5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. HIV/AIDS 2.1.1. Definisi Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan dan melemahkan sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi. Virus ini menyerang dan merusak fungsi sel-sel pertahanan tubuh, sehingga imunitas tubuh akan terus menurun secara progresif. Akibat imunitas tubuh yang melemah, terjadi kerentanan terhadap berbagai infeksi dan penyakit, walaupun infeksi tersebut dapat diatasi atau sembuh bila menyerang pasien imunitas tubuh yang baik (WHO, 2011). Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala yang ditandai dengan melemahnya fungsi sistem kekebalan tubuh (Astari, Sawitri, Safitri, Hinda, 2009). Sindrom ini merupakan tahap lanjutan dari infeksi HIV yaitu pada 10 sampai 15 tahun kemudian akan berkembang dan ditandai dengan perkembangan kanker tertentu, infeksi, atau manifestasi klinis lain yang parah (WHO, 2011). 2.1.2. Etiologi Penyebab utama HIV/AIDS adalah virus yang disebut retrovirus karena memiliki enzim reverse transcriptase, yang mampu mengubah RNA menjadi DNA pada sel yang terinfeksi, kemudian berintegrasi dengan DNA sel pejamu yang selanjutnya bereplikasi menjadi virus baru (Astari, Sawitri, Safitri, Hinda, 2009). Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai berbagai subtipe. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Preventive Services Task Force, 2011).. Virus HIV ini memiliki struktur dimana bagian luar selubung disebut envelope dan bagian dalam terdapat inti yang disebut Universitas Sumatera Utara 6 core. Di dalam inti virus juga terdapat enzim-enzim yang digunakan untuk membuat salinan RNA yang deperlukan untuk replikasi HIV yakni : reverse transcriptase, integrase dan protease (Astari, Sawitri, Safitri, Hinda, 2009). 2.1.3. Siklus Hidup HIV dan Internalisasi HIV ke Sel Target Virus HIV merupakan retrovirus obligat intraselular dengan replikasi sepenuhnya di dalam sel host. Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawali dari interaksi gp120 pada selubung HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4 yang terdapat pada permukaan membran sel target (kebanyakan limfosit TCD4+). Sel target utama adalah sel yang mempu mengekspresikan reseptor CD4 (astrosit, mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan’s dendritik) ( Asjo, Haaheim, Pattison, 2001). Interaksi gp120 HIV dengan CD4 mengakibatkan terjadi ikatan antara HIV dan sel target. Ikatan semakin diperkuat dengan adanya ko-reseptor kedua yang memungkinkan gp41 menjalankan fungsinya untuk memperntarai masuknya virus ke dalam sel target. Melalui gp41 terjadi fusi membran HIV dengan membrane sel target. Fusi antara kedua membran memungkinkan semua partikel HIV masuk ke dalam sitoplasma sel target. Bertindak sebagai ko-reseptor lini kedua adalah 7 (tujuh) reseptor transmembran, tetapi yang terpenting adalah CC Chemokine reseptor 5 (CCR5) dan CXC chemokine reseptor 4 (CXCR4) dengan melibatkan lebih 100 protein terkait (Nasronudin, 2012). Setelah gp120 HIV terikat pada reseptor CD4 dan ko-reseptor CCR5 dan CXCR4, diiringi terjadinya perubahan konformasi gp41 sehingga memungkinkan terjadi insersi pada region N-terminal hydrophobic fusion-peptide ke dalam membrane sel taret. Sehingga akibat insersi ini menghasilkan fusi kedua membrane (Nasronudin, 2012). Genom HIV untaian ganda secara acak berintegrasi ke dalam genom sel host. Atas peran dari integrase terjadi perubahan DNA, sehingga double strand DNA yang lebih stabil dan terbentuk provirus. Provirus masuk ke dalam nukleus dan menyatu Universitas Sumatera Utara 7 dengan kromosom sel host dengan perantara enzim integrase, sehingga mengakibatkan provirus menjadi tidak aktif dan proses transkripsi serta translasi tidak berjalan (Nasronudin, 2012). Pada tahap selanjutnya, enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur berfungsi sebagai RNA genomik dan mRNA. RNA keluar dari nukleus, mRNA mengalami translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host, kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim fungsioal. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus ini akan keluar dari sel, dan akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan 9 replikasi hingga 11 mencapai 10 sampai 10 virus baru (Fauci, Chiffordlane, 2008). Gambar 2.1. Poin Intervensi Potensial pada Siklus Hidup HIV Sumber: University of Washington, 2004 Universitas Sumatera Utara 8 2.1.4. Transmisi Infeksi HIV Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga jalan utama, yaitu secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama mengandung, persalinan, dan menyusui), secara transeksual (homoseksual maupun heteroseksual), dan secara horizontal yaitu kontak antar darah atau produk darah yang terinfeksi). Di Indoneia kasus HIV dan AIDS paling sering menular melalui hubungan seksual, kemudian diikuti faktor risiko yang tidak diketahui, penyalahgunaan jarum suntik, perinatal, dan melalui transfusi darah (Depkes, 2013). Tabel 2.1 : Persentase AIDS yang Dilaporkan Menurut Faktor Risiko, Januari sampai Desember 2012 Faktor Risiko Persentase (%) Heterosekual 71, 5 Injected Drug User 4, 9 Perinatal 3, 7 Homoseksual 2, 8 Biseksual 0, 5 Transfusi 0, 5 Tidak Diketahui 16, 5 Sumber : Depkes, 2013 2.1.5. Patogenesis Infeksi HIV Melalui berbagi transmisi yang terjadi, virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh manusia dan mencapai sirkulasi sistemik. Dalam waktu 4 sampai 11 hari sejak paparan pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk, dan lain-lain. Keadaan-keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada fase ini terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA viral load. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi, kemudian turun sampai Universitas Sumatera Utara 9 pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD4 secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5 sampai 2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS (Fauci, Chiffordlane, 2008). Gambar 2.2. Patogenesis HIV Sumber: Castillo, 2005 Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Reseptor CD4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit, makrofag, Langerhan’s, sel dendrit, astrosit, microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan chemokine reseptor yaitu CXCR4, CCR5, CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel target melalui peranan glikoprotein 41 (gp41). Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim reverse transkriptase dan inti masuk ke dalam Universitas Sumatera Utara 10 sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNA (ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan menggunakan RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi double strand DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan kromosom host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi. Untuk mengaktifkan provirus ini memerlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host teraktivasi oleh induktor seperti antigen, sitokin atau faktor lain maka sel akan memicu nuclear factor sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR (Long terminal repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. Long terminal repeats berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu replikasi HIV dengan cara intervensi dari mikroorganisme lain, misalnya bakteri, jamur, protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan tersebut, yang paling cepat menginduksi replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus DNA (Fauci, Chiffordlane, 2008). Ketika HIV masuk ke tubuh, maka virus mencari sel CD4 dan mereplikasikan diri. Sel CD4 merupakan target utama HIV untuk menghancurkan sistem imun tubuh. Setelah virus bereplikasi dan menghancurkan sel CD4, maka partikel virus baru akan mencari lagi dan menginfeksi sel CD4 yang lain (Fahey et al, 1990). Sehingga jumlah CD4 akan semakin rendah didalam tubuh. Secara progresif, sistem defensif tubuh akan menurun dan tidak dapat melindungi tubuh dari infeksi dan penyakit. Oleh sebab itu pemantauan jumlah CD4 pada seseorang yang terinfeksi HIV sangatlah penting untuk melihat perjalanan penyakit beserta prognosisnya (Stein, Korvick, Vermund, 1992). Sel limfosit T penderita secara perlahan tapi pasti akan tertekan dan semakin menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah limfosit T-CD4 melalui beberapa mekanisme. Ada beberapa teori tentang bagaimana HIV menghancurkan sel T dan CD4, yaitu: Universitas Sumatera Utara 11 1. Direct cell killing. Sel T dan CD4 yang terinfeksi dihancurkan secara langsung ketika sejumlah besar virus diproduksi dan menembus permukaan sel, merusak membran sel, atau ketika protein viral dan asam nukleat yang tekumpuldalam sel menganggu sistem selular. 2. Pembentukan syncytia. Sel terinfeksi dapat bergabung dengan sel tetangga yang tidak terinfeksi, membentuk sel raksasa seperti balon yang disebut syncytia. 3. Apoptosis. Sel T dan CD4 yang terinfeksi dapat terbunuh ketika regulasi selular terganggu oleh protein HIV, yang mungkin menyebabkan penghancuran sendiri sel yang dikenal sebagai apoptosis. 4. Innocent bystanders. Sel yang tidak terinfeksi dapat mati dengan skenario innocent bystanders. Pertikel HIV dapat berikatan dengan permukaan sel, menyebabkan sel seakan-akan terinfeksi sehingga sel dihancurkan oleh sel T killer. 5. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi yang berperan untuk mengeliminasi sel yang terinfeksi. 6. Kematian sel target terjadi akibat hiperaktivitas Hsp70, sehingga fungsi sitoprotektif, pengaturan irama dan waktu folding protein terganggu, terjadi missfolding dan denaturasi protein, jejas, dan kematian sel. Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T CD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah lagi, sehingga pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi sekunder dan akhirnya masuk ke stadium AIDS. Infeksi sekunder ini biasanya disebut infeksi oportunistik, yang menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi (Fauci, Chiffordlane, 2008). Universitas Sumatera Utara 12 Infeksi primer HIV Infeksi pada jaringan limfoid Sitokin (IL1β, IL6, TNFα) Viremia masif Aktivasi imun HIV respons imun spesifik Destruksi sistem imun Replikasi HIV Gambar 2. 3. Perjalanan Infeksi HIV Sumber: Nasronudin, 2012 2.1.6. Perkembangan Klinis Setelah infeksi awal, pasien mungkin tetap seronegatif (tes antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif) walaupun virus sudah ada dalam darah pasien dengan jumlah yang banyak. Antibodi yang terbentuk belum cukup terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium karena kadarnya belum memadai. Antibodi terhadap HIV biasanya muncul dalam 3 sampai 6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Fase ini sangatlah penting karena pada fase ini pasien sudah mampu dan potensial menularkan virus ke orang lain. Fase ini disebut “window periode” (Nasronudin,2012). Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul paling cepat 1 sampai 4 minggu setelah pajanan. Gejala yang timbul dapat berupa malaise, demam, diare, limfadenopati, dan ruam makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut, seperti meningitis dan pneumonitis. Selama periode ini, kadar limfosit T CD4 yang tinggi dapat terdeteksi di darah perifer (Sterling, Chaisson, 2010). Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang dramatis dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi respons imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih di atas 500sel/mm3 dan kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu terinfeksi HIV. Universitas Sumatera Utara 13 Pada fase infeksi akut, akan terjadi tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi positif. Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase asimtomatik atau laten. Pada awal fase ini, kadar limfosit T CD4 umumnya sudah kembali mendekati normal dan jarang ditemukan virion di plasma sehingga jumlah virion di plasma menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe dan terjadi replikasi di kelenjar limfe. Sehingga, penurunan limfosit T terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya sedikit. Pada fase ini jumlah limfosit T CD4 menurun hingga sekitar 500 sampai 200 sel/mm3, meskipun telah terjadi serokonversi positif individu umumnya belum menunjukkan gejala klinis. Namun pada tahun kedelapan setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis yaitu demam, banyak berkeringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurng dari 10 %, diare, lesi pada mukosa dan penyakit infeksi kulit berulang. Gejala-gejala ini merupakan tanda awal munculya infeksi oportunistik. Selanjutnya adalah fase simtomatik. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik. Respons imun tidak mampu meredam jumlah virion yang berlebihan, sehingga limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV yang semakin banyak. Dari perjalanan penyakit, jumlah limfosit T CD4 pasien biasanya telah turun di bawah 200 sel/mm3. Penurunan limfosit T ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit infeksi sekunder. Dan disertai pula dengan munculnya gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi yang berlanjut sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS (Sterling, Chaisson, 2010). Universitas Sumatera Utara 14 Jumlah CD4+ T Limfosit (sel/mm³) Keterangan: HIV RNA kopi per mL plasma Gambar 2.3. Gambaran Waktu Sel CD4 dan Perubahan Perkembangan Virus Sumber: Bennet, 2011 2.1.7. Pemeriksaan HIV 1. Skrining HIV The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan skrining pada pasien semau pasien di instansi kesehatan, kecuali pasien tersebut menolak. Bagi semua orang dengan faktor risiko tinggi HIV, harus diskrining minimal setahun sekali (Preventive Services Task Force, 2011). Universitas Sumatera Utara 15 2. Hitung Sel T CD4 Pemeriksaan ini adalah indikator yang cukup dapat diandalkan untuk mengetahui risiko terkena infeksi oportunistik. Jumlah normal CD4 berkisar antara 500-2000 sel/μL. Setelah serokonversi, CD4 biasanya berada dalam jumlah rendah (rata-rata 700 sel/μL). Di Amerika, definisi AIDS adalah CD4 <200 sel/μL, karena tingginya risiko infeksi oportunistik pada level ini (Hull MW et al, 2012). 3. Viral Load (VL) Viral load pada darah perifer biasanya dipakai sebagai penanda alternatif untuk mengetahui laju replikasi virus. Dikatakan alternatif karena kebanyakan replikasi viral terjadi pada nodus limfatik, daripada darah perifer. Akan tetapi, pemeriksaan VL kuantitatif tidak bisa digunakan sebagai alat diagnosis, karena kemungkinan adanya positif palsu. Sehingga biasanya, VL berkaitan dengan laju progresi menjadi AIDS, walaupun kemampuan prediktabilitasnya masih lebih inferior dari CD4. Dengan terapi ART (anti-retroviral) yang adekuat, VL dapat ditekan hingga mencapai tingkat tidak terdeteksi (<20-75 kopi/ μL). Pada tingkatan ini, biasanya jumlah CD4 meningkat, dan risiko infeksi oportunistik berkurang (Department of Health and Human Services, 2011). 4. Pemeriksaan HIV Sekunder Kultur virus dapat digunakan pada pemeriksaan resistensi obat secara fenotipik, walaupun sensitivitasnya berkurang seiring dengan menurunnya VL. 5. Temuan Histologis Pemeriksaan secara patologi anatomi dapat memberikan gambaran infeksi HIV atau AIDS, misalnya penampakan nodus limfa yang mengalami kerusakan, hiperplasia, sel T multinuklear raksasa (khas pada HIV ensefalopati), mikrogliosis, serta hilangnya gambaran folikuler dendritik yang Universitas Sumatera Utara 16 normal. Mikroskop elektron dapat menunjukkan keberadaan virion di dalam fagosom makrofag. 2.1.8. Klasifikasi Hasil Pemeriksaan Berdasarkan Jumlah CD4 dan Gejala Klinis CDC mengklasifikasikan infeksi HIV menjadi kategori sebagai berikut: 1. Kategori A adalah infeksi HIV asimtomatik, tanpa adanya riwayat gejala maupun keadaan AIDS. 2. Kategori B adalah terdapatnya gejala-gejala yang terkait HIV; termasuk: diare, angiomatosis basiler, kandidiasis orofaring, kandidiasis vulvovaginal, pelvic inflammatory disease (PID) termasuk klamidia, GO, atau gardnerella, neoplasma servikal, leukoplakia oral (EBV), purpura trombositopenik, neuropati perifer, dan herpes zoster. 3. Kategori C adalah infeksi HIV dengan AIDS. 4. Kategori A1, B1, dan C1 yaitu CD4 >500/ µL. 5. Kategori A2, B2, dan C2 yaitu CD4 200-400/ µL. 6. Kategori A3, B3, dan C3 yaitu CD4 <200/ µL. (CDC, 2009). 2.2. Cluster of Differentiation 4 (CD4) 2.2.1. Definisi Sel T CD4 adalah limfosit T yang mengekspresikan molekul protein koreseptor CD4 pada permukaan sel. Istilah CD berarti cluster of differentiation yang mengacu pada suatu molekul yang dikenal oleh sekelompok (cluster) antibodi monoklonal yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi jalur atau stadium diferensiasi limfosit, sehingga dapat membedakan antar kelas limfosit (Bratawidjaja, Rengganis, 2010). 2.2.2. Kecenderungan HIV menyerang Limfosit T CD4 Universitas Sumatera Utara 17 Yang target utama dari virus HIV adalah limfosit T CD4 karena pada permukaan limfosit T terdapat reseptor CD4 yang merupakan pasangan ideal bagi gp 120 permukaan (surface glycoprotein 120) pada permukaan luar HIV (enveloped). Meskipun demikian kompleks gp120 dan reseptor CD4 tersebut masih belum memungkinkan HIV masuk ke dalam limfosit T melalui prses internalisasi. Internalisasi ke dalam limfosit T di tubuh host perlu dibantu oleh peran ko-reseptor CCR5 dan CXCR4 yang juga berada di permukaan limfosit T (Nasronudin, 2012). 2.2.3. Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil Pemeriksaan CD4 Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah CD4 seperti perubahan diurnal yang menunjukkan bahwa nilai terendah didapati saat pukul setengah satu siang sedangkan nilai puncak saat pukul setengah sembilan malam.Penurunan dapat terjadi juga pada penderita infeksi akut dan operasi mayor. Pemberian kortikosteroid pada penyakit akut dapat menurunkan jumlah CD4, tetapi pemakaian lama untuk penyakit kronik menunjukkan tidak terlalu berpengaruh. Perubahan pada penyakit mungkin disebabkan redistribusi lekosit antara sirkulasi perifer dengan sumsum tulang, limpa,dan nodus limfoid. Jenis kelamin,usia pada orang dewasa, stress psikologi,stres fisik dan kehamilan mempunyai efek minimal terhadap jumlah CD4. Pemakaian obat antiviral dapat meningkatkan jumlah CD4 sebanyak ≥ 50 sel/mm3. Setelah pemakaian 4 sampai 8 minggu dan meningkat 50-100 sel/mm3 tiap tahunnya (WHO, 2010). 2.3. Infeksi Oportunistik 2.3.1. Definisi Penyebab utama morbiditas dan mortalitas di antara pasien dengan stadium lanjut infeksi HIV adalah infeksi oportunistik, yaitu infeksi berat yang diinduksi oleh agen yang jarang menyebabkan penyakit serius pada individu yang imunokompeten (New Mexico AIDS Education and Training Center, 2009). Infeksi oportunistik biasanya tidak terjadi pada penderita yang terinfeksi HIV hingga jumlah sel CD4 Universitas Sumatera Utara 18 turun dari kadar normal sekitar 1.000 sel/µl menjadi kurang dari 200 sel/mm3. Penderita dengan jumlah sel CD4 > 200 sel/mm3 memiliki kerentanan enam kali dalam perkembangan infeksi oportunistik dibandingkan dengan jumlah sel CD4 > 350 sel/mm3 (Ghate M et al, 2009). Berdasarkan penelitian Hanum (2009) bahwa sistem imun penjamu merupakan faktor penting terjadinya infeksi oportunistik pada manusia. Bila terjadi kontak dengan antigen bakteri, maka diferensiai dan proliferasi sel akan terangsang untuk membentuk populasi sel T yang spesifik (sel efektor dan sel memori). Sel memori tinggal dalam sirkulasi untuk beberapa tahun dan akan menghasilkan respon yang cepat apabila terjadi paparan dengan antigen. Rusaknya sistem imun akan mempermudah terjadinya infeksi. Pada penderita HIV/AIDS, terjadi peurunan sel T CD4 disebabkan oleh kematian CD4 yang dipengaruhi oleh kematian CD4 yang dipengaruhi oleh HIV. Setelah infeksi akut, terjadi masa asimtomatik dimana penurunan jumlah CD4 secara lambat dan penurunan jumlah CD4 semakin tajam pada stadium lanjut, yang diawali oleh munculnya infeksi jamur. Pada CD4< 200 sel/mm 3 risiko infeksi oportunistik akan meningkat. Selain itu juga disebabkan faktor lain seperti lingkungan dan paparan dari bakteri atau jamur. 2.3.2. Faktor-faktor Risiko Perkembangan Infeksi Oportunstik Dalam Journal of Crohn’s and Colitis, Rahler JF, et al. (2009) menyebutkan ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan peningkatan atau resistensi terhadap infeksi oportunistik, diantaranya yaitu : 1. Terapi imunomudulator Imunomodulator merupakan terapi yang paling sering digunakan untuk mengatasi infeksi akibat virus, bakteri, parasit, dan jamur. Namun, dalam waktu yang bersamaan terjadi mekanisme yang berbeda dimana obat-obat ini dapat menyebabkan timbulnya infeksi. Toruner dkk (2008) mengemukakan bahwa penggunaan kortikosteroid menyebabkan timbulnya infeksi jamur Universitas Sumatera Utara 19 (Candida spp.), azathioprine menyebabkan infeksi virus dan terapi anti-TNF menyebabkan infeksi jamur dan mikobakterium. 2. Paparan Patogen dan Keadaan Geografis Paparan patogen dan keadaan geografis tertentu dapat menyebabkan penyebaran dari infeksi oportunistik meningkat. Hal ini terutama terjadi pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah terpapar secara langsung oleh patogen. 3. Usia Pada orang-orang yang berusia lanjut akan terjadi disregulasi fungsi imun yang menyebabkan kerentanan terhadap infeksi, kanker, dan penyakit autoimun. 4. Komorbid Faktor-faktor komorbid seperti penyakit paru kronik, alkoholims, gangguan organik di otak, dan diabetes melitus menyebabkan infeksi oportunistik lebih mudah terjadi. Hal ini dikarenakan penyakit-penyakit tersebut menyebabkan gangguan supresi imun secara nyata. 5. Malnutrisi Malnutrisi merupakan mayoritas penyebab penurunan fungsi imun dikarenakan meningkatnya pemakaian metabolisme berlebihan dalam waktu yang lama. Sehingga terjadi defisiensi nutrisi yang menyebabkan gangguan cell-mediated immunity, penurunan fungsi fagosit, produksi sitokin, dan sekresi antibodi, serta gangguan sistem komplemen. 2.3.3. Etiologi Perjalan menuju infeksi oportunistik pada pengidap HIV sangat ditentukan oleh mekanisme regulasi imun pada tubuh pengidap HIV tersebut. Regulasi imun ternyata dikendalikan oleh faktor genetik, imunogenetika, salah satunya adalah sistem Universitas Sumatera Utara 20 Human Leucocyte Antigen (HLA) yang pada setiap individu akan menunjukkan ekspresi karakteristik yang berbeda. Pada awal masuknya HIV ke dalam tubuh manusia, mekanisme respon imun yang terjadi adalah up regulation, tetapi lambat laun akan terjadi down regulation karena kegagalan dalam mekanisme adaptasi dan terjadi penurunan dari sistem imun. Semakin menurun jumlah limfosit T CD4 semakin berat manifestasi infeksi oportunistik dan semakin sulit mengobati, bahkan sering mengakibatkan kematian. Pengobatan dengan antiretroviral (ARV) dapat menekan replikasi HIV, sehingga jumlah limfosit T CD4 relatif stabil dalam jangka waktu panjang, dan keadaan ini mencegah timbulnya infeksi oportunistik (Merati, 2007). Dan infeksi oportunistik pada pengidap HIV di Indonesia, memiliki potensiasi munculnya lebih awal karena pengaruh lingkungan tempat tinggal yang sangat dekat dengan angka kejadian infeksi lain yang masih tinggi, selain akibat semakin melemahnya sistem imun yang diserang oleh virus HIV (Nasronudin, 2012). Organisme penyebab infeksi oportunistik adalah organisme yang merupakan flora normal, maupun organisme patogen yang terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian mengalami reaktivasi. Spektrum infeksi oportunistik pada defisiensi imun akibat HIV secara umum mempunyai pola tertentu dibandingkan infeksi oportunistik pada defisiensi imun lainnya. Namun ada gambaran infeksi oportunistik yang spesifik untuk beberapa daerah tertentu. Infeksi oportunistik spesifik yang diderita pasien AIDS tergantung pada prevalensi infeksi di wilayah geografis tempat tinggal pasien. Beberapa infeksi oportunistik yang melibatkan beberapa organ, seperti yang tertera dibawah ini, yaitu : 1. Pneumonia pneumocystis jarang dijumpai pada orang yang sehat dan imunokompeten, tetapi umum dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyakit ini disebabkan oleh fungi Pneumocystis jirovecii. 2. Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi yang dapat ditularkan ke orang yang imunokompeten melalui rute respirasi, dapat dengan mudah Universitas Sumatera Utara 21 ditangani setelah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, dan dapat dicegah dengan terapi obat. 3. Esofagitis adalah peradangan pada esofagus. Pada individual yang terinfeksi HIV, hal ini terjadi karena infeksi jamur (kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau sitomegalovirus). 4. Diare kronik yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV terjadi akibat berbagai penyebab. Termasuk beberapa diantaranya infeksi bakteri (Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, atau Escherichia coli) serta parasit yang umum dan infeksi oportunistik tidak umum seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, kolitis kompleks Mycobacterium avium dan sitomegalovirus (CMV). Pada beberapa kasus, diare adalah efek samping beberapa obat yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping infeksi HIV. 5. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan toksoplasma ensefalitis, tetapi juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru. 6. Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yang merupakan penghancuran sedikit demi sedikit selubung mielin yang menutupi akson sel saraf sehingga merusak penghantaran impuls saraf. 7. Kompleks demensia AIDS adalah ensefalopati metabolik yang disebabkan oleh infeksi HIV dan didorong oleh aktivasi imun makrofag dan mikroglia otak yang terinfeksi HIV yang mengeluarkan neurotoksin. 8. Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges yang disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan. Universitas Sumatera Utara 22 9. Infeksi oportunistik lainnya. Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan sitomegalovirus. Sitomegalovirus dapat menyebabkan kolitis, seperti yang dijelaskan di atas, dan retinitis sitomegalovirus dapat menyebabkan kebutaan. Penisiliosis yang disebabkan oleh Penicillium marneffei kini adalah infeksi oportunistik ketiga paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara (Nasronudin, 2007). 2.3.4. Pemeriksaan Infeksi Oportunistik Pemeriksaan ko-infeksi oportunistik di bawah ini sebaiknya dilakukan dengan segera pada pasien yang baru terdiagnosis infeksi HIV. 1. PPD (purified protein derivative) pada skin test untuk TB/tuberkulosis, dilanjutkan dengan foto toraks. 2. Cytomegalovirus (CMV) dengan tes serologi. Keberadaan IgG anti-CMV mengindikasikan pasien yang pernah terpajan CMV. Lanjutkan dengan pemeriksaan oftalmologi untuk mengevaluasi retinitis CMV pada hasil tes CD4 yang rendah. 3. Sifilis dengan RPR (rapid plasma reagent). Hasil positif sebaiknya dilanjutkan dengan pungsi lumbal, terutama jika terdapat gejala neurologis. 4. Tes amplifikasi cepat untuk infeksi gonokokus dan klamidia. Pemeriksaan panggul dilakukan pada wanita, untuk menyingkirkan kemungkinan trikomoniasis. Universitas Sumatera Utara 23 5. Serologi hepatitis A, B, dan C dilakukan pada pasien untuk menentukan kebutuhan akan vaksinasi dan mengevaluasi infeksi kronik. Pemeriksaan krusial lainnya adalah tes fungsi liver. 6. Antibodi anti-toksoplasma diukur untuk mengetahui kejadian toksoplasmosis, karena pada imunosupresi, reinfeksi dapat terjadi sewaktu-waktu. Pasien dengan infeksi toksoplasma sebelumnya memerlukan profilaksis apabila CD4 berada dalam jumlah <100/ µL. 7. Pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya untuk mengetahui adanya diare, angiomatosis basiler, kandidiasis orofaring, kandidiasis vulvovaginal, pelvic inflammatory disease (PID) termasuk klamidia, GO, atau gardnerella, neoplasma servikal, leukoplakia oral (EBV), purpura trombositopenik, neuropati perifer, dan herpes zoster (Hoffmann, Brown, 2007). Universitas Sumatera Utara