Efektivitas Pelaksanaan Hukum Perlindungan Konsumen di Era Global Lies Sudibyo Program Studi PPKN – FKIP - Universitas Veteran Bangun Nusantara Jl. Letjen Sudjono Humardani No 1 Sukoharjo 57521 Telp. 0271-593156 Fax 0271-591065 e-mail : [email protected] Abstrak Perlindungan konsumen termasuk cabang hukum baru dalam peraturan perundangan di Indonesia, meskipun kesadaran perlunya peraturan perundangan yang komprehensif bagi konsumen sudah munsul sejak lama. Praktik monopoli dan tidak adanya perlindungan konsumen telah meletakkan posisi konsumen di tingkat rendah dalam menghadapi pelaku usaha. Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha jelas sangat merugikan kepentingan masyarakat. Pada umumnya pelaku usaha berlindung di balik standard contract (perjanjian baku). UU No. 8 Tahun 1999 telah mengatur tentang perlindungan konsumen terutama jaminan hak dan kewajiban konsumen serta cara penyelesaian sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan undang-undang perlindungan konsumen ini telah dibentuk Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di 54 kota besar di seluruh Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya, undang-undang perlindungan konsumen ini belum efektif. Hal ini antara lain disebabkan oleh kesadaran konsumen tentang substansi undang-undang perlindungan konsumen yang masih rendah, kesadaran terhadap hak-hak konsumen masih rendah, dan kepercayaan terhadap aparat pelaksana sengketa konsumen juga masih rendah. Kurang efektifnya pelaksanaan hukum perlindungan konsumen ini antara lain juga karena masih diberlakukannya asas locus delicti bagi konsumen yang akan mengadukan sengketa yang dideritanya. Kata Kunci : Efektivitas, Perlindungan Konsumen Pendahuluan Perlindungan konsumen bukan merupakan hal baru bagi masyarakat internasional, tetapi di Indonesia peraturan perundangan yang mengatur hal ini masih relatif baru, yakni setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 dan sampai sekarang sebagian besar masyarakat Indonesia belum memahami substansinya apalagi pelaksanaan dan penegakan hukumnya. Praktek monopoli dan tidak adanya perlindungan konsumen mengakibatkan posisi konsumen berada pada tingkat yang rendah dalam menghadapi pelaku usaha. Masyarakat Indonesia yang melebihi angka 200.000.000 jiwa dapat dikatakan bahwa sebagian besar adalah konsumen yang buta akan hak-haknya dan keadaan ini telah menjadi rahasia umum dalam dunia usaha di Indonesia. Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha ini jelas sangat merugikan kepentingan masyarakat, sebab sangat lazim terjadi pelaku usaha berlindung di balik standard contract (perjanjian baku). Perjanjian baku ini biasanya PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com ditanda tangani oleh kedua belah pihak (pelaku usaha dan konsumen) atau juga melalui informasi semu yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen. Terkait dengan masalah perlindungan konsumen ini adalah semakin majunya perkembangan perekonomian khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan internasional yang telah menghasilkan berbagai barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen. Di era global sekarang ini perkembangan ekonomi tersebut dibarengi dengan munculnya perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa yang melintasi batas-batas negara, sehingga konsumen memiliki berbagai pilihan barang dan/atau jasa yang dibutuhkan dan sekaligus memerlukan perlindungan terhadap hak-haknya. Hasil pemantauan dan pengamatan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menemukan bahwa nasib konsumen Indonesia sangat memprihatinkan oleh karena itu harus diperjuangkan (Kompas, Januari 2011). Selama tahun 2010 paling tidak ada 215 kasus yang diadukan konsumen kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang tersebar di seluruh Indonesia, tetapi yang berhasil diselesaikan tidak lebih dari 30%. Bahkan diduga masih banyak konsumen yang belum tahu kalau hak-haknya dirugikan oleh pelaku usaha ataupun mengetahui tetapi enggan untuk melaporkan kasusnya tersebut karena dimungkinkan tidak tahu prosedurnya. Setiap anggota masyarakat (tanpa melihat kedudukan dan statusnya sosialnya) adalah konsumen barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha dan sekaligus sebagai public consumption yang disediakan oleh alam, seperti air, udara, sinar matahari dan sebagainya. Sebagai konsumen, setiap anggota masyarakat berkepentingan akan suatu perlindungan hukum terhadap hak-haknya tersebut. Salah satu hak konsumen yang secara internasional telah diakui melalui The International Organization of Consumer’s Union dan telah dikembangkan pula melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah hak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan terhadap barang-barang yang dikonsumsinya. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa sebagian besar konsumen sangat awam terhadap barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya dan sulit meneliti kemanan barang yang bersangkutan sebelumnya, maka kewajiban untuk menjamin kemanan suatu produk dibebankan kepada produsen (pelaku usaha) karena merekalah yang lebih tahu komposisi dan masalah yang menyangkut keamanan dari produk yang dihasilkan. Sekalipun hak-hak konsumen telah diakui secara internasional melalui Organisasi Konsumen Internasional di atas, namun tidak berarti secara otomatis setiap konsumen mendapat perlindungan hukum terhadap hal-hal yang menyangkut keamanan dan keselamatan dirinya yang berasal dari produk yang dikonsumsinya. Hal ini didasarkan asumsi bahwa belum semua Negara menjamin hak-hak konsumen dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku di negara masing-masing (Permadi, 2010). Salah saktor faktor yang menyebabkan lemahnya posisi konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya masih rendah. Oleh karena itu Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang ditetapkan pada tanggal 20 April 1999 dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini sangat penting karena adalah hal yang tidak mudah jika mengharapkan kesadaran pelaku usaha untuk melindungi konsumen. Bahkan dalam prinsip ekonomi berlaku prinsip penggunaan modal seminimal mungkin untuk mendapat keuntungan semaksimal PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Aneka ragam serta peliknya urusan perlindungan konsumen juga disebabkan konsumen dihadapkan pada keadaan di mana dia tidak dapat melakukan pilihan karena penguasaan secara monopoli satu atau lebih pelaku usaha atas kebutuhan utama konsumen dalam menjalani kehidupan sehari-hari (Sudaryanto, 2006). Konsumen sering kali dihadapkan pada persoalan ketidakmengertian dirinya ataupun ketidakjelasan akan pemanfaatan, penggunaan atau pemakaian barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha. Hal ini dikarenakan kurang atau terbatasnya informasi yang disediakan oleh pelaku usaha. Bahkan yang tidak kalah pentingnya adalah bargaining position dari konsumen yang kadang kala tidak seimbang, terutama tercermin dalam perjanjian baku yang siap ditanda tangani maupun dalam bentuk klausula atau ketentuan baku yang sangat tidak informatif serta tidak dapat ditawar-tawar oleh konsumen. Suatu hal yang juga ikut andil dalam menghambat pelaksanaan perlindungan konsumen adalah sistem peradilan yang cukup rumit dan cenderung berlarut-larut, serta relatif mahal, sehingga mengaburkan hak-hak konsumen atau konsumen enggan mengadukan kerugian yang dideritanya kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Bahkan yang lebih ekstrim adalah konsumen sama sekali tidak mengetahui prosedur penyelesaian sengketa tersebut. Kaidah-kaidah Sosial Pergaulan hidup ini diatur oleh berbagai macam kaidah atau norma yang pada hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan khidupan bersama yang tertib dan tenteram. Dalam pergaulan hidup ini manusia mendapat pengalaman tentang bagaimana memenuhi kebutuhan pokok (primary needs) yang antara lain mencakup sandang, pangan, papan, keselamatan jiwa dan harta, harga diri, potensi untuk berkembang dan kasih sayang (Sukanto, 1998). Pengalaman-pengalaman tersebut menghasilkan nilainilai positif dan negatif, sehingga manusia memiliki konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik untuk dianut dan mana yang buruk untuk dihindari. Sistem nilai ini berpengaruh terhadap pola-pola berpikir manusia dan menjadi pedoman mental baginya serta mempengaruhi sikapnya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia, benda maupun keadaan-keadaan. Sikap-sikap manusia ini kemudian membentuk kaidah-kaidah, sehingga teratur dan pantas. Kehidupan yang teratur dan pantas ini bagi tiap manusia pasti berbeda-beda, maka diperlukan adanya patokanpatokan yang berupa kaidah-kaidah untuk menjadi pedoman tingkah laku. Kaida-kaidah ini ada yang mengatur pribadi manusia (kaidah kepercayaan dan kesusilaan (dan kaidah yang mengatur kehidupan antar pribadi atau masyarakat seperti kaidah kesopanan dan kaidah hukum (Purbacaraka, 2004). Secara sosiologis merupakan gejala yang wajar bahwa akan ada perbedaan antara kaidah-kaidah hukum sebagai pedoman perilaku yang diharapkan dalam hal-hal tertentu menjadi abstraksi dari pola-pola perilaku. Salah satu teori yang mendukung pernyataan tersebut adalah bahwa setiap masyarakat memerlukan suatu mekanisme pengendalian sosial (mechanisme of social control), yakni segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mendidik atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah atau nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan (Roucek, 1975). PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com Rasjidi (1996) berpendapat hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian agar dapat hidup terus dan menjadi unsur yang kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataanpernyataan akal yang berdiri di atas dan diuji oleh pengalaman. Tentu tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri dalam sistem hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, kemudian diumumkan dengan wibawa oleh badanbadan yang membuat undang-undang atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu kekuasaan masyarakat itu. Sehubungan dengan hal ini Paul Bohannan (dalam Soekanto, 1986) mempunyai konsep yang terkenal reinstitutionallization of norms (perkembangan kembali normanorma/kaidah-kaidah), yakni bahwa suatu lembaga hukum merupakan alat yang digunakan oleh masyarakat untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang timbul dan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan aturan yang terhimpun dalam berbagai lembaga kemasyarakatan. Hukum mengalami proses pelembagaan kembali (reinstitutionalized) dalam arti kebiasaan-kebiasaan dari lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu diubah sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Dengan demikian lembaga hukum mengatur hampir semua perilaku dari masyarakat. Hukum Perlindungan Konsumen Hukum perlindungan konsumen merupakan cabang hukum yang relatif baru tetapi bercorak universal, sebab sebagian besar perangkatnya diwarnai hukum asing. Walau demikian apabila diteliti dari hukum positif yang ada Indonesia ternyata dasardasar yang menopang sudah ada sejak dulu termasuk dalam hukum adat. Secara kronologis perkembangan hukum perlindungan konsumen diawali oleh bangsa Amerika Serikat di mana pada tahun 1891 membentuk Liga Konsumen Nasional (The National Consumer’s League). Tahun 1896 diikuti The Food and Drug dan The Meat Inspection Act, kemudian dilanjutkan pembentukan The Federal Trade Comission Act tahun 1914. Selanjutnya sekitar tahun 1930 mulai dipikirkan urgensinya pendidikan konsumen. Sejak saat itu dimulailah era penulisan tentang konsumen dan perlindungan konsumen dan disertai dengan riset-riset yang mendukungnya. Puncaknya adalah tahun 1960-an ketika lahir era perlindungan konsumen yang ditandai dengan lahirnya suatu cabang hukum baru yang diberi nama Consumer’s Law (Hukum Konsumen) dan dilengkapi dengan Consumer’s Bill of Rights atau Hak-hak Konsumen (Wijaya, dkk, 2001). Konsumen sebenarnya memiliki arti sebagai pemakai, namun di Amerika Serikat kata konsumen dapat diartikan lebih luas yakni sebagai korban pemakai produk yang cacat, baik korban tersebut pembeli, atau bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang bukan pemakai. Sedang di negara-negara anggota Masyarakat Ekonomi Eropa, pengetian konsumen tidak dijabarkan secara rinci, hanya dalam Diractive dinyatakan sebagai pribadi yang menderita kerugian (jiwa, kesehatan, maupun benda) akibat pemakaian produk yang cacat untuk keperluan pribadinya. Jadi konsumen berhak memperoleh kompensasi atas kerugian yang dideritanya (Brotosusilo, 2008). Pada dasarnya di Indonesia istilah konsumen langsung atau tidak langsung melekat pada setiap orang atau setiap anggota masyarakat untuk suatu produk pada suatu waktu bukan untuk berbagai produk dan untuk suatu rentang waktu yang relatif sangat panjang (Hartono, 1997). Perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen tidak bisa lepas dari UUD 1945 khususnya pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa tiap- PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal ini menunjukkan hak yang luas meliputi lahir dan batin bagi warga negara untuk memperoleh jaminan sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya hak yang bersifat fisik semata atau material, tetapi juga hak yang bersifat psikis seperti hak mendapat perasaan aman dari segala gangguan, hak mendapat pengetahuan yang benar tentang segala barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepadanya (Darus, 2006). Apabila dikaji lebih jauh sebenarnya hak konsumen untuk mendapat ganti rugi adalah merupakan hak perdata, sepanjang hak untuk itu belum dituangkan dalam peraturan yang berkait dengan perlindungan, maka ketentuan yang terdapat dalam pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata/BW) dapat digunakan untuk mempertahankan atau melindungi hak konsumen tersebut. Pada prinsipnya seseorang yang menderita kerugian karena orang lain, dapat menggugat pihak yang menyebabkan kerugian tersebut (Subekti, 1987). Pasal 1365 KUH Perdata tersebut berbunyi : “Tiap perbuatan melanggar hokum yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut” Walaupun demikian, pada kenyataannya penyelesaian kasus-kasus yang merugikan pihak konsumen ini bukanlah hal yang mudah. Hal ini disebabkan para pelaku usaha jarang mau menerima atau memberi tanggapan secara langsung atas keluhan konsumen. Apabila konsumen mengalami jalan buntu maka organisasi konsumen (YLKI, BPSK) sangat diharapkan menjadi mediator (Sutisna, 2001). Di samping UU No. 8 Tahun 1999 sebenarnya pemerintah Indonesia sudah melengkapi dengan berbagai peraturan yang terkait dengan konsumen, antara lain ; (1) Permenkes No. 179/1976 tentang Produksi dan Distribusi Obat Tradisional; (2) Permenkes No. 220/1976 tentang Produksi, Peredaran Kosmetika dan Alat Kesehatan; (3) Permenkes No. 79/1979 tentang Label dan Periklanan Makanan; (4) Permenkes No.235/1979 tentang Kesehatan; (6) PP No. 57/2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional; (7) PP No. 58/2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen; (8) PP No. 59/2001 tentang Lembaga Perlindungan Swadaya Masyarakat; (9) Keppres RI No. 90/2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Makasar. UU No. 8 Tahun 1999 juga mengatur siapa yang dimaksud dengan konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) yaitu “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia pada masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Sedangkan hak konsumen antara lain ; (1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang; (2) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; (3) hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; (4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan; (5) hak untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa secara patut; (6) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; (7) hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian. Adapun kewajiban konsumen antara lain : (1) Membaca atau mengikuti petunjuk, informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan; (2) beriktikad baik dalam melakukan PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com transaksi pembelian barang da/atau jasa; (3) membayar dengan nilai tukar yang disepakati; (4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Pasal 1 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 juga menetapkan pengertian pelaku usaha sebagai berikut ; “Setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggarfaan kegiatan usaha dalam berbagai bidang”. Jadi pengertian pelaku usaha di sini sangat luas, tidak hanya dibatasi pabrikan saja, melainkan juga bagi para distributor (dan jaringannya) termasuk importer dan para pelaku usaha periklanan. Kepada para pelaku usaha ini juga dikenakan larangan dalam rangka perlindungan konsumen sebagaimana tertera dalam Pasal 8 yang meliputi : (1) Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dari ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) tidak sesuai berat bersih, isi bersih dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang; (3) tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; (4) tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang; (5) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang; (6) tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang; (7) tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa; (8) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal seperti yang dicantumkan dalam label; (9) tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang; (10) tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Jadi larangan terhadap pelaku usaha ini dapat dibagi ke dalam 2 larangan pokok, yaitu : (1) larangan mengenai produk itu sendiri yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen; (2) larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar dan tidak akurat yang menyesatkan konsumen. Selain itu Hukum Perlindungan Konsumen juga mengakui adanya jenis transaksi perdagangan khusus, misalnya dengan cara lelang, penawaran dengan hadiah, atau penjualan brang dan/atau jasa yang tidak berada dalam kondisi sempurna. Untuk hal demikian, informasi akan menjadi lebih relevan bagi konsumen. Oleh karena itu undang-undang mengenakan sanksi bagi para pelaku usaha yang tidak memberikan informasi yang benar, akurat, dapat dipercaya serta yang menyesatkan konsumen. Sehingga dapat dikatakan bahwa konsumen berada pada posisi yang kurang diuntungkan dibandingkan dengan pelaku usaha, sebab keterlibatan konsumen dalam memanfaatkan barang dan/atau jasa sangat tergantung sepenuhnya pada informasi yang diberikan oleh pelaku usaha. Bahkan barang dan/atau jasa yang secara tegas sudah diatur kelayakan penggunaannya, pemakaian maupun pemanfaatannya bagi konsumen sering tidak memiliki banyak pilihan selain yang disediakan oleh pelaku usaha. Untuk kepentingan inilah undang-undang perlindungan konsumen memberi aturan yang tegas mengenai hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa kepada konsumen seperti dicantumkan di muka. PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com Undang-undang Perlindungan Konsumen mencantumkan 2 (dua) pasal yang mengatur pembuktian pidana dan perdata atas kesalahan pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 28. Kewajiban pembuktian tersebut dibalikkan menjadi beban dan tanggung jawab dari pelaku usaha sepenuhnya. Dalam hal demikian, selama pelaku usaha tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan kesalahan yang terletak pada pihaknya, maka demi hukum pelaku usaha bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian yang diderita konsumen. Walaupun sudah diatur sedemikian rupa kenyataannya hal pembuktian ini tidak secara otomatis mempermudah usaha konsumen untuk mengajukan gugatan hukum kepada pelaku usaha dalam proses peradilan sehingga hal ini menjadi salah satu kendala yang harus diperhatikan dalam sudut formal penegakan hukum perlindungan konsumen. Kemudian tentang penyelesaian sengketa diatur dalam Pasal 23 yang mengatakan bahwa apabila pelaku usaha pabrikan dan/atau pelaku usaha distributor menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen diberi hak untuk menggugat pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Efektivitas Undang-undang Perlindungan Konsumen Berdasarkan fungsi hukum baik sebagai sarana rekayasa sosial maupun sebagai sarana kontrol sosial, maka setiap peraturan yang dibuat adalah dijalankan sesuai dengan tujuan dan makna yang dikandungnya. Warga masyarakat (individu) sebagai pihak yang dituju oleh suatu peraturan wajib dengan lapang dan penuh pengertian patuh kepada hukum yang berlaku (Rahardjo, 1985). Sebagai sarana institusional untuk menegakkan tertib masyarakat, maka hukum selalu berupaya mempositifkan kaidahkaidah dan menyiarkan agar diketahui oleh umum serta berupaya pula mengembangkan sarana-sarana pemaksa (sanksi dan aparat pelaksananya) guna menjamin ditaatinya kaidah-kaidah positif tersebut. Hal ini berkaitan dengan keefektivan peraturan tentang perlindungan konsumen baik dari aspek pidana maupun aspek perdata. Untuk mengetahui bekerjanya peraturan-peraturan yang terkait dengan perlindungan konsumen dapat digunakan pendekatan teori Robert Seidman (dalam Nugroho R, 1990) yang mengatakan bahwa bekerjanya hukum itu melibatkan 3 komponen dasar, yaitu ; pembuat hukum (undang-undang), birokrat pelaksana, dan pemegang peran. Setiap anggota masyarakat adalah pemegang peran yang perilakunya ditentukan oleh pola peranan yang diharapkan dari padanya. Namun bekerjanya harapan itu ditentukan oleh faktor-faktor lainnya. Adapun faktor yang menentukan respon yang diberikan si pemegang peran adalah : (1) sanksi-sanksi yang terdapat di dalamnya; (2) aktivitas dari lembaga/badan pelaksana hukum; (3) seluruh kekuatan sosial, politik dan lainnya yang bekerja atas diri pemegang peran itu. Sehubungan dengan hal tersebut, berbagai peraturan hukum yang terkait dengan perlindungan konsumen seperti yang ditulis di muka adalah mengandung ide-ide atau konsep-konsep yang digolongkan abstrak yang idealnya meliputi ide tentang keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Dengan demikian, apabila membicarakan keefektivan hukum maka hakikatnya adalah berbicara tentang usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan (Raharjo, 2002). PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com Aktivitas para pelaksana hukum sangat besar pengaruhnya terhadap keefektivan berlakunya hukum yang dalam hal ini khususnya terkait dengan perlindungan konsumen. Para konsumen dan produsen serta penegak hukum dalam mengambil keputusan terhadap kasus yang merugikan konsumen tidaklah mudah, sebab banyak faktor yang mempengaruhinya, antara lain perilaku individu yang secara rasional untuk taat atau tidak taat kepada hukum yang berlaku. Individu akan cenderung memilih aktivitas yang menguntungkan baginya dan menghindari yang paling merugikan baginya di dalam arena of choice menurut tingkat rasional. Perilaku rasional ini paling tidak bisa berorientasi pada perilaku kebiasaan (in habitual behavior) nilai-nilai atau etik, dan kebutuhan-kebutuhan individu. Hal yang terakhir inilah yang akan selalu dihadapi oleh para konsumen dan produsen, serta para penegak hukum. Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa hak-hak konsumen dalam rangka menciptakan efektivitas hukum perlindungan konsumen menurut Ernest Earker (dalam Sutisna, 2001) harus memenuhi 3 syarat : (1) hak itu dibutuhkan untuk perkembangan manusia; (2) hak itu diakui oleh masyarakat; dan (3) hak itu dinyatakan demikian oleh lembaga negara. Apabila hak-hak itu tidak memenuhi ketiga syarat tersebut, maka hak itu bukanlah hak yang sempurna tetapi merupakan quasi right (hak semu). Dengan demikian apabila hak-hak konsumen itu tidak memenuhi salah satu syarat tersebut, maka hak-hak konsumen itu juga adalah hak semu. Hak-hak konsumen tersebut dilindungi oleh hukum, namun di Indonesia sampai saat ini belum memiliki ketentuan hukum yang komprehensif dan integratif tentang perlindungan konsumen. Berbagai peraturan yang ada kurang memadai untuk secara langsung melindungi kepentingan konsumen, sementara aparat pemerintah yang bertugas untuk melaksanakan hukum maksimal akibat kurangnya tenaga dan prasarana (Brotosusilo, 2008). Sebagai contoh, sejak tahun 2001 di Indonesia baru berdiri Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di 10 kota besar, sehingga hal ini menjadi salah satu kendala sulitnya atau belum optimalnya perlindungan konsumen. Walaupun agak terlambat pada tahun 2010 BPSK ini sudah dibentuk di 54 kota di Indonesia termasuk Surakarta (Solopos, 31 Mei 2011). Adapun kendala yang dihadapi BPSK dalam melaksanakan tugasnya antara lain adalah masalah anggaran yang dianggarkan khusus dari APBD ternyata sangat minim. Contoh, Disperindag Solo telah mengalokasikan anggaran untuk kegiatan fasilitasi sengketa konsumen senilai Rp.75.000.000,00. Jumlah anggaran yang sekian ini jelas jauh dari ideal, bahkan nominal sekian hanya cukup untuk sosialisasi. (Solopos, 1 Juni 2011). Kendala lainnya adalah belum terpenuhinya alat kelengkapan BPSK yang berupa panitera, sekretariat, dan sebagainya. Di samping kendala tersebut di atas, keefektivan hukum perlindungan konsumen ternyata antara juga disebabkan ketidak pahaman mereka tentang substansi Undangundang Perlindungan Konsumen yang berdampak kepada ketidak tahuan masyarakat terhadap hak-haknya sebagai konsumen. Sebagai contoh hal tersebut antara lain informasi mengenai petunjuk pemakaian barang dan/atau jasa, sebagian besar konsumen hanya memperoleh dari satu sumber yang tertera pada label, bahkan hanya melalui iklan yang disertai fasilitas hadiah yang menarik, sehingga konsumen tergerak untuk membeli dan apabila ternyata barang yang dibeli tidak sesuai dengan iklan atau propektus biasanya konsumen enggan mengembalikan barang tersebut. Contoh lain adalah adanya perjanjian baku yang dibuat oleh pelaku usaha terhadap konsumen dalam hal sewa beli sepeda motor, biasanya kosumen berada di pihak yang lemah karena berada pada situasi keterpaksaan untuk menanda tangani perjanjian baku tersebut, karena PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com perjanjiannya sudah dibuat oleh pelaku usaha leasing motor. Kerugian konsumen yang demikian termasuk jenis kerugian immaterial yang terkait dengan kenyamanan, ketenteraman dari konsumen. Dalam hal sengketa konsumen dengan pelaku usaha sering terjadi konsumen tidak mengetahui ke mana harus mengadu atau bagaimana cara upaya hukum yang ditempuh (Solopos, 1 Juni 2011), ditambah lagi dengan rendahnya tingkat kepercayaan terhadap aparat pelaksana hukum khususnya perlindungan konsumen. Contoh, A adalah konsumen yang berdomisili di Karanganyar dan pasti bukan warga Solo. A mengadukan sengketa konsumen ke BPSK Solo, maka aduannya tersebut diterima tetapi yang diprioritaskan adalah sengketa warga Solo lebih dulu yang dibuktikan melalui Kartu Tanda Penduduk pengadunya. Bahkan akan lebih rumit lagi apabila warga Solo berbelanja di Jakarta, apakah akan diprioritaskan ? Jadi dalam penyelesaian sengketa konsumen ini yang dilihat lebih dulu locus delicti. Penutup Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Hukum Perlindungan Konsumen yang didasarkan pada UU No. 8 Tahun 1999 pelaksanaannya belum efektif walaupun perangkat perundangan yang melengkapinya cukup memadai. Kurang efektifnya pelaksanaan UU Perlindungan Konsumen ini antara lain disebabkan masih banyaknya warga masyarakat yang belum memahami substansi hukum perlindungan konsumen dan sekaligus kurang atau bahkan tidak mengetahui hak-haknya sebagai konsumen. Kedua hal tersebut membawa akibat ketidak efektivan hukum perlindungan konsumen yang lain yakni sebagian besar konsumen tidak tahu tata cara pengaduan sengketa konsumen melalui BPSK, atau bahkan enggan mengadukan sengketa yang diderita karena didasarkan pada ketidak percayaan terhadap aparat pelaksana sengketa konsumen. Keengganan konsumen dalam mengadukan sengketa melalui BPSK semakin bertambah karena berlaku asas locus delicti bagi pengadunya, yakni memprioritaskan domisili si pengadu di mana kota BPSK itu berada. Kepada pemerintah disarankan untuk lebih meningkatkan pembinaan dan pendidikan kesadaran hak-hak konsumen, baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa tingkat pendidikan konsumen akan sangat menentukan pemahamannya terhadap hukum perlindungan konsumen dan sekaligus menyadari hak-haknya sebagai konsumen. Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) perlu ditambah lagi karena di seluruh Indonesia sekarang baru ada 54 kota yang memiliki BPSK. Hal ini penting karena akan lebih memperluas kesempatan konsumen dalam menyelesaikan sengketanya dengan pelaku usaha. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya pemerintah atau pelaku hukum mempertimbangkan penggunaan asas locus delicti dalam pengaduan sengketa konsumen agar semakin mempermudah konsumen dalam mengadukan sengketanya. Pejabat yang berwenang agar melakukan tindakan administratif terhadap perusahan (pelaku usaha) yang melakukan pelanggaran misalnya membuat label yang tidak sesuai dengan apa yang termuat atau tidak mencamtumkan peringatan. Di samping itu juga harus membantu dan melindungi konsumen antara lain dengan mencabut izin atau nomor daftar suatu produk untuk dilarang diedarkan, sehingga konsumen tidak menggunakannya. Pelaku usaha juga diwajibkan mencantumkan alamat lengkap perusahaannya, agar mempermudah konsumen yang dirugikan mengajukan gugatannya. PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com Daftar Rujukan Brotosusilo, Agus. 2008. Hak-hak Produsen dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Hukum dan Pembangunan, Wijaya, Gunawan, dkk,. 2001. Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Daus, Mariam. 2006. Perlindungan Konsumen dilihat dari Sudut Perjanjian Baku, Jakarta: Bina Cipta. Nugroho. R, 1990. Masalah Hukum dan Penyelesaiannya, Jakarta: Rineka Cipta, Permadi, 2010.Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Dilihat dari Kerugian Barang yang Cacat dan Berbahaya, Jakarta: BPHN No. 2. Purbacaraka, Purnadi. 2004. Perihal Kaidah Hukum, Jakarta: Fakultas Hukum UI. Raharjo, Satjipto. 1985. Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Angkasa. _____________, Penegakan Hukum, Jakarta: UI Press, 1986 _____________, Perspektif Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali Press, 2002 Hartono, Sri Rejeki. 1997. Peranan Organisasi Konsumen sebagai Mediator Kepentingan Konsumen, Makalah disampaikan pada Seminar Efektifitas Perlindungan Konsumen. Subekti R, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa Cetakan XXI, 1987 Sudaryanto, 2006. Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Sutisna, 2001. Perilaku Konsumen dan Komunikasi Pemasaran, Bandung: PT Remaja Rasda Karya. Rasjidi, Uli.1996. Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Roucek, J.S. 1975. Social Control. Fourth Printing : D. Van Northland Company Inc. Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. Soekanto, Soerjono. 1998. Pokok-pokok Sosiologi HUkum. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Subekti, R. 1987. Pokok-pokok hUkum Perdata. Cetakan XXI. Jakarta : Intermasa. Kompas. Januari 2011. Quo Vadis Undang-undang Perlindungan Konsumen. Penulis : Febri Windasari. Jakarta : Senin 17 Januari 2011. Solopos. 31 Mei 2011. BPSK Berselingkuh dengan Pelaku Usaha. Penulis : Pardoyo dan Ayu Abriyani. Solo : Selasa 31 Mei 2011. PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com