Draf `Final` TESIS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
"The successes of modern democratic government have to be considered the
successes of government bureaucracies as well."(Douglas J. Amy)
A. Problematika Birokrasi dan Tuntutan Agenda Reformasi
Penelitian ini membahas mengenai bekerjanya faktor internal dan
eksternal dalam mekanisme pengisian jabatan struktural berbasis kompetensi
di lingkungan Sekretariat Daerah Propinsi Kalimantan Tengah.
Pengisian jabatan struktural di dunia birokrasi bukanlah sebuah proses
yang bekerja di ruang vakum dan imun dari berbagai pengaruhinstitusional
normatif, sosio-politik, sosio-kultural dan sosio-ekonomibaik yang berasal
dari lingkungan internal maupun eksternal.Sulit untuk dipungkiri bahwa
terdapat banyak kemungkinan faktor yang berpotensi mempengaruhi
terciptanya kondisi ideal birokrasi berbasis merit system, di antaranya adalah
faktor legal- formal, faktor politis, faktor nepotisme, faktor primordialisme dan
budaya patrimonial.Menempatkan birokrasi pada wilayah steril yang
sepenuhnya terbebas dari pengaruh beragam faktor tersebut boleh dikatakan
mustahil.
Birokrasi adalah sebuah sistem terstruktur dari bangun kekuasaan berisi
aktor-aktor yang terbagi menurut area dan jenjang hirarkis. Bangun kekuasaan
tersebut, puncaknya ditempati oleh aktor penguasa tunggal (executive
ascendancy) yang memposisikan diri sebagai super ordinat terhadap aktor
lainnya, yakni para eksekutif karir. Penguasa tunggal dengan klaim “hak
prerogatifnya” adalah satu-satunya aktor paling berkuasa dalam menentukan
nasib jabatan birokrasi para eksekutif. Penguasa tunggal ini tentunya
1
merupakan pribadi humanistik dengan segala motif dan kepentingan
individualnya, pun ia adalah pribadi politik (homo politicus).
Birokrasi secara natural memang berwajah ganda, di satu sisi ia dituntut
untuk menjadi entitas netral mengatasi semua kepentingan partikular, namun
pada saat yang bersamaan ia dituntut pula untuk mampu menerjemahkan visimisi dan agenda dari sang penguasa tunggal. Birokrasi adalah tempat
berkumpulnya para eksekutor peraturan perundang- undangan yang notabene
merupakan produk dari sebuah proses politik.
Persoalan klasik birokrasi hingga saat ini adalah kebutuhan birokrasi
untuk berjuang keluar dari zona stigmatisasi negatif yang dialamatkan
kepadanya. Masyarakat menganggap bahwa birokrasi Indonesia pada
umumnya dan birokrasi daerah khususnya masih terkungkung dalam kondisi
patologis (bureau-pathology) seperti kecenderungan adanya inefisiensi,
penyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi dan nepotisme.
Bila kita menengok ke belakang dan sekedar mengambil potongan
fragmentasi sejarah dengan memulai titik berangkat pengamatan dari birokrasi
orde baru, maka keburukan birokrasi itu pun sudah jelas terlihat. Bagaimana
tidak, birokrasi secara struktural dipakai untuk mendukung pemenangan partai
politik pemerintah melalui praktek diskriminasi dan penyalahgunaan fasilitas,
program maupun dana negara. Birokrasi adalah alat rejim status quo untuk
melakukan kooptasi kepada masyarakat dalam rangka mempertahankan dan
memperluas kekuasaan monolitik. Jati diri birokrasi sebagai lembaga publik
yang netral dan adil hanyalah sekedar harapan. Sejumlah kenyataan tersebut,
2
sekali lagi memperlihatkan wajah buram birokrasi sebagai salah satu bagian
dari sistem yang turut menghambat berkembangnya keadilan dan demokrasi.
Kondisi kepegawaian yang ada di birokrasi sekarang memiliki pertalian
sejarah dengan kebijakan kepegawaian di masa lalu. Proses penataan
kepegawaian mulai dari rekrutmen, pembinaan, dan pensiun banyak diwarnai
aroma politik. Pemerintah saat itu membutuhkan pegawai karena didorong
oleh keinginan memperbanyak jumlah sehingga semakin banyak pegawai
yang bisa dibina untuk mendukung kekuatan golongan politik yang berkuasa.
Menurut Eko Prasojo, yang menjadi akar permasalahan buruknya
kondisi birokrasi di Indonesia hingga saat ini, di samping karena adanya
pengaruh perkembangan lingkungan eksternal juga disebabkan oleh persoalan
sistem internal kepegawaian terkait dengan fungsi dan profesionalismenya.
Persoalan itu meliputi: (a) rekrutmen pegawai, (b) penggajian dan reward, (c)
pengukuran kinerja, (d) promosi jabatan, (e) pengawasan. Kegagalan
pemerintah melakukan reformasi terhadap subsistem tersebut menyebabkan
terjadinya kesenjangan kemampuan birokrasi dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya serta melahirkan para birokrat yang dicirikan oleh
kerusakan moral. (Prasojo, 2009 : 7)
Pendapat tentang adanya kerusakan moral para birokrat sebagaimana
tersebut di atas, dikuatkan dengan hasil survei PERC yang berbasis di
Hongkong tentang persepsi ekspatriat terhadap kinerja birokrasi publik di
Indonesia. Hasil survei PERC yang diterbitkan dalam jurnal Transparency
Internasional Indonesia (2010),
menyatakan bahwa kondisi birokrasi
Indonesia termasuk salah satu yang terburuk di kawasan Asia Pasifik. Dari 16
3
negara yang disurvei, Indonesia menempati peringkat terendah setelah
Kamboja, dengan skor 9.27 (0: terbersih; 10: terkorup). Bahkan di antara
negara ASEAN, Indonesia hampir selalu mendapatkan peringkat terkorup
sejak 1997 hingga 2010. (Dwiyanto, 2011 : 309)
Oleh karenanya, maka reformasi birokrasi menjadi kata kunci guna
mengatasi persoalan tersebut. Ada banyak hal yang perlu disikapi oleh
birokrasi terkait perubahan lingkungan eksternal dengan melaksanakan agenda
pembenahan internal. Setidaknya terdapat tiga area pembenahan internal
birokrasi yang diamanatkan melalui agenda reformasi birokrasi, yakni
pembenahan pada aspek kelembagaan, aspek ketatalaksanaan dan aspek
Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur.
Gagasan utama dalam rangka mengelola reformasi birokrasi adalah
terjadinya perbaikan yang sistematis, komprehensif dan cepat atas pelayanan
yang diberikan kepada publik sehingga publik merasa sangat puas terhadap
apa yang telah dan sedang birokrat berikan kepada mereka. Ini berarti, harus
terdapat perubahan (change) di tubuh birokrasi berkaitan dengan organisasi
maupun sumber daya manusia (Masdar, 2009 : 46-47). Walaupun rencana
perubahan sudah matang dan siap dengan prioritas kerja yang jelas, reformasi
birokrasi tetap tidak akan berjalan dengan baik tanpa didukung oleh
tersedianya SDM yang profesional dan handal.
SDM Aparatur yang berkualitas, terutama di level pejabat eselon sangat
diperlukan untuk memastikan bahwa mesin birokrasi bisa bekerja secara
optimal dalam rangka menjalankan misi utamanya dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat.
4
Ketersediaaan SDM pejabat yang kompeten dan profesional tentu tidak
terlepas dari bagaimana kehandalan mekanisme rekrutmen jabatan yang
diberlakukan dalam internal birokrasi untuk memastikan penempatan pegawai
yang tepat pada posisi yang tepat.
Penyebaran pegawai untuk memenuhi tugas dari masing- masing
organisasi tidak memiliki Kejelasan. Berapa jumlah pegawai yang sebenarnya
dibutuhkan oleh masing- masing unit organisasi dalam departemen pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, tidak jelas ukuran dan kriterianya. Upaya untuk
melakukan penataan kembali (rightsizing) merupakan kebutuhan yang amat
mendesak guna melihat seberapa jauh kepegawaian pemerintah ini bisa
berperan dalam menciptakan tata kepemerintahan yang baik. (Thoha, 2005:99)
Penempatan pegawai yang tepat berarti ada kesesuaian kompetensi
pegawai terhadap jabatan sebagai suatu kedudukan yang menunjukkan tugas,
tanggung jawab, wewenang dan hak- haknya dalam satuan organisasi negara
(Jeddawi, 2010 : 71). Jabatan yang dimaksud adalah jabatan karir pada
struktur organisasi birokrasi yang hanya dapat diduduki oleh para pegawai
yang sudah berstatus PNS.Kenyataan hingga saat ini, penempatan PNS dalam
jabatan struktural birokrasi, meskipun telah dijalankan menurut prosedur
normatif yang dirancang seideal mungkin, namun belum sepenuhnya mampu
memenuhi harapan akan ketersediaan sosok-sosok pejabat yang dapat
membawa birokrasi bergerak ke luar dari zona stigmatisasi negatif.
Sejalan dengan itu, dalam salah satu karya tulisannya, Cornelis Lay
mengatakan bahwa : “secara normatif birokrasi Indonesia didesain menurut
model merit system dengan mengandaikan proses pengangkatan birokrasi
5
dilakukan menurut standar-standar profesional dan non politis. Akan tetapi
dalam praktiknya, kriteria pengangkatan birokrat terutama pada tingkat elite
birokrasi lebih dekat dengan praktek perkoncoan (patrimonialisme) dan kental
dengan pertimbangan politis.” (Lay, 2003 : 59).
Untuk menghindari terjadinya tendensi politis terus- menerus dalam
mekanisme pengisian jabatan, maka perlu adanya kajian ulang mengenai pola
serta sistem rekrutmen pejabat yang ada saat ini sehingga terdapat jaminan
bahwa unsur kompetensi dan prestasi kerja merupakan inti utama dari
kebijakan rekrutmen tersebut sembari memastikan bahwa setiap PNS yang
telah memenuhi persyaratan dan ketentuan, bisa memperoleh kesempatan
sama dalam hal pengangkatan sebagai pejabat struktural di birokrasi.
Gambaran riil mengenai kondisi dari mekanisme pengisian pos jabatan
struktural di lingkungan sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah, bisa
ditelusuri dari proses yang telah dijalankan selama ini, apakah sudah
memberikan ruang kondusif bagi terciptanya struktur peluang dan akses yang
sama kepada setiap PNS untuk bisa diangkat dalam jabatan struktural pada
level eselon tertentu. Struktur peluang dan kesamaan akses tersebut,
diharapkan dapat terlahir dari suatu mekanisme seleksi yang pelaksanaannya
didasarkan pada prinsip keadilan dan obyektivitas, bukan karena adanya
alasan-alasan yang subyektif yang bias kepentingan (interest), seperti faktor
nepotisme, primordialisme, patrimonialisme atau beragam motif politis
lainnya.
Sepengetahuan penulis, sebenarnya telah banyak karya tulis dan hasil
penelitian sebelumnya yang mengulas seputar permasalahan pengisian jabatan
6
struktural di birokrasi daerah, di antaranya penelitian yang dilakukan oleh
Didimus D. (2004) yang meneliti pengaruh etnisitas dalam penempatan
pejabat di lingkungan pemerintah kota Kupang,
temuan penelitian
menyebutkan bahwa birokrasi daerah yang tidak memiliki sikap netral dengan
menjadikan kesamaan etnik sebagai dasar bagi rekrutmen pegawai maupun
penempatan para pejabat, merupakan pemicu terjadinya konflik lokal.
Selanjutnya adalah penelitian oleh Belo (2008) yang membahas
mengenai Strategi Pengembangan Sumber Daya Aparatur Pemerintah di
Sekretariat Dewan Menteri Negara Republik Demokratik Timor-Leste. Hasil
studinya berhasil mengungkapkan kondisi di lokus penelitian bahwa
kompetensi dan profesionalisme para pejabat yang ada masih rendah,
tatakelola administrasi yang buruk serta belum diterapkannya sistem
manajemen data administrasi berbasis elektronik.
Berikutnya penelitian yang lebih spesifik mengenai rekrutmen pejabat
pernah dilakukan oleh Rustam (2011) tentang pelaksanaan prosedur
pengangkatan pejabat struktural di lingkungan sekretariat daerah propinsi
Sumatera Barat di tinjau dari peran instansi dan Individu terkait. Hasil
penelitiannya menemukan fakta bahwa pengangkatan pejabat struktural
dilaksanakan secara tertutup di setiap instansi tanpa adanya analisa jabatan
yang ideal.
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini
difokuskan pada usaha memberikan pandangan sistematis dan menyeluruh,
mengenai mekanisme pengisian jabatan struktural di birokrasi sekretariat
daerah propinsi Kalimantan Tengah dan analisa terhadap bekerjanya faktor
7
internal dan faktor eksternal yang bersumber dari klaim “hak prerogatif”
pejabat politik, dimana kedua faktor ini mempengaruhi hasil dan pelaksanaan
mekanisme tersebut. Dengan demikian, menurut hemat kami, kajian ini
memiliki signifikansi untuk diteliti lebih jauh.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi singkat pada latar belakang di atas, kami merasa
tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai rekrutmen jabatan tersebut dengan
mengajukan pertanyaan:
Bagaimana bekerjanya faktor internal dan eksternal dalam mempengaruhi
mekanisme pengisian jabatan struktural di lingkungan sekretariat daerah
propinsi (setdaprop) Kalimantan Tengah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, adalah :
1. Menganalisa bagaimana mekanisme pengisian jabatan struktural yang
dilaksanakan di sekretariat daerah propinsi (setdaprop) Kalimantan Tengah.
2. Memetakan sejumlah faktor baik
internalmaupun eksternalsekaligus
menjelaskan bagaimana faktor- faktor tersebut bekerja dan potensial
mempengaruhi mekanisme pengisian jabatan struktural di sekretariat
daerah propinsi (setdaprop) Kalimantan Tengah.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat
Teoritis,
yakni
memberikan
kontribusi
pemikiran
bagi
pengembangan pengetahuan terkait implikasi nilai- nilai good governancedi
8
level birokrasi daerah dalam rangka mewujudkan pelayanan prima kepada
publik.
2. Manfaat Praktis, yakni menjadi bahan masukan atau rekomendasi bagi
pemerintah guna perbaikan sistem rekrutmen jabatan karir birokrat daerah,
termasuk memperkaya perspektif sejumlah stakeholders lainnya untuk
dapat ambil bagian dalam mendorong terciptanya kualitas SDM pejabat
yang profesional dan kompeten.
E. Kerangka Dasar Teori
Penelitian ini didasarkan pada sejumlah pilihan teori yang masingmasing kedudukannya berusaha diletakan secara konsisten dalam masalah
yang diteliti. Kerangka teori disusun sedemikian rupa yang memuat pokokpokok pemikiran terdahulu dari para ahli untuk menggambarkan dari sudut
mana masalah penelitian disoroti termasuk bagaimana membangun asumsiasumsi. (Nawawi, 1995 : 39-40).
Adapun teori-teori yang dipilih sebagai landasan berfikir peneliti dalam
menjelaskan dan membingkai argumen mengenai mekanisme pengisian
jabatan struktural beserta faktor- faktor yang mempengaruhinya, adalah
sebagaimana paparan berikut ini:
1. Konsepsi Birokrasi
Konsep birokrasi lahir sekitar abad 19 yang dicetuskan oleh Max
Weber. Definisi birokrasi, menurut bapak birokrasi ini, a clearly defined
hierarchy where office holders have very specific functions and apply
universalistic rules in a spirit of formalistic impersonality (Frinces, 2008 : 32).
Pengertian birokrasi sebagaimana tersebut, mengandung arti yang rasional
9
dimana birokrasi merupakan struktur hirarkis bagi sejumlah pejabat yang
melaksanakan tugas serta fungsi khusus berdasarkan aturan-aturan formal
yang bersifat impersonalitas.
Dari berbagai konsep birokrasi yang banyak ditulis oleh para ahli,
setidaknya terminologi birokrasi dapat dikontraskan ke dalam dua kategori:
pertama, birokrasi dalam pengertian yang baik atau rasional (bureau
rationality) seperti terkandung dalam pengertian Hegelian Bureaucracy dan
Weberian Bureaucracy; Kedua, birokrasi dalam pengertian sebagai suatu
penyakit (bureau pathology) seperti terkandung dalam pengertian Marxian
Bureaucracy.
Birokrasi dalam pengertian bureau rationality terungkap dari pemikiran
Max Weber tentang konsep tipe ideal birokrasi. Tetapi kritikan tentang
seberapa jauh peran birokrasi terhadap kehidupan politik, atau sebaliknya
pengaruh politik terhadap birokrasi, kurang dikenal dalam konsep birokrasi
Weberian yang hanya menekankan bagaimana seharusnya mesin birokrasi itu
secara rasional dijalankan. Namun demikian, David Beetham melihatnya
secara berbeda, birokrasi Weberian dalam praktek masih memiliki titik
persinggungan dengan persoalan politis. (Ma’arif, 2013:109-111)
Tipe ideal birokrasi Weber sebagaimana dirangkum oleh Martin
Albrow, memiliki empat ciri utama, yaitu: (1) adanya suatu struktur hirarki,
termasuk pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi,
(2) adanya serangkaian posisi-posisi jabatan, dimana masing- masing memiliki
tugas dan tanggungjawab yang tegas, (3) adanya aturan-aturan, regulasiregulasi, serta standar-standar formal yang mengatur tata kerja organisasi dan
10
tingkah laku para anggotanya, (4) adanya personel yang secara teknis
memenuhi syarat dan dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi
berdasarkan pada kualifikasi dan penampilan. (Santoso, 1997:18).
Konsep Weber tentang tipe ideal birokrasi dapat ditelusuri akarnya dari
pandangan filsafat Hegel yang melihat negara sebagai suatu elemen netral
yang seolah-olah terpisah dari kehidupan masing- masing individu warga
masyarakat. Menurut Hegel, kalau warga sebuah negara dibiarkan mengatur
dirinya sendiri, maka akan terjadi kekacauan karena masing- masing warga
akan memperjuangkan kepentingan subyektifnya melawan kepentingan
subyektif warga lainnya (homo homini lupus). Ini adalah tesa dan antitesa
yang sintesanya ditemui dalam perwujudan lembaga negara.
Negara bagi Hegel merupakan penjelmaan kepentingan umum
masyarakat. Kepentingan umum ini sebenarnya bukan sesuatu yang asing di
luar individu tiap-tiap warga negara, melainkan juga adalah kepentingan
“obyektif” warga itu sendiri. Dengan mengikuti kepentingan umum, berarti
warga patuh pada negara, meskipun sebenarnya warga ini sedang melawan
kepentingan personalnya yang subyektif.
Hegel mengatakan: “negara merupakan penjelmaan dari kebebasan
rasional yang menyatakan dan mengenali dirinya dalam bentuk yang kongkrit
dan obyektif”. Dengan demikian negara merupakan sebuah lembaga yang
mengatasi dan lebih sempurna dari masyarakat. Kesempurnaan dan kekuatan
negara terletak di dalam kesatuan dari tujuannya yang universal daripada
kepentingan khusus dari masing- masing warga. Di dalam kenyataan bahwa
11
para warga punya kewajiban-kewajiban terhadap negara dengan hak- hak yang
mereka peroleh sebagai warga dari negara tersebut. (ibid :15)
Berdasarkan uraian di atas, nampaknya Hegel beranggapan bahwa
negara secara apriori melayani kepentingan umum, karena ia merupakan
sintesis dari pertentangan-pertentangan individu yang subyektif dan tidak
rasional. Pada tataran realitas, berbagai kebijaksanaan negara yang ada
seringkali hanya menguntungkan sekelompok orang dalam masyarakat. Oleh
karena itu perlu adanya struktur yang menjembatani antara the state yang
merefleksikan kepentingan umum dan civil society yang terdiri dari pelbagai
kepentingan khusus dalam masyarakat. Inilah inti dari konsep Hegelian
Bureaucracy.
Pendapat Hegel tersebut dibantah oleh Karl Marx. Bagi Marx, negara
hanyalah alat dari kelas yang berkuasa yakni kalangan bangsawan di negara
feodal dan kaum pemilik modal di negara kapitalis. Marx melontarkan kritik
terhadap pemikiran Hegel yang dianggap abstrak dan hanya bermain dengan
logika, namun kemudian ingin memaksakan kesimpulan-kesimpulan dari
logika-abstrak tersebut masuk ke dalam kenyataan empiris. Marx beranggapan
ada kesalahan metodologis yang dilakukan Hegel. Seharusnya ide diperoleh
dan diangkat dari kenyataan empiris, bukan sebaliknya. Karena itu bagi dia,
Hegel bukan melahirkan sebuah analisa tentang lembaga-lembaga tersebut.
Marx berpendapat, birokrasi adalah alat bagi kaum borjuis dan kapitalis
selaku kelas yang berkuasa untuk mengeksploitir kelas proletar. Birokrasi
adalah parasit yang eksistensinya menempel pada kelas yang berkuasa dan
dipergunakan untuk menghisap kelas proletar tadi. Karena eksistensi birokrasi
12
terkait dengan “kelas”, maka setelah terjadi revolusi sosial yang memporakporandakan kelas-kelas sosial dan terciptanya classes society, bersamaan
dengan itu akan lenyaplah birokrasi. Pandangan Marx tentang birokrasi ini
melahirkan model birokrasi Marxian yang memandang birokrasi sebagai
bureau pathology.
Birokrasi dalam pengertian bureau pathology selalu dikaitkan dengan
kelambanan kerja dan beragam prosedur yang begitu berbelit-belit. Seringkali
birokrasi dianggap sebagai organisasi yang kejam dengan peraturan anehaneh, sewenang-wenang dan menindas. Sejalan dengan Marx, setidaknya
Laski juga mencatat bahwa birokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan di
mana kekuasaan ada pada pejabat-pejabat negara yang diselenggarakan
sedemikian rupa sehingga merugikan atau membahayakan warga negara.
Sementara itu Robert Michels melihat birokrasi sebagai suatu struktur yang
mesti mengambil bentuk oligarki. Oleh karenanya, pandangan ini sering
disebut sebagai the iron law of oligarkhi. Pengertian lainnya tentang birokrasi
juga dicatat oleh Crocier dalam penelitiannya di Perancis, yakni birokrasi
sebagai organisasi birokratik merupakan suatu organisasi yang tidak dapat
mengoreksi tingkah lakunya dengan cara belajar dari kesalahan-kesalahannya.
(op. cit :18-19)
2. Model Birokrasi
Dalam terminologi ilmu politik, setidaknya dikenal empat model
birokrasi yang umum ditemui dalam praktik pembangunan di beberapa negara
di dunia. Model- model tersebut, yakni model Weberian, Parkinsonian,
13
Jacksonian, dan Orwellian. (Fatah, 1998: 192-195) yang secara lebih rinci
keempat model birokrasi tersebut sebagaimana diuraikan berikut ini:
Pertama, Model Weberian digagas oleh Max Weber, seorang tokoh
penting yang menjelaskan konsep birokrasi klasik. Model ini menunjuk pada
birokrasi sebagai sebuah organisasi yang ber-tipe ideal, yakni : 1) adanya
pembagian kerja yang jelas; 2) hierarki kewenangan yang jelas; 3) formalisasi
yang tinggi; 4) bersifat tidak pribadi (impersonal); 5) pengambilan keputusan
mengenai penempatan pegawai yang didasarkan atas kemampuan; 6) jejak
karir bagi para pegawai; dan 7) kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan
jelas dari kehidupan pribadi.
Kedua, Model Parkinsonian merupakan model birokrasi dengan
memperbesar sosok kuantitatif birokrasi melalui kebijakan penambahan
jumlah anggota (PNS) dan atau mengembangkan struktur organisasi birokrasi
untuk meningkatkan kapabilitasnya sebagai alat pembangunan. Di satu sisi,
model Parkinsonian dibutuhkan untuk mengakomodasikan perkembangan
masyarakat yang semakin maju dan kebutuhan mengatasi berbagai persoalan
pembangunan yang makin bertumpuk, namun di sisi lain juga dipakai sekedar
alat bagi kepentingan fragmatis penguasa untuk menampung para pejabat
yang dijadikan klien dalam pola hubungan patronase.
Ketiga, Model Jacksonian merupakan suatu model dengan menjadikan
birokrasi sebagai akumulasi kekuasaan negara
yang menyingkirkan
masyarakat di luar birokrasi dari ruang politik dan pemerintahan. Dalam
prakteknya, model ini menggambarkan pergantian rejim penguasa akan diikuti
dengan penggantian komposisi pejabat di lingkungan birokrasi yang
14
dipimpinnya dengan cara memasukan para pendukungnya dan menyingkirkan
orang –orang dari kubu lawan politiknya.
Keempat, Model Orwellian ini merupakan model yang menempatkan
birokrasi sebagai alat perpanjangan tangan negara dalam menjalankan kontrol
terhadap masyarakat. Ruang gerak masyarakat menjadi terbatas, segenap
aspek kehidupan masyarakat berada pada wilayah kontrol birokrasi.
Sebagaimana fakta yang terjadi selama ini bahwa dalam berbagai masalah di
banyak aspek, masyarakat harus meminta ijin kepada birokrasi.
3. Patologi Birokrasi dan Penyebabnya
Penyempurnaan birokrasi dalam pemerintahan memerlukan perubahan
sikap mendasar dari birokrasi itu sendiri. Sampai saat ini birokrasi mengalami
apa yang disebut dengan patologi birokrasi, terutama ditunjukan dengan
adanya kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri, mempertahankan
status quo dan menghalangi adanya perubahan. Namun, di dalam praktek
transformasi birokrasi itu sendiri juga tidak mudah untuk dilaksanakan.
Pendekatan yang dipakai dalam pelaksanaan transformasi itu seringkali terlalu
bersifat struktural, yaitu sekedar menyasar kepada penataan organisasi dan
fungsi- fungsinya saja. Sebenarnya, satu hal yang tidak kalah penting adalah
bagaimana pembaharuan pada sisi nilai- nilai yang membentuk manusia
birokrat.
Birokrasi pemerintah dibentuk untuk
menjalankan peran pada
penyelenggaraan tata pemerintahaan. Dalam mewujudkan fungsinya, birokrasi
menghadapi hadangan dan gangguan yang berasal dari lingkungan internal
maupun eksternal. Ibarat sebuah organisme hidup, birokrasi tumbuh dan
15
berkembang untuk menyesuaikan dengan lingkungan dan jamannya. Dalam
berproses itulah, birokrasi seringkali menemui pengganggu yang berpotensi
menghambat kinerjanya yaitu penyakit birokrasi, atau yang sering diistilahkan
oleh para ahli sebagai patologi birokrasi.
Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi memang
bukan lagi hal baru bagi kita, karena sudah ada sejak zaman dulu. Birokrasi
lebih menunjukkan kondisi empirik yang sangat buruk sehingga dipersepsikan
suatu penyakit (bureau patology) ketimbang citra yang baik atau rasional
(bureau rationality), seperti terkandung misalnya, dalam birokrasi Weberian
dan Hegelian. Citra buruk tersebut semakin diperparah dengan isu yang sering
muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan
pejabat publik, yakni korupsi dalam aneka-ragam bentuknya, serta lambatnya
pelayanan karena prosedur berbelit-belit atau yang lebih dikenal sebagai efek
pita merah (red-tape). Keseluruhan kondisi empirik yang terjadi secara
akumulatif telah meruntuhkan konsep birokrasi Hegelian dan Weberian yang
memfungsikan birokasi untuk mengkoordinasikan unsur- unsur dalam proses
pemerintahan secara ideal.
Apabila ditelusuri lebih jauh, bisa dipahami bahwa gejala patologi
dalam birokrasi bersumber dari masalah-masalah pokok, diantaranya:
Pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang
menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi dan mewujud dalam tindakan
penyalahgunaan jabatan. Kedua, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat
disfungsional, seperti perilaku sewenang-wenang dan diskriminatif.
16
Dwiyanto menyatakan bahwa patologi birokrasi atau penyakit birokrasi
adalah “hasil interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabelvariabel lingkungan yang salah” (Dwiyanto, 2011: 63). Patologi birokrasi
muncul dikarenakan hubungan antar variabel pada struktur birokrasi yang
terlalu berlebihan, seperti rantai hierarki panjang, spesialisasi, formalisasi dan
kinerja birokrasi yang tidak linear.
Menurut Peter M. Blau dan Marshal W Meyer (2000) maupun
Taliziduhu Ndraha (2003), mereka menyebutkan bahwa penyebab patologi
birokrasi adalah lemahnya faktor moral, gaji rendah, sistem rekrutmen dan
promosi tidak baik, aturan dan mekanisme kerja belum jelas, lemahnya
pengawasan dan birokrasi berpotensi politis. Sedangkan menurut JW. Schoorl
(1984), patologi birokrasi disebabkan faktor kekurangan administrator yang
cakap, besarnya jumlah aparat birokrasi, luasnya tugas pemerintahan,
sentralisasi, besarnya kekuasaan birokrasi serta adanya anasir tradisional
seperti nepotisme, primordialisme dan patrimonialisme.
Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai faktor politis dan anasir
tradisional sebagai salah satu penyebab terjadinya patologi birokrasi yang
dianggap potensial mempengaruhi mekanisme pengisian jabatan struktural di
birokrasi daerah, yakni:
a. Faktor Politis
Birokrasi publik tidak pernah beroperasi dalam ruang hampa,
melainkan selalu beroperasi dalam suatu lingkungan sosial, budaya, politik,
dan pemerintahan yang kompleks (Dwiyanto, 2011 : 7). Lebih lanjut, menurut
Azhari bahwa Marx mengemukakan birokrasi merupakan instrumen yang
17
dipergunakan oleh kelas-kelas dominan untuk melaksanakan kekuasaan
dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya. (Azhari, 2010 : 83)
Birokrasi dan politik ibarat dua sisi mata uang yang sulit untuk
dipisahkan (ibid : 1). Di satu sisi birokrasi dipimpin oleh pejabat politik
sebagai pemegang tampuk tertinggi kekuasaan yang selalu berganti secara
periodik melalui mekanisme pemilihan umum, sementara di lain sisi, birokrasi
dalam strukturnya terdapat pejabat birokrasi karir. Kondisi seperti ini rentan
memunculkan hubungan emosional dan personal antara pejabat karir dengan
pejabat politik dalam hal pertukaran atau transaksi politik demi kekuasaan.
Alhasil, seringkali nuansa politis begitu kental terjadi dalam proses
pengisian jabatan struktural di lingkup birokrasi. Keterkaitan ini dapat terlihat
jelas pada saat momen pemilukada dalam perebutan jabatan politik di tingkat
daerah yang melibatkan kontestasi calon incumbent. Kecenderungan untuk
mempertahankan kekuasaan dengan memenangi kontestasi, mendorong calon
incumbent selaku pejabat yang sedang berkuasa melirik birokrasi untuk
dijadikan mesin politiknya atau tim sukses yang mendukung pemenangannya.
Kesadaran penguasa akan pentingnya dukungan dari berbagai pihak
merupakan sesuatu yang saling terkait (mutual interest) dengan adanya
kenyataan bahwa para birokrat pemburu jabatan (job seeker) sangat menyadari
bahwa skenario peraturan perundang- undangan meletakan nasib dari karir
jabatan mereka berada pada genggaman pejabat politik yang memiliki kontrol
terhadap sumberdaya organisasi, termasuk lingkup hegemoni atas kewenangan
luas dan kuat dari pejabat politik melalui klaim “hak prerogatif”. Azhari
menyebut fenomena ini sebagai personal executive acendency (op.cit. : viii),
18
yakni suatu kondisi di mana karir birokrasi hanya diatur oleh satu orang
pejabat politik.
b. Faktor Nepotisme
Secara etimologis, istilah nepotisme berasal dari kata latin ‘nepos’ yang
berarti "keponakan" atau "cucu". Pengertian lengkapnya bisa merujuk pada
kata ‘nepotism’ dalam kamus Inggris, yang diartikan sebagai mendahulukan
sanak saudara sendiri. (Echols dan Sadily Hasan, 1985 : 21 ). Dalam dunia
birokrasi, nepotisme merupakan produk dari personalisasi kekuasaan oleh
pejabat politik yang menganggap bahwa kewenangan yang dimilikinya bisa
dipergunakan secara relatif bebas menurut kehendak diri pribadi. Pola
nepotisme biasanya teridentifikasi melalui praktek perlakuan khusus,
pemberian prioritas maupun fasilitas lebih berupa akses informasi penting,
properti, jabatan maupun proyek oleh penguasa kepada para kerabatnya.
Nepotisme merupakan tindakan subyektif penguasa yang mengabaikan
aspek“fairness” dengan tanpa mempertimbangan kualitas dan kemampuan
dari pihak penerima perlakuan khusus tersebut. Dalam sistem nepotis tidak
ada istilah kesamaan peluang dan iklim kompetisi sehat. Nepotisme
merupakan tindakan yang semata- mata berdasarkan pada naluri dan ikatan
emosional karena alasan pertalian darah atau hubungan kekerabatan.
c. Faktor Primordialisme
Primordialisme adalah suatu sikap sangat cintanya terhadap sesuatu,
atau dapat juga dimaknai sebagai suatu faham yang menunjukkan sikap
berpegang teguh kepada karakteristik individu yang dibawanya sejak lahir,
seperti agama, etnis, maupun golongan dan kebudayaan (bahasa, adat istiadat).
19
Faktor primordial merupakan suatu hubungan keterikatan berdasarkan pada
kesamaan unsur-unsur komunal yang dimiliki secara bersama oleh sejumlah
individu dalam suatu komunitas. Primordialisme tidak hanya menimbulkan
pola perilaku yang sama tetapi melahirkan pula persepsi yang sama tentang
masyarakat yang dicita-citakan. (Surbakti, 1992:44).
Perspektif primordialisme umumnya melihat bahwa kelompokkelompok sosial dikarakteristikan oleh gambaran seperti kewilayahan,
kebudayaan, bahasa, organisasi sosial dan agama yang memang disadari
sebagai hal yang ‘given’ dari sananya. Pendekatan ini terbukti mempunyai
pengaruh terhadap gambaran sosial masyarakat. Primordialisme muncul
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : 1) Adanya sesuatu yang
dianggap istimewa oleh individu dalam suatu kelompok atau perkumpulan
sosial. 2) Adanya suatu sikap untuk mempertahankan keutuhan kelompok atau
kesatuan sosial terhadap ancaman dari luar. 3) Adanya nilai- nilai yang
berkaitan dengan sistem keyakinan, misal agama. (Abdilah S., 2002 : 76)
Clifford Geertz beranggapan bahwa primordialisme menyangkut
hubungan kesetiaan komunal yang adalah percampuran faktor politis,
psikologis, kultural dan demografis (Geertz, 1992 : 77). Dalam politik,
menguatnya primordialisme dapat mengakibatkan munculnya tindakan
diskriminasi sebagai upaya untuk membedakan golongan-golongan yang
berkaitan dengan kepentingan tertentu yang dilakukan dengan sengaja.
Primordialisme sekarang ini menjadi aspek penting dalam hubungan
antar kelompok yang menyangkut gagasan tentang pembedaan, dikotomi
antara “kami” dan “mereka.” Dikotomi ini menegaskan batas-batas komunal
20
yang melingkupi anggota yang terikat di dalamnya dan non anggota di
luarnya.
d. Faktor Patrimonialisme
Salah satu budaya yang menonjol di dalam tubuh birokrasi Indonesia
adalah kecenderungan pembentukan pola hubungan patronage. Hubungan ini
oleh James Scott (1972) disebut sebagai hubungan patron-client. Pola
hubungan dalam konteks ini terjadi antar dua individu, si patron dan si client
yang bersifat resiprokal atau timbal-balik dengan saling mempertukarkan
sumber daya (exchange of resources) oleh masing- masing pihak.
Si Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, kedudukan atau
jabatan, harta kekayaan, perlindungan, perhatian dan rasa sayang. Sementara,
klien memiliki sumber daya berupa tenaga, dukungan, dan loyalitas. Pola
hubungan tersebut akan tetap terpelihara selama masing- masing pihak tetap
memiliki sumber daya tersebut. Kalau tidak demikian, maka masing- masing
pihak akan kembali mencari orang lain sebagai patron atau klien yang baru.
Menarik untuk diperhatikan, bahwa tidak jarang pula pola hubungan yang
bersifat clientilistic ini tumbuh dan berkembang, karena ada orang ketiga yang
menjadi perantara yang disebut sebagai brooker atau middleman. (Gaffar,
2006:109-110)
Pola hirarki yang bertemu dengan budaya paternalistik dalam birokrasi
telah menumbuhkan ketergantungan kuat para pejabat karir terhadap pejabat
politik sebagai atasan maupun pejabat karir lainnya dengan kedudukan eselon
lebih tinggi. Ketergantungan itu kemudian mendorong mereka untuk
memperlakukan atasan secara berlebihan, dengan menunjukkan loyalitas dan
21
pengabdian yang sangat tinggi kepada pimpinan dan
mengabaikan
perhatiannya kepada para pengguna layanan yang seharusnya menjadi
perhatian utama. (Mulder dalam Dwiyanto, 2011: 65)
Selanjutnya, ketergantungan ini lebih diperkuat dengan posisi tawar
pejabat atasan selaku pemegang otoritas tunggal yang akan menentukan nasib
para pejabat karir bawahannya. Menyadari akan hal yang demikian seringkali
pejabat karir sedapat mungkin mencari citra baik dan simpati atasan dengan
menjual loyalitas dan dedikasi guna dipertukarkan dengan peluang
memperoleh kemudahan dari sang pejabat politik dalam memuluskan karir
birokrasinya.
Prinsif loyalitas yang dipahami secara keliru oleh aparat pelayanan
turut pula memberikan implikasi pada rendahnya kemampuan melakukan
tindakan diskresi. Prinsip loyalitas yang dipahami dalam konteks struktur
piramidal kekuasaan birokrasi menyebabkan persepsi yang berkembang dalam
birokrasi adalah loyal kepada pimpinan karena jabatannya, bukan loyalitas
yang dipahami sebagai ketaatan secara institusional dan profesional atas dasar
visi dan misi organisasi serta tujuan pelayanan. (Kausar, 2008 : 9)
Hubungan emosional yang terbangun dari pola paternalistik yang
mementingkan loyalitas, cenderung membuat pejabat politik mengabaikan
sejumlah unsur obyektifitas seperti prestasi kerja,
kompetensi dan
profesionalisme yang seharusnya menjadi dasar pertimbangan utama penilaian
kinerja dan keputusan promosi jabatan. Dengan demikian ada perbedaan
karakteristik tentang konsep jabatan, dimana birokrasi paternalistik melihat
22
jabatan sebagai fungsi dari kepercayaan atasan, sedangkan dalam birokrasi
rasional, jabatan merupakan fungsi dari kemampuan dan prestasi kerja.
F. Alur Pikir Penelitian
Untuk memberikan kejelasan mengenai mekanisme pengisian jabatan
struktural yang akan dijadikan obyek sekaligus fokus penelitian, maka dibuat
alur pikir yang mengkerangkai proses dan kerja riset di lapangan sebagaimana
berikut:
Skema I.1
Alur Pikir Penelitian
Internal
Internal
Internal
Internal
BAPERJAKAT
GUBERNUR
( Proses Birokrasi )
(Proses Politik)
Tahap
Tahap
Pengusulan
Tahap
Verifikasi
Tahap
Rekomendasi
Penetapan
Eksternal
Eksternal
Eksternal
Eksternal
Pejabat
Terpilih
Proses rekrutmen pejabat struktural, dipengaruhi oleh sejumlah faktor,
baik internal maupun eksternal yang terjadi di setiap tahapan. Secara skematik
mekanisme pengisian jabatan struktural berlangsung dalam beberapa tahapan
sebagai sebuah sistem normatif, meliputi: tahap pengusulan, tahap verifikasi,
tahap rekomendasi dan tahap penetapan yang ditandai dengan adanya
keputusan gubernur. Proses yang bekerja dalam mekanisme ini mengalir mulai
dari satuan kerja/ instansi menuju institusi BAPERJAKAT sebagai tempat
dimana proses birokrasi berlangsung, dan selanjutnya berakhir dalam proses
23
politik di tangan gubernur sebagai pejabat tertinggi yang berhak membuat
penetapan final melalui penerbitan surat keputusan pengangkatan sekaligus
melantik pejabat terpilih.
Faktor internal merupakan seperangkat aturan normatif di dalam
birokrasi yang menjadi dasar acuan pada tahap pengusulan oleh pimpinan
instansionalmaupun
dalam
tahap
verifikasi
dan
rekomendasi
di
BAPERJAKAT untuk membuat daftar nominasi para calon pejabat yang layak
diusulkan pengangkatannya, sedangkan faktor eksternal adalahsejumlah faktor
dari luar birokrasi yang berpotensi “menyusup” melalui pertimbangan
personalistik gubernur dengan klaim “hak prerogatifnya”.
Peran strategis gubernur sebagai pimpinan tertinggi eksekutif yang
dianggap sangat menentukan arah perkembangan karir para PNS, sebenarnya
berangkat dari perspektif klasik yang memaknai konsep jabatan lebih kepada
fungsi kepercayaan atasan ketimbang hak pegawai yang bisa dituntut
berdasarkan kinerja dan prestasi. Kondisi seperti ini diperparah lagi dengan
fakta bahwa karir birokrasi terpusat pada pejabat politik selaku pemimpin
tertinggi eksekutif.
G. Definisi Konsepsional
Untuk memudahkan pemahaman sekaligus memberikan kepastian arah
dalam ruang lingkup studi, maka dilakukan penegasan definisi terhadap
sejumlah konsep yang dipakai. Definisi konsep sesuai permasalahan yang
terangkum pada pertanyaan penelitian, adalah sebagai berikut:
1. Mekanisme adalah totalitas alur kerja berisi tahapan-tahapan yang terdiri
dari : tahap pengusulan, tahap verifikasi, tahap rekomendasi, dan tahap
24
penetapan. Keseluruhan tahapan tersebut merupakan satu rangkaian proses
yang ditempuh dalam mekanisme pengisian pos jabatan struktural di
birokrasi daerah yang secara ideal dirancang untuk mampu menghasilkan
SDM Aparatur yang profesional dan kompeten dalam mengisi posisi
jabatan struktural di birokrasi daerah.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme pengisian jabatan struktural
di kelompokkan ke dalam kategori faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam birokrasi itu
sendiri terkait sejumlah pertimbangan formal yang diatur secara normatif
berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Adapun faktor eksternal
adalah faktor yang berasal dari lingkungan di luar birokrasi. Faktor
eksternal ini erat kaitannya dengan penggunaan klaim “Hak Prerogatif”
yang keberadaannya meskipun tidak diatur secara resmi dan tertulis, namun
dalam praktek kesehariannya tetap ikut andil dalam mempengaruhi hasil
keputusan pengangkatan para PNS dalam berbagai posisi jabatan struktural
di birokrasi daerah. Pertimbangan personalistik gubernur atas dasar klaim
“Hak Prerogatif” ini selanjutnya berpotensi menjadi pintu masuk bagi
sejumlah
faktor
eksternal,
diantaranya
faktor
politis,
nepotisme,
primordialisme dan paternalisme.
H. Definisi Operasional
Berdasarkan definisi konsepsional yang disebutkan di atas, maka
operasionalisasi
terhadap
konsep-konsep
dalam
penelitian
mengenai
mekanisme pengisian jabatan struktural di sekretariat daerah propinsi
Kalimantan Tengah, dapat dilihat dengan menggunakan indikator- indikator:
25
1. Mekanisme Pengisian Jabatan Struktural
Mekanisme ini diketahui dari pelaksanaan setiap tahapan dalam proses
pengisian pos jabatan struktural yang berlangsung di sekretariat daerah
propinsi Kalimantan Tengah mulai dari tahap pengusulan, tahap verifikasi,
tahap rekomendasi dan tahap penetapan. Setiap tahapan dipaparkan masingmasing untuk memberi gambaran apa adanya mengenai proses yang
berlangsung di dalamnya.
2. Faktor Inte rnal dan Eksternal yang me mpengaruhi mekanis me
pengisian Jabatan Struktural
a. Faktor Internal
Berlandaskan pada pertimbangan legal rasional yang berlaku secara
formal di internal birokrasi terkait unsur-unsur obyektif yang mewakili
kemampuan personal masing- masing PNS yang akan diusulkan
menjadi pejabat struktural, yakni:
a.1. Unsur Kecakapan Kerja (merit system)
− pengalaman rotasi jabatan dan prestasi kedinasan yang pernah diraih
selama ini;
− sertifikasi tertinggi dari diklat jabatan yang dimiliki;
− pendidikan tertinggi yang dimiliki;
− nilai rata-rata penilaian prestasi kerja dalam 2 (dua) tahun terakhir.
a.2. Unsur Senioritas (seniority system)
− pangkat terakhir pada saat pelantikan;
26
− masa kerja pada saat pengangkatan dibandingkan dengan para
pegawai lain dalam satu unit kerja atau instansi di sekretariat daerah
propinsi Kalimantan Tengah;
− pengalaman jabatan atau catatan mutasi yang dimiliki oleh pegawai
dari satu unit ke unit kerja yang lain. Hal ini menggambarkan berapa
luas lingkup tugas dan tanggung jawab yang pernah ditangani.
b. Faktor Eksternal
Faktor ini bertalian dengan keberadaan klaim “Hak Prerogatif”
gubernur yang meskipun tidak dirancang secara resmi dan juga tidak
tercantum secara tertulis di dalam ketentuan perundang-undangan,
namun dalam realitasnya ia memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan
dan ikut menentukan hasil dari mekanisme pengisian jabatan struktural
di birokrasi daerah.
Faktor eksternal ini berkesempatan masuk melalui adanya
personalisasi kekuasaan pejabat politik dengan klaim “Hak Prerogatif”
yang dianggap melekat dalam jabatannya selaku pembina kepegawaian
daerah. Adapun faktor informal ini berupa anasir tradisional, meliputi
faktor politis, faktor nepotisme, faktor primordialisme dan faktor
patrimonialisme, sebagaimana berikut ini:
b.1. Faktor Politis
− Proses pengisian jabatan yang memiliki indikasi dan tendensi
mewakili kepentingan pragmatis penguasa dan lingkarannya.
27
b.2. Faktor Nepotisme
− Ada tidaknya pejabat yang memiliki hubungan kekerabatan
dengan gubernur yang saat diangkat tidak memenuhi syarat legalformal.
b.3. Faktor Primordialisme
− Ada tidaknya pejabat struktural dengan ikatan primordialistik
terhadap gubernur yang diangkat namun tidak memenuhi syarat
legal-formal.
b.4. Faktor Patrimonialisme
− Intensitas dan akses komunikasi non formal terhadap pejabat
politik;
− Ketaatan terhadap instruksi atasan langsung dan pejabat politik
mengenai suatu kebijakan yang tidak berkaitan dengan tanggung
jawab jabatan.
I. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Studi ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan metode
deskriptif-analitis yakni menggunakan kata-kata tertulis (Moleong, 2013:4)
untuk memberikan gambaran secara sistematik, terperinci dan menyeluruh
mengenai mekanisme pengisian jabatan struktural di sekretariat daerah
propinsi Kalimantan Tengah dan bekerjanya faktor internal dan eksternal
yang keberadaannya potensial mempengaruhi pelaksanaan dan hasil dari
mekanisme rekrutmen jabatan di birokrasi sekretariat daerah propinsi
Kalimantan Tengah.
28
2. Fokus Penelitian
Pembatasan terhadap ruang lingkup penelitian diperlukan agar
pembahasan tidak terlalu meluas, sehingga penelitian ini hanya fokus pada
mekanisme pengisian pos jabatan struktural yang telah dilaksanakan di
lingkungan sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah, sekaligus pula
melihat bagaimana bekerjanya faktor- faktor, baik internal maupun eksternal
dalam mempengaruhi pelaksanaan dan hasil dari mekanisme tersebut.
3. Unit Analisa Data
Adalah unit darimana informasi dikumpulkan sekaligus sebagai
basis untuk melakukan analisis, yaitu para pejabat eselon yang tergabung
dalam tim BAPERJAKAT propinsi, termasuk jajaran birokrat yang ada di
sejumlah biro/ bagian di sekretariat daerah propinsi (setdaprop) Kalimantan
Tengah dan para ‘outsider’ terpilih, yakni anggota LSM, wartawan,
akademisi, dan pengurus partai politik yang dianggap memiliki wawasan
cukup mengenai kondisi birokrasi daerah dan peta perpolitikan lokal.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Penelitian Lapangan, dilaksanakan dengan terjun langsung ke lapangan
untuk mengumpulkan data primer melalui observasi dan wawancara
(interview) kepada para narasumber yang terdiri dari para pejabat terkait
dan sejumlah stake-holders seperti tersebut di unit analisa data.
b. Penelitian Kepustakaan, dilakukan dengan mempelajari bahan-bahan
literatur fisik maupun informasi digital. Data yang dikumpulkan adalah
data sekunder mencakup dokumen resmi, buku, hasil penelitian
berwujud laporan, karya akademik, artikel, jurnal.(Soekanto, 1998 : 12)
29
5. Metode Analisis Data
Data penelitian diolah menggunakan metode deskriptif-analitis,
dengan mendeskripsikan dan membuat analisis argumentatif terhadap data
primer hasil observasi dan wawancara maupun data sekunder dari
penelusuran pustaka dan dokumen relevan. Hasil analisis merupakan
jawaban atas rumusan masalah, sekaligus sebagai bahan dalam menyusun
kesimpulan dan saran.
Gambar I. 2
Skema Analisis Data
Data Hasil
Observasi
Data Hasil
Wawancara
Data Hasil
Studi Pustaka
Hasil
Analisis
Kesimpulan
dan Saran
J. Sistematika Bab
Hasil penelitian ini disajikan secara sistematis dan terstruktur yang
dituangkan ke dalam satuan bab. Secara keseluruhan terdapat total lima bab,
berisikan pokok bahasan berbeda yang saling terkait sebagai suatu kesatuan
gugus pemikiran. Tulisan dimulai dengan sekilas latar untuk mengantarkan
kita memasuki bab-bab berikutnya.
Bab kedua, memaparkan gambaran umum tentang struktur organisasi
birokrasi sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah beserta jalur hirarkis
kewenangan dan pola koordinasi yang saling terkoneksi antar bagian. Setting
30
birokrasi dilihat dalam hubungannya dengan konstelasi perpolitikan lokal
yang diwarnai oleh dominasi PDI-P yang berkiprah sekaligus di dua domain
kekuasaan pada level daerah, baik di ranah legislatif maupun di ranah
eksekutif dengan berposisi sebagai partai yang menjadi patron dari gubernur.
Bab ketiga, menampilkan mekanisme pengisian pos jabatan struktural
melalui empat tahapan, yakni tahap pengusulan, verifikasi, rekomendasi dan
penetapan yang diselenggarakan oleh BAPERJAKAT sebagai instrumen
normatif yang memberikan pertimbangan kepada pejabat politik dalam rangka
menetapkan keterpilihan pejabat karir di dalam struktur birokrasi daerah.
Bab keempat, mengulas tentang faktor internal dan eksternal yang
potensial mempengaruhi mekanisme dan hasil rekrutmen para pejabat di
lingkungan birokrasi daerah Kalimantan Tengah. Faktor internal adalah
kriteria legal-rasional pada pegawai terkait kelayakan normatif untuk diangkat
sebagai pejabat, . Adapun faktor eksternal meliputi pertimbangan politis,
nepotisme, primordialisme dan patrimonialisme yang merupakan unsur dari
lingkungan luar birokrasi yang dalam prakteknya seringkali menjadi dasar
pertimbangan pejabat politik dalam membuat keputusan sehingga turut
mempengaruhi hasil dari mekanisme rekrutmen tersebut.
Bab kelima, merupakan bagian akhir tulisan berisi ulasan singkat
mengenai intisari bahasan di tiap bab sebagai satu kesatuan penjelasan yang
merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian. Bagian ini juga menampilkan
refleksi dari teori yang dipakai dalam menganalisa sejumlah fenomena dan
data temuan lapangan, sekaligus beberapa ide dan saran perbaikan yang bisa
dipertimbangkan untuk dijadikan wilayah garap bagi riset selanjutnya.
31
Download