8 prlindungn konsumn~lies

advertisement
Efektivitas Pelaksanaan Hukum
Perlindungan Konsumen di Era Global
Lies Sudibyo
Program Studi PPKN – FKIP - Universitas Veteran Bangun Nusantara
Jl. Letjen Sudjono Humardani No 1 Sukoharjo 57521
Telp. 0271-593156 Fax 0271-591065
e-mail : [email protected]
Abstrak
Perlindungan konsumen termasuk cabang hukum baru dalam
peraturan perundangan di Indonesia, meskipun kesadaran perlunya
peraturan perundangan yang komprehensif bagi konsumen sudah
munsul sejak lama. Praktik monopoli dan tidak adanya perlindungan
konsumen telah meletakkan posisi konsumen di tingkat rendah dalam
menghadapi pelaku usaha. Ketidakberdayaan konsumen dalam
menghadapi pelaku usaha jelas sangat merugikan kepentingan
masyarakat. Pada umumnya pelaku usaha berlindung di balik
standard contract (perjanjian baku). UU No. 8 Tahun 1999 telah
mengatur tentang perlindungan konsumen terutama jaminan hak dan
kewajiban konsumen serta cara penyelesaian sengketa antara
konsumen dengan pelaku usaha. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan
undang-undang perlindungan konsumen ini telah dibentuk Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) di 54 kota besar di seluruh Indonesia.
Namun dalam pelaksanaannya, undang-undang perlindungan
konsumen ini belum efektif. Hal ini antara lain disebabkan oleh
kesadaran konsumen tentang substansi undang-undang perlindungan
konsumen yang masih rendah, kesadaran terhadap hak-hak konsumen
masih rendah, dan kepercayaan terhadap aparat pelaksana sengketa
konsumen juga masih rendah. Kurang efektifnya pelaksanaan hukum
perlindungan konsumen ini antara lain juga karena masih
diberlakukannya asas locus delicti bagi konsumen yang akan
mengadukan sengketa yang dideritanya.
Kata Kunci : Efektivitas, Perlindungan Konsumen
Pendahuluan
Perlindungan konsumen bukan merupakan hal baru bagi masyarakat
internasional, tetapi di Indonesia peraturan perundangan yang mengatur hal ini masih
relatif baru, yakni setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 dan
sampai sekarang sebagian besar masyarakat Indonesia belum memahami substansinya
apalagi pelaksanaan dan penegakan hukumnya. Praktek monopoli dan tidak adanya
perlindungan konsumen mengakibatkan posisi konsumen berada pada tingkat yang
rendah dalam menghadapi pelaku usaha. Masyarakat Indonesia yang melebihi angka
200.000.000 jiwa dapat dikatakan bahwa sebagian besar adalah konsumen yang buta
akan hak-haknya dan keadaan ini telah menjadi rahasia umum dalam dunia usaha di
Indonesia. Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha ini jelas
sangat merugikan kepentingan masyarakat, sebab sangat lazim terjadi pelaku usaha
berlindung di balik standard contract (perjanjian baku). Perjanjian baku ini biasanya
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
ditanda tangani oleh kedua belah pihak (pelaku usaha dan konsumen) atau juga melalui
informasi semu yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen.
Terkait dengan masalah perlindungan konsumen ini adalah semakin majunya
perkembangan perekonomian khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan
internasional yang telah menghasilkan berbagai barang dan/atau jasa yang ditawarkan
kepada konsumen. Di era global sekarang ini perkembangan ekonomi tersebut dibarengi
dengan munculnya perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi
komunikasi dan informasi telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau
jasa yang melintasi batas-batas negara, sehingga konsumen memiliki berbagai pilihan
barang dan/atau jasa yang dibutuhkan dan sekaligus memerlukan perlindungan terhadap
hak-haknya.
Hasil pemantauan dan pengamatan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) menemukan bahwa nasib konsumen Indonesia sangat memprihatinkan oleh
karena itu harus diperjuangkan (Kompas, Januari 2011). Selama tahun 2010 paling tidak
ada 215 kasus yang diadukan konsumen kepada Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) yang tersebar di seluruh Indonesia, tetapi yang berhasil diselesaikan
tidak lebih dari 30%. Bahkan diduga masih banyak konsumen yang belum tahu kalau
hak-haknya dirugikan oleh pelaku usaha ataupun mengetahui tetapi enggan untuk
melaporkan kasusnya tersebut karena dimungkinkan tidak tahu prosedurnya.
Setiap anggota masyarakat (tanpa melihat kedudukan dan statusnya sosialnya)
adalah konsumen barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha dan sekaligus
sebagai public consumption yang disediakan oleh alam, seperti air, udara, sinar
matahari dan sebagainya. Sebagai konsumen, setiap anggota masyarakat berkepentingan
akan suatu perlindungan hukum terhadap hak-haknya tersebut. Salah satu hak
konsumen yang secara internasional telah diakui melalui The International
Organization of Consumer’s Union dan telah dikembangkan pula melalui Perserikatan
Bangsa-Bangsa adalah hak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan terhadap
barang-barang yang dikonsumsinya. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa sebagian
besar konsumen sangat awam terhadap barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya dan
sulit meneliti kemanan barang yang bersangkutan sebelumnya, maka kewajiban untuk
menjamin kemanan suatu produk dibebankan kepada produsen (pelaku usaha) karena
merekalah yang lebih tahu komposisi dan masalah yang menyangkut keamanan dari
produk yang dihasilkan.
Sekalipun hak-hak konsumen telah diakui secara internasional melalui
Organisasi Konsumen Internasional di atas, namun tidak berarti secara otomatis setiap
konsumen mendapat perlindungan hukum terhadap hal-hal yang menyangkut keamanan
dan keselamatan dirinya yang berasal dari produk yang dikonsumsinya. Hal ini
didasarkan asumsi bahwa belum semua Negara menjamin hak-hak konsumen dalam
peraturan perundangan-undangan yang berlaku di negara masing-masing (Permadi,
2010). Salah saktor faktor yang menyebabkan lemahnya posisi konsumen adalah tingkat
kesadaran konsumen akan hak-haknya masih rendah. Oleh karena itu Undang-undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang ditetapkan pada tanggal 20
April 1999 dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya
pemberdayaan melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini
sangat penting karena adalah hal yang tidak mudah jika mengharapkan kesadaran
pelaku usaha untuk melindungi konsumen. Bahkan dalam prinsip ekonomi berlaku
prinsip penggunaan modal seminimal mungkin untuk mendapat keuntungan semaksimal
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan konsumen, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Aneka ragam serta peliknya urusan perlindungan konsumen juga disebabkan
konsumen dihadapkan pada keadaan di mana dia tidak dapat melakukan pilihan karena
penguasaan secara monopoli satu atau lebih pelaku usaha atas kebutuhan utama
konsumen dalam menjalani kehidupan sehari-hari (Sudaryanto, 2006). Konsumen sering
kali dihadapkan pada persoalan ketidakmengertian dirinya ataupun ketidakjelasan akan
pemanfaatan, penggunaan atau pemakaian barang dan/atau jasa yang disediakan oleh
pelaku usaha. Hal ini dikarenakan kurang atau terbatasnya informasi yang disediakan
oleh pelaku usaha. Bahkan yang tidak kalah pentingnya adalah bargaining position dari
konsumen yang kadang kala tidak seimbang, terutama tercermin dalam perjanjian baku
yang siap ditanda tangani maupun dalam bentuk klausula atau ketentuan baku yang
sangat tidak informatif serta tidak dapat ditawar-tawar oleh konsumen.
Suatu hal yang juga ikut andil dalam menghambat pelaksanaan perlindungan
konsumen adalah sistem peradilan yang cukup rumit dan cenderung berlarut-larut, serta
relatif mahal, sehingga mengaburkan hak-hak konsumen atau konsumen enggan
mengadukan kerugian yang dideritanya kepada Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK). Bahkan yang lebih ekstrim adalah konsumen sama sekali tidak
mengetahui prosedur penyelesaian sengketa tersebut.
Kaidah-kaidah Sosial
Pergaulan hidup ini diatur oleh berbagai macam kaidah atau norma yang pada
hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan khidupan bersama yang tertib dan tenteram.
Dalam pergaulan hidup ini manusia mendapat pengalaman tentang bagaimana
memenuhi kebutuhan pokok (primary needs) yang antara lain mencakup sandang,
pangan, papan, keselamatan jiwa dan harta, harga diri, potensi untuk berkembang dan
kasih sayang (Sukanto, 1998). Pengalaman-pengalaman tersebut menghasilkan nilainilai positif dan negatif, sehingga manusia memiliki konsepsi-konsepsi abstrak
mengenai apa yang baik untuk dianut dan mana yang buruk untuk dihindari. Sistem
nilai ini berpengaruh terhadap pola-pola berpikir manusia dan menjadi pedoman mental
baginya serta mempengaruhi sikapnya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
terhadap manusia, benda maupun keadaan-keadaan. Sikap-sikap manusia ini kemudian
membentuk kaidah-kaidah, sehingga teratur dan pantas. Kehidupan yang teratur dan
pantas ini bagi tiap manusia pasti berbeda-beda, maka diperlukan adanya patokanpatokan yang berupa kaidah-kaidah untuk menjadi pedoman tingkah laku. Kaida-kaidah
ini ada yang mengatur pribadi manusia (kaidah kepercayaan dan kesusilaan (dan kaidah
yang mengatur kehidupan antar pribadi atau masyarakat seperti kaidah kesopanan dan
kaidah hukum (Purbacaraka, 2004).
Secara sosiologis merupakan gejala yang wajar bahwa akan ada perbedaan
antara kaidah-kaidah hukum sebagai pedoman perilaku yang diharapkan dalam hal-hal
tertentu menjadi abstraksi dari pola-pola perilaku. Salah satu teori yang mendukung
pernyataan tersebut adalah bahwa setiap masyarakat memerlukan suatu mekanisme
pengendalian sosial (mechanisme of social control), yakni segala sesuatu yang
dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak
direncanakan untuk mendidik atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar
menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah atau nilai-nilai kehidupan masyarakat yang
bersangkutan (Roucek, 1975).
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Rasjidi (1996) berpendapat hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian agar
dapat hidup terus dan menjadi unsur yang kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataanpernyataan akal yang berdiri di atas dan diuji oleh pengalaman. Tentu tidak ada sesuatu
yang dapat bertahan sendiri dalam sistem hukum. Hukum adalah pengalaman yang
diatur dan dikembangkan oleh akal, kemudian diumumkan dengan wibawa oleh badanbadan yang membuat undang-undang atau mensahkan undang-undang dalam
masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu kekuasaan masyarakat itu.
Sehubungan dengan hal ini Paul Bohannan (dalam Soekanto, 1986) mempunyai konsep
yang terkenal reinstitutionallization of norms (perkembangan kembali normanorma/kaidah-kaidah), yakni bahwa suatu lembaga hukum merupakan alat yang
digunakan oleh masyarakat untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang timbul
dan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan aturan yang terhimpun dalam berbagai
lembaga kemasyarakatan. Hukum mengalami proses pelembagaan kembali
(reinstitutionalized) dalam arti kebiasaan-kebiasaan dari lembaga-lembaga
kemasyarakatan tertentu diubah sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan oleh
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Dengan demikian lembaga hukum mengatur
hampir semua perilaku dari masyarakat.
Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen merupakan cabang hukum yang relatif baru
tetapi bercorak universal, sebab sebagian besar perangkatnya diwarnai hukum asing.
Walau demikian apabila diteliti dari hukum positif yang ada Indonesia ternyata dasardasar yang menopang sudah ada sejak dulu termasuk dalam hukum adat. Secara
kronologis perkembangan hukum perlindungan konsumen diawali oleh bangsa Amerika
Serikat di mana pada tahun 1891 membentuk Liga Konsumen Nasional (The National
Consumer’s League). Tahun 1896 diikuti The Food and Drug dan The Meat Inspection
Act, kemudian dilanjutkan pembentukan The Federal Trade Comission Act tahun 1914.
Selanjutnya sekitar tahun 1930 mulai dipikirkan urgensinya pendidikan konsumen.
Sejak saat itu dimulailah era penulisan tentang konsumen dan perlindungan konsumen
dan disertai dengan riset-riset yang mendukungnya. Puncaknya adalah tahun 1960-an
ketika lahir era perlindungan konsumen yang ditandai dengan lahirnya suatu cabang
hukum baru yang diberi nama Consumer’s Law (Hukum Konsumen) dan dilengkapi
dengan Consumer’s Bill of Rights atau Hak-hak Konsumen (Wijaya, dkk, 2001).
Konsumen sebenarnya memiliki arti sebagai pemakai, namun di Amerika
Serikat kata konsumen dapat diartikan lebih luas yakni sebagai korban pemakai produk
yang cacat, baik korban tersebut pembeli, atau bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan
juga korban yang bukan pemakai. Sedang di negara-negara anggota Masyarakat
Ekonomi Eropa, pengetian konsumen tidak dijabarkan secara rinci, hanya dalam
Diractive dinyatakan sebagai pribadi yang menderita kerugian (jiwa, kesehatan,
maupun benda) akibat pemakaian produk yang cacat untuk keperluan pribadinya. Jadi
konsumen berhak memperoleh kompensasi atas kerugian yang dideritanya (Brotosusilo,
2008).
Pada dasarnya di Indonesia istilah konsumen langsung atau tidak langsung
melekat pada setiap orang atau setiap anggota masyarakat untuk suatu produk pada
suatu waktu bukan untuk berbagai produk dan untuk suatu rentang waktu yang relatif
sangat panjang (Hartono, 1997). Perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen tidak
bisa lepas dari UUD 1945 khususnya pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa tiap-
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Pasal ini menunjukkan hak yang luas meliputi lahir dan batin bagi warga
negara untuk memperoleh jaminan sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya hak yang
bersifat fisik semata atau material, tetapi juga hak yang bersifat psikis seperti hak
mendapat perasaan aman dari segala gangguan, hak mendapat pengetahuan yang benar
tentang segala barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepadanya (Darus, 2006).
Apabila dikaji lebih jauh sebenarnya hak konsumen untuk mendapat ganti rugi
adalah merupakan hak perdata, sepanjang hak untuk itu belum dituangkan dalam
peraturan yang berkait dengan perlindungan, maka ketentuan yang terdapat dalam pasal
1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata/BW) dapat digunakan untuk
mempertahankan atau melindungi hak konsumen tersebut. Pada prinsipnya seseorang
yang menderita kerugian karena orang lain, dapat menggugat pihak yang menyebabkan
kerugian tersebut (Subekti, 1987). Pasal 1365 KUH Perdata tersebut berbunyi : “Tiap
perbuatan melanggar hokum yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut”
Walaupun demikian, pada kenyataannya penyelesaian kasus-kasus yang merugikan
pihak konsumen ini bukanlah hal yang mudah. Hal ini disebabkan para pelaku usaha
jarang mau menerima atau memberi tanggapan secara langsung atas keluhan konsumen.
Apabila konsumen mengalami jalan buntu maka organisasi konsumen (YLKI, BPSK)
sangat diharapkan menjadi mediator (Sutisna, 2001).
Di samping UU No. 8 Tahun 1999 sebenarnya pemerintah Indonesia sudah
melengkapi dengan berbagai peraturan yang terkait dengan konsumen, antara lain ; (1)
Permenkes No. 179/1976 tentang Produksi dan Distribusi Obat Tradisional; (2)
Permenkes No. 220/1976 tentang Produksi, Peredaran Kosmetika dan Alat Kesehatan;
(3) Permenkes No. 79/1979 tentang Label dan Periklanan Makanan; (4) Permenkes
No.235/1979 tentang Kesehatan; (6) PP No. 57/2001 tentang Badan Perlindungan
Konsumen Nasional; (7) PP No. 58/2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen; (8) PP No. 59/2001 tentang Lembaga
Perlindungan Swadaya Masyarakat; (9) Keppres RI No. 90/2001 tentang Pembentukan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Medan, Palembang,
Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan
Makasar.
UU No. 8 Tahun 1999 juga mengatur siapa yang dimaksud dengan konsumen
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) yaitu “Setiap orang pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia pada masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Sedangkan hak
konsumen antara lain ; (1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang; (2) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan; (3) hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa; (4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas
barang dan atau jasa yang digunakan; (5) hak untuk mendapat advokasi, perlindungan,
dan upaya penyelesaian sengketa secara patut; (6) hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; (7) hak untuk mendapat kompensasi,
ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian. Adapun kewajiban konsumen antara lain : (1) Membaca atau
mengikuti petunjuk, informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan; (2) beriktikad baik dalam melakukan
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
transaksi pembelian barang da/atau jasa; (3) membayar dengan nilai tukar yang
disepakati; (4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Pasal 1 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 juga menetapkan pengertian pelaku usaha
sebagai berikut ; “Setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggarfaan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang”. Jadi pengertian pelaku usaha di sini sangat luas, tidak hanya dibatasi
pabrikan saja, melainkan juga bagi para distributor (dan jaringannya) termasuk importer
dan para pelaku usaha periklanan. Kepada para pelaku usaha ini juga dikenakan
larangan dalam rangka perlindungan konsumen sebagaimana tertera dalam Pasal 8 yang
meliputi : (1) Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan
dari ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) tidak sesuai berat bersih, isi bersih
dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket
barang; (3) tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya; (4) tidak sesuai dengan kondisi, jaminan,
keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau
keterangan barang; (5) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label
atau keterangan barang; (6) tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label,
etiket, atau keterangan barang; (7) tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa; (8) tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal seperti yang dicantumkan dalam label; (9)
tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut
ketentuan harus dipasang; (10) tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk
penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Jadi larangan terhadap pelaku usaha ini dapat dibagi ke dalam 2
larangan pokok, yaitu : (1) larangan mengenai produk itu sendiri yang tidak memenuhi
syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh
konsumen; (2) larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar dan tidak
akurat yang menyesatkan konsumen.
Selain itu Hukum Perlindungan Konsumen juga mengakui adanya jenis transaksi
perdagangan khusus, misalnya dengan cara lelang, penawaran dengan hadiah, atau
penjualan brang dan/atau jasa yang tidak berada dalam kondisi sempurna. Untuk hal
demikian, informasi akan menjadi lebih relevan bagi konsumen. Oleh karena itu
undang-undang mengenakan sanksi bagi para pelaku usaha yang tidak memberikan
informasi yang benar, akurat, dapat dipercaya serta yang menyesatkan konsumen.
Sehingga dapat dikatakan bahwa konsumen berada pada posisi yang kurang
diuntungkan dibandingkan dengan pelaku usaha, sebab keterlibatan konsumen dalam
memanfaatkan barang dan/atau jasa sangat tergantung sepenuhnya pada informasi yang
diberikan oleh pelaku usaha. Bahkan barang dan/atau jasa yang secara tegas sudah
diatur kelayakan penggunaannya, pemakaian maupun pemanfaatannya bagi konsumen
sering tidak memiliki banyak pilihan selain yang disediakan oleh pelaku usaha. Untuk
kepentingan inilah undang-undang perlindungan konsumen memberi aturan yang tegas
mengenai hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan/atau jasa kepada konsumen seperti dicantumkan di muka.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Undang-undang Perlindungan Konsumen mencantumkan 2 (dua) pasal yang
mengatur pembuktian pidana dan perdata atas kesalahan pelaku usaha sebagaimana
diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 28. Kewajiban pembuktian tersebut dibalikkan menjadi
beban dan tanggung jawab dari pelaku usaha sepenuhnya. Dalam hal demikian, selama
pelaku usaha tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan kesalahan yang
terletak pada pihaknya, maka demi hukum pelaku usaha bertanggung jawab dan wajib
mengganti kerugian yang diderita konsumen. Walaupun sudah diatur sedemikian rupa
kenyataannya hal pembuktian ini tidak secara otomatis mempermudah usaha konsumen
untuk mengajukan gugatan hukum kepada pelaku usaha dalam proses peradilan
sehingga hal ini menjadi salah satu kendala yang harus diperhatikan dalam sudut formal
penegakan hukum perlindungan konsumen.
Kemudian tentang penyelesaian sengketa diatur dalam Pasal 23 yang
mengatakan bahwa apabila pelaku usaha pabrikan dan/atau pelaku usaha distributor
menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas
tuntutan konsumen, maka konsumen diberi hak untuk menggugat pelaku usaha dan
menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK), atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan di
tempat kedudukan konsumen.
Efektivitas Undang-undang Perlindungan Konsumen
Berdasarkan fungsi hukum baik sebagai sarana rekayasa sosial maupun sebagai
sarana kontrol sosial, maka setiap peraturan yang dibuat adalah dijalankan sesuai
dengan tujuan dan makna yang dikandungnya. Warga masyarakat (individu) sebagai
pihak yang dituju oleh suatu peraturan wajib dengan lapang dan penuh pengertian patuh
kepada hukum yang berlaku (Rahardjo, 1985). Sebagai sarana institusional untuk
menegakkan tertib masyarakat, maka hukum selalu berupaya mempositifkan kaidahkaidah dan menyiarkan agar diketahui oleh umum serta berupaya pula mengembangkan
sarana-sarana pemaksa (sanksi dan aparat pelaksananya) guna menjamin ditaatinya
kaidah-kaidah positif tersebut. Hal ini berkaitan dengan keefektivan peraturan tentang
perlindungan konsumen baik dari aspek pidana maupun aspek perdata.
Untuk mengetahui bekerjanya peraturan-peraturan yang terkait dengan
perlindungan konsumen dapat digunakan pendekatan teori Robert Seidman (dalam
Nugroho R, 1990) yang mengatakan bahwa bekerjanya hukum itu melibatkan 3
komponen dasar, yaitu ; pembuat hukum (undang-undang), birokrat pelaksana, dan
pemegang peran. Setiap anggota masyarakat adalah pemegang peran yang perilakunya
ditentukan oleh pola peranan yang diharapkan dari padanya. Namun bekerjanya harapan
itu ditentukan oleh faktor-faktor lainnya. Adapun faktor yang menentukan respon yang
diberikan si pemegang peran adalah : (1) sanksi-sanksi yang terdapat di dalamnya; (2)
aktivitas dari lembaga/badan pelaksana hukum; (3) seluruh kekuatan sosial, politik dan
lainnya yang bekerja atas diri pemegang peran itu. Sehubungan dengan hal tersebut,
berbagai peraturan hukum yang terkait dengan perlindungan konsumen seperti yang
ditulis di muka adalah mengandung ide-ide atau konsep-konsep yang digolongkan
abstrak yang idealnya meliputi ide tentang keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
Dengan demikian, apabila membicarakan keefektivan hukum maka hakikatnya adalah
berbicara tentang usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan
(Raharjo, 2002).
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Aktivitas para pelaksana hukum sangat besar pengaruhnya terhadap keefektivan
berlakunya hukum yang dalam hal ini khususnya terkait dengan perlindungan
konsumen. Para konsumen dan produsen serta penegak hukum dalam mengambil
keputusan terhadap kasus yang merugikan konsumen tidaklah mudah, sebab banyak
faktor yang mempengaruhinya, antara lain perilaku individu yang secara rasional untuk
taat atau tidak taat kepada hukum yang berlaku. Individu akan cenderung memilih
aktivitas yang menguntungkan baginya dan menghindari yang paling merugikan
baginya di dalam arena of choice menurut tingkat rasional. Perilaku rasional ini paling
tidak bisa berorientasi pada perilaku kebiasaan (in habitual behavior) nilai-nilai atau
etik, dan kebutuhan-kebutuhan individu. Hal yang terakhir inilah yang akan selalu
dihadapi oleh para konsumen dan produsen, serta para penegak hukum.
Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa hak-hak konsumen dalam rangka
menciptakan efektivitas hukum perlindungan konsumen menurut Ernest Earker (dalam
Sutisna, 2001) harus memenuhi 3 syarat : (1) hak itu dibutuhkan untuk perkembangan
manusia; (2) hak itu diakui oleh masyarakat; dan (3) hak itu dinyatakan demikian oleh
lembaga negara. Apabila hak-hak itu tidak memenuhi ketiga syarat tersebut, maka hak
itu bukanlah hak yang sempurna tetapi merupakan quasi right (hak semu). Dengan
demikian apabila hak-hak konsumen itu tidak memenuhi salah satu syarat tersebut,
maka hak-hak konsumen itu juga adalah hak semu.
Hak-hak konsumen tersebut dilindungi oleh hukum, namun di Indonesia sampai
saat ini belum memiliki ketentuan hukum yang komprehensif dan integratif tentang
perlindungan konsumen. Berbagai peraturan yang ada kurang memadai untuk secara
langsung melindungi kepentingan konsumen, sementara aparat pemerintah yang
bertugas untuk melaksanakan hukum maksimal akibat kurangnya tenaga dan prasarana
(Brotosusilo, 2008). Sebagai contoh, sejak tahun 2001 di Indonesia baru berdiri Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di 10 kota besar, sehingga hal ini menjadi
salah satu kendala sulitnya atau belum optimalnya perlindungan konsumen. Walaupun
agak terlambat pada tahun 2010 BPSK ini sudah dibentuk di 54 kota di Indonesia
termasuk Surakarta (Solopos, 31 Mei 2011). Adapun kendala yang dihadapi BPSK
dalam melaksanakan tugasnya antara lain adalah masalah anggaran yang dianggarkan
khusus dari APBD ternyata sangat minim. Contoh, Disperindag Solo telah
mengalokasikan anggaran untuk kegiatan fasilitasi sengketa konsumen senilai
Rp.75.000.000,00. Jumlah anggaran yang sekian ini jelas jauh dari ideal, bahkan
nominal sekian hanya cukup untuk sosialisasi. (Solopos, 1 Juni 2011). Kendala lainnya
adalah belum terpenuhinya alat kelengkapan BPSK yang berupa panitera, sekretariat,
dan sebagainya.
Di samping kendala tersebut di atas, keefektivan hukum perlindungan konsumen
ternyata antara juga disebabkan ketidak pahaman mereka tentang substansi Undangundang Perlindungan Konsumen yang berdampak kepada ketidak tahuan masyarakat
terhadap hak-haknya sebagai konsumen. Sebagai contoh hal tersebut antara lain
informasi mengenai petunjuk pemakaian barang dan/atau jasa, sebagian besar konsumen
hanya memperoleh dari satu sumber yang tertera pada label, bahkan hanya melalui iklan
yang disertai fasilitas hadiah yang menarik, sehingga konsumen tergerak untuk membeli
dan apabila ternyata barang yang dibeli tidak sesuai dengan iklan atau propektus
biasanya konsumen enggan mengembalikan barang tersebut. Contoh lain adalah adanya
perjanjian baku yang dibuat oleh pelaku usaha terhadap konsumen dalam hal sewa beli
sepeda motor, biasanya kosumen berada di pihak yang lemah karena berada pada
situasi keterpaksaan untuk menanda tangani perjanjian baku tersebut, karena
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
perjanjiannya sudah dibuat oleh pelaku usaha leasing motor. Kerugian konsumen yang
demikian termasuk jenis kerugian immaterial yang terkait dengan kenyamanan,
ketenteraman dari konsumen.
Dalam hal sengketa konsumen dengan pelaku usaha sering terjadi konsumen
tidak mengetahui ke mana harus mengadu atau bagaimana cara upaya hukum yang
ditempuh (Solopos, 1 Juni 2011), ditambah lagi dengan rendahnya tingkat kepercayaan
terhadap aparat pelaksana hukum khususnya perlindungan konsumen. Contoh, A adalah
konsumen yang berdomisili di Karanganyar dan pasti bukan warga Solo. A mengadukan
sengketa konsumen ke BPSK Solo, maka aduannya tersebut diterima tetapi yang
diprioritaskan adalah sengketa warga Solo lebih dulu yang dibuktikan melalui Kartu
Tanda Penduduk pengadunya. Bahkan akan lebih rumit lagi apabila warga Solo
berbelanja di Jakarta, apakah akan diprioritaskan ? Jadi dalam penyelesaian sengketa
konsumen ini yang dilihat lebih dulu locus delicti.
Penutup
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Hukum Perlindungan
Konsumen yang didasarkan pada UU No. 8 Tahun 1999 pelaksanaannya belum efektif
walaupun perangkat perundangan yang melengkapinya cukup memadai. Kurang
efektifnya pelaksanaan UU Perlindungan Konsumen ini antara lain disebabkan masih
banyaknya warga masyarakat yang belum memahami substansi hukum perlindungan
konsumen dan sekaligus kurang atau bahkan tidak mengetahui hak-haknya sebagai
konsumen. Kedua hal tersebut membawa akibat ketidak efektivan hukum perlindungan
konsumen yang lain yakni sebagian besar konsumen tidak tahu tata cara pengaduan
sengketa konsumen melalui BPSK, atau bahkan enggan mengadukan sengketa yang
diderita karena didasarkan pada ketidak percayaan terhadap aparat pelaksana sengketa
konsumen. Keengganan konsumen dalam mengadukan sengketa melalui BPSK semakin
bertambah karena berlaku asas locus delicti bagi pengadunya, yakni memprioritaskan
domisili si pengadu di mana kota BPSK itu berada.
Kepada pemerintah disarankan untuk lebih meningkatkan pembinaan dan
pendidikan kesadaran hak-hak konsumen, baik melalui pendidikan formal maupun non
formal. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa tingkat pendidikan konsumen akan
sangat menentukan pemahamannya terhadap hukum perlindungan konsumen dan
sekaligus menyadari hak-haknya sebagai konsumen. Keberadaan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) perlu ditambah lagi karena di seluruh Indonesia sekarang
baru ada 54 kota yang memiliki BPSK. Hal ini penting karena akan lebih memperluas
kesempatan konsumen dalam menyelesaikan sengketanya dengan pelaku usaha. Hal lain
yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya pemerintah atau pelaku hukum
mempertimbangkan penggunaan asas locus delicti dalam pengaduan sengketa
konsumen agar semakin mempermudah konsumen dalam mengadukan sengketanya.
Pejabat yang berwenang agar melakukan tindakan administratif terhadap
perusahan (pelaku usaha) yang melakukan pelanggaran misalnya membuat label yang
tidak sesuai dengan apa yang termuat atau tidak mencamtumkan peringatan. Di samping
itu juga harus membantu dan melindungi konsumen antara lain dengan mencabut izin
atau nomor daftar suatu produk untuk dilarang diedarkan, sehingga konsumen tidak
menggunakannya. Pelaku usaha juga diwajibkan mencantumkan alamat lengkap
perusahaannya, agar mempermudah konsumen yang dirugikan mengajukan gugatannya.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Daftar Rujukan
Brotosusilo, Agus. 2008. Hak-hak Produsen dalam Hukum Perlindungan Konsumen,
Jakarta: Hukum dan Pembangunan,
Wijaya, Gunawan, dkk,. 2001. Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Daus, Mariam. 2006. Perlindungan Konsumen dilihat dari Sudut Perjanjian Baku,
Jakarta: Bina Cipta.
Nugroho. R, 1990. Masalah Hukum dan Penyelesaiannya, Jakarta: Rineka Cipta,
Permadi, 2010.Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Dilihat dari Kerugian Barang
yang Cacat dan Berbahaya, Jakarta: BPHN No. 2.
Purbacaraka, Purnadi. 2004. Perihal Kaidah Hukum, Jakarta: Fakultas Hukum UI.
Raharjo, Satjipto. 1985. Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Angkasa.
_____________, Penegakan Hukum, Jakarta: UI Press, 1986
_____________, Perspektif Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali Press, 2002
Hartono, Sri Rejeki. 1997. Peranan Organisasi Konsumen sebagai Mediator
Kepentingan Konsumen, Makalah disampaikan pada Seminar Efektifitas
Perlindungan Konsumen.
Subekti R, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa Cetakan XXI, 1987
Sudaryanto, 2006. Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.
Sutisna, 2001. Perilaku Konsumen dan Komunikasi Pemasaran, Bandung: PT Remaja
Rasda Karya.
Rasjidi, Uli.1996. Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Roucek, J.S. 1975. Social Control. Fourth Printing : D. Van Northland Company Inc.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.
Soekanto, Soerjono. 1998. Pokok-pokok Sosiologi HUkum. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Subekti, R. 1987. Pokok-pokok hUkum Perdata. Cetakan XXI. Jakarta : Intermasa.
Kompas. Januari 2011. Quo Vadis Undang-undang Perlindungan Konsumen. Penulis :
Febri Windasari. Jakarta : Senin 17 Januari 2011.
Solopos. 31 Mei 2011. BPSK Berselingkuh dengan Pelaku Usaha. Penulis : Pardoyo
dan Ayu Abriyani. Solo : Selasa 31 Mei 2011.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Download