TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINAL TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK ( CHILD TRAFFICKING ) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Guna Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum OLEH : SEPRIARTO SIMANJUNTAK NIM: 050200162 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINAL TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK ( CHILD TRAFFICKING ) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Guna Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum OLEH : SEPRIARTO SIMANJUNTAK NIM: 050200162 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh: KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA (Abul Khair, S.H., M. Hum) Nip. 131 842 854 DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II (Liza Erwina, SH. M.Hum) Nip. 131 835 565 (Lukman Hakim Nainggolan, SH) Nip. 130 697 438 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. KATA PENGANTAR Segala hormat, pujian, syukur, Penulis ucapkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat dan rahmatNya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adapun tujuan penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Judul skripsi ini adalah “Tinjauan Psikologi Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking), Studi Putusan No. 147 / Pid.B / 2008 / PN. BKS”. Penulis telah berusaha mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki dalam penulisan skripsi ini. Akan tetapi Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari segala kekurangan bahkan mungkin masih jauh dari kesempurnaa. Untuk itu tidak tertutup untuk segala bentuk kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Pada kesempatan ini, dengan segala hormat dan kerendahan hati, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. 2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H; Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H, DFM; dan Bapak M. Husni, S.H., M.Hum; selaku Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. 3. Bapak Abul Khair, S.H, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. Ibu Liza Erwina, S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan serta memberikan masukan-masukan dalam penulisan skirpsi ini. 5. Bapak Lukman Hakim Nainggolan, S.H., selaku Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan serta memberikan masukan-masukan dalam penulisan skripsi ini. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. 6. Ibu Nurmalawaty, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Jurusan Departemen Hukum Pidana, yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. 7. Bapak Edy Yunara, S.H., M.Hum, selaku Dosen Wali yang telah banyak membantu dalam pengurusan perkuliahan selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum tercinta ini. 8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum yang telah memberikan ilmunya serta mendidik dan membimbing Penulis selama mengikuti perkuliahan sampai Penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum dengan baik. Serta Bapak dan Ibu staf administrasi telah banyak membantu dan memberikan pelayanan terbaiknya sehingga Penulis dapat menyelesaikan urusan-urusan administrasi dengan baik. 9. Kedua orangtua Penulis, A. Simanjuntak dan R. Br.Lumban Gaol, S.H; serta adik Penulis Winda Asrianti Simanjuntak dan Tumbur Hardinata Simanjuntak, yang telah membantu, memberikan dukungan dan doanya agar penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 10. Eva Norita, S.H yang telah banyak membantu, memberikan dukungan dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaian skripsi ini, Thanks For All… 11. Teman-teman kelompok kecilku, B’Edward Sinaga S.H, Deus Sihombing, S.H, Amelia L.Tobing, S.H, Irvan A.Tarigan, S.H, Roberto Tarigan, S.H terima kasih atas segala dukungan dan doanya, meskipun diantara kita cuma aku yang terlambat wisuda. 12. Teman-teman di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), semua berawal dari sini dengan segala yang indah dan semoga akan tetap menjadi indah selamanya. Akhirnya semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Medan, September 2009 Penulis, Sepriarto Simanjuntak Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................. i DAFTAR ISI ............................................................................................... iv ABSTRAKSI ............................................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1 A. Latar Balakang ............................................................................ 1 B. Perumusan Masalah ..................................................................... 5 C. Keaslian Penulisan ....................................................................... 5 D. Tujuan Penulisan ......................................................................... 6 E. Manfaat Penelitian ....................................................................... 6 F. Tinjauan Kepustakaan ................................................................. 7 1. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana .................................... 7 2. Pengertian Anak dan Tindak Pidana Perdagangan Anak ........ 14 3. Pengertian Psikologi dan Psikologi Kriminal ........................ 23 G. Metode Penelitian ........................................................................ 27 H. Sistematika Penulisan .................................................................. 29 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK ( CHILD TRAFFICKING ) .................. 31 A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Perdagangan Anak ....................... 31 B. Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak Menurut Peraturan Perundang-Undangan ........................... 36 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. BAB III TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINAL TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK (CHILD TRAFFICKING) ... 50 A. Peranan Psikologi Kriminal Dalam Hukum Pidana ...................... 50 B. Hubungan Psikologi Kriminal Dengan Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) ............................................................. 54 C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) ............................................................. 63 D. Upaya-Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) ...................................................................... 81 BAB IV KASUS DAN ANALISIS KASUS ............................................... 85 A. Kasus Posisi ................................................................................ 85 B. Analisis Kasus ............................................................................. 96 BAB V PENUTUP ..................................................................................... 107 A. Kesimpulan ................................................................................. 107 B. Saran ........................................................................................... 109 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 111 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. ABSTRAKSI Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah salah satu dari aktivitas kriminal yang sangat terorganisir dan perkembangannya paling cepat di dunia. Perdagangan Orang (Human Trafficking) merupakan suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaanserta nilai keadilan. Meskipun demikian kejahatan ini terus menerus berkembang secara nasional maupun internasional dan yang menjadi korban trafficking, mayoritas dari keseluruhan yang diperdagangkan adalah perempuan dan anak-anak dan cara kerjanya selalu melibatkan calo atau agen. Kasus kejahatan terhadap perempuan dan anak atau trafficking meski sudah ditangani, diperkirakan masih akan terus mengalami peningkatan. Kondisi itu dipengaruhi oleh masih lemahnya tingkat ekonomi masyarakat Indonesia pada umumnya serta lemahnya penegakkan hukum (law enforcement). Alasan inilah yang melatarbelakangi ketertarikan penulis untuk menulis skirpsi ini dengan mengangkat permasalahan yang diantaranya bagaimana bentukbentuk perdagangan manusia khususnya anak dan ketentuan hukum yang berkaitan dengan perdagangan anak tersebut, bagaimana peranan psikologi kriminal terhadap tindak pidana perdagangan anak, serta apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan anak dan bagaiana upaya penanggulangannya. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatife dengan melakukan penelitian di perpustakaan (library research), menganalisis putusan Pengadilan Negeri Bengkalis dalam Perkara Register No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS serta melakukan wawancara dengan pelaku (terdakwa) Tindak Pidana Perdagangan Anak di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bengkalis. Di Indonesia sendiri masalah perdagangan anak ini sudah sangat lama terjadi,dan Indonesia sudah mempunyai berbagai peraturan yang mengatur hal tersebut yang diantaranya KUHP namun sudah tidak relevan lagi untuk dipergunakan, Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UndangUndang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Adapun bentuk-bentuk perdagangan anak yang terjadi di Indonesia misalnya tujuan prostitusi, dijadikan pengemis, pembantu rumah tangga, perdagangan narkoba, pengadopsian, dan bahkan penjualan organ. Banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya perdagangan anak tersebut baik terhadap korban maupun pelakunya itu sendiri, misalnya faktor ekonomi yang rendah (kemiskinan), tingkat pendidikan yang rendah, peran perempuan dan anak dalam keluarga, lemahnya penegakan hukum dan lain sebagainya. Dari berbagai faktorfaktor tersebutlah yang pada akhirnya dapat mengguncang kejiwaan seseorang sehingga tidak dapat berfikir untuk bekerja yang lebih positif lagi, dan akhirnya mengambil keputusan sesaat guna mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan uang meskipun pekerjaan tersebut bertentangan dengan hukum. Dari faktor-faktor tersebutlah hakim dapat melihat latar belakang serta motivasi-motivasinya untuk melakukan tindak pidana perdagangan anak dan akhirnya menjatuhkan putusan yang sesuai terhadap terdakwa. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Trafficking merupakan suatu persoalan global yang telah menyebar ke seluruh belahan dunia. Istilah trafficking berasal dari bahasa Inggris, trafficking, yang berarti perpindahan. Jadi trafficking artinya perpindahan yang membawa korban ke luar dari kampung halamannya yang lebih aman ke tempat yang berbahaya dan kemudian dipekerjakan secara paksa. Trafficking sebenarnya bukanlah modus baru. Pelacuran dan perbudakan seksual sudah terlaksana sekitar abad ke-19 di Benua Eropa sedangkan korban-korban perbudakan dari Negara Afrika. Pada abad ke-20 pemaksaan seksual terjadi di Asia ketika Jepang berkuasa. Di Indonesia, kasus trafficking dilakukan ketika mengirimkan tenaga kerja ke Timur Tengah pada tahun 1984. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus trafficking cukup tinggi. Bukan hanya sebagai negara pengirim tetapi juga negara penerima korban trafficking. Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ( TKI ) khususnya perempuan dan anak-anak ke beberapa negara tetangga disinyalir terselubung ke dalam bentuk trafficking. Rumitnya proses pengiriman tenaga kerja membuat para calon pekerja ini memanfaatkan jasa pihak ketiga untuk mengurus keberangkatan dengan cara ilegal. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja, ketidakadilan di dalam pemanfaatan dan perolehan akses dan sumber daya, pendidikan dan keterampilan rendah, perekonomian yang tak kunjung tumbuh secara optimal, merebaknya masalah sosial adalah beberapa sebab memicunya kasus-kasus trafficking di Indonesia, dan tentu saja yang menjadi korban trafficking adalah perempuan (baik dewasa, maupun anak-anak). Perempuan mudah dikelabui dan terjerumus pada kasus trafficking karena beberapa penyebab tersebut. Mereka berasal dari keluarga miskin, pendidikan rendah serta kurangnya keterampilan bahkan terkadang banyak yang berasal dari keluarga dengan utang-piutang yang banyak. Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh para trafficker ( pihak ketiga ) untuk mempekerjakan mereka. Trafficking merupakan suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Perempuan (dewasa maupun anak-anak) dipaksa untuk masuk ke dalam situasi yang mengeksploitasi seksualnya. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang menyebabkan orang lain tidak dapat menentukan jalan hidupnya sendiri (self determination), tidak dapat bebas mengeluarkan ekspresi atau pendapatnya, tidak bebas menjalankan hidup sesuai dengan keinginannya, tidak dapat bebas melakukan tindakan yang diinginkan dan selalu merasa terintimidasi, ketakutan, terancam penuh kecurigaan. Padahal seharusnya perempuan dan anak mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan perlindungan agar mereka benar-benar merasakan adanya kesetaraan gender, kekuatan, dan rasa percaya diri dalam menyongsong masa depan. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Tidak sedikit anak-anak di Indonesia meskipun pintar tetapi tidak mendapatkan akses pelayanan pendidikan. Akhirnya, mereka tidak melanjutkan sekolah melainkan dijual. Anak-anak korban trafficking memiliki resiko tinggi mengidap penyakit menular seperti HIV/AIDS, hepatitis B, gonorhoe dan sipilis serta ketidaksuburan, sehingga mereka dijauhi masyarakat dan termaginalisasi dari lingkungan tempat tinggal mereka. Trafficking sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan serta nilai keadilan. Apabila dilihat dari sudut pandang nilai kemanusiaan, trafficking merupakan tindakan yang sangat tidak manusiawi, karena perempuan secara paksa diperjualbelikan untuk kepentingan trafiker yang hanya ingin mengambil keuntungan. Perempuan secara habis-habisan telah dieksploitasi secara seksual dan tentu saja hal ini sangat tidak adil bagi anak sendiri sebagai korban trafficking. Mereka mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai serta pekerjaan yang tidak layak untuk dilakukan. Banyaknya dampak negatif dari trafficking membuat penulis menyadari diperlukannya perhatian khusus agar perbudakan modern ini dapat segera dimusnahkan karena sangat merugikan bagi anak dan sangat bertentangan dengan hak asasi manusia yang menuntut adanya keadilan dalam setiap tindakan. Oleh karena itu trafficking harus ditangani secara serius dan profesional sehingga diperlukan berbagai upaya dan kerjasama antar semua pihak agar segala bentuk trafficking yang dilakukan terhadap anak Indonesia dapat dihapuskan. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Perdagangan anak merupakan tragedi kemanusiaan yang sangat memprihatinkan, dan sudah selayaknya mendapatkan perhatian dan penanganan yang sangat serius, kendati Indonesia memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai tameng agar tidak terjadinya tindak pidana dan pemerintah telah berusaha untuk melindungi setiap hak-hak anak di Indonesia dengan menbentuk berbagai macam peraturan-peraturan, misalnya UndangUndang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Manusia, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang mana dengan adanya peraturan-peraturan tersebut maka akan lebih menjamin dan memberi kepastian hukum kepada anak-anak, namun tetap saja Tindak Pidana Perdagangan Anak ini tidak bisa dihapus dari Indonesia. Kenyataan membuktikan pula bahwa etika dan moral manusia kini sudah sangat menurun dan sudah saatnya pula untuk mencari dan mengambil langkahlangkah kebijaksaan, dalam upaya mencegah hal-hal yang lebih jauh lagi yang dapat mengancam keberadaan manusia dengan suatu bahan perbandingan dan pertimbangan bahwa etika dan moral manusia itu sudah sangat merosot. Namun manusia dituntut oleh zaman agar bisa tetap bertahan hidup, kondisi kejiwaan yang mudah tergoncang oleh faktor lingkungan sehingga memaksa seseorang untuk melakukan suatu perbuatan pidana untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu sangatlah penting untuk membangun pemahaman dikalangan masyarakat untuk tetap dapat hidup sesuai dengan hukum, Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. sehingga dalam hal ini perlu peran serta dari aparat penegak hukum dan pemerintah untuk dapat mewujudkan Indonesia yang aman dan sejahtera. Dari uraian-uraian tersebut diatas, penulis hendak meninjau permasalahan Perdagangan Anak tersebut dari sudut Psikologi Kriminal dari pelaku tindak pidana perdagangan anak, karena faktor psikologi seseorang dalam melakukan suatu tindak pidana kurang mendapat perhatian yang memadai, sehingga menarik perhatian penulis untuk membahasnya dengan judul “ Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking), Studi Putusan No. 147 / Pid.B / 2008 / PN.BKS ”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, penulis mencoba mengangkat beberapa permasalahan diantaranya: 1. Bagaimana bentuk-bentuk perdagangan anak serta ketentuan hukum mengenai tindak pidana perdagangan anak? 2. Bagaimana peranan psikologi kriminal terhadap tindak pidana perdagangan anak? 3. Apa faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan anak dan upaya penanggulangannya? C. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi ini tentang “ Tinjauan Psikologi Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking)” dan penulisan skripsi ini merupakan hasil Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. karya yang ditulis secara objektif dan ilmiah melalui data-data refrensi dari bukubuku, bantuan dari narasumber dan pihak-pihak lainnya. Meskipun kita ketahui ada judul skripsi yang juga berbicara tentang Trafficking, namun judul dan objek pembahasan serta permasalahan yang dibicarakan tidaklah sama dan isi skripsi ini bukanlah hasil jiplakan dari skripsi lainnya. Dengan demikian keaslian peulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bila ternyata dikemudian hari ada judul skripsi yang sama, maka penulis akan bertangungjawab sepenuhnya. D. Tujuan Penulisan Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana perdagangan anak serta penerapan hukumnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 2. Untuk mengetahui bagaimana peranan psikologi kriminal terhadap tindak pidana perdagangan anak. 3. Untuk mengetahui bagaimana upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan anak tersebut. E. Manfaat Penulisan a. Secara Penulisan Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Pembahasan terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dalam skripsi ini akan memberikan informasi dan gambaran tentang tindak pidana perdagangan anak dan bagaimana tinjauan psikologi kriminal terhadap tindak pidana perdagangan anak tersebut, serta penerapan hukum dari berbagai peraturan yang berlaku di Indonesia yang bertujuan memberikan kepastian hukum terhadap anak serta bagaimana upaya penanggulangantindak pidana perdagangan anak tersebut. Selain itu, penulisan ini bermanfaat sebagai kontribusi pemikiran dan pandangan yang baru mengenai hukum pidana di Indonesia, terutama bagi kalangan akademisi di perguruan tinggi. b. Secara Praktis Pembahasan terhadap permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca (masyarakat) dan diharapkan memiliki manfaat bagi pemerintah untuk lebih meningkatkan kepedulian terhadap korban trafficking yaitu anak, dan juga kepada pelaku-pelaku trafficking (trafficker) dalam hal pemidanaan dan rehabilitasi baik pelaku maupun korban sehingga hal ini mampu mendukung dn memberantas tindak pidana perdagangan anak di Indonesia. F. Tinjauan Kepustakaan. 1. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana Sebelum menguraikan mengenai pengertian tindak pidana perdagangan anak, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian pidana dan tindak pidana. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Pengertian Pidana Ada beberapa pengertian pidana menurut beberapa sarjana, yaitu: Sudarto menyatakan yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 1 Van Hamel menyatakan arti pidana atau straf adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas norma negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan. 2 Menurut Simons, pidana atau straf itu adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma yang dengan suatu putusan hakim dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah. 3 Moeljatno 4 menyatakan bahwa hukum pidana adalah bagian dari hukum yang meletakkan dasar dan aturan-aturan untuk menentukan: a. Perbuatan apa saja yang tidak boleh (dilarang) dilakukan dengan disertai ancaman sanksi berupa pidana tertentu; b. Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar laranganlarangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan; 1 Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hal. 2. 2 P.A.F. Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, Bandung: Armico, hal. 34. 3 Ibid, hal. 34. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. c. Dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Dari beberapa defenisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: 1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. 2. Pidana itu diberikan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang). 3. Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. 5 Pengertian Tindak Pidana Dalam ucapan sehari-hari istilah tindak pidana sudah sering dibicarakan. Bahkan tidak hanya dibicarakan saja, tetapi kerap kali menjadi suatu perbuatan yang terjadi dalam masyarakat baik secara individu maupun secara berkelompok. Istilah tindak pidana yang dalam bahasa Belanda disebut dengan Het Strafbare feit. Tindak pidana sering juga disebut dengan kata “delik”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut: “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana”. 6 4 Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah ke 1, Medan, tahun 2007, hal. 2. 5 Muladi dan Barda Nawawi Arief, ibid, hal.4. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2001 6 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Menurut Van Der Hoeven, rumusan tersebut tidak tepat karena yang dapat dihukum bukan perbuatannya tetapi manusianya. 7 Tirtaamidjaja menggunakan istilah “Pelanggaran Pidana” untuk kata “delik”. Kartanegara lebih condong untuk menggunakan istilah “delict” yang telah lazim dipakai untuk perumusan “strafbaar feit”. 8 Para pakar hukum pidana menyetujui istilah straafbaar feit untuk menyebutkan nama tindak pidana. Dalam bahasa Belanda straafbar feit terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu straaf dan feit. Perkataan feit dalam baasa Belanda diartikan sebagai “sebagian dari kenyataan” sedangkan straafbaar berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harafiah perkataan strafbaar feit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum. 9 Keberatan Van der Hoeven tersebut sesungguhnya kurang beralasan jika diperhatikan pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang telah ada sebelumnya perbuatan itu dilakukan”. 10 Dalam hal ini, tepat yang dikatakan Van Hattum bahwa perbuatan dan orang yang melakukannya sama sekali tidak dapat dipisahkan. 11 7 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan ke-III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1997, Hal. 192 8 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun, hal. 74 9 Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, PT. Ichtiar Baru Van Hoeven, Jakarta: 1999 10 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetak I, selanjutnya disebut buku I, Sinar Grafika, Jakarta: 2005, hal. 7 11 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Ibid, hal. 184 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Mengenai “delik” dalam arti straafbaar feit, para pakar hukum pidana masing-masing memberikan defenisi sebagai berikut: a. Simons. Simons merumuskan bahwa: Een Strafbare feit adalah suatu tindakan atau perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Simons membaginya dalam dua golongan unsur yaitu: unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang, akibat keadaan atau masalah tertentu; dan unsur subjektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) dari pelaku. Dalam rumusannya straafbaar feit adalah “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”. 12 Alasan dari Simons mengapa harus dirumuskan seperti diatas karena: a. Untuk adanya suatu straafbaar feit diisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang dimana pelaggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum; 12 C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cetakan I, PT. Pradnya Paramita, Jakarta: 2004, hal. 37 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. b. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memeuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undangundang; c. Setiap straafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechmatige handeling. 13 Sifat melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri seperti halnya dengan unsur lain. b. E. Utrecht Menerjemahkan straafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut dengan delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen-positif atau suatu melakukan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melakukan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu perisiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum. 14 Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutak dari peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana, yaitu perilaku manusia yang 13 P.A.F. Lamintang, Op.cit, hal. 185, lihat juga Satochid Kartanegara, Op.cit, hal. 74 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. bertentangan dengan hukum(unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggungjawab. c. Van Hamel Van Hamel merumuskan Strafbare feit itu sama dengan yang dirumuskan oleh Simons, hanya ditambahkannya dengan kalimat “tindakan mana yang bersifat dapat dipidana”. d. VOS VOS merumuskan Strafbare feit adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana. e. Pompe Pompe merumuskan: strafbaar feit adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum. Pompe memberikan dua macam defenisi terhadap perbuatan pidana, yaitu bersifat teoritis dan yang bersifat perundang-undangan. Berdasarkan defenisi teoritis maka perbuatan pidana adalah pelanggaran norma/kaidah/tata hukum yang 14 Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Piana I selanjutnya disebut buku I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya: 2000, hal. 251 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. diadakan karena kesalalahan pelanggar, dan yang harus diberikan pidana untuk memepertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Sedangkan dari sisi perundang-undangan, perbuatan pidana adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan dan pengabaian atau tidak berbuat. Tidak berbuat ini biasanya dilakukan dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta itulah yang disebut uraian delik. 15 f. Moeljatno Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu perbuatan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikataka bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yakni kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan).16 Rumusan-rumusan yang diberikan para sarjana tersebut tentunya ada perbedaan satu sama lain, walaupun pada intinya mereka memberikan suatu rumusan yang menyatakan perbuatan itu merupakan perbuatan yang melawan hukum 15 A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta: 1995, hal. 225 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. 2. Pengertian Anak dan Tindak Pidana Perdagangan Anak a. Pengertian Anak Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai anak. Yang dimaksud dengan batas usia anak adalah pengelompokan usia maximum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak itu. Untuk menetapkan ketentuan hukum yang lebih berprospek dalam meletakkan batas usia maximum seorang anak, akan ditemukan pendapat yang sangat beraneka ragam kedudukan hukum yang diberikan pada status kedewasaan seorang anak. Untuk meletakkan batas usia seseorang yang layak dalam pengertian hukum nasional, terdapat beberapa pengertian anak, antara lain: a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam pasal 330 disebutkan: “Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak kawin sebelumnya” 17 Dengan demikian batas usia seseorang yang dianggap telah dewasa menurut pasal 330 KUHPerdata adalah: 16 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Cetakan Ke-II, Bina Aksara, Jakarta: 1984, hal. 17 Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 54 2001 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. 1. batas antara usia dewasa dengan yang telah dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun. 2. seorang anak yang berada dalam usia kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun namun telah menikah, dianggap telah dewasa. b. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Perkawinan Menurut Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa batas usia anak adalah: Pasal 7 ayat (1) : “Perkawinan hanya diizinkan jika para pihak mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 tahun” 18 Pasal 47 ayat (1) : “Batas usia minimum 18 tahun berada dalam kekuasaan orang tua selama kekuasaan itu tidak dicabut” Pasal 50 ayat (1) : “Batas usia anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah kawin berada pada status perwalian” c. Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Menurut Undang-Undang Tentang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa: 18 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Fokus Media, Bandung, 2005 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. “Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin” 19 d. Menurut Undang-Undang No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam pasal 1 ayat (5), dijelaskan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” 20 e. Menurut Konvensi Hak Anak / Convention On The Rights Of The Child Dalam Konvensi Hak Anak menyebutkan pengertian tentang anak, yang terdapat dalam pasal 1 bahwa : “Anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal” 21 f. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Pelindungan Anak Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 menyatakan bahwa : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” 22 g. Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 19 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Nuansa Aulia, 2007 20 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Fokusmedia, Bandung, 2007 21 Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Konvensi Hak Anak / Convention On The Right Of The Child, Jakarta, 2005 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Undang-Undang Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999 memberikan pengertian tentang anak, dalam pasal 1 ayat (5) disebutkan: “Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya” 23 h. Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak mengatakan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin” 24 Dalam penjelasan atas Undang-Undang Tentang Kesejahteraan Anak tersebut, dinyatakan bahwa batas umur 21 (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Batas umur 21 (dua puluh satu) tahun tidak mengurangi ketentuan batas umur dalam Peraturan Perundangundangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak 22 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Bandung, 2007 23 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Citra Umbara, Bandung, 2001 24 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Bandung, 2007 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku. 25 i. Menurut Hukum Adat Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Putusan tanggal 2 November 1976 No.601 / sip 1976: “Menurut Hukum Adat seorang laki-laki dianggap telah dewasa kalau sudah cakap bekerja (kuat gawe) : laki-laki yang sudah berusia 20 tahun pantas dianggap telah cakap bekerja, sehingga harus dianggap telah dewasa. Maka ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. 26 Menurut R.Soepomo menyebutkan berdasarkan ciri-ciri ukuran kedewasaan sebagai berikut: 1. Dapat bekerja sendiri, 2. Cakap dan bertanggung jawab dalam masyarakat, 3. Dapat mengurus harta kekayaan sendiri, 4. Telah menikah, 5. Berusia 21 tahun. b. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Anak Tindak pidana pedagangan anak banyak dibicarakan diberbagai media baik cetak maupun elektronik. Pemerintah Indonesia juga telah memiliki 25 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Penjelasan Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Bandung, 2007 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. peraturan mengenai tindak pidana perdagangan anak tersebut yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Dalam undang-undang tersebut tidak memberikan defenisi khusus mengenai tindak pidana perdagangan anak, namun defenisi mengenai perdagangan orang atau manusia dapat ditemui dalam beberapa peraturan. Peraturan yang berlaku saat ini ada beberapa definisi mengenai perdagangan orang yang diatur dalam berbagai aturan-aturan hukum, baik yang berupa konvensi-konvensi internasional, undang-undang, maupun peraturan daerah (Perda). Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 49/166 mendefinisikan istilah “trafficking” : 27 “Trafficking is the illicit and clandestine movement of persons across national and international borders, largerly from developing countries and some countries with economies in transition, with the end goal af forcing women and girl children into sexually or economically oppressive nd exploitative situations for the profit of recruiters, traffickers, and crime syndicates, as well as other illegal activities related to trafficking, suck as forced domestic labour, false marriages, clandestine employment and false adoption”. (perdagangan adalah suatu perkumpulan gelap oleh beberapa orang di lintas nasional dan perbatasan internasional, sebagian besar berasal dari Negara-negara yang berkembang dengan perubahan ekonominya, dengan tujuan akhir memaksa wanita dan anak-anak perempuan bekerja di bidang seksual dan penindasan ekonomis dan dalam keadaan ekploitasi untuk kepentingan agen, penyalur, dan sindakat kejahatan, sebagaimana kegiatan illegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan seperti pembantu rumah tangga, perkawinan palsu, pekerjaan gelap, dan adopsi). 26 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), “Pelatihan Aparat Penegak Hukum Tentang Perlindungan Anak”, Jakarta, 2006 27 Chairul Bairah, Aturan-Aturan Hukum Trafficking (Perdagangan Perempuan dan Anak), USU press, Medan, 2005, hal.9 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Pengertian Perdagangan Orang menurut konvensi PBB menentang Kejahatan Teroganisasi Transnasional tahun 2000 PBB, dalam pasal 3 disebutkan: “Perdagangan Manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang, baik di bawah ancaman atau secara paksa atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan atau penyalahgunaan wewenang atau situasi retan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan guna memperoleh persetujuan dari seseorang yang memiliki control atas orang lain untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual yang lain, kerja paksa atau wajib kerja paksa, perbudakan atau praktekpraktek yang mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh” Dilihat dari perspektif Hukum Pidana, perilaku memperdagangkan perempuan dan anak laki-laki, telah dilarang oleh Pasal 297 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut: Memperniagakan perempuan dan memperniagakan lakilaki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun. 28 Dalam hal ini Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum tidak memberikan penjelasan mengenai makna ‘perniagaan.’ Terhadap Pasal ini R. Soesilo, berpendapat bahwa: “…yang dimaksudkan dengan ‘perniagaan atau perdagangan perempuan’ ialah melakukan perbuatan-perbuatan dengan maksud untuk menyerahkan perempuan guna pelacuran. Masuk pula di sini mereka yang biasanya mencari perempuanperempuan muda untuk dikirmkan keluar negeri yang maksudnya tidak lain akan dipergunakan untuk pelacuran…”. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, memberikan definisi mengenai perdagangan orang yang dalam pasal 1 ayat (1), dikatakan bahwa: 29 28 Dikutip dari KUHP terjemahan R. Soesilo, cetakan tahun 1996. Bogor: Politeia. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Ibid. hal 3 29 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. “Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekerasan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam Negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”. Sedangkan definisi mengenai tindak pidana perdagangan orang yang dimuat dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dikatakan bahwa : “ Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam undang-undang ini”. Global Alliance Agains Traffic in Women (GAATW) memberikan definisi mengenai perdagangan perempuan, sebagai berikut: 30 “Semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, tranportasi di dalam atau melintas perbatasan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan termasuk penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan atau penyalahgunaan kekerasan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak untuk kerja yang tidak diinginkan (domestik, seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa atau ikatan kerja atau dalam kondisi seperti perbudakan di dalam suatu lingkungan lain dari tempat di mana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertamakali”. Sesuai dengan definisi ini bahwa istilah “perdagangan/trafficking” mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Rekrutmen dan atau transportasi manusia; b. Diperuntukkan bekerja atau jasa atau melayani; 30 Chairul Bairah, Aturan-Aturan Hukum Trafficking (Perdagangan Perempuan dan Anak Ibid. hal. 9-10 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. c. Untuk keuntungan pihak yang memperdagangkan. Kegiatan mencari, mengirim, memindahkan, menampung, atau menerima tenaga kerja dengan ancaman, kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, dengan cara menipu, memperdaya (termasuk membujuk dan memberi imingiming sesuatu) korban, menyalahgunakan kekuasaan/wewenang atau memanfaatkan ketidaktahuan, keingintahuan, kepolosan, ketidakberdayaan, dan tidak hanya perlindungan terhadap korban, atau dengan memberikan atau menerima permbayaran atau imbalan untuk mendapatkan izin atau persetujuan dari orang tua, wali, atau orang lain yang mempunyai wewenang atas diri korban dengan tujuan untuk menghisap atau memeras tenaga (mengeksploitasi) korban. 31 Sedangkan pengertian Perdagangan (trafficking) perempuan dan anak menurut Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara Tentang Penghapusan Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak diatur diatur dalam pasal 1 poin (o) adalah : 32 “Perdagangan (trafficking) perempuan dan anak adalah tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih unsur-unsur perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan perempuan atau anak dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan atau penjeratan hutang untuk tujuan dan atau berakibat mengekploitasi perempuan dan anak”. 3. Pengertian Psikologi dan Psikologi Kriminal 31 Chairul Bariah Ibid, hal 10 http:// www.google.com, Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara Tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yang diakses terakhir kali pada tanggal 27 Maret 2009, pukul 14.30 WIB. 32 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Psikologi Kriminal merupakan satu bagian dari Psikologi. Asal kata psikologi adalah berasal dari bahasa Yunani, yang terbagi atas: a. Psyche yang artinya Jiwa atau Nafas; b. Logos yang artinya Ilmu. Kemudian di Indonesia kedua kata tersebut digabung menjadi kata Psikologi, dengan arti Ilmu Jiwa. Jiwa yang dimaksud ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan emosi-emosi kemanusiaan, seperti segala perasaan kita, rasa takut yang tercermin dalam perasaan gelisah dan khawatir, rasa sedih, rasa kecewa, rasa kasih dan cinta, rasa pedih hati, rasa gembira, rasa senang, simpati, kesal, benci dan dendam, tegang, tertekan dan sebagainya yang mana semuanya itu turut membentuk kepribadian manusia. Beberapa pengertian Psikologi menurut para ahli: a. THF Hoult Psikologi adalah suatu disiplin yang secara sistematis mempelajari perkembangan dan berfungsinya faktor-faktor mentl dan emosional manusia. b. Robert J. Wicks Psikologi adalah suatu ilmu tentang peri kelakuan. c. Gorden Murphy Psikologi adalah suatu ilmu yang menguraikan masalah kemauan serta motif dalam hubungannya dengan peranannya mempengaruhi pikiran serta perbuatan manusia. d. Wood Worth Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari aktivitas-aktivitas dari individu dalam hubungannya dengan lingkungan, meliputi pengertian motoris (berjalan, berlari), cognitive (melihat, berfikir), dan Emosional (bahagia, duka cita). e. Edwin G. Boring Psikologi adalah study tentang hakekat manusia. f. Crow & Crow Psikologi ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan hubungan kemanusiaan. g. Drs. Bimo Walgito Psikologi merupakan suatu ilmu yang menyelidiki serta mempelajari tentang sikap, tingkah laku atau aktivitas-aktivitas dimana tingkah laku atau ktivitas-aktivitas itu sebagai manifestasi hidup kejiwaan. 33 h. Soerjono Soekanto Psikologi tidak membatasi ruang lingkupnya pada perilaku nyata saja melainkan juga pada perilaku tertutup, seperti berfikir, marah, takut, dan lain-lain. 34 Tingkah laku dan hubungan kemanusiaan misalnya, orang yang jiwanya sehat dapat mencintai atau dapat memberi cinta dan kasih sayang serta sanggup 33 Bimo Walgito, Psikologi Umum, Cet.II, Edisi Ke-2, Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 1975, hal. 6 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. bekerja. Sebaliknya orang yang sakit jiwanya tidak dapat mencintai dan bekerja atau akan menunjukkan gejala-gejala tingkah laku yang mencolok dan berlebihlebihan, sehingga dalam pandangan orang lain menunjukkan kesan aneh, janggal, dan mungkin berbahaya bagi orang lain. Dengan demikian ilmu jiwa (Psikologi) mempelajari tingkah laku manusia sekaligus memberi batasan adanya tingkah laku manusia yang normal dan yang abnormal, atau dapat pula diartikan suatu ilmu yang mempelajari tindakan-tindakan atas tingkah laku manusia yang dihubungkan dengan jiwa para pelakunya. Ad. II. Kata Kriminil Asal kata kriminil adalah dari bahasa Belanda yaitu Crimen, yang artinya kejam, ngeri, dan jahat. Yang di Indonesia menjadi Kriminil, yang menurut tata bahasanya diartikan semua perbuatan atau tindakan yang jahat, seperti pencurian, pembunuhan, penipuan dan lain-lain. Paul Meodikno Moeliono mengatakan bahwa kejahatan adalah pelanggaran norma hukum yang dapat ditafsirkan atau patut ditafsirkan sebagai perbuatan yang merugikan dan tidak boleh dibenarkan.Dengan demikian jika kita gabungkan kata psikologi kriminal secara etimologi berarti ilmu jiwa tentang kejahatan. 34 Soedjono D, Pengantar Tentang Psikologi Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hal. 15 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. W.A. Bonger memberikan pengertian Psikologi Kriminal sebagai berikut: Psikologi Kriminal itu merupakan suatu ilmu pengetahuan tentang kejahatan dipandang dari sudut ilmu jiwa. Penyelidikan mengenai jiwa dari penjahat dapat semata-mata ditujukan untuk kepribadian perseorangan (umpama jika dibutuhkan untuk memberikan penerangan pada hakim) tetapi dapat juga untuk menyusun tipologi (golongan-golongan) penjahat. 35 Sedangkan menurut Bimo Walgito menyatakan bahwa psikologi kriminal yaitu psikologi yang khusus berhubungan dengan soal kejahatan atau kriminalitas. 36 Dalam hal ini Chainur Arrasyid, memberikan rumusan sebagai berikut: 37 Psikologi kriminal adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari psikologi si penjahat serta semua atau golongan yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan perbuatan yang dilakukan dan keseluruhan akibat-akibatnya. Berdasarkan uraian diatas dapatlah dikatakan psikologi kriminl adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari aspek-aspek kejiwaan yang mendorong seseorang atau golongan untuk melakukan perbuatan jahat atau tindak kriminil serta akibat-akibatnya. G. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif analisis, maksudnya yaitu mengelola dan menafsirkan data yang 35 W.A Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982, hal.25 36 Bimo Walgito, ibid, hal. 13 37 Chainur Arrasyid, Pengantar Psikologi Kriminal Jilid I, Yani Corporation, 1988, hal. 3 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. diperoleh sehingga dapat memberikan gambaran keadaan dan kesimpulan dari keseluruhan hasil penulisan. Metode deskriptif analisis adalah suatu metode yang dapat digunakan untuk meneliti sekelompok manusia, suatu situasi kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk membuat gambaran, atau lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Adapun metode penelitian yang digunakan penulis mencakup antara lain: A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif anlisis dengan metode pendekatan yuridis normatife dan empiris sosiologis yaitu dengn pengumpulan data-data serta studi kepustakaan maupun studi lapangan atau riset langsung ke lapangan untuk memperoleh data-data yang berhubungan dengan penelitian. B. Sumber Data Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari riset dilapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai peraturan perundang-undangan, bukubuku, artikel-artikel media massa dan media elektronik yang berhubungan dengan skripsi. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. C. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode sebagai berikut: 1. library research (penelitian kepustakaan) yaitu melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti bukubuku, artikel-artikel, media massa dan media elektronik, pendapat sarjana dan bahan lainnya yang berkaitan dengan skripsi. 2. field research (penelitian lapangan) yaitu dengan melakukan penelitian langsung kelapangan, dalam hal ini penulis langsung mengadakan wawancara kepada pelaku Perdagangan Anak ke Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Kabupaten Bengkalis-Riau dan data/kasus di Pengadilan Negeri Bengkalis dengan Nomor: 147 / PID. B / 2008 / PN. BKS, dan kemudian menganalisis kasus tersebut D. Analisis Data Metode analisis yang dipergunakan oleh penulis dalam penulisan ini adalah metode analisis normative kualitatif, yaitu analisa terhadap data yang jumlahnya sedikit dan bersifat monografis atau berwujud kasus. H. Sistematika Penulisan Untuk mempertegas penguraian isi dari skripsi ini serta untuk lebih mengarahkan pembaca, maka berikut dibawah ini penulis membuat sistematika penulisan atau gambaran dari skripsi ini sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Dalam Bab pendahuluan ini berisikan latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan yang membahas mengenai pengertian pidana dan tindak pidana, pengertian anak dan tindak pidana perdagangan anak, pengertian psikologi dan psikologi kriminal serta menguraikan metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi ini. BAB II TINJAUAN UMUM PERDAGANGAN TENTANG TINDAK PIDANA ANAK (CHILD TRAFFICKING) Pada Bab II ini, menguraikan tentang bentuk-bentuk dari Tindak Pidana Perdagangan Anak, serta bagaimana penerapan hukum terhadap tindak pidana perdagangan anak tersebut. BAB III TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINAL TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK (CHILD TRAFFICKING) Pada pembahasan Bab III ini, menjelaskan tentang hubungan Psikologi Kriminal dalam hukum pidana, bagaimana tinjauan Psikologi Kriminal terhadap tindak pidana perdagangan anak, apa yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan anak tersebut serta bagaimana upaya penanggulangannya. BAB IV KASUS DAN ANALISIS KASUS Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Bab IV ini membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan kasus posisi seperti kronologis terjadinya tindak pidana perdagangan anak yang terjadi di Kabupaten Bengkalis, dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum, putusan hakim di Pengadilan Negeri Bengkalis serta analisis terhadap kasus tersebut. BAB V PENUTUP Bab V berisi tentang kesimpulan dari masalah-masalah yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu dan saran atas permasalahan yang berguna bagi semua pihak untuk mengantisipsi terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Anak di Indonesia. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK (CHILD TRAFFICKING) A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Tindak Pidana Perdagangan Anak merupakan suatu kejahatan yang sangat terorganisir yang bersifat trans nasional maupun internasional. Ada beberapa bentuk dari perdagangan anak, antara lain : 38 1. Anak yang dipekerjakan dalam bisnis pelacuran dan pornografi; 2. Anak yang dijadikan pengemis; 3. Anak yang dijadikan pembantu rumah tangga; 4. Anak yang dimanfaatkan dalam perdagangan narkoba; 5. Anak yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain yang sifatnya sangat eksploitatif, seperti pekerjaan dijermal. 1. Anak-Anak Yang di Pekerjakan Dalam Bisnis Pelacuran dan Pornografi Pemanfaatan anak dalam industri seks komersial memiliki sejarah panjang. Secara tradisional perempuan sudah masuk keindustri seks sejak mereka masih berusia sangat muda. Hal ini tidak pernah dipandang sebagai masalah sosial karena anak-anak perempuan dipedesaan, yang pada umumnya menikah pada usia dini. Dewasa ini, industri seks telah menjelma dalam berbagai bentuk. Walaupun hingga saat ini jasa pelayanan seks yang diatur dengan peraturan pemerintah dan ditawarkan dilokalisasi atau kompleks-kompleks pelacuran masih dapat diperoleh, layanan seks komersial diluar lokalisasi tetap saja marak, biasanya secara sembunyi-sembunyi, di berbagai tempat seperti diperumahan, 38 Irwanto dkk, Perdagangan Anak di Indonesia, Kantor Perburuhan Internasional Program Internasional Penghapusan perburuhan Anak, di cetak atas kerjasama dengan Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP-UI, 2001, hal. 29 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. hotel, bar, restoran, diskotik, salon kecantikan, dan sebagainya yang menyediakan teman pendamping atau teman kencan. Ulasan-ulasan terbaru yang dihimpun dari berbagai media, pengamatan LSM dan studi-studi yang ada menunjukkan bahwa kasus-kasus anak yang terlibat pelacuran cenderung meningkat sejak akhir tahun 1990. banyak anakanak desa yang mau meninggalkan kampung halamannya karena tergiur oleh janji-janji akan diberi pekerjaan dikota, tetapi sesampainya dikota, ia diperdaya atau dipaksa untuk menjadi pekerja seks komersial. Namun tidak semua anak yang dilacurkan berasal dari desa, anak kota pun ada juga yang dijadikan pekerja seks. Beberapa dari mereka bahkan berasal dari keluarga-keluarga yang cukup berada. Hal ini amat memprihatinkan tetapi permintaan akan seks dengan anak sebenarnya telah ada sejak dulu. 39 Pemicu utamanya adalah mitos-mitos seputar keperawanan, antara lain kepercayaan bahwa hubungan seks dengan perawan merupakan obat awet muda dan pembawa keberuntungan. Tapi ironisnya, kesadaran akan bahaya HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya sering kali justru mendongkrak permintaan akan anak-anak perempuan belasan tahun. Perekrutan pekerja seks anak di Indonesia biasanya terjadi dengan menggunakan alasan yang klasik, yaitu untuk dijadikan pembantu rumah tangga (PRT), bekerja di restoran dan sebagainya. 2. Anak Yang di Jadikan Pengemis Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Pola lain perdagangan anak yang sering dijumpai di berbagai daerah di Indonesia adalah mengambil anak untuk mengemis dijalanan. Anak-anak yang disuruh mengemis di jalan-jalan dikota-kota besar sering kali berasal dari tempat yang jauh. Jumlah anak yang direkrut dari daerah pedesaan cukup besar. Mereka dijanjikan pekerjaan yang layak dikota dan tidak tahu kalau akan disuruh mengemis. Selain anak yang diperdagangkan untuk dijadikan pengemis, ada juga bayi yang disewakan untuk membantu pengemis wanita supaya kelihatan lebih memelas. 40 3. Anak Yang di Jadikan Pembantu Rumah Tangga Menjadi pembantu rumah tangga merupakan pekerjaan yang termudah yang dapat dilakukan anak perempuan desa yang tidak berpengalaman dan tidak atau kurang berpendidikan dan yang orang tuanya tidak mempunyai cukup biaya untuk menyekolahkan atau melanjutkan sekolah anaknya. Sering kali kota besar menjadi obsesi banyak kaum muda di pedesaan. Mereka terpesona oleh gaya hidup kota yang mereka lihat di media cetak dan televisi (TV). Selain itu bekerja dikota mungkin juga merupakan cara untuk menghindar dari pengaturan perkawinan (perjodohan) oleh orang tua setelah mereka menyelesaikan sekolah dasar. 41 Banyak dari anak-anak yang dijadikan pembantu rumah tangga tersebut justru berada dalam kondisi kerja yang dapat dikategorikan sebagai bentuk 39 40 Ibid, hal 30 Irwanto dkk, Ibid, hal 37 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. terburuk perburuhan anak. Selain itu, ada laporan media yang memberitakan bahwa kekerasan fisik dan seksual juga dialami oleh anak-anak ini. Dan bahkan, pelaku kekerasan ini tidak tersentuh oleh hukum. 4. Anak Yang di Manfaatkan Dalam Perdagangan Narkoba Mengenai pola perdagangan narkoba dengan menggunakan anak-anak sebagai pengedar atau pengguna narkoba ini sifatnya sangat terorganisir, umumnya mereka dibujuk untuk membantu sindikat perdagangan narkoba dengan iming-iming imbalan (uang) yang cukup besar. Dengan jumlah uang yang sedemikian, bagi mereka sudah sangat besar disamping dapat menggunakannya secara gratis, akibat dari ketergantungan narkoba tersebut. 5. Anak Yang Mengerjakan Pekerjaan-Pekerjaan Lain Yang Sifatnya Sangat Eksploitatif, Seperti Pekerjaan di Jermal Pemanfaatan anak untuk bekerja di jermal (anjungan penangkap ikan lepas pantai) dibeberapa daerah di Indonesia misalnya di Sumatera Utara mendapat sorotan tajam dari masyarakat internasional yang peduli terhadap hak anak. Anak-anak ini direkrut atau dibawa oleh orang tua mereka dari desa-desa yang jauh dari laut. Mereka biasanya tidak peduli dengan jenis pekerjaan yang akan mereka jalani. Ketika bekerja dijermal, mereka harus bekerja siang dan malam tanpa istirahat yang cukup untuk menaikkan dan menurunkan jala ikan, memilih 41 Ibid, hal 33 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. dan mengeringkan ikan, memperbaiki jala yang rusak dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain yang menyita sebagian waktu mereka. 42 Selain kelima bentuk perdagangan anak tersebut diatas, ada bentuk lain dari perdagangan anak (child trafficking) yaitu penjualan bayi untuk dijadikan anak angkat atau upaya mengadopsi anak tanpa melalui prosedur hukum. Mengenai anak angkat, diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002: Pasal (1): Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. pasal (1) angka (9) :anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Pasal (2): Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya Sedangkan mengenai pengangkatan anak diatur dalam Pasal 39-41 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002: Pasal 39 (1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. (3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. 42 Irwanto dkk, Ibid, hal 38 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. (4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. (5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. Pasal 40 (1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya. (2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan. Pasal 41 (1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak. (2) Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sehingga dapatlah dikatakan apabila seseorang melakukan pengadopsian anak (pengangkatan anak) dan apabila tidak sesuai dengan prosedur berdasarkan ketentuan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan tanpa adanya penetapan dari pengadilan negeri, dapat juga dikategorikan dengan perdagangan anak. B. Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) Menurut Peraturan Perundang-Undangan Ada beberapa peraturan yang mengatur tentang penerapan hukum terhadap tindak pidana perdagangan anak, diantaranya sebagai berikut: Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 43 Perdagangan anak dalam KUHP pada pasal 297 yang menyatakan bahwa : “Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun” Tidak ada definisi resmi tentang perdagangan anak di dalam pasal 297 KUHP tersebut, sehingga dalam prakteknya pasal ini sulit untuk digunakan. KUHP juga mengkriminalisasi tindakan memprostistusikan orang lain dan menjatuhkan hukuman kepada mereka yang melakukan eksploitasi seksual terhadap anak-anak, yang diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut: Pasal 287 ayat (1) “barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun” Pasal 290 “diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun (ke-3) barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar pernikahan dengan orang lain” Pasal 292 “orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun” Pasal 293 (1) 43 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia-Bogor, 1994 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. “barangsiapa dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah mempergunakan pengaruh yang berlebihlebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau dengan tipu, sengaja membujuk orang yang belum dewasa yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya belum dewasa, akan melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, dihukum penjara selama-lamanyalima tahun” Pasal 294 (1) “barangsiapa melakukan perbutan cabul dengan anaknya yang belum dewasa, anak tiri atau anak pungutnya, anak peliharaannya, atau dengan seorang yang belum dewasa yang dipercayakan padanya untuk ditanggung, dididik atau dijaga, atau dengan bujang atau orang sebawahnya yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun” Pasal 295 (1) dihukum: 1e. dengan hukum penjara selama-lamanya lima tahun, barangsiapa yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul yang dikerjakan oleh anaknya, anaknya tirinya, atau anak angkatnya yang belum dewasa , oleh anak yang dibawah pengawasannya, orang yang belum dewasa yang diserahkan kepadanya, supaya dipeliharanya, dididiknya atau dijaganya atau bujangnya yang dibawah umur atau orang yang dibawahnya dengan orang lain. 2e. dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, barang siapa yang dengan sengaja, diluar hal-hal tersebut pada 1e, menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh orang belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa ia ada belum dewasa. Sedangkan perdagangan anak yang dijadikan pengemis atau pekerjaan berbahaya lainnya, diatur dalam pasal 301 KUHP bahwa : “barangsiapa menyerahkan atau membiarkan tinggal pada orang lain, seorang anak yang umurnya dibawah 12 tahun yang dibawah kuasanya yang sah sedang diketahuinya bahwa anak itu akan dipakai untuk atau akan dibawa waktu menjalankan pekerjaan mengemis, atau dipakai untuk menjalankan perbuatan kepandaian yang berbahaya atau pekerjaan yang berbahaya atau pekerjaan yang merusakkan kesehatan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun” Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Pasal-pasal yang relevan untuk kejahatan anak yang melibatkan penculikan didalam KUHP diatur dalam pasal : Pasal 328 “barangsiapa melarikan orang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara, dengan maksud melawan hak akan membawa orang itu dibawah kekuasaan sendiri atau dibawah kekuasaan orang lain atau akan menjadikan dia jatuh terlantar, dihukum karena melarikan (menculik) orang dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun” Pasal 329 “barangsiapa dengan sengaja melawan hak membawa orang ketempat lain dari pada yang dijanjikan, yaitu orang yang telah membuat perjanjian untuk melakukan sesuatu pekerjaan dalam sesuatu tempat yang tentu, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun” Pasal 330 Ayat (1) “barangsiapa dengan sengaja mencabut orang yang belum dewasa dari kuasa yang sah atasnya atau dari penjagaan orang yang dengan sah menjalankan penjagaan itu, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun” Pasal 330 Ayat (2) “dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun jika perbuatan itu dilakukan dengan memakai tipu daya, kekerasan atau ancaman dengan kekerasan atau orang yang belum dewasa umurnya dibawah dua belas tahun” Pasal 332 (1) Dihukum karena melarikan perempuan : 1e. dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun, barangsiapa melarikan perempuan yang belum dewasa tidak dengan kemauan Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. orangtuanya atau walinya, tetapi dengan kemauan perempuan itu sendiri dengan maksud akan mempunyai perempuan itu baik dengan nikah, maupun tidak dengan nikah. 2e. dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, barang siapa melarikan perempuan dengan tipu, kekerasan atau ancaman dengan kekerasaan dengan maksud akan mempunyai perempuan itu baik dengan nikah, maupun tidak dengan nikah. Perdagangan anak yang melibatkan penyekapan atau penahanan diatur dalam pasal : Pasal 331 “barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang belum dewasa yang dicabut atau yang mencabut dirinya dari kuasa yang sah atasnya atau dari penjagaan orang yang dengan sah menjaga dia, atau barangsiapa sengaja menyembunyikan anak itu dari penyelidikan pegawai kehakiman atau polisi, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun, atau jika anak itu umurnya dibawah 12 tahun, dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun” Pasal 333 (1) barangsiapa dengan sengaja menahan (merampas kemerdekaan) orang atau meneruskan tahanan itu dengan melawan hak, dihukum penjara selam-lamanya delapan tahun. (2) Jika perbuatan itu menyebabkan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. (3) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, ia dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. (4) Hukuman yang ditentukan dalam pasal ini dikenakan juga kepada orang yang sengaja memberi tempat untuk menahan (merampas kemerdekaan) orang dengan melawan hak. Pasal 334 (1) barangsiapa yang karena salahnya hingga orang jadi tertahan atau terus bertahan dengan melawan hak, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. (2) jika dengan perbuatan itu menyebabkan luka berat, sitersalah dihukum kurungan selama-lamanya sembilan tahun. (3) Jika perbuatan itu menyebabkan orangnya mati, ia dihukum kurungan selama-lamanya satu tahun. B. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Mengenai tindak pidana perdagangan anak lebih terperinci dijelaskan didalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang diatur dalam pasal : Pasal 2 ayat (1) “setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengekploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)”. Pasal 3 “setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah Negara Republik Indonesia atau diekploitasi di Negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)”. Pasal 4 “setiap orang yang membawa warga Negara Indonesia ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk untuk dieksploitasi di luar Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. wilayah Negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (tahun) dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupih) dan paling banyak Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah). Pasal 5 “setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas tahun) penjara dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)”. Pasal 6 “setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas tahun) penjara dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)”. Pasal 17 “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)” Sedangkan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang diatur dalam pasal ; Pasal 19 “Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah)” Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Pasal 20 “Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah)” Pasal 21 (1) Setiap orang yang melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Pasal 22 “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. terdakwa, atau saksi dalam perkara perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)” Pasal 23 “Setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan: a. memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku; b. menyediakan tempat tinggal bagi pelaku; c. menyembunyikan pelaku; atau d. menyembunyikan informasi keberadaan pelaku, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)” Pasal 24 “Setiap orang yang memberitahukan identitas saksi atau korban padahal kepadanya telah diberitahukan, bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus dirahasiakan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah)” C. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Didalam undang-undang ini juga mengatur ketentuan pidana terhadap perdagangan anak, yang diatur dalam pasal : Pasal 79 “Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dengan Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)” Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Pasal 83 “Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.600.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)” Pasal 88 “Setiap orang yang mengekploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)” Pasal 89 (1) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan produksi atau distribusi alcohol dan zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka UU Perlindungan Anak telah memberikan sanksi kepada setiap orang yang “menyalahgunakan” anak untuk kepentingan-kepentingan yang dilarang oleh hukum. Dari ketentuan sebagaimana tersebut di atas, UU Perlindungan Anak telah memberikan sanksi pidana terhadap perbuatan yang : Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. (1) membiarkan anak dalam situasi darurat, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu; (2) dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain; (3) dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, melakukan serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul; (4) memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual; (5) merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer, penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; (6) eksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain; (7) membiarkan, melibatkan anak dalam penyalahgunaan produksi atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika, alcohol dan zat aditif lainnya. Di samping hal tersebut diatas, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ini juga mengatur tentang hak-hak anak yang terdapat dalam pasal : Pasal 4 “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” Pasal 5 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan” Pasal 6 “Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orangtua” Pasal 7 (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. (2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 8 “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial” Pasal 9 (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. (2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus Pasal 10 “Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan” Pasal 11 “Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri” Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Pasal 12 “Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial” Pasal 13 (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya. (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman. Pasal 14 “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir” Pasal 15 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan e. pelibatan dalam peperangan. Pasal 16 (1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. (3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Pasal 17 (1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. (2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Pasal 18 “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya” D. Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara No.6 Tahun 2004 Dalam ketentuan pidana pasal 28 dikatakan bahwa : “setiap orang yang melakukan, mengetahui, melindungi, menutup informasi, dan membantu secara langsung maupun tidak langsung terjadinya perdagangan (trafficking) perempuan dan anak dengan tujuan melakukan ekploitasi baik dengan atau tanpa persetujuan untuk pelacuran, kerja, atau pelayanan, perbudakan atau praktik serupa dengan perbudakan, pemindahan atau tranplantasi organ tubuh, atau segala tindakan yang melibatkan pemerasan dan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga, dan atau kemampuan seseorang oleh pihak lain dengan secara sewenang-wenang untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun nonmaterial dapat sesuai dengn ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. BAB III TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINAL TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK (CHILD TRAFFICKING) A. Peranan Psikologi Kriminal Dalam Hukum Pidana Soedjono D, mengungkapkan bahwa dalam ilmu hukum dijelaskan adalah satu segi yang menonjol pada hukum terutama sekali pada hukum modern adalah penggunaannya secara sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian sadar atau tidak sadar hukum telah memasuki bidang yang menggarap tingkah laku manusia. Apakah proses yang demikian ini tidak juga mengandung arti bahwa hukum telah memasuki bidang psikologis, khususnya psikologi sosial? Hukum pidana misalnya merupakan bidang hukum yang cukup sering berurusan dengan psikologi ini, sadar ataupun tidak. Bahwa dengan pidana diharapkan kejahatan bisa dicegah, merupakan salah satu contoh yang jelas mengenai hubungan antara hukum dan psikologi tersebut. 44 44 Soedjono D, Op.Cit, hal. 36 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Pendapat Satjipto Rahardjo yang didukung oleh Soedjono D, dalam bukunya “Pengantar Tentang Psikologi Hukum” yang menyebutkan antara lain bahwa semakin berkembang pesatnya tekhnologi dan perubahan sosial, pendidikan hukum dituntut untuk tidak statis lebih-lebih dalam penyajian materi. Salah satu ilmu pengetahuan yang relevan untuk mempelajari adalah psiklogi. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari peri laku manusia dalam pergaulan hidup dengan sesamanya. Hal ini mudah dipahami karena hukum merupakan lembaga yang paling melekat dalam kehidupan manusia, seperti selalu dikatakan oleh Soediman Kartohadiprodjo bahwa berbicara mengenai hukum berarti bicara tentang manusia. 45 Bimo Walgito menyatakan: “setiap cabang ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan mempelajari hal-hal sekitar kehidupan manusia akan tidak sempurna jika tidak mengambil pelajaranpelajaran dari hasil-hasil penyelidikan psikologi. 46 Uraian di atas menunjukkan bahwa bidang hukum khususnya hukum pidana memerlukan salah satu ilmu yang tidak bisa dianggap enteng peranannya dalam menghadapi tingkah laku manusia, yaitu psikologi sebagai ilmu yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia tersebut. Tingkah laku manusia yang bagaimana yang ada hubungannya dengan psikologi kriminal? Yaitu tingkah laku yang menyimpang atau melanggar kaidahkaidah masyarakat, atau yang disebut dengan kejahatan yang secara psikologis yang diartikan sebagai manifestasi kejiwaan yang terungkap pada tingkah laku 45 Ibid, hal. 157 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. manusia yang bertentangan dengan kaedah-kaedah yang berlaku dalam masyarakat.47 Perbuatan-perbuatan yang menyimpang itu sangat erat hubungannya dengan kejiwaan individu, dimana kehidupannya hidup dalam suatu kehidupan masyarakat. Pengaruh kejiwaan dari individu yang hidup dalam kehidupan masyarakat ini, mengarah pada ketidakselarasan dan dapat membentur kaedahkaedah yang berlaku didalam masyarakat dimana individu itu hidup. Hal ini disebabkan hubungan antara individu dengan masyarakatnya sangat erat sekali, karena individu itu berdiri dan berhadapan dengan individu-individu lainnya dalam garis lingkar masyarakat. Gangguan kejiwaan yang menimbulkan perbuatan yang menyimpang menyebabkan individu itu tidak dapat memisahkan antara perbuatan baik maupun perbuatan jahat. Jadi kejahatan ditinjau dari psikologis jelas menitik beratkan seberapa jauh adanya pengaruh kejiwaan yang dapat digolongkan perbuatan jahat sesuai dengan penyimpangan terhadap kaedah-kaedah yang berlaku dalam suatu masyarakat. Kalau kita teliti baik dari pandangan sosiologis, yuridis maupun psikologis terdapat perbuatan-perbuatan tertentu yang tidak disenangi masyarakat, hanya perbedaannya terletak kepada perbuatan yang secara definitif telah ditentukan sebagai perbuatan jahat dan ada juga yang bersifat tidak definitif 48. 46 Bimo Walgito, Op. Cit, hal. 6 Chainur Arrasyid, Op.Cit, hal. 65 48 Chainur Arrasyid, Pertimbangan Psikologis Dalam Pertanggungan Jawab Dalam Peristiwa Pidana, Pidato Pengukuhan di Depan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumtera Utara 18 Januari 1992, hal. 4 47 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Secara antropolgis kita mempunyai persamaan-persamaan dan perbedaanperbedaan jika ditinjau dari aspek kebudayaannya, yakni berupa aspek tingkah laku, tata kelakuan dan hasil kelakuan itu. Khusus tentang tingkah laku adalah merupakan suatu masalah yang sangat serius dalam kriminologi. Masalahnya terletak bahwa tingkah laku itu mempunyai kawasan luas, ada tingkah laku yang dianggap bermoral, tetapi ada juga yang dianggap asosial bahkan kriminil. Walaupun tingkah laku yang dianggap asosial maupun kriminil itu merupakan tingkah laku normal yang ada pada diri setiap manusia, tetapi sebagai manusia yang berpikir, bermasyarakat dan berkebudayaan sudah semestinya harus dicegah atau diusahakan untuk tidak membuatnya, dan inilah tugas berat bagi individu atau manusia itu. Perbuatan kriminil maupun asosial tidak dikehendaki dalam hidup bermasyarakat, begitu juga secara religius atau keagamaan. Walaupun tingkah laku seperti ini merupakan suatu aspek yang wajar dan ada pada diri manusia, tetapi hal ini harus tidak muncul dalam kehidupan manusia itu. Dapatlah dikatakan bahwa usaha untuk mengatasinya cukup berat, karena manusia itu sudah terikat oleh perbuatan yang tidak disenangi. Perhatikan keawal kehidupan manusia, bagaimana sakitnya derita seorang ibu sewaktu ada gerakangerakan janin dalam kandungannya dan juga pada saat melahirkan. Dihadapan hukum penilaiannya memang berbeda, tetapi apakah dari segi kenyataan bukankah itu suatu perbuatan yang merugikan dan menyakitkan orang lain. Untuk memahami kehidupan manusia diperlukan suatu pemahaman khusus tentang eksistensi manusia tersebut, yang berarti pula mengetahui aspirasi, perasaan, cita-cita dan gejolak-gejolak jiwa manusia. Tentu ini dapat dipelajari Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. dalam psikologi. Dalam mendalami kehidupan psikologi perkembangan, maka deviasi-deviasi (penyimpangan-penyimpangan) tingkah laku manusia dapat dicegah, karena psikologi perkembangan merupakan salah satu dasar utama untuk menghantar dalam rangka mambahas aspek kejiwaan perbuatan kriminal. Menurut penelitian kehidupan manusia itu mengalami grafik kehidupan jasmani maupun kejiwaan. Sejak usia muda sampai usia tua serta setiap waktu usia tertentu terjadi perubahan-perubahan hidup yang mempunyai ciri-ciri khas sendiri. Berdasarkan adanya perubahan-perubahan dan ciri-ciri khas tersendiri dari usia tertentu itu, psikologi telah mengadakan pembagian-pembagian masa kehidupan manusia 49. Sesuai dengan tujuan psikologi kriminal yakni berupaya mempelajari sebab-sebab kejahatan, cara-cara pencegahan baik preventif maupun represif serta usaha-usaha perbaikan atau penyembuhan penjahat yang telah defenitif dalam pengertian hukum pidana, maupun perbuatan menyimpang lainnya yang terdapat di luar hukum pidana dengan cara-cara pendekatan psikologi kriminal dibutuhkan dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu hukum pidana. Psikologi kriminal sebagai ilmu pembantu dari pada hukum pidana apalagi dalam masalah yang dihadapi adalah kejahatan anak, dapat menjadikan hukum pidana sebagai suatu alat terakhir untuk mempebaiki kelakuan manusia (ultimum remidium). Maksudnya dalam psikologi kriminal, hukum pidana diterapkan ataupun pemidanaan tersebut dilakukan apabila tidak ada jalan lain untuk dapat memperbaiki pelaku tindak pidana tersebut. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. B. Hubungan Psikologi Kriminal Dengan Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) Menurut Psikologi perkembangan dan penelitian bahwa kehidupan manusia itu mengalami grafik kehidupan jasmaniah dan rohani. Dari segi kelahirannya sampai masa tua dan setiap waktu usia tertentu terjadi perubahanperubahan hidup yang mempunyai ciri-ciri khusus. Adapun terhadap adanya perubahan-perubahan dan ciri-ciri tertentu itu, para ahli mengadakan pembagian masa kehidupan manusia, yang diantaranya yaitu: 1. Masa progresif 2. Masa stabil 3. Masa regresif ad. 1. Masa Progresif Masa progeresif ini adalah masa pertumbuhan dan perkembangan yang sebenarnya, baik pisik manusia tumbuh dari sejak lahir menjadi dewasa, begitu juga kehidupan atau psikisnya berkembang dari yang paling sederhana mengarah pada fungsi yang kompleks. Kalau ditinjau dari segi usia masa progresif ini dapat dikatakan dari usia 0 – 20 tahun. Masa progresif ini dibagi lagi dalam : 49 Ibid, hal.15: Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Sepriarto Siamanjuntak Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. a. masa anak yaitu umur 0 – 1.6 tahun b. masa estetis yaitu umur 1.6 – 6 tahun c. masa intelektual yaitu umur 6 – 12 tahun d. masa sosial umur 12 – 18 tahun e. masa dewasa umur 18 – 20 tahun 50. Dalam masa progresif ini kita menemui dua kali masa krisis yang merupakan lampu merah dalam kehidupan ini, dimana dalam masa ini terjadi kegoncangan-kegoncangan kejiwaan maupun jasmaniah yang menempatkan seseorang itu dalam keadaan yang harus mendapat perhatian penuh dan mendapatkan pengarahan-pengarahan yang serius. Menurut para ahli masa krisis yang pertama dialami oleh manusia pada umur sekitar 2 – 4 tahun. Dalam masa ini tidak tersalurkan maka akan muncul kembali beberapa tahun sesudahnya. Disamping sifat egosentris juga bersifat keras kepala dan dusta, hal ini disebabkan karena belum tercapainya diferensiasi yang tegas antara berbagai fungsi psikis yaitu fantasi, ingatan dan lain-lain. Aktivitas anak pada masa ini sebagian besar terjadi dari insting meniru. Sifat dan simpati munul terhadap apa yang ditemuinya. Sadistis pada anak pun telah ditemui pada masa ini tapi sifatnya lain dari sadistis pada orang dewasa 51. Masa krisis yang kedua merupakan masa transisi dari masa anak-anak kemasa dewasa. Ditinjau dari segi jasmaniah ditandai dengan tumbuhnya bulubulu pada bagian-bagian genital remaja, dan tenaga-tenaga umumnya terbangun 50 51 Chainur Arrasyid, Pengantar Psikologi Kriminal, Ibid, hal.15 Ibid, hal. 17 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. kuat. Perubahan ini membawa perubahan psikologis terutama dalam keinginan untuk mengetahi sesuatu, dan bertingkah laku. Dengan kata lain terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat dan kuat bail pisik maupun psikis mengakibatkan muculnya perasaan gelisah, pertentangan lahir dan batin dan lainlain dalam rangka pembentukan kepribadian, dalam mencari identitas diri, agar mendapat tempat dalam lingkungan kehidupan. Masa ini merupakan suatu masa prosebility secara umum memilih nilainilai yang tersebut atau menolak segala pengalaman-pengalaman yang ditemui dan dialaminya. Masa ini adalah masa sulit bagi manusia, karena pada masa ini dia tidak mau disebut sebagai anak-anak tetapi juga belum dewasa. Ad. 2. Masa Stabil Masa stabil ini dimulai lebih kurang umur 20 tahun sampai dengan umur 40 tahun. Masa ini disebut dengan masa stabil karena masa ini tidaklah terdapat lagi perubahan-perubahan yang besar baik pisik maupun psikis. Jadi masa ini adalah merupakan pengukuhan fungsi-fungsi yang sudah dimilikinya pada masa sebelumnya. Ad. 3. Masa Regresif Masa regresif ini adalah masa yang mengalami kemunduran psikis maupun pisik. Penglihatan, pendengaran mulai berkurang, tenaga pisik mulai menurun dan tulang-tulang mulai rapuh, fungsi-fungsi mulai berkurang seperti Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. pikiran, perasaan, dan kemauan begitu cita-cita dan sebagainya. Masa regresif ini dimulai lebih kurang usia 40 tahun sampai dengan seterusnya. Pada masa ini ditemui krisis ketiga yaitu pada masa umur 40 tahun sampai dengan umur 45 tahun, hal ini disebabkan karena hal-hal yang telah disebut diatas. Dalam masa ini dikenal masa setengah tua sekitar 50 tahun dan masa tua sekitar 50 tahun keatas. Banyak faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi manusia dalam bertindak, demikian juga yang mempengaruhi kejahatan yang dilakukan oleh seseorang, diantaranya faktor intelegensi, umur dan lain-lain. Menurut ilmu jiwa bahwa kejahatan yang merupakan salah satu tingkah laku manusia yang melanggar hukum ditentukan oleh instansi-instansi yang terdapat pada diri manusia itu sendiri. Hal ini disebabkan karena tingkah laku manusia yang sadar tidak mungkin dipahami tanpa mempelajari alam tak sadar. Para ahli ilmu jiwa dalam hal ini ingin mencoba untuk menganalisa manusia umumnya dengan caracara membahas intern dari hidup manusia itu sendiri. Demikian juga dengan pelaku tindak pidana perdagangan anak, seperti yang dikemukakan oleh Sigmund Freud dengan teori Struktur Personality dan teori keseimbangan dari Alfred Adler. Struktur Kepribadian Manusia (Personality) menurut Sigmund Freud ini dibagi dalam 3 (tiga) aspek yaitu: 1. Das Es Das Es merupakan suber segala sesuatu yang terlupa dan juga unsur kejiwaan yang dibawa bersama kelahiran, misalnya instink yang mengakar Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. pada organ. Freud menganggap bahwa Das Es tidak lain dari pada alam tak sadar. Jadi Das es atau aspek biologis kepribadian ini adalah aspek orginal. Das es berfungsi berdasarkan fungsi kenikmatan, yaitu mencari kenikmatan dan menghindarkan diri dari ketidakenakan. Das es yang merupakan sumber dari segala sesuatu yang terbuka dan unsur kejiwaan yang dibawa sejak lahir adalah merupakan kekuatan-kekuatan hidup seperti nafsu, instink yang terlupakan. Nafsu jelas menginginkan suatu pemuasan dan setiap saat Ia berusaha untuk mencari jalan keluar. Agar pengalamannya jangan bertentangan dengan norma-norma dari kehidupan manusia yang berlaku maka muncullah Das ich. 2. Das Ich Das ich sering juga disebut Ego. Das ich merupakan inti alam sadar. Das ich merupakan pelaksanaan dari segala dorongan yang dikehendaki oleh Das es. Das es memberikan syarat misalnya pada perut dan das ih mengerti bahwa isyarat itu adalah pertanda lapar, dan ego harus bertindak untuk memberikan kepuasan pada yang dikehendaki Das es. Desakan-desakan yang mucul dari Das es ini mendorong alam sadar untuk mengadakan kontak dengan lingkungan sekitar, melaksanakan tindakantindakan yang diperlukan untuk memberikan pemuasan pada kehendak Das es. Maka dengan demikian freud mengatakan ego merupakan suatu jembatan gantung yang menghubungkan antara kebutuhan dan tindakan. Das ich ini Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. timbul dari kebutuhan organisme untuk dapat berhubungan dengan dunia luar secara realistis. 3. Das Uber Ich Das uber ich atau super ego merupakan suatu bagian puncak atau menempati kedudukan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Das es dan Das ich. Segala norma-norma dan tata kehidupan yang pernah mempengaruhi ego membekas dan kemudian bertahan dalam super ego, dan dari sana ia menjalankan kontrol terhadap segal gerak-gerik dari ego. Super ego sebagai alam norma melakukan pengawasan terhadap ego (das ich) tentang apa yang boleh dilakukan, dan super ego menilai tentang apa yang akan dilakukan, sedang dilakukan, dan yang telah dilakukan. Penilaian tersebut dapat berupa teguran-teguran jangan melakukan dan dapat mengizinkan melakukan. Das uber ich merupakan wakil nilai-nilai tradisioanal serta cita-cita masyarakat menurut tafsiran yang dianjurkan dalam masyarakat dengan berbagai perintah dan larangan. Dengan emikian super ego dapat dianggap aspek moral dalam kepribadian. Fungsi Das uber ich yang terutama adalah menentukan apakah sesuatu hal susila atau tidak, pantas atau tidak pantas, benar atau salah, dengan berpedoman kepada ini pribadi dapat bertindak dengan cara yang sesuai moral mayarakat. Ketiga hal ini berhubungan erat sehingga tidak mungkin memisah-misahkan pegaruhnya terhadap tingkah laku manusia. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Teori keseimbangan dari Alfred Adler Alfred Adler adalah seorang murid dari Sigmund Freud. Ia mendirikan aliran individual psikologi. Menurutnya individu berarti tidak terbagi-bagi. Pengertian individu disini adalah individu yang berjiwa. Berjiwa adalah keadaan yang dapat menunjukkan kebebasan bergerak. Sehubungan dengnan proses penyesuaian diri masyarakat dan manusia tidak dapat dipisahkan. Maksudnya tipa individu tak mungkin ada tanpa adanya masyarakat. Menurut Alfred Adler msyarakat lebih dahulu ada baru individu, dan terhadap masyarakat individu itu tidak pernah netral. Tiap individu mempunyai perasaan kemasyarakatan, tetapi didalam masyarakat tersebut tidak mungkin hilang nilainya sebagai individu. Sedangkan individu mempunyai perasaan ingin lebih dari individu lainnya. Jadi kedua perasaan ini yakni perasaan masyarakat dan perasaan ingin lebih bertentangan dan menimbulkan ketegangan pada individu. 52 Agar jangan terjadi ketegangan ini Adler mengemukakan harus ada keseimbangan dan kedua harus berjalan sejajar. Demikian juga dalam diri seseorang yang melakukan tindak pidana perdagangan anak bila kita hubungkan dengan hal ini bahwa perasaan lebih dan perasaan masyarakat tidak berjalan seimbang. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai induvidu ingin lebih dari individu lainnya, tanpa mengindahkan norma-norma yang terdapat dalam masyarakat. 52 Ibid, hal.30 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Psikologi Kriminal merupakan suatu ilmu yang perlu sekali dipelajari oleh setiap orang yang mempunyai keterlibatan dengan dunia kejahatan, seperti penegak hukum untuk mengetahui tentang kejiwaan si penjahat dalam hal menyesuaikan dan mempertimbangkan hukuman yang akan dijatuhkan. Dahulu hakim dalam memberikan hukuman atau putusannya melalui akibat dari perbuatan penjahat itu saja, apabila menurutnya perbuatan tersebut telah sesuai dengan rumusan delik dalam undang-undang yang dilanggarnya, maka hakim menjatuhkan hukumannya tanpa memperhatikan kejiwaan atau pribadi si penjahat. Kini dengan adanya ilmu Psikologi kriminal ini, semuanya itu mengalami perkembangan dan perubahan sehingga hakim tidak lagi melihat dari perbuatannya saja, tetapi juga dari jiwa atau kepentingan mengapa orang itu melakukan kejahatan. Dalam hukum pidana bila seseorang melakukan suatu kejahatan agar dapat dituntut menurut peraturan yang berlaku, maka haruslah memenuhi unsur-unsur dari pada perbuatan itu yakni unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur subjektif yakni pendukung hak yaitu manusia atau badan yang menurut hukum berkuasa menjadi pendukung hak, sedangkan unsur objektifnya ialah segala sesuatu yang berguna bagi subjek dan yang dapat menjadi pokok suatu perhubungan hukum karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh objek hukum. Sehingga dalam hal ini faktor subjektif sangat penting diperhatikan guna meletakkan suatu keadilan yang meteril yaitu apakah seseorang itu mampu bertanggung jawab atas perbuatannya atau si pelaku tidak mampu bertanggung jawab. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Demikian jugalah terhadap pelaku tindak pidana perdagangan anak, perlu diketahui faktor-faktor psikologinya untuk mengungkapkan latar belakang dari perilaku atau kejahatan dari jiwa si pelaku yang melakukan tindak pidana perdagangan anak tersebut. Dengan demikian pengetahuan tentang psikologi kriminal akan dapat menunjang pembentukan maupun penerapan hukum sedemikian rupa sehingga benar-benar berfungsi. C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) Sebelum membahas faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan anak, terlebih dahulu dapat kita lihat faktor-faktor terjadinya kejahatan menurut mazhab-mazhab dalam kriminologi: 1. Mazhab Italia atau Mazhab Antropologi Antropologi berarti ilmu tentang manusia dan merupakan istilah yang sangat tua. Dahulu istlah ini dipergunakan dalam arti lain, yaitu ilmu tentang ciriciri tubuh manusia. Dalam pandangan kriminologi yang mempelajari sebab-sebab terjadinya kejahatan dengan cara mempelajari bentuk tubuh seseorang. Mazhab Antropologi ini berkembang sekitar tahun 1830-1870 yang dipelopori oleh Gall dan Spurzheim. Menurut Yoseph Gall bahwa bakat dan watak manusia ditentukan Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. oleh otak dan sebaliknya otak memberi pengaruh pula pada bentuk tengkorak. Oleh karena itu, tengkorak dapat diperhatikan dan diukur, maka pembawaan, watak dan bakat manusia dapat dipelajari secara ilmiah 53. Mazhab antropologi baru dikenal sejak C.Lambroso (1835-1909) menerbitkan bukunya yang berjudul “L’uomodelin quente”. Menurut beliau orang yang melakukan kejahatan dapat dikenali dari tanda-tanda lahir (tipologi penjahat), yaitu: 1. Tulang rahang lebar 2. Roman muka yang tidak harmonis 3. Tengkorak yang tidak simestris 4. Hidung pesek 5. Tulang dahi melengkung 6. Suka akan tato Jadi menurut Lambroso seorang penjahat itu memang sejak dilahirkan sudah akan menjadi penjahat (kriminal is born). Pendapat Lombroso ditentang oleh Benedikit dan L. Monourveir. Menurut mereka penjahat tidak dapat ditentukan dengan ciri-ciri fisik, tetapi hanya dapat ditentukan oleh keadaan di sekelilingnya, tambahan pula angka-angka statisik yang dikemukakan Lambroso kurang teliti, tidak dibandingkan dengan yang bukan penjahat sebagai control group. Seandainya dibandingkan, pasti pada yang bukan penjahat pun akan ditemukan penyimpangan antropologis seperti yang dikemukan oleh Lambroso. Sehingga dengan kata lain pernyatan Lambroso 53 Made Darma Weda, Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada, hal.16 Anak (Child Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana1996, Perdagangan Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. tersebut bukan berdasarkan pada hasil penelitian, tetapi atas dugaan semata. Kemudian Lambroso mengemukakan bahwa penjahat memiliki sifat ativisme. Penjahat seolah-olah memiliki sifat nenek moyang yang terjauh, sifat yang tidak lagi dimiliki oleh nenek moyang terdekat. Orang primitive bersifat asusila, tetapi tahap demi tahap memiliki susila. Jadi bila ada orang bersifat asusila, berarti dia memiliki sifat nenek moyang dulu kembali (atavisme). Kemudian CH. Goring, seorang dokter Inggris menentang Lambroso dengan mengadakan penelitian terhadap sejumlah mahasiswa yang memenuhi cirri-ciri seperti yang dikatakan Lambroso di Universitas Cambridge dan Oxford. Ternyata dari hasil penelitian bahwa sebagian besar diantaranya adalah termasuk manusia yang baik serta tidak pernah melakukan kejahatan yang luar biasa. Dalam lingkungannya mereka dianggap sebagai orang yang berkelakuan baik. Menjawab pertanyaan CH Goring tersebut diatas, E. ferri seorang murid dari lambroso mengatakan bahwa kejahatan itu timbul karena dua (2) faktor yaitu, faktor individu dan faktor lingkungan. 2. Mazhab Perancis atau Mazhab Lingkungan Mazhab Prancis atau mazhab lingungan berdasarkan pada perekonomian lingkungan, hasil aetiologi dalam sosiologi kriminal dan keadaan sekeliling. Mazhab Prancis atau mazhab lingkungan adalah mazhab yang datang dari kalangan para dokter Prancis yang mengajukan tentang mazhab antropologi Lombroso. Para dokter Prancis menganut garis-garis yang diberikan oleh J. Lamarck, E. Geoffry St Hileire dan L Pasteur, yang menerangkan pada arti Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. lingkungan sebagai sumber dari bermacam-macam sebab dari segala penyakit. Golongan ini tidak tergabung dengan golongan ahli sosiologi statistik yang pada dasarnya termasuk golongan ahli teori keadaan sekeliling atau teori lingkungan dengan lingkaran pelajaran yang mengajarkan bahwa kejahatan berasal dari kelahiran. Mereka adalah dokter yang bukan ahli sosiologi, biarpun mereka mempunyai penglihatan yang tajam tentang keadaan masyarakat. Pelopor mazhab ini antara lain A. Lacasagne (1843-1924) seorang guru besar dalam hukum kedokteran di perguruan tinggi Lyon, dan G. Tarde (18431924) ahli hukum dan sosiologi yang menyatakan kejahatan bukan suatu hal yang antropologis tetapi sosiologis seperti kejadian-kejadian masyarakat lainnya dikuasai oleh hasrat meniru, dalam bukunya antara lain “Les Dois de Limitation”. Mazhab perekonomian lingkungan mulai berkembang pada penghabisan abad ke 19 ketika timbul sistem baru dalam perekonomian dan kejahatan kelihatan bertambah. Teori baru dalam kemasyarakatan yang timbul pada pertengahan abad ke 19 yang pandangan masyarakatnya berdasarkan keadaan ekonomi akan mengarah kedalam kriminologi. Menurut teori ini unsur-unsur ekonomi dalam masyarakat dipandang dari sudut dinamis adalah primair dan dipandang dari sudut statis merupakan dasarnya. Terdapat dalam ajaran K. Mark di dalam bukunya “Zur Kritik der Politischen Oekonomie” (1895). Tokoh pertama dari aliran ini adalah F. Turrati di dalam bukunya “Ildelito e la question sosiale” (1883) yang mengkritik mazhab Italia dalam bagian positif ia juga nafsu ingin memiliki yang berhubungan erat Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. dengan sistem ekonomi pada waktu sekarang mendorong kejahatan perekonomian. N. Colojanna (1847-1927) dalam bukunya “sosiologis kriminale” (1887) menyatakan juga adanya hubungan antara krisis dengan bertambahnya kejahatan dengan keadaan patolois sosial seperti pelacuran yang juga berasal dari adanya perekonomian, dan kejahatan politik karena ekonomi. Beliau juga menekankan adanya hubungan antara sistem ekonomi dan unsur-unsur umum dalam kejahatan, yakni hak milik mendorong untuk mementingkan diri sendiri dan oleh karyawan yang mendekatkan pada pekerjaan. Untuk mencegah kejahatan adalah dengan suatu sistem ekonomi yang dapat mencapai pertimbangan yang tetap dan pembagian yang tetap dan pembagian kekayaan yang sama-ratanya. 54 Hasil aetiologi dalam sosiologi kriminal antara lain terlantarnya anakanak, kesengsaraan, nafsu ingin memiliki, ketagihan minuman keras, kurangnya peradaban dan perang. Keadaan sekelilignya dalam hal ini ada dua pengaruh atas manusia yakni pengaruh langsung dari iklim dan pengaruh tidak langsung terutama tanah dengan melalui masyarakat, misalnya keharusan menyelenggarakan pengairan daerah tertentu di dunia timur mengakibatkan adanya pemerintahan diktatori. W. A. Bonger mengemukakan beberapa jenis kejahatan yang dapat timbul akibat pengaruh keadaan sekelilingnya ini yaitu kejahatan ekonomi, kejahatan terhadap kelamin, kejahatan kekerasan dan kejahatan politik. 54 Bouman, Sosiologi Pengertian dan masalah, cetakan keenam, Yayasan Kanisius, Semarang, 1961, hal. 101 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. 3. Mazhab Bio-Sosiologis Ajaran Bio-sosiologi merupakan perpaduan antara ajaran antropologi dan ajaran sosiologi. Ajaran ini pertama kali diperkenalkan oleh Ferry yang pada mulanya adalah pengikut Lombroso. Ferry mengetahui bahwa ajaran Lombroso tidak dapat dipertahankan, maka ia memuat suatu rumusan tentang timbulnya kejahatan sebagai berikut: “tiap-tiap kejahatan adalah hasil dari unsur-unsur yang terdapat dalam individu, masyarakat dan keadaan fisik. 55 Ferry memberikan rumusan dari faktor timbulnya kejahatan yaitu: unsur individu + unsur lingkungan, tetapi yang terpenting adalah unsur individunya. Bonger tidak setuju dengan rumusan yang dikemukakan oleh Ferry tersebut. Kemudian Bonger menyatakan bahwa rumusan dari tiap-tiap kejahatan itu adalah: lingkungan + bakat + lingkungan. 56 Menurut Bonger bahwa unsur lingkungan berpengaruh dua kali lipat terhadap kejahatan manusia. Faktor individu menurutnya meliputi bakat, kelainan jiwa, corak kejiwaan sesuai dengan perkembangan usia dan sakit syaraf. Ajaran Bio-Sosiologi ini menjadi ajaran yang sangat berpengaruh dan bertahan lama. Tokoh-tokoh dari ajaran BioSosilogi ini antara lain : A. D. Prins, G. A. van Hamel, D. Simons. 4. Mazhab Spritualis 55 56 W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Ibid, hal. 133. Ibid, hal. 134 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Ajaran ini pada pokoknya berpendapat bahwa penyebab timbulnya kejahatan adalah disebabkan karena orang-orang telah meninggalkan atau tidak lagi memperdulikan ajaran agamanya, sehingga rasa takut akan Tuhan dan rasa menyesal terhadap perbuatannya yang jahat tidak ada lagi. De Baets menyatakan dalam berkurangnya daya yaitu agama, merupakan salah satu sebab terpenting dari penambahan jumlah kejahatan. 57 Krauss beranggapan makin meluasnya pengasingan diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pandangan hidup dan pandangan dunia tidak berdasarkan agama, adalah merupakan dasar hitam dimana kejahatan dan keburukan berkembang subur. 58 Tokoh dari aliran antara lain: A. Von Oettingen, H. Stursberg, F. A. Krauss, L. Proal dan H. Joly di Prancis dan M. Baets dari Belgia. Mereka ini umumya berpendapat bahwa jumlah orang yang beribadah berkurang maka kejahatan akan bertambah, jadi terlihat hubungan sebab akibat. 59 Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Tentang definisi kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat diantara para sarjana. R.Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara yuridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis sebagai berikut 60 : 57 Ibid, hal. 143 Ibid, hal. 143 59 W.A. Bonger, Pengantar Tentang Psikologi Kriminal, Ibid, hal. 100 60 Syahruddin Husein, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Upaya Penanggulangannya, FH USU, Medan, (Digital Library USU.Com, 2003) 58 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. “Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban” Sementara itu, J.M. Bemmelem memandang kejahatan adalah suatu tindakan anti sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan masyarakat, negara harus menjatuhkan hukuman kepada penjahat. M.A.Elliot mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu problem dalam masyarakat modern atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dapat dijatuhi hukuman penjara, hukumn mati dan hukuman denda dan seterusnya. W.A. Bonger mengatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderiataan. J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro dalam bukunya “Paradoks Dalam Kriminologi” menyatakan bahwa 61: “Kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relative, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, 61 J.E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Paradoks Dalam Kriminologi, Rajawali, Jakarta, 1982, hal.15 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu”. Edwin. H. Sutherland dalam bukunya Principles of Criminology menyebutkan tujuh unsur kejahatan yang saling bergantungan dan saling mempengaruhi. Satu perbuatan tidak akan disebut kejahatan kecuali apabila memuat semua tujuh unsur tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah: 62 1. Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian; 2. Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus dikemukakan dengan jelas dalam hukum pidana; 3. Harus ada pebuatan atau sikap membiarkan suatu perbuatan yang disengaja atau sembrono yang menimbulkn akibat-akibat yang merugikan; 4. Harus ada maksud jahat (mens rea); 5. Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan kejahatan diantara maksud jahat dengan perbuatan; 6. Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang undangundang dengan perbuatan yang disegaja atas keinginan sendiri; 7. Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang. Marshall B. Clinard dan Richard Quinney menyatakan tipe kejahatan yang didasarkan pada 4 karakteristik yaitu: 63 1. karir penjahat dari si pelanggar hukum; 2. sejauh mana perilaku itu memperoleh dukungan kelompok; 62 Edwin H. Sutherland, Asas-Asas Kriminologi, Alumni, Bandung: 1969, hal. 12. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. 3. hubungan timbal balik antara kejahatan pola-pola perilaku yang sah; 4. reaksi sosial atas kejahatan. Tipologi kejahatan yang mereka susun adalah sebagai berikut: a. Kejahatan perorangan dengan kekerasan yang meliputi bentuk-bentuk perbuatan criminal seperti pembunuhan dan pemerkosaan, pelaku tidak menganggap dirinya sebagai penjahat dan sering kali belum pernah melakukan kejahatan tersebut sebelumnya, melainkan karena keadaankeadaan tertentu yang memaksa mereka melakukannya. b. Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu, termasuk kedalamnya antara lain pencurian kendaraan bermotor. Pelaku tidak selalu memandang dirinya sebagai penjahat dan mampu memberikan pembenaran atas perbuatannya. c. Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang pada umumnya dilakukan oleh orang yang berkedudukan tinggi. Pelaku tidak memamdang dirinya sebagai penjahat dan memberikan pembenaran bahwa kelakuannya merupakan bagian dari pekerjaan sehari-hari. d. Kejahatan politik yang meliputi penghianatan, spionase, sabotase, dan sebagainya. Pelaku melakukannya apabila mereka merasa perbuatan illegal itu sangat penting dalam mencapai perubahan-perubahan yang diinginkan dalam masyarakat. 63 Edwin H. Sutherland, Ibid, hal. 15. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. e. Kejahatan terhadap ketertiban umum. Pelanggar hukum memandang dirinya sebagai penjahat apabila mereka terus-menerus ditetapkan oleh orang lain sebagai penjahat, misalnya pelacuran. Reaksi sosial terhadap pelanggaran hukum ini bersifat informal dan terbatas. f. Kejahatan konvensional yang meliputi antaara lain perampokan dan bentukbentuk pencurian terutama dengan kekerasan dan pemberatan. Pelaku menggunakanya sebagai part time carreer dan sering kali untuk menambah penghasilan dari kejahatan. Perbuatan ini berkaitan dengan tujuan-tujuan sukses ekonomi, akan tetapi dalam hal ini terdapat reaksi dari masyarakat karena nilai pemilikan pribadi telah dilanggar. g. Kejahatan terorganisasi yang dapat meliputi antara lain pemerasan, pelacuran, perjudian terorganisasi serta peredaran narkotika dan sebagainya. Pelaku yang berasal dari eselon bawah memandang dirinya sebagai penjahat dan terutama mempunyai hubungan dengan kelompok-kelompok penjahat, juga terasing dari masyarakat luas, sedangkan para eselon atasnya tidak berbeda dengan masyarakat lain dan bahkan sering kali bertempat tinggal dilingkunganlingkungan pemukiman yang baik. h. Kejahatan professional yang dilakukan sebagai suatu cara hidup seseorang. Mereka memandang diri sendiri sebagai pejahat dan bergaul dengan penjahatpenjahat lain serta mempunyai status tinggi dalam dunia kejahatan. Mereka sering juga cenderung terasing dari masyarakat luas serta menempuh suatu karir penjahat. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan ini tidak selalu keras. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Dengan mengembangkan suatu typologi mengenai kejahatan dan penjahat, maka akan diperoleh gambaran yang lengkap dan cermat mengenai pelaku dan kejadiannya serta sejumlah ciri umum dari kejahatan dan penjahat yang lebih jauh dapat dipakai untuk menentukan teknik-teknik yang lebih membawa hasil dalam kerangka pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar hukum. 64 Dari beberapa bentuk kejahatan diatas, kejahatan atau Tindak Pidana Perdagangan Anak (manusia) termasuk dalam bentuk kejahatan yang terorganisir. Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang menjadi tolak ukur semakin maraknya perdagangan anak. Tidak ada satupun yang merupakan sebab khusus terjadinya trafficking manusia di Indonesia. Trafficking disebabkan oleh keseluruhan hal yang terdiri dari bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda. Termasuk kedalamnya adalah: 1. Kemiskinan Penduduk yang miskin mungkin akan lebih rentan terhadap perdagangan, tidak hanya karena lebih sedikitnya pilihan yang tersedia untuk mencari nafkah, tetapi juga karena mereka memegang kekuasaan sosial yang lebih kecil, sehingga mereka tidak mempunyai terlalu banyak akses untuk memperoleh bantuan dan ganti rugi. Sebuah studi mengenai perdagangan di 41 negara menunjukkan bahwa 64 Ibid, hal.19 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. keinginan seseorang untuk memperbaiki status ekonominya dan kurangnya kesempatan untuk mewujudkan hal itu di tempat asalnya merupakan satu dari sejumlah alasan utama mengapa banyak orang memilih bermigrasi untuk memperoleh pekerjaan. 65 Ekonomi menjadi alasan utama dalam isu perdagangan anak, karena tidak mempunyai pekerjaan sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan juga pengaruh krisis yang mengakibatkan kurangnya daya beli terhadap kebutuhan-kebutuhan pokok yang semakin mahal. Latar belakang keluarga yang tergolong pada ekonomi menengah kebawah, memaksanya untuk melakukan suatu pekerjaan yang menurut hukum itu dilarang, hal tersebut terpaksa dilakukan guna mencukupi kebutuhan keluarga dengan cara yang relatife singkat. 66 Alasan yang dinyatakan para korban anak, putusnya sekolah dan mengharuskan mereka bekerja. Antara lain orang tua yang tidak mampu memenuhi kebutuhan anak sementara anak bergaul dalam gaya hidup yang berlebihan ini akan mempengaruhi anak dalam mengambil keputusan dalam menentukan kerja bahkan remaja wanita tidak segan-segan bekerj sebagai pekerja seks “ABG” di tempat-tempat tertentu. Plato menyatakan bahwa : “Kekayaan dan kemiskinan menjadi bahaya besar bagi jiwa orang, yang miskin sukar memenuhi kebutuhan hidupnya dan merasa rendah diri dan timbul hasrat 65 http://www.bainfokomsumut.go.id, yang diakses terakhir kali pada tanggal 28 Maret 2009, pukul 15.00 WIB 66 Hasil Wawancara dengan terdakwa (pelaku) Tindak Pidana Perdagangan Anak di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bengkalis, Riau. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. untuk melakukan kejahatan, sebaliknya juga orang kaya hidup mewah untuk segala hiburannya” 67 Oleh sebab itu kesenjangan kehidupan sosial ekonomi antara golongan kaya dan miskin perlu diperbaiki. Perubahan dan perbedaan kesenjangan sosial ekonomi menimbulkan banyak konflik yang mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan. Sebuah pengkajian mengenai kondisi ekonomi di Indonesia juga memperlihatkan bahwa meski beberapa masyarakat daerah pengirim terbesar memiliki median penghasilan yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional, sejumlah masyarakat daerah pengirim besar lainnya memiliki media penghasilan yang relatif tinggi. Sehingga jelas bahwa kemiskinan bukan satusatunya faktor yang mempunyai andil dalam menciptakan kerentanan terhadap perdagangan. Tetapi keinginan untuk menikmati penghasilan lebih tinggilah yang mendorong orang memasuki siklus migrasi, menghadapi risiko diperdagangkan. Dengan status sosial mereka yang lebih rendah, penduduk miskin juga mempunyai kekuatan yang lebih sedikit untuk menyuarakan keluhannya, atau untuk memperoleh bantuan dari pihak berwenang. 2. Kurangnya Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan yang rendah, meski tingkat pendidikan di Indonesia telah mencapai kemajuan dalam beberapa dasawarsa terakhir, masih banyak penduduk yang mengecap tidak lebih dari beberapa tahun pendidikan di bangku 67 Noach Simanjuntak, Kriminologi, Tarsito, Bandung 1984, hal. 53 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. sekolah dasar. Terpaksa berhenti dari bangku sekolah karena tidak mempunyai biaya, dan dipaksa untuk bekerja mencari uang, itulah yang dialami oleh Resmita Sitepu pelaku Tindak Pidana Perdagangan Anak yang terpaksa berhenti bangku persekolahan. Menjadi guru, merupakan cita-citanya sejak kecil namun jenjang pendidikannya di SPG (Sekolah Pendidikan Guru) terpaksa kandas ditengah jalan. 68 Selain itu, di dalam keluarga yang tidak mampu mengirimkan semua anak mereka ke sekolah, prioritas umumnya akan diberikan pada anak lelaki. Juga ada kesenjangan besar dalam tingkat pendidikan yang mampu dicapai penduduk kota dengan yang mampu dicapai penduduk desa, di mana perempuan di daerah pedesaan mempunyai tingkat pendidikan yang paling rendah. Meski tingkat melek huruf nasional telah membaik [80,5% untuk perempuan, 90,9% untuk lelaki] (UNDP/BPS, 2001:79)], masih ada kantung-kantung buta huruf di banyak bagian di negara ini. Banyak dari daerah-daerah ini, di mana tingkat pendidikan yang rendah dan tingkat buta huruf yang tinggi lazim dijumpai, juga merupakan daerah pengirim besar untuk perdagangan. Contohnya, daerah Indramayu, Jawa Barat, yang terkenal sebagai daerah pengirim buruh migran dan terutama pekerja seks, hanya memiliki tingkat melek huruf untuk perempuan sebesar 55,5% (UNDP/BPS, 2001:92), jauh di bawah rata-rata nasional. Tingkat pendidikan yang rendah dan kebutahurufan membuat orang menghadapi risiko yang lebih besar untuk mengalami eksploitasi dan perdagangan, karena mereka tidak mampu membaca atau memahami kontrak kerja atau dokumen imigrasi. Hambatan itu 68 Hasil Wawancara dengan terdakwa (pelaku) Tindak Pidana Perdagangan Anak di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bengkalis, Riau. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. juga akan semakin menyulitkan mereka dalam mencari bantuan, karena mereka tidak mengetahui hak-hak mereka, tidak mampu membaca petunjuk, atau dalam beberapa kasus, tidak dapat berbicara dalam bahasa setempat. 3. Peran Perempuan dalam Keluarga Menjadi orang tua tunggal (single parent) dari usia perkawinan yang relatife masih muda ± 15 (lima belas) tahun, memaksa Resmita Nelly Sitepu untuk mampu menghidupi keluarganya, membiayai sekolah kedua orang anaknya meskipun tanpa bantuan sang suami yang telah meninggal dunia. 69 Pada hakekatnya peran perempuan dalam keluarga adalah terpusat di rumah. Tugas utama perempuan adalah sebagai istri dan ibu; mengurus keluarga dan rumah. Namun tanggung jawab ini juga termasuk memastikan bahwa keluarganya memiliki penghasilan untuk bertahan hidup. Banyak perempuan yang menjadi pencari nafkah utama dalam rumah tangga mereka. Jika sebuah keluarga membutuhkan nafkah, seorang perempuan mungkin akan memutuskan untuk meninggalkan keluarganya, untuk bermigrasi guna mencari pekerjaan agar dapat mengirim uang ke kampung sehingga keluarganya dapat bertahan hidup. Dengan meninggalkan keluarganya untuk pergi bermigrasi untuk mencari pekerjaan, seorang perempuan dapat menjadi rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, dan perdagangan dalam proses migrasi. Status dan Kekuasaan Banyak faktor, 69 Hasil Wawancara dengan terdakwa (pelaku) Tindak Pidana Perdagangan Anak di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bengkalis, Riau. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. termasuk usia, gender, kekayaan, pendidikan, dan kelas, yang menentukan status sosial dan kekuasaan di Indonesia. Gabungan dari semua faktor ini menentukan status sosial relatif seseorang. Misalnya, seorang perempuan muda dan kaya dari keluarga kelas atas dapat memiliki lebih banyak status ketimbang seorang lelaki tua yang miskin. Perempuan desa yang masih muda dan berpendidikan rendah tidak memiliki banyak kekuasaaan atau pengaruh sosial. Mereka mungkin merasa tidak mempunyai daya untuk berbicara, menentang mereka yang duduk di posisi yang lebih tinggi. Perdagangan menggunakan kekuasaan ini secara halus maupun paksa. Kepala desa, anggota keluarga, atau tetangga yang disegani, dapat menggunakan posisi mereka yang lebih tinggi untuk membantu perekrut dengan cara membujuk atau menipu korban atau keluarganya; sementara pihak lain mungkin akan menggunakan kekuasaan mereka melalui kekerasan atau ancaman kekerasan, atau untuk menyuap pejabat demi memperoleh kerja sama mereka. 4. Peran Anak Dalam Keluarga Di dalam masyarakat Indonesia, anak tidak hanya diharapkan untuk menghormati dan mematuhi orang tuanya, tetapi juga membantu mereka. Bantuan ini bisa macam-macam bentuknya, misalnya mulai dari menjaga adik, membantu keluarga di ladang seusai sekolah, sampai bekerja penuh waktu. Sebuah studi menyatakan bahwa di Indonesia, 8,3% anak yang berusia antara 10-14 tahun dan 38,5% anak yang berumur 15-19 tahun bekerja di luar rumah. Karena tradisi Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. budaya ini, banyak bentuk perburuhan anak yang dapat disebut sebagai perdagangan jika dilihat dari standar internasional, dianggap normal di Indonesia. 70 5. Korupsi & Lemahnya Penegakan Hukum Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafficking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap trafficking karena migrasi ilegal. Kurangnya budget/anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafficking menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku trafficking. Berdasarkan wawancara penulis dengan pelaku (terdakwa) Tindak Pidana Perdagangan Anak, ada beberapa faktor yang mengakibatkannya melakukan Tindak Pidana Perdagangan Anak tersebut, antara lain : 1. Faktor Ekonomi Terdakwa Tindak Pidana Perdagangan Anak berasal dari keluarga yang kurang mampu, Ayahnya seorang supir sedangkan Ibunya seorang petani. Anak ke tiga dari delapan bersaudara ini semasa kecilnya sangat kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari keluarganya, sehingga kondisi yang demikian 70 Irwanto dkk, Op.Cit, hal,28 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. sangat mempengaruhi perkembangan hidupnya. Karena hidup keluarganya sangat berkekurangan mengakibatkan Ia harus putus sekolah dan akhirnya kawin muda. Setelah putus dari bangku persekolahan, Ia bekerja sebagai pedagang sayur-sayuran di pajak sentral sambu, dan juga berjualan pakaian-pakaian bekas. Meskipun demikian, dari hasil pekerjaannya tersebut masih belum bisa membantu perekonomian orangtuanya untuk menghidupi seluruh keluarganya. 2. Faktor Latar Belakang Keluarga Dengan kondisi ekonomi keluarga yang demikian, akhirnya terdakwa di paksakan untuk menikah muda dengan seorang supir angkutan umum. Kondisi keluarga barunya hampir sama dengan keluarganya sebelumnya. Dari hasil perkawinannya tersebut, Ia dikaruniai dua orang anak yaitu laki-laki dan perempuan. Setelah menjalani bahtera keluarga lebih kurang 15 tahun, akhirnya suaminya meninggal dunia dan selang beberapa tahun kemudian anak laki-lakinya juga meninggal dunia akibat di bunuh oleh orang yang dekat dengan keluarga mereka, sedangkan anak perempuannya menikah muda dan pindah ke daerah Jawa. Dari kisah kehidupannya yang lalu tersebut, akhirnya menggoncang kejiwaan nya dan tidak dapat berpikir untuk bekerja yang lebih positif lagi, sehingga ia terpaksa melakukan suatu pekerjaan yang bisa mendatangkan uang dalam jumlah yang relatif besar, meskipun pekerjaan yang dilakukannya tersebut bertentangan dengan hukum. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. D. Upaya-Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) Berbicara mengenai perdagangan (trafficking) terhadap anak, maka dapat dikatakan bahwa tindak pidana perdagangan anak tersebut merupakan suatu pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan sebuah masalah yang sampai saat ini belum dapat terpecahkan karena masih kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai masalah perdagangan manusia tersebut dan bahkan si korban sendiri pun tidak mau melaporkan hal tersebut kepada pihakpihak yang berwajib. Oleh karena itu hingga sekarang masalah ini tidak dapat terpecahkan, dan semakin meningkatnya anak-anak yang menjadi korban perdagangan (trafficking) ini, yang seharusnya masalah ini menjadi tanggung jawab kita semua. Masalah perdagangan orang terkhususnya perdagangan anak ini seharusnya menyadarkan kita bahwa upaya menggalang kerjasama melalui kemitraan merupakan satu-satunya cara yang harus dikembangkan agar penanganan masalah ini menjadi lebih efektif dan efisien. Sesungguhnya upaya penanggulangan terhadap masalah perdagangan anak ini tidaklah mudah dan sederhana seperti yang kita bayangkan, untuk itu sangat diperlukan keterlibatan LSM dalam dan luar negeri, organisasi masyarakat, media massa (Koran, majalah, TV, radio, dan sebagainya) disamping pemerintah sendiri dalam upaya penanggulangan perdagangan anak tersebut. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan anak, diantaranya : 1. Upaya Preventif, yaitu kegiatan yang ditujukan untuk menghilangkan kesempatan terjadinya suatu peristiwa atau upaya preventif ini merupakan sebuah upaya pencegahan anak untuk tidak diperdagangkan, tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak anak, bahaya eksploitasi seksual dari cara yang digunakan oleh si pelaku, misalnya : • melalui kegiatan patroli, penjagaan baik secara terbuka maupun tertutup terhadap tempat-tempat daerah dan saat/ waktu yang dianggap rawan terjadinya peristiwa. • Upaya pencegahan dan penanganan yang komprehensif dengan meningkatkan ketahanan masyarakat umumnya dan ketahanan keluarga khususnya di berbagai bidang, misalnya ketahanan sosial, ekonomi dan budaya mayarakat, yang diharapkan dapat menangkal aktivitas pelaku kejahatan perdagangan anak melalui sistem ketahanan dan pengawasan masyarakat. Melihat faktor penyebab adanya bentuk/ pola tindakan kejahatan orang terutama perdagangan anak maka upaya pencegahan dan penanggulangannya perlu dilakukan secara terpadu antara bidang-bidang dengan peran serta masyarakat antara lain bidang ekonmi dengan meningkatkan pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan kesejahteraan. Sedangkan dibidang budaya, telah menumbuhkan budaya untuk penghapusan atau pengikisan nilai-nilai atau tradisi budaya yang memposisikan anak-anak maupun perempuan dalam posisi yang lebih Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. rendah. Adanya pengembangan pendidikan alternative bagi perempuan dan anak melalui pendidikan, keterampilan perempuan dan anak untuk meningkatkan kemandiriannya. Oleh karena itu perlu ditingkatkan keterlibatan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) di mana hal ini sekaligus menunjukkan bentuk tanggung jawab dari masyarakat karena pentingnya peran serta dari civil society untuk mencegah muculnya berbagai tindak kejahatan. 71 • Adanya kesadaran multi-media bagi masyarakat umum, kesadaran tentang hak-hak anak dan hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan anak akan terwujud dalam semua sektor masyarakat, baik anak maupun orang dewasa melalui program pendidikan dan promosi multimedia tentang Konvensi Hak Anak, termasuk produksi program dan material tentang hak anak. Program tersebut akan diperkenalkan untuk memberikan informasi melalui radio, TV, dan media tentang hak-hak anak, ekploitasi dan perdagangan seks, dan situasi anak yang terjadi. • Peningkatan kesadaran atau sensitifitas bagi staf pemerintah dan staf professional lainnya, dalam hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan diskusi tentang hak-hak dan eksploitasi seksual terhadap anak dan akan diorganisasikan bagi para professional sector swasta dan pemerintah, termasuk polisi, pegawai pengadilan, pengacara, pekerja kesehatan, Pemda untuk meningkatkan sensitifitas mereka terhadap isu tersebut. 71 http :// www.repubika.or.id Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. • Program-program dari anak untuk anak, program dari anak dan untuk anak ini akan diperkenalkan untuk meningkatkan kesadaran mereka mengenai ekplotasi anak dan pengetahuan mereka tentang hak-hak anak. • Peningkatan kesadaran melalui program pendidikan informal dan pustaka keliling, yaitu peningkatan kesadaran tentang eksploitasi seksual anak akan dikembangkan melalui jalur pendidikan informal. Dapat dilakukan dibawah departemen pemberdayaan perempuan dan departemen pendidikan. 2. Penanggulangan secara represif, hal ini merupakan wujud pertanggungjawaban melalui jalur penal (hukum pidana) karena pada dasarnya menekankan pada sifat penindasan ataupun pemberantasan. 72 Dengan membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang lebih menjamin hakhak setiap individu baik terhadap anak-anak (termasuk yang didalam kandungan) dan juga terhadap orang-orang yang dewasa, sehingga dengan demikian hukum semakin ditegakkan. 72 Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijkan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung 1996, hal. 49 Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. BAB IV KASUS DAN ANALISIS KASUS A. Kasus Posisi 1. Kronologis - Bahwa berawal pada hari Senin tanggal 16 Juni 2008, ketika MERI binti BAEK PURBA TANJUNG bertemu dengan SARAGIH (dalam pencarian polisi) di Terminal Pematang Siantar dan di tawarkan sebagai pekerja disebuah rumah makan di Duri, dan MERI binti BAEK PURBA TANJUNG kemudian menyetujuinya. - Selanjutnya pada hari itu juga SARAGIH membawa MERI binti BAEK PURBA TANJUNG dengan bus kearah Duri. Sesampainya di Duri pada hari Selasa tanggal 17 Juni 2008, tersangka datang menjemput SARAGIH dan MERI binti BAEK PURBA TANJUNG di sebuah rumah makan lalu membawa MERI binti BAEK PURBA TANJUNG ke cafe milik tersangka di daerah Simpang Puncak jalan Balak Desa Sebanggar Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis. - Setelah itu tersangka menyerahkan uang kepada SARAGIH sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah), dan SARAGIH meninggalkan MERI binti BAEK PURBA TANJUNG bersama dengan tersangka. Kemudian SARAGIH mengatakan kepada Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. MERI binti BAEK PURBA TANJUNG bahwa untuk sementara waktu agar bekerja dengan tersangka dahulu. - Bahwa tersangka mempekerjakan MERI binti BAEK PURBA TANJUNG di café miliknya sebagai pekerja seks komesial untuk melayani tamu laki-laki yang datang dan mengencam MERI binti BAEK PURBA TANJUNG apabila ingin pergi dari café tersebut, agar melunasi terlebih dahulu uang yang telah dikeluarkan tersangka untuk mendapatkan MERI binti BAEK PURBA TANJUNG sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah). 2. Dakwaan Nama Lengkap : Resmita Nelli Sitepu Binti Muayar Sitepu Tempat Lahir : Medan Umur/ Tgl. Lahir : 43 Tahun / 17 Agustus 1964 Jenis Kelamin : Perempuan Kewaganegaraan : Indonesia Tempat Tinggal : Simpang Puncak, Jl. Balak Desa Sebangar Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis Agama : Islam Pekerjaan : Wiraswasta Pendidikan : SPG (tidak tamat) Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Jaksa Penuntut Umum mengajukan Terdakwa RESMITA NELLI SITEPU binti MUAYAR SITEPU ke depan sidang Pengadilan Negeri Bengkalis dengan dakwaan sebagai berikut: - Dakwaan Primer Pasal 2 ayat (1) jo pasal 17 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 yaitu: setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah), jo Pasal 17 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 yaitu jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). - Dakwaan Subsider Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Pasal 12, jo Pasal 17 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau percabulan lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. 3. Fakta Hukum a. Keterangan saksi-saksi, yang menerangkan sebagai berikut: 1. MERI Binti BAEK PURBA TANJUNG (Saksi Korban) - Bahwa benar pada tanggal 16 Juni 2008 saat saksi berada diterminal baru Pematang Siantar (SUMUT), saksi didatangi oleh saudara SARAGIH (DPO) dan mengajak serta membujuk saksi untuk bekerja disebuah rumah makan, kemudian saksi setuju dengan janji yang diucapkan oleh sdr SARAGIH (DPO). - Bahwa pada hari itu juga mereka berangkat, setelah saksi meminta izin dari orangtuanya untuk bekerja di Rantau Perapat, namun tidak mengatakan bahwa saksi pergi bersama SARAGIH (DPO) Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. lalu saksi dan SARAGIH (DPO) berangkat dengan menggunakan Bus dan saksi juga tidak tahu kemana tujuannya. - Bahwa benar keesokan harinya yaitu hari Selasa tanggal 17 Juni 2008 pada saat itu masih malam hari, saksi turun di sebuah rumah makan dan kemudian datanglah seorang perempuan bernama NELLI menjemput saksi dan SARAGIH (DPO) dan membawa saksi kesebuah cafe atau warung. Saksi mengatakan kepada SARAGIH (DPO) “Lo..kok kesini diantar aku, kan janjinya kerumah makan” lalu SARAGIH (DPO) mengatakan “sementara kau kerja disini dek” karena hanya bekerja sementara, akhirnya saksi mau bekerja ditempat tersebut. - Bahwa benar saksi bekerja diwarung terdakwa dan ada melayani tamu laki-laki dikamar warung tersebut untuk melakukan hubungan kelamin atau zinah dan saksi dibayar lelaki tersebut sebesar Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) dan saksi tidak digaji oleh terdakwa. - Bahwa terdakwa pernah mengancam saksi apabila tidak mau menjadi pelacur atau melayani laki-laki maka saksi harus melunasi utang saksi kepada terdakwa yakni sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) karena terdakwa sudah mengeluarkan uang untuk biaya mendatangkan saksi dari Pematang Siantar (SUMUT). - Bahwa benar karena merasa tertipu, dan saksi juga dipaksa untuk menjadi PSK diwarung tersebut akhirnya saksi ada mengatakan Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. kepada masyarakat yang saksi tidak kenal bahwa saksi ingin melapor kejadian tersebut ke pihak Kepolisian dan pada hari Minggu tanggal 13 Juli 2008 sekira pukul 00.30 WIB, datanglah anggota Polisi ketempat tersebut. 2. SALEM MARBUN Bin LAMARIUS MARBUN (Alm) - Bahwa benar pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan yakni bulan Juni 2008 bertempat dirumah terdakwa di Jalan Balak Desa Sebangar Simpang Puncak Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis, terdakwa telah melakukan penampungan atau menerima MERI Binti Baek Purba Tanjung untuk dipekerjakan sebagai pelacur. - Bahwa benar saksi mengetahui bahwa sdri MERI bekerja sebagai PSK di cafe atau warung milik sdri NELLI SITEPU tersebut, karena warung atau cafe tersebut adalah tempat para PSK menerima dan melayani tamu laki-laki. - Bahwa benar saksi mengetahui bahwa sdri MERI bekerja lebih kurang ± 3 (tiga) minggu lamanya, hal itu diketahuinya karena saksi tinggal atau menumpang dirumah sdri NELLI SITEPU yang jaraknya tidak jauh dari cafe atau warung tersebut kira-kira berjarak lebih kurang ± 30 Meter yaitu didaerah Simpang Puncak di Jalan Balak Desa Sebanggar Kecamatan Mandau. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. - Bahwa saksi benar-benar tidak tahu dari mana sdri MERI berasal, dan sdri NELLI SITEPU juga tidak pernah menceritakan kepada saksi tentang asal-asul sdri MERI. - Bahwa saksi mengenal sdri NELLI SITEPU lebih kurang sudah ± 9 (sembilan) bulan lamanya, dan hubungan saksi dengan sdri NELLI SITEPU adalah pacar atau cewek saksi. 3. CHRISTINA SIANTURI Binti RANTO SIANTURI - Bahwa benar pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan yakni bulan Juni 2008 bertempat dirumah terdakwa di Jalan Balak Desa Sebangar Simpang Puncak Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis, terdakwa telah melakukan penampungan atau menerima MERI Binti Baek Purba Tanjung untuk dipekerjakan sebagai pelacur. - Bahwa benar saksi mengetahui bahwa sdri MERI bekerja sebagai PSK di cafe atau warung milik sdri NELLI SITEPU tersebut, karena warung atau cafe tersebut tempat para PSK menerima dan melayani tamu laki-laki. - Bahwa benar saksi mengetahui bahwa sdri MERI bekerja di café atau warung tersebut lebih kurang ± 3 (tiga) minggu lamanya adalah karena saksi juga bekerja di cafe milik sdri NELLI SITEPU tersebut. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. - Bahwa saksi mengetahui dari mana sdri MERI berasal, sebab pada saat dia pertama bekerja di cafe tersebut, saksi ada menanyakan kepada sdri MERI tentang asalnya, dan sdri MERI mengatakan kepada saksi bahwa ia berasal dari Siantar (SUMUT). - Bahwa saksi bekerja sebagai pelacur diwarung terdakwa karena ikut teman saksi yang bernama ANA lebih duluan bekerja sebagai pelacur diwarung terdakwa, dan selama saksi bekerja di cafe tersebut, saksi tidak mendapat gaji dari sdri NELLI SITEPU, tetapi saksi harus membayar uang kepada sdri NELLI SITEPU setelah melayani laki-laki. b. Keterangan Saksi Ahli NIHIL c. Bukti Surat Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 187 KUHAP dalam perkara ini diperoleh alat bukti surat sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP yaitu berupa: 1. Berkas perkara No. Pol. BP/21/K/VIII/2008/Reskrim tanggal 12 Agustus 2008 yang didalamnya terdapat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari para saksi maupun terdakwa. Berita acara yang dibuat dan ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang telah memenuhi atau sesuai dengan ketentuan undang-undang, oleh karena itu berlaku Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. sebagai alat bukti yang sah (Pasal 187 jo Pasal 187 (b) jo Pasal 185 KUHAP) 2. Berita Acara Penerimaan dan Penelitian Tersangka (BA-15) Kejaksaan Negeri Bengkalis pada tanggal 11 September 2008 atas nama RESMITA NELLI SITEPU Binti MUAYAR SITEPU. d. Petunjuk Dalam perkara ini terdapat persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lainnya, juga dengan keterangan terdakwa yang diberikan sehingga diperoleh petunjuk berupa perbuatan, kejadian atau keadaan yang menandakan bahwa benar telah terjadi “Tindak Pidana Perdagangan Anak” dan pelakunya adalah benar RESMITA NELLI SITEPU Binti MUAYAR SITEPU. e. Keterangan Terdakwa 1. Terdakwa RESMITA NELLI SITEPU Binti MUAYAR SITEPU, dipersidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: - Bahwa benar pada tanggal 16 Juni 2008 bertempat dirumah terdakwa di Jalan Balak Desa Sebangar Simpang Puncak Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis, terdakwa telah melakukan penampungan atau menerima MERI Binti Baek Purba Tanjung untuk dipekerjakan diwarung terdakwa sebagai pelacur. - Bahwa benar SARAGIH (DPO) menghubungi terdakwa untuk menjemput MERI Binti Baek Purba Tanjung dirumah makan tanpa Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. nama di Jalan Lintas Duri-Dumai, dan benar terdakwa membawa MERI kewarung atau cafe miliknya, dan juga benar terdakwa membayar ke SARAGIH sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah). - Bahwa benar MERI Binti Baek Purba Tanjung di pekerjakan sebagai pelacur oleh terdakwa di warung atau cafe milik terdakwa dan benar MERI pernah melayani tamu laki-laki didalam kamar warung tersebut untuk melakukan hubungan kelamin atau berzinah, dan MERI dibayar sejumlah uang dari laki-laki tersebut dan terdakwa sudah 3 (tiga) kali menerima setoran uang dari MERI yang telah melayani tamu laki-laki didalam kamar warung tersebut dan juga benar MERI Binti Baek Purba Tanjung tidak pernah diberikan gaji oleh terdakwa, melainkan MERI harus memberi setoran kepada NELLI SITEPU. - Bahwa terdakwa telah menjalani usaha pelacuran tersebut selama lebih kurang 5 (lima) tahun, dan benar terdakwa memperdagangkan MERI Binti Baek Purba Tanjung sebagai pelacur karena hendak mendapat untung. f. Barang Bukti Tidak ada barang bukti yang diajukan dalam persidangan. g. Tuntutan Pidana Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Jaksa dalam Requisatoirnya berpendapat bahwa Terdakwa RESMITA NELLI SITEPU Binti MUAYAR SITEPU terbukti secara sah telah melakukan “perbuatan pidana” yang didakwakan dalam Dakwaan Primair, yaitu Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan menuntut agar terdakwa dijatuhi pidana selama: 12 (dua belas) tahun penjara dan denda sebesar Rp 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan. h. Putusan - Hakim di Pengadilan Negeri Bengkalis yang mengadili perkara ini memberikan putusan yang menyatakan bahwa, perbuatan terdakwa yang memperdagangkan anak yang masih di bawah umur adalah merupakan kejahatan: “Tindak Pidana Perdagangan Anak” sebagaimana yang didakwakan dalam Dakwaan Primair yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan menuntut agar terdakwa dijatuhi pidana selama: 4 (empat) tahun penjara dan denda sebesar Rp 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. - Pertimbangan Hakim dalam putusan sebagai berikut: Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. - Mengenai keterangan di bawah sumpah yang diberikan oleh saksi-saksi yang pada pokoknya sama dengan keterangan dalam Berita Acara yang dibuat oleh Penyidik. - Berdasarkan keterangan dari saksi-saksi dan berdasarkan pendapat atau keyakinan Hakim, maka Hakim berpendapat terdakwa melakukan perbuatan yang memenuhi seluruh unsur dari Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. - Dari kenyataan yang diperoleh selama persidangan dalam perkara ini, Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat melepaskan terdakwa dari pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar maupun alasan permasalahan. - Berdasarkan pertimbangan yang pokoknya dikutip diatas, maka Hakim di Pengadilan Negeri Bengkalis sampai pada kesimpulan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan perdagangan anak di bawah umur.” B. Analisis Kasus 1. Dakwaan Primer Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Dakwaan primer Jaksa Penuntut Umum adalah melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang a. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang: “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).” Unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1) Setiap orang Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang. Setiap orang dalam pasal ini adalah yang mampu bertanggungjawab. Setiap orang dalam kasus ini adalah: Keterangan semua saksi-saksi dalam kasus ini dan pengakuan dari terdakwa bahwa RESMITA NELLI SITEPU adalah pelaku dari tindak pidana perdagangan anak untuk tujuan prostitusi. Sedangkan kemampuan bertanggungjawab terdakwa dilihat dari adanya kesalahan Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. yang dilakukan terdakwa, yaitu sengaja melakukan tindak pidana perdagangan anak yang dapat dilihat dari keterangan terdakwa. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur setiap orang dalam kasus ini terpenuhi. 2) Melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang Melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang adalah serangkaian tindakan tindak pidana perdagangan orang, dimana korban dibawa oleh SARAGIH (DPO) yang sebelumnya telah menghubungi RESMITA NELLI SITEPU yang kemudian korban ditampung atau ditempatkan disuatu tempat disebuah cafe atau warung milik RESMITA NELLI SITEPU dan disuruh bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersil) di tempat tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka fakta hukum yang menguatkan unsur ini adalah: Berdasarkan keterangan para saksi, Bahwa saksi SALEM MARBUN menerangkan bahwa saksi tidak tahu persis kapan terjadinya tindak pidana perdagangan orang tersebut, namun yang saksi ketahui bahwa sdri RESMITA NELLI SITEPU menampung dan Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. mempekerjakan sdri MERI sebagai Pelayan atau PSK diwarung atau cafe sdri RESMITA NELLI SITEPU. Berdasarkan keterangan dari saksi CHRISTINA SIANTURI menerangkan bahwa saksi tidak tahu persis kapan terjadinya tindak pidana perdagangan orang tersebut,namun yang saksi ketahui sdri RESMITA NELLI SITEPU menampung dan mempekerjakan seorang perempuan yang bernama sdri MERI lebih kurang 3 (tiga) minggu lamanya, dan dia bekerja sebagai PSK dicafe atau warung milik RESMITA NELLI SITEPU didaerah Simpang Puncak di Jl. Balak Desa Sebangar Kecamatan Mandau Berdasarkan uraian di atas, maka unsur melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang telah terpenuhi. 3) Dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain Dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. adalah merupakan daya upaya dari para pelaku untuk mewujudkan tindak pidana perdagangan orang tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka fakta hukum yang menguatkan unsur ini adalah: Unsur Penipuan Unsur penipuan dalam perkara ini terhadap terdakwa RESMITA NELLI SITEPU telah terpenuhi, yaitu berdasarkan keterangan dari para saksi, dengan uraian sebagai berikut: pada saat saksi korban (MERI) berada di terminal baru di Pematang Siantar, kemudian SARAGIH (DPO) mendatangi korban namun korban tidak mengenal SARAGIH (DPO) tersebut yang kemudian membujuk serta menjanjikan korban akan diberikan pekerjaan disuatu rumah makan di Duri, yang akhirnya korban pun menyetujui ajakan tersebut. Sesampainya di Duri, saksi tidak ada bekerja dirumah makan melainkan saksi dikenalkan kepada seorang perempuan yang bernama NELLI, kemudian korban langsung dibawa kesebuah cafe atau warung di daerah Simpang Puncak Jl. Balak Desa Sebangar Kec. Mandau dan disuruh untuk bekerja di cafe tersebut untuk melayani tamu yang datang. Unsur Penjeratan Utang Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Unsur penjeratan utang juga terpenuhi, yaitu berdasarkan keterangan saksi korban dan tersangka dengan uraian sebagai berikut: Saksi menerangkan bahwa benar, pada saat saksi disuruh untuk bekerja sebagai PSK, saksi menolak. Dan sdri RESMITA NELLI SITEPU melakukan ancaman kepada saksi, yaitu kalau saksi tidak mau bekerja sebagai PSK, saksi dipaksa untuk membayar atau melunasi hutang saksi sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) yang telah dikeluarkan oleh RESMITA NELLI SITEPU untuk biaya keberangkatan saksi dari Siantar menuju Duri. Tersangka menerangkan bahwa terdakwaa tidak ada meminta uang senilai Rp.500.00,- tersebut kepada korban, tetapi terdakwa ada mengatakan kepada sdri MERI bahwa ia memiliki utang kepada tersangka senilai Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah), dan system pembayarannya dipotong dari uang kamar pada saat sdri. MERI melayani atau menerima tamu. Berdasarkan uraian di atas, maka unsur dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain telah terpenuhi. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. 4) Untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/ atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun moriil. 73 Berdasarkan uraian di atas, maka fakta hukum yang menguatkan unsur ini adalah: Kegiatan eksploitasi dalam kasus ini adalah eksploitasi untuk tujuan pelacuran atau prostitusi. Berdasarkan keterangan dari saksi, setelah saksi diantarkan oleh SARAGIH (DPO) orang yang belum saksi kenal sebelumnya ke cafe atau warung tersebut, SARAGIH (DPO) menerima sejumlah uang sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dari RESMITA NELLI SITEPU, dan kemudian saksi disuruh bekerja untuk melayani tamu-tamu yang datang kecafe atau warung tersebut, melakukan hubungan kelamin dengan tamu-tamu yang 73 Lihat Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. datang didalam kamar warung tersebut, namun setelah melakukan hubungan kelamin tersebut, saksi justru harus membayar setoran kepada RESMITA NELLI SITEPU dan pekerjaan tersebut berlangsung selama lebih kurang 3 (tiga) minggu. Dari uraian tersebut di atas, maka untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia telah terpenuhi, karena terdakwa memperoleh keuntungan materiil. b. Pasal 17 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang : “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)” Yaitu berdasarkan keterangan dari saksi dan barang bukti berupa surat babtisan, menjelaskan saksi bernama MERI Binti BAEK PURBA TANJUNG, lahir di Pematang Siantar (SUMUT), 24 Mei 1992, dan pada saat sekarang ini masih berumur 16 Tahun. Yang dimaksud dengan Anak berdasarkan Pasal 1 huruf a, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu yang dimaksud Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dari uraian tersebut di atas, maka unsur Anak dibawah umur telah terpenuhi. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Dari uraian unsur-unsur dakwaan primair yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dakwaan primair telah terbukti, yaitu terdakwa telah “Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Anak” 2. Dakwaan Subsider Dakwaan Subsider dari Jaksa Penuntut Umum adalah melanggar Pasal 12, jo Pasal 17 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu : “setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau percabulan lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6”. Unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1. Setiap Orang. Berdasarkan uraian tersebut diatas, unsur setiap orang telah terpenuhi. 2. Yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Dari keterangan saksi, saksi ditampung atau ditempatkan di suatu tempat disebuah cafe atau warung didaerah Simpang Puncak Jl. Balak Desa Sebangar Kecamatan Mandau, dan saksi disuruh bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersil) ditempat tersebut. Saksi bekerja dicafe untuk melayani tamu-tamu yang datang kewarung tersebut selama lebih kurang 3 (tiga) minggu dan selama bekerja diwarung tersebut, saksi tidak pernah di gaji melainkan saksi harus membayar atau membayar uang sewa kamar ketika melayani tamu yang datang. Berdasarkan keterangan dari terdakwa melakukan perbuatan tersebut, karena hanya ingin mencari keuntungan dan melancarkan usaha terdakwa. Dari uraian tersebut diatas, maka unsur yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang telah terpenuhi. 3. Dengan cara mempekerjakan korban untuk meneruskan praktik eksploitasi atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang. Dari keterangan saksi, saksi ditampung atau ditempatkan di suatu tempat disebuah cafe atau warung didaerah Simpang Puncak Jl. Balak Desa Sebangar Kecamatan Mandau, dan saksi disuruh bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersil) ditempat tersebut. Saksi bekerja dicafe untuk melayani tamu-tamu yang datang kewarung tersebut selama Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. lebih kurang 3 (tiga) minggu dan selama bekerja diwarung tersebut, saksi tidak pernah di gaji melainkan saksi harus membayar atau membayar uang sewa kamar ketika melayani tamu yang datang. Berdasarkan keterangan dari terdakwa melakukan perbuatan tersebut, karena hanya ingin mencari keuntungan dan melancarkan usaha terdakwa. Dari uraian tersebut diatas, maka unsur Dengan cara mempekerjakan korban untuk meneruskan praktik eksploitasi atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang telah terpenuhi. Dari uraian unsur-unsur dakwaan subsider yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dakwaan subsider telah terbukti, yaitu terdakwa telah “Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Anak” untuk dieksploitasi dengan tujuan prostitusi. BAB V PENUTUP Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. A. Kesimpulan Dari uraian mengenai Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak, maka dapatlah ditarik kesimpulan dari permasalahanpermasalahan yang terdapat dalam bab yang sebelumnya, dan penulis akan mencoba memberikan sumbangan saran yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. Maka dari penguraian skripsi ini penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Perdagangan Anak adalah bentuk modern dari perbudakan manusia serta merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Tindak pidana Perdagangan Anak telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan transnasional maupun internasional yang sifatnya terorganisasi dan terorganisir. Adapun bentuk-bentuk dari Tindak Pidana Perdagangan Anak ini adalah sebagai berikut: Memperkerjakan anak dalam bisnis pelacuran dan pornografi; Anak yang dijadikan pengemis; Anak yang dijadikan pembantu rumah tangga; Anak yang dimanfaatkan dalam perdagangan narkoba; Anak yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain yang sifatnya sangat eksploitatif, seperti pekerjaan dijermal, dan juga pengadopsian anak tanpa melalui prosedur hukum yang berlaku. Terhadap para pelaku yang melakukan perdagangan anak dapat dijerat dengan undang-undang antara lain: a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Dahulu terhadap pelaku perdagangan anak, masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), namun KUHP sudah tidak dipergunakan lagi karena pasal-pasal yang berkaitan dengan perdagangan anak tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat saat ini sehingga tidak dapat menjerat para pelaku trafficking. b. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia c. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak d. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sejak diundangkannya Undang-Undang ini, maka ketentuan mengenai sanksi pidana mengacu kepada undangundang tersebut. e. Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak 2. Psikologi Kriminal memegang peranan penting dalam Tindak Pidana Perdagangan Anak, bahwa banyak faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi manusia dalam bertindak baik yang bersifat sosial maupun yang asosial, atau dengan kata lain bahwa kejahatan atau dalam hal ini Tindak Pidana Perdagangan Anak merupakan perbuatan yang melawan hukum yang ditentukan oleh instansi-instansi yang terdapat pada diri manusia itu sendiri. 3. Adapun faktor seseorang melakukan Tindak Pidana Perdagangan Anak antara lain yaitu kondisi ekonomi atau kemiskinan, faktor pendidikan, Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Kekosongan jiwa dari agama, lingkungan pergulan yang buruk, rangsangan dari media massa, serta sifat-sifat yang khusus dari individu itu sendiri. Psikologi memegang peranan penting dalam setiap tindak pidana termasuk Tindak Pidana Perdagangan Anak. Setiap orang melakukan suatu tindak pidana memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan motivasimotivasi yang berbeda pula. Disinilah peranan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan anak dengan melihat faktor-faktor psikologinya, karena hal-hal tersebut sangat mempengaruhi putusan hakim, apakah meringankan atau memberatkan atau bahkan justru membebaskan si tersangka. Penanggulangan terhadap tindak pidana perdagangan anak ini dapat dilakukan secara Preventif maupun Represif yaitu melalui pendekatan hokum pidana maupun pendekatan diluar hokum pidana. Penanggulangan ini hanya dapat berhasil bila semua pihak dapat bekerja sama untuk menanggulanginya. B. Saran Setelah menganalisa data-data yang ada, maka saran penulis mengenai “Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak” adalah sebagai berikut: 1. Pentingnya upaya perlindungan hukum terhadap hak-hak anak, sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. 1999, Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang No. 21 Tahun 2007. Dengan landasan undang-undang tersebut, pihak yang berwenang wajib memberikan sanksi yang tegas kepada para pihak yang melakukan perdagangan anak dalam bentuk apapun. 2. Hendaknya pemerintah dalam menentukan arah kebijaksanaan pembangunan yang berkaitan langsung dengan ekonomi masyarakat, haruslah memperhatikan kesejahteraan masyarakat ekonomi lemah, karena faktor ekonomi inilah yang sangat dominan kita dijumpai dan menggoncang kejiwaan seseorang sehingga termotivasi untuk melakukan Tindak Pidana termasuk diantaranya Tindak Pidana Perdagangan Anak. 3. Perlunya peran serta dari keluarga maupun masyarakat sekitarnya agar selalu memberikan perhatian yang lebih besar kepada anak-anak dan rasa kasih sayang tetap terpelihara antara orang tua dan anak serta memberikan penanaman nilai-nilai moral sedini mungkin. DAFTAR PUSTAKA Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. I. Buku-Buku A. Zainal Abidin Farid, 1995, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika. Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti. Bimo Wagito, 1975, Psikologi Umum, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, Cetakan ke-II. Bouman, 1961, Sosiologi Pengertian dan Masalah, Semarang: Yayasan Konisius, Cetakan ke-VI. Chainur Arrasyid, 1988, Pengantar Psikologi Krminal, Yani Corporation. ---------, 1992, Pertimbangan Psikologis Dalam Pertanggungan Jawab Dalam Peristiwa Pidana, Pidato Pengukuhan Didepan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara 18 Januari 1992. Chairul Bairah, 2005, Aturan-Aturan Hukum Trafficking (Perdagangan Perempuan dan Anak), Medan: USU Press. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2004, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta : PT.Pradnya Paramita, Cetakan ke-I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Edwin H.Sutherland, 1969, Asas-Asas Kriminologi, Bandung: Alumni. Irwanto dkk, 2001, Perdagangan Anak di Indonesia, Kantor Perburuhan Internasional Program Internasional Penghapusan Perburuhan Anak, Di cetak Atas Kerjasama Dengan Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. J.E. Sahetapy dan Mardjono Reksodiputro, 1982, Paradoks Dalam Kriminologi, Jakarta: Rajawali. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 2005, Konvensi Hak Anak / Covention on The Right Of The Child, Jakarta. ---------, 2006, Pelatihan Aparat Penegak Hukum Tentang Perlindungan Anak, Jakarta. Leden Marpaung, 2005, Asas - Teori - Praktek Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika. Made Darma, 1996, Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada. Mahmud Mulyadi, 2007, Politik Hukum Pidana, Medan. Moeljatno, 1984, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, Cetakan ke-II. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni. Noach Simanjuntak, 1984, Kriminologi, Bandung: Tarsito. P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-III. ---------, Hukum Penitentiere Indonesia, Bandung: Armico. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa. Soedjono D, 1983, Pengantar Tentang Psikologi Hukum, Bandung: Alumni. Syahruddin Husein, 2003, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Upaya Penanggulangannya, Fakultas Hukum USU Medan. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. Utrecht, 2000, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Mas. W.A. Bonger, 1982 Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia. Wojo Wasito, 1999, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven. II. Perundang-Undangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. III. Internet http:// www.bainfokomsumut.go.id yang diakses terakhir kali pada tanggal 28 Maret 2009, pukul 15.00 WIB. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009. http:// www.google.com. Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yang diakses terakhir kali pada tanggal 28 Maret 2009, pukul 14.30 WIB. http:// www.republika.or.id IV. Wawancara Resmita Nelly Sitepu, Pelaku (Terdakwa) Tindak Pidana Perdagangan Anak, di Lembaga Pemasyarakatan Bengkalis Klas II A. Sepriarto Siamanjuntak : Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking) (Studi Putusan No. 147/ Pid. B/ 2008/ PN. BKS), 2009.