BAB II TINJAUAN UMUM

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1.
Tinjauan Umum tentang PPAT
2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT
Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama kali dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara
No. 26 Tahun 1961), khususnya pada Pasal 19 menyebut PPAT sebagai penjabat.
Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 beserta semua
peraturan yang diturunkan darinya, maka dalam Undang-Undang No. 4 Tahun
1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
dengan Tanah (LN no 42 Tahun 1996, selanjutnya disebut UUHT), PPAT disebut
secara tegas sebagai pejabat umum.
Ini berarti terdapat pergeseran kedudukan PPAT dari seorang penjabat
menjadi seorang pejabat umum1, dalam kedudukannya yang demikian menjadikan
posisi PPAT sama dengan Notaris sebagai openbaar ambtenaar . Istilah tersebut
terdapat dalam Pasal 1 PJN (Stb 1860 : 3) dan Pasal 1868 Bergeljk Wetboek2
Pengaturan tentang PPAT yang berlaku saat ini adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah. PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah peraturan jabatan yang dijanjikan
1
J. Kartini Soejendro, 2001, Perjanjian Peralihan hak Atas Tanah yang Berpotensi
Konflik, Tafsir Sosial Hukum Ketika Menangani Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang
Berpotensi Konflik, Kanisius, Yogyakarta, Hal 83-91
2
Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, Hal. 12. (Selanjutnya disebut
Habib Adjie I)
45
oleh Pasal 7 ayat (3) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang
berbunyi : “Peraturan jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah tersendiri”.
Peraturan pelaksana dari PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah Peraturan
Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Peraturan Jabatan
PPAT, yang kemudian dirubah dengan Peraturan Kepala BPN Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2009. PPAT menurut Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998
adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik
atas Satuan Rumah Susun.
Tugas pokok PPAT diatur dalam pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 1998, yaitu
melaksanakan sebagian kegiatan Pendaftaran Tanah dengan membuat akta
sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai Hak atas
Tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan
hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud adalah :
1. Jual Beli
2. Tukar Menukar
3. Hibah
4. Pemasukan ke dalam Perusahaan (inbreng)
5. Pembagian Hak Bersama
6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
7. Pemberian Hak Tanggungan
8. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut maka oleh Pasal 3 PP Nomor
37 Tahun 1998, PPAT diberi kewenangan untuk memformulasikan perbuatan
hukum tersebut ke dalam Akta PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun. Dikaji dari sudut pandang kewenangan, PPAT mempunyai
kewenangan untuk membuat delapan macam akta tersebut di atas, meliputi akta
peralihan hak atas tanah dan akta pembebanan hak atas tanah. Ini berarti PPAT
tidak mungkin diminta untuk membuat akta di luar delapan macam akta tersebut
atau kewenangan untuk membuat akta itu ada pada pejabat lain sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam perkembangannya, kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum lebih
dipertegas dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan yang terbit
kemudian, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 sebagaimana diubah UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan.
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan dalam Pasal 24 ayat (1) menyatakan bahwa
PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas
tanah dan bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak.
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Tanah
Beserta
menegaskan
Benda-Benda
siapa
PPAT
yang
dan
Berkaitan
bagaimana
Dengan
Tanah
kedudukan
PPAT
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 4, yaitu : “Pejabat
Pembuat Akta Tanah yaitu pejabat umum yang diberi wewenang untuk
membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas
tanah dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”
4. Selain dalam UU Hak Tanggungan tersebut, Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
dan Hak Pakai atas Tanah, juga menyebutkan PPAT sebagai Pejabat
Umum, Pasal 1 angka 5 menyebutkan PPAT sebagai pejabat umum
yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta tanah.
5. Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961 yang menyebut PPAT
sebagai Pejabat Umum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka
24 yaitu : “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT
adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat
akta-akta tanah tertentu.”
6. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
PPAT menegaskan kembali bahwa PPAT sebagai pejabat umum
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa yang dimaksud
dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk
membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
Keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut di atas secara tegas
menyatakan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum, sehingga sama kedudukannya
dengan Notaris yang juga disebut Pejabat Umum dalam Pasal 1 angka 1 UndangUndang nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu : “Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini.
2.1.2. Syarat-Syarat Menjadi PPAT
Syarat untuk menjadi PPAT diatur di dalam Pasal 6 PP Nomor 37 Tahun
1998, yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.
Berkewarganegaraan Indonesia;
2.
Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun (namun menurut Peraturan
Kepala BPN RI Nomor 23 Tahun 2009, untuk dapat mengikuti ujian
PPAT sudah harus berusia 30 tahun).
3.
Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang
dibuat oleh instansi kepolisian setempat.
4.
Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
5.
Sehat jasmani dan rohani.
6.
Lulusan program pendidikan spesialis notaris (pendidikan magister
kenotariatan)
atau
program
pendidikan
khusus
PPAT
yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi.
7.
Lulus ujian yang diselenggarakan oleh kantor Menteri Negara
Agraria/ Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
2.1.3. Jenis-Jenis PPAT
Menurut ketentuan Pasal 1 PP Nomor 37 Tahun 1998, ada 3 macam
PPAT, yaitu :
1.
Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun. PPAT yang dimaksud dalam ayat ini adalah lulus
program pendidikan spesialis Notaris (Magister Kenotariatan) atau
lulusan pendidikan tinggi khusus PPAT.
2.
Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara adalah pejabat pemerintah
yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT
dengan membuat akta PPAT didaerah yang belum cukup terdapat
PPAT, misalnya camat dan kepala desa.
3.
Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah pejabat BPN RI yang
ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan
membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan
program atau tugas pemerintah tertentu, misalnya Kepala Kantor
Pertanahan.
Perbedaan antara Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat Akta
Tanah Sementara dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah :
1.
PPAT diangkat oleh Menteri, sedangkan PPAT Sementara dan PPAT
Khusus ditunjuk oleh Menteri yaitu sekarang Menteri Agraria.
2.
PPAT diangkat dengan memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pasal 6
PP Nomor 37 Tahun 1998, sedangkan PPAT Sementara adalah
Pejabat Pemerintah dan PPAT Khusus adalah Pejabat dari BPN RI.
3.
PPAT dan PPAT Sementara dalam menjalankan tugas kewenangan
diijinkan untuk menerima honorarium yaitu setinggi-tingginya adalah
1% (satu persen) dari harga transaksi yang tercantum dalam akta,
sedangkan PPAT Khusus tidak memungut biaya dalam menjalankan
tugasnya.
PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agraria/Kepala BPN.
Sebelum menjalankan tugasnya sebagai PPAT, PPAT dilantik oleh Kepala Kantor
Pertanahan dimana ia akan bertugas.
2.1.4. Hak dan Kewajiban PPAT
Menurut Satjipto Rahardjo, hukum melindungi kepentingan seseorang
dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam
rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara
terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang
demikian itulah yang disebut sebagai hak. 3 Lebih jauh dijelaskan bahwa ciri-ciri
yang melekat pada hak menurut hukum adalah sebagai berikut :
3
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 53.
1.
Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik
atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki
titel atas barang yang menjadi sasaran hak.
2.
Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang
kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.
3.
Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk
melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu
perbuatan. Ini bisa disebut sebagai isi dari hak.
4.
Commission atau omission itu menyangkut sesuatu yang bisa disebut
sebagai objek dari hak.
5.
Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa
tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya. 4
Dalam pelaksanaan tugasnya PPAT mempunyai Hak dan kewajiban, yang
berpedoman pada peraturan perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia,
sebagaimana diatur didalam PP Nomor 37 Tahun 1998.
a.
Hak PPAT
-
Dalam menjalankan jabatannya PPAT berhak untuk mendapatkan honor
setinggi-tingginya 1% (satu persen) dari harga transaksi yang tercantum
di dalam akta, namun PPAT wajib pula memberikan jasa secara cumacuma kepada anggota masyarakat tidak mampu.
4
Ibid, Hal. 55.
-
Bilamana ada keperluan yang menyebabkan PPAT tidak dapat
menjalankan tugasnya untuk beberapa saat maka ia berhak untuk
mengambil cuti.
-
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 PP Nomor 37 Tahun 1998, PPAT yang
menjalankan cuti dapat mengusulkan untuk pengangkatan PPAT
pengganti yang harus memenuhi syarat bahwa ia adalah seorang Sarjana
Hukum dan sudah bekerja di kantor PPAT yang digantikannya selama
paling sedikit 2 tahun, namun Peraturan Kepala BPN RI Nomor 1 Tahun
2006 menambahkan syarat untuk pengajuan sebagai PPAT Pengganti,
yaitu :
-
Harus berumur 30 tahun atau lebih;
-
Belum berumur 65 tahun pada saat berakhirnya masa jabatan PPAT
pengganti;
-
Belum ada PPAT lainnya yang diangkat.
PPAT berhak untuk memperoleh informasi serta perkembangan
peraturan pertanahan.
-
PPAT berhak untuk memperoleh kesempatan untuk mengajukan
pembelaan diri sebelum ditetapkannya keputusan pemberhentian sebagai
PPAT.
-
PPAT boleh merangkap sebagai jabatan Notaris, konsultan atau
penasehat hukum.
-
PPAT berhak untuk menolak membuat akta bila tanahnya sudah
bersertipikat namun pemilik sertipikat tidak mau menunjukkan dan
menyerahkannya
kepada
PPAT
atau
oleh
pemilik
diserahkan
sertipikatnya namun sertipikat tersebut tidak sesuai dengan daftar-daftar
yang ada di Kantor Pertanahan.
b.
Kewajiban PPAT
Kewajiban berasal dari kata wajib yang berarti beban untuk memberikan
sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan oleh pihak tertentu tidak dapat
oleh pihak lain manapun yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh
yang berkepentingan. Dengan demikian kewajiban berarti sesuatu yang harus
dilakukan yang dalam konteks ini dipersepsikan sebagai sesuatu yang harus
dilakukan oleh PPAT. Adapun bentuk kewajiban PPAT adalah seperti tersebut
dibawah ini :
-
PPAT mempunyai kewajiban administrasi untuk menyimpan dan
memelihara protokol PPAT yang terdiri dari Daftar Akta, Akta Asli,
Warkah Pendukung Akta, Arsip Laporan, Agenda, dan surat-surat
lainnya.
-
Menyampaikan setiap akta yang dibuatnya (kecuali akta Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan) kepada Kantor Pertanahan untuk
didaftar dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak akta dibuat.
-
Menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada para pihak mengenai telah
disampaikannya akta ke Kantor Pertanahan.
-
Menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada
Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah BPN dan Kepala
Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Mengenai laporan bulanan ini harus dibuat berdasarkan Surat Keputusan
Bersama antara Menteri Negara Agraria/Kepala BPN dan Dir Jend Pajak
Nomor :
SKB-2 Tahun 1998
KEP-179/PJ/1998
yang ditetapkan dan mulai berlaku sejak
tanggal 27 Agustus 1998.
-
Dalam hal ditunjuk oleh Kepala Kantor Pertanahan atau Kepala Kantor
Wilayah BPN RI, PPAT wajib menerima protokol dari PPAT yang
berhenti menjadi PPAT.
-
Memasang papan nama PPAT.
-
Menurunkan papan nama PPAT pada hari yang bersangkutan berhenti
dari jabatan PPAT.
2.2.
Tinjauan Umum tentang Peralihan dan Pembebanan Hak Atas Tanah
2.2.1. Pengertian dan Dasar Hukum Peralihan Hak Atas Tanah
Secara historis, bahwa sejarah peralihan hak atas tanah yang berlaku di
Indonesia dapat dikatagorikan menjadi peralihan hak atas tanah sebelum
berlakunya UUPA dan peralihan hak atas tanah sesudah berlakunya UUPA. Pada
jaman Kolonial Belanda, adanya dua macam aturan tentang tanah yang masingmasing tunduk pada sistem hukum adat dan sistem hukum barat sehingga
menimbulkan dualisme hukum agraria, maka dalam praktek terjadilah perbedaan
aturan mengenai peralihan hak atas tanah.
Peralihan hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat harus bersifat
kontan dan terang. Menurut Hilman Jatikusumah, perbuatan jual lepas (sebagai
salah satu bentuk peralihan tanah) adalah perbuatan tunai (kontantehandeling)
yang berlaku riil dan konkret, artinya nyata dan jelas dapat ditangkap dengan
pancaindra. Penyerahan benda dan pembayaran harganya terjadi dengan tunai,
sudah diserahkan dan sudah dibayar harganya, walaupun belum lunas semua
pembayarannya. Pembayaran dalam jual lepas ini dapat berlaku pembayaran uang
tunai pada saat terjadinya ijab kabul atau dibayar kemudian (utang). Jika terjadi
ketika jual beli itu terlaksana pembayaran belum lunas, tidak berarti bendanya
belum diserahkan penjual dan belum diterima pembeli. Perjanjian itu tetap
berlaku, mengenai pembayaran yang belum lunas merupakan perjanjian utang
piutang.5
Sedangkan menurut Iman Soetignjo, pengertian terang yaitu mengalihkan
hak atas tanah menurut hukum adat, harus dengan dukungan (mederweking)
kepala suku/masyarakat hukum/desa agar perbuatan itu “terang”, dan sahnya
(rechtsgeldigheid) ditanggung kepala tersebut.6 Dengan kata lain apabila
transaksi-transaksi tersebut tidak dilakukan dengan dukungan (mederweking)
kepala suku/masyarakat hukum/desa, maka perbuatan itu dianggap perbuatan
yang tidak terang, tidak sah dan tidak berlaku terhadap pihak ketiga.
Untuk peralihan hak atas tanah yang tunduk pada hukum barat,
perpindahan/balik namanya harus melalui overschrijving ambtenaar (Pejabat
Peralihan Hak). Jadi, setelah dilakukan jual beli dihadapan Notaris atau badan lain
yang sama (lurah/kepala desa untuk orang Indonesia yang tunduk pada hukum
barat), beralihnya hak harus lewat overschrijving ambtenaar (Pejabat Peralihan
Hak).
5
Hilman Jatikusumah, 1979, Hukum Perjanjian Adat, Alumni, Bandung, Hal. 123.
Iman Soetignjo, 1994, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, Hal. 61-62.
6
Pada jaman Pemerintahan Jepang hukum pertanahan yang berlaku adalah
seperti hukum yang berlaku pada jaman Kolonial Belanda. Terhadap tanah hak
Barat berlaku ketentuan hukum tanah Barat (termasuk Jepang), dan terhadap tanah
adat berlaku hukum tanah adat (bagi pribumi). Dengan kata lain, Permerintah
Pendudukan Jepang tidak pernah mengadakan perubahan-perubahan dibidang
hukum perdata (termasuk hukum tanah) dan mempertanahankan hukum perdata
yang berlaku pada saat sebelum pendudukannya di Indonesia, yaitu terdiri dari
hukum Barat dan hukum Adat termasuk dalam hal ini tentang prosedur peralihan
hak atas tanahnya.
Sebagai suatu hak yang bersifat kebendaan, hak atas tanah dapat beralih
dan diperalihkan. Suatu hak atas tanah akan beralih jika kepemilikannya
berpindah kepada orang lain tanpa melalui suatu perbuatan hukum, tetapi beralih
akibat terjadinya suatu peristiwa hukum tertentu, misalnya terjadi kematian atau
meninggalnya seseorang maka harta peninggalannya beralih kepada ahli warisnya.
Suatu hak atas tanah dapat diperalihakan jika melalui suatu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh pemegang hak atas tanah tersebut. Peralihan hak atas tanah dapat
terjadi karena jual beli, hibah, tukar-menukar atau perbuatan lain yang bersifat
mengalihkan hak atas tanah.
Menurut Pasal 37 PP nomor 24 Tahun 1997 peralihan hak atas tanah dan
hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah,
pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,
kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan
dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam ketentuan tersebut tidak dijelaskan apa
yang dimaksud beralih dan diperalihkan, tetapi hanya diatur tentang peralihan
suatu hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
Secara teoritis berdasarkan ketentuan dalam hukum kebendaan suatu hak
atas kebendaan dikatakan “beralih” yaitu suatu proses berpindahnya hak atas
tanah dari pemegang hak yang lama kepada pihak lain karena pemegang haknya
meninggal dunia. Proses seperti ini disebut dengan pewarisan. Peralihan hak atas
tanah tersebut terjadi karena hukum, artinya dengan meninggalnya seorang
pemegang hak atas tanah, maka secara otomatis hak atas tanah tersebut beralih
kepada ahli warisnya. Jadi, ahli waris disini memperoleh peralihan hak atas tanah
karena suatu peristiwa hukum tertentu, bukan karena perbuatan hukum yang
dilakukan oleh pemegang hak atas tanah selaku subyek hukum. 7
Sedangkan suatu hak atas tanah dialihkan atau diperalihkan apabila hak
atas tanah tersebut dipindahkan atau dipindahtangankan dari/oleh pemegang hak
selaku subyek hukum/hak kepada orang lain karena suatu perbuatan hukum yang
sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak atas
tanah yang dialihkan. Jadi peralihan hak atas tanah terjadi karena memang
disengaja dan merupakan perbuatan atau hak kepada pihak lain karena suatu
perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut
memperoleh hak atas tanah yang dialihkan. Jadi peralihan hak atas tanah terjadi
karena memang disengaja melalui suatu perbuatan hukum antara pemegang hak
7
Andi Hartanto, 2014, Hukum Pertanahan (Karakteristik Jual Beli Tanah yang Belum
Terdaftar Hak Atas Tanahnya, LaksBang Justitia, Surabaya, Hal. 66
lama dengan pihak lain yang akan menjadi penerima hak dan sekaligus nantinya
adalah sebagai pemegang hak yang baru.
Perbuatan hukum yang bertujuan mengalihkan hak atas tanah dapat berupa
jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaan (inbreng),
pemberian dengan wasiat, dan lelang. Dalam proses peralihan atau pemindahan
hak, pihak yang mengalihkan atau memindahkan hak harus mempunyai hak dan
kewenangan untuk memindahkan hak, sedang bagi pihak yang memperoleh hak
harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah yang baru. Hak atas
tanah atau hak atas satuan rumah susun yang dapat beralih atau diperalihkan dari
pemegang hak kepada pihak lain adalah :
1.
Hak milik atas tanah yang pemegang haknya adalah perseorangan warga
negara Indonesia.
2.
Hak Guna Usaha yang pemegang haknya adalah perseorangan warga negara
Indonesia.
3.
Hak Guna Bangunan atas tanah warga negara yang pemegang haknya
adalah perseorangan warga negara Indonesia.
4.
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah hak milik
yang pemegang haknya adalah perseorangan warga negara Indonesia.
5.
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang berdiri di atas Hak Guna
Bangunan yang pemegang haknya adalah perseorangan warga negara
Indonesia.
Mengenai peralihan hak milik atas tanah atau hak milik atas satuan rumah
susun terdapat beberapa ketentuan, yaitu :
1.
Ada hak atas tanah yang dapat beralih atau diperalihkan dari pemegang
haknya kepada pihak lain tanpa suatu persyaratan.
2.
Ada hak atas tanah yang tidak dapat beralih atau diperalihkan dari
pemegang haknya kepada pihak lain.
3.
Ada hak atas tanah yang dapat beralih atau diperalihkan dari pemegang hak
kepada pihak lain dengan suatu persyaratan tertentu, yaitu berupa ijin dari
pejabat yang berwenang atau persetujuan tertulis dari pemegang hak
pengelolaan atau pemegang hak milik yang bersangkutan.
2.2.2. Pengertian dan Dasar Hukum Pembebanan Hak Atas Tanah
Pembebanan hak atas tanah adalah diberikannya suatu hak baru di atas
hak-hak yang telah ada, dengan melekatkan hak baru tersebut kepada hak-hak
yang lama, artinya sekalipun diberikan hak baru kepada pihak lain, namun tetap
ada hubungan hukum antara penerima hak baru dengan pemegang hak lama.
Pemberian hak baru dengan melekatkan haknya pada hak atas tanah yang sudah
ada terlebih dahulu diadakan perjanjian antara pemilik tanah dengan orang yang
akan diberikan hak baru atas tanah yang sudah ada tersebut.
Pembebanan hak ini dapat dikategorikan antara lain Hak Tanggungan,
Pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak Milik, Pemberian
Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan, Bagi
Hasil dan Sewa.
2.2.3. Prosedur Pendaftaran Peralihan dan Pembebanan Hak Atas Tanah
Perbuatan-perbuatan peralihan hak atas tanah, dilakukan pada waktu
pemegang haknya masih hidup dan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak
yang bersifat tunai atau langsung, kecuali hibah wasiat. Artinya, bahwa dengan
dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan
berpindah kepada pihak lain. Dalam hibah wasiat, hak atas tanah yang
bersangkutan beralih kepada penerima wasiat pada saat pemegang haknya
meninggal dunia.
Jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemberian menurut adat dan pemasukan
dalam perusahaan, demikian juga pelaksanaan hibah-wasiat, dilakukan oleh para
pihak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, disingkat PPAT, yang bertugas
membuat aktanya. Dengan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan
dihadapan PPAT, telah dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang
“gelap”, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi).
Akta yang ditandatangani para pihak menunjukkan secara nyata atau “riil”
perbuatan hukum jual-beli yang dilakukan. Dengan demikian sifat jual-beli, yaitu
tunai, terang dan riil, dipenuhi. Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah
dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan. Karena perbuatan hukum yang
dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut
secara implisit juga membuktikan, bahwa penerima hak sudah menjadi pemegang
haknya yang baru. Tetapi hal itu baru diketahui oleh dan karenanya juga baru
mengikat para pihak dan ahliwarisnya karena administrasi PPAT sifatnya tertutup
bagi umum.
Untuk memperoleh surat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya
pembuktiannya pemindahan haknya didaftarkan pada Kantor Pertanahan
Kota/Kotamadya, untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat yang bersangkutan.
Dengan dicatatnya pemindahan hak tersebut pada sertifikat haknya, diperoleh
surat tanda bukti yang kuat. Karena administrasi pengalihan hak atas tanah yang
ada di kantor pertanahan Kota/Kotamadya mempunyai sifat terbuka bagi umum,
maka dengan dicatatnya pemindahan hak tersebut pada buku tanah haknya, bukan
hanya yang memindahkan hak dan ahliwarisnya, tetapi pihak ketiga pun dianggap
mengetahui, bahwa penerima hak adalah pemegang haknya yang baru. 8
Sejalan dengan itu, Arie S. Hutagalung menyebutkan bahwa keteranganketerangan yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus
diterima sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat
pembuktian yang membuktikan sebaliknya.9
Dikaji dari aspek normatif dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 19
ayat (2) huruf c UUPA yang menyebutkan bahwa pendaftaran meliputi pemberian
surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
menunjukkan bahwa sistem pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia adalah
sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif. Pernyataan yang
demikian tidak akan terdapat dalam sistem pendaftaraan tanah dengan sistem
publikasi negatif yang murni. 10
Pembebanan hak atas tanah terkait dengan jaminan kebendaan meliputi
jaminan benda bergerak dan benda tidak bergerak. Dari kedua jenis jaminan
8
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1. Cetakan ke-9. Djambatan,
Jakarta:, Hal. 329. (Selanjutnya disebut Boedi Harsono I)
9
Arie S.Hutagalung, 2000,” Penerapan Lembaga Rechtsverwerking untuk Mengatasi
Kelemahan Sistem Publikasi Negatif Dalam Pendaftaran Tanah”, Majalah Hukum dan
Pembangunan, Hal. 328
10
Boedi Harsono, 2002, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas
Trisakti, Jakarta, Hal. 89 (Selanjutnya disebut Boedi Harsono II)
kebendaan tersebut, Salim HS. menyatakan bahwa jaminan kebendaan yang masih
berlaku adalah gadai, jaminan fidusia, dan hak tanggungan 11
Hak tanggungan sebagai salah satu jaminan kebendaan adalah hak jaminan
yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah untuk pelunasan utang tertentu, memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.
Menurut Urip Santoso prosedur pembebanan hak atas tanah harus
memenuhi 3 (tiga) tahapan, yaitu :
1.
Adanya Perjanjian Utang Piutang
Perjanjian utang piutang antara debitur dan kreditur merupakan perjanjian
pokok dalam Hak Tanggungan. Perjanjian utang piutang ini dapat dibuat
dengan akta otentik yaitu dibuat di hadapan Notaris, atau dibuat dengan akta
di bawah tangan yaitu dibuat sendiri oleh debitur dan kreditur. Karena
perjanjian utang piutang merupakan perjanjian pokoknya maka secara
acontrario hak tanggungan merupakan perjanjian accesoir, maka adanya
tergantung pada perjanjian pokok dan akan terhapus dengan hapusnya
perjanjian pokok12
2.
Adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan
Untuk memberikan jaminan utang debitur kepada kreditur, debitur berjanji
menyerahkan hak atas tanah sebagai jaminan kepada kreditur. Sebagaimana
11
Salim H.S., 2001, Pengantar Hukum Perdata tertulis (BW), Sinar Grafika. Cet.I.,
Jakarta, Hal. 112
12
Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka
Publisher, Jakarta, Hal, 199.
telah dijelaskan di atas, bahwa penyerahan jaminan dalam hak tanggungan
bersifat accessoir, artinya sebagai perjanjian ikutan atau perjanjian tambahan
dari perjanjian pokok yang berupa utang piutang.13
Sejalan dengan itu Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa salah satu
sifat Hak Tanggungan adalah merupakan ikutan (accessoir) pada perjanjian
pokok. Perjanjian pokok merupakan perjanjian yang menimbulkan hubungan
hukum utang piutang, sedangkan perjanjian accessoir merupakan perjanjian
ikutan yang menimbulkan hubungan hukum penjaminan atas perjanjian pokok.
Keberadaan, berakhir, dan hapusnya Hak Tanggungan dengan sediirinya
tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya. 14
Pendaftaran Pembebanan Hak atas tanah dilakukan dalam waktu selambatlambatnya tujuh hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak
Tanggungan, PPAT wajib mendaftarkan akta tersebut kepada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat. Maksud pendaftaran pembebanan Hak Tanggungan
tersebut adalah untuk dibuatkan Buku Tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya
dalam Buku Tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta
menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Pendaftaran pembebanan Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak
untuk lahirnya Hak Tanggungan dan mengikatnya hak tersebut kepada pihak
ketiga. Dengan pendaftaran pembebanan Hak Tanggungan kepada Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, maka terpenuhi asas publisitas, artinya
13
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah Edisi Pertama, ,
Kencana, Jakarta, Hal. 424.
14
Maria S.W. Sumardjono, 1997, “Prinsip Dasar dan Isu di Seputar Undang-Undang
Hak Tanggungan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume I, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis,
Jakarta, Hal. 38. (Selanjutnya disebut Maria S.W Sumardjono III)
setiap orang dapat mengetahui bahwa hak atas tanah tersebut sedang dibebani Hak
Tanggungan.
Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan atas tanah, Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat menerbitkan Sertipikat Hak Tanggungan,
yang di dalamnya memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sertipikat Hak
Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai
pengganti proses acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
Irah-irah
yang
dicantumkan
dalam
Sertipikat
Hak
Tanggungan
dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada Sertipikat
Hak Tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji, objek Hak Tanggungan
siap dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap melalui tata cara tertentu dan dengan menggunakan
lembaga parate executie sesuai dengan peraturan hukum acara perdata.
2.3.
Tinjauan Umum Tentang Akta PPAT
2.3.1. Pengertian dan Dasar Hukum Akta PPAT
Secara etimologi ”akta” berasal dari bahasa latin ”acta” yang berarti
”geschrift” atau surat.15 Sementara itu R. Subekti dan R. Tjitro Sudibio,
menjelaskan kata ”acta” merupakan bentuk jamak dari akta ”actum”, yang berasal
dari bahasa latin yang berarti perbuatan-perbuatan.16 Selanjutnya A. Pitlo, dalam
15
Suharjono, 1995, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, Majalah Varia Peradilan
Desember Tahun XI Nomor 123, Hal. 128.
16
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1980, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,
Hal. 9.
salah satu tulisannya sebagaimana dikutip oleh Suharjono menyebutkan : akta
adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan
untuk dipergunakan oleh orang lain, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.17
Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang
memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan,
yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.18
Sejalan dengan hal tersebut, pengertian akta PPAT dapat disimak dari
rumusan Pasal 1 angkat 4 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 jo. Pasal 1
angka 4 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 1
Tahun 2006, adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti dilaksanakannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun.
Atas dasar perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun, maka ditentukan bermacam-macam akta yang kewenangan
pembuatannya diserahkan kepada PPAT atau PPAT Sementara untuk dijadikan
dasar perubahan data pendaftaran tanah. Akta-akta tersebut adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
17
Akta Jual Beli;
Akta Tukar Menukar;
Akta Hibah;
Akta Pemasukan ke dalam Perusahaan;
Akta Pembagian Hak Bersama;
Akta Pemberian Hak Tanggungan
Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik;
Akta Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik.
Akta pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
Suharjono, Op. Cit, Hal. 43.
Sudikno Mertokusumo, 1981, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
Hal. 110. (Selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I)
18
2.3.2. Akta PPAT Sebagai Akta Otentik
Secara normatif pengaturan akta otentik dijumpai dalam Pasal 285
RBg/165 HIR yang menyebutkan : akta otentik yaitu suatu surat yang dibuat
menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang
berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua
belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari
padanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang
yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut
kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubungan dengan
pokok yang disebutkan dalam akta tersebut.19 Dalam lalu lintas keperdataan surat
yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum menurut ketentuan undang-undang
memang dengan sengaja20 dibuat sebagai alat-alat bukti berhubung dengan
kemungkinan diberlakukannya bukti-bukti itu dikemudian hari
Pengaturan akta PPAT sebagai akta otentik dapat disimak rumusan Pasal 3
ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 jo. Pasal 3 ayat (1) Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 menegaskan bahwa akta
yang dibuat oleh PPAT adalah akta otentik. Dalam kedua peraturan ini tidak
dijelaskan apa yang dimaksud akta otentik. Akta otentik menurut Pasal 1868 BW,
adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
dibuat oleh dan di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu,
ditempat di mana akta dibuatnya.
19
K. Wantjik Saleh, 1981, Hukum Acara Perdata (RBg/HIR), Ghalia Indonesia, Jakarta,
20
Badan Pembinaan Hukum Nasional
Hal. 71.
R. Subekti, 1981, Hukum Acara Perdata,
Departemen Kehakiman, Hal .86
Suatu akta dinyatakan sebagai akta otentik apabila memenuhi unsur-unsur
yang bersifat kumulatif sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 1868 BW, yaitu :
1.
Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang.
2.
Akta dibuat dan di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa.
3.
Akta itu dibuat ditempat di mana akta dibuatnya.
Menurut Irawan Soerodjo, ada tiga unsur utama yang merupakan
esensialia agar terpenuhinya syarat formal bahwa suatu akta merupakan akta
otentik, yaitu :
1.
Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
2.
Dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum.
3.
Akta dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan
di tempat di mana akta itu dibuat.21
2.3.3. Keabsahan Akta PPAT Sebagai Akta Otentik
Isu
hukum tentang eksistensi Akta PPAT adalah apakah Akta PPAT
merupakan Akta Otentik atau bukan. Tehadap hal ini ada 2 (dua) pandangan yang
berkembang yaitu : (1) Pendapat Prof Boedi Harsono,SH., dalam salah satu
tulisannya yang berjudul “PPAT Sejarah, Tugas dan Kewenangannya”
menyatakan bahwa Akta PPAT memenuhi syarat sebagai Akta Otentik yang
ditentukan dalam Pasal 1868 KUH Perdata.22 (2). Pendapat dari Dr Habib Adjie,
SH., M.Hum. dalam bukunya yeng berjudul “Meneropong Khazanah Notaris dan
21
Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola,
Surabaya, Hal. 149-150.
22
Boedi Harsono, 2007, “PPAT Sejarah, Tugas dan Kewenangannya”, Majalah
Renvoi, Nomor. 8.44.IV., tanggal 3 Januari 2007. Hal. 52 (Selanjutnya disebut Boedi Harsono III)
PPAT Indonesia”menyatakan bahwa Akta PPAT bukan Akta Otentik karena tidak
memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 1868 KUH Perdata. 23
Perbedaan pandangan tersebut disebabkan adanya perbedaan tafsir atas
ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata yang menyebutkan : Suatu akta otentik ialah
suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di
hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
Dengan merujuk pada ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata maka dapat ditarik
unsur suatu Akta Otentik yaitu :
Unsur pertama suatu akta dikatakan sebagai akta otentik apabila akta
tersebut secara tersurat ditentukan oleh undang-undang. Demikian pula, hal ini
diberlakukan bagi akta PPAT. Akta PPAT tidak ditentukan oleh undang-undang,
melainkan ditentukan oleh Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, yaitu :
a.
Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menyatakan
bahwa bentuk, isi, dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
b.
Pasal 21 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 menyatakan bahwa akta
PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
c.
Pasal 95 dan Pasal 96 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 menetapkan bahwa macam dan
bentuk akta yang dibuat oleh PPAT.
23
Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan
Tulisan tentang Notaris dan PPAT), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, , Hal. 267-274. (Selanjutnya
disebut Habib Adjie II)
Berdasarkan ketiga peraturan di atas menunjukkan bahwa akta PPAT
bukanlah akta otentik dikarenakan bentuknya tidak ditentukan oleh undangundang melainkan ditetapkan oleh peraturan pemerintah dan peraturan menteri,
meskipun akta PPAT tersebut bentuknya baku dan dibuat oleh PPAT sebagai
pejabat umum.
Unsur kedua suatu akta dikatakan akta otentik apabila akta tersebut oleh
dan di hadapan pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta.
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional No.1 Tahun 2006 mengatur bahwa PPAT sebagai pejabat umum yang
diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia dan diberikan kewenangan untuk membuat akta pemindahan hak,
pembebanan Hak Tanggungan, pembagian hak bersama, dan pemberian kuasa
membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun.
Unsur ketiga suatu akta dikatakan sebagai akta otentik apabila akta dibuat
oleh pejabat umum dalam daerah (wilayah) kerjanya. Peraturan Pemerintah No.
37 Tahun 1998 dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun
2006 mengatur bahwa PPAT sebagai pejabat umum diberi kewenangan membuat
akta didalam daerah (wilayah) kerjanya. Daerah (wilayah) kerja PPAT adalah
suatu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Dari ketiga unsur suatu akta dikatakan sebagai akta otentik menurut Pasal
1868 BW, maka akta yang dibuat oleh PPAT tidak memenuhi unsur sebagai akta
otentik. Unsur pertama bahwa bentuk akta ditetapkan oleh undang-undang tidak
dipenuhi disebabkan bentuk akta PPAT ditetapkan oleh peraturan pemerintah dan
peraturan menteri. Unsur kedua dan ketiga dipenuhi yaitu PPAT sebagai pejabat
umum dan PPAT mempunyai daerah (wilayah) kerja tertentu.
Download