MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014) STRUKTUR KEPARTAIAN DAN KETERKAITANNYA DALAM BUDAYA POLITIK INDONESIA Ernandia Pandikar1 ABSTRAK Struktur kepartaian dalam hal ini politik menurut Bertrand Russel dalam bukunya Power adalah berkenaan dengan alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif, yaitu yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan. Membangun sistem kepartaian yang mapan merupakan bagian penting dalam proses pelaksanaan demokrasi di Indonesia, karena makna keberadaan suatu partai selain diukur dari kemampuannya memenuhi syarat-syarat formal berdirinya partai tersebut, juga kemampuannya menjalankan fungsi dan memainkan peran selayaknya sebagai suatu partai politik. Bila dilihat dari sisi pragmatis, kemampuan ini ditunjukkan tidak hanya dalam kesanggupan partai mengajukan calon, tetapi juga dalam menempatkan calon dalam jabatan publik. Mengajukan calon dan menempatkan calon dalam jabatan publik jelas merupakan dua hal yang berbeda. Pengalaman Pemilu 1999 dan 2004, banyak partai mampu mengajukan calon, tetapi gagal menempatkan calon dalam jabatan publik. Dari sisi prinsipil, kemampuan itu harus ditunjukkan dalam kesanggupan partai mengorganisasi dan menggerakkan warganegara, menyatukan berbagai kepentingan, menformulasi kebijakan publik, dan bertindak sebagai penghubung penting antara warganegara dan negara. Dalam hal ini masih banyak partai yang ada belum sepenuhnya membuktikan kemampuan mereka dalam hal ini. Kata Kunci: Struktur kepartaian, budaya politik, partai politik PENDAHULUAN Munculnya banyak partai politik selama ini dikarenakan persyaratan pembentukan partai politik yang cenderung sangat longgar. Selain itu, penyederhanaan sistem kepartaian juga terkendala oleh belum terlembaganya sistem gabungan partai politik (koalisi) yang terbangun di parlemen atau pada saat pencalonan presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, serta bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota. Pada pemilu baik itu pemilihan presiden atau kepala daerah pada tahun 2004 dan tahun 2009, terpilihnya beberapa kepala daerah dan wakil kepala daerah baru merupakan hasil dari gabungan partai politik (koalisi). Namun, gabungan (koalisi) tersebut lebih bersifat instan, lebih berdasarkan pada kepentingan politik jangka pendek dan belum berdasarkan pada platform dan program politik yang disepakati bersama untuk jangka waktu tertentu dan bersifat permanen. 1 Ernandia Pandikar adalah Dosen Jurusan Pendidikan IPS, Prodi. PPKn Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pasundan, Cimahi 147 ERNANDIA PANDIKAR Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia Secara teori ada keterkaitan yang erat antara upaya penataan sistem politik yang demokratis dengan sistem pemerintahan yang kuat dan efektif. Dalam masa transisi politik, pemahaman terhadap hubungan antara kedua proses itu menjadi sangat penting. Karena keterbatasan waktu dan tenaga, seringkali penataan elemen sistem politik dan pemerintahan dilakukan secara terpisah. Logika yang digunakan seringkali berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam realitas, semua elemen tersebut akan digunakan dan menimbulkan kemungkinan komplikasi satu dengan lainnya. Berdasarkan pengalaman selama pemilu 1999 sampai 2014, ada hubungan yang relatif konsisten antara sistem kepartaian dengan sistem presidensial. Multipartai, terutama yang bersifat terfragmentasi, menyebabkan implikasi deadlock dan immobilism bagi sistem presidensial murni. Alasannya adalah bahwa presiden akan mengalami kesulitan untuk memperoleh dukungan yang stabil dari legislatif sehingga upaya mewujudkan kebijakan akan mengalami kesulitan. Pada saat yang sama partai politik dan gabungan partai politik yang mengantarkan presiden untuk memenangkan pemilu tidak dapat dipertahankan untuk menjadi koalisi pemerintahan. Tidak ada mekanisme yang dapat mengikatnya. Alasan lain adalah bahwa komitmen anggota parlemen terhadap kesepakatan yang dibuat pimpinan partai politik jarang bisa dipertahankan. Dengan kata lain, tidak adanya disiplin partai politik membuat dukungan terhadap presiden menjadi sangat tidak pasti. Perubahan dukungan dari pimpinan partai politik juga ditentukan oleh perubahan kontekstual dari konstelasi politik yang ada. Keragaman suku bangsa, agama dan pelapisan sosial menumbuhkan kelompokkelompok yang membentuk partai politik yang secara nyata berjalan sendiri-sendiri. Keadaan ini prinsipnya menimbulkan persoalan mengenai bagaimana caranya agar bagian-bagian atau unsur-unsur itu menjadi suatu sistem, artinya terjalin dalam suatu kesatuan atau dengan perkataan lain, bagaimana kepentingan masyarakat Indonesia itu terintegrasi dan terwakili dalam suatu sistem kepartaian yang dapat mendukung pemeritahan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini mengangkat masalah struktur kepartaian dan keterkaitannya dalam budaya politik Indonesia. Sehingga dapat menuju kesejahteraan bangsa ini. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah: 1. Bagaimana struktur kepartaian dan keterkaitan dalam budaya politik? 2. Bagaimana kepartaian? landasan historis 3. Bagaimana dinamika parpol vs budaya politik bangsa? Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji: 1. Struktur kepartaian dan keterkaitan dalam budaya politik. 2. Landasan historis kepartaian. 3. Dinamika parpol vs budaya politik bangsa. 148 MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014) PEMBAHASAN merupakan bangunan yang nampak secara jelas dan tidak jelas. Hal tersebut terlihat dari beberapa faktor, yaitu: Struktur Kepartaian dan Keterkaitan dalam Struktur Sosial dan Budaya Struktur kepartaian dalam hal ini politik menurut Bertrand Russel dalam bukunya Power adalah sebagai salah satu spesies struktur pada umumnya, selalu berkenaan dengan alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif, yaitu yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan. Kekuasaan merupakan substansi pokok pembahasan dalam ilmu politik. Pengertian kekuasaan di sini harus diberi makna yang netral, dalam arti tidak dinilai secara baik atau jelek, melainkan selalu bergantung pada penerapannya. Kekuasaan mempunyai arti sebagai kemampuan untuk mempengaruhi, meyakinkan, mengendalikan, menguasai, dan memerintah orang lain. Menurut Budiardjo (2000:35) konsep kekuasaan merujuk kepada kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan itu. Menurut Mills (1956) memandang kekuasaan sebagai suatu hubungan di mana satu pihak menang atas yang lain. Namun menurut kaum pluralis yang dipelopori oleh Dahl (1967) dan Polsby (1963) kekuasaan dijalankan oleh kelompok-kelompok sukarela yang mewakili koalisi-koalisi kepentingan yang sering tersatukan, baik oleh suatu isu tunggal maupun beragam dalam hal kelanggengan secara nyata. Menurut Karl W. Deutsch dalam konsep struktur kepartaian dalam lingkup politik 1. Faktor-faktor yang bersifat informal/ Faktor ini dalam kenyataannya mempengaruhi cara kerja aparat masyarakat untuk mengemukakan, menyalurkan, menterjemahkan, mengkonversi tuntutan, dukungan dan masalah tertentu di mana tersangkut keputusan yang berhubungan dengan kepentingan umum, yang di dalamnya termasuk partai politik, golongan kepentingan, golongan penekan, para tokoh politik, alat komunikasi massa dan lain-lain, yang diantara mereka yang mengajukan tuntutan dan para pembuat keputusan. Strukturnya dapat berupa susunan, bangunan, tatanan/pranata yang tidak nampak secara jelas. 2. Lembaga yang dapat disebut sebagai mesin politik formal/resmi yang dengan absah mengidentifikasi segala masalah, menentukan dan menjalankan segala keputusan yang mengikat seluruh anggota masyarakat untuk mencapai kepentingan umum. Struktur Informal Wilayah Kepartaian Struktur wilayah ini biasa disebut wilayah tidak resmi yang terbagi ke dalam beberapa kelompok sebagai kelompok. 1. Pengelompokan masyarakat atas dasar persamaan sosial-ekonomi Pada kelompok ini lebih bersifat mengupas soal kekuatan riil dan masyarakat oleh Hugh Seton-Watson dinamakan forces of revolution, maksudnya kelompok 149 ERNANDIA PANDIKAR Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia yang lebih memberikan dasar tentang sikap mental kelompok tertentu dalam masyarakat yang kemudian menyebar ke dalam asosiasi sebagai kekuatan formal di sektor kehidupan politik masyarakat. Kelompok ini terdiri dari: golongan tani, golongan buruh, golongan menengah, dan golongan intelegensia. 2. Kelompok masyarakat atas dasar perbedaan cara dan gaya Kelompok masyarakat ini atas dasar kesadaran akan adanya persamaan jenisjenis tujuan sehingga dapat dikategorikan sebagai kelompok asosiasi politik. Pada kelompok ini adalah golongan anggota organisasi sosial politik, golongan administrator, golongan agama, golongan militer, golongan intelegensia, golongan usahawan, golongan seniman, dan golongan media massa. Pada golongangolongan tersebut berbeda dalam cara, gaya, jenis, dan nilai tujuan. 3. Kelompok masyarakat kehidupan politik rakyat dari Kelompok ini merupakan refleksi struktur masyarakat yang sifatnya lebih terlihat dan terikat dalam batas struktur politik masyarakat dan tidak masuk ke struktur politik pemerintahan sebelum melalui proses seleksi seperti pemilu, pengangkatan dan lain-lain. Pada kelompok ini adalah partai politik golongan kepentingan, golongan penekan, tokoh politik, dan media komunikasi politik. Struktur Formal Wilayah Kepartaian Di wilayah formal/resmi perpolitikan dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Meminjam Montesquieu. dari teori Bahwa kekuasaan pemerintah dipisah, yang akhirnya terbagi menjadi: - Lembaga Legislatif (perumus/pembuat undang-undang) - Lembaga Eksekutif (pelaksana undangundang) - Lembaga peradilan) Yudikatif (pelaksana Kekuasaan pemerintahan dilakukan pemisahan karena untuk mencegah keabsolutan penguasa. Ketiga lembaga itulah yang mengambil keputusan secara resmi. Menurut Vallenhoven segala tugas pekerjaan pemerintah dapat dibagi atas empat fungsi, yaitu: pemerintahan, kepolisian, peradilan dan perundangundangan. 2. Meminjam teori dikotomi. Pada teori ini terdapat dua macam kekuasaan, yaitu: - Policy Making (kekuasaan menetapkan kebijaksanaan ) - Policy Executing (kekuasaan melaksanakan kebijaksanaan) Teori ini badan/lembaga negara yang menetapkan kebijaksanaan politik pada tingkat tinggi dan menjalankan kebijaksanaan politik sehingga menjadi jelas. Dalam membahas struktur kepartaian dalam politik pemerintahan, biasanya sistem pemerintahan dibahas. Sistem pemerintahan pada hakikatnya adalah cara hubungan kerja dan sekaligus hubungan fungsi antara lembaga-lembaga negara yang ditetapkan oleh konstitusi. Fungsi Politik Pembahasan struktur kepartaian dalam hal ini, baik struktur di sektor 150 MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014) kehidupan politik masyarakat maupun struktur pemerintahan, pada mulanya menghasilkan sesuatu yang negatif yang pada akhirnya menghasilkan sesuatu yang riil karena pada kerangka struktur yang diobservasi tersebut sudah diobservasikan fungsi-fungsinya yang riil. Struktur politik dibedakan atas infrastruktur politik, yaitu struktur politik masyarakat, suasana kehidupan politik masyarakat, sektor politik masyarakat dan suprastruktur politik, yaitu struktur politik pemerintahan yang cakupannya sektor pemerintahan, suasana pemerintahan serta sektor politik pemerintahan. Menurut Charles (1992) mengemukakan beberapa fungsi politik, yaitu: 1. Sosialisasi politik, yaitu proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat. 2. Pendidikan politik, yaitu proses penyadaran dan pendewasaan politik para anggota masyarakat. Pada proses tersebut diharapkan menjadi senantiasa mengerti politik. 3. Partisipasi politik, yaitu mengajak atau mengikutsertakan para anggota masyarakat untuk terlibat dalam berbagai macam dan tingkatan kehidupan poltik 4. Agregasi kepentingan, yaitu sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah melalui upaya menampung dan mengkombinasikan tuntutan-tuntutan individu dari para anggota masyarakat menjadi kebijakan publik yang signifikan. 5. Rekrutmen politik, yaitu proses seleksi calon-calon pemimpin yang akan mengisi berbagai jabatan publik atau jabatan politik. Fungsi-fungsi partai politik bila ditinjau dari sudut tingkatan, yaitu: 1. Tingkatan masyarakat secara keseluruhan, partai politik memiliki fungsi sebagai sebuah mekanisme umum yang berusaha menangani konflik yang terjadi di dalam masyarakat. 2. Tingkatan sistem politik, partai politik memiliki fungsi sebagai institusi yang berfungsi memformulasikan kebijakan publik. 3. Tingkatan kehidupan politik, partai politik memiliki fungsi utama dalam rekrutmen poltik bagi kandidatkandidat terpilih agar menmpati jabatan-jabatan publik Sementara itu, berkenaan dengan beragamnya fungsi-fungsi partai politik, Miriam Budiardjo (1998:163) mengatakan bahwa terdapat perbedaan fungsi partai politik dalam negara demokratis dan negara berkembang. Partai politik dalam negara demokratis menyelenggarakan beberapa fungsi: 1. Sebagai sarana komunikasi politik 2. Sebagai sarana sosialisasi politik 3. Sebagai sarana rekrutmen politik 4. Sebagai sarana pengatur konflik Sementara, partai politik untuk Negara Berkembang terdapat tiga fungsi pokok, yaitu: 1. Dukungan basis massa yang stabil 2. Sarana integrasi dan mobilisasi 3. Memelihara kelangsungan kehidupan politik 151 ERNANDIA PANDIKAR Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia Landasan Historis Kepartaian 1. Partai Politik Pergerakan Pada kemerdekaan Indonesia, seperti yang diperjuangkan oleh Parpol Indische partij. Masa Dalam sejarah Indonesia, keberadaan Parpol di Indonesia diawali dengan didirikannya Organisasi Boedi Oetomo (BO) pada tahun 1908 di Jakarta oleh dr. Wahidin Soediro Hoesodo dkk. Walaupun pada waktu itu BO belum bertujuan ke politik murni, tetapi keberadaan BO sudah diakui para peneliti dan pakar sejarah Indonesia sebagai perintis organisasi modern. Dengan kata lain, BO merupakan cikal bakalnya organisasi massa atau organisasi politik di Indonesia. Perkembangan menjadi lebih pesat manakala Indische Partij (IP) memperjuangkan “kemerdekaan Indonesia” berdasarkan kebangsaan Indierschap. Parpol yang aktif pada masa pergerakan ini yaitu Indische Partij yang didirikan oleh Dr. E.E.F. Douwes Dekker di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912. Yang bertujuan melanjutkan Indische Bond yang telah ada sejak 1898 sebagai organisasi Kaum Indo peranakan di Indonesia. Seorang Indo sebagai perumus gagasan yaitu Dr. E.E.F. Douwes Dekker yang kemudian terkenal dengan nama Danudirdja Setiabudhi. Adanya diskriminasi antara kaum Indo peranakan dan Belanda baik dalam gaji maupun perlakuan lainnya menyebabkan timbulnya pergolakan jiwa di kalangan kaum Indo. Lalu bertekad mendirikan perkumpulan yang radikal yang berusaha meleburkan diri dengan masyarakat pribumi. Terutama adanya ancaman yang sama yaitu penindasan kolonial. (Kartodirdjo, 1975: 189). Partai Politik pada zaman prakemerdekaan pada umumnya bertujuan untuk memperjuangkan tercapainya 2. Parpol Di Masa Pendudukan Jepang Setelah Perang Pasifik berjalan 3 bulan, pada bulan Maret 1942 tentara Jepang dipimpin Jendral Imamura mendarat di Pulau Jawa. Dengan semboyan “kemakmuran bersama” dan “Asia untuk bangsa Asia”, banyaklah di antara pemimpin-pemimpin Indonesia yang terpikat hatinya oleh Jepang. Kedatangan bangsa Jepang yang sesungguhnya menggantikan kedudukan penjajahan Belanda, disambut dengan gembira karena kepemimpinan Belanda diambil alih oleh Jepang. Pada masa pemerintahan Jepang Parpol dilarang, kecuali Masyumi boleh berkembang. Untuk memuaskan bangsa Indonesia, Jepang mengatur strategi yaitu kota-kota di Indonesia yang sejak zaman Belanda diganti dengan nama Belanda, lalu diganti lagi dengan nama Indonesia asli. Penyaringan Politik Ketika Jepang bertindak sewenang-wenang, berbuat sangat kejam dan hidup kemewahan, sedang ribuan rakyat Indonesia yang mati kelaparan dan dipaksa menjadi budak romusha yang menderita. Beberapa golongan bangsa Indonesia yang tidak tahan lagi melihat kekejaman Jepang lalu memberontak, seperti pemberontakan PETA di Blitar, Tasikmalaya, Cirebon, dan Kalimantan Barat. Setelah peristiwa tersebut terjadi, rakyat Indonesia terutama pemudanya yang sudah mendapat latihan militer menyadari bahwa nasib bangsa Indonesia yang dijajah oleh siapa pun sama berat rasanya. Maka dari itu bulatlah tekad mereka untuk merebut kemerdekaan. 152 MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014) Memperjuangan kemerdekaan membuat pemimpin-pemimpin nasional kita sadar bahwa jalannya pelaksanaan suatu proklamasi kemerdekaan bukan hanya tergantung dari semangat bangsanya sendiri, tetapi juga sikap dunia internasional terhadapnya, terlebih pula karena kekuatan kita di lapangan teknik modern masih kurang dan aparat teknis modern selama masa pendudukan mengalami kemerosotan yang tidak kecil. Akan tetapi angkatan muda menyadari bahwa bagaimanapun juga saat kemerdekaan sudah tidak dapat diundurundur lagi, sistem pemerintahan kolonial tak dapat diterima lagi. Pada masa pemerintahan balatentara Jepang, semua organisasi politik dibubarkan, sehingga praktis pada saat Proklamasi Kemerdekaan secara formal tidak ada partai politik. Pada pokoknya, pengorganisasian yang aneka ragam dasar perjuangannya itu disebabkan antara lain oieh. 3. Awal Perkembangan Parpol Pada Masa Kemerdekaan Dalam perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, rakyat tidak hanya menyusun pemerintahan dan militer yang resmi, tetapi juga menyusun laskar atau badan perjuangan bersenjata dan organisasi politik. Pada zaman kemerdekaan ini, partai politik tumbuh di Indonesia ibarat tumbuhnya jamur di musim hujan, dengan berbagai haluan ideologi politik yang berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan adanya maklumat Pemerintah RI tanggal 3 November 1945 yang berisi anjuran mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan. Diantaranya yaitu: 1. Partai Sosialis; 2. Partai Komunis Indonesia (PKI); 3. Partai Buruh Indonesia; 4. Partai Rakyat Jelata atau Murba; 5. Masyumi; 6. Serindo – PNI 4. Parpol Di Masa UUDS 1950 – 1959 Dalam sistem politik menurut UUDS 1950 peranan partai-partai besar sekali. Antara partai politik dan DPR saling terdapat ketergantungan, karena anggota DPR umumnya adalah orang-orang partai. Dalam tahun-tahun pertama sesudah pengakuan kedaulatan, orang berpendapat bahwa partai merupakan tangga ketenaran atau kenaikan kedudukan seseorang. Pemimpin-pemimpin partai akan besar pengaruhnya terhadap pemerintahan baik di pusat maupun di daerah-daerah dan menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan meskipun pendidikannya rendah. Partai politik pada zaman liberal diwarnai suasana penuh ketegangan politik, saling curiga mencurigai antara partai politik yang satu dengan partai politik lainnya. Hal ini mengakibatkan hubungan antar politisi tidak harmonis karena hanya mementingkan kepentingan (Parpol) sendiri. 5. Partai Politik Pada Masa Orde Lama Dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah pada tanggal 3 November 1945 yang menganjurkan dibentuknya Parpol, sejak saat itu berdirilah puluhan partai. Maklumat ini ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat yang meminta diberikannya kesempatan pada rakyat yang seluasluasnya untuk mendirikan Partai Politik. Partai Politik hasil dari Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 153 ERNANDIA PANDIKAR Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia berjumlah 29 buah, dikelompokkan dalam 4 kelompok partai berdasarkan Ketuhanan, Kebangsaan, Marxisme, dan Kelompok partai lain-lain yang termasuk partai lainlain adalah Partai Demokrat Tionghoa Indonesia dan Partai Indo Nasional. Partai-partai peserta pemilu yang tidak berhasil meraih kursi disebut sebagai “Partai Gurem” atau partai yang tidak jelas power base-nya. Parta-partai Gurem itu semakin lama semakin tidak terdengar lagi suaranya. Sementara itu partai yang berhasil meraih kursi melakukan penggabungan-penggabungan dalam pembentukan fraksi. Sampai dengan tahap ini perkembangan kepartaian mengalami proses seleksi alamiah berdasarkan akseptabilitas masyarakat. Jumlah partai yang semula puluhan banyaknya, terseleksi sehingga menjadi belasan. Jumlah yang mengecil itu bertahan sampai dengan berubahnya iklim politik dari alam demokrasi liberal ke alam demokrasi terpimpin. Proses penyederhanaan partai berlangsung terusmenerus. Pada tanggal 5 Juli 1960 Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden No.13 tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan, dan pembubaran partaipartai. Pada tanggal 14 April 1961 Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden no. 128 tahun 1961 tentang partai yang lulus seleksi, yaitu PNI, NU, PKI, partai Katolik, Pertindo, Partai Murba, PSII, Arudji, dan IPKI dan 2 partai yang menyusul yaitu Parkindo dan partai Islam Perti. Jadi pada waktu itu, parpol yang boleh bergerak hanya 10 partai saja, karena parpol yang lain dianggap tidak memenuhi definisi tentang partai atau dibubarkan karena tergolong partai gurem. Tetapi jumlah partai yang tinggal 10 buah itu berkurang satu pada tahun 1964. Presiden Sukarno atas desakan PKI dan antekanteknya, membubarkan Partai Murba dengan alasan Partai Murba merongrong jalannya revolusi dengan cara membantu kegiatan terlarang seperti BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme) dan Menikebu (Manifesto Kebudayaan). 6. Partai Politik Pada Masa Orde Baru Perkembangan partai politik setelah meletus G.30S/PKI, adalah dengan dibubarkannya PKI dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Menyusul setelah itu Pertindo juga menyatakan bubar. Dengan demikian partai politik yang tersisa hanya 7 buah. Tetapi jumlah itu bertambah dua dengan direhabilitasinya Murba dan terbentuknya Partai Muslimin Indonesia. Golongan Karya yang berdiri pada tahun 1964, semakin jelas sosoknya sebagai kekuatan sosial politik baru. Dalam masa Orde Baru dengan belajar dari pengalaman Orde Lama lebih berusaha menekankan pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Orde Baru berusaha menciptakan politik dengan format baru. Artinya menggunakan sistem politik yang lebih sederhana dengan memberi peranan ABRI lewat fungsi sosialnya. Kristalisasi Parpol, suara yang terdengar dalam MPR sesudah pemilu 1971 menghendaki jumlah partai diperkecil dan dirombak sehingga partai tidak berorientasi pada ideologi politik, tetapi pada politik pembangunan. Presiden Suharto juga bersikeras melaksanakan perombakan tersebut. Khawatir menghadapi perombakan dari 154 MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014) atas, partai-partai yang berhaluan Islam meleburkan diri dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai-partai non Islam berfungsi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian semenjak itu di Indonesia hanya terdapat tiga buah organisasi sosial politik, yaitu PPP, Golkar, dan PDI. a. Perkembangan Partai Masa PPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Pada tanggal 5 Januari 1973 terbentuk Partai Persatuan Pembangunan yang merupakan fusi dari NU, Pamusi, PSII, dan Perti. Pada awalnya bernama golongan spiritual, lalu menjadi kelompok persatuan, serta Fraksi Persatuan Pembangunan. Ketika itu partaipartai Islam berusaha menggunakan nama dengan label Islam untuk partai dari fusi, tetapi ada imbauan dari pemerintah agar tidak menggunakannya sehingga yang muncul adalah “Partai Persatuan Pembangunan”. Dengan demikian PPP lahir sebagai hasil fusi dari partai-partai Islam pada awal 1973 yang sesungguhnya adalah partai Islam yang mulai tercabut dari akar-akar sejarahnya. b. Perkembangan Golkar Partai Masa Golongan Karya (Golkar) Pengorganisasian Golkar secara teratur dimulai sejak tahun 1960 dengan dipelopori ABRI khususnya ABRI-AD, dan secara eksplisit organisasi ini lahir pada tanggal 20 Oktober 1964 dengan nama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), dengan tujuan semula untuk mengimbangi dominasi ekspansi kekuasaan politik PKI, serta untuk menjaga keutuhan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Jadi semula Golkar merupakan organisasi yang dipakai untuk mengimbangi kekuatan ekspansasi politik PKI pada tahun1960-an, yang kemudian terus berkembang hingga saat ini, di mana fungsi Golkar sama seperti partai politik. Pada perkembangan lebih lanjut Golkar sebagai kekuatan Orde Baru bertekad melaksanakan, mengamalkan, dan melestarikan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang menuju tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Perkembangan Golkar pada Orde Baru adalah sebagai kekuatan sosial politik yang merupakan aset bangsa yang selalu komit dengan cita-cita pembangunan nasional. Dalam rel politik orde baru, Golkar merupakan kekuatan sosial politik yang terbesar dengan berulangkali menang dalam pemilihan umum (1971, 1977, 1982, 1992, 1996) c. Perkembangan Partai Masa PDI Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dibentuk pada tanggal 10 Januari 1973. Pembentukan PDI sebagai hasil fusi dari lima partai politik yang berpaham Nasionalisme, Marhaenisme, Sosialisme, Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Kelima partai politik yang berfusi menjadi PDI adalah PNI, TPKI, Parkindo, Partai Murba, dan Partai Katolik. Dalam sejarah sebagai organisasi sosial politik, PDI sering berhadapan dengan masalah pertentangan/ konflik di kalangan pemimpinnya. Pada hakikatnya potensi konflik hanya salah satu masalah yang dihadapi PDI. Sejumlah masalah yang lain juga dihadapi, seperti masalah identitas partai (khususnya sejak Pancasila ditetapkan sebagai asas tunggal), masalah kemandirian, demokratis di tubuh partai, dan masalah rekruitasi. 155 ERNANDIA PANDIKAR Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia Dan berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kini sistem kepartaian negara kita telah dalam situasi mantap, di mana ketiga kekuatan sosial politik yang ada, yaitu PPP, Golkar, dan PDI telah menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. 7. Partai Politik Era Reformasi Era Reformasi yang melahirkan sistem multi-partai ini sebagai titik awal pertumbuhan partai yang didasari kepentingan dan orientasi politik yang sama di antara anggotanya. Kondisi yang demikian ini perlu dipertahankan, karena Partai Politik adalah alat demokrasi untuk mengantarkan rakyat menyampaikan artikulasi kepentingannya. Tidak ada demokrasi sejati tanpa Partai Politik. Meski keberadaan Partai Politik saat ini dianggap kurang baik, bukan berarti dalam sistem ketatanegaraan kita menghilangkan peran dan eksistensi Partai Politik. Keadaan Partai Politik seperti sekarang ini hanyalah bagian dari proses demokrasi. Dalam kondisi kepartaian yang seperti ini, Pemilihan Umum 2004 digelar dengan bersandar kepada Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Dalam perjalanannya, undang-undang ini dianggap belum mampu mengantarkan sistem kepartaian dan demokrasi perwakilan yang efektif dan fungsional. Undang-undang ini juga belum mampu melahirkan Partai Politik yang stabil dan akuntabel. Masyarakat juga masih belum percaya pada keberadaan Partai Politik, padahal fungsi Partai Politik salah satunya adalah sebagai alat artikulasi kepentingan rakyat. Untuk menciptakan Partai Politik yang efektif dan fungsional diperlukan adanya kepercayaan yang penuh dari rakyat. Tanpa dukungan dan kepercayaan rakyat, Partai Politik akan terus dianggap sebagai pembawa ketidakstabilan politik sehingga kurang berkah bagi kehidupan rakyat. Untuk menciptakan sistem politik yang memungkinkan rakyat menaruh kepercayaaan, diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan yang mampu menjadi landasan bagi tumbuhnya Partai Politik yang efektif dan fungsional. Dengan kata lain, diperlukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem Politik Indonesia yakni Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dinamika Partai Politik VS Budaya Politik Bangsa 1. Dinamika Partai Politik Definisi tentang partai politik awal muncul pada abad ke-19. Menurut Lijpahart (2000:731) partai politik diartikan suatu organisasi yang berusaha memenagkan jabatan publik dalam suatu persaingan di daerah pemilihan dengan satu atau lebih organisasi serupa. Pendapat lain adalah Schlesinger dalam karyanya “Party Unit” (1968) mengasumsikan tiga jenis organisasi yang biasanya menjadi acuan sebagai partai politik, yaitu: a. Organisasi yang terlalu kecil dan tidak dapat membuat perubahan yang realistis untuk memenangkan jabatan 156 MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014) publik, terutama posisi eksekutif, walaupun tetap mencalonkan kandidat dan berpartisipasi dalam kampanye pemilihan. b. Partai yang revolusioner, biasanya bertujuan untuk menghilangkan pemilihan yang kompetitif c. Kelompok-kelompok yang memerintah dalam pemerintahan yang otoriter ataupun totaliter, biasanya hanya memliki satu partai politik. Menurut Miriam Budiardjo, partai politik adalah organisasi yang mempunyai kegiatan yang berkesinambungan. Dengan kata lain, masa periode hidupnya tak bergatung pada masa jabatan para pemimpinnya. Kemudian, organisasi yang terbuka dan permanen tidak hanya berada di tingkat pusat tetapi juga di tingkat lokal. Partai pemimpin di tingkat pusat maupun lokalmemiliki keinginan kuat untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam rangka membuat keputusan politik secara sendiri maupun dengan berkoalisi dengan partai lain dan melakukan kegiatan mencari dukungan dari para pemilih melalui pemilihan umum atau dengan cara lain. Sedangkan menurut UU Partai Politik No.31 tahun 2002 mengemukakan partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. 2. Sistem Kepartaian Menurut Rusadi (1992) ada tiga jenis pokok sistem kepartaian, yaitu: a. Sistem Multipartai (sistem banyak partai) Pada sistem ini, mayortas mutlak dalam lembaga perwakilan rakyat dibentuk atas dasar kerjasama dua kekuatan atau lebih. Sistem multi partai tumbuh oleh dua sebab: - Kebebasan dalam pembentukan partaipartai politik - Sistem pemilihan umum proporsional b. Sistem dua partai (sistem partai dua) Sistem ini mayoritas mutlak dalam lembaga perwakilan rakyat selalu dikuasai oleh salah satu dari dua kekuatan politik terbesar secara bergiliran menurut hasil pemilihan umum. Menurut pengamatan, sistem dua partai merupakan hasil implementasi sistem pemilihan umum distrik. c. Sistem satu partai Sistem ini, kepartaian dalam negara hanya terdapat satu partai terbesar yang menguasai mayoritas secara terus menerus samping partai-partai kecil lainnya. Sistem ini terjadi karena dua sebab, yaitu: - Keharusan konstitusional dalam negara yang bersangkutan. - Kondisi sosial-politik di mana hanya terdapat satu partai politik yang dominan terus menerus. Sistem satu partai akan selalu menumbuhkan corak pemerintahan yang diktator. 2. Budaya Politik Bangsa Budaya politik adalah salah satu komponen terpenting dalam sistem politik. Budaya politik menunjukkan ciri khas dari perilaku politik yang ditampilkan oleh individu yang terintegrasi dalam beberapa 157 ERNANDIA PANDIKAR Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia kelompok dalam masyarakat. Budaya politik dapat dipandang sebagai landasan sistem politik, yang memberi jiwa atau warrna pada sistem politik, atau yang memberi arah pada peran-peran politik yang dilakukan oleh struktur politik. Ada pengertian beragam tentang budaya politik. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut: a. Budaya politik adalah sikap orientasi warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu (G. A. Almond dan S. Verba (1991:21)). b. Budaya politik adalah pandangan politik yang mempengaruhi sikap, orientasi, dan pilihan politik seseorang. Budaya politik lebih mengutamakan dimensi psikologis dan suatu sistem politik, yaitu sikap, sistem kepercayaan, simbol yang dimiliki individu dan yang dilaksanakannya dalam masyarakat (Marbun, 2005:84). c. Budaya politik adalah keyakinan, sikap, nilai, ide-ide, sentimen, dan evaluasi suatu masyarakat tentang sistem politik negeri mereka dan peran masing-masing individu dalam sistem itu (Larry Diamond, 2003:207). d. Budaya politik adalah sikap dan orientasi warga suatu negara terhadap kehidupan pemerintahan negara dan politiknya (Mochtar Masoed dan Colin MacAndrews, 1986:41). e. Budaya politik adalah suatu konsep yang terdiri-dari sikap, keyakinan, nilai-nilai dan keterampilan yang sedang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk pola kecenderungankecenderungan khusus serta polapola kebiasaan yang terdapat pada kelompok-kelompok dalam masyarakat (Almond dan Powell, 1966:23). f. Budaya politik sebagai pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota sistem politik. (Rusadi Kantaprawira) Dari berbagai definisi di atas, tampak bahwa budaya politik menunjuk pada orientasi dan tingkah laku individu/ masyarakat terhadap sistem politik. Menurut Almond dan Verba, masyarakat mengidentifikasikan dirinya terhadap simbol-simbol dan lembaga-lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang dimilikinya. Dengan orientasi itu anggota masyarakat memiliki dan mempertanyakan tempat dan peranan mereka dalam sistem politik. Ada dua tingkat orientasi politik, yaitu di tingkat masyarakat dan di tingkat individu. Orientasi masyarakat secara keseluruhan tidak dapat lepas dan orientasi individual. Menurut Almond dan Powell, orientasi individu terhadap sistem politik dapat dilihat dan tiga komponen, yaitu: orientasi kognitif, orientasi afektif, dan orientasi evaluatif. a. Orientas Koginitif meliputi berbagai pengetahuan dan keyakinan tentang sistem politik. Aspek pengetahuan berkaitan dengan, misalnya tingkat pengetahuan seseorang mengenai jalannya sistem politik, tokoh-tokoh pemeritahan, kebijakan yang mereka ambil atau simbol-simbol yang dimiliki oleh sistem politiknya secara keseluruhan seperti ibukota negara, lambang negara, kepala negara, batas negara, mata uang, dan lain-lain. b. Orientasi Afektif menunjuk pada aspek perasaaan atau ikatan emosional 158 MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014) seorang individu terhadap sistem politik; jadi, menyangkut feeling terhadap sistem politik. Seorang individu mungkin mempunyai perasaan khusus terhadap aspek-aspek sistem politik tertentu yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik itu secara keseluruhan. Dalam kaitan ini, agaknya sikap-sikap yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam keluarga atau Iingkungan hidup seseorang umumnya berpengaruh terhadap pembentukan perasaan warga negara yang bersangkutan. c. Orientasi Evaluatif berkaitan dengan penilaian moral seseorang terhadap sistem politik; selain itu, juga menunjuk pada komitmen terhadap nilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan politik (dengan menggunakan informasi dan perasaan) tentang kinerja sistem politik (Larry Diamond, 2003:207). Di sini, norma-norma yang dianut dan disepakati bersama menjadi dasar sikap dan penilaiannya terhadap sistem politik. 3. Tipe-Tipe Budaya Politik a. Parochial Political Culture (Budaya Politik Parokial) Kebudayaan politik parokial relatif berlangsung dalam sistem tradisional. Tidak ada peran-peran politik yang bersifat khusus dalam masyarakat. Elite tradisional seperti kepala kampung, kepala suku, dan dukun (orang pinter) berperan dominan dalam politik dan ekonomi serta keagamaan. Sedangkan, peran masyarakat tidak terpisah dan orientasi religius dan sosial mereka. Sehingga, secara umum bersifat sentralistik dan jauh dani harapan adanya perubahan yang signifikan (berarti). Kebudayaan politik parokial dalam sistem politik yang diferensiatif (modern) lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif. Elite politik bisa saja mengerti dampak negatif rezim sentralistik tapi perasaan mereka cenderung tidak pasti/tegas. Dengan tetap memberlakukan norma-norma yang mengatur hubungannya dengan sistem sentralistik tersebut. Menurut Rusadi Kantaprawira, budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan sederhana, dengan ciri khas yaitu belum adanya spesialisasi tugas atau peran, sehinggga para pelaku politik belum memiliki peranan yang khusus. Dengan kata lain, satu peranan dilakukan bersamaan dengan peranan yang lain. Misalnya, aktivitas dan peranan pelaku politik dilakukan bersamaan dengan perannya dalam bidang kehidupan Iainnya seperti bidang ekonomi dan agama. Di dalam budaya politik parokial, masyarakat tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik secara sepenuhnya. Adapun yang menonjol dalam politik parokial adalah adanya kesadaran anggóta masyarakat akan adanya pusat kekuasaan di dalam masyarakat yang dipegang oleh kepala’adat atau kepala suku. Selain sebagai pemimpin politik, kepala adat atau kepala suku berperan juga sebagai pemimpin agama, dan pemimpin sosial. Demikian dapat disimpulkan bahwa budaya politik parokial tidak dijumpai spesialisasi tugas dan peran dalam kegiatan poIitik. Kalaupun mungkin ada, dalam intensitas atau kadar rendah, sehingga tingkat partisip politik masyarakatnya pun masih rendah. Sedangkan menurut Mochtar Masoed dan Colin MacAndrews, (1986:42). 159 ERNANDIA PANDIKAR Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia menyatakan bahwa budaya politik parokial menunjuk pada “orang-orang yang sama sekali tidak menyadari dan mengabaikan adanya pemerintahan dan politik”. Mereka ini mungkin buta huruf, tinggal di desa yang terpencil, atau mungkin neneknenek tua yang tidak tanggap terhadap hak pilih dan mengungkung diri dalam kesibukan keluarga”. Mereka kebanyakan juga bermata-pencaharian sebagai petani dan buruh tani yang hidup dan bekerja di perkebunan-perkebunan di mana kontak dengan sistem politik kecil sekali. b. Subject Political Culture (Budaya Politi Subjek) Menurut Mochtar Masoed dan Colin MacAndrews, (1986:42), budaya politik subjek menunjuk pada “orang-orang yang secara pasif patuh pada pejabat-pejabat pemerintahan dan Undang-undang tetapi tidak melibatkan dirinya dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihannya”. Menurut Rusadi Kantanprawira dalam budaya politik ini anggota masyarakat telah mempunyai minat, perhatian, mungkin juga kesadaran, terhadap sistem sebagai keseluruhan, terutama terhadap aspek output alias keputusan-keputusan politik yang diambil akan tetapi, frekuensi perhatiannya terhadap sistem politik sangat rendah terutama pada aspek input, sementara kesadarannya sebagai aktor politik boleh dikatakan belum tumbuh. c. Participant PolitIcal Culture (Budaya Poiltik Partisipan) Budaya politik partisipan adalah suatu bentuk budaya di mana anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif (Almond dan Verba, 1984:22). Budaya politik ini ditandai oleh adanya kesadaran bahwa dirinya ataupun orang lain sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik. ini menunjuk pada orang-orang yang politik melibatkan diri dalam kegiatan politik, paling tidak dalam kegiatan pemberian suara (voting) dan memperoleh informasi yang cukup banyak tentang kehidupan politik. Seseorang dengan sendirinya menyadari setiap hak dan kewajibannya, dan dapat pula merealisasikan dan menggunakan hak serta menanggung kewajibannya. Tidak diharapkan seseorang menerima begitu saja keadaan, berdisiplin mati, tunduk terhadap keadaan. Itu tidak lain karena ia merupakan salah satu mata rantai aktif proses politik. Dengan demikian, seseorang dalam budaya politik partisipan dapat menilai dengan penuh kesadaran baik sistem sebagai totalitas, input dan output, maupun posisi dirinya sendiri. 4. Budaya Politik Indonesia Ada beragam pandangan mengenai budaya politik Indonesia, diantaranya sebagai berikut: a. Herbert Feith, seorang Indonesianis dan Australia, mengemukakan bahwa Indonesia memiliki dua budaya politik yang dominan, yaitu aritokrasi jawa dan wiraswasta Islam. b. Clifford Geertez, orang Indonesianis asal Amerika Serikat, berpendapat berbeda. Ia membedakan masyarakat Jawa ke dalam tiga sub-budaya, yaitu santri, abangan dan priyayi. Abangan menunjuk pada golongan petani kecil; Santri adalah pemeluk agama Islam yang taat, yang pada umumnya terdinidan pedagang di kota 160 MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014) dan petani yang berkecukupan; dan Priyayi adalah golongan yang masih memiliki pandangan Hindhu-Budha, yang kebanyakan terdiri-dari golongan terpelajar, dan golongan atas penduduk kota, terutama golongan pegawai. Bentuk budaya politik Indonesia sebagaimana dilukiskan oleh para ahli Barat tersebut bukan-lah “budaya politik Indonesia”; melainkan, merupakan “subbudaya politik atau budaya politik subnasional”. Alasannya, semuanya itu adalah bagian dan budaya politik Indonesia, sama dengan sub-subbudaya politik lainnya. Dengan demikian, semua bentuk subbudaya politik yang ada di tanah air adalah budaya politik Indonesia. Ini berarti, budaya politik Indonesia masih berupa kombinasi dan semua subbudaya politik baik dalam arti hasil pengelompokan sosial kultural seperti dikemukakan oleh Feith dan Geertz, maupun budaya politik daerah yang diangkat ke tingkat nasional oleh para pelaku politik (Sjamsuddin, 1999:30). Sedangkan Affan Gaffar menyatakan bahwa sangat sulit mengindentifikasi wujud budaya politik Indonesia. Menurutnya yang dapat dilakukan adalah menggambar pola budaya politik dominan yang berasal dari kelompok etnis dominan yaitu kelompok etnis jawa. Menurutnya etnis ini sangat mewarnai sikap, perilaku dan orientasi politik kalangan elit politik Indonesia. Namun Afan Gaffar mengatakan bahwa budaya politik Indonesia memiliki tiga ciri dominan sebagai berikut: a Hirarki yang Tegar/Ketat Masyarakat Jawa. Sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat hirarkis. Stratifikasi sosial yang hirarkis mi tampak dan adanya pemilahan tegas antara penguasa (Wong gede) dengan rakyat kebanyakan (Wong cilik). Masing-masing terpisah melalui tatanan hirarkis yang sangat ketat. Alam pikiran dan tatacara sopan santun diekspresikan sedemikian rupa sesuai dengan asal-usul kelas masing-masing. Penguasa dapat menggunakan bahasa “kasar” kepada rakyat kebanyakan. Sebaliknya, rakyat harus mengekspresikan din kepada penguasa dalam bahasa “halus”. Dalam kehidupan politik, penganuh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercermin pada cara penguasa memandang diri dan rakyatnya. Mereka cenderung melihat dirinya sebagai pamong guru / pendidik bagi rakyat. Mereka juga mencitrakan diri sebagai kelompok yang pemurah, baik hati, dan pelindung. Namun, sebaliknya, mereka cenderung merendahkan rakyatnya; karena penguasa sangat baik, pemurah dan pelindung, sudah seharusnya rakyat patuh, tunduk, setia dan taat kepada penguasa negara. Implikasi negatif lainnya dapat dilihat dalam soal kebijakan publik. Yang membentuk semua agenda publik, termasuk merumuskan kebijakan publik, adalah penguasa/pemerintah, sedangkan rakyat cenderung disisihkan dan proses politik. Rakyat tidak diajak berdialog dan kurang didengar aspirasinya. Namun, mereka diharapkan bahkan kadang diwajibkan ikut dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Hal itu bendampak pada munculnya gejala “bapakisme” atau “asal bapak senang” dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara. Hal itu tentu tidak menguntungkan. Karena itu, orientasi hirarkis sebaiknya diganti dengan orientasi yang merakyat. 161 ERNANDIA PANDIKAR Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia b. Kecenderungan Patronage Pola hubungan patronage merupakan salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia. Oleh James Scott (1976) hubungan macam itu disebut sebagai pola hubungan patron- client. Pola hubungan ini bersifat individual. Antara dua individu, yaitu si Patron dan si Client, terjadi interaksi timbal-balik dengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki masing-masing. Si Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, kedudukan atau jabatan, perlindungan, perhatian dan kasih sayang, bahkan materi (harta kekayaan, tanah garapan, dan uang); sedangkan si Client memiliki sumber daya berupa tenaga, dukungan, dan kesetiaan. Pola hubungan patron-client tersebut akan tetap terpelihara selama kedua belah pihak memiliki sumber daya tersebut. Kalau tidak demikian, masing-masing pihak akan mencari orang lain entah sebagai patron ataupun sebagai klien. Meski demikian, karena umumnya patron memiliki sumber daya yang lebih besar dan kuat, pola hubungan semacam itu cenderung lebih menguntungkan patron. Menurut Yahya Muhaimin, dalam sistem bapakisme (hubungan bapak anak), “bapak” (patron) dipandang sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan kebutuhan material dan bahkan spiritual serta pelepasan kebutuhan emosional “anak” (client); sebaliknya, para anak buah dijadikan tulang punggung bapak. Mereka cukup setia, bahkan bersedia mempertaruhkan jiwa dan raga demi sang bapak. Dalam masyarakat yang menganut budaya politik “bapakisme”, karir politik seseorang bergantung pada kecerdikannya memelihara dan memanfaatkan hubungan pribadi dan hubungan politik dengan pemegang jabatan di tingkat atas. Begitu juga dalam mendapatkan pekerjaan dan jabatan-jabatan birokrasi. Dengan demikian, keabsahan kekuasaan politik dan wewenang jabatan birokrasi amat ditentukan oleh sistem hubungan bapakanak buah. Dan mi berarti, konsep bapakisme merupakan salah satu sumber legitimasi yang kuat dalam kehidupan politik bangsa Indonesia. c. Kecenderungan Neopatrimonialistik Salah satu kecenderungan dalam kehidupan politik di Indonesia adalah adanya kecenderungan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonialistik; artinya, meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik seperti birokrasi, perilaku negara masih memperlihatkan tradisi dan budaya politik yang berkarakter patrimonial. Menurut Max Weber, dalam negara yang patrimonialistik penyelenggaraan pemerintahan berada di bawah kontrol langsung pimpinan negara. Selain itu, negara patrimonialistik memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut (Affan Gaffar, 2002:117). a. kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seorang penguasa kepada teman-temannya; b. kebijakan seringkali lebih bersifat partikularistik daripada bersifat universalistik; c. rule of law lebih bersifat sekunder bila dibandingkan kekuasaan penguasa (rule of man); d. penguasa politik seringkali mengaburkan antara kepentingan umum dan kepentingan publik. 162 Dalam kehidupan politik di Indonesia, MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014) budaya politik neo-patrimonialistik telah menyebabkan kekuasaan tidak terkontrol. Akibatnya, negara menjadi sangat kuat dan peluang munculnya civil society terhambat. Pada masa Orde Baru, beberapa contoh budaya politik neo-patrimonialistik, antara lain: 1. seorang gubernur membangun rumah dinas yang sangat besar dan mewah, dengan biaya sekitar 7,5 milyar. Kemudian ia juga melaksanakan proyek kuningisasi untuk semua instansi pemerintah, bahkan sampai pohonpohon di sepanjang jalan. Sekalipun mendapatkan kritik dan tantangan dan berbagai lapisan masyarakat, ia samasekali tidak peduli. 2. Pola promosi jabatan yang tidak mengikuti prosedur yang sudah baku. Misalnya, seorang camat yang telah berhasil memenangkan Golkar melebihi target yang ditentukan langsung memperoleh promosi menjadi Asisten I Sekwilda Tingkat II; suatu lonjakan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. 3. anak-anak pejabat menjadi pengusaha besar karena memanfaatkan jabatan orangtua mereka, dan memperoleh perlakuan istimewa. 4. munculnya anak-anak pejabat yang menempati posisi strategis dan kunci dalam politik karena proses rekrutmen politik di Indonesia yang tidak terbuka. Kesimpulan Struktur kepartaian dalam hal ini politik menurut Bertrand Russel dalam bukunya Power adalah berkenaan dengan alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif, yaitu yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan. Menurut Budiardjo (2000:35) konsep kekuasaan merujuk kepada kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan itu. Menurut Mills (1956) memandang kekuasaan sebagai suatu hubungan di mana satu pihak menang atas yang lain. Namun menurut kaum pluralis yang dipelopori oleh Dahl (1967) dan Polsby (1963) kekuasaan dijalankan oleh kelompok-kelompok sukarela yang mewakili koalisi-koalisi kepentingan yang sering tersatukan, baik oleh suatu isu tunggal maupun beragam dalam hal kelanggengan secara nyata. Struktur wilayah ini biasa disebut wilayah tidak resmi yang terbagi ke dalam beberapa kelompok sebagai kelompok. 1. Pengelompokan masyarakat atas dasar persamaan sosial-ekonomi 2. Kelompok masyarakat atas perbedaan cara dan gaya dasar 3. Kelompok masyarakat dari kehidupan politik rakyat Di wilayah formal/resmi perpolitikan dapat diuraikan sebagai berikut. Meminjam dari teori Montesquieu, bahwa kekuasaan pemerintah dipisah, yang akhirnya terbagi menjadi Lembaga Legislatif (perumus/ pembuat undang-undang), Lembaga Eksekutif (pelaksana undang-undang, Lembaga Yudikatif (pelaksana peradilan). Menurut teori dikotomi, terdapat dua macam kekuasaan, yaitu : Policy Making (kekuasaan menetapkan kebijaksanaan dan Policy Executing (kekuasaan melaksanakan kebijaksanaan) 163 ERNANDIA PANDIKAR Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia Menurut Charles (1992) mengemukakan beberapa fungsi politik, yaitu: 1. Sosialisasi politik 2. Pendidikan politik 3. Partisipasi politik 4. Agregasi kepentingan 5, Rekrutmen politik Fungsi-fungsi partai politik bila ditinjau dari sudut tingkatan, yaitu: 1. Tingkatan keseluruhan masyarakat secara 2. Tingkatan system politik 3. Tingkatan kehidupan politik Miriam Budiardjo (1998:163) mengatakan bahwa terdapat perbedaan fungsi partai politik dalam Negara demokratis dan Negara berkembang. Partai politik dalam Negara Demokratis menyelenggarakan beberapa fungsi: tahun 1942 tentara Jepang yang dipimpin Jenderal Imamura. 3. Awal perkembangan partai politik pada masa kemerdekaan: diawali maklumat Pemerintah RI pada tgl. 3 November 1945 dalam pembentukan parpol. 4. Partai politik pada masa UUDS 1950 – 1959 : Awal partai politik pada zaman liberal 5 Partai politik pada masa orde lama : awal berdiri puluhan partai politik 6 Partai politik pada masa Orde Baru : diawali dengan dibubarkannya PKI dan munculnya 3 kekuatan partai politik, yaitu : PPP, Golkar, PDI 7. Partai politik pada Era Reformasi : Pada era ini melahirkan sistem multipartai Menurut Rusadi (1992) ada tiga jenis pokok sistem kepartaian, yaitu: 1. Sebagai sarana komunikasi politik 1. Sistem Multipartai (sistem banyak partai) 2. Sebagai sarana sosialisasi politik 2. Sistem dua partai (sistem partai dua) 3. Sebagai sarana rekrutmen politik 3. Sistem satu partai 4. Sebagai sarana pengatur konflik Budaya politik adalah sikap orientasi warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu (G. A. Almond dan S. Verba (1991:21)). Budaya politik adalah pandangan politik yang mempengaruhi sikap, orientasi, dan pilihan politik seseorang. Budaya politik lebih mengutamakan dimensi psikologis dan suatu sistem politik, yaitu sikap, sistem kepercayaan, simbol yang dimiliki individu dan yang dilaksanakannya dalam masyarakat (Marbun, 2005:84). Budaya politik adalah keyakinan, sikap, nilai, ide-ide, sentimen, dan evaluasi suatu masyarakat tentang sistem politik Sementara, partai politik untuk Negara Berkembang terdapat tiga fungsi pokok, yaitu : 1. Dukungan basis massa yang stabil 2. Sarana integrasi dan mobilisasi 3. Memelihara kelangsungan kehidupan politik Landasan Historis Kepartaian, antara lain adalah sebagai berikut. 1. Partai Politik Pada Masa Pergerakan: diawali dengan didirikannya organisasi Budi Utomo. 2. Partai Politik Pada Masa pendudukan Jepang: diawali setelah perang pasifik 164 MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014) negeri mereka dan peran masing-masing individu dalam sistem itu (Larry Diamond, 2003:207). Ada dua tingkat orientasi politik, yaitu di tingkat masyarakat dan di tingkat individu. Orientasi masyarakat secara keseluruhan tidak dapat lepas dari orientasi individual. Menurut Almond dan Powell, orientasi individu terhadap sistem politik dapat dilihat dan tiga komponen, yaitu: orientasi kognitif, orientasi afektif, dan orientasi evaluatif. Ada beragam pandangan mengenai budaya politik Indonesia, diantaranya sebagai berikut: 1. Herbert Feith, seorang Indonesianis dan Australia, mengemukakan bahwa Indonesia memiliki dua budaya politik yang dominan, yaitu aritokrasi jawa dan wiraswasta Islam. 2. Clifford Geertez, orang Indonesianis asal Amerika Serikat, berpendapat berbeda. Ia membedakan masyarakat Jawa ke dalam tiga sub-budaya, yaitu santri, abangan dan priyayi . Dengan demikian, semua bentuk subbudaya politik yang ada di tanah air adalah budaya politik Indonesia. mi berarti, budaya politik Indonesia masih berupa kombinasi dan semua subbudaya politik baik dalam arti hasil pengelompokan sosial kultural seperti dikemukakan oleh Feith dan Geertz, maupun budaya politik daerah yang diangkat ke tingkat nasional oleh para pelaku politik (Sjamsuddin, 1999:30). Sedangkan Affan Gaffar menyatakan bahwa sangat sulit mengindentifikasi wujud budaya politik Indonesia. Menurutnya yang dapat dilakukan adalah menggambar pola budaya politik dominan yang berasal dari kelompok etnis dominan yaitu kelompok etnis jawa. Menurutnya etnis ini sangat mewarnai sikap, perilaku dan orientasi politik kalangan elit politik Indonesia. REFERENSI Alfian dan Nazrudin. 1991. Profil Budaya Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Almond Gabriel A. dan Sidney Verba. 1992. Budaya Politik Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Terjemahan Saliat Simamora. Jakarta: Bumi Aksara. Atmadja Mochtar Kusuma. 1982. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Bina Cipta. Atmasasmita, Romli. 2001. Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum. Bandung: Mandar Maju Budiharjo Miriam. 1995. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia MD, Moh. Mahfud. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3E Kantaprawira, Rusadi. 2004. Sistem Politik Indonesia; Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Mas’Oed, Mohtar dan Colin Mac Anddrews. 2008. Perbandingan Sistem Politik. Gajah Mada University Press. Huntington, Samuel P dan Joan M. Nelson. 1984. Partisipasi Politik; Tak Ada Pilihan Mudah. Jakarta: Sangkala Pulsar. Feith, Herbert dan Lance Castles. 1995. Pemikiran Politik Indonesia 19451965, Jakarta: LP3ES 165 ERNANDIA PANDIKAR Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia Lijphart, Arend. (2000). Partai politik dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper. Ensiclopedi Ilmu-ilmu sosial. 166 Edisi kedua. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk. Jakarta Raja Grafindo Persada.