Hubungan Faktor Kontak, Karakteritik Balita dan Orang Tua dengan Kejadian TB Paru pada Balita di RSPI. Prof. dr. Sulianti Saroso Tahun 2012 Wenny Wiharsini Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia Email: [email protected] ABSTRAK Saat ini Tuberkulosis masih menjadi ancaman bagi dunia terutama negara berkembang. Di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso presentase kunjungan untuk kasus TB pada balita meningkat dari tahun 2009 sebesar 28,9% menjadi 34% pada tahun 2010 dari semua kunjungan kasus TB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor kontak, karakteristik balita dan orang tua dengan kejadian TB paru pada balita di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso pada tahun 2012. Desain studi kasus kontrol, kasus adalah pasien usia 6-59 bulan yang berkunjung dan telah didiagnosa menderita TB paru. Kontrol adalah balita yang datang berobat dan tidak didiagnosa menderita TB paru. Faktor risiko antara lain, kontak penderita, karakteristik balita: jenis kelamin, status gizi, riwayat berat badan lahir, pemberian ASI eksklusif, status imunisasi BCG, usia saat imunisasi BCG, dan karakteristik orang tua: pendidikan dan pekerjaan ibu, penghasilan orang tua, pengetahuan, faktor kebiasaan merokok antara lain: keberadaan perokok dan tempat merokok. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa 4 variabel faktor risiko yaitu, kontak penderita OR = 3,23 (95% CI: 1,29-8,10), status gizi OR= 2,38 (95% CI: 1,13-5,01), status imunisasi (keberadaan scar) OR=5,57 (95% CI: 2,48-12,54) dan pekerjaan ibu OR=0,279 (95% CI: 0,10-0,78) menunjukkan adanya hubungan bermakna. Dari hasil penelitian ini maka disarankan perlu adanya penyuluhan mengenai penyakit TB, terutama pada anak dengan ketiadaan scar BCG, status gizi underweight, memiliki kontak serumah dan anak dengan ibu yang tidak bekerja. Kata kunci : TB paru, Balita, orang tua, kontak. ABSTRACT Currently Tuberculosis still a threat to the world, especially developing countries. In RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso percentage of visits to cases of TB in infants increased from 28.9% in 2009 to 34% in 2010 of all visits TB cases. This study aimed to determine the relationship of contact factors, the characteristics of toddlers and parents with the incidence of pulmonary tuberculosis in infants RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso in 2012. Design case-control study, cases were patients aged 6-59 months who visit and had been diagnosed with pulmonary tuberculosis. Controls were children who came and did not get sick with pulmonary TB. Among other risk factors, TB contacts, toddler characteristics: gender, nutritional status, history of birth weight, exclusive breastfeeding, BCG immunization status, age at BCG, and parental characteristics: mother's education and occupation, parental income, knowledge factors, smoking habits, among others: the presence of smokers and smoking areas. The results of the bivariate analysis showed that four variables are risk factors, patient contact OR = 3.23 (95% CI: 1.29 to 8.10), the nutritional status OR = 2.38 (95% CI: 1.13 to 5, 01), immunization status (presence of scar) OR = 5.57 (95% CI: 2.48 to 12.54) and maternal employment OR = 0.279 (95% CI: 0.10 to 0.78) showed a significant correlation . From these results it is recommended that there is need for education about TB disease, particularly in children in the absence of BCG scar, nutritional status underweight, have household contacts and children whose mothers did not work. Keywords: pulmonary tuberculosis, Toddlers, parents, contact Hubungan faktor…, Wenny Wiharsini, FKM UI, 2013 1. Pendahuluan Saat ini Tuberkulosis masih menjadi ancaman bagi dunia terutama negara berkembang. WHO melaporkan pada tahun 2010 terdapat 8,8 juta insiden kasus TB, 1,1 juta kematian akibat TB. Di Indonesia Tuberkulosis masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat, pada tahun 2010 negara ini berada pada peringkat keempat untuk kasus tuberkulosis secara global. Estimasi prevalensi TB yaitu 289 per 100.000 penduduk dan Insiden TB 189 per 100.000 penduduk dengan tingkat kematian akibat TB yaitu 26 per 100.000 penduduk (WHO 2012). TB merupakan penyakit infeksi yang ditularkan melalui udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuklei) dari seorang penderita TB BTA (+). Sekali batuk seorang penderita dapat menghasilkan 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Sedangkan faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) (Depkes 2007). Anak-anak terutama bayi dan balita merupakan kelompok yang paling rentan terhadap penularan penyakit khususnya penyakit infeksi (Stalker, 2008). Malnutrisi menjadi salah satu pemicu mudahnya balita terkena infeksi TB. Berdasarkan Riskesdas 2010, di Indonesia angka kejadian malnutrisi pada balita masih cukup tinggi yaitu 17,9%. Pemicu lain yang menyebabkan balita khusunya bayi mudah terinfeksi TB adalah tidak adanya kekebalan tubuh terhadap Mycobacterium tuberculosis. TB merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, sehingga pemerintah berupaya untuk mengurangi angka kesakitan, kecacatan dan kematian bayi dan balita akibat penyakit TB dengan mewajibkan pemberian imunisasi, menggunakan vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) pada bayi sebelum ia berusia 3 bulan (IDAI, 2010). Untuk program imunisasi, Indonesia sendiri menargetkan 100% desa atau kelurahan telah mencapai UCI (Universal Child Immunization) yaitu cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi minimal 80% (Depkes, 2003). Meskipun Riset Kesehatan Dasar 2010 menggambarkan presentasi imunisasi BCG di Indonesia baru mencapai 77,9% . Jumlah kasus TB anak pada tahun 2009, berdasarkan data Kementrian Kesehatan mencapai 30.806 termasuk 1,865 kasus BTA positif. Proposi kasus TB anak dari semua kasus TB mencapai 10.45% (Kemkes, 2011). Sedangkan, jumlah kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 penderita TB dengan angka kematian yang bervariasi dari 0% - 14,1%, dengan kelompok usia terbanyak adalah 12 – 60 bulan (42,9%) sedangkan untuk bayi kurang dari 12 bulan didapatkan 16,5% (Depkes, 2008). Angka-angka ini merupakan gambaran parsial dari keseluruhan kasus TB anak yang sesungguhnya, mengingat tingginya kasus overdiagnosis di fasilitas pelayanan kesehatan yang diiringi dengan rendahnya pelaporan dari fasilitas pelayanan kesehatan (Kemkes RI, 2011). Kesulitan mendiagnosis TB pada anak dapat menyebabkan misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Hal ini disebabkan karena pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama dan pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor (Depkes, 2007). Hubungan faktor…, Wenny Wiharsini, FKM UI, 2013 Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas Depkes, 2007). Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara nasional di seluruh Unit Pelayanan Kesehatan terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Depkes, 2007). DKI Jakarta, merupakan wilayah yang telah sejak lama melaksanakan program DOTS di setiap fasilitas pelayanan baik puskesmas maupun RS. Proporsi penemuan kasus TB pada anak di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2011 sebesar 13,1% dari seluruh kasus TB. Jakarta Utara merapakan salah satu wilayah di DKI Jakarta yang memiliki proporsi penemuan kasus TB pada anak tertinggi yaitu 24,73% di bandingkan dengan wilayah lain di DKI Jakarta. Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso merupakan salah satu RS di wilayah Jakarta Utara yang telah mengikuti program DOTS dan sistem skoring untuk penilaian TB pada anak. Presentase kunjungan untuk kasus TB pada balita tahun 2009 sebesar 28,9% meningkat menjadi 34% pada tahun 2010 dari semua kunjungan kasus TB di RS tersebut. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan faktor kontak, karakteristik balita dan orang tua dengan kejadian TB paru pada balita di RSPI Prof. Dr Sulianti Saroso pada bulan tahun 2012. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini antara lain: Mengetahui gambaran faktor kontak dan hubungannya dengan kejadian TB paru pada balita di RSPI. Prof. Dr. Sulianti Saroso tahun 2012. Mengetahui gambaran karakteristik balita (jenis kelamin, status gizi, riwayat berat badan lahir, pemberian ASI eksklusif, status imunisasi BCG, usia saat imunisasi BCG) dan hubungannya dengan kejadian TB paru pada balita di RSPI. Prof. Dr. Sulianti Saroso tahun 2012. Mengetahui gambaran karakteristik orang tua (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, penghasilan orang tua, pengetahuan, faktor kebiasaan merokok antara lain: keberadaan perokok dan tempat merokok) dan hubungannya dengan kejadian TB paru pada balita di RSPI. Prof. Dr. Sulianti Saroso tahun 2012. 2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan desain studi kasus kontrol, merupakan penelitian observasional yang bersifat retrospektif yaitu mengikuti perjalanan penyakit kearah belakang berdasarkan urutan waktu dari akibat ke sebab. Penelitian ini dilakukan selama bulan November – Desember 2012. Lokasi penelitian yaitu di RS Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh balita yang berobat di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso pada bulan November-Desember 2012. Sampel pada penelitian ini menggunakan total populasi dengan kasus adalah balita yang berobat di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso pada bulan November-Desember 2012 dan telah didiagnosa menderita penyakit TB paru oleh dokter berdasarkan sistem skoring TB anak, sedangkan kontrol adalah Hubungan faktor…, Wenny Wiharsini, FKM UI, 2013 balita yang berobat di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso pada bulan November-Desember 2012 dan tidak didiagnosa menderita TB paru oleh dokter. Responden dalam penelitian ini adalah orang tua dari kasus atau kontrol. Sampel diambil apabila memenuhi kriteria inklusi yaitu usia 6-59 bulan, datang bersama orangtua, didiagnosa oleh dokter menderita TB paru (kasus) dan tidak menderita TB paru (kontrol), sedangkan kriteria eksklusi antara lain: tidak bersedia diwawancara, data yang dibutuhkan tidak tersedia, datang tidak dengan orang tua, menderita HIV/AIDS, dan memiliki riwayat TB bagi kontrol. sebagai sampel pada penelitian ini. Sampel dalam penelitian ini menggunakan rasio kasus : kontrol adalah 1 : 2, didapatkan jumlah kasus 46 balita dan kontrol 92 balita, sehingga total sampel dalam penelitian ini berjumlah 138 balita. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara menggunakan kuesioner. Data sekunder diperoleh dari melihat rekam medis pasien. Analisis yang digunakan adalah univariat dan bivariat. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square dikarenakan variabel dependen dan independennya menggunakan variabel katagorik. Uji Chi-Square dilakukan dengan membandingkan frekuensi yang terjadi (observasi) dengan frekuensi harapan (ekspektasi), Uji Chi-square hanya dapat digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan 2 variabel. Oleh karena itu ukuran asosiasi Odds Ratio (OR) digunakan untuk menggambarkan hubungan antara paparan dengan penyakit (Murti, 1997 dalam Kusuma 2011). Nilai OR menunjukkan besarnya kemungkinan / peluang seseorang yang terpapar oleh faktor tertentu untuk berkembang menjadi penyakit dibandingkan dengan orang yang tidak terpapar. 3. Hasil Tabel 1. Distribusi frekuensi dan hubungan kontak penderita dengan kejadian TB paru pada kasus dan kontrol Kontak Penderita Kasus n = 46 Kontrol n = 92 P Odds 95% CI TB value Ratio n % n % Ada Kontak 13 28,3 10 10,9 0,019 3,23 1,29-8,10 Tidak ada kontak 33 71,7 82 89,1 Proporsi balita yang memiliki kontak dengan penderita TB lebih besar pada kasus (28,3%) dibandingkan pada kontrol (10,9%). Terlihat bahwa balita yang memiliki kontak dengan penderita tuberkulosis dalam satu rumah, mempunyai kemungkinan untuk menderita tuberkulosis paru sebesar 3,23 kali dibandingkan balita yang tidak memiliki kontak serumah dengan penderita tuberkulosis (95% CI 1,29-8,10). Berdasarkan tabel 2, jumlah subjek laki-laki dan perempuan pada penelitian ini hampir sama yaitu 47,8% laki-laki dan 52,2% perempuan. Proporsi laki-laki yang termasuk kedalam kelompok kasus lebih besar (50%) dibandingkan kelompok kontrol (46,7%). Proporsi balita dengan riwayat BBLR pada kelompok kasus lebih kecil daripada kelompok Hubungan faktor…, Wenny Wiharsini, FKM UI, 2013 kontrol (8,7%), sebaliknya proporsi balita dengan riwayat berat lahir normal lebih banyak pada kelompok kasus (91,3%) dibandingkan pada kelompok kontrol (90,2%).Proporsi balita dengan status gizi underweight atau malnutrisi akut lebih banyak pada kelompok kasus (45,7%) dibandingkan pada kelompok kontrol (26,1). Proporsi balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan pada kasus lebih besar (78,3%) dibandingkan pada kontrol (71,7). Proporsi balita yang tidak memiliki scar BCG pada kelompok kasus lebih besar (50%) dari pada kelompok kontrol (15,2%). Proporsi kelompok kasus yang mendapatkan imunisasi BCG pada usia lebih dari 8 minggu sedikit lebih tinggi (10,9%) dibanding kelompok kontrol (10,1%). Pada faktor karakteristik balita, variabel yang menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian TB paru pada balita adalah status gizi (nilai p = 0,03 ) dimana balita dengan status gizi underweight atau malnutrisi akut mempunyai kemungkinan untuk menderita tuberkulosis paru sebesar 2,38 kali dibandingkan balita dengan status gizi baik atau normal (95% CI 1,13-5,01) dan keberadaan scar BCG (nilai p = 0,001) dimana balita yang tidak memiliki scar BCG mempunyai kemungkinan untuk menderita tuberkulosis paru sebesar 5,57 kali dibandingkan balita yang memiliki scar BCG pada kulitnya (CI 95% 2,48-12,54), sedangkan variabel lain seperti jenis kelamin, riwayat berat lahir, ASI eksklusif, usia saat imunisasi BCG dan jarak usia dengan saudara yang lebih tua menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Tabel 2. Distribusi frekuensi dan hubungan karakteristik balita dengan kejadian TB paru pada kasus dan kontrol Karakteristik Kasus n = 46 Kontrol n = 92 P Odds 95% CI Balita value Ratio n % n % Jenis Kelamin Laki-laki 23 Perempuan 23 Riwayat Berat Badan Lahir BBLR 4 Normal 42 Status Gizi Underweight 21 Normal 25 Asi Eksklusif Tidak 36 Ya 10 Status Imunisasi (scar) Tidak Ada Scar 23 Ada Scar 23 Usia imunisasi 5 > 8 minggu ≤ 8 minggu 41 50,0 50,0 43 49 46,7 53,3 0,86 1,14 0,56-2,31 8,7 91,3 9 83 9.8 90,2 1 0,88 0,26-3,02 45,7 54,3 24 68 26,1 73,9 0,03 2,38 1,13-5,01 78,3 21,7 66 26 71,7 28,3 0,54 1,42 0,62-3,27 50,0 50,0 14 78 15,2 84,8 0,001 5,57 2,48-12,54 10,9 89,1 9 80 10,1 89,9 1,0 1,08 0,34-3,45 Hubungan faktor…, Wenny Wiharsini, FKM UI, 2013 Tabel 3. Distribusi frekuensi dan hubungan karakteristik orang tua dengan kejadian TB paru pada kasus dan kontrol Karakteristik Kasus n = 46 Kontrol n = 92 P value Odds 95% CI Orang Tua ratio n % n % Pendidikan Ibu Rendah 13 Tinggi 33 Pekerjaan Ibu Bekerja 5 Tidak bekerja 41 Penghasilan orang tua Rendah 15 Tinggi 31 Pengetahuan Rendah 21 Tinggi 25 Keberadaan perokok Ada 35 Tidak 11 Tempat merokok Didalam rumah 16 Diluar rumah 19 28,3 71,7 21 71 22,8 77,2 0,625 1,33 0,60-2,98 10,9 89,1 28 64 30,4 69,6 0,020 0,279 0,10-0,78 32,6 67,4 27 65 29,3 70,7 0,84 1,17 0,54-2,50 45,7 54,3 49 43 53,3 46,7 0,508 0,74 0,36-1,50 76,1 23,9 68 24 73,9 26,1 0,95 1,12 0,49-2,56 45,7 54,3 20 48 29,4 70,6 0,15 2,02 0,87-4,71 Proporsi ibu yang memiliki pendidikan rendah pada kelompok kasus lebih tinggi (28,3%) dibanding kelompok kontrol (22,8%). Proporsi balita dengan ibu tidak bekerja pada kelompok kasus lebih tinggi (89,1%) dibandingkan pada kelompok kontrol (69,6%). Proporsi orang tua balita yang masih memiliki penghasilan rendah (<UMR) lebih tinggi pada kelompok kasus (32,6) dibandingkan pada kelompok kontrol (29,3). Proporsi orang tua balita yang memiliki pengetahuan mengenai TB rendah lebih banyak pada kelompok kontrol (53,3%) dibandingkan kelompok kasus (45,7%). Proporsi keberadaan orang tua yang merokok pada kelompok kasus lebih tinggi (76,1%) dibandingkan pada kelompok kontrol (73,9%). 35% diantara orang tua yang merokok, melakukan aktivitas merokoknya didalam rumah, dimana kelompok merokok didalam rumah pada kelompok kasus lebih besar (42,%) dibandingkan kelompok kontrol (23,5%). 4. Diskusi Hubungan secara statistik, menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kontak penderita dengan kejadian TB paru pada balita (p=0,019). Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Inggariwati (2008) dengan risiko 2,99 kali, Irawan (2007) dengan risiko 3,104 kali. Hasil penelitian ini juga senada dengan pendapat Depkes 2008, bahwa 50 - 60% anak kecil yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA positif, akan terinfeksi TB juga. Sekitar 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. Oleh sebab itu kontak penderita TB paru menjadi salah satu indikator Hubungan faktor…, Wenny Wiharsini, FKM UI, 2013 penting dalam sistem skoring yang ditetapkan pemerintah untuk membuat diagnosa TB pada anak, dengan nilai skor 0 apabila tidak ada kontak, 2 apabila keluarga tidak mengetahui hasil dari pemeriksaan dahak dan 3 apabila hasil dari pemeriksaan dahak BTA positif. Pada faktor karakteristik balita, variabel yang menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian TB paru pada balita adalah status gizi (p value = 0,03) dan keberadaan scar BCG (p value = 0,001). Sedangkan variabel lain seperti jenis kelamin, riwayat berat lahir, ASI eksklusif, usia saat imunisasi BCG dan jarak usia dengan saudara yang lebih tua menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Pada variabel jenis kelamin dilihat dari p-value dan interval kepercayaan, menunjukkan hubungan statistik yang tidak bermakna (nilai p = 0,86). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Irawan (2007), Setiawan (2009) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian TB pada balita. penelitian ini juga sejalan dengan Crofton (2002) dalam bukunya tuberkulosis klinis bahwa hampir tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan sampai pada umur pubertas mengenai besarnya resiko terkena penyakit TB paru, karena kedua-duanya sama-sama memiliki daya tahan tubuh yang lemah. Hasil analisis bivariat pada variabel riwayat berat lahir menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (nilai p = 1), penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian villamor, dkk (2011) menyatakan bahwa setiap peningkatan berat badan lahir akan memberikan perlindungan tambahan atau mengurangi risiko berkembangnya penyakit TB di kemudian hari. Ini mengindikasikan bahwa bayi dengan berat lahir rendah merupakan kelompok resiko tinggi terkena TB. Perbedaan hasil dalam penelitian ini dengan dua penelitian sebelumnya dan teori diatas dapat disebabkan karena cukup jauhnya perbedaan proporsi antara riwayat BBLR (9,4%) dengan bayi lahir normal (90,6%). Perbedaan proporsi yang cukup jauh ini pertama dapat disebabkan karena jumlah sampel yang terlalu sedikit sehingga tidak dapat menangkap balita yang lahir dengan BBLR lebih banyak atau yang kedua dikarenakan adanya bias recall dari orang tua dalam mengingat berat badan anaknya ketika lahir. Hasil analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan yang signifikan ( nilai p = 0,03) antara Balita dengan status gizi underweight. Balita dengan status gizi underweight kemungkinan untuk menderita tuberkulosis paru sebesar 2,38 kali dibandingkan balita dengan status gizi baik atau normal (95% CI 1,13-5,01). Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Kusuma (2011), Irawan (2007) dan Naim (2004). Menurut Semba dkk, anak-anak dengan kurang energi protein (KEP) berada pada risiko lebih tinggi untuk terinfeksi dan berkembang menjadi TBC (Semba, 2001). Anakanak memerlukan asupan gizi yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh mereka. Kurangnya asupan gizi pada anak dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan serta menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh mereka terhadap infeksi berbagai penyakit. Anak yang menderita TB paru akan sulit untuk naik berat badannya dan akan cenderung tetap atau bahkan turun. Oleh karena itu pada penilaian skoring untuk diagnosis TB pada anak status gizi menjadi salah satu indikator dalam penilaian, dengan jumlah skor 1 untuk berat badan di bawah garis merah pada KMS (BB/U<80%) dan skor 2 untuk klinis gizi buruk (BB/U < 60%). Pada penelitian ini peneliti menggunakan z-score dalam perhitungan status gizi, tidak menggunakan % median seperti pada penilaian skoring diagnosis TB pada anak. Dimana cut Hubungan faktor…, Wenny Wiharsini, FKM UI, 2013 off point yang digunakan oleh peneliti untuk status gizi underweight adalah < -2 SD dan status gizi normal ≥ -2 SD . Cut off point – 2 SD yang digunakan apabila dikonversi kedalam % median bernilai 80%. Hasil analisis bivariat menemukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara ASI eksklusif dengan kejadian TB paru pada balita (nilai p = 0,54) (OR= 1,42, 95% CI 0,623,27). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Inggariwati (2008) yang menemukan hubungan yang bermakna antara ASI eksklusif dengan kejadian TB paru pada balita. Adanya perbedaan hasil pada penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Inggariwati dapat disebabkan karena pertanyaan yang diajukan kepada responden lebih mendalam, seperti pemberian air putih, ketika responden diajukan pertanyaan mengenai makanan/minuman lain yang pernah diberikan pada bayi sebelum umur enam bulan, lalu peneliti menggali lebih dalam mengenai pemberian air putih, status balita yang sebelumnya ASI eksklusif menjadi gagal. Dalam hal ini masih banyak orang tua khusunya ibu yang belum paham maksud dari pemberian ASI eksklusif. Balita yang tidak memiliki scar BCG mempunyai kemungkinan untuk menderita tuberkulosis paru sebesar 5,57 kali dibandingkan balita yang memiliki scar BCG pada kulitnya (CI 95% 2,48-12,54) (nilai p = 0,001). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Kusuma (2011). Hasil ini juga senada penelitian yang dilakukan oleh Soysal, dkk bahwa kehadiran bekas luka BCG secara independen sangat terkait dengan penurunan risiko terinfeksi tuberkulosis sebesar 24% (Soysal,dkk. 2005). Pemberian imunisasi BCG dikatakan “berhasil”, apabila setelah beberapa minggu ditempat suntikan terdapat suatu benjolan kecil. Tempat suntikan itu kemudian berbekas. Kadang-kadang benjolan tersebut bernanah, tetapi akan sembuh sendiri meskipun lambat (Markum, 1987). Pada variabel ini peneliti mencoba mencari hubungan antara status gizi dengan keberadaan scar BCG. Hasil analisis bivariat antara status gizi dan keberadaan scar menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara status gizi dengan keberadaan scar dengan nilai p = 0,16 ( OR = 1,89 dan 95% CI 0,87-4,13). Namun, berdasarkan proporsi dapat dilihat bahwa balita dengan status gizi underweight dan tidak memiliki scar BCG lebih besar (43,2%) dibandingkan balita dengan status underweight dan memiliki scar BCG. Selanjutnya peneliti mencoba mencari hubungan antara kontak penderita dengan keberadaan scar BCG. Untuk melihat hubungan paparan kuman TB dengan keberadaan scar BCG. Hasil analisis bivariat menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara kontak penderita dengan keberadaan scar BCG dimana nilai p = 0,86 (OR = 1,24 dan 95% CI = 0,47 – 3,31). Namun, proporsi balita yang memiliki kontak dengan penderita TB, sedikit lebih banyak yang tidak memiliki scar BGC (18,9%) dibandingkan dengan balita yang memiliki scar BCG (15,8%). Ada atau tidak adanya bekas luka BCG adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk menentukan status vaksinasi, karena catatan vaksinasi BCG tidak tersedia. Meskipun, ketiadaan bekas luka BCG tidak mengkonfirmasi kurangnya vaksinasi, karena tidak semua anak-divaksinasi BCG mengembangkan bekas luka terdeteksi (Soysal,dkk. 2005. Analisis yang berkembang mengapa ketiadaan scar BCG menjadi salah satu faktor resiko kejadian TB pada balita, yaitu ketiadaan scar dapat menunjukkan status imunisasi yang meragukan, karena dalam penelitian ini status imunisasi BCG hanya didapat dari ingatan Hubungan faktor…, Wenny Wiharsini, FKM UI, 2013 orang tua sehingga dapat terjadi recall bias (kesalahan responden dalam mengingat). Pendapat dari Fina, dkk (1989), menyatakan kecenderungan berkembangnya scar BCG dikenali sebagai kemungkinan dari fungsi tipe, dosis dan metode penyuntikan vaksin. Penyebab lain mengapa pada imunisasi BCG tidak terdapat scar, di laporkan oleh Shirakawa dan koleganya yang melaporkan bahwa 24 respon tuberkulin positif antara anak Jepang berusia 12-13 tahun berkorelasi dengan kejadian gangguan atopik yang ringan (Johan, S. Dkk, 1997). Sehingga jika gangguan atopik cukup berat maka reaksi tuberkulin menjadi negatif. Dalam penelitian Soysal, dkk, menyatakan bahwa 90% vaksinasi BCG pada neonatal di turki menghasilkan pembentukan bekas luka. Pembentukan bekas luka berhubungan dengan respon imunologi seseorang terhadap vaksinasi BCG (Soysal,dkk. 2005). Sehingga kesimpulan yang dapat diambil dari pendapat dan penelitian Soysal, dkk adalah scar BCG akan terbentuk pada seseorang yang belum terpapar kuman TB sebagai bentuk respon imunologi seseorang terhadap kuman yang baru dikenal, oleh karena itu diungkapkan pada neonatus 90% vaksinasi BCG membentuk scar, karena neonatus tersebut belum pernah terpapar dengan kuman TB. Dari hasil analisis bivariat, menunjukkan hubungan statistik yang tidak bermakna antara usia saat imunisasi dengan kejadian TB paru pada balita dengan nilai p dan OR = 1. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Gusnilawati (2006) dan Kusuma (2011) yang menemukan hubungan bermakna antara usia saat imunisasi dengan kejadian TB paru pada anak. Perbedaan ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan dalam definisi operasional dimana Gusnilawati dan Kusuma mengkategorikan usia menjadi dua yaitu > 4 minggu atau 0-4 minggu. Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan kategori ≤ 8 minggu atau > 8 minggu. Menurut IDAI (2010) BCG diberikan sebelum bayi berusia 3 bulan. Jika imunisasi baru dilakukan setelah bayi berusia 3 bulan, disarankan untuk melakukan uji tuberkulin terlebih dahulu untuk mengetahu apakah bayi telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Hal lain yang dapat menyebabkan berbedanya hasil penelitian ini, karena adanya recall bias, dimana responden yang merupakan orang tua dari balita harus mengingat kembali kapan tepatnya balita mendapatkan imunisasi BCG. Pada faktor karakteristik orang tua, variabel yang menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian TB paru pada balita hanya satu variabel yaitu pekerjaan ibu (p value =0,02 ). Sedangkan variabel lain seperti pendidikan ibu, penghasilan orang tua, pengetahuan orang tua, keberadaan perokok dan tempat merokok menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Hasil analisis bivariat menunjukkan hubungan statistik yang tidak bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian TB paru pada balita (nilai p = 0,625). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Mahpudin (2006), Irawan (2007), Inggariwati (2008) dan Kusuma (2011). Analisis bivariat menemukan adanya hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan kejadian tuberkulosis paru dimana nilai p lebih kecil dari 0,05 (0,020). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2011). Pada variabel ini peneliti berusaha mencari hubungan antara pekerjaan ibu dengan kontak penderita. Hasil analisis bivariat menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara pekerjaan ibu dengan kontak penderita dimana nilai p = 0,11 ( OR = 2,44, 95%CI 0,94-6,31). Jika dilihat dari proporsi balita dengan ibu bekerja, balita yang memiliki kontak dengan Hubungan faktor…, Wenny Wiharsini, FKM UI, 2013 penderita sedikit lebih besar (39,1%) dibandingkan yang tidak memiliki kontak (20,9%), sedangkan balita pada ibu yang tidak bekerja, yang memiliki kontak dengan penderita lebih sedikit (60,9%) dibandingkan yang tidak memiliki kontak (79,1%). Hasil distribusi frekuensi, menggambarkan bahwa balita dengan ibu bekerja 75% didapati paman/bibi sebagai sumber kontak sedangkan pada ibu tidak bekerja 77,8% sumber kontak penderita berasal dari kakek/nenek yang sakit TB dan 75% kontak dengan orang tua (ibu/bapak) yang sakit TB. Analisis yang berkembang dari proporsi diatas bahwa ibu yang bekerja tidak menyadari bahwa keluarga yang membantu mengasuh anak mereka menderita TB. Pada ibu yang tidak bekerja anak2 tertular dari interaksi dengan nenek/kakek dan orang tua baik ibu ataupun ayah. Hasil analisis bivariat variabel penghasilan kedua orang tua, tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara penghasilan orang tua dengan kejadian tuberkulosis pada balita dimana nilai p lebih besar dari 0,05 (p=0,84). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Inggariwati (2008). Pada variabel ini tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dapat juga disebabkan oleh adanya responden yang tidak jujur menjawab pertanyaan mengenai penghasilan, mengakibatkan tidak tertangkapnya informasi yang sebenarnya untuk variabel ini. Hasil penemuan ini juga dapat mengindikasikan suatu kesimpulan bahwa TB paru tidak hanya menyerang orang yang memiliki penghasilan rendah saja namun setiap orang apapun latar belakang ekonominya dapat terkena tuberkulosis. Hasil analisis bivariat pada variabel pengetahuan orang tua, menunjukkan hubungan statistik yang tidak bermakna (p = 0,508) (95%CI 0,36-1,50). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Irawan (2007) dan Kusuma (2011). Pada penelitian ini proporsi responden yang memiliki pengetahuan rendah lebih tinggi (50,7%) dari pada yang memiliki pengetahuan tinggi (49,3%), hasil ini senada dengan teori menurut Aditama (1997) yang menyatakan bahwa pengetahuan masyarakat mengenai TB masih kurang memadai, masih banyak yang beranggapan bahwa TB merupakan faktor keturunan, pikiran dan penyakit yang hanya ditularkan melalui media alat makan atau minuman saja (Aditama, 1997). Dari hasil nilai pengetahuan didapat 54,3% kelompok kasus memiliki pengetahuan yang tinggi. Pada variabel pengetahuan untuk studi kasus kontrol dapat terjadi bias yang sangat besar, karena pada kelompok kasus responden diwawancara setelah anak sakit atau mengalami TB paru, sehingga dapat dipastikan pada saat wawancara kelompok kasus telah menerima edukasi dari petugas kesehatan sebelumnya, minimal mengenai proses pengobatan, cara minum obat dan lamanya pengobatan untuk TB paru. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak adanya hubungan signifikan antara keberadaan perokok dengan kejadian tuberkulosis pada balita dengan nilai p = 0,95 (OR =1,12, 95%CI=0,49-2,56). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Kusuma (2011). Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna namun proporsi keberadaan orang tua yang merokok pada kelompok kasus lebih tinggi (76,1%) dibandingkan pada kelompok kontrol (73,9%). Proporsi ini senada pendapat Chan (2010), bahwa eksposure asap rokok aktif atau pasif merupakan faktor risiko independen untuk infeksi TB dengan RR, sekitar 1,5-2. Paparan asap rokok juga memiliki kontribusi untuk Hubungan faktor…, Wenny Wiharsini, FKM UI, 2013 memperpanjang infektivitas TB dan menciptakan kemungkinan yang lebih besar untuk epidemi. Paparan asap rokok menjadi salah satu polutan berbahaya bagi balita, balita dengan orang tua yang biasa merokok didalam rumah mempunyai kemungkinan untuk menderita tuberkulosis paru sebesar 2,02 kali dibandingkan balita dengan orang tua yang selalu merokok diluar rumah. Meskipun hubungan secara statistik tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tempat merokok dengan kejadian tuberkulosis pada balita dimana nilai p lebih besar dari 0,05 (0,15). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Kusuma (2011). Meskipun hasil analisis bivariat menunjukkan tidak adanya hubungan, namun dilihat dari proporsi merokok didalam rumah pada kelompok kasus lebih besar (42,%) dibandingkan kelompok kontrol (23,5%). Proporsi ini sejalan dengan pernyataan chan yang menyatakan bahwa peningkatan risiko cepat berkembang menjadi penyakit aktif setelah infeksi baru, pada mereka dengan eksposur perokok pasif terutama anak-anak, bersamaan dengan hubungan positif antara jumlah rokok yang dihisap dalam rumah tangga dan risiko perkembangan TB aktif dengan kontak terkena, mendukung hubungan antara paparan asap rokok dan peningkatan risiko TB aktif. Kesimpulan dan saran Pada variabel kontak dengan penderita proporsi kasus yang memiliki kontak lebih banyak dibanding kontrol. Hubungan secara statistik juga menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kontak penderita dengan kejadian TB paru pada balita dengan nilai p=0,019 (OR 3,23 95%CI 1,29-8,10). Pada faktor karakteristik balita, variabel yang menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian TB paru pada balita adalah status gizi (nilai p=0,03) (OR 2,38, 95%CI 1,13-5,01) dan keberadaan scar BCG (nilai p = 0,001) (OR 5,57 95%CI 2,48-12,54), Sedangkan variabel lain seperti jenis kelamin, riwayat berat lahir, ASI eksklusif, usia saat imunisasi BCG dan jarak usia dengan saudara yang lebih tua menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Pada faktor karakteristik orang tua, variabel yang menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian TB paru pada balita hanya satu variabel yaitu pekerjaan ibu (nilai p =0,02) (OR 0,279 95%CI 0,10-0,78), Sedangkan variabel lain seperti pendidikan ibu, penghasilan orang tua, pengetahuan orang tua, keberadaan perokok dan tempat merokok menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Berdasarkan hasill yang ditemukan dalam penelitian ini, ada 4 variabel yang mempunyai hubungan dengan kejadian TB pada balita, maka dengan itu dapat dikemukakan beberapa saran berikut: Untuk RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso Hendaknya lebih meningkatkan perhatian kepada balita dengan gizi buruk, ketiadaan scar BCG serta balita yang memiliki ibu tidak bekerja, dengan cara promosi dan edukasi mengenai TB paru serta penyuluhan mengenai pemberian gizi yang baik. Untuk Masyarakat 1) Bagi orang tua yang memiliki balita dengan gizi buruk dan ketiadaan scar BCG sebaiknya, menghindarkan kontak dengan penderita TB serta memberikan asupan gizi yang baik kepada anak. 5. Hubungan faktor…, Wenny Wiharsini, FKM UI, 2013 2) Bagi ibu yang tidak bekerja, sebaiknya meningkatkan perhatian kepada anaknya seperti pemberian asupan gizi yang baik dan menghindarkan kontak dengan kerabat yang menderita TB paru. Daftar Acuan 1. Aditama, Tjandra Yoga. (1997). Rokok dan Kesehatan. Jakarta : UI Press. 2. Chan, Edward D, MD; Keane, Joseph; Iseman, Michael D, MD., (2010) Should Cigarette Smoke Exposure Be a Criterion to Treat Latent Tuberculous infection?. New York:American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. http://search.proquest.com/docview/759468565?accountid=17242 3. Chin, James, I Nyoman Kandun. (2009). Manual Pemberantasan Penyakit Menular. edisi 17 cetakan III. Jakarta: Infomedika. 4. Crofton, J., Horne, N., Miller, F. (2002). Tuberkulosis Klinis. Jakarta: Widya Medika. 5. Depkes RI., IDAI. (2008). Pedoman dan Tatalaksana Tuberculosis pada Anak. Jakarta : Depkes RI 6. Gusnilawati. (2006). Hubungan Usia Imunisasi BCG dan Status Gizi dengan kejadian TB paru pada Anak Usia <5 tahun di RSUD dr. M yunus Bengkulu 2001-2005. Tesis FKM-UI. 7. Inggariwati. (2008). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TBC Paru pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Tebet Jakarta Selatan Tahun 2008. Skripsi. FKM UI, Depok. 8. Irawan, Cucu. (2007). Hubungan Karakteristik Balita. Orang Tua, dan Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru pada Balita di Kota Bandung Tahun 2007. Tesis. FKM. UI, Depok. 9. Kemenkes RI. (2011). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Kemenkes RI 10. Kusuma, irma Surya. (2011). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru pada Anak yang Berobat di Puskesmas Wilayah Kecamatan Cimanggis Depok Februari-April 2011, Skripsi FKM-UI, Depok 11. Mahpudin. (2006). Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah, Sosial Ekonomi dan Respon Biologis terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru BTA Positif pada Penderita Dewasa di Indonesia. Tesis. FKM UI, Depok 12. Markum, I.A. (1987). Imunisasi. Jakarta : FKUI. 13. P.E.M. Fine, J.M. Ponnighaus, N. Maine.(1989). The Distribution and Implications of BCG Scars in Northern Malawi. Buletin WHO 67(1) : 35-42 http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/52199/1/bulletin_1989_67%281%29_35-42.pdf 14. Pokhrel, Amod K., Bates, Michael N., dkk. (2010). Tuberculosis and Indoor Biomass and Kerosene Use in Nepal: A Case-Control Study. United Stateds: Environmental HealthPerspectives Http://search.proquest.com/docview/89183577?accountid=17242 15. Semba, Richard D. Bloem, Martin W. (2001). Nutrition And Health in Developing Countries. New Jersey: Humana Press Hubungan faktor…, Wenny Wiharsini, FKM UI, 2013 16. Soysal, Ahmet; Millington, Kerry A; Bakir, Mustafa; Dosanjh, Davinder; et al. (2005). Effect of BCG vaccination on risk of Mycobacterium tuberculosis infection in children with household tuberculosis contact: a prospective community-based study. London : Elsevier Limited http://search.proquest.com/docview/199042819/13BBB8088836F8AF1CA/2?accountid= 17242 17. Villamor, dkk (2010). Evidence for an effect of fetal growth on the risk of tuberculosis. 4 Januari. http://jid.oxfordjournals.org/content/201/3/409.full.pdf+html?sid=7983db20-b1a0-487b8690-1de490f69303 18. Wicaksono, Dipo. (2009). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru pada Anak Usia 0-12 Tahun dengan Status Gizi Kurang di Wilayah Puskesmas, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. Skripsi. FKM UI. Depok. Hubungan faktor…, Wenny Wiharsini, FKM UI, 2013