Tinjauan Pustaka PENATALAKSANAAN PIODERMA TERKINI Laksmi Dewi Budiani, Made Swastika Adiguna Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Udayana, RS Sanglah Denpasar-Bali ABSTRAK Sampai saat ini pioderma masih sering dijumpai dan masih menjadi masalah di beberapa nega ra berk embang , terma suk Ind onesia. Piode rma men empati urutan empat besar u ntuk kunjungan rawat jalan di Indonesia. Di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar didapatkan jumlak kasus pioderma pada tahun 2006, 2007, 2008 berturut-turut adalah 6,5% (287 kasus), 6,23% (267 kasus), dan 4,5% (175 kasus) dari seluruh kunjungan pasien baru dengan urutan tertinggi pada kelompok usia di bawah lima tahun. Staphylococcus aureus merupakan penyebab tersering pioderma di seluruh dunia, dengan gambaran klinis bervariasi mulai dari pioderma superficial, misalnya furunkel, folikulitis, impetigo bulosa, hingga infeksi ja rin gan lu nak in vasif. Ma salah uta ma dalam pen gob ata n infe ksi Staphylococcu s a dalah munculnya galur yang resisten terhadap antibiotik, yaitu methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Hal ini dapat disebabkan, antara lain karena penggunaan antibiotik dalam waktu lama dan kontrol yang kurang terhadap penggunaan antibiotika. Untuk pengobatan MRSA hanya ada empat antibiotik yang disetujui oleh Federal Drug Administration (FDA), yaitu vankomisin, linezolid, daptomisin, dan tigesiklin.(MDVI 2014; 41/2:85 - 90) Kata kunci: pioderma, MRSA ABSTRACT Until now pyoderma is still frequently founded and still a problem in developing countries including Indonesia. Pyoderma is placed at the big four of outpatients in Indonesia. The incidence of pyoderma at the outpatient division of Sanglah General Hospital Denpasar on 2006, 2007, 2008 were 6.5% (287 cases), 6.23% (267 cases) and 4.5% (175 cases)respectively. The group of below five years of age was rantes on the top. Staphylococcus aureus is the most implicated causative agent of pyoderma in the world, with various clinical features starting from superficial pyoderma to invasive soft tissue infection. The main issue in the treatment of staphylococcus infection is the emergence of resistant strain to antibiotic, the methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). This strain could arise due to long term and low control of antibiotic use. There are only four antibiotics for MRSA which have been approved by the FDA: vancomycin, linezolide, tigecycline, and daptomycine.(MDVI 2014; 41/2:85 - 90) Key words: pyoderma, MRSA Korespondensi : Jl. Diponegoro, Denpasar-Bali Telp/Fax:0 361-257517 e-mail: [email protected] 85 LD Budiani & MS Adiguna PENDAHULUAN Pioderma adalah infeksi kulit disertai pembentukan pus yang biasanya disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus dan Streptococcus hemoliticus.1 Pioderma menempati urutan empat besar jumlah kunjungan rawat jalan di Indonesia.2 Data dari 8 rumah sakit di 6 kota besar di Indonesia pada tahun 2001 didapatkan 1237 (13,86%) pasien pioderma dari 8919 kunjungan baru pasien kulit dan prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok usia 1-4 tahun.3 Di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar didapatkan angka kejadian pioderma pada tahun 2006, 2007, 2008 berturut-turut adalah 6,5% (287 kasus), 6,23% (267 kasus), 4,5% (175 kasus) dari seluruh kunjungan pasien baru dan urutan tertinggi pada kelompok usia di bawah lima tahun.4 Staphylococcus aureus merupakan sumber utama infeksi pada manusia dan penyebab pioderma tersering di seluruh dunia dengan gambaran klinis bervariasi.5 Selain infeksi pada kulit, Staphylococcus aureus juga sering menyebabkan infeksi lain pada manusia, misalnya osteomielitis, artritis septik, endokarditis infektif, dan pneumonia komplikata.6-8 Sebelum ditemukan antibiotik, infeksi invasif Staphylococcus aureus sering berakibat fatal. Perubahan besar terjadi pada prognosis pasien dengan ditemukannya penisilin pada tahun 1950.11,12 Beberapa tahun kemudian ditemukan galur bakteri yang resisten terhadap penisilin karena kemampuannya membentuk -lactamase.9,10 Pada awal tahun 1960 diperkenalkan metisilin sebagai obat yang efektif untuk infeksi Staphylococcus aureus yang resisten terhadap penisilin.13 Tetapi penemuan metisilin tersebut diikuti oleh munculnya galur yang resisten terhadap metisilin (methicillin-resistant Staphylococcus aureus). Galur ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1961 di Inggris14 dan penyebarannya meningkat pesat ke seluruh dunia, bahkan menjadi endemis di beberapa daerah pada awal tahun 1990.15 Taiwan dan Cina merupakan negara dengan prevalensi MRSA tertinggi di dunia.16 Rumah Sakit Dr Kariadi Semarang melaporkan 23 kasus infeksi luka operasi dengan MRSA,17 sedangkan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar dilaporkan 3 kasus MRSA.18 Sampai saat ini pengobatan pioderma seringkali hanya berdasarkan gejala klinis saja. Pemeriksaan kultur kuman dan uji sensitivitas obat tidak secara rutin dilakukan. Untuk menghindari terjadinya resistensi dalam pengobatan pioderma, perlu ditingkatkan pengetahuan mengenai pioderma dan penatalaksanaannya. DEFINISI DAN ETIOLOGI Pioderma adalah infeksi pada epidermis, tepat di bawah stratum korneum atau pada folikel rambut, oleh bakteri Penatalaksanaan pioderma terkini patogen yang sering disertai sekret purulen. Bakteri patogen tersering yang merupakan penyebab pioderma adalah Staphylococcus aureus, meskipun dapat disebabkan oleh Staphylococcus aureus maupun Streptococcus hemoliticus grup A.1 PATOGENESIS Stratum korneum yang intak merupakan salah satu pertahanan kulit terhadap bakteri patogen penyebab pioderma. Beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya pioderma adalah gigitan serangga, trauma lokal, kelainan kulit (terutama dermatitis atopik), higiene buruk, suhu dan kelembaban tinggi, usia pasien, riwayat pemakaian antibiotik, dan pemukiman padat. Penularannya terjadi melalui kontak langsung dengan individu terinfeksi. 19 Beberapa penelitian di Indonesia mendapatkan kelompok usia tertinggi yang menderita pioderma adalah kelompok usia di bawah lima tahun,3,4 kemungkinan karena sistem imunitas yang masih lemah dan seringnya anak-anak berada dalam suatu kelompok, misalnya lingkungan taman kanak-kanak atau sekolah.19 Berbagai protein imunomodulator yang dikeluarkan oleh bakteri tersebut, misalnya toksin, eksotoksin, dan adesin, menyebabkan timbulnya gambaran klinis. Adanya defek imun, misalnya ekskoriasi superfisial, infeksi jamur pada sela jari kaki, pembedahan, trauma, luka bakar, kateter intravaskular, akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Peran respon pejamu tidak selalu dapat diandalkan. Pada pasien imunodefisiensi dan pasien granulomatosa kronik, netrofil tidak dapat menghancurkan Staphylococcus aureus dan terjadi peningkatan kolonisasi bakteri sehingga infeksi bakteri penghasil toksin meningkat.20,21 Toksin ekfoliatif (ETs) terdiri atas ETA dan ETB. ETs adalah protease sering yang berikatan dengan molekul sel adesi desmoglein-1 pada epidermis dan memecah epidermis sehingga sel kehilangan daya adesinya. Biasanya epidermolisis terjadi di antara stratum spinosum dan granulosum sehingga lepuh yang timbul berdinding tipis dan kendur dengan tanda Nickolsky positif. ETA menyebabkan impetigo bulosa dan ETB menyebabkan Staphylococcal scalded skin syndrome.1,22 Enterotoksin Staphylococcus aureus yang disebut toxic shock syndrome toksin-1 (TSST-1) dikenal sebagai superantigen toksin pirogenik. Antigen konvensional memerlukan pengenalan oleh lima elemen kompleks reseptor sel T, sedangkan superantigen hanya memerlukan daerah rantai sehingga 5% - 30% sel T lainnya akan teraktivasi. Hal ini menyebabkan pelepasan sitokin dari makrofag secara sistemik, terutama interleukin 2, interferon-, dan tumor nekrosis faktor-.20,23 Stimulasi superantigen pada sel T juga menyebabkan aktivasi dan ekspansi limfosit yang mengekspresi daerah rantai- reseptor sel T spesifik. Hal ini 86 MDVI dapat mengaktivasi sel B, menyebabkan kadar imunoglobulin E (IgE) atau autoantibodi meningkat. Superantigen secara selektif dapat menginduksi antigen pada sel T yang berkaitan dengan limfosit kutan, sehingga menyebabkan proses "homi ng" ke kulit. Gempuran sitokin ini menyebabkan sindrom kebocoran kapiler dan dapat menjelaskan sebagian besar manifestasi klinis penyakit yang diperantarai superantigen, misalnya toxic shock syndrome (TSS) dan scarlet fever.1,21 MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis pioderma bervariasi, mulai dari pioderma superfisial hingga infeksi jaringan lunak invasif, bergantung pada lokasi anatomis infeksi dan faktor pejamu. Manifestasi klinis infeksi pada kulit dapat berupa impetigo bulosa dan impetigo non-bulosa, infeksi pada folikel rambut dan jaringan sekitarnya berupa folikulitis, furunkulosis dan karbunkel, sedangkan infeksi jaringan lunak berupa selulitis.1 PIODERMA YANG DISEBABKAN MRSA Masalah utama infeksi Staphylococcus aureus adalah munculnya galur yang resisten terhadap penisilin atau metisilin. 1 Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah organisme yang multi resisten walaupun methicillin-resistant sebenarnya berarti resisten terhadap antibiotik golongan -laktam.24 Dikenal 2 bentuk MRSA, yaitu healthcare-associated methicillin-resistant Staphylococcus aureus (HA-MRSA) dan community-acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA). HAMRSA adalah MRSA yang menginfeksi individu dengan faktor risiko, misalnya dirawat inap, dilakukan pembedahan, dan keadaan imunosupresi, sedangkan CA-MRSA menginfeksi individu di masyarakat tanpa faktor risiko.25 Standar Communication Disease Center (CDC) menyebutkan bahwa faktor risiko infeksi yang berhubungan dengan MRSA sebagai 5 C's yaitu: (1) contaminated items: barang-barang yang terkontaminasi; (2) close contact: kontak erat, penularan dapat terjadi dalam satu keluarga dan antar kelompok orang yang kontak erat, misalnya anak-anak di penitipan anak, narapidana, dan atlet yang kontak dengan atlet lainnya di bidang olahraga tertentu; (3) crowding: populasi padat penduduk; (4) Cleanliness: kebersihan yang kurang; (5) cuts and other compromised skin integrity: luka dan integritas kulit yang menurun.26 Beberapa perbedaan antara CA-MRSA dengan HAMRSA, yaitu: (1) CA-MRSA lebih sering menginfeksi populasi usia muda; (2) CA-MRSA lebih sering berkaitan dengan infeksi kulit dan jaringan lunak; (3) HA-MRSA umumnya resisten terhadap lebih banyak jenis antibiotik dibandingkan CA-MRSA; (4) CA-MRSA mengandung Sta- 87 Vol. 41 No. 2 Tahun 2014; 85 - 90 phylococcal cassette chromosomal mec (SCCmec) tipe IV dan V, sedangkan HA-MRSA mengandung SCCmec tipe I, II dan III. SCCmec mengandung gen mecA, gen yang bertanggung jawab tentang sintesis protein pembawa sifat resistensi terhadap berbagai antibiotik; (5) galur CA-MRSA hampir 100% mengandung gen panton valentine leukosidin (PVL), sedangkan HA-MRSA jarang (5%); (6) CA-MRSA terutama disebabkan oleh galur USA 300 dan 400, sedangkan HA-MRSA oleh galur USA 100 dan 200.27-29 Infeksi tersering yang disebabkan MRSA adalah infeksi kulit dan jaringan lunak, gambaran klinisnya mirip pioderma karena methicillin-sensitive Staphylococcus aureus (MSSA). Brasel dkk menyebutkan lesi kulit infeksi MRSA khas, yaitu menyerupai gigitan laba-laba (spider bite) dengan nekrosis sentral yang dikelilingi oleh eritema dan indurasi.30 Galur CA-MRSA dapat mengeluarkan toksin yang disebut panton-valentine leucocidin (PVL), yang dapat menghancurkan sel darah putih dan jaringan hidup sehingga memperberat manifestasi klinis. Lesi kulit infeksi galur CAMRSA yang mengandung gen PVL umumnya multipel, sering terjadi infeksi berulang, berukuran lebih besar, terdapat nekrosis kulit (nekrosis fasiitis), dan sering disertai komplikasi pneumonia yang berakibat fatal.31 Diagnosis infeksi kulit oleh MRSA memerlukan anamnesis yang teliti mengenai faktor risiko, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang, misalnya darah lengkap, pulasan gram swab luka, kultur dan uji sensitivitas, dan bila perlu pemeriksaan protein chain reaction (PCR) untuk menentukan adanya gen PVL.32 PENATALAKSANAAN Apabila terdapat abses kutan, tindakan utamanya adalah insisi dan drainase, untuk abses atau bisul yang kecil tindakan ini cukup. Antibiotik diberikan bila terdapat abses yang berat dan luas, abses yang cepat berkembang menjadi selulitis, abses dengan tanda dan gejala sistemik, abses yang berhubungan dengan keadaan imunosupresi, abses pada usia tua, abses di daerah yang sulit dilakukan drainase, abses yang berhubungan dengan flebitis septik dan abses yang tidak membaik dengan insisi dan drainase saja.33 Pembersihan benda asing, misalnya benang jahit, massa atau prostetik di dalamnya perlu segera dilakukan karena benda asing tersebut merupakan nidus untuk bakteri dan terjadi pembentukan biofilm. Biofilm di sekitar benda asing dapat melindungi bakteri terhadap antibiotik.34 Kultur dari abses serta infeksi kulit dan jaringan lunak purulen lainnya dianjurkan pada pasien yang diobati dengan antibiotik, pasien dengan infeksi lokal yang berat atau disertai tanda sistemik, pasien yang tidak membaik pada terapi awal, dan bila dipertimbangkan akan terjadi suatu kejadian luar biasa.33 LD Budiani & MS Adiguna Penatalaksanaan pioderma terkini Pemilihan antibiotik Linezolid Secara garis besar dibagi menjadi dua, yang pertama adalah terapi untuk infeksi MSSA dan kedua adalah terapi untuk MRSA.1 Merupakan antibiotik pertama golongan oxazolidinones, ditemukan tahun 1990. Obat ini selektif mengikat sub unit ribosom 50S bakteri yang menghambat pembentukan kompleks inisiasi fungsional, efektif terhadap patogen gram positif, misalnya Enterococcus faeceum, Staphylococcus aureus, S. agalactiae, S. pneumoniae dan S. pyogenes.39 Linezolid mempunyai bioavailabilitas 100%. Dosis oral 600 mg dapat mencapai konsentrasi plasma yang sama dengan pemberian secara intravena. Konsentrasi pada cairan bula kulit mencapai 104% dari konsentrasi plasma. Obat ini diindikasikan untuk infeksi kulit dengan komplikasi dan diabetic foot. Efek sampingnya, antara lain: (1) mielosupresi yang reversible (anemia, leukopenia, pansitopenia dan trombositopenia) sehingga perlu pemeriksaan darah lengkap setiap minggu bila diberikan selama lebih dari 2 minggu; (2) tidak boleh diberikan bersama makanan atau obat yang mengandung tiramin atau pseudoefedrin; (3) dapat timbul ruam kulit, nafsu makan menurun, konstipasi, demam, reaksi alergik berat, tinitus dan kolitis pseudomembran; (4) toksik pada mitokondria sehingga dapat terjadi asidosis laktik dan neuropati perifer. Linezolid lebih unggul dibandingkan vankomisin karena penyembuhan klinisnya lebih baik, dapat diberikan secara oral, dan lama perawatan lebih singkat.41,42 Dosis linezolid dewasa bergantung pada kondisi infeksi. Pada infeksi tanpa komplikasi dosis linezolid 400 mg per-oral setiap 12 jam selama 10 sampai 14 hari, sedangkan infeksi dengan komplikasi diberikan 600 mg secara intra vena atau per-oral setiap 12 jam selama 10 sampai 14 hari.39 Pemilihan antibiotik untuk infeksi MSSA Pilihan terapinya meliputi mupirosin dan asam fusidat sebagai terapi topikal. Terapi lokal dengan salep atau krim mupirosin, pembersihan krusta, dan higiene yang baik cukup untuk menyembuhkan kasus ringan hingga sedang. Terapi sistemik yang dapat diberikan adalah golongan penisilin, misalnya dikloksasilin serta amoksilin dengan asam klavulanat. Untuk pasien yang alergi terhadap penisilin, dapat diberikan azitromisin, klindamisin atau eritromisin.1 Pemilihan antibiotik untuk infeksi MRSA Jika diduga kuat infeksi disebabkan oleh CA-MRSA, dapat dilakukan rawat jalan dan diberikan sulfametoksazoltrimetoprim, minosiklin, doksisiklin atau klindamisin. Sulfametoksazol-trimetoprim secara mikrobiologis sangat efektif terhadap MRSA, tetapi hasil penelitian klinis tidak sebaik vankomisin.35,36 Hanya ada empat antibiotik yang diakui oleh FDA untuk pengobatan MRSA, yaitu vankomisin, linezolid, daptomisin dan tigesiklin.37 Fluorokuinolon generasi baru Gatifloksasin, moksifloksasin, oksifloksasin dan levofloksasin yang diberikan secara kombinasi dengan rifampisin memberikan hasil beragam. Dengan meningkatnya resistensi CA-MRSA terhadap fluorokuinolon, maka obat ini sebaiknya tidak digunakan sebagai pengobatan lini pertama.37,38 Vankomisin Pertama kali ditemukan tahun 1956 pada contoh tanah di daerah Asia Tenggara, diproduksi oleh Actinomycetes dan Streptococcus orientalis. Obat ini merupakan antimikroba glikopeptida yang berikatan C terminal dan unit prekursor peptidoglikan yang mencegah pembentukan dinding sel bakteri. Vankomisin bekerja pada permukaan luar membran sel bakteri dan tidak dapat berpenetrasi ke dalam sitoplasma bakteri. Untuk meningkatkan efektivitasnya, pemberian vankomisin dikombinasikan dengan rifampisin atau aminoglikosida, tersedia dalam bentuk infus.39 Dosis dewasa vankomisin yang dianjurkan adalah 15 mg/kgBB secara intravena setiap 12 jam selama 10 sampai 14 hari, bergantung pada keadaan klinis dan perjalanan penyakit.39 Dosis pada anak yang dianjurkan adalah 60 mg/ kgBB/hari.41 Daptomisin Daptomisin merupakan antibiotik lipopeptida yang hanya aktif melawan organisme gram positif, didapat secara alami dari saprofit di tanah, yaitu Streptomyces roseoporus. Daptomisin berikatan dengan membran sel bakteri yang memerlukan kalsium untuk hidupnya sehingga terjadi depolarisasi cepat tanpa lisis dan kemudian menimbulkan kematian sel bakteri.39 Daptomisin bersifat bakterisidal kuat dengan dosis 2 gr setiap 24 jam. Untuk infeksi kulit dan jaringan lunak diberikan 4 mg/kg BB sekali sehari, sedangkan untuk bakteremia Staphylococcus aureus atau endokarditis dosisnya 6 mg/kgBB sekali sehari. Kesembuhan klinis 81% dan eradikasi mikrobiologis 91%. Efek sampingnya adalah mual, muntah, mialgia, meningkatnya kadar enzim otot (CPK), miopati dan rabdomiositis.39 Tigesiklin Tigesiklin termasuk golongan glycyclines, mempunyai struktur sama dengan tetrasiklin, dengan rangka 4 cincin 88 MDVI karbolik sentral. Obat ini bersifat bakteriostatik dengan sasaran ribosom bakteri.39 Tigesiklin merupakan glikopeptida baru dengan spektrum luas terhadap infeksi gram positif, termasuk MRSA, VRE, basil gram negatif, dan organisme atipik. Obat ini merupakan alternatif untuk organisme yang multidrug resistant. Dosis tigesiklin untuk infeksi kulit dan jaringan lunak adalah 100 mg intra vena pada awalnya kemudian 50 mg intravena setiap 12 jam selama 5 sampai 14 hari, bergantung beratnya infeksi dan perjalanan penyakit.39 PENUTUP Pioderma merupakan infeksi kulit dan jaringan lunak yang disertai pembentukan pus, paling sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus hemoliticus. Berbagai protein imunomodulator, misalnya toksin, eksotoksin dan adesin mempengaruhi gambaran klinis dan perkembangan penyakitnya. Manifestasi klinis pioderma adalah impetigo bulosa, impetigo non bulosa, ektima, folikulitis, furunkel, karbunkel, abses, paronikia, selulitis, dan lain-lain. Masalah utama penanganan pioderma saat ini adalah timbulnya galur Staphylococcus aureus yang resisten terhadap penisilin atau metisilin MRSA, sehingga pengobatannya dibagi menjadi dua, yaitu terapi untuk infeksi MSSA dan untuk MRSA. Jika terdapat abses, tindakan utama adalah insisi dan drainase. Antibiotik dipertimbangkan untuk kasus yang berat dan luas. Pada infeksi MSSA dapat diberikan mupirosin atau asam fusidat topikal, sistemik dapat diberikan golongan penisilin. Untuk pengobatan MRSA hanya empat antibiotik yang diakui FDA, yaitu vankomisin, linezolid, daptomisin dan tigesiklin. DAFTAR PUSTAKA 1. Craft N, Lee PK, Zipoli MT, Weinberg AN, Swartz MN, Johnson RA. Superficial cutaneous infections and pyodermas. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Company; 2008. h. 1694-709 2. Anonim. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: Depatemen Kesehatan RI; 2008. 3. Wisesa TW. Pioderma pada bayi dan anak. Dalam: Budiardja SA, Sugito TL, Kurniati DD, penyunting. Infeksi kulit pada bayi dan anak.Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2005. h.35-47 89 Vol. 41 No. 2 Tahun 2014; 85 - 90 4. Budiani LD, Dhana Saputra IPK, Rusyati LM, dkk. Profil pioderma di poliklinik kulit dan kelamin RS Sanglah Denpasar Periode Januari 2006-Desember 2008 (Studi Retrospektif). Naskah lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan X. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Banten 29 -31 Oktober 2009 5. Crossley K. Overview of Staphylococcus aures in medicines. Dalam: Weigelt JA, penyunting. MRSA. New York: Informa healthcare; 2007. h.1-10 6. Micek ST. Pleuropulmonary complications of pantonvalentine leukosidin positive community-acquired methicillin resistant Staphylococcus aureus. Chest. 2005; 128: 2732-8. 7. Bocchini CE, Hulten KG, Mason EO, Gonzales BE, Hammerman WA, Kaplan SL. Panton-valentine leukosidin genes are associated with enhanced inflammatory response and local disese in acute hematogenous Staphylococcus aureus osteomyelitis in children. Pediatrics. 2006; 117(2): 433-40. 8. Brown EL. Pediatric antibody response to communityacquired Staphylococcus aureus infection is directed to panton-valentine leukosidin. Clin and Vacc Immunol. 2008; 16(1): 139-41 9. Riyanto E. "Staphylococcus aureus pembawa gen MecA. Prevalensi strain MRSA pada pasien pioderma di Unit Rawat Jalan divisi dermatologi anak Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya" (tesis). Surabaya: Universitas Airlangga; 2005. 10. Hamilton SM, Bryant AE, Carroll KC, Lockary V, Ma Y, McIndoo E, dkk. In vitro production of panton-valentine leukosidin among strain of methicillin resistant Staphylococcus aureus causing diverse infections. CID. 2007; 45: 1550-8 11. Budimir A, Deurenberg RH, Plecko V, Vink C, Kalenic S, Stobberingh EE. Molecular characterization of methicillin resistant Staphylococcus aureus bloodstream isolates from Croatia. J Antimic Chem. 2006; 57: 331-4 12. Lucado J.L. An assessment of methicillin-resistant Staphylococcus aures outside hospital settings in allegheny county, pennsylvania (tesis). Pittsburgh: University of Pittsburgh; 2008. 13. McDonald RR, Antonishyn NA, Hansen T, Snook LA, Nagle E, Mulvey MR, dkk. Development of a triplex real-time PCR assay for detection of panton-valentine leukosidin toxin genes in clinical isolates of Methicillin Resistant Staphylococcus aureus. J Clin Microbiol. 2005; 43: 6147-9 14. Ma XX, Ito T, Kondo Y, Cho M, Yoshizawa Y, Kaneko J, dkk. Two different panton-valentine leukosidin phage lineage predominate in Japan. J Clin Microbiol. 2008; 46: 3246-58 15. O'Hara FP, Guex N, Word JM, Miller LA, Becker JA, Walsh SL, dkk. A Geographic variant of the Staphylococcus aureus panton-valentine leukosidin toxin and the origin of community-associated methicillin resistant Staphylococcus aureus USA300. JID. 2008; 197: 187-94 16. Severin JA, Lestari ES, Kuntaman K, Melles DC, Pastink M, Peeters JK, dkk. Unusually high prevalence of pantonvalentine leukosidin genes among methicilin sensitive Staphylococcus aureus strain carried in the Indonesian population. J Clin Microbiol. 2008; 46(6):1989-5 17. Nurkusuma DD. Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada kasus infeksi luka paska operasi di ruang perawatan bedah LD Budiani & MS Adiguna Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang, 2009 (tesis) 18. Marpaung IM, Birawan IM, Darmada IGK. Tiga kasus infeksi kulit superfisial yang disebabkan MRSA di RSUP Sanglah. Naskah lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan X. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Banten 29 -31 Oktober 2009 19. Zulkarnain I. Etiopatogenesis dan penatalaksanaan impetigo. Dalam: Agusni I, Zulkarnain I, Sawitri, penyunting. Dermatosis bulosa pada bayi dan anak. Edisi ke-1. Surabaya: Airlangga University Press; 2007. h. 17-24 20. Saavedra A, Weinberg AN, Swartz MN, Johnson RA. Softtissue infections: erysipelas, cellulitis, gangrenous cellulitis and myonecrosis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Company; 2008.h. 1720-31. 21. Travers JB, Mousdicas N. Gram-positive infection associated with toxin production. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Company; 2008. h. 1710-9 22. Stanley JR, Amagai M. Mechanisms of disease: pemphigus, bullous impetigo, and the Staphylococcal scalded-skin syndrome. NEJM. 2006; 355: 1800-10 23. Lowy F.D. Antimicrobial resistance: the example of Staphylococcus aureus. J Clin Inves. 2003; 111: 1265-73 24. Martin JM, Green M. Group A Streptococcus. Semin Pediatr Infect Dis. 2006; 1045: 140-8 25. Reed RL. Antibiotics for MRSA infections. Dalam: Weigelt JA, penyunting. MRSA. New York: Informa Healthcare; 2007. h. 147-63 26. Bouguessa NR, Bes M, Meugnier H, Forey F, Reverdy ME, Lina G, dkk. Detection of methicillin resistant Staphylococcus aureus strains resistant to multiple antibiotics and carrying the panton-valentine leukosidin genes in an Algiers Hospital. Antimicrob Agents Chemother. 2005; 50: 1083-5 27. Anonim. Guidance on the diagnosis and management of PVLassociated Staphylococcus aureus infections (PVL-SA) in England. Edisi ke-2. PVL sub-group of the Steering Group on Helathcare Associated Infection. 2008. 28. Jones RN, Nilius AM, Akinlade BK, Deshpande LM, Notario GF. Molecular characterization of Staphylococcus aureus isolates from a 2005 clinical trial of uncomplicated skin and skin structure infections. Antimic Agents Chemother. 2007; 51: 3381-4 29. Baggett HC, Hennessy TW, Rudolph K, Bruden D, Reasonover A, Parkinson A, dkk. Community-onset Methicillin resistant Staphylococcus aureus associated with antibiotic use and the cytotoxin panton-valentine leukosidin during a furunculosis outbreak in Rural Alaska. JID. 2004; 189: 1565-73 Penatalaksanaan pioderma terkini 30. Witte W, Strommenger B, Cuny C, Heuck D, Nuebel U. Methicillin resistant Staphylococcus aureus containing the panton-valentine leukosidin gene in Germany in 2005 and 2006. J Antimicrob Chemother. 2007; 60: 1258-63 31. Brasel KJ, Weigelt JA. Community-acquired MRSA as a pathogen. Dalam: Weigelt JA, penyunting. MRSA. New York: Informa healthcare; 2007.h.43-54 32. Bocchini CE, Hulten KG, Mason EO, Gonzalez BE, Hammerman WA, Kaplan SL. Panton-valentine leukosidin genes are associated with enhanced inflammatory response and local disese in acute hematogenous Staphylococcus aureus osteomyelitis in children. Pediatrics. 2006; 117: 433-40 33. Hammond SP, Baden LR. Management of skin and soft-tissue infection: polling result. NEJM. 2011; 105: 20-2 34. Nathwani D, Morgan M, Masterton RG, Dryden M, Cookson DB, French G. Guidelines for UK practice for the diagnosis and management of methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infections presenting in the community. J Antimicrob Chemother. 2008; 61: 976-94 35. Liu C, Bayer A, Cosgorove SE, Daum RS, Fridkin SK, Gorwitz RJ, dkk. Clinical practice guidelines by the infectious diseases society of America for the treatment of Methicillin-resistant Staphylococcus aureus infections in adults and children: executive summary. 2011; 52: 285-92 36. Levine DP. Therapy for community-associated MRSA infections: antibiotics and more. CID.2008; 9: 1-6 37. Gould FK, Brindle R, Chadwick PR, Fraise AP, Hill S, Nathwani D, dkk. Guidelines (2008) for the prophylaxis and treatment of Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infections in the United Kingdom. J Antimicrob Chemother. 2009; 63: 848-61 38. Smith SM, Eng RHK, Tumang FT. Ciprofloxacin therapy for Methicillin resistant Staphylococcus aureus infections or colonization. Antimicrob Agents Chemother. 1989; 33: 181-4 39. Reed RL. Antibiotics for MRSA Infections. Dalam: Weigelt JA, penyunting. MRSA. New York: Informa Healthcare; 2007.h. 147-63 40. Giuliano C, Haase KK, Hall R. Use of vankomisin pharmacokinetic-pharmacodynamic properties in the treatment of MRSA infections. Expert Rev Anti Infect Ther. 2010; 8: 95-106 41. Dodds, Hawke CI. Linezolid versus vancomycin for MRSA skin and soft tissue infections (Systematic Review and MetaAnalysis). ANZ J Surg. 2009;79: 629-35 42. Livermore DM. Linezolid in vitro: mechanism and antibacterial spectrum. J Antimicrob Chemother. 2003; 51: 9-16 90