori hanya mampu menjelaskan satu-dua isu berdasarkan sejumlah asumsi. produksi (produksi>konsumsi) akan berpeluang mengekspor barangnya dan mengambil manfaat dari perdagangan internasional. Demikian juga negara yang tingkat harganya lebih tinggi dan memiliki ekses konsumsi cenderung akan mengimpor barang tersebut dan juga mengambil manfaat dari perdagangan ini. Gambar 4 mengilustrasikan manfaat perdagangan internasional bagi dua negara dikaitkan dengan kuwa penawaran dan permintaaan masing-masing negara, dengan mengarnbil contoh Amerika Serikat dan Indonesia. Sebelum berlangsung perdagangan internasional, keseimbangan penawaran dan pemintaan kain di Arnerika Serikat terjadi pada tingkat harga 2 US$ dan tingkat konsumsi = produksi = 40. Sedangkan di Indonesia terjadi pada tingkat harga yang lebih rendah sebesar 0,8 US$ dan tingkat konsumsi = produksi = 60. Kondisi harga di kedua negara yang berbeda menyebabkan tejadinya dorongan bagi Indonesia untuk mengekspor kain ke Amerika Serikat dan dorongan bagi Amerika untuk mengimpornya. Katakan harga kain intemasional yang terbentuk adalah 1 US$'. Karena harga kain domestik di Arnerika lebih tinggi dari harga intemasional, maka Amerika cenderung mengimpor kain dan menggeser pola produksi maupun konsumsinya. Dengan perdagangan intemasional, Amerika menambah konsumsi menjadi 60 dan mengurangi produksi menjadi 20, dan selisihnya dipenuhi dari impor sebesar 40. Untuk Indonesia, karena harga domestik lebih rendah dari harga intemasional, berpeluang untuk mengekspor kainnya. Indonesia mengurangi ' Seperti telah disinggung sebelumnya harga intemasional akan terbentuk diantara harga terendah (0,s US$) dan harga tertinggi (2,O US$). Diluar range kedua barga tersebut tidak akan terjadi perdagangan intemasional. Berapa tepatnya tingkat harga intemasional akan dipengaruhi oleh seberapa besar kekuatan ekspor dan impor yang terjadi pada pasar intemasional. konsumsinya menjadi 40 dan menambah produksi menjadi 80, dan kelebihan produksi sebesar 40 diekspor ke Amerika. 2. Ada dua aspek yang perlu diungkapkan dari berlangsungnya perdagangan internasional antara Amerika Serikat dan Indonesia, yaitu : (1) tercapainya keseimbangan pada pasar intemasional, dengan tingkat harga sebesar 1 US$ dan tingkat ekspor Indonesia = impor Amerika = 40, dan (2) bagi negara pengimpor, manfaat perdagangan akan diterima oleh konsumen karena harga yang dibayar lebih rendah sehingga dapat menambah konsumsi, sebaliknya untuk produsen akan memperoleh kemgian karena hams menjual dengan harga lebih rendah sehingga hams mengurangi produksi. Bagi negara pengekspor berlaku efek yang sebaliknya. Masalah Tarif Dalam Perdagangan Internasional Ada dua variabel yang sering menjadi momok dalarn kegiatan perdagangan intemasional, khususnya bagi negara yang ingin memperluas pasar ekspomya, (1) t a r 8 yang berhubungan dengan pengenaan pajak dan bea masuk pada barang yang diimpor dan (2) nun-tar& berhubungan dengan pembatasan impor melalui instrumen-instrumen non-ekonomi seperti masalah politik, HAM, lingkungan hidup dan sejenisnya. Dalam era perdagangan bebas sekarang ini, hampir semua negara mempunyai komitmen untuk bersama-sama menurunkan tarzff sekaligus membuka pasar dalam negerinya, namun sekaitan dengan itu persoalan nun-tarzff semakin besar dan menonjol, sehingga pada akhimya praktek proteksi produk sendiri tems berlangsung melalui kebijakan non-tarzff 25 Kebijakan tariff yang dipraktekkan oleh sejumlah negara secara umum akan merugikan dan ITIenuruIIkan kesejahteraan baik negara bersangkutan maupun negara mitra dagangnya. Pada hampir semua kasus perdagangan bcbas. kebijakan tarifpada akhimya selalu menurunkan aktivitas ekonomi dan kesejahteraan dan ini berlaku baik pada konsumen, produsen bahkan pada penerimaan negara sendiri. Sebaliknya kebijakan penghapusan (pengurangan) tariff pada barang impor akan memberi peluang lebih besar pada konsumen untuk memperoleh surplus (surplus konsumen). Berikut ini adalah suatu analisis mengenai efek pengurangan tariff pada konsumen, produsen dan penerimaan negara, seperti diilustrasikan pada Gambar 5. Gambar 5. a. Dampak Penurunan Tariff Pada Konsumen, Produsen dan Penerimaan Negara Pada tingkat harga dunia (Po), produsen hanya dapat menyediakan barang sebesar Qo karena harga terlalu murah, sementara kebutuhan konsurnen sangat tinggi sebesar Qs, sehingga diperlukan impor sebesar Qs-Qo. b. Untuk melindungi produsen dalam negeri serta meningkatkan pendapatan negara dari rarzff (bea masuk), maka terhadap barang impor dikenakan ~arfff sebesar r %, sehingga harga dalam negeri meningkat menjadi PI. I'ada tingkat harga ini, konsumen terpaksa mengurangi konsumsinya menjadi Q j (berkurang Qs-Q3) sedangkan produsen mampu menambah produksinya menjadi Q2 (bertambah Q2-Qo)dan impor yang diperlukan berkurang menjadi Q3-Q2. c. Selanjutnya pada tingkat harga P I diatas, temyata konsumen sangat dirugikan (kehilangan surplus) sebesar luas bidang a + b + c + d + e + f + g + 11 + i + j, produsen memperoleh surplus sebesar bidang b + f + g dan pemerintah memperoleh pendapatan sebesar c + h. Dengan demikian suatu kebijakan rarrff telah menciptakan efek pada kemgian total sebesar a + d + e + i + j. d. Untuk memenuhi komitmen terhadap perdagangan bebas dengan menghilangkan tariff secara bertahap, pemerintah kemudian menumnkan tingkat tarzff dari r % menjadi %r % sehingga harga turun menjadi P2. Pada tingkat harga ini, konsumen kembali bergairah menambah konsumsinya menjadi Q4 (bertambah Q4-Q3), sedangkan produsen terpaksa mengurangi produksinya menjadi QI (berkurang Q2-Ql) dan impor bertambah menjadi Q4QI. e. Selanjutnya pada tingkat harga sebesar luas bidang a P2 diatas, konsumen memperoleh surplus + b + c + d, sebaliknya produsen dirugikan sebesar b. Adapun untuk pendapatan pemerintah terjadi pergeseran dari c + h menjadi g + h + i, artinya pemerintah kehilangan pendapatan sebesar c akibat penurunan targff tetapi memperoleh tambahan sebesar g +i akibat jumlah yang diimpor bertambah. Apakah pendapatan pemerintah bertambah akibat penurunan tar@ ini, akan tergantung pada besaran c dibanding g + i. Secara keselumhan. kebijakan penurunan tarzfJ telah menciptakan surplus total bagi konsumen, produsen dan pemerintah sebesar a + d + g + i. f. Berdasarkan analisis teori diatas, maka kebijakan penurunan targf bagi barangbarang impor dalam semangat perdagangan bebas akan memberi manfaat total bagi kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan ini pula kemudian dikembangkan asumsi-asumsi yang mendasari penerapan metodologi dalam studi ini. Disamping masalah tariff yang mempengaruhi intensitas perdagangan intemasional, sebenarnya ada pula faktor lain yang patut diperhitungkan yaitu biaya transportasi (transportation cost)*. Faktor jarak antara dua negara dan biaya transportasi yang ditimbulkan sebenarnya tidak saja menentukan/mempengaruhi volume perdagangan tetapi juga pola perdagangan, struktur industri berorientasi ekspor, harga-harga faktor produksi, serta tingkat kedekatan hubungan perdagangan. Dalam banyak kasus, suatu negara yang memiliki keunggulan komparatif bahkan keunggulan absolut atas suatu barang tetap tidak mampu melakukan ekspomya secara kompetitif karena biaya transportasi yang tinggi dan dukungan infra-struktur transpor yang kurang memadai9. Biaya transpor yang dikeluarkan oleh banyak negara 9 Teori ini mengenai transportasi dalam konteks ruang dapat dikaitkan dengan Von Thunen Model of Landrent. Biaya transportasi yang rendah akan meningkatkan aksesibilitas komoditi suatu negara memasuki kawasan negara lain dan menjadikan mobilitas komoditi tersebut dalam ruang negara lain menjadi semakin luas. Dalam pembahasan tesis ini, faktor transportasi hanya disinggung secara kualitatif. Masalah ini dibahas secara khusus oleh Anthony J. Venables dan Nuno Lilnao dalam paper, Geographrcal Disadvantage : A Hecksclier-Ohlin-Yon Thunen Model of International Specialisation, 1999. berkembang untuk mengekspor produknya dapat berlipat kali dibanding biaya transpor untuk produk sejenis di negara-negara maju. Contoh lain, negara-negara yang tidak memiliki batas laut (landlocked countries) mempunyai biaya transpor lebih tinggi dibanding negara-negara yang memiliki pelabuhan laut (coastal countries). Dalam kasus Indonesia, biaya transpor (shipping cost) juga menjadi masalah serius yang berpotensi pada penurunan daya saing produk yang diekspor serta berimplikasi pada semakin meningkatnya ekspor Indonesia melalui negara ketiga. Pada awalnya, ha1 ini terjadi karena volume ekspor Indonesia untuk sejumiah komoditi tertentu terutama ke Eropa Barat kurang efisien untuk diangkut satu kapal besar dan menyebabkan satuan biaya shipping menjadi mahal. Untuk tetap dapat mengekspor, terpaksa ekspor dilakukan melalui negara ketiga, yaitu Singapura sebagai economic center. Di Singapura, barang-barang Indonesia (mungkin bersarnasama dengan barang-barang dari negara lainnya) dikemas kembali untuk dikapalkan (transhipment) ke negara tujuan akhir. Jadi Singapura banyak mengambil keuntungan dari jasa perdagangan akibat persoalan biaya shipping yang dihadapi Indonesia dalam mengekspor barangnya. Dari penjelasan di atas, dapat dibuktikan kembali bahwa Teori I-Ieckscher-Ohlin mengenai faktor endowment dan intensitas faktor produksi belum cukup memadai untuk memprediksi pola perdagangan suatu negara, karena akan tergantung pula pada lokasi negara bersangkutan terhadap economic center-nya serta intensitas transportasi untuk barang-barang yang diperdagangkan. Konsep Ekspor dan Impor Barang Berdasarkan konsep dan definisi mengenai international merchandise trade statistics (United Nations, 1998), pemahaman ekspor dan impor barang dan praktek penyediaan informasinya yang berlaku umum diselumh dunia adalah sebagai berikut: a. Ekspor Barang Adalah seluruh barang yang dibawa keluar dari wilayah suatu negara, baik bersifat komersial maupun bukan komersial (barang hibah, sumbangan, hadiah), termasuk barang bergerak seperti : kapal laut, pesawat udara, satelit, serta barang yang akan diolah di luar negeri yang hasilnya dimasukkan kembali ke negara ini. Tidak termasuk dalam catatan ekspor adalah : (1) pakaian, barang pribadi dan perhiasan milik penurnpang yang bepergian ke luar negeri, (2) barang-barang yang dikirim untuk perwakilan negara tersebut di luar negeri, (3) barang untuk eksibisilpameran, (4) peti kemas untuk diisi kembali, (5) uang dan surat-surat berharga, (6) barang-barang contohlsampel, dan (7) barang-barang yang dikirim ke luar negeri untuk diperbaiki. b. Impor Barang Adalah seluruh barang yang masuk ke dalam wilayah suatu negara (custonz area), baik bersifat komersial maupun bukan komersial, termasuk barang-barang bergerak seperti telah disebutkan diatas. Seperti pada ekspor, impor juga tidak mencakup 7 kategori barang seperti disebutkan diatas. c. Sistem Pencatatan Barang Untuk ekspor, diberlakukan sistem perdagangan umum (general trade system), artinya semua barang yang keluar dari wilayah suatu negara dicatat sebagai ekspor tanpa kecuali. Sedangkan untuk impor, menggunakan sistem perdagangan khusus (special frade system), dimana barang-barang yang diimpor untuk diolah lanjut pada kawasan khusus (kawasan berikat dan kawasan bebas-?ee frade zone) tidak dimasukkan. Akibat perbedaan perlakuan ini, pencatatan impor menjadi kerendahan (understated). d. Klasifikasi Jenis Barang Penggolongan barang di dalam statistik ekspor dan impor menggunakan Klasifikasi Tarzff Indonesia 1989 yang didasarkan atas klasifikasi HS (Harmonized System) yang kemudian diperbaharui untuk tahun 1991, 1993 dan terakhir 1996. Versi yang terakhir ini mengalami perubahan yang relatif besar dibanding sistem pengkodean tahun sebelumnya. Kode HS yang paling rinci terdiri dari 9 digit, dimana 6 digit pertama merupakan standar intenlasional, sedangkan 3 digit terakhir hanya berlaku untuk negara bersangkutan dalam menentukan tari@ Disamping menggunakan HS (terkait dengan tarzfJ), penggolongan barang juga menggunakan SITC (Standard International Trade Class~$cation) yang digunakan secara luas oleh banyak negara di dunia untuk berbagai keperluan analisis. Kode SITC yang paling rinci terdiri 8 digit dengan agregasinya menjadi 3 digit, 2 digit dan 1 digit. e. Periode Referensi dan Penilaian Periode waktu penentuan ekspor adalah tanggal diberikannya izin muat barang (custom declaration) oleh petugas bea dan cukai. Di Indonesia diberikan oleh Kantor Pelayanan Bea dan Cukai (KPBC). Sedangkan penentuan impor adalah tanggal diberikannya izin barang tersebut masuk ke wilayah suatu negara (keluar dari custom area). Ekspor dinilai pada harga FOB (free on board) yaitu harga sampai di pelabuhan muat sebelum barang dimuat ke kapal, sedangkan impor dinilai pada harga CIF (cost, insurance andfreight), yaitu harga sampai dipelabuhan tujuan sehingga telah termasuk ongkos kapal dan asuransi. Ekspor dan Impor Dalam Kerangka Neraca Pembayaran a. Pemahaman Neraca Pembayaran Sebagai langkah antisipasi dalam menghadapi arus perdagangan bebas yang makin meningkat baik dalam frekuensi maupun jenis transaksi dan seiring pula dengan berkurangnya berbagai jenis hambatan tar~ffdan non tariff (tariff and non tarzff barrier), maka diperlukan suatu sistem pencatatan administrasi transaksi antar negara yang rapi, sistematis dan akurat. Suatu sistem pencatatan yang diharapkan dapat merekam semua jenis transaksi antar negara ini selanjutnya disebut sebagai Sistem Neraca Pembayaran (SNP) atau Balance of Payments (BOP). Secara konsepsi, SNP ini merupakan suatu sistem pencatatan statistik mengenai transaksi ekonomi yang dilakukan antara penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain dalam suatu periode waktu tertentu. Atau dengan kata lain, SNP merupakan suatu gambaran kuantitatif secara menyeluruh mengenai hubungan ekonomi suatu negara dengan negara lain. Secara teknis, proses pencatatan data di dalam SNP ini disusun dengan menggunakan kaidah akuntansi. Dengan cara ini semua jenis transaksi dikelompokkan ke dalam jenis transaksi debit dan transaksi kredit. Suatu transaksi dikategorikan sebagai transaksi debit jika transaksi tersebut menciptakan atau mengakibatkan bertambahnya kewajiban bagi penduduk suatu negara untuk membayar atau memenuhi kewajiban kepada penduduk negara lain. Atau dapat diartikan pula sebagai jenis transaksi yang berdampak terhadap berkurangnya hak penduduk suatu negara untuk menerima pembayaran dari penduduk negara lain. Sedangkan suatu transaksi dikategorikan sebagai transaksi kredit, jika transaksi tersebut menciptakan atau mengakibatkan bertambahnya hak bagi penduduk suatu negara untuk menerima pembayaran dari penduduk negara lain. Atau dengan kata lain transaksi kredit adalah jenis transaksi yang berdampak terhadap berkurangnya kewajiban bagi penduduk suatu negara terhadap negara lain. b. Kerangka Dasar Neraca Pembayaran Secara sederhana kerangka SNP terdiri dari dua komponen utama yaitu neraca transaksi berjalan (current accounts) dan neraca modal dan keuangan (capital and jnancial accounts). Selain dua komponen utama tersebut, dua komponen lain dalam SNP adalah cadangan (reserves) dan catatan lain yang belum tercakup (Net Errors and Ommisions). Dalam neraca transaksi berjalan tercakup komponen ekspor dan impor barang yang biasa dikenal dengan istilah neraca perdagangan (trade accounts). Komponen lain dalam neraca transaksi berjalan adalah neraca pendapatan (income accounts) dan transfer berjalan (current transfers). Sedangkan dalam neraca modal dan keuangan tercakup komponen neraca modal (capital accounts) dan neraca keuangan @nuncia1 accounts). Selanjutnya dalam neraca keuangan tercakup semua komponen yang terdiri dari investasi langsung (direct investment), investasi portofolio (portfolio investment) dan jenis investasi lain (other investment) yang kesemuanya tidak termasuk komponen cadangan yang dimiliki oleh bank sentral (reserves). Di Indonesia, implementasi SNP mengacu pada rekomendasi IMF yang saat ini lebih dikenal dengan Indonesia Balance Of Payments Based On IMF (BOPM V ) . Format yang digunakan merupakan perbaikan dari format-format sebelumnya dan merupakan format standar yang digunakan oleh sebagian besar negara di dunia. Secara sederhana, format BOPM V dapat ditunjukkan sebagai berikut : I. Current Accounts A. Goods and Services Credit Debit a. Goods Credit Debit b. Services Credit Debit B. Income Credit Debit C. Current Transfers Credit Debit II. Capital and Financial Accounts - A. Capital Account Credit Debit B. Financial Account Financial Acc, Exl. Reserves a. Direct Investment Portfolio Investment c. Other Investment b. Reserve Assets III. Net Errors and Ommisions CEPT, AFTA dan ASEAN a. ASEAN dan Masalahnya Sebagaimana dipahami secara m u m , ASEAN adalah suatu organisasil perkumpulan negara-negara Asia Tenggara yang dibentuk untuk memperkuat dan meningkatkan saling pengertian dan kerjasama dengan titik berat di bidang ekonomi dan perdagangan. Dalarn perjalanannya, organisasi ini selalu menghindari diri dari persoalan-persoalan politik yang terjadi di masing-masing negara apalagi yang melibatkan antar negara ASEAN. Jadi ASEAN dibentuk semata-mata untuk kepentingan ekonomi, dan terlepas dari persoalan non ekonomi. Pada awalnya, negara anggota ASEAN terdiri dari Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan Brunei, kemudian mulai tahun 1998 masuk 4 anggota baru, Burma, Laos, Vietnam dan Kamboja, sehingga sekarang seluruhnya berjumlah 10 negara. Kemajuan ekonomi melalui kerjasama ASEAN ini memang belum banyak dicapai. Secara struktural limpahan (endowment) faktor-faktor produksi dan sumber daya diantara negara-negara ASEAN hampir mirip, sehingga struktur ekonomi yang ada di negara-negara tersebut juga mirip. Untuk produk pertambangan (migas), ada 3 negara yang sama-sama mengekspor (Indonesia, Brunei dan Malaysia), bahkan Singapura juga mengekspor produk minyak karena memiliki kapasitas kilang yang sangat besar. Untuk karet, Malaysia, Indonesia dan Thailand memiliki pangsa pasar ekspor yang sama-sama kuat, demikian juga untuk CPO. Untuk produk manufaktur, hampir semua negara ASEAN menempatkan tekstil dan produk tekstil, serta elektronik sebagai andalan ekspomya. Masih banyak kemiripan potensi ekonomi yang dimiliki oleh negara-negara tersebut. Akibat kondisi diatas, perdagangan antar negara (intra) ASEAN lebih mempunyai ekses substitusi ketimbang ekses komplementer. Artinya apabila perdagangan intra ASEAN ditingkatkan akan lebih berpotensi mematikan produksi dalam negeri masing-masing yang sejenis. Dengan kata lain, impor suatu negara dari negara ASEAN lainnya tidak banyak mendukung industri dalam negerinya, karena kesamaan produk yang dihasilkan. b. AFTA, Suatu Semangat Barn Meningkatkan Kerjasama ASEAN Pada pertemuan keempat para Kepala Pemerintahan Negara-Negara ASEAN di Singapura pada Januari 1992, disepakati dibentuknya ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang akan diberlakukan efektif mulai tahun 2003. Banyak pengamat menyangsikan bahwa AFTA akan berjalan mulus dan signifikan terhadap perkembangan perdagangan intra ASEAN. Namun pemerintahan masing-masing negara lebih optimis dengan beberapa pertimbangan : (1) masing-masing negara telah berpengalaman dan terbiasa dengan deregulasi dan liberalisasi ekonomi negaranya, (2) walaupun ada hambatan struktural, masing-masing negara tetap bertekad saling mengisi dan bahu membahu membentuk suatu simfoni yang merdu dengan komitmen yang tinggi, (3) sebelum tahun 1977 negara-negara ASEAN telah memiliki ASEAN Preferential Trading Arrangement (PTA) yang mengatur tercapainya marketsharing antar negara, dan (4) dengan trade regionalization dipercaya dapat memperkuat negara-negara anggota dalam menghadapi perang dagang dengan negara-negara kuat atau dengan kawasan regional lainnya. c. CEPT, Suatu Instrumen AFTA Common Effective Preferential Tariff (CEPT) adalah suatu instrumen yang digunakan untuk mencapai kinerja AFTA yang lebih efektif. Pada dasarnya CEPT merupakan fasilitas atau konsesi yang diberikan secara seragam oleh masing-masing negara ASEAN kepada para eksportir ASEAN berupa keringanan bea masukltarzff bila memasukkan barang di negara ASEAN lainnya. Artinya seorang eksportir dari negara ASEAN akan dikenakan bea mas& yang lebih rendah (bahkan sampai 0 persen) dibanding eksportir dari negara non ASEAN. Namun demikian, penurundkeringanan tarzffhanya dapat diberikan jika produk yang diekspor ke negara-negara ASEAN mempunyai kandungan bahan baku ASEAN minimal 30 persen. Secara matematis, tentu saja ekspor produk-produk ASEAN akan lebih kompetitif di pasar intra ASEAN dibanding produk-produk non ASEAN. CEPT baru akan berjalan baik, bila ada jaminan (a reciprocal basis) dari semua anggota ASEAN. Secara politik, upaya penurunan tariff sebenarnya sudah masuk pada wilayahpolitical economy dalam arti kebijakan yang diambil tidak semata-mata kepentingan ekonomi, tetapi juga kepentingan ketahanan nasional. Sebagian besar produk pertambangan dan industri dimasukkan dalam skema CEPT, sebaliknya untuk produk pertanian hanya sebagian kecil saja. Ini bisa dimaklumi sebab pada umumnya produk pertanian sangat sensitif seita melibatkan jumlah petani yang besar. Sebagai contoh, beras tidak termasuk dalam skema CEPT dan ini sangat menguntungkan Indonesia untuk melindungi para petaninya, karena harga beras dunia saat ini lebih rendah dibanding harga domestiknya. Kesepakatan penurunan tariff atas sejumlah produk dalam skema CEPT dibagi dalam dua jalur, (1) jalur cepat Vast track), yaitu produk yang memiliki tariff diatas 20 persen, dikurangi menjadi 0-5 persen pada 1 Januari 2000, (2) jalur normal (normal track) yaitu produk yang memiliki tarzffdi atas 20 persen, akan dikurangi menjadi 0-5 persen pada 1 Januari 2003. Mengenai jenis-jenis produk (product-line) yang masuk dalam skema CEPT dan yang akan dic&up dalam penelitian ini akan dibahas lebih lanjut pada bab metodologi.