prospek cacing tanah untuk pengembangan teknologi resapan

advertisement
PROSPEK CACING TANAH UNTUK PENGEMBANGAN
TEKNOLOGI RESAPAN BIOLOGI
DI LAHAN KERING
Subowo G.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Ringroad Utara Jalan Karang Sari Wedamartani, Ngemplak,
Sleman, Kotak Pos 1013, Yogyakarta 55010
ABSTRAK
Indonesia menghadapi situasi yang dilematis, yaitu pada musim kemarau kekurangan air dan pada musim hujan
kebanjiran. Masalah utama yang menyebabkan banjir, tanah longsor, dan sedimentasi badan air adalah hujan,
kecepatan laju pelapukan, adanya lapisan argilik (padat) pada tanah, dan penanaman tanaman semusim di musim
hujan tanpa bangunan konservasi air dan lahan. Tanah mudah tererosi oleh aliran permukaan dan terendapkan di
badan-badan air, sehingga mengakibatkan banjir dan menurunkan produktivitas tanah lahan kering. Cacing tanah
dapat membuat lubang di dalam tanah dan menurunkan kepadatan tanah, meningkatkan laju infiltrasi air, dan
memperbaiki kesuburan tanah melalui aktivitas biologi yang berlangsung secara terus-menerus sesuai daya dukungnya.
Teknologi resapan biologi dengan memanfaatkan cacing tanah endogaesis-geofagus sebagai agen pengendali dan
diikuti pemberian bahan organik secara vertikal melalui pengeboran sampai lapisan padat akan menurunkan aliran
permukaan dan erosi tanah.
Kata kunci: Tanah lahan kering, teknologi resapan biologi, cacing tanah endogaesis, konservasi tanah dan air
ABSTRACT
The prospect of biological infiltration technology development for upland farming system
Indonesia faces dilemmatic situation, such as drought during dry season and flood during rainy season. The main
problems in occurrence of flood, land slide and water body’s sedimentations are rain, weathering rate, soil argilic
layer, and planting annual crops during rainy season without water and land conservation construction. Soil is easy
to be eroded by run-off and sedimented in the water bodies causing flood and reduction of upland soil productivity.
Earthworm can make hole in the soil layer and will reduce soil compaction, increase water infiltration, and
improve soil fertility through continuous biological processes that fit the soil carrying capacity. Biological
infiltration technology by using endogeic-geophagus earthworm as soil processing agent and supplying organic
matter vertically through drilling up to compact soil layer may reduce run off and soil erosion.
Keywords: Upland soils, biological infiltration technology, endogeic earthworm, soil and water conservation
I
ndonesia akhir-akhir ini mengalami
situasi yang dilematis, yaitu pada
musim kemarau banyak wilayah mengalami
kekeringan dan dalam waktu yang singkat
saat musim hujan mengalami kebanjiran.
Sistem pewilayahan batas daerah administrasi (provinsi, kabupaten/kota, kecamatan) yang kurang mempertimbangkan
aspek batas alam yang memiliki interaksi
wilayah secara alami melalui aliran air atau
biasa disebut kesatuan daerah aliran
sungai (DAS), akan mempersulit upaya
mengatasi permasalahan yang diakibatkan
oleh bencana alam, seperti banjir. DKI
Jakarta, misalnya, dengan dana dan
teknologi yang memadai untuk penanggulangan banjir masih selalu mengalami
146
kebanjiran akibat hujan kiriman dari wilayah Bogor-Puncak-Cianjur (Bopuncur)
yang merupakan wilayah administrasi
Provinsi Jawa Barat.
Pendekatan konseptual pengaturan
tata ruang penggunaan lahan dengan
orientasi konservasi tanah dan air di
masing-masing wilayah administrasi telah
banyak diupayakan dan disepakati.
Namun, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala, baik finansial,
sosiokultural, birokrasi maupun teknis.
Bertitik tolak dari kondisi tersebut perlu
digali teknologi pengelolaan lahan kering
skala mikro yang berbasis konservasi
tanah dan air, sehingga risiko kebanjiran
di bagian hilir dapat diatasi secara alami.
Penyebab utama terjadinya banjir,
tanah longsor, dan sedimentasi badanbadan air di Indonesia adalah tingginya
curah hujan dalam waktu yang relatif
singkat dan pelapukan. Tanah lapisan atas
mudah hancur dan selanjutnya terkikis
oleh aliran air hujan dan tersedimentasi
pada badan-badan air atau terakumulasi
(iluviasi) dan memadatkan tanah lapisan
bawah. Adanya aliran air dengan padatan
terlarut tinggi akibat erosi akan menambah
volume air permukaan dan tingginya
sedimentasi badan-badan air sungai, yang
selanjutnya menurunkan kapasitas
tampung sungai terhadap aliran air.
Akibatnya, wilayah tersebut akan mudah
mengalami banjir saat volume air sungai
Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008
meningkat. Demikian pula terjadinya pemadatan tanah akan menurunkan kemampuan tanah menahan air, menurunkan laju
infiltrasi air dan konduktivitas hidrolik
jenuh (saturated hydraulic conductivity),
meningkatkan ketahanan penetrasi dan
bobot isi tanah, serta menurunkan pori
tanah total (Barber dan Romero 1994;
Rakhman dan Ito 1996). Lal (1986) menyatakan bahwa kepadatan tanah merupakan permasalahan atau kendala penting
pada tanah pertanian di daerah tropika
yang perlu diperhatikan.
Adanya tanah lapisan bawah yang
padat (horison argilik) akan mengakibatkan laju perkolasi ataupun infiltrasi air
tersumbat. Air hujan yang jatuh akan
tertahan pada lapisan atas dan selanjutnya
mengalir sebagai aliran permukaan dan
mengakibatkan erosi tanah, sedimentasi,
dan banjir. Demikian pula daya dukung
tanah untuk tanaman tahunan akan
menurun saat tanaman sudah berumur tua,
bahkan apabila biomassa tanaman telah
tinggi dan adanya genangan air di atas
lapisan tanah padat (argilik), tanaman akan
roboh/tumbang.
Penurunan kepadatan tanah lapisan
bawah perlu dilakukan agar resapan air
berjalan lancar serta jelajah akar tanaman
dapat menembus ke lapisan yang lebih
dalam. Masalahnya, pengolahan tanah
secara mekanis pada areal tanaman
tahunan yang telah berumur tua sulit
dilakukan karena akan merusak akar
tanaman. Sebaliknya pada tanaman
semusim, pengolahan tanah pada musim
hujan juga menimbulkan erosi tanah.
Untuk itu, pengelolaan tanah secara
biologi dengan memanfaatkan cacing
tanah endogaesis-geofagus efektif dilakukan, karena dapat bekerja sepanjang
tahun dan tidak merusak akar tanaman
hidup. Meningkatnya aerasi tanah dan
resapan air oleh adanya lubang-lubang
cacing akan mengurangi laju aliran
permukaan dan erosi tanah. Artikel ini
mengulas prospek pemanfaatan cacing
tanah untuk pengembangan teknologi
resapan biologi (TRB) pada lahan kering.
PENGEMBANGAN TRB
PADA USAHA TANI LAHAN
KERING
Luas daratan Indonesia mencapai 192 juta
ha dan lebih dari 70 juta ha di antaranya
berupa lahan kering yang potensial untuk
pengembangan pertanian (Abdurachman
Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008
et al. 1998). Tanah lahan kering dengan
daya toleransi yang tinggi untuk budi daya
tanaman memberi peluang bagi pengembangan berbagai jenis komoditas, baik
tanaman berakar dangkal maupun yang
berakar dalam. Akibatnya, pemanfaatan
tanah lahan kering di Indonesia untuk
pengembangan tanaman pertanian berlangsung intensif.
Berdasarkan bahan pembentuk tanah
dan dinamika lingkungan yang ada, tanah
lahan kering di Indonesia didominasi oleh
Ultisol dengan luas lahan ± 40 juta ha
(> 20% daratan). Ultisol merupakan salah
satu tanah yang belum banyak dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian. Di
Indonesia, Ultisol banyak ditemukan pada
daerah dengan bahan induk batuan tua,
relief berombak sampai berbukit dengan
horison argilik atau kandik, bersifat masam,
Al dapat ditukar tinggi, kejenuhan basa
rendah, didominasi liat kaolinit, dan
merupakan bagian terluas dari lahan
kering yang belum termanfaatkan untuk
pertanian (Hardjowigeno 1993). Dengan
topografi yang berombak sampai berbukit,
sebagian besar Ultisol memiliki kemiringan
lereng yang relatif tinggi sehingga sulit
untuk dilakukan pengolahan secara
mekanis. Pengolahan tanah Ultisol untuk
penanaman tanaman semusim di musim
hujan akan makin memperbesar peluang
terjadinya erosi. Selain itu dengan kesuburan tanah yang rendah, masyarakat
tani yang berada di daerah tanah Ultisol
umumnya berada pada kondisi sosial
ekonomi yang juga rendah. Upaya
pengolahan tanah secara mekanis
dilengkapi dengan bangunan konservasi
yang memadai sulit dilakukan.
Lapisan bawah permukaan tanah
Ultisol yang padat akan menghambat laju
perkolasi-infiltrasi air, sehingga meningkatkan aliran permukaan, erosi,
sedimentasi, dan banjir. Demikian pula
dengan kandungan mineral 1:1, Ultisol
memiliki kemampuan mengikat air yang
rendah, sehingga air yang jatuh akan
mudah hilang melalui gravitasi maupun
evaporasi. Tanah akan mudah mengalami
jenuh air saat terjadi hujan dan kekeringan
saat tidak terjadi hujan, sehingga pertumbuhan tanaman terganggu. Akibatnya,
penanaman tanaman semusim umumnya
dilakukan dengan mengikuti pola curah
hujan, meskipun berisiko terjadinya erosi
dan degradasi tanah. Pengolahan tanah
dilakukan secara intensif saat terjadi
hujan, sementara bangunan konservasi
yang dipersyaratkan seperti teras gulud
dan teras bangku tidak mampu disediakan oleh petani. Bahkan pada daerah
dataran tinggi dengan tanah Andisol yang
berstruktur lemah atau lepas, penanaman
dilakukan dengan membuat bedeng sejajar
lereng untuk membebaskan tanaman dari
genangan air, meskipun akan memacu
terjadinya erosi tanah. Hal ini disebabkan
terbatasnya dana serta dampak bangunan
konservasi terhadap kepentingan petani
tidak dirasakan langsung dan bangunan
konservasi mudah rusak. Pengadaan dan
pengelolaan bangunan konservasi belum
banyak dilakukan oleh petani.
Sistem pengelolaan lahan kering
berorientasi peningkatan resapan air
secara setempat (mikro) dengan memberdayakan potensi sumber daya lokal yang
ada dan biaya murah penting dilakukan
untuk mengurangi aliran permukaan dan
erosi tanah yang merupakan penyebab
utama terjadinya banjir dan sedimentasi.
Hasil penelitian International Institute of
Tropical Agriculture (IITA) menunjukkan
bahwa jumlah pori tanah (pori total)
memiliki korelasi negatif tertinggi di antara
parameter sifat fisik dan kimia tanah yang
diuji terhadap laju erosi tanah. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan bertambahnya volume pori tanah, termasuk lubanglubang hasil aktivitas cacing tanah,
resapan air ke dalam tanah akan meningkat
dan mengurangi aliran permukaan.
Gerusan air terhadap permukaan tanah
menurun sehingga memperkecil erosi
tanah. Aliran air yang masuk ke badanbadan air (sungai) relatif bersih dari
padatan terlarut sehingga menurunkan
sedimentasi. Kemampuan tampung badan
air sungai tetap tinggi sehingga akan
terhindar dari peluang banjir seperti yang
selama ini sering terjadi.
Adanya cacing tanah yang dapat
membuat lubang akan meningkatkan pori
aerasi di dalam tanah, sehingga dapat
mengolah tanah dengan menurunkan
kepadatan tanah dan berlangsung secara
terus-menerus sesuai dengan daya
dukungnya. Cacing tanah dari kelompok
endogaesis dapat menghancurkan dan
mengangkat liat maupun bahan-bahan lain
dari horison argilik kembali ke lapisan atas
(bioturbasi). Fanning dan Fanning (1989)
menyatakan bahwa pedoturbasi oleh
fauna tanah dapat mencegah terbentuknya
horison argilik pada beberapa ekosistem.
Selain dapat mencampur tanah maupun
bahan organik lapisan atas dan bawah,
kotoran cacing (casting) dapat memperbaiki agregat tanah dan memperpanjang
147
pendauran C-organik tanah. Lubanglubang cacing tanah dapat meningkatkan
laju infiltrasi maupun perkolasi sehingga
menurunkan aliran permukaan, erosi
maupun penghanyutan bahan organik di
permukaan tanah serta mendistribusikan
bahan organik ke lapisan yang lebih
dalam. Sudharto et al. (1988) melaporkan,
pemberian cacing tanah Perionyc
excavatus, E. Perr mampu meningkatkan
volume pori aerasi Haplorthox Kuamang
Kuning, Jambi, dari 13,90% (kontrol)
menjadi 16,60%.
Cacing tanah dengan kemampuannya membuat lubang akan menurunkan
kepadatan tanah, meningkatkan kapasitas
infiltrasi, mengurangi aliran permukaan
dan erosi, serta melalui kotoran yang dihasilkan dapat menambah unsur hara bagi
tanaman. Brata (1999) menyatakan bahwa
pemberian cacing tanah pada Oxic
Dystropepts dapat meningkatkan laju
infiltrasi secara nyata. Inokulasi cacing
tanah endogaesis pada tanah Ultisol
dengan lapisan bawah padat (argilik)
prospektif untuk mendukung perbaikan
produktivitas tanah, meningkatkan resapan air, dan menekan erosi tanah, baik untuk
tanaman semusim di musim hujan maupun
untuk tanaman tahunan/perkebunan
tanpa merusak perakaran tanaman hidup.
PEMANFAATAN CACING
TANAH SEBAGAI AGEN
HAYATI KONSERVASI
TANAH DAN AIR
Cacing tanah merupakan organisme tanah
heterotrof, bersifat hermaprodit biparental
dari filum Annelida, kelas Clitellata, ordo
Oligochaeta, dengan famili Lumbricidae
dan Megascolecidae yang banyak
dijumpai dan penting untuk pertanian.
Cacing tanah mampu hidup 1−10 tahun
dan dalam proses hidupnya dapat hidup
melalui fragmentasi ataupun reproduksi
dengan melakukan kopulasi membentuk
kokon. Kopulasi dan produksi kokon
biasanya dilakukan pada bulan panas.
Anak cacing tanah menetas dari kokon
setelah 2−3 minggu inkubasi, dan 2−3
bulan selanjutnya anak tersebut telah
dewasa.
Berdasarkan jenis makanan, cacing
tanah dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1) geofagus (pemakan tanah), 2) limifagus
(pemakan tanah subur atau tanah basah),
dan 3) litter feeder (pemakan bahan
organik) (Lee 1985; Coleman dan Crossley
148
1996). Cacing tanah juga dapat dikelompokkan berdasarkan tempat hidup,
kotorannya, kenampakan warna, dan
makanannya, yaitu epigaesis, anazesis,
dan endogaesis (Tabel 1).
Cacing tanah membuat lubang
dengan cara mendesak massa tanah atau
dengan memakan langsung massa tanah
(Minnich 1977). Kelompok geofagus akan
memakan massa tanah, dan kelompok litter
feeder dan limifagus biasanya dengan
mendesak massa tanah. Lubang yang
dibuat tidak hanya digunakan untuk
mendukung pergerakan cacing dari
tekanan lingkungan, tetapi juga sebagai
tempat menyimpan dan mencerna
makanan (Schwert 1990). Nelson dan Hole
(1964) dalam Fanning dan Fanning (1989)
menyatakan bahwa lubang cacing dari
Lumbricus terrestris berdiameter lebih
kurang 0,80 cm dan dapat menghubungkan
antara horison A dan horison subsoil.
Setelah melalui pencernaan, sisa-sisa
bahan yang termakan dilepaskan kembali
sebagai buangan padat (kotoran).
Edwards dan Lofty (1977) menyatakan
bahwa sebagian besar bahan tanah mineral yang dicerna cacing tanah dikembalikan ke dalam tanah dalam bentuk kotoran
yang lebih tersedia bagi tanaman. Produksi
kotoran bergantung pada spesies dan
musim, dan pada kondisi populasi yang
sehat dapat dihasilkan 100 t/ha/tahun.
Richard (1978) menyatakan bahwa cacing
tanah mampu melakukan penggalian
lubang hingga kedalaman 1 m, sehingga
dapat meresapkan air dalam volume yang
lebih besar serta mengurangi aliran
permukaan dan erosi tanah.
TATA LAKSANA TRB PADA
USAHA TANI DI LAHAN
KERING
Koleksi Cacing Tanah
Endogaesis-Geofagus di Alam
Habitat cacing tanah dapat ditemukan
pada tanah lahan kering masam sampai
alkali (basa) yang memiliki kecukupan air.
Jenis-jenis cacing tanah asli (native)
biasanya hidup pada tanah bertekstur
halus, umumnya liat, liat berdebu atau
lempung berdebu, dan jarang ditemukan
pada tanah berpasir. Umumnya cacing
hidup pada pH 4,50−6,50, tetapi bila
kandungan bahan organik tanah tinggi,
cacing mampu berkembang pada pH 3.
Pada musim kemarau, cacing tanah
biasanya bermigrasi ke tanah-tanah basah,
seperti daerah sumber air dan tanah di
bawah pohon pisang.
Koleksi dapat dilakukan dengan menempatkan pakan umpan (trap) berupa
kotoran ternak sapi atau kerbau pada
galian yang dibuat di permukaan tanah
sedalam 30 cm. Setelah 2−3 hari, galian
dibuka untuk mengambil cacing tanah
yang terperangkap. Cacing tanah yang
dikumpulkan dapat langsung diaplikasikan di lahan atau dibudidayakan di
dalam bak terlebih dahulu dengan diberi
pakan kotoran ternak secukupnya. Cacing
hasil budi daya selanjutnya digunakan
sebagai inokulan untuk diaplikasikan di
lahan pertanian dengan menyeleksi cacing
yang sehat (tidak cacat).
Tabel 1. Kelompok ekologi cacing tanah.
Penciri
Epigaesis
Anazesis
Endogaesis
Lubang
Tidak ada
Ada terbuka permanen
ke permukaan tanah
Ekstensif, sering dalam
dan terus meluas
Kotoran
Tidak tampak jelas
Di permukaan tanah/
terselip di antara tanah
Di lubang/di dalam tanah,
jarang di permukaan tanah
Pigmentasi
Warna gelap,
penyamaran efektif
Warna sedang bagian
punggung, penyamaran
rendah
Tidak berwarna, tanpa
penyamaran
Makanan
Pemakan serasah di
permukaan tanah,
tidak mencerna tanah
Pemakan serasah di
permukaan tanah dan
dibawa ke dalam tanah,
mencerna sebagian
tanah
Pemakan tanah bersama
bahan organik, memakan
akar-akar mati dalam
tanah
Sumber: Coleman dan Crossley (1996).
Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008
Aplikasi/Inokulasi Cacing Tanah
di Lapangan
Sebelum diaplikasikan, disiapkan lubang
berdiameter ± 8 cm melalui pengeboran
dengan kedalaman sesuai yang dikehendaki (< 100 cm). Pengeboran dapat dilakukan dengan menggunakan bor tanah
Belgi atau bor tanah yang lain sesuai
dengan keperluan. Ukuran, jumlah atau
kerapatan lubang, dan kedalaman lubang
disesuaikan dengan kedalaman lapisan
tanah padat dan volume air hujan yang
akan diresapkan. Penghitungan volume
air yang akan diresapkan dilakukan
dengan menjumlahkan hasil perkalian
antara volume lubang dan kerapatan atau
jumlah titik bor per luasan. Setiap lubang
diinokulasi cacing tanah dengan ukuran
yang sama minimal 2 ekor/lubang. Inokulasi dilakukan pada saat tanah basah
(kapasitas lapang) dan diusahakan tidak
terkena sinar matahari langsung, lebih baik
dilakukan pada sore atau malam hari.
Setelah itu, lubang diisi bahan organik
berupa kotoran ternak atau isi rumen sapi
sampai menutup permukaan tanah (Gambar
1).
Inokulasi cacing tanah dapat pula
dilakukan dengan melepaskan langsung
cacing pada malam hari ke lahan yang telah
dibuat lubang dan diberi bahan organik.
Pelepasan dilakukan jika bahan organik
tersebut telah matang (2−3 hari setelah
pemberian) dan tidak terdapat predator
seperti semut merah, burung, babi, dan
ular.
Pemeliharaan
Pemeliharaan cacing tanah yang telah
dilepaskan di lahan usaha tani dilakukan
dengan menjaga kondisi tanah di sekitar
lubang tetap lembap (kapasitas lapang).
Oleh karena itu, perlu dilakukan penyiraman secara berkala sesuai dengan
kondisi tanah atau dengan memberi
naungan. Apabila pakan organik pada
lubang telah habis, bahan organik dapat
ditambahkan kembali atau membuat
lubang baru di sekitarnya kemudian diisi
bahan organik sebagai pakan.
Agar ketahanan hidup cacing lebih
baik, menjelang musim kemarau (Maret)
dilakukan pemupukan fosfat. Dengan
cadangan fosfat yang cukup, cacing tanah
dapat menghasilkan fosforesen yang
tinggi untuk menyelimuti tubuh agar
terhindar dari cekaman kekeringan.
Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008
Air hujan
Tanaman
Erosi
BO
BO
Tanah lapisan atas
Banjir
BD 1
Tanah lapisan bawah/
argilik
Lubang
cacing
Cacing tanah
Endogaesis
BD 1,20
BO < 1%
Ultisols
Gambar 1. Konstruksi teknologi resapan biologi (TRB) pada lahan pertanian.
Apabila mendapat cekaman lingkungan,
cacing akan melindungi diri dengan
mengeluarkan bahan mukus atau lendir
untuk menyelimuti tubuhnya (Kokta 1992).
Edwards dan Lofty (1977) juga menyatakan bahwa cacing tanah mengeluarkan
fosforesen atau luminesen bila mengalami
iritasi, fibrasi atau rangsangan lainnya.
Hasil penelitian Subowo (2002) menunjukkan bahwa populasi cacing tanah
Pheretima hupiensis berkorelasi nyata
dan positif dengan kandungan fosfat-total
tanah pada musim hujan.
Pengendalian Populasi
Sesuai dengan dinamika iklim yang
mengalami kondisi kering pada musim
kemarau, populasi cacing tanah umumnya
akan tertekan pada kondisi tersebut.
Untuk mempertahankan populasi dapat
dilakukan dengan menyediakan daerah
penyangga dengan menanam tanaman
pisang di sekeliling lahan. Pada saat terjadi
kekeringan, cacing tanah akan bermigrasi
ke daerah basah, selanjutnya bila tingkat
kebasahan rendah cacing tanah akan
melindungi diri dengan melingkar di dalam
tanah (diapause) sampai batas tertentu
sesuai dengan kemampuannya (Kretzschmar dan Bruchou 1991). Selain itu,
cacing tanah juga menghasilkan telur atau
kokon yang relatif lebih tahan terhadap
kekeringan. Saat kondisi lingkungan
membaik, kokon akan menetas menjadi
individu baru. Perluasan daerah jelajah
cacing tanah dapat dilakukan dengan
memberikan pakan dan kelembapan tanah
secara bertahap ke daerah sasaran.
Pada tekanan lingkungan yang
ekstrim (kekeringan), cacing tanah akan
melepaskan bahan mukus (lendir) yang
berupa fosforesen yang banyak mengandung fosfat untuk melindungi diri
(Edwards dan Lofty 1977). Oleh karena itu,
peningkatan kandungan fosfat tanah
untuk tanaman dapat pula dilakukan
dengan mengeringkan tanah untuk
melepaskan fosfat dari cacing tanah.
KESIMPULAN
Cacing tanah endogaesis-geofagus mampu mengolah tanah secara biologi dan
dapat berlangsung secara terus-menerus
sesuai dengan daya dukung. Teknologi
resapan biologi (TRB) dengan memanfaatkan cacing tanah endogaesis-geofagus
sebagai agen pengolah tanah dan pemberian bahan organik secara vertikal
melalui pengeboran sampai pada lapisan
tanah padat (argilik) dapat menurunkan
kepadatan tanah dan meningkatkan produktivitas tanah, selanjutnya akan mengurangi aliran permukaan dan erosi
tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., K. Nugroho, dan S. Karama.
1998. Optimalisasi pemanfaatan sumber daya
lahan untuk mendukung program Gema
Palagung 2001. Prosiding Seminar Nasional
dan Pertemuan Tahunan Komda HITI 1998.
Buku 1. hlm. 1−11.
Barber, R.G. and D. Romero. 1994. Effects of
bulldozer and chain clearing on soil
149
properties and crop yields. Soil Sci. Soc. Amer.
J. 58(6): 1.768−1.775.
Brata, K.R. 1999. The introduction of earthworm
as biological tillage agent for the improvement of soil physical and chemical properties
in upland agriculture. Proceeding International
Seminar Toward Sustainable Agriculture in
Humid Tropics Facing 21st Century, Bandar
Lampung, Indonesia, 27−28 September
1999. Ministry of Education, Science, Sport
and Culture of Japan, International Centre
for Research in Agroforestry, SEA Regional
Research Programme, The Goverment of
Lampung Province, Faculty of Agriculture,
University of Lampung, Indonesia. p. 80−
85.
Coleman, D.C. and D.A. Crossley, Jr. 1996.
Fundamentals of Soil Ecology. Academic
Press, San Diego, New York, Boston, London,
Sydney, Tokyo, Toronto. p. 98−105.
Edwards, C.A. and J.R. Lofty. 1977. Biology of
Earthworms. A Halsted Press Boo, John
Wiley & Sons, New York. 333 pp.
Fanning, D.S. and M.C.B. Fanning. 1989. Soil
Morphology Genesis and Classification. John
Wiley and Sons, New York, Chichaster,
Brisbane, Toronto, Singapore. 365 pp.
150
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan
Pedogenesis. Akademika Pressindo, Jakarta.
hlm. 263.
Kokta, C. 1992. Measuring effect of chemicals
in the laboratory: Effect criteria and
endpoint. p. 55−62. In P.W. Greig-Smith,
H. Becker, P.J. Edwards, and F. Heimbach
(Eds.). Ecotoxycology of Earthworms.
Intercept, Andover, UK.
Kretzschmar, A. and C. Bruchou. 1991. Weight
response to the soil water potential of the
earthworm Aporrectodea longa. Biol. Fertil.
Soils 12: 209−212.
Lal, R. 1986. Soil surface management in the
tropics for intensive land use and high
sustained production. Adv. Soil Sci. Vol. 5.
Springer Verlag (New York). p. 242.
Lee, K.E. 1985. Earthworms: Their Ecology and
Relationships with Soils and land Use.
Academic Press (Harcourt basel Javonovich
Publishers), Sydney, Orrando, San Diego,
New York, London, Toronto, Montreal,
Tokyo. 411 pp.
Minnich, J. 1977. Behavior and habits of the
earthworm. In the Earthworms Book, How
to Raise and Use Earthworms for Your Farm
and Garden. Rodale Press Emmanaus, P.A.
p. 115−149.
Rakhman, M.H. and M. Ito. 1996. Effect of
compaction on soil three phase distribution
and soybean growth in Ando soils. Japan J.
Trop. Agric. 40(4): 182−188.
Richard, B.N. 1978. Introduction to the Soil
Ecosystem. Longman, London and New
York. p. 43−50.
Schwert, D.P. 1990. Oligochaeta: Lumbricidae.
p. 341−356. In D.L. Dindal (Ed.). Soil
Biology Guide. A Wiley Interscience
Publication, John Wiley and Sons, New York,
Chichaster, Brisbone, Toronto, Singapore.
Subowo. 2002. Pemanfaatan Cacing Tanah
(Pheretima hupiensis) untuk Meningkatkan
Produktivitas Ultisol Lahan Kering. Disertasi,
Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. 95 hlm.
Sudharto, T., H. Suwardjo, A. Barus, dan D.
Supardy. 1988. Pemberian Cacing Tanah
(Peryonic excavatus, E. Perr) dalam Usaha
Rehabilitasi Lahan Rusak Akibat Pembukaan
Lahan Secara Mekanis. Laporan Hasil Penelitian Pascapembukaan Lahan Menunjang
Transmigrasi di Kuamang Kuning, Jambi.
Kerja Sama Pusat Penelitian Tanah, Bogor,
dan Departemen Transmigrasi, Jakarta. hlm.
93–98.
Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008
Download