Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 18, No.1, 2013, halaman 17-27 ISSN : 1410-0177 KAJIAN PENGGUNAAN OBAT INTRAVENA DI SMF PENYAKIT DALAM RSUD DR. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI Hansen Nasif , Monalisa Yuned, Husni Muchtar Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Padang Indonesia E-mail : [email protected] ABSTRAK Injeksi merupakan salah satu cara pemberian obat yang biasa digunakan dalam mengobati penyakit. Injeksi saat ini telah menjadi prosedur pengobatan yang paling umum ditemukan di dunia dengan 16 milyar injeksi diberikan setiap tahunnya. Pasien sebaiknya tidak diberikan injeksi intravena bila terapi per oral dapat dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari ketepatan pilihan penggunaan obat secara intravena mengacu pada sembilan kriteria penggunaan obat secara intravena (Scot, 2003; Mycek, 2001; Ansel, 1989). Penelitian dilakukan dengan metode observasi prospektif melalui pengamatan langsung pada kondisi pasien yang mendapatkan obat dalam bentuk sediaan intravena dengan memperhatikan juga data rekam medik nya. Teknik pengambilan sampel menggunakan metoda purposive sampling di SMF Ilmu Penyakit dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi dari Mei sampai Agustus 2009. Setelah dilakukan penelitian di dapatkan penggunaan sediaan intravena untuk 81 orang pasien dengan 134 kali pemberian injeksi. Dalam penelitian ini masih ditemukan pemilihan penggunaan sediaan intravena yang tidak tepat yaitu pada 21 kali pemberian (15,7%) pada penggunaan furosemid, metoklopramide dan ranitidin. Farmasis sangat di butuhkan di ward/bangsal untuk memberikan rekomendasi farmasis supaya tidak terdapat keraguan dalam pemilihan penggunaan sediaan intravena sehingga peran farmasis sebagai drugs therapy advisor dapat dijalankan. Keyword : intravena, farmasis, pemilihan PENDAHULUAN Obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati yang dalam dosis sesuai dapat menyembuhkan, meringankan, atau mencegah penyakit berikut gejalanya (Tjay, 2002). Beberapa obat dapat menimbulkan efek samping yang serius atau berpotensi menimbulkan efek yang berbahaya bila tidak tepat pemberiannya Harrison, 1999). Rute pemberian obat terutama dipengaruhi oleh sifat obat, kestabilan obat, tujuan terapi ,kecepatan absorbsi yang diperlukan, kondisi pasien, keinginan pasien, dan kemungkinan efek samping (Siregar, 2005; Mycek 2001; Tjay, 2002). Pemakaian obat dikatakan tidak tepat apabila kemungkinan untuk memberikan manfaat kecil atau tidak ada sama sekali, sedangkan kemungkinan manfaatnya tidak sebanding dengan kemungkinan efek samping atau biayanya (Vance & Millington; 1986). Salah satu cara pemberian obat yang biasa digunakan dalam mengobati penyakit adalah dengan injeksi. Injeksi saat ini telah menjadi prosedur pengobatan yang paling umum ditemukan di dunia, 16 milyar injeksi diberikan setiap tahun (90% untuk terapi dan 10% untuk imunisasi). 17 Hansen N., et al. Namun, injeksi yang diberikan tersebut seringkali tidak diperlukan dan kerapkali tidak aman. Salah satu jenis injeksi adalah injeksi intravena. Pemberian obat dengan injeksi intravena memberikan reaksi tercepat yaitu kurang lebih 18 detik karena obat yang dimasukkan melalui satu pembuluh darah langsung bereaksi menuju sel dan jaringan, sehingga efeknya lebih cepat dan kuat (Tjay, 2002). Sediaan injeksi intravena digunakan antara lain bila: obat dirusak oleh asam lambung atau obat tidak diabsorbsi, obat diabsorbsi tetapi dikeluarkan cepat akibat metabolisme lintas pertama, makanan mempengaruhi absorbsi, jika pasien tidak mau atau tidak dapat menelan, usus tidak berfungsi dengan baik, diperlukan absorbsi yang sangat cepat, diperlukan kadar yang tinggi dalam jaringan, diperlukan pelepasan obat perlahan dan sediaan oral tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut, dan bilamana diperlukan penyesuaian dosis secara terus menerus (Scot, 2003; Mycek,, 2001; Ansel, 1989). Injeksi intravena tidak diberikan untuk obat yang menimbulkan endapan dengan protein atau butiran darah (Tjay, 2002). Pasien sebaiknya tidak diberikan injeksi intravena bila terapi per oral dapat dilakukan karena terapi per oral pada umumnya lebih aman, lebih murah dan lebih mudah digunakan (Scot, 2003). Injeksi intravena dapat menimbulkan masalah antara lain: tekanan darah yang turun mendadak hingga terjadi syok, nyeri pada saat memasukkan jarum, ekstravasasi, masuknya bakteri melalui kontaminasi menyebabkan hemolisis, trombophlebitis, embolise, reaksi alergi, gangguan kardiovaskuler dan pulmonar karena peningkatan natrium dan volume cairan dalam sistem sirkulasi dan reaksi yang tak diinginkan lainnya karena pemberian terlalu cepat obat konsentrasi tinggi kedalam plasma dan jaringan- J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013 jaringan (Tjay, 2002; Mycek,2001; Scot, 2003). Injeksi intravena juga dapat menimbulkan masalah dalam hal penyimpanan dan pembuangan peralatan bekas pakai untuk menghindari risiko HIV dan hepatitis. Disamping itu, berbeda dari obat yang diberikan melalui oral, obat yang diberikan dengan cara ini tidak dapat diambil kembali seperti dengan emesis atau pengikatan dengan activated charcoal sehingga resiko toksisitas obat lebih tinggi (Mycek,2001; Scot, 2003; Ansel, . 1989). Rute ini juga sering tanpa manfaat yang lebih besar (Siregar, 2005). Berdasarkan keadaan ini, maka dianggap perlu melakukan penelitian tentang Kajian Penggunaan Obat Secara Intravena di SMF Ilmu Penyakit Dalam Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi ini untuk mengkaji tepat atau tidakkah tenaga kesehatan dalam mengambil keputusan untuk memberikan terapi intravena kepada pasien dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang telah disebutkan di atas sehingga tujuan terapi dapat tercapai dengan baik dan sedapat mungkin menghindari efek samping atau efek toksik terapi. DESAIN PENELITIAN METODE Penelitian dilaksanakan di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi dimulai pada tanggal 25 Mei 2009 hingga 14 Agustus 2009. Penelitian dilakukan dengan Metoda Observasi Prospektif. Data didapat dari rekam medik dan dengan memperhatikan kondisi pasien rawat inap di SMF Ilmu Penyakit Dalam 18 Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013 yang diberi pengobatan secara intravena di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. Penetapan sampel dilakukan dengan Metoda Purposive Sample. Data yang diambil adalah data rekam medik yang meliputi No. Rekam medik, nama pasien, jenis kelamin, umur, tanggal masuk, alamat, keluhan, diagnosis, jenis obat yang diberikan, cara pemberian serta kondisi pasien saat pengambilan data ini. Penarikan kesimpulan dilakukan berdasarkan pada analisis hasil ketepatan penggunaan obat secara intravena sesuai dengan anjuran literatur. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Vitamin C Ranitidin Furosemid Piracetam Asam Traneksamat Tramadol Neurotropik (Alinamin) Calcium Glukonas Ketorolak Deksamethason 2 19 23 1 13 3 1 4 1 9 3. Dari 81 pasien terdapat 113 kasus penggunaan terapi Injeksi intravena yang telah tepat dan 21 kasus penggunaan terapi injeksi intravena yang kurang tepat. 4. Obat-obat yang kurang tepat digunakan secara injeksi intravena antara lain: Furosemid, Metoklopramid dan Ranitidin Hasil Pembahasan Setelah dilakukan penelitian, maka diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Jumlah pasien yang mendapat terapi intravena adalah sebanyak 81 pasien dengan 134 kali pemberian obat injeksi. 2. Obat-obat injeksi intravena yang ditemukan dan berapa kali dinjeksikan adalah sebagai berikut: Tabel 1. Jenis obat injeksi yang diberikan dan jumlah pemberiannya. No Jenis obat Injeksi 1 2 3 4 5 6 Cefotaksim Ceftriaxon Dopamin Aminophylin Metoklopramid Vitamin K Jumlah injeksi 17 10 1 4 14 12 Pada penelitian ini diperoleh pasien yang mendapat terapi injeksi intravena Cefotaxim sebanyak 17 pasien dan yang mendapat terapi injeksi Ceftriaxon sebanyak 10 pasien. Di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi, Cefotaxim dan Ceftriaxon termasuk jenis antibiotika yang sering digunakan. Sefalosporin generasi ketiga ini digunakan secara perenteral pada infeksi serius yang resisten pada amoksisilin dan sefalosporin generasi pertama, juga untuk profilaksis pada bedah jantung, usus, ginekologi, dan lain-lain (Tjay, 2002). Cefotaxim dan Ceftiaxon telah tepat diberikan secara injeksi. Menurut literatur suatu obat tepat diberikan secara intravena bila diperlukan aksi obat yang cepat dibandingkan bila diberikan dengan rute lain, pasien tidak dapat menelan obat secara oral atau tidak dapat mengabsorbsi obat tersebut, pengobatan mempunyai 19 Hansen N., et al. waktu paruh yang sangat pendek dan harus diadministrasikan secara terus menerus, dan pengobatan yang hanya efektif bila diberikan secara intravena (Cheever, 2008). Rute untuk terapi cefotaxim dan ceftriaxon telah tepat diberikan secara parenteral khususnya injeksi intravena karena Cefotaxim Sodium dan Ceftriaxon Sodium tidak di absorbsi secara baik pada GastrointestinaI dan harus diberi secara parenteral (American Hospital Formulary Services (AHFS) Drug Information, 2008). Sediaan Cefotaxim dan Ceftriaxon hanya tersedia untuk pemberian parenteral (Widodo, 1993), namun efek negatif yang paling sering dilaporkan bila golongan Cephalosporin khususnya Cefotaxim dan Ceftriaxon diberikan secara parenteral adalah reaksi lokal yang ditimbulkan di lokasi suntikan. Phlebitis dan thrombophlebitis adakalanya terjadi dengan pemberian obat ini secara IV (American Hospital Formulary Services (AHFS) Drug Information, 2008). Phlebitis atau trombophlebitis adalah inflamasi yang terjadi pada bagian dalam pembuluh darah halus. Hal ini dapat terjadi karena batas jarum menembus vena atau karena obat bersifat korosif dan merusak vena. Gejalanya antara lain perasaan yang sangat nyeri, disertai dengan kemerahan pada kulit, kadang-kadang disepanjang vena ( Siregar, 2005). J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013 Pada dosis tinggi, bekerja secara tak langsung terhadap reseptor α1-adrenergik dengan efek vasokonstriksi dan meningkatkan tekanan darah. Dopamin terutama digunakan pada keadaan shock, antara lain sesudah infark jantung dan bedah jantung terbuka, juga pada dekompensasi yang bertahan (Tjay, 2002). Pada penelitian ini diperoleh pasien yang mendapat terapi injeksi intravena Dopamin sebanyak satu pasien. Dopamin mempunyai waktu paruh sangat pendek yaitu kurang lebih 2 menit. Bila diberikan secara oral, administrasi dopamin secara cepat akan dimetabolisme pada jalur gastrointestinal. Dopamin di metabolisme pada hati, ginjal dan plasma oleh monoamine oksidase (MAO) dan cathecolO-methiltransferase (American Hospital Formulary Services (AHFS) Drug Information, 2008). Neurotransmiter ini merupakan prekusor langsung dari adrenalin dan noradrenalin, dan diinaktifkan oleh MAO, sehingga secara oral tidak aktif (Tjay, 2002). Dopamin merupakan obat yang dirusak pada jalur gastroistestinal bila diberikan secara oral dan karena waktu paruh yang sangat pendek, yaitu kurang lebih dua menit, dopamin memerlukan penyesuaian dosis yang terus menerus. Dopamin hanya tersedia dalam bentuk sediaan parenteral (Kumpulan Data Klinik Farmakologi) sehingga dopamin telah tepat diberikan secara injeksi intravena. Dopamin Dopamin adalah neurotransmitter sentral yang sebagai prekusor adrenalin. Pada dosis rendah bekerja langsung terhadap reseptor DA1 dengan efek vasodilatasi dan penderasan sirkulasi ginjal. Dosis sedang menstimulasi reseptor ß1-adrenergik dengan efek inotrop positif dan peningkatan volume menit jantung. 20 Hansen N., et al. Tabel 2. Sembilan Alasan Penggunaan obat secara Intravena pada penelitian ini (Scot,2003;Mycek, 2001; Ansel,1989) : . N Nama Obat A B C D E F G H I o injeksi 1 Cefotaksim √ 2 Ceftriaxon √ 3 Dopamin √ √ √ 4 Aminophyli √ √ 5 n √ √ 6 Metoklopra √ √ √ 7 mid √ √ √ 8 Vitamin K √ √ √ 9 Vitamin C √ √ √ √ 1 Ranitidin √ 0 Furosemid √ √ 1 Piracetam √ √ √ 1 Asam √ √ 1 Traneksam √ 2 at √ √ 1 Tramadol √ √ 3 Neurotropi 1 k 4 Calcium 1 Glukonas 5 Ketorolak 1 Deksameth 6 ason Keterangan A : Obat dirusak oleh asam lambung atau obat tidak diabsorbsi B : Obat diabsorbsi tetapi dikeluarkan cepat akibat metabolisme lintas pertama C : Makanan mempengaruhi absorbsi D : Pasien tidak mau atau tidak dapat menelan E : Usus tidak berfungsi dengan baik F : Diperlukan aksi obat yang sangat cepat G :Diperlukan kadar yang tinggi dalam jaringan J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013 H :Diperlukan pelepasan perlahan dan sediaan oral tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut I :Diperlukan penyesuaian dosis secara terus menerus Dopamin Hidrochlorida digunakan secara infus intravena menggunakan pompa infus atau peralatan lainnya untuk mengatur kecepatan aliran. Jika mungkin, obat diinfuskan ke dalam antecubital vein (American Hospital Formulary Services (AHFS) Drug Information, 2008). Dosis yang biasa diberikan untuk pasien dewasa adalah 1-5 mcg/kg/menit sampai 20 mcg/kg/menit. Titrasi dilakukan sampai didapatkan respon yang diharapkan. Infus boleh ditingkatkan 4 mcg/kg/menit pada interval 10-30 menit sampai respon optimal tercapai (Departeman Kesehatan Republik Indonesia, 2007). Dosis injeksi yang biasa diberikan di SMF Ilmu Penyakit Dalam adalah 200mg/5ml. Perhatian khusus harus diberikan untuk menghindari ektravasasi. Dopamin harus diadministrasikan secara terus-menerus dengan catheter intravena panjang ke dalam pembuluh darah yang besar, lebih baik lagi pada antecubital fossa dibandingkan pada tangan maupun pergelangan kaki. Jika pembuluh darah yang besar tidak tersedia dan kondisi pasien memaksa, pembuluh darah pada bagian tangan atau pergelangan kaki dapat digunakan untuk administrasi dopamin dan tempat injeksi harus dipilih pembuluh darah sebesar mungkin. Tempat injeksi harus dimonitor dengan hati-hati. Jika ektravasasi terjadi, 10-15 mL injeksi sodium chloride yang mengandung phentolamin mesylate harus diinfiltrasikan (menggunakan alat suntik dengan jarum yang baik sekali) secara menyeluruh pada area yang terkena efek, yang mana diidentifikasi dari dinginnya, kekerasannya, bentuk yang pucat 21 Hansen N., et al. (American Hospital Formulary Services (AHFS) Drug Information, 2008). Calcium glukonas Kalsium sangat diperlukan untuk memelihara integritas fungsi dari saraf, otot, dan sistem skelet serta membran sel dan permeabilitas kapiler. Kation merupakan aktivator penting pada berbagai reaksi enzimatik dan kation diperlukan untuk sejumlah proses fisiologi termasuk transmisi dari impuls saraf; kontraksi jantung, otot polos dan lurik; fungsi ginjal, pernafasan; dan koagulasi darah. Kalsium juga memegang peranan dalam melepaskan dan menyimpan neurotransmiter dan hormon, pada uptake dan pengikatan asam amino, dan pada absorpsi vitamin B12 dan sekresi lambung. Pada orang dewasa, dosis injeksi intravena yang diberikan adalah 500-800 mg dan maksimum 3 g/dosis (Departeman Kesehatan Republik Indonesia, 2007). Dosis injeksi yang biasa diberikan di SMF Ilmu Penyakit Dalam Dr. Achmad Mochtar Bukittingi adalah 100mg/ml. Pada penelitian ini diperoleh pasien yang mendapat terapi injeksi intravena Calcium Glukonas sebanyak 4 pasien. Pada pasien Bpk HD, Bpk AM dan Ibu SN dengan pendarahan gastrointestinal Calcium glukonas telah tepat diberikan secara injeksi intravena. Untuk pendarahan gastrointestinal baik tingkat tinggi maupun rendah, salah satu pengobatan yang dilakukan adalah dengan memberikan sediaan Calcium secara intravena salah satunya dengan memberikan 10-20 ml calcium glukonas 10% melalui Intravena dengan pemberian selama lebih dari 10 hingga15 menit. Pada Ibu KM dengan diagnosa hepatitis akut calcium glukonas juga telah tepat diberikan secara intravena. Hampir semua faktor pembekuan darah dibentuk di J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013 hati sehingga pada penyakit-penyakit hati seperti hepatitis, sirosis, dan acute yellow atropy kadang-kadang dapat menekan system pembekuan sedemikian kuatnya seningga pasien cenderung mengalami pendarahan hebat. Hal inilah yang terjadi pada Ibu KM sehingga pada keadaan ini Calcium Glukonas telah tepat diberikan secara injeksi intravena. Ranitidin Ranitidin merupakan antagonis reseptor histamin H2 (American Hospital Formulary Services (AHFS) Drug Information, 2008). Semua antagonis reseptor histamin H2 menyembuhkan tukak lambung dan duodenum dengan cara mengurangi asam lambung sebagai hambatan reseptor H2. Antagonis reseptor histamin H2 bermanfaat untuk mencegah pendarahan lambung pada penderita yang keadaannya kritis (Warfield, 1996). Ranitidin merupakan obat yang termasuk sering diindikasikan secara injeksi intravena di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi dibandingkan dengan obat-obat lainnya yang peneliti dapatkan. Dosis injeksi yang biasa diberikan di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi adalah 150 mg/ 2ml ampul. Pada penelitian ini diperoleh pasien yang mendapat terapi injeksi intravena ranitidin sebanyak 19 pasien. Salah satunya, ranitidin diberikan kepada Ibu NJ yang pada diagnosa awalnya anoreksia, uremia, anemia dan dyspepsia yang berat. Melihat kondisi pasien yang sangat lemah, sangat kurus, terlihat bahwa pasien mengalami kesulitan untuk menelan sehingga obat lain pun diberikan dalam bentuk sediaan syrup. Dalam kasus ini ranitidin dapat dikatakan telah tepat bila digunakan secara Injeksi intravena karena disini pasien terlihat kesulitan dalam 22 Hansen N., et al. menelan dan usus pasien sudah tidak berfungsi dengan baik. Kasus lain ditemukan dalam penggunaan Ranitidin secara injeksi intravena adalah pada pasien dengan stress ulcer seperti pada kasus Bpk HD, Bpk AM, Bpk AM, Bpk IH, Bpk AY, Ibu NY, dan Bpk PR. Pada kasus ini, ranitidin telah tepat diberikan secara injeksi intravena karena dibutuhkan efek yang cepat karena bila ranitidin tidak cepat diberikan, dikhawatirkan dapat mengakibatkan kematian. Ranitidin digunakan secara injeksi intravena lambat atau dengan infus Intravena lambat intermittent atau continuos pada pasien yang dengan kondisi patologik Gastrointestinal hypersecretory pada pasien yang kritis atau ulcer usus yang sulit diobati atau untuk pengunaan jangka pendek ketika terapi oral tidak memungkinkan (Anderson, Knoben & Troutman, 2002; American Hospital Formulary Services (AHFS) Drug Information, 2008). Pada kasus Bpk JS dengan diagnosa gastritis akut. Gastritis merupakan suatu peradangan mukosa lambung. Pada keadaan ini terjadi gangguan keseimbangan antara produksi asam lambung dan daya tahan mukosa. Pada beberapa kasus, gastritis dapat menjadi sangat akut dan berat seperti yang terjadi pada Bpk JS. Penderita akan mengeluh perih atau tidak enak di ulu hati (Departeman Kesehatan Republik Indonesia, 2007; Guyton & Hall; 1997). Pada keadaan akut ini ranitidin telah tepat digunakan secara injeksi intravena karena diperlukan efek yang cepat untuk mengatasi rasa sakit yang dialami pasien. Pada pasien Bpk AT dengan diagnosa gastritis kronis disertai hipertensi dan vomitus, ranitidin juga telah tepat digunakan secara injeksi intravena. Dari informasi tenaga medis dan pasien, J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013 gastristis yang dialami oleh Bpk AT termasuk dalam kategori gastritis yang serius. Untuk pasien dengan gastritis yang serius yang memerlukan perawatan yang intensif, ranitidin diberikan secara injeksi dapat berupa intermittent injeksi atau continuous infus. Untuk efek yang maksimal, pH lambung harus terukur dan saat memberikan terapi pH harus lebih dari 4 (Katzung, 2007). Namun ada pula pasien yang tidak tepat pemberiannya, terutama pada pasien yang sebelumnya berasal dari ruang UGD seperti kasus yang terjadi pada Ibu FA. Pada umumnya pasien yang berada di ruang UGD dalam kondisi yang membutuhkan efek terapi yang cepat sehingga diberikan ranitidin secara injeksi. Namun semestinya pasien yang telah dipindahkah ke SMF Ilmu Penyakit Dalam adalah pasien yang telah stabil seperti keadaan yang diperlihatkan Ibu FA sehingga terapi ranitidin secara intravena tidak lagi diperlukan namun karena belum adanya pemantauan ulang dari tenaga medis maka terapi yang diberikan adalah tetap terapi yang diinstruksikan pada saat pasien berada di UGD walau pasien tidak memerlukannya lagi sehingga terapi tersebut menjadi tidak tepat secara penggunaan. Pada pasien Ibu YH, dilihat dari kondisi dan informasi pasien, ranitidin pada kondisi ini pada dasarnya dapat diberikan secara oral dengan pencegahan emesis sebelumnya dengan terapi metoklopramid injeksi. Namun pilihan ini tidak diamanfaatkan sehingga penggunaan injeksi ranitidin pada pasien ini menjadi kurang tepat. Pada kasus Bpk AS, Bpk AL, Ibu WD dan Ibu MW, berdasarkan diagnosa, melihat kondisi pasien dan informasi yang didapatkan dari pasien pada dasarnya ranitidin dapat diberikan dalam bentuk sediaan oral. Pada Ibu WD dyspepsia yang dialami bukan dyspepsia 23 Hansen N., et al. yang berat. Pada Ibu MW febris dan dypsnea yang dialami, tidaklah mengharuskan pasien mendapatkan ranitidin secara injeksi intravena. Demikian juga pada Ibu HZ dan Ibu RJ. Pada keadaan ini Ranitidin diindikasikan sebagai perlindungan terhadap mukosa lambung pasien dan maksud tersebut telah dapat terpenuhi dengan pemberian ranitidin secara oral. Pada kasus-kasus tersebut pasien masih dalam keadaan sadar, dapat mengkonsumsi obat secara oral dan tidak ada diagnosa atau keadaan yang mengharuskan ranitidin diberikan secara intravena sehingga pemberian ranitidin secara injeksi intravena pada keadaan ini dinilai kurang tepat. Aminophylin Aminophylin adalah preparat theophylin yang paling umum digunakan untuk tujuan terapeutik yang merupakan suatu kompleks teophylin-etilendiamin (Katzung, 1994). Aminophyllin adalah garam theophyllin untuk penggunaan intravena yang di dalam darah akan membebaskan theofillin kembali (Sunaryo, 1987; Tjay, 2002). Theophylin merupakan derivat xantin yang digunakan sebagai bronchodilator perawatan dengan gejala asma dan bronchospasm yang mungkin terjadi bersamaan dengan bronchitis kronis atau emphysema (American Hospital Formulary Services (AHFS) Drug Information, 2008). Pada penelitian ini peroleh pasien yang mendapat terapi injeksi intravena Aminophylin sebanyak 4 pasien. Pasien tersebut diantaranya adalah Bpk MO dengan diagnosa atsma akut dan Ibu NS dengan diagnosa asma akut dan observasi dypsnea. Asma dikarakterisasikan dengan peningkatan respons trakea dan bronki terhadap berbagai rangsangan dan dengan J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013 penyebaran penyempitan saluran nafas yang beratnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun dengan terapi (Katzung, 1994). Serangan asma berat yang akut (status asmatikus) yang tidak dapat di kontrol oleh obat-obat pasien biasa, berpotensi menjadi fatal dan harus dianggap sebagai kegawatdaruratan sehingga membutuhkan perawatan di rumah sakit (Neal, 2006) seperti yang dialami oleh Bpk MO dan Ibu NS. Untuk kasus yang dialami oleh Bpk MO dan ibu NS Aminophylin telah tepat digunakan secara Injeksi intravena. Untuk mengatasi status asmatikus atau serangan asma hebat, Aminophyllin digunakan sebagai injeksi IV (Katzung, 1994; Sunaryo, 1987; Tjay, 2002). Teofilin merupakan bronkodilator yang efektif dalam pengobatan asma bronkial dan penggunaannya dalam bentuk garam etilendiamin sebagai bolus intravena aminofilin merupakan terapi standar dalam penanggulangan penderita asma bronkial akut (Siringoringo). Dilihat dari kodisi pasien, keadaan pasien memang sangat mengkhawatirkan, kondisi bernafas yang terlihat sangat sulit dan berbunyi. Pasien berikutnya adalah pasien Ibu MW dan Bpk RM dengan Observasi febris dan Dypsnea. Dypsnea adalah pernafasan yang sukar atau sesak, episode gawat nafas yang membangunkan penderita dari tidur dan berhubungan dengan posisi tidur (terutama bila tudur berbaring pada waktu malam) biasanya berhubungan dengan gagal jantung kongestif, denga edema paru, tetapi kadang berhubungan dengan penyakit paru kronis (Kumala, 1998). Menurut literatur, aminophylin intravena digunakan sebagai tambahan pada perawatan udema paru-paru dan serangan hebat dyspnea (American Hospital Formulary Services (AHFS) Drug Information. 2008). Walaupun pada kedua pasien ini baru diadakan observasi, namun 24 Hansen N., et al. dari keadaan yang peneliti amati, dypnea yang dialami pasien cukup berat sehingga diperlukan aminophylin segera, sehingga pemberian aminophylin pada kedua pasien ini juga dapat dikatakan telah tepat. Aminophylin IV diberikan dengan dosis awal (loading dosis) 6mg/kgBB. Obat ini diberikan secara infus selama 2040 menit karena penyuntikan yang cepat (IV dengan tekanan) dapat menghasilkan tingkat kadar plasma yang toksik dengan resiko kejang atau aritmia (Katzung, 1994; Sunaryo, 1987). Bila belum tercapai efek terapi dan tidak terdapat tanda intoksikasi, maka dapat ditambahkan dosis 3mg/kgBB dengan infus perlahan-lahan. Selanjutnya efek optimal dapat dipertahankan dengan pemberian infus aminophylin 0,5 mg/kgBB/jam (Sunaryo, 1987). Di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi dosis yang biasa digunakan adalah 240mg /5ml ampul. Deksamethason Deksamethason adalah glukokortikoid sintetik. Deksametason secara prinsip digunakan sebagai antiinflamasi atau imunosupresan agent. (American Hospital Formulary Services (AHFS) Drug Information, 2008). Glukokortikoid digunakan pada penyakit reumatik, reaksi alergi, penyakit ginjal (khususnya nefrosis), penyakit darah (misalnya anemia hemolitik, purpura trombopenik), penyakit hati (misalnya bentuk-bentuk hepatitis tertentu), penyakit paru-paru, penyakit pembuluh darah, penyakit saluran cerna, penyakit system syaraf, penyakit mata (misalnya keratitis alergik, konjungtivitis), berbagai penyakit kulit, tumor ganas terutama tumor sistemik, udem otak dan kondisi-kondisi syok berat. J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013 Pada penelitian ini diperoleh pasien yang mendapat terapi injeksi intravena deksamethason sebanyak 8 pasien. Rute administrasi dan dosis deksamethason dan derivatnya tergantung pada kondisi yang disuguhkan dan respon dari pasien. Therapy intravena biasanya disediakan untuk pasien yang tidak dapat menggunakan obat secara oral atau untuk digunakan pada keadaan emergency (American Hospital Formulary Services (AHFS) Drug Information, 2008). Dosis injeksi yang biasa diberikan di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi adalah 0,75 mg/ml. Pasien yang mendapat terapi dexametason secara intravena adalah Ibu YS dan Bpk JS dengan diagnosa SSJ (Sindroma Steven Jonhson). SSJ adalah kumpulan gejala yang ditandai dengan trias lesi kulit, mukosa orifisum, dan mata. Sinonimnya antara lain sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis. Diagnosis terutama berdasar gejala klinis. Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat seperti kasus yang ditemui pada Ibu YS, sedangkan pada Bpk JS tidak diketahui penyebabnya. Penatalaksanaan utama adalah menghentikan obat yang diduga sebagai penyebab SSJ selanjutnya perawatan lebih bersifat simtomatik antara lain dengan pemberian kortikosteroid parenteral dexamentason dengan dosis awal 1mg/kgBB bolus, kemudian dilanjutkan dengan 0,2-0,5 mg/kgBB tiap 6 jam selama tiga hari. Beberapa peneliti menyetujui pemberian kortikosteroid sistemik beralasan bahwa kortikosteroid akan menurunkan beratnya penyakit, mempercepat konvalesensi, mencegah 25 Hansen N., et al. komplikasi berat, menghentikan progresifitas penyakit dan mencegah kekambuhan. Beberapa literatur menyatakan pemberian kortikosteroid sistemik dapat mengurangi inflamasi dengan cara memperbaiki intregritas kapiler, memacu sintesa lipokortin, menekan ekspresi molekul adesi. Selain itu kortikosteroid dapat meregulasi respon imun melalui down regulation ekspresi gen sitokin (Departeman Kesehatan Republik Indonesia, 2007). Dengan melihat keadaan pasien dan dari literatur yang didapatkan, terapi deksametason disini telah tepat diberikan secara intravena. Pada kasus Ibu SF deksamethason diindikasikan untuk mengatasi mual dan muntah yang dialami pasien. Dilihat dari kondisi pasien yang sangat lemah, mual dan muntah yang dialami pasien merupakan keadaan yang berat. Bila untuk mengatasi keadaan mual dan muntah, deksamethason dapat digunakan, diadministrasikan secara intravena (DiPiro, 2005). Pada Ibu NS dan Bpk MO dengan serangn asma akut terapi injeksi intravena deksamethason telah tepat diberikan secara injeksi intravena. Asma akut (status astmaticus) adalah keadaan asma yang hebat, yakni penciutan bronchi menjadi lebih kuat dan bertahan lebih lama. Ciriciri lainnya adalah tachycardia dan tak bisa berbicara lancar akibat nafas tersengalsengal (Tjay, 2002). Hal inilah yang terlihat pada Ibu NS dan Bpk MO. Kedaaan demikian perlu diobati secara khusus di rumah sakit dengan pemberian oksigen dan banyak air, hidrokortison/deksamethason (kortikosteroid) intravena (Katzung, 1994; Tjay, 2002). Keadaan seperti ini juga diperlihatkan oleh pasien Bpk RM dengan Observasi febris dan Dypsnea. Dypsnea adalah pernafasan yang sukar atau sesak, episode gawat nafas yang membangunkan penderita dari tidur dan berhubungan J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013 dengan posisi tidur (terutama bila tudur berbaring pada waktu malam) biasanya berhubungan dengan gagal jantung kongestif dan edema paru, tetapi kadang berhubungan dengan penyakit paru kronis . Pada keadaan ini deksamethason telah tepat digunakan secara injeksi intravena. Pada Ibu AR dan Bpk RR dengan diagnosa typhoid fever deksametason telah tepat pula digunakan secara injeksi intravena. Dilihat dari kondisi pasien dan informasi yang didapatkan, typhoid pada kedua pasien ini termasuk kategori berat. Pada kasus demam typhoid berat dengan komplikasi syok, deksamethason diberikan dalam bentuk IV bolus 3 mg/kg BB kemudian dilanjutkan dengan 1 mg/kgBB tiap 6 jam selama 48jam. Bentuk terapi ini dapat menurunkan kematian secara bermakna. Ketika deksamethason sodium phospat diadministrasikan secara infus, obat dapat ditambahkan pada injeksi dextrosa atau sodium chloride. Dosis deksamethason sodium phospat disampaikan dalam bentuk deksamethason phospat (American Hospital Formulary Services (AHFS) Drug Information, 2008). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa masih terdapat penggunaan terapi Injeksi Intravena yang kurang tepat di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi diantaranya penggunaan pada beberapa kali injeksi Furosemid, Ranitidin dan Metoklopramid. 26 Hansen N., et al. Saran Kepada manajemen RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi disarankan untuk menempatkan tenaga farmasi klinis di bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam untuk membantu dalam merekomendasi rute obat yang tepat yang akan diberikan kepada pasien. DAFTAR PUSTAKA American Hospital Formulary Services (AHFS) Drug Information. 2008. American Society of Health-System Pharmacists. United stated of America. Anderson, P. O., Knoben, J. E., & Troutman, W. G. 2002. Handbook of Clinical Drug data. (10th ed). United Stated of America: The McGraw-Hill Companies. Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Penerjemah: F. Ibrahim. Jakarta: Universitas Indonesia (UIPress). Azis, A. L. Penggunaan kortikosteroid di klinik (The use of corticosteroid in clinics). Surabaya: Divisi Gawat Darurat Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSUD dr Soetomo Cheever, Kerry H. 2008. IV Therapy Demystified. United Stated of America: The McGraw-Hill Companies. Departeman Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian. 2007. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Departeman Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pelayanan Informasi Obat (PIO). Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Dipiro, J. T. 2005. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies. Guyton, A. C., & Hall, J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. (Edisi 9). Penerjemah: I. Setiawati. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Harrison. 1999. Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Penerjemah: Ahmad H. Asdie. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. J. Sains Tek. Far., 18(1), 2013 Katzung, B. G. 2007. Basic & Clinical Pharmacology (10th Ed). United States of America: The McGraw-Hill Companies. Mycek, M. J., Harvey, R. A., & Champe, P.C. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. (Edisi 2). Penerjemah: A. Agoes. Jakarta: Widya Medica. Neal, Michael J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. (Edisi 5). Penerjemah: J. Surapsari. Indonesia: Erlangga. Scot, D. K. 2003. Farmasi klinik (Clinical Pharmacy): Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Penerjemah: M. Aslam, C. K. Tan, A. Prayitno. Jakarta: Elex Media Komputindo. Siregar, C. J. P & kumolosari, C. 2005. Farmasi klinik: Teori dan penerapan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sunaryo. 1987. Farmakologi dan Terapi: Perangsang Susunan Syaraf Pusat. (Edisi 3). Jakarta: Universitas Indonesia. Sunaryo & Suharto, B. 1987. Farmakologi dan Terapi: Obat yang Mempengaruhi Air dan Elektrolit. (Edisi 3). Jakarta: Universitas Indonesia. Tjay, T. H. 2002. Obat-obat penting. (Edisi 4). Jakarta: PT.Elex Media Komputindo. Vance MA & Millington WR. 1986. Principle Of irrational drug therapy. International Journal of Health Sciences 16(3), 355-61. Warfield, C. 1996. Segala Sesuatu yang Perlu Anda Ketahui Terapi Medis. Jakarta: PT. Gramedia. Widodo, U., Bircher, E., & Lotterer, E. 1993. Kumpulan Data Klinik Farmakologi. Penerjemah: U. Widodo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 27