tinjauan psikologi kriminal terhadap tindak pidana perdagangan anak

advertisement
TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINAL TERHADAP
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK
( CHILD TRAFFICKING )
(Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Guna Memenuhi Syarat Dalam
Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
SEPRIARTO SIMANJUNTAK
NIM: 050200162
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINAL TERHADAP TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ANAK
( CHILD TRAFFICKING )
(Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Guna Memenuhi Syarat Dalam
Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
SEPRIARTO SIMANJUNTAK
NIM: 050200162
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh:
KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
(Abul Khair, S.H., M. Hum)
Nip. 131 842 854
DOSEN PEMBIMBING I
DOSEN PEMBIMBING II
(Liza Erwina, SH. M.Hum)
Nip. 131 835 565
(Lukman Hakim Nainggolan, SH)
Nip. 130 697 438
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
KATA PENGANTAR
Segala hormat, pujian, syukur, Penulis ucapkan ke hadapan Tuhan Yang
Maha Kuasa, atas berkat dan rahmatNya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Adapun tujuan penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi
syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Judul skripsi ini adalah “Tinjauan Psikologi Terhadap Tindak Pidana
Perdagangan Anak (Child Trafficking), Studi Putusan No. 147 / Pid.B / 2008 /
PN. BKS”.
Penulis telah berusaha mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki
dalam penulisan skripsi ini. Akan tetapi Penulis menyadari bahwa skripsi ini
tidak luput dari segala kekurangan bahkan mungkin masih jauh dari kesempurnaa.
Untuk itu tidak tertutup untuk segala bentuk kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan skripsi ini.
Pada kesempatan ini, dengan segala hormat dan kerendahan hati, Penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H; Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H.,
M.H, DFM; dan Bapak M. Husni, S.H., M.Hum; selaku Pembantu Dekan
I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan.
3. Bapak Abul Khair, S.H, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Liza Erwina, S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan serta
memberikan masukan-masukan dalam penulisan skirpsi ini.
5. Bapak Lukman Hakim Nainggolan, S.H., selaku Dosen Pembimbing II,
yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan
serta memberikan masukan-masukan dalam penulisan skripsi ini.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
6. Ibu Nurmalawaty, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Jurusan Departemen
Hukum Pidana, yang telah banyak membantu dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini.
7. Bapak Edy Yunara, S.H., M.Hum, selaku Dosen Wali yang telah banyak
membantu dalam pengurusan perkuliahan selama menuntut ilmu di
Fakultas Hukum tercinta ini.
8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum yang
telah memberikan ilmunya serta mendidik dan membimbing Penulis
selama mengikuti perkuliahan sampai Penulis dapat menyelesaikan studi
di Fakultas Hukum dengan baik. Serta Bapak dan Ibu staf administrasi
telah banyak membantu dan memberikan pelayanan terbaiknya sehingga
Penulis dapat menyelesaikan urusan-urusan administrasi dengan baik.
9. Kedua orangtua Penulis, A. Simanjuntak dan R. Br.Lumban Gaol, S.H;
serta adik Penulis Winda Asrianti Simanjuntak dan Tumbur Hardinata
Simanjuntak, yang telah membantu, memberikan dukungan dan doanya
agar penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
10. Eva Norita, S.H yang telah banyak membantu, memberikan dukungan dan
doanya sehingga penulis dapat menyelesaian skripsi ini, Thanks For All…
11. Teman-teman kelompok kecilku, B’Edward Sinaga S.H, Deus Sihombing,
S.H, Amelia L.Tobing, S.H, Irvan A.Tarigan, S.H, Roberto Tarigan, S.H
terima kasih atas segala dukungan dan doanya, meskipun diantara kita
cuma aku yang terlambat wisuda.
12. Teman-teman di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), semua
berawal dari sini dengan segala yang indah dan semoga akan tetap menjadi
indah selamanya.
Akhirnya semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan,
September 2009
Penulis,
Sepriarto Simanjuntak
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................... iv
ABSTRAKSI ............................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Balakang ............................................................................ 1
B. Perumusan Masalah ..................................................................... 5
C. Keaslian Penulisan ....................................................................... 5
D. Tujuan Penulisan ......................................................................... 6
E. Manfaat Penelitian ....................................................................... 6
F. Tinjauan Kepustakaan ................................................................. 7
1. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana .................................... 7
2. Pengertian Anak dan Tindak Pidana Perdagangan Anak ........ 14
3. Pengertian Psikologi dan Psikologi Kriminal ........................ 23
G. Metode Penelitian ........................................................................ 27
H. Sistematika Penulisan .................................................................. 29
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ANAK ( CHILD TRAFFICKING ) .................. 31
A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Perdagangan Anak ....................... 31
B. Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan
Anak Menurut Peraturan Perundang-Undangan ........................... 36
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
BAB III TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINAL TERHADAP TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ANAK (CHILD TRAFFICKING) ... 50
A. Peranan Psikologi Kriminal Dalam Hukum Pidana ...................... 50
B. Hubungan Psikologi Kriminal Dengan Tindak Pidana Perdagangan
Anak (Child Trafficking) ............................................................. 54
C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan
Anak (Child Trafficking) ............................................................. 63
D. Upaya-Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Anak
(Child Trafficking) ...................................................................... 81
BAB IV KASUS DAN ANALISIS KASUS ............................................... 85
A. Kasus Posisi ................................................................................ 85
B. Analisis Kasus ............................................................................. 96
BAB V PENUTUP ..................................................................................... 107
A. Kesimpulan ................................................................................. 107
B. Saran ........................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 111
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
ABSTRAKSI
Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah salah satu dari aktivitas kriminal
yang sangat terorganisir dan perkembangannya paling cepat di dunia.
Perdagangan Orang (Human Trafficking) merupakan suatu bentuk pelanggaran
hak asasi manusia dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaanserta
nilai keadilan. Meskipun demikian kejahatan ini terus menerus berkembang secara
nasional maupun internasional dan yang menjadi korban trafficking, mayoritas
dari keseluruhan yang diperdagangkan adalah perempuan dan anak-anak dan cara
kerjanya selalu melibatkan calo atau agen. Kasus kejahatan terhadap perempuan
dan anak atau trafficking meski sudah ditangani, diperkirakan masih akan terus
mengalami peningkatan. Kondisi itu dipengaruhi oleh masih lemahnya tingkat
ekonomi masyarakat Indonesia pada umumnya serta lemahnya penegakkan
hukum (law enforcement).
Alasan inilah yang melatarbelakangi ketertarikan penulis untuk menulis
skirpsi ini dengan mengangkat permasalahan yang diantaranya bagaimana bentukbentuk perdagangan manusia khususnya anak dan ketentuan hukum yang
berkaitan dengan perdagangan anak tersebut, bagaimana peranan psikologi
kriminal terhadap tindak pidana perdagangan anak, serta apa yang menjadi faktor
penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan anak dan bagaiana upaya
penanggulangannya. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatife
dengan melakukan penelitian di perpustakaan (library research), menganalisis
putusan Pengadilan Negeri Bengkalis dalam Perkara Register No. 147/ Pid. B/
2008/ PN. BKS serta melakukan wawancara dengan pelaku (terdakwa) Tindak
Pidana Perdagangan Anak di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bengkalis.
Di Indonesia sendiri masalah perdagangan anak ini sudah sangat lama
terjadi,dan Indonesia sudah mempunyai berbagai peraturan yang mengatur hal
tersebut yang diantaranya KUHP namun sudah tidak relevan lagi untuk
dipergunakan, Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UndangUndang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Adapun bentuk-bentuk perdagangan anak yang terjadi di Indonesia
misalnya tujuan prostitusi, dijadikan pengemis, pembantu rumah tangga,
perdagangan narkoba, pengadopsian, dan bahkan penjualan organ. Banyak faktor
yang melatarbelakangi terjadinya perdagangan anak tersebut baik terhadap korban
maupun pelakunya itu sendiri, misalnya faktor ekonomi yang rendah
(kemiskinan), tingkat pendidikan yang rendah, peran perempuan dan anak dalam
keluarga, lemahnya penegakan hukum dan lain sebagainya. Dari berbagai faktorfaktor tersebutlah yang pada akhirnya dapat mengguncang kejiwaan seseorang
sehingga tidak dapat berfikir untuk bekerja yang lebih positif lagi, dan akhirnya
mengambil keputusan sesaat guna mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan
uang meskipun pekerjaan tersebut bertentangan dengan hukum. Dari faktor-faktor
tersebutlah hakim dapat melihat latar belakang serta motivasi-motivasinya untuk
melakukan tindak pidana perdagangan anak dan akhirnya menjatuhkan putusan
yang sesuai terhadap terdakwa.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trafficking merupakan suatu persoalan global yang telah menyebar ke
seluruh belahan dunia. Istilah trafficking berasal dari bahasa Inggris, trafficking,
yang berarti perpindahan. Jadi trafficking artinya perpindahan yang membawa
korban ke luar dari kampung halamannya yang lebih aman ke tempat yang
berbahaya dan kemudian dipekerjakan secara paksa. Trafficking sebenarnya
bukanlah modus baru. Pelacuran dan perbudakan seksual sudah terlaksana sekitar
abad ke-19 di Benua Eropa sedangkan korban-korban perbudakan dari Negara
Afrika. Pada abad ke-20 pemaksaan seksual terjadi di Asia ketika Jepang
berkuasa. Di Indonesia, kasus trafficking dilakukan ketika mengirimkan tenaga
kerja ke Timur Tengah pada tahun 1984.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus trafficking cukup
tinggi. Bukan hanya sebagai negara pengirim tetapi juga negara penerima korban
trafficking. Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ( TKI ) khususnya perempuan
dan anak-anak ke beberapa negara tetangga disinyalir terselubung ke dalam
bentuk trafficking. Rumitnya proses pengiriman tenaga kerja membuat para calon
pekerja ini memanfaatkan jasa pihak ketiga untuk mengurus keberangkatan
dengan cara ilegal.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja, ketidakadilan di dalam
pemanfaatan dan perolehan akses dan sumber daya, pendidikan dan keterampilan
rendah, perekonomian yang tak kunjung tumbuh secara optimal, merebaknya
masalah sosial adalah beberapa sebab memicunya kasus-kasus trafficking di
Indonesia, dan tentu saja yang menjadi korban trafficking adalah perempuan (baik
dewasa, maupun anak-anak). Perempuan mudah dikelabui dan terjerumus pada
kasus trafficking karena beberapa penyebab tersebut. Mereka berasal dari
keluarga miskin, pendidikan rendah serta kurangnya keterampilan bahkan
terkadang banyak yang berasal dari keluarga dengan utang-piutang yang banyak.
Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh para trafficker ( pihak ketiga ) untuk
mempekerjakan mereka.
Trafficking merupakan suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Perempuan (dewasa maupun anak-anak) dipaksa untuk masuk ke dalam situasi
yang mengeksploitasi seksualnya. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran
terhadap hak asasi manusia yang menyebabkan orang lain tidak dapat menentukan
jalan hidupnya sendiri (self determination), tidak dapat bebas mengeluarkan
ekspresi atau pendapatnya, tidak bebas menjalankan hidup sesuai dengan
keinginannya, tidak dapat bebas melakukan tindakan yang diinginkan dan selalu
merasa terintimidasi, ketakutan, terancam penuh kecurigaan. Padahal seharusnya
perempuan dan anak mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan perlindungan
agar mereka benar-benar merasakan adanya kesetaraan gender, kekuatan, dan rasa
percaya diri dalam menyongsong masa depan.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Tidak sedikit anak-anak di Indonesia meskipun pintar tetapi tidak
mendapatkan akses pelayanan pendidikan. Akhirnya, mereka tidak melanjutkan
sekolah melainkan dijual. Anak-anak korban trafficking memiliki resiko tinggi
mengidap penyakit menular seperti HIV/AIDS, hepatitis B, gonorhoe dan sipilis
serta ketidaksuburan, sehingga mereka dijauhi masyarakat dan termaginalisasi
dari lingkungan tempat tinggal mereka.
Trafficking sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan serta nilai
keadilan. Apabila dilihat dari sudut pandang nilai kemanusiaan, trafficking
merupakan tindakan yang sangat tidak manusiawi, karena perempuan secara
paksa diperjualbelikan untuk kepentingan trafiker yang hanya ingin mengambil
keuntungan. Perempuan secara habis-habisan telah dieksploitasi secara seksual
dan tentu saja hal ini sangat tidak adil bagi anak sendiri sebagai korban
trafficking. Mereka mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai serta pekerjaan
yang tidak layak untuk dilakukan.
Banyaknya dampak negatif dari trafficking membuat penulis menyadari
diperlukannya perhatian khusus agar perbudakan modern ini dapat segera
dimusnahkan karena sangat merugikan bagi anak dan sangat bertentangan dengan
hak asasi manusia yang menuntut adanya keadilan dalam setiap tindakan. Oleh
karena itu trafficking harus ditangani secara serius dan profesional sehingga
diperlukan berbagai upaya dan kerjasama antar semua pihak agar segala bentuk
trafficking yang dilakukan terhadap anak Indonesia dapat dihapuskan.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Perdagangan
anak
merupakan tragedi kemanusiaan
yang
sangat
memprihatinkan, dan sudah selayaknya mendapatkan perhatian dan penanganan
yang sangat serius, kendati Indonesia memiliki Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) sebagai tameng agar tidak terjadinya tindak pidana dan
pemerintah telah berusaha untuk melindungi setiap hak-hak anak di Indonesia
dengan menbentuk berbagai macam peraturan-peraturan, misalnya UndangUndang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Manusia, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang mana
dengan adanya peraturan-peraturan tersebut maka akan lebih menjamin dan
memberi kepastian hukum kepada anak-anak, namun tetap saja Tindak Pidana
Perdagangan Anak ini tidak bisa dihapus dari Indonesia.
Kenyataan membuktikan pula bahwa etika dan moral manusia kini sudah
sangat menurun dan sudah saatnya pula untuk mencari dan mengambil langkahlangkah kebijaksaan, dalam upaya mencegah hal-hal yang lebih jauh lagi yang
dapat mengancam keberadaan manusia dengan suatu bahan perbandingan dan
pertimbangan bahwa etika dan moral manusia itu sudah sangat merosot. Namun
manusia dituntut oleh zaman agar bisa tetap bertahan hidup, kondisi kejiwaan
yang mudah tergoncang oleh faktor lingkungan sehingga memaksa seseorang
untuk melakukan suatu perbuatan pidana untuk dapat mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu sangatlah penting untuk membangun
pemahaman dikalangan masyarakat untuk tetap dapat hidup sesuai dengan hukum,
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
sehingga dalam hal ini perlu peran serta dari aparat penegak hukum dan
pemerintah untuk dapat mewujudkan Indonesia yang aman dan sejahtera.
Dari uraian-uraian tersebut diatas, penulis hendak meninjau permasalahan
Perdagangan Anak tersebut dari sudut Psikologi Kriminal dari pelaku tindak
pidana perdagangan anak, karena faktor psikologi seseorang dalam melakukan
suatu tindak pidana kurang mendapat perhatian yang memadai, sehingga menarik
perhatian penulis untuk membahasnya dengan judul “ Tinjauan Psikologi
Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking),
Studi Putusan No. 147 / Pid.B / 2008 / PN.BKS ”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, penulis mencoba mengangkat beberapa
permasalahan diantaranya:
1. Bagaimana bentuk-bentuk perdagangan anak serta ketentuan hukum
mengenai tindak pidana perdagangan anak?
2. Bagaimana peranan psikologi kriminal terhadap
tindak
pidana
perdagangan anak?
3. Apa faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan anak
dan upaya penanggulangannya?
C. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini tentang “ Tinjauan Psikologi Terhadap Tindak Pidana
Perdagangan Anak (Child Trafficking)” dan penulisan skripsi ini merupakan hasil
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
karya yang ditulis secara objektif dan ilmiah melalui data-data refrensi dari bukubuku, bantuan dari narasumber dan pihak-pihak lainnya. Meskipun kita ketahui
ada judul skripsi yang juga berbicara tentang Trafficking, namun judul dan objek
pembahasan serta permasalahan yang dibicarakan tidaklah sama dan isi skripsi ini
bukanlah hasil jiplakan dari skripsi lainnya. Dengan demikian keaslian peulisan
skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bila ternyata dikemudian
hari ada judul skripsi yang sama, maka penulis akan bertangungjawab
sepenuhnya.
D. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana perdagangan anak serta
penerapan hukumnya dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana peranan psikologi kriminal terhadap
tindak pidana perdagangan anak.
3. Untuk mengetahui bagaimana upaya penanggulangan tindak pidana
perdagangan anak tersebut.
E. Manfaat Penulisan
a. Secara Penulisan
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Pembahasan terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dalam skripsi
ini akan memberikan informasi dan gambaran tentang tindak pidana perdagangan
anak dan bagaimana tinjauan psikologi kriminal terhadap tindak pidana
perdagangan anak tersebut, serta penerapan hukum dari berbagai peraturan yang
berlaku di Indonesia yang bertujuan memberikan kepastian hukum terhadap anak
serta bagaimana upaya penanggulangantindak pidana perdagangan anak tersebut.
Selain itu, penulisan ini bermanfaat sebagai kontribusi pemikiran dan
pandangan yang baru mengenai hukum pidana di Indonesia, terutama bagi
kalangan akademisi di perguruan tinggi.
b. Secara Praktis
Pembahasan terhadap permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini
diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca (masyarakat) dan diharapkan
memiliki manfaat bagi pemerintah untuk lebih meningkatkan kepedulian terhadap
korban trafficking yaitu anak, dan juga kepada pelaku-pelaku trafficking
(trafficker) dalam hal pemidanaan dan rehabilitasi baik pelaku maupun korban
sehingga hal ini mampu mendukung dn memberantas tindak pidana perdagangan
anak di Indonesia.
F. Tinjauan Kepustakaan.
1. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana
Sebelum menguraikan mengenai pengertian tindak pidana perdagangan
anak, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian pidana dan tindak pidana.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Pengertian Pidana
Ada beberapa pengertian pidana menurut beberapa sarjana, yaitu:
Sudarto menyatakan yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan
yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu. 1
Van Hamel menyatakan arti pidana atau straf adalah suatu penderitaan
yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk
menjatuhkan pidana atas norma negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban
hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut
telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan. 2
Menurut Simons, pidana atau straf itu adalah suatu penderitaan yang oleh
undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma
yang dengan suatu putusan hakim dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah. 3
Moeljatno 4 menyatakan bahwa hukum pidana adalah bagian dari hukum
yang meletakkan dasar dan aturan-aturan untuk menentukan:
a. Perbuatan apa saja yang tidak boleh (dilarang) dilakukan dengan disertai
ancaman sanksi berupa pidana tertentu;
b. Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar laranganlarangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan;
1
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni,
1992, hal. 2.
2
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, Bandung: Armico, hal. 34.
3
Ibid, hal. 34.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
c. Dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Dari beberapa defenisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana
mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2. Pidana itu diberikan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan
(oleh yang berwenang).
3. Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
menurut undang-undang. 5
Pengertian Tindak Pidana
Dalam ucapan sehari-hari istilah tindak pidana sudah sering dibicarakan.
Bahkan tidak hanya dibicarakan saja, tetapi kerap kali menjadi suatu perbuatan
yang terjadi dalam masyarakat baik secara individu maupun secara berkelompok.
Istilah tindak pidana yang dalam bahasa Belanda disebut dengan Het Strafbare
feit. Tindak pidana sering juga disebut dengan kata “delik”. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut: “Perbuatan yang dapat
dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang;
tindak pidana”. 6
4
Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah ke 1, Medan, tahun 2007, hal.
2.
5
Muladi dan Barda Nawawi Arief, ibid, hal.4.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, 2001
6
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Menurut Van Der Hoeven, rumusan tersebut tidak tepat karena yang dapat
dihukum bukan perbuatannya tetapi manusianya. 7 Tirtaamidjaja menggunakan
istilah “Pelanggaran Pidana” untuk kata “delik”. Kartanegara lebih condong untuk
menggunakan istilah “delict” yang telah lazim dipakai untuk perumusan
“strafbaar feit”. 8 Para pakar hukum pidana menyetujui istilah straafbaar feit
untuk menyebutkan nama tindak pidana.
Dalam bahasa Belanda straafbar feit terdapat dua unsur pembentuk kata,
yaitu straaf dan feit. Perkataan feit dalam baasa Belanda diartikan sebagai
“sebagian dari kenyataan” sedangkan straafbaar berarti “dapat dihukum”,
sehingga secara harafiah perkataan strafbaar feit berarti “sebagian dari kenyataan
yang dapat dihukum. 9
Keberatan Van der Hoeven tersebut sesungguhnya kurang beralasan jika
diperhatikan pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
berbunyi: “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan
pidana dalam undang-undang yang telah ada sebelumnya perbuatan itu
dilakukan”. 10 Dalam hal ini, tepat yang dikatakan Van Hattum bahwa perbuatan
dan orang yang melakukannya sama sekali tidak dapat dipisahkan. 11
7
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan ke-III, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung 1997, Hal. 192
8
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Bagian I, Balai Lektur
Mahasiswa, tanpa tahun, hal. 74
9
Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, PT. Ichtiar Baru Van Hoeven, Jakarta:
1999
10
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetak I, selanjutnya disebut buku
I, Sinar Grafika, Jakarta: 2005, hal. 7
11
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Ibid, hal. 184
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Mengenai “delik” dalam arti straafbaar feit, para pakar hukum pidana
masing-masing memberikan defenisi sebagai berikut:
a. Simons.
Simons merumuskan bahwa: Een Strafbare feit adalah suatu tindakan atau
perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,
bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld)
oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Simons membaginya dalam dua
golongan unsur yaitu: unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang, akibat
keadaan atau masalah tertentu; dan unsur subjektif yang berupa kesalahan
(schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) dari pelaku.
Dalam rumusannya straafbaar feit adalah “tindakan melanggar hukum
yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang
dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah
dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”. 12
Alasan dari Simons mengapa harus dirumuskan seperti diatas karena:
a. Untuk adanya suatu straafbaar feit diisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu
tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang
dimana pelaggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah
dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;
12
C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cetakan I, PT.
Pradnya Paramita, Jakarta: 2004, hal. 37
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
b. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus
memeuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undangundang;
c. Setiap straafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau
kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan
melawan hukum atau suatu onrechmatige handeling. 13
Sifat melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan
manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada
dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti
tersendiri seperti halnya dengan unsur lain.
b. E. Utrecht
Menerjemahkan straafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering
juga ia sebut dengan delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau
doen-positif atau suatu melakukan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaaan
yang ditimbulkan karena perbuatan atau melakukan itu). Peristiwa pidana
merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu perisiwa kemasyarakatan
yang membawa akibat yang diatur oleh hukum. 14
Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana
dijadikan unsur yang mutak dari peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat
dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana, yaitu perilaku manusia yang
13
P.A.F. Lamintang, Op.cit, hal. 185, lihat juga Satochid Kartanegara, Op.cit, hal. 74
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
bertentangan dengan hukum(unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhi
suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggungjawab.
c. Van Hamel
Van Hamel merumuskan Strafbare feit itu sama dengan yang dirumuskan
oleh Simons, hanya ditambahkannya dengan kalimat “tindakan mana yang
bersifat dapat dipidana”.
d. VOS
VOS merumuskan Strafbare feit adalah suatu kelakuan (gedraging)
manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.
e. Pompe
Pompe merumuskan: strafbaar feit adalah suatu pelanggaran kaidah
(penggangguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan
untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum
dan menjamin kesejahteraan umum.
Pompe memberikan dua macam defenisi terhadap perbuatan pidana, yaitu
bersifat teoritis dan yang bersifat perundang-undangan. Berdasarkan defenisi
teoritis maka perbuatan pidana adalah pelanggaran norma/kaidah/tata hukum yang
14
Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Piana I selanjutnya disebut buku I, Pustaka
Tinta Mas, Surabaya: 2000, hal. 251
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
diadakan karena kesalalahan pelanggar, dan yang harus diberikan pidana untuk
memepertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
Sedangkan dari sisi perundang-undangan, perbuatan pidana adalah suatu peristiwa
yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan dan pengabaian atau
tidak berbuat. Tidak berbuat ini biasanya dilakukan dalam beberapa keadaan yang
merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta
itulah yang disebut uraian delik. 15
f. Moeljatno
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu perbuatan
hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang
siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikataka bahwa perbuatan
pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam
hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yakni kejadian atau
keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya
ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan).16
Rumusan-rumusan yang diberikan para sarjana tersebut tentunya ada
perbedaan satu sama lain, walaupun pada intinya mereka memberikan suatu
rumusan yang menyatakan perbuatan itu merupakan perbuatan yang melawan
hukum
15
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta: 1995, hal.
225
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
2. Pengertian Anak dan Tindak Pidana Perdagangan Anak
a. Pengertian Anak
Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk
dapat disebut sebagai anak. Yang dimaksud dengan batas usia anak adalah
pengelompokan usia maximum sebagai wujud kemampuan anak dalam status
hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi
seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap
perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak itu.
Untuk menetapkan ketentuan hukum yang lebih berprospek dalam
meletakkan batas usia maximum seorang anak, akan ditemukan pendapat yang
sangat beraneka ragam kedudukan hukum yang diberikan pada status kedewasaan
seorang anak.
Untuk meletakkan batas usia seseorang yang layak dalam pengertian
hukum nasional, terdapat beberapa pengertian anak, antara lain:
a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam pasal 330 disebutkan:
“Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21
(dua puluh satu) tahun dan tidak kawin sebelumnya” 17
Dengan demikian batas usia seseorang yang dianggap telah dewasa
menurut pasal 330 KUHPerdata adalah:
16
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Cetakan Ke-II, Bina Aksara, Jakarta: 1984, hal.
17
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta,
54
2001
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
1. batas antara usia dewasa dengan yang telah dewasa adalah 21 (dua
puluh satu) tahun.
2. seorang anak yang berada dalam usia kurang dari 21 (dua puluh satu)
tahun namun telah menikah, dianggap telah dewasa.
b. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Perkawinan
Menurut Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Perkawinan No. 1 Tahun
1974 menyebutkan bahwa batas usia anak adalah:
Pasal 7 ayat (1) :
“Perkawinan hanya diizinkan jika para pihak mencapai umur 19 tahun dan
pihak wanita mencapai umur 16 tahun” 18
Pasal 47 ayat (1) :
“Batas usia minimum 18 tahun berada dalam kekuasaan orang tua selama
kekuasaan itu tidak dicabut”
Pasal 50 ayat (1) :
“Batas usia anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah
kawin berada pada status perwalian”
c. Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Menurut Undang-Undang Tentang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997
Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa:
18
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Fokus Media, Bandung,
2005
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
“Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin” 19
d. Menurut Undang-Undang No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dalam pasal 1 ayat (5), dijelaskan bahwa:
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan” 20
e. Menurut Konvensi Hak Anak / Convention On The Rights Of The Child
Dalam Konvensi Hak Anak menyebutkan pengertian tentang anak, yang
terdapat dalam pasal 1 bahwa :
“Anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali
berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia
dewasa dicapai lebih awal” 21
f. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Pelindungan Anak
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 menyatakan
bahwa :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan” 22
g. Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
19
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak, Nuansa Aulia, 2007
20
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, Fokusmedia, Bandung, 2007
21
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Konvensi Hak Anak / Convention On The Right
Of The Child, Jakarta, 2005
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Undang-Undang Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999 memberikan
pengertian tentang anak, dalam pasal 1 ayat (5) disebutkan:
“Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas)
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya” 23
h. Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak mengatakan bahwa:
“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun dan belum kawin” 24
Dalam penjelasan atas Undang-Undang Tentang Kesejahteraan Anak
tersebut, dinyatakan bahwa batas umur 21 (dua puluh satu) tahun
ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha
kesejahteraan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang
anak dicapai pada umur tersebut. Batas umur 21 (dua puluh satu) tahun
tidak mengurangi ketentuan batas umur dalam Peraturan Perundangundangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak
22
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, Bandung, 2007
23
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Citra Umbara,
Bandung, 2001
24
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak, Bandung, 2007
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu
berdasarkan hukum yang berlaku. 25
i.
Menurut Hukum Adat
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Putusan tanggal 2 November 1976
No.601 / sip 1976: “Menurut Hukum Adat seorang laki-laki dianggap telah
dewasa kalau sudah cakap bekerja (kuat gawe) : laki-laki yang sudah
berusia 20 tahun pantas dianggap telah cakap bekerja, sehingga harus
dianggap telah dewasa. Maka ia harus bertanggung jawab atas
perbuatannya. 26
Menurut
R.Soepomo
menyebutkan
berdasarkan
ciri-ciri
ukuran
kedewasaan sebagai berikut:
1. Dapat bekerja sendiri,
2. Cakap dan bertanggung jawab dalam masyarakat,
3. Dapat mengurus harta kekayaan sendiri,
4. Telah menikah,
5. Berusia 21 tahun.
b. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Anak
Tindak pidana pedagangan anak banyak dibicarakan diberbagai media
baik cetak maupun elektronik. Pemerintah Indonesia juga telah memiliki
25
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Penjelasan Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak, Bandung, 2007
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
peraturan mengenai tindak pidana perdagangan anak tersebut yang dituangkan
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Dalam undang-undang tersebut
tidak memberikan defenisi khusus mengenai tindak pidana perdagangan anak,
namun defenisi mengenai perdagangan orang atau manusia dapat ditemui dalam
beberapa peraturan.
Peraturan yang berlaku saat ini ada beberapa definisi mengenai
perdagangan orang yang diatur dalam berbagai aturan-aturan hukum, baik yang
berupa konvensi-konvensi internasional, undang-undang, maupun peraturan
daerah (Perda).
Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 49/166 mendefinisikan istilah
“trafficking” : 27
“Trafficking is the illicit and clandestine movement of persons across national
and international borders, largerly from developing countries and some countries
with economies in transition, with the end goal af forcing women and girl children
into sexually or economically oppressive nd exploitative situations for the profit of
recruiters, traffickers, and crime syndicates, as well as other illegal activities
related to trafficking, suck as forced domestic labour, false marriages, clandestine
employment and false adoption”.
(perdagangan adalah suatu perkumpulan gelap oleh beberapa orang di lintas
nasional dan perbatasan internasional, sebagian besar berasal dari Negara-negara
yang berkembang dengan perubahan ekonominya, dengan tujuan akhir memaksa
wanita dan anak-anak perempuan bekerja di bidang seksual dan penindasan
ekonomis dan dalam keadaan ekploitasi untuk kepentingan agen, penyalur, dan
sindakat kejahatan, sebagaimana kegiatan illegal lainnya yang berhubungan
dengan perdagangan seperti pembantu rumah tangga, perkawinan palsu, pekerjaan
gelap, dan adopsi).
26
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), “Pelatihan Aparat Penegak Hukum
Tentang Perlindungan Anak”, Jakarta, 2006
27
Chairul Bairah, Aturan-Aturan Hukum Trafficking (Perdagangan Perempuan dan
Anak), USU press, Medan, 2005, hal.9
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Pengertian Perdagangan Orang menurut konvensi PBB menentang
Kejahatan Teroganisasi Transnasional tahun 2000 PBB, dalam pasal 3 disebutkan:
“Perdagangan Manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan,
penampungan atau penerimaan orang, baik di bawah ancaman atau secara paksa
atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan atau
penyalahgunaan wewenang atau situasi retan atau pemberian atau penerimaan
pembayaran atau keuntungan guna memperoleh persetujuan dari seseorang yang
memiliki control atas orang lain untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk
eksploitasi seksual yang lain, kerja paksa atau wajib kerja paksa, perbudakan atau
praktekpraktek yang mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan
organ tubuh”
Dilihat dari perspektif Hukum Pidana, perilaku memperdagangkan
perempuan dan anak laki-laki, telah dilarang oleh Pasal 297 KUHP, yang
berbunyi sebagai berikut: Memperniagakan perempuan dan memperniagakan lakilaki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun. 28 Dalam
hal ini Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum tidak memberikan penjelasan
mengenai makna ‘perniagaan.’ Terhadap Pasal ini R. Soesilo, berpendapat bahwa:
“…yang dimaksudkan dengan ‘perniagaan atau perdagangan perempuan’ ialah
melakukan perbuatan-perbuatan dengan maksud untuk menyerahkan perempuan
guna pelacuran. Masuk pula di sini mereka yang biasanya mencari perempuanperempuan muda untuk dikirmkan keluar negeri yang maksudnya tidak lain akan
dipergunakan untuk pelacuran…”.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, memberikan definisi mengenai perdagangan orang
yang dalam pasal 1 ayat (1), dikatakan bahwa: 29
28
Dikutip dari KUHP terjemahan R. Soesilo, cetakan tahun 1996. Bogor: Politeia.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, Ibid. hal 3
29
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
“Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekerasan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam Negara
maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang
tereksploitasi”.
Sedangkan definisi mengenai tindak pidana perdagangan orang yang
dimuat dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dikatakan bahwa :
“ Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau
serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan
dalam undang-undang ini”.
Global Alliance Agains Traffic in Women (GAATW) memberikan definisi
mengenai perdagangan perempuan, sebagai berikut: 30
“Semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, tranportasi di
dalam atau melintas perbatasan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman atau
penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan termasuk
penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan atau penyalahgunaan kekerasan
atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang
tersebut, baik dibayar atau tidak untuk kerja yang tidak diinginkan (domestik,
seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa atau ikatan kerja atau dalam kondisi
seperti perbudakan di dalam suatu lingkungan lain dari tempat di mana orang itu
tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertamakali”.
Sesuai dengan definisi ini bahwa istilah “perdagangan/trafficking”
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Rekrutmen dan atau transportasi manusia;
b. Diperuntukkan bekerja atau jasa atau melayani;
30
Chairul Bairah, Aturan-Aturan Hukum Trafficking (Perdagangan Perempuan dan Anak
Ibid. hal. 9-10
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
c. Untuk keuntungan pihak yang memperdagangkan.
Kegiatan mencari, mengirim, memindahkan, menampung, atau menerima
tenaga kerja dengan ancaman, kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya,
dengan cara menipu, memperdaya (termasuk membujuk dan memberi imingiming
sesuatu)
korban,
menyalahgunakan
kekuasaan/wewenang
atau
memanfaatkan ketidaktahuan, keingintahuan, kepolosan, ketidakberdayaan, dan
tidak hanya perlindungan terhadap korban, atau dengan memberikan atau
menerima permbayaran atau imbalan untuk mendapatkan izin atau persetujuan
dari orang tua, wali, atau orang lain yang mempunyai wewenang atas diri korban
dengan tujuan untuk menghisap atau memeras tenaga (mengeksploitasi) korban. 31
Sedangkan pengertian Perdagangan (trafficking) perempuan dan anak
menurut Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara Tentang Penghapusan
Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak diatur diatur dalam pasal 1 poin
(o) adalah : 32
“Perdagangan (trafficking) perempuan dan anak adalah tindak pidana atau
perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih unsur-unsur perekrutan,
pengiriman, penyerahterimaan perempuan atau anak dengan menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan,
penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan atau penjeratan hutang
untuk tujuan dan atau berakibat mengekploitasi perempuan dan anak”.
3. Pengertian Psikologi dan Psikologi Kriminal
31
Chairul Bariah Ibid, hal 10
http:// www.google.com, Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara Tentang
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yang diakses terakhir kali pada tanggal 27
Maret 2009, pukul 14.30 WIB.
32
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Psikologi Kriminal merupakan satu bagian dari Psikologi. Asal kata
psikologi adalah berasal dari bahasa Yunani, yang terbagi atas:
a. Psyche yang artinya Jiwa atau Nafas;
b. Logos yang artinya Ilmu.
Kemudian di Indonesia kedua kata tersebut digabung menjadi kata Psikologi,
dengan arti Ilmu Jiwa. Jiwa yang dimaksud ialah segala sesuatu yang
berhubungan dengan emosi-emosi kemanusiaan, seperti segala perasaan kita, rasa
takut yang tercermin dalam perasaan gelisah dan khawatir, rasa sedih, rasa
kecewa, rasa kasih dan cinta, rasa pedih hati, rasa gembira, rasa senang, simpati,
kesal, benci dan dendam, tegang, tertekan dan sebagainya yang mana semuanya
itu turut membentuk kepribadian manusia.
Beberapa pengertian Psikologi menurut para ahli:
a. THF Hoult
Psikologi adalah suatu disiplin yang secara sistematis mempelajari
perkembangan dan berfungsinya faktor-faktor mentl dan emosional
manusia.
b. Robert J. Wicks
Psikologi adalah suatu ilmu tentang peri kelakuan.
c. Gorden Murphy
Psikologi adalah suatu ilmu yang menguraikan masalah kemauan serta
motif dalam hubungannya dengan peranannya mempengaruhi pikiran serta
perbuatan manusia.
d. Wood Worth
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari aktivitas-aktivitas
dari individu dalam hubungannya dengan lingkungan, meliputi pengertian
motoris (berjalan, berlari), cognitive (melihat, berfikir), dan Emosional
(bahagia, duka cita).
e. Edwin G. Boring
Psikologi adalah study tentang hakekat manusia.
f. Crow & Crow
Psikologi ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan
hubungan kemanusiaan.
g. Drs. Bimo Walgito
Psikologi merupakan suatu ilmu yang menyelidiki serta mempelajari
tentang sikap, tingkah laku atau aktivitas-aktivitas dimana tingkah laku
atau ktivitas-aktivitas itu sebagai manifestasi hidup kejiwaan. 33
h. Soerjono Soekanto
Psikologi tidak membatasi ruang lingkupnya pada perilaku nyata saja
melainkan juga pada perilaku tertutup, seperti berfikir, marah, takut, dan
lain-lain. 34
Tingkah laku dan hubungan kemanusiaan misalnya, orang yang jiwanya
sehat dapat mencintai atau dapat memberi cinta dan kasih sayang serta sanggup
33
Bimo Walgito, Psikologi Umum, Cet.II, Edisi Ke-2, Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi UGM, Yogyakarta, 1975, hal. 6
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
bekerja. Sebaliknya orang yang sakit jiwanya tidak dapat mencintai dan bekerja
atau akan menunjukkan gejala-gejala tingkah laku yang mencolok dan berlebihlebihan, sehingga dalam pandangan orang lain menunjukkan kesan aneh, janggal,
dan mungkin berbahaya bagi orang lain. Dengan demikian ilmu jiwa (Psikologi)
mempelajari tingkah laku manusia sekaligus memberi batasan adanya tingkah
laku manusia yang normal dan yang abnormal, atau dapat pula diartikan suatu
ilmu yang mempelajari tindakan-tindakan atas tingkah laku manusia yang
dihubungkan dengan jiwa para pelakunya.
Ad. II. Kata Kriminil
Asal kata kriminil adalah dari bahasa Belanda yaitu Crimen, yang artinya
kejam, ngeri, dan jahat. Yang di Indonesia menjadi Kriminil, yang menurut tata
bahasanya diartikan semua perbuatan atau tindakan yang jahat, seperti pencurian,
pembunuhan, penipuan dan lain-lain.
Paul
Meodikno
Moeliono
mengatakan
bahwa
kejahatan
adalah
pelanggaran norma hukum yang dapat ditafsirkan atau patut ditafsirkan sebagai
perbuatan yang merugikan dan tidak boleh dibenarkan.Dengan demikian jika kita
gabungkan kata psikologi kriminal secara etimologi berarti ilmu jiwa tentang
kejahatan.
34
Soedjono D, Pengantar Tentang Psikologi Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hal. 15
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
W.A. Bonger memberikan pengertian Psikologi Kriminal sebagai berikut:
Psikologi Kriminal itu merupakan suatu ilmu pengetahuan tentang kejahatan
dipandang dari sudut ilmu jiwa. Penyelidikan mengenai jiwa dari penjahat dapat
semata-mata ditujukan untuk kepribadian perseorangan (umpama jika dibutuhkan
untuk memberikan penerangan pada hakim) tetapi dapat juga untuk menyusun
tipologi (golongan-golongan) penjahat. 35
Sedangkan menurut Bimo Walgito menyatakan bahwa psikologi kriminal
yaitu psikologi yang khusus berhubungan dengan soal kejahatan atau
kriminalitas. 36
Dalam hal ini Chainur Arrasyid, memberikan rumusan sebagai berikut: 37
Psikologi kriminal adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari
psikologi si penjahat serta semua atau golongan yang berhubungan baik
langsung maupun tidak langsung dengan perbuatan yang dilakukan dan
keseluruhan akibat-akibatnya.
Berdasarkan uraian diatas dapatlah dikatakan psikologi kriminl adalah
suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari aspek-aspek kejiwaan yang mendorong
seseorang atau golongan untuk melakukan perbuatan jahat atau tindak kriminil
serta akibat-akibatnya.
G. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penelitian dilakukan dengan menggunakan
metode deskriptif analisis, maksudnya yaitu mengelola dan menafsirkan data yang
35
W.A Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia,
1982, hal.25
36
Bimo Walgito, ibid, hal. 13
37
Chainur Arrasyid, Pengantar Psikologi Kriminal Jilid I, Yani Corporation, 1988, hal. 3
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
diperoleh sehingga dapat memberikan gambaran keadaan dan kesimpulan dari
keseluruhan hasil penulisan.
Metode deskriptif analisis adalah suatu metode yang dapat digunakan
untuk meneliti sekelompok manusia, suatu situasi kondisi, suatu sistem pemikiran
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penulisan ini
adalah untuk membuat gambaran, atau lukisan secara sistematis, factual dan
akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang
diselidiki.
Adapun metode penelitian yang digunakan penulis mencakup antara lain:
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif anlisis dengan metode
pendekatan yuridis normatife dan empiris sosiologis yaitu dengn pengumpulan
data-data serta studi kepustakaan maupun studi lapangan atau riset langsung
ke lapangan untuk memperoleh data-data yang berhubungan dengan
penelitian.
B. Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah menggunakan data
primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari riset dilapangan, sedangkan
data sekunder diperoleh dari berbagai peraturan perundang-undangan, bukubuku, artikel-artikel media massa dan media elektronik yang berhubungan
dengan skripsi.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
C. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode sebagai berikut:
1. library research (penelitian kepustakaan)
yaitu melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti bukubuku, artikel-artikel, media massa dan media elektronik, pendapat sarjana
dan bahan lainnya yang berkaitan dengan skripsi.
2. field research (penelitian lapangan)
yaitu dengan melakukan penelitian langsung kelapangan, dalam hal ini
penulis langsung mengadakan wawancara kepada pelaku Perdagangan
Anak ke Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Kabupaten Bengkalis-Riau
dan data/kasus di Pengadilan Negeri Bengkalis dengan Nomor: 147 / PID.
B / 2008 / PN. BKS, dan kemudian menganalisis kasus tersebut
D. Analisis Data
Metode analisis yang dipergunakan oleh penulis dalam penulisan ini adalah
metode analisis normative kualitatif, yaitu analisa terhadap data yang
jumlahnya sedikit dan bersifat monografis atau berwujud kasus.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempertegas penguraian isi dari skripsi ini serta untuk lebih
mengarahkan pembaca, maka berikut dibawah ini penulis membuat sistematika
penulisan atau gambaran dari skripsi ini sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Dalam Bab pendahuluan ini berisikan latar belakang penulisan
skripsi, perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan yang membahas mengenai
pengertian pidana dan tindak pidana, pengertian anak dan tindak
pidana perdagangan anak, pengertian psikologi dan psikologi
kriminal serta menguraikan metode penelitian dan sistematika
penulisan skripsi ini.
BAB II
TINJAUAN
UMUM
PERDAGANGAN
TENTANG
TINDAK
PIDANA
ANAK (CHILD TRAFFICKING)
Pada Bab II ini, menguraikan tentang bentuk-bentuk dari Tindak
Pidana Perdagangan Anak, serta bagaimana penerapan hukum
terhadap tindak pidana perdagangan anak tersebut.
BAB III
TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINAL TERHADAP TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ANAK (CHILD TRAFFICKING)
Pada pembahasan Bab III ini, menjelaskan tentang hubungan
Psikologi Kriminal dalam hukum pidana, bagaimana tinjauan
Psikologi Kriminal terhadap tindak pidana perdagangan anak, apa
yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana
perdagangan
anak
tersebut
serta
bagaimana
upaya
penanggulangannya.
BAB IV
KASUS DAN ANALISIS KASUS
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Bab IV ini membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan kasus
posisi seperti kronologis terjadinya tindak pidana perdagangan
anak yang terjadi di Kabupaten Bengkalis, dakwaan dan tuntutan
jaksa penuntut umum, putusan hakim di Pengadilan Negeri
Bengkalis serta analisis terhadap kasus tersebut.
BAB V
PENUTUP
Bab V berisi tentang kesimpulan dari masalah-masalah yang telah
dibahas pada bab-bab terdahulu dan saran atas permasalahan yang
berguna bagi semua pihak untuk mengantisipsi terjadinya Tindak
Pidana Perdagangan Anak di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ANAK (CHILD TRAFFICKING)
A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking)
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Tindak Pidana Perdagangan Anak merupakan suatu kejahatan yang sangat
terorganisir yang bersifat trans nasional maupun internasional. Ada beberapa
bentuk dari perdagangan anak, antara lain : 38
1. Anak yang dipekerjakan dalam bisnis pelacuran dan pornografi;
2. Anak yang dijadikan pengemis;
3. Anak yang dijadikan pembantu rumah tangga;
4. Anak yang dimanfaatkan dalam perdagangan narkoba;
5. Anak yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain yang sifatnya sangat
eksploitatif, seperti pekerjaan dijermal.
1. Anak-Anak Yang di Pekerjakan Dalam Bisnis Pelacuran dan Pornografi
Pemanfaatan anak dalam industri seks komersial memiliki sejarah panjang.
Secara tradisional perempuan sudah masuk keindustri seks sejak mereka masih
berusia sangat muda. Hal ini tidak pernah dipandang sebagai masalah sosial
karena anak-anak perempuan dipedesaan, yang pada umumnya menikah pada
usia dini. Dewasa ini, industri seks telah menjelma dalam berbagai bentuk.
Walaupun hingga saat ini jasa pelayanan seks yang diatur dengan peraturan
pemerintah dan ditawarkan dilokalisasi atau kompleks-kompleks pelacuran
masih dapat diperoleh, layanan seks komersial diluar lokalisasi tetap saja marak,
biasanya secara sembunyi-sembunyi, di berbagai tempat seperti diperumahan,
38
Irwanto dkk, Perdagangan Anak di Indonesia, Kantor Perburuhan Internasional
Program Internasional Penghapusan perburuhan Anak, di cetak atas kerjasama dengan Jurusan
Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP-UI, 2001, hal. 29
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
hotel, bar, restoran, diskotik, salon kecantikan, dan sebagainya yang
menyediakan teman pendamping atau teman kencan.
Ulasan-ulasan terbaru yang dihimpun dari berbagai media, pengamatan
LSM dan studi-studi yang ada menunjukkan bahwa kasus-kasus anak yang
terlibat pelacuran cenderung meningkat sejak akhir tahun 1990. banyak anakanak desa yang mau meninggalkan kampung halamannya karena tergiur oleh
janji-janji akan diberi pekerjaan dikota, tetapi sesampainya dikota, ia diperdaya
atau dipaksa untuk menjadi pekerja seks komersial. Namun tidak semua anak
yang dilacurkan berasal dari desa, anak kota pun ada juga yang dijadikan
pekerja seks. Beberapa dari mereka bahkan berasal dari keluarga-keluarga yang
cukup berada. Hal ini amat memprihatinkan tetapi permintaan akan seks dengan
anak sebenarnya telah ada sejak dulu. 39
Pemicu utamanya adalah mitos-mitos seputar keperawanan, antara lain
kepercayaan bahwa hubungan seks dengan perawan merupakan obat awet muda
dan pembawa keberuntungan. Tapi ironisnya, kesadaran akan bahaya
HIV/AIDS dan penyakit
menular seksual lainnya sering kali justru
mendongkrak permintaan akan anak-anak perempuan belasan tahun. Perekrutan
pekerja seks anak di Indonesia biasanya terjadi dengan menggunakan alasan
yang klasik, yaitu untuk dijadikan pembantu rumah tangga (PRT), bekerja di
restoran dan sebagainya.
2. Anak Yang di Jadikan Pengemis
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Pola lain perdagangan anak yang sering dijumpai di berbagai daerah di
Indonesia adalah mengambil anak untuk mengemis dijalanan. Anak-anak yang
disuruh mengemis di jalan-jalan dikota-kota besar sering kali berasal dari tempat
yang jauh. Jumlah anak yang direkrut dari daerah pedesaan cukup besar. Mereka
dijanjikan pekerjaan yang layak dikota dan tidak tahu kalau akan disuruh
mengemis. Selain anak yang diperdagangkan untuk dijadikan pengemis, ada
juga bayi yang disewakan untuk membantu pengemis wanita supaya kelihatan
lebih memelas. 40
3. Anak Yang di Jadikan Pembantu Rumah Tangga
Menjadi pembantu rumah tangga merupakan pekerjaan yang termudah
yang dapat dilakukan anak perempuan desa yang tidak berpengalaman dan tidak
atau kurang berpendidikan dan yang orang tuanya tidak mempunyai cukup biaya
untuk menyekolahkan atau melanjutkan sekolah anaknya. Sering kali kota besar
menjadi obsesi banyak kaum muda di pedesaan. Mereka terpesona oleh gaya
hidup kota yang mereka lihat di media cetak dan televisi (TV). Selain itu bekerja
dikota mungkin juga merupakan cara untuk menghindar dari pengaturan
perkawinan (perjodohan) oleh orang tua setelah mereka menyelesaikan sekolah
dasar. 41
Banyak dari anak-anak yang dijadikan pembantu rumah tangga tersebut
justru berada dalam kondisi kerja yang dapat dikategorikan sebagai bentuk
39
40
Ibid, hal 30
Irwanto dkk, Ibid, hal 37
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
terburuk perburuhan anak. Selain itu, ada laporan media yang memberitakan
bahwa kekerasan fisik dan seksual juga dialami oleh anak-anak ini. Dan bahkan,
pelaku kekerasan ini tidak tersentuh oleh hukum.
4. Anak Yang di Manfaatkan Dalam Perdagangan Narkoba
Mengenai pola perdagangan narkoba dengan menggunakan anak-anak
sebagai pengedar atau pengguna narkoba ini sifatnya sangat terorganisir,
umumnya mereka dibujuk untuk membantu sindikat perdagangan narkoba
dengan iming-iming imbalan (uang) yang cukup besar. Dengan jumlah uang
yang sedemikian, bagi mereka sudah sangat besar disamping dapat
menggunakannya secara gratis, akibat dari ketergantungan narkoba tersebut.
5. Anak Yang Mengerjakan Pekerjaan-Pekerjaan Lain Yang Sifatnya
Sangat Eksploitatif, Seperti Pekerjaan di Jermal
Pemanfaatan anak untuk bekerja di jermal (anjungan penangkap ikan lepas
pantai) dibeberapa daerah di Indonesia misalnya di Sumatera Utara mendapat
sorotan tajam dari masyarakat internasional yang peduli terhadap hak anak.
Anak-anak ini direkrut atau dibawa oleh orang tua mereka dari desa-desa yang
jauh dari laut. Mereka biasanya tidak peduli dengan jenis pekerjaan yang akan
mereka jalani. Ketika bekerja dijermal, mereka harus bekerja siang dan malam
tanpa istirahat yang cukup untuk menaikkan dan menurunkan jala ikan, memilih
41
Ibid, hal 33
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
dan mengeringkan ikan, memperbaiki jala yang rusak dan mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan lain yang menyita sebagian waktu mereka. 42
Selain kelima bentuk perdagangan anak tersebut diatas, ada bentuk lain
dari perdagangan anak (child trafficking) yaitu penjualan bayi untuk dijadikan
anak angkat atau upaya mengadopsi anak tanpa melalui prosedur hukum.
Mengenai anak angkat, diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002:
Pasal (1): Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
pasal (1) angka (9) :anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
Pasal (2): Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua
kandungnya
Sedangkan mengenai pengangkatan anak diatur dalam Pasal 39-41
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002:
Pasal 39
(1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua
kandungnya.
(3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon
anak angkat.
42
Irwanto dkk, Ibid, hal 38
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
(4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir.
(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Pasal 40
(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai
asal usulnya dan orang tua kandungnya.
(2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang
bersangkutan.
Pasal 41
(1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengangkatan anak.
(2) Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sehingga dapatlah dikatakan apabila seseorang melakukan pengadopsian
anak (pengangkatan anak) dan apabila tidak sesuai dengan prosedur berdasarkan
ketentuan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
dan tanpa adanya penetapan dari pengadilan negeri, dapat juga dikategorikan
dengan perdagangan anak.
B. Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) Menurut Peraturan Perundang-Undangan
Ada beberapa peraturan yang mengatur tentang penerapan hukum terhadap
tindak pidana perdagangan anak, diantaranya sebagai berikut:
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 43
Perdagangan anak dalam KUHP pada pasal 297 yang menyatakan bahwa :
“Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa,
diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”
Tidak ada definisi resmi tentang perdagangan anak di dalam pasal 297
KUHP tersebut, sehingga dalam prakteknya pasal ini sulit untuk digunakan.
KUHP juga mengkriminalisasi tindakan memprostistusikan orang lain dan
menjatuhkan hukuman kepada mereka yang melakukan eksploitasi seksual
terhadap anak-anak, yang diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 287 ayat (1)
“barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas
tahun, atau kalau umurnya tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan
itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan
tahun”
Pasal 290
“diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun (ke-3) barangsiapa
membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa
umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa
belum mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar pernikahan dengan orang lain”
Pasal 292
“orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum
dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus
disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima
tahun”
Pasal 293 (1)
43
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia-Bogor, 1994
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
“barangsiapa dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan memberi
uang atau barang, dengan salah mempergunakan pengaruh yang berlebihlebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau
dengan tipu, sengaja membujuk orang yang belum dewasa yang tidak
bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya
belum dewasa, akan melakukan perbuatan cabul dengan dia atau
membiarkan dilakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, dihukum
penjara selama-lamanyalima tahun”
Pasal 294 (1)
“barangsiapa melakukan perbutan cabul dengan anaknya yang belum
dewasa, anak tiri atau anak pungutnya, anak peliharaannya, atau dengan
seorang yang belum dewasa yang dipercayakan padanya untuk ditanggung,
dididik atau dijaga, atau dengan bujang atau orang sebawahnya yang belum
dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun”
Pasal 295 (1) dihukum:
1e. dengan hukum penjara selama-lamanya lima tahun, barangsiapa yang
dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul yang
dikerjakan oleh anaknya, anaknya tirinya, atau anak angkatnya yang belum
dewasa , oleh anak yang dibawah pengawasannya, orang yang belum
dewasa yang diserahkan kepadanya, supaya dipeliharanya, dididiknya atau
dijaganya atau bujangnya yang dibawah umur atau orang yang dibawahnya
dengan orang lain.
2e. dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, barang siapa
yang dengan sengaja, diluar hal-hal tersebut pada 1e, menyebabkan atau
memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh orang
belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa ia ada
belum dewasa.
Sedangkan perdagangan anak yang dijadikan pengemis atau pekerjaan
berbahaya lainnya, diatur dalam pasal 301 KUHP bahwa :
“barangsiapa menyerahkan atau membiarkan tinggal pada orang lain,
seorang anak yang umurnya dibawah 12 tahun yang dibawah kuasanya yang
sah sedang diketahuinya bahwa anak itu akan dipakai untuk atau akan
dibawa waktu menjalankan pekerjaan mengemis, atau dipakai untuk
menjalankan perbuatan kepandaian yang berbahaya atau pekerjaan yang
berbahaya atau pekerjaan yang merusakkan kesehatan, dihukum penjara
selama-lamanya empat tahun”
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Pasal-pasal yang relevan untuk kejahatan anak yang melibatkan penculikan
didalam KUHP diatur dalam pasal :
Pasal 328
“barangsiapa melarikan orang dari tempat kediamannya atau tempat
tinggalnya sementara, dengan maksud melawan hak akan membawa orang
itu dibawah kekuasaan sendiri atau dibawah kekuasaan orang lain atau akan
menjadikan dia jatuh terlantar, dihukum karena melarikan (menculik) orang
dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”
Pasal 329
“barangsiapa dengan sengaja melawan hak membawa orang ketempat lain
dari pada yang dijanjikan, yaitu orang yang telah membuat perjanjian untuk
melakukan sesuatu pekerjaan dalam sesuatu tempat yang tentu, dihukum
penjara selama-lamanya tujuh tahun”
Pasal 330
Ayat (1)
“barangsiapa dengan sengaja mencabut orang yang belum dewasa dari kuasa
yang sah atasnya atau dari penjagaan orang yang dengan sah menjalankan
penjagaan itu, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun”
Pasal 330
Ayat (2)
“dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun jika
perbuatan itu dilakukan dengan memakai tipu daya, kekerasan atau ancaman
dengan kekerasan atau orang yang belum dewasa umurnya dibawah dua
belas tahun”
Pasal 332 (1)
Dihukum karena melarikan perempuan :
1e. dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun, barangsiapa
melarikan perempuan yang belum dewasa tidak dengan kemauan
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
orangtuanya atau walinya, tetapi dengan kemauan perempuan itu sendiri
dengan maksud akan mempunyai perempuan itu baik dengan nikah,
maupun tidak dengan nikah.
2e. dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, barang siapa
melarikan perempuan dengan tipu, kekerasan atau ancaman dengan
kekerasaan dengan maksud akan mempunyai perempuan itu baik dengan
nikah, maupun tidak dengan nikah.
Perdagangan anak yang melibatkan penyekapan atau penahanan diatur
dalam pasal :
Pasal 331
“barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang belum dewasa
yang dicabut atau yang mencabut dirinya dari kuasa yang sah atasnya atau
dari penjagaan orang yang dengan sah menjaga dia, atau barangsiapa
sengaja menyembunyikan anak itu dari penyelidikan pegawai kehakiman
atau polisi, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun, atau jika anak itu
umurnya dibawah 12 tahun, dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh
tahun”
Pasal 333
(1) barangsiapa dengan sengaja menahan (merampas kemerdekaan) orang
atau meneruskan tahanan itu dengan melawan hak, dihukum penjara
selam-lamanya delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu menyebabkan luka berat, sitersalah dihukum penjara
selama-lamanya sembilan tahun.
(3) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, ia dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
(4) Hukuman yang ditentukan dalam pasal ini dikenakan juga kepada orang
yang sengaja memberi tempat untuk menahan (merampas kemerdekaan)
orang dengan melawan hak.
Pasal 334
(1) barangsiapa yang karena salahnya hingga orang jadi tertahan atau terus
bertahan dengan melawan hak, dihukum kurungan selama-lamanya tiga
bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
(2) jika dengan perbuatan itu menyebabkan luka berat, sitersalah dihukum
kurungan selama-lamanya sembilan tahun.
(3) Jika perbuatan itu menyebabkan orangnya mati, ia dihukum kurungan
selama-lamanya satu tahun.
B. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang
Mengenai tindak pidana perdagangan anak lebih terperinci dijelaskan
didalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang yang diatur dalam pasal :
Pasal 2 ayat (1)
“setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang
atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengekploitasi
orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh
juta rupiah), dan paling banyak Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)”.
Pasal 3
“setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah Negara Republik
Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah Negara Republik
Indonesia atau diekploitasi di Negara lain dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)”.
Pasal 4
“setiap orang yang membawa warga Negara Indonesia ke luar wilayah
Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk untuk dieksploitasi di luar
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
wilayah Negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (tahun) dan pidana denda paling
sedikit Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupih) dan paling banyak
Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
Pasal 5
“setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan
sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas tahun) penjara dan pidana denda paling sedikit
Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)”.
Pasal 6
“setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri
dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas tahun) penjara dan pidana denda paling sedikit
Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)”.
Pasal 17
“Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4
dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3
(sepertiga)”
Sedangkan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana
perdagangan orang diatur dalam pasal ;
Pasal 19
“Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada
dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara
atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana
perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah)”
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Pasal 20
“Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti
palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan
hukum di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan
puluh juta rupiah)”
Pasal 21
(1) Setiap orang yang melakukan penyerangan fisik terhadap saksi
atau petugas di persidangan dalam perkara tindak pidana
perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
saksi atau petugas di persidangan luka berat, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
saksi atau petugas di persidangan mati, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus
dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus
juta rupiah).
Pasal 22
“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka,
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
terdakwa, atau saksi dalam perkara perdagangan orang, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”
Pasal 23
“Setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana
perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan:
a. memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta
kekayaan lainnya kepada pelaku;
b. menyediakan tempat tinggal bagi pelaku;
c. menyembunyikan pelaku; atau
d. menyembunyikan informasi keberadaan pelaku,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah)”
Pasal 24
“Setiap orang yang memberitahukan identitas saksi atau korban padahal
kepadanya telah diberitahukan, bahwa identitas saksi atau korban tersebut
harus dirahasiakan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah)”
C. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Didalam undang-undang ini juga mengatur ketentuan pidana terhadap
perdagangan anak, yang diatur dalam pasal :
Pasal 79
“Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dengan Pasal 39 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Pasal 83
“Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk
diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp.600.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”
Pasal 88
“Setiap orang yang mengekploitasi ekonomi atau seksual anak dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”
Pasal 89
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan,
melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi
atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan,
melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan produksi
atau distribusi alcohol dan zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling sedikit Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka UU Perlindungan Anak telah
memberikan sanksi kepada setiap orang yang “menyalahgunakan” anak untuk
kepentingan-kepentingan yang dilarang oleh hukum. Dari ketentuan sebagaimana
tersebut di atas, UU Perlindungan Anak telah memberikan sanksi pidana terhadap
perbuatan yang :
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
(1) membiarkan anak dalam situasi darurat, padahal anak tersebut memerlukan
pertolongan dan harus dibantu;
(2) dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain;
(3) dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, melakukan
serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul;
(4) memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk
dijual;
(5) merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer, penyalahgunaan
dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan
dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;
(6) eksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain;
(7) membiarkan, melibatkan anak dalam penyalahgunaan produksi atau distribusi
narkotika dan/atau psikotropika, alcohol dan zat aditif lainnya.
Di samping hal tersebut diatas, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak ini juga mengatur tentang hak-hak anak yang terdapat
dalam pasal :
Pasal 4
“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”
Pasal 5
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
“Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan”
Pasal 6
“Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orangtua”
Pasal 7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak
diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8
“Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial”
Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang
menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan
bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus
Pasal 10
“Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari,
dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan”
Pasal 11
“Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat,
bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri”
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Pasal 12
“Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan
sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial”
Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan
pemberatan hukuman.
Pasal 14
“Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada
alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah
demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”
Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir.
Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari
orang dewasa;
b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap
tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif
dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan
bantuan hukum dan bantuan lainnya”
D. Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara No.6 Tahun 2004
Dalam ketentuan pidana pasal 28 dikatakan bahwa :
“setiap orang yang melakukan, mengetahui, melindungi, menutup informasi,
dan membantu secara langsung maupun tidak langsung terjadinya
perdagangan (trafficking) perempuan dan anak dengan tujuan melakukan
ekploitasi baik dengan atau tanpa persetujuan untuk pelacuran, kerja, atau
pelayanan, perbudakan atau praktik serupa dengan perbudakan, pemindahan
atau tranplantasi organ tubuh, atau segala tindakan yang melibatkan
pemerasan dan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga, dan atau kemampuan
seseorang oleh pihak lain dengan secara sewenang-wenang untuk
mendapatkan keuntungan baik materil maupun nonmaterial dapat sesuai
dengn ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
BAB III
TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINAL TERHADAP TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ANAK (CHILD TRAFFICKING)
A. Peranan Psikologi Kriminal Dalam Hukum Pidana
Soedjono D, mengungkapkan bahwa dalam ilmu hukum dijelaskan adalah
satu segi yang menonjol pada hukum terutama sekali pada hukum modern adalah
penggunaannya secara sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang
dikehendaki. Dengan demikian sadar atau tidak sadar hukum telah memasuki
bidang yang menggarap tingkah laku manusia. Apakah proses yang demikian ini
tidak juga mengandung arti bahwa hukum telah memasuki bidang psikologis,
khususnya psikologi sosial? Hukum pidana misalnya merupakan bidang hukum
yang cukup sering berurusan dengan psikologi ini, sadar ataupun tidak. Bahwa
dengan pidana diharapkan kejahatan bisa dicegah, merupakan salah satu contoh
yang jelas mengenai hubungan antara hukum dan psikologi tersebut. 44
44
Soedjono D, Op.Cit, hal. 36
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Pendapat Satjipto Rahardjo yang didukung oleh Soedjono D, dalam
bukunya “Pengantar Tentang Psikologi Hukum” yang menyebutkan antara lain
bahwa semakin berkembang pesatnya tekhnologi dan perubahan sosial,
pendidikan hukum dituntut untuk tidak statis lebih-lebih dalam penyajian materi.
Salah satu ilmu pengetahuan yang relevan untuk mempelajari adalah psiklogi.
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari peri laku manusia dalam pergaulan hidup
dengan sesamanya. Hal ini mudah dipahami karena hukum merupakan lembaga
yang paling melekat dalam kehidupan manusia, seperti selalu dikatakan oleh
Soediman Kartohadiprodjo bahwa berbicara mengenai hukum berarti bicara
tentang manusia.
45
Bimo Walgito menyatakan:
“setiap cabang ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan mempelajari hal-hal
sekitar kehidupan manusia akan tidak sempurna jika tidak mengambil pelajaranpelajaran dari hasil-hasil penyelidikan psikologi. 46
Uraian di atas menunjukkan bahwa bidang hukum khususnya hukum
pidana memerlukan salah satu ilmu yang tidak bisa dianggap enteng peranannya
dalam menghadapi tingkah laku manusia, yaitu psikologi sebagai ilmu yang
meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia tersebut.
Tingkah laku manusia yang bagaimana yang ada hubungannya dengan
psikologi kriminal? Yaitu tingkah laku yang menyimpang atau melanggar kaidahkaidah masyarakat, atau yang disebut dengan kejahatan yang secara psikologis
yang diartikan sebagai manifestasi kejiwaan yang terungkap pada tingkah laku
45
Ibid, hal. 157
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
manusia yang bertentangan dengan kaedah-kaedah yang berlaku dalam
masyarakat.47
Perbuatan-perbuatan yang menyimpang itu sangat erat hubungannya
dengan kejiwaan individu, dimana kehidupannya hidup dalam suatu kehidupan
masyarakat. Pengaruh kejiwaan dari individu yang hidup dalam kehidupan
masyarakat ini, mengarah pada ketidakselarasan dan dapat membentur kaedahkaedah yang berlaku didalam masyarakat dimana individu itu hidup. Hal ini
disebabkan hubungan antara individu dengan masyarakatnya sangat erat sekali,
karena individu itu berdiri dan berhadapan dengan individu-individu lainnya
dalam garis lingkar masyarakat.
Gangguan kejiwaan yang menimbulkan perbuatan yang menyimpang
menyebabkan individu itu tidak dapat memisahkan antara perbuatan baik maupun
perbuatan jahat. Jadi kejahatan ditinjau dari psikologis jelas menitik beratkan
seberapa jauh adanya pengaruh kejiwaan yang dapat digolongkan perbuatan jahat
sesuai dengan penyimpangan terhadap kaedah-kaedah yang berlaku dalam suatu
masyarakat. Kalau kita teliti baik dari pandangan sosiologis, yuridis maupun
psikologis terdapat perbuatan-perbuatan tertentu yang tidak disenangi masyarakat,
hanya perbedaannya terletak kepada perbuatan yang secara definitif telah
ditentukan sebagai perbuatan jahat dan ada juga yang bersifat tidak definitif 48.
46
Bimo Walgito, Op. Cit, hal. 6
Chainur Arrasyid, Op.Cit, hal. 65
48
Chainur Arrasyid, Pertimbangan Psikologis Dalam Pertanggungan Jawab Dalam
Peristiwa Pidana, Pidato Pengukuhan di Depan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumtera Utara
18 Januari 1992, hal. 4
47
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Secara antropolgis kita mempunyai persamaan-persamaan dan perbedaanperbedaan jika ditinjau dari aspek kebudayaannya, yakni berupa aspek tingkah
laku, tata kelakuan dan hasil kelakuan itu. Khusus tentang tingkah laku adalah
merupakan suatu masalah yang sangat serius dalam kriminologi. Masalahnya
terletak bahwa tingkah laku itu mempunyai kawasan luas, ada tingkah laku yang
dianggap bermoral, tetapi ada juga yang dianggap asosial bahkan kriminil.
Walaupun tingkah laku yang dianggap asosial maupun kriminil itu
merupakan tingkah laku normal yang ada pada diri setiap manusia, tetapi sebagai
manusia yang berpikir, bermasyarakat dan berkebudayaan sudah semestinya harus
dicegah atau diusahakan untuk tidak membuatnya, dan inilah tugas berat bagi
individu atau manusia itu. Perbuatan kriminil maupun asosial tidak dikehendaki
dalam hidup bermasyarakat, begitu juga secara religius atau keagamaan.
Walaupun tingkah laku seperti ini merupakan suatu aspek yang wajar dan ada
pada diri manusia, tetapi hal ini harus tidak muncul dalam kehidupan manusia itu.
Dapatlah dikatakan bahwa usaha untuk mengatasinya cukup berat, karena
manusia itu sudah terikat oleh perbuatan yang tidak disenangi. Perhatikan keawal
kehidupan manusia, bagaimana sakitnya derita seorang ibu sewaktu ada gerakangerakan janin dalam kandungannya dan juga pada saat melahirkan. Dihadapan
hukum penilaiannya memang berbeda, tetapi apakah dari segi kenyataan
bukankah itu suatu perbuatan yang merugikan dan menyakitkan orang lain.
Untuk memahami kehidupan manusia diperlukan suatu pemahaman
khusus tentang eksistensi manusia tersebut, yang berarti pula mengetahui aspirasi,
perasaan, cita-cita dan gejolak-gejolak jiwa manusia. Tentu ini dapat dipelajari
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
dalam psikologi. Dalam mendalami kehidupan psikologi perkembangan, maka
deviasi-deviasi (penyimpangan-penyimpangan) tingkah laku manusia dapat
dicegah, karena psikologi perkembangan merupakan salah satu dasar utama untuk
menghantar dalam rangka mambahas aspek kejiwaan perbuatan kriminal.
Menurut penelitian kehidupan manusia itu mengalami grafik kehidupan
jasmani maupun kejiwaan. Sejak usia muda sampai usia tua serta setiap waktu
usia tertentu terjadi perubahan-perubahan hidup yang mempunyai ciri-ciri khas
sendiri. Berdasarkan adanya perubahan-perubahan dan ciri-ciri khas tersendiri dari
usia tertentu itu, psikologi telah mengadakan pembagian-pembagian masa
kehidupan manusia 49.
Sesuai dengan tujuan psikologi kriminal yakni berupaya mempelajari
sebab-sebab kejahatan, cara-cara pencegahan baik preventif maupun represif serta
usaha-usaha perbaikan atau penyembuhan penjahat yang telah defenitif dalam
pengertian hukum pidana, maupun perbuatan menyimpang lainnya yang terdapat
di luar hukum pidana dengan cara-cara pendekatan psikologi kriminal dibutuhkan
dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu hukum pidana.
Psikologi kriminal sebagai ilmu pembantu dari pada hukum pidana apalagi
dalam masalah yang dihadapi adalah kejahatan anak, dapat menjadikan hukum
pidana sebagai suatu alat terakhir untuk mempebaiki kelakuan manusia (ultimum
remidium). Maksudnya dalam psikologi kriminal, hukum pidana diterapkan
ataupun pemidanaan tersebut dilakukan apabila tidak ada jalan lain untuk dapat
memperbaiki pelaku tindak pidana tersebut.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
B. Hubungan Psikologi Kriminal Dengan Tindak Pidana Perdagangan
Anak (Child Trafficking)
Menurut Psikologi perkembangan dan penelitian bahwa kehidupan
manusia itu mengalami grafik kehidupan jasmaniah dan rohani. Dari segi
kelahirannya sampai masa tua dan setiap waktu usia tertentu terjadi perubahanperubahan hidup yang mempunyai ciri-ciri khusus.
Adapun terhadap adanya perubahan-perubahan dan ciri-ciri tertentu itu,
para ahli mengadakan pembagian masa kehidupan manusia, yang diantaranya
yaitu:
1. Masa progresif
2. Masa stabil
3. Masa regresif
ad. 1. Masa Progresif
Masa progeresif ini adalah masa pertumbuhan dan perkembangan yang
sebenarnya, baik pisik manusia tumbuh dari sejak lahir menjadi dewasa, begitu
juga kehidupan atau psikisnya berkembang dari yang paling sederhana mengarah
pada fungsi yang kompleks. Kalau ditinjau dari segi usia masa progresif ini dapat
dikatakan dari usia 0 – 20 tahun. Masa progresif ini dibagi lagi dalam :
49
Ibid, hal.15: Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Sepriarto Siamanjuntak
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
a.
masa anak yaitu umur 0 – 1.6 tahun
b.
masa estetis yaitu umur 1.6 – 6 tahun
c.
masa intelektual yaitu umur 6 – 12 tahun
d.
masa sosial umur 12 – 18 tahun
e.
masa dewasa umur 18 – 20 tahun 50.
Dalam masa progresif ini kita menemui dua kali masa krisis yang
merupakan lampu merah dalam kehidupan ini, dimana dalam masa ini terjadi
kegoncangan-kegoncangan kejiwaan maupun jasmaniah yang menempatkan
seseorang itu dalam keadaan yang harus mendapat perhatian penuh dan
mendapatkan pengarahan-pengarahan yang serius.
Menurut para ahli masa krisis yang pertama dialami oleh manusia pada
umur sekitar 2 – 4 tahun. Dalam masa ini tidak tersalurkan maka akan muncul
kembali beberapa tahun sesudahnya. Disamping sifat egosentris juga bersifat
keras kepala dan dusta, hal ini disebabkan karena belum tercapainya diferensiasi
yang tegas antara berbagai fungsi psikis yaitu fantasi, ingatan dan lain-lain.
Aktivitas anak pada masa ini sebagian besar terjadi dari insting meniru. Sifat dan
simpati munul terhadap apa yang ditemuinya. Sadistis pada anak pun telah
ditemui pada masa ini tapi sifatnya lain dari sadistis pada orang dewasa 51.
Masa krisis yang kedua merupakan masa transisi dari masa anak-anak
kemasa dewasa. Ditinjau dari segi jasmaniah ditandai dengan tumbuhnya bulubulu pada bagian-bagian genital remaja, dan tenaga-tenaga umumnya terbangun
50
51
Chainur Arrasyid, Pengantar Psikologi Kriminal, Ibid, hal.15
Ibid, hal. 17
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
kuat. Perubahan ini membawa perubahan psikologis terutama dalam keinginan
untuk mengetahi sesuatu, dan
bertingkah laku. Dengan kata lain terjadinya
perubahan-perubahan yang sangat cepat dan kuat bail pisik maupun psikis
mengakibatkan muculnya perasaan gelisah, pertentangan lahir dan batin dan lainlain dalam rangka pembentukan kepribadian, dalam mencari identitas diri, agar
mendapat tempat dalam lingkungan kehidupan.
Masa ini merupakan suatu masa prosebility secara umum memilih nilainilai yang tersebut atau menolak segala pengalaman-pengalaman yang ditemui
dan dialaminya. Masa ini adalah masa sulit bagi manusia, karena pada masa ini
dia tidak mau disebut sebagai anak-anak tetapi juga belum dewasa.
Ad. 2. Masa Stabil
Masa stabil ini dimulai lebih kurang umur 20 tahun sampai dengan umur
40 tahun. Masa ini disebut dengan masa stabil karena masa ini tidaklah terdapat
lagi perubahan-perubahan yang besar baik pisik maupun psikis. Jadi masa ini
adalah merupakan pengukuhan fungsi-fungsi yang sudah dimilikinya pada masa
sebelumnya.
Ad. 3. Masa Regresif
Masa regresif ini adalah masa yang mengalami kemunduran psikis
maupun pisik. Penglihatan, pendengaran mulai berkurang, tenaga pisik mulai
menurun dan tulang-tulang mulai rapuh, fungsi-fungsi mulai berkurang seperti
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
pikiran, perasaan, dan kemauan begitu cita-cita dan sebagainya. Masa regresif ini
dimulai lebih kurang usia 40 tahun sampai dengan seterusnya.
Pada masa ini ditemui krisis ketiga yaitu pada masa umur 40 tahun sampai
dengan umur 45 tahun, hal ini disebabkan karena hal-hal yang telah disebut diatas.
Dalam masa ini dikenal masa setengah tua sekitar 50 tahun dan masa tua sekitar
50 tahun keatas.
Banyak faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi manusia dalam
bertindak, demikian juga yang mempengaruhi kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang, diantaranya faktor intelegensi, umur dan lain-lain. Menurut ilmu jiwa
bahwa kejahatan yang merupakan salah satu tingkah laku manusia yang
melanggar hukum ditentukan oleh instansi-instansi yang terdapat pada diri
manusia itu sendiri. Hal ini disebabkan karena tingkah laku manusia yang sadar
tidak mungkin dipahami tanpa mempelajari alam tak sadar. Para ahli ilmu jiwa
dalam hal ini ingin mencoba untuk menganalisa manusia umumnya dengan caracara membahas intern dari hidup manusia itu sendiri. Demikian juga dengan
pelaku tindak pidana perdagangan anak, seperti yang dikemukakan oleh Sigmund
Freud dengan teori Struktur Personality dan teori keseimbangan dari Alfred
Adler.
Struktur Kepribadian Manusia (Personality) menurut Sigmund Freud ini
dibagi dalam 3 (tiga) aspek yaitu:
1. Das Es
Das Es merupakan suber segala sesuatu yang terlupa dan juga unsur
kejiwaan yang dibawa bersama kelahiran, misalnya instink yang mengakar
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
pada organ. Freud menganggap bahwa Das Es tidak lain dari pada alam tak
sadar. Jadi Das es atau aspek biologis kepribadian ini adalah aspek orginal.
Das es berfungsi berdasarkan fungsi kenikmatan, yaitu mencari
kenikmatan dan menghindarkan diri dari ketidakenakan. Das es yang
merupakan sumber dari segala sesuatu yang terbuka dan unsur kejiwaan yang
dibawa sejak lahir adalah merupakan kekuatan-kekuatan hidup seperti nafsu,
instink yang terlupakan. Nafsu jelas menginginkan suatu pemuasan dan setiap
saat Ia berusaha untuk mencari jalan keluar. Agar pengalamannya jangan
bertentangan dengan norma-norma dari kehidupan manusia yang berlaku
maka muncullah Das ich.
2. Das Ich
Das ich sering juga disebut Ego. Das ich merupakan inti alam sadar. Das
ich merupakan pelaksanaan dari segala dorongan yang dikehendaki oleh Das
es. Das es memberikan syarat misalnya pada perut dan das ih mengerti bahwa
isyarat itu adalah pertanda lapar, dan ego harus bertindak untuk memberikan
kepuasan pada yang dikehendaki Das es.
Desakan-desakan yang mucul dari Das es ini mendorong alam sadar untuk
mengadakan kontak dengan lingkungan sekitar, melaksanakan tindakantindakan yang diperlukan untuk memberikan pemuasan pada kehendak Das es.
Maka dengan demikian freud mengatakan ego merupakan suatu jembatan
gantung yang menghubungkan antara kebutuhan dan tindakan. Das ich ini
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
timbul dari kebutuhan organisme untuk dapat berhubungan dengan dunia luar
secara realistis.
3. Das Uber Ich
Das uber ich atau super ego merupakan suatu bagian puncak atau
menempati kedudukan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Das es dan
Das ich. Segala norma-norma dan tata kehidupan yang pernah mempengaruhi
ego membekas dan kemudian bertahan dalam super ego, dan dari sana ia
menjalankan kontrol terhadap segal gerak-gerik dari ego. Super ego sebagai
alam norma melakukan pengawasan terhadap ego (das ich) tentang apa yang
boleh dilakukan, dan super ego menilai tentang apa yang akan dilakukan,
sedang dilakukan, dan yang telah dilakukan.
Penilaian tersebut dapat berupa teguran-teguran jangan melakukan dan
dapat mengizinkan melakukan. Das uber ich merupakan wakil nilai-nilai
tradisioanal serta cita-cita masyarakat menurut tafsiran yang dianjurkan dalam
masyarakat dengan berbagai perintah dan larangan. Dengan emikian super ego
dapat dianggap aspek moral dalam kepribadian. Fungsi Das uber ich yang
terutama adalah menentukan apakah sesuatu hal susila atau tidak, pantas atau
tidak pantas, benar atau salah, dengan berpedoman kepada ini pribadi dapat
bertindak dengan cara yang sesuai moral mayarakat. Ketiga hal ini
berhubungan erat sehingga tidak mungkin memisah-misahkan pegaruhnya
terhadap tingkah laku manusia.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Teori keseimbangan dari Alfred Adler
Alfred Adler adalah seorang murid dari Sigmund Freud. Ia mendirikan
aliran individual psikologi. Menurutnya individu berarti tidak terbagi-bagi.
Pengertian individu disini adalah individu yang berjiwa. Berjiwa adalah keadaan
yang dapat menunjukkan kebebasan bergerak. Sehubungan dengnan proses
penyesuaian diri masyarakat dan manusia tidak dapat dipisahkan. Maksudnya tipa
individu tak mungkin ada tanpa adanya masyarakat. Menurut Alfred Adler
msyarakat lebih dahulu ada baru individu, dan terhadap masyarakat individu itu
tidak pernah netral.
Tiap individu mempunyai perasaan kemasyarakatan, tetapi didalam
masyarakat tersebut tidak mungkin hilang nilainya sebagai individu. Sedangkan
individu mempunyai perasaan ingin lebih dari individu lainnya. Jadi kedua
perasaan ini yakni perasaan masyarakat dan perasaan ingin lebih bertentangan dan
menimbulkan ketegangan pada individu. 52
Agar jangan terjadi ketegangan ini Adler mengemukakan harus ada
keseimbangan dan kedua harus berjalan sejajar. Demikian juga dalam diri
seseorang yang melakukan tindak pidana perdagangan anak bila kita hubungkan
dengan hal ini bahwa perasaan lebih dan perasaan masyarakat tidak berjalan
seimbang. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai induvidu ingin lebih dari
individu lainnya, tanpa mengindahkan norma-norma yang terdapat dalam
masyarakat.
52
Ibid, hal.30
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Psikologi Kriminal merupakan suatu ilmu yang perlu sekali dipelajari oleh
setiap orang yang mempunyai keterlibatan dengan dunia kejahatan, seperti
penegak hukum untuk mengetahui tentang kejiwaan si penjahat dalam hal
menyesuaikan dan mempertimbangkan hukuman yang akan dijatuhkan.
Dahulu hakim dalam memberikan hukuman atau putusannya melalui
akibat dari perbuatan penjahat itu saja, apabila menurutnya perbuatan tersebut
telah sesuai dengan rumusan delik dalam undang-undang yang dilanggarnya,
maka hakim menjatuhkan hukumannya tanpa memperhatikan kejiwaan atau
pribadi si penjahat. Kini dengan adanya ilmu Psikologi kriminal ini, semuanya itu
mengalami perkembangan dan perubahan sehingga hakim tidak lagi melihat dari
perbuatannya saja, tetapi juga dari jiwa atau kepentingan mengapa orang itu
melakukan kejahatan.
Dalam hukum pidana bila seseorang melakukan suatu kejahatan agar dapat
dituntut menurut peraturan yang berlaku, maka haruslah memenuhi unsur-unsur
dari pada perbuatan itu yakni unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur subjektif
yakni pendukung hak yaitu manusia atau badan yang menurut hukum berkuasa
menjadi pendukung hak, sedangkan unsur objektifnya ialah segala sesuatu yang
berguna bagi subjek dan yang dapat menjadi pokok suatu perhubungan hukum
karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh objek hukum. Sehingga dalam hal ini faktor
subjektif sangat penting diperhatikan guna meletakkan suatu keadilan yang
meteril yaitu apakah seseorang itu mampu bertanggung jawab atas perbuatannya
atau si pelaku tidak mampu bertanggung jawab.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Demikian jugalah terhadap pelaku tindak pidana perdagangan anak, perlu
diketahui faktor-faktor psikologinya untuk mengungkapkan latar belakang dari
perilaku atau kejahatan dari jiwa si pelaku yang melakukan tindak pidana
perdagangan anak tersebut. Dengan demikian pengetahuan tentang psikologi
kriminal akan dapat menunjang pembentukan maupun penerapan hukum
sedemikian rupa sehingga benar-benar berfungsi.
C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Anak
(Child Trafficking)
Sebelum membahas faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana
perdagangan anak, terlebih dahulu dapat kita lihat faktor-faktor terjadinya
kejahatan menurut mazhab-mazhab dalam kriminologi:
1. Mazhab Italia atau Mazhab Antropologi
Antropologi berarti ilmu tentang manusia dan merupakan istilah yang
sangat tua. Dahulu istlah ini dipergunakan dalam arti lain, yaitu ilmu tentang ciriciri tubuh manusia. Dalam pandangan kriminologi yang mempelajari sebab-sebab
terjadinya kejahatan dengan cara mempelajari bentuk tubuh seseorang. Mazhab
Antropologi ini berkembang sekitar tahun 1830-1870 yang dipelopori oleh Gall
dan Spurzheim. Menurut Yoseph Gall bahwa bakat dan watak manusia ditentukan
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
oleh otak dan sebaliknya otak memberi pengaruh pula pada bentuk tengkorak.
Oleh karena itu, tengkorak dapat diperhatikan dan diukur, maka pembawaan,
watak dan bakat manusia dapat dipelajari secara ilmiah 53.
Mazhab antropologi baru dikenal sejak C.Lambroso (1835-1909)
menerbitkan bukunya yang berjudul “L’uomodelin quente”. Menurut beliau orang
yang melakukan kejahatan dapat dikenali dari tanda-tanda lahir (tipologi
penjahat), yaitu:
1. Tulang rahang lebar
2. Roman muka yang tidak harmonis
3. Tengkorak yang tidak simestris
4. Hidung pesek
5. Tulang dahi melengkung
6. Suka akan tato
Jadi menurut Lambroso seorang penjahat itu memang sejak dilahirkan sudah akan
menjadi penjahat (kriminal is born).
Pendapat Lombroso ditentang oleh Benedikit dan L. Monourveir. Menurut
mereka penjahat tidak dapat ditentukan dengan ciri-ciri fisik, tetapi hanya dapat
ditentukan oleh keadaan di sekelilingnya, tambahan pula angka-angka statisik
yang dikemukakan Lambroso kurang teliti, tidak dibandingkan dengan yang
bukan penjahat sebagai control group. Seandainya dibandingkan, pasti pada yang
bukan penjahat pun akan ditemukan penyimpangan antropologis seperti yang
dikemukan oleh Lambroso. Sehingga dengan kata lain pernyatan Lambroso
53
Made Darma
Weda, Kriminologi,
PT. Raja
Grafindo
Persada,
hal.16 Anak (Child
Sepriarto Siamanjuntak
: Tinjauan
Psikologi Kriminal
Terhadap
Tindak
Pidana1996,
Perdagangan
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
tersebut bukan berdasarkan pada hasil penelitian, tetapi atas dugaan semata.
Kemudian Lambroso mengemukakan bahwa penjahat memiliki sifat ativisme.
Penjahat seolah-olah memiliki sifat nenek moyang yang terjauh, sifat yang tidak
lagi dimiliki oleh nenek moyang terdekat. Orang primitive bersifat asusila, tetapi
tahap demi tahap memiliki susila. Jadi bila ada orang bersifat asusila, berarti dia
memiliki sifat nenek moyang dulu kembali (atavisme).
Kemudian CH. Goring, seorang dokter Inggris menentang Lambroso
dengan mengadakan penelitian terhadap sejumlah mahasiswa yang memenuhi
cirri-ciri seperti yang dikatakan Lambroso di Universitas Cambridge dan Oxford.
Ternyata dari hasil penelitian bahwa sebagian besar diantaranya adalah termasuk
manusia yang baik serta tidak pernah melakukan kejahatan yang luar biasa. Dalam
lingkungannya mereka dianggap sebagai orang yang berkelakuan baik. Menjawab
pertanyaan CH Goring tersebut diatas, E. ferri seorang murid dari lambroso
mengatakan bahwa kejahatan itu timbul karena dua (2) faktor yaitu, faktor
individu dan faktor lingkungan.
2. Mazhab Perancis atau Mazhab Lingkungan
Mazhab Prancis atau mazhab lingungan berdasarkan pada perekonomian
lingkungan, hasil aetiologi dalam sosiologi kriminal dan keadaan sekeliling.
Mazhab Prancis atau mazhab lingkungan adalah mazhab yang datang dari
kalangan para dokter Prancis yang mengajukan tentang mazhab antropologi
Lombroso. Para dokter Prancis menganut garis-garis yang diberikan oleh J.
Lamarck, E. Geoffry St Hileire dan L Pasteur, yang menerangkan pada arti
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
lingkungan sebagai sumber dari bermacam-macam sebab dari segala penyakit.
Golongan ini tidak tergabung dengan golongan ahli sosiologi statistik yang pada
dasarnya termasuk golongan ahli teori keadaan sekeliling atau teori lingkungan
dengan lingkaran pelajaran yang mengajarkan bahwa kejahatan berasal dari
kelahiran. Mereka adalah dokter yang bukan ahli sosiologi, biarpun mereka
mempunyai penglihatan yang tajam tentang keadaan masyarakat.
Pelopor mazhab ini antara lain A. Lacasagne (1843-1924) seorang guru
besar dalam hukum kedokteran di perguruan tinggi Lyon, dan G. Tarde (18431924) ahli hukum dan sosiologi yang menyatakan kejahatan bukan suatu hal yang
antropologis tetapi sosiologis seperti kejadian-kejadian masyarakat lainnya
dikuasai oleh hasrat meniru, dalam bukunya antara lain “Les Dois de Limitation”.
Mazhab perekonomian lingkungan mulai berkembang pada penghabisan
abad ke 19 ketika timbul sistem baru dalam perekonomian dan kejahatan kelihatan
bertambah. Teori baru dalam kemasyarakatan yang timbul pada pertengahan abad
ke 19 yang pandangan masyarakatnya berdasarkan keadaan ekonomi akan
mengarah kedalam kriminologi. Menurut teori ini unsur-unsur ekonomi dalam
masyarakat dipandang dari sudut dinamis adalah primair dan dipandang dari sudut
statis merupakan dasarnya.
Terdapat dalam ajaran K. Mark di dalam bukunya “Zur Kritik der
Politischen Oekonomie” (1895). Tokoh pertama dari aliran ini adalah F. Turrati di
dalam bukunya “Ildelito e la question sosiale” (1883) yang mengkritik mazhab
Italia dalam bagian positif ia juga nafsu ingin memiliki yang berhubungan erat
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
dengan
sistem
ekonomi
pada
waktu
sekarang
mendorong
kejahatan
perekonomian.
N. Colojanna (1847-1927) dalam bukunya “sosiologis kriminale” (1887)
menyatakan juga adanya hubungan antara krisis dengan bertambahnya kejahatan
dengan keadaan patolois sosial seperti pelacuran yang juga berasal dari adanya
perekonomian, dan kejahatan politik karena ekonomi. Beliau juga menekankan
adanya hubungan antara sistem ekonomi dan unsur-unsur umum dalam kejahatan,
yakni hak milik mendorong untuk mementingkan diri sendiri dan oleh karyawan
yang mendekatkan pada pekerjaan. Untuk mencegah kejahatan adalah dengan
suatu sistem ekonomi yang dapat mencapai pertimbangan yang tetap dan
pembagian yang tetap dan pembagian kekayaan yang sama-ratanya. 54
Hasil aetiologi dalam sosiologi kriminal antara lain terlantarnya anakanak, kesengsaraan, nafsu ingin memiliki, ketagihan minuman keras, kurangnya
peradaban dan perang. Keadaan sekelilignya dalam hal ini ada dua pengaruh atas
manusia yakni pengaruh langsung dari iklim dan pengaruh tidak langsung
terutama
tanah
dengan
melalui
masyarakat,
misalnya
keharusan
menyelenggarakan pengairan daerah tertentu di dunia timur mengakibatkan
adanya pemerintahan diktatori.
W. A. Bonger mengemukakan beberapa jenis kejahatan yang dapat timbul
akibat pengaruh keadaan sekelilingnya ini yaitu kejahatan ekonomi, kejahatan
terhadap kelamin, kejahatan kekerasan dan kejahatan politik.
54
Bouman, Sosiologi Pengertian dan masalah, cetakan keenam, Yayasan Kanisius,
Semarang, 1961, hal. 101
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
3. Mazhab Bio-Sosiologis
Ajaran Bio-sosiologi merupakan perpaduan antara ajaran antropologi dan
ajaran sosiologi. Ajaran ini pertama kali diperkenalkan oleh Ferry yang pada
mulanya adalah pengikut Lombroso. Ferry mengetahui bahwa ajaran Lombroso
tidak dapat dipertahankan, maka ia memuat suatu rumusan tentang timbulnya
kejahatan sebagai berikut: “tiap-tiap kejahatan adalah hasil dari unsur-unsur yang
terdapat dalam individu, masyarakat dan keadaan fisik. 55
Ferry memberikan rumusan dari faktor timbulnya kejahatan yaitu: unsur
individu + unsur lingkungan, tetapi yang terpenting adalah unsur individunya.
Bonger tidak setuju dengan rumusan yang dikemukakan oleh Ferry tersebut.
Kemudian Bonger menyatakan bahwa rumusan dari tiap-tiap kejahatan itu adalah:
lingkungan + bakat + lingkungan. 56 Menurut Bonger bahwa unsur lingkungan
berpengaruh dua kali lipat terhadap kejahatan manusia. Faktor individu
menurutnya
meliputi bakat, kelainan jiwa, corak kejiwaan sesuai dengan
perkembangan usia dan sakit syaraf. Ajaran Bio-Sosiologi ini menjadi ajaran
yang sangat berpengaruh dan bertahan lama. Tokoh-tokoh dari ajaran BioSosilogi ini antara lain : A. D. Prins, G. A. van Hamel, D. Simons.
4. Mazhab Spritualis
55
56
W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Ibid, hal. 133.
Ibid, hal. 134
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Ajaran ini pada pokoknya berpendapat bahwa
penyebab timbulnya
kejahatan adalah disebabkan karena orang-orang telah meninggalkan atau tidak
lagi memperdulikan ajaran agamanya, sehingga rasa takut akan Tuhan dan rasa
menyesal terhadap perbuatannya yang jahat tidak ada lagi.
De Baets menyatakan dalam berkurangnya daya yaitu agama, merupakan
salah satu sebab terpenting dari penambahan jumlah kejahatan. 57 Krauss
beranggapan makin meluasnya pengasingan diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa
serta pandangan hidup dan pandangan dunia tidak berdasarkan agama, adalah
merupakan dasar hitam dimana kejahatan dan keburukan berkembang subur. 58
Tokoh dari aliran antara lain: A. Von Oettingen, H. Stursberg, F. A.
Krauss, L. Proal dan H. Joly di Prancis dan M. Baets dari Belgia. Mereka ini
umumya berpendapat bahwa jumlah orang yang beribadah berkurang maka
kejahatan akan bertambah, jadi terlihat hubungan sebab akibat. 59
Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai
perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si
pelaku disebut sebagai penjahat. Tentang definisi kejahatan itu sendiri tidak
terdapat kesatuan pendapat diantara para sarjana. R.Soesilo membedakan
pengertian kejahatan secara yuridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis
sebagai berikut
60
:
57
Ibid, hal. 143
Ibid, hal. 143
59
W.A. Bonger, Pengantar Tentang Psikologi Kriminal, Ibid, hal. 100
60
Syahruddin Husein, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Upaya Penanggulangannya, FH
USU, Medan, (Digital Library USU.Com, 2003)
58
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
“Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah
laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis,
maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang
selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa
hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban”
Sementara itu, J.M. Bemmelem memandang kejahatan adalah suatu
tindakan anti sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam
masyarakat, sehingga dalam masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk
menentramkan masyarakat, negara harus menjatuhkan hukuman kepada penjahat.
M.A.Elliot mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu problem dalam
masyarakat modern atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dapat
dijatuhi hukuman penjara, hukumn mati dan hukuman denda dan seterusnya.
W.A. Bonger mengatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti
sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian
penderiataan.
J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro dalam bukunya “Paradoks
Dalam Kriminologi” menyatakan bahwa 61:
“Kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan
penamaan yang relative, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian
dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif), yang dinilai oleh
sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial,
61
J.E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Paradoks Dalam Kriminologi, Rajawali,
Jakarta, 1982, hal.15
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup
dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu”.
Edwin. H. Sutherland dalam bukunya Principles of Criminology
menyebutkan tujuh unsur kejahatan yang saling bergantungan dan saling
mempengaruhi. Satu perbuatan tidak akan disebut kejahatan kecuali apabila
memuat semua tujuh unsur tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah: 62
1. Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian;
2. Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus dikemukakan
dengan jelas dalam hukum pidana;
3. Harus ada pebuatan atau sikap membiarkan suatu perbuatan yang
disengaja atau sembrono yang menimbulkn akibat-akibat yang merugikan;
4. Harus ada maksud jahat (mens rea);
5. Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan
kejahatan diantara maksud jahat dengan perbuatan;
6. Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang undangundang dengan perbuatan yang disegaja atas keinginan sendiri;
7. Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.
Marshall B. Clinard dan Richard Quinney menyatakan tipe kejahatan yang
didasarkan pada 4 karakteristik yaitu: 63
1. karir penjahat dari si pelanggar hukum;
2. sejauh mana perilaku itu memperoleh dukungan kelompok;
62
Edwin H. Sutherland, Asas-Asas Kriminologi, Alumni, Bandung: 1969, hal. 12.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
3. hubungan timbal balik antara kejahatan pola-pola perilaku yang sah;
4. reaksi sosial atas kejahatan.
Tipologi kejahatan yang mereka susun adalah sebagai berikut:
a. Kejahatan perorangan dengan kekerasan yang meliputi bentuk-bentuk
perbuatan criminal seperti pembunuhan dan pemerkosaan, pelaku tidak
menganggap dirinya sebagai penjahat dan sering kali belum pernah
melakukan kejahatan tersebut sebelumnya, melainkan karena keadaankeadaan tertentu yang memaksa mereka melakukannya.
b. Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu, termasuk
kedalamnya antara lain pencurian kendaraan bermotor. Pelaku tidak selalu
memandang dirinya sebagai penjahat dan mampu memberikan pembenaran
atas perbuatannya.
c. Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang pada
umumnya dilakukan oleh orang yang berkedudukan tinggi. Pelaku tidak
memamdang dirinya sebagai penjahat dan memberikan pembenaran bahwa
kelakuannya merupakan bagian dari pekerjaan sehari-hari.
d. Kejahatan politik yang meliputi penghianatan, spionase, sabotase, dan
sebagainya. Pelaku melakukannya apabila mereka merasa perbuatan illegal itu
sangat penting dalam mencapai perubahan-perubahan yang diinginkan dalam
masyarakat.
63
Edwin H. Sutherland, Ibid, hal. 15.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
e. Kejahatan terhadap ketertiban umum. Pelanggar hukum memandang dirinya
sebagai penjahat apabila mereka terus-menerus ditetapkan oleh orang lain
sebagai penjahat, misalnya pelacuran. Reaksi sosial terhadap pelanggaran
hukum ini bersifat informal dan terbatas.
f. Kejahatan konvensional yang meliputi antaara lain perampokan dan bentukbentuk pencurian terutama dengan kekerasan dan pemberatan. Pelaku
menggunakanya sebagai part time carreer dan sering kali untuk menambah
penghasilan dari kejahatan. Perbuatan ini berkaitan dengan tujuan-tujuan
sukses ekonomi, akan tetapi dalam hal ini terdapat reaksi dari masyarakat
karena nilai pemilikan pribadi telah dilanggar.
g. Kejahatan terorganisasi yang dapat meliputi antara lain pemerasan, pelacuran,
perjudian terorganisasi serta peredaran narkotika dan sebagainya. Pelaku yang
berasal dari eselon bawah memandang dirinya sebagai penjahat dan terutama
mempunyai hubungan dengan kelompok-kelompok penjahat, juga terasing
dari masyarakat luas, sedangkan para eselon atasnya tidak berbeda dengan
masyarakat lain dan bahkan sering kali bertempat tinggal dilingkunganlingkungan pemukiman yang baik.
h. Kejahatan professional yang dilakukan sebagai suatu cara hidup seseorang.
Mereka memandang diri sendiri sebagai pejahat dan bergaul dengan penjahatpenjahat lain serta mempunyai status tinggi dalam dunia kejahatan. Mereka
sering juga cenderung terasing dari masyarakat luas serta menempuh suatu
karir penjahat. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan ini tidak selalu keras.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Dengan mengembangkan suatu typologi mengenai kejahatan dan penjahat,
maka akan diperoleh gambaran yang lengkap dan cermat mengenai pelaku dan
kejadiannya serta sejumlah ciri umum dari kejahatan dan penjahat yang lebih jauh
dapat dipakai untuk menentukan teknik-teknik yang lebih membawa hasil dalam
kerangka pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar hukum. 64
Dari beberapa bentuk kejahatan diatas, kejahatan atau Tindak Pidana
Perdagangan Anak (manusia) termasuk dalam bentuk kejahatan yang terorganisir.
Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang menjadi tolak ukur
semakin maraknya perdagangan anak.
Tidak ada satupun yang merupakan sebab khusus terjadinya trafficking
manusia di Indonesia. Trafficking disebabkan oleh keseluruhan hal yang terdiri
dari bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda. Termasuk
kedalamnya adalah:
1.
Kemiskinan
Penduduk yang miskin mungkin akan lebih rentan terhadap perdagangan,
tidak hanya karena lebih sedikitnya pilihan yang tersedia untuk mencari nafkah,
tetapi juga karena mereka memegang kekuasaan sosial yang lebih kecil, sehingga
mereka tidak mempunyai terlalu banyak akses untuk memperoleh bantuan dan
ganti rugi. Sebuah studi mengenai perdagangan di 41 negara menunjukkan bahwa
64
Ibid, hal.19
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
keinginan seseorang untuk memperbaiki status ekonominya dan kurangnya
kesempatan untuk mewujudkan hal itu di tempat asalnya merupakan satu dari
sejumlah alasan utama mengapa banyak orang memilih bermigrasi untuk
memperoleh pekerjaan. 65
Ekonomi menjadi alasan utama dalam isu perdagangan anak, karena tidak
mempunyai pekerjaan sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga
dan juga pengaruh krisis yang mengakibatkan kurangnya daya beli terhadap
kebutuhan-kebutuhan pokok yang semakin mahal. Latar belakang keluarga yang
tergolong pada ekonomi menengah kebawah, memaksanya untuk melakukan
suatu pekerjaan yang menurut hukum itu dilarang, hal tersebut terpaksa dilakukan
guna mencukupi kebutuhan keluarga dengan cara yang relatife singkat. 66 Alasan
yang dinyatakan para korban anak, putusnya sekolah dan mengharuskan mereka
bekerja. Antara lain orang tua yang tidak mampu memenuhi kebutuhan anak
sementara anak bergaul dalam gaya hidup yang berlebihan ini akan
mempengaruhi anak dalam mengambil keputusan dalam menentukan kerja
bahkan remaja wanita tidak segan-segan bekerj sebagai pekerja seks “ABG” di
tempat-tempat tertentu.
Plato menyatakan bahwa :
“Kekayaan dan kemiskinan menjadi bahaya besar bagi jiwa orang, yang miskin
sukar memenuhi kebutuhan hidupnya dan merasa rendah diri dan timbul hasrat
65
http://www.bainfokomsumut.go.id, yang diakses terakhir kali pada tanggal 28 Maret
2009, pukul 15.00 WIB
66
Hasil Wawancara dengan terdakwa (pelaku) Tindak Pidana Perdagangan Anak di
Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bengkalis, Riau.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
untuk melakukan kejahatan, sebaliknya juga orang kaya hidup mewah untuk
segala hiburannya” 67
Oleh sebab itu kesenjangan kehidupan sosial ekonomi antara golongan
kaya dan miskin perlu diperbaiki. Perubahan dan perbedaan kesenjangan sosial
ekonomi menimbulkan banyak konflik yang mendorong seseorang untuk
melakukan kejahatan.
Sebuah pengkajian mengenai kondisi ekonomi di Indonesia juga
memperlihatkan bahwa meski beberapa masyarakat daerah pengirim terbesar
memiliki median penghasilan yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata
nasional, sejumlah masyarakat daerah pengirim besar lainnya memiliki media
penghasilan yang relatif tinggi. Sehingga jelas bahwa kemiskinan bukan satusatunya faktor yang mempunyai andil dalam menciptakan kerentanan terhadap
perdagangan. Tetapi keinginan untuk menikmati penghasilan lebih tinggilah yang
mendorong orang memasuki siklus migrasi, menghadapi risiko diperdagangkan.
Dengan status sosial mereka yang lebih rendah, penduduk miskin juga
mempunyai kekuatan yang lebih sedikit untuk menyuarakan keluhannya, atau
untuk memperoleh bantuan dari pihak berwenang.
2. Kurangnya Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan yang rendah, meski tingkat pendidikan di Indonesia
telah mencapai kemajuan dalam beberapa dasawarsa terakhir, masih banyak
penduduk yang mengecap tidak lebih dari beberapa tahun pendidikan di bangku
67
Noach Simanjuntak, Kriminologi, Tarsito, Bandung 1984, hal. 53
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
sekolah dasar. Terpaksa berhenti dari bangku sekolah karena tidak mempunyai
biaya, dan dipaksa untuk bekerja mencari uang, itulah yang dialami oleh Resmita
Sitepu pelaku Tindak Pidana Perdagangan Anak yang terpaksa berhenti bangku
persekolahan. Menjadi guru, merupakan cita-citanya sejak kecil namun jenjang
pendidikannya di SPG (Sekolah Pendidikan Guru) terpaksa kandas ditengah
jalan. 68 Selain itu, di dalam keluarga yang tidak mampu mengirimkan semua anak
mereka ke sekolah, prioritas umumnya akan diberikan pada anak lelaki. Juga ada
kesenjangan besar dalam tingkat pendidikan yang mampu dicapai penduduk kota
dengan yang mampu dicapai penduduk desa, di mana perempuan di daerah
pedesaan mempunyai tingkat pendidikan yang paling rendah. Meski tingkat melek
huruf nasional telah membaik [80,5% untuk perempuan, 90,9% untuk lelaki]
(UNDP/BPS, 2001:79)], masih ada kantung-kantung buta huruf di banyak bagian
di negara ini. Banyak dari daerah-daerah ini, di mana tingkat pendidikan yang
rendah dan tingkat buta huruf yang tinggi lazim dijumpai, juga merupakan daerah
pengirim besar untuk perdagangan. Contohnya, daerah Indramayu, Jawa Barat,
yang terkenal sebagai daerah pengirim buruh migran dan terutama pekerja seks,
hanya memiliki tingkat melek huruf untuk perempuan sebesar 55,5%
(UNDP/BPS, 2001:92), jauh di bawah rata-rata nasional. Tingkat pendidikan yang
rendah dan kebutahurufan membuat orang menghadapi risiko yang lebih besar
untuk mengalami eksploitasi dan perdagangan, karena mereka tidak mampu
membaca atau memahami kontrak kerja atau dokumen imigrasi. Hambatan itu
68
Hasil Wawancara dengan terdakwa (pelaku) Tindak Pidana Perdagangan Anak di
Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bengkalis, Riau.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
juga akan semakin menyulitkan mereka dalam mencari bantuan, karena mereka
tidak mengetahui hak-hak mereka, tidak mampu membaca petunjuk, atau dalam
beberapa kasus, tidak dapat berbicara dalam bahasa setempat.
3. Peran Perempuan dalam Keluarga
Menjadi orang tua tunggal (single parent) dari usia perkawinan yang relatife
masih muda ± 15 (lima belas) tahun, memaksa Resmita Nelly Sitepu untuk
mampu menghidupi keluarganya, membiayai sekolah kedua orang anaknya
meskipun tanpa bantuan sang suami yang telah meninggal dunia. 69 Pada
hakekatnya peran perempuan dalam keluarga adalah terpusat di rumah. Tugas
utama perempuan adalah sebagai istri dan ibu; mengurus keluarga dan rumah.
Namun tanggung jawab ini juga termasuk memastikan bahwa keluarganya
memiliki penghasilan untuk bertahan hidup. Banyak perempuan yang menjadi
pencari nafkah utama dalam rumah tangga mereka. Jika sebuah keluarga
membutuhkan nafkah, seorang perempuan mungkin akan memutuskan untuk
meninggalkan keluarganya, untuk bermigrasi guna mencari pekerjaan agar dapat
mengirim uang ke kampung sehingga keluarganya dapat bertahan hidup. Dengan
meninggalkan keluarganya untuk pergi bermigrasi untuk mencari pekerjaan,
seorang perempuan dapat menjadi rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, dan
perdagangan dalam proses migrasi. Status dan Kekuasaan Banyak faktor,
69
Hasil Wawancara dengan terdakwa (pelaku) Tindak Pidana Perdagangan Anak di
Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bengkalis, Riau.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
termasuk usia, gender, kekayaan, pendidikan, dan kelas, yang menentukan status
sosial dan kekuasaan di Indonesia.
Gabungan dari semua faktor ini menentukan status sosial relatif seseorang.
Misalnya, seorang perempuan muda dan kaya dari keluarga kelas atas dapat
memiliki lebih banyak status ketimbang seorang lelaki tua yang miskin.
Perempuan desa yang masih muda dan berpendidikan rendah tidak memiliki
banyak kekuasaaan atau pengaruh sosial. Mereka mungkin merasa tidak
mempunyai daya untuk berbicara, menentang mereka yang duduk di posisi yang
lebih tinggi. Perdagangan menggunakan kekuasaan ini secara halus maupun
paksa. Kepala desa, anggota keluarga, atau tetangga yang disegani, dapat
menggunakan posisi mereka yang lebih tinggi untuk membantu perekrut dengan
cara membujuk atau menipu korban atau keluarganya; sementara pihak lain
mungkin akan menggunakan kekuasaan mereka melalui kekerasan atau ancaman
kekerasan, atau untuk menyuap pejabat demi memperoleh kerja sama mereka.
4. Peran Anak Dalam Keluarga
Di dalam masyarakat Indonesia, anak tidak hanya diharapkan untuk
menghormati dan mematuhi orang tuanya, tetapi juga membantu mereka. Bantuan
ini bisa macam-macam bentuknya, misalnya mulai dari menjaga adik, membantu
keluarga di ladang seusai sekolah, sampai bekerja penuh waktu. Sebuah studi
menyatakan bahwa di Indonesia, 8,3% anak yang berusia antara 10-14 tahun dan
38,5% anak yang berumur 15-19 tahun bekerja di luar rumah. Karena tradisi
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
budaya ini, banyak bentuk perburuhan anak yang dapat disebut sebagai
perdagangan jika dilihat dari standar internasional, dianggap normal di
Indonesia. 70
5. Korupsi & Lemahnya Penegakan Hukum
Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku
trafficking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal.
Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak
benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat
buruh migran lebih rentan terhadap trafficking karena migrasi ilegal. Kurangnya
budget/anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafficking
menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan
dan menuntut pelaku trafficking.
Berdasarkan wawancara penulis dengan pelaku (terdakwa) Tindak Pidana
Perdagangan Anak, ada beberapa faktor yang mengakibatkannya melakukan
Tindak Pidana Perdagangan Anak tersebut, antara lain :
1. Faktor Ekonomi
Terdakwa Tindak Pidana Perdagangan Anak berasal dari keluarga yang
kurang mampu, Ayahnya seorang supir sedangkan Ibunya seorang petani. Anak
ke tiga dari delapan bersaudara ini semasa kecilnya sangat kurang mendapatkan
perhatian dan kasih sayang dari keluarganya, sehingga kondisi yang demikian
70
Irwanto dkk, Op.Cit, hal,28
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
sangat mempengaruhi perkembangan hidupnya. Karena hidup keluarganya sangat
berkekurangan mengakibatkan Ia harus putus sekolah dan akhirnya kawin muda.
Setelah putus dari bangku persekolahan, Ia bekerja sebagai pedagang
sayur-sayuran di pajak sentral sambu, dan juga berjualan pakaian-pakaian bekas.
Meskipun demikian, dari hasil pekerjaannya tersebut masih belum bisa membantu
perekonomian orangtuanya untuk menghidupi seluruh keluarganya.
2. Faktor Latar Belakang Keluarga
Dengan kondisi ekonomi keluarga yang demikian, akhirnya terdakwa di
paksakan untuk menikah muda dengan seorang supir angkutan umum. Kondisi
keluarga barunya hampir sama dengan keluarganya sebelumnya. Dari hasil
perkawinannya tersebut, Ia dikaruniai dua orang anak yaitu laki-laki dan
perempuan. Setelah menjalani bahtera keluarga lebih kurang 15 tahun, akhirnya
suaminya meninggal dunia dan selang beberapa tahun kemudian anak laki-lakinya
juga meninggal dunia akibat di bunuh oleh orang yang dekat dengan keluarga
mereka, sedangkan anak perempuannya menikah muda dan pindah ke daerah
Jawa. Dari kisah kehidupannya yang lalu tersebut, akhirnya menggoncang
kejiwaan nya dan tidak dapat berpikir untuk bekerja yang lebih positif lagi,
sehingga ia terpaksa melakukan suatu pekerjaan yang bisa mendatangkan uang
dalam jumlah yang relatif besar, meskipun pekerjaan yang dilakukannya tersebut
bertentangan dengan hukum.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
D. Upaya-Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking)
Berbicara mengenai perdagangan (trafficking) terhadap anak, maka dapat
dikatakan bahwa tindak pidana perdagangan anak tersebut merupakan suatu
pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan sebuah
masalah yang sampai saat ini belum dapat terpecahkan karena masih kurangnya
pengetahuan masyarakat mengenai masalah perdagangan manusia tersebut dan
bahkan si korban sendiri pun tidak mau melaporkan hal tersebut kepada pihakpihak yang berwajib. Oleh karena itu hingga sekarang masalah ini tidak dapat
terpecahkan, dan semakin meningkatnya anak-anak yang menjadi korban
perdagangan (trafficking) ini, yang seharusnya masalah ini menjadi tanggung
jawab kita semua.
Masalah perdagangan orang
terkhususnya
perdagangan anak
ini
seharusnya menyadarkan kita bahwa upaya menggalang kerjasama melalui
kemitraan merupakan satu-satunya cara yang harus dikembangkan agar
penanganan masalah ini menjadi lebih efektif dan efisien. Sesungguhnya upaya
penanggulangan terhadap masalah perdagangan anak ini tidaklah mudah dan
sederhana seperti yang kita bayangkan, untuk itu sangat diperlukan keterlibatan
LSM dalam dan luar negeri, organisasi masyarakat, media massa (Koran, majalah,
TV, radio, dan sebagainya) disamping pemerintah sendiri dalam upaya
penanggulangan perdagangan anak tersebut.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam upaya penanggulangan
tindak pidana perdagangan anak, diantaranya :
1. Upaya Preventif, yaitu kegiatan yang ditujukan untuk menghilangkan
kesempatan terjadinya suatu peristiwa atau upaya preventif ini merupakan
sebuah upaya pencegahan anak untuk tidak diperdagangkan, tujuannya adalah
untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak anak, bahaya eksploitasi
seksual dari cara yang digunakan oleh si pelaku, misalnya :
•
melalui kegiatan patroli, penjagaan baik secara terbuka maupun tertutup
terhadap tempat-tempat daerah dan saat/ waktu yang dianggap rawan
terjadinya peristiwa.
•
Upaya
pencegahan
dan
penanganan
yang
komprehensif
dengan
meningkatkan ketahanan masyarakat umumnya dan ketahanan keluarga
khususnya di berbagai bidang, misalnya ketahanan sosial, ekonomi dan
budaya mayarakat, yang diharapkan dapat menangkal aktivitas pelaku
kejahatan perdagangan anak melalui sistem ketahanan dan pengawasan
masyarakat. Melihat faktor penyebab adanya bentuk/ pola tindakan
kejahatan orang terutama perdagangan anak maka upaya pencegahan dan
penanggulangannya perlu dilakukan secara terpadu antara bidang-bidang
dengan peran serta masyarakat antara lain bidang ekonmi dengan
meningkatkan
pemberdayaan
masyarakat
untuk
peningkatan
kesejahteraan. Sedangkan dibidang budaya, telah menumbuhkan budaya
untuk penghapusan atau pengikisan nilai-nilai atau tradisi budaya yang
memposisikan anak-anak maupun perempuan dalam posisi yang lebih
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
rendah. Adanya pengembangan pendidikan alternative bagi perempuan
dan anak melalui pendidikan, keterampilan perempuan dan anak untuk
meningkatkan kemandiriannya. Oleh karena itu perlu ditingkatkan
keterlibatan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) di mana hal ini
sekaligus menunjukkan bentuk tanggung jawab dari masyarakat karena
pentingnya peran serta dari civil society untuk mencegah muculnya
berbagai tindak kejahatan. 71
•
Adanya kesadaran multi-media bagi masyarakat umum, kesadaran tentang
hak-hak anak dan hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan anak akan
terwujud dalam semua sektor masyarakat, baik anak maupun orang
dewasa melalui program pendidikan dan promosi multimedia tentang
Konvensi Hak Anak, termasuk produksi program dan material tentang hak
anak. Program tersebut akan diperkenalkan untuk memberikan informasi
melalui radio, TV, dan media tentang hak-hak anak, ekploitasi dan
perdagangan seks, dan situasi anak yang terjadi.
•
Peningkatan kesadaran atau sensitifitas bagi staf pemerintah dan staf
professional lainnya, dalam hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan
diskusi tentang hak-hak dan eksploitasi seksual terhadap anak dan akan
diorganisasikan bagi para professional sector swasta dan pemerintah,
termasuk polisi, pegawai pengadilan, pengacara, pekerja kesehatan, Pemda
untuk meningkatkan sensitifitas mereka terhadap isu tersebut.
71
http :// www.repubika.or.id
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
•
Program-program dari anak untuk anak, program dari anak dan untuk anak
ini akan diperkenalkan untuk meningkatkan kesadaran mereka mengenai
ekplotasi anak dan pengetahuan mereka tentang hak-hak anak.
•
Peningkatan kesadaran melalui program pendidikan informal dan pustaka
keliling, yaitu peningkatan kesadaran tentang eksploitasi seksual anak
akan dikembangkan melalui jalur pendidikan informal. Dapat dilakukan
dibawah
departemen
pemberdayaan
perempuan
dan
departemen
pendidikan.
2. Penanggulangan
secara
represif,
hal
ini
merupakan
wujud
pertanggungjawaban melalui jalur penal (hukum pidana) karena pada dasarnya
menekankan pada sifat penindasan ataupun pemberantasan. 72 Dengan
membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang lebih menjamin hakhak setiap individu baik terhadap anak-anak (termasuk yang didalam
kandungan) dan juga terhadap orang-orang yang dewasa, sehingga dengan
demikian hukum semakin ditegakkan.
72
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijkan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung 1996, hal. 49
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
BAB IV
KASUS DAN ANALISIS KASUS
A. Kasus Posisi
1. Kronologis
-
Bahwa berawal pada hari Senin tanggal 16 Juni 2008, ketika MERI
binti BAEK PURBA TANJUNG bertemu dengan SARAGIH
(dalam pencarian polisi) di Terminal Pematang Siantar dan di
tawarkan sebagai pekerja disebuah rumah makan di Duri, dan
MERI binti BAEK PURBA TANJUNG kemudian menyetujuinya.
-
Selanjutnya pada hari itu juga SARAGIH membawa MERI binti
BAEK PURBA TANJUNG dengan bus kearah Duri. Sesampainya
di Duri pada hari Selasa tanggal 17 Juni 2008, tersangka datang
menjemput
SARAGIH
dan
MERI
binti
BAEK
PURBA
TANJUNG di sebuah rumah makan lalu membawa MERI binti
BAEK PURBA TANJUNG ke cafe milik tersangka di daerah
Simpang Puncak jalan Balak Desa Sebanggar Kecamatan Mandau,
Kabupaten Bengkalis.
-
Setelah itu tersangka menyerahkan uang kepada SARAGIH
sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah), dan SARAGIH
meninggalkan MERI binti BAEK PURBA TANJUNG bersama
dengan tersangka. Kemudian SARAGIH mengatakan kepada
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
MERI binti BAEK PURBA TANJUNG bahwa untuk sementara
waktu agar bekerja dengan tersangka dahulu.
-
Bahwa tersangka mempekerjakan MERI binti BAEK PURBA
TANJUNG di café miliknya sebagai pekerja seks komesial untuk
melayani tamu laki-laki yang datang dan mengencam MERI binti
BAEK PURBA TANJUNG apabila ingin pergi dari café tersebut,
agar melunasi terlebih dahulu uang yang telah dikeluarkan
tersangka untuk mendapatkan MERI binti BAEK PURBA
TANJUNG sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
2. Dakwaan
Nama Lengkap
: Resmita Nelli Sitepu Binti Muayar Sitepu
Tempat Lahir
: Medan
Umur/ Tgl. Lahir
: 43 Tahun / 17 Agustus 1964
Jenis Kelamin
: Perempuan
Kewaganegaraan
: Indonesia
Tempat Tinggal
: Simpang Puncak, Jl. Balak Desa Sebangar
Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Wiraswasta
Pendidikan
: SPG (tidak tamat)
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Jaksa Penuntut Umum mengajukan Terdakwa RESMITA NELLI SITEPU
binti MUAYAR SITEPU ke depan sidang Pengadilan Negeri Bengkalis dengan
dakwaan sebagai berikut:
-
Dakwaan Primer
Pasal 2 ayat (1) jo pasal 17 Undang-undang No. 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam
pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 yaitu: setiap
orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan,
penggunaan
kekerasan,
penculikan,
penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang
lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara
Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah), jo Pasal 17
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 yaitu jika tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan
terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).
-
Dakwaan Subsider
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Pasal 12, jo Pasal 17 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam Pasal 12
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang yaitu setiap orang yang menggunakan atau
memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara
melakukan persetubuhan atau percabulan lainnya dengan korban
tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak
pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau
mengambil keuntungan dari tindak pidana perdagangan orang dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal
3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
3. Fakta Hukum
a. Keterangan saksi-saksi, yang menerangkan sebagai berikut:
1. MERI Binti BAEK PURBA TANJUNG (Saksi Korban)
-
Bahwa benar pada tanggal 16 Juni 2008 saat saksi berada
diterminal baru Pematang Siantar (SUMUT), saksi didatangi oleh
saudara SARAGIH (DPO) dan mengajak serta membujuk saksi
untuk bekerja disebuah rumah makan, kemudian saksi setuju
dengan janji yang diucapkan oleh sdr SARAGIH (DPO).
-
Bahwa pada hari itu juga mereka berangkat, setelah saksi meminta
izin dari orangtuanya untuk bekerja di Rantau Perapat, namun
tidak mengatakan bahwa saksi pergi bersama SARAGIH (DPO)
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
lalu saksi dan SARAGIH (DPO) berangkat dengan menggunakan
Bus dan saksi juga tidak tahu kemana tujuannya.
-
Bahwa benar keesokan harinya yaitu hari Selasa tanggal 17 Juni
2008 pada saat itu masih malam hari, saksi turun di sebuah rumah
makan dan kemudian datanglah seorang perempuan bernama
NELLI menjemput saksi dan SARAGIH (DPO) dan membawa
saksi kesebuah cafe atau warung. Saksi mengatakan kepada
SARAGIH (DPO) “Lo..kok kesini diantar aku, kan janjinya
kerumah makan” lalu SARAGIH (DPO) mengatakan “sementara
kau kerja disini dek” karena hanya bekerja sementara, akhirnya
saksi mau bekerja ditempat tersebut.
-
Bahwa benar saksi bekerja diwarung terdakwa dan ada melayani
tamu laki-laki dikamar warung tersebut untuk melakukan
hubungan kelamin atau zinah dan saksi dibayar lelaki tersebut
sebesar Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) dan saksi
tidak digaji oleh terdakwa.
-
Bahwa terdakwa pernah mengancam saksi apabila tidak mau
menjadi pelacur atau melayani laki-laki maka saksi harus melunasi
utang saksi kepada terdakwa yakni sebesar Rp.500.000,- (lima
ratus ribu rupiah) karena terdakwa sudah mengeluarkan uang
untuk biaya mendatangkan saksi dari Pematang Siantar (SUMUT).
-
Bahwa benar karena merasa tertipu, dan saksi juga dipaksa untuk
menjadi PSK diwarung tersebut akhirnya saksi ada mengatakan
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
kepada masyarakat yang saksi tidak kenal bahwa saksi ingin
melapor kejadian tersebut ke pihak Kepolisian dan pada hari
Minggu tanggal 13 Juli 2008 sekira pukul 00.30 WIB, datanglah
anggota Polisi ketempat tersebut.
2. SALEM MARBUN Bin LAMARIUS MARBUN (Alm)
-
Bahwa benar pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan
yakni bulan Juni 2008 bertempat dirumah terdakwa di Jalan Balak
Desa Sebangar Simpang Puncak Kecamatan Mandau Kabupaten
Bengkalis,
terdakwa
telah
melakukan
penampungan
atau
menerima MERI Binti Baek Purba Tanjung untuk dipekerjakan
sebagai pelacur.
-
Bahwa benar saksi mengetahui bahwa sdri MERI bekerja sebagai
PSK di cafe atau warung milik sdri NELLI SITEPU tersebut,
karena warung atau cafe tersebut adalah tempat para PSK
menerima dan melayani tamu laki-laki.
-
Bahwa benar saksi mengetahui bahwa sdri MERI bekerja lebih
kurang ± 3 (tiga) minggu lamanya, hal itu diketahuinya karena
saksi tinggal atau menumpang dirumah sdri NELLI SITEPU yang
jaraknya tidak jauh dari cafe atau warung tersebut kira-kira
berjarak lebih kurang ± 30 Meter yaitu didaerah Simpang Puncak
di Jalan Balak Desa Sebanggar Kecamatan Mandau.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
-
Bahwa saksi benar-benar tidak tahu dari mana sdri MERI berasal,
dan sdri NELLI SITEPU juga tidak pernah menceritakan kepada
saksi tentang asal-asul sdri MERI.
-
Bahwa saksi mengenal sdri NELLI SITEPU lebih kurang sudah ±
9 (sembilan) bulan lamanya, dan hubungan saksi dengan sdri
NELLI SITEPU adalah pacar atau cewek saksi.
3. CHRISTINA SIANTURI Binti RANTO SIANTURI
-
Bahwa benar pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan
yakni bulan Juni 2008 bertempat dirumah terdakwa di Jalan Balak
Desa Sebangar Simpang Puncak Kecamatan Mandau Kabupaten
Bengkalis,
terdakwa
telah
melakukan
penampungan
atau
menerima MERI Binti Baek Purba Tanjung untuk dipekerjakan
sebagai pelacur.
-
Bahwa benar saksi mengetahui bahwa sdri MERI bekerja sebagai
PSK di cafe atau warung milik sdri NELLI SITEPU tersebut,
karena warung atau cafe tersebut tempat para PSK menerima dan
melayani tamu laki-laki.
-
Bahwa benar saksi mengetahui bahwa sdri MERI bekerja di café
atau warung tersebut lebih kurang ± 3 (tiga) minggu lamanya
adalah karena saksi juga bekerja di cafe milik sdri NELLI SITEPU
tersebut.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
-
Bahwa saksi mengetahui dari mana sdri MERI berasal, sebab pada
saat dia pertama bekerja di cafe tersebut, saksi ada menanyakan
kepada sdri MERI tentang asalnya, dan sdri MERI mengatakan
kepada saksi bahwa ia berasal dari Siantar (SUMUT).
-
Bahwa saksi bekerja sebagai pelacur diwarung terdakwa karena
ikut teman saksi yang bernama ANA lebih duluan bekerja sebagai
pelacur diwarung terdakwa, dan selama saksi bekerja di cafe
tersebut, saksi tidak mendapat gaji dari sdri NELLI SITEPU,
tetapi saksi harus membayar uang kepada sdri NELLI SITEPU
setelah melayani laki-laki.
b. Keterangan Saksi Ahli
NIHIL
c. Bukti Surat
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 187 KUHAP dalam perkara ini
diperoleh alat bukti surat sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 184 ayat
(1) huruf c KUHAP yaitu berupa:
1. Berkas perkara No. Pol. BP/21/K/VIII/2008/Reskrim tanggal 12
Agustus 2008 yang didalamnya terdapat Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) dari para saksi maupun terdakwa. Berita acara yang dibuat dan
ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang telah memenuhi atau
sesuai dengan ketentuan undang-undang, oleh karena itu berlaku
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
sebagai alat bukti yang sah (Pasal 187 jo Pasal 187 (b) jo Pasal 185
KUHAP)
2. Berita Acara Penerimaan dan Penelitian Tersangka (BA-15)
Kejaksaan Negeri Bengkalis pada tanggal 11 September 2008 atas
nama RESMITA NELLI SITEPU Binti MUAYAR SITEPU.
d. Petunjuk
Dalam perkara ini terdapat persesuaian antara keterangan saksi yang satu
dengan keterangan saksi yang lainnya, juga dengan keterangan terdakwa
yang diberikan sehingga diperoleh petunjuk berupa perbuatan, kejadian
atau keadaan yang menandakan bahwa benar telah terjadi “Tindak Pidana
Perdagangan Anak” dan pelakunya adalah benar RESMITA NELLI
SITEPU Binti MUAYAR SITEPU.
e. Keterangan Terdakwa
1. Terdakwa RESMITA NELLI SITEPU Binti MUAYAR SITEPU,
dipersidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
-
Bahwa benar pada tanggal 16 Juni 2008 bertempat dirumah terdakwa
di Jalan Balak Desa Sebangar Simpang Puncak Kecamatan Mandau
Kabupaten Bengkalis, terdakwa telah melakukan penampungan atau
menerima MERI Binti Baek Purba Tanjung untuk dipekerjakan
diwarung terdakwa sebagai pelacur.
-
Bahwa benar SARAGIH (DPO) menghubungi terdakwa untuk
menjemput MERI Binti Baek Purba Tanjung dirumah makan tanpa
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
nama di Jalan Lintas Duri-Dumai, dan benar terdakwa membawa
MERI kewarung atau cafe miliknya, dan juga benar terdakwa
membayar ke SARAGIH sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu
rupiah).
-
Bahwa benar MERI Binti Baek Purba Tanjung di pekerjakan sebagai
pelacur oleh terdakwa di warung atau cafe milik terdakwa dan benar
MERI pernah melayani tamu laki-laki didalam kamar warung tersebut
untuk melakukan hubungan kelamin atau berzinah, dan MERI dibayar
sejumlah uang dari laki-laki tersebut dan terdakwa sudah 3 (tiga) kali
menerima setoran uang dari MERI yang telah melayani tamu laki-laki
didalam kamar warung tersebut dan juga benar MERI Binti Baek
Purba Tanjung tidak pernah diberikan gaji oleh terdakwa, melainkan
MERI harus memberi setoran kepada NELLI SITEPU.
-
Bahwa terdakwa telah menjalani usaha pelacuran tersebut selama
lebih kurang 5 (lima) tahun, dan benar terdakwa memperdagangkan
MERI Binti Baek Purba Tanjung sebagai pelacur karena hendak
mendapat untung.
f. Barang Bukti
Tidak ada barang bukti yang diajukan dalam persidangan.
g. Tuntutan Pidana
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Jaksa dalam Requisatoirnya berpendapat bahwa Terdakwa RESMITA
NELLI SITEPU Binti MUAYAR SITEPU terbukti secara sah telah
melakukan “perbuatan pidana” yang didakwakan dalam Dakwaan
Primair, yaitu Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 Undang-Undang No. 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan
menuntut agar terdakwa dijatuhi pidana selama: 12 (dua belas) tahun
penjara dan denda sebesar Rp 120.000.000,- (seratus dua puluh juta
rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.
h. Putusan
-
Hakim di Pengadilan Negeri Bengkalis yang mengadili perkara ini
memberikan putusan yang menyatakan bahwa, perbuatan terdakwa
yang memperdagangkan anak yang masih di bawah umur adalah
merupakan kejahatan: “Tindak Pidana Perdagangan Anak”
sebagaimana yang didakwakan dalam Dakwaan Primair yang diatur
dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 Undang-Undang No. 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan
menuntut agar terdakwa dijatuhi pidana selama: 4 (empat) tahun
penjara dan denda sebesar Rp 120.000.000,- (seratus dua puluh
juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar
diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.
-
Pertimbangan Hakim dalam putusan sebagai berikut:
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
- Mengenai keterangan di bawah sumpah yang diberikan oleh saksi-saksi
yang pada pokoknya sama dengan keterangan dalam Berita Acara
yang dibuat oleh Penyidik.
-
Berdasarkan keterangan dari saksi-saksi dan berdasarkan pendapat atau
keyakinan Hakim, maka Hakim berpendapat terdakwa melakukan
perbuatan yang memenuhi seluruh unsur dari Pasal 2 ayat (1) jo Pasal
17
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang.
-
Dari kenyataan yang diperoleh selama persidangan dalam perkara ini,
Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat melepaskan terdakwa
dari pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar
maupun alasan permasalahan.
-
Berdasarkan pertimbangan yang pokoknya dikutip diatas, maka
Hakim di Pengadilan Negeri Bengkalis sampai pada kesimpulan
bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “melakukan perdagangan anak di bawah
umur.”
B. Analisis Kasus
1. Dakwaan Primer
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Dakwaan primer Jaksa Penuntut Umum adalah melanggar Pasal 2 ayat (1)
jo Pasal 17 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang
a. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang:
“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang
dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat
walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di
wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,- (seratus dua puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).”
Unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1) Setiap orang
Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang
melakukan tindak pidana perdagangan orang. Setiap orang dalam
pasal ini adalah yang mampu bertanggungjawab.
Setiap orang dalam kasus ini adalah:
Keterangan semua saksi-saksi dalam kasus ini dan pengakuan dari
terdakwa bahwa RESMITA NELLI SITEPU adalah pelaku dari tindak
pidana perdagangan anak untuk tujuan prostitusi. Sedangkan
kemampuan bertanggungjawab terdakwa dilihat dari adanya kesalahan
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
yang dilakukan terdakwa, yaitu sengaja melakukan tindak pidana
perdagangan anak yang dapat dilihat dari keterangan terdakwa.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
unsur setiap orang dalam kasus ini terpenuhi.
2) Melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang
Melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang adalah serangkaian tindakan
tindak pidana perdagangan orang, dimana korban dibawa oleh
SARAGIH (DPO) yang sebelumnya telah menghubungi RESMITA
NELLI SITEPU yang kemudian korban ditampung atau ditempatkan
disuatu tempat disebuah cafe atau warung milik RESMITA NELLI
SITEPU dan disuruh bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersil) di
tempat tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka fakta hukum yang menguatkan
unsur ini adalah:
Berdasarkan keterangan para saksi, Bahwa saksi SALEM
MARBUN
menerangkan bahwa saksi tidak tahu persis kapan
terjadinya tindak pidana perdagangan orang tersebut, namun yang
saksi ketahui bahwa sdri RESMITA NELLI SITEPU menampung dan
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
mempekerjakan sdri MERI sebagai Pelayan atau PSK diwarung atau
cafe sdri RESMITA NELLI SITEPU.
Berdasarkan keterangan dari saksi CHRISTINA SIANTURI
menerangkan bahwa saksi tidak tahu persis kapan terjadinya tindak
pidana perdagangan orang tersebut,namun yang saksi ketahui sdri
RESMITA NELLI SITEPU menampung dan mempekerjakan seorang
perempuan yang bernama sdri MERI lebih kurang 3 (tiga) minggu
lamanya, dan dia bekerja sebagai PSK dicafe atau warung milik
RESMITA NELLI SITEPU didaerah Simpang Puncak di Jl. Balak
Desa Sebangar Kecamatan Mandau
Berdasarkan uraian di atas, maka unsur melakukan perekrutan,
pengangkutan,
penampungan,
pengiriman,
pemindahan,
atau
penerimaan seseorang telah terpenuhi.
3) Dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat
walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain
Dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
adalah merupakan daya upaya dari para pelaku untuk mewujudkan
tindak pidana perdagangan orang tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka fakta hukum yang menguatkan
unsur ini adalah:
Unsur Penipuan
Unsur penipuan dalam perkara ini terhadap terdakwa RESMITA
NELLI SITEPU telah terpenuhi, yaitu berdasarkan keterangan dari
para saksi, dengan uraian sebagai berikut: pada saat saksi korban
(MERI) berada di terminal baru di Pematang Siantar, kemudian
SARAGIH (DPO) mendatangi korban namun korban tidak mengenal
SARAGIH
(DPO)
tersebut
yang
kemudian
membujuk
serta
menjanjikan korban akan diberikan pekerjaan disuatu rumah makan di
Duri, yang akhirnya korban pun menyetujui ajakan tersebut.
Sesampainya di Duri, saksi tidak ada bekerja dirumah makan
melainkan saksi dikenalkan kepada seorang perempuan yang bernama
NELLI, kemudian korban langsung dibawa kesebuah cafe atau warung
di daerah Simpang Puncak Jl. Balak Desa Sebangar Kec. Mandau dan
disuruh untuk bekerja di cafe tersebut untuk melayani tamu yang
datang.
Unsur Penjeratan Utang
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Unsur penjeratan utang juga terpenuhi, yaitu berdasarkan
keterangan saksi korban dan tersangka dengan uraian sebagai berikut:
Saksi menerangkan bahwa benar, pada saat saksi disuruh untuk
bekerja sebagai PSK, saksi menolak. Dan sdri RESMITA NELLI
SITEPU melakukan ancaman kepada saksi, yaitu kalau saksi tidak
mau bekerja sebagai PSK, saksi dipaksa untuk membayar atau
melunasi hutang saksi sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah)
yang telah dikeluarkan oleh RESMITA NELLI SITEPU untuk biaya
keberangkatan saksi dari Siantar menuju Duri.
Tersangka menerangkan bahwa terdakwaa tidak ada meminta uang
senilai Rp.500.00,- tersebut kepada korban, tetapi terdakwa ada
mengatakan kepada sdri MERI bahwa ia memiliki utang kepada
tersangka senilai Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah), dan system
pembayarannya dipotong dari uang kamar pada saat sdri. MERI
melayani atau menerima tamu.
Berdasarkan uraian di atas, maka unsur dengan ancaman
kekerasan,
penggunaan
kekerasan,
penculikan,
penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
orang lain telah terpenuhi.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
4) Untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara
Republik Indonesia
Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban
yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau
pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan,
penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi,
atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi
organ dan/ atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau
kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan
baik materiil maupun moriil. 73
Berdasarkan uraian di atas, maka fakta hukum yang menguatkan
unsur ini adalah:
Kegiatan eksploitasi dalam kasus ini adalah eksploitasi untuk
tujuan pelacuran atau prostitusi. Berdasarkan keterangan dari saksi,
setelah saksi diantarkan oleh SARAGIH (DPO) orang yang belum
saksi kenal sebelumnya ke cafe atau warung tersebut, SARAGIH
(DPO) menerima sejumlah uang sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu
rupiah) dari RESMITA NELLI SITEPU, dan kemudian saksi disuruh
bekerja untuk melayani tamu-tamu yang datang kecafe atau warung
tersebut, melakukan hubungan kelamin dengan tamu-tamu yang
73
Lihat Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
datang didalam kamar warung tersebut, namun setelah melakukan
hubungan kelamin tersebut, saksi justru harus membayar setoran
kepada
RESMITA
NELLI
SITEPU
dan
pekerjaan
tersebut
berlangsung selama lebih kurang 3 (tiga) minggu.
Dari uraian tersebut di atas, maka untuk tujuan mengeksploitasi
orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia telah terpenuhi,
karena terdakwa memperoleh keuntungan materiil.
b. Pasal 17 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang :
“Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan
Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah
1/3 (sepertiga)”
Yaitu berdasarkan keterangan dari saksi dan barang bukti berupa surat
babtisan, menjelaskan saksi bernama MERI Binti BAEK PURBA
TANJUNG, lahir di Pematang Siantar (SUMUT), 24 Mei 1992, dan
pada saat sekarang ini masih berumur 16 Tahun. Yang dimaksud
dengan Anak berdasarkan Pasal 1 huruf a, Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu yang dimaksud Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dari uraian tersebut di
atas, maka unsur Anak dibawah umur telah terpenuhi.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Dari uraian unsur-unsur dakwaan primair yang didakwakan
Jaksa Penuntut Umum di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
dakwaan primair telah terbukti, yaitu terdakwa telah “Melakukan
Tindak Pidana Perdagangan Anak”
2. Dakwaan Subsider
Dakwaan Subsider dari Jaksa Penuntut Umum adalah melanggar Pasal
12, jo Pasal 17 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam Pasal 12
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang yaitu :
“setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak
pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau
percabulan lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang,
mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk
meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari
tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan
Pasal 6”.
Unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1. Setiap Orang.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, unsur setiap orang telah
terpenuhi.
2. Yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana
perdagangan orang.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Dari keterangan saksi, saksi ditampung atau ditempatkan di suatu
tempat disebuah cafe atau warung didaerah Simpang Puncak Jl. Balak
Desa Sebangar Kecamatan Mandau, dan saksi disuruh bekerja sebagai
PSK (Pekerja Seks Komersil) ditempat tersebut. Saksi bekerja dicafe
untuk melayani tamu-tamu yang datang kewarung tersebut selama
lebih kurang 3 (tiga) minggu dan selama bekerja diwarung tersebut,
saksi tidak pernah di gaji melainkan saksi harus membayar atau
membayar uang sewa kamar ketika melayani tamu yang datang.
Berdasarkan keterangan dari terdakwa melakukan perbuatan tersebut,
karena hanya ingin mencari keuntungan dan melancarkan usaha
terdakwa.
Dari uraian tersebut diatas, maka unsur yang menggunakan atau
memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang telah
terpenuhi.
3. Dengan cara mempekerjakan korban untuk meneruskan praktik
eksploitasi atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana
perdagangan orang.
Dari keterangan saksi, saksi ditampung atau ditempatkan di suatu
tempat disebuah cafe atau warung didaerah Simpang Puncak Jl. Balak
Desa Sebangar Kecamatan Mandau, dan saksi disuruh bekerja sebagai
PSK (Pekerja Seks Komersil) ditempat tersebut. Saksi bekerja dicafe
untuk melayani tamu-tamu yang datang kewarung tersebut selama
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
lebih kurang 3 (tiga) minggu dan selama bekerja diwarung tersebut,
saksi tidak pernah di gaji melainkan saksi harus membayar atau
membayar uang sewa kamar ketika melayani tamu yang datang.
Berdasarkan keterangan dari terdakwa melakukan perbuatan tersebut,
karena hanya ingin mencari keuntungan dan melancarkan usaha
terdakwa.
Dari
uraian
tersebut
diatas,
maka
unsur
Dengan
cara
mempekerjakan korban untuk meneruskan praktik eksploitasi atau
mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang
telah terpenuhi.
Dari uraian unsur-unsur dakwaan subsider yang didakwakan
Jaksa Penuntut Umum di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
dakwaan subsider telah terbukti, yaitu terdakwa telah “Melakukan
Tindak Pidana Perdagangan Anak” untuk dieksploitasi dengan tujuan
prostitusi.
BAB V
PENUTUP
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
A. Kesimpulan
Dari uraian mengenai Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak
Pidana Perdagangan Anak, maka dapatlah ditarik kesimpulan dari permasalahanpermasalahan yang terdapat dalam bab yang sebelumnya, dan penulis akan
mencoba memberikan sumbangan saran yang berhubungan dengan permasalahan
yang dibahas. Maka dari penguraian skripsi ini penulis mengambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Perdagangan Anak adalah bentuk modern dari perbudakan manusia serta
merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat
dan martabat manusia. Tindak pidana Perdagangan Anak telah meluas
dalam bentuk jaringan kejahatan transnasional maupun internasional yang
sifatnya terorganisasi dan terorganisir. Adapun bentuk-bentuk dari Tindak
Pidana Perdagangan Anak ini adalah sebagai berikut: Memperkerjakan
anak dalam bisnis pelacuran dan pornografi; Anak yang dijadikan
pengemis; Anak yang dijadikan pembantu rumah tangga; Anak yang
dimanfaatkan dalam perdagangan narkoba; Anak yang mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan lain yang sifatnya sangat eksploitatif, seperti
pekerjaan dijermal, dan juga pengadopsian anak tanpa melalui prosedur
hukum yang berlaku.
Terhadap para pelaku yang melakukan perdagangan anak dapat dijerat
dengan undang-undang antara lain:
a.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Dahulu terhadap pelaku perdagangan anak, masih menggunakan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), namun KUHP sudah tidak
dipergunakan lagi karena pasal-pasal yang berkaitan dengan
perdagangan anak tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat
saat ini sehingga tidak dapat menjerat para pelaku trafficking.
b. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
c. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
d. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang. Sejak diundangkannya Undang-Undang
ini, maka ketentuan mengenai sanksi pidana mengacu kepada undangundang tersebut.
e. Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara No. 6 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak
2. Psikologi Kriminal memegang peranan penting dalam Tindak Pidana
Perdagangan Anak, bahwa banyak
faktor-faktor psikologis yang
mempengaruhi manusia dalam bertindak baik yang bersifat sosial maupun
yang asosial, atau dengan kata lain bahwa kejahatan atau dalam hal ini
Tindak Pidana Perdagangan Anak merupakan perbuatan yang melawan
hukum yang ditentukan oleh instansi-instansi yang terdapat pada diri
manusia itu sendiri.
3. Adapun faktor seseorang melakukan Tindak Pidana Perdagangan Anak
antara lain yaitu kondisi ekonomi atau kemiskinan, faktor pendidikan,
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Kekosongan jiwa dari agama, lingkungan pergulan yang buruk,
rangsangan dari media massa, serta sifat-sifat yang khusus dari individu itu
sendiri. Psikologi memegang peranan penting dalam setiap tindak pidana
termasuk Tindak Pidana Perdagangan Anak. Setiap orang melakukan suatu
tindak pidana memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan motivasimotivasi yang berbeda pula. Disinilah peranan hakim dalam penjatuhan
pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan anak dengan melihat
faktor-faktor psikologinya, karena hal-hal tersebut sangat mempengaruhi
putusan hakim, apakah meringankan atau memberatkan atau bahkan justru
membebaskan si tersangka.
Penanggulangan terhadap tindak pidana perdagangan anak ini
dapat dilakukan secara Preventif maupun Represif yaitu melalui
pendekatan hokum pidana maupun pendekatan diluar hokum pidana.
Penanggulangan ini hanya dapat berhasil bila semua pihak dapat bekerja
sama untuk menanggulanginya.
B. Saran
Setelah menganalisa data-data yang ada, maka saran penulis mengenai
“Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak”
adalah sebagai berikut:
1. Pentingnya upaya perlindungan hukum terhadap hak-hak anak, sesuai
yang tercantum dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
1999, Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 dan
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang No.
21 Tahun 2007. Dengan landasan undang-undang tersebut, pihak yang
berwenang wajib memberikan sanksi yang tegas kepada para pihak yang
melakukan perdagangan anak dalam bentuk apapun.
2. Hendaknya
pemerintah
dalam
menentukan
arah
kebijaksanaan
pembangunan yang berkaitan langsung dengan ekonomi masyarakat,
haruslah memperhatikan kesejahteraan masyarakat ekonomi lemah, karena
faktor ekonomi inilah yang sangat dominan kita dijumpai dan
menggoncang kejiwaan seseorang sehingga termotivasi untuk melakukan
Tindak Pidana termasuk diantaranya Tindak Pidana Perdagangan Anak.
3. Perlunya peran serta dari keluarga maupun masyarakat sekitarnya agar
selalu memberikan perhatian yang lebih besar kepada anak-anak dan rasa
kasih sayang tetap terpelihara antara orang tua dan anak serta memberikan
penanaman nilai-nilai moral sedini mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
I. Buku-Buku
A. Zainal Abidin Farid, 1995, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika.
Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Bimo Wagito, 1975, Psikologi Umum, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi UGM, Cetakan ke-II.
Bouman, 1961, Sosiologi Pengertian dan Masalah, Semarang: Yayasan Konisius,
Cetakan ke-VI.
Chainur Arrasyid, 1988, Pengantar Psikologi Krminal, Yani Corporation.
---------, 1992, Pertimbangan Psikologis Dalam Pertanggungan Jawab Dalam
Peristiwa Pidana, Pidato Pengukuhan Didepan Sidang Terbuka Senat
Universitas Sumatera Utara 18 Januari 1992.
Chairul Bairah, 2005, Aturan-Aturan Hukum Trafficking (Perdagangan
Perempuan dan Anak), Medan: USU Press.
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2004, Pokok-Pokok Hukum Pidana,
Jakarta : PT.Pradnya Paramita, Cetakan ke-I.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka.
Edwin H.Sutherland, 1969, Asas-Asas Kriminologi, Bandung: Alumni.
Irwanto dkk, 2001, Perdagangan Anak di Indonesia, Kantor Perburuhan
Internasional Program Internasional Penghapusan Perburuhan Anak, Di
cetak Atas Kerjasama Dengan Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP
UI.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
J.E. Sahetapy dan Mardjono Reksodiputro, 1982, Paradoks Dalam Kriminologi,
Jakarta: Rajawali.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 2005, Konvensi Hak Anak /
Covention on The Right Of The Child, Jakarta.
---------, 2006, Pelatihan Aparat Penegak Hukum Tentang Perlindungan Anak,
Jakarta.
Leden Marpaung, 2005, Asas - Teori - Praktek Hukum Pidana, Jakarta: Sinar
Grafika.
Made Darma, 1996, Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada.
Mahmud Mulyadi, 2007, Politik Hukum Pidana, Medan.
Moeljatno, 1984, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, Cetakan ke-II.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
Bandung: Alumni.
Noach Simanjuntak, 1984, Kriminologi, Bandung: Tarsito.
P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-III.
---------, Hukum Penitentiere Indonesia, Bandung: Armico.
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, Balai Lektur
Mahasiswa.
Soedjono D, 1983, Pengantar Tentang Psikologi Hukum, Bandung: Alumni.
Syahruddin
Husein,
2003,
Kejahatan
Dalam
Masyarakat
dan
Upaya
Penanggulangannya, Fakultas Hukum USU Medan.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Utrecht, 2000, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta
Mas.
W.A. Bonger, 1982 Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia
Indonesia.
Wojo Wasito, 1999, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeven.
II. Perundang-Undangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
III. Internet
http:// www.bainfokomsumut.go.id yang diakses terakhir kali pada tanggal 28
Maret 2009, pukul 15.00 WIB.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
http:// www.google.com. Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara tentang
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yang diakses terakhir
kali pada tanggal 28 Maret 2009, pukul 14.30 WIB.
http:// www.republika.or.id
IV. Wawancara
Resmita Nelly Sitepu, Pelaku (Terdakwa) Tindak Pidana Perdagangan Anak, di
Lembaga Pemasyarakatan Bengkalis Klas II A.
Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child
Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.
Download