BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah. Hakekat

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah.
Hakekat Sistem Pemasyarakatan pada dasarnya merupakan buah pikiran
untuk penerapan konsep
“Treatment of offender” dan dapat dianggap
menggantikan sistem kepenjaraan. Dimana menurut kajian hasil penelitian
penologi telah terbukti merusak kehidupan “personality, sexuality, security”
manusia selama menjalani pidana penjara dengan sistem kepenjaraan yang tidak
sesuai dengan pengakuan terhadap hak dan kebebasan kodrat manusia.1
Istilah “penjara” telah diganti menjadi “Lembaga Pemasyarakatan” namun
dalam implementasinya ternyata penerapan konsep lembaga pemasyarakatan
tersebut belum efektif. Hal ini nampak dari masih terus terjadinya berbagai kasus
yang bertentangan ataupun menghilangkan makna dari tujuan pemasyarakatan itu
sendiri.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Hak Asasi Manusia Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia tahun 2003,
menyebutkan bahwa untuk mengatasi kondisi LAPAS yang sebagian besar dalam
keadaan over kapasitas maka perlu diadakan perombakan dalam sistem
pemidanaan. Penambahan alternatif pemidanaan lain disamping pidana penjara
dapat mengatasi titik tolak dalam mengatasi over kapasitas sebagian besar LAPAS
di Indonesia.
Langkah berikutnya adalah dengan mengefektifkan pemberian hak- hak
narapidana yaitu pemberian Remisi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Cuti Menjelang
1
Abdussalam, SIK, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta, h.333.
2
Bebas, Pembebasan Bersyarat dan hak- hak lain sesuai dengan peraturan
perundang- undangan yang berlaku.2 Tetapi langkah pemberian hak- hak
narapidana sebagaimana dimaksud perlu dilakukan pengecualian melalui
pengetatan khususnya terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana extra
ordinary crime. Jenis tindak pidana extra ordinary crime dapat digolongkan
sebagai berikut : terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan HAM
berat, kejahatan transnasional yang terorganisir, kejahatan terhadap keamanan
negara.
Berkaitan dengan kejahatan yang dalam hal ini memperoleh pengecualian
yakni dengan memperketat syarat dan tata cara pemberian Remisi, berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor : 99 Tahun 2012 Tentang perubahan kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor : 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam diktum menimbang
disebutkan bahwa memperketat syarat dan tata cara pemberian Remisi
diberlakukan bagi pelaku tindak pidana antara lain :
-
-
2
Terorisme karena tindak kejahatan terorisme merupakan kejahatan
terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu
ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme
sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang
menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta
merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan
pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak
asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Narkotika, dan precursor narkotika, psikotropika merupakan persoalan
global yang melanda semua wilayah maupun negara di seluruh dunia.
Khususnya di Indonesia saat ini banyak generasi muda telah
terjerumus melakukan penyalahgunaan narkotika, baik dari kalangan
pelajar, mahasiswa, bahkan termasuk aparat penegak hukum, tenaga
Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, 2003, Ringkasan Hasil pengkajian Badan Penelitian dan
pengembangan HAM, Jakarta, h.10.
3
-
-
pengajar ( Dosen dan Guru ) yang kita simak di media akhir- akhir ini
ikut terlibat ke dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Korupsi Merupakan perilaku pejabat publik, politikus maupun pegawai
negeri sipil, yang secara tidak wajar dan illegal memperkaya diri atau
memperkaya orang- orang di dekatnya, dengan jalan menyalahgunakan
kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Kejahatan HAM berat atau kejahatan kemanusiaan merupakan jenis
kejahatan yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 “Rome Statute Of
Internasional Court, bentuk pelanggaran HAM berat menurut statuta
roma adalah kejahatan genoside, kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang dan kejahatan agresi sebagaimana disebutkan dalam
pasal 5 Statuta Roma. Sehingga pada tahun 2002 di kota Hague
Belanda dibentuklah suatu pengadilan kriminal Internasional yang
disebut International Criminal Court ( ICC ). Statuta Roma
memberikan kewenangan kepada ICC untuk mengadili kejahatan
genosida, kejahatan terhadap prikemanusiaan dan kejahatan perang.
Termasuk pula kejahatan terhadap keamanan negara serta kejahatan (
transnasional ) terorganisasi lainnya yang dianggap perlu untuk
memperketat syarat dan tata cara pemberian remisi sehingga dapat
memenuhi rasa keadilan masyarakat.3
Pengetatan pemberian remisi merupakan strategi pemerintah dalam
memberikan efek jera dan rasa taubat bagi narapidana setelah bebas dari masa
pemidanaan atau penahanan, sebab efek jera bagi pelaku kejahatan sebagaimana
yang telah disebutkan yakni dengan memperkecualikan pemberian hak hak warga
binaan khususnya remisi sehingga timbul rasa jenuh dan rasa enggan mengulangi
perbuatannya kembali.
Pemberian remisi sesuai dengan pengertian remisi yang disebutkan dalam
Keputusan Presiden Nomor : 174 Tahun 1999 adalah pengurangan masa pidana
yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik
selama menjalani pidana. Sehingga dengan dilakukannya upaya memperketat
syarat dan tata cara pemberian remisi sebagaimana dimaksud dirasa tepat karena
3
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2013, Sistem Pembinaan
Narapidana Berdasarkan Prinsip Restorative Justice, Jakarta, h. 114.
4
pengurangan masa tahanan yang diberikan berupa remisi tersebut sangat berharga
khususnya bagi narapidana yang memperoleh potongan maupun pengurangan
masa penahanan apabila narapidana berkelakuan baik.
Terkait dengan masalah remisi ini, beberapa waktu terakhir ini sering
diberitakan di media masa tentang kebijakan yang diambil oleh Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang moratorium remisi terhadap terpidana
teroris dan korupsi. Menurut Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia, kebijakan untuk mengkaji pemberian remisi terhadap terpidana
teroris dan korupsi karena menganggap kedua kejahatan itu sebagai kejahatan luar
biasa ( Extra Ordinary crime ) sehingga efek jeranya harus ditingkatkan. Selain
itu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsuddin, sempat
melontarkan wacana bahwa hukuman minimal bagi tahanan koruptor adalah lima
tahun penjara.
Hukuman bagi koruptor saat ini yang dapat dibilang sangat ringan, yaitu
hitungan bulan penjara. Menurut Denny Indrayana, hukuman minimal lima tahun
itu tujuannya untuk mengirimkan pesan bahwa korupsi adalah kejahatan yang luar
biasa, sehingga hukumannya juga harus mengirimkan pesan kejeraan, efek jera
menurutnya diberikan agar sesuai dengan keadilan di tengah masyarakat. Dengan
memperketat syarat dan tata cara remisi dapat menekan jumlah kejahatan
khususnya terorisme, narkotika, dan precursor narkotika, psikotropika, korupsi,
kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat
serta kejahatan ( transnasional ).
5
Namun disisi lain kebijakan menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor : 99
Tahun 2012 dinilai Bertentangan dengan Undang- undang Nomor : 12 Tahun
1995 Tentang Pemasyarakatan. Sehingga terjadi kontradiksi antara peraturan yang
lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah ( norma konflik ). Terutama
rumusan Pasal 34A Ayat (1) PP Nomor : 99 Tahun 2012 bertentangan dengan
Pasal 5 UU Nomor : 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang melarang
adanya pembedaan perlakuan dan pelayanan terhadap narapidana yang artinya
semua bentuk perlakuan dan pelayanan harus sama dan tidak ada unsur
diskriminasi. Selain itu juga PP Nomor : 99 Tahun 2012 bertentangan dengan
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bab XA Tentang Hak- hak
Konstitusional setiap warga negara, termasuk tersangka, terdakwa, dan narapidana
dimana tidak ada pembedaan dalam perlakuannya.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa tidak dibenarkan adanya pembatasan hak
asasi manusia yang perumusannya diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah.
Jika pun dikehendaki ada pembatasan, seharusnya di lakukan dengan Undangundang karena di sebutkan secara tegas bahwa pembatasan hak asasi manusia
hanya dapat dilakukan dengan undang- undang dan tidak boleh dengan peraturan
perundang- undangan di bawahnya.
Berdasarkan sudut pandang hirarki perundang- undangan, PP Nomor : 99
Tahun 2012 bertentangan dengan UU Nomor : 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan karena substansinya merupakan norma baru yang bertentangan
dengan filosofi, tujuan dan misi UU Pemasyarakatan itu sendiri. Jika ada
6
pembatasan- pembatasan terhadap hak asasi manusia seperti yang tertuang dalam
Pasal 28 J UUD 1945, maka seharusnya didasarkan pada ketentuan undangundang atau putusan hakim di pengadilan, dan tidak boleh didasarkan pada
ketentuan di bawah undang- undang atau hanya direktif semata- mata dalam
bentuk Peraturan Pemerintah ( PP) seperti halnya PP Nomor : 99 Tahun 2012.
Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 3 UU Nomor : 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Perundang- undangan, menyebutkan bahwa Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar
dalam peraturan perundang- undangan. Serta di sebutkan pula secara tegas dalam
pasal 9 ayat ( 2 ) apabila suatu peraturan perundang- undangan di bawah Undangundang diduga bertentangan dengan Undang- undang maka pengujianya
dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Undang undang Nomor : 12 Tahun 1995 merupakan Lex Specialis dari
Pemidanaan atau penghukuman sebagaimana disebutkan dalam pasal 103 KUHP
yang menyebutkan ketentuan Bab I sampai Bab VIII dalam KUHP juga berlaku
bagi perbuatan- perbuatan yang oleh ketentuan perundang- undangan lainnya
diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang- undang ditentukan lain.
sehingga tidaklah dapat ditetapkan pengaturan yang bersifat Lex Specialis lagi
terhadap undang- undang yang telah bersifat Lex Specialis.
Kebijakan menetapkan PP Nomor : 99 Tahun 2012 adalah kewenangan
eksekutif, namun yang bisa membatasi hak asasi warga binaan seharusnya
kewenangan legislatif dengan melakukan perubahan terhadap UU Nomor : 12
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Pertentangan nyata dalam suatu
7
perundang- undangan, apalagi terhadap peraturan perundang- undangan yang
lebih tinggi adalah batal demi hukum dan implikasinya adalah pelanggaran
terhadap hak sosial, ekonomi, dan hak politik warga binaan.
UU Pemasyarakatan itu sendiri adalah perwujudan dan ratifikasi Kongres
PBB Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap para pelanggar
hukum ( tahun 1995 ). Konvensi tersebut belum ada undang- undang
pelaksanaannya kecuali untuk protocol larangan perdagangan manusia sehingga
ketentuan mengenai syarat Justice Collaborator dalam PP Nomor : 99 Tahun
2012 khusus bagi narapidana Korupsi, Teroris, Narkoba, kejahatan transnasional
terlalu dini dan tidak ada landasan hukum perundangannya.
Ketentuan memperketat syarat dan tata cara pemberian Remisi terhadap
narapidana kasus korupsi, terorisme, narkoba dan kejahatan transnasional telah
menimbulkan kerugian besar bagi negara, masyarakat dan korban. Kekeliruan ini
menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada
masyarakat. Sesungguhnya alasan pemberatan hukuman yang merupakan
wewenang ( Yudikatif ) Majelis Hakim, bukan wewenang kebijakan pemerintah (
Eksekutif ).
Ketentuan Justice Collaborator sebagai syarat pemberian Remisi terhadap
pelaksanaan pidana di Indonesia adalah melanggar HAM dan berpotensi terjadi
pemerasan terselubung yang kedua. Ketentuan Justice Collaborator dan PP
Nomor : 99 Tahun 2012 Pasal 34A ayat 1 huruf a tidak relevan dengan masa
pembinaan warga binaan karena syarat Justice Collaborator seharusnya bagian
8
dari strategi penyidikan yang bertujuan membongkar organisasi kejahatan dengan
kompensasi keringanan hukuman atau pembebasan penuntutan.
Akibat kekeliruan pemerintah dalam mengambil kebijakan dengan
memperketat syarat dan tata cara pemberian remisi menimbulkan gejolak di dalam
Lapas. Gangguan keamanan dan ketertiban sering terjadi karena PP Nomor : 99
Tahun 2012 menuai pro dan kontra. Penilaian yang menyatakan bahwa
pemerintah arogan dalam membatasi hak- hak narapidana untuk memperoleh
remisi. Narapidana senantiasa akan menjalani segala bentuk putusan yang
diterima asalkan pengaturannya sesuai dengan nilai- nilai keadilan.
Reaksi perdebatan terhadap pengaturan PP Nomor : 99 Tahun 2012 juga
terjadi diberbagai kalangan termasuk di kalangan legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Hal tersebut sering kita saksikan di media yang mana pengamat hukum
maupun praktisi
hukum membicarakan pemberian remisi yang dinilai
diskriminatif, dan pengaturannya yang tidak tepat karena bertentangan dengan
ketentuan yang lebih tinggi yakni Undang- undang.
9
1.2. Rumusan Masalah.
Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka
rumusan masalah yang dapat peneliti kemukakan antara lain :
1. Bagaimanakah pengaturan pemberian remisi terhadap narapidana
Extra Ordinary Crime ( korupsi, terorisme, narkotika, kejahatan HAM
berat dan kejahatan transnasional ) berdasarkan hukum positif dalam
sistem pemasyarakatan?
2. Bagaimanakah sebaiknya kebijakan formulatif tentang pengetatan
syarat dan tata cara pemberian remisi terhadap narapidana extra
ordinary crime dalam sistem pemasyarakatan di masa mendatang?
1.3. Ruang Lingkup Masalah.
Pemerintah saat ini sedang memikirkan cara untuk mengurangi tingkat
kejahatan dengan membuat beberapa pembaharuan terhadap peraturan yang saat
ini perlu untuk direvisi. Salah satunya peraturan yang isinya memperketat syarat
dan tata cara pemberian hak- hak warga binaan pemasyarakatan yakni pemberian
Remisi, terhadap narapidana dapat membuat pelaku jera bahkan enggan dalam
mengulangi tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi, narkotika, terorisme,
kejahatan HAM berat dan kejahatan transnasional. Seharusnya yang menjadi
permasalahan bagi pemerintah adalah bagaimana mengatur pemberian remisi
terhadap narapidana supaya adil sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam
sistem pemasyarakatan.
Mewujudkan pembinaan dan perlakuan terhadap narapidana di dalam
Lembaga Pemasyarakatan haruslah berdasarkan ketentuan- ketentuan dan
10
perundang- undangan yang berlaku antara lain UUD Negara Republik Indonesia
1945 dan UU Nomor : 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang mengatur tentang
nilai- nilai hak asasi manusia yang berkeadilan dan memegang teguh prinsipprinsip kemanusiaan. Selain itu diatur pula dalam UU Nomor : 12 Tahun 1995
Tentang Pemasyarakatan yang mana didalamnya mengatur tentang hak- hak
warga binaan pemasyarakatan selama menjalani proses pemidanaan.
Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu sub sistem dari sistem
penyelenggaraan hukum pidana, yang secara keseluruhan tidak dapat dipikirkan
sebagian demi sebagian khususnya dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya
sebagai pembinaan terhadap narapidana yang didalamnya sekaligus pula
melakukan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak- hak asasi manusia.
Pemasyarakatan sebagai salah satu komponen tata peradilan pidana, sangat
dipengaruhi oleh kondisi perubahan dalam masyarakat, dalam hal ini bermuara
pada perkembangan berbagai bentuk tindak kriminalitas. Tantangan lain yang
dihadapi Pemasyarakatan adalah dengan semakin kritisnya masyarakat terhadap
penegakkan hukum dan penghormatan hak asasi manusia serta tuntutan rasa
keadilan masyarakat. Karena luasnya cakupan permasalahan yang akan dibahas,
maka ruang lingkup permasalahan yaitu materi-materi yang terkait secara erat
dengan permasalahan.
Pertama akan dibatasi pada analisis hukum terhadap pengaturan pemberian
remisi terhadap narapidana Extra Ordinary Crime ( korupsi, terorisme, narkotika,
kejahatan HAM berat dan kejahatan transnasional ) berdasarkan hukum positif
dalam sistem pemasyarakatan. Kedua akan dibatasi pada analisis hukum terhadap
11
Kebijakan formulatif tentang pengetatan syarat dan tata cara pemberian remisi
terhadap narapidana extra ordinary crime dalam sistem pemasyarakatan yang
ideal di masa mendatang.
1.4. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan penelitian berdasarkan pada permasalahan yang diajukan,
dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.4.1. Tujuan Umum.
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memberikan
kontribusi ilmu pengetahuan khususnya hukum pidana terkait dengan
pengaturan pemberian remisi terhadap narapidana Extra Ordinary Crime (
korupsi, terorisme, narkotika, kejahatan HAM berat dan kejahatan
transnasional ) berdasarkan hukum positif dalam sistem pemasyarakatan.
1.4.2. Tujuan Khusus.
Tujuan secara khusus dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mendiskripsikan dan menganalisis pengaturan pemberian remisi
terhadap narapidana Extra Ordinary Crime ( korupsi, terorisme, narkotika,
kejahatan HAM berat dan kejahatan transnasional ) berdasarkan hukum
positif dalam sistem pemasyarakatan.
b. Untuk mendiskripsikan dan menganalisis Kebijakan formulatif tentang
pengetatan syarat dan tata cara pemberian remisi terhadap narapidana
extra ordinary crime dalam sistem pemasyarakatan yang ideal di masa
mendatang.
12
1.5. Manfaat Penelitian.
Dalam penulisan ini diharapkan dapat memperoleh kegunaan baik itu
secara teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat tersebut sebagai berikut :
1.5.1. Manfaat Teoritis.
Secara teoritis tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pengetahuan dan wawasan yang berguna untuk meningkatkan pemahaman
dan pengetahuan mengenai pengaturan pemberian remisi terhadap
narapidana Extra Ordinary Crime ( korupsi, terorisme, narkotika,
kejahatan HAM berat dan kejahatan transnasional ) berdasarkan hukum
positif dalam sistem pemasyarakatan. Disamping itu penelitian ini
diharapkan dapat menjadi referensi dalam penelitian karya ilmiah
khususnya dalam hukum pidana dan menjadi referensi dalam pemberian
remisi kepada narapidana dalam sistem pemasyarakatan.
1.5.2. Manfaat Praktis.
Secara praktis tulisan ini diharapkan dapat berguna bagi para
penyusun dan perancang peraturan perundang- undangan, yang dalam hal
merumuskan peraturan agar tidak bertentangan dengan UU yang lebih
tinggi khususnya Kementerian Hukum dan HAM RI yang salah satu tugas
dan fungsinya mengenai pemasyarakatan untuk mengaktifkan peran serta
pihak-pihak terkait dalam sistem peradilan pidana yang mengedepankan
Asas Due Process Of Law yakni penegakan hukum yang berdimensi hak
asasi manusia dan mengedepankan Asas Equality Before The Law yakni
13
perlakuan yang sama di depan hukum dalam memperoleh keadilan
khususnya pemberian hak- hak narapidana yang non diskriminatif.
1.6. Orisinalitas Penelitian.
Untuk memperlihatkan orisinalitas dari usulan penelitian ini, maka dapat
dibandingkan dengan tesis-tesis yang pernah ada sebelumnya. Adapun rincian
permasalahan dari tesis-tesis tersebut adalah:
1. I Wayan Yasa Abadhi Tahun 1997, dengan judul Perubahan Pidana
Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara Melalui
Pemberian Remisi Menurut Keppres Nomor 174 Tahun 1999. Rumusan
masalah : (a). Apakah isi pasal 9 ayat (1) dapat dikatakan memiliki asas
dan tujuan yang sama seperti pengertian remisi seperti disebut dalam pasal
2 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 174 Tahun 1999
Tentang Remisi? (b). Apakah kewenangan Presiden dalam pasal 9 ayat (1)
Keputusan Presiden Nomor :174 Tahun 1999 dapat dikatakan merupakan
kewenangan yang mandiri?
2. Nyoman A Martana 2010, dengan judul tesis Kewenangan Presiden dalam
memberikan Remisi bagi Narapidana Penjara Seumur Hidup Menjadi
Pidana Sementara. Rumusan masalah : (a) Apakah Presiden memiliki
kewenangan dalam memberikan remisi bagi narapidana penjara seumur
hidup?. (b) Bagaimanakah prosedur pemberian remisi tersebut?
3. Anak Agung Ngurah Yusa Darmadi, 2011, dengan judul tesis Perubahan
Pidana Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara.Rumusan masalah : (a)
Apakah pemberian remisi tidak bertentangan dengan penyelenggaraan
14
kekuasaan kehakiman yang merdeka?. (b) Bagaimana keabsahan lembaga
remisi untuk mengubah hukuman bagi narapidana yang menjalani pidana
seumur hidup menjadi pidana penjara sementara?
4. Tesis ini mengambil judul Kebijakan Formulatif Tentang Pengetatan
Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Extra
Ordinary Crime Dalam Sistem Pemasyarakatan. Rumusan masalah; (a).
Bagaimanakah pengaturan pemberian remisi terhadap narapidana Extra
Ordinary Crime ( korupsi, terorisme, narkotika, kejahatan HAM berat dan
kejahatan transnasional ) berdasarkan hukum positif dalam sistem
pemasyarakatan? (b). Bagaimanakah sebaiknya kebijakan formulatif
tentang pengetatan syarat dan tata cara pemberian remisi terhadap
narapidana extra ordinary crime dalam sistem pemasyarakatan di masa
mendatang?
Tesis pertama yang membahas tentang Perubahan Pidana Penjara Seumur
Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara Melalui Pemberian Remisi Menurut
Keppres Nomor 174 Tahun 1999, tesis kedua membahas tentang Kewenangan
Presiden dalam memberikan Remisi bagi Narapidana Penjara Seumur Hidup
Menjadi Pidana Sementara, tesis ketiga membahas tentang Perubahan Pidana
Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara. Sedangkan tesis yang disusun peneliti
membahas Kebijakan Formulatif Tentang Pengetatan Syarat dan Tata Cara
Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Extra Ordinary Crime Dalam Sistem
Pemasyarakatan.
15
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir.
1.7.1.
Landasan Teori.
Penyelenggaraan hukum di Indonesia merupakan suatu rangkaian kegiatan
peradilan pidana. Termasuk pula proses penyusunan peraturan yang dalam hal ini
Peraturan Pemerintah. Perumusan Peraturan Pemerintah khususnya dalam hukum
pidana pada hakekatnya menggunakan beberapa asas, konsep, doktrin dan teori
hukum yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.
Asas.
Sistem hukum yang diterapkan sebagai upaya pencegahan terhadap
perbuatan- perbuatan melawan hukum khususnya bagi narapidana yang
melakukan kejahatan extra ordinary crime dapat dilakukan melalui perumusan
kebijakan pengetatan hak- hak narapidana. Kebijakan tersebut seharusnya sejalan
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi. Apabila
terdapat konflik norma agar segera melakukan pembaharuan terhadap norma
tersebut. Sehingga pemerintah diharapkan konsisten untuk mengatasi apabila ada
norma konflik, oleh karena itu, sistem hukum tidak akan membiarkan konflik itu
berlangsung berlarut- larut, tetapi segera diatasi.
Sebagai contoh bila terjadi konflik antara dua undang- undang yang
mengatur materi yang sama, sedangkan undang- undang yang baru tidak
membatalkan undang- undang yang lama, sehingga pada saat yang sama berlaku
dua undang- undang yang mengatur materi yang sama tetapi bertentangan satu
sama lain, maka sistem hukum menyediakan asas hukum untuk mengatasi konflik
16
tersebut yang dikenal dengan asas Lex Posteriori derogat legi priori ( Undangundang yang baru melumpuhkan undang- undang yang lama.
Kalau terjadi konflik antara dua peraturan perundang- undangan yang
tidak berkedudukan sama, mengatur materi yang sama tetapi bertentangan satu
sama lain, maka asas hukum untuk mengatasinya adalah Lex superior derogat legi
inferiori ( Peraturan perundang- undangan yang lebih tinggilah yang
melumpuhkan peraturan perundang- undangan yang lebih rendah ).
Kalau ada konflik antara undang- undang dengan putusan pengadilan
diselesaikan dengan asas Res judicata pro veretate accipitur yang berarti putusan
hakim harus diangap benar. Asas- asas hukum tersebut merupakan Presumption
atau persangkaan, sesuatu yang tidak benar atau nyata tetapi dianggap benar.4
b. Konsep.
Negara hukum merupakan terjemahan dari istilah Rechtsstaat atau Rule of
Law. Rule of Law itu sendiri dapat dikatakan sebagai bentuk perumusan yuridis
dari gagasan kostitusionalisme. Dalam arti sederhana rule of Law diartikan oleh
Thomas Paine sebagai tidak ada satu pun yang berada di atas hukum dan
hukumlah yang berkuasa. Oleh karena itu, konstitusi dan negara (hukum)
merupakan dua lembaga yang tidak terpisahkan.
Secara sederhana yang dimaksud negara hukum adalah negara yang
penyeleggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Di dalamnya
negara dan lembaga-lembaga lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus
dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Dalam
4
Sudikno, Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h. 55.
17
negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan
hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban
hukum. AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon memberikan ciri-ciri
Rule of Law sebagai berikut.
1. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan
sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.
2. Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun
bagi pejabat.
3. Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan
pengadilan.5
c.
Doktrin.
Doktrin/ ajaran hukum kaum legis positivis bahwa demi kepastian dan
jaminan akan kepatuhan, hanya norma hukum yang telah diundangkan yang
disebut hukum nasional yang positif itu sajalah yang boleh digunakan secara
murni dan konsekuen untuk menghukum sesuatu perkara. Tidaklah norma hukum
ini boleh dicampuri berbagai pertimbangan yang merujuk ke sumber-sumber
normatif lain, seperti misalnya norma moral, rasa keadilan, ideologi politik,
keyakinan pribadi, atau apapun lainnya.
Diyakini orang, bahwa dengan
dipatuhinya doktrin seperti itu secara murni dan konsekuen maka hukum (sebagai
suatu institusi) akan amat berdaya untuk mengefektifkan berlakunya kaidahkaidahnya guna menata kehidupan dan menegakkan tertib di dalamnya.
Doktrin kepatuhan hukum yang memberikan arahan kepada para
pelaksana hukum seperti terpapar di muka itu berkaitan erat dengan doktrin lain
yang lebih bersifat falsafati, ialah doktrin positivisme yang pada asasnya juga
5
Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Kontitusi Pers, Jakarta, h.
128.
18
mengajarkan pemahaman hukum sebagai hukum murni. Doktrin positivisme ini
juga mengajarkan bahwa hukum itu harus memiliki sosok yang tidak berada di
ranah yang metayuridis melainkan di ranah yang “menampak dan terbaca tegas
dan jelas” dengan sifatnya yang objektif. Oleh sebab itu, setiap norma yang
terbilang hukum harus dirumuskan (karena itu juga mesti tertulis) secara eksplisit,
cermat dan tepat, oleh pejabat dan/atau institusi yang berkewenangan untuk itu.
Maka, dari doktrin positivisme inilah asal muasal pendapat bahwa setiap hukum
(ius) itu harus diwujudkan dalam bentuk Undang-undang.
Dari sinilah awal
mulanya mengapa doktrin positivisme ini yang oleh Hans Kelsen diperkenalkan
sebagai ‘ajaran hukum yang murni’ lalu dinamakan doktrin legisme.6
d. Teori Hukum.
1.
Teori Prioritas.
Ajaran konvensional menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata
hanya salah satu dari tiga tujuan hukum tersebut, yakni bahwa tujuan hukum
hanya untuk menciptakan kepastian hukum saja (ajaran normatif-dogmatik), atau
hanya untuk menciptakan kemanfaatan/kebahagiaan masyarakat saja (ajaran
utilitas), atau tujuan hukum hanya semata-mata untuk mencapai keadilan saja
(ajaran etis).
Ajaran ini sudah sangat usang dan banyak yang menentangnya, karena bila
keadilan saja yang menjadi tujuan hukum, tidaklah sepenuhnya tepat, karena
bagaimanapun nilai keadilan terlalu subyektif dan abstrak, demikian halnya jika
tujuan hukum semata-mata hanya kepastian hukum, maka hukum hanya
6
Han Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien, Cet.
pertama, Nusamedia & Nuansa, Bandung, h, 115.
19
merupakan permainan prosedur saja, sehingga hakim hanya merupakan bouche de
la loi (terompet undang-undang belaka).7
Sejalan dengan hal tersebut di atas, Gustav Radbruch (1961) dengan
Ajaran Teori Prioritas Bakunya mengemukakan bahwa ketiga ide dasar hukum itu
merupakan tujuan hukum secara bersama-sama, yaitu :
1. Keadilan ;
2. Kemanfaatan ; dan
3. Kepastian hukum.8
Dalam praktik, fakta menunjukkan bahwa terjadi pertentangan pada saat
menerapkan tujuan hukum tersebut secara bersama-sama, karena tidak jarang
terjadi benturan antara kepastian hukum dengan keadilan, atau antara kepastian
hukum dan kemanfaatan, ataupun antara keadilan dan kemanfaatan. Misalnya
saja, dalam kasus-kasus hukum tertentu, hakim yang senantiasa ingin
menghendaki putusannya adil (menurut persepsi keadilan yang dianut hakim
tentunya) bagi penggugat, tergugat, atau terdakwa, tetapi disisi lain sering
merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas.
Atau sebaliknya, bila kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, maka
perasaan keadilan bagi orang tertentu dikorbankan. Sehingga Radbruch
berkesimpulan bahwa dalam implementasinya harus digunakan asas prioritas,
dimana prioritas pertama adalah keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir
barulah kepastian hukum. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan semakin
kompleksnya kehidupan manusia di era modern, pilihan prioritas yang sudah
7
Ahmad, Ali, 2009, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana Media Group, Jakarta,
h. 224.
8
Ibid, h. 217.
20
dibakukan kadang-kadang justru bertentangan dengan kebutuhan hukum dalam
kasus- kasus tertentu, sebab bisa jadi kemanfaatan lebih diprioritaskan ketimbang
keadilan dan kepastian hukum atau mungkin dalam kasus tertentu kepastian
hukumlah yang lebih diprioritaskan ketimbang kemanfaatan dan keadilan.
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa
pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam
putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya
untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.9
Hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak,
meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud kongkrit. Oleh karenanya
pertanyaan tentang apakah hukum itu senantiasa merupakan pertanyaaan yang
jawabannya tidak mungkin satu. Dengan kata lain, persepsi orang mengenai
hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya.
Kalangan hakim akan memandang hukum itu dari sudut pandang mereka sebagai
hakim, kalangan ilmuwan hukum akan memandang hukum dari sudut profesi
keilmuan mereka, rakyat kecil akan memandang hukum dari sudut pandang
mereka dan sebagainya.
9
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta,
hal, 158.
21
2. Teori hak- hak kodrati ( natural rights theory ).
Menurut teori hak-hak kodrati, HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh
semua orang setiap saat dan di semua tempat oleh karena manusia dilahirkan
sebagai manusia. Hak-hak tersebut termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan
harta kekayaan seperti yang diajukan oleh John Locke. Pengakuan tidak
diperlukan bagi HAM, baik dari pemerintah atau dari suatu sistem hukum, karena
HAM bersifat universal. Berdasarkan alasan ini, sumber HAM sesungguhnya
semata-mata berasal dari manusia.10
Teori hak-hak kodrati telah berjasa dalam menyiapkan landasan bagi suatu
sistem hukum yang dianggap superior ketimbang hukum nasional suatu negara,
yaitu norma HAM internasional. Namun demikian, kemunculan sebagai norma
internasional yang berlaku di setiap negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi
sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak kodrati.
Substansi hak-hak yang terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui
substansi hak-hak yang terkandung dalam hak kodrati sebagaimana yang diajukan
oleh John Locke. Kandungan hak dalam gagasan HAM sekarang bukan hanya
terbatas pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya. Bahkan belakangan ini substansinya bertambah dengan
munculnya hak-hak “baru” yang disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks
keseluruhan inilah seharusnya makna HAM dipahami dewasa ini.11
Perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia bukan hanya diberikan di
masyarakat tetapi pula di berikan dan diterapkan terhadap narapidana di lembaga
10
Todung Mulya Lubis, 1993, In search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s
New Order, 1966-1990, Gramedia, hal, 15.
11
Ibid, h, 16.
22
Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan). Perlindungan dan
pemenuhan hak asasi manusia di lembaga pemasyarakatan merupakan peran yang
sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana
yaitu pembinaan dan pengembalian rasa keadilan yang berdasarkan atas pancasila,
UUD 1945 yakni keadilan yang berkeprikemanusiaan yang berlandaskan hak
asasi manusia kepada pelanggar hukum, bahkan sampai pada penanggulangan
kejahatan.
Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor : 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari:
1. Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan
hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai,
bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah atas kehendak yang bebas.
3. Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan
hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
4. Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk
memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan
gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta
diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai
dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh
Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.
5. Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan
mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum,
memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih
kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan
bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.
6. Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta
perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu.
7. Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan
dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta
23
mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan,
kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi
melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
8. Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut
serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang
dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan
pemerintahan.
9. Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat
dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan
peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan
perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya
terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau
kesehatannya.
10. Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga,
masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam
rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara
melawan hukum.12
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak atau kewenangan yang melekat
pada diri individu sejak ia lahir secara kodrati yang tidak dapat dirampas atau
dicabut keberadaannya. HAM ada selama adanya manusia, sejak dahulu sampai
sekarang. HAM tidak dapat berubah kedudukannya. Kedaulatan suatu negara akan
berwibawa dan bermartabat apabila terdapat penghargaan yang berarti terhadap
HAM dari seluruh elemen masyarakat dan pemerintahnya.
Sebagai negara hukum hak-hak narapidana itu dilindungi dan diakui oleh
penegak hukum, khususnya pada Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana juga
harus harus diayomi hak-haknya walaupun telah melanggar hukum. Disamping itu
juga ada ketidakadilan perilaku bagi narapidana, misalnya penyiksaan, tidak
mendapat fasilitas yang wajar dan tidak adanya kesempatan untuk mendapat
remisi.
12
Direktur Bina HAM Dirjen Perlindungan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI, 2010,
Konsep dan Sejarah HAM, Jakarta, h.53.
24
Proses pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan memiliki arti yang
penting, dimana ketidakadilan dan perlakuan yang kurang menghormati hak-hak
asasi manusia yang sudah diterima oleh narapidana dalam proses pemeriksaan
pendahuluan dan persidangan akan lebih parah lagi dirasakan manakala kondisi
dalam Lembaga Pemasyarakatan sama sekali tidak memberikan harapan.
Sasaran-sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan adalah
pembinaan dan pengembalian rasa keadilan. Pidana dan pemidanaan terdiri dari
proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana, yang dengan suatu cara tertentu
diharapkan untuk dapat mengasimilasikan kembali narapidana ke dalam
masyarakat, sekaligus dapat memuaskan permintaan atau kebutuhan pembalasan.
Usaha-usaha untuk menegakkan hak asasi manusia dalam sistem
perlakuan terhadap narapidana semakin baik setelah diundangkannya UndangUndang Nomor : 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dimana di dalamnya
secara eksplisit disebutkan beberapa hak Narapidana yaitu :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
Mendapatkan perawatan, baik perawatan jasmani maupun rohani
Mendapatkan pendidikan dan pengajaran
Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
Menyampaikan keluhan
Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak di larang.
g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.
h. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu
lainnya.
i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk Cuti Mengunjungi
Keluarga (CMK).
k. Mendapatkan Pembebasan Bersyarat (PB)
l. Mendapatkan Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Hak untuk mendapatkan
Cuti Bersyarat (CB).
m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
25
3.
Teori Sistem Peradilan Pidana
Istilah criminal justice system atau sistem peradilan pidana kini telah
menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan
kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan sistem. Remington dan Ohlin
mengemukakan sebagai berikut :
Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan
sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana
sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundangundangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian
sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan
secara rasional dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala
keterbatasannya.13
Hagan ( 1987 ) membedakan pengertian antara “Criminal Justice
Process” dan “Criminal Justice System” Criminal Justice Process adalah setiap
tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses
yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan Criminal
Justice System adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang
terlibat dalam proses peradilan pidana.14
Mardjono memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistem
peradilan pidana merupakan sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari
lembaga- lembaga kepolisian, kejaksaan dan pemasyarakatan terpidana. Mardjono
mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana ( Criminal Justice System ) adalah
13
Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, h. 2.
14
Ibid, h. 2
26
sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.
Menanggulangi diartikan sebagai pengendalian kejahatan agar berada dalam
batas- batas toleransi dalam masyarakat. Selanjutnya dikemukakan bahwa tujuan
sistem peradilan pidana dapat dirumuskan yakni :
-
Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi kembali kejahatannya.15
Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa empat
komponen dalam sistem peradilan pidana ( Kepolisian, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan ) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu
Integrated Criminal Justice System. Apabila keterpaduan kerja dalam sistem tidak
dilakukan diperkirakan akan terdapat 3 ( tiga ) kerugian sebagai berikut :
-
-
Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masingmasing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama.
Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah- masalah pokok
masing- masing instansi ( sebagai sub sistem dari sistem peradilan
pidana )
Karena tangggung jawab masing- masing instansi sering kurang jelas
terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektifitas
menyeluruh dari sistem peradilan pidana.16
4. Teori Pemidanaan.
Pengertian pemidanaan dapat diartikan sebagai suatu pemberian ataupun
penjatuhan pidana, dalam pengertian sistem pemidanaan dapat dilihat dari 2 (dua)
sudut pandang yaitu pertama, sistem pemidanaan dalam arti luas merupakan
sistem pemidanaan dilihat dari sudut fungsional yaitu dari sudut bekerjanya /
15
16
Ibid, h. 3.
Ibid, h. 4.
27
prosesnya. Sehingga sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum
pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana Materiel/Substantif, sub-sistem
Hukum Pidana Formal dan sub-sistem Hukum Pelaksanaan Pidana.Kedua, dalam
arti sempit dimana sistem pemidanaan dilihat dari sudut normatif/substantive,
yaitu hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif.17
Menurut Muladi (teori integratif), bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk
memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak
pidana. Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi,
dengan catatan tujuan yang merupakan titik berat harus bersifat kasuistis. Bahwa
perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud terdiri dari : pencegahan (umum dan
khusus), perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat, dan
pengimbalan/perimbangan.18
Berdasarkan teori pidana dan pemidanaan terdapat berbagai pemikiran
yang pada umumnya dapat dibagi ke dalam tiga golongan utama teori untuk
membenarkan penjatuhan pidana yaitu :
1. Teori absolute atau teori pembalasan (Vergeldings Theorien)
2. Teori relative atau teori tujuan (Doeltheorien)
3. Teori gabungan (Verenigingstheorien). 19
Teori absolute atau teori pembalasan yang dikemukakan oleh Imanuel
Kant merupakan seorang guru besar dari Jerman menyatakan bahwa pidana
dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak
17
Barda Nawawi Arief, 2007, Perkembangan Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Penerbit Pustaka
Magister, Semarang, hal. 2-3.
18
Ibid, h. 149
19
Ibid, h. 159.
28
pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan, jadi dasar pembenaran dari
pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Menurut teori
absolute hakikat suatu pidana adalah pembalasan.
Herbert L. Packer, mencari pembenaran tentang adanya pemidanaan.
Packer menulis :”punishment is a necessary but lamentable form of social. It is
lamentable because itinflicts sufferingin the name of goals whose achievement is a
matter of chanche”.20 Bahwa pidana sebagai hal yang perlu, namun
bagaimanapun juga pidana tetap disesalkan sebagai salah satu bentuk kontrol
sosial karena pidana mengandung penderitaan. Jadi menurut packer, pidana tetap
diperlukan asal jangan pidana itu berorientasi pada pembalasan.
Menurut teori relative yang lahir sebagai reaksi terhadap teori absolute
yang dikemukakan oleh John Howard (1726-1791), Cecare Beccaria (1738-1794)
serta Jeremy Bentham (1748-1832), bahwa memidanaan bukanlah untuk
memuaskan tuntutan absolute dari keadilan. Pembalasan diartikan sebagai sesuatu
yang tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi
kepentingan masyarakat. Pidana dalam teori ini bukanlah sekedar untuk
melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan
suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat,
oleh sebab itu teori ini disebut juga teori tujuan (utilitarian theory).
Teori tujuan mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib
masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pidana untuk prevensi terjadinya kejahatan,
20
Barda Nawawi Arief, Op Cit, h.249.
29
dimana wujud pidana ini berbeda-beda yaitu menakutkan, memperbaiki atau
membinasakan.21
Teori gabungan merupakan kombinasi dari teori absolute dan teori
relative, yang dipelopori oleh Cesare Lombroso, dimana tujuan pidana selain
membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat
dengan mewujudkan ketertiban. Dalam teori gabungan dapat dibagi menjadi ;
1.
2.
3.
Teori gabungan yang pertama, yaitu menitik beratkan unsur pembalasan
Teori gabungan yang kedua, yaitu yang menitik beratkan pertahanan tata
tertib masyarakat, menurut teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang
ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar daripada yang
seharusnya.
Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang sama pembalasan dan
pertahanan tata tertib masyarakat.22
Teori pemidanaan yang integratif mensyaratkan pendekatan yang integral
terhadap tujuan-tujuan pemidanaan, yang meninjau tujuan pemidanaan tersebut
dari segala perspektif. Pendekatan semacam ini mengakibatkan adanya keharusan
untuk memilih teori integratif tentang tujuan pemidanaan yang dapat
mempengaruhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan-kerusakan yang
diakibatkan oleh tindak pidana. Tujuan pemidanaan menurut teori ini adalah
untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak
pidana.23
Disamping itu terdapat teori-teori tentang tujuan pemidanaan antara lain :
1. Teori retributif (Retributivism), bahwa pidana mengandung nilai moral, yang
bebas dari akibat lain yang diharapkan lebih lanjut, dunia akan menjadi baik,
bilamana nilai-nilai moral dilindungi dengan memberikan penderitaan atas
penjahat. Pidana sebagai sarana retributif.
21
Barda Nawawi Arief, Op Cit, h. 157.
Barda Nawawi Arief, Op Cit, h.159.
23
Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, h.28.
22
30
a. Teori teleologis (teleological theory), memandang pidana sebagai suatu yang
dapat dipergunakan untuk mencapai kemanfaatan, baik yang berkaitan dengan
orang yang bersalah, misalnya menjadikannya sebagai orang yang lebih baik,
maupun yang berkaitan dengan dunia, misalnya dengan mengisolasi dan
memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat potensial, akan menjadikan
dunia menjadi tempat yang lebih baik. Pidana mempunyai tujuan yang positif.
Retributivisme teleologis (teleological retributivist), bahwa tujuan
pemidanaan bersifat plural, karena menghubungkan prinsip-prinsip teleologis,
misalnya ”utilitarianism” dan prinsip-prinsip retributivist di dalam suatu
kesatuan, sehingga seringkali pandangan ini disebut sebagai aliran integratif.24
5. Teori Pencegahan.
Menciptakan aturan hukum untuk diterapkan dalam sistem pemasyarakatan
khususnya formulasi kebijakan dalam memperketat syarat dan tata cara pemberian
remisi terhadap narapidana extra ordinary crime dalam sistem pemasyarakatan
memiliki tujuan, sehingga dapat dirumuskan ke dalam teori tujuan yakni
pencegahan. Teori Pencegahan Umum merupakan teori pidana yang bersifat
menakut- nakuti, menurut teori pencegahan umum ini pidana yang dijatuhkan
pada penjahat ditujukan agar orang- orang umum menjadi takut untuk berbuat
kejahatan.
Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat agar
masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat
itu. Menurut Von Feuerbach yang memperkenalkan teori pencegahan umum yang
disebut dengan “Psychologische Zwang”menyatakan bahwa sifat menakut- nakuti
dari pidana itu, bukan pada penjatuhan pidana konkrito, tetapi pada ancaman
pidana yang ditentukan dalam Undang- undang. Ancaman pidana harus ditetapkan
terlebih dulu dan harus diketahui oleh khalayak umum.25
24
Barda Nawawi Arief, Op Cit, h.160.
Chazawi Adami, 2011, Stelsel Pidana,Tindak Pidana, Teori- Teori Pemidanaan dan Batas
Berlakunya Hukum Pidana, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, Hal. 163.
25
31
Teori Pencegahan Khusus, teori ini lebih maju jika dibandingkan dengan
teori pencegahan umum. Menurut teori ini tujuan pidana ialah mencegah pelaku
kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulangi lagi melakukan kejahatan,
dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak mewujudkan
niatnya itu kedalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan
menjatuhkan pidana, yang sifatnya ada tiga macam yaitu : menakut- nakutinya,
memperbaikinya, dan membuatnya menjadi tidak berdaya. Menurut Van Hamel
membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus
ini antara lain, pidana selalu dilakukan untuk pencegahan khusus, yakni untuk
menakut- nakuti orang- orang yang cukup dapat dicegah dengan cara menakutnakutinya melalui penjatuhan pidana itu agar ia tidak melakukan niat jahatnya.
Akan tetapi, bila tidak dapat lagi ditakut- takuti dengan cara menjatuhkan pidana,
penjatuhan pidana harus bersifat memperbaiki dirinya reclasering. Apabila bagi
penjahat tersebut tidak dapat lagi diperbaiki, penjatuhan pidana harus bersifat
membinasakan atau membuat mereka tidak berdaya.26
6. Teori Penjenjangan/ Hirarki Norma Hukum.
Hans Kelsen mengemukakan teori penjejangan/ hirarki norma ( Stuffenbau
Theory ), bahwa suatu norma hukum bersifat herarki. Suatu norma hukum
sepatutnya selalu berdasarkan dari norma hukum yang lebih tinggi dan seterusnya,
sampai dengan norma yang paling tinggi atau yang sering disebut dengan basic
norm atau grundnorm. Grundnorm atau norma dasar merupakan norma tertinggi
yang bersifat umum dan berlaku sebagai dasar berlakunya norma-norma di
26
Ibid, h, 166.
32
bawahnya. Suatu norma hukum tidak bertentangan dengan norma-norma di
atasnya. Menurut Hans Kelsen, kaedah hukum mempunyai kekuatan berlaku,
apabila penetapannya didasarkan atas kaedah yang lebih tinggi tingkatannya.27
Teori penjenjangan atau hierarki norma hukum (stufenbau des rechts)
dengan didukung oleh teori norma dasar (grundnorm) dari Hans Kelsen. bahwa
kesatuan norma-norma ini ditunjukan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang
satu yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi, yang
pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan bahwa
regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh suatu norma
dasar tertinggi yang, karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan
tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tata hukum ini.28
Menurut Hans Kelsen, norma-norma (termasuk norma hukum) itu
berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana satu
norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi. Norma yang lebih tinggi belaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat
ditelusuri lebih lanjut yang bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu grundnorm (norma
dasar).29
Menurut Hans Kelsen, grundnorm (norma tertinggi) yang diandaikan
adalah norma dasar merupakan sumber utama keabsahan dari semua norma yang
27
Ibid, h, 94.
Han Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien, Cet.
pertama, Nusamedia & Nuansa, Bandung, h, 179.
29
Hans Kelsen,1998, General Theory of Law and State, terjemahan Anderes Wed Berg, Russell &
Russell, New York, 1973, h.123. kemudian dikutip oleh Maria Farida Indrati Suprapto, Ilmu
Perundang-undangan dasar-dasar dan pemberlakuannya, Kanisius, Yogyakarta, h, 25.
28
33
berasal dari tatanan yang sama, ini merupakan alasan umum bagi keabsahan
semua norma. Norma dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma
tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi tetapi Norma
Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang
merupakan gantungan bagi norma-norma yang ada dibawahnya, sehingga Norma
Dasar itu dikatakan presupposed.30
Ajaran jenjang norma/Stufanbau Theory yang dikemukakan oleh Hans
Kelsen yang menganggap bahwa proses hukum digambarkan sebagai hierarki
norma-norma. Validitas (kesahan) dari setiap norma (terpisah dari norma dasar)
bergantung pada norma yang lebih tinggi. Hans Kelsen mengungkapkan bahwa
hukum adalah tata aturan (order) sebagai sistem aturan-aturan (rules) tentang
berperilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan
tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan
sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem.31
7. Teori Kebijakan
Menurut Sudarto mengemukakan 3 (tiga) arti mengenai kebijakan criminal
yaitu:
a. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar
dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. Dalam arti luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
c. Dalam arti paling luas (yang diambil dari Jorgen Jepsen) adalah
keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan
badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma
sentral dari masyarakat.
30
Maria Farida Indrati, 2007, IlmuPerundang-Undangan-Jenis, Fungsi dan Materi Muatan,
Kanisius, Yogyakarta, h, 41.
31
Jimly Asshiddiqie dan M.Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi
Press, Jakarta, h, 13.
34
Menurut Sudarto, kebijakan kriminal merupakan “suatu usaha yang
rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”. Kebijakan atau upaya
penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya
perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan
masyarakat (social welfare). Tujuan dari politik criminal adalah “perlindungan
masyarakat
untuk
mencapai
kesejahteraan
masyarakat”.
Dalam
upaya
penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan dalam
arti, yaitu:
a. Ada keterpaduan (intergralitas) anatara politik criminal dan politik social;
b. Ada keterpaduan (intergralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan
dengan “penal” dan “non penal”.
Kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan usaha untuk
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai dengan keadaan
pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum).
Namun, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit,
karena sebagai suatu sistem hukum pidana terdiri dari budaya (cultural), stuktur (
structur ), dan substansia ( substansive ) hukum. Karena undang-undang
merupakan bagian dari substansi hukum, pembaharuan hukum pidana, disamping
memperbaharui perundang-undangan juga mencakup pembaharuan ide dasar dan
ilmu hukum pidana.
35
1.7.2. Kerangka berpikir.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan kerangka berpikir sebagai berikut :
Kebijakan formulatif tentang syarat dan tata cara
pemberian remisi dalam sistem pemasyarakatan
Memperketat syarat dan tata cara pemberian remisi terhadap narapidana yang
melakukan tindak pidana extra ordinary crime sebagaimana tersebut dalam PP
No : 99 tahun 2012. Merupakan strategi pemerintah dalam mewujudkan
keadilan di tengah- tengah masyarakat dan sekaligus pembenahan terhadap
hukum nasional di masa mendatang. Namun ketentuan PP No : 99 tahun 2012
disharmoni dengan UU No : 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Dan
sekaligus bertentangan dengan pasal 28 J UUD Negara Republik Indonesia.
Tahun 1945.
Bagaimanakah pengaturan pemberian
remisi terhadap narapidana dalam
sistem pemasyarakatan sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor : 99
Tahun 2012 ?
Konsep Negara hukum, Teori
Prioritas yang terdiri dari Teori
kepastian, keadilan, kemanfaatan,
Teori hak- hak kodrati ( Natural
Rights Theory ). Doktrin/ ajaran
hukum kaum legis positivis
Bagaimanakah sebaiknya Kebijakan
Formulatif tentang syarat dan tata
cara pemberian remisi terhadap
narapidana extra ordinary crime
dalam sistem pemasyarakatan di
masa mendatang?
Asas asas hirarki/ penjenjangan
norma, Teori Sistem Peradilan
Pidana, Teori Penjenjangan (
Stufanbau
Theory
),
Teori
Pencegahan, Teori Pemidanaan,
Teori Kebijakan.
Simpulan :
- Bahwa syarat dan tata cara pemberian remisi terhadap narapidana extra
ordinary crime perlu untuk diperketat karena jenis kejahatan tersebut dapat
membahayakan idelogi, keamanan dan stabilitas Negara. Perumusan yang
tepat diatur dalam kebijakan formulatif yakni Undang- undang dan bukan
Peraturan Pemerintah.
Saran :
- Agar dalam perumusan kebijakan formulatif juga memperhatikan ketentuan
perundang- undangan lainnya dalam hukum positif sehingga tidak terjadi
perbenturan norma ( konflik norma ).
36
1.8. Metode Penelitian.
Dalam suatu karya ilmiah, metode penelitian merupakan suatu kegiatan
ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang
bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan
jalan menganalisisnya, di samping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam
terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan
atas
permasalahan-
permasalahan
yang
timbul di
dalam gejala
yang
bersangkutan.32
1.8.1. Jenis Penelitian.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian
ilmu hukum dengan menggunakan penelitian dari aspek normatif dalam hal ini
berarti bahwa penelitian ilmu hukum dengan menggunakan penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum normatif dilakukan melalui inventarisasi hukum
positif sebagai pendahuluan mendasar sebelum kegiatan melakukan penelitian.
Sebelum penelitian sampai kepada usaha penemuan norma hukum in conreto,
atau kepada usaha menemukan asas dan doktrinnya, atau sampai pula kepada
usaha menemukan teori- teori tentang Law in process dan Law in action, maka
terlebih dahulu harus mengetahui apa saja yang terbilang hukum positif yang
tengah berlaku tersebut.33
Bahwa penelitian hukum normatif adalah merupakan penelitian hukum
yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah,
filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi,
32
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h, 18
Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h,
81.
33
37
penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu
undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek
terapan atau implementasinya. Penelitian hukum normatif sering juga disebut
penelitian hukum dogmatik atau penelitian hukum teoritis (dogmatic or
theoretical law research).34
1.8.2. Jenis Pendekatan.
Dalam penelitian hukum normatif, menggunakan beberapa jenis
pendekatan yakni : pendekatan terhadap asas- asas hukum dan doktrin hukum,
pendekatan terhadap sistematika hukum, pendekatan terhadap taraf sinkronisasi
hukum, pendekatan terhadap perbandingan hukum, pendekatan terhadap sejarah
hukum :
a. Pendekatan terhadap asas- asas hukum dan doktrin hukum merupakan
suatu penelitian hukum yang dikerjakan dengan tujuan menemukan asas
atau doktrin hukum positif yang berlaku. Pendekatan tipe ini lazim disebut
sebagai studi dogmatik, atau yang dikenal dengan Doctrinal research.
b. Pendekatan terhadap sistematika hukum merupakan suatu penelitian
terhadap sistematik hukum melalui peraturan perundang- undangan
tertentu atau hukum tertulis. Tujuan pokoknya adalah untuk mengadakan
identifikasi terhadap pengertian- pengertian pokok/ dasar dalam hukum
yaitu : masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa
hukum, hubungan hukum dan obyek hukum.35
c. Pendekatan terhadap taraf sinkronisasi hukum merupakan penelitian
terhadap sejauh mana hukum positif tertulis yang ada itu sinkron atau
serasi satu sama lain. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dua jalur yakni:
- Vertikal : melihat apakah suatu peraturan perundang- undangan, yang
berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan
antara satu dengan yang lainnya apabila dilihat dari sudut vertikal atau
hierarki peraturan perundang- undangan yang ada.
- Horisontal : apabila yang ditinjau adalah peraturan perundang- undangan
yang kedudukannya sederajat dan yang mengatur bidang yang sama.
d. Pendekatan terhadap perbandingan hukum merupakan kegiatan ilmiah
yang lazim dipergunakan untuk mengadakan identifikasi masalah34
Abdul, Kadir, Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
h.101.
35
Bambang Sunggono , Op Cit, h, 22.
38
masalah yang akan diteliti. Menetapkan satu atau beberapa masalah berarti
telah menerapkan metode perbandingan, dimana hal itu didasarkan pada
perbandingan, sehingga masalah yang dianggap paling penting yang akan
diteliti.
e. Pendekatan terhadap sejarah hukum, seperti halnya dengan penelitian
perbandingan hukum, maka penelitian sejarah hukum merupakan suatu
metode, maka sejarah hukum berusaha untuk mengadakan identifikasi
terhadap tahap- tahap perkembangan hukum yang dapat dipersempit ruang
lingkupnya menjadi peraturan perundang- undangan.36
1.8.3. Sumber Bahan Hukum.
Dalam penelitian hukum normatif menggunakan bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
obyek penelitian. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya memiliki otoritas. Perundang-undangan yang dikaji dalam
penelitian ini terdiri dari :
-
Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor :12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor :39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia.
Undang- undang Nomor : 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang- undangan.
Peraturan Pemerintah Nomor : 99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Keputusan Presiden Nomor : 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 022/ PUU-III/ 2005.
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemasyarakatan.
Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang
merupakan dokumen yang tidak resmi, publikasi tersebut terdiri atas :
-
36
Buku- buku teks yang membicarakan suatu dan atau beberapa
permasalahan hukum, termasuk skripsi, tesis dan disertasi hukum.
Bambang Sunggono , Op Cit, h, 98.
39
-
Kamus- kamus hukum.
Jurnal- jurnal hukum.
Komentar- komentar atas putusan hakim.
Publikasi tersebut merupakan petunjuk atau penjelasan mengenai bahan
hukum primer dan bahan hukum sekumder yang berasal dari kamus, ensiklopedia,
jurnal, surat kabar dan sebagainya. Bahan hukum sekunder yang paling utama
adalah buku teks, buku teks memuat prinsip- prinsip dasar ilmu hukum dan
pandangan- pandangan klasik dari para ahli hukum terdahulu yang pada umumnya
ditulis oleh penulis yang berpandangan aliran hukum Eropa Kontinental dan buku
teks yang ditulis oleh penulis yang beraliran Anglo Saxon. Di dalam ilmu hukum
buku- buku teks memuat Jurisprudence atau Rechttheorie atau mungkin
Rechtswetenschap.37
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.
Adapun metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan metode Bola Salju ( Snow ball method ), yaitu
menggelinding sampai habis dimana bahan hukum dilacak berdasarkan sumber
pustaka yang digunakan dari pustaka yang satu kepustaka yang lain, dengan
harapan peneliti menemukan pendapat dari sumber pustaka.
Metode kepustakaan sistematis, khususnya undang-undang dapat dilacak
sumber yang berupa himpunan peraturan perundang-undangan yang ada. Bahanbahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian yang diperoleh
kemudian dibaca, ditelaah, diklasifikasikan serta melakukan pemahaman terhadap
bahan-bahan hukum yang berupa peraturan, konvensi dan buku-buku literatur
37
Bambang Sunggono , Op Cit, h, 54.
40
yang ada relevansinya dengan permasalahan pembinaan, serta perlakuan terhadap
narapidana dalam sistem pemasyarakatan, secara sistematis.38
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum.
Dalam mengolah dan menganalisis bahan-bahan hukum yang terkumpul,
baik data primer maupun data sekunder, peneliti menggunakan teknik analisis
Deskriptif yaitu uraian-uraian ditulis apa adanya terhadap suatu posisi hukum atau
non hukum.39 Dengan melakukan penelitian terhadap suatu pandangan,
pernyataan rumusan norma dan bahan hukum primer maupun sekunder. Analisa
yang bersifat mengevaluasi terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan di sesuaikan dengan keadaan dan gejala yang terjadi. karena terdapat norma
yang bertentangan dan disharmoni antara Undang- undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang Undang Nomor : 39 Tahun 1999
Tentang HAM, Undang Undang Nomor : 12 Tahun 1995 dengan Peraturan
Pemerintah Nomor : 99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan
Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dalam kaitannya dengan memperketat syarat
dan
tata
cara
pemberian
Remisi,
terhadap
narapidana
dalam
sistem
pemasyarakatan sebagaimana disebutkan dalam peraturan pemerintah tersebut.
38
39
Bambang Sunggono , Op Cit, h,109.
Bambang Sunggono , Op Cit, h, 21.
Download