BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN TEORITIS 2.1.1 Konsep Appendicitis 2.1.1.1 Definisi Apendicitis Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, "buta") dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing. Usus buntu dalam bahasa latin disebut sebagai Appendix vermiformis, Organ ini ditemukan pada manusia, mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Pada awalnya organ ini dianggap sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai fungsi, tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh) di mana memiliki/berisi kelenjar limfoid. Seperti organ tubuh yang lainnya, usus buntu tentu dapat mengalami gangguan dan penyakit tersebut dikenal sebagai Penyakit Radang Usus Buntu (Appendicitis). 2.1.1.2 Klasifikasi Klasifikasi apendicitis terbagi atas 2 yakni : 1. Apendisitis akut, dibagi atas: Apendicitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah. 2. Apendicitis kronis, dibagi atas: Apendicitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua. 2.1.1.3 Anatomi dan Fisiologi Appendiks merupakan organ yang kecil dan vestigial (organ yang tidak berfungsi) yang melekat sepertiga jari. 1. Letak apendiks. Appendiks terletak di ujung sakrum kira-kira 2 cm di bawah anterior ileo saekum, bermuara di bagian posterior dan medial dari saekum. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior, medial dan posterior. Secara klinik appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan sias kanan dengan pusat. 2. Ukuran dan isi apendiks. Panjang apendiks rata-rata 6 – 9 cm. Lebar 0,3 – 0,7 cm. Isi 0,1 cc, cairan bersifat basa mengandung amilase dan musin. 3. Posisi apendiks. Laterosekal: di lateral kolon asendens. Di daerah inguinal: membelok ke arah di dinding abdomen. Pelvis minor. 2.1.1.4 Etiologi Apendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing dalam tubuh, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendicitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit apendisitis. Tinja yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah timbulnya apendicitis. 2.1.1.5 Patogenesis Patologi apendicitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendicitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti apendicitis berada dalam keadaan perforasi. Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah (Rudi Haryono, 2012). 2.1.1.6 Tanda dan Gejala 1) Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya demam ringan 2) Mual, muntah 3) Anoreksia, malaise 4) Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney 5) Spasme otot 6) Konstipasi, diare (Brunner & Suddart, 1997) 2.1.1.7 Komplikasi Komplikasi utama appendicitis adalah perforasi appendiks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidensi perforasi 10-32%. Perforasi terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik dan nyeri abdomen atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Rudi Haryono, 2012). 2.1.1.8 Appendictomy Appendictomy adalah pembedahan untuk mengangkat appendiks yang telah meradang (Smeltzer S, 2001). Appendictomy merupakan pengobatan yang paling baik bagi penderita appendicitis. Tekhnik tindakan appendictomy ada 2 macam yaitu open appendictomy dan laparoscopy appendictomy. open appendictomy yaitu dengan cara mengiris kulit daerah McBurney sampai menembus peritonium, sedangkan laparoscopy appendictomy adalah tindakan yang dilakukan dengan menggunakan alat laparoskop yang dimasukkan lewat lubang kecil di dinding perut. Keuntungan laparoscopy appendictomy adalah luka dinding perut lebih kecil, lama hari rawat lebih cepat, proses pemulihan lebih cepat, dan dampak infeksi luka operasi lebih kecil (Schwartz, et al., 1999). 2.1.2 Konsep Penyembuhan Luka 2.1.2.1 Definisi Luka Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam dan tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan (Syamsuhidayat, 2011). Sedangkan menurut Potter, Patricia A, 2006 luka adalah rusaknya fungsi anatomis normal akibat proses patologis yang berasal dari internal maupun external dan mengenai organ tertentu. Dan luka juga dapat digambarkan sebagai gangguan dalam kontinuitas sel-sel, kemudian diikuti dengan penyembuhan luka yang merupakan pemulihan kontinuitas tersebut. Ketika terjadi luka, beragam efek dapat terjadi antara lain : kehilangan segera atau sebagian fungsi organ, hemorhagia dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri serta kematian sel. Untuk semua jenis luka, penanganan dan perawatan luka dengan tekhnik asepsis yang cermat adalah faktor paling penting untuk meminimalkan dan meningkatkan keberhasilan perawatan luka (Smeltzer, suzanne. C, 2002) 2.1.2.2 Klasifikasi luka Berbagai klasifikasi dapat tumpang tindih satu dengan yang lain. Beberapa klasifikasi luka antara lain : 1. Berdasarkan penyebab luka 1) Luka insisi Luka yang dibuat dngan potongan bersih menggunakan instrumen tajam sebagai contoh, luka yang dibuat oleh ahli bedah dalam setiap prosedur operasi. Luka bersih (luka yang dibuat secara aseptik) biasanya ditutup dengan jahitan setelah semua pembuluh yang berdarah diligasi dengan cermat. 2) Luka kontusi Luka yang terjadi dengan dorongan tumpul dan ditandai cidera berat bagian yang lunak, hemorhagi dan pembengkakan. 3) Luka laserasi Luka dengan bagian tepi jaringan bergerigi, tidak teratur, seperti luka yang dibuat oleh kaca atau goresan kawat. 4) Luka tusuk Luka dengan bukaan kecil pada kulit – sebagai contoh, luka yang dibuat oleh peluru atau tusukan pisau ( Smeltzer, Suzanne. C, 2002) 2. Berdasarkan tingkat kontaminasi 1) Luka bersih Merupakan luka bedah tidak terinfeksi dimana tidak terdapat inflamasi dari saluran pernapasan, pencernaan, genital atau saluran kemih yang tidak terinfeksi, tidak dimasuki. Luka bersih biasanya dijahit tertutup, jika diperlukan, dengan sistem drainase tertutup dipasangkan. Kemungkinan relatif dari infeksi luka adalah 1% sampai 5%. 2) Luka kontaminasi-bersih Adalah luka bedah dimana saluran pernapasan, pencernaan, genital atau perkemihan dimasuki dibawah kondisi yang terkontrol; tidak terdapat kontaminasi yang tidak lazim. Kemungkinan relatif dari infeksi luka adalah 3% sampai 11%. 3) Luka terkontaminasi Mencakup luka terbuka, luka akibat kecelakaan, dan prosedur bedah dengan pelanggaran dalam tehnik aseptik atau semburan banyak dari saluran gastrointestinal, termasuk dalam kategori ini adalah insisi dimana terdapat inflamasi akut, nonpurulen. Kemungkinan relatif dari infeksi luka adalah 10% sampai 17%. 4) Luka kotor atau terinfeksi Merupakan luka dimana organisme yang menyebabkan infeksi pascaoperatif terdapat dalam lapang operatif sebelum pembedahan. Hal ini mencakup luka traumatik yang sudah lama dengan jaringanyang terkelupas tertahan dan luka melibatkan infeksi klinis yang sudah ada atau visera yang mengalami perforasi. Kemungkinan relatif nfeksi luka adalah lebih dari 27% (Smeltzer, suzanne. C, 2002). 2.1.2. 3 Fisiologi penyembuhan luka Beragam proses seluler yang saling tumpang tindih dan terus menerus memberikan kontribusi terhadap pemulihan luka: regenerasi sel, proliferasi sel, dan pembentukan kolagen. Respon jaringan terhadap cedera melewati beberapa fase: inflamasi, proliferatif, dan maturasi. 1. Fase inflamasi Respon vaskuler dan seluler terjadi ketika jaringan terpotong atau mengalami cedera. Vasokonstriksi pembuluh terjadi dan bekuan fibrinoplatelet terbentuk dalam upaya untuk mengontrol perdarahan. Reaksi ini berlangsung dari 5 menit sampai 10 menit dan diikuti oleh vasodilatasi venula. Mikrosirkulasi kehilangan kemampuan vasokonstriksinya karena norepinefrin dirusak oleh enzim intraseluler. Juga, histamin dilepaskan, yang meningkatkan permeabilitas kapiler. Ketika mikrosirkulasi mengalami kerusakan, elemen darah seperti antibodi, plasma protein, elektrolit, komplemen, dan air menembus spasium vaskular selama 2-3 hari, menyebabkan edema, teraba hangat, kemerahan dan nyeri. Netrofil adalah leukosit pertama yang bergerak ke dalam jaringan yang rusak. Monosit yang berubah menjadi makrofag menelan debris dan memindahkannya dari area tersebut. Antigen-antibodi juga timbul. Sel-sel basal pada pinggir luka mengalami mitosis, dan menghasilkan sel-sel anak yang bermigrasi. Dengan aktivitas ini, enzim proteolitik disekresikan dan menghancurkan bagian dasar bekuan darah. Celah antara dua sisi luka secara progresif terisi, dan sisinya pada akhirnya saling bertemu dalam 24-48 jam. Pada saat ini, migrasi sel ditingkatkan oleh aktivitas sumsum tulang hiperplastik. 2. Fase proliferatif Fibroblas memperbanyak diri dan membentuk jaring-jaring untuk sel-sel yang bermigrasi. Sel-sel epitel membentuk kuncup pada pinggiran luka, kuncup ini berkembang menjadi kapiler, yang merupakan sumber nutrisi bagi jaringan granulasi yang baru. Kolagen adalah komponen utama dari jaringan ikat yang digantikan. Fibroblas melakukan sintesis kolagen dan mukopolisakarida. Dalam periode 2-4 minggu, rantai asam amino membentuk serat-serat dengan panjang dan diameter yang meningkat. Serat-serat ini menjadi kumpulan bundel dengan pola yang tersusun baik. Sintesis kolagen menyebabkan kapiler untuk menurun jumlahnya. Setelah itu, sintesis kolagen menurun dalam upaya untuk menyeimbangkan jumlah kolagen yanng menurun. Sintesis dan lisis seperti ini mengakibatkan peningkatan kekuatan. Setelah 2 minggu luka hanya memiliki 3% sampai 5% dari kekuatan kulit aslinya. Sampai akhir bulan hanya 35% sampai 59% kekuatan luka tercapai. Tidak akan lebih dari 70% sampai 80% kekuatan dicapai kembali. Banyak vitamin, terutama vitamin C, membantu dalam proses metabolisme yang terlibat dalam penyembuhan luka. 3. Fase maturasi Sekitar 3 minggu setelah cedera, fibroblas mulai meninggalkan luka. Jaringan parut tampak besar, sampai fibrin kolagen menyusun ke dalam posisi yang lebih padat. Hal ini, sejalan dengan dehidrasi, mengurangi jaringan parut tetapi meningkatkan kekuatannya. Maturasi jaringan seperti ini terus berlanjut dan mencapai kekuatan maksimum dalam 10 atau 12 minggu, tetapi tidak pernah mencapai kekuatan asalnya dari jaringan sebelum luka. Luka dikatakan sembuh apabila permukaannya dapat bersatu kembali dan didapatkan kekuatan jaringan yang mencapai normal. Luka dapat dikatakan sembuh dengan baik apabila luka kering dan tidak terdapat tanda-tanda infeksi. Sedangkan luka dikatakan tidak sembuh apabila luka masih basah dan ada tanda-tanda infeksi. (Tamher, Sayuti. 2008). 2.1.2.3 Komplikasi penyembuhan luka Komplikasi penyembuhan luka meliputi infeksi, perdarahan, dehisensi, dan eviscerasi. 1. Infeksi Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2-7 hari setelah pembedahan. Gejala infeksi adanya purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak disekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih. 2. Perdarahan Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada tanda. Sehingga balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus sering dilihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu. Jika perdarahan berlebihan terjadi, penambahan tekanan balutan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan. 3. Dehisensi dan eviserasi Dehisensi dan eviserasi adalah komplikasi operasi yang paling serius. Dehisensi adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviserasi adalah keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, gagal untuk menyatu, batuk yang berlebihan, muntah dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami dehisensi luka. Dehisensi luka dapat terjadi 4-5 hari setelah operasi sebelum kolagen meluas di daerah luka. Ketika dehisensi dan eviserasi terjadi luka harus segera ditutup dengan balutan steril yang lebar, kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka. 4. Fistula Fistula adalah suatu lintasan abnormal antara dua permukaan epitel yang menghubungkan satu viksus dengan viksus lainnya atau menghubungkan satu viksus dengan kulit. Terdapat banyak penyebab terjadinya fistula. Pembentukan fistula dapat iatrogenik, akibat rusaknya anastomosis setelah pembedahan atau kerusakan yang disebabkan oleh posisi drain luka yang buruk. 2.1.2.5 Faktor- faktor yang Dapat Mempengaruhi Proses Penyembuhan Luka Post Appendictomy Lama hari rawat pasien post operasi apendisitis dirawat antara 5-7 hari. Menurut mansjoer, Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk diluar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang. (Mansjoer, 2000). Proses mengangkat jahitan pada luka post operasi bersih 5-7 hari atau sesuai dengan penyembuhan luka yang terjadi. (Eny Kusnyati, 2006). Namun tekhnik penutupan luka operasi saat ini telah mengalami perkembangan dimana pada penutupan akhir dinding abdomen yaitu pada penutupan kulit dengan tekhnik subtikuler dan menggunakan benang yang dapat di absorbsi. Hal ini tentu akan meningkatkan kenyamanan pasien pasca bedah. Faktor-faktor yang dapat menghambat penyembuhan luka pasca operasi ada 2 faktor yaitu faktor intrinsik : umur, penyakit penyerta, status nutrisi, oksigenasi dan perfusi jaringan, serta merokok. Kemudian faktor ekstrinsik : teknik pembedahan buruk, mobilisasi, pengobatan, manajemen luka yang tidak tepat, psikososial dan infeksi. (Potter and Perry, 2006) 1) Usia Usia merupakan salah satu faktor menentukan proses penyembuhan luka. Penuaan dapat mengganggu semua tahap penyembuhan luka karena terjadi perubahan vaskuler yang mengganggu ke daerah luka, penurunan fungsi hati mengganggu sintesis faktor pembekuan, respon inflamasi lambat, pembentukan antibodi dan limfosit menurun, jaringan kolagen kurang lunak dan jaringan parut kurang elastis (Potter & Perry, 2010). seorang yang mengalami usia menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup yang terakhir, pada masa ini akan mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial, sampai tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi sehingga bagi kebanyakan orang masa tua itu merupakan masa yang kurang menyenangkan (Haspari, 2008). Kulit utuh pada dewasa muda yang sehat merupakan suatu barier yang baik terhadap trauma mekanis dan juga infeksi, begitupun yang berlaku pada efisiensi sistem imun, sistem kardiovaskuler, dan sistem respirasi yang memungkinkan penyembuhan luka terjadi lebih cepat. Seiring dengan berjalannya usia perubahan yang terjadi dikulit yaitu frekuensi penggantian sel epidermis, respon inflamasi terhadap cedera, persepsi sensoris, proteksi mekanis, dan fungsi barier kulit. Beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah naiknya frekusensi gangguan patologis yang berhubungan dengan usia yang dapat memperlambat penyembuhan luka melalui berbagai mekanisme seperti status nutrisi yang buruk, defisiensi vitamin dan mineral, anemia, adanya gangguan pernafasan yang menyebabkan penurunan suplai oksigen sehingga buruknya suplai darah dan hipoksia disekitar luka, gangguan kardiovaskuler seperti arteriosklerosis, diabetes, gagal jantung kongestif, selain itu, adanya arthritis rheumatoid dan uremia (Morison, 2004). Pada proses penyembuhan luka, semakin tua usia seseorang akan semakin lama dalam proses penyembuhan luka. Hal ini dipengaruhi oleh adanya penurunan elastin dalam kulit dan perbedaan penggantian kolagen mempengaruhi penyembuhan luka. Usia lanjut dapat mengganggu semua tahap penyembuhan luka. Pada usia lanjut terjadi perubahan sistem vaskuler yang akan mengganggu sirkulasi ke daerah luka. Respon inflamasi pada luka akan berjalan lambat. Terjadi penurunan pembentukan antibodi dan limfosit. 2) Nutrisi Penyembuhan luka secara normal memerlukan nutrisi yang tepat. Pada dasarnya nutrien yang berguna ialah protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Protein. Deplesi protein dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Terjadi peningkatan kebutuhan akan protein saat terjadinya luka. Peningkatan kebutuhan tersebut diperlukan untuk proses inflamasi, imun, dan perkembangan jaringan granulasi. Protein utama yang disintesis selama fase penyembuhan luka adalah kolagen. Kekuatan kolagen menentukan kekuatan kulit luka seusai sembuh. Kekurangan intake protein prabedah, secara signifikan menunda penyembuhan luka pascabedah. Karbohidrat. Selama fase hipermetabolik, kebutuhan akan karbohidrat meningkat. Segala aktifitas seluler dipengaruhi oleh ATP yang diperoleh dari glukosa (karbohidrat), sehingga penyediaan energi untuk respons inflamasi dapat berlangsung. Kekurangan karbohidrat dalam tubuh menyebabkan penghancuran protein untuk keperluan aktifitas seluler. Dengan kata lain, sedikitnya karbohidrat berpeluang membuat semakin sedikitnya protein. Lemak. Lemak memiliki peran penting dalam struktur dan fungsi membran sel. Asam lemak esensial tidak bias disintesis oleh tubuh, sehingga harus didapatkan dari diet keseharian. Peran asam lemak esensial untuk penyembuhan luka masih belum begitu dimengerti, tetapi diketahui bahwa lemak berperan untuk sintesis sel baru.Kekurangan lemak tubuh dapat menunda penyembuhan luka. Omega-3 polyunsaturated fatty acids (PUFAs) diketahui lebih bermanfaat ketimbang omega-6 PUFAs. Omega-3s merupakan anti-inflamasi yang berguna untuk penyembuhan luka, tetapi pemakaiannya dapat menghambat pembekuan darah, sehingga dinilai merugikan. Vitamin. Vitamin B kompleks merupakan kofaktor sejumlah fungsi metabolik termasuk penyembuhan luka. Selain vitamin B, yang berperan dalam penyembuhan luka ialah vitamin K. Vitamin K merupakan kofaktor enzim karboksilase yang mengubah residu protein berupa asam glutamat (glu) menjadi gamma-karboksiglutamat (gla). Gla disebut juga gla-protein. Gla protein dapat mengikat ion kalsium, yang mana kinerja ini merupakan langkah yang esensial untuk pembekuan darah. Ion kalsium berguna untuk mengaktifkan faktor pembekuan. Kekurangan vitamin K menyebabkan faktor pembekuan tidak aktif (darah tidak dapat menggumpal), sehingga menyebabkan perdarahan pada luka (operasi). Mineral. Mineral yang diketahui bermanfaat untuk penyembuhan luka ialah besi dan seng. Besi berfungsi sebagai kofaktor pada sintesis kolagen, sehingga defisiensi besi membuat penyembuhan luka tertunda. Seng juga berperan dalam penyembuhan luka. Pembahasan mengenai seng ada pada sub-bab yang lain. Penyembuhan luka secara normal memerlukan nutrisi yang tepat, karena proses fisiologi penyembuhan luka bergantung pada tersedianya protein, vitamin (terutama vitamin A dan C) dan mineral. Kolagen adalah protein yang terbentuk dari asam amino yang diperoleh fibroblas dari protein yang dimakan. Vitamin C dibutuhkan untuk mensintesis kolagen. Vitamin A dapat mengurangi efek negatif steroid pada penyembuhan luka. Elemen renik zink diperlukan untuk pembentukan epitel, sintesis kolagen (zink) dan menyatukan serat-serat kolagen. (Potter, 2005 : 1859). Proses zat gizi dalam penyembuhan luka : protein berfungsi sebagai pertumbuhan dan pemeliharaan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, pembentukan antibodi, mengangkat zat-zat gizi dan sumber energi. Karbohidrat berfungsi sebagai penyedia energi bagi tubuh. Vitamin A berfungsi sebagai kekebalan pertumbuhan dan vitamin C berfungsi sebagai sistem kolagen, mencegah infeksi. Dan air (mineral) berfungsi sebagai bagian penting dari struktur sel dan jaringan. Zat-zat makanan tersebut dapat mempercepat pembentukan jaringan baru dalam proses penyembuhan luka (Potter, 2005 : 1859). Hal ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Hamidarsat (2007) bahwa kepercayaan untuk tidak boleh memakan jenis makanan tertentu, seperti ikan atau udang adalah kurang benar karena jenis makanan ini banyak mengandung protein, apabila asupan dalam tubuh kurang akan menyebabkan kegagalan atau lambatnya pembentukan jaringan baru sehingga luka akan lama menutup dan yang paling buruk kemungkinan akan terjadi infeksi. Demikian juga dengan kekurangan asupan nutrisi lain seperti karbohidrat dan berbagai jenis vitamin yang telah banyak diuraikan diatas, akan mempengaruhi penyembuhan luka. 3) Sirkulasi (hipovolemia) dan oksigenasi Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya sejumlah besar lemak subktan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang endrita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes mellitus. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada perokok. 4) Obesitas Sejumlah kondisi fisik yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Misalnya adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Jaringan lemak kekurangan persediaan darah yang adekuat untuk menahan infeksi bakteri dan mengirimkan nutrisi dan elemen-elemen selular untuk penyembuhan. Apabila jaringan yang rusak tersebut tidak segera mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan maka proses penyembuhan luka juga akan terhambat (Gitarja dan Hardian, 2011). Kegemukan (obesitas) adalah suatu keadaan di mana berat badan seseorang berada di atas 120 % dari berat badan relatif (BBR) atau berada di atas 27 dari indeks masa tubuh (IMT). IMT = BB/TB2 Rumus IMT : Keterangan : IMT : Indeks Massa Tubuh (Kg/m2) BB : Berat Badan (Kg) TB : Tinggi Badan (m2) Dengan nilai standar : a. < 18,5 = maka dapat dikatakan IMT Kurang b. 18,5 – 25 = maka dapat dikatakan IMT Normal c. 25 – 27 = maka dapat dikatakan IMT Lebih d. > 27 = maka dapat dikatakan sebagai Obesitas atau Kegemukan (Nurcahyo, 2009). Pada pasien yang mengalami obesitas, jaringan lemak sangat rentan terhadap terjadinya infeksi. Selain itu pasien obesitas sering sulit dirawat karena tambahan berat badan, pasien bernafas tidak optimal saat berbaring miring sehingga mudah mengalami hipoventilasi dan komplikasi pulmonal pasca operasi. 5) Iskemia Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri. 6) Benda asing Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan leukosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (“pus”). 7) Penyakit kronis Pada pasien yang menderita penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, penyakit paru obstruksi menahun dan insufisiensi ginjal akan berpengaruh pada proses penyembuhan luka. Hal ini terkait dengan pemakaian energi kalori untuk penyembuhan primer. 8) Merokok Pasien dengan riwayat rokok sering mengalami gangguan vaskuler, terutama terjadi arterosklerosis pembuluh darah. Hal ini mempengaruhi pada suplai darah ke daerah luka. Merokok akan mengakibatkan oksigenasi jaringan yang buruk pada jaringan normal. Pada jaringan yang mengalami perlukaan, misalnya jaringan yang mengalami sayatan operasi, kebutuhan oksigen justru menjadi lebih tinggi daripada kebutuhan normal. Karena itu sel-sel jaringan pada luka operasi orang yang merokok akan „tersengal-sengal‟ relatif lebih berat karena kekurangan oksigen yang diharapkan justru mendapat sediaan kadar oksigen yang rendah di dalam aliran darah. Oleh karena itu, risiko kematian sel-sel kulit dan/atau jaringan bawah kulit menjadi lebih serius. Adanya jaringan yang nonvital akan memudahkan tumbuhnya infeksi kuman kulit, dan kedua kondisi tersebut akan sangat mengancam hasil akhir penyembuhan luka operasi. Kulit perokok yang biasanya lebih kering dibandingkan kulit normal akan lebih memperburuk penyembuhan. Kulit yang kering relatif lebih mudah terpecahpecah, sehingga masa penyembuhan luka menjadi sangat memanjang (Fawzy Ahmad, 2012). 9) Obat-obatan Penggunaan obat-obatan steroid dapat menyamarkan adanya infeksi dengan mengganggu respon inflamasi normal dan penggunaan antikoagulan dapat menyebabkan perdarahan pada luka. Antibiotik, efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskuler. 10) Mobilisasi Perubahan dalam tingkat mobilisasi fisik dapat mengakibatkan keterbatasan gerak, dalam bentuk tirah baring, pembatasan gerak fisik selama penggunaan alat bantu eksternal, pembatasan gerakan volunter dan kehilangan fungsi motorik (Potter, Patricia. A. 2006). Dengan mobilisasi dini masa pemulihan untuk mencapai level kondisi seperti pra pembedahan dapat dipersingkat. Hal ini tentu akan mengurangi waktu rawat inap di rumah sakit, menekan biaya perawatan dan mengurangi stres psikis (A. Majid, M. Judha, U. Istianah. 2011). Smeltzer, suzanne. C (2002) menyebutkan tujuan mobilisasi untuk mencegah terjadinya bronkopneumonia, kekakuan sendi, mencegah tromboplebitis, atrofi otot, penumpukan sekret, memperlancar sirkulasi darah, mencegah kontraktur, dekubitus serta memelihara faal kandung kemih agar tetap berfugsi secara baik dan pasien dapat beraktivitas. Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka akibat operasi pembuangan apendiks (apendektomi) adalah kurangnya/ tidak melakukan mobilisasi dini. Mobilisasi merupakan faktor yang utama dalam mempercepat pemulihan dan mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah. Mobilisasi sangat penting dalam percepatan hari rawat dan mengurangi resiko karena tirah baring lama seperti terjadinya dekubitus, kekakuan atau penegangan otot-otot di seluruh tubuh, gangguan sirkulasi darah, gangguan pernapasan dan gangguan peristaltik maupun berkemih (Carpenito, 2000). Dengan mobilisasi dini, dapat menunjang proses penyembuhan luka pasien karena dengan menggerakkan anggota badan ini akan mencegah kekauan otot dan sendi sehingga dapat mengurangi nyeri dan dapat memperlancar peredaran darah ke bagian yang mengalami perlukaan agar proses penyembuhan luka cepat. Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli bahwa Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka akibat operasi pembuangan apendiks (apendektomi) adalah kurangnya/ tidak melakukan mobilisasi dini. Mobilisasi merupakan faktor yang utama dalam mempercepat pemulihan dan mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah (Carpenito, 2000). Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka akibat operasi pembuangan apendiks (apendektomi) yang mengalami peradangan adalah mobilisasi dini. Mobilisasi merupakan faktor yang utama dalam mempercepat pemulihan, mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah dan mencegah terjadinya trombosis vena (Carpenito, 2000). Macam macam mobilisasi dini 1. Mobilisasi pasif Suatu latihan yang dilakukan oleh terapi atau oleh perawat tanpa bantuan dari pasien. Yang bertujuan untuk mencapai kembali sebanyak mungkin rentang gerak sendi, dan untuk mempertahankan sirkulasi. 2. Mobilisasi aktif Suatu latihan yang diterapkan tanpa bantuan terapis atau perawat. Aktivitas pasien mencakup berbalik dari satu sisi ke sisi yang lain dan tengkurap ke telentang atau bergerak ke atas dan ke bawah. Mobilisasi dapat dilakukan di atas tempat tidur. Hal ini bertujuan untuk meningkatkn kekuatan otot. (smeltzer, suzanne. C, 2002). 2.2 KERANGKA TEORI Luka sembuh dengan baik : 1. Luka kering 2. Tidak ada tanda-tanda infeksi Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka : 1. Nutrisi 2. Usia 3. Sirkulasi dan oksigenasi 4. Obesitas 5. Iskhemia 6. Benda asing 7. Penyakit kronis 8. Kebiasaan Merokok 9. Obat-obatan 10. Mobilisasi Luka post appendictomy Luka tidak sembuh : 1. Luka basah 2. Ada tanda-tanda infeksi Perawatan luka operasi Gambar 2.1. Kerangka Teori (Sumber : Lawrence Green) 2.3 KERANGKA KONSEP Variabel Independent 1. 2. 3. 4. 5. Usia Nutrisi Obesitas Mobilisasi Kebiasaan merokok Variabel Dependent Penyembuhan Luka Faktor Perancu: 1. 2. 3. 4. 5. Sirkulasi dan oksigenasi Iskhemia Benda asing Penyakit kronis Obat-obatan Keterangan : : variabel yang diteliti : variabel perancu Gambar 2.2. Kerangka konsep ( Sumber : Lawrence Green) 2.4 Hipotesis 2.4.1 Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Terdapat pengaruh usia terhadap proses penyembuhan luka post appendiktomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013 2. Terdapat pengaruh obesitas terhadap proses penyembuhan luka post appendiktomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013 3. Terdapat pengaruh kebiasaan merokok terhadap proses penyembuhan luka post appendiktomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013 4. Terdapat pengaruh nutrisi terhadap proses penyembuhan luka post appendiktomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013 5. Terdapat pengaruh mobilisasi dini terhadap proses penyembuhan luka post appendiktomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013 2.4.2 Hipotesis Statistik 1. H0: Tidak terdapat pengaruh usia terhadap proses penyembuhan luka post appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013. Ha: Terdapat pengaruh usia terhadap proses penyembuhan luka post appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013. 2. H0: Tidak terdapat pengaruh obesitas terhadap proses penyembuhan luka post appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013. Ha: Terdapat pengaruh obesitas terhadap proses penyembuhan luka post appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013. 3. H0: Tidak terdapat pengaruh kebiasaan merokok terhadap proses penyembuhan luka post appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013. Ha: Terdapat pengaruh kebiasaan merokok terhadap proses penyembuhan luka post appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013. 4. H0: Tidak terdapat pengaruh nutrisi terhadap proses penyembuhan luka post appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013. Ha: Terdapat pengaruh nutrisi terhadap proses penyembuhan luka post appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013. 5. H0: Tidak terdapat pengaruh mobilisasi terhadap proses penyembuhan luka post appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013. Ha: Terdapat pengaruh mobilisasi terhadap proses penyembuhan luka post appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013.