BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama kali dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara No. 26 Tahun 1961), khususnya pada Pasal 19 menyebut PPAT sebagai penjabat. Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 beserta semua peraturan yang diturunkan darinya, maka dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah (LN no 42 Tahun 1996, selanjutnya disebut UUHT), PPAT disebut secara tegas sebagai pejabat umum. Ini berarti terdapat pergeseran kedudukan PPAT dari seorang penjabat menjadi seorang pejabat umum1, dalam kedudukannya yang demikian menjadikan posisi PPAT sama dengan Notaris sebagai openbaar ambtenaar . Istilah tersebut terdapat dalam Pasal 1 PJN (Stb 1860 : 3) dan Pasal 1868 Bergeljk Wetboek2 Pengaturan tentang PPAT yang berlaku saat ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah peraturan jabatan yang dijanjikan 1 J. Kartini Soejendro, 2001, Perjanjian Peralihan hak Atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Tafsir Sosial Hukum Ketika Menangani Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Kanisius, Yogyakarta, Hal 83-91 2 Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, Hal. 12. (Selanjutnya disebut Habib Adjie I) 45 oleh Pasal 7 ayat (3) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi : “Peraturan jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri”. Peraturan pelaksana dari PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah Peraturan Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Peraturan Jabatan PPAT, yang kemudian dirubah dengan Peraturan Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009. PPAT menurut Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Tugas pokok PPAT diatur dalam pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 1998, yaitu melaksanakan sebagian kegiatan Pendaftaran Tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai Hak atas Tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud adalah : 1. Jual Beli 2. Tukar Menukar 3. Hibah 4. Pemasukan ke dalam Perusahaan (inbreng) 5. Pembagian Hak Bersama 6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik 7. Pemberian Hak Tanggungan 8. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut maka oleh Pasal 3 PP Nomor 37 Tahun 1998, PPAT diberi kewenangan untuk memformulasikan perbuatan hukum tersebut ke dalam Akta PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Dikaji dari sudut pandang kewenangan, PPAT mempunyai kewenangan untuk membuat delapan macam akta tersebut di atas, meliputi akta peralihan hak atas tanah dan akta pembebanan hak atas tanah. Ini berarti PPAT tidak mungkin diminta untuk membuat akta di luar delapan macam akta tersebut atau kewenangan untuk membuat akta itu ada pada pejabat lain sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam perkembangannya, kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum lebih dipertegas dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan yang terbit kemudian, yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 sebagaimana diubah UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dalam Pasal 24 ayat (1) menyatakan bahwa PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. 3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta menegaskan Benda-Benda siapa PPAT yang dan Berkaitan bagaimana Dengan Tanah kedudukan PPAT sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 4, yaitu : “Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” 4. Selain dalam UU Hak Tanggungan tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, juga menyebutkan PPAT sebagai Pejabat Umum, Pasal 1 angka 5 menyebutkan PPAT sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta tanah. 5. Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961 yang menyebut PPAT sebagai Pejabat Umum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 24 yaitu : “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu.” 6. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT menegaskan kembali bahwa PPAT sebagai pejabat umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa yang dimaksud dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut di atas secara tegas menyatakan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum, sehingga sama kedudukannya dengan Notaris yang juga disebut Pejabat Umum dalam Pasal 1 angka 1 UndangUndang nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu : “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. 2.1.2. Syarat-Syarat Menjadi PPAT Syarat untuk menjadi PPAT diatur di dalam Pasal 6 PP Nomor 37 Tahun 1998, yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Berkewarganegaraan Indonesia; 2. Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun (namun menurut Peraturan Kepala BPN RI Nomor 23 Tahun 2009, untuk dapat mengikuti ujian PPAT sudah harus berusia 30 tahun). 3. Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh instansi kepolisian setempat. 4. Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 5. Sehat jasmani dan rohani. 6. Lulusan program pendidikan spesialis notaris (pendidikan magister kenotariatan) atau program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi. 7. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh kantor Menteri Negara Agraria/ Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. 2.1.3. Jenis-Jenis PPAT Menurut ketentuan Pasal 1 PP Nomor 37 Tahun 1998, ada 3 macam PPAT, yaitu : 1. Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. PPAT yang dimaksud dalam ayat ini adalah lulus program pendidikan spesialis Notaris (Magister Kenotariatan) atau lulusan pendidikan tinggi khusus PPAT. 2. Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT didaerah yang belum cukup terdapat PPAT, misalnya camat dan kepala desa. 3. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah pejabat BPN RI yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu, misalnya Kepala Kantor Pertanahan. Perbedaan antara Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah : 1. PPAT diangkat oleh Menteri, sedangkan PPAT Sementara dan PPAT Khusus ditunjuk oleh Menteri yaitu sekarang Menteri Agraria. 2. PPAT diangkat dengan memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pasal 6 PP Nomor 37 Tahun 1998, sedangkan PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah dan PPAT Khusus adalah Pejabat dari BPN RI. 3. PPAT dan PPAT Sementara dalam menjalankan tugas kewenangan diijinkan untuk menerima honorarium yaitu setinggi-tingginya adalah 1% (satu persen) dari harga transaksi yang tercantum dalam akta, sedangkan PPAT Khusus tidak memungut biaya dalam menjalankan tugasnya. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agraria/Kepala BPN. Sebelum menjalankan tugasnya sebagai PPAT, PPAT dilantik oleh Kepala Kantor Pertanahan dimana ia akan bertugas. 2.1.4. Hak dan Kewajiban PPAT Menurut Satjipto Rahardjo, hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut sebagai hak. 3 Lebih jauh dijelaskan bahwa ciri-ciri yang melekat pada hak menurut hukum adalah sebagai berikut : 3 Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 53. 1. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran hak. 2. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif. 3. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan. Ini bisa disebut sebagai isi dari hak. 4. Commission atau omission itu menyangkut sesuatu yang bisa disebut sebagai objek dari hak. 5. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya. 4 Dalam pelaksanaan tugasnya PPAT mempunyai Hak dan kewajiban, yang berpedoman pada peraturan perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia, sebagaimana diatur didalam PP Nomor 37 Tahun 1998. a. Hak PPAT - Dalam menjalankan jabatannya PPAT berhak untuk mendapatkan honor setinggi-tingginya 1% (satu persen) dari harga transaksi yang tercantum di dalam akta, namun PPAT wajib pula memberikan jasa secara cumacuma kepada anggota masyarakat tidak mampu. 4 Ibid, Hal. 55. - Bilamana ada keperluan yang menyebabkan PPAT tidak dapat menjalankan tugasnya untuk beberapa saat maka ia berhak untuk mengambil cuti. - Berdasarkan ketentuan Pasal 31 PP Nomor 37 Tahun 1998, PPAT yang menjalankan cuti dapat mengusulkan untuk pengangkatan PPAT pengganti yang harus memenuhi syarat bahwa ia adalah seorang Sarjana Hukum dan sudah bekerja di kantor PPAT yang digantikannya selama paling sedikit 2 tahun, namun Peraturan Kepala BPN RI Nomor 1 Tahun 2006 menambahkan syarat untuk pengajuan sebagai PPAT Pengganti, yaitu : - Harus berumur 30 tahun atau lebih; - Belum berumur 65 tahun pada saat berakhirnya masa jabatan PPAT pengganti; - Belum ada PPAT lainnya yang diangkat. PPAT berhak untuk memperoleh informasi serta perkembangan peraturan pertanahan. - PPAT berhak untuk memperoleh kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri sebelum ditetapkannya keputusan pemberhentian sebagai PPAT. - PPAT boleh merangkap sebagai jabatan Notaris, konsultan atau penasehat hukum. - PPAT berhak untuk menolak membuat akta bila tanahnya sudah bersertipikat namun pemilik sertipikat tidak mau menunjukkan dan menyerahkannya kepada PPAT atau oleh pemilik diserahkan sertipikatnya namun sertipikat tersebut tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan. b. Kewajiban PPAT Kewajiban berasal dari kata wajib yang berarti beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan oleh pihak tertentu tidak dapat oleh pihak lain manapun yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan. Dengan demikian kewajiban berarti sesuatu yang harus dilakukan yang dalam konteks ini dipersepsikan sebagai sesuatu yang harus dilakukan oleh PPAT. Adapun bentuk kewajiban PPAT adalah seperti tersebut dibawah ini : - PPAT mempunyai kewajiban administrasi untuk menyimpan dan memelihara protokol PPAT yang terdiri dari Daftar Akta, Akta Asli, Warkah Pendukung Akta, Arsip Laporan, Agenda, dan surat-surat lainnya. - Menyampaikan setiap akta yang dibuatnya (kecuali akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak akta dibuat. - Menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada para pihak mengenai telah disampaikannya akta ke Kantor Pertanahan. - Menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah BPN dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Mengenai laporan bulanan ini harus dibuat berdasarkan Surat Keputusan Bersama antara Menteri Negara Agraria/Kepala BPN dan Dir Jend Pajak Nomor : SKB-2 Tahun 1998 KEP-179/PJ/1998 yang ditetapkan dan mulai berlaku sejak tanggal 27 Agustus 1998. - Dalam hal ditunjuk oleh Kepala Kantor Pertanahan atau Kepala Kantor Wilayah BPN RI, PPAT wajib menerima protokol dari PPAT yang berhenti menjadi PPAT. - Memasang papan nama PPAT. - Menurunkan papan nama PPAT pada hari yang bersangkutan berhenti dari jabatan PPAT. 2.2. Tinjauan Umum tentang Peralihan dan Pembebanan Hak Atas Tanah 2.2.1. Pengertian dan Dasar Hukum Peralihan Hak Atas Tanah Secara historis, bahwa sejarah peralihan hak atas tanah yang berlaku di Indonesia dapat dikatagorikan menjadi peralihan hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA dan peralihan hak atas tanah sesudah berlakunya UUPA. Pada jaman Kolonial Belanda, adanya dua macam aturan tentang tanah yang masingmasing tunduk pada sistem hukum adat dan sistem hukum barat sehingga menimbulkan dualisme hukum agraria, maka dalam praktek terjadilah perbedaan aturan mengenai peralihan hak atas tanah. Peralihan hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat harus bersifat kontan dan terang. Menurut Hilman Jatikusumah, perbuatan jual lepas (sebagai salah satu bentuk peralihan tanah) adalah perbuatan tunai (kontantehandeling) yang berlaku riil dan konkret, artinya nyata dan jelas dapat ditangkap dengan pancaindra. Penyerahan benda dan pembayaran harganya terjadi dengan tunai, sudah diserahkan dan sudah dibayar harganya, walaupun belum lunas semua pembayarannya. Pembayaran dalam jual lepas ini dapat berlaku pembayaran uang tunai pada saat terjadinya ijab kabul atau dibayar kemudian (utang). Jika terjadi ketika jual beli itu terlaksana pembayaran belum lunas, tidak berarti bendanya belum diserahkan penjual dan belum diterima pembeli. Perjanjian itu tetap berlaku, mengenai pembayaran yang belum lunas merupakan perjanjian utang piutang.5 Sedangkan menurut Iman Soetignjo, pengertian terang yaitu mengalihkan hak atas tanah menurut hukum adat, harus dengan dukungan (mederweking) kepala suku/masyarakat hukum/desa agar perbuatan itu “terang”, dan sahnya (rechtsgeldigheid) ditanggung kepala tersebut.6 Dengan kata lain apabila transaksi-transaksi tersebut tidak dilakukan dengan dukungan (mederweking) kepala suku/masyarakat hukum/desa, maka perbuatan itu dianggap perbuatan yang tidak terang, tidak sah dan tidak berlaku terhadap pihak ketiga. Untuk peralihan hak atas tanah yang tunduk pada hukum barat, perpindahan/balik namanya harus melalui overschrijving ambtenaar (Pejabat Peralihan Hak). Jadi, setelah dilakukan jual beli dihadapan Notaris atau badan lain yang sama (lurah/kepala desa untuk orang Indonesia yang tunduk pada hukum barat), beralihnya hak harus lewat overschrijving ambtenaar (Pejabat Peralihan Hak). 5 Hilman Jatikusumah, 1979, Hukum Perjanjian Adat, Alumni, Bandung, Hal. 123. Iman Soetignjo, 1994, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Hal. 61-62. 6 Pada jaman Pemerintahan Jepang hukum pertanahan yang berlaku adalah seperti hukum yang berlaku pada jaman Kolonial Belanda. Terhadap tanah hak Barat berlaku ketentuan hukum tanah Barat (termasuk Jepang), dan terhadap tanah adat berlaku hukum tanah adat (bagi pribumi). Dengan kata lain, Permerintah Pendudukan Jepang tidak pernah mengadakan perubahan-perubahan dibidang hukum perdata (termasuk hukum tanah) dan mempertanahankan hukum perdata yang berlaku pada saat sebelum pendudukannya di Indonesia, yaitu terdiri dari hukum Barat dan hukum Adat termasuk dalam hal ini tentang prosedur peralihan hak atas tanahnya. Sebagai suatu hak yang bersifat kebendaan, hak atas tanah dapat beralih dan diperalihkan. Suatu hak atas tanah akan beralih jika kepemilikannya berpindah kepada orang lain tanpa melalui suatu perbuatan hukum, tetapi beralih akibat terjadinya suatu peristiwa hukum tertentu, misalnya terjadi kematian atau meninggalnya seseorang maka harta peninggalannya beralih kepada ahli warisnya. Suatu hak atas tanah dapat diperalihakan jika melalui suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah tersebut. Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena jual beli, hibah, tukar-menukar atau perbuatan lain yang bersifat mengalihkan hak atas tanah. Menurut Pasal 37 PP nomor 24 Tahun 1997 peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam ketentuan tersebut tidak dijelaskan apa yang dimaksud beralih dan diperalihkan, tetapi hanya diatur tentang peralihan suatu hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Secara teoritis berdasarkan ketentuan dalam hukum kebendaan suatu hak atas kebendaan dikatakan “beralih” yaitu suatu proses berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak yang lama kepada pihak lain karena pemegang haknya meninggal dunia. Proses seperti ini disebut dengan pewarisan. Peralihan hak atas tanah tersebut terjadi karena hukum, artinya dengan meninggalnya seorang pemegang hak atas tanah, maka secara otomatis hak atas tanah tersebut beralih kepada ahli warisnya. Jadi, ahli waris disini memperoleh peralihan hak atas tanah karena suatu peristiwa hukum tertentu, bukan karena perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah selaku subyek hukum. 7 Sedangkan suatu hak atas tanah dialihkan atau diperalihkan apabila hak atas tanah tersebut dipindahkan atau dipindahtangankan dari/oleh pemegang hak selaku subyek hukum/hak kepada orang lain karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak atas tanah yang dialihkan. Jadi peralihan hak atas tanah terjadi karena memang disengaja dan merupakan perbuatan atau hak kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak atas tanah yang dialihkan. Jadi peralihan hak atas tanah terjadi karena memang disengaja melalui suatu perbuatan hukum antara pemegang hak 7 Andi Hartanto, 2014, Hukum Pertanahan (Karakteristik Jual Beli Tanah yang Belum Terdaftar Hak Atas Tanahnya, LaksBang Justitia, Surabaya, Hal. 66 lama dengan pihak lain yang akan menjadi penerima hak dan sekaligus nantinya adalah sebagai pemegang hak yang baru. Perbuatan hukum yang bertujuan mengalihkan hak atas tanah dapat berupa jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaan (inbreng), pemberian dengan wasiat, dan lelang. Dalam proses peralihan atau pemindahan hak, pihak yang mengalihkan atau memindahkan hak harus mempunyai hak dan kewenangan untuk memindahkan hak, sedang bagi pihak yang memperoleh hak harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah yang baru. Hak atas tanah atau hak atas satuan rumah susun yang dapat beralih atau diperalihkan dari pemegang hak kepada pihak lain adalah : 1. Hak milik atas tanah yang pemegang haknya adalah perseorangan warga negara Indonesia. 2. Hak Guna Usaha yang pemegang haknya adalah perseorangan warga negara Indonesia. 3. Hak Guna Bangunan atas tanah warga negara yang pemegang haknya adalah perseorangan warga negara Indonesia. 4. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah hak milik yang pemegang haknya adalah perseorangan warga negara Indonesia. 5. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang berdiri di atas Hak Guna Bangunan yang pemegang haknya adalah perseorangan warga negara Indonesia. Mengenai peralihan hak milik atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun terdapat beberapa ketentuan, yaitu : 1. Ada hak atas tanah yang dapat beralih atau diperalihkan dari pemegang haknya kepada pihak lain tanpa suatu persyaratan. 2. Ada hak atas tanah yang tidak dapat beralih atau diperalihkan dari pemegang haknya kepada pihak lain. 3. Ada hak atas tanah yang dapat beralih atau diperalihkan dari pemegang hak kepada pihak lain dengan suatu persyaratan tertentu, yaitu berupa ijin dari pejabat yang berwenang atau persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik yang bersangkutan. 2.2.2. Pengertian dan Dasar Hukum Pembebanan Hak Atas Tanah Pembebanan hak atas tanah adalah diberikannya suatu hak baru di atas hak-hak yang telah ada, dengan melekatkan hak baru tersebut kepada hak-hak yang lama, artinya sekalipun diberikan hak baru kepada pihak lain, namun tetap ada hubungan hukum antara penerima hak baru dengan pemegang hak lama. Pemberian hak baru dengan melekatkan haknya pada hak atas tanah yang sudah ada terlebih dahulu diadakan perjanjian antara pemilik tanah dengan orang yang akan diberikan hak baru atas tanah yang sudah ada tersebut. Pembebanan hak ini dapat dikategorikan antara lain Hak Tanggungan, Pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak Milik, Pemberian Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan, Bagi Hasil dan Sewa. 2.2.3. Prosedur Pendaftaran Peralihan dan Pembebanan Hak Atas Tanah Perbuatan-perbuatan peralihan hak atas tanah, dilakukan pada waktu pemegang haknya masih hidup dan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang bersifat tunai atau langsung, kecuali hibah wasiat. Artinya, bahwa dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain. Dalam hibah wasiat, hak atas tanah yang bersangkutan beralih kepada penerima wasiat pada saat pemegang haknya meninggal dunia. Jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemberian menurut adat dan pemasukan dalam perusahaan, demikian juga pelaksanaan hibah-wasiat, dilakukan oleh para pihak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, disingkat PPAT, yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan dihadapan PPAT, telah dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang “gelap”, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta yang ditandatangani para pihak menunjukkan secara nyata atau “riil” perbuatan hukum jual-beli yang dilakukan. Dengan demikian sifat jual-beli, yaitu tunai, terang dan riil, dipenuhi. Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan. Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut secara implisit juga membuktikan, bahwa penerima hak sudah menjadi pemegang haknya yang baru. Tetapi hal itu baru diketahui oleh dan karenanya juga baru mengikat para pihak dan ahliwarisnya karena administrasi PPAT sifatnya tertutup bagi umum. Untuk memperoleh surat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya pembuktiannya pemindahan haknya didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kota/Kotamadya, untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat yang bersangkutan. Dengan dicatatnya pemindahan hak tersebut pada sertifikat haknya, diperoleh surat tanda bukti yang kuat. Karena administrasi pengalihan hak atas tanah yang ada di kantor pertanahan Kota/Kotamadya mempunyai sifat terbuka bagi umum, maka dengan dicatatnya pemindahan hak tersebut pada buku tanah haknya, bukan hanya yang memindahkan hak dan ahliwarisnya, tetapi pihak ketiga pun dianggap mengetahui, bahwa penerima hak adalah pemegang haknya yang baru. 8 Sejalan dengan itu, Arie S. Hutagalung menyebutkan bahwa keteranganketerangan yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian yang membuktikan sebaliknya.9 Dikaji dari aspek normatif dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA yang menyebutkan bahwa pendaftaran meliputi pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat menunjukkan bahwa sistem pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif. Pernyataan yang demikian tidak akan terdapat dalam sistem pendaftaraan tanah dengan sistem publikasi negatif yang murni. 10 Pembebanan hak atas tanah terkait dengan jaminan kebendaan meliputi jaminan benda bergerak dan benda tidak bergerak. Dari kedua jenis jaminan 8 Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1. Cetakan ke-9. Djambatan, Jakarta:, Hal. 329. (Selanjutnya disebut Boedi Harsono I) 9 Arie S.Hutagalung, 2000,” Penerapan Lembaga Rechtsverwerking untuk Mengatasi Kelemahan Sistem Publikasi Negatif Dalam Pendaftaran Tanah”, Majalah Hukum dan Pembangunan, Hal. 328 10 Boedi Harsono, 2002, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakarta, Hal. 89 (Selanjutnya disebut Boedi Harsono II) kebendaan tersebut, Salim HS. menyatakan bahwa jaminan kebendaan yang masih berlaku adalah gadai, jaminan fidusia, dan hak tanggungan 11 Hak tanggungan sebagai salah satu jaminan kebendaan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah untuk pelunasan utang tertentu, memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Menurut Urip Santoso prosedur pembebanan hak atas tanah harus memenuhi 3 (tiga) tahapan, yaitu : 1. Adanya Perjanjian Utang Piutang Perjanjian utang piutang antara debitur dan kreditur merupakan perjanjian pokok dalam Hak Tanggungan. Perjanjian utang piutang ini dapat dibuat dengan akta otentik yaitu dibuat di hadapan Notaris, atau dibuat dengan akta di bawah tangan yaitu dibuat sendiri oleh debitur dan kreditur. Karena perjanjian utang piutang merupakan perjanjian pokoknya maka secara acontrario hak tanggungan merupakan perjanjian accesoir, maka adanya tergantung pada perjanjian pokok dan akan terhapus dengan hapusnya perjanjian pokok12 2. Adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan Untuk memberikan jaminan utang debitur kepada kreditur, debitur berjanji menyerahkan hak atas tanah sebagai jaminan kepada kreditur. Sebagaimana 11 Salim H.S., 2001, Pengantar Hukum Perdata tertulis (BW), Sinar Grafika. Cet.I., Jakarta, Hal. 112 12 Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, Hal, 199. telah dijelaskan di atas, bahwa penyerahan jaminan dalam hak tanggungan bersifat accessoir, artinya sebagai perjanjian ikutan atau perjanjian tambahan dari perjanjian pokok yang berupa utang piutang.13 Sejalan dengan itu Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa salah satu sifat Hak Tanggungan adalah merupakan ikutan (accessoir) pada perjanjian pokok. Perjanjian pokok merupakan perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang, sedangkan perjanjian accessoir merupakan perjanjian ikutan yang menimbulkan hubungan hukum penjaminan atas perjanjian pokok. Keberadaan, berakhir, dan hapusnya Hak Tanggungan dengan sediirinya tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya. 14 Pendaftaran Pembebanan Hak atas tanah dilakukan dalam waktu selambatlambatnya tujuh hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT wajib mendaftarkan akta tersebut kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Maksud pendaftaran pembebanan Hak Tanggungan tersebut adalah untuk dibuatkan Buku Tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam Buku Tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Pendaftaran pembebanan Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan dan mengikatnya hak tersebut kepada pihak ketiga. Dengan pendaftaran pembebanan Hak Tanggungan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, maka terpenuhi asas publisitas, artinya 13 Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah Edisi Pertama, , Kencana, Jakarta, Hal. 424. 14 Maria S.W. Sumardjono, 1997, “Prinsip Dasar dan Isu di Seputar Undang-Undang Hak Tanggungan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume I, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, Hal. 38. (Selanjutnya disebut Maria S.W Sumardjono III) setiap orang dapat mengetahui bahwa hak atas tanah tersebut sedang dibebani Hak Tanggungan. Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan atas tanah, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat menerbitkan Sertipikat Hak Tanggungan, yang di dalamnya memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sertipikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti proses acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Irah-irah yang dicantumkan dalam Sertipikat Hak Tanggungan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada Sertipikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji, objek Hak Tanggungan siap dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui tata cara tertentu dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan hukum acara perdata. 2.3. Tinjauan Umum Tentang Akta PPAT 2.3.1. Pengertian dan Dasar Hukum Akta PPAT Secara etimologi ”akta” berasal dari bahasa latin ”acta” yang berarti ”geschrift” atau surat.15 Sementara itu R. Subekti dan R. Tjitro Sudibio, menjelaskan kata ”acta” merupakan bentuk jamak dari akta ”actum”, yang berasal dari bahasa latin yang berarti perbuatan-perbuatan.16 Selanjutnya A. Pitlo, dalam 15 Suharjono, 1995, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, Majalah Varia Peradilan Desember Tahun XI Nomor 123, Hal. 128. 16 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1980, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Hal. 9. salah satu tulisannya sebagaimana dikutip oleh Suharjono menyebutkan : akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang lain, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.17 Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.18 Sejalan dengan hal tersebut, pengertian akta PPAT dapat disimak dari rumusan Pasal 1 angkat 4 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 jo. Pasal 1 angka 4 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 1 Tahun 2006, adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Atas dasar perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, maka ditentukan bermacam-macam akta yang kewenangan pembuatannya diserahkan kepada PPAT atau PPAT Sementara untuk dijadikan dasar perubahan data pendaftaran tanah. Akta-akta tersebut adalah : a. b. c. d. e. f. g. h. i. 17 Akta Jual Beli; Akta Tukar Menukar; Akta Hibah; Akta Pemasukan ke dalam Perusahaan; Akta Pembagian Hak Bersama; Akta Pemberian Hak Tanggungan Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik; Akta Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik. Akta pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Suharjono, Op. Cit, Hal. 43. Sudikno Mertokusumo, 1981, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Hal. 110. (Selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I) 18 2.3.2. Akta PPAT Sebagai Akta Otentik Secara normatif pengaturan akta otentik dijumpai dalam Pasal 285 RBg/165 HIR yang menyebutkan : akta otentik yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubungan dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut.19 Dalam lalu lintas keperdataan surat yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum menurut ketentuan undang-undang memang dengan sengaja20 dibuat sebagai alat-alat bukti berhubung dengan kemungkinan diberlakukannya bukti-bukti itu dikemudian hari Pengaturan akta PPAT sebagai akta otentik dapat disimak rumusan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 jo. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 menegaskan bahwa akta yang dibuat oleh PPAT adalah akta otentik. Dalam kedua peraturan ini tidak dijelaskan apa yang dimaksud akta otentik. Akta otentik menurut Pasal 1868 BW, adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, ditempat di mana akta dibuatnya. 19 K. Wantjik Saleh, 1981, Hukum Acara Perdata (RBg/HIR), Ghalia Indonesia, Jakarta, 20 Badan Pembinaan Hukum Nasional Hal. 71. R. Subekti, 1981, Hukum Acara Perdata, Departemen Kehakiman, Hal .86 Suatu akta dinyatakan sebagai akta otentik apabila memenuhi unsur-unsur yang bersifat kumulatif sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 1868 BW, yaitu : 1. Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang. 2. Akta dibuat dan di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa. 3. Akta itu dibuat ditempat di mana akta dibuatnya. Menurut Irawan Soerodjo, ada tiga unsur utama yang merupakan esensialia agar terpenuhinya syarat formal bahwa suatu akta merupakan akta otentik, yaitu : 1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. 2. Dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum. 3. Akta dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat di mana akta itu dibuat.21 2.3.3. Keabsahan Akta PPAT Sebagai Akta Otentik Isu hukum tentang eksistensi Akta PPAT adalah apakah Akta PPAT merupakan Akta Otentik atau bukan. Tehadap hal ini ada 2 (dua) pandangan yang berkembang yaitu : (1) Pendapat Prof Boedi Harsono,SH., dalam salah satu tulisannya yang berjudul “PPAT Sejarah, Tugas dan Kewenangannya” menyatakan bahwa Akta PPAT memenuhi syarat sebagai Akta Otentik yang ditentukan dalam Pasal 1868 KUH Perdata.22 (2). Pendapat dari Dr Habib Adjie, SH., M.Hum. dalam bukunya yeng berjudul “Meneropong Khazanah Notaris dan 21 Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, Hal. 149-150. 22 Boedi Harsono, 2007, “PPAT Sejarah, Tugas dan Kewenangannya”, Majalah Renvoi, Nomor. 8.44.IV., tanggal 3 Januari 2007. Hal. 52 (Selanjutnya disebut Boedi Harsono III) PPAT Indonesia”menyatakan bahwa Akta PPAT bukan Akta Otentik karena tidak memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 1868 KUH Perdata. 23 Perbedaan pandangan tersebut disebabkan adanya perbedaan tafsir atas ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata yang menyebutkan : Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Dengan merujuk pada ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata maka dapat ditarik unsur suatu Akta Otentik yaitu : Unsur pertama suatu akta dikatakan sebagai akta otentik apabila akta tersebut secara tersurat ditentukan oleh undang-undang. Demikian pula, hal ini diberlakukan bagi akta PPAT. Akta PPAT tidak ditentukan oleh undang-undang, melainkan ditentukan oleh Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, yaitu : a. Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa bentuk, isi, dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. b. Pasal 21 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 menyatakan bahwa akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. c. Pasal 95 dan Pasal 96 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 menetapkan bahwa macam dan bentuk akta yang dibuat oleh PPAT. 23 Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan tentang Notaris dan PPAT), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, , Hal. 267-274. (Selanjutnya disebut Habib Adjie II) Berdasarkan ketiga peraturan di atas menunjukkan bahwa akta PPAT bukanlah akta otentik dikarenakan bentuknya tidak ditentukan oleh undangundang melainkan ditetapkan oleh peraturan pemerintah dan peraturan menteri, meskipun akta PPAT tersebut bentuknya baku dan dibuat oleh PPAT sebagai pejabat umum. Unsur kedua suatu akta dikatakan akta otentik apabila akta tersebut oleh dan di hadapan pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 2006 mengatur bahwa PPAT sebagai pejabat umum yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan diberikan kewenangan untuk membuat akta pemindahan hak, pembebanan Hak Tanggungan, pembagian hak bersama, dan pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Unsur ketiga suatu akta dikatakan sebagai akta otentik apabila akta dibuat oleh pejabat umum dalam daerah (wilayah) kerjanya. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 2006 mengatur bahwa PPAT sebagai pejabat umum diberi kewenangan membuat akta didalam daerah (wilayah) kerjanya. Daerah (wilayah) kerja PPAT adalah suatu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Dari ketiga unsur suatu akta dikatakan sebagai akta otentik menurut Pasal 1868 BW, maka akta yang dibuat oleh PPAT tidak memenuhi unsur sebagai akta otentik. Unsur pertama bahwa bentuk akta ditetapkan oleh undang-undang tidak dipenuhi disebabkan bentuk akta PPAT ditetapkan oleh peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Unsur kedua dan ketiga dipenuhi yaitu PPAT sebagai pejabat umum dan PPAT mempunyai daerah (wilayah) kerja tertentu.