efektifitas pengolahan air minum ditinjau dari kualitas air minum

advertisement
EFEKTIFITAS PENGOLAHAN AIR MINUM DITINJAU DARI KUALITAS AIR
MINUM BERDASARKAN PARAMETER FISIK, KIMIA, DAN BIOLOGI DI IPA II
PINUS PDAM INTAN BANJAR
1
2
Laila Rismawati , Husaini , Laily Khairiyati
2
1
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat Banjarbaru
2
Departemen K3 Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat
3
Departemen Kesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat
Email: [email protected]
Abstrak
Instalasi Pengolahan Air (IPA) II Pinus yang berlokasi di Jalan Mentaos Timur nomor 1,
Banjarbaru merupakan salah satu instalasi yang melayani kebutuhan air bersih, termasuk air
minum bagi penduduk Kota Banjarbaru dan Martapura. Air minum yang layak untuk dikonsumsi
oleh masyarakat harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu fisika, kimia, biologi, dan radioaktif
sesuai dengan syarat Permenkes Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Air Minum.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan parameter fisik (kekeruhan, warna, dan
TDS), kimia (pH, Fe, dan Mn), dan biologi (total koliform dan E.coli) sebelum dan sesudah
pengolahan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan rancangan observasional
analitik melalui pendekatan cross-sectional. Subjek penelitian yang diambil adalah data kualitas air
minum PDAM Intan Banjar Tahun 2014 sebelum dan sesudah pengolahan. Uji yang digunakan
pada penelitian ini adalah Uji T dan Uji Wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
perbedaan sebelum dan sesudah pengolahan pada kekeruhan (p-value=0,0001), warna (pvalue=0,0001), TDS (p-value=0,002), Fe (p-value=0,002), Mn (p-value=0,002), total koliform (pvalue=0,002), E.coli (p-value=0,002), sedangkan tidak ada perbedaan pada pH (p-value=0,535).
Semua parameter air minum yang telah diolah telah memenuhi Permenkes Nomor 492 Tahun
2010. Dapat disimpulkan bahwa kualitas air minum yang diolah di IPA II Pinus PDAM Intan Banjar
sudah baik.
Kata kunci : kualitas air minum, parameter fisik, parameter kimia, parameter biologi
Abstract
Water Treatment Plant (IPA) II Pinus is located on Mentaos Timur Road Street number 1,
Banjarbaru is one of the installations that serve the needs of clean water, including drinking water
especially for the Banjarbaru and Martapura city. Drinking water to be consumed by people must
fullfil certain requirements, that is physics, chemistry, biology, and radioactive in accordance with
Minister of Health Regulation Number 492 of year 2010 on Water Supply Requirements. Goals of
the research is to analyze the differences in physic parameters (turbidity, color, and TDS),
chemical (pH, Fe, and Mn), and biology (total coliforms and E.coli) before and after treatment. The
research uses quantitative method with observational analytic design throught cross-sectional
approach. The subject of research is data quality of drinking water PDAM Intan Banjar of 2014
before and after treatment. This research use paired T-test and Wilcoxon test. The results showed
that there is a difference before and after treatment in turbidity (p-value = 0.0001), color (p-value =
0.0001), TDS (p-value = 0.002), Fe (p-value = 0.002), Mn (p-value = 0.002), total coliforms (pvalue = 0.002), E. coli (p-value = 0.002), and there was no difference in pH (p-value = 0.535). All
parameters of drinking water that has been processed already qualified with Minister of Health
Regulation Number 492 of year 2010. It can be concluded that the quality of drinking water in IPA
II Pinus PDAM Intan Banjar is good.
Keywords: quality of drinking water, physic parameters, chemical parameters, and biology
Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 2, Agustus 2016
74
PENDAHULUAN
Air merupakan salah satu zat yang paling penting dalam kehidupan. Air dimanfaatkan oleh
semua makhluk hidup untuk bertahan hidup, dan khususnya untuk manusia selain diminum untuk
bertahan hidup, juga digunakan pada berbagai kegiatan lainnya seperti mencuci, mandi,
memasak, dan lain-lain. Dalam penggunaannya, apabila air yang digunakan terkontaminasi oleh
bakteri ataupun zat kimia lainnya, maka akan menimbulkan penyakit bagi manusia (1).
Berdasarkan isu yang ada terkait air bersih, apabila air yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak
higiene dan aman merupakan salah satu faktor utama dari penyebab 88 persen kematian anak
akibat diare di seluruh dunia (2).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bagian Produksi dan Perawatan di IPA II
Pinus Banjarbaru pada tanggal 3 Februari 2015, air yang diproduksi oleh IPA II Pinus Banjarbaru
terdiri dari dua jenis, yaitu air bersih dan air minum. Instalasi Pengolahan Air (IPA) II Pinus yang
berlokasi di Jalan Mentaos Timur nomor 1, Banjarbaru merupakan salah satu instalasi yang
melayani kebutuhan air bersih, terutama bagi penduduk Kota Banjarbaru dan Martapura.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut diketahui air yang diproduksi oleh IPA II Pinus Banjarbaru
terdiri dari dua jenis, yaitu air bersih dan air minum. Air minum adalah air yang melalui proses
pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung
diminum (3).
Air minum yang layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, yaitu fisika, kimia, biologi, dan radioaktif. Hal ini dikarenakan air minum yang dikonsumsi
oleh masyarakat tidak boleh menyebabkan dampak yang berbahaya bagi kesehatan serta
menurunkan estetika air minum tersebut (4). Upaya untuk mencegah terjadinya penyakit yang
diakibatkan oleh penggunaan air yang terkontaminasi oleh bakteri ataupun zat kimia, maka
memperbaiki kualitas air merupakan prioritas utama dalam mencegah penyakit yang berhubungan
dengan air (5). Pentingnya peran IPA II Pinus dalam penyediaan air minum membuat kinerja dari
air hasil olahan harus optimal. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut, maka
dilakukan penelitian mengenai pengolahan air minum di Instalasi Pengolahan Air (IPA) II Pinus
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Intan Banjar Kota Banjarbaru.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini bersifat studi observasional analitik yang bertujuan untuk mengetahui
pengolahan air minum di IPA II Pinus PDAM Intan Banjar yang dilihat dari parameter fisik, kimia,
dan biologis. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional. Subjek yang digunakan
dalam penelitian ini adalah air baku yang berasal dari Waduk Riam Kanan untuk sampel air
minum sebelum pengolahan. Sedangkan untuk sampel air minum sesudah pengolahan diambil
dari bak reservoir IPA II Pinus Banjarbaru tahun 2014.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kekeruhan
Hasil uji T-berpasangan antara perbedaan kekeruhan sebelum dan sesudah pengolahan
dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Perbedaan Kekeruhan Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air Minum
No.
Bulan
Sebelum pengolahan
Sesudah pengolahan
p-value
(NTU)
(NTU)
1.
Januari
9,64
0,99
2.
Februari
7,71
0,68
3.
Maret
4,06
0,79
4.
April
10,60
0,62
5.
Mei
5,08
0,54
6.
Juni
5,67
0,30
7.
Juli
6,06
0,47
0,0001
8.
Agustus
3,47
0,85
9.
September
5,27
0,54
10. Oktober
3,68
0,90
11. November
6,26
0,45
12. Desember
6,26
0,48
Rata-rata
6,15
0,64
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa hasil uji paired T-test nilai p= 0,0001 (p<0,05). Artinya
Ho ditolak yaitu ada perbedaan rata-rata nilai kekeruhan sebelum dan sesudah pengolahan air
Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 2, Agustus 2016
75
minum PDAM. Persentase pengolahan air minum sebelum dan sesudah adalah 5,51%. Adanya
perbedaan nilai kekeruhan sebelum dan sesudah pengolahan ini dikarenakan selama proses
pengolahan air baku menjadi air minum melalui beberapa tahapan yang dapat menurunkan
kekeruhan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Aprian dan Edwan
(2012) menyatakan bahwa terjadi penurunan kekeruhan setelah pengolahan (6).
Dilihat berdasarkan angka pada tabel 1 diketahui bahwa terjadi penurunan kekeruhan.
Konsentrasi kekeruhan pada hasil air minum yang telah diolah menunjukkan bahwa telah sesuai
dengan Permenkes Nomor 492 Tahun 2010. Konsentrasi kekeruhan maksimal pada air minum
adalah 5 NTU dan pada tabel 1 di atas diketahui bahwa pada semua bulan setelah dilakukan
pengolahan konsentrasi kekeruhan pada air minum dibawah standar yang seharusnya (7).
Konsentrasi kekeruhan yang tinggi pada air minum akan menyebabkan terganggunya
proses desinfeksi sehingga akan menyebabkan air minum menjadi media yang baik untuk bakteri
berkembang biak. Berkembang biaknya bakteri pada air minum dapat menjadi media untuk
penularan penyakit waterborne disease (5,7).
1.
Warna
Hasil uji T-berpasangan antara perbedaan warna sebelum dan sesudah pengolahan dapat
dilihat pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Perbedaan Warna Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air Minum
No.
Bulan
Sebelum
Sesudah pengolahan
p-value
pengolahan
(TCU)
(TCU)
1.
Januari
15
1
2.
Februari
9
0
3.
Maret
27
4
4.
April
25
0
5.
Mei
21
3
6.
Juni
9
0
7.
Juli
14
1
0,0001
8.
Agustus
12
4
9.
September
23
5
10.
Oktober
5
3
11.
November
30
14
12.
Desember
30
6
Rata-rata
18,34
3,42
Berdasarkan tabel 2 diketahui hasil uji paired T-test didapatkan nilai p= 0,0001 (p<0,05).
Artinya Ho ditolak yaitu ada perbedaan mean nilai warna sebelum dan sesudah pengolahan pada
air minum PDAM. Persentase penurunan sebelum dan sesudah pengolahan air minum adalah
14,92%. Warna merupakan salah satu parameter fisik yang digunakan dalam penentuan kualitas
air minum. Adanya warna pada air minum disebabkan oleh adanya kandungan zat-zat tertentu
pada air minum, seperti tingginya zat Fe pada air minum akan menimbulkan warna kehitaman
pada air minum. Selain itu warna dalam air minum juga dapat disebabkan oleh keberadaan zat
organik berwarna yang berhubungan dengan penguraian tanah serta juga dapat berasal dari
kontaminasi sumber air oleh buangan limbah industri (7, 8). Oleh karena itu, air minum yang harus
dikonsumsi oleh manusia harus memenuhi syarat sesuai dengan Permenkes Nomor 492 tahun
2010 sehingga tidak menimbulkan bahaya untuk tubuh (3).
Warna yang memenuhi standar artinya memiliki kualitas yang baik dan menandakan bahwa
media filter yang digunakan dalam proses pengolahan air minum dalam keadaan baik sehingga
penyaringan zat tersuspensi bekerja secara optimal (9). Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa
terjadi penurunan konsentrasi warna pada air minum. Hasil olahan air minum khususnya untuk
parameter warna telah memenuhi syarat yang tercantum dalam Permenkes Nomor 492 tahun
2010, yakni dibawah 15 TCU. Air minum yang memiliki konsentrasi diatas 15 TCU akan
menyebabkan terjadinya perubahan warna pada air (3,13). Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Aprian dan Edwan (2012) yang menyatakan bahwa ada penurunan
warna sebelum dan sesudah pengolahan air (6).
Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 2, Agustus 2016
76
3.
TDS
Hasil uji T-berpasangan antara perbedaan TDS sebelum dan sesudah pengolahan dapat
dilihat pada tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Perbedaan TDS Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air Minum
No.
Bulan
Sebelum
Sesudah
p-value
pengolahan (mg/l)
pengolahan (mg/l)
1.
Januari
60,8
59,9
2.
Februari
56,0
56,7
3.
Maret
55,9
57,5
4.
April
57,3
59,7
5.
Mei
56,6
63,3
6.
Juni
59,5
61,9
7.
Juli
57,4
59,2
0,002
8.
Agustus
59,4
59,3
9.
September
58,3
61,3
10.
Oktober
62,3
65,8
11.
November
65,1
69,5
12.
Desember
65,1
70,3
Rata-rata
59,47
62,03
Berdasarkan tabel 3 diketahui nilai hasil uji paired T-test didapatkan nilai p= 0,002 (p<0,05).
Artinya Ho ditolak yaitu ada perbedaan nilai TDS sebelum dan sesudah pengolahan pada air
minum PDAM. Terjadi peningkatan persentase sebesar 2,56% sebelum dan sesudah pengolahan
air minum. TDS merupakan salah satu parameter fisik dari air minum yang akan mempengaruhi
estetika air minum. TDS merupakan bahan terlarut dan koloid yang berupa senyawa-senyawa
bahan kimia dan bahan-bahan lain yang terlarut dalam air. Semakin tinggi konsentrasi TDS pada
air, maka akan mempengaruhi kekeruhan pada air minum (3, 5). Selain mempengaruhi kejernihan
air minum, konsentrasi yang tinggi pada air juga akan menyebabkan perubahan warna dan rasa
pada air minum (10). TDS tidak memiliki langsung dampak terhadap kesehatan, akan tetapi TDS
memiliki keterkaitan dengan konsentrasi kekeruhan pada air minum. Semakin keruh air minum,
maka akan semakin sulit proses desinfeksi yang dilakukan sehingga bakteri-bakteri dapat dengan
mudah berkembang biak dan menjadi perantara terjadinya waterborne disease (5, 7).
Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa konsentrasi TDS cenderung naik walaupun tidak
signifikan. Walaupun konsentrasi TDS cenderung naik, akan tetapi nilai konsentrasi TDS pada air
minum setelah proses pengolahan masih memenuhi Permenkes Nomor 492 tahun 2010, yakni
dibawah 500 mg/l (3).
4.
pH
Hasil uji T-berpasangan antara perbedaan pH sebelum dan sesudah pengolahan dapat
dilihat pada tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Perbedaan pH Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air Minum
No.
Bulan
Sebelum
Sesudah
p-value
pengolahan
pengolahan
1.
Januari
7,47
7,24
2.
Februari
7,08
7,28
3.
Maret
7,61
7,35
4.
April
7,25
7,31
5.
Mei
7,60
7,59
6.
Juni
6,91
6,99
7.
Juli
7,27
7,21
0,535
8.
Agustus
7,32
7,20
9.
September
7,09
7,04
10.
Oktober
7,21
7,24
11.
November
7,29
7,16
12.
Desember
7,29
7,46
Rata-rata
7,28
7,25
Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 2, Agustus 2016
77
Berdasarkan tabel 4 diketahui hasil uji paired T-test didapatkan nilai p= 0,535 (p>0,05).
Artinya Ho diterima yaitu tidak ada perbedaan mean pH sebelum pengolahan dan sesudah
pengolahan air minum. Persentase penurunan pH sebelum dan sesudah pengolahan air minum
adalah 0,03%. pH merupakan ukuran besar kecilnya konsentrasi ion hidrogen dalam air. Standar
maksimal untuk pH nilainya adalah 6,5-8,5. Air yang mempunyai pH lebih kecil dari 6,5 akan
bersifat asam, sedangkan air yang mempunyai pH lebih besar dari 8,5 akan bersifat basa (3,11).
Nilai pH yang lebih rendah dari 6,5 berarti bersifat lebih asam sehingga akan bersifat korosif pada
organ tubuh apabila dikonsumsi oleh manusia. Air yang bersifat asam dapat melepaskan logam
dari pipa seperti tembaga (Cu), timah (Pb), dan seng (Zn) sehingga air akan mengandung zat-zat
ini. Dengan adanya kandungan logam pada air, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi
estetika air minum, yaitu menimbulkan rasa asam pada air minum. Selain itu dapat pula
menyebabkan masalah kesehatan pada manusia, yaitu asidosis Sedangkan nilai pH yang lebih
tinggi tidak langsung menyebabkan masalah kesehatan, tetapi menyebabkan masalah estetika
sepertinya timbulnya rasa pahit pada air minum (11, 12).
Berdasarkan data pada tabel 4, diketahui bahwa konsentrasi pH pada air minum telah
memenuhi syarat sebagai air minum, yakni masih berkisar di antara 6,9-7,4 dimana angka ini
masih sesuai dengan pH pada Permenkes Nomor 492 tahun 2010, yakni 6,5-8,5 (3).
5.
Zat besi (Fe)
Hasil uji T-berpasangan antara perbedaan Fe sebelum dan sesudah pengolahan dapat
dilihat pada tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Perbedaan Fe Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air Minum
No.
Bulan
Sebelum pengolahan
Sesudah pengolahan
p-value
(mg/l)
(mg/l)
1.
Januari
0,132
0,013
2.
Februari
0,171
0,092
3.
Maret
0,101
0,002
4.
April
0,107
0,006
5.
Mei
0,051
0,006
6.
Juni
0,121
0,003
7.
Juli
0,105
0,005
0,002
8.
Agustus
0,059
0,001
9.
September
0,065
0,003
10.
Oktober
0,051
0,002
11.
November
0,033
0,021
12.
Desember
0,033
0,031
Rata-rata
0,08
0,01
Berdasarkan tabel 5. diketahui hasil uji paired T-test didapatkan nilai p= 0,002 (p<0,05).
Artinya Ho ditolak yaitu ada perbedaan mean Fe sebelum dan sesudah pengolahan pada air
minum. Persentase penurunan Fe sebelum dan sesudah proses pengolahan air minum adalah
0,07%. Fe merupakan salah satu parameter kimiawi pada air minum. Kandungan zat besi yang
tinggi pada air dapat disebabkan karena terkontaminasi oleh limbah industri dan buangan sampah
(8,26). Air yang mengandung konsentrasi zat besi yang tinggi akan menyebabkan noda kuning
pada pakaian, dan alat lain-lainnya serta menimbulkan rasa yang tidak enak pada air minum pada
konsentrasi di atas kurang lebih 0,3 mg/l (3,13). Air yang mengandung zat besi yang tinggi juga
mempengaruhi estetika air minum, yaitu dapat mempengaruhi warna air minum menjadi kekuningkuningan atau kecoklatan (7,14). Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa konsentrasi Fe setelah
pengolahan air minum telah memenuhi standar syarat air minum sesuai Permenkes Nomor 492
tahun 2010, yakni dibawah 0,3 mg/l (3).
Mengkonsumsi air minum yang mengandung konsentrasi Fe yang tinggi akan berpengaruh
terhadap tubuh manusia. Berdasarkan hasil penelitian pada sel tubuh, diketahui bahwa zat besi
dapat menghancurkan sel-sel seperti mitokondria dan lisosom. Selain itu zat besi juga dapat
melakukan reaksi katalis yang bersifat merusak bagi tubuh, khususnya DNA yang dapat
menyebabkan kerusakan sel, mutasi DNA, dan mengubah struktur genetik seseorang (15).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terjadi penurunan konsentrasi Fe pada air minum.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rani, dkk (2014) yang juga menyatakan
bahwa terjadi penurunan Fe sebelum dan sesudah pengolahan air minum (14).
Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 2, Agustus 2016
78
6.
Mn
Hasil uji Wilcoxon antara perbedaan Mn sebelum dan sesudah pengolahan dapat dilihat
pada tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Perbedaan Mn Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air Minum
No.
Bulan
Sebelum
Sesudah
p-value
pengolahan (mg/l) pengolahan (mg/l)
1.
Januari
0,132
0,013
2.
Februari
0,171
0,006
3.
Maret
0,101
0,002
4.
April
0,107
0,006
5.
Mei
0,051
0,006
6.
Juni
0,121
0,003
7.
Juli
0,105
0,005
0,002
8.
Agustus
0,059
0,001
9.
September
0,065
0,003
10.
Oktober
0,051
0,002
11.
November
0,033
0,021
12.
Desember
0,033
0,031
Rata-rata
0,08
0,008
Berdasarkan tabel 6 diketahui hasil uji paired T-test didapatkan nilai p=0,002 (p<0,05).
Artinya Ho ditolak yaitu ada perbedaan mean Mn sebelum dan sesudah pengolahan pada air
minum. Persentase penurunan Mn sebelum dan sesudah pengolahan air minum adalah 0,072%.
Mn merupakan salah satu parameter kimia dalam penentuan kualitas air minum. Konsentrasi
mangan maksimal pada air minum adalah 0,4 mg/l dan berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa
konsentrasi Mn pada air minum setelah proses pengolahan telah memenuhi syarat sesuai
Permenkes Nomor 492 tahun 2010 (3,13). Konsentrasi Mn yang tinggi pada air minum akan
menyebabkan perubahan warna air menjadi kehitaman sehingga akan berpengaruh terhadap
estetika air minum (8). Mengkonsumsi mangan dalam jumlah yang kecil tidak menimbulkan
gangguan kesehatan, akan tetapi apabila dikonsumsi terus-menerus akan tertimbun di dalam hati
dan ginjal. Gejala yang diakibatkan mengkonsumsi Mn secara terus-menerus menimbulkan
gangguan pada sistem saraf dan menampakkan gejala seperti penyakit Parkinson (15,16).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terjadi penurunan konsentrasi Mn sebelum dan
sesudah pengolahan air minum. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Aprian dan
Edwan (2012) yang menyatakan adanya penurunan Mn sebelum dan sesudah pengolahan (6).
7.
Total Koliform
Hasil uji Wilcoxon antara perbedaan total koliform sebelum dan sesudah pengolahan dapat
dilihat pada tabel 7 berikut ini.
Tabel 7. Perbedaan Total Koliform Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air Minum
No.
Bulan
Sebelum
p-value
Sesudah
pengolahan
pengolahan (mg/l)
(mg/l)
1.
Januari
9300
0
2.
Februari
2300
0
3.
Maret
2400
0
4.
April
1100
0
5.
Mei
930
0
6.
Juni
75
0
7.
Juli
19
0
0,002
8.
Agustus
150
0
9.
September
9300
0
10.
Oktober
4300
0
11.
November
24000
0
12.
Desember
4300
0
Rata-rata
4,874.83
0
Berdasarkan tabel 7 diketahui pada tabel diketahui hasil uji paired T-test didapatkan nilai p=
Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 2, Agustus 2016
79
0,002 (p<0,05). Artinya Ho ditolak yaitu ada perbedaan mean total koliform sebelum dan sesudah
pengolahan pada air minum. Persentase penurunan total koliform sebelum dan sesudah
pengolahan air minum adalah 4,874,8%. Bakteri koliform adalah jenis bakteri yang umum
digunakan sebagai indikator penentuan kualitas sanitasi makanan dan air. Total koliform
menunjukkan bakteri coliform dari tinja, tanah, atau sumber alamiah lainnya. Koliform sebenarnya
bukan penyebab dari waterborne disease, namun bakteri jenis ini mudah untuk dikultur dan
keberadaannya dapat digunakan sebagai indikator keberadaan organisme patogen seperti
bakteria lain, virus, atau protozoa yang banyak merupakan parasit yang hidup dalam sistem
pencernaan manusia serta terkandung dalam feses. Organisme indikator digunakan karena ketika
seseorang terinfeksi oleh bakteri patogen, orang tersebut akan mengekskresi organisme indikator
jutaan kali lebih banyak daripada organisme patogen (30).
Koliform sebagai suatu kelompok dicirikan sebagai bakteri berbentuk batang, gram
negative, tidak membentuk spora, aerobic, dan anaerobic fakultatif yang memfermentasi laktosa
ddengan menghasilkan asam dan gas dalam waktu 48 jam pada suhu 35°C. Adanya bakteri
koliform dalam air menunjukkan kemungkinan adanya mikroba yang bersifat enteropatogenik atau
toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan (30).
8. E.coli
Hasil uji Wilcoxon antara perbedaan E.colisebelum dan sesudah pengolahan dapat dilihat
pada tabel 8 berikut ini.
Tabel 8. Perbedaan E.Coli Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air Minum
Bulan
No.
p-value
Sebelum
Sesudah
pengolahan
pengolahan
1.
Januari
2100
0
2.
Februari
2300
0
3.
Maret
2400
0
4.
April
1100
0
5.
Mei
430
0
6.
Juni
14
0
0,002
7.
Juli
15
0
8.
Agustus
43
0
9.
September
2300
0
10. Oktober
1500
0
11. November
9300
0
12. Desember
930
0
Berdasarkan tabel 5.8 diketahui pada tabel terlihat nilai sig 0,002<0,05, keputusannya
adalah Ho ditolak yang artinya ada perbedaan mean E.coli sebelum dan sesudah pengolahan
pada air minum. Persentase penurunan E.coli sebelum dan sesudah pengolahan air minum
adalah 930%. E.coli merupakan anggota koliform yang dapat dibedakan dari bakteri koliform lain
karena kemampuannya memfermentasikan laktosa pada suhu 44°C. Berbeda dengan bakteri
koliform lainnya, E.coli merupakan bakteri yang berasal dari feses dan keberadaan bakteri ini
pada air menunjukkan bahwa adanya kontaminasi fekal pada badan air (16).
PENUTUP
Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada kekeruhan
sebelum dan sesudah pengolahan air minum (p-value=0,0001), Ada perbedaan yang signifikan
pada warna sebelum dan sesudah pengolahan air minum (p-value=0,0001), Ada perbedaan yang
signifikan pada TDS sebelum dan sesudah pengolahan air minum (p-value=0,002), Tidak ada
perbedaan pada pH sebelum dan sesudah pengolahan air minum (p-value=0,535), Ada
perbedaan yang signifikan pada Fe sebelum dan sesudah pengolahan air minum (p-value=0,002),
Ada perbedaan yang signifikan pada Mn sebelum dan sesudah pengolahan air minum (pvalue=0,002), Ada perbedaan yang signifikan pada total koliform sebelum dan sesudah
pengolahan air minum (p-value=0,002), dan Ada perbedaan yang signifikan pada E.coli sebelum
dan sesudah pengolahan air minum (p-value=0,002).
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini, yaitu bagi IPA II Pinus PDAM
Intan Banjar agar selalu melakukan perawatan dan perbaikan, khususnya pada bak filtrasi
instalasi pengolahan air minum sehingga proses penurunan TDS bisa menurun. Bagi peneliti
selanjutnya diharapkan dapat meneliti parameter lainnya yang tidak diteliti oleh peneliti seperti
Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 2, Agustus 2016
80
analisis perbedaan pengolahan air minum (UV, desinfeksi, dan ozonisasi) dengan kualitas air
minum yang dihasilkan atau pengaruh jarak pengaliran, suhu, tekanan, konsentrasi klorin
terhadap kualitas air bersih, dan dosis koagulan yang diberikan pada proses pengolahan air
minum tidak boleh diberikan berlebih dan harus sesuai dengan debit air, sehingga konsentrasi pH
pun akan menjadi stabil.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chandra B. Pengantar kesehatan lingkungan. Jakarta: EGC, 2014.
2. UNICEF. Air bersih, sanitasi, dan kebersihan. Ringkasan Kajian UNICEF Indonesia. 2012.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air.
4. Said NI. Pencemaran air minum dan dampaknya terhadap kesehatan. Direktorat Teknologi
Lingkungan Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, Material, dan Lingkungan. Jakarta:
Badan Pengkajian dan penerapan teknologi, 2011.
5. Mulia RM. Kesehatan lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005.
6. Rahadi AE dan Edwan K. Kualitas air pada proses pengolahan air minum di instalasi
pengolahan air minum Lippo Cikarang. Artikel ilmiah. Bandung: Institut Teknologi Bandung,
2009.
7. Ester M, dkk. Pedoman mutu air minum. Jakarta: EGC, 2005.
8. Wardhana WA. Dampak pencemaran lingkungan. Yogyakarta: Andi, 2004.
9. Putra IDGNK, Komang AN, dan Putu ASW. Analisis mutu air minum isi ulang di Kecamatan
Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Artikel ilmiah. Bali: Universitas Udayana, 2014.
10. Mirwan M. Penurunan konsentrasi besi (Fe) dan mangan (Mn) pada air tanah dengan sistem
menara aerasi. Disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada
masyarakat yang didanai DP2M DIKTI, RISTEK, KKP3T, PEMDA dan UPNVJ Tahun 2010.
11. WHO. Manganese in drinking-water. Background document for development of WHO
Guideline drinking-water quality. Geneva: WHO Press, 2011.
12. Singh S dan Mosley LM. Trace metal levels in drinking water on Viti Levu, Fiji Island. S Pac.J.
Nat Sci 2003; 21(3): 1-4.
13. Badiamurti GR, dan Barti SM. Korelasi kualitas air dan insidensi penyakit diare berdasarkan
keberadaan bakteri koliform di Sungai Cikapundung. Artikel ilmiah. Bandung: Institut
Teknologi Bandung, 2010.
14. Achmad R. Kimia lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004.
15. Grazuleviciene R, dkk. Effects of elevated levels of manganese and iron in drinking water on
birth outcomes. Polish J. of Environ. Stud 2009; 18(5): 819-825.
Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 2, Agustus 2016
81
Download