BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Prestasi Belajar Istilah prestasi belajar terdiri dari dua suku kata, yaitu prestasi dan belajar. Istilah prestasi di dalam Kamus Ilmiah Populer (Adi Satrio, 2005: 467) didefinisikan sebagai hasil yang telah dicapai. Belajar dalam arti luas dapat diartikan sebagai suatu proses yang memungkinkan timbulnya atau berubahnya suatu tingkah laku sebagai hasil dari terbentuknya respon utama, dengan syarat bahwa perubahan atau munculnya tingkah baru itu bukan disebabkan oleh adanya kematangan atau oleh adanya perubahan sementara karena sesuatu hal. Menurut Slameto (2003:10) prestasi belajar sebagai suatu perubahan yang dicapai seseorang setelah mengikuti proses belajar. Perubahan ini meliputi perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap, keterampilan dan pengetahuan. Prestasi belajar juga dikemukakan oleh Tu’u (2004) yaitu prestasi belajar adalah hasil belajar yang dicapai siswa ketika mengikuti dan mengerjakan tugas dan kegiatan pembelajaran di sekolah. Prestasi belajar dinilai dari aspek kognitifnya karena bersangkutan dengan kemampuan siswa dalam pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesa dan evaluasi; serta prestasi belajar siswa dibuktikan dan ditunjukkan melalui nilai dari evaluasi yang dilakukan oleh guru terhadap ulangan-ulangan atau ujian yang ditempuh. Menurut Poerwadarminta yang telah dikutip oleh Saiful Bahri Jamarah dalam bukunya Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru berpendapat, bahwa prestasi adalah hal yang telah dicapai (dilakukan, dikerjakan dan sebagainya), sedangkan menurut Mas’ud Khasan Abdul Qohar yang juga telah dikutip oleh Drs. Saiful Bahri berpendapat, bahwa prestasi adalah apa yang telah dapat diciptakan, hasil pekerjaan, hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, penelitian ini sejalan dengan rumusan prestasi belajar menurut Tu’u, maka dapatdirumuskan pengertian prestasi belajar adalah hasil belajar siswa yang dicapai ketika siswan mengikuti dan mengerjakan tugas dan kegiatan pembelajaran di sekolah dinilai dari aspek kognitifnya karena bersangkutan dengan kemampuan siswa dalam pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesa dan evaluasi serta prestasi belajar siswa dibuktikan dan ditunjukkan melalui nilai dari evaluasi yang dilakukan oleh guru. Berdasarkan kajian tentang berbagai pendapat mengenai prestasi belajar yang dikemukakan oleh Adi Satrio (2005), Noehi Nasution (1998), Slameto (2003), Tu’u (2004), WIS. Poerwadarminta dan Mas’ud Khasan Abdul Qohar yang telah dikemukakan maka dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar mahasiswa adalah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dicapai mahasiswa dalam mata kuliah tertentu setelah mahasiswa mengalami proses belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran dalam satu satuan waktu. Tingkat keberhasilan prestasi belajar mahasiswa dapat ditinjau pada indeks prestasi kumulatif dan status akademik. B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah pengaruh faktor eksternal (luar) dan faktor internal (dalam). Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi prestasi belajar peserta didik dapat digolongkan ke dalam faktor sosial dan non-sosial. Faktor sosial menyangkut hubungan antarmanusia yang terjadi dalam berbagai situasi sosial, yang termasuk dalam faktor ini adalah lingkungan keluarga, sekolah, teman dan masyarakat pada umumnya. Dan faktor non-sosial adalah faktor-faktor lingkungan alam dan fisik. Misalnya: keadaan rumah, ruang belajar, fasilitas belajar, buku-buku sumber, dan sebagainya. Sedangkan pengaruh faktor internal ,sekalipun banyak pengaruh atau rangsangan dari faktor eksternal yang mendorong individu belajar, keberhasilan belajar itu akan ditentukan oleh faktor diri (internal) beserta usaha yang dilakukannya. Menurut Brata yang telah dikutip oleh E. Mulyasa dalam bukunya Implementasi Kurikulum 2004, mengklasifikasikan faktor internal mencakup: faktor-faktor fisiologis, yang menyangkut keadaan jasmani atau fisik individu, yang dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu keadaan jasmani pada umumnya dan keadaan fungsi-fungsi jasmani tertentu terutama panca indra, dan faktorfaktor psikologis, yang berasal dari dalam diri seperti intelegensi, minat, sikap, dan motivasi. Maka dari itu hasil belajar yang dilaksanakan dengan evaluasi diakhir pelajaran sangatlah penting, untuk mengukur sejauh mana siswa berhasil dalam proses pembelajaran, serta perbaikan proses pendidikan pada tahap selanjutnya, bila ada dari hasil belajar yang belum begitu dikuasai oleh siswa. C. Sistem Penilaian Perguruan Tinggi Sistem penilaian akhir di perguruan tinggi di Indonesia dilambangkan dengan menggunakan lambang nilai aksara berupa aksara A, AB, B, BC, C, CD, D dan E. Berdasarkan Peraturan Penyelenggaraan Kegiatan Akademik Dalam Sistem Kredit UKSW (2002) lambang nilai, arti dan angka kualitas nilai adalah sebagai berikut : A : bagus sekali, dengan nilai 4,00 per kredit angka kualitas AB : lebih dari bagus, dengan nilai 3,5 per kredit angka kualitas B : bagus, dengan nilai 3,0 per kredit angka kualitas BC : lebih dari cukup, dengan nilai 2,5 per kredit angka kualitas C : cukup, dengan nilai 2,0 per kredit angka kualitas CD :kurang dari cukup,dengan nilai 1,5 per kredit angka kualitas D : kurang, dengan nilai 1,0 per kredit angka kualitas E : gagal, tidak lulus, dengan nilai 0 per kredit angka kualitas T : batal, tanpa angka kualitas DT :ditunda, tanpa angka kulitas Indeks prestasi merupakan alat ukur terhadap hasil studi mahasiswa dalam suatu perkuliahan. Indeks prestasi digunakan untuk mengetahui pencapaian prestasi belajar akademik mahasiswa di perguruan tinggi. Indeks prestasi terdiri dari indeks prestasi semester (IPS) dan indeks prestasi kumulatif (IPK) dengan rumus perhitungan sebagai berikut : = = ℎ ℎ ℎ ℎ ℎ ℎ ℎ ℎ Berdasarkan Peraturan Penyelenggaraan Kegiatan Akademik dalam Sistem Kredit UKSW (2002), pengelompokkan IPK mahasiswa dapat dibedakan dengan jenjang nilai IPK mahasiswa sebagai berikut : Tabel 2.1 Pengelompokan IPK Jenjang IPK < 2,00 2,00 – 2,49 2,50 – 2,74 Predikat Kurang Cukup Baik 2,75 – 2,99 3,00 – 3,49 3,50 – 3,74 3,75 – 3,99 =4,00 Memuaskan Sangat Memuaskan Terpuji ( Cum Laude ) Lebih Dari Terpuji ( Magna Cum Laude ) Sangat Terpuji ( Summa Cum Laude ) D. Gaya Belajar Secara sederhana, gaya belajar siswa atau student learning style dapat diartikan sebagai karakteristik kognitif, afektif, dan perilaku psikologis seorang siswa tentang bagaimana dia memahami sesuatu, berinteraksi dan merespons lingkungan belajarnya, yang bersifat unik dan relatif stabil. Setiap individu memiliki perbedaan dalam memahami dan memproses informasi yang diberikan kepadanya. Perbedaan ini dinamakan dengan gaya belajar yang diartikan sebagai preferensi siswa terhadap proses atau aktivitas di dalam pembelajaran. Gaya belajar menunjukkan cara seorang individu dalam memproses informasi dengan tujuan mempelajari dan menerapkannya. Vermunt (1992) menggunakan istilah gaya belajar sebagai keseluruhan dari tiga domain yaitu proses kognisi dan afeksi terhadap materi, model belajar mental, dan orientasi belajar. Orientasi belajar diartikan sebagai keseluruhan domain yang memuat tujuan, intensi, motif, harapan, sikap dan ketertarikan mengenai individu terhadap proses belajar (Beaty, Dall’Alba, & Marton, 1997). Beberapa ahli membagi gaya belajar melalui perspektif yang bervariasi sehingga didapatkan varian‐varian pembagian gaya belajar. DePorter dan Hernacki (1992) membagi gaya belajar individu berdasarkan jenis tampilan informasi yang diberikan kepada siswa menjadi tiga kategori, antara lain (1) gaya visual yang menjelaskan individu lebih menyukai memproses informasi melalui penglihatan, (2) auditori yang menyukai informasi melalui pendengaran dan (3) kinestetik yang menyukai informasi melalui gerakan, praktek atau sentuhan. Dennis (2003) membagi gaya belajar menjadi beberapa dimensi yangmemiliki bagian yang berbentuk dikotomi antara lain : 1. Dimensi input yang memuat dikotomi antara input visual dan verbal. Inputvisual menunjukkan aktivitas belajar lebih berorientasi pada gambar, diagramdan demonstrasi sedangkan input visual beorientasi pada suara, tulisan, kata-kata dan rumus. 2. Dimensi persepsi yang memuat dikotomi antara persepsi sensori dan intuisi. Persepsi sensori berorientasi pada suara, sensasi fisik, praktis dan metodologis, sedangkan intuitif berorientasi pada memori, ide, insight, teoritis dan akademis. 3. Dimensi organisasi yang menunujukkan bagaimana individu mengorganisasikan informasi yang didapatkan. Dimensi ini memuat dikotomi antara organisasi induksi dan deduksi. Organisasi induksi lebih mengarah pada tahap observasi fakta terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan penyimpulan prinsip, sedangkan organisasi deduksi mengarah pada tahap prinsip terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan praktek. 4. Dimensi pemrosesan yang menunjukkan bagaimana individu memproses informasi yang terbagi menjadi dua kutub, yaitu pemprosesan aktif dan pemprosesan reflektif. Pemprosesan aktif menunjukkan individu lebih cenderung belajar dari pengalaman dan bekerja sama dengan individu lainnya, sedangkan pemrosesan reflektif menunjukkan orientasi individu pada penalaran yang mendalam mengenai informasi dan cenderung bekerja secara individual. 5. Dimensi pemahaman yang menunjukkan bagaimana cara individu memahami informasi. Dimensi ini membelah dua kutub antara kutub sekuensi dan kutub global. Kutub sekuensi menunjukkan pemahaman dilakukan secara bertahap dan lebih banyak menekankan pada penyelesaian masalah tanpa memahami secara keseluruhan. Kutub global menunjukkan orientasi pemahaman lebih mengarah pada sisi integral, mengorganisasikan, dan mensintesis. A. Gaya Belajar Menurut Kolb II Accomodator I Diverger III Convergen IV Assimilator Berbagai literatur tentang belajar dan pembelajaran, kita akan menjumpai sejumlah konsep tentang gaya belajar siswa, dan salah satunya adalah gaya belajar sebagaimana dikemukakan oleh David Kolb, salah seorang ahli pendidikan dari Amerika Serikat, yang mempopulerkan teori belajar “Experiential Learning”.Kolb mengklasifikasikan gaya belajar ke dalam empat kecenderungan utama yaitu: 1. Concrete Experience (CE). Siswa belajar melalui perasaan (feeling), dengan menekankan segi-segi pengalaman kongkret, lebih mementingkan relasi dengan sesama dan sensitivitas terhadap perasaan orang lain. Siswa melibatkan diri sepenuhnya melalui pengalaman baru, siswa cenderung lebih terbuka dan mampu beradaptasi terhadap perubahan yang dihadapinya. 2. Abstract Conceptualization (AC). Siswa belajar melalui pemikiran (thinking) dan lebih terfokus pada analisis logis dari ide-ide, perencanaan sistematis, dan pemahaman intelektual dari situasi atau perkara yang dihadapi. Siswa menciptakan konsep-konsep yang mengintegrasikan observasinya menjadi teori yang sehat, dengan mengandalkan pada perencanaan yang sistematis. 3. Reflective Observation (RO). Siswa belajar melalui pengamatan (watching), penekanannya mengamati sebelum menilai, menyimak suatu perkara dari berbagai perspektif, dan selalu menyimak makna dari hal-hal yang diamati. Siswa akan menggunakan pikiran dan perasaannya untuk membentuk opini/pendapat, siswa mengobservasi dan merefleksi pengalamannya dari berbagai segi. 4. Active Experimentation (AE). Siswa belajar melalui tindakan (doing), cenderung kuat dalam segi kemampuan melaksanakan tugas, berani mengambil resiko, dan mempengaruhi orang lain lewat perbuatannya. Siswa akan menghargai keberhasilannya dalam menyelesaikan pekerjaan, pengaruhnya pada orang lain, dan prestasinya. Siswa menggunakan teori untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Selanjutnya Kolb mengemukakan, bahwa setiap individu tidak didominasi oleh satu gaya belajar tertentu secara absolut, tetapi cenderung membentuk kombinasi dan konfigurasi gaya belajar tertentu, yang diklasifikasikannya ke dalam 4 (empat) tipe: A. Diverger ( Divergen ) Tipe ini perpaduan antara Concrete Experience (CE) dan Reflective Observation (RO), atau dengan kata lain kombinasi dari perasaan (feeling) dan pengamatan (watching). Siswa dengan tipe Diverger memiliki keunggulan dalam kemampuan imajinasi dan melihat situasi kongkret dari banyak sudut pandang yang berbeda, kemudian menghubungkannya menjadi sesuatu yang bulat dan utuh. Pendekatannya pada setiap situasi adalah “mengamati” dan bukan “bertindak”. B. Assimilator ( Asimilasi ) Tipe kedua ini perpaduan antara Abstract Conceptualization (AC) dan Reflective Observation (RO) atau dengan kata lain kombinasi dari pemikiran (thinking) dan pengamatan (watching). Siswa dengan tipe Assimilator memiliki keunggulan dalam memahami dan merespons berbagai sajian informasi serta mengorganisasikan merangkumkannya dalam suatu format yang logis, singkat, dan jelas. Biasanya siswa tipe ini cenderung lebih teoritis, lebih menyukai bekerja dengan ide serta konsep yang abstrak, daripada bekerja dengan orang. C. Converger ( Konvergen ) Tipe ini perpaduan antara Abstract Conceptualization (AC) dan Reflective Observation (RO) atau dengan kata lain kombinasi dari berpikir (thinking) dan berbuat (doing). Siswa mampu merespons terhadap berbagai peluang dan mampu bekerja secara aktif dalam setiap tugas yang terdefinisikan secara baik. Siswa gemar belajar bila menghadapi soal dengan jawaban yang pasti, dan segera berusaha mencari jawaban yang tepat. Dia mau belajar secara trial and error hanya dalam lingkungan yang dianggapnya relatif aman dari kegagalan. D. Accomodator ( Akomodasi ) Tipe ini perpaduan antara Concrete Experience (CE) dan Active Experimentation (AE) atau dengan kata lain kombinasi antara merasakan (feeling) dengan berbuat (doing). Siswa tipe ini senang mengaplikasikan materi pelajaran dalam berbagai situasi baru untuk memecahkan berbagai masalah nyata yang dihadapinya. Kelebihan siswa tipe ini memiliki kemampuan belajar yang baik dari hasil pengalaman nyata yang dilakukannya sendiri. Mereka suka membuat rencana dan melibatkan dirinya dalam berbagai pengalaman baru yang menantang. Dalam usaha memecahkan masalah, mereka biasanya mempertimbangkan faktor manusia (untuk mendapatkan masukan/informasi) dibanding analisa teknis. Mereka cenderung untuk bertindak berdasarkan intuisi/dorongan hati daripada berdasarkan analisa logis, sering menggunakan trial and error dalam memecahkan masalah, kurang sabar dan ingin segera bertindak. Bila ada teori yang tidak sesuai dengan fakta cenderung untuk mengabaikannya. Berdasarkan kombinasi dari keempat gaya belajar di atas, Kolb kemudian membagi menjadi empat preferensi belajar yang diaplikasikan dalam pengukuran dengan menggunakan The Learning Style Inventory (LSI) yang mengidentifikasi empat kategori preferensi belajar yang bersifat ipsatif antara lain, orientasi konseptual, orientasi pengalaman, orientasi aksi dan orientasi refleksi. Setiap pernyataan yang di dalam inventori tersebut mengacu pada empat pilihan jawaban, antara lain (1) prerefensi rasional (AC) (2) preferensi hubungan interpersonal (CE), preferensi untuk latihan (AE), dan (4) preferensi untuk observasi (RO). Ahli lain, Vermunt (1996), membedakan empat jenis gaya belajar, antara lain tidak diatur (undirected), pengaturan berdasar reproduksi (reproductiondirected), pengaturan berdasar makna (meaningdirected), dan pengaturan berdasar aplikasi (applicationdirected learning). Vermetten dkk., (1999) menemukan bahwa keempat katagori tersebut tidak mudah untuk berubah dalam diri individu dan perkembangannya dapat dikarenakan oleh karakteristik instruksi. Mengetahui gaya belajar sangat diperlukan oleh seorang mahasiswa agar dapat belajar lebih efektif dan produktif. Tuntutan lebih tinggi bagi mahasiswa yang harus belajar secara mandiri seperti mahasiswa. Berkenaan dengan hal tersebut, mahasiswa harus mengetahui strategi belajar yang sesuai dengan gaya belajarnya sehingga kegiatan belajar mandiri yang dilakukan dapat berjalan efektif. F. Indikator Kongruen dan Inkonruen Menurut Holand dalam Sanoto (2008), kongruen adalah interaksi antara orang dan lingkungannya yang sesuai dan sejalan dengan teori atau modelnya. Orang yang mengalami kongruensi akan mengalami kepuasan dalam hasil bekerja dan memungkinkan adanya pertumbuhan kepribadian dalam dirinya. Sedangkan inkongruen adalah interaksi antara orang dan lingkungannya yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan teori atau modelnya. Orang yang inkongruen tidak akan mengalami kepuasandalam hasil bekerja dan pertumbuhanyang optimal dalam kepribadian. Kolb dalam Usman (2003) mengelompokkan gaya belajar Asimilasi, Akomodasi, Divergen dan Konvergen ke dalam dua ranah yaitu Kongruen dan inkongruen. Gaya belajar yang kongruen terdiri dari gaya belajar Asimilasi dan Akomodasi. Gaya belajar yang kongruen menunjukkan adanya kecocokan antara gaya belajar yang diambil seseorang dengan profesi yang dipilih. Gaya belajar yang inkongruen terdiri dari gaya belajar Divergen dan Konvergen. Gaya belajar inkongruen adalah gaya belajar yang dipilih seseorang tidak sesuai dengan profesi yang ia ambil. G. Kajian yang Relevan Penelitian oleh (Zhang 2001) menunjukkan bahwa gaya belajar berhubungan dengan prestasi belajar pada semua mata pelajaran. Hasil penelitan Abdullah(1998) juga menunjukkan bahwa gaya belajar mempunyai korelasi dengan pencapaian prestasi. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Prajuritno dalam Mawardi (2005) menunjukkan bahwa sepertiga persen prestasi peserta didik dipengaruhi oleh gaya belajar tertentu. Hal ini terbukti dari penelitian Dunn, R. dan Dunn, K. (1978) menunjukkan adanya korelasi positif dan signifikan antara gaya belajar dengan prestasi belajar. Penelitian Biglan dalam Kolb (2000) menunjukkan bahwa gaya belajar asimilasi pada Mahasiswa di Universitas Illionis mempunyai hubungan positif dan signifikan dengan indeks prestasi komulatif. Penelitian Kolb (2000) pada mahasiswa Universitas Teknologi menunjukkan bahwa gaya belajar yang kongruen akan berbeda signifikan dengan gaya belajar inkongruen pada indeks prestasi komulatif mahasiswa. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdulkahar (1990) hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan signifikan antara gaya belajar terhadap prestasi. Lamba (2005) tidak ada hubungan positif signifikan antara gaya belajar dengan prestasi belajar. Demikian juga dengan penelitian Dun dan teman-teman serta Abdullah dkk (1997) menemukan bahwa gaya belajar tidak berdampak pada prestasi belajar. Shin dan Gammon 2001 menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara gaya belajar dengan prestasi belajar. H. Kerangka Berpikir Gaya belajar kongruen IPK Gaya belajar inkongruen Gaya belajar sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar mahasiswa. Gaya belajar yang kongruen berpengaruh terhadap Indeks Prestasi Kumulatif, demikian juga dengan gaya belajar inkongruen. Penelitian ini akan ditunjukkan adakah perbedaan yang signifikan antara gaya belajar yang kongruen dan inkongruen dalam indeks prestasi mahasiswa secara kumulatif. I. Hipotesis Hipotesis dibedakan atas hipotesis empirik dan hipotesis statistik A. Hipotesis Empirik : Adanya perbedaan signifikan antara gaya belajar yang kongruen dan yang inkongruen pada indeks prestasi kumulatif mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika angkatan 2009 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga B. Hipotesis Statistik a) Ho : 1 = 2 Tidak adanya perbedaan yang signifikan antara gaya belajar yang kongruen dan yang inkongruen pada indeks prestasi kumulatif mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika angkatan 2009 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga b) H1 : 1 ≠2 Ada perbedaan yang signifikan antara gaya belajar yang kongruen dan yang inkongruen pada indeks prestasi kumulatif mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika angkatan 2009 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga