EFEKTIFITAS PENGOLAHAN AIR MINUM DITINJAU DARI KUALITAS AIR MINUM BERDASARKAN PARAMETER FISIK, KIMIA, DAN BIOLOGI DI IPA II PINUS PDAM INTAN BANJAR 1 2 Laila Rismawati , Husaini , Laily Khairiyati 2 1 Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru 2 Departemen K3 Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat 3 Departemen Kesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Email: [email protected] Abstrak Instalasi Pengolahan Air (IPA) II Pinus yang berlokasi di Jalan Mentaos Timur nomor 1, Banjarbaru merupakan salah satu instalasi yang melayani kebutuhan air bersih, termasuk air minum bagi penduduk Kota Banjarbaru dan Martapura. Air minum yang layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu fisika, kimia, biologi, dan radioaktif sesuai dengan syarat Permenkes Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Air Minum. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan parameter fisik (kekeruhan, warna, dan TDS), kimia (pH, Fe, dan Mn), dan biologi (total koliform dan E.coli) sebelum dan sesudah pengolahan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan rancangan observasional analitik melalui pendekatan cross-sectional. Subjek penelitian yang diambil adalah data kualitas air minum PDAM Intan Banjar Tahun 2014 sebelum dan sesudah pengolahan. Uji yang digunakan pada penelitian ini adalah Uji T dan Uji Wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan sebelum dan sesudah pengolahan pada kekeruhan (p-value=0,0001), warna (pvalue=0,0001), TDS (p-value=0,002), Fe (p-value=0,002), Mn (p-value=0,002), total koliform (pvalue=0,002), E.coli (p-value=0,002), sedangkan tidak ada perbedaan pada pH (p-value=0,535). Semua parameter air minum yang telah diolah telah memenuhi Permenkes Nomor 492 Tahun 2010. Dapat disimpulkan bahwa kualitas air minum yang diolah di IPA II Pinus PDAM Intan Banjar sudah baik. Kata kunci : kualitas air minum, parameter fisik, parameter kimia, parameter biologi Abstract Water Treatment Plant (IPA) II Pinus is located on Mentaos Timur Road Street number 1, Banjarbaru is one of the installations that serve the needs of clean water, including drinking water especially for the Banjarbaru and Martapura city. Drinking water to be consumed by people must fullfil certain requirements, that is physics, chemistry, biology, and radioactive in accordance with Minister of Health Regulation Number 492 of year 2010 on Water Supply Requirements. Goals of the research is to analyze the differences in physic parameters (turbidity, color, and TDS), chemical (pH, Fe, and Mn), and biology (total coliforms and E.coli) before and after treatment. The research uses quantitative method with observational analytic design throught cross-sectional approach. The subject of research is data quality of drinking water PDAM Intan Banjar of 2014 before and after treatment. This research use paired T-test and Wilcoxon test. The results showed that there is a difference before and after treatment in turbidity (p-value = 0.0001), color (p-value = 0.0001), TDS (p-value = 0.002), Fe (p-value = 0.002), Mn (p-value = 0.002), total coliforms (pvalue = 0.002), E. coli (p-value = 0.002), and there was no difference in pH (p-value = 0.535). All parameters of drinking water that has been processed already qualified with Minister of Health Regulation Number 492 of year 2010. It can be concluded that the quality of drinking water in IPA II Pinus PDAM Intan Banjar is good. Keywords: quality of drinking water, physic parameters, chemical parameters, and biology Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 2, Agustus 2016 74 PENDAHULUAN Air merupakan salah satu zat yang paling penting dalam kehidupan. Air dimanfaatkan oleh semua makhluk hidup untuk bertahan hidup, dan khususnya untuk manusia selain diminum untuk bertahan hidup, juga digunakan pada berbagai kegiatan lainnya seperti mencuci, mandi, memasak, dan lain-lain. Dalam penggunaannya, apabila air yang digunakan terkontaminasi oleh bakteri ataupun zat kimia lainnya, maka akan menimbulkan penyakit bagi manusia (1). Berdasarkan isu yang ada terkait air bersih, apabila air yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak higiene dan aman merupakan salah satu faktor utama dari penyebab 88 persen kematian anak akibat diare di seluruh dunia (2). Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bagian Produksi dan Perawatan di IPA II Pinus Banjarbaru pada tanggal 3 Februari 2015, air yang diproduksi oleh IPA II Pinus Banjarbaru terdiri dari dua jenis, yaitu air bersih dan air minum. Instalasi Pengolahan Air (IPA) II Pinus yang berlokasi di Jalan Mentaos Timur nomor 1, Banjarbaru merupakan salah satu instalasi yang melayani kebutuhan air bersih, terutama bagi penduduk Kota Banjarbaru dan Martapura. Berdasarkan hasil wawancara tersebut diketahui air yang diproduksi oleh IPA II Pinus Banjarbaru terdiri dari dua jenis, yaitu air bersih dan air minum. Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum (3). Air minum yang layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu fisika, kimia, biologi, dan radioaktif. Hal ini dikarenakan air minum yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak boleh menyebabkan dampak yang berbahaya bagi kesehatan serta menurunkan estetika air minum tersebut (4). Upaya untuk mencegah terjadinya penyakit yang diakibatkan oleh penggunaan air yang terkontaminasi oleh bakteri ataupun zat kimia, maka memperbaiki kualitas air merupakan prioritas utama dalam mencegah penyakit yang berhubungan dengan air (5). Pentingnya peran IPA II Pinus dalam penyediaan air minum membuat kinerja dari air hasil olahan harus optimal. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai pengolahan air minum di Instalasi Pengolahan Air (IPA) II Pinus Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Intan Banjar Kota Banjarbaru. BAHAN DAN METODE Penelitian ini bersifat studi observasional analitik yang bertujuan untuk mengetahui pengolahan air minum di IPA II Pinus PDAM Intan Banjar yang dilihat dari parameter fisik, kimia, dan biologis. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah air baku yang berasal dari Waduk Riam Kanan untuk sampel air minum sebelum pengolahan. Sedangkan untuk sampel air minum sesudah pengolahan diambil dari bak reservoir IPA II Pinus Banjarbaru tahun 2014. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kekeruhan Hasil uji T-berpasangan antara perbedaan kekeruhan sebelum dan sesudah pengolahan dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Perbedaan Kekeruhan Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air Minum No. Bulan Sebelum pengolahan Sesudah pengolahan p-value (NTU) (NTU) 1. Januari 9,64 0,99 2. Februari 7,71 0,68 3. Maret 4,06 0,79 4. April 10,60 0,62 5. Mei 5,08 0,54 6. Juni 5,67 0,30 7. Juli 6,06 0,47 0,0001 8. Agustus 3,47 0,85 9. September 5,27 0,54 10. Oktober 3,68 0,90 11. November 6,26 0,45 12. Desember 6,26 0,48 Rata-rata 6,15 0,64 Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa hasil uji paired T-test nilai p= 0,0001 (p<0,05). Artinya Ho ditolak yaitu ada perbedaan rata-rata nilai kekeruhan sebelum dan sesudah pengolahan air Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 2, Agustus 2016 75 minum PDAM. Persentase pengolahan air minum sebelum dan sesudah adalah 5,51%. Adanya perbedaan nilai kekeruhan sebelum dan sesudah pengolahan ini dikarenakan selama proses pengolahan air baku menjadi air minum melalui beberapa tahapan yang dapat menurunkan kekeruhan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Aprian dan Edwan (2012) menyatakan bahwa terjadi penurunan kekeruhan setelah pengolahan (6). Dilihat berdasarkan angka pada tabel 1 diketahui bahwa terjadi penurunan kekeruhan. Konsentrasi kekeruhan pada hasil air minum yang telah diolah menunjukkan bahwa telah sesuai dengan Permenkes Nomor 492 Tahun 2010. Konsentrasi kekeruhan maksimal pada air minum adalah 5 NTU dan pada tabel 1 di atas diketahui bahwa pada semua bulan setelah dilakukan pengolahan konsentrasi kekeruhan pada air minum dibawah standar yang seharusnya (7). Konsentrasi kekeruhan yang tinggi pada air minum akan menyebabkan terganggunya proses desinfeksi sehingga akan menyebabkan air minum menjadi media yang baik untuk bakteri berkembang biak. Berkembang biaknya bakteri pada air minum dapat menjadi media untuk penularan penyakit waterborne disease (5,7). 1. Warna Hasil uji T-berpasangan antara perbedaan warna sebelum dan sesudah pengolahan dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Perbedaan Warna Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air Minum No. Bulan Sebelum Sesudah pengolahan p-value pengolahan (TCU) (TCU) 1. Januari 15 1 2. Februari 9 0 3. Maret 27 4 4. April 25 0 5. Mei 21 3 6. Juni 9 0 7. Juli 14 1 0,0001 8. Agustus 12 4 9. September 23 5 10. Oktober 5 3 11. November 30 14 12. Desember 30 6 Rata-rata 18,34 3,42 Berdasarkan tabel 2 diketahui hasil uji paired T-test didapatkan nilai p= 0,0001 (p<0,05). Artinya Ho ditolak yaitu ada perbedaan mean nilai warna sebelum dan sesudah pengolahan pada air minum PDAM. Persentase penurunan sebelum dan sesudah pengolahan air minum adalah 14,92%. Warna merupakan salah satu parameter fisik yang digunakan dalam penentuan kualitas air minum. Adanya warna pada air minum disebabkan oleh adanya kandungan zat-zat tertentu pada air minum, seperti tingginya zat Fe pada air minum akan menimbulkan warna kehitaman pada air minum. Selain itu warna dalam air minum juga dapat disebabkan oleh keberadaan zat organik berwarna yang berhubungan dengan penguraian tanah serta juga dapat berasal dari kontaminasi sumber air oleh buangan limbah industri (7, 8). Oleh karena itu, air minum yang harus dikonsumsi oleh manusia harus memenuhi syarat sesuai dengan Permenkes Nomor 492 tahun 2010 sehingga tidak menimbulkan bahaya untuk tubuh (3). Warna yang memenuhi standar artinya memiliki kualitas yang baik dan menandakan bahwa media filter yang digunakan dalam proses pengolahan air minum dalam keadaan baik sehingga penyaringan zat tersuspensi bekerja secara optimal (9). Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa terjadi penurunan konsentrasi warna pada air minum. Hasil olahan air minum khususnya untuk parameter warna telah memenuhi syarat yang tercantum dalam Permenkes Nomor 492 tahun 2010, yakni dibawah 15 TCU. Air minum yang memiliki konsentrasi diatas 15 TCU akan menyebabkan terjadinya perubahan warna pada air (3,13). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aprian dan Edwan (2012) yang menyatakan bahwa ada penurunan warna sebelum dan sesudah pengolahan air (6). Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 2, Agustus 2016 76 3. TDS Hasil uji T-berpasangan antara perbedaan TDS sebelum dan sesudah pengolahan dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Perbedaan TDS Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air Minum No. Bulan Sebelum Sesudah p-value pengolahan (mg/l) pengolahan (mg/l) 1. Januari 60,8 59,9 2. Februari 56,0 56,7 3. Maret 55,9 57,5 4. April 57,3 59,7 5. Mei 56,6 63,3 6. Juni 59,5 61,9 7. Juli 57,4 59,2 0,002 8. Agustus 59,4 59,3 9. September 58,3 61,3 10. Oktober 62,3 65,8 11. November 65,1 69,5 12. Desember 65,1 70,3 Rata-rata 59,47 62,03 Berdasarkan tabel 3 diketahui nilai hasil uji paired T-test didapatkan nilai p= 0,002 (p<0,05). Artinya Ho ditolak yaitu ada perbedaan nilai TDS sebelum dan sesudah pengolahan pada air minum PDAM. Terjadi peningkatan persentase sebesar 2,56% sebelum dan sesudah pengolahan air minum. TDS merupakan salah satu parameter fisik dari air minum yang akan mempengaruhi estetika air minum. TDS merupakan bahan terlarut dan koloid yang berupa senyawa-senyawa bahan kimia dan bahan-bahan lain yang terlarut dalam air. Semakin tinggi konsentrasi TDS pada air, maka akan mempengaruhi kekeruhan pada air minum (3, 5). Selain mempengaruhi kejernihan air minum, konsentrasi yang tinggi pada air juga akan menyebabkan perubahan warna dan rasa pada air minum (10). TDS tidak memiliki langsung dampak terhadap kesehatan, akan tetapi TDS memiliki keterkaitan dengan konsentrasi kekeruhan pada air minum. Semakin keruh air minum, maka akan semakin sulit proses desinfeksi yang dilakukan sehingga bakteri-bakteri dapat dengan mudah berkembang biak dan menjadi perantara terjadinya waterborne disease (5, 7). Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa konsentrasi TDS cenderung naik walaupun tidak signifikan. Walaupun konsentrasi TDS cenderung naik, akan tetapi nilai konsentrasi TDS pada air minum setelah proses pengolahan masih memenuhi Permenkes Nomor 492 tahun 2010, yakni dibawah 500 mg/l (3). 4. pH Hasil uji T-berpasangan antara perbedaan pH sebelum dan sesudah pengolahan dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Perbedaan pH Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air Minum No. Bulan Sebelum Sesudah p-value pengolahan pengolahan 1. Januari 7,47 7,24 2. Februari 7,08 7,28 3. Maret 7,61 7,35 4. April 7,25 7,31 5. Mei 7,60 7,59 6. Juni 6,91 6,99 7. Juli 7,27 7,21 0,535 8. Agustus 7,32 7,20 9. September 7,09 7,04 10. Oktober 7,21 7,24 11. November 7,29 7,16 12. Desember 7,29 7,46 Rata-rata 7,28 7,25 Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 2, Agustus 2016 77 Berdasarkan tabel 4 diketahui hasil uji paired T-test didapatkan nilai p= 0,535 (p>0,05). Artinya Ho diterima yaitu tidak ada perbedaan mean pH sebelum pengolahan dan sesudah pengolahan air minum. Persentase penurunan pH sebelum dan sesudah pengolahan air minum adalah 0,03%. pH merupakan ukuran besar kecilnya konsentrasi ion hidrogen dalam air. Standar maksimal untuk pH nilainya adalah 6,5-8,5. Air yang mempunyai pH lebih kecil dari 6,5 akan bersifat asam, sedangkan air yang mempunyai pH lebih besar dari 8,5 akan bersifat basa (3,11). Nilai pH yang lebih rendah dari 6,5 berarti bersifat lebih asam sehingga akan bersifat korosif pada organ tubuh apabila dikonsumsi oleh manusia. Air yang bersifat asam dapat melepaskan logam dari pipa seperti tembaga (Cu), timah (Pb), dan seng (Zn) sehingga air akan mengandung zat-zat ini. Dengan adanya kandungan logam pada air, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi estetika air minum, yaitu menimbulkan rasa asam pada air minum. Selain itu dapat pula menyebabkan masalah kesehatan pada manusia, yaitu asidosis Sedangkan nilai pH yang lebih tinggi tidak langsung menyebabkan masalah kesehatan, tetapi menyebabkan masalah estetika sepertinya timbulnya rasa pahit pada air minum (11, 12). Berdasarkan data pada tabel 4, diketahui bahwa konsentrasi pH pada air minum telah memenuhi syarat sebagai air minum, yakni masih berkisar di antara 6,9-7,4 dimana angka ini masih sesuai dengan pH pada Permenkes Nomor 492 tahun 2010, yakni 6,5-8,5 (3). 5. Zat besi (Fe) Hasil uji T-berpasangan antara perbedaan Fe sebelum dan sesudah pengolahan dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Perbedaan Fe Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air Minum No. Bulan Sebelum pengolahan Sesudah pengolahan p-value (mg/l) (mg/l) 1. Januari 0,132 0,013 2. Februari 0,171 0,092 3. Maret 0,101 0,002 4. April 0,107 0,006 5. Mei 0,051 0,006 6. Juni 0,121 0,003 7. Juli 0,105 0,005 0,002 8. Agustus 0,059 0,001 9. September 0,065 0,003 10. Oktober 0,051 0,002 11. November 0,033 0,021 12. Desember 0,033 0,031 Rata-rata 0,08 0,01 Berdasarkan tabel 5. diketahui hasil uji paired T-test didapatkan nilai p= 0,002 (p<0,05). Artinya Ho ditolak yaitu ada perbedaan mean Fe sebelum dan sesudah pengolahan pada air minum. Persentase penurunan Fe sebelum dan sesudah proses pengolahan air minum adalah 0,07%. Fe merupakan salah satu parameter kimiawi pada air minum. Kandungan zat besi yang tinggi pada air dapat disebabkan karena terkontaminasi oleh limbah industri dan buangan sampah (8,26). Air yang mengandung konsentrasi zat besi yang tinggi akan menyebabkan noda kuning pada pakaian, dan alat lain-lainnya serta menimbulkan rasa yang tidak enak pada air minum pada konsentrasi di atas kurang lebih 0,3 mg/l (3,13). Air yang mengandung zat besi yang tinggi juga mempengaruhi estetika air minum, yaitu dapat mempengaruhi warna air minum menjadi kekuningkuningan atau kecoklatan (7,14). Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa konsentrasi Fe setelah pengolahan air minum telah memenuhi standar syarat air minum sesuai Permenkes Nomor 492 tahun 2010, yakni dibawah 0,3 mg/l (3). Mengkonsumsi air minum yang mengandung konsentrasi Fe yang tinggi akan berpengaruh terhadap tubuh manusia. Berdasarkan hasil penelitian pada sel tubuh, diketahui bahwa zat besi dapat menghancurkan sel-sel seperti mitokondria dan lisosom. Selain itu zat besi juga dapat melakukan reaksi katalis yang bersifat merusak bagi tubuh, khususnya DNA yang dapat menyebabkan kerusakan sel, mutasi DNA, dan mengubah struktur genetik seseorang (15). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terjadi penurunan konsentrasi Fe pada air minum. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rani, dkk (2014) yang juga menyatakan bahwa terjadi penurunan Fe sebelum dan sesudah pengolahan air minum (14). Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 2, Agustus 2016 78 6. Mn Hasil uji Wilcoxon antara perbedaan Mn sebelum dan sesudah pengolahan dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini. Tabel 6. Perbedaan Mn Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air Minum No. Bulan Sebelum Sesudah p-value pengolahan (mg/l) pengolahan (mg/l) 1. Januari 0,132 0,013 2. Februari 0,171 0,006 3. Maret 0,101 0,002 4. April 0,107 0,006 5. Mei 0,051 0,006 6. Juni 0,121 0,003 7. Juli 0,105 0,005 0,002 8. Agustus 0,059 0,001 9. September 0,065 0,003 10. Oktober 0,051 0,002 11. November 0,033 0,021 12. Desember 0,033 0,031 Rata-rata 0,08 0,008 Berdasarkan tabel 6 diketahui hasil uji paired T-test didapatkan nilai p=0,002 (p<0,05). Artinya Ho ditolak yaitu ada perbedaan mean Mn sebelum dan sesudah pengolahan pada air minum. Persentase penurunan Mn sebelum dan sesudah pengolahan air minum adalah 0,072%. Mn merupakan salah satu parameter kimia dalam penentuan kualitas air minum. Konsentrasi mangan maksimal pada air minum adalah 0,4 mg/l dan berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa konsentrasi Mn pada air minum setelah proses pengolahan telah memenuhi syarat sesuai Permenkes Nomor 492 tahun 2010 (3,13). Konsentrasi Mn yang tinggi pada air minum akan menyebabkan perubahan warna air menjadi kehitaman sehingga akan berpengaruh terhadap estetika air minum (8). Mengkonsumsi mangan dalam jumlah yang kecil tidak menimbulkan gangguan kesehatan, akan tetapi apabila dikonsumsi terus-menerus akan tertimbun di dalam hati dan ginjal. Gejala yang diakibatkan mengkonsumsi Mn secara terus-menerus menimbulkan gangguan pada sistem saraf dan menampakkan gejala seperti penyakit Parkinson (15,16). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terjadi penurunan konsentrasi Mn sebelum dan sesudah pengolahan air minum. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Aprian dan Edwan (2012) yang menyatakan adanya penurunan Mn sebelum dan sesudah pengolahan (6). 7. Total Koliform Hasil uji Wilcoxon antara perbedaan total koliform sebelum dan sesudah pengolahan dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini. Tabel 7. Perbedaan Total Koliform Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air Minum No. Bulan Sebelum p-value Sesudah pengolahan pengolahan (mg/l) (mg/l) 1. Januari 9300 0 2. Februari 2300 0 3. Maret 2400 0 4. April 1100 0 5. Mei 930 0 6. Juni 75 0 7. Juli 19 0 0,002 8. Agustus 150 0 9. September 9300 0 10. Oktober 4300 0 11. November 24000 0 12. Desember 4300 0 Rata-rata 4,874.83 0 Berdasarkan tabel 7 diketahui pada tabel diketahui hasil uji paired T-test didapatkan nilai p= Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 2, Agustus 2016 79 0,002 (p<0,05). Artinya Ho ditolak yaitu ada perbedaan mean total koliform sebelum dan sesudah pengolahan pada air minum. Persentase penurunan total koliform sebelum dan sesudah pengolahan air minum adalah 4,874,8%. Bakteri koliform adalah jenis bakteri yang umum digunakan sebagai indikator penentuan kualitas sanitasi makanan dan air. Total koliform menunjukkan bakteri coliform dari tinja, tanah, atau sumber alamiah lainnya. Koliform sebenarnya bukan penyebab dari waterborne disease, namun bakteri jenis ini mudah untuk dikultur dan keberadaannya dapat digunakan sebagai indikator keberadaan organisme patogen seperti bakteria lain, virus, atau protozoa yang banyak merupakan parasit yang hidup dalam sistem pencernaan manusia serta terkandung dalam feses. Organisme indikator digunakan karena ketika seseorang terinfeksi oleh bakteri patogen, orang tersebut akan mengekskresi organisme indikator jutaan kali lebih banyak daripada organisme patogen (30). Koliform sebagai suatu kelompok dicirikan sebagai bakteri berbentuk batang, gram negative, tidak membentuk spora, aerobic, dan anaerobic fakultatif yang memfermentasi laktosa ddengan menghasilkan asam dan gas dalam waktu 48 jam pada suhu 35°C. Adanya bakteri koliform dalam air menunjukkan kemungkinan adanya mikroba yang bersifat enteropatogenik atau toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan (30). 8. E.coli Hasil uji Wilcoxon antara perbedaan E.colisebelum dan sesudah pengolahan dapat dilihat pada tabel 8 berikut ini. Tabel 8. Perbedaan E.Coli Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air Minum Bulan No. p-value Sebelum Sesudah pengolahan pengolahan 1. Januari 2100 0 2. Februari 2300 0 3. Maret 2400 0 4. April 1100 0 5. Mei 430 0 6. Juni 14 0 0,002 7. Juli 15 0 8. Agustus 43 0 9. September 2300 0 10. Oktober 1500 0 11. November 9300 0 12. Desember 930 0 Berdasarkan tabel 5.8 diketahui pada tabel terlihat nilai sig 0,002<0,05, keputusannya adalah Ho ditolak yang artinya ada perbedaan mean E.coli sebelum dan sesudah pengolahan pada air minum. Persentase penurunan E.coli sebelum dan sesudah pengolahan air minum adalah 930%. E.coli merupakan anggota koliform yang dapat dibedakan dari bakteri koliform lain karena kemampuannya memfermentasikan laktosa pada suhu 44°C. Berbeda dengan bakteri koliform lainnya, E.coli merupakan bakteri yang berasal dari feses dan keberadaan bakteri ini pada air menunjukkan bahwa adanya kontaminasi fekal pada badan air (16). PENUTUP Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada kekeruhan sebelum dan sesudah pengolahan air minum (p-value=0,0001), Ada perbedaan yang signifikan pada warna sebelum dan sesudah pengolahan air minum (p-value=0,0001), Ada perbedaan yang signifikan pada TDS sebelum dan sesudah pengolahan air minum (p-value=0,002), Tidak ada perbedaan pada pH sebelum dan sesudah pengolahan air minum (p-value=0,535), Ada perbedaan yang signifikan pada Fe sebelum dan sesudah pengolahan air minum (p-value=0,002), Ada perbedaan yang signifikan pada Mn sebelum dan sesudah pengolahan air minum (pvalue=0,002), Ada perbedaan yang signifikan pada total koliform sebelum dan sesudah pengolahan air minum (p-value=0,002), dan Ada perbedaan yang signifikan pada E.coli sebelum dan sesudah pengolahan air minum (p-value=0,002). Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini, yaitu bagi IPA II Pinus PDAM Intan Banjar agar selalu melakukan perawatan dan perbaikan, khususnya pada bak filtrasi instalasi pengolahan air minum sehingga proses penurunan TDS bisa menurun. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti parameter lainnya yang tidak diteliti oleh peneliti seperti Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 2, Agustus 2016 80 analisis perbedaan pengolahan air minum (UV, desinfeksi, dan ozonisasi) dengan kualitas air minum yang dihasilkan atau pengaruh jarak pengaliran, suhu, tekanan, konsentrasi klorin terhadap kualitas air bersih, dan dosis koagulan yang diberikan pada proses pengolahan air minum tidak boleh diberikan berlebih dan harus sesuai dengan debit air, sehingga konsentrasi pH pun akan menjadi stabil. DAFTAR PUSTAKA 1. Chandra B. Pengantar kesehatan lingkungan. Jakarta: EGC, 2014. 2. UNICEF. Air bersih, sanitasi, dan kebersihan. Ringkasan Kajian UNICEF Indonesia. 2012. 3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air. 4. Said NI. Pencemaran air minum dan dampaknya terhadap kesehatan. Direktorat Teknologi Lingkungan Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, Material, dan Lingkungan. Jakarta: Badan Pengkajian dan penerapan teknologi, 2011. 5. Mulia RM. Kesehatan lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005. 6. Rahadi AE dan Edwan K. Kualitas air pada proses pengolahan air minum di instalasi pengolahan air minum Lippo Cikarang. Artikel ilmiah. Bandung: Institut Teknologi Bandung, 2009. 7. Ester M, dkk. Pedoman mutu air minum. Jakarta: EGC, 2005. 8. Wardhana WA. Dampak pencemaran lingkungan. Yogyakarta: Andi, 2004. 9. Putra IDGNK, Komang AN, dan Putu ASW. Analisis mutu air minum isi ulang di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Artikel ilmiah. Bali: Universitas Udayana, 2014. 10. Mirwan M. Penurunan konsentrasi besi (Fe) dan mangan (Mn) pada air tanah dengan sistem menara aerasi. Disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat yang didanai DP2M DIKTI, RISTEK, KKP3T, PEMDA dan UPNVJ Tahun 2010. 11. WHO. Manganese in drinking-water. Background document for development of WHO Guideline drinking-water quality. Geneva: WHO Press, 2011. 12. Singh S dan Mosley LM. Trace metal levels in drinking water on Viti Levu, Fiji Island. S Pac.J. Nat Sci 2003; 21(3): 1-4. 13. Badiamurti GR, dan Barti SM. Korelasi kualitas air dan insidensi penyakit diare berdasarkan keberadaan bakteri koliform di Sungai Cikapundung. Artikel ilmiah. Bandung: Institut Teknologi Bandung, 2010. 14. Achmad R. Kimia lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004. 15. Grazuleviciene R, dkk. Effects of elevated levels of manganese and iron in drinking water on birth outcomes. Polish J. of Environ. Stud 2009; 18(5): 819-825. Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 2, Agustus 2016 81