Terms of Reference (ToR) Konferensi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia di Indonesia Latar Belakang: Gelombang pertumbuhan ekonomi dan globalisasi yang maju pesat tiga dekade terakhir ini, telah menjadikan Transnational Corporations (TNC) dan Multi National Corporations (MNC) sebagai entitas yang mampu melampaui perekonomian banyak negara. Kondisi ini menunjukkan pentingnya peran TNC/MNC dalam percaturan ekonomi dunia. Studi-studi memperkirakan bahwa TNC/MNC pada saat ini menyusun sepertiga hingga setengah dari seratus entitas ekonomi terbesar di dunia.1 Perkembangan ini menimbulkan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, terutama dalam sektor perkebunan, pertambangan, yang berimplikasi kepada terlanggarnya hak atas mata pencaharian, hak atas pangan, hak atas air, hak buruh, dan hak atas budaya bagi masyarakat dimana operasi korporasi berlangsung. Selain itu, pertumbuhan ini berimplikasi buruk bagi lingkungan, dan sering menimbulkan konflik agraria dengan masyarakat setempat.2 Dalam rangka menghadapi perkembangan global tersebut, pada bulan Maret 2011, Prinsip-Prinsip Panduan Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Implementasi Kerangka “perlindungan, penghormatan dan pemulihan” Perserikatan Bangsa-Bangsa disahkan oleh Dewan Hak Asasi Manusia. Prinsip-prinsip ini merupakan hasil laporan dari Pelapor Khusus PBB untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia, John Ruggie, sehingga juga dikenal sebagai Prinsip-Prinsip Ruggie. Prinsip-prinsip ini menetapkan norma-norma dan kerangka otoritatif mengenai tanggungjawab korporasi terhadap hak asasi manusia. Prinsip-prinsip ini pada dasarnya terdiri dari tiga pilar yang berbeda tetapi saling terkait, yaitu : 1. Kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia, di mana pemerintah harus melindungi individu dari pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak ketiga,termasuk bisnis; 2. Tanggung jawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia, yang berarti tidak melanggar hak asasi manusia yang diakui secara internasional dengan menghindari, mengurangi, atau mencegah dampak negatif dari operasional korporasi; dan 3. Kebutuhan untuk memperluas akses bagi korban mendapatkan pemulihan yang efektif, baik melalui mekanisme yudisial maupun non-yudisial. Berdasarkan ketiga pilar tersebut, korporasi harus meng-inkorporasikan PrinsipPrinsip ini ke dalam operasionalisasi bisnisnya. Prinsip-prinsip ini telah memberikan standar global bagi korporasi tentang bagaimana mereka harus menghormati dan melindungi hak asasi manusia yang berlaku di suatu negara dimana korporasi itu beroperasi. Prinsip-prinsip ini juga merupakan sarana menghindari atau mengurangi dampak hak asasi manusia, yang pada gilirannya mengurangi risiko pada korporasi. Prinsip-Prinsip ini juga menyatakan korporasi harus menghormati hak asasi manusia yang diakui secara internasional, bahkan apabila hak asasi manusia ini tidak diakui di dalam sistem hukum nasional. Selain itu, ketika konflik hukum nasional dengan hukum internasional, korporasi harus berusaha untuk menghormati prinsip-prinsip dan standar hak 1 Hal. 3, Blitt, Robert C. Melangkah Lebih Lanjut dari Prinsip Ruggie tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Memetakan Pendekatan Luas tentang Ketaatan Hak Asasi Manusia pada Perusahaan. 2 Concluding observation of the UN Committee on Economic,Social and Cultural Rights for Indonesia in 2014 asasi manusia internasional, sekaligus mematuhi hukum domestik. Sehingga, korporasi dapat mengatasi risiko berkontribusi dalam terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Prinsip-prinsip ini mendapat catatan dari lembaga-lembaga advokasi hak asasi manusia. FIDH dan Amnesty International. FIDH (International Federation for Human Rights) menyatakan keprihatinannya pada kelemahan tertentu dalam Prinsip-prinsip Panduan selama proses penyusunan, khususnya pada hak atas pemulihan yang efektif dan kebutuhan atas tindakan Negara “untuk mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaanperusahaannya di luar negeri”. Sementara Amnesty International menyatakan bahwa Prinsipprinsip panduan tidak cukup merefleksikan atau menunjukkan beberapa isu utama, termasuk kewajiban dan tanggung jawab ekstrateritorial, perlunya regulasi yang lebih efektif, hak atas pemulihan dan pertanggungjawaban, dengan cara yang sepenuhnya konsisten dengan standar internasional hak asasi manusia. Sehingga, Prinsip-prinsip ini tidak dapat berfungsi sebagai seperangkat standar menyeluruh untuk mengatasi berbagai macam masalah dalam bisnis dan hak asasi manusia.3 Walaupun terdapat kritik dan catatan terhadap Prinsip-prinsip ini, sejak 2011 hingga saat ini, semakin banyak negara yang telah mempunyai atau sedang menyusun rencana aksi nasional bisnis dan hak asasi manusia. Negara-negara tersebut, di antaranya adalah Inggris, Belanda, Amerika, Skotlandia, Jerman, Irlandia, dan Chili.4 Indonesia, sebagai tuan rumah bagi berbagai perusahaan-perusahaan multinasional dari beragam industri, memiliki sejumlah pelanggaran hak asasi manusia yang sangat terkait dengan operasi korporasi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat pada tahun 2008 terdapat 748 kasus terkait korporasi atau 18% dari total kasus yang diterima, dan pada tahun 2010, kasus yang diterima oleh Komnas HAM yang terkait dengan korporasi sebanyak 976 kasus. Kasus-kasus yang menyangkut korporasi ini, didominasi oleh konflik sumber daya alam antara perusahaan perkebunan dengan penduduk dan petani lokal.5 Menurut Badan Pertanahan Nasional RI, misalnya, sampai dengan September 2013, terdapat 4223 kasus sengketa pertanahan.6 Seiring dengan meluasnya proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur, KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) mencatat sedikitnya telah terjadi 472 konflik agraria di seluruh Indonesia dengan luasan mencapai 2.860.977,07 hektar.7 Konflik akan terus meningkat apabila tidak ada upaya pencegahan dari perusahaan untuk menghindari terjadinya pelanggaran hak asasi manusia akibat operasi korporasinya. Pada pertemuan dengan Dewan Hak Asasi Manusia PBB di bulan Juni 2014, delegasi Indonesia menyatakan bahwa: We have been robust in providing legal framework to ensure businesses are conducted in a good faith and to provide benefit to local as well national constituents. 3 Hal. Xii, Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa “Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan” ELSAM National Action Plans on Business and Human Rights gaining ground. www.humanrights.dk/news/nationalaction-plans-business-human-rights 5 NurKholis, Anggota KOMNAS HAM/PelaporKhususuntukBisnisdan HAM. Kertas Kerja untuk Bisnis dan HAM 6 Hal. 11,Laporan Situasi HAM 2013 ELSAM 7 Hal. 10, Catatan Akhir Tahun 2014 “Membenahi Masalah Agraria: Prioritas Kerja Jokowi-JK Pada 2015” KPA 4 Some examples of our steps are the strict regulation on CSRs, and the incorporation of principles in the Extractive Industries Transparency Initiatives as well as the Voluntary Principles on Security and Human Rights in our national policies. Our activism is also in the realm of regional as well as international. We are active in contributing to ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights’ efforts on this issue and support the Annual Forum on Business and Human Rights. We support the efforts to enhance and expedite comprehensive implementation of Guiding Principles in national level. We concur with the view of the WG that National Action Plan and engagement of three pillars are basic foundations for the effective and comprehensive implementation of Guiding Principles. In its own part, Indonesia is considering to include elements of Guiding Principles in the formulation of the fourth generation of National Human Rights Action Plan for 2014-2019. At the same time, we continue efforts to promote Guiding Principles to all stakeholders, including government officials, business community, civil society and member of parliaments. We share the view of the Working Group in the report on the need to establish global fund to support implementation of Guiding Principles(...).8 Berdasarkan Prinsip-Prinsip Ruggie, Negara berkewajiban untuk melindungi hak asasi manusia, di mana pemerintah harus melindungi individu dari pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak ketiga, termasuk bisnis. Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan terkait korporasi yang seharusnya bertujuan untuk melindungi individu, seperti UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas (UUPT), Peraturan Pemerintah No. 47 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (PP 47/2012), UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU ketenagakerjaan, dan seterusnya.9 Akan tetapi kebijakan-kebijakan tersebut cenderung mementingkan pihak privat, seperti UU No. 29 Tahun 2014 tentang perkebunan. Selain itu, dengan adanya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerindah daerah mempunyai peran yang besar, sehingga seharusnya dapat melindungi masyarakat dengan lebih baik, namun faktanya konflik yang muncul berasal dari daerah-daerah. Prinsip-Prinsip Ruggie juga membagi peran antara negara dan korporasi, dengan pembagian peran tersebut pembagian antara pemegang hak (rights-holders) dan pemangku kewajiban (duty barriers) dapat berubah. Korporasi mempunyai kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia dengan menciptakan komitmen HAM dan melakukan uji tuntas HAM dalam setiap operasi bisnisnya. Tantangan utama bagi korporasi adalah bagaimana mereka dapat menurunkan prinsip-prinsip Ruggie ke dalam operasi bisnis dan bagaimana mereka dapat memastikan implementasinya. MNC/TNC cenderung sudah mengetahui tentang prinsip-prinsip tersebut, akan tetapi hal ini juga merupakan tantangan bagi small medium enterprises (SMEs) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Selain itu, MNC/TNC juga mempunyai tantangan untuk memastikan bahwa seluruh vendor atau pihak ketiga juga menerapkan prinsip-prinsip tersebut. Meskipun UNGPs tidak mengikat, atau bersifat voluntary, terdapat standar-standar internasional yang mensyaratkan adanya penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam kegiatan bisnis perusahaan, seperti OECD Guidelines for MNEs, ISO 26000, Global Reporting Initiatives 8 Presentation by Budi Tjahjono (Franciscans International)Jakarta, Indonesia September 2014. A Treaty on Business and Human Rights 9 Letezia Tobing, S.H. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52716870e6a0f/aturan-aturan-hukumcorporate-social-responsibility (GRIs), serta IFC. Standar-standar internasional tersebut penting bagi perusahaan agar dapat bersaing secara global, namun selain standar-standar tersebut, terdapat alasan-alasan lain yang mendorong perusahaan untuk mengimplementasikan UNGPs seperti demi keberlangsungan pasar, serta demi kelestarian lingkungan. Kasus-kasus yang sudah dilaporkan kepada Komnas HAM berjumlah besar, tetapi apakah seluruh masyarakat mempunyai akses terhadap pemulihan? Apakah masyarakat korban dapat menggunakan mekanisme pemulihan yang tersedia dengan mudah? Selama ini korban-korban dapat melapor ke Komnas HAM, Ombudsman, LPSK, atau mengajukan gugatan melalui Pengadilan. Seberapa efektifkah mekanisme-mekanisme tersebut? Akses tersebut harus diperhatikan baik oleh pemerintah maupun korporasi. Korporasi juga seharusnya memiliki mekanisme keluhan sehingga apabila terjadi pelanggaran atau terdapat warga yang dirugikan, mereka dapat melaporkannya langsung ke korporasi. Hal ini dapat menguntungkan korporasi dalam hal menyelesaikan konflik-konflik dan atau pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Mekanisme pemulihan juga dapat digunakan korporasi dalam mempertahankan citra perusahaan di depan publik dan investor. sehingga, kredibilitas korporasi tetap terjaga. Dengan kata lain, korban seharusnya mempunyai akses terhadap pemulihan baik dari Pemerintah maupun Korporasi. Berdasarkan deskripsi di atas, serta perkembangan global terkait bisnis dan hak asasi manusia yang pesat, perlu adanya kajian-kajian lebih dalam mengenai isu ini, baik dari perspektif hukum, politik, ataupun ekonomi. Kajian-kajian tersebut diharapkan dapat mendorong Pemerintah Indonesia untuk membuat kebijakan yang dapat memastikan perusahaan-perusahaan, baik multinasional maupun nasional/lokal, untuk menghormati hak asasi manusia sehingga dapat menurunkan jumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia yang selama ini terus meningkat. Kajian-kajian mengenai bisnis dan hak asasi manusia diharapkan dapat melihat bagaimana implementasi UN Guiding Principles on Business and Human Rights dalam konteks Indonesia. Untuk itu, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) bersamasama dengan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) berencana untuk menyelenggarakan “Konferensi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia” dengan tema “Bisnis dan Hak Asasi Manusia di Indonesia: Peluang dan Tantangan.” Tujuan: -­‐ Mendiseminasikan hasil kajian mengenai kondisi bisnis dan hak asasi manusia di Indonesia yang disusun oleh jaringan akademisi; -­‐ Memberikan pemahaman tentang bagaimana implementasi UN Guiding Principles on Business and Human Rights di Indonesia -­‐ Mendorong adanya kajian-kajian lanjutan terkait bisnis dan hak asasi manusia oleh kalangan akademisi maupun peneliti publik Waktu & Tempat: Konferensi ini akan dilaksanakan selama 2 (dua) hari, yaitu pada: Tanggal : 5 – 6 November, 2015 Tempat : Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Panel: Panel dibagi berdasarkan sektor/kasus, Panel 1: Kewajiban Negara untuk melindungi hak asasi manusia dari pihak ketiga Indonesia, seperti yang tercantum dalam UUD 1945, mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan menegakkan hak asasi manusia. Hal ini dipertegas dengan adanya ratifikasi tujuh perjanjian internasional terkait hak asasi manusia yang diturunkan menjadi beberapa undang-undang. Salah satunya adalah UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia yang membahas bahwa Pemerintah mempunyai kewajiban dan bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM. Sudah lama dipahami bahwa bisnis bisa memiliki dampak yang besar pada pelaksanaan hak asasi manusia. Dampak ini bisa positif, misalnya dengan membawa inovasi dan layanan yang bisa meningkatkan standar kehidupan bagi manusia di seluruh dunia. Dampak ini juga bisa negatif, misalnya bila kegiatan usaha merusak penghidupan warga, menindas buruh atau memaksa komunitas terkait untuk pindah. Perusahaan juga bisa terlibat tidak langsung dalam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pihak lain, termasuk negara – misalnya bila mereka berkolusi dengan aparat keamanan untuk menindas protes dengan kekerasan, atau memberikan informasi pengguna mereka ke negara, yang kemudian melacak dan menghukum mereka yang melawan negara. Namun, perjanjian hak asasi manusia internasional biasanya tidak menetapkan kewajiban hukum langsung pada aktor-aktor privat seperti perusahaan. Negaralah yang bertanggungjawab untuk menyusun dan menegakkan perundang-undangan nasional yang bisa memaksa perusahaan untuk menaati hak asasi manusia – seperti undang-undang yang mensyaratkan usia minimum buruh. Ada beberapa pengecualian di beberapa bidang hukum, seperti misalnya hukum humaniter internasional juga menetapkan kewajiban pada aktor privat, termasuk individu dan perusahaan. Namun, kewajiban-kewajiban dari perjanjian hak asasi manusia biasanya dianggap hanya berlaku pada negara saja. Karena perusahaan tidak memiliki kewajiban hukum yang sama dengan negara di bawah hukum hak asasi manusia internasional, sudah lama terjadi perdebatan tentang apa kewajiban perusahaan terkait hak asasi manusia. Prinsip-Prinsip Panduan Bisnis dan Hak Asasi Manusia dikembangkan untuk menjelaskan peran dan tanggungjawab yang berbeda antara negara dan perusahaan untuk menyikapi dampak bisnis pada hak asasi manusia. Pilar pertama Prinsip-Prinsip Panduan membahas kewajiban negara untuk melindungi. Prinsip mendasarnya menegaskan bahwa di bawah hukum hak asasi manusia internasional yang sudah ada, negara harus melindugi warganya dari pelanggaran hak asasi manusia oleh aktor-aktor privat, termasuk perusahaan. Ini berarti bahwa negara harus mencegah, menyelidiki, menghukum dan memulihkan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam operasi bisnis domestik. Prinsip-prinsip ini juga menyatakan bahwa negara harus menentukan ekspektasi yang tegas dari perusahaan yang berdomisili di wilayah dan/atau yurisdiksinya, yaitu bahwa mereka harus menghormati hak asasi manusia dalam kegiatannya, di negara manapun dan konteks apapun mereka beroperasi. Selain prinsip-prinsip mendasar dalam pilar pertama ini, ada empat prinsip operasional dengan tindakan nyata bagi negara yang harus dilakukan untuk memenuhi kewajiban mereka melindungi hak asasi manusia dalam konteks bisnis. Prinsip-prinsip operasional ini mencakup spektrum hukum dan kebijakan yang luas, dan dibagi menjadi beberapa kategori. Pertama, fungsi regulasi dan kebijakan umum negara. Hal ini mencakup menyusun dan menegakkan hukum yang mewajibkan perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia; menciptakan iklim peraturan yang memfasilitasi penghormatan terhadap hak asasi manusia oleh bisnis; dan memberikan panduan kepada perusahaan tentang tanggungjawab mereka. Kedua, keterkaitan antara negara dan bisnis. Hal ini mencakup situasi ketika negara memiliki atau mengontrol perusahaan, atau bila ia mengontrak atau bekerja sama dengan pihak lain untuk memberikan jasa yang mungkin berdampak pada hak asasi manusia. Terakhir, kategori ini mencakup transaksi komersial negara, terutama dalam pengadaan barang dan jasa. Ketiga, mendukung penghormatan hak asasi manusia oleh bisnis di wilayah konflik. Hal ini karena wilayah konflik memiliki resiko pelanggaran hak asasi manusia yang jauh lebih besar, termasuk yang dilakukan perusahaan. Prinsip-Prinsip Panduan memuat ketentuan agar negara-negara (baik negara asal maupun negara inang) untuk memberikan panduan, bantuan dan mekanisme penegakkan untuk memastikan bahwa perusahaan tidak terlibat pelanggaran di wilayah yang terpengaruh konflik. Keempat, memastikan koherensi kebijakan. Hal ini mencakup memastikan bahwa kebijakan negara koheren pada departemen-departemen yang berbeda, dan ketika bertindak sebagai anggota institusi multilateral dan bahwa perjanjian dan kesepakatan kerja sama eksternal (seperti perjanjian investasi bilateral) bersesuaian dengan kewajiban hak asasi manusia mereka.10 Fokus Pembahasan -­‐ -­‐ Apakah terdapat persoalan yang terkait koherensi kebijakan negara terhadap perusahaan dan operasi perusahaan dari berbagai sektor dalam menetapkan standar HAM yang wajib dipatuhi? Apakah ada dampak politik desentralisasi terhadap kewajiban pemerintah untuk menyusun dan memastikan koherensi kebijakan yang mengatur mengenai kewajiban perusahaan dalam penghormatan hak asasi manusia? Apakah terdapat implikasi terhadap meningkatnya pelanggaran HAM oleh operasi bisnis di daerah? Panel 2: Kewajiban Korporasi untuk menghormati hak asasi manusia Pilar kedua Prinsip-Prinsip Panduan Bisnis dan Hak Asasi Manusia menjelaskan tentang tanggungjawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia. Menurut prinsipprinsip ini, perusahaan harus menghindari terjadinya pelanggaran hak-hak pihak lain dan menangani dampak negatif terhadap hak asasi manusia yang terjadi akibat operasi bisnisnya. Dengan kata lain, sebuah perusahaan harus bekerja dengan cara tidak mengganggu atau menciptakan dampak negatif pada hak asasi pihak lain, baik bagi pegawai, anggota masyarakat, konsumen, atau lainnya. Tanggungjawab ini telah ditegaskan oleh Dewan Hak Asasi Manusia, dan diakui juga oleh badan-badan internasional seperti Organisasi Buruh Internasional, Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dan Global Compact PBB, dan semakin tercermin dalam pernyataan-pernyataan perusahaan itu sendiri. Tanggungjawab untuk menghormati hak asasi manusia mewajibkan perusahaan untuk mempunyai kebijakan terkait hak asasi manusia, melakukan uji tuntas hak asasi manusia (juga disebut dengan audit HAM), dan memastikan adanya akses terhadap pemulihan bagi korban yang muncul akibat kegiatan operasional perusahaan. Perusahaan harus berusaha mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia melalui uji tuntas hak asasi manusia. 10 Hlm. 8. Prinsip-Prinsip Panduan Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Implementasi Kerangka “Perlindungan, Penghormatan dan Pemulihan” Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2011 Tanggungjawab untuk menghormati hak asasi manusia berlaku pada semua hak-hak asasi manusia yang diakui dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Deklarasi ILO tentang Prinsip Dasar dan Hak dalam Pekerjaan. Perusahaan perlu mempertimbangkan standar hak asasi manusia internasional lainnya, tergantung pada konteks perusahaan. Dalam praktiknya, perusahaan akan cenderung menilai resiko dampak pada hak-hak tertentu dalam industri atau konteks tertentu. Misalnya, perusahaan yang mungkin berdampak pada hak anak harus merujuk pada hak-hak yang dimuat dalam Konvensi Hak Anak. Namun, ini tidak mengubah kenyataan bahwa tanggungjawab untuk menghormati tersebut berlaku pada semua hak asasi manusia. Sementara bentuk tindakan yang dapat diambil perusahaan untuk memenuhi tanggungjawab untuk menghormati hak asasi manusia bergantung pada skala dan kompleksitasnya, tanggungjawab tersebut berlaku pada semua perusahaan – tanpa memandang ukuran, sektor, atau lokasinya. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyerukan kepada “semua organ” dalam masyarakat untuk berkontribusi pada penghormatan hak asasi manusia setiap orang. Pada tingkat internasional, tanggungjawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia merupakan standar perilaku yang diharapkan dan diakui dalam semua instrumen voluntary dan soft law yang berhubungan dengan tanggungjawab perusahaan. Meskipun negara memiliki kewajiban utama untuk menyusun dan menegakkan hukum dan kebijakan yang bertujuan untuk mewajibkan perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia, PrinsipPrinsip Panduan menjelaskan bahwa tanggungjawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia tetap berlaku. Perusahaan tetap harus menghormati hak asasi manusia meskipun dalam ketiadaan perundang-undangan, atau tidak efektifnya penegakkan hukum. Dengan kata lain, tanggungjawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia tetap ada secara terpisah dari kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia sesuai pilar pertama.11 Fokus Pembahasan -­‐ -­‐ Tantangan dan hambatan penerapan Human Rights Due Dilligence bagi korporasi di Indonesia? Kompleksitas penerapan kewajiban penilaian dampak hak asasi manusia bagi perusahaan menengah (SME) dan BUMN. Panel 3: Akses terhadap Pemulihan Sebagai bagian dari tugas untuk melindungi dari pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan bisnis, Negara harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk memastikan, melalui cara-cara yudisial, administratif, legislatif atau lainnya, bahwa ketika pelanggaran demikian terjadi di dalam wilayah dan/atau yurisdiksi mereka, mereka yang terkena dampaknya memiliki akses atas pemulihan yang efektif. Akses atas pemulihan yang efektif mempunyai dua aspek prosedural dan substantif. Pemulihan disediakan oleh mekanisme pengaduan dengan berbagai bentuk substantif yang bertujuan, secara umum, akan 11 Hlm. 15. Prinsip-Prinsip Panduan Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Implementasi Kerangka “Perlindungan, Penghormatan dan Pemulihan” Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2011 meniadakan atau menyelesaikan kerugian hak asasi manusia yang telah terjadi. Pemulihan dapat berupa permintaan maaf, restitusi, rehabilitasi, kompensasi finansial atau non-finansial dan sanksi hukuman (baik pidana atau administratif, seperti denda), serta pencegahan dari kerugian melalui, misalnya, penjaminan untuk tidak diulangi. Prosedur bagi ketentuan pemulihan harus imparsial, dilindungi dari korupsi dan bebas dari usaha politik atau apapun untuk mempengaruhi hasil. Dalam Prinsip-Prinsip Panduan tentang Bisnis dan HAM, terdapat empat prinsipprinsip operasional pada pilar ketiga terkait akses terhadap pemulihan. Pertama, terkait mekanisme hukum berbasis Negara, bahwa Negara harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk memastikan efektivitas mekanisme hukum domestik ketika mengatasi pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan bisnis, termasuk mempertimbangkan cara-cara untuk mengurangi hambatan-hambatan hukum, praktis, dan lainnya yang dapat menyebabkan pengingkaran atas akses terhadap pemulihan. Kedua, mekanisme pengaduan non-hukum berbasis Negara. Negara harus memberikan mekanisme pengaduan non-hukum berbasis Negara yang efektif dan layak, disamping mekanisme hukum, sebagai bagian dari sebuah sistem berbasis Negara yang komprehensif bagi pemulihan atas pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan bisnis. Ketiga, mekanisme pengaduan bukan berbasis Negara. Negara harus mempertimbangkan cara-cara untuk memfasilitasi akses kepada mekanisme pengaduan bukan berbasis Negara yang efektif untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan bisnis. Keempat, kriteria efektifitas bagi mekanisme pengaduan non-hukum. Untuk memastikan efektifitas mekanisme-mekanisme tersebut, mekanisme pengaduan non-hukum, baik berbasis Negara dan tidak, harus: a) Sah: memungkinkan kepercayaan dari kelompok pemangku kepentingan yang dituju, dan menjadi pertanggungjawaban bagi perilaku adil atas proses pengaduan; b) Aksesibilitas: menjadi dikenal pada semua kelompok pemangku kepentingan yang dituju, dan menyediakan bantuan yang cukup bagi mereka yang menghadapi hambatan khusus atas akses; c) Dapat diprediksi: memberikan sebuah prosedur yang jelas dan diketahui dengan suatu jangka waktu bagi setiap tahapan, dan kejelasan mengenai tipetipe proses dan hasil yang tersedia dan cara-cara pelaksanaan pengawasan; d) Keadilan: memastikan bahwa pihak yang dirugikan memiliki akses yang layak atas sumber informasi, nasihat, dan keahlian yang diperlukan untuk terlibat dalam sebuah proses pengaduan dalam pengertian yang adil, terhormat, dan penuh informasi; e) Transparan: membuat para pihak yang mengadu mendapatkan informasi mengenai progres pengaduannya, dan menyediakan informasi yang cukup tentang kinerja mekanisme untuk membangun kepercayaan dalam efektifitas dan memenuhi kepentingan publik yang dalam bahaya; f) Sesuai dengan hak: memastikan bahwa hasil dan pemulihan sesuai dengan hak asasi manusia yang diakui secara internasional; g) Sumber untuk terus belajar: menggunakan usaha-usaha yang relevan untuk mengidentifikasi pelajaran-pelajaran bagi peningkatan mekanisme dan mencegah kerugian dan pelanggaran di masa mendatang; Mekanisme tingkat operasional juga harus: h) berdasarkan keterlibatan dan dialog: mengkonsultasikan kelompok pemangku kepentingan yang dituju pada kinerja dan disai, dan fokus pada dialog sebagai cara untuk mengatasi dan menyelesaikan pengaduan.12 Fokus Pembahasan -­‐ -­‐ Masalah-masalah umum yang terkait dengan akses korban terhadap pemulihan melalui mekanisme internal perusahaan atau mekanisme non-ajudikatif seperti RSPO, OECD, IFC, dst. Efektifitas mekanisme hukum bagi korban pelanggaran HAM akibat operasi korporasi dalam memperoleh pemulihan. 12 Hlm. 33. Prinsip-Prinsip Panduan Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Implementasi Kerangka “perlindungan, penghormatan dan pemulihan” Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2011 Persyaratan Peserta Dosen: Secara umum, dosen adalah seorang pengajar yang telah memiliki jabatan sebagai dosen tetap atau dosen tidak-tetap di sebuah universitas (atau sederajat) di wilayah NKRI. Secara khusus, dosen memiliki perhatian dan/atau ketertarikan di bidang hak asasi manusia dan hubungannya dengan bisnis (atau sebaliknya). Pejabat dan Birokrat: Seseorang yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di wilayah NKRI, baik sebagai seorang pejabat publik maupun sebagai birokrat, yang sekurang-kurangnya berpendidikan Sarjana (S1). Praktisi/Peneliti Publik: Seseorang yang aktif di sebuah organisasi non-pemerintah atau lembaga publik lainnya dengan kekhususan di bidang hak asasi manusia dan hubungannya dengan bisnis (atau sebaliknya), yang sekurang-kurangnya berpendidikan Sarjana (S1). Tanggal-Tanggal Penting No. 1 2 3 Kegiatan Call for Papers Pengumuman Hasil Seleksi Konferensi Tanggal 1 Juni – 31 Agustus 2015 1 September 2015 5 -6 November 2015 Lampiran 2. Tata Cara penulisan Artikel Tata cara mengirimkan artikel atau paper adalah hasil penelitian atau artikel konseptual di bidang hukum. Naskah dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris sepanjang 20-25 halaman. Naskah diketik di atas kertas A4 dengan margin atas dan kiri 4 cm, margin bawah dan kanan 3 cm, menggunakan tipe huruf Times New Roman, ukuran font 12, dan spasi 1,5. Judul naskah berbahasa Indonesia terdiri maksimal 12 kata, sedangkan jika berbahasa Inggris terdiri maksimal 10 kata. Naskah harus disertai dengan abstract dan keywords dalam Bahasa Inggris serta intisari dan kata kunci dalam Bahasa Indonesia. Abstract dan intisari masing-masing terdiri 50-100 kata. Keywords dan kata kunci masingmasing terdiri 3-5 kata. Sistematika naskah hasil penelitian harus mencakup: Judul, Nama Penulis, Abstract (berbahasa Inggris) dan Intisari (berbahasa Indonesia), Kata Kunci, Latar Belakang Masalah (disertai dengan perumusan masalah), Metode Penelitian, Hasil Penelitian dan Pembahasan, Kesimpulan, Daftar Pustaka. Sistematika naskah artikel konseptual harus mencakup: Judul, Nama Penulis, Abstract (berbahasa Inggris) dan Intisari (berbahasa Indonesia), Kata Kunci, Pendahuluan, Pembahasan (langsung diperinci menjadi sub-sub judul sesuai dengan permasalahan yang dibahas), Penutup, Daftar Pustaka. Gaya penulisan harus mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Gaya penulisan yang khusus berlaku di Jurnal Mimbar Hukum adalah: • • • • • • • • • Bilamana merujuk suatu pasal, huruf awal kata “pasal” ditulis dengan huruf kapital. Bilamana merujuk suatu ayat, huruf awal kata “ayat” ditulis dengan huruf kecil dan angka diapit oleh tanda baca kurung. Apabila dalam kutipan langsung suatu frasa, paragraf, atau rumusan pasal terdapat bagian yang dihilangkan, mohon indikasikan bagian yang dihilangkan tersebut dengan elipsis yang disisipkan dalam tanda kurung siku […]. Penyingkatan nama peraturan perundang-undangan diserahkan kepada gaya masingmasing penulis, selama dipergunakan secara konsisten. Bentuk yang disarankan misalnya adalah “UU No. 1 Tahun 1950”. Bilamana pengarang atau editor berjumlah lebih dari 1 (satu) orang, cantumkan nama orang pertama diikuti dengan et al. Penulis disarankan untuk menghindari metode penjabaran secara enumeratif. Daftar Pustaka hendaknya dirujuk dari edisi mutakhir dan sangat disarankan berasal dari jurnal. Penulis sangat tidak dianjurkan untuk mengacu pada diri sendiri (self-citation). Gelar akademik tidak ditulis di dalam daftar pustaka maupun catatan kaki. Penulisan daftar pustaka disusun secara alfabetis dengan nama pengarang dibalik. Tata cara penulisan adalah sebagai berikut: • Buku: ‹nama pengarang›, ‹tahun terbit›, ‹judul›, ‹penerbit›, ‹tempat terbit›. Pollock, Frederick, et al., 1888, An Essay on Possession in the Common Law, Clarendon Press, Oxford. • Artikel Jurnal: ‹nama pengarang›, “‹judul›”, ‹nama jurnal›, ‹volume›, ‹nomor›, ‹bulan›, ‹tahun›. Pound, Roscoe, “The Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence”, Harvard Law Review, Vol. 25, No. 6, April 1912. • Hasil Penelitian/Tugas Akhir: ‹nama pengarang›, ‹tahun terbit›, ‹judul›, ‹jenis publikasi (hasil penelitian/skripsi/tesis/disertasi)›, ‹institusi›, ‹tempat institusi›. Mertokusumo, Sudikno, 1971, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apa Kemanfaatannya bagi Indonesia, Disertasi, Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. • Makalah/Pidato: ‹nama pengarang›, “‹judul›”, ‹jenis publikasi›, ‹forum›, ‹tempat›, ‹waktu›. Hardjasoemantri, Koesnadi, “Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Pidato, Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 15 April 1985. • Artikel dalam Antologi dengan Editor: ‹nama pengarang›, “‹judul artikel›”, dalam ‹editor›, ‹tahun›, ‹judul buku›, ‹penerbit›, ‹tempat terbit›. Madison, James, “The Federalist No. XVIII”, dalam Hamilton, Alexander, et al., 1837, The Federalist: On the New Constitution, Written in the Year 1788, Glazier, Masters & Smith, Hallowell. • Artikel Majalah atau Koran: ‹nama pengarang›, “‹judul artikel›”, ‹nama majalah/koran›, ‹tanggal artikel diterbitkan›. Falaakh, Mohammad Fajrul, “Monarki Yogya Inkonstitusional?”, Kompas, 1 Desember 2010. • Internet: ‹nama pengarang›, “‹judul artikel›”, ‹alamat url lengkap›, diakses ‹tanggal akses›. Komisi Perlindungan Anak Indonesia, "52 Komisi Negara, KPAI Ditentukan Seleksi Alam", http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/29-52-komisi-negarakpai-ditentukan-seleksi-alam-.html, diakses 15 Januari 2011. • Peraturan Perundang-undangan: Nomenklatur peraturan perundang-undangan beserta nomor, tahun, dan judulnya, diikuti dengan nomor dan tahun tempat pengundangan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK.08/2011 tentang Penggunaan Proyek Sebagai Dasar Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 502). • Putusan Pengadilan: Nomenklatur produk forum pengadilan, nomor produk, perihal, tanggal mulai berkekuatan hukum. Putusan Mahkamah Agung Nomor 55PK/Pid/1996 perihal Peninjauan Kembali perkara Dr. Muchtar Pakpahan, S.H., M.A., 25 Oktober 1996. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-I/2003 perihal Pengujian UndangUndang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 30 Desember 2003. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnote). Cara penulisan seperti di atas, tetapi penulisan nama pengarang tidak dibalik. Penulisan halaman disingkat menjadi “hlm.”.