PROSPEK CACING TANAH UNTUK PENGEMBANGAN TEKNOLOGI RESAPAN BIOLOGI DI LAHAN KERING Subowo G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Ringroad Utara Jalan Karang Sari Wedamartani, Ngemplak, Sleman, Kotak Pos 1013, Yogyakarta 55010 ABSTRAK Indonesia menghadapi situasi yang dilematis, yaitu pada musim kemarau kekurangan air dan pada musim hujan kebanjiran. Masalah utama yang menyebabkan banjir, tanah longsor, dan sedimentasi badan air adalah hujan, kecepatan laju pelapukan, adanya lapisan argilik (padat) pada tanah, dan penanaman tanaman semusim di musim hujan tanpa bangunan konservasi air dan lahan. Tanah mudah tererosi oleh aliran permukaan dan terendapkan di badan-badan air, sehingga mengakibatkan banjir dan menurunkan produktivitas tanah lahan kering. Cacing tanah dapat membuat lubang di dalam tanah dan menurunkan kepadatan tanah, meningkatkan laju infiltrasi air, dan memperbaiki kesuburan tanah melalui aktivitas biologi yang berlangsung secara terus-menerus sesuai daya dukungnya. Teknologi resapan biologi dengan memanfaatkan cacing tanah endogaesis-geofagus sebagai agen pengendali dan diikuti pemberian bahan organik secara vertikal melalui pengeboran sampai lapisan padat akan menurunkan aliran permukaan dan erosi tanah. Kata kunci: Tanah lahan kering, teknologi resapan biologi, cacing tanah endogaesis, konservasi tanah dan air ABSTRACT The prospect of biological infiltration technology development for upland farming system Indonesia faces dilemmatic situation, such as drought during dry season and flood during rainy season. The main problems in occurrence of flood, land slide and water body’s sedimentations are rain, weathering rate, soil argilic layer, and planting annual crops during rainy season without water and land conservation construction. Soil is easy to be eroded by run-off and sedimented in the water bodies causing flood and reduction of upland soil productivity. Earthworm can make hole in the soil layer and will reduce soil compaction, increase water infiltration, and improve soil fertility through continuous biological processes that fit the soil carrying capacity. Biological infiltration technology by using endogeic-geophagus earthworm as soil processing agent and supplying organic matter vertically through drilling up to compact soil layer may reduce run off and soil erosion. Keywords: Upland soils, biological infiltration technology, endogeic earthworm, soil and water conservation I ndonesia akhir-akhir ini mengalami situasi yang dilematis, yaitu pada musim kemarau banyak wilayah mengalami kekeringan dan dalam waktu yang singkat saat musim hujan mengalami kebanjiran. Sistem pewilayahan batas daerah administrasi (provinsi, kabupaten/kota, kecamatan) yang kurang mempertimbangkan aspek batas alam yang memiliki interaksi wilayah secara alami melalui aliran air atau biasa disebut kesatuan daerah aliran sungai (DAS), akan mempersulit upaya mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh bencana alam, seperti banjir. DKI Jakarta, misalnya, dengan dana dan teknologi yang memadai untuk penanggulangan banjir masih selalu mengalami 146 kebanjiran akibat hujan kiriman dari wilayah Bogor-Puncak-Cianjur (Bopuncur) yang merupakan wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat. Pendekatan konseptual pengaturan tata ruang penggunaan lahan dengan orientasi konservasi tanah dan air di masing-masing wilayah administrasi telah banyak diupayakan dan disepakati. Namun, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala, baik finansial, sosiokultural, birokrasi maupun teknis. Bertitik tolak dari kondisi tersebut perlu digali teknologi pengelolaan lahan kering skala mikro yang berbasis konservasi tanah dan air, sehingga risiko kebanjiran di bagian hilir dapat diatasi secara alami. Penyebab utama terjadinya banjir, tanah longsor, dan sedimentasi badanbadan air di Indonesia adalah tingginya curah hujan dalam waktu yang relatif singkat dan pelapukan. Tanah lapisan atas mudah hancur dan selanjutnya terkikis oleh aliran air hujan dan tersedimentasi pada badan-badan air atau terakumulasi (iluviasi) dan memadatkan tanah lapisan bawah. Adanya aliran air dengan padatan terlarut tinggi akibat erosi akan menambah volume air permukaan dan tingginya sedimentasi badan-badan air sungai, yang selanjutnya menurunkan kapasitas tampung sungai terhadap aliran air. Akibatnya, wilayah tersebut akan mudah mengalami banjir saat volume air sungai Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008 meningkat. Demikian pula terjadinya pemadatan tanah akan menurunkan kemampuan tanah menahan air, menurunkan laju infiltrasi air dan konduktivitas hidrolik jenuh (saturated hydraulic conductivity), meningkatkan ketahanan penetrasi dan bobot isi tanah, serta menurunkan pori tanah total (Barber dan Romero 1994; Rakhman dan Ito 1996). Lal (1986) menyatakan bahwa kepadatan tanah merupakan permasalahan atau kendala penting pada tanah pertanian di daerah tropika yang perlu diperhatikan. Adanya tanah lapisan bawah yang padat (horison argilik) akan mengakibatkan laju perkolasi ataupun infiltrasi air tersumbat. Air hujan yang jatuh akan tertahan pada lapisan atas dan selanjutnya mengalir sebagai aliran permukaan dan mengakibatkan erosi tanah, sedimentasi, dan banjir. Demikian pula daya dukung tanah untuk tanaman tahunan akan menurun saat tanaman sudah berumur tua, bahkan apabila biomassa tanaman telah tinggi dan adanya genangan air di atas lapisan tanah padat (argilik), tanaman akan roboh/tumbang. Penurunan kepadatan tanah lapisan bawah perlu dilakukan agar resapan air berjalan lancar serta jelajah akar tanaman dapat menembus ke lapisan yang lebih dalam. Masalahnya, pengolahan tanah secara mekanis pada areal tanaman tahunan yang telah berumur tua sulit dilakukan karena akan merusak akar tanaman. Sebaliknya pada tanaman semusim, pengolahan tanah pada musim hujan juga menimbulkan erosi tanah. Untuk itu, pengelolaan tanah secara biologi dengan memanfaatkan cacing tanah endogaesis-geofagus efektif dilakukan, karena dapat bekerja sepanjang tahun dan tidak merusak akar tanaman hidup. Meningkatnya aerasi tanah dan resapan air oleh adanya lubang-lubang cacing akan mengurangi laju aliran permukaan dan erosi tanah. Artikel ini mengulas prospek pemanfaatan cacing tanah untuk pengembangan teknologi resapan biologi (TRB) pada lahan kering. PENGEMBANGAN TRB PADA USAHA TANI LAHAN KERING Luas daratan Indonesia mencapai 192 juta ha dan lebih dari 70 juta ha di antaranya berupa lahan kering yang potensial untuk pengembangan pertanian (Abdurachman Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008 et al. 1998). Tanah lahan kering dengan daya toleransi yang tinggi untuk budi daya tanaman memberi peluang bagi pengembangan berbagai jenis komoditas, baik tanaman berakar dangkal maupun yang berakar dalam. Akibatnya, pemanfaatan tanah lahan kering di Indonesia untuk pengembangan tanaman pertanian berlangsung intensif. Berdasarkan bahan pembentuk tanah dan dinamika lingkungan yang ada, tanah lahan kering di Indonesia didominasi oleh Ultisol dengan luas lahan ± 40 juta ha (> 20% daratan). Ultisol merupakan salah satu tanah yang belum banyak dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian. Di Indonesia, Ultisol banyak ditemukan pada daerah dengan bahan induk batuan tua, relief berombak sampai berbukit dengan horison argilik atau kandik, bersifat masam, Al dapat ditukar tinggi, kejenuhan basa rendah, didominasi liat kaolinit, dan merupakan bagian terluas dari lahan kering yang belum termanfaatkan untuk pertanian (Hardjowigeno 1993). Dengan topografi yang berombak sampai berbukit, sebagian besar Ultisol memiliki kemiringan lereng yang relatif tinggi sehingga sulit untuk dilakukan pengolahan secara mekanis. Pengolahan tanah Ultisol untuk penanaman tanaman semusim di musim hujan akan makin memperbesar peluang terjadinya erosi. Selain itu dengan kesuburan tanah yang rendah, masyarakat tani yang berada di daerah tanah Ultisol umumnya berada pada kondisi sosial ekonomi yang juga rendah. Upaya pengolahan tanah secara mekanis dilengkapi dengan bangunan konservasi yang memadai sulit dilakukan. Lapisan bawah permukaan tanah Ultisol yang padat akan menghambat laju perkolasi-infiltrasi air, sehingga meningkatkan aliran permukaan, erosi, sedimentasi, dan banjir. Demikian pula dengan kandungan mineral 1:1, Ultisol memiliki kemampuan mengikat air yang rendah, sehingga air yang jatuh akan mudah hilang melalui gravitasi maupun evaporasi. Tanah akan mudah mengalami jenuh air saat terjadi hujan dan kekeringan saat tidak terjadi hujan, sehingga pertumbuhan tanaman terganggu. Akibatnya, penanaman tanaman semusim umumnya dilakukan dengan mengikuti pola curah hujan, meskipun berisiko terjadinya erosi dan degradasi tanah. Pengolahan tanah dilakukan secara intensif saat terjadi hujan, sementara bangunan konservasi yang dipersyaratkan seperti teras gulud dan teras bangku tidak mampu disediakan oleh petani. Bahkan pada daerah dataran tinggi dengan tanah Andisol yang berstruktur lemah atau lepas, penanaman dilakukan dengan membuat bedeng sejajar lereng untuk membebaskan tanaman dari genangan air, meskipun akan memacu terjadinya erosi tanah. Hal ini disebabkan terbatasnya dana serta dampak bangunan konservasi terhadap kepentingan petani tidak dirasakan langsung dan bangunan konservasi mudah rusak. Pengadaan dan pengelolaan bangunan konservasi belum banyak dilakukan oleh petani. Sistem pengelolaan lahan kering berorientasi peningkatan resapan air secara setempat (mikro) dengan memberdayakan potensi sumber daya lokal yang ada dan biaya murah penting dilakukan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi tanah yang merupakan penyebab utama terjadinya banjir dan sedimentasi. Hasil penelitian International Institute of Tropical Agriculture (IITA) menunjukkan bahwa jumlah pori tanah (pori total) memiliki korelasi negatif tertinggi di antara parameter sifat fisik dan kimia tanah yang diuji terhadap laju erosi tanah. Hal ini menunjukkan bahwa dengan bertambahnya volume pori tanah, termasuk lubanglubang hasil aktivitas cacing tanah, resapan air ke dalam tanah akan meningkat dan mengurangi aliran permukaan. Gerusan air terhadap permukaan tanah menurun sehingga memperkecil erosi tanah. Aliran air yang masuk ke badanbadan air (sungai) relatif bersih dari padatan terlarut sehingga menurunkan sedimentasi. Kemampuan tampung badan air sungai tetap tinggi sehingga akan terhindar dari peluang banjir seperti yang selama ini sering terjadi. Adanya cacing tanah yang dapat membuat lubang akan meningkatkan pori aerasi di dalam tanah, sehingga dapat mengolah tanah dengan menurunkan kepadatan tanah dan berlangsung secara terus-menerus sesuai dengan daya dukungnya. Cacing tanah dari kelompok endogaesis dapat menghancurkan dan mengangkat liat maupun bahan-bahan lain dari horison argilik kembali ke lapisan atas (bioturbasi). Fanning dan Fanning (1989) menyatakan bahwa pedoturbasi oleh fauna tanah dapat mencegah terbentuknya horison argilik pada beberapa ekosistem. Selain dapat mencampur tanah maupun bahan organik lapisan atas dan bawah, kotoran cacing (casting) dapat memperbaiki agregat tanah dan memperpanjang 147 pendauran C-organik tanah. Lubanglubang cacing tanah dapat meningkatkan laju infiltrasi maupun perkolasi sehingga menurunkan aliran permukaan, erosi maupun penghanyutan bahan organik di permukaan tanah serta mendistribusikan bahan organik ke lapisan yang lebih dalam. Sudharto et al. (1988) melaporkan, pemberian cacing tanah Perionyc excavatus, E. Perr mampu meningkatkan volume pori aerasi Haplorthox Kuamang Kuning, Jambi, dari 13,90% (kontrol) menjadi 16,60%. Cacing tanah dengan kemampuannya membuat lubang akan menurunkan kepadatan tanah, meningkatkan kapasitas infiltrasi, mengurangi aliran permukaan dan erosi, serta melalui kotoran yang dihasilkan dapat menambah unsur hara bagi tanaman. Brata (1999) menyatakan bahwa pemberian cacing tanah pada Oxic Dystropepts dapat meningkatkan laju infiltrasi secara nyata. Inokulasi cacing tanah endogaesis pada tanah Ultisol dengan lapisan bawah padat (argilik) prospektif untuk mendukung perbaikan produktivitas tanah, meningkatkan resapan air, dan menekan erosi tanah, baik untuk tanaman semusim di musim hujan maupun untuk tanaman tahunan/perkebunan tanpa merusak perakaran tanaman hidup. PEMANFAATAN CACING TANAH SEBAGAI AGEN HAYATI KONSERVASI TANAH DAN AIR Cacing tanah merupakan organisme tanah heterotrof, bersifat hermaprodit biparental dari filum Annelida, kelas Clitellata, ordo Oligochaeta, dengan famili Lumbricidae dan Megascolecidae yang banyak dijumpai dan penting untuk pertanian. Cacing tanah mampu hidup 1−10 tahun dan dalam proses hidupnya dapat hidup melalui fragmentasi ataupun reproduksi dengan melakukan kopulasi membentuk kokon. Kopulasi dan produksi kokon biasanya dilakukan pada bulan panas. Anak cacing tanah menetas dari kokon setelah 2−3 minggu inkubasi, dan 2−3 bulan selanjutnya anak tersebut telah dewasa. Berdasarkan jenis makanan, cacing tanah dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1) geofagus (pemakan tanah), 2) limifagus (pemakan tanah subur atau tanah basah), dan 3) litter feeder (pemakan bahan organik) (Lee 1985; Coleman dan Crossley 148 1996). Cacing tanah juga dapat dikelompokkan berdasarkan tempat hidup, kotorannya, kenampakan warna, dan makanannya, yaitu epigaesis, anazesis, dan endogaesis (Tabel 1). Cacing tanah membuat lubang dengan cara mendesak massa tanah atau dengan memakan langsung massa tanah (Minnich 1977). Kelompok geofagus akan memakan massa tanah, dan kelompok litter feeder dan limifagus biasanya dengan mendesak massa tanah. Lubang yang dibuat tidak hanya digunakan untuk mendukung pergerakan cacing dari tekanan lingkungan, tetapi juga sebagai tempat menyimpan dan mencerna makanan (Schwert 1990). Nelson dan Hole (1964) dalam Fanning dan Fanning (1989) menyatakan bahwa lubang cacing dari Lumbricus terrestris berdiameter lebih kurang 0,80 cm dan dapat menghubungkan antara horison A dan horison subsoil. Setelah melalui pencernaan, sisa-sisa bahan yang termakan dilepaskan kembali sebagai buangan padat (kotoran). Edwards dan Lofty (1977) menyatakan bahwa sebagian besar bahan tanah mineral yang dicerna cacing tanah dikembalikan ke dalam tanah dalam bentuk kotoran yang lebih tersedia bagi tanaman. Produksi kotoran bergantung pada spesies dan musim, dan pada kondisi populasi yang sehat dapat dihasilkan 100 t/ha/tahun. Richard (1978) menyatakan bahwa cacing tanah mampu melakukan penggalian lubang hingga kedalaman 1 m, sehingga dapat meresapkan air dalam volume yang lebih besar serta mengurangi aliran permukaan dan erosi tanah. TATA LAKSANA TRB PADA USAHA TANI DI LAHAN KERING Koleksi Cacing Tanah Endogaesis-Geofagus di Alam Habitat cacing tanah dapat ditemukan pada tanah lahan kering masam sampai alkali (basa) yang memiliki kecukupan air. Jenis-jenis cacing tanah asli (native) biasanya hidup pada tanah bertekstur halus, umumnya liat, liat berdebu atau lempung berdebu, dan jarang ditemukan pada tanah berpasir. Umumnya cacing hidup pada pH 4,50−6,50, tetapi bila kandungan bahan organik tanah tinggi, cacing mampu berkembang pada pH 3. Pada musim kemarau, cacing tanah biasanya bermigrasi ke tanah-tanah basah, seperti daerah sumber air dan tanah di bawah pohon pisang. Koleksi dapat dilakukan dengan menempatkan pakan umpan (trap) berupa kotoran ternak sapi atau kerbau pada galian yang dibuat di permukaan tanah sedalam 30 cm. Setelah 2−3 hari, galian dibuka untuk mengambil cacing tanah yang terperangkap. Cacing tanah yang dikumpulkan dapat langsung diaplikasikan di lahan atau dibudidayakan di dalam bak terlebih dahulu dengan diberi pakan kotoran ternak secukupnya. Cacing hasil budi daya selanjutnya digunakan sebagai inokulan untuk diaplikasikan di lahan pertanian dengan menyeleksi cacing yang sehat (tidak cacat). Tabel 1. Kelompok ekologi cacing tanah. Penciri Epigaesis Anazesis Endogaesis Lubang Tidak ada Ada terbuka permanen ke permukaan tanah Ekstensif, sering dalam dan terus meluas Kotoran Tidak tampak jelas Di permukaan tanah/ terselip di antara tanah Di lubang/di dalam tanah, jarang di permukaan tanah Pigmentasi Warna gelap, penyamaran efektif Warna sedang bagian punggung, penyamaran rendah Tidak berwarna, tanpa penyamaran Makanan Pemakan serasah di permukaan tanah, tidak mencerna tanah Pemakan serasah di permukaan tanah dan dibawa ke dalam tanah, mencerna sebagian tanah Pemakan tanah bersama bahan organik, memakan akar-akar mati dalam tanah Sumber: Coleman dan Crossley (1996). Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008 Aplikasi/Inokulasi Cacing Tanah di Lapangan Sebelum diaplikasikan, disiapkan lubang berdiameter ± 8 cm melalui pengeboran dengan kedalaman sesuai yang dikehendaki (< 100 cm). Pengeboran dapat dilakukan dengan menggunakan bor tanah Belgi atau bor tanah yang lain sesuai dengan keperluan. Ukuran, jumlah atau kerapatan lubang, dan kedalaman lubang disesuaikan dengan kedalaman lapisan tanah padat dan volume air hujan yang akan diresapkan. Penghitungan volume air yang akan diresapkan dilakukan dengan menjumlahkan hasil perkalian antara volume lubang dan kerapatan atau jumlah titik bor per luasan. Setiap lubang diinokulasi cacing tanah dengan ukuran yang sama minimal 2 ekor/lubang. Inokulasi dilakukan pada saat tanah basah (kapasitas lapang) dan diusahakan tidak terkena sinar matahari langsung, lebih baik dilakukan pada sore atau malam hari. Setelah itu, lubang diisi bahan organik berupa kotoran ternak atau isi rumen sapi sampai menutup permukaan tanah (Gambar 1). Inokulasi cacing tanah dapat pula dilakukan dengan melepaskan langsung cacing pada malam hari ke lahan yang telah dibuat lubang dan diberi bahan organik. Pelepasan dilakukan jika bahan organik tersebut telah matang (2−3 hari setelah pemberian) dan tidak terdapat predator seperti semut merah, burung, babi, dan ular. Pemeliharaan Pemeliharaan cacing tanah yang telah dilepaskan di lahan usaha tani dilakukan dengan menjaga kondisi tanah di sekitar lubang tetap lembap (kapasitas lapang). Oleh karena itu, perlu dilakukan penyiraman secara berkala sesuai dengan kondisi tanah atau dengan memberi naungan. Apabila pakan organik pada lubang telah habis, bahan organik dapat ditambahkan kembali atau membuat lubang baru di sekitarnya kemudian diisi bahan organik sebagai pakan. Agar ketahanan hidup cacing lebih baik, menjelang musim kemarau (Maret) dilakukan pemupukan fosfat. Dengan cadangan fosfat yang cukup, cacing tanah dapat menghasilkan fosforesen yang tinggi untuk menyelimuti tubuh agar terhindar dari cekaman kekeringan. Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008 Air hujan Tanaman Erosi BO BO Tanah lapisan atas Banjir BD 1 Tanah lapisan bawah/ argilik Lubang cacing Cacing tanah Endogaesis BD 1,20 BO < 1% Ultisols Gambar 1. Konstruksi teknologi resapan biologi (TRB) pada lahan pertanian. Apabila mendapat cekaman lingkungan, cacing akan melindungi diri dengan mengeluarkan bahan mukus atau lendir untuk menyelimuti tubuhnya (Kokta 1992). Edwards dan Lofty (1977) juga menyatakan bahwa cacing tanah mengeluarkan fosforesen atau luminesen bila mengalami iritasi, fibrasi atau rangsangan lainnya. Hasil penelitian Subowo (2002) menunjukkan bahwa populasi cacing tanah Pheretima hupiensis berkorelasi nyata dan positif dengan kandungan fosfat-total tanah pada musim hujan. Pengendalian Populasi Sesuai dengan dinamika iklim yang mengalami kondisi kering pada musim kemarau, populasi cacing tanah umumnya akan tertekan pada kondisi tersebut. Untuk mempertahankan populasi dapat dilakukan dengan menyediakan daerah penyangga dengan menanam tanaman pisang di sekeliling lahan. Pada saat terjadi kekeringan, cacing tanah akan bermigrasi ke daerah basah, selanjutnya bila tingkat kebasahan rendah cacing tanah akan melindungi diri dengan melingkar di dalam tanah (diapause) sampai batas tertentu sesuai dengan kemampuannya (Kretzschmar dan Bruchou 1991). Selain itu, cacing tanah juga menghasilkan telur atau kokon yang relatif lebih tahan terhadap kekeringan. Saat kondisi lingkungan membaik, kokon akan menetas menjadi individu baru. Perluasan daerah jelajah cacing tanah dapat dilakukan dengan memberikan pakan dan kelembapan tanah secara bertahap ke daerah sasaran. Pada tekanan lingkungan yang ekstrim (kekeringan), cacing tanah akan melepaskan bahan mukus (lendir) yang berupa fosforesen yang banyak mengandung fosfat untuk melindungi diri (Edwards dan Lofty 1977). Oleh karena itu, peningkatan kandungan fosfat tanah untuk tanaman dapat pula dilakukan dengan mengeringkan tanah untuk melepaskan fosfat dari cacing tanah. KESIMPULAN Cacing tanah endogaesis-geofagus mampu mengolah tanah secara biologi dan dapat berlangsung secara terus-menerus sesuai dengan daya dukung. Teknologi resapan biologi (TRB) dengan memanfaatkan cacing tanah endogaesis-geofagus sebagai agen pengolah tanah dan pemberian bahan organik secara vertikal melalui pengeboran sampai pada lapisan tanah padat (argilik) dapat menurunkan kepadatan tanah dan meningkatkan produktivitas tanah, selanjutnya akan mengurangi aliran permukaan dan erosi tanah. DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A., K. Nugroho, dan S. Karama. 1998. Optimalisasi pemanfaatan sumber daya lahan untuk mendukung program Gema Palagung 2001. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komda HITI 1998. Buku 1. hlm. 1−11. Barber, R.G. and D. Romero. 1994. Effects of bulldozer and chain clearing on soil 149 properties and crop yields. Soil Sci. Soc. Amer. J. 58(6): 1.768−1.775. Brata, K.R. 1999. The introduction of earthworm as biological tillage agent for the improvement of soil physical and chemical properties in upland agriculture. Proceeding International Seminar Toward Sustainable Agriculture in Humid Tropics Facing 21st Century, Bandar Lampung, Indonesia, 27−28 September 1999. Ministry of Education, Science, Sport and Culture of Japan, International Centre for Research in Agroforestry, SEA Regional Research Programme, The Goverment of Lampung Province, Faculty of Agriculture, University of Lampung, Indonesia. p. 80− 85. Coleman, D.C. and D.A. Crossley, Jr. 1996. Fundamentals of Soil Ecology. Academic Press, San Diego, New York, Boston, London, Sydney, Tokyo, Toronto. p. 98−105. Edwards, C.A. and J.R. Lofty. 1977. Biology of Earthworms. A Halsted Press Boo, John Wiley & Sons, New York. 333 pp. Fanning, D.S. and M.C.B. Fanning. 1989. Soil Morphology Genesis and Classification. John Wiley and Sons, New York, Chichaster, Brisbane, Toronto, Singapore. 365 pp. 150 Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo, Jakarta. hlm. 263. Kokta, C. 1992. Measuring effect of chemicals in the laboratory: Effect criteria and endpoint. p. 55−62. In P.W. Greig-Smith, H. Becker, P.J. Edwards, and F. Heimbach (Eds.). Ecotoxycology of Earthworms. Intercept, Andover, UK. Kretzschmar, A. and C. Bruchou. 1991. Weight response to the soil water potential of the earthworm Aporrectodea longa. Biol. Fertil. Soils 12: 209−212. Lal, R. 1986. Soil surface management in the tropics for intensive land use and high sustained production. Adv. Soil Sci. Vol. 5. Springer Verlag (New York). p. 242. Lee, K.E. 1985. Earthworms: Their Ecology and Relationships with Soils and land Use. Academic Press (Harcourt basel Javonovich Publishers), Sydney, Orrando, San Diego, New York, London, Toronto, Montreal, Tokyo. 411 pp. Minnich, J. 1977. Behavior and habits of the earthworm. In the Earthworms Book, How to Raise and Use Earthworms for Your Farm and Garden. Rodale Press Emmanaus, P.A. p. 115−149. Rakhman, M.H. and M. Ito. 1996. Effect of compaction on soil three phase distribution and soybean growth in Ando soils. Japan J. Trop. Agric. 40(4): 182−188. Richard, B.N. 1978. Introduction to the Soil Ecosystem. Longman, London and New York. p. 43−50. Schwert, D.P. 1990. Oligochaeta: Lumbricidae. p. 341−356. In D.L. Dindal (Ed.). Soil Biology Guide. A Wiley Interscience Publication, John Wiley and Sons, New York, Chichaster, Brisbone, Toronto, Singapore. Subowo. 2002. Pemanfaatan Cacing Tanah (Pheretima hupiensis) untuk Meningkatkan Produktivitas Ultisol Lahan Kering. Disertasi, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 95 hlm. Sudharto, T., H. Suwardjo, A. Barus, dan D. Supardy. 1988. Pemberian Cacing Tanah (Peryonic excavatus, E. Perr) dalam Usaha Rehabilitasi Lahan Rusak Akibat Pembukaan Lahan Secara Mekanis. Laporan Hasil Penelitian Pascapembukaan Lahan Menunjang Transmigrasi di Kuamang Kuning, Jambi. Kerja Sama Pusat Penelitian Tanah, Bogor, dan Departemen Transmigrasi, Jakarta. hlm. 93–98. Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008