Pengaruh Sistem Penggunaan Lahan Hutan terhadap Diversitas

advertisement
BioSMART
Volume 4, Nomor 2
Halaman: 66-69
ISSN: 1411-321X
Oktober 2002
Pengaruh Sistem Penggunaan Lahan Hutan terhadap Diversitas
Makroinvertebrata Tanah di RPH Jatirejo, Kediri, Jawa Timur
The effect of land use systems on soil macroinvertebrate diversities at Jatirejo forest resorts,
Kediri, East Java
SUGIYARTO 1,3, YOGI SUGITO 2,3, EKO HANDAYANTO 2,3, LILY AGUSTINA 2,3
1
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126
2
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang
3
Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang
Diterima: 10 Juni 2002. Disetujui: 31 Juli 2002
ABSTRACT
Soil macroinvertebrates have important function on agroecosystems management, especially as soil engineer or organic matter
decomposer. The objective of the study was to know the effects of forest land use system on the diversity of soil macroinvertebrates.
The samples were took from three sites in Jatirejo forest resorts, District of Kediri, East Java, i.e.: complex forest (HC), monoculture
sengons plantation (HSM) and intercropping sengons plantation (HST). Soil macroinvertebrates were collected by hand sorting
methods. The results indicated that there were significant effects of land use systems on diversity index as well as species dominancy of
soil macroinvertebrates. Intensive land use systems tend to degrade the diversities of soil macroinvertebrate.
Key words: diversity, soil macroinvertebrate, forest land use systems, sengons plantation
PENDAHULUAN
Tanah merupakan bagian penting ekosistem terestrial
dan bersifat fragile. Perubahan lingkungan, terutama sistem
penggunaan/pengelolaan lahan akan dengan cepat merubah
kondisi dan fungsi tanah, dan selanjutnya akan mengubah
struktur dan fungsi biota/organisme, yang kehidupannya
sangat tergantung pada daya dukung tanah. Dengan
demikian degradasi lahan pada umumnya, maupun tanah
pada khususnya, akan mengganggu stabilitas ekosistem
serta cenderung menurunkan produktivitas lahan.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, proses
degradasi lahan berlangsung relatif cepat akibat tingginya
jumlah penduduk. Pengalihfungsian areal hutan menjadi
areal pertanian, serta areal pertanian menjadi areal pemukiman, industri dan sebagainya merupakan contoh nyata
kegiatan yang mendorong degradasi lahan. Sejak tahun
1999 pengalihfungsian lahan hutan menjadi lahan pertanian
terjadi secara besar-besaran, terutama pada hutan tanaman
industri (HTI) dengan jenis tegakan sengon (Paraserianthes falcataria), misalnya di RPH Jatirejo, BKPH Pare,
KPH Kediri, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Pada
pertengahan tahun 2000 hampir semua lahan di bawah
tegakan sengon di hutan ini telah dimanfaatkan untuk budidaya intensif tanaman pertanian (data tidak ditunjukkan).
Implikasi proses degradasi lahan di daerah tropika
akibat deforestasi sangat rumit, unik dan belum banyak
dipublikasikan. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan proses
kepunahan biodiversitas, baik pada taraf ekosistem, spesies
maupun gen (Brown et al., 1994; Brussaard, 1998). Oleh
karena itu kajian tentang hal ini masih sangat dibutuhkan
(Lavelle et al, 1994; Hagvar, 1998). Demikian juga
penelitian tentang pengaruh perubahan sistem penggunaan
lahan di bawah tegakan hutan sengon terhadap
produktivitas lahan, dinamika populasi biota dan kondisi
faktor lingkungan fisik maupun sosial.
Berbagai jenis organisme tanah yang umumnya anggota
Invertebrata dilaporkan berperan penting dalam ekosistem
terestrial, terutama di daerah tropika. Makroinvertebrata
tanah yaitu kelompok invertebrata yang sebagian atau
seluruh siklus hidupnya berada di dalam tanah, merupakan
salah satu penyusun biodiversitas tanah serta berperan penting dalam perbaikan sifat fisika, kimia dan biologi tanah.
Diversitas makroinvertebrata tanah dan fungsi ekosistem
menunjukkan hubungan yang sangat kompleks dan belum
banyak diketahui. Tetapi telah banyak dilaporkan bahwa
penurunan diversitas dan perubahan peran makroinvertebrata tanah terjadi akibat perubahan sistem penggunaan
lahan. Tanah yang terdegradasi umumnya menunjukkan
penurunan kompleksitas dan biomassa fauna tanah (Lavelle
et al., 1994; Giller et al., 1997; Brussaard, 1998).
Mengingat tingginya peranan makroinvertebrata tanah serta
spesifikasi fungsinya, maka beberapa ahli telah mempromosikan makroinvertebrata tanah sebagai bioindikator
kesehatan tanah (Doube and Schmidt, 1997).
Meskipun peran makroinvertebrata tanah dalam sistem
pertanian telah banyak dilaporkan, terutama dalam sistem
tradisional, namun kajian tentang kaidah-kaidah ekologi
© 2002 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
SUGIYARTO dkk. – Makroinvertebrata Tanah di RPH Jatirejo, Kediri
seperti faktor-faktor lingkungan yang dominan masih
sangat terbatas. Kajian ini diperlukan guna memberikan
rekomendasi teknik konservasi serta pengelolaan lebih
lanjut (Lavelle et al, 1994; Hagvar, 1998). Dalam hal ini
TSBF (Tropical Soil Biology and Fertility) antara lain
mengidentifikasi tiga tema besar hubungan antara fungsi
fauna tanah dengan kesuburan tanah, yaitu: (i) kuantifikasi
struktur komunitas fauna tanah dalam berbagai sistem
penggunaan lahan; (ii) kuantifikasi peran fauna tanah
dalam proses-proses utama di dalam tanah, dan (iii)
manipulasi komunitas fauna tanah untuk memperbaiki
kesuburan tanah. Penelitian ini dilakukan untuk
mendeskripsikan diversitas makroinvertebrata tanah pada
berbagai sistem penggunaan lahan hutan di RPH Jatirejo,
Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2001
sampai dengan Januari 2002. Lokasi penelitian lapangan
adalah di kawasan hutan tanaman industri dengan jenis
tegakan sengon yang termasuk dalam RPH Jatirejo, BKPH
Pare, KPH Kediri, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
Secara administrasi wilayah tersebut berada di Kecamatan
Pare dan Puncu, Kabupaten Kediri. Pembuatan preparat
dan identifikasi sampel fauna tanah dilakukan di
Laboratorium Pusat MIPA UNS Surakarta.
Deskripsi lokasi penelitian
RPH Jatirejo terletak di daerah aliran sungai (DAS)
Brantas di sebelah barat Gunung Kelud. Kondisi topografi
datar/landai dengan kemiringan 0-8%. Jenis tanah regosol
dengan bahan induk tuff vulkanik intermedier. Sifat fisik
tanah lepas, sarang, daya muat udara besar, daya muat air
rendah, tidak lekat, tidak pecah dan mudah diolah. Kondisi
iklim menurut sistem klasifikasi Schmidt-Ferguson termasuk tipe C. Jenis tegakan yang diusahakan adalah sengon
dengan daur (umur tebang) 8 tahun secara monokultur. Di
beberapa lokasi masih tersisa tegakan sonokeling, mahoni
dan campuran (Kuswandana, 1994; Sugiyarto, 2000).
Cara kerja
Pengamatan tegakan sengon sistem monokultur (HSM)
dilakukan pada 3 stasiun, masing-masing berumur 3, 5 dan
7 tahun. Pengamatan tegakan sengon sistem tumpangsari
(HST) dilakukan pada 7 stasiun, yaitu masing-masing 4, 2
dan 1 stasiun dengan sengon berumur 3, 5 dan 7 tahun.
Pengamatan untuk hutan campuran (HC) hanya dilakukan
pada satu stasiun. Pada setiap stasiun ditentukan 3 titik
sampling secara acak. Pada masing-masing titik dilakukan
penangkapan sampel makroinvertebrata tanah.
Sampel makroinvertebrata tanah diambil dengan
metode pengambilan langsung (hand sorting), yaitu dengan
cara meletakkan kuadrat (ukuran 25 x 25 cm2) di atas tanah
kemudian tanah digali sedalam 30 cm. Tanah galian
ditampung pada bak plastik dan makroinvertebrata tanah
yang terangkut diambil dan dikoleksi dalam botol koleksi
berisi alkohol 76% untuk dibawa ke laboratorium
(Wallwork, 1970; Suin, 1997). Di laboratorium spesimen
67
hasil koleksi dibuat preparat awetan basah dengan
memasukkan ke dalam alkohol 76% secara berulang-ulang
hingga eksudatnya hilang sempurna. Selanjutnya dilakukan
identifikasi dan kuantifikasi dengan bantuan mikroskop
binokuler dan digunakan minyak imersi bila diperlukan.
Untuk identifikasi digunakan acuan buku identifikasi antara
lain: Suin (1997), Borror et al.(1992), Chu and Cutkomp
(1992), Hopkin and Read (1992), South (1992), Dindal
(1990), Elzinga (1978) dan Wallwork (1970).
Analisis Data
Struktur dan komposisi makroinvertebrata tanah
dinyatakan dengan nilai indeks diversitas Simpson yang
dimodifikasi Suin (1997) dengan rumus sebagai berikut:
ID = (1 - Σpi2) (qi);
pi: proporsi fauna ke-i di dalam komunitasnya
qi: rasio jumlah spesies pada suatu stasiun dengan total
spesies yang ditemukan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Diversitas makroinvertebrata tanah
Dalam penelitian ini didapatkan 33 spesies makroinvertebrata tanah (Tabel 1), berbeda dengan penelitian
sebelumnya. Sugiyarto (2000) telah melaporkan ditemukannya makroinvertebrata tanah sebanyak 27 spesies
dengan metode hand sorting dan 26 spesies dengan metode
‘Barber’ di lokasi yang sama. Perbedaan ini dimungkinkan
karena pada penelitian terakhir juga dilakukan pengamatan
pada tegakan hutan campuran dan tegakan sengon yang
ditumpangsarikan dengan berbagai jenis tanaman budidaya,
misalnya jagung, nanas, rumput gajah, pepaya, dan cabai.
Seperti halnya penelitian sebelumnya seluruh makroinvertebrata tanah yang ditemukan termasuk dalam 3 filum,
yaitu Molusca, Annelida dan Arthropoda. Pada Filum
Annelida terdapat 2 spesies yang pada penelitian sebelumnya belum ditemukan, yaitu Metaphire capensis dan
Megascolex spp. Pada Filum Molusca terdapat satu spesies
yang pada penelitian sebelumnya belum ditemukan, yaitu
Meghimatium sp. Sedangkan pada Filum Arthropoda terdapat banyak perubahan struktur dan komposisi makroinvertebrata tanah dibandingkan penelitian sebelumnya.
Perubahan struktur dan komposisi makroinvertebrata tanah
ini menunjukkan terjadinya dinamika populasi pada
masing-masing kelompok makroinvertebrata tanah pada
habitat hutan tanaman sengon di RPH Jatirejo. Faktorfaktor yang berpotensi mempengaruhi dinamika tersebut
antara lain: perubahan cuaca, intensitas pengelolaan lahan
dan diversitas tumbuhan sebagai sumber pakan.
Tingginya tingkat perubahan struktur dan komposisi
Arthropoda menunjukkan bahwa kelompok tersebut
mengalami dinamika paling tinggi dibanding kelompok
lain. Hal ini dimungkinkan karena anggota Arthropoda,
terutama Insecta umumnya memiliki mobilitas tinggi,
sehingga dapat dengan mudah bermigrasi jika kondisi
habitatnya tidak menguntungkan. Perubahan cuaca secara
langsung mempengaruhi kandungan air tanah dan
temperatur, sedang secara tidak langsung mempengaruhi
laju pertumbuhan tanaman yang ada sehingga menentukan
tinggi rendahnya cadangan hara dan tempat perlindungan
BioSMART Vol. 4, No. 2, Oktober 2002, hal. 66-69
68
Tabel 1. Kelompok makroinvertebrata tanah yang ditemukan di tiga macam habitat tegakan
hutan di RPH Jatirejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Filum
Mollusca
Kelas
Ordo
Gastropoda Geophila
Annelida
Stylomatophora
Chaetopoda Olygochaeta
Familia
Achatinidae
Discidae
Phylomycidae
Megascolecidae
Glossoscolecidae
Lycosidae
Loxoscelidae
Phalcidae
Selenopidae
Arthropoda Arachnida
Araneae
Crustacea
Isopoda
Diplopoda
Spirobolida
Oniscidae
Porcellionidae
Narceidae
Chilopoda
Lithobiomorpha
Scutigeomorpha
Geophilomorpha
Scolopendromorpha
Lithobiidae
Scutigeridae
Geophilidae
Scolopendridae
Insecta
Dermaptera
Hemiptera
Homoptera
Isoptera
Diptera
Hymenoptera
Blattaria
Forficulidae
Cydnidae
Cicadidae
Rhinotermitidae
Scatopsidae
Formicidae
Scoliidae
Gryllotalpidae
Gryllidae
Blattidae
Coleoptera
Blatellidae
Carabidae
Orthoptera
Scarabaeidae
Keterangan: …………….. *) belum teridentifikasi.
Pengaruh perubahan sistem
pertanaman
Di RPH Jatirejo terdapat paling
Spesies
tidak tiga sistem penggunaan lahan
Achatina fulica
hutan,
yaitu
tegakan
hutan
…………….. *)
campuran,
tegakan
sengon
monoMeghimatium sp.
kultur dan tegakan sengon sistem
Metaphire javanica
tumpangsari (Tabel 2). Hutan
Metaphire capensis
Megascolex spp.
campuran tersusun atas berbagai
Pontoscolex corenthrurus
jenis pohon dan semak belukar,
Lycosa sp.
antara lain: mahoni, flamboyan,
Loxosceles sp.
kedawung, sengon, ipik, jati
…………….. *)
(pohon), rotan, Ficus sp. (semak),
…………….. *)
dan senthe (herba). Vegetasi bawah
Oniscus sp.
pada hutan tanaman sengon dengan
Porcellio sp.
sistem monokultur kebanyakan diNarceus sp.
dominasi oleh kirinyu (Chromolaena odorata). Sedangkan pada
Lithobius forficula
tegakan sengon dengan sistem
Scutigera sp.
Geophilus sp.
tumpangsari didapatkan berbagai
Scolopendra obscura
jenis tanaman budidaya sebagai
tanaman sela, antara lain: jagung,
Forficula auricularia
nanas, rumput gajah, pepaya, cabai,
Pangaeus bilineatus
Tibicen pruinosa
labu siam, ubikayu dan berbagai
Reticulitermes sp.
jenis kacang-kacangan. Jenis-jenis
Rhegmoclema sp.
tanaman sela itupun ada yang
Lobopelta ocellifera
ditanam secara tunggal dan
Scolia sp.
campuran. Perbedaan ketiga sistem
Gryllotalpa sp.
pertanaman tersebut menyebabkan
Gryllus sp.
perbedaan intensitas pengelolaan
Blatta orientalis
tanaman serta tanah. Tanah pada
Blatta sp.
hutan campuran tidak mengalami
Blatella sp.
Calosoma scrutator
gangguan
(disturbansi)
dalam
…………….. *)
jangka waktu yang lama (ratusan
Phyllophaga sp.
tahun), sedangkan tanah pada hutan
tanaman sengon sistem monokultur
akan mengalami gangguan secara
periodik dalam kurun waktu 8 tahun (umur rotasi tanaman
sengon). Pengolahan tanah dengan intensitas tertinggi
bagi fauna tanah, terutama anggota Arthropoda (Makalew,
2001). Perbedaan intensitas pengelolaan lahan merupakan
faktor
penting
yang
mempengaruhi eksistensi Tabel 2. Nilai rata-rata jumlah individu (SI), jumlah spesies (SS) dan indeks diversitas (ID) serta
Arthropoda tanah. Giller kelompok makroinvertebrata tanah dominan pada berbagai sistem pertanaman hutan di RPH Jatirejo,
et al., (1997) menyebut- Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
kan bahwa intensifikasi
pertanian
cenderung
Kelompok makroSistem pertanaman
SI
SS
ID invertebrata tanah
menurunkan biodiversitas No
dominan
tanah. Selain itu fauna
tanah pada umumnya 1. Hutan sengon tumpangsari (HST):
0,08 Scolopendra obscura
4
18,6
3 tahun (nanas)
mengalami metamorfosis,
0,16 Phyllophaga sp.
7
28,0
3
tahun
(jagung)
dimana sebagian fase
0,08 Phyllophaga sp.
4
10,7
3 tahun (rumput gajah)
hidupnya (terutama pada
0,07 Phyllophaga sp.
4
14,0
3 tahun (rumput gajah + nanas)
fase dewasa) bersifat
0,07 Phyllophaga sp.
4
12,0
5 tahun (pepaya + labu siam + cabai + ubikayu)
arboreal.
Misalnya
0,02 Reticulitermes sp.
5 tahun (pepaya + cabai + terong + kacang panjang) 130,0 5
Phyllophaga sp., pada
0,11 Calosoma scrutator
6
7 tahun (pepaya + cabai + jagung + kacang tunggak 62,4
fase larva hidup di dalam
Rata-rata
39,4 4,9 0,09
tanah sebagai lundi-lundi 2. Hutan sengon monokultur (HSM):
0,11 Reticulitermes sp.
8
85,3
3 tahun
putih (uret/ mbog) dan
0,11 Phyllophaga sp.
5
17,2
5
tahun
pada fase dewasa hidup
42,2 11 0,26 Reticulitermes sp.
7 tahun
pada tajuk tumbuhan
Rata-rata
48,2
8
0,16
(Borror et al., 1992).
3. Hutan campuran (HC)
102,0 17 0,30 Metaphire javanica
SUGIYARTO dkk. – Makroinvertebrata Tanah di RPH Jatirejo, Kediri
terjadi pada hutan tanaman sengon dengan sistem
tumpangsari, yaitu hampir setiap bulan.
Perbedaan sistem pengelolaan lahan (tanah dan
tanamannya) akan berpengaruh terhadap kondisi ekosistem
pada umumnya dan sub-sistem tanah pada khususnya. Hal
ini antara lain dapat dilihat dengan adanya perbedaan yang
jauh antara nilai rata-rata jumlah individu, spesies, indeks
diversitas maupun spesies makroinvertebrata tanah yang
dominan (memiliki nilai penting tertinggi di habitatnya)
pada ketiga habitat yang diteliti. Dari data yang disajikan
pada Tabel 2 antara hutan campuran (HC), hutan sengon
sistem monokultur (HSM) dan hutan sengon sistem
tumpangsari (HST), tampak adanya penurunan nilai ratarata jumlah individu makroinvertebrata tanah secara
berturut-turut 102, 48,2, dan 39,4; penurunan jumlah
spesies secara berturut-turut 17, 8, dan 4,9, serta penurunan
indeks diversitas secara berturut-turut 0,30, 0,16, dan 0,09.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Giller et al.
(1997) bahwa intensifikasi pertanian cenderung
berpengaruh negatif terhadap diversitas biota tanah.
Makalew (2001) juga melaporkan bahwa agroekosistem
tanpa olah tanah (TOT) cenderung memiliki lebih banyak
pengaruh positif terhadap keanekaragaman biota tanah
dibandingkan dengan pengolahan tanah. Sistem
pertanaman seperti rotasi tanaman dan konversi vegetasi
alami menjadi lahan pertanaman cenderung berpengaruh
negatif terhadap keanekaragaman biota tanah.
Selain terjadi perubahan struktur dan komposisi makroinvertebrata tanah, fakta menarik lain yang terungkap
dalam penelitian ini adalah timbulnya dominansi spesiesspesies makroinvertebrata tanah yang berpotensi sebagai
hama tanaman budidaya. Dari 7 stasiun pengamatan di
habitat tanaman sengon dengan sistem tumpangsari, 4
stasiun di antaranya didominansi Phyllophaga sp. yang
berpotensi sebagai hama pemakan umbi dan perakaran
tanaman pada fase larva, serta pemakan daun dan bunga
pada fase dewasa. Pada sistem pertanaman sengon
monokultur, dengan rotasi tanaman dan pengelolaan lahan
semi-intensif, makroinvertebrata tanah yang dominan adalah rayap Reticulitermes sp. (2 stasiun) dan Phyllophaga
sp. (1 stasiun). Rayap dengan populasi tinggi juga berperan
sebagai hama tanaman pertanian dan kehutanan (pohon),
sedangkan di habitat hutan campuran makroinvertebrata
tanah yang dominan adalah cacing tanah Metaphire javanica yang berperan penting bagi pemeliharaan kesuburan
tanah. Terjadinya dominansi spesies-spesies makroinvertebrata tanah yang berperan sebagai hama diduga karena
adanya introduksi jenis-jenis tanaman budidaya yang
disukai spesies tersebut, terbatasnya keragaman spesies
maupun populasi fauna lain yang berperan sebagai predator
maupun kompetitor akibat berkurangnya keragaman
tumbuhan sebagai sumber makanan, diaplikasikannya
bahan-bahan agrokimia, tingginya intensitas gangguan
serta perubahan faktor fisika-kimia lingkungan lainnya.
Kecenderungan menurunnya diversitas makroinvertebrata tanah dan munculnya dominansi fauna tanah yang
berpotensi sebagai hama tanaman sejalan dengan perubahan penggunaan lahan dari sistem konservatif ke sistem
intensif merupakan fenomena ekologi yang menarik. Dari
hasil penelitian ini muncul berbagai pertanyaan menarik
69
yang dapat dikaji lebih lanjut, antara lain: dapatkah
diversitas makroinvertebrata tanah digunakan sebagai
bioindikator kestabilan ekosistem terutama sub-sistem
tanah; apakah perubahan diversitas makroinvertebrata
tanah dan munculnya dominansi spesies yang berpotensi
sebagai hama terkait dengan proses degradasi lahan pada
umumnya atau tanah pada khususnya; bagaimanakah
mekanisme munculnya dominansi spesies makroinvertebrata tanah yang berpotensi sebagai hama jika
dilihat dari hubungan trofik atau aliran energi; dan adakah
teknologi budidaya tanaman yang dapat mengendalikan
laju penurunan diversitas makroinvertebrata tanah.
KESIMPULAN
Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa: (i) perubahan
sistem pengelolaan hutan dari hutan campuran menjadi
hutan tanaman monokultur maupun tumpangsari cenderung
menurunkan diversitas makroinvertebrata tanah, (ii)
perubahan pengelolaan hutan dari hutan campuran menjadi
hutan tanaman monokultur maupun tumpangsari cenderung
memunculkan dominansi spesies makroinvertebrata tanah
yang berpotensi sebagai hama tanaman budidaya.
DAFTAR PUSTAKA
Borror, D.J., C.A. Triplehorn and N.F. Johnson. 1992. Pengenalan
Pelajaran Serangga (Penerjemah: S. Partosoedjono dan Mukayat
D.B.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Brown, S., J.M Anderson, P.L Woomer, M.J. Swift and E. Barrios. 1994.
Soil biological processes in tropical ecosystems. In Woomer, PL and
M.J. Swift (Eds.). The Biological Management of Tropical Soil
Feretility. ChiChester: John Wiley & Sons.
Brussaard, L. 1998. Soil fauna, guilds, functional groups and ecosytem
processes. Applied Soil Ecology 9: 123-136.
Chu, H.F. and L.K. Cutkomp. 1992. How to Know the Immature Insects.
Dubuque: WCB Publishers.
Dindal D.L. (Ed.) 1990. Soil Biology Guide. New York: John Wiley &
Sons.
Doube, B.M., and O. Schmidt. 1997. Can the abundance or activity of soil
macrofauna be used to indicate the biologicsl health of soils? In
Pankhurst, E.C., B.M. Doube and V.V.S.R. Gupta (Eds.). Biological
Indicators of Soil Health. New York: CAB International.
Elzinga, R.J. 1978. Fundamental of Entomology. New Delhi: Prentice Hall
of India.
Giller, K.E, M.H. Beare, P. Lavelle, A.M.N. Izzac, and M.J. Swift. 1997.
Agricultural intensification, soil biodiversity and agroecosystem
function. Applied Soil Ecology 6: 3-16.
Hagvar, S. 1998. The relevance of Rio-convention of biodiversity to
conserving the biodiversity of soils. Applied Soil Ecology 9: 1-8.
Hopkins, S.P. and H.J. Read. 1992. The Biology of Millipedes. Oxford:
Oxford University Press.
Kuswandana, J., 1994. Studi pertumbuhan dan riap diameter tegakan
Albizia falcataria (L) Forsberg. di KPH Kediri, Jawa Timur. Skripsi.
Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Lavelle, P., M. Dangerfield, C. Fragoso, V. Eschenbremer, D. LopezFernandez, B. Pashanasi, and L. Brussaard. 1994. The relationships
between soil macrofauna and tropical soil fertility. In Woomer, P.L.
and M.J. Swift (Eds.). The Biological Management of Tropical Soil
Feretility. ChiChester: John Wiley & Sons.
Makalew, A.D.N. 2001. Keanekaragaman Biota Tanah pada Agroekosistem Tanpa Olah Tanah (TOT). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
South, A. 1992. Terrestrial Slug. London: Chapman & Hall.
Sugiyarto. 2000. Keanekaragaman makroinvertebrata tanah pada berbagai
umur tegakan sengon di RPH Jatirejo, Kabupaten Kediri.
Biodiversitas 1 (2): 11-15.
Suin, N.M. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Bandung: Bumi Aksara.
Wallwork, J.A. 1970. Ecology of Soil Animals. London: Mc Graw-Hill.
70
BioSMART Vol. 4, No. 2, Oktober 2002, hal. 66-69
Download