1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah. Hakekat Sistem Pemasyarakatan pada dasarnya merupakan buah pikiran untuk penerapan konsep “Treatment of offender” dan dapat dianggap menggantikan sistem kepenjaraan. Dimana menurut kajian hasil penelitian penologi telah terbukti merusak kehidupan “personality, sexuality, security” manusia selama menjalani pidana penjara dengan sistem kepenjaraan yang tidak sesuai dengan pengakuan terhadap hak dan kebebasan kodrat manusia.1 Istilah “penjara” telah diganti menjadi “Lembaga Pemasyarakatan” namun dalam implementasinya ternyata penerapan konsep lembaga pemasyarakatan tersebut belum efektif. Hal ini nampak dari masih terus terjadinya berbagai kasus yang bertentangan ataupun menghilangkan makna dari tujuan pemasyarakatan itu sendiri. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia tahun 2003, menyebutkan bahwa untuk mengatasi kondisi LAPAS yang sebagian besar dalam keadaan over kapasitas maka perlu diadakan perombakan dalam sistem pemidanaan. Penambahan alternatif pemidanaan lain disamping pidana penjara dapat mengatasi titik tolak dalam mengatasi over kapasitas sebagian besar LAPAS di Indonesia. Langkah berikutnya adalah dengan mengefektifkan pemberian hak- hak narapidana yaitu pemberian Remisi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Cuti Menjelang 1 Abdussalam, SIK, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta, h.333. 2 Bebas, Pembebasan Bersyarat dan hak- hak lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.2 Tetapi langkah pemberian hak- hak narapidana sebagaimana dimaksud perlu dilakukan pengecualian melalui pengetatan khususnya terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana extra ordinary crime. Jenis tindak pidana extra ordinary crime dapat digolongkan sebagai berikut : terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan HAM berat, kejahatan transnasional yang terorganisir, kejahatan terhadap keamanan negara. Berkaitan dengan kejahatan yang dalam hal ini memperoleh pengecualian yakni dengan memperketat syarat dan tata cara pemberian Remisi, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 99 Tahun 2012 Tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor : 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam diktum menimbang disebutkan bahwa memperketat syarat dan tata cara pemberian Remisi diberlakukan bagi pelaku tindak pidana antara lain : - - 2 Terorisme karena tindak kejahatan terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi. Narkotika, dan precursor narkotika, psikotropika merupakan persoalan global yang melanda semua wilayah maupun negara di seluruh dunia. Khususnya di Indonesia saat ini banyak generasi muda telah terjerumus melakukan penyalahgunaan narkotika, baik dari kalangan pelajar, mahasiswa, bahkan termasuk aparat penegak hukum, tenaga Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2003, Ringkasan Hasil pengkajian Badan Penelitian dan pengembangan HAM, Jakarta, h.10. 3 - - pengajar ( Dosen dan Guru ) yang kita simak di media akhir- akhir ini ikut terlibat ke dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Korupsi Merupakan perilaku pejabat publik, politikus maupun pegawai negeri sipil, yang secara tidak wajar dan illegal memperkaya diri atau memperkaya orang- orang di dekatnya, dengan jalan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Kejahatan HAM berat atau kejahatan kemanusiaan merupakan jenis kejahatan yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 “Rome Statute Of Internasional Court, bentuk pelanggaran HAM berat menurut statuta roma adalah kejahatan genoside, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 Statuta Roma. Sehingga pada tahun 2002 di kota Hague Belanda dibentuklah suatu pengadilan kriminal Internasional yang disebut International Criminal Court ( ICC ). Statuta Roma memberikan kewenangan kepada ICC untuk mengadili kejahatan genosida, kejahatan terhadap prikemanusiaan dan kejahatan perang. Termasuk pula kejahatan terhadap keamanan negara serta kejahatan ( transnasional ) terorganisasi lainnya yang dianggap perlu untuk memperketat syarat dan tata cara pemberian remisi sehingga dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.3 Pengetatan pemberian remisi merupakan strategi pemerintah dalam memberikan efek jera dan rasa taubat bagi narapidana setelah bebas dari masa pemidanaan atau penahanan, sebab efek jera bagi pelaku kejahatan sebagaimana yang telah disebutkan yakni dengan memperkecualikan pemberian hak hak warga binaan khususnya remisi sehingga timbul rasa jenuh dan rasa enggan mengulangi perbuatannya kembali. Pemberian remisi sesuai dengan pengertian remisi yang disebutkan dalam Keputusan Presiden Nomor : 174 Tahun 1999 adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana. Sehingga dengan dilakukannya upaya memperketat syarat dan tata cara pemberian remisi sebagaimana dimaksud dirasa tepat karena 3 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2013, Sistem Pembinaan Narapidana Berdasarkan Prinsip Restorative Justice, Jakarta, h. 114. 4 pengurangan masa tahanan yang diberikan berupa remisi tersebut sangat berharga khususnya bagi narapidana yang memperoleh potongan maupun pengurangan masa penahanan apabila narapidana berkelakuan baik. Terkait dengan masalah remisi ini, beberapa waktu terakhir ini sering diberitakan di media masa tentang kebijakan yang diambil oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang moratorium remisi terhadap terpidana teroris dan korupsi. Menurut Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, kebijakan untuk mengkaji pemberian remisi terhadap terpidana teroris dan korupsi karena menganggap kedua kejahatan itu sebagai kejahatan luar biasa ( Extra Ordinary crime ) sehingga efek jeranya harus ditingkatkan. Selain itu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsuddin, sempat melontarkan wacana bahwa hukuman minimal bagi tahanan koruptor adalah lima tahun penjara. Hukuman bagi koruptor saat ini yang dapat dibilang sangat ringan, yaitu hitungan bulan penjara. Menurut Denny Indrayana, hukuman minimal lima tahun itu tujuannya untuk mengirimkan pesan bahwa korupsi adalah kejahatan yang luar biasa, sehingga hukumannya juga harus mengirimkan pesan kejeraan, efek jera menurutnya diberikan agar sesuai dengan keadilan di tengah masyarakat. Dengan memperketat syarat dan tata cara remisi dapat menekan jumlah kejahatan khususnya terorisme, narkotika, dan precursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat serta kejahatan ( transnasional ). 5 Namun disisi lain kebijakan menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor : 99 Tahun 2012 dinilai Bertentangan dengan Undang- undang Nomor : 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Sehingga terjadi kontradiksi antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah ( norma konflik ). Terutama rumusan Pasal 34A Ayat (1) PP Nomor : 99 Tahun 2012 bertentangan dengan Pasal 5 UU Nomor : 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang melarang adanya pembedaan perlakuan dan pelayanan terhadap narapidana yang artinya semua bentuk perlakuan dan pelayanan harus sama dan tidak ada unsur diskriminasi. Selain itu juga PP Nomor : 99 Tahun 2012 bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bab XA Tentang Hak- hak Konstitusional setiap warga negara, termasuk tersangka, terdakwa, dan narapidana dimana tidak ada pembedaan dalam perlakuannya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa tidak dibenarkan adanya pembatasan hak asasi manusia yang perumusannya diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah. Jika pun dikehendaki ada pembatasan, seharusnya di lakukan dengan Undangundang karena di sebutkan secara tegas bahwa pembatasan hak asasi manusia hanya dapat dilakukan dengan undang- undang dan tidak boleh dengan peraturan perundang- undangan di bawahnya. Berdasarkan sudut pandang hirarki perundang- undangan, PP Nomor : 99 Tahun 2012 bertentangan dengan UU Nomor : 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan karena substansinya merupakan norma baru yang bertentangan dengan filosofi, tujuan dan misi UU Pemasyarakatan itu sendiri. Jika ada 6 pembatasan- pembatasan terhadap hak asasi manusia seperti yang tertuang dalam Pasal 28 J UUD 1945, maka seharusnya didasarkan pada ketentuan undangundang atau putusan hakim di pengadilan, dan tidak boleh didasarkan pada ketentuan di bawah undang- undang atau hanya direktif semata- mata dalam bentuk Peraturan Pemerintah ( PP) seperti halnya PP Nomor : 99 Tahun 2012. Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 3 UU Nomor : 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang- undangan, menyebutkan bahwa Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang- undangan. Serta di sebutkan pula secara tegas dalam pasal 9 ayat ( 2 ) apabila suatu peraturan perundang- undangan di bawah Undangundang diduga bertentangan dengan Undang- undang maka pengujianya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Undang undang Nomor : 12 Tahun 1995 merupakan Lex Specialis dari Pemidanaan atau penghukuman sebagaimana disebutkan dalam pasal 103 KUHP yang menyebutkan ketentuan Bab I sampai Bab VIII dalam KUHP juga berlaku bagi perbuatan- perbuatan yang oleh ketentuan perundang- undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang- undang ditentukan lain. sehingga tidaklah dapat ditetapkan pengaturan yang bersifat Lex Specialis lagi terhadap undang- undang yang telah bersifat Lex Specialis. Kebijakan menetapkan PP Nomor : 99 Tahun 2012 adalah kewenangan eksekutif, namun yang bisa membatasi hak asasi warga binaan seharusnya kewenangan legislatif dengan melakukan perubahan terhadap UU Nomor : 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Pertentangan nyata dalam suatu 7 perundang- undangan, apalagi terhadap peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi adalah batal demi hukum dan implikasinya adalah pelanggaran terhadap hak sosial, ekonomi, dan hak politik warga binaan. UU Pemasyarakatan itu sendiri adalah perwujudan dan ratifikasi Kongres PBB Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap para pelanggar hukum ( tahun 1995 ). Konvensi tersebut belum ada undang- undang pelaksanaannya kecuali untuk protocol larangan perdagangan manusia sehingga ketentuan mengenai syarat Justice Collaborator dalam PP Nomor : 99 Tahun 2012 khusus bagi narapidana Korupsi, Teroris, Narkoba, kejahatan transnasional terlalu dini dan tidak ada landasan hukum perundangannya. Ketentuan memperketat syarat dan tata cara pemberian Remisi terhadap narapidana kasus korupsi, terorisme, narkoba dan kejahatan transnasional telah menimbulkan kerugian besar bagi negara, masyarakat dan korban. Kekeliruan ini menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat. Sesungguhnya alasan pemberatan hukuman yang merupakan wewenang ( Yudikatif ) Majelis Hakim, bukan wewenang kebijakan pemerintah ( Eksekutif ). Ketentuan Justice Collaborator sebagai syarat pemberian Remisi terhadap pelaksanaan pidana di Indonesia adalah melanggar HAM dan berpotensi terjadi pemerasan terselubung yang kedua. Ketentuan Justice Collaborator dan PP Nomor : 99 Tahun 2012 Pasal 34A ayat 1 huruf a tidak relevan dengan masa pembinaan warga binaan karena syarat Justice Collaborator seharusnya bagian 8 dari strategi penyidikan yang bertujuan membongkar organisasi kejahatan dengan kompensasi keringanan hukuman atau pembebasan penuntutan. Akibat kekeliruan pemerintah dalam mengambil kebijakan dengan memperketat syarat dan tata cara pemberian remisi menimbulkan gejolak di dalam Lapas. Gangguan keamanan dan ketertiban sering terjadi karena PP Nomor : 99 Tahun 2012 menuai pro dan kontra. Penilaian yang menyatakan bahwa pemerintah arogan dalam membatasi hak- hak narapidana untuk memperoleh remisi. Narapidana senantiasa akan menjalani segala bentuk putusan yang diterima asalkan pengaturannya sesuai dengan nilai- nilai keadilan. Reaksi perdebatan terhadap pengaturan PP Nomor : 99 Tahun 2012 juga terjadi diberbagai kalangan termasuk di kalangan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Hal tersebut sering kita saksikan di media yang mana pengamat hukum maupun praktisi hukum membicarakan pemberian remisi yang dinilai diskriminatif, dan pengaturannya yang tidak tepat karena bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi yakni Undang- undang. 9 1.2. Rumusan Masalah. Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka rumusan masalah yang dapat peneliti kemukakan antara lain : 1. Bagaimanakah pengaturan pemberian remisi terhadap narapidana Extra Ordinary Crime ( korupsi, terorisme, narkotika, kejahatan HAM berat dan kejahatan transnasional ) berdasarkan hukum positif dalam sistem pemasyarakatan? 2. Bagaimanakah sebaiknya kebijakan formulatif tentang pengetatan syarat dan tata cara pemberian remisi terhadap narapidana extra ordinary crime dalam sistem pemasyarakatan di masa mendatang? 1.3. Ruang Lingkup Masalah. Pemerintah saat ini sedang memikirkan cara untuk mengurangi tingkat kejahatan dengan membuat beberapa pembaharuan terhadap peraturan yang saat ini perlu untuk direvisi. Salah satunya peraturan yang isinya memperketat syarat dan tata cara pemberian hak- hak warga binaan pemasyarakatan yakni pemberian Remisi, terhadap narapidana dapat membuat pelaku jera bahkan enggan dalam mengulangi tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi, narkotika, terorisme, kejahatan HAM berat dan kejahatan transnasional. Seharusnya yang menjadi permasalahan bagi pemerintah adalah bagaimana mengatur pemberian remisi terhadap narapidana supaya adil sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam sistem pemasyarakatan. Mewujudkan pembinaan dan perlakuan terhadap narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan haruslah berdasarkan ketentuan- ketentuan dan 10 perundang- undangan yang berlaku antara lain UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan UU Nomor : 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang mengatur tentang nilai- nilai hak asasi manusia yang berkeadilan dan memegang teguh prinsipprinsip kemanusiaan. Selain itu diatur pula dalam UU Nomor : 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang mana didalamnya mengatur tentang hak- hak warga binaan pemasyarakatan selama menjalani proses pemidanaan. Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu sub sistem dari sistem penyelenggaraan hukum pidana, yang secara keseluruhan tidak dapat dipikirkan sebagian demi sebagian khususnya dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai pembinaan terhadap narapidana yang didalamnya sekaligus pula melakukan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak- hak asasi manusia. Pemasyarakatan sebagai salah satu komponen tata peradilan pidana, sangat dipengaruhi oleh kondisi perubahan dalam masyarakat, dalam hal ini bermuara pada perkembangan berbagai bentuk tindak kriminalitas. Tantangan lain yang dihadapi Pemasyarakatan adalah dengan semakin kritisnya masyarakat terhadap penegakkan hukum dan penghormatan hak asasi manusia serta tuntutan rasa keadilan masyarakat. Karena luasnya cakupan permasalahan yang akan dibahas, maka ruang lingkup permasalahan yaitu materi-materi yang terkait secara erat dengan permasalahan. Pertama akan dibatasi pada analisis hukum terhadap pengaturan pemberian remisi terhadap narapidana Extra Ordinary Crime ( korupsi, terorisme, narkotika, kejahatan HAM berat dan kejahatan transnasional ) berdasarkan hukum positif dalam sistem pemasyarakatan. Kedua akan dibatasi pada analisis hukum terhadap 11 Kebijakan formulatif tentang pengetatan syarat dan tata cara pemberian remisi terhadap narapidana extra ordinary crime dalam sistem pemasyarakatan yang ideal di masa mendatang. 1.4. Tujuan Penelitian. Adapun tujuan penelitian berdasarkan pada permasalahan yang diajukan, dapat dikemukakan sebagai berikut : 1.4.1. Tujuan Umum. Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi ilmu pengetahuan khususnya hukum pidana terkait dengan pengaturan pemberian remisi terhadap narapidana Extra Ordinary Crime ( korupsi, terorisme, narkotika, kejahatan HAM berat dan kejahatan transnasional ) berdasarkan hukum positif dalam sistem pemasyarakatan. 1.4.2. Tujuan Khusus. Tujuan secara khusus dari penelitian ini adalah : a. Untuk mendiskripsikan dan menganalisis pengaturan pemberian remisi terhadap narapidana Extra Ordinary Crime ( korupsi, terorisme, narkotika, kejahatan HAM berat dan kejahatan transnasional ) berdasarkan hukum positif dalam sistem pemasyarakatan. b. Untuk mendiskripsikan dan menganalisis Kebijakan formulatif tentang pengetatan syarat dan tata cara pemberian remisi terhadap narapidana extra ordinary crime dalam sistem pemasyarakatan yang ideal di masa mendatang. 12 1.5. Manfaat Penelitian. Dalam penulisan ini diharapkan dapat memperoleh kegunaan baik itu secara teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat tersebut sebagai berikut : 1.5.1. Manfaat Teoritis. Secara teoritis tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan dan wawasan yang berguna untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mengenai pengaturan pemberian remisi terhadap narapidana Extra Ordinary Crime ( korupsi, terorisme, narkotika, kejahatan HAM berat dan kejahatan transnasional ) berdasarkan hukum positif dalam sistem pemasyarakatan. Disamping itu penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam penelitian karya ilmiah khususnya dalam hukum pidana dan menjadi referensi dalam pemberian remisi kepada narapidana dalam sistem pemasyarakatan. 1.5.2. Manfaat Praktis. Secara praktis tulisan ini diharapkan dapat berguna bagi para penyusun dan perancang peraturan perundang- undangan, yang dalam hal merumuskan peraturan agar tidak bertentangan dengan UU yang lebih tinggi khususnya Kementerian Hukum dan HAM RI yang salah satu tugas dan fungsinya mengenai pemasyarakatan untuk mengaktifkan peran serta pihak-pihak terkait dalam sistem peradilan pidana yang mengedepankan Asas Due Process Of Law yakni penegakan hukum yang berdimensi hak asasi manusia dan mengedepankan Asas Equality Before The Law yakni 13 perlakuan yang sama di depan hukum dalam memperoleh keadilan khususnya pemberian hak- hak narapidana yang non diskriminatif. 1.6. Orisinalitas Penelitian. Untuk memperlihatkan orisinalitas dari usulan penelitian ini, maka dapat dibandingkan dengan tesis-tesis yang pernah ada sebelumnya. Adapun rincian permasalahan dari tesis-tesis tersebut adalah: 1. I Wayan Yasa Abadhi Tahun 1997, dengan judul Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara Melalui Pemberian Remisi Menurut Keppres Nomor 174 Tahun 1999. Rumusan masalah : (a). Apakah isi pasal 9 ayat (1) dapat dikatakan memiliki asas dan tujuan yang sama seperti pengertian remisi seperti disebut dalam pasal 2 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 174 Tahun 1999 Tentang Remisi? (b). Apakah kewenangan Presiden dalam pasal 9 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor :174 Tahun 1999 dapat dikatakan merupakan kewenangan yang mandiri? 2. Nyoman A Martana 2010, dengan judul tesis Kewenangan Presiden dalam memberikan Remisi bagi Narapidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara. Rumusan masalah : (a) Apakah Presiden memiliki kewenangan dalam memberikan remisi bagi narapidana penjara seumur hidup?. (b) Bagaimanakah prosedur pemberian remisi tersebut? 3. Anak Agung Ngurah Yusa Darmadi, 2011, dengan judul tesis Perubahan Pidana Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara.Rumusan masalah : (a) Apakah pemberian remisi tidak bertentangan dengan penyelenggaraan 14 kekuasaan kehakiman yang merdeka?. (b) Bagaimana keabsahan lembaga remisi untuk mengubah hukuman bagi narapidana yang menjalani pidana seumur hidup menjadi pidana penjara sementara? 4. Tesis ini mengambil judul Kebijakan Formulatif Tentang Pengetatan Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Extra Ordinary Crime Dalam Sistem Pemasyarakatan. Rumusan masalah; (a). Bagaimanakah pengaturan pemberian remisi terhadap narapidana Extra Ordinary Crime ( korupsi, terorisme, narkotika, kejahatan HAM berat dan kejahatan transnasional ) berdasarkan hukum positif dalam sistem pemasyarakatan? (b). Bagaimanakah sebaiknya kebijakan formulatif tentang pengetatan syarat dan tata cara pemberian remisi terhadap narapidana extra ordinary crime dalam sistem pemasyarakatan di masa mendatang? Tesis pertama yang membahas tentang Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara Melalui Pemberian Remisi Menurut Keppres Nomor 174 Tahun 1999, tesis kedua membahas tentang Kewenangan Presiden dalam memberikan Remisi bagi Narapidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara, tesis ketiga membahas tentang Perubahan Pidana Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara. Sedangkan tesis yang disusun peneliti membahas Kebijakan Formulatif Tentang Pengetatan Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Extra Ordinary Crime Dalam Sistem Pemasyarakatan. 15 1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir. 1.7.1. Landasan Teori. Penyelenggaraan hukum di Indonesia merupakan suatu rangkaian kegiatan peradilan pidana. Termasuk pula proses penyusunan peraturan yang dalam hal ini Peraturan Pemerintah. Perumusan Peraturan Pemerintah khususnya dalam hukum pidana pada hakekatnya menggunakan beberapa asas, konsep, doktrin dan teori hukum yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Asas. Sistem hukum yang diterapkan sebagai upaya pencegahan terhadap perbuatan- perbuatan melawan hukum khususnya bagi narapidana yang melakukan kejahatan extra ordinary crime dapat dilakukan melalui perumusan kebijakan pengetatan hak- hak narapidana. Kebijakan tersebut seharusnya sejalan dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi. Apabila terdapat konflik norma agar segera melakukan pembaharuan terhadap norma tersebut. Sehingga pemerintah diharapkan konsisten untuk mengatasi apabila ada norma konflik, oleh karena itu, sistem hukum tidak akan membiarkan konflik itu berlangsung berlarut- larut, tetapi segera diatasi. Sebagai contoh bila terjadi konflik antara dua undang- undang yang mengatur materi yang sama, sedangkan undang- undang yang baru tidak membatalkan undang- undang yang lama, sehingga pada saat yang sama berlaku dua undang- undang yang mengatur materi yang sama tetapi bertentangan satu sama lain, maka sistem hukum menyediakan asas hukum untuk mengatasi konflik 16 tersebut yang dikenal dengan asas Lex Posteriori derogat legi priori ( Undangundang yang baru melumpuhkan undang- undang yang lama. Kalau terjadi konflik antara dua peraturan perundang- undangan yang tidak berkedudukan sama, mengatur materi yang sama tetapi bertentangan satu sama lain, maka asas hukum untuk mengatasinya adalah Lex superior derogat legi inferiori ( Peraturan perundang- undangan yang lebih tinggilah yang melumpuhkan peraturan perundang- undangan yang lebih rendah ). Kalau ada konflik antara undang- undang dengan putusan pengadilan diselesaikan dengan asas Res judicata pro veretate accipitur yang berarti putusan hakim harus diangap benar. Asas- asas hukum tersebut merupakan Presumption atau persangkaan, sesuatu yang tidak benar atau nyata tetapi dianggap benar.4 b. Konsep. Negara hukum merupakan terjemahan dari istilah Rechtsstaat atau Rule of Law. Rule of Law itu sendiri dapat dikatakan sebagai bentuk perumusan yuridis dari gagasan kostitusionalisme. Dalam arti sederhana rule of Law diartikan oleh Thomas Paine sebagai tidak ada satu pun yang berada di atas hukum dan hukumlah yang berkuasa. Oleh karena itu, konstitusi dan negara (hukum) merupakan dua lembaga yang tidak terpisahkan. Secara sederhana yang dimaksud negara hukum adalah negara yang penyeleggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Di dalamnya negara dan lembaga-lembaga lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Dalam 4 Sudikno, Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h. 55. 17 negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum. AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon memberikan ciri-ciri Rule of Law sebagai berikut. 1. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. 2. Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat. 3. Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan.5 c. Doktrin. Doktrin/ ajaran hukum kaum legis positivis bahwa demi kepastian dan jaminan akan kepatuhan, hanya norma hukum yang telah diundangkan yang disebut hukum nasional yang positif itu sajalah yang boleh digunakan secara murni dan konsekuen untuk menghukum sesuatu perkara. Tidaklah norma hukum ini boleh dicampuri berbagai pertimbangan yang merujuk ke sumber-sumber normatif lain, seperti misalnya norma moral, rasa keadilan, ideologi politik, keyakinan pribadi, atau apapun lainnya. Diyakini orang, bahwa dengan dipatuhinya doktrin seperti itu secara murni dan konsekuen maka hukum (sebagai suatu institusi) akan amat berdaya untuk mengefektifkan berlakunya kaidahkaidahnya guna menata kehidupan dan menegakkan tertib di dalamnya. Doktrin kepatuhan hukum yang memberikan arahan kepada para pelaksana hukum seperti terpapar di muka itu berkaitan erat dengan doktrin lain yang lebih bersifat falsafati, ialah doktrin positivisme yang pada asasnya juga 5 Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Kontitusi Pers, Jakarta, h. 128. 18 mengajarkan pemahaman hukum sebagai hukum murni. Doktrin positivisme ini juga mengajarkan bahwa hukum itu harus memiliki sosok yang tidak berada di ranah yang metayuridis melainkan di ranah yang “menampak dan terbaca tegas dan jelas” dengan sifatnya yang objektif. Oleh sebab itu, setiap norma yang terbilang hukum harus dirumuskan (karena itu juga mesti tertulis) secara eksplisit, cermat dan tepat, oleh pejabat dan/atau institusi yang berkewenangan untuk itu. Maka, dari doktrin positivisme inilah asal muasal pendapat bahwa setiap hukum (ius) itu harus diwujudkan dalam bentuk Undang-undang. Dari sinilah awal mulanya mengapa doktrin positivisme ini yang oleh Hans Kelsen diperkenalkan sebagai ‘ajaran hukum yang murni’ lalu dinamakan doktrin legisme.6 d. Teori Hukum. 1. Teori Prioritas. Ajaran konvensional menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata hanya salah satu dari tiga tujuan hukum tersebut, yakni bahwa tujuan hukum hanya untuk menciptakan kepastian hukum saja (ajaran normatif-dogmatik), atau hanya untuk menciptakan kemanfaatan/kebahagiaan masyarakat saja (ajaran utilitas), atau tujuan hukum hanya semata-mata untuk mencapai keadilan saja (ajaran etis). Ajaran ini sudah sangat usang dan banyak yang menentangnya, karena bila keadilan saja yang menjadi tujuan hukum, tidaklah sepenuhnya tepat, karena bagaimanapun nilai keadilan terlalu subyektif dan abstrak, demikian halnya jika tujuan hukum semata-mata hanya kepastian hukum, maka hukum hanya 6 Han Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien, Cet. pertama, Nusamedia & Nuansa, Bandung, h, 115. 19 merupakan permainan prosedur saja, sehingga hakim hanya merupakan bouche de la loi (terompet undang-undang belaka).7 Sejalan dengan hal tersebut di atas, Gustav Radbruch (1961) dengan Ajaran Teori Prioritas Bakunya mengemukakan bahwa ketiga ide dasar hukum itu merupakan tujuan hukum secara bersama-sama, yaitu : 1. Keadilan ; 2. Kemanfaatan ; dan 3. Kepastian hukum.8 Dalam praktik, fakta menunjukkan bahwa terjadi pertentangan pada saat menerapkan tujuan hukum tersebut secara bersama-sama, karena tidak jarang terjadi benturan antara kepastian hukum dengan keadilan, atau antara kepastian hukum dan kemanfaatan, ataupun antara keadilan dan kemanfaatan. Misalnya saja, dalam kasus-kasus hukum tertentu, hakim yang senantiasa ingin menghendaki putusannya adil (menurut persepsi keadilan yang dianut hakim tentunya) bagi penggugat, tergugat, atau terdakwa, tetapi disisi lain sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas. Atau sebaliknya, bila kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, maka perasaan keadilan bagi orang tertentu dikorbankan. Sehingga Radbruch berkesimpulan bahwa dalam implementasinya harus digunakan asas prioritas, dimana prioritas pertama adalah keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir barulah kepastian hukum. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan semakin kompleksnya kehidupan manusia di era modern, pilihan prioritas yang sudah 7 Ahmad, Ali, 2009, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana Media Group, Jakarta, h. 224. 8 Ibid, h. 217. 20 dibakukan kadang-kadang justru bertentangan dengan kebutuhan hukum dalam kasus- kasus tertentu, sebab bisa jadi kemanfaatan lebih diprioritaskan ketimbang keadilan dan kepastian hukum atau mungkin dalam kasus tertentu kepastian hukumlah yang lebih diprioritaskan ketimbang kemanfaatan dan keadilan. Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.9 Hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud kongkrit. Oleh karenanya pertanyaan tentang apakah hukum itu senantiasa merupakan pertanyaaan yang jawabannya tidak mungkin satu. Dengan kata lain, persepsi orang mengenai hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Kalangan hakim akan memandang hukum itu dari sudut pandang mereka sebagai hakim, kalangan ilmuwan hukum akan memandang hukum dari sudut profesi keilmuan mereka, rakyat kecil akan memandang hukum dari sudut pandang mereka dan sebagainya. 9 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, hal, 158. 21 2. Teori hak- hak kodrati ( natural rights theory ). Menurut teori hak-hak kodrati, HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh semua orang setiap saat dan di semua tempat oleh karena manusia dilahirkan sebagai manusia. Hak-hak tersebut termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan harta kekayaan seperti yang diajukan oleh John Locke. Pengakuan tidak diperlukan bagi HAM, baik dari pemerintah atau dari suatu sistem hukum, karena HAM bersifat universal. Berdasarkan alasan ini, sumber HAM sesungguhnya semata-mata berasal dari manusia.10 Teori hak-hak kodrati telah berjasa dalam menyiapkan landasan bagi suatu sistem hukum yang dianggap superior ketimbang hukum nasional suatu negara, yaitu norma HAM internasional. Namun demikian, kemunculan sebagai norma internasional yang berlaku di setiap negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak kodrati. Substansi hak-hak yang terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui substansi hak-hak yang terkandung dalam hak kodrati sebagaimana yang diajukan oleh John Locke. Kandungan hak dalam gagasan HAM sekarang bukan hanya terbatas pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru” yang disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna HAM dipahami dewasa ini.11 Perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia bukan hanya diberikan di masyarakat tetapi pula di berikan dan diterapkan terhadap narapidana di lembaga 10 Todung Mulya Lubis, 1993, In search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order, 1966-1990, Gramedia, hal, 15. 11 Ibid, h, 16. 22 Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan). Perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia di lembaga pemasyarakatan merupakan peran yang sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana yaitu pembinaan dan pengembalian rasa keadilan yang berdasarkan atas pancasila, UUD 1945 yakni keadilan yang berkeprikemanusiaan yang berlandaskan hak asasi manusia kepada pelanggar hukum, bahkan sampai pada penanggulangan kejahatan. Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor : 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari: 1. Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. 2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah atas kehendak yang bebas. 3. Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. 4. Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar. 5. Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia. 6. Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. 7. Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta 23 mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya. 8. Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan. 9. Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya. 10. Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.12 Hak asasi manusia (HAM) adalah hak atau kewenangan yang melekat pada diri individu sejak ia lahir secara kodrati yang tidak dapat dirampas atau dicabut keberadaannya. HAM ada selama adanya manusia, sejak dahulu sampai sekarang. HAM tidak dapat berubah kedudukannya. Kedaulatan suatu negara akan berwibawa dan bermartabat apabila terdapat penghargaan yang berarti terhadap HAM dari seluruh elemen masyarakat dan pemerintahnya. Sebagai negara hukum hak-hak narapidana itu dilindungi dan diakui oleh penegak hukum, khususnya pada Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana juga harus harus diayomi hak-haknya walaupun telah melanggar hukum. Disamping itu juga ada ketidakadilan perilaku bagi narapidana, misalnya penyiksaan, tidak mendapat fasilitas yang wajar dan tidak adanya kesempatan untuk mendapat remisi. 12 Direktur Bina HAM Dirjen Perlindungan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI, 2010, Konsep dan Sejarah HAM, Jakarta, h.53. 24 Proses pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan memiliki arti yang penting, dimana ketidakadilan dan perlakuan yang kurang menghormati hak-hak asasi manusia yang sudah diterima oleh narapidana dalam proses pemeriksaan pendahuluan dan persidangan akan lebih parah lagi dirasakan manakala kondisi dalam Lembaga Pemasyarakatan sama sekali tidak memberikan harapan. Sasaran-sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan adalah pembinaan dan pengembalian rasa keadilan. Pidana dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana, yang dengan suatu cara tertentu diharapkan untuk dapat mengasimilasikan kembali narapidana ke dalam masyarakat, sekaligus dapat memuaskan permintaan atau kebutuhan pembalasan. Usaha-usaha untuk menegakkan hak asasi manusia dalam sistem perlakuan terhadap narapidana semakin baik setelah diundangkannya UndangUndang Nomor : 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dimana di dalamnya secara eksplisit disebutkan beberapa hak Narapidana yaitu : a. b. c. d. e. f. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Mendapatkan perawatan, baik perawatan jasmani maupun rohani Mendapatkan pendidikan dan pengajaran Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. Menyampaikan keluhan Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak di larang. g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan. h. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya. i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK). k. Mendapatkan Pembebasan Bersyarat (PB) l. Mendapatkan Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Hak untuk mendapatkan Cuti Bersyarat (CB). m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 25 3. Teori Sistem Peradilan Pidana Istilah criminal justice system atau sistem peradilan pidana kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan sistem. Remington dan Ohlin mengemukakan sebagai berikut : Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundangundangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.13 Hagan ( 1987 ) membedakan pengertian antara “Criminal Justice Process” dan “Criminal Justice System” Criminal Justice Process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan Criminal Justice System adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.14 Mardjono memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana merupakan sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga- lembaga kepolisian, kejaksaan dan pemasyarakatan terpidana. Mardjono mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana ( Criminal Justice System ) adalah 13 Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 2. 14 Ibid, h. 2 26 sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai pengendalian kejahatan agar berada dalam batas- batas toleransi dalam masyarakat. Selanjutnya dikemukakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan yakni : - Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kembali kejahatannya.15 Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana ( Kepolisian, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan ) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal Justice System. Apabila keterpaduan kerja dalam sistem tidak dilakukan diperkirakan akan terdapat 3 ( tiga ) kerugian sebagai berikut : - - Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masingmasing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah- masalah pokok masing- masing instansi ( sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana ) Karena tangggung jawab masing- masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektifitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.16 4. Teori Pemidanaan. Pengertian pemidanaan dapat diartikan sebagai suatu pemberian ataupun penjatuhan pidana, dalam pengertian sistem pemidanaan dapat dilihat dari 2 (dua) sudut pandang yaitu pertama, sistem pemidanaan dalam arti luas merupakan sistem pemidanaan dilihat dari sudut fungsional yaitu dari sudut bekerjanya / 15 16 Ibid, h. 3. Ibid, h. 4. 27 prosesnya. Sehingga sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana Materiel/Substantif, sub-sistem Hukum Pidana Formal dan sub-sistem Hukum Pelaksanaan Pidana.Kedua, dalam arti sempit dimana sistem pemidanaan dilihat dari sudut normatif/substantive, yaitu hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif.17 Menurut Muladi (teori integratif), bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan catatan tujuan yang merupakan titik berat harus bersifat kasuistis. Bahwa perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud terdiri dari : pencegahan (umum dan khusus), perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat, dan pengimbalan/perimbangan.18 Berdasarkan teori pidana dan pemidanaan terdapat berbagai pemikiran yang pada umumnya dapat dibagi ke dalam tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana yaitu : 1. Teori absolute atau teori pembalasan (Vergeldings Theorien) 2. Teori relative atau teori tujuan (Doeltheorien) 3. Teori gabungan (Verenigingstheorien). 19 Teori absolute atau teori pembalasan yang dikemukakan oleh Imanuel Kant merupakan seorang guru besar dari Jerman menyatakan bahwa pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak 17 Barda Nawawi Arief, 2007, Perkembangan Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Penerbit Pustaka Magister, Semarang, hal. 2-3. 18 Ibid, h. 149 19 Ibid, h. 159. 28 pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan, jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Menurut teori absolute hakikat suatu pidana adalah pembalasan. Herbert L. Packer, mencari pembenaran tentang adanya pemidanaan. Packer menulis :”punishment is a necessary but lamentable form of social. It is lamentable because itinflicts sufferingin the name of goals whose achievement is a matter of chanche”.20 Bahwa pidana sebagai hal yang perlu, namun bagaimanapun juga pidana tetap disesalkan sebagai salah satu bentuk kontrol sosial karena pidana mengandung penderitaan. Jadi menurut packer, pidana tetap diperlukan asal jangan pidana itu berorientasi pada pembalasan. Menurut teori relative yang lahir sebagai reaksi terhadap teori absolute yang dikemukakan oleh John Howard (1726-1791), Cecare Beccaria (1738-1794) serta Jeremy Bentham (1748-1832), bahwa memidanaan bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolute dari keadilan. Pembalasan diartikan sebagai sesuatu yang tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pidana dalam teori ini bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat, oleh sebab itu teori ini disebut juga teori tujuan (utilitarian theory). Teori tujuan mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pidana untuk prevensi terjadinya kejahatan, 20 Barda Nawawi Arief, Op Cit, h.249. 29 dimana wujud pidana ini berbeda-beda yaitu menakutkan, memperbaiki atau membinasakan.21 Teori gabungan merupakan kombinasi dari teori absolute dan teori relative, yang dipelopori oleh Cesare Lombroso, dimana tujuan pidana selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban. Dalam teori gabungan dapat dibagi menjadi ; 1. 2. 3. Teori gabungan yang pertama, yaitu menitik beratkan unsur pembalasan Teori gabungan yang kedua, yaitu yang menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat, menurut teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar daripada yang seharusnya. Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat.22 Teori pemidanaan yang integratif mensyaratkan pendekatan yang integral terhadap tujuan-tujuan pemidanaan, yang meninjau tujuan pemidanaan tersebut dari segala perspektif. Pendekatan semacam ini mengakibatkan adanya keharusan untuk memilih teori integratif tentang tujuan pemidanaan yang dapat mempengaruhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana. Tujuan pemidanaan menurut teori ini adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana.23 Disamping itu terdapat teori-teori tentang tujuan pemidanaan antara lain : 1. Teori retributif (Retributivism), bahwa pidana mengandung nilai moral, yang bebas dari akibat lain yang diharapkan lebih lanjut, dunia akan menjadi baik, bilamana nilai-nilai moral dilindungi dengan memberikan penderitaan atas penjahat. Pidana sebagai sarana retributif. 21 Barda Nawawi Arief, Op Cit, h. 157. Barda Nawawi Arief, Op Cit, h.159. 23 Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h.28. 22 30 a. Teori teleologis (teleological theory), memandang pidana sebagai suatu yang dapat dipergunakan untuk mencapai kemanfaatan, baik yang berkaitan dengan orang yang bersalah, misalnya menjadikannya sebagai orang yang lebih baik, maupun yang berkaitan dengan dunia, misalnya dengan mengisolasi dan memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat potensial, akan menjadikan dunia menjadi tempat yang lebih baik. Pidana mempunyai tujuan yang positif. Retributivisme teleologis (teleological retributivist), bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menghubungkan prinsip-prinsip teleologis, misalnya ”utilitarianism” dan prinsip-prinsip retributivist di dalam suatu kesatuan, sehingga seringkali pandangan ini disebut sebagai aliran integratif.24 5. Teori Pencegahan. Menciptakan aturan hukum untuk diterapkan dalam sistem pemasyarakatan khususnya formulasi kebijakan dalam memperketat syarat dan tata cara pemberian remisi terhadap narapidana extra ordinary crime dalam sistem pemasyarakatan memiliki tujuan, sehingga dapat dirumuskan ke dalam teori tujuan yakni pencegahan. Teori Pencegahan Umum merupakan teori pidana yang bersifat menakut- nakuti, menurut teori pencegahan umum ini pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orang- orang umum menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. Menurut Von Feuerbach yang memperkenalkan teori pencegahan umum yang disebut dengan “Psychologische Zwang”menyatakan bahwa sifat menakut- nakuti dari pidana itu, bukan pada penjatuhan pidana konkrito, tetapi pada ancaman pidana yang ditentukan dalam Undang- undang. Ancaman pidana harus ditetapkan terlebih dulu dan harus diketahui oleh khalayak umum.25 24 Barda Nawawi Arief, Op Cit, h.160. Chazawi Adami, 2011, Stelsel Pidana,Tindak Pidana, Teori- Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, Hal. 163. 25 31 Teori Pencegahan Khusus, teori ini lebih maju jika dibandingkan dengan teori pencegahan umum. Menurut teori ini tujuan pidana ialah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulangi lagi melakukan kejahatan, dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu kedalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana, yang sifatnya ada tiga macam yaitu : menakut- nakutinya, memperbaikinya, dan membuatnya menjadi tidak berdaya. Menurut Van Hamel membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus ini antara lain, pidana selalu dilakukan untuk pencegahan khusus, yakni untuk menakut- nakuti orang- orang yang cukup dapat dicegah dengan cara menakutnakutinya melalui penjatuhan pidana itu agar ia tidak melakukan niat jahatnya. Akan tetapi, bila tidak dapat lagi ditakut- takuti dengan cara menjatuhkan pidana, penjatuhan pidana harus bersifat memperbaiki dirinya reclasering. Apabila bagi penjahat tersebut tidak dapat lagi diperbaiki, penjatuhan pidana harus bersifat membinasakan atau membuat mereka tidak berdaya.26 6. Teori Penjenjangan/ Hirarki Norma Hukum. Hans Kelsen mengemukakan teori penjejangan/ hirarki norma ( Stuffenbau Theory ), bahwa suatu norma hukum bersifat herarki. Suatu norma hukum sepatutnya selalu berdasarkan dari norma hukum yang lebih tinggi dan seterusnya, sampai dengan norma yang paling tinggi atau yang sering disebut dengan basic norm atau grundnorm. Grundnorm atau norma dasar merupakan norma tertinggi yang bersifat umum dan berlaku sebagai dasar berlakunya norma-norma di 26 Ibid, h, 166. 32 bawahnya. Suatu norma hukum tidak bertentangan dengan norma-norma di atasnya. Menurut Hans Kelsen, kaedah hukum mempunyai kekuatan berlaku, apabila penetapannya didasarkan atas kaedah yang lebih tinggi tingkatannya.27 Teori penjenjangan atau hierarki norma hukum (stufenbau des rechts) dengan didukung oleh teori norma dasar (grundnorm) dari Hans Kelsen. bahwa kesatuan norma-norma ini ditunjukan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi yang, karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tata hukum ini.28 Menurut Hans Kelsen, norma-norma (termasuk norma hukum) itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana satu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi belaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut yang bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu grundnorm (norma dasar).29 Menurut Hans Kelsen, grundnorm (norma tertinggi) yang diandaikan adalah norma dasar merupakan sumber utama keabsahan dari semua norma yang 27 Ibid, h, 94. Han Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien, Cet. pertama, Nusamedia & Nuansa, Bandung, h, 179. 29 Hans Kelsen,1998, General Theory of Law and State, terjemahan Anderes Wed Berg, Russell & Russell, New York, 1973, h.123. kemudian dikutip oleh Maria Farida Indrati Suprapto, Ilmu Perundang-undangan dasar-dasar dan pemberlakuannya, Kanisius, Yogyakarta, h, 25. 28 33 berasal dari tatanan yang sama, ini merupakan alasan umum bagi keabsahan semua norma. Norma dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang ada dibawahnya, sehingga Norma Dasar itu dikatakan presupposed.30 Ajaran jenjang norma/Stufanbau Theory yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang menganggap bahwa proses hukum digambarkan sebagai hierarki norma-norma. Validitas (kesahan) dari setiap norma (terpisah dari norma dasar) bergantung pada norma yang lebih tinggi. Hans Kelsen mengungkapkan bahwa hukum adalah tata aturan (order) sebagai sistem aturan-aturan (rules) tentang berperilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem.31 7. Teori Kebijakan Menurut Sudarto mengemukakan 3 (tiga) arti mengenai kebijakan criminal yaitu: a. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b. Dalam arti luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; c. Dalam arti paling luas (yang diambil dari Jorgen Jepsen) adalah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. 30 Maria Farida Indrati, 2007, IlmuPerundang-Undangan-Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, h, 41. 31 Jimly Asshiddiqie dan M.Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, h, 13. 34 Menurut Sudarto, kebijakan kriminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Tujuan dari politik criminal adalah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Dalam upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan dalam arti, yaitu: a. Ada keterpaduan (intergralitas) anatara politik criminal dan politik social; b. Ada keterpaduan (intergralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan “penal” dan “non penal”. Kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum). Namun, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit, karena sebagai suatu sistem hukum pidana terdiri dari budaya (cultural), stuktur ( structur ), dan substansia ( substansive ) hukum. Karena undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum, pembaharuan hukum pidana, disamping memperbaharui perundang-undangan juga mencakup pembaharuan ide dasar dan ilmu hukum pidana. 35 1.7.2. Kerangka berpikir. Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan kerangka berpikir sebagai berikut : Kebijakan formulatif tentang syarat dan tata cara pemberian remisi dalam sistem pemasyarakatan Memperketat syarat dan tata cara pemberian remisi terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana extra ordinary crime sebagaimana tersebut dalam PP No : 99 tahun 2012. Merupakan strategi pemerintah dalam mewujudkan keadilan di tengah- tengah masyarakat dan sekaligus pembenahan terhadap hukum nasional di masa mendatang. Namun ketentuan PP No : 99 tahun 2012 disharmoni dengan UU No : 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Dan sekaligus bertentangan dengan pasal 28 J UUD Negara Republik Indonesia. Tahun 1945. Bagaimanakah pengaturan pemberian remisi terhadap narapidana dalam sistem pemasyarakatan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor : 99 Tahun 2012 ? Konsep Negara hukum, Teori Prioritas yang terdiri dari Teori kepastian, keadilan, kemanfaatan, Teori hak- hak kodrati ( Natural Rights Theory ). Doktrin/ ajaran hukum kaum legis positivis Bagaimanakah sebaiknya Kebijakan Formulatif tentang syarat dan tata cara pemberian remisi terhadap narapidana extra ordinary crime dalam sistem pemasyarakatan di masa mendatang? Asas asas hirarki/ penjenjangan norma, Teori Sistem Peradilan Pidana, Teori Penjenjangan ( Stufanbau Theory ), Teori Pencegahan, Teori Pemidanaan, Teori Kebijakan. Simpulan : - Bahwa syarat dan tata cara pemberian remisi terhadap narapidana extra ordinary crime perlu untuk diperketat karena jenis kejahatan tersebut dapat membahayakan idelogi, keamanan dan stabilitas Negara. Perumusan yang tepat diatur dalam kebijakan formulatif yakni Undang- undang dan bukan Peraturan Pemerintah. Saran : - Agar dalam perumusan kebijakan formulatif juga memperhatikan ketentuan perundang- undangan lainnya dalam hukum positif sehingga tidak terjadi perbenturan norma ( konflik norma ). 36 1.8. Metode Penelitian. Dalam suatu karya ilmiah, metode penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya, di samping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan- permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.32 1.8.1. Jenis Penelitian. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian ilmu hukum dengan menggunakan penelitian dari aspek normatif dalam hal ini berarti bahwa penelitian ilmu hukum dengan menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dilakukan melalui inventarisasi hukum positif sebagai pendahuluan mendasar sebelum kegiatan melakukan penelitian. Sebelum penelitian sampai kepada usaha penemuan norma hukum in conreto, atau kepada usaha menemukan asas dan doktrinnya, atau sampai pula kepada usaha menemukan teori- teori tentang Law in process dan Law in action, maka terlebih dahulu harus mengetahui apa saja yang terbilang hukum positif yang tengah berlaku tersebut.33 Bahwa penelitian hukum normatif adalah merupakan penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, 32 Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h, 18 Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h, 81. 33 37 penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya. Penelitian hukum normatif sering juga disebut penelitian hukum dogmatik atau penelitian hukum teoritis (dogmatic or theoretical law research).34 1.8.2. Jenis Pendekatan. Dalam penelitian hukum normatif, menggunakan beberapa jenis pendekatan yakni : pendekatan terhadap asas- asas hukum dan doktrin hukum, pendekatan terhadap sistematika hukum, pendekatan terhadap taraf sinkronisasi hukum, pendekatan terhadap perbandingan hukum, pendekatan terhadap sejarah hukum : a. Pendekatan terhadap asas- asas hukum dan doktrin hukum merupakan suatu penelitian hukum yang dikerjakan dengan tujuan menemukan asas atau doktrin hukum positif yang berlaku. Pendekatan tipe ini lazim disebut sebagai studi dogmatik, atau yang dikenal dengan Doctrinal research. b. Pendekatan terhadap sistematika hukum merupakan suatu penelitian terhadap sistematik hukum melalui peraturan perundang- undangan tertentu atau hukum tertulis. Tujuan pokoknya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian- pengertian pokok/ dasar dalam hukum yaitu : masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum.35 c. Pendekatan terhadap taraf sinkronisasi hukum merupakan penelitian terhadap sejauh mana hukum positif tertulis yang ada itu sinkron atau serasi satu sama lain. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dua jalur yakni: - Vertikal : melihat apakah suatu peraturan perundang- undangan, yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturan perundang- undangan yang ada. - Horisontal : apabila yang ditinjau adalah peraturan perundang- undangan yang kedudukannya sederajat dan yang mengatur bidang yang sama. d. Pendekatan terhadap perbandingan hukum merupakan kegiatan ilmiah yang lazim dipergunakan untuk mengadakan identifikasi masalah34 Abdul, Kadir, Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.101. 35 Bambang Sunggono , Op Cit, h, 22. 38 masalah yang akan diteliti. Menetapkan satu atau beberapa masalah berarti telah menerapkan metode perbandingan, dimana hal itu didasarkan pada perbandingan, sehingga masalah yang dianggap paling penting yang akan diteliti. e. Pendekatan terhadap sejarah hukum, seperti halnya dengan penelitian perbandingan hukum, maka penelitian sejarah hukum merupakan suatu metode, maka sejarah hukum berusaha untuk mengadakan identifikasi terhadap tahap- tahap perkembangan hukum yang dapat dipersempit ruang lingkupnya menjadi peraturan perundang- undangan.36 1.8.3. Sumber Bahan Hukum. Dalam penelitian hukum normatif menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan obyek penelitian. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki otoritas. Perundang-undangan yang dikaji dalam penelitian ini terdiri dari : - Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor :12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor :39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Undang- undang Nomor : 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Peraturan Pemerintah Nomor : 99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Keputusan Presiden Nomor : 174 Tahun 1999 Tentang Remisi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 022/ PUU-III/ 2005. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemasyarakatan. Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen yang tidak resmi, publikasi tersebut terdiri atas : - 36 Buku- buku teks yang membicarakan suatu dan atau beberapa permasalahan hukum, termasuk skripsi, tesis dan disertasi hukum. Bambang Sunggono , Op Cit, h, 98. 39 - Kamus- kamus hukum. Jurnal- jurnal hukum. Komentar- komentar atas putusan hakim. Publikasi tersebut merupakan petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekumder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, jurnal, surat kabar dan sebagainya. Bahan hukum sekunder yang paling utama adalah buku teks, buku teks memuat prinsip- prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan- pandangan klasik dari para ahli hukum terdahulu yang pada umumnya ditulis oleh penulis yang berpandangan aliran hukum Eropa Kontinental dan buku teks yang ditulis oleh penulis yang beraliran Anglo Saxon. Di dalam ilmu hukum buku- buku teks memuat Jurisprudence atau Rechttheorie atau mungkin Rechtswetenschap.37 1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum. Adapun metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode Bola Salju ( Snow ball method ), yaitu menggelinding sampai habis dimana bahan hukum dilacak berdasarkan sumber pustaka yang digunakan dari pustaka yang satu kepustaka yang lain, dengan harapan peneliti menemukan pendapat dari sumber pustaka. Metode kepustakaan sistematis, khususnya undang-undang dapat dilacak sumber yang berupa himpunan peraturan perundang-undangan yang ada. Bahanbahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian yang diperoleh kemudian dibaca, ditelaah, diklasifikasikan serta melakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan, konvensi dan buku-buku literatur 37 Bambang Sunggono , Op Cit, h, 54. 40 yang ada relevansinya dengan permasalahan pembinaan, serta perlakuan terhadap narapidana dalam sistem pemasyarakatan, secara sistematis.38 1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum. Dalam mengolah dan menganalisis bahan-bahan hukum yang terkumpul, baik data primer maupun data sekunder, peneliti menggunakan teknik analisis Deskriptif yaitu uraian-uraian ditulis apa adanya terhadap suatu posisi hukum atau non hukum.39 Dengan melakukan penelitian terhadap suatu pandangan, pernyataan rumusan norma dan bahan hukum primer maupun sekunder. Analisa yang bersifat mengevaluasi terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan di sesuaikan dengan keadaan dan gejala yang terjadi. karena terdapat norma yang bertentangan dan disharmoni antara Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang Undang Nomor : 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Undang Undang Nomor : 12 Tahun 1995 dengan Peraturan Pemerintah Nomor : 99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dalam kaitannya dengan memperketat syarat dan tata cara pemberian Remisi, terhadap narapidana dalam sistem pemasyarakatan sebagaimana disebutkan dalam peraturan pemerintah tersebut. 38 39 Bambang Sunggono , Op Cit, h,109. Bambang Sunggono , Op Cit, h, 21.