struktur kepartaian dan keterkaitannya dalam budaya politik indonesia

advertisement
MORES:
Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
STRUKTUR KEPARTAIAN DAN KETERKAITANNYA
DALAM BUDAYA POLITIK INDONESIA
Ernandia Pandikar1
ABSTRAK
Struktur kepartaian dalam hal ini politik menurut Bertrand Russel dalam bukunya
Power adalah berkenaan dengan alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif, yaitu
yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan. Membangun sistem
kepartaian yang mapan merupakan bagian penting dalam proses pelaksanaan
demokrasi di Indonesia, karena makna keberadaan suatu partai selain diukur dari
kemampuannya memenuhi syarat-syarat formal berdirinya partai tersebut, juga
kemampuannya menjalankan fungsi dan memainkan peran selayaknya sebagai suatu
partai politik. Bila dilihat dari sisi pragmatis, kemampuan ini ditunjukkan tidak hanya
dalam kesanggupan partai mengajukan calon, tetapi juga dalam menempatkan calon
dalam jabatan publik. Mengajukan calon dan menempatkan calon dalam jabatan publik
jelas merupakan dua hal yang berbeda. Pengalaman Pemilu 1999 dan 2004, banyak
partai mampu mengajukan calon, tetapi gagal menempatkan calon dalam jabatan
publik. Dari sisi prinsipil, kemampuan itu harus ditunjukkan dalam kesanggupan
partai mengorganisasi dan menggerakkan warganegara, menyatukan berbagai
kepentingan, menformulasi kebijakan publik, dan bertindak sebagai penghubung
penting antara warganegara dan negara. Dalam hal ini masih banyak partai yang
ada belum sepenuhnya membuktikan kemampuan mereka dalam hal ini.
Kata Kunci: Struktur kepartaian, budaya politik, partai politik
PENDAHULUAN
Munculnya banyak partai politik selama
ini dikarenakan persyaratan pembentukan
partai politik yang cenderung sangat
longgar. Selain itu, penyederhanaan
sistem kepartaian juga terkendala oleh
belum terlembaganya sistem gabungan
partai politik (koalisi) yang terbangun
di parlemen atau pada saat pencalonan
presiden dan wakil presiden, gubernur dan
wakil gubernur, serta bupati/walikota dan
wakil bupati/wakil walikota.
Pada pemilu baik itu pemilihan
presiden atau kepala daerah pada tahun
2004 dan tahun 2009, terpilihnya beberapa
kepala daerah dan wakil kepala daerah
baru merupakan hasil dari gabungan
partai politik (koalisi). Namun, gabungan
(koalisi) tersebut lebih bersifat instan,
lebih berdasarkan pada kepentingan politik
jangka pendek dan belum berdasarkan
pada platform dan program politik yang
disepakati bersama untuk jangka waktu
tertentu dan bersifat permanen.
1
Ernandia Pandikar adalah Dosen Jurusan Pendidikan IPS, Prodi. PPKn Sekolah Tinggi Keguruan
dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pasundan, Cimahi
147
ERNANDIA PANDIKAR
Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia
Secara teori ada keterkaitan yang erat
antara upaya penataan sistem politik yang
demokratis dengan sistem pemerintahan
yang kuat dan efektif. Dalam masa transisi
politik, pemahaman terhadap hubungan
antara kedua proses itu menjadi sangat
penting. Karena keterbatasan waktu dan
tenaga, seringkali penataan elemen sistem
politik dan pemerintahan dilakukan secara
terpisah. Logika yang digunakan seringkali
berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam
realitas, semua elemen tersebut akan
digunakan dan menimbulkan kemungkinan
komplikasi satu dengan lainnya.
Berdasarkan
pengalaman
selama
pemilu 1999 sampai 2014, ada hubungan
yang relatif konsisten antara sistem
kepartaian dengan sistem presidensial.
Multipartai, terutama yang bersifat
terfragmentasi, menyebabkan implikasi
deadlock dan immobilism bagi sistem
presidensial murni. Alasannya adalah
bahwa presiden akan mengalami kesulitan
untuk memperoleh dukungan yang stabil
dari legislatif sehingga upaya mewujudkan
kebijakan akan mengalami kesulitan. Pada
saat yang sama partai politik dan gabungan
partai politik yang mengantarkan presiden
untuk memenangkan pemilu tidak dapat
dipertahankan untuk menjadi koalisi
pemerintahan. Tidak ada mekanisme
yang dapat mengikatnya. Alasan lain
adalah
bahwa
komitmen
anggota
parlemen terhadap kesepakatan yang
dibuat pimpinan partai politik jarang bisa
dipertahankan. Dengan kata lain, tidak
adanya disiplin partai politik membuat
dukungan terhadap presiden menjadi
sangat tidak pasti. Perubahan dukungan
dari pimpinan partai politik juga ditentukan
oleh perubahan kontekstual dari konstelasi
politik yang ada.
Keragaman suku bangsa, agama dan
pelapisan sosial menumbuhkan kelompokkelompok yang membentuk partai politik
yang secara nyata berjalan sendiri-sendiri.
Keadaan ini prinsipnya menimbulkan
persoalan mengenai bagaimana caranya
agar bagian-bagian atau unsur-unsur itu
menjadi suatu sistem, artinya terjalin dalam
suatu kesatuan atau dengan perkataan
lain, bagaimana kepentingan masyarakat
Indonesia itu terintegrasi dan terwakili
dalam suatu sistem kepartaian yang dapat
mendukung pemeritahan. Oleh karena itu,
dalam tulisan ini mengangkat masalah
struktur kepartaian dan keterkaitannya
dalam budaya politik Indonesia. Sehingga
dapat menuju kesejahteraan bangsa ini.
Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan
dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana struktur kepartaian dan
keterkaitan dalam budaya politik?
2. Bagaimana
kepartaian?
landasan
historis
3. Bagaimana dinamika parpol vs budaya
politik bangsa?
Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk mengetahui dan
mengkaji:
1. Struktur kepartaian dan keterkaitan
dalam budaya politik.
2. Landasan historis kepartaian.
3. Dinamika parpol vs budaya politik
bangsa.
148
MORES:
Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
PEMBAHASAN
merupakan bangunan yang nampak secara
jelas dan tidak jelas. Hal tersebut terlihat
dari beberapa faktor, yaitu:
Struktur
Kepartaian
dan
Keterkaitan dalam Struktur Sosial
dan Budaya
Struktur kepartaian dalam hal ini
politik menurut Bertrand Russel dalam
bukunya Power adalah sebagai salah satu
spesies struktur pada umumnya, selalu
berkenaan dengan alokasi nilai-nilai yang
bersifat otoritatif, yaitu yang dipengaruhi
oleh
distribusi
serta
penggunaan
kekuasaan.
Kekuasaan
merupakan
substansi pokok pembahasan dalam ilmu
politik. Pengertian kekuasaan di sini harus
diberi makna yang netral, dalam arti tidak
dinilai secara baik atau jelek, melainkan
selalu bergantung pada penerapannya.
Kekuasaan mempunyai arti sebagai
kemampuan
untuk
mempengaruhi,
meyakinkan, mengendalikan, menguasai,
dan memerintah orang lain.
Menurut Budiardjo (2000:35) konsep
kekuasaan merujuk kepada kemampuan
seseorang atau kelompok manusia untuk
mempengaruhi tingkah laku seseorang
atau kelompok lain sedemikian rupa
sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai
dengan keinginan dan tujuan dari orang
yang memiliki kekuasaan itu. Menurut
Mills (1956) memandang kekuasaan
sebagai suatu hubungan di mana satu pihak
menang atas yang lain. Namun menurut
kaum pluralis yang dipelopori oleh Dahl
(1967) dan Polsby (1963) kekuasaan
dijalankan
oleh
kelompok-kelompok
sukarela yang mewakili koalisi-koalisi
kepentingan yang sering tersatukan, baik
oleh suatu isu tunggal maupun beragam
dalam hal kelanggengan secara nyata.
Menurut Karl W. Deutsch dalam konsep
struktur kepartaian dalam lingkup politik
1. Faktor-faktor yang bersifat informal/
Faktor ini dalam kenyataannya
mempengaruhi cara kerja aparat
masyarakat untuk mengemukakan,
menyalurkan,
menterjemahkan,
mengkonversi tuntutan, dukungan dan
masalah tertentu di mana tersangkut
keputusan yang berhubungan dengan
kepentingan umum, yang di dalamnya
termasuk partai politik, golongan
kepentingan, golongan penekan, para
tokoh politik, alat komunikasi massa
dan lain-lain, yang diantara mereka
yang mengajukan tuntutan dan para
pembuat keputusan. Strukturnya
dapat berupa susunan, bangunan,
tatanan/pranata yang tidak nampak
secara jelas.
2. Lembaga yang dapat disebut sebagai
mesin politik formal/resmi yang dengan
absah mengidentifikasi segala masalah,
menentukan dan menjalankan segala
keputusan yang mengikat seluruh
anggota masyarakat untuk mencapai
kepentingan umum.
Struktur
Informal
Wilayah
Kepartaian
Struktur wilayah ini biasa disebut
wilayah tidak resmi yang terbagi ke dalam
beberapa kelompok sebagai kelompok.
1. Pengelompokan masyarakat atas
dasar persamaan sosial-ekonomi
Pada kelompok ini lebih bersifat
mengupas soal kekuatan riil dan masyarakat
oleh Hugh Seton-Watson dinamakan
forces of revolution, maksudnya kelompok
149
ERNANDIA PANDIKAR
Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia
yang lebih memberikan dasar tentang
sikap mental kelompok tertentu dalam
masyarakat yang kemudian menyebar ke
dalam asosiasi sebagai kekuatan formal
di sektor kehidupan politik masyarakat.
Kelompok ini terdiri dari: golongan tani,
golongan buruh, golongan menengah, dan
golongan intelegensia.
2. Kelompok masyarakat atas dasar
perbedaan cara dan gaya
Kelompok masyarakat ini atas dasar
kesadaran akan adanya persamaan jenisjenis tujuan sehingga dapat dikategorikan
sebagai kelompok asosiasi politik. Pada
kelompok ini adalah golongan anggota
organisasi
sosial
politik,
golongan
administrator, golongan agama, golongan
militer, golongan intelegensia, golongan
usahawan, golongan seniman, dan
golongan media massa. Pada golongangolongan tersebut berbeda dalam cara,
gaya, jenis, dan nilai tujuan.
3. Kelompok
masyarakat
kehidupan politik rakyat
dari
Kelompok ini merupakan refleksi
struktur masyarakat yang sifatnya lebih
terlihat dan terikat dalam batas struktur
politik masyarakat dan tidak masuk ke
struktur politik pemerintahan sebelum
melalui proses seleksi seperti pemilu,
pengangkatan
dan
lain-lain.
Pada
kelompok ini adalah partai politik golongan
kepentingan, golongan penekan, tokoh
politik, dan media komunikasi politik.
Struktur
Formal
Wilayah
Kepartaian
Di wilayah formal/resmi perpolitikan
dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Meminjam
Montesquieu.
dari
teori
Bahwa kekuasaan pemerintah dipisah,
yang akhirnya terbagi menjadi:
-
Lembaga Legislatif (perumus/pembuat
undang-undang)
-
Lembaga Eksekutif (pelaksana undangundang)
-
Lembaga
peradilan)
Yudikatif
(pelaksana
Kekuasaan pemerintahan dilakukan
pemisahan karena untuk mencegah
keabsolutan penguasa. Ketiga lembaga
itulah yang mengambil keputusan secara
resmi. Menurut Vallenhoven segala
tugas pekerjaan pemerintah dapat dibagi
atas empat fungsi, yaitu: pemerintahan,
kepolisian, peradilan dan perundangundangan.
2. Meminjam teori dikotomi.
Pada teori ini terdapat dua macam
kekuasaan, yaitu:
-
Policy Making (kekuasaan menetapkan
kebijaksanaan )
-
Policy
Executing
(kekuasaan
melaksanakan kebijaksanaan)
Teori ini badan/lembaga negara
yang menetapkan kebijaksanaan politik
pada tingkat tinggi dan menjalankan
kebijaksanaan politik sehingga menjadi
jelas.
Dalam
membahas
struktur
kepartaian dalam politik pemerintahan,
biasanya sistem pemerintahan dibahas.
Sistem pemerintahan pada hakikatnya
adalah cara hubungan kerja dan sekaligus
hubungan fungsi antara lembaga-lembaga
negara yang ditetapkan oleh konstitusi.
Fungsi Politik
Pembahasan
struktur
kepartaian
dalam hal ini, baik struktur di sektor
150
MORES:
Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
kehidupan politik masyarakat maupun
struktur pemerintahan, pada mulanya
menghasilkan sesuatu yang negatif yang
pada akhirnya menghasilkan sesuatu yang
riil karena pada kerangka struktur yang
diobservasi tersebut sudah diobservasikan
fungsi-fungsinya yang riil.
Struktur politik dibedakan atas
infrastruktur politik, yaitu struktur politik
masyarakat, suasana kehidupan politik
masyarakat, sektor politik masyarakat dan
suprastruktur politik, yaitu struktur politik
pemerintahan yang cakupannya sektor
pemerintahan, suasana pemerintahan
serta sektor politik pemerintahan.
Menurut
Charles
(1992)
mengemukakan beberapa fungsi politik,
yaitu:
1. Sosialisasi politik, yaitu proses
pembentukan sikap dan orientasi
politik para anggota masyarakat.
2. Pendidikan politik, yaitu proses
penyadaran dan pendewasaan politik
para anggota masyarakat. Pada
proses tersebut diharapkan menjadi
senantiasa mengerti politik.
3. Partisipasi politik, yaitu mengajak
atau mengikutsertakan para anggota
masyarakat untuk terlibat dalam
berbagai macam dan tingkatan
kehidupan poltik
4. Agregasi kepentingan, yaitu sebagai
jembatan antara rakyat dan pemerintah
melalui upaya menampung dan
mengkombinasikan tuntutan-tuntutan
individu dari para anggota masyarakat
menjadi kebijakan publik yang
signifikan.
5. Rekrutmen politik, yaitu proses seleksi
calon-calon pemimpin yang akan
mengisi berbagai jabatan publik atau
jabatan politik.
Fungsi-fungsi partai politik bila ditinjau
dari sudut tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan
masyarakat
secara
keseluruhan, partai politik memiliki
fungsi sebagai sebuah mekanisme
umum yang berusaha menangani
konflik yang terjadi di dalam
masyarakat.
2. Tingkatan sistem politik, partai politik
memiliki fungsi sebagai institusi yang
berfungsi memformulasikan kebijakan
publik.
3. Tingkatan kehidupan politik, partai
politik memiliki fungsi utama dalam
rekrutmen poltik bagi kandidatkandidat terpilih agar menmpati
jabatan-jabatan publik
Sementara itu, berkenaan dengan
beragamnya fungsi-fungsi partai politik,
Miriam Budiardjo (1998:163) mengatakan
bahwa terdapat perbedaan fungsi partai
politik dalam negara demokratis dan
negara berkembang. Partai politik dalam
negara demokratis menyelenggarakan
beberapa fungsi:
1. Sebagai sarana komunikasi politik
2. Sebagai sarana sosialisasi politik
3. Sebagai sarana rekrutmen politik
4. Sebagai sarana pengatur konflik
Sementara, partai politik untuk Negara
Berkembang terdapat tiga fungsi pokok,
yaitu:
1. Dukungan basis massa yang stabil
2. Sarana integrasi dan mobilisasi
3. Memelihara kelangsungan kehidupan
politik
151
ERNANDIA PANDIKAR
Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia
Landasan Historis Kepartaian
1.
Partai Politik
Pergerakan
Pada
kemerdekaan Indonesia, seperti yang
diperjuangkan oleh Parpol Indische partij.
Masa
Dalam sejarah Indonesia, keberadaan
Parpol di Indonesia diawali dengan
didirikannya Organisasi Boedi Oetomo
(BO) pada tahun 1908 di Jakarta oleh dr.
Wahidin Soediro Hoesodo dkk. Walaupun
pada waktu itu BO belum bertujuan ke politik
murni, tetapi keberadaan BO sudah diakui
para peneliti dan pakar sejarah Indonesia
sebagai perintis organisasi modern. Dengan
kata lain, BO merupakan cikal bakalnya
organisasi massa atau organisasi politik
di Indonesia. Perkembangan menjadi
lebih pesat manakala Indische Partij
(IP) memperjuangkan “kemerdekaan
Indonesia”
berdasarkan
kebangsaan
Indierschap. Parpol yang aktif pada masa
pergerakan ini yaitu Indische Partij yang
didirikan oleh Dr. E.E.F. Douwes Dekker
di Bandung pada tanggal 25 Desember
1912. Yang bertujuan melanjutkan
Indische Bond yang telah ada sejak 1898
sebagai organisasi Kaum Indo peranakan
di Indonesia.
Seorang Indo sebagai perumus
gagasan yaitu Dr. E.E.F. Douwes
Dekker yang kemudian terkenal dengan
nama Danudirdja Setiabudhi. Adanya
diskriminasi antara kaum Indo peranakan
dan Belanda baik dalam gaji maupun
perlakuan lainnya menyebabkan timbulnya
pergolakan jiwa di kalangan kaum Indo.
Lalu bertekad mendirikan perkumpulan
yang radikal yang berusaha meleburkan
diri
dengan
masyarakat
pribumi.
Terutama adanya ancaman yang sama
yaitu penindasan kolonial. (Kartodirdjo,
1975: 189). Partai Politik pada zaman prakemerdekaan pada umumnya bertujuan
untuk
memperjuangkan
tercapainya
2. Parpol Di Masa Pendudukan
Jepang
Setelah Perang Pasifik berjalan 3 bulan,
pada bulan Maret 1942 tentara Jepang
dipimpin Jendral Imamura mendarat
di Pulau Jawa. Dengan semboyan
“kemakmuran bersama” dan “Asia
untuk bangsa Asia”, banyaklah di antara
pemimpin-pemimpin Indonesia yang
terpikat hatinya oleh Jepang. Kedatangan
bangsa Jepang yang sesungguhnya
menggantikan kedudukan penjajahan
Belanda, disambut dengan gembira karena
kepemimpinan Belanda diambil alih oleh
Jepang.
Pada masa pemerintahan Jepang
Parpol dilarang, kecuali Masyumi boleh
berkembang. Untuk memuaskan bangsa
Indonesia, Jepang mengatur strategi yaitu
kota-kota di Indonesia yang sejak zaman
Belanda diganti dengan nama Belanda,
lalu diganti lagi dengan nama Indonesia
asli. Penyaringan Politik Ketika Jepang
bertindak sewenang-wenang, berbuat
sangat kejam dan hidup kemewahan,
sedang ribuan rakyat Indonesia yang mati
kelaparan dan dipaksa menjadi budak
romusha yang menderita. Beberapa
golongan bangsa Indonesia yang tidak
tahan lagi melihat kekejaman Jepang lalu
memberontak, seperti pemberontakan
PETA di Blitar, Tasikmalaya, Cirebon, dan
Kalimantan Barat.
Setelah peristiwa tersebut terjadi,
rakyat Indonesia terutama pemudanya
yang sudah mendapat latihan militer
menyadari bahwa nasib bangsa Indonesia
yang dijajah oleh siapa pun sama berat
rasanya. Maka dari itu bulatlah tekad
mereka untuk merebut kemerdekaan.
152
MORES:
Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
Memperjuangan
kemerdekaan
membuat pemimpin-pemimpin nasional
kita sadar bahwa jalannya pelaksanaan
suatu proklamasi kemerdekaan bukan
hanya
tergantung
dari
semangat
bangsanya sendiri, tetapi juga sikap
dunia internasional terhadapnya, terlebih
pula karena kekuatan kita di lapangan
teknik modern masih kurang dan aparat
teknis modern selama masa pendudukan
mengalami kemerosotan yang tidak
kecil. Akan tetapi angkatan muda
menyadari bahwa bagaimanapun juga saat
kemerdekaan sudah tidak dapat diundurundur lagi, sistem pemerintahan kolonial
tak dapat diterima lagi.
Pada masa pemerintahan balatentara
Jepang,
semua
organisasi
politik
dibubarkan, sehingga praktis pada saat
Proklamasi Kemerdekaan secara formal
tidak ada partai politik. Pada pokoknya,
pengorganisasian yang aneka ragam dasar
perjuangannya itu disebabkan antara lain
oieh.
3. Awal Perkembangan Parpol Pada
Masa Kemerdekaan
Dalam perjuangan mempertahankan
dan mengisi kemerdekaan, rakyat tidak
hanya menyusun pemerintahan dan
militer yang resmi, tetapi juga menyusun
laskar atau badan perjuangan bersenjata
dan organisasi politik. Pada zaman
kemerdekaan ini, partai politik tumbuh
di Indonesia ibarat tumbuhnya jamur di
musim hujan, dengan berbagai haluan
ideologi politik yang berbeda satu sama
lain. Hal ini dikarenakan adanya maklumat
Pemerintah RI tanggal 3 November
1945 yang berisi anjuran mendirikan
partai politik dalam rangka memperkuat
perjuangan kemerdekaan. Diantaranya
yaitu: 1. Partai Sosialis; 2. Partai Komunis
Indonesia (PKI); 3. Partai Buruh Indonesia;
4. Partai Rakyat Jelata atau Murba; 5.
Masyumi; 6. Serindo – PNI
4. Parpol Di Masa UUDS 1950 –
1959
Dalam sistem politik menurut UUDS
1950 peranan partai-partai besar sekali.
Antara partai politik dan DPR saling
terdapat ketergantungan, karena anggota
DPR umumnya adalah orang-orang partai.
Dalam tahun-tahun pertama sesudah
pengakuan kedaulatan, orang berpendapat
bahwa partai merupakan tangga ketenaran
atau kenaikan kedudukan seseorang.
Pemimpin-pemimpin partai akan besar
pengaruhnya terhadap pemerintahan
baik di pusat maupun di daerah-daerah
dan menduduki jabatan tinggi dalam
pemerintahan meskipun pendidikannya
rendah. Partai politik pada zaman liberal
diwarnai suasana penuh ketegangan
politik, saling curiga mencurigai antara
partai politik yang satu dengan partai
politik lainnya. Hal ini mengakibatkan
hubungan antar politisi tidak harmonis
karena hanya mementingkan kepentingan
(Parpol) sendiri.
5. Partai Politik Pada Masa Orde
Lama
Dengan dikeluarkannya maklumat
pemerintah pada tanggal 3 November 1945
yang menganjurkan dibentuknya Parpol,
sejak saat itu berdirilah puluhan partai.
Maklumat ini ditandatangani oleh Wakil
Presiden Mohammad Hatta. Atas usul
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat yang meminta diberikannya
kesempatan pada rakyat yang seluasluasnya untuk mendirikan Partai Politik.
Partai Politik hasil dari Maklumat
Pemerintah tanggal 3 November 1945
153
ERNANDIA PANDIKAR
Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia
berjumlah 29 buah, dikelompokkan dalam
4 kelompok partai berdasarkan Ketuhanan,
Kebangsaan, Marxisme, dan Kelompok
partai lain-lain yang termasuk partai lainlain adalah Partai Demokrat Tionghoa
Indonesia dan Partai Indo Nasional.
Partai-partai peserta pemilu yang
tidak berhasil meraih kursi disebut sebagai
“Partai Gurem” atau partai yang tidak jelas
power base-nya. Parta-partai Gurem itu
semakin lama semakin tidak terdengar
lagi suaranya. Sementara itu partai
yang berhasil meraih kursi melakukan
penggabungan-penggabungan
dalam
pembentukan fraksi. Sampai dengan tahap
ini perkembangan kepartaian mengalami
proses seleksi alamiah berdasarkan
akseptabilitas masyarakat.
Jumlah partai yang semula puluhan
banyaknya, terseleksi sehingga menjadi
belasan. Jumlah yang mengecil itu
bertahan sampai dengan berubahnya
iklim politik dari alam demokrasi liberal
ke alam demokrasi terpimpin. Proses
penyederhanaan partai berlangsung terusmenerus. Pada tanggal 5 Juli 1960 Presiden
Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden
No.13 tahun 1960 tentang pengakuan,
pengawasan, dan pembubaran partaipartai. Pada tanggal 14 April 1961 Presiden
Sukarno
mengeluarkan
Keputusan
Presiden no. 128 tahun 1961 tentang partai
yang lulus seleksi, yaitu PNI, NU, PKI,
partai Katolik, Pertindo, Partai Murba,
PSII, Arudji, dan IPKI dan 2 partai yang
menyusul yaitu Parkindo dan partai Islam
Perti.
Jadi pada waktu itu, parpol yang boleh
bergerak hanya 10 partai saja, karena
parpol yang lain dianggap tidak memenuhi
definisi tentang partai atau dibubarkan
karena tergolong partai gurem. Tetapi
jumlah partai yang tinggal 10 buah itu
berkurang satu pada tahun 1964. Presiden
Sukarno atas desakan PKI dan antekanteknya, membubarkan Partai Murba
dengan alasan Partai Murba merongrong
jalannya revolusi dengan cara membantu
kegiatan terlarang seperti BPS (Badan
Pendukung Sukarnoisme) dan Menikebu
(Manifesto Kebudayaan).
6. Partai Politik Pada Masa Orde
Baru
Perkembangan partai politik setelah
meletus G.30S/PKI, adalah dengan
dibubarkannya PKI dan dinyatakan
sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
Menyusul setelah itu Pertindo juga
menyatakan bubar. Dengan demikian
partai politik yang tersisa hanya 7 buah.
Tetapi jumlah itu bertambah dua dengan
direhabilitasinya Murba dan terbentuknya
Partai Muslimin Indonesia. Golongan
Karya yang berdiri pada tahun 1964,
semakin jelas sosoknya sebagai kekuatan
sosial politik baru. Dalam masa Orde Baru
dengan belajar dari pengalaman Orde Lama
lebih berusaha menekankan pelaksanaan
Pancasila secara murni dan konsekuen.
Orde Baru berusaha menciptakan
politik dengan format baru. Artinya
menggunakan sistem politik yang lebih
sederhana dengan memberi peranan ABRI
lewat fungsi sosialnya. Kristalisasi Parpol,
suara yang terdengar dalam MPR sesudah
pemilu 1971 menghendaki jumlah partai
diperkecil dan dirombak sehingga partai
tidak berorientasi pada ideologi politik,
tetapi pada politik pembangunan.
Presiden Suharto juga bersikeras
melaksanakan perombakan tersebut.
Khawatir menghadapi perombakan dari
154
MORES:
Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
atas, partai-partai yang berhaluan Islam
meleburkan diri dalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan partai-partai non
Islam berfungsi menjadi Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Dengan demikian
semenjak itu di Indonesia hanya terdapat
tiga buah organisasi sosial politik, yaitu
PPP, Golkar, dan PDI.
a. Perkembangan Partai Masa PPP
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Pada tanggal 5 Januari 1973 terbentuk Partai
Persatuan Pembangunan yang merupakan
fusi dari NU, Pamusi, PSII, dan Perti. Pada
awalnya bernama golongan spiritual, lalu
menjadi kelompok persatuan, serta Fraksi
Persatuan Pembangunan. Ketika itu partaipartai Islam berusaha menggunakan nama
dengan label Islam untuk partai dari
fusi, tetapi ada imbauan dari pemerintah
agar tidak menggunakannya sehingga
yang muncul adalah “Partai Persatuan
Pembangunan”. Dengan demikian PPP
lahir sebagai hasil fusi dari partai-partai
Islam pada awal 1973 yang sesungguhnya
adalah partai Islam yang mulai tercabut
dari akar-akar sejarahnya.
b. Perkembangan
Golkar
Partai
Masa
Golongan
Karya
(Golkar)
Pengorganisasian Golkar secara teratur
dimulai sejak tahun 1960 dengan dipelopori
ABRI khususnya ABRI-AD, dan secara
eksplisit organisasi ini lahir pada tanggal
20 Oktober 1964 dengan nama Sekretariat
Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar),
dengan tujuan semula untuk mengimbangi
dominasi ekspansi kekuasaan politik PKI,
serta untuk menjaga keutuhan eksistensi
Negara Kesatuan Republik Indonesia
17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945. Jadi semula Golkar
merupakan organisasi yang dipakai untuk
mengimbangi kekuatan ekspansasi politik
PKI pada tahun1960-an, yang kemudian
terus berkembang hingga saat ini, di mana
fungsi Golkar sama seperti partai politik.
Pada perkembangan lebih lanjut
Golkar sebagai kekuatan Orde Baru
bertekad melaksanakan, mengamalkan,
dan melestarikan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen, dengan
melaksanakan pembangunan di segala
bidang menuju tercapainya masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945. Perkembangan Golkar pada
Orde Baru adalah sebagai kekuatan sosial
politik yang merupakan aset bangsa yang
selalu komit dengan cita-cita pembangunan
nasional. Dalam rel politik orde baru,
Golkar merupakan kekuatan sosial politik
yang terbesar dengan berulangkali menang
dalam pemilihan umum (1971, 1977, 1982,
1992, 1996)
c. Perkembangan Partai Masa PDI
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
dibentuk pada tanggal 10 Januari 1973.
Pembentukan PDI sebagai hasil fusi
dari lima partai politik yang berpaham
Nasionalisme, Marhaenisme, Sosialisme,
Kristen Protestan dan Kristen Katolik.
Kelima partai politik yang berfusi menjadi
PDI adalah PNI, TPKI, Parkindo, Partai
Murba, dan Partai Katolik. Dalam sejarah
sebagai organisasi sosial politik, PDI sering
berhadapan dengan masalah pertentangan/
konflik di kalangan pemimpinnya.
Pada hakikatnya potensi konflik hanya
salah satu masalah yang dihadapi PDI.
Sejumlah masalah yang lain juga dihadapi,
seperti masalah identitas partai (khususnya
sejak Pancasila ditetapkan sebagai asas
tunggal), masalah kemandirian, demokratis
di tubuh partai, dan masalah rekruitasi.
155
ERNANDIA PANDIKAR
Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia
Dan berkat Rahmat Tuhan Yang Maha
Esa, kini sistem kepartaian negara kita
telah dalam situasi mantap, di mana ketiga
kekuatan sosial politik yang ada, yaitu
PPP, Golkar, dan PDI telah menjadikan
Pancasila sebagai satu-satunya asas.
7. Partai Politik Era Reformasi
Era Reformasi yang melahirkan
sistem multi-partai ini sebagai titik
awal pertumbuhan partai yang didasari
kepentingan dan orientasi politik yang
sama di antara anggotanya. Kondisi yang
demikian ini perlu dipertahankan, karena
Partai Politik adalah alat demokrasi untuk
mengantarkan rakyat menyampaikan
artikulasi kepentingannya. Tidak ada
demokrasi sejati tanpa Partai Politik. Meski
keberadaan Partai Politik saat ini dianggap
kurang baik, bukan berarti dalam sistem
ketatanegaraan kita menghilangkan peran
dan eksistensi Partai Politik. Keadaan
Partai Politik seperti sekarang ini hanyalah
bagian dari proses demokrasi.
Dalam kondisi kepartaian yang seperti
ini, Pemilihan Umum 2004 digelar dengan
bersandar kepada Undang-undang No.
31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Dalam perjalanannya, undang-undang ini
dianggap belum mampu mengantarkan
sistem
kepartaian
dan
demokrasi
perwakilan yang efektif dan fungsional.
Undang-undang ini juga belum mampu
melahirkan Partai Politik yang stabil dan
akuntabel. Masyarakat juga masih belum
percaya pada keberadaan Partai Politik,
padahal fungsi Partai Politik salah satunya
adalah sebagai alat artikulasi kepentingan
rakyat. Untuk menciptakan Partai Politik
yang efektif dan fungsional diperlukan
adanya kepercayaan yang penuh dari
rakyat.
Tanpa dukungan dan kepercayaan
rakyat, Partai Politik akan terus dianggap
sebagai pembawa ketidakstabilan politik
sehingga kurang berkah bagi kehidupan
rakyat. Untuk menciptakan sistem politik
yang memungkinkan rakyat menaruh
kepercayaaan,
diperlukan
sebuah
peraturan perundang-undangan yang
mampu menjadi landasan bagi tumbuhnya
Partai Politik yang efektif dan fungsional.
Dengan kata lain, diperlukan perubahan
terhadap peraturan perundang-undangan
yang mengatur sistem Politik Indonesia
yakni Undang-undang No. 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik, Undang-undang
No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD,
Undang-undang No. 23 tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden, dan Undang-undang
No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Dinamika Partai Politik VS Budaya
Politik Bangsa
1. Dinamika Partai Politik
Definisi tentang partai politik awal
muncul pada abad ke-19. Menurut Lijpahart
(2000:731) partai politik diartikan suatu
organisasi yang berusaha memenagkan
jabatan publik dalam suatu persaingan
di daerah pemilihan dengan satu atau
lebih organisasi serupa. Pendapat lain
adalah Schlesinger dalam karyanya “Party
Unit” (1968) mengasumsikan tiga jenis
organisasi yang biasanya menjadi acuan
sebagai partai politik, yaitu:
a. Organisasi yang terlalu kecil dan
tidak dapat membuat perubahan yang
realistis untuk memenangkan jabatan
156
MORES:
Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
publik, terutama posisi eksekutif,
walaupun tetap mencalonkan kandidat
dan berpartisipasi dalam kampanye
pemilihan.
b. Partai yang revolusioner, biasanya
bertujuan
untuk
menghilangkan
pemilihan yang kompetitif
c. Kelompok-kelompok yang memerintah
dalam pemerintahan yang otoriter
ataupun totaliter, biasanya hanya
memliki satu partai politik.
Menurut Miriam Budiardjo, partai
politik adalah organisasi yang mempunyai
kegiatan
yang
berkesinambungan.
Dengan kata lain, masa periode hidupnya
tak bergatung pada masa jabatan para
pemimpinnya. Kemudian, organisasi yang
terbuka dan permanen tidak hanya berada
di tingkat pusat tetapi juga di tingkat lokal.
Partai pemimpin di tingkat pusat maupun
lokalmemiliki keinginan kuat untuk
mencari dan mempertahankan kekuasaan
dalam rangka membuat keputusan politik
secara sendiri maupun dengan berkoalisi
dengan partai lain dan melakukan kegiatan
mencari dukungan dari para pemilih
melalui pemilihan umum atau dengan cara
lain.
Sedangkan menurut UU Partai Politik
No.31 tahun 2002 mengemukakan partai
politik adalah organisasi politik yang
dibentuk oleh sekelompok warga negara
Republik Indonesia secara sukarela atas
dasar persamaan kehendak dan cita-cita
untuk memperjuangkan kepentingan
anggota, masyarakat, bangsa, dan negara
melalui pemilihan umum.
2. Sistem Kepartaian
Menurut Rusadi (1992) ada tiga jenis
pokok sistem kepartaian, yaitu:
a. Sistem Multipartai (sistem banyak
partai)
Pada sistem ini, mayortas mutlak
dalam lembaga perwakilan rakyat dibentuk
atas dasar kerjasama dua kekuatan atau
lebih. Sistem multi partai tumbuh oleh dua
sebab:
-
Kebebasan dalam pembentukan partaipartai politik
-
Sistem pemilihan umum proporsional
b. Sistem dua partai (sistem partai dua)
Sistem ini mayoritas mutlak dalam
lembaga perwakilan rakyat selalu dikuasai
oleh salah satu dari dua kekuatan politik
terbesar secara bergiliran menurut hasil
pemilihan umum. Menurut pengamatan,
sistem dua partai merupakan hasil
implementasi sistem pemilihan umum
distrik.
c. Sistem satu partai
Sistem ini, kepartaian dalam negara
hanya terdapat satu partai terbesar yang
menguasai mayoritas secara terus menerus
samping partai-partai kecil lainnya. Sistem
ini terjadi karena dua sebab, yaitu:
-
Keharusan konstitusional dalam negara
yang bersangkutan.
-
Kondisi sosial-politik di mana hanya
terdapat satu partai politik yang
dominan terus menerus.
Sistem satu partai akan selalu
menumbuhkan corak pemerintahan yang
diktator.
2. Budaya Politik Bangsa
Budaya politik adalah salah satu
komponen terpenting dalam sistem politik.
Budaya politik menunjukkan ciri khas dari
perilaku politik yang ditampilkan oleh
individu yang terintegrasi dalam beberapa
157
ERNANDIA PANDIKAR
Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia
kelompok dalam masyarakat. Budaya
politik dapat dipandang sebagai landasan
sistem politik, yang memberi jiwa atau
warrna pada sistem politik, atau yang
memberi arah pada peran-peran politik
yang dilakukan oleh struktur politik.
Ada pengertian beragam tentang
budaya politik. Beberapa di antaranya
adalah sebagai berikut:
a. Budaya politik adalah sikap orientasi
warga negara terhadap sistem politik
dan aneka ragam bagiannya, dan sikap
terhadap peranan warga negara di
dalam sistem itu (G. A. Almond dan S.
Verba (1991:21)).
b. Budaya politik adalah pandangan
politik yang mempengaruhi sikap,
orientasi, dan pilihan politik seseorang.
Budaya politik lebih mengutamakan
dimensi psikologis dan suatu sistem
politik, yaitu sikap, sistem kepercayaan,
simbol yang dimiliki individu dan yang
dilaksanakannya dalam masyarakat
(Marbun, 2005:84).
c. Budaya politik adalah keyakinan,
sikap, nilai, ide-ide, sentimen, dan
evaluasi suatu masyarakat tentang
sistem politik negeri mereka dan peran
masing-masing individu dalam sistem
itu (Larry Diamond, 2003:207).
d. Budaya politik adalah sikap dan
orientasi warga suatu negara terhadap
kehidupan pemerintahan negara dan
politiknya (Mochtar Masoed dan Colin
MacAndrews, 1986:41).
e. Budaya politik adalah suatu konsep yang
terdiri-dari sikap, keyakinan, nilai-nilai
dan keterampilan yang sedang berlaku
bagi seluruh anggota masyarakat,
termasuk
pola
kecenderungankecenderungan khusus serta polapola kebiasaan yang terdapat pada
kelompok-kelompok dalam masyarakat
(Almond dan Powell, 1966:23).
f. Budaya politik sebagai pola tingkah
laku individu dan orientasinya terhadap
kehidupan politik yang dihayati oleh
para anggota sistem politik. (Rusadi
Kantaprawira)
Dari berbagai definisi di atas, tampak
bahwa budaya politik menunjuk pada
orientasi dan tingkah laku individu/
masyarakat terhadap sistem politik.
Menurut Almond dan Verba, masyarakat
mengidentifikasikan dirinya terhadap
simbol-simbol dan lembaga-lembaga
kenegaraan berdasarkan orientasi yang
dimilikinya. Dengan orientasi itu anggota
masyarakat memiliki dan mempertanyakan
tempat dan peranan mereka dalam sistem
politik.
Ada dua tingkat orientasi politik,
yaitu di tingkat masyarakat dan di tingkat
individu. Orientasi masyarakat secara
keseluruhan tidak dapat lepas dan orientasi
individual. Menurut Almond dan Powell,
orientasi individu terhadap sistem politik
dapat dilihat dan tiga komponen, yaitu:
orientasi kognitif, orientasi afektif, dan
orientasi evaluatif.
a. Orientas Koginitif meliputi berbagai
pengetahuan dan keyakinan tentang
sistem politik. Aspek pengetahuan
berkaitan dengan, misalnya tingkat
pengetahuan seseorang mengenai
jalannya sistem politik, tokoh-tokoh
pemeritahan, kebijakan yang mereka
ambil atau simbol-simbol yang
dimiliki oleh sistem politiknya secara
keseluruhan seperti ibukota negara,
lambang negara, kepala negara, batas
negara, mata uang, dan lain-lain.
b. Orientasi Afektif menunjuk pada aspek
perasaaan atau ikatan emosional
158
MORES:
Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
seorang individu terhadap sistem
politik; jadi, menyangkut feeling
terhadap sistem politik. Seorang
individu mungkin mempunyai perasaan
khusus terhadap aspek-aspek sistem
politik tertentu yang dapat membuatnya
menerima atau menolak sistem politik
itu secara keseluruhan. Dalam kaitan
ini, agaknya sikap-sikap yang telah
lama tumbuh dan berkembang dalam
keluarga atau Iingkungan hidup
seseorang umumnya berpengaruh
terhadap pembentukan perasaan warga
negara yang bersangkutan.
c. Orientasi Evaluatif berkaitan dengan
penilaian moral seseorang terhadap
sistem politik; selain itu, juga menunjuk
pada komitmen terhadap nilai-nilai dan
pertimbangan-pertimbangan politik
(dengan menggunakan informasi
dan perasaan) tentang kinerja sistem
politik (Larry Diamond, 2003:207).
Di sini, norma-norma yang dianut
dan disepakati bersama menjadi dasar
sikap dan penilaiannya terhadap sistem
politik.
3. Tipe-Tipe Budaya Politik
a. Parochial
Political
Culture
(Budaya Politik Parokial)
Kebudayaan politik parokial relatif
berlangsung dalam sistem tradisional.
Tidak ada peran-peran politik yang
bersifat khusus dalam masyarakat. Elite
tradisional seperti kepala kampung, kepala
suku, dan dukun (orang pinter) berperan
dominan dalam politik dan ekonomi
serta keagamaan. Sedangkan, peran
masyarakat tidak terpisah dan orientasi
religius dan sosial mereka. Sehingga,
secara umum bersifat sentralistik dan
jauh dani harapan adanya perubahan
yang signifikan (berarti). Kebudayaan
politik parokial dalam sistem politik yang
diferensiatif (modern) lebih bersifat afektif
dan normatif daripada kognitif. Elite
politik bisa saja mengerti dampak negatif
rezim sentralistik tapi perasaan mereka
cenderung tidak pasti/tegas. Dengan
tetap memberlakukan norma-norma yang
mengatur hubungannya dengan sistem
sentralistik tersebut.
Menurut Rusadi Kantaprawira, budaya
politik parokial biasanya terdapat dalam
sistem politik tradisional dan sederhana,
dengan ciri khas yaitu belum adanya
spesialisasi tugas atau peran, sehinggga
para pelaku politik belum memiliki
peranan yang khusus. Dengan kata lain,
satu peranan dilakukan bersamaan dengan
peranan yang lain. Misalnya, aktivitas
dan peranan pelaku politik dilakukan
bersamaan dengan perannya dalam bidang
kehidupan Iainnya seperti bidang ekonomi
dan agama.
Di dalam budaya politik parokial,
masyarakat tidak menaruh minat terhadap
objek-objek politik secara sepenuhnya.
Adapun yang menonjol dalam politik
parokial adalah adanya kesadaran anggóta
masyarakat akan adanya pusat kekuasaan
di dalam masyarakat yang dipegang oleh
kepala’adat atau kepala suku. Selain
sebagai pemimpin politik, kepala adat
atau kepala suku berperan juga sebagai
pemimpin agama, dan pemimpin sosial.
Demikian dapat disimpulkan bahwa
budaya politik parokial tidak dijumpai
spesialisasi tugas dan peran dalam kegiatan
poIitik. Kalaupun mungkin ada, dalam
intensitas atau kadar rendah, sehingga
tingkat partisip politik masyarakatnya pun
masih rendah.
Sedangkan menurut Mochtar Masoed
dan Colin MacAndrews, (1986:42).
159
ERNANDIA PANDIKAR
Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia
menyatakan bahwa budaya politik parokial
menunjuk pada “orang-orang yang sama
sekali tidak menyadari dan mengabaikan
adanya pemerintahan dan politik”. Mereka
ini mungkin buta huruf, tinggal di desa
yang terpencil, atau mungkin neneknenek
tua yang tidak tanggap terhadap hak pilih
dan mengungkung diri dalam kesibukan
keluarga”. Mereka kebanyakan juga
bermata-pencaharian sebagai petani dan
buruh tani yang hidup dan bekerja di
perkebunan-perkebunan di mana kontak
dengan sistem politik kecil sekali.
b. Subject Political Culture (Budaya
Politi Subjek)
Menurut Mochtar Masoed dan Colin
MacAndrews, (1986:42), budaya politik
subjek menunjuk pada “orang-orang yang
secara pasif patuh pada pejabat-pejabat
pemerintahan
dan
Undang-undang
tetapi tidak melibatkan dirinya dalam
politik ataupun memberikan suara dalam
pemilihannya”.
Menurut Rusadi Kantanprawira dalam
budaya politik ini anggota masyarakat
telah mempunyai minat, perhatian,
mungkin juga kesadaran, terhadap sistem
sebagai keseluruhan, terutama terhadap
aspek output alias keputusan-keputusan
politik yang diambil akan tetapi, frekuensi
perhatiannya terhadap sistem politik
sangat rendah terutama pada aspek input,
sementara kesadarannya sebagai aktor
politik boleh dikatakan belum tumbuh.
c. Participant PolitIcal Culture
(Budaya Poiltik Partisipan)
Budaya politik partisipan adalah suatu
bentuk budaya di mana anggota masyarakat
cenderung diorientasikan secara eksplisit
terhadap sistem sebagai keseluruhan
dan terhadap struktur dan proses politik
serta administratif (Almond dan Verba,
1984:22). Budaya politik ini ditandai oleh
adanya kesadaran bahwa dirinya ataupun
orang lain sebagai anggota aktif dalam
kehidupan politik. ini menunjuk pada
orang-orang yang politik melibatkan diri
dalam kegiatan politik, paling tidak dalam
kegiatan pemberian suara (voting) dan
memperoleh informasi yang cukup banyak
tentang kehidupan politik. Seseorang
dengan sendirinya menyadari setiap
hak dan kewajibannya, dan dapat pula
merealisasikan dan menggunakan hak
serta menanggung kewajibannya. Tidak
diharapkan seseorang menerima begitu
saja keadaan, berdisiplin mati, tunduk
terhadap keadaan. Itu tidak lain karena
ia merupakan salah satu mata rantai aktif
proses politik. Dengan demikian, seseorang
dalam budaya politik partisipan dapat
menilai dengan penuh kesadaran baik
sistem sebagai totalitas, input dan output,
maupun posisi dirinya sendiri.
4. Budaya Politik Indonesia
Ada beragam pandangan mengenai
budaya politik Indonesia, diantaranya
sebagai berikut:
a. Herbert Feith, seorang Indonesianis
dan Australia, mengemukakan bahwa
Indonesia memiliki dua budaya politik
yang dominan, yaitu aritokrasi jawa
dan wiraswasta Islam.
b. Clifford Geertez, orang Indonesianis
asal Amerika Serikat, berpendapat
berbeda. Ia membedakan masyarakat
Jawa ke dalam tiga sub-budaya,
yaitu santri, abangan dan priyayi.
Abangan menunjuk pada golongan
petani kecil; Santri adalah pemeluk
agama Islam yang taat, yang pada
umumnya terdinidan pedagang di kota
160
MORES:
Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
dan petani yang berkecukupan; dan
Priyayi adalah golongan yang masih
memiliki pandangan Hindhu-Budha,
yang kebanyakan terdiri-dari golongan
terpelajar, dan golongan atas penduduk
kota, terutama golongan pegawai.
Bentuk budaya politik Indonesia
sebagaimana dilukiskan oleh para ahli
Barat tersebut bukan-lah “budaya politik
Indonesia”;
melainkan,
merupakan
“subbudaya politik atau budaya politik
subnasional”.
Alasannya,
semuanya
itu adalah bagian dan budaya politik
Indonesia, sama dengan sub-subbudaya
politik lainnya. Dengan demikian, semua
bentuk subbudaya politik yang ada di
tanah air adalah budaya politik Indonesia.
Ini berarti, budaya politik Indonesia masih
berupa kombinasi dan semua subbudaya
politik baik dalam arti hasil pengelompokan
sosial kultural seperti dikemukakan oleh
Feith dan Geertz, maupun budaya politik
daerah yang diangkat ke tingkat nasional
oleh para pelaku politik (Sjamsuddin,
1999:30).
Sedangkan Affan Gaffar menyatakan
bahwa sangat sulit mengindentifikasi wujud
budaya politik Indonesia. Menurutnya yang
dapat dilakukan adalah menggambar pola
budaya politik dominan yang berasal dari
kelompok etnis dominan yaitu kelompok
etnis jawa. Menurutnya etnis ini sangat
mewarnai sikap, perilaku dan orientasi
politik kalangan elit politik Indonesia.
Namun Afan Gaffar mengatakan bahwa
budaya politik Indonesia memiliki tiga ciri
dominan sebagai berikut:
a Hirarki yang Tegar/Ketat
Masyarakat Jawa. Sebagian besar
masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya
bersifat hirarkis. Stratifikasi sosial yang
hirarkis mi tampak dan adanya pemilahan
tegas antara penguasa (Wong gede)
dengan rakyat kebanyakan (Wong cilik).
Masing-masing terpisah melalui tatanan
hirarkis yang sangat ketat. Alam pikiran
dan tatacara sopan santun diekspresikan
sedemikian rupa sesuai dengan asal-usul
kelas masing-masing.
Penguasa dapat menggunakan bahasa
“kasar” kepada rakyat kebanyakan.
Sebaliknya, rakyat harus mengekspresikan
din kepada penguasa dalam bahasa
“halus”.
Dalam kehidupan politik, penganuh
stratifikasi sosial semacam itu antara lain
tercermin pada cara penguasa memandang
diri dan rakyatnya. Mereka cenderung
melihat dirinya sebagai pamong guru
/ pendidik bagi rakyat. Mereka juga
mencitrakan diri sebagai kelompok
yang pemurah, baik hati, dan pelindung.
Namun, sebaliknya, mereka cenderung
merendahkan rakyatnya; karena penguasa
sangat baik, pemurah dan pelindung,
sudah seharusnya rakyat patuh, tunduk,
setia dan taat kepada penguasa negara.
Implikasi negatif lainnya dapat
dilihat dalam soal kebijakan publik.
Yang membentuk semua agenda publik,
termasuk merumuskan kebijakan publik,
adalah penguasa/pemerintah, sedangkan
rakyat cenderung disisihkan dan proses
politik. Rakyat tidak diajak berdialog dan
kurang didengar aspirasinya. Namun,
mereka diharapkan bahkan kadang
diwajibkan ikut dalam pelaksanaan
kebijakan tersebut. Hal itu bendampak
pada munculnya gejala “bapakisme”
atau “asal bapak senang” dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Hal itu tentu tidak menguntungkan.
Karena itu, orientasi hirarkis sebaiknya
diganti dengan orientasi yang merakyat.
161
ERNANDIA PANDIKAR
Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia
b. Kecenderungan Patronage
Pola hubungan patronage merupakan
salah satu budaya politik yang menonjol
di Indonesia. Oleh James Scott (1976)
hubungan macam itu disebut sebagai pola
hubungan patron- client. Pola hubungan
ini bersifat individual. Antara dua individu,
yaitu si Patron dan si Client, terjadi interaksi
timbal-balik dengan mempertukarkan
sumber daya yang dimiliki masing-masing.
Si Patron memiliki sumber daya berupa
kekuasaan, kedudukan atau jabatan,
perlindungan, perhatian dan kasih sayang,
bahkan materi (harta kekayaan, tanah
garapan, dan uang); sedangkan si Client
memiliki sumber daya berupa tenaga,
dukungan, dan kesetiaan.
Pola hubungan patron-client tersebut
akan tetap terpelihara selama kedua belah
pihak memiliki sumber daya tersebut.
Kalau tidak demikian, masing-masing
pihak akan mencari orang lain entah
sebagai patron ataupun sebagai klien.
Meski demikian, karena umumnya patron
memiliki sumber daya yang lebih besar
dan kuat, pola hubungan semacam itu
cenderung lebih menguntungkan patron.
Menurut Yahya Muhaimin, dalam
sistem bapakisme (hubungan bapak
anak), “bapak” (patron) dipandang
sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan
kebutuhan material dan bahkan spiritual
serta pelepasan kebutuhan emosional
“anak” (client); sebaliknya, para anak
buah dijadikan tulang punggung bapak.
Mereka cukup setia, bahkan bersedia
mempertaruhkan jiwa dan raga demi sang
bapak.
Dalam masyarakat yang menganut
budaya politik “bapakisme”, karir politik
seseorang bergantung pada kecerdikannya
memelihara dan memanfaatkan hubungan
pribadi dan hubungan politik dengan
pemegang jabatan di tingkat atas. Begitu
juga dalam mendapatkan pekerjaan
dan jabatan-jabatan birokrasi. Dengan
demikian, keabsahan kekuasaan politik
dan wewenang jabatan birokrasi amat
ditentukan oleh sistem hubungan bapakanak buah. Dan mi berarti, konsep
bapakisme merupakan salah satu sumber
legitimasi yang kuat dalam kehidupan
politik bangsa Indonesia.
c. Kecenderungan Neopatrimonialistik
Salah satu kecenderungan dalam
kehidupan politik di Indonesia adalah
adanya kecenderungan munculnya budaya
politik yang bersifat neo-patrimonialistik;
artinya, meskipun memiliki atribut
yang bersifat modern dan rasionalistik
seperti birokrasi, perilaku negara masih
memperlihatkan tradisi dan budaya politik
yang berkarakter patrimonial.
Menurut Max Weber, dalam negara
yang patrimonialistik penyelenggaraan
pemerintahan berada di bawah kontrol
langsung pimpinan negara. Selain itu,
negara patrimonialistik memiliki sejumlah
karakteristik sebagai berikut (Affan Gaffar,
2002:117).
a. kecenderungan untuk mempertukarkan
sumber daya yang dimiliki seorang
penguasa kepada teman-temannya;
b. kebijakan seringkali lebih bersifat
partikularistik
daripada
bersifat
universalistik;
c. rule of law lebih bersifat sekunder bila
dibandingkan kekuasaan penguasa
(rule of man);
d. penguasa
politik
seringkali
mengaburkan antara kepentingan
umum dan kepentingan publik.
162
Dalam kehidupan politik di Indonesia,
MORES:
Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
budaya politik neo-patrimonialistik telah
menyebabkan kekuasaan tidak terkontrol.
Akibatnya, negara menjadi sangat kuat dan
peluang munculnya civil society terhambat.
Pada masa Orde Baru, beberapa contoh
budaya politik neo-patrimonialistik, antara
lain:
1. seorang gubernur membangun rumah
dinas yang sangat besar dan mewah,
dengan biaya sekitar 7,5 milyar.
Kemudian ia juga melaksanakan proyek
kuningisasi untuk semua instansi
pemerintah, bahkan sampai pohonpohon di sepanjang jalan. Sekalipun
mendapatkan kritik dan tantangan
dan berbagai lapisan masyarakat, ia
samasekali tidak peduli.
2. Pola promosi jabatan yang tidak
mengikuti prosedur yang sudah baku.
Misalnya, seorang camat yang telah
berhasil memenangkan Golkar melebihi
target yang ditentukan langsung
memperoleh promosi menjadi Asisten
I Sekwilda Tingkat II; suatu lonjakan
yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
3. anak-anak pejabat menjadi pengusaha
besar karena memanfaatkan jabatan
orangtua mereka, dan memperoleh
perlakuan istimewa.
4. munculnya anak-anak pejabat yang
menempati posisi strategis dan kunci
dalam politik karena proses rekrutmen
politik di Indonesia yang tidak
terbuka.
Kesimpulan
Struktur kepartaian dalam hal ini
politik menurut Bertrand Russel dalam
bukunya Power adalah berkenaan dengan
alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif,
yaitu yang dipengaruhi oleh distribusi
serta penggunaan kekuasaan.
Menurut Budiardjo (2000:35) konsep
kekuasaan merujuk kepada kemampuan
seseorang atau kelompok manusia untuk
mempengaruhi tingkah laku seseorang
atau kelompok lain sedemikian rupa
sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai
dengan keinginan dan tujuan dari orang
yang memiliki kekuasaan itu.
Menurut Mills (1956) memandang
kekuasaan sebagai suatu hubungan di mana
satu pihak menang atas yang lain. Namun
menurut kaum pluralis yang dipelopori oleh
Dahl (1967) dan Polsby (1963) kekuasaan
dijalankan
oleh
kelompok-kelompok
sukarela yang mewakili koalisi-koalisi
kepentingan yang sering tersatukan, baik
oleh suatu isu tunggal maupun beragam
dalam hal kelanggengan secara nyata.
Struktur wilayah ini biasa disebut
wilayah tidak resmi yang terbagi ke dalam
beberapa kelompok sebagai kelompok.
1. Pengelompokan masyarakat atas dasar
persamaan sosial-ekonomi
2. Kelompok masyarakat atas
perbedaan cara dan gaya
dasar
3. Kelompok masyarakat dari kehidupan
politik rakyat
Di wilayah formal/resmi perpolitikan
dapat diuraikan sebagai berikut. Meminjam
dari teori Montesquieu, bahwa kekuasaan
pemerintah dipisah, yang akhirnya terbagi
menjadi Lembaga Legislatif (perumus/
pembuat
undang-undang),
Lembaga
Eksekutif (pelaksana undang-undang,
Lembaga Yudikatif (pelaksana peradilan).
Menurut teori dikotomi, terdapat dua
macam kekuasaan, yaitu : Policy Making
(kekuasaan menetapkan kebijaksanaan
dan
Policy
Executing
(kekuasaan
melaksanakan kebijaksanaan)
163
ERNANDIA PANDIKAR
Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia
Menurut
Charles
(1992)
mengemukakan beberapa fungsi politik,
yaitu:
1. Sosialisasi politik
2. Pendidikan politik
3. Partisipasi politik
4. Agregasi kepentingan
5, Rekrutmen politik
Fungsi-fungsi partai politik bila ditinjau
dari sudut tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan
keseluruhan
masyarakat
secara
2. Tingkatan system politik
3. Tingkatan kehidupan politik
Miriam
Budiardjo
(1998:163)
mengatakan bahwa terdapat perbedaan
fungsi partai politik dalam Negara
demokratis dan Negara berkembang.
Partai politik dalam Negara Demokratis
menyelenggarakan beberapa fungsi:
tahun 1942 tentara Jepang yang
dipimpin Jenderal Imamura.
3. Awal perkembangan partai politik pada
masa kemerdekaan: diawali maklumat
Pemerintah RI pada tgl. 3 November
1945 dalam pembentukan parpol.
4. Partai politik pada masa UUDS 1950 –
1959 : Awal partai politik pada zaman
liberal
5 Partai politik pada masa orde lama :
awal berdiri puluhan partai politik
6 Partai politik pada masa Orde Baru :
diawali dengan dibubarkannya PKI dan
munculnya 3 kekuatan partai politik,
yaitu : PPP, Golkar, PDI
7. Partai politik pada Era Reformasi :
Pada era ini melahirkan sistem multipartai
Menurut Rusadi (1992) ada tiga jenis
pokok sistem kepartaian, yaitu:
1. Sebagai sarana komunikasi politik
1. Sistem Multipartai (sistem banyak
partai)
2. Sebagai sarana sosialisasi politik
2. Sistem dua partai (sistem partai dua)
3. Sebagai sarana rekrutmen politik
3. Sistem satu partai
4. Sebagai sarana pengatur konflik
Budaya politik adalah sikap orientasi
warga negara terhadap sistem politik dan
aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap
peranan warga negara di dalam sistem itu
(G. A. Almond dan S. Verba (1991:21)).
Budaya politik adalah pandangan politik
yang mempengaruhi sikap, orientasi, dan
pilihan politik seseorang. Budaya politik
lebih mengutamakan dimensi psikologis
dan suatu sistem politik, yaitu sikap,
sistem kepercayaan, simbol yang dimiliki
individu dan yang dilaksanakannya
dalam masyarakat (Marbun, 2005:84).
Budaya politik adalah keyakinan, sikap,
nilai, ide-ide, sentimen, dan evaluasi
suatu masyarakat tentang sistem politik
Sementara, partai politik untuk Negara
Berkembang terdapat tiga fungsi pokok,
yaitu :
1. Dukungan basis massa yang stabil
2. Sarana integrasi dan mobilisasi
3. Memelihara kelangsungan kehidupan
politik
Landasan Historis Kepartaian, antara
lain adalah sebagai berikut.
1. Partai Politik Pada Masa Pergerakan:
diawali dengan didirikannya organisasi
Budi Utomo.
2. Partai Politik Pada Masa pendudukan
Jepang: diawali setelah perang pasifik
164
MORES:
Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
negeri mereka dan peran masing-masing
individu dalam sistem itu (Larry Diamond,
2003:207).
Ada dua tingkat orientasi politik,
yaitu di tingkat masyarakat dan di
tingkat individu. Orientasi masyarakat
secara keseluruhan tidak dapat lepas dari
orientasi individual. Menurut Almond dan
Powell, orientasi individu terhadap sistem
politik dapat dilihat dan tiga komponen,
yaitu: orientasi kognitif, orientasi afektif,
dan orientasi evaluatif.
Ada beragam pandangan mengenai
budaya politik Indonesia, diantaranya
sebagai berikut:
1. Herbert Feith, seorang Indonesianis
dan Australia, mengemukakan bahwa
Indonesia memiliki dua budaya politik
yang dominan, yaitu aritokrasi jawa
dan wiraswasta Islam.
2. Clifford Geertez, orang Indonesianis
asal Amerika Serikat, berpendapat
berbeda. Ia membedakan masyarakat
Jawa ke dalam tiga sub-budaya, yaitu
santri, abangan dan priyayi .
Dengan demikian, semua bentuk
subbudaya politik yang ada di tanah air
adalah budaya politik Indonesia. mi berarti,
budaya politik Indonesia masih berupa
kombinasi dan semua subbudaya politik
baik dalam arti hasil pengelompokan
sosial kultural seperti dikemukakan oleh
Feith dan Geertz, maupun budaya politik
daerah yang diangkat ke tingkat nasional
oleh para pelaku politik (Sjamsuddin,
1999:30).
Sedangkan Affan Gaffar menyatakan
bahwa sangat sulit mengindentifikasi wujud
budaya politik Indonesia. Menurutnya yang
dapat dilakukan adalah menggambar pola
budaya politik dominan yang berasal dari
kelompok etnis dominan yaitu kelompok
etnis jawa. Menurutnya etnis ini sangat
mewarnai sikap, perilaku dan orientasi
politik kalangan elit politik Indonesia.
REFERENSI
Alfian dan Nazrudin. 1991. Profil Budaya
Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti
Almond Gabriel A. dan Sidney Verba. 1992.
Budaya Politik Tingkah Laku Politik
dan Demokrasi di Lima Negara.
Terjemahan Saliat Simamora. Jakarta:
Bumi Aksara.
Atmadja
Mochtar
Kusuma.
1982.
Pengantar Hukum Internasional.
Bandung: Bina Cipta.
Atmasasmita, Romli. 2001. Reformasi
Hukum Hak Asasi Manusia dan
Penegakan Hukum. Bandung: Mandar
Maju
Budiharjo Miriam. 1995. Dasar-dasar
Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
MD, Moh. Mahfud. 1998. Politik Hukum di
Indonesia. Jakarta: LP3E
Kantaprawira, Rusadi. 2004. Sistem Politik
Indonesia; Suatu Model Pengantar.
Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Mas’Oed, Mohtar dan Colin Mac Anddrews.
2008. Perbandingan Sistem Politik.
Gajah Mada University Press.
Huntington, Samuel P dan Joan M.
Nelson. 1984. Partisipasi Politik; Tak
Ada Pilihan Mudah. Jakarta: Sangkala
Pulsar.
Feith, Herbert dan Lance Castles. 1995.
Pemikiran Politik Indonesia 19451965, Jakarta: LP3ES
165
ERNANDIA PANDIKAR
Struktur Kepartaian dan Keterkaitannya dalam Budaya Politik Indonesia
Lijphart, Arend. (2000). Partai politik
dalam Adam Kuper dan Jessica
Kuper. Ensiclopedi Ilmu-ilmu sosial.
166
Edisi kedua. Diterjemahkan oleh Haris
Munandar, dkk. Jakarta Raja Grafindo
Persada.
Download