4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kerapu lkan kerapu rnerupakan kelornpok ikan pemangsa yang hidup pada perairan karang. Ikan dari golongan Serranidae ini mempunyai lebih dari 46 spesies yang hidup tersebar dengan tipe habitat yang beragam dan hanya beberapa jenis yang telah dibudidayakan (Ghufran, 2001 dalam Sulaiman, 2010). Beberapa jenis ikan kerapu misalnya E. coioides termasuk dalam jenis protogynous hermaphrodit, pada saat masih muda ikan berkelamin betina dan setelah berukuran sekitar 60 cm berubah menjadi jantan. Dalam satu gonad satu individu ikan kerapu terdapat sel kelamin betina dan jantan yang dapat masak dalam waktu yang sama dan secara ilmiah disebut dengan hermaphrodit synchroni, sehingga ikan dapat mengadakan pembuahan sendiri (Ghufran, 2001 dalam Sulaiman, 2010), Keuntungan dari budidaya ikan kerapu adalah pertumbuhan ikan yang cepat dan dapat diproduksi massal (Murtidijo, 2002). Ikan kerapu adalah jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis penting untuk dibudidayakan di Asia (Purba, 1990). 2.1.1 Morfologi ikan kerapu Morfologi ikan kerapu adalah sebagai berikut : bentuk tubuhnya pipih, yaitu lebar tubuh lebih kecil dari pada panjang dan tinggi tubuh. Rahang atas dan bawah dilengkapi dengan gigi yang lancip dan kuat. Mulutnya lebar, serong ke atas dengan 5 bibir bawah yang sedikit menonjol melebihi bibir atas. Sirip ekornya berbentuk bundar, sirip punggung tunggal dan memanjang dimana bagian yang berjari-jari keras kurang lebih sama dengan yang berjari-jari lunak. Posisi sirip perut berada dibawah sirip dada. Badannya ditutupi sirip kecil yang bersisik stenoid (Sulaiman, 2010). Gambar 1. Anatomi external ikan kerapu; sumber : http://www.dundeesportsmansclub.com 2.1.2 Taksonomi Ikan kerapu memiliki 15 genera yang terdiri atas 159 spesis. Ikan kerapu termasuk Famili Serranidae, Subfamili Epinephelinea, yang umumnya di kenal dengan nama groupers, rockcods, hinds, dan seabasses. Ikan kerapu ditemukan diperairan pantai Indo-Pasifik sebanyak 110 spesies dan diperairan Filipina dan Indonesia sebanyak 46 spesies yang tercakup ke dalam 7 genera Aethaloperca, 6 Anyperodon, Cephalopholis, Cromileptes, Epinephelus, Plectropomus, dan Variola (Sulaiman, 2010). Taksonomi ikan Kerapu menurut Heemstra and Randall (1993), sebagai berikut Phylum Chordata, Subphylum Vertebrata, Class Osteichtyes, Subclass Actinoptrygii, Ordo Perciformes, Subordo Percoidea, dan Family Serranidae. 2.1.3 Habitat dan Penyebaran Menurut Choat dan Bellwood (1991), pada umumnya ikan kerapu muda hidup di perairan pantai berkarang dengan kedalaman 0,5 – 3,0 m. Selanjutnya saat menginjak dewasa ikan pindah ke perairan yang lebih dalam. Perpindahan ini berlangsung pada siang hari dan senja hari. Heemstra and Randall (1993) menyebutkan habitat ikan kerapu di daerah dangkal dengan kedalaman sampai 60 m yang mengandung batu koral. Menurut Tampubulon dan Mulyadi (1989), telur dan larva ikan kerapu bersifat pelagis, sedangkan kerapu muda dan dewasa bersifat demersal. Ikan Kerapu bersifat nocturnal yaitu pada siang hari lebih banyak bersembunyi di liang-liang karang dan pada malam hari aktif bergerak di kolam air mencari makan. Ikan kerapu tersebar luas di wilayah Asia Pasifik, semua perairan tropis Hindia dan Samudera Pasifik Barat dari Pantai Timur Afrika sampai dengan Mozambika. Ikan jenis ini dilaporkan pula banyak ditemukan di Madagaskar, India, Thailand, Indonesia, pantai tropis Australia, Jepang, Philipina, Papua Nugini dan Kelodonia Baru (Heemstra and Randall, 1993). 7 2.2 Penyakit Pada Ikan Kerapu Ikan kerapu pada umumnya hidup dipantai yang berkarang dan memangsa ikan-ikan kecil yang ada disekitarnya. Karena hal tersebut ikan kerapu tidak dapat lepas dari penyakit yang diakibatkan oleh parasit dan mikroorganisme (virus, protozoa, jamur, dan bakteri) (Johnny dan Roza, 2002). Parasit Dipletanum merupakan parasit yang sering dijumpai pada ikan kerapu. Parasit Diplectanum termasuk Ordo Dactylogyridea, Famili Diplectanidae dan dikenal sebagai parasit Monogenetik trematoda insang (Zafran dkk., 1998). Ektoparasit juga ditemukan pada insang ikan kerapu. Ektoparasit itu termasuk dalam protozoa adalah Apisoma sp. dan Balantidium sp. (Bunga dan Rantetondok, 2009). Penyakit yang diakibatkan karena virus pada ikan kerapu adalan VNN (Viral Nervous Necrosis). Ikan yang terserang VNN tidak dapat diobati karena VNN tergolong virus yang menyerang syaraf. Infeksi syaraf menyebabkan gerak renang yang tidak normal (Johnny dan Roza, 2002). Berbagai jenis bakteri yang terdapat pada ikan kerapu. Bakteri-bakteri tersebut adalah Aeromonas hydrophila, Vibrio Sp, Streptococcus sp., Pseudomonas sp (Hatmanti, 2009) dan stafilokokus (Feliatra dkk, 2004). 8 2.3 Bakteri Stafilokokus Bakteri dalam genus ini mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut: warna koloni putih susu atau agak krem, bentuk koloni bulat, tepian timbul, sel bentuk bola, diameter 0,5-1,5 μm, Gram +, tidak motil, katalase positif, oksidase negatif, metil red positif, tumbuh optimum pada suhu 30-370C dan tumbuh baik pada NaCl 1-7% (Feliatra dkk., 2004 ). Menurut Holt dkk., (1994), bakteri Staphylococcus sp. merupakan bakteri Gram +, tidak berspora, tidak motil, fakultatif anaerob, kemoorganotrofik. Koloni biasanya buram, krem dan kadang-kadang kuning agak oranye. Bakteri ini mempunyai katalase positif dan oksidase negatif, sering mengubah nitrat menjadi nitrit, rentan lisis oleh lisostafin tapi tidak oleh lisozim. Jenis bakteri ini tumbuh pada 10% NaCl. Stafilokokus sebagian besar terdapat pada kulit dan mukosa membran dari vertebrata berdarah panas. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini sendiri akan muncul apabila penderita mengkonsumsi makanan yang mengandung racun yang dihasilkan oleh enterotoksin dari bakteri. Racun ini memiliki sifat yang tahan dalam suhu panas (thermostabil), meskipun bakterinya telah mati dengan pemanasan namun enterotoksin yang dihasilkan tidak akan rusak (Stehulak, 1998). Bakteri jenis ini sering diisolasi dari produk makanan, debu dan air. Beberapa spesies ada yang patogen pada manusia dan hewan (Bannerman dkk., 2006). Beberapa spesies dari bakteri stafilokokus yang dapat terlihat pada tabel 1. 9 Tabel 1. Spesies dan sub-spesies bakteri stafilokokus, menurut Bannerman dkk., (2006) No Spesies No Spesies 1 Staphylococcus arlettae 28 S. hyicus 2 S. auricularis 29 S. intermedius 3 S. aureus 30 S. kloosii 4 S. aureus subsp. anaerobius 31 S. lugdunensis 5 6 7 8 9 10 11 12 13 S. aureus subsp. aureus S. capitis S. capitis subsp. capitis S. capitis subsp. urealyticus S. caprae S. carnosus S. carnosus subsp. carnosus S. carnosus subsp. utilis S. chromogenes 32 33 34 35 36 37 38 39 40 S. lutrae S. muscae S. pasteuri S. piscifermentans S. pulverei (= S. vitulinus) S. saccharolyticus S. saprophyticus S. saprophyticus subsp. Bovis S.saprophyticus subsp. Saprophyticus 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 S. cohnii S. cohnii subsp. cohnii S. cohnii subsp. urealyticus S. condimenti S. delphini S. epidermidis S. equorum S. felis S. fleurettii S. gallinarum S. haemolyticus S. hominis S. hominis subsp. hominis S.hominis subsp. Novobiosepticus 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 S. schleiferi S. schleiferi subsp. Coagulans S. schleiferi subsp. Schleiferi S. sciuri S. sciuri subsp. Carnaticus S. sciuri subsp. lentus S. sciuri subsp. Rodentium S. sciuri subsp. Sciuri S. simulans S. succinus S. vitulinus S. warneri S. xylosus 10 2.4 Metoda Identifikasi Bakteri 2.4.1 Metode konvensional Metode deteksi konvensional ialah metode pengkulturan bakteri pada media spesifik dan menghitung sel bakteri yang hidup. Pemeriksaan langsung, bakteri diperiksa dalam keadaan hidup. Kelebihan cara ini adalah cepat, mudah, dan murah namun harus diperiksa segera dan tidak dapat dibiarkan lama karena preparat akan cepat kering. Sediaan basah dilakukan dari bahan pemeriksaan langsung, menggunakan KOH untuk jamur dan NaCl untuk melihat bakteri dalam keadaan hidup. Cara ini juga dipakai untuk memeriksa gerak kuman secara mikroskopik (Horowitz, 2000). Media selektif merupakan media atau tempat yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri tertentu, namun pada media ini juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri tertentu. Didalam media selektif terdapat berbagai bahan kimia yang dapat digunakan untuk memilih bakteri yang akan ditumbuhkan dan yang dihambat pertumbuhannya. Bakteri stafilokokus dapat tumbuh dalam media selektif agar garam mannitol dan blood agar. Bakteri stafilokokus dapat memperlihatkan suatu zona berwarna kuning di sekeliling pertumbuhannya. Bakteri stafilokokus juga dapat tumbuh dalam media agar darah (Blood Agar). Darah dimasukkan ke dalam medium untuk memperkaya unsur dalam pembiakan mikroorganisme terpilih (Roberson dkk., 1992). 11 Teknik pewarnaan dikelompokkan menjadi beberapa tipe, berdasarkan respon sel bakteri terhadap zat pewarna dan sistem pewarnaan yang digunakan. Untuk pemisahan kelompok bakteri digunakan pewarnaan Gram. Untuk prosedur pewarnaan mikrobiologi dibutuhkan pembuatan apusan lebih dahulu sebelum melaksanakan teknik pewarnaan pada bakteri stafilokokus (Kloos dan Schleifer, 1981). Identifikasi bakteri secara konvesional banyak mengalami hambatan, diantaranya adalah hanya terbatas sampai taksa genus dari bakteri tersebut (Holt dkk., 1994). Maka dari itu dibutuhkan uji yang lebih modern untuk mengidentifikasi mikroorganisme secara spesifik (Macrae, 2000). 2.4.2 Identifikasi bakteri dengan metode molekuler 2.4.2.1 Polymerase Chain Reaction ( PCR ) Salah satu metode molekuler yang lebih bagus daripada metode konvensional adalah deteksi molekuler berbabsis PCR. Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) pertama kali mulai dikembangkan pada tahun 1985 oleh Karry Mullis (Handoyo dan Rudiretna 2001). Teknik ini menggunakan sepasang primer yang merupakan oligonukleotida yang berperan untuk mengawali proses amplifikasi molekul DNA. Keberadaan primer PCR tersebut menyebabkan gen target akan teramplifikasi sepanjang reaksi PCR berlangsung. Analisis PCR dengan primer spesifik merupakan langkah terbaik untuk kepentingan deteksi bakteri patogen karena dapat menghasilkan penentuan secara cepat keberadaan gen target, cukup sensitif dan mudah digunakan dalam kegiatan rutin (Aris, 2011). Empat komponen utama pada 12 PCR adalah (1) DNA Cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) Oligonikleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3) Dioksiribonukleotida trifosfat (dNTP) terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, (4) Enzim DNA Polimerase, yaitu suatu enzim yang melakukan katalis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer (Yuwono, 2006). Teknik PCR sebenarnya adalah mengeksploitasi berbagai sifat alami replikasi DNA. Dalam proses tersebut, Polimerase-DNA menggunakan DNA berserat tunggal sebagai cetakan (template) untuk mensintesis serat baru yang komplementer. Cetakan berserat tunggal dapat diperoleh melalui pemanasan DNA berserat ganda pada temperature mendekati titik didih. Polimerase-DNA juga memerlukan suatu wilayah berserat ganda pendek untuk memulai (prime) proses sintesis. Pada saat PCR, posisi awal dan akhir sintesis DNA dapat ditentukan dengan menyediakan suatu oligonukleotida sebagai primer yang menempel secara komplementer pada cetakan sesuai dengan keinginan peneliti. Salah satu keunggulan PCR adalah polymerase DNA dapat diarahkan untuk sintesis wilayah DNA tertentu (Mahardika, 2003). Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu untai DNA cetakan pada ujung 5’fosfat dan oligonukleotida yang kedua identik dengan sekuen pada ujung 3’-OH untai DNA cetakan yang lain. Annealing biasanya dilakukan selama satu sampai lima menit antara oligonukleotida primer dan DNA cetakan yang kemudian dilanjutkan 13 dengan inkubasi selama 1,5 menit pada suhu 72ºC. Pada suhu ini DNA polymerase akan melakukan proses polimerasi untai DNA baru berdasarkan informasi yang ada pada cetakan. DNA untai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan hydrogen antara untai DNA cetakan dengan untai DNA baru hasil polimerasi selanjutnya akan di denaturasi lagi dengan menaikkan suhu inkubasi menjadi 95ºC. Untai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya (Yuwono, 2006). Reaksi-reaksi tersebut diulangi lagi sampai 25-30 siklus, sehingga pada akhir siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA untai ganda yang baru hasil polimerasi dalam cetakan yang digunakan. Banyaknya siklus amplifikasi tergantung pada konsentrasi DNA target di dalam reaksi. Pada umumnya konsentrasi DNA Polymerase Taq menjadi terbatas setelah 25-30 siklus amplifikasi (Sambrook dkk.,1989). Metode PCR juga telah dikembangkan untuk membedakan dan mendeteksi bakteri patogen ikan dan udang berdasarkan amplifikasi gen-gen tertentu yang lebih spesifik seperti sekuen gen 16S rRNA, gen toksin, dan gen hemolysin serta gen lux. Pemanfaatan gen 16S rRNA telah digunakan sebagai parameter sistematik molekuler yang universal, representatif, dan praktis untuk mengkonstruksi kekerabatan filogenetik pada tingkat spesies (Aris, 2011). Molekul 16S rRNA memiliki 2 daerah yaitu daerah urutan basa tetap/konservatif dan daerah urutan basa variatif/berubah. Perbandingan urutan basa yang konservatif berguna untuk mengkonstruksi pohon filogenetik universal karena mengalami perubahan relatif lambat. Sebaliknya, urutan basa yang bersifat variatif 14 dapat digunakan untuk melacak keragaman dan menempatkan galur-galur dalam satu spesies. Jika urutan basa 16S rRNA menunjukkan derajat kesamaan yang rendah antara dua taksa, deskripsi suatu takson baru dapat dilakukan tanpa hibridisasi DNADNA. Apabila derajat kesamaan urutan basa gen penyandi 16S rRNA kurang dari 97% maka dapat dianggap sebagai spesies baru (Stackebrandt dan Goebel, 1995). 2.4.2.2 Sekuensing Sekuensing DNA adalah proses penentuan urutan nukleotida pada suatu fragmen DNA. Tujuan dari proses ini adalah untuk menentukan identitas maupun fungsi fragmen suatu DNA dengan membandingkannya dengan fragmen DNA lain yang telah diketahui. Teknik ini digunakan dalam riset dasar biologi maupun berbagai bidang terapan seperti kedokteran, bioteknologi, forensik, dan antropologi. Dalam 20 tahun terakhir, algoritma yang digunakan dalam proses sekuensing DNA adalah algoritma overlap-layout-consensus. Tahapan dari algoritma ini dimulai dari proses overlap, yaitu proses pencocokan hasil pembacaan potongan DNA disertai pencarian kemungkinan adanya overlapping (pengulangan DNA dengan panjang tertentu yang memiliki urutan basa yang sama). Setelah itu, proses dilanjutkan ke tahap layout. Di tahap ini, terjadi pembacaan basa di sepanjang potongan DNA. Basa yang telah dibaca lalu “dicatat” di ujung tempat hasil pembacaan (ditunjukkan oleh serangkaian huruf di bagian kanan). Setelah tahap ini selesai, langkah terakhir yang harus dilakukan adalah consensus. Tahap ini adalah tahap di mana hasil pembacaan diklarifikasi dan diteliti sesuai dengan langkah pada tahap layout (Saepudin, 2012). 15 2.5 Bioinformatika Bioinformatika adalah aplikasi dari alat komputasi dan analisis untuk menginterpretasikan data-data biologi. Dewasa ini, bioinformatika berkembang menjadi kajian yang memadukan disiplin ilmu biologi molekul, matematika dan teknik informasi. Kajian bioinformatika tidak lepas dari perkembangan biologi molekul modern yang ditandai dengan kemampuan manusia untuk memahami genom, yaitu cetak biru informasi genetik yang menentukan sifat setiap makhluk hidup yang disandi dalam bentuk pita molekul DNA (asam deoksiribo-nukleat). Kemampuan untuk memahami dan memanipulasi kode genetik DNA ini sangat didukung oleh teknologi informasi melalui perangkat-perangkat keras maupun lunak. Bioteknologi modern ditandai dengan kemampuan para ahli dalam memanipulasi DNA. Untai DNA yang mengkode protein disebut gen. Gen ditranskripsikan menjadi mRNA, kemudian mRNA ditranslasikan menjadi protein. Protein sebagai produk akhir berperan menunjang seluruh proses kehidupan, antara lain sebagai katalis reaksi biokimia dalam tubuh (enzim), berperan serta dalam sistem pertahanan tubuh (antibodi), menyusun struktur tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki (protein keratin menyusun rambut; protein aktin, miosin dan sebagainya membentuk otot). Arus informasi dari DNA ke RNA kemudian protein disebut dogma sentral dalam biologi molekul (Wargesetia, 2006). Contoh-contoh penggunaan Bioinformatika adalah Bioinformatika dalam bidang klinis, bioinformatika untuk identifikasi agent penyakit baru, dan bioinformatika untuk penemuan obat. Bionformatika dikerjakan dengan 16 menggunakan program pencari sekuen (sequence search) seperti BLAST, program analisa sekuen (sequence analysis) seperti EMBOSS dan paket Staden, program prediksi struktur seperti THREADER atau PHD atau program imaging/modelling seperti RasMol dan WHATIF (Elfaizi dan Aprijani, 2004). 2.6 Kerangka Konsep Ikan kerapu termasuk famili Serranidae, dan dikenal mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi. Menurut Choat dan Bellwood (1991), pada umumnya ikan kerapu muda hidup di perairan pantai berkarang dengan kedalaman 0,5 – 3,0 m. Selanjutnya menginjak dewasa ikan akan pindah ke perairan yang lebih dalam. Ikan Kerapu termasuk jenis ikan karnivora. Hasil analisa lambung menunjukkan bahwa jenis krustacea (rebon, dogol dan krosok) merupakan jasad pakan yang paling disukai, kemudian jenis ikan (tembang, teri dan belanak). Hal ini berhubungan dengan aktivitas gerakan udang yang lambat memudahkan kerapu memangsanya (Purba, 1990). Berbagai macam bakteri terdapat pada tubuh ikan kerapu diakibatkan oleh makanan dari ikan kerapu yaitu memangsa ikan-ikan yang lebih kecil. Menurut Hatmanti (2010) berbagai jenis bakteri yang terdapat pada ikan kerapu. Bakteribakteri tersebut adalah Aeromonas hydrophila, Vibrio Sp, Streptococcus sp., Pseudomonas sp., dan stafilokokus. 17 Stafilokokus merupakan bakteri Gram +, tidak berspora, tidak motil, fakultatif anaerob, kemoorganotrofik. Koloni biasanya buram atau krem (Holt dkk., 1994). Menurut Bannerman dkk., (2006) terdapat 36 spesies dan beberapa subspecies bakteri stafilokokus yang bersifat patogen dan sebagai flora normal. Namun, keberadaan berbagai bakteri pada ikan di Bali belum banyak diteliti. Identifikasi secara konvensional dengan menggunakan uji biokimiawi, pewarnaan gram, dan mikroskopis biasanya kurang spesifik. Identifikasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan cara analisis sekuens 16S rRNA. Analisis ini digunakan karena memiliki tiga kelebihan yang dimiliki oleh skuens 16S rRNA adalah ada pada semua bakteri, fungsinya tidak pernah berubah, dan gennya cukup besar (1500 bp) sehingga cukup untuk tujuan bioinformatika (Janda dan Abbott, 2007). Fungsi dari 16S rRNA ini adalah sebagai penanda atau marker yang berfungsi untuk identifikasi populasi, studi evolusi, penanda untuk peta gen dan alat bantu untuk program selective breeding (Pangastuti, 2006).