PERINGATAN !!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi 2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini 3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah 4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah Selamat membaca !!! Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh UPT PERPUSTAKAAN UNISBA REPRESENTASI MASKULINITAS LOGO SENI ILMU OLAHRAGA BELADIRI TARUNG DERAJAT Studi Semiotika terhadap Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat menggunakan Pendekatan Semiotika Roland Barthes SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Disusun oleh : Bagus Nurcahya NPM : 10080007165 BIDANG KAJIAN JURNALISTIK UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI 2012 REPRESENTATION MASCULINITY OF ARTS SPORT SCIENCE TARUNG DERAJAT LOGO Semiotics study of Sports Martial Arts Science Tarung Derajat Logo Using Roland Barthes Semiotics Approach THESIS Proposed to get one of the requirements for obtaining Bachelor degree in Communication Studies Complied by: Bagus Nurcahya NPM: 10080007165 JOURNALISM STUDIES BANDUNG ISLAMIC UNIVERSITY FACULTY OF COMMUNICATION 2012 LEMBAR PENGESAHAN Judul : REPRESENTASI MASKULINITAS LOGO SENI ILMU OLAHRAGA BELADIRI TARUNG DERAJAT Sub Judul : Studi Semiotika terhadap Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat menggunakan Pendekatan Semiotika Roland Barthes Nama : Bagus Nurcahya NPM : 10080007165 Bidang Kajian : Jurnalistik Bandung, April 2012 Menyetujui, Pembimbing Santi Indra Astuti, S.Sos., M.Si. Mengetahui, Ketua Bidang Kajian Jurnalistik Dr. H. Aziz Taufik Hirzi, Drs., M.Si. Motto : ن ا ّّ ّوا ّا ”Sesungguhya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri” (Q.S. Ar Ra’d : 11) ABSTRAK Seni bela diri bukan hanya suatu seni. Ini juga merupakan produk dari proses ideologis. Konsep maskulinitas sebagai bagian dari ideologi dominan dalam dunia seni bela diri yang ada di bawah gerakan, aturan permainan, sumber daya, dan bahkan logo yang mewakili ide sebuah organisasi seni bela diri. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisa Logo Seni Bela Diri Tarung Derajat, dan berusaha untuk mengungkapkan mitos maskulinitas belakang logo. Tarung Derajat adalah seni bela diri terkenal dikembangkan pertama di Bandung. Saat ini, Tarung Derajat telah membentuk posisinya di antara daftar puncak organisasi seni bela diri di tingkat nasional. Mengerjakan menggunakan pendekatan semiotik Roland Barthes Model dari denotasi, konotasi, dan mitos, penelitian ini menghasilkan beberapa temuan: (1) Maskulinitas dalam logo telah terwujud dalam bentuk lingkaran, tangan (dalam posisi 'siap' untuk memukul), warna, goresan kuas, dan penempatan mereka 'tanda'. (2) maskulinitas juga muncul dalam tingkat konotatif mewakili kekuasaan, subordinasi, kekuatan, dan lain-lain. (3) Ini tidak membedakan mitos maskulinitas hanya berdasarkan satu logo. Tapi, satu hal yang pasti, Logo Tarung Derajat memiliki memberikan arti baru untuk maskulinitas. Alih-alih menggunakan mitos tua maskulinitas difokuskan pada kekuatan, kekerasan, dan keberanian, di sini, maskulinitas dianggap sebagai merawat, mengasuh, lembut, dan lunak. i ABSTRACT Martial arts is not just an art. It is also a product of ideological process. The concept of masculinity as part of dominant ideology in the world of martial art lies beneath the movement, the rules of the game, the source of power, and even the logo representing the idea of a martial art organization. This research is aimed to illustrate and analyze the logo of Tarung Derajat Martial Arts, and seek to reveal the myth of masculinity behind the logo. Tarung Derajat is a famous martial art developed first in Bandung. Nowadays, Tarung Derajat has established its position among the top list of martial art organization in national level. Employing semiotic approach using Roland Barthes model of denotation, connotation, and myth, this research resulted in some findings: (1) Masculinity in the logo has manifested itself in the form of circle, hand (in the position of 'ready' to hit), the color, stroke of brush, and the placement of those 'signs'. (2) masculinity also appears in the connotative level representing power, subordination, strength, etc. (3) It's hardly to discern the myth of masculinity solely based on one logo. But, one thing for sure, logo Tarung Drajat has give a new meaning for masculinity. Instead of using the old myth of masculinity focused on strength, violence, and bravery, here, masculinity is interpreted as caring, nurturing, gentle, and tender. ii KATA PENGANTAR Puji dan syukur kita panjatkan pada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya kepada kita para khalifah di muka bumi ini. Shalawat dan salam juga kita limpahkan pada baginda Nabi Terakhir, Muhammad SAW. Kepada keluarganya, sahabatnya, para pengikut setianya, hingga kepada kita umatnya di akhir zaman. Rasa bersyukur itulah yang tidak bisa dilepaskan oleh penulis saat menjalani proses pengerjaan skripsi berjudul “Representasi Maskulinitas Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat”. Pengalaman yang dihadapi penulis begitu dinamis dan tidak bisa dilukiskan dengan mudah. Kebuntuan, penyesalan, dan kepuasan pernah menjadi suatu kombinasi menarik yang pernah dirasakan penulis. Sampai pada akhirnya semua itu bisa terbayar lunas saat rampungnya penelitian ini. Tidak akan pernah suatu pekerjaan berhasil jika tanpa ada dukungan dari orang-orang di sekeliling. Peran mereka yang disebut di sini sangat besar tanpa mengecilkan pihak lain yang tidak disebut. Oleh karena itu, penulis menghaturkan terima kasih kepada: 1. Dr. Oji Kurniadi, Drs., M.Si. dan Adventiningsih, orang tua dari penulis atas semua doa, dukungan, dan restunya. iii 2. Santi Indra Astuti, S.Sos., M.Si, selaku dosen pembimbing penulis selama mengerjakan skripsi. Terima kasih atas kesediaannya meluangkan waktu untuk terus bertukar pikiran. 3. Dr. H. Aziz Taufik Hirzi, Drs., M.Si, selaku Ketua Bidang Kajian Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. Terima kasih atas inspirasi dan ide-ide cemerlangnya. 4. Dr. Dedeh Fardiah, Dra., M.Si, selaku dosen wali penulis yang selalu memberikan masukan-masukan dalam perjalanan mulai semester pertama hingga akhirnya menempuh tahap terakhir dalam perkuliahan yaitu skripsi. 5. Seluruh dosen-dosen Universitas Islam Bandung, terutama yang pernah mengisi hari-hari penulis di ruang kuliah. 6. Muhammad Iqbal Tawakal dan Rahmat Darmawan yang sering memberikan bantuan dan respon terhadap skripsi ini. Kalian adalah sosok rekan, sahabat dan kawan kreatif yang patut menjadi panutan semua mahasiswa. 7. Ghea Khaerunnisaa yang selalu memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi dengan membuat penulis bisa tetap tenang walaupun kondisi penulis sedang tertekan. 8. Seluruh teman main selama kuliah, nama kalian tidak akan disebutkan di sini karena khawatir ada yang terlewat. 9. Keluarga Besar Tarung Derajat, yang telah melancarkan penelitian penulis mengenai ”Representasi Maskulinitas Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat”. iv Penulis sadar betul masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Biarlah itu itu menjadi introspeksi untuk melangkah dengan lebih baik lagi. Karena tanpa adanya evaluasi dari semua praktik yang dilakukan, tidak akan pernah manusia belajar untuk menghasilkan sebuah teori. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan, guna terciptanya laporan yang komprehensif, ideal, dan juga berguna. Bandung 2012 Penulis v DAFTAR ISI ABSTRAK ……………………………………………………………….. ABSTRACT ……………………………………………………………… KATA PENGANTAR .………………………………………………….. DAFTAR ISI .……………………………………………………………. DAFTAR TABEL ………………………………………………………. DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. BAB I BAB II i i iii vi viii ix PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………………………………………….. 1.2 Rumusan Masalah………………………………………. 1.3 Identifikasi Masalah…………………………………….. 1.4 Tujuan Penelitian………………………………………... 1.5 Manfaat Penelitian………………………………………. 1.6 Pembatasan Penelitian…………………………………… 1.7 Metode Penelitian………………………………………... 1.7.1 Teknik Pengumpulan Data ……………………. 1.7.2 Teknik Analisis………………………………… 1.7.3 Objek Penelitian………………………………... 1.7.4 Uji Validitas dan Reliabilitas……………………. 1.8 Kerangka pemukiran……………………………………... 1 3 3 4 4 5 6 8 9 10 11 12 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi……………………………………………….. 2.2 Komunikasi Visual……………………………………….. 2.2.1 Simbol…………………………………………... 2.2.2 Logotype………………………………………... 2.2.3 Warna…………………………………………… 2.3 Logo Sebagai Penyampai Pesan…………………………... 2.4 Maskulinitas……………………………………………….. 2.5 Tinjauan Semiotika………………………………………… 2.5.1 Semiotika Roland Barthes……………………….. 2.5.2 Ciri Khas Roland Barthes………………………... 19 24 25 26 26 27 28 32 33 35 vi BAB III BAB IV BAB V METODELOGI DAN OBJEK PENELITIAN 3.1 Penelitian Kualitatif……………………………………….... 3.2 Semiotika Sebagai Metode…………………………………. 3.3 Teknik Pengumpulan Data…………………………………. 3.4 Uji Validitas………………………………………………… 3.5 Objek Penelitian…………………………………………….. 37 40 42 51 55 PEMBAHASAN 4.1 Temuan Penelitian…………………………………………... 4.1.1 Tarung Derajat…………………………………….. 4.1.2 Logo Tarung Derajat………………………………. 4.2 Analisis………………………………………………………. 4.2.1 Semiologi Logo Tarung Derajat…………………... 4.2.2 Analisis Denotasi dan Konotasi…………………... 4.2.3 Mitologi Logo Tarung Derajat……………………. 58 58 60 64 64 65 69 PENUTUP 5.1 Kesimpulan………………………………………………….. 5.2 Saran………………………………………………………… 76 77 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN vii DAFTAR TABEL Tabel 1. Bagian-Bagian Logo Seni Beladiri Tarung Derajat…………………….. 56 Tabel 4.1 Denotasi dan Konotasi Logo Beladiri Tarung Derajat…………….. 65 viii DAFTAR GAMBAR Tabel 1.1 Peta Tanda Roland Barthes ……………………..……………….. Tabel 1.2 Logo Tarung Derajat ………………………………..…………… Tabel 2.1 Ruang Lingkup, Pengertian, dan Unsur Komunikasi…………….. ix 8 11 21 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Bandung terdapat banyak beladiri mulai dari beladiri luar negeri sampai beladiri dalam negeri. Mulai gerakan-gerakan dinamis mulai gerakan bertarung. Seperti Taekwondo, Karate, Aikido, Pencak Silat, dan lain-lain. Beladiri tercipta karena sering adanya kekerasan yang terjadi di banyak tempat. Karena beladiri diciptakan untuk melindungi diri dari kejahatan yang akan terjadi menimpa kita. Beladiri pun memiliki logo sebagai tanda untuk identitasnya dengan filosofi tertentu yang dimasukkan oleh pendiri beladiri tersebut. Salah satunya adalah beladiri Tarung Derajat. Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat dideklarasikan kelahirannya di bumi persada Indonesia tercinta, di Bandung 18 Juli 1972 oleh peciptanya seorang putra bangsa yaitu Guru Haji Achmad Dradjat yang memiliki nama julukan dengan panggilan Aa Boxer. Nama panggilan Aa Boxer diterapkan dan melekat pada diri Achmad Dradjat, setelah dirinya mampu dan berhasil menggunakan dan menerapkannya seni pembelaan diri karya ciptanya didalam berbagai bentuk perkelahian, dimana butuh dan harus berkelahi atau bertarung dalam rangka berjuang untuk mempertahankan kelangsungan hidup, menegakan kehormatan dan membela kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari selaras dengan kodrat hidupnya. Beladiri ini memang sedang mengembangkan dirinya dengan memperbaiki mulai dari pengamanan dalam pertarungan. Beladiri ini memang tergolong keras, 1 2 karena selalu mengolah kekuatan fisik dan mental. Selama perkembangannya beladiri Tarung Derajat ini berbenah diri dan memperbaiki segala sesuatunya untuk bisa diterima di masyarakat. Dengan bertahap beladiri Tarung Derajat ini mulai meluas di Indonesia, karena beladiri Tarung Derajat adalah asli Indonesia dan beladiri modern yang berhasil diciptakan. Tarung Derajat ini sekarang sudah mulai go international. Tapi di balik semua itu beladiri ini mempunyai logo sebagai identitas Tarung Derajat. Di dalam logo pasti memiliki arti atau filosifi yang memiliki arti tertentu. Seperti halnya logo Tarung Derajar, yang memiliki filosofi atau arti tersendiri. Logo juga merupakan bagian komunikasi, karena logo merupakan pesan komunikasi nonverbal. Lebih lanjut, logo juga merupakan identitas organisasi atau lembaga. Logo tidak semata-mata hanya dijadikan hiasan atau gambar. Tetapi, logo dijadikan alat komunikasi, begitu juga dengan Tarung Derajat. Hal ini dapat dilihat dari simbol-simbol yang muncul dalam logo tersebut yang identik dengan karakter kelaki-lakian. Seperti halnya gambar kepalan tangan, itu melambangkan laki-laki yang kuat. Melihat logo ini harus memberikan informasi yang sesuai dengan keadaan organisasinya sehingga publik dapat mencerna dengan baik makna yang ada di balik logo Tarung Derajat ini. Peneliti tertarik karena, logo ini memiliki komposisi berupa gambar, warna dan unsur maskulinitas, yang mengandung makna tertentu. Peneliti mencoba meneliti dengan cara memahami dahulu arti yang terkandung didalam logo tersebut, kemudian melihat pesan yang ingin disampaikan didalam logo tersebut dengan menggunakan berbagai literatur dan menggunakan metode penelitian serta 3 menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes. Penelitian ini akan mengungkap makna-makna di balik Logo Keluarga Olahraga Beladiri Tarung Derajat. Mulai dari makna konotasi yang berdasarkan referensi-referensi yang ada, makna denotasi menurut pencipta logo tersebut, hingga mitos. Ketiga elemen tersebut dapat ditemukan nilai-nilai filosofis yang terkandung dibaliknya. Penelitian ini juga akan melihat karakter Tarung Derajat melalui Logo-nya yang menonjolkan maskulinitas atau identik dengan kaum pria. Peneliti berharap dengan penelitian ini, para pembuat logo atau yang akan membuat logo dapat memperhatikan segala sesuatunya, karena apa yang digambarkan logo akan menggambarkan organisasinya atau perusahaannya. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut: ”Bagaimana Representasi Maskulinitas Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat?” 1.3 Identifikasi Masalah Agar lebih terarah dalam melakukan penelitian ini, maka penulis menfokuskan penelitian pada aspek: 1. Bagaimana Representasi Maskulinitas Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat ditinjau dari aspek denotasi? 2. Bagaimana Representasi Maskulinitas Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat ditinjau dari aspek konotasi? 4 3. Bagaimana Representasi Maskulinitas Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat ditinjau dari aspek mitos? 1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui Representasi Maskulinitas Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat yang ditinjau dari aspek denotasi. 2. Untuk mengetahui Representasi Maskulinitas Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat yang ditinjau dari aspek konotasi. 3. Untuk mengetahui Representasi Maskulinitas Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat yang ditinjau dari aspek mitos. 1.5 Manfaat Penelitian Merujuk pada tujuan penulis di atas, maka penulis ini sekurang-kurangnya diharapkan dapat memberikan dua kegunaan, yaitu : • Manfaat teoritis, dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan ilmu Komunikasi, khususnya yang terkait dengan logo Tarung Derajat. • Manfaat praktis, khususnya dapat memberikan masukan kepada Beladiri Tarung Derajat dalam pemaknaan logo Tarung Derajat tersebut, dan pada umumnya dapat menjadi pertimbangan dalam pembuatan logo perusahaan atau organisasi lainnya. 5 1.6 Pembatasan Penelitian Agar ruang lingkup pembatasan masalah penelitian menjadi jelas dan terarah, maka perlu diadakan pembatasan masalah. Untuk itu penulis membatasi masalah sebagai berikut: 1. Objek yang diteliti adalah Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat. 2. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan semiotika Roland Barthes. 3. Penulis menggunakan semiotika Roland Barthes dan membatasinya pada: • Makna Denotasi Denotasi atau makna denotatif pada dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (yang disebut sebagai makna referensial). Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam kamus. • Makna Konotasi Konotatsi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif (Keraf, 1994:29). Makna konotatif, seperti itu disinggung, adalah suatu jenis makna yang mana stimulus respons mengandung nilai-nilai emosional. • Mitos Mitos adalah kebutuhan manusia. Itulah sebabnya mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi, sebagaimana dikatakan Roland Barthes dalam bukunya Mythologies (1993). Ia mengatakan bahwa sebagai 6 bentuk simbol dalam komunikasi, mitos bukan hanya diciptakan dalam bentuk diskursus tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olah raga, dan televisi 1.7 Metode Penelitian Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, penulis membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15). Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007:3) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Sepanjang sejarah penelitian kualitatif selalu mendefinisikan karya mereka dilihat dari sudut harapan dan nilai-nilai, keyakinan agama, ideologi okupasional dan profesionalisasi. Penelitian kualitatif (seperti halnya semua penelitian) selalu dinilai berdasarkan atas “standar apakah karya tersebut mengkomunikasikan atau mengatakan sesuatu mengenai diri kita?” berdasarkan atas bagaimana kita mengkonseptualisasikan realita dan gambaran kita mengenai dunia. Untuk mengetahui makna logo yang diteliti, maka harus dipakai teori dan analisis berbagai tanda dan pemaknaan, yaitu semiotika. Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau 7 asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur, 2004:95). Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda. Ini berlaku untuk logo yang akan diteliti. Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang tokoh semiotik yang getol memperaktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Bertens (2001: 206) menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peran sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 1970-an. Ia mengajukan pandangan bahwa bahasa adalah sebuah sisten tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiologi Barthes berada pada kerangka strukturalisme semacam ini. Semiologi adalah instrumen pembuka rahasia teks dan penandaan. Semiologi berawal dari kritik atas asumsi logosentris bahwa konsep-konsep muncul mendahului dan bebas dari ekspresinya. Saussure dan para pengikutnya justru menekankan bahwa bentuk dan konsep tidak muncul bebas satu sama lain, tetapi bahwa tanda itu memuat kesatuan dari signifier (penanda) dan signified (petanda). Semiologi Barthes tersusun atas tingkatan-tingkatan sistem bahasa. Umumnya Barthes membuatnya dalam dua tingkatan bahasa, bahasa tingkat pertama adalah bahasa sebagai objek, dan bahasa tingkat dua disebut sebagai metabahasa. Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang memuat penanda dan petanda. Sistem tanda kedua terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda tingkat pertama 8 sebagai petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam suatu sistem tanda baru pada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama kadang disebutnya dengan istilah denotasi atau sistem terminologis, sedangkan sistem tanda pada tingkat kedua disebutnya sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Fokus Barthes terletak pada sistem tanda tingkat kedua atau metabahasa. Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut: 1. Signifier (Penanda 2. Signified (petanda) 3. Denotative sign (tanda denotative) 4. CONNOTATIVE SIGNFIER 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PENANDA KONOTATIF) (PETANDA KONOTATIF) 6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF) Sumber: Paul Cobley & Litza Jansz, 1999, Introducing Semiotic, N.Y. Totem Books, hal. 51 (Sobur, 2003:69) Gambar 1.1 Peta Tanda Roland Barthes 1.7.1 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti berupa: 1) Analisis Teks Mengumpulkan data dengan menafsirkan teks berdasarkan berdasarkan kode-kode yang tepat dan telah tersedia. Karena teks dapat diartikan sebagai “seperangkat tanda yang ditransmisikan dari seorang 9 pengirim kepada seorang penerima melalui medium tertentu dan dengan kode-kode tertentu” (Budiman, 1999:115-116) 2) Wawancara Wawancara adalah cara pengumpulan data dalam pelaksanaannya mengadakan tanya jawab terhadap orang-orang yang erat kaitannya dengan permasalahan, baik secara tertulis maupun lisan guna memperoleh keterangan atas masalah yang diteliti dari H. Ahmad Derajat dan M. Fuad anggota Tarung Derajat Unisba. 1.7.2 Teknik Analisis Suatu kegiatan yang mengacu pada penelaahan atau pengujian yang sistematik mengenai suatu hal dalam rangka mengetahui bagian-bagian, hubungan diantara bagian, dan hubungan bagian dengan keseluruhan. Maka teknik analisis ini menggunakan semiotika Roland Barthes. Dengan menungkap makna denotasi, konotasi, dan mitos. • Makna Denotasi Denotasi atau makna denotatif pada dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (yang disebut sebagai makna referensial). Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam kamus. • Makna Konotasi Konotatsi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif (Keraf, 1994:29). Makna konotatif, 10 seperti itu disinggung, adalah suatu jenis makna yang mana stimulus respons mengandung nilai-nilai emosional. • Mitos Mitos adalah kebutuhan manusia. Itulah sebabnya mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi, sebagaimana dikatakan Roland Barthes dalam bukunya Mythologies (1993). Ia mengatakan bahwa sebagai bentuk simbol dalam komunikasi, mitos bukan hanya diciptakan dalam bentuk diskursus tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olah raga, dan televisi. 1.7.3 Objek Penelitian Menurut Suharsimi Arikunto (2009:29), objek penelitian adalah variabel penelitian, yaitu sesuatu yang merupakan inti dari problematika penelitian. Sedangkan benda, hal atau orang tempat data untuk variabel penelitian melekat dan yang dipermasalahkan disebut objek (Suharsimi Arikunto, 200:116). Dari pengertian di atas, maka objek dari penelitian ini adalah Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat 11 Gambar 1.2 Logo Tarung Derajat 1.7.4 Uji Validitas dan Reliabilitas • Triangulasi Teknik ini merujuk pada pengumpulan informasi atau data dari individu dan latar dengan menggunakan berbagai metode. Triangulasi juga berfungsi untuk mengurangi bias dalam metode yang dilakukan dalam penelitian dan memudahkan melihat keluasan yang peneliti kemukakan. Yang perlu dicermati adalah bahwa triangulasi tidak menjamin bebasnya ancaman terhadap validitas. Maka penelitian ini harus menghindari dua hal: (1) jangan menggunakan metode yang memiliki bias yang sama, dan (2) jangan menggunakan metode yang berbeda dengan tujuan untuk mendukung kesimpulan anda (Alwasilah,1991). Triangulasi ini dicapai dengan cara observasi, teori atau literatur, dan wawancara ahli. • Member Checks Ada masukan atau feedback yang sangat penting dan tinggi harganya, yakni memasukan yang diberikan oleh individu yang menjadi responden 12 kita. Nampaknya ini teknik yang paling ampuh untuk: (1) menghindari salah tafsir terhadap jawaban responden sewaktu di wawancara, (2) menghindari salah tafsir terhadap perilaku responden sewaktu di observasi, dan (3) mengkonfirmasi perspektif emik responden terhadap suatu proses yang sedang berlangsung. Perlu diingat bahwa apa yang dikatakan responden belum tentu benar. Yang jelas adalah bahwa jawaban mereka adalah bukti atau alat validitas kebenaran dari pernyataan yang peneliti ungkapkan. 1.8 Kerangka Pemikiran Komunikasi mempunyai beberapa pengertian dan fungsi dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Kegiatan komunikasi akan terjadi proses interaksi antar manusia yang terlibat di dalamnya. Komunikasi adalah proses kegiatan manusia yang diungkapkan melalui bahsa lisan dan tulisan, gambar-gambar, isyarat, bunyibunyian dan bentuk kode lain yang mengandung arti dan dimengerti oleh pihak lain. Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata latin communicatio dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna.(Effendy, 1997:9) Menurut Harold Laswell dalam karyanya dikutip oleh Onong Uchyana Effendy (1986:29), mengatakan bahwa “Komunikasi adalah proses penyampaian informasi, pesan, message, ide, sikap atau gagasan dari komunikator untuk megubah serta membentuk perilaku komunikan ke pola dan pemahaman yang 13 dikehendaki komunikator. Jadi proses penyampaian informasi ini berdaya guna bagi komunikan atau komunikator”. Merujuk kepada pengertian di atas komunikasi tidak lepas dari pesan atau message. Seperti yang kita ketahui pesan sarat dengan simbol atau lambang. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non-verbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama. Lambang adalah salah satu kategori tanda. Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon dan indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan. Ikon adalah benda fisik (dua/tiga dimensi) yang menyerupai apa yang dipresentasikan. Representasi ini ditandai dengan kemiripan. Komunikasi juga merupakan proses personal karena makna atau pemahaman yang kita peroleh pada dasarnya bersifat pribadi. Penafsiran anda atas perilaku verbal dan nonverbal orang lain yang anda kemukakan kepadanya juga mengubah penafsiran orang lain tersebut atas pesan-pesan anda, dadan pada gilirannya, mengubah penafsiran anda atas pesan-pesannya, begitu seterusnya. Menggunakan pandangan ini, tampak bahwa komunikasi bersifat dinamis. Pandangan inilah yang disebut komunikasi sebagai transaksi, yang lebih sesuai untuk komunikasi tatap-muka yang memungkinkan pesan atau respon verbal dan non verbal bisa di ketahui secara langsung. Bahwa komunikasi tersebut tidak membatasi kita pada komunikasi yang disengaja atau respon yang dapat diamati. Artinya, komunikasi terjadi apakah para 14 perilakunya sengaja atau tidak, dan bahkan meskipun menghasilkan respon yang tidak dapat diamati. Gaya pakaian dan rambut anda, ekspresi wajah anda, jarak fisik antara anda dengan orang lain, nada suara anda, kata-kata yang anda gunakan-semua itu mengkomunikasikan sikap, kebutuhan, perasaan dan penilaian anda. Lebih jauh lagi, pakaian bahkan dapat menunjukkan apakah pemakainya seorang yang berkarakter formal, santai, modis, kurang percaya diri, berjiwa muda, dan sebagainya. Demikian juga dengan logo. Logo yang baik akan mampu mencerminkan jenis usaha yang dikelola pemilik logo tersebut berdasarkan idiomidiom grafis yang telah dikenal publik. Pada prinsipnya, logo merupakan simbol yang mewakili sosok, wajah, dan eksistensi suatu perusahaan atau produk perusahaan. Logo juga sering kali dipergunakan untuk membangun spirit secara internal di antara komponen yang ada dalam perusahaan. Sebuah logo yang baik dan berhasil akan menimbulkan sugesti yang kuat, membangun kepercayaan, rasa memiliki, dan menjaga image perusahaan pemilik logo itu. Selanjutnya logo bahkan dapat menjalin kesatuan dan solidaritas di antara anggota keluarga besar perusahaan itu yang akhirnya mampu meningkatkan presentasi dan meraih sukses demi kemajuan perusahaan. Secara visualisasi, logo adalah suatu gambar. Gambar itu bisa berupa berbagai unsur bentuk dan warna. Oleh karena sifat dari apa yang diwakili oleh logo berbeda satu sama lain, maka seyogyanya logo itu memiliki bentuk yang berbeda 15 pula. Bentuk logo yang berbeda dapat meliputi bentuk fisik, warna, maupun dimensi. Begitu pula dengan unsur maskulinitas yang terkandung dalam logo perusahaan atau organisasi. Karena logo bisa diidentikkan oleh karakter tertentu. Maskulinitas adalah bentuk identitas yakni sebuah bentuk pemahaman diri yang menstruktur sikap dan perilaku seseorang; dilihat sebagai ideologi: seperangkat idealisasi-idealisasi kultural yang menentukan peran-peran, nilai, pengharapan sebagai kepantasan laki-laki (Leach dalam Yulianti, 2007:9). Nancy Elisabeth Dowd menyatakan bahwa “core elements of masculinity norms are negative ones: not definingwhat masculinity is, but what it is not. The two key negatives to being a man are notbeing a girl or woman, and not being gay”(Dowd, 2008:14). Berdasarkan pendapatnya tersebut, dapat dikatakan bahwa norma maskulinitas adalah larangan bagi pria untuk berperilaku seperti perempuan dan kaum gay. Masih ada lagi tuntutan bahwa logo seyogyanya mengandung filosofi, makna logo, atau setidaknya dasar pemikiran bentuk logo itu. Untuk mengetahuinya, maka kita perlu sebuah ilmu yang mampu membedah semua itu. Ilmu yang paling komprehensif untuk mengungkapkan semua itu dengan menggunakan semiotika. Teori semiotika dalam desain komunikasi visual, mengacu pada Roland Barthes sebagai panduan berkomunikasi secara visual melalui semiologi. Semilogi atau semiotik selain dipakai sebagai alat komunikasi secara visual yang dipahami oleh masyarakat. Maka, desain komunikasi visual bisa dikatakan sebagai seni menyampaikan pesan (arts of commmunication) dengan 16 menggunakan bahasa rupa (visual language) yang disampaikan melalui media berupa desain yang bertujuan menginformasikan, mempengaruhi hingga merubah perilaku target audience sesuai dengan tujuan yang ingin diwujudkan. Sedang Bahasa rupa yang dipakai berbentuk grafis, tanda, simbol, ilustrasi gambar/foto, tipografi/huruf dan sebagainya yang disusun berdasarkan kaidah bahasa visual yang khas berdasar ilmu tata rupa. Isi pesan diungkapkan secara kreatif dan komunikatif serta mengandung solusi untuk permasalahan yang hendak disampaikan (baik sosial maupun komersial ataupun berupa informasi, identifikasi maupun persuasi). Semiotika adalah teori dan analisis berbagai tanda dan pemaknaan. Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur, 2004:95). Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda. Jika ditelusuri dalam buku-buku semiotik yang ada, hampir sebagian besar menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de de Saussure (1857 - 1913). De Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916). 17 Salah satu keuntungan kunci analisis semiotik adalah ia menuntut sumber daya yang relatif sedikit. Dimungkinkan untuk melakukan analisis semiotik hanya pada sebuah teks atau citra. Karena metodenya bersifat interpretatif, dalam arti dapat diterapkan dalam sejumlah teks. Faktor esensial dalam analisis semiotik adalah bahwa Anda harus memiliki level pengetahuan yang tinggi mengenai objek analisis pilihan. Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol memperaktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Bertens (2001: 206) menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peran sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 1970-an. Ia mengajukan pandangan bahwa bahasa adalah sebuah sisten tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiologi adalah instrumen pembuka rahasia teks dan penandaan. Semiologi berawal dari kritik atas asumsi logosentris bahwa konsep-konsep muncul mendahului dan bebas dari ekspresinya. Saussure dan para pengikutnya justru menekankan bahwa bentuk dan konsep tidak muncul bebas satu sama lain, tetapi bahwa tanda itu memuat kesatuan dari signifier (penanda) dan signified (petanda). Umumnya Barthes membuatnya dalam dua tingkatan bahasa, bahasa tingkat pertama adalah bahasa sebagai objek, dan bahasa tingkat dua disebut sebagai metabahasa. Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang memuat penanda dan petanda. Sistem tanda kedua terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda tingkat pertama sebagai petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam suatu sistem tanda baru pada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda 18 pertama kadang disebutnya dengan istilah denotasi atau sistem terminologis, sedangkan sistem tanda pada tingkat kedua disebutnya sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Fokus Barthes terletak pada sistem tanda tingkat kedua atau metabahasa. Sementara pada bagian mitos, akan diperoleh setelah menginterpretasikan denotasi menjadi makna konotatif. Karena semua hasilnya merupakan interpretasi lanjutan dari temuan denotasi dan konotasi yang disesuaikan dengan kondisi dan kebudayaan dalam masyarakat. Sebuah mitos adalah narasi yang karakter-karakter utamanya adalah para dewa, para pahlawan, dan makhluk mistis, plotnya berputar di sekitar asal-muasal benda-benda atau sekitar makna benda-benda dan settingnya adalah dunia metafisika yang dilawankan dengan dunia nyata. Pada tahap awal, mitos berfungsi sebagai teori asli mengenai dunia. Seluruh kebudayaan telah menciptakan kisahkisah semacam itu untuk menjelaskan asal-usul mereka. Dengan mempelajari mitos, kita dapat mempelajari bagaimana masyarakat yang berbeda menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tentang dunia dan tempat bagi manusia didalamnya. Meneliti mitos untuk mempelajari bagaimana orang-orang mengembangkan suatu sistem sosial khusus dengan banyaknya adat istiadat dan cara hidup, dan juga memahami secara lebih baik nilai-nilai yang mengikat para anggota masyarakat untuk menjadi satu kelompok. Mitos dapat dibandingkan untuk mengetahui bagaimana kebudayaan dapat saling berbeda atau menyerupai satu sama lain, dan mengapa orang bertingkah laku seperti itu. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Pengertian komunikasi secara umum dapat dilihat dari dilihat dua segi, yaitu : 1. Pengertian Komunikasi Secara Etimologis Secara etimologis (asal katanya), komunikasi berasal dari bahasa Latin yaitu communication, bersumber dari kata communis yang berarti sama, dalam hal ini berarti membuat kebersamaan makna dalam suatu hal antara dua orang atau lebih. Jadi komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yang terlibat dalam proses komunikasi itu terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. Jelasnya jika seseorang mengerti tentang sesuatu yang dinyatakan orang lain kepadanya, maka komunikasi sudah berlangsung. Namun jika seseorang tidak mengerti tentang sesuatu yang dinyatakan orang lain kepadanya, maka hal tersebut bukanlah suatu komunikasi. 2. Pengertian Komunikasi Secara Terminologis Secara terminologis komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang, dimana seseorang menyatakan seseuatu kepada orang lain. 19 20 Onong Uchyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek, mengatakan komunikasi pada hakekatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh komunikator kepada komunikan. Komunikasi mempunyai beberapa pengertian dan fungsi dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Kegiatan komunikasi akan terjadi proses interaksi antar manusia yang terlibat di dalamnya. Komunikasi adalah proses kegiatan manusia yang diungkapkan melalui bahsa lisan dan tulisan, gambar-gambar, isyarat, bunyi-bunyian dan bentuk kode lain yang mengandung arti dan dimengerti oleh pihak lain. Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata latin communicatio dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna (Effendy, 1997:9). Menurut Harold Laswell dalam karyanya dikutip oleh Onong Uchyana Effendy (1986:29), mengatakan bahwa “Komunikasi adalah proses penyampaian informasi, pesan, message, ide, sikap atau gagasan dari komnikator untuk megubah serta membentuk perilaku komunikan ke pola dan pemahaman yang dikehendaki komunikator. Jadi proses penyampaian informasi ini berdaya guna bagi komunikan atau komunikator”. Everett M. Rogers memberikan definisi komunikasi khususnya dalam hal penyebaran inovasi. Rogers mengatakan komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Sedangkan Shannon dan Weaver mengemukakan bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi manusia saling mempengaruhhi satu sama lainnya sengaja atau tidak disengaja (Cangara, 2004 :19). 21 Berdasarkan definisi-definisi, secara umum komunikasi dapat diartikan sebagai proses pertukaran informasi antara satu orang dan lebih untuk mengubah tingkah laku orang lain baik secara sengaja maupun tidak. Dari pengertian komunikasi yang telah dikemukakan diatas, maka jelas bahwa komunikasi dapat terjadi apabila ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada orang lain dengan tujuan tertentu, artinya komunikasi hanya bisa terjadi kalau didukung oleh adanya sumber, pesan, media, penerima, dan efek. Gambar 2.1 Ruang Lingkup, Pengertian, dan Unsur Komunikasi (Sumber : Cangara, 1998:23) 1. Sumber, semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau pengirim informasi. 2. Pesan, adalah suatu informasi yang disampaikan pengirim kepada si penerima. 3. Media, adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. 4. Penerima, adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. 22 5. Efek, adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. 6. Umpan Balik, adalah respon terhadap pesan yang dikirimkan kepada pengirim pesan. 7. Lingkungan, adalah faktor-faktor tertentu yang dapat mempengaruhi jalannya komunikasi. Pada dasarnya komunikasi dapat dilihat dari berbagai dimensi, yakni komunikasi sebagai proses, komunikasi sebagai sistem, komunikasi sebagai proses interaksi dan transaksi, dan komunikasi yang terjadi secara sengaja maupun tidak disengaja. 1. Komunikasi adalah suatu proses karena merupakan suatu kegiatan yang terus menerus dimana tidak mempunyai permulaan atau akhir dan selalu berubahubah. 2. Komunikasi adalah sistem dimana antara satu komponen dengan konponen yang saling berkaitan dan bila terdapat gangguan pada satu komponen akan berpengaruh pada proses komunikasi secara keseluruhan. 3. Komunikasi bersifat interaksi dan transaksi yakni saling bertukar komunikasi serta menginterpretasi pesan yang diterima. 4. Komunikasi dapat terjadi baik secara disengaja maupun tidak disengaja, hal ini tergantung pada maksud dengan kondisi terjadinya proses komunikasi. Definisi lain mengatakan bahwa ”Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan (1) membangun hubungan antar sesama manusia (2) melalui pertukaran informasi (3) 23 untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain (4) serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu.” (Cangara, 2002 : 19) Merujuk kepada pengertian di atas komunikasi tidak lepas dari pesan atau message. Seperti yang kita ketahui pesan sarat dengan simbol atau lambang. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non-verbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama. Lambang adalah salah satu kategori tanda. Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon dan indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan. Ikon adalah benda fisik (dua/tiga dimensi) yang menyerupai apa yang dipresentasikan. Representasi ini ditandai dengan kemiripan. Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah berlangsung jika seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku verbal maupun perilaku nonverbal. Istilah transaksi mengisyaratkan bahwa pihak-pihak yang berkomunikasi berada dalam keadaan timbal balik; eksistensi satu pihak ditentukan oleh eksistensi pihak lainnya. Pendekatan transaksi menyarankan bahwa semua unsur dalam proses komunikasi atas orang lain bergantung pada persepsi orang lain terhadapnya, dan bahkan bergantung pula pada persepsinya terhadap lingkungan sekitarnya. 24 2.2 Komunikasi Visual Komunikasi visual adalah komunikasi melalui penglihatan. Komunikasi visual merupakan sebuah rangkaian proses penyampaian kehendak atau maksud tertentu kepada pihak lain dengan penggunaan media penggambaran yang hanya terbaca oleh indera penglihatan. Komunikasi visual mengkombinasikan seni, lambang, tipografi, gambar, desain grafis, ilustrasi, dan warna dalam penyampaiannya. Komunikasi visual memiliki beberapa fungsi, diantaranya sebagai sarana informasi dan instruksi, bertujuan menunjukkan hubungan antara suatu hal dengan hal yang lain dalam petunjuk, arah, posisi dan skala, contohnya peta, diagram, simbol dan penunjuk arah. Informasi akan berguna apabila dikomunikasikan kepada orang yang tepat, pada waktu dan tempat yang tepat, dalam bentuk yang dapat dimengerti, dan dipresentasikan secara logis dan konsisten. Sebagai sarana presentasi dan promosi untuk menyampaikan pesan, mendapatkan perhatian (atensi) dari mata (secara visual) dan membuat pesan tersebut dapat diingat. Komunikasi visual merupakan payung dari berbagai kegiatan komunikasi yang menggunakan unsur rupa (visual) pada berbagai media: percetakan/grafika, luar ruang (marka grafis, papan reklame), televisi, film/video, internet, dua dimensi maupun tiga dimensi, baik yang statis maupun bergerak (time based). Sejak jaman pra-sejarah manusia telah mengenal dan mempraktekkan komunikasi visual. Bentuk komunikasi visual pada jaman ini antara lain adalah piktogram yang digunakan untuk menceritakan kejadian sehari-hari pada Jaman Gua (Cave Age), bentuk lain adalah hieroglyphics yang digunakan oleh bangsa Mesir. Kemudian 25 seiring dengan kemajuan jaman dan keahlian manusia, bentuk-bentuk ini beralih ke tulisan, contohnya prasasti, buku, dan lain-lain. Dengan perkembangan kreatifitas manusia, bentuk tulisan ini berkembang lagi menjadi bentuk-bentuk yang lebih menarik dan komunikatif, contohnya seni panggung dan drama; seperti sendratari Ramayana, seni pewayangan yang masih menjadi alat komunikasi yang sangat efektif hingga sekarang. Sebagai suatu profesi, desain komunikasi visual baru berkembang sekitar tahun 1950-an. Sebelum itu, jika seseorang hendak menyampaikan atau mempromosikan sesuatu secara visual, maka ia harus menggunakan jasa dari bermacam-macam “seniman spesialis”. Spesialis-spesialis ini antara lain adalah visualizers (seniman visualisasi); typographers (penata huruf), yang merencanakan dan mengerjakan teks secara detil dan memberi instruksi kepada percetakan; illustrators, yang memproduksi diagram dan sketsa dan lain-lain. Dalam perkembangannya, desain komunikasi visual telah melengkapi pekerjaan dari agen periklanan dan tidak hanya mencakup periklanan, tetapi juga desain majalah dan surat kabar yang menampilkan iklan tersebut.Desainer komunikasi visual telah menjadi bagian dari kelompok dalam industri komunikasi-dunia periklanan, penerbitan majalah dan surat kabar, pemasaran dan hubungan masyarakat (public relations). 2.2.1 Simbol Simbol adalah lambang yang mewakili nilai-nilai tertentu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan 26 penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Simbol juga merupakan tanda yang merepresentasikan suatu sumber acuan melalui kesepakatan kultural. Simbol dapat digunakan untuk keperluan apa saja. Seperti halnya ilmu pengetahuan, kehidupan sosial juga keagamaan. Bentuk simbol tak hanya berupa benda kasat mata namun juga melaui gerakan dan ucapan. Simbol juga dijadikan sebagai salah satu infrastruktur bahasa yang dikenal dengan bahasa simbol. Simbol sangat efektif digunakan sebagai sarana informasi untuk menjembatani perbedaan bahasa yang digunakan karena sifatnya yang universal dibanding kata-kata atau bahasa. Bentuk yang lebihh kompleks dari simbol adalah logo. Logo merupakan identifikasi dari sebuah perusahaan karena logo harus mampu mencerminkan citra, tujuan, jenis, serta objektivitasnya agar berbeda dari yang lainnya. Farbey (1997:91) mengatakan bahwa banyak iklan memiliki elemen-elemen grafis yang tidak hanya terdapat ilustrasi, tetapi juga terdapat muatan grafis yang penting seperti logo perusahaan atau logo merek, simbol perusahaan, atau ilustrasi produk. 2.2.2 Logotype Jika logo adalah tanda gambar (picture mark), maka logotype adalah gambar nama (word mark). Oleh karena itu, logotype berbentuk tulisan khas yang mengidentifikasikan suatu nama atau merk. 2.2.3 Warna Secara visual, warna memiliki kekuatan yang mampu mempengaruhi citra orang yang melihatnya. Warna menurut psikologis, Warna-warna itu bukanlah 27 suatu gejala yang hanya dapat diamati saja, warna itu mempengaruhi kelakuan, memegang peranan penting dalam penilaian estetis dan turut menentukan suka tidaknya kita akan bermacam-macam benda. Dari pemahaman diatas dapat dijelaskan bahwa warna, selain hanya dapat dilihat dengan mata ternyata mampu mempengaruhi perilaku seseorang, mempengaruhi penilaian estetis dan turut menentukan suka tidaknya seseorang pada suatu benda. Warna juga merupakan elemen penting yang dapat mempengaruhi sebuah desain. Pemilihan warna dan pengolahan atau penggabungan satu dengan lainnya akan dapat memberikan suatu kesan atau image yang khas dan memiliki karakter yang unik, karena setiap warna memiliki sifat yang berbeda-beda. Danger (1992:51) menyatakan bahwa warna adalah salah satu dari dua unsur yang menghasilkan daya tarik visual, dan kenyataannya warna lebih berdaya tarik pada emosi daripada akal. 2.3 Logo Sebagai Penyampai Pesan Logo atau tanda gambar (picture mark) merupakan identitas yang dipergunakan untuk menggambarkan citra dan karakter su atu lembaga atau perusahaan maupun organisasi. Logo ibarat sebuah pakaian. Identitas seseorang dapat dilihat dari unsur pakaian yang dikenakannya. Apakah ia seorang manajer, eksekutif, salesman, kasir bank, seniman, atau seorang office boy. Lebih jauh lagi, pakaian bahkan dapat menunjukkan apakah pemakainya seorang yang berkarakter formal, santai, modis, kurang percaya diri, berjiwa muda, dan 28 sebagainya. Demikian juga dengan logo. Logo yang baik akan mampu mencerminkan jenis usaha yang dikelola pemilik logo tersebut berdasarkan idiom-idiom grafis yang telah dikenal publik. Pada prinsipnya, logo merupakan simbol yang mewakili sosok, wajah, dan eksistensi suatu perusahaan atau produk perusahaan. Selain membangun citra perusahaan, logo juga sering kali dipergunakan untuk membangun spirit secara internal di antara komponen yang ada dalam perusahaan tersebut. Sebuah logo yang baik dan berhasil akan menimbulkan sugesti yang kuat, membangun kepercayaan, rasa memiliki, dan menjaga image perusahaan pemilik logo itu. Selanjutnya logo bahkan dapat menjalin kesatuan dan solidaritas di antara anggota keluarga besar perusahaan itu yang akhirnya mampu meningkatkan presentasi dan meraih sukses demi kemajuan perusahaan. Secara visualisasi, logo adalah suatu gambar. Gambar itu bisa berupa berbagai unsur bentuk dan warna. Oleh karena sifat dari apa yang diwakili oleh logo berbeda satu sama lain, maka seyogyanya logo itu memiliki bentuk yang berbeda pula. Bentuk logo yang berbeda dapat meliputi bentuk fisik, warna, maupun dimensi. Hingga kini masih ada tuntutan bahwa logo seyogyanya mengandung filosofi, makna logo, atau setidaknya dasar pemikiran bentuk logo itu. 2.4 Maskulinitas Terminologi maskulin sama halnya jika berbicara mengenai feminin. Maskulin merupakan sebuah bentuk konstruksi kelelakian terhadap laki-laki. Laki-laki tidak dilahiran begitu saja dengan sifat maskulinnya secara alami, maskulinitas dibentuk 29 oleh kebudayaan. Hal yang menentukan sifat perempuan dan laki-laki adalah kebudayaan (Barker, dalam Nasir, 2007:1). Secara umum, maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai-nilai, antara lain kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan laki-laki, dan kerja. Di antara yang dipandang rendah adalah hubungan interpersonal, kemampuan verbal, kehidupan domestik, kelembutan, komunikasi, perempuan, dan anak-anak (Barker, Nasir, 2007: l). Sifat kelelakian berbeda-beda dalam setiap kebudayaan. Maskulinitas itu sendiri dikonstruksi oleh kebudayaan. Konsep maskulinitas dalam budaya Timur seperti di Indonesia dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Ketika seorang anak laki-laki lahir ke dunia, maka telah dibebankan beragam norma, kewajiban dan setumpuk harapan keluarga terhadapnya. Berbagai aturan dan atribut budaya telah diterima melalui beragam media yaitu ritual adat, teks agama, pola asuh, jenis permainan, tayangan televisi, buku bacaan, petuah dan filosofi hidup. Hal-hal yang seperti ini terjadi sehari-hari selama berpuluh tahun yang bersumber dari norma-norma budaya telah membentuk suatu pencitraan diri dalam kehidupan seorang laki-laki. Kondisi ini dapat dilihat dari selera dan cara berpakaian, penampilan, bentuk aktivitas, cara bergaul, cara penyelesaian permasalahan, ekspresi verbal maupun non verbal hingga jenis aksesoris tubuh yang dipakai (Vigorito & Curry, 1998: 1). Pencitraan diri tersebut telah diturunkan dari generasi ke generasi, melalui mekanisme pewarisan budaya hingga menjadi suatu kewajiban yang harus dijalani jika ingin dianggap sebagai laki-laki sejati. Aturan umum yang tidak tertulis yang 30 mengatakan bahwa laki-laki sejati pantang untuk menangis, harus tampak tegar, kuat, pemberani, garang serta berotot. Laki-laki hebat adalah yang mampu menaklukkan hati banyak perempuan hingga adanya dorongan berpoligami. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi figur pelindung atau pengayom ataupun yang mengatakan bahwa laki-laki akan sangat laki-laki apabila identik dengan rokok, alkohol dan kekerasan (Donaldson, 1993: 1). Terlihat juga maskulinitas dari sudut pandang yang negatif, banyak laki-laki yang kemudian sering terlibat perkelahian baik secara individu maupun antar kelompok ketika sudah tidak menemukan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi, biasanya menyangkut permasalahan harga diri. Juga kasus kekerasan terhadap perempuan yang umumnya dilakukan oleh laki-laki, tindak kriminalitas, kerusuhan etnik yang sebagian besar dilakukan oleh kaum laki-laki, termasuk kasus tawuran. Dalam penelitian awal tentang stereotip dalam media, gender dianggap sebagai kategori yang cukup stabil untuk membedakan antara karakteristik dan gambaran perempuan dan laki-laki (Zoonen dalam Littlejohn 2009:433). Laki-laki misalnya, digambarkan dalam peran-peran yang lebih kuat dan dominan. Beynon (Nasir, 2007) mengemukakan sifat-sifat maskulinitas seperti berikut: 1. No Sissy Stuff: Seorang laki-laki sejati harus menghindari perilaku atau karakteristik yang berasosiasi dengan perempuan. 2. Be a Big Wheel: Maskulinitas dapat diukur dari kesuksesan, kekuasaan, dan pengaguman dari orang lain. Seseorang harus mempunyai kekayaan, ketenaran, dan status yang sangat lelaki. Atau dalam masyarakat Jawa: 31 seorang laki-laki dikatakan sukses jika berhasil memiliki garwo (istri), bondo (harta), turonggo (kendaraan), kukiro (burung peliharaan), dan pusoko (senjata atau kesaktian). 3. Be a Sturdy Oak: kelelakian membutuhkan rasionalitas, kekuatan, dan kemandirian. Seorang laki-laki harus tetap bertindak kalem dalam berbagai situasi, tidak menunjukkan emosi, dan tidak memunjukkan kelemahannya. 4. Give em Hell: Laki-laki harus mempunyai aura keberanian dan agresi, serta harus mampu mengambil risiko walaupun alasan dan rasa takut menginginkan sebaliknya. 5. New man as nurturer: Laki-laki mempunyai kelembutan sebagai seorang bapak, misalnya, untuk mengurus anak, melibatkan peran penuh laki-laki dalam arena domestik. 6. New man as narcissist: laki-laki menunjukkan maskulinitasnya dengan gaya hidup yuppies yang flamboyan dan perlente, laki-laki semakin suka memanjakan dirinya dengan produk-produk komersial properti, mobil, pakaian atau artefak personal yang membuatnya tampak sukses. 7. Sifat kelaki-lakian yang macho, kekerasan, dan hooliganism, laki-laki membangun kehidupannya di sekitar football atau sepak bola dan dunia minum-minum, juga sex dan hubungan dengan para perempuan, mementingkan leisure time, bersenang-senang, menikmati hidup bebas seperti apa adanya bersama teman-temannya, bersenang-senang, menyumpah, 32 menonton sepak bola, minum bir, dan membuat lelucon-lelucon yang diangap merendahkan perempuan. 8. Laki-laki metroseksual mengagungkan fashion, mungkin mirip dengan tipe maskulin yang ada di tahun 1980-an, bahkan mungkin sama Laki-laki metroseksual adalah orang-orang yang peduli dengan gaya hidup yang teratur, menyukai detail, dan cenderung perfeksionis. 2.5 Tinjauan Semiotika Semiotika adalah teori dan analisis berbagai tanda dan pemaknaan. Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur, 2004:95). Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1). Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Ahli sastra Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang memper-tanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi 33 yang khas di dalam masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cabang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh. Kalau kita telusuri dalam buku-buku semiotik yang ada, hampir sebagian besar menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de de Saussure (1857 - 1913). De Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916). Salah satu keuntungan kunci analisis semiotik adalah ia menuntut sumber daya yang relatif sedikit. Dimungkinkan untuk melakukan analisis semiotik hanya pada sebuah teks atau citra. Karena metodenya bersifat interpretatif, tidak perlu reliable, dalam arti dapat diterapkan dalam sejumlah teks. Faktor esensial dalam analisis semiotik adalah bahwa Anda harus memiliki level pengetahuan yang tinggi mengenai objek analisis pilihan. 2.5 1 Semiotika Roland Barthes Aliran semiotik konotasi pertama kali dipelopori oleh Roland Barthes (19151980), dimana pada waktu menelaah sistem tanda tidak berpegang pada makna primer, tetapi mereka berusaha mendapatkannya melalui makna konotasi. Barthes menyatakan bahwa ada dua sistem pemaknaan tanda: denotasi dan konotasi. Semiotika Barthes dinamakan semiotik konotasi ialah untuk membedakan semiotik linguistik yang dirintis oleh mentornya, Saussure. 34 Dalam konsep Roland Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dipahami oleh Barthes. Di dalam semiologi Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi. Dalam kerangka Roland Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Roland Barthes menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya 35 sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). 2.5.2 Ciri Khas Roland Barthes Semiologi Barthes mengacu pada Saussure dengan menyelidiki hubungan penanda dan petanda pada sebuah tanda. Hubungan penanda dan petanda ini bukanlah kesamaan (equality), tetapi ekuivalen. Bukannya yang satu kemudian membawa pada yang lain, tetapi korelasilah yang menyatukan keduanya (Hawkes, 1977:130) Barthes mencontohkan dengan seikat mawar (Hawkes 1977:131). Seikat mawar dapat digunakan untuk menandai gairah (passion), maka seikat bungan itu menjadi penanda dan gairan petanda. Hubungan keduanya menghasilkan istilah ketiga: seikat bunga sebagai sebuah tanda. Sebagai sebuah tanda, adalah penting dipahami bahwa seikat bunga itu sungguh-sungguh berbeda dari seikat bungan sebagai penanda yang adalah entitas tanaman biasa. Sebagai penanda, seikat bunga adalah kosong, sedang sebagai tanda, seikat bunga itu penuh. Barthes tak sebatas itu memahami proses penandaan, dia juga melihat aspek lain dari penanda, yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” ini tidak dipahami sebagaimana pengertian klasiknya, tetapi lebih diletakkan dalam proses penandaan itu sendiri. Artinya tetap dalam diskursus semiologinya itu. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem tanda-penanda-petanda; tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. 36 Konstruksi penandaan pertama adalah bahasa, sedangkan konstruksi penandaan kedua merupakan mitos. Kontruksi penandaan tingkat kedua ini dipahami Barthes sebagai metabahasa (metalanguage). Perspektif Barthes tentang mitos ini menjadi salah satu cirri khas semiologinya yang membuka ranah baru semiologi, yakni penggalian lebih jauh dari penandaan untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas keseharian masyarakat. Dalam bentuk praksisnya, Barthes mencoba membongkar mitosmitos modern msyarakat melalui berbagai kajian kebudayaannya, seperti sabun, fotografi, mobil ciroen, fashion, musik, dan sebagainya. Perkembangan pemikiran demikian inilah yang hendak kita kaji lebih jauh konsep dasarnya dalam struktur semilogi Barthes dan berbagai implikasinya, terutama dalam memahami kebudayaan kita yang termanifestasikan dalam kehidupan keseharian kita yang justru adalah ladang subur pengkajian semiologi. BAB III METODE PENELITIAN DAN OBJEK PENELITIAN 3.1 Penelitian Kualitatif Dalam penelitian ini penulis menggunakan metodologi penelitian kualitatif. Pada dasarnya penelitian ini meletakkan penekanan pada subjektifitas untuk melakukan interpretasi terhadap suatu persoalan yang dikajinya. Ini berarti seperti yang ditegaskan Dedy Mulyana penelitian ini mencari respon subjektif individual. Metode ini juga seperti yang diungkapkan oleh Bogdan dan Taylor, (dalam Moleong 1996:3) Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif karena bertujuan mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitaskualitasnya, alih-alih mengubahnya menjadi data kuantitatif. Selain itu, selayaknya penelitian kualitatif, penelitian ini tidak mengandalkan bukti-bukti berdasarkan logika matematis. Penelitian ini justru lebih menekankan kepada banyaknya data-data yang diperoleh dengan penalaran peneliti menjadikan datadata itu menjadi sutau rangkaian kata-kata ilmiah yang sebelumnya dianalisis terlebih dahulu, kata kuncinya adalah analisis lebih mendalam pada objek yang akan diteliti itu lah kualitatif. Kelebihan kualitatif adalah peneliti dapat mengembangkan pemikirannya sehingga dapat menemukan sesuatu yang baru dirana sosial. Walaupun pada dasarnya suatu prespektif realitas itu tidak benar- 37 38 benar hadir sempurna pada manusia. Sehingga dalam penelitian ini prespektif hanyalah mendekatkan pada suatu kenyataan. Bila mengutip pernyataan populer Stuart Hall (Nugraha, 2009:27) ”Kenyataan atau kebenaran itu merupakan representasi dari teks-teks yang kita baca, pelajari kemudian kita terjemahkan lagi.” Sepanjang sejarah penelitian kualitatif selalu mendefinisikan karya mereka dilihat dari sudut harapan dan nilai-nilai, keyakinan agama, ideologi okupasional dan profesionalisasi. Penelitian kualitatif (seperti halnya semua penelitian) selalu dinilai berdasarkan atas “standar apakah karya tersebut mengkomunikasikan atau mengatakan sesuatu mengenai diri kita?” berdasarkan atas bagaimana kita mengkonseptualisasikan realita dan gambaran kita mengenai dunia. Di kutip dari buku Bogdan, Robert C. dan Biklen, Knopp S. 1998. Qualitative Research in Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Penelitian kualitatif digunakan sebagai istilah payung strategi penelitian dengan karakteristik berikut: • Data penelitian merupakan data lunak (soft data), yakni data yang kaya akan deskripsi orang, benda, tempat, dan percakapan atau tuturan. • Masalah penelitian dirumuskan dalam wujud fokus penelitian yang menggambarkan kompleksitas masalah penelitian sesuai dengan konteksnya (bukan dalam wujud variabel, pertanyaan, atau hipotesis). • Data dikumpulkan dari dan dalam latar alamiah, yakni latar nyata dan sebagaimana adanya. Teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah: 39 • observasi partisipatif, yakni peneliti sebagai pengamat sekaligus sebagai partisipan penelitian; dan • wawancara mendalam, yakni peneliti menggali informasi secara utuh, menyeluruh, dan mendalam untuk memperoleh pandangan, pemikiran, dan keyakinan subjek, responden, atau informan serta untuk memperoleh sistem yang berlaku dalam pranata suatu komunitas yang diteliti. Nama lain penelitian kualitatif adalah (1) penelitian lapangan atau field work (dalam bidang antropologi); (2) penelitian naturalistik atau alamiah (dalam bidang pendidikan); dan penelitian etnografi (dalam bidang antropologi). Karakteristik penelitian kualitatif dapat dikemukakan berikut ini: • Penelitian kualitatif bersifat alamiah (naturalistic), yakni latar langsung sebagai sumber data dan peneliti sebagai instrumen kunci (key instrument). • Data penelitian kualitatif bersifat deskriptif, yakni data berupa kata-kata dan gambar yang diperoleh dari transkripsi wawancara, catatan lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, dokumen resmi, memo, dan dokumendokumen lainnya. • Di samping hasil, penelitian kualitatif menekankan proses, yakni proses yang terjadi dan berlangsung pada sumber data (subjek/informan, objek, dan responden) beserta keseluruhan konteks yang melingkupinya, di samping data yang dihasilnyannya. • Analisis data penelitian kualitatif cenderung secara induktif untuk memperoleh abstraksi dari keseluruhan data yang diperoleh. 40 • Penelitian kualitatif menggali makna kehidupan berdasarkan perspektif partisipan, yakni berdasarkan proses subjek mengkonstruk atau menyusun makna dan berdasarkan proses mendeskrispsikan makna yang disusn subjek. Sebagai catatan tambahan, sumber data penelitian kualitatif dapat dibedakan atas (1) subjek penelitian, yakni sumber data, misalnya orang, yang aktif sebagai penghasil data (siswa, guru, pegawai kantor pos, camat, buruh pabrik, misalnya); (2) objek penelitian, yakni sumber data, misalnya benda, yang berisi data (candi, novel, kumpulan puisi, surat pribadi, otobiografi, misalnya); dan (3) responden, yakni orang yang merespon atau menjawab kuesioner atau angket yang diberikan peneliti saat mengumpulkan data. Dalam bidang linguistik struktural, sumber data ini lazim disebut sebagai informan, yakni penutur atau pemakai bahasa sebagai sumber korpus data bahasa. 3.2 Semiotika Sebagai Metode Semiotika atau semiologi berasal dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. Akar namanya sendiri adalah “semeion”, yang diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simptomatologi dan diagnostik inferensial. “Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya asap menandai adanya api” (Kurniawan, 2001:49). Manusia hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda. Dalam hal ini tanda yang dimaksud adalah semua hal yang 41 diciptakan manusia dalam upaya saling berbagi informasi dan komunikasi antar sesamanya. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak sama dengan mengkomunikasikan (to communicate) (Barthes dalam Sobur 2004:15). Teknik analisis Semiotika dipilih karena penelitian Representasi Maskulinitas Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat ini pada dasarnya ingin mengetahui bagaimana pesan mengenai maskulinitas ditampilkan oleh Logo dalam bentuk tanda-tanda. Semiotika adalah salah satu metode yang paling interpretatif dalam menganilisis teks dan keberhasilan maupun kegagalanya sebagai sebuah metode, bersandar pada seberapa baik peneliti dalam menartikulasikan kasus yang mereka kaji. Semiotika memillki keuntungan dalam menghasilkan apa yang disebut Clifford Geertz (Triwikromo,2003:78) sebagai ”deskripsi-deskripsi tebal (thick descriptions)” yang bertekstur serta analisisanalisis yang kompleks. Karena sangat subjektif, semiotika tidak reliable dalam konteks pemahaman ilmu pengetahuan sosial traditional peneliti lain yang mempelajari teks yang sama dapat saja mengeluarkan sebuah makna yang berbeda. Namun hal ini tidak mengurangi nilai semiotika karena semiotika adalah 42 tentang memperkaya dan mengembangkan suatu interpretasi peneliti terhadap teks. Oleh karena itu semiotika bersifat interpretatif dan sangat subjektif. Pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar yang tidak bisa ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang penafsir adalah yang bekedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang dipahaminya. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Data dapat didefenisikan sebagai deskripsi dari suatu dan kejadian yang kita hadapi (Al-Bahra Bin Ladjamudin, 2005, Hal:8). Data dapat berupa catatancatatan dalam kertas, buku, atau tersimpan sebagai file dalam database. Data akan menjadi bahan dalam suatu proses pengolahan data. Oleh karena itu, suatu data belum dapat berbicara banyak sebelum diolah lebih lanjut. Penelitian kualitatif pada dasarnya merupakan suatu proses penyelidikan, yang mirip dengan pekerjaan detektif (Miles, 1992). Dari sebuah penyelidikan akan dihimpun data-data utama dan sekaligus data tambahannya. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Sedangkan data tertulis, foto, dan statistik adalah data tambahan (Moleong, 2007:157). Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi partisipan atau responden (participant observation), wawancara mendalam, dan dokumentasi. Berikut beberapa teknik pengumpulan data kualitatif. 43 1. Wawancara Teknik wawancara dipakai sebagai pengumpulan data jika penelitian ingin melakukan sebuah studi pendahuluan untuk menemukan masalah yang akan diteliti. Selain itu, teknik ini juga bisa dilakukan apabila peneliti ingin tahu suatu hal secara mendalam responden. Teknik wawancara ini didasarkan pada laporan pribadi atau setidaknya memuat pengetahuan dan keyakinan pribadi. Menurut Prabowo (1996) wawancara adalah metode pengmbilan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada seseorang responden, caranya adalah dengan bercakap-cakap secara tatap muka. Pada penelitian ini wawancara akan dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) dalam proses wawancara dengan menggunakan pedoman umum wawancara ini, interview dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, serta mencantumkan isuisu yang harus diliput tampa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tidak terbentuk pertanyaan yang eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan interviewer mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas, juga menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian interviwer harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara kongkrit dalam kalimat Tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks actual saat wawancara berlangsung (Patton dalam poerwandari, 1998). 44 Kerlinger (dalam Hasan 2000) menyebutkan 3 hal yang menjadi kekuatan metode wawancara : a. Mampu mendeteksi kadar pengertian subjek terhadap pertanyaan yang diajukan. Jika mereka tidak mengerti bisa diantisipasi oleh interviewer dengan memberikan penjelasan. b. Fleksibel, pelaksanaanya dapat disesuaikan dengan masing-masing individu. c. Menjadi stu-satunya hal yang dapat dilakukan disaat tehnik lain sudah tidak dapat dilakukan. Menurut Yin (2003) disamping kekuatan, metode wawancara juga memiliki kelemahan, yaitu : a. Mudah terpengaruh terhadap bias yang ditimbulkan oleh kontruksi pertanyaan yang penyusunanya kurang baik. b. Mudah terpengaruh terhadap terhadap bias yang ditimbulkan oleh respon yang kurang sesuai. c. Probling yang kurang baik menyebabkan hasil penelitian menjadi kurang akurat. d. Ada kemungkinan subjek hanya memberikan jawaban yang ingin didengar oleh interviwer. Dalam digabungkan penelitian dengan kualitatif, teknik teknik observasi. wawancara Karena, mendalam selama sering pengamatan berlangsung, penelitian pun melakukan wawancara dengan responden. Hasil 45 wawancara harus segera dicatat setelah selesai melakukan wawancara. Hal ini dilakukan untuk menghindari data yang hilang karena lupa tidak tercatat. 2. Observasi Disamping wawancara, penelitian ini juga melakukan metode observasi. Menurut Nawawi & Martini (1991) observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistimatik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala dalam objek penelitian. Menurut Nasution (1988) observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Dalam penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data dapat dilakukan melalui observasi, sehingga akan mengetahui fakta dan memahami gejala sosial yang sedang terjadi. Dalam penelitian ini observasi dibutuhkan untuk dapat memehami proses terjadinya wawancara dan hasil wawancara dapat dipahami dalam konteksnya. Observasi yang akan dilakukan adalah observasi terhadap subjek, perilaku subjek selama wawancara, interaksi subjek dengan peneliti dan hal-hal yang dianggap relevan sehingga dapat memberikan data tambahan terhadap hasil wawancara. Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian di lihat dari perpektif mereka yang terlihat dalam kejadian yang diamati tersebut. 46 Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) salah satu hal yang penting, namun sering dilupakan dalam observasi adalah mengamati hal yang tidak terjadi. Dengan demikian Patton menyatakan bahwa hasil observasi menjadi data penting karena : a. Peneliti akan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang konteks dalam hal yang diteliti akan atau terjadi. b. Observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada penemuan dari pada pembuktiaan dan mempertahankan pilihan untuk mendekati masalah secara induktif. c. Observasi memungkinkan peneliti melihat hal-hal yang oleh subjek penelitian sendiri kurang disadari. d. Observasi memungkinkan peneliti memperoleh data tentang hal-hal yang karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian secara terbuka dalam wawancara. e. Observasi memungkinkan peneliti merefleksikan dan bersikap introspektif terhadap penelitian yang dilakukan. Impresi dan perasan pengamatan akan menjadi bagian dari data yang pada giliranya dapat dimanfaatkan untuk memahami fenomena yang diteliti. Teknik observasi ini sangat bermanfaat dalam penelitian kualitatif. Dengan teknik ini, peneliti dapat menemukan suatu hal yang tidak terungkap oleh partisipan, sehingga peneliti memperoleh gambaran secara komprehensif. 3. Dokumen 47 Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian, cenderamata, laporan, artefak, foto, dan sebagainya. Sifat utama data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam. Secara detail bahan dokumenter terbagi beberapa macam, yaitu otobiografi, surat-surat pribadi, buku atau catatan harian, memorial, klipping, dokumen pemerintah atau swasta, data di server dan flashdisk, data tersimpan di website, dan lain-lain. Untuk mendapatkan data-data ynga dibutuhkan, maka peneliti melakukan wawancara, observasi dan melihat literatur untuk memperkaya data-data di penelitian yang peneliti lakukan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti berupa analisis teks. Analisis teks adalah mengumpulkan data dengan menafsirkan teks berdasarkan berdasarkan kode-kode yang tepat dan telah tersedia. Karena teks dapat diartikan sebagai “seperangkat tanda yang ditransmisikan dari seorang pengirim kepada seorang penerima melalui medium tertentu dan dengan kode-kode tertentu” (Budiman, 1999:115-116) Ada tiga yang menjadi metode dalam analisis teks ini, yaitu : 1. Analisis Wacana Istilah wacana (discourse) yang berasal dari Bahasa Latin, discursus, telah digunakan baik dalam arti terbatas maupun luas. Secara terbatas, istilah ini menunjuk pada aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan yang mendasari 48 penggunaan bahasa baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan. Secara lebih luas, istilah wacana menunjuk pada bahasa dalam tindakan serta pola-pola yang menjadi ciri jenis-jenis bahasa dalam tindakan. Menurut Michael Foucault (1972), wacana kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan.Wacana adalah kata yang sering dipakai oleh masyarakat dewasa ini. Banyak pengertian yang merungkai kata wacana ini. Dalam lapangan sosiologi, wacana menunjuk terutama dalam hubungan konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Menurut Eriyanto (Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media), Analisis Wacana dalam pengajaran linguistik merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal (yang lebih memperhatikan pada unit kata, frasa, atau kalimat semata-mata tanpa melihat hubung kait di antara unsur tersebut). Analisis wacana adalah kebalikan dari linguistik formal, kerana memusatkan perhatian pada tahap di atas kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada tahap yang lebih besar dari kalimat. Manakala maksud analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial pula diertikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian 49 subjek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana. Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam bahasa. Pandangan pertama diwakili kaum positivisme-empiris. Menurut mereka, analisis wacana menggambarkan hubungan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik (titik perhatian didasarkan pada benar tidaknya bahasa secara gramatikal). 2. Analisis Framing Analisis Framing adalah bagian dari analisis isi yang melakukan penilaian tentang wacana persaingan antarkelompok yang muncul atau tampak di media. Dikenal konsep bingkai, yaitu gagasan sentral yang terorganisasi, dan dapat dianalisis melalui dua turunannya, yaitu simbol berupa framing device dan reasoning device. Framing device menunjuk pada penyebutan istilah tertentu yang menunjukkan “julukan” pada satu wacana, sedangkan reasoning device menunjuk pada analisis sebab-akibat. Di dalamnya terdapat beberapa ‘turunan’, yaitu metafora, perumpamaan atau pengandaian. Catchphrases merupakan slogan-slogan yang harus dikerjakan. Exemplar mengaitkan bingkai dengan contoh, teori atau pengalaman masa silam. Depiction adalah “musuh yang harus dilawan bersama”, dan visual image adalah gambargambar yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Pada instrumen penalaran, Roots memperlihatkan analisis sebab-akibat, Appeals to principles 50 merupakan premis atau klaim moral, dan Consequences merupakan kesimpulan logika penalaran. 3. Analisis Semiotika Menganalisis sajak adalah usaha menangkap dan memberi makna kepada teks sajak. Karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan , yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Dalam lapangan semiotik, yang penting yaitu lapangan sistem tanda, adalah pengertian tanda itu sendiri. Dalam pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan petanda (signified) atau yang ditandai, yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda pokok yaitu ikon, indeks dan simbol. Hubungan antara ketiga tanda ini bersifat arbitrer berdasarkan konvensi masyarakat. Sebuah sistem tanda yang menggunakan lambang adalah bahasa. Karya sastra merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi sastra. Karena sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua. Dalam sastra konvensi bahasa disesuaikan dengan konvensi sastra.dalam karya sastra kata-kata ditentukan oleh konvensi sastra, sehingga timbul arti baru yaitu arti sastra. Jadi arti sastra itu merupakan arti dari arti, untuk membedakan arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertamadsisebut meaning dan arti sastra disebut makna (significance). 51 Makna sajak bukan semata-mata arti bahasanya, melainkan arti bahasa dan suasana, perasaan, intensitas arti, arti tambahan, daya liris, pengertian yang timbul oleh konvensi sastra, misalnya tipografi, enjabement, sajak, barik sajak, ulangan, dan lainnya lagi. Makna sajak adalah arti yang timbul oleh bahasa yang disusun berdasarkan struktur sastra menurut konvensinya, yaitu arti yang bukan semata arti bahasa, melainkan berisi arti tambahan berdasarkan konvensisastra yang bersangkutan. Memberi makna sajak berarti mencari tanda-tanda yang memungkinkan timbulnya makna sajak, maka menganalisis sajak itu tidak lain adalah memburu tanda-tanda, dikemukakan oleh Culler dalam The Pursuit of Sign (1981). Studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda dan karena itu menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti (Preminger, 1974: 981). Maka dalam menganalisis sajak terutama dicari tanda-tanda yang lain yang merupakan konvensi tambahan dalam puisi. 3.4 Uji Validitas Validitas adalah keadaan yang menggambarkan tingkat instrumen bersangkutan yang mampu mengukur apa yang akan diukur (Arikunto, 1995). Menurut ahli lain juga validitas merupakan tingkat keandalah dan kesahihan alat ukur yang digunakan. Intrumen dikatakan valid berarti menunjukkan alat ukur yang dipergunakan untuk mendapatkan data itu valid atau dapat 52 digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya di ukur (Sugiyono, 2004:137). Dengan demikian, instrumen yang valid merupakan instrumen yang benar-benar tepat untuk mengukur apa yang hendak di ukur. Beberapa teknik yang digunakan dalam uji validitas sebagai berikut: 1. Pendekatan Modus Operandi (MO) Teknik ini dipinjam dari dunia detektif dalam menelusuri sebuah kejadian. Seorang detektif akan sangat cermat datang di tempat kejadian perkara (TKP), lalu berupaya menemukan siapa yang terlibat sebagai saksi dan pelaku kejahatan. Dalam penelitian kualitatif, ada sejumlah ancaman yang sejauh tertentu dapat dianganggap sebagai variabel yang harus di control. Dalam metode MO peneliti menganggap ancaman itu sebagai kejadian dan mencermatinya apa benar-benar terjadi dalam fenomena yang sedang diteliti. Masalah utama dalam mengaplikasikan MO ini adalah sulitnya mengidentifikasi penjelasan atau interpretasi alternatif yang kemudian satu demi satu disingkirkan. Ini semua bermula dari kenyataan bahwa segala penjelasan atau interpretasi alternative itu sangat bergantung pada teori (theory-dependent) (Maxwell, 1996). 2. Triangulasi Teknik ini merujuk pada pengumpulan informasi atau data dari individu dan latar dengan menggunakan berbagai metode. Triangulasi juga berfungsi untuk mengurangi bias dalam metode yang melekat pada sebuah metode dan memudahkan melihat keluasan yang peneliti kemukakan. Yang perlu dicermati adalah bahwa triangulasi tidak menjamin bebasnya 53 ancaman terhadap validitas. Maka penelitian ini harus menghindari dua hal: (1) jangan menggunakan metode yang memiliki bias yang sama, dan (2) jangan menggunakan metode yang berbeda dengan tujuan untuk mendukung kesimpulan anda (Alwasilah,1991). Triangulasi ini dicapai dengan cara observasi, teori atau literatur, dan wawancara ahli. Peneliti menggunakan triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data. Dimana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moloeng, 2004:330) Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda (Nasution, 2003:115) yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini selain digunakan untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk memperkaya data. Menurut Nasution, selain itu triangulasi juga dapat berguna untuk menyelidiki validitas tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi bersifat reflektif. Denzin (dalam Moloeng, 2004), membedakan empat macam triangulasi diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Pada penelitian ini, dari keempat macam triangulasi tersebut, peneliti hanya menggunakan teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan sumber. Triangulasi dengan sumber artinya membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu 54 dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton,1987:331). Adapun untuk mencapai kepercayaan itu, maka ditempuh langkah sebagai berikut : • Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara • Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. • Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu. • Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan masyarakat dari berbagai kelas. • Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. 3. Member checks Ada masukan atau feedback yang sangat penting dan tinggi harganya, yakni memasukan yang diberikan oleh individu yang menjadi responden kita. Nampaknya ini teknik yang paling ampuh untuk: (1) menghindari salah tafsir terhadap jawaban responden sewaktu di wawancara, (2) menghindari salah tafsir terhadap perilaku responden sewaktu di observasi, dan (3) mengkonfirmasi perspektif emik responden terhadap suatu proses yang sedang berlangsung. Perlu diingat bahwa apa yang dikatakan responden belum tentu benar. Yang jelas adalah bahwa jawaban mereka adalah bukti atau alat validitas kebenaran dari pernyataan yang peneliti ungkapkan. Peneliti juga harus berbagi pengalaman penelitian dengan 55 responden, sehingga responden dapat (1) menverifikasi bahwa peneliti telah merefleksikan perspektif emik, (2) memberi tahu peneliti bagian mana dari laporan penelitian yang mungkin menimbulkan masalah politik atau etis manakala dipublikasikan, dan (3) membantu peneliti menemukan interpretasi baru (Hammerskey & Atkinson, 1993; Maxwell, 1996; Guba & Lincoln, 1989; Glesne & Peshkin, 1992). Dari beberapa teknik untuk menguji validitas di atas, maka peneliti menggunakan dua teknik dalam penelitian, yaitu teknik triangulasi dan teknik mengecek ulang (member check). 3.5 Objek Penelitian Menurut Suharsimi Arikunto (2009:29), objek penelitian adalah variabel penelitian, yaitu sesuatu yang merupakan inti dari problematika penelitian. Sedangkan benda, hal atau orang tempat data untuk variabel penelitian melekat dan yang dipermasalahkan disebut objek (Suharsimi Arikunto, 200:116). Menurut Sugiono menyatakan bahwa, definisi objek penelitian adalah sebagai berikut: “Objek penelitian merupakan Suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk di pelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya” (2009:38). Berdasarkan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa objek penelitian merupakan sesuatu hal yang akan diteliti dengan mendapatkan data untuk tujuan tertentu dan kemudian dapat ditarik kesimpulan. 56 Dari pengertian di atas, maka objek dari penelitian ini adalah Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat Logo Tarung Derajat Berikut bagian-bagian dari Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat: Tabel 3.1 Bagian-bagian Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat No Nama 1 Kepalan Tangan 2 Tapal Kuda dan 5 kotak didalamnya Simbol 57 3 Petir 4 Warna kuning 5 Warna Merah 6 Warna Hitam BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Temuan Penelitian 4.1.1 Tarung Derajat Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat dideklarasikan kelahirannya di bumi persada Indonesia tercinta, di Bandung 18 Juli 1972 oleh peciptanya seorang putra bangsa yaitu Guru Haji Achmad Dradjat yang memiliki nama julukan dengan panggilan Aa Boxer. Nama panggilan Aa Boxer diterapkan dan melekat pada diri Achmad Dradjat, setelah dirinya mampu dan berhasil menggunakan dan menerapkannya Seni Pembelaan Diri karya ciptanya di dalam berbagai bentuk perkelahian, dimana butuh dan harus berkelahi atau bertarung dalam rangka berjuang untuk mempertahankan kelangsungan hidup, menegakan kehormatan dan membela kemanusiaan dalam kehidupan seharihari selaras dengan kodrat hidupnyanya. Guru Haji Achmad Dradjat menciptakan dan melahirkan ilmu beladiri secara alami, mandiri, dan tersendiri serta kejadian-kejadian hidup yang terjadi selalu dinikmati dengan totalitas berserah diri kepada Tuhan YME dengan tindakan-tindakan yang Realistis dan Rasional, dari hasil perjuangan hidup pribadi seperti itu, mencuat sebuah nama untuk diterapkan pada Seni Ilmu Olah Raga Bela Diri Karya Ciptanya, yaitu : "TARUNG DERAJAT" 58 59 (Tarung, Bertarung adalah Berjuang dan Derajat adalah Harkat martabat kemanusiaan) Tarung Derajat itu adalah Ilmu Olahraga Seni Pembelaan Diri yang memanfaatkan Senyawa Daya Gerak Otot, Otak serta Nurani secara Realistis dan Rasional, didalam proses pembelajaran dan pemberlatihan gerakangerakan seluruh anggota dan organ tubuh serta bagian-bagian penting lainnnya, dalam rangka memiliki dan menerapkan 5 (lima) unsur daya moral, antara lain yaitu : Kekuatan - Kecepatan - Ketepatan - Keberanian dan Keuletan, yang melekat dengan Dinamis dan Agresif dalam suatu Sistem Ketahanan / Pertahanan diri serta Pola Teknik, Taktik dan Strategi Bertahan menyerang yang Praktis dan Efektif bagi suatu Pembelaan Diri. Untuk digunakan terutama pada upaya Pemeliharaan Keselamatan, Kesehatan dan Kesempatan Hidup sebagai Manusia yang berhakekat, seperti mampu menghindari dan menjauhkan sikap hidup permusuhan dan kesombongan, pencegahan dan pemulihan penyakit fisik dan mental, serta mampu mensyukuri kehidupan dan berbuat amal kebaikan bermanfaat bagi kemanusiaan. Tarung Derajat itu adalah logika dan tindakan moral yang memanfaatkan senyawa daya gerak otot, otak serta nurani berasal dan diperoleh dari proses Fikiran Rasa dan Keyakinan atas dan tentang berbagai macam sifat, motif dan bentuk serta cara datang kemudian menerima dan menyikapi serta menjawab peristiwa-peristiwa terjadinya suatu kejadian hidup yang dialami dan teralami 60 sendiri di dalam menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan bidang garapan hidup yang ditekuni secara realistis dan rasional pada setiap tatanan ruang lingkup, tataran dan tingkatan kehidupan yang diganti selaras dengan adab-adabnya dalam rangka berinteraksi hidup keluarga, masyarakat, hingga bernegara dan berketuhanan YME. Rangkaian dari suatu proses pengalaman hidup tersebut ditata dalam bentuk paduan imajinasi yang sarat dengan hasrat perjuangan dan kerja keras untuk merubah nasib, tertata dalam bentuk paduan kreativitas. Paduan imajinasi menyatu dengan paduan kreativitas melahirkan suatu tindakan hidup yang praktis dan efektif. Dan tindakan moral yang dilakukan dengan konsisten pada setiap menghadapi tantangan dan tuntutan hidup, merefleksi dalam paduan Keberanian Moral. 4.1.2 Logo Tarung Derajat Dalam Kamus Komunikasi yang disusun oleh Prof. Dr. Onong Uchyana Effendy, MA. diperoleh pengertian, bahwa logo adalah : ”Huruf tunggal atau gabungan huruf atau gambar yang dilukis secara khusus yang mengandung makna tertentu sebagai lambang perusahaan, lembaga, badan, atau organisasi lainnya (Effendy, 1989:210). Logo sebagai identitas perusahan merupakan salah satu konsep komunikasi perusahaan yang dapat dievaluasi maknanya, agar dapat diketahui sampai seberapa besar pemirsa memperhatikan, memahami, dan menerima pesan logo sebagai pesan nirverbal (nirverbal symbol). 61 Melalui logo yang dapat peneliti kategorikan sebagai simbol, terdapat pesan komunikasi sarat dengan makna, baik yang terlihat jelas maupun tersembunyi, ide-ide dan pikiran yang terdapat di dalam logo. Secara sederhana dapat peneliti katakan bahwa simbol tersebut mewakili pemikiran tersembunyi yang hendak disampaikan oleh komunikator atau pembuat logo. Demikian halnya dengan logo yang ditampilkan oleh Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat. Logo berupa kepalan tangan dengan diapit oleh petir di sisi kiri dan kananya serta tapal di belakang kepalan tangannya yang mengandung makna tersendiri. Maka dari itu penulis mencoba untuk menggali makna tersembunyi yang terkandung didalam logo tersebut melalui sebuah penelitian. Dalam menginterpretasikan logo tersebut, peneliti menggunakan kerangka analisis semiotika Roland Barthes. Hal ini sesuai dengan identifikasi masalah yang mempertanyakan tentang makna denotasi, konotasi, serta mitos yang terkandung dalam Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat. Untuk menemukan dan menjelaskan makna yang ada dalam Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat tersebut, peneliti mengelompokkannya menjadi beberapa pembahasan sebagai berikut: • Memisahkan tanda-tanda dalam logo. Seperti gambar atau bentuk visual dan warna. Dengan memisahkaan tanda-tanda yang terdapat dalam logo tersebut memudahkan peneliti dalam menganalisis makna dan 62 menafsirkan pesan dari masing-masing tanda tersebut. Dimana pada masing-masing tanda tersebut terdapat pesan di dalamnya. • Menganalisis tanda-tanda tersebut, dimana akan diuraikan berdasarkan strukturnya, yaitu penanda dan petanda. Pada tingkat pemaknaan denotasi, pesan dikategorikan sebagai penanda dan petanda sehingga dapat dihasilkan makna literatur atau makna eksplisit. • Kemudian pada langkah analisis selanjutnya, makna denotasi yang telah diperoleh pada tahap pemaknaan pertama menjadi penanda pada tahap dua. Dengan penanda tersebut dapat dilakukan tahap pemaknaan konotatif. Dari sini dapat juga kita lihat titik konotasi dengan tujuan menemukan suatu ideologi dalam merekonstruksi suatu sistem signifikansi secara bertingkat sehingga terlihat keterkaitan antara tanda di dalam bentuk visual logo. • Mengungkap atau membongkar mitos pada tanda di dalam teks dan bentuk visual logo dan slogan yang diteliti. Berdasarkan data yang diperoleh dan melihat dari logo yang ditampilkan, ada beberapa tanda yang terdapat dalam logo tersebut. Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat memiliki lambang perguruan yang menjadi simbol utama Tarung Derajat yang disebut juga PRIBADI MANDIRI. 63 Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat yaitu logo yang berdiri bebas yang biasanya tidak memuat nama produk atau perusahaan, tetapi memiliki asosiasi langsung dengan nama, produk atau wilayah aktifitasnya. Hal ini dapat kita lihat dari tanda-tanda yang terdapat didalamnya, yaitu: • Gambar yang berbentuk Kepalan Tangan Dua Buah Lingkaran. Bentuk visualnya ditunjukkan pada bagian tengah logo depan Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat. • Lingkaran tebal ¾ Lima rongga putih dalam tapal. Bentuk visualnya ditunjukkan pada bagian belakang kepalan tangan Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat. • Gambar yang berbentuk petir. Bentuk visualnya ditunjukkan pada kedua sisi Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat. 64 • Warna kuning, hitam, dan merah. Dalam Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat warna yang digunakan adalah warna kuning, hitam, dan merah. 4.2 Analisis 4.2.1 Semiologi Logo Tarung Derajat Roland Barthes mengembangkan semiotika menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Kemudian ranah penting lainnya yang tidak bisa dilepaskan adalah mitos. Menurut Molinowski, mitos adalah ”suatu pertanyaan purba tentang realitas yang lebih relevan”. Dalam nada yang sama, Langer menilai bahwa mitos sebagai ”pandangan yang serius jauh ke muka tentang kebenaran yang paling mendasar.” Sementara dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya. Dan 65 mewujudkan dirinya dalam bentuk yang bermacam-macam. Salah satu bentuk itulah yang menjadi mitos dalam kehidupan bermasyarakat. 4.2.2 Analis Denotasi dan Konotasi Makna denotatif bersifat langsung, yaitu khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda (Berger,2000b:55). Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif (Keraf, 1994:29). Makna konotatif, seperti itu disinggung, adalah suatu jenis makna yang mana stimulus respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotstif sebuat kata dipengaruhi dan ditentukan oleh lingkungan, yaitu tekstual dan lingkungan budaya (Sumardjo & Saini,1994:126). Berikut makna denotasi dan konotasi yang terdapat di dalam logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat : Tabel 4.1 Denotasi dan Konotasi logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat No Nama 1. Kepalan Tangan Denotasi Konotasi 1. Kepalan tangan adalah lambang gerakangerakan bela diri. 2. Dua buah lingkaran 1. Kepalan Tangan 2. Dua Buah Lingkaran bermakna bahwa 66 3. Tangan Memukul ke Depan gerakan-gerakan 4. Warna Kuning Tarung Derajat didasarkan pada kemampuan otok dan otak. 3. Tangan memukul ke depan melambangkan bahwa tarung derajat senantiasa menuju ke masa depan yang lebih baik. 4. Warna kuning adalah simbol angin. 2. Tapal Kuda dan 5 1. Lingkaran tebal 3/4 kotak didalamnya ini melambangkan wadah/ tempat untuk pembinaan diri. 2. Lima kotak putih 1. Lingkaran tebal 3/4 melambangkan 2. Lima rongga putih dalam Penggodokan/pembin tapal aan yang dilakukan 67 3. Warna hitam berdasarkan atas lima 4. Warna Putih unsur daya gerak yaitu kekuatan, kecepatan, ketepatan, keberanian dan keuletan. 3. Warna hitam adalah simbol tanah. Lima unsur tersebut disimpulkan oleh lima kotak putih. 4. warna putih adalah lambang air. 3. Petir 1. Petir melambangkan suatu cita-cita yang luhur serta tekad yang membara didukung 1. Petir oleh semangat yang 2. Warna merah tinggi. 2. Warna merah adalah simbol api. 68 Logo ini mengingatkan kepada super hero yang bernama flash. logo ini jika dilihat sekilas mungkin berkaitan dengan super hero yang bernama flash atau bicara tentang olah raga yang berkaitan dengan tapal kuda. Tangan memegang kilat itu akan menghubungkan pengetahuan kita kepada gambar tangan memegang kilat seperti zeus, bicara kekuasaan, keagungan, dan hal yang tinggitinggi. Disitu juga ada seperti gambar tapal kuda, ini bisa dikaitkan dengan sifatsifat kuda seperti bekerja keras, kekuatan, mobil bergerak 1000 tenaga kuda. Temuan denotasi seperti pada tabel di atas memiliki pemaknaan bermacammacam. Pemaknaan tersebut dijelaskan dalam konotasi. Pertama adalah kepalan tangan yang berwarna kuning ke arah depan. Lambang kepalan tangan ini merupakan gerakan-gerakan bela diri. Dua buah lingkaran bermakna memiliki arti gerakan-gerakan Tarung Derajat didasarkan pada kemampuan otok dan otak. Tangan memukul ke arah depan merupakan lambang tarung derajat senantiasa menuju ke masa depan yang lebih baik. Warna kuning adalah simbol angin yang mengartikan kekuatan. Kedua adalah Lingkaran tebal 3/4 warna hitam dengan lima kotak putih. Lambang Lingkaran tebal 3/4 warna hitam dengan lima kotak putih atau yang lebih terlihat seperti tapal kuda ini mengandung makna berupa wadah atau tempat untuk pembinaan diri. Warna hitam adalah simbol tanah. Penggodokan atau pembinaan yang dilakukan berdasarkan atas lima unsur daya gerak yaitu kekuatan, kecepatan, ketepatan, keberanian dan keuletan. Lima unsur tersebut disimpulkan oleh lima kotak putih. Sedangkan warna putih adalah 69 lambang air yang mengandung arti hati nurani dan cita-cita yang luhur. Ketiga adalah Sepasang kilat warna merah. Sepasang kilat warna merah melambangkan suatu cita-cita yang luhur serta tekad yang membara didukung oleh semangat yang tinggi. Warna merah adalah simbol api yang mengartikan keberanian. 4.2.3 Mitologi Logo Tarung Derajat Perspektif Barthes tentang mitos ini menjadi salah satu ciri khas semiologinya sekaligus juga membuka ranah baru dalam analisis semiotik, yakni penggalian lebih jauh dari penandaan untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas keseharian masyarakat. Dalam bentuk praktisnya, Barthes mencoba membongkar mitos-mitos modern masyarakat melalui berbagai kajian kebudayaannya, seperti fotografi, fashion, musik, film, pertunjukkan, bahkan olahraga dan makanan (Kurniawan, 2001:23). Barthes dalam bukunya Mythologies, menekankan tugas penting para ahli semiotik untuk membuat demitifikasi atas apa yang terkatakan dan tak terkatakan dalam representasi budaya populer. Ini dilakukan dengan menyingkap bias mitos yang diciptakan atau diperkuat ketika subjek kebudayaan itu sendiri mengenakan bentuk tekstual sistem-sistem tanda dan kode-kode. Seperti diutarakan Barthes, kebenaran mitos mencirikan “apa-yang-berlangsung-tanpa-perkataan”. Logika kultural yang dikembangkan lewat mitologi berupaya mereduksi pelbagai perbedaan tafsir dan membatasi kelimpah-ruahan makna. Mitologi menghidupkan realitas, menerjemahkan dan menaturalisasikannya bagi kita, dengan 70 menyuntikkan taraf-taraf signifikansi ideologis terhadap realitas itu (Trifonas, 2003:7-9). Mitos adalah kebutuhan manusia. Itulah sebabnya mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi, sebagaimana juga dikatakan Roland Barthes dalam bukunya Mythologies (1993). Dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa sebagai bentuk simbol dalam komunikasi, mitos bukan hanya diciptakan dalam bentuk diskursus tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olah raga, dan televisi. Dikatakan oleh Roland Barthes mitos pun diciptakan dalam olahraga. Seperti halnya dalam olahraga beladiri Tarung Derajat. Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat memiliki mitos yang tersembunyi. Seperti yang digambarkan dalam logo Tarung Derajat ini. Pertama dilihat dari warna hitam, warna merah, dan warna kuning yang terdapat di dalam logo. Warna merah itu action, mencerminkan kemarahan, keberanian. Warna merah juga dapat menimbulkan kesan bahwa gambar halilintar ada di kepalan tangan, dan di kepalan tangan ada dua lingkaran. Kebiasaan ini yang peneliti mengetahui bahwa ini melambangkan semacam salah satu bentuk kekerasan. Melihat tangan yang mengepal bisa dikaitkan dengan unsur kekerasan, karena mengepal menunjukkan aksi, menonjok dan sebagainya. Mulai dari bulatan dua yang ada di kepalan tangan yang merupakan satu kesatuan, kekerasan itu muncul karena menandakan bahwa beladiri ini akan melalui suatu proses latihan push up secara terus-terusan yang menyebabkan timbul bekas dua tonjolan atau ketika memukul samsak. Dua bulatan ini posisinya lebih depan dan lebih keras, sehingga 71 disamping push up dan suka memukul dalam proses latihan, maka yang kemudian dapat dilihat kepalan kemudian ada tonjolan dua bahwa itu mengesankan semacam bentuk kekerasan, tetapi kekerasan yang dapat dikatakan sebagai sistemisasi bahwa kekerasan itu bisa dengan lambang tangan seperti ini bisa kekerasan itu menakutkan. Pertama Maskulinitas muncul dari paduan merah dan hitam selain warna kuning dalam logo ini memang sudah menggambarkan maskulinitas, walaupun kesan ini dapat terbantahkan, tapi jika peneliti memposisikan sebagai laki-laki sudah bisa terwakili oleh semua. Melihat nama boxer atau tarung derajat ada tarung dan ada boxer itu sudah ada jarak secara psikologis. Kalau dunia ini adalah dunia yang penuh kekerasan kalaupun ada sebagian wanita yang masuk ikuti ke dalam beladiri ini mungkin juga punya jiwa maskulinitas. Kedua dari pengamatan ini menandakan bahwa gambar ¾ lingkaran warna hitam dengan lima kotak putih ini seperti sepatu kuda (tapal kuda), ini merupakan alat untuk melindungi kaki, tapi kaki kuda, kaki kuda itu identik dengan tendangan. Tapal kuda bisa mencerminkan maskulinitas karena kuda berbicara kejantanan, jenis tangan yang kaku. Tendangan kuda ini representasi dari sebuah gerakan atau semacam gerakan-gerakan kaki atau tendangan, dan tendangan itu selalu identik dengan kaki, kaki yang menendang itu identik dengan laki-laki. Tetapi warna kuning memiliki kesan lembut, ada warna soft dan mungkin karena bukan tanpa pertimbangan, mungkin lihat lagi di AD/RT ada makna lambang-lambang kenapa pilih kuning, tapi kalau kemudian kuning ini ada dari segi tinjauan-tinjauan 72 sekilas ini hanya untuk memadukan komposisi warna saja, bahwa kuning ini ada merah ada hitam akan masuk sebagaimana warna hitam dan merah itu merupakan kombinasi yang sesuai. Bahwa halilintar bisa digambarkan tidak seperti ini misalnya blur atau memakai gradasi, tapi ini digambarkan berbentuk sudut yang tajam, itu memberikan semacam ketegasan bahwa halilintar ini diikat atau dibatasi dengan sesuatu yang tegas atau batas. Katakanlah ini merupakan percikan api, kalau dikaitkan dengan dunia laki-laki disini digambarkan bahwa laki-laki itu walaupun mengeluarkan semacam gerakan, kemudian gerakan itu dilukiskan pukulan atau tendangan, pukulan ini tangan dan tapal kuda ini kaki, ini menggambarkan perpaduan adalah bahwa kaki memiliki tendangan yang menggelegar dan jika tangan, bertangan besar menggelegar seperti halilintar, jadi itu mulukiskan kekuatan, dan kekuatan itu selalu hadir identik dengan laki-laki. Disini sebenarnya ada semacam bahasa tubuh, ini merupakan gambaran bagianbagian tubuh walaupun tidak langsung menggambarkan tubuh. Jadi intinya bahwa beladiri ini diwakili oleh tangan dan kaki, dan kaki ini ditandai dengan tapal kuda ini. Sebagaimana sebuat teks atau tulisan sebetulnya ketika lambang ini sudah dipublikasikan semua masyarakat bebas untuk menilai apa saja, pembuat logo tidak bisa (penolakan), karena bebas untuk menafsirkan sesuai apa yang masyarakat ketahui. Aturan umum yang tidak tertulis yang mengatakan bahwa laki-laki sejati pantang untuk menangis, harus tampak tegar, kuat, pemberani, garang serta berotot. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi figur 73 pelindung atau pengayom ataupun yang mengatakan bahwa laki-laki akan sangat laki-laki apabila identik dengan rokok, alkohol dan kekerasan (Donaldson, 1993: 1). Melihat asal usul terbentuknya Tarung Derajat dimulai dengan kesan kekerasan atau pertarungan antar geng. Dari bentuk lambang dapat memiliki makna ketika dikonvensikan, konvensi yang tidak eksplisit atau konvensi yang tidak tertulis. Sering kali dapat di gambarkan berupa bentuk pukulan, atau juga bentuk kekerasan. Bahwa kekerasan dalam olah raga ini sebenarnya ada bentuk atau lambang-lambang kekerasan (dalam pengertian netral) bukan kekerasan untuk mukul bahwa ini sebuah senjata tangan kosong, di tangan ini ada lambang merah berarti halilintar berarti gledek, berarti menggelegar, kalau di pukul berarti sama dengan pukulan gledek. Kemudian lingkaran ¾ warna hitam dengan lima kotak putih di dalamnya atu tapal kuda, tapal kuda ini bersifat maskulinitas jika dapat dilihat dari iklan-iklan rokok Marlboro maka yang akan muncul maskulin dengan penggambaran melalui tambang, topi koboy, kuda. Kuda itu jika berlari selalu menggunakan tapal kuda, secara tidak langsung bahwa disana ada celana jeans, tambang, tapal kuda, dan kayu, semua biasanya diasosiasikan dengan dunia laki-laki. Artinya lambang maskulinitas itu bisa muncul meskipun kuda betina juga memakai tapal kuda. Kesan maskulinitas ini bisa muncul dari bentuk tangan yang kaku dan kotak, dan di kedua petir yang memiliki sisi-sisi tajam. Coba jika melihat majalah femina, dari segi huruf harus mengesankan feminisme, kesan feminisme nya 74 harus muncul, jarang misalnya logo-logo itu muncul dengan keras, jadi pilihan huruf, warna huruf, kenapa harus warna pink. Itu merupakan kesepakatankesepakatan tidak tertulis. Sebenarnya ada dua yang mencerminkan maskulinitas, yang pertama adalah dua lingkaran di tangan dan yang kedua adalah tapal kuda. Jadi lingkaran ini tidak dapat dipecah dan merupakan satu kesatuan dengan tangan warna kuning. Persepsi merupakan inti komunikasi, dan inti persepsi itu sendiri adalah interpretasi. Aku ramah bukan berarti takut, aku tunduk bukan berarti takluk, tetapi filosofi ini tidak keluar dalam logo ini. Ini terkesan menyerang bukan bertahan, tetapi di sini tidak ada gambar perisai. Ketika tangan lawan sudah tertangkap maka lawan akan mati dan tidak bisa berbuat apa-apa. Perpaduan 3 lambang (kepalan tangan, petir, dan tapal kuda), itu semua menunjukkan kekerasan. Semua menganggap gambar lingkaran ¾ berwarna hitam ini adalah tapal kuda, tapi ini di modifikasi. Disini terjadi benturan, ini merupakan sepatu, yang berfungsi menahan benturan, dengan demikian dapat mengkonotasikan ini merupakan perisai secara tidak langsung, perisai untuk melindungi kuku-kuku kuda. Tapi ini tidak dapat menggambarkan perisai seperti tameng secara langsung, ini lebih menggambarkan menyerang, tapi perisai yang diciptakan oleh gerakan itu sendiri, dalam kata lain dia (kuda) melangkah, berlari, melompat. Dari melompat itu harus menempel ke jalan, dan tempelan ini yang akan menyebabkan kekuatan. 75 Perempuan juga bisa masuk ke dunia bela diri, perempuan ingin menunjukkan kekuatan untuk akrab dengan dunia bela diri, karena sebagian perempuan dari kepribadiannya yang keras sehingga bisa masuk kedunia seperti ini. Kalaupun ini dianggap dunia maskulinitas, bahwa wanita bisa bersikap dan berperilaku sebagaimana laki-laki, karena tidak ada larangan untuk mereka. Setelah peneliti melakukan penelitian terhadap logo ini, muncul beberapa sifat maskulinitas yang dikemukakan oleh Beynon (Nasir, 2007). Pertama No Sissy Stuff: seorang laki-laki sejati harus menghindari perilaku atau karakteristik yang berasosiasi dengan perempuan. Kedua Be a Sturdy Oak: kelelakian membutuhkan rasionalitas, kekuatan, dan kemandirian. Seorang laki-laki harus tetap bertindak kalem dalam berbagai situasi, tidak menunjukkan emosi, dan tidak memunjukkan kelemahannya. Ketiga Give em Hell: Laki-laki harus mempunyai aura keberanian dan agresi, serta harus mampu mengambil risiko walaupun alasan dan rasa takut menginginkan sebaliknya. Keempat adalah sifat kelaki-lakian yang macho, kekerasan, dan hooliganism. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Setelah melalui serangkaian pembahasan yang mendalam mengenai representasi maskulinitas pada Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat, maka peneliti akan menarik kesimpulan berdasarkan identifikasi yang telah dijelaskan pada bab pertama, yakni sebagai berikut: 1. Makna Denotasi yang terdapat dalam Logo Tarung Derajat dilihat dari Kepalan tangan yang berwarna kuning ke arah depan. Lambang kepalan tangan ini merupakan gerakan-gerakan bela diri. Dua buah lingkaran bermakna memiliki arti gerakan-gerakan Tarung Derajat didasarkan pada kemampuan otot dan otak. 2. Makna Konotasi yang terdapat dalam Logo Tarung Derajat dilihat dari Lingkaran tebal 3/4 warna hitam dengan lima kotak putih. Lambang Lingkaran tebal 3/4 warna hitam dengan lima kotak putih atau yang lebih terlihat seperti tapal kuda ini mengandung makna berupa wadah atau tempat untuk pembinaan diri. Penggodokan atau pembinaan yang dilakukan berdasarkan atas lima unsur daya gerak yaitu kekuatan, kecepatan, ketepatan, keberanian dan keuletan. Sepasang kilat warna merah melambangkan suatu cita-cita yang luhur serta tekad yang membara didukung oleh semangat yang tinggi. 76 77 3. Kemudian aspek mitos, yang terdapat di dalam gambar Logo Tarung Derajat ini maskulinitas muncul dari warna logo, gambar kepalan tangan, tapal kuda, dan petir. Semua gambar yang terdapat dalam Logo Tarung Derajat ini melambangkan kekerasan. Tetapi, setelah melakukan penelitian ini, dapat disimpulkan maskulinitas tidak selalu identik dengan kekerasan, tetapi muncul hal yang baru seperti kelembutan yang dapat dilihat dari 5 aspek kekuatan, kecepatan, ketepatan, keberanian dan keuletan. 5.2 Saran Berdasarkan hasil analisis mengenai Representasi Maskulinitas Logo Seni Ilmu Olahraga Beladiri Tarung Derajat, paka peneliti dapat memberikan saran serta masukan-masukan yang ditujukan untuk Tarung Derajat, yakni sebagai berikut: 1) Agar elemen desain dalam logo Tarung Derajat tetap dipertahankan karena menempati posisi yang tidak kalah penting, mengingat logo bisa merupakan simbol yang membawa nilai emosional tertentu, karena pada bentuk atau rupa logo mempunyai muatan pesan dan kesan yang kasat mata. 2) Agar pemakaian elemen desain seperti warna telah baik sehingga dapat menyandang citra yang diinginkan dan menunjukkan keadaan sebenarnya. 3) Peneliti menyarankan agar penelitian mengenai makna yang terkandung dalam logo Tarung Derajat ini diteliti dan dilanjutkan. Karena makna yang terkandung didalamnya perlu digali lebih dalam dan membutuhkan penelitian lebih lanjut. DAFTAR PUSTAKA Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Moleong, Lexy, J. 2001. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta Effendy, Onong Uchjana. 1989, Kamus Komunikasi. Bandung: CV Mandar Maju Cangara, H. Hafied. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Littlejohn, Stephen W. & Foss, Karen A. 2009. Teori Komunikasi: Theories of Human Communication. Jakarta: Salemba Humanika Cresswell. John W. 1998. Qualitative Inquiry and Research. London: SAGE Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media: Suatu pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosadakarya Sobru, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosadakarya Tinarbuko, Sumbo. 2008. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Yayasan Indonesiatera Alwasilah, A. Chaedar. 2002. Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya Miles, M.B. dan Hur,am A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UIPress Effendi, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT.Citra Aditya bakri Al-Bahra bin Ladjamudin. 2005. Analisis dan Desain Sistem Informasi. Yogyakarta : Graha Ilmu. Renzetti, Claire M. & Curran, Daniel J. 1989. Woman, Men, and Society: The Sociology og Gender. Boston: Allyn and Bacon Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra Kusrianto, Adi. 2009. Pengantar Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: CV. Andi Offset Darmaprawira, Sulaswi.2002. Warna: Teori dan Kreativitas Penggunaannya. Bandung: ITB Sumber lain http://anaksastra.blogspot.com/2009/05/analisis-semiotik.html http://www.ahlidesain.com/semiotika-dalam-desain-komunikasi-visual.html http://www.tarungderajat-aaboxer.com