TINJAUAN PUSTAKA Identifikasi Pendekataan Konsep Desain Berkelanjutan Embargo minyak 1973 merupakan suatu momen kebangkitan kesadaran energi dimana eskalasi harga minyak bumi yang membubung menimbulkan dampak krisis energi pada negara negara maju yang energy dependent. Seluruh potensi riset dan pengembangan dikerahkan untuk mengatasi krisis tersebut yang tentunya juga termasuk sektor bangunan gedung maupun perumahan. Dekade 1980-1990, terjadi pengungkapan ilmiah tentang fenomena kerusakan pada planet bumi dan atmosfer yang secara umum kita kenal dengan istilah pemanasan global (Priatman 2002). Krisis lingkungan dan energi ini memicu gerakan positif pada pembangunan yang lebih ramah atau berwawasan terhadap lingkungan meliputi sektor desain arsitektur dan lanskap. Konsep tersebut (sustainable development). dikenal sebagai pembangunan berkelanjutan Menurut World Commision and Environment and Development (WCED) (1987) dalam Pranoto (2008), sustainable development adalah ―…..the development which meets the needs of present, without compromising the ability of future generation to meet with their own needs‖. Pernyataan tersebut bertujuan, agar sebuah desain berkelanjutan dapat menimimalisasi dampak negatif terhadap sumberdaya sosial, ekonomi dan ekologi. Karena setiap langkah kita akan berdampak pada generasi masa depan. Prinsip konstruksi atau pembangunan berkelanjutan menurut Kibert (2008), yaitu: 1. Mengurangi konsumsi sumberdaya (reduce) 2. Menggunakan kembali sumberdaya (reuse) 3. Menggunakan sumberdaya yang dapat didaurulang/diperbaharui (recycle) 4. Melindungi alam (nature) 5. Menghilangkan racun (toxics) 6. Mengaplikasikan biaya daur hidup (economics) 7. Fokus terhadap kualitas (quality) Desain berkelanjutan sangat menekankan terhadap meminimalisir dampak lingkungan yang sangat erat terkait dengan kondisi ekologis, sedangkan kondisi ekologis dalam hal ini erat kaitannya dengan lanskap. Pernyataan diatas 6 menjelaskan bahwa lanskap merupakan suatu strategi yang potensial dalam mewujudkan konsep desain berkelanjutan (Pranoto 2008). Dalam mencapai kondisi berkelanjutan tersebut muncullah pemikiranpemikiran dan pendekatan-pendekatan baru dalam desain diantaranya desain ekologis (ecological design), desain berkelanjutan secara ekologis (ecologically sustainable design) dan desain hijau (green design), dll adalah istilah-istilah yang menggambarkan penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam merancang bangunan maupun lanskap (Kibert 2008). Desain Sadar Sumber Daya (Resource-Concious Design) Isu mengenai desain yang sadar akan sumber daya menjadi pondasi dasar dari pembangunan berkelanjutan. Tujuan utama dari pembangunan berkelanjutan adalah minimalisasi konsumsi sumber daya dan dampak terhadap sistem ekologi serta sinergi antar peran dan potensi ekosistem. contohnya pada pemilihan material untuk pembangunan Seperti berkelanjutan, diupayakan menggunakan lingkaran material tertutup (closed loop) yang bertujuan untuk menghilangkan emisi padat, cair, dan gas. Lingkaran material tertutup menggambarkan sebuah proses penggunaan material agar tetap produktif melalui jalan pemakaian ulang (reuse) maupun di daur ulang (recycle) daripada hanya langsung membuang material tersebut menjadi limbah. Daur hidup material berkelanjutan mudah dirakit kembali, dan bahan penyusunnya mampu dan layak didaur ulang dengan tidak menghasilkan dampak negatif pada lingkungan. Sebagai bagian dari sistem yang dianut oleh sistem bangunan hijau, produk yang diproduksi dievaluasi dampak dari daur hidupnya, termasuk konsumsi energi dan emisi selama ekstraksi sumberdaya, transportasi, produksi, instalasi selama konstruksi, dampak operasional, dan efek jika material tersebut menjadi sampah buangan (disposal effect) (Kibert 2008). Gambar 2. Kerangka kerja pembangunan berkelanjutan (Kibert 2008) 7 Sumber Daya Lahan Penggunaan lahan yang berkelanjutan didasarkan pada prinsip bahwa lahan, khususnya lahan yang belum dikembangkan, alami, atau lahan pertanian, adalah sumber daya terbatas yang berharga, dan perkembangannya harus diminimalkan. Perencanaan yang efektif, secara esensi adalah untuk menciptakan bentuk-bentuk perkotaan yang efisien dan meminimalkan kota yang semrawut (urban sprawl), menurunkan ketergantungan pada penggunaan mobil pribadi sebagai alat transportasi, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, dan menurunkan tingkat polusi. Seperti sumber daya lain, lahan tetap mengalami proses daur ulang agar tetap terjaga produktivitasnya, sehingga diperlukan upaya konservasi lahan produktif, revitalisasi secara ekonomi dan sosial pada area yang terbengkalai (Kibert 2008). Energi dan Atmosfir Konservasi energi terbaik adalah melalui desain bangunan yang efektif serta terintegrasi dengan tiga pendekatan umum: 1) merancang selubung bangunan yang dapat meredam perpindahan panas secara konduksi, konveksi, dan radiasi; 2) menggunakan sumber daya energi terbarukan; 3) menerapkan desain pasif. Desain pasif memanfaatkan geometri, orientasi, dan massa bangunan serta kondisi struktur berorientasi pada potensi sumber daya alamiah dan kondisi klimatologi, seperti matahari, angin, topografi, iklim mikro, dan lanskaping (Kibert 2008). Isu Air Ketersediaan air bersih layak minum adalah faktor pembatas untuk pengembangan dan pembangunan di banyak daerah di dunia. Perubahan iklim dan pola cuaca yang tak menentu dipicu oleh pemanasan global mengancam ketersediaan sumber daya air bersih. Karena hanya sebagian kecil dari siklus hidrologi bumi menghasilkan air bersih layak minum, sehingga perlu perlindungan tanah dan air permukaan. Sekali air terkontaminasi, sangat sulit, untuk memperbaiki kerusakan. Teknik konservasi air meliputi penggunaan aliran rendah perlengkapan pipa, daur ulang air, pemanenan air hujan, dan xeriscaping, metode lanskap yang memanfaatkan tanaman yang tahan kekeringan. Pendekatan inovatif untuk pengolahan air limbah dan manajemen banjir dalam siklus hidrologi bangunan (Kibert 2008). 8 Ekosistem: Sumber Daya yang Terlupakan Pembangunan berkelanjutan mempertimbangkan peran dan potensi ekosistem secara sinergi. Integrasi ekosistem dengan lingkungan yang dibangun dapat memainkan peran penting dalam desain yang sadar sumber daya. Integrasi tersebut dapat bermanfaat dalam mengendalikan beban bangunan eksternal, pengolahan limbah, menyerap air hujan, menanam tanaman (pangan), menciptakan keindahan alam, dan kenyamanan lingkungan (Kibert 2008). Implementasi Desain Berkelanjutan Kesadaran akan kerusakan lingkungan akibat perubahan lingkungan alami menjadi lingkungan buatan yang tidak dilakukan secara bijaksana dengan mempertimbangkan faktor lingkungan dan ketersediaan sumber daya alam, menyebabkan muncul langkah-langkah maju yaitu gerakan-gerakan arsitektur berkelajutan yang mengarah kepada upaya meminimalkan perusakan lingkungan. Arsitektur Bioklimatik (Bioclimatic Architecture/Low Energy Architecture) Arsitektur yang berlandaskan pada pendekatan desain pasif dan minimum energi dengan memanfaatkan energi alam iklim setempat untuk menciptakan kondisi kenyamanan bagi penghuninya. Dicapai dengan organisasi morfologi bangunan dengan metode pasif antara lain konfigurasi bentuk massa bangunan dan perencanaan tapak, orientasi bangunan, desain façade, peralatan pembayangan, instrumen penerangan alam, warna selubung bangunan, lansekap horisontal dan vertikal, ventilasi alamiah. Tercatat para arsitek pelopor desain bioklimatik antara lain Ken Yeang, Norman Foster, Renzo Piano, Thomas Herzog, Donald Watson, Jeffry Cook (Priatman 2002). Arsitektur Hemat Energi (Energy-Efficient Architecture) Arsitektur penggunaan yang berlandaskan energi tanpa pada membatasi atau pemikiran merubah ―meminimalkan fungsi bangunan, kenyamanan maupun produktivitas penghuninya― dengan memanfaatkan sains dan teknologi mutakhir secara aktif. Mengoptimasikan sistem tata udara-tata cahaya, integrasi antara sistem tata udara buatan-alamiah, sistem tata cahaya buatan-alamiah serta sinergi antara metode pasif dan aktif dengan material dan instrumen hemat energi. Credo form follows function bergeser menjadi form 9 follows energy yang berdasarkan pada prinsip konservasi energi (non-renewable resources). Para pelopor arsitektur ini tercatat Norman Foster, Jean Nouvel, Ingenhoven Overdiek & partners (Priatman 2002). Arsitektur Surya (Solar Architecture) Arsitektur yang memanfaatkan energi surya baik secara langsung (radiasi cahaya dan termal), maupun secara tidak langsung (energi angin) kedalam bangunan. Dengan demikian, elemen-elemen ruang arsitektur (lantai, dinding, atap) secara integratif berfungsi sebagai sistem surya aktif ataupun sistem surya pasif. Diawali dengan arsitektur surya pasif yang memanfaatkan atap dan dinding sebagai kolektor panas dan dikembangkan dengan sistem surya aktif yang meng implementasikan keseluruhan sistem surya termosiphoning dan berintegrasi penuh dengan keseluruhan elemen arsitektur. Inovasi teknologi lanjutan dalam sel photovoltaik menghasilkan prototipe arsitektur baru yang spesifik. Perkembangan arsitektur surya di USA dipresentasikan dengan Skytherm System of Harold Hay, Steve Baer’s Zome House dan dilanjutkan di Eropa dengan Hysolar Institute Stutgart di Jerman, Achen power utilities dan Flachglas AG headquarter merupakan demonstrasi panel photovoltaik sebagai fasad bangunan tinggi. Arsitektur surya ini bertitik tolak dari prinsip diversifikasi energi yang mengeksplorasi sumberdaya yang dapat diperbarui (renewable energy) (Priatman 2002). Arsitektur Ekologis (Eco-Architecture) Ada berbagai cara yang dilakukan dari pendekatan ekologi pada perancangan arsitektur, tetapi pada umumnya mempunyai inti yang sama , antara lain: Yeang (2006), mendefinisikannya sebagai: Ecological design, is bioclimatic design, design with the climate of the locality, and low energy design. ―Desain ekologis, adalah desain bioklimatik, merancang bersama lokalitas iklim dan desain rendah energi.‖ Yeang, menekankan pada: integrasi kondisi ekologi setempat, iklim makro dan mikro, kondisi tapak, program bangunan, konsep design dan sistem yang tanggap pada iklim, penggunan energi yang rendah, diawali dengan upaya perancangan secara pasif dengan mempertimbangkan bentuk, konfigurasi, façade, orientasi bangunan, vegetasi, ventilasi alami, warna. Integrasi tersebut dapat tercapai dengan mulus dan ramah, melalui 3 tingkatan; 10 yaitu yang pertama integrasi fisik dengan karakter fisik ekologi setempat, meliputi keadaan tanah, topografi, air tanah, vegetasi, iklim dan sebagainya. Kedua, integrasi sistem-sistem dengan proses alam, meliputi: cara penggunaan air, pengolahan dan pembuangan limbah cair, sistem pembuangan dari bangunan dan pelepasan panas dari bangunan dan sebagainya. Ketiga adalah, integrasi penggunaan sumber daya yang mencakup penggunaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Desain ekologis menurut Van Der Ryn dan Cowan (1996) dalam Kibert (2008) desain yang terintegrasi dengan proses kehidupan, mengubah materi dan energi menggunakan proses yang kompatibel dan sinergis dengan alam dan yang dimodelkan pada sistem alam. Pendekatan ini dilakukan melalui menimalisir energi dan material (local aspect), meminimalisir polutan, preservasi habitat dan kesejahteraan masyarakat, kesehatan dan keindahan. Arsitektur Hijau (Green Architecture) Arsitektur hijau merupakan Arsitektur yang berwawasan lingkungan dan berlandaskan kepedulian tentang konservasi lingkungan global alami dengan penekanan pada efisiensi energi (energy-efficient), pola (sustainable) dan pendekatan holistik (holistic approach). berkelanjutan Bertitik tolak dari pemikiran desain ekologi yang menekankan pada saling ketergantungan (interdependencies) dan keterkaitan (inter connectedness) antara semua sistem (artifisial maupun natural) dengan lingkungan lokalnya dan biosfer. Credo form follows energy diperluas menjadi form follows environment yang berdasarkan pada prinsip recycle, reuse, reconfigure (Priatman 2002). Arsitektur hijau merupakan konsekuensi dari konsep arsitektur berkelanjutan. Arsitektur hijau meminimalkan penggunaan sumber daya alam oleh manusia untuk menjamin generasi mendatang dapat memanfaatkan bagi kehidupannya kelak. Arsitektur hijau menggarisbawahi perlunya meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh bangunan terhadap lingkungan, dimana manusia hidup. Prinsip-prinsip dasar perancangan berkelanjutan dapat di formulasikan dalam matriks berikut. 11 Tabel 1. Prinsip pendekatan desain berkelanjutan Parameter Desain Arsitektur Konfigurasi bangunan Prinsip Dasar Perancangan Arsitektur Bio Hemat Surya* Hijau* Ekologis** Lain-lain* klimatik* energi* Dipengaru Dipengaru Dipengaru Dipengaruhi Dipengaru Pengaruh hi iklim hi iklim hi lingkungan hi lingku lainnya matahari ngan & ekosistem Orientasi bangunan Krusial Krusial Sangat Krusial Krusial Krusial Relatif tidak penting Façade bangunan Responsif iklim Responsif iklim Responsif matahari Responsif lingkungan Responsif lingku ngan & ekosistem Pengaruh lainnya Sumber energi Natural Natural Pembang Natural+ Natural NonNonkit Pembangkit, renewable renewable renewable Renewable & Nonrenewable Krusial Krusial Krusial Krusial Krusial Pembang kit, Nonrenew able Sistem operasional Pasif-mix Aktif-mix Produktif Pasif+ Aktif+ mix+Produk tif Pasif Pasif-Aktif Tingkat kenyama nan Variabel Konsisten Konsisten Variabel Konsisten Variabel konsisten Konsisten Konsumsi energi Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi medium Sumber material Tidak penting Tidak penting Tidak penting Minimum dampak lingkungan OrganikNatural Tidak penting Material output Tidak penting Tidak penting Tidak penting ReuseSimbiosis Recyclelingku Reconfigure ngan Tidak penting Ekologi tapak Penting Penting Penting Krusial Tidak penting Energy cost Krusial Tidak penting Sumber : *Yeang (1999) dalam Priatman (2002) **Yeang (2006) dan Yeang (1995) dalam Kibert (2008) Strategi Konsep Desain Hijau Dalam menindaklanjuti sebuah rancangan arsitektur akan diperlukan strategi-strategi dalam implementasinya. Di dunia arsitektur sadar energi, strategi desain yang umum digunakan adalah strategi desain pasif yang akan 12 diadopsi untuk desain taman dan rumah tinggal hemat energi dalam penelitian ini dan atau strategi desain aktif. Strategi Desain Pasif (Passive Design Strategy). Karena kompleksitas sistem energi dalam merancang sebuah bangunan dengan konsep hijau, titik awal harus menjadi pertimbangan adalah strategi desain pasif. Desain pasif adalah desain bangunan dengan sistem pendinginan, pencahayaan dan ventilasi, mengandalkan sinar matahari, angin, vegetasi, dan sumber daya alami lain pada tapak (Kibert 2008). Desain pasif merupakan tindakan mengoptimumkan penggunaan energi alam (matahari dan angin) sebagai antisipasi terhadap permasalahan iklim tanpa adanya konversi energi dalam bentuk lain, misalnya energi matahari menjadi energi listrik. Pada sistem operasional bangunan dengan strategi desain pasif ini, tingkat konsumsi energi nya paling rendah, tanpa ataupun minimal penggunaan peralatan ME (mekanikal elektrikal) dari sumber daya yang tidak dapat diperbarui (non renewable resources). Perancangan pasif di wilayah tropis basah seperti Indonesia umumnya dilakukan untuk mengupayakan bagaimana pemanasan bangunan karena radiasi matahari dapat dicegah, tanpa harus mengorbankan kebutuhan penerangan alami. Sinar matahari yang terdiri atas cahaya dan panas hanya akan dimanfaatkan komponen cahayanya dan menepis panasnya. Desain pasif memiliki dua aspek utama: (1) penggunaan lokasi bangunan dan tapak untuk mengurangi profil energi bangunan dan (2) desain bangunan itu sendiri meliputi orientasi, aspek rasio, massa, lainnya. jalur ventilasi, dan tindakan Aplikasi strategi desain pasif memang cukup kompleks, karena tergantung pada banyak faktor sebagai pertimbangan dalam merancang, yaitu: letak lintang, ketinggian (topografi), penyinaran matahari, pola kelembaban, arah dan kekuatan angin tahunan, vegetasi, dan adanya bangunan lainnya. Desain pasif yang optimal akan dapat mengurangi biaya energi pendinginan, ventilasi dan pencahayaan (Kibert 2008). Beberapa faktor yang harus dimasukkan dalam pengembangan strategi desain pasif adalah: 1 Iklim lokal : Sudut matahari dan insulasi matahari, kecepatan dan arah angin, temperatur udara, dan kelembaban sepanjang tahun. 13 2 Kondisi tapak : Medan, vegetasi, kondisi tanah, muka air, iklim mikro, hubungan antara bangunan lain 3 Aspek rasio : Rasio panjang lebar bangunan : Sumbu orientasi timur-barat, tata ruang, kaca bangunan 4 Orientasi bangunan 5 Massa bangunan : Skema bukaan, warna 6 Masa pakai : Jadwal hunian dan profil pengguna : Jendela, perangkat pencahayaan (skylight, jalusi) : Geometri, isolasi, jendela, pintu, aliran udara, bangunan 7 Strategi pencahayaan 8 Selubung bangunan ventilasi, tritisan, massa termal, warna 9 Beban Internal : Pencahayaan, peralatan rumah tangga, penghuni 10 Strategi ventilasi : Ventilasi silang, potensi efek cerobong Secara umum, strategi desain pasif dapat diterapkan untuk berbagai tipe bangunan. Kesuksesan strategi desain pasif sangat tergantung pada berbagai faktor yang tersebut diatas serta proses aplikasinya yang disesuaikan dengan karakteristik iklim masing-masing tapak atau daerah. Misalnya, menggunakan massa termal sebagai strategi desain pasif, pilihan yang sangat baik di padang pasir di meksiko, dengan sinar matahari berlimpah dan interval suhu harian yang lebar. Strategi desain pasif akan berbeda penerapannya untuk iklim lembab dengan interval suhu harian yang sempit, seperti yang akan ditemukan di tampa, florida (Kibert 2008). Strategi Desain Aktif (Active Strategy Design). Dalam rancangan aktif, pada umumnya sistem operasional dalam bangunan menggunakan peralatan Mekanikal dan Elektikal yang bersumber dari energi yang tidak dapat diperbarui (energy dependent). Disisi lain terdapat juga rancangan yang mengarah pada sistem yang lebih produktif yaitu sistem yang dapat mengadakan/ membangkitkan energi nya sendiri (on-site energy) dari sumber daya yang dapat 14 diperbarui (renewable resources) seperti energi matahari, angin maupun biomassa dikonversi menjadi energi baru yang dapat digunakan oleh manusia. Dalam konversi energi ini dibutuhkan teknologi yang saat ini masih sangat mahal nilai investasinya dan tentunya masyarakat golongan menengah belum mungkin menjangkaunya. Teknologi aktif yang sering digunakan dalam desain aktif ini antara lain yang dipaparkan oleh Kibert (2008), yaitu: 1. Sel surya (photovoltaics), yang mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik. 2. Turbin angin (wind turbine), yang mengkonversi energi angin menjadi energi listrik. 3. Biomassa (biomass). Konversi bahan atau material biologis dari pengolahan vegetasi tertentu menjadi bahan bakar pengganti bahan bakar fosil. Dalam perancangan secara aktif, secara simultan arsitek juga harus menerapkan strategi perancangan secara pasif. Tanpa penerapan strategi perancangan pasif, penggunaan energi dalam bangunan akan tetap tinggi apabila tingkat kenyamanan termal dan visual harus dicapai. Strategi perancangan aktif dalam bangunan dengan sel solar masih sangat jarang dijumpai di Indonesia saat ini. Penggunaan sel solar masih terbatas pada kebutuhan terbatas bagi bangunan tinggi atau bagi penerangan di desa-desa terpencil Indonesia. Konteks Lingkungan Desain Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi Konsep desain hijau sangat terkait dengan konteks lingkungan. Dalam perspektif yang lebih luas, lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan global alami yang meliputi unsur bumi, udara, air, dan energi yang perlu dilestarikan (Priatman 2002). Lingkungan global tersebut berasal dari Istilah sains lingkungan ―Gaia‖ yang pertama kali dikemukakan oleh James Lovelock pada tahun 1979 (Mintorogo 1999), dengan mengambil nama Dewi Bumi pada masa Yunani Kuno untuk mengungkapkan sebuah pengertian bahwa semua kehidupan di bumi memiliki hubungan simbiotik dengan sistem planet. Keseimbangan antara kehidupan organisme dan sistem planet adalah sangat erat dan teratur. Lima elemen Gaia adalah : api (fire), bumi (earth), udara (air), air (water), dan ether (aether). Konteks lingkungan Gaia ini diharapkan dapat dikembangkan kedalam rancangan lanskaping dan bangunan sebagai berikut: 15 Api ( fire ), adalah simbol efektif kultur bagi seluruh pelosok dunia. Tetapi bagi kaum Kristiani sebagai “Holy Spirit”; sedangkan untuk filosofi Hindu sebagai ―Kundalini‖—pelayan api yang membangkitkan energi seksual dari pusat tubuh manusia menjadi energi spiritual. Secara umum mengandung arti: hangat dan nyaman untuk kehidupan; sedangkan pandangan hidup fundamental api oleh manusia yaitu : Matahari dan energi surya (Mintorogo 1999). Matahari dalam kajian ini, diterjemahkan sebagai energi bagian dari iklim berupa cahaya dan sinar matahari. Cahaya matahari adalah terang yang dihasilkan dari terang langit. Sinar matahari adalah terang yang dihasilkan dari radiasi matahari secara langsung. Dalam upaya efisiensi dan konservasi energi, cahaya dan sinar matahari tersebut dijadikan sebagai potensi untuk mendapatkan penerangan alami dalam bangunan. Kasus tropis basah Indonesia, dalam perencanaan dan perancangan bangunan, diusahakan untuk memasukkan cahaya matahari semaksimal mungkin, namun sinar matahari perlu diminimalisir agar suhu ruang tidak bertambah tinggi sehingga mempengaruhi kenyamanan. Bumi (earth/rock), adalah lapisan-lapisan tanah yang berasal dari pecahan batu-batuan yang secara bergantian terkena perbedaan ekstrim temperatur panas dan dingin dan masuknya air dalam celah-celah batu sehingga akhirnya terfragmentasi menjadi batuan kecil. Manusia memanfaatkan tanah /batu ―rock‖ untuk ―sheltering‖, dan menghancurkan/membahayakan bumi/batuan untuk menyimpan bahan-bahan “toxic” (Mintorogo 1999). Secara umum pada masa kini terutama di perkotaan modern, rumah tinggal di Indonesia adalah berbasis lahan (menapak tanah). Tanah merupakan bagian yang mendukung bangunan di atasnya maupun aktifitas manusia dan sebagai media pertumbuhan vegetasi yang akan dapat mendukung konsep hijau dalam rancangan arsitektur dalam kajian ini. Udara (air), sebenarnya dahulu bumi tidak dilapisi atmosfer melainkan oleh gas Sulfur dan Metan. Oksigen awal terbentuk dikarenakan oleh sinar ultraviolet mengubah molekul air (H2O) menjadi H dan O2, kemudian tambahan oksigen lain dihasilkan sebagai akibat proses pernafasan dari fauna dan flora dari proses total fotosintesis. Tingkat saling ketergantungan terjadi dimana makluk hidup menghirup O2 dan mengeluarkan CO2, sedangkan tumbuhtumbuhan mengeluarkan O2 dan menghirup CO2. Destruktif udara adalah: Polusi Udara; yaitu: polusi udara alamiah (asap kebakaran hutan, dll), polusi udara 16 buatan manusia (industrialisasi, transportasi dll), polusi udara dalam (macammacam sumber polusi dari material bangunan interior) (Mintorogo 1999). Kondisi angin di tropis basah Indonesia terpengaruh oleh angin muson. Angin musim barat daya (Muson Barat) dan Angin musim timur laut (Muson Tumur). Angin muson barat bertiup sekitar bulan Oktober hingga April yang basah sehingga membawa musim hujan/penghujan. Angin muson timur bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober yang sifatnya kering yang mengakibatkan wilayah Indonesia mengalami musim kering/kemarau (Frick dan Mulyani 2006). Dominasi arah angin berasal dari Timur Laut - Tenggara. Kecepatan angin rata-rata per tahun adalah 2 km/jam (BMKG 2011). Kecepatan angin tersebut masuk dalam kategori berangin dan berpengaruh terhadap ketidaknyamanan, namun pada suhu ± 30 ºC kecepatan angin tersebut berpengaruh positif terhadap efek penyegaran (cooling) dan mengencerkan konsentrasi polutan. Air (water), butir-butir air jatuh ke bumi akan diteruskan ke lapisan yang terdalam sampai pada lapisan air bawah tanah yang akan sejajar dengan ketinggian permukaan air laut. Air diseluruh dunia menempati 97% dan sebagian adalah air laut yang menutupi 1/3 luasan permukaan bumi, dan sisanya 3% yang terdiri dari 2.96% berupa ―ice caps dan glacier‖; dan hanya 0.06 % dari seluruh air di seluruh dunia berfungsi sebagai air bersih yang berguna. (Myers 1985 dalam Mintorogo 1999). Secara umum elemen air dalam kajian ini terkait dengan sanitasi air, baik air bersih maupun air kotor. Penyediaan air bersih untuk pemukiman menjadi masalah karena sumbernya semakin terbatas. Potensi air bersih di Indonesia lain adalah air hujan terkait dengan curah hujan yang relatif tinggi. Jenis air lainnya adalah air buangan berupa greywater dan blackwater. Potensi air buangan ini dalam konsep hijau dapat digunakan dan dikelola dengan bijak minimal menggunakan konsep reduce, reuse dan kemudian recycle. Ether (aether), adalah radiasi dan energi dari laut dimana dihasilkan untuk mendukung kebutuhan kehidupan, kesehatan, atau kematian bagi seluruh organik di dunia; menahan gaya-gaya (geoenergetic, electromagnetic, eletrostatic dan gravitasil) yang ditujukan pada kita dari bumi, matahari dan planet lain. Bidang medan magnet bumi ―geomagnetic‖ (GMF) di ujung Utara dan Selatan, dan berubah secara teratur akibat dipengaruhi oleh efek Solar Radiasi. Matahari melepaskan “cosmic rays” yang membentuk Solar Wind— 17 gelombang-gelombang radiasi yang menghantam bumi, yang terdiri dari partikelpartikel yang bermuatan (+) & (-), yang akan terpencar ke ujung-ujung bumi begitu bertemu dengan bidang magnet bumi. Bagi bangunan-bangunan gedung yang berdekatan atau terlintasi ―geomagnetic field (GMF) anomalies‖ dapat mempengaruhi keseimbangan kesehatan manusia (energi tubuh), karena bumi melepaskan ―ELF‖—Extremely Low Frequency komponen (GMF) secara konstan. Sedangkan ―underground water‖ dan batuan (rock) akan melepaskan racun ― Radon ‖ dalam jumlah banyak dimana dapat menyebabkan kesehatan manusia terganggu secara serius (gangguan geo-biologis) (Mintorogo 1999). Komponen Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi Secara fenomenologis sebuah unit rumah tinggal pada umumnya terbentuk oleh beberapa komponen utama, yaitu: tapak sebagai lahan dengan luasan tertentu untuk area mendirikan bangunan, bangunan rumah tinggal itu sendiri dan sisanya adalah lahan terbuka yang sering diistilahkan sebagai taman atau pekarangan rumah tinggal. Pekarangan rumah tinggal sendiri merupakan bagian dari RTH kota privat. Komponen Tapak Tapak, sebagai lahan atau area untuk membangun ruang binaan atau rumah terkait dengan peruntukan lahan (land use), kesesuaian lahan (land suitability) dan kemampuan lahan (land capability). Hal tersebut terkait dengan peraturan pemerintah mengenai tata guna lahan dan wujud upaya desain ramah lingkungan. Peraturan tata guna lahan mengatur keharmonisan pemanfaatan lahan untuk menciptakan rasio lahan terbangun dan tidak terbangun (intensitas tutupan lahan) yang ideal. Dalam penentuan batasan objek penelitian, peneliti melakukannya didasari atas referensi yang ada dalam hal ini aturan perundangan. Menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat (PERMENPERA) Nomor: 11/ PERMEN/ M/ 2008 tentang Pedoman Keserasian Kawasan Perumahan dan Permukiman pada Pasal 10 huruf b, memberikan klasifikasi lingkungan perumahan dan permukiman berdasarkan intensitas lahan tutupan, khususnya disesuaikan dengan kajian ini, dibedakan atas: a. rumah taman, dengan KDB lebih kecil dari 30%; b. rumah renggang, dengan KDB 30% sampai dengan 50%; c. rumah deret, dengan KDB 50% sampai dengan 70%; 18 Dari sisi penentuan luas lahan berikut luas ruang terbangun, diatur dalam SNI 03-1733-2004: Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan Di Perkotaan pada subbab Hunian Tidak Bertingkat (BSN 2004). Untuk menentukan luas minimum rata-rata perpetakan tanah didasarkan pada faktorfaktor kehidupan manusia (kegiatan), faktor alam dan peraturan bangunan. Luas lantai minimum perorang dapat diperhitungkan dengan rumusan berikut: Luas per orang = U Tp ....................................................................................(1) Keterangan: Luas per orang = Luas lantai hunian per orang U = Kebutuhan udara segar/ orang/ jam dalam satuan m 3 Tp = Tinggi plafon minimal dalam satuan m Berdasarkan fungsi ruang dan aktivitas yang terjadi di dalam rumah hunian, yaitu: tidur (ruang tidur), masak (dapur), mandi (KM/WC), duduk (ruang duduk atau ruang tamu), kebutuhan udara segar per orang dewasa per jam 1624 m3 dan anak-anak per jam 8-12 m3, dengan pergantian udara dalam ruang sebanyak-banyaknya 2 kali per jam dan tinggi plafon rata-rata 2,5 m, maka luas lantai perorang dapat dihitung melalui perhitungan dibawah ini: Luas perorang dewasa = U dws Luas perorang anak-anak = Tp = U ank Tp 24 m3 2,5 m = = 9,6 m2 12 m3 2,5 m = 4,8 m2 Keterangan: Udws = Kebutuhan udara segar/orang dewasa/jam dalam satuan m 3 Uank = Kebutuhan udara segar/orang anak-anak/jam dalam satuan m 3 Tp = Tinggi plafon minimal dalam satuan m Jadi bila 1 kk terkecil rata-rata terdiri dari 4 orang (ayah + ibu + 2 anak) maka kebutuhan luas lantai minimum dihitung sebagai berikut: 19 = (2 x 9,6) + (2x4,8) m2 = 28,8 m2 Luas lantai utama Luas lantai pelayanan (servis) = 50 % x 28,8 m2 = 14,4 m2 Total Luas Lantai + 2 = 43,2 m Jika koefisien dasar bangunan 40% (kategori rumah renggang), maka luas kapling minimum untuk keluarga dengan anggota 4 orang adalah: L Kav Min = 100 KDB L Kav Min (1 kel= 4 orang) = x L Lantai Min 100 40 ............................................................(2) x 43,2 m2 = 108 m2 Keterangan: L Kav Min = Luas Kavling Minimum KDB = Koefisien Dasar Bangunan L Lantai Min = Luas Lantai Minimum Dari perhitungan diatas yang menghasilkan luas bangunan berikut luas lahan minimum adalah 43,2 m 2/108 m2. Luasan bangunan tersebut kurang umum digunakan oleh pasaran perumahan modern pada umumnya, sehingga diputuskan membulatkan dan meningkatkan besaran angka tersebut menjadi rumah tinggal dengan luasan bangunan berikut lahannya 45 m 2/120 m2 Letak atau posisi tapak berpengaruh terhadap penghematan energi. Hal ini diwakili oleh orientasi tapak. Orientasi adalah suatu posisi relatif suatu bentuk terhadap bidang dasar, arah mata angin, atau terhadap pandangan seseorang yang melihatnya. Orientasi terkait dengan garis edar matahari yang merupakan suatu bagian yang elemen penerangan alami. Pada daerah beriklim tropis penyinaran dalam jumlah yang berlebihan akan menimbulkan suatu masalah, sehingga diusahakan adanya elemen-elemen yang dapat mengurangi efek terik matahari yaitu pergerakan angin. Orientasi juga terkait pada potensi-potensi terdekat, merupakan suatu orientasi yang lebih bernilai pada sesuatu, bangunan dapat mengarah pada suatu tempat atau bangunan tertentu atau cukup dengan suatu nilai orientasi positif yang cukup membuat hubungan filosofisnya saja. 20 Orientasi terkait juga pada arah pandang tertentu, yang biasanya mengarah pada potensi-potensi yang relatif jauh, misalnya arah laut, atau pemandangan alam. Akibat dari adanya pengaruh orientasi terhadap sesuatu, menyebabkan bangunan harus dapat mengantisipasi hal-hal negatif yang berkaitan dengan masalah fisika bangunan antara lain masalah termal, tampias air hujan, silau dan lain sebagainya (Yuuwono 2007). Tanah saat ini masih merupakan landasan kita membangun yang mendukung bangunan di atasnya maupun aktifitas manusia. Jenis tanah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, diantaranya daya resapnya terhadap air, kepekaan erosi dan daya dukung. Struktur tanah berfungsi memodifikasi pengaruh tekstur tanah terhadap kondisi drainase atau aerasi tanah, karena susunan antar ped atau agregat tanah akan menghasilkan ruang yang lebih besar ketimbang susunan antar partikel primer. Oleh karena itu tanah yang berstruktur baik akan mempunyai kondisi drainase dan aerasi yang baik pula, sehingga lebih memudahkan sistem perakaran tanaman untuk berpenetrasi dan mengabsorbsi (menyerap) hara dan air, sehingga pertumbuhan dan produksi menjadi lebih baik. Hal ini berkorelasi positif dengan tingkat kesuburan tanah yang sesuai untuk penerapan desain hijau (Hanafiah 2010). Tapak memiliki masing-masing karakter yang tampak pada topografinya. Kemiringan lereng adalah sudut yang dibentuk oleh perbedaan tinggi permukaan lahan, yaitu antara bidang datar tanah dengan bidang horisontal dan pada umumnya dihitung dalam persen (%) atau derajat (º). Klasifikasi kemiringan lereng menurut SK Mentan No. 837/KPTS /Um/11/1980, seperti tertera pada Tabel 2 dibawah ini. Tabel 2. Kelerengan lahan No. Kemiringan lahan Deskripsi 1 0–8% Datar 2 8-15 % Landai 3 15-25 % Agak curam 4 25-45 % Curam 5 >45 % Sangat curam Sumber : SK Mentan No. 837/KPTS /Um/11/1980 21 Kemiringan lahan yang melebihi 15%, terbuka terhadap iklim yang keras, bahaya gempa bumi, bahaya tanah longsor, tanah yang tidak stabil, daerah berlumpur/rawa serta berbatasan dengan jalan yang hiruk pikuk, yang diantaranya dapat diatasi dengan perlakuan khusus dan diluar itu harus dihindari. Pembangunan perumahan ataupun sarana lainnya pada lahan yang miring relatif lebih sulit daripada perumahan yang terletak pada lahan yang datar. Pembangunan perumahan atau bangunan lainnya pada lahan dengan kemiringan lebih dari 10%, memerlukan desain bangunan yang lebih khusus dengan bentuk teras (sengkedan/bersusun) ataupun berbentuk split-level, yang berimplikasi pada bertambahnya energi dan biaya konstruksi. Manusia dimanapun berada akan menghasilkan sampah atau limbah. Tapak dapat dilibatkan dalam sistem pengolahan sampah maupun limbah dengan batas toleransi tertentu. Untuk pembuangan sampah dapat diterapkan konsep reduce, reuse, recycle, antara lain: 1) Efisiensi buangan dan pemisahan sampah organik dan anorganik; 2) Sampah anorganik dapat digunakan kembali (reuse); 3) Sampah organik diolah menjadi pupuk (recycling), dan 4) Menggunakan teknologi lubang resapan biopori. Limbah air sabun dapat disalurkan lewat selokan terbuka, limbah air tinja dapat menggunakan teknologi septicktank vietnam (Frick dan Mulyani 2006). Terdapat sumberdaya air hujan yang dapat dikelola untuk kebutuhan manusia dan lingkungan yaitu dengan cara menampung (rainwater harvesting) dan dikembalikan lagi ke tanah sebagai cadangan air tanah (groundwater recharge) melalui teknologi sumur resapan. Negara kita merupakan wilayah dengan potensi bencana alam yang cukup tinggi. Bencana alam dapat didefinisikan sebagai perubahan kondisi alam yang mengakibatkan bahaya bagi manusia maupun mahluk hidup lainnya. Untuk dapat mengantisipasinya, melalui tindakan pencegahan yang berawal dari pemilihan tapak dan pengolahan tapak yang bijak, agar terhindar dari bencana alam seperti angin puyuh, gempa bumi, erosi dan banjir. Bencana atau gangguan tidak hanya datang dari faktor alam, dapat juga berasal dari flora dan fauna disekitar kita (gangguan biologis). Gangguan dari hewan, hama yang membahayakan konstruksi gedung dapat diantisipasi menggunakan bahan bangunan yang tahan terhadap rayap atau dilakukan pengawetan khusus. Jamur (dry rot) dapat diakibatkan oleh kesalahan konstruksi, bahan bangunan yang terkena spora jamur harus dimusnahkan. Faktor vegetasi, tanaman maupun tumbuhan disekitar bangunan yang tidak tertata dan terkelola dengan 22 baik akan dapat membahayakan kesehatan, keamanan dan pemborosan energi (Frick dan Mulyani 2006). Komponen Taman Komponen penyusun taman dikelompokkan menjadi dua, yaitu material lunak (soft material) dan material keras (hard material). Material lunak umumnya bersifat lunak atau merupakan benda hidup, contohnya tanaman dan elemen air. Material keras yaitu elemen penyusun taman yang bersifat keras, pada umumnya merupakan benda mati, seperti contohnya perkerasan, pagar dan tembok pembatas (wall and fences). Material Lunak (Soft Material) Tanaman. Tanaman merupakan elemen utama lanskap, tidak ada lanskap tanpa elemen tanaman, bahkan di rock garden sekalipun. Tanaman merupakan sumber keindahan, kenyamanan dan memberi daya dukung terhadap kehidupan, namun demikian penataan tanaman dalam lanskap diperlukan untuk mengoptimalkan manfaat tanaman dalam menciptakan lanskap hemat energi. Tanaman lanskap sendiri, didefinisikan sebagai tanaman yang dibudidayakan untuk penataan lanskap. Tanaman ini mencakup tumbuhan alami yang sudah terdapat di dalam tapak (site). Kaitan antara tanaman dan penghematan energi, dimulai dari proses metabolisme atau fisiologis tanaman memiliki efek terhadap penurunan suhu udara lingkungan sekitarnya. Menurut Fandeli (2004) dalam Tauhid (2008), proses ekofisiologi yang menyebabkan terbentuknya iklim mikro yang nyaman adalah proses transpirasi dan evaporasi. Zoer’aini (2005) dalam Tauhid (2008) menyatakan bahwa evaporasi merupakan pertukaran antara panas laten dan panas yang terasa (sensibel). Udara sekitar akan kehilangan panas karena terjadinya evaporasi yang menyebabkan suhu di sekitar tanaman menjadi lebih sejuk. Proses evaporasi (proses fisis perubahan cairan menjadi uap) dari permukaan tanaman disebut transpirasi. Lakitan (1997) dalam Tauhid (2008) menjelaskan, bahwa penyerapan energi radiasi matahari oleh sistem tajuk tanaman akan memacu tumbuhan untuk meningkatkan laju transpirasinya (terutama untuk menjaga stabilitas suhu tumbuhan). Transpirasi akan menggunakan sebagian besar air yang berhasil diserap tumbuhan dari tanah. 23 Setiap gram air yang diuapkan akan menggunakan energi sebesar 580 kalori. Karena besarnya energi yang digunakan untuk menguapkan air pada proses transpirasi ini, maka hanya sedikit panas yang tersisa yang akan dipancarkan ke udara sekitarnya. Hal ini yang menyebabkan suhu udara di sekitar tanaman tidak meningkat secara drastis pada siang hari. Pada kondisi kecukupan air, kehadiran pohon diperkirakan dapat menurunkan suhu udara di bawahnya kirakira 3,5 oC pada siang hari yang terik. Aliran air dari akar ke daun, dan selanjutnya dilepaskan ke atmosfer melalui proses transpirasi. Aliran air ke daun secara terus menerus merupakan respon vegetasi terhadap pancaran panas radiasi matahari. Mekanisme ini memungkinkan tumbuhan bertahan hidup di bawah terik matahari. Proses transpirasi adalah rangkaian metabolisme fisiologis, sehingga daun tumbuhan dapat tetap segar dan berfotosintesis. Apabila air tanah tersedia dalam jumlah cukup, transpirasi akan terus berlangsung. Laju transpirasi akan terus meningkat seiring peningkatan intensitas cahaya matahari. Uap air yang dilepaskan vegetasi melalui transpirasi berperan dalam mendinginkan udara sekitanya. Proses transpirasi berjalan secara simultan dengan proses fotosintesis sebagai mekanisme lain pendinginan suhu udara. Proses fisiologis yang ikut berperan menciptakan iklim mikro (menurunkan suhu udara) dan berjalan secara silmultan dengan transpirasi adalah proses fotosintesis. Reaksi fotosintesis dituliskan oleh Salisbury dan Ross (1995) dalam Tauhid (2008) sebagai berikut: nCO2 + nH2O + cahaya ⎯> (CH2O)n + nO2 .................................................(3) Pada penelitian selanjutnya, ditemukan bahwa O 2 yang dilepaskan oleh tumbuhan berasal dari air, bukan dari CO 2. Menurut Stemler dan Richard (1975) dalam Tauhid (2008), oleh karena itu persamaan di atas lebih lengkapnya dituliskan sebagai berikut: nCO2 + 2nH2O + cahaya ⎯>(CH2O)n + nO2 + nH2O ...................................(4) Reaksi fotosintesis sebenarnya terdiri dari dua tahapan reaksi, yaitu reaksi terang (Reaksi Hill) dan reaksi gelap (Calvin Cycle). Kedua reaksi 24 tersebut terjadi di dalam kloroplas (butir klorofil). Reaksi terang merupakan langkah-langkah fotosintesis yang mengubah energi matahari menjadi energi kimia. Reaksi terang terjadi di dalam granum. Granum dalam kloroplas (butir klorofil) berperan sebagai absorban radiasi matahari. Granum menyerap radiasi matahari pada spektrum tertentu. Proses ini disebut reaksi terang karena terjadi di bawah pengaruh cahaya matahari. Reaksi ini menggunakan radiasi matahari sebagai energi untuk mereduksi NADP+ menjadi NADPH dengan cara menambahkan sepasang elektron bersama dengan nukleus hidrogen (H+). Air (H2O) terurai dalam proses ini, dan terjadi pelepasan O 2 ke atmosfer sebagai produk samping. Di samping itu, reaksi ini juga menghasilkan ATP yang diperoleh dengan cara penambahan gugus fosfat pada ADP. Proses ini disebut fotoposporilasi (Campbell et al (2002) dalam Tauhid (2008)). Absorbsi CO2 terjadi pada reaksi berikutnya yang disebut reaksi gelap (Calvin Cycle) yang terjadi di dalam stroma. Siklus Calvin (Campbell et al (2002) dalam Tauhid (2008)) berawal dengan absorbsi/pemasukan CO 2 dari udara ke dalam molekul organik (fiksasi Carbon) yang telah disiapkan dalam kloroplas. Kemudian terjadi reduksi karbon menjadi karbohidrat melalui penambahan elektron. Tenaga pereduksi diperoleh dari NADPH dan ATP. Elemen Air. Air merupakan salah satu elemen lanskap alami yang sangat penting keberadaannya bagi kehidupan makhluk di bumi. Badan air awalnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, seiring waktu air berkembang peranannya, khususnya dalam sebuah taman dan irigasi. merupakan potensi lanskap yang besar. Water features Air merupakan daya tarik utama bagi masyarakat. Tepian air juga salah satu objek yang menarik, kolam, air mancur dan air terjun kecil merupakan elemen alami yang sering digunakan dalam perencanaan maupun perancangan tapak. Air adalah simbol, kehadirannya bagaikan oase di padang pasir, suara, pergerakan dan efek yang mendinginkan, menyegarkan dan menstimulasi pertumbuhan hijau, dan membuat kesan taman menjadi lebih alami. Pengertian RTH Kota menurut Laurie (1986) tidak hanya didominasi oleh unsur-unsur alam yang terdiri dari kumpulan vegetasi tapi juga permukaan air (danau dan sungai). Pengaruh keberadaan badan air sebagai bagian dari RTH kota memiliki potensi dan peran dalam menurunkan suhu diperkotaan. Snyder dan Catanese (1989) dalam Fatimah (2004) menyatakan bahwa permukaan air mempunyai sifat menyerap panas, menyimpan lalu memancarkannya kembali ke 25 atmosfer setelah berselang satu periode waktu tertentu. Proses ini telah membawa dampak positif dalam mengatasi perbedaan suhu harian dan musiman pada tapak-tapak yang bersebelahan. Adanya potensi badan air telah banyak dirasakan sebagaimana dinyatakan oleh Robinette (1983) bahwa badan air dapat mempengaruhi pembentukan iklim mikro tapak dan sekitarnya, karena badan air menyerap sebagian besar panas yang diterimanya, kemudian menyimpannya untuk periode waktu tertentu dan memantulkan kembali sebagian kecil dari radiasi yang sama melalui permukaan airnya. Badan air sangat lambat menjadi panas dan sangat lambat menjadi dingin kembali, sehingga dapat mereduksi perbedaan suhu yang ekstrim dengan lingkungannya. Material Keras (Hard Material) Perkerasan. Dalam kehidupan sehari-hari, perkerasan identik dengan pembuatan lapisan permukaan baru yang menutupi lapisan tanah asli dengan menggunakan material penutup seperti paving block untuk mendukung fungsi lalu lintas kendaraan maupun pejalan kaki di atasnya. Downing (1979) menyatakan bahwa perkerasan dibuat untuk menciptakan suatu permukaan baru yang stabil dan mampu memberikan kekuatan pada permukaan tanah dibawahnya. Perkerasan biasanya dibuat pada tempat-tempat yang mempunyai intensitas kegiatan tinggi dan berlangsung secara terus-menerus. Hill (1995) menyebutkan bahwa salah satu manfaat dibuatnya perkerasan adalah untuk menghadirkan suatu permukaan yang aman untuk dilewati serta relatif mudah pemeliharaannya dibandingkan permukaan tanah terbuka yang lebih rentan terpengaruh oleh faktor alam seperti hujan dan angin. Grassblock merupakan salah satu perkerasan yang memiliki porositas terbaik (Prasodyo dan Nurisjah 1998). Grassblock memiliki ruang untuk pertumbuhan akar rumput dan memiliki kapasitas yang cukup untuk menyerap aliran air permukaan. Meskipun demikian permukaan yang tercipta tetap mampu menanggung beban lalu lintas berat. Pemakaian grasspave atau grassblock banyak dijumpai di tempat-tempat sekitar kita seperti taman di depan rumah maupun taman lingkungan karena merupakan material alternatif yang cocok untuk digunakan pada daerah beriklim dingin, sedang, maupun panas-lembab (tropis) (Mariana 2008). Pagar dan Tembok Pembatas (Wall and Fences). Pagar dan tembok pembatas merupakan bagian dari struktur tapak (site structure) pada ruang 26 taman. Menurut Frick dan Mulyani (2006), desain pagar dan dinding pembatas untuk mengoptimalkan fungsi keamanan, estetis dan hemat energi dapat diupayakan melalui upaya-upaya berikut ini: 1. Memundurkan pagar, membuat lekukan, ketinggian pagar bertingkat 2. Membuat tekstur, warna, atau bahan (termasuk material lanskap) 3. Menyediakan teralis horisontal atau fitur lainnya yang berorientasi pada pejalan kaki sebagai aksen menambah daya tarik visual. 4. Membatasi ketinggian dinding hingga 1.70 m atau pagar hingga 1.20 m. 5. Menggunakan pagar non-padat yang memungkinkan padangan ke halaman. 6. Aplikasi pagar hijau (Werdiningsih 2007) Komponen Rumah Tinggal Rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga (UU RI No. 4 Tahun 1992). Unsur fisik pembentuk ruang bangunan rumah secara umum dibentuk oleh tiga pembentuk elemen ruangan yaitu : 1. Bidang Alas/Lantai (base plane). Oleh karena lantai merupakan pendukung segala aktifitas kita di dalam ruangan. 2. Bidang Dinding/pembatas (vertical space divider). Sebagai unsur perancangan bidang dinding dapat menyatu dengan bidang lantai atau sebagai bidang yang terpisah. Dinding juga merupakan pelindung terhadap pengaruh iklim. Aspek yang perlu diperhatikan adalah bahan bangunan yang digunakan sebagai material dinding. Material higroskopis (misalnya batu merah) terkadang dapat mengikat banyak air. Satu m2 dinding batu merah yang diplester kedua sisinya mengikat rata-rata 66 liter air. Jumlah air yang digunakan untuk membangun sebuah rumah misal tipe 36 m 2 ialah ± 28.000 liter yang harus menguap dan kering sehingga sehat untuk dihuni. Waktu penguapan air tersebut tergantung pada cara membangun, iklim, ventilasi, dan kelembapan udara setempat. Diperkirakan dibutuhkan waktu selama 4 bulan. Kelebihan kelembaban apapun dalam iklim tropis basah, akan menumbuhkan cendawan kelabu (aspergillus) yang mempengaruhi kesehatan penghuni karena dapat berdampak pada terjadinya Sick Building Syndrome (SBS). 3. Bidang atap/langit-langi (overhead plane). Bidang atap adalah unsur pelindung utama dari suatu bangunan dan pelindung terhadap pengaruh 27 iklim. Atap sebaiknya berbentuk pelana sederhana (tanpa jurai luar dan dalam) sehingga mudah dibuat rapat air hujan dengan atap sengkuap yang luas. Atap yang paling bagus menahan panas adalah atap dengan ruang atap yang penghawaannya berfungsi baik, atau atap bertanaman yang dapat meresapkan air hujan maupun mengatur iklim ruang dalam (Gambar 2). Atap rumah tinggal di Indonesia pada umumnya di lengkapi oleh tritisan sebagai pelengkap fungsi perisai sinar dan cahaya matahari juga hujan (Mangunwijaya 2000). Gambar 3. Desain atap rumah Susunan ruang-ruang tersebut akan membentuk sebuah bentukan dan konfigurasi ruang yang berujung pada terciptanya sebuah proporsi ruang yang terdiri dari rasio antara panjang dan lebar maupun tinggi bangunan. Membangun sebuah bangunan tentu memerlukan material atau bahan bangunan. Perkembangan pembangunan dewasa ini ditandai dengan peningkatan macam-macam bahan bangunan dan munculnya bahan bangunan baru. Maraknya penemuan bahan bangunan baru juga ditandai dengan kesadaran terhadap ekologi lingkungan dan fisika bangunan. Bahan bangunan alam yang tradisional (biomaterial) seperti batu alam, kayu, bambu, tanah liat, dan sebagainya tidak mengandung zat kimia yang mengganggu kesehatan. Lain halnya dengan bahan bangunan modern seperti tegel keramik, pipa plastik, catcat yang beraneka macam warnanya, perekat, dan sebagainya. Karena klasifikasi bahan bangunan tradisional kurang memperhatikan tingkat teknologi dan keadaan entropinya, serta pengaruhnya atas ekologi dan kesehatan manusia, maka lebih baik bahan bangunan digolongkan menurut penggunaan bahan mentah dan tingkat transformasinya pada Tabel 3 dibawah ini. 28 Tabel 3. Klasifikasi bahan bangunan ekologis Klasifikasi bahan secara ekologis Contoh bahan Bahan bangunan yang dapat dibudidayakan kembali Kayu, bambu, rotan, rumbia, serabut kelapa, ijuk, kulit kayu, kapas, kapok, wol Bahan bangunan alam yang dapat digunakan kembali Tanah, tanah liat, lempung, tras, kapur, batu kali, batu alam Bahan bangunan buatan yang dapat didaur ulang Limbah, potongan, sampah, ampas, bahan bungkusan (kaleng, botol), mobil bekas Bahan bangunan yang mengalami perubahan transformasi sederhana Batu merah, conblock, batako, genting, bis beton, semen, beton tanpa tulangan Bahan bangunan yang mengalami beberapa tingkat perubahan transformasi Plastik, damar epoksi, produk petrokimia yang lain Bahan bangunan komposit Beton bertulang, pelat serat semen, cat kimia, perekat Sumber: Frick dan Mulyani (2006) Dalam strategi desain pasif, elemen yang cukup sering disebutkan adalah faktor ventilasi, khususnya ventilasi alami (bukaan) yang di wujudkan melalui jendela (jendela hidup) dan lubang angin agar gerak udara terjamin. Bangunan sebaiknya berbentuk persegi panjang daerah tropis basah Indonesia proporsi yang optimum antara lebar dan panjang adalah 1 :1,7 dan proporsi yang dinilai paling baik adalah 1:3 sehingga menguntungkan bagi penerapan ventilasi silang (Yuuwono 2007). Dijaman modern saat ini, tentu kita sudah tidak dapat terlepas dari kebutuhan akan listrik untuk mengoperasikan peralatan mekanis. Dalam desain pasif pada kasus penelitian ini tidak menggunakan alat mekanis pendingin udara karena konsumsi energinya yang besar. Perangkat pencahayaan dan tata letaknya didesain dengan tepat agar efisien dalam penggunaan energi. Perangkat mekanis maupun listrik diupayakan digunakan dengan bijak dan seefisien mungkin. Hal tersebut disebabkan karena peralatan mekanis maupun listrik tersebut mengeluarkan radiasi kemudian membentuk medan listrik atau medan magnetik yang mengganggu komunikasi antar sel, bioritme, dan sistem kekebalan dan terutama menimbulkan emisi (polutan) (Frick dan Mulyani 2006). Analytical Hierarchy Process (AHP) Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dikembangkan oleh Prof. Thomas Lorie Saaty dari Wharton Business School di awal tahun 1970, yang 29 digunakan untuk mencari rangking atau urutan prioritas dari berbagai alternatif dalam pemecahan suatu permasalahan. Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang senantiasa dihadapkan untuk melakukan pilihan dari berbagai alternatif. Disini diperlukan penentuan prioritas dan uji konsistensi terhadap pilihan-pilihan yang telah dilakukan. Dalam situasi yang kompleks, pengambilan keputusan tidak dipengaruhi oleh satu faktor saja melainkan multifaktor dan mencakup berbagai jenjang maupun kepentingan (Marimin 2004). Menurut Saaty (1993), pada dasarnya AHP adalah suatu teori umum tentang pengukuran yang digunakan untuk menemukan skala rasio, baik dari perbandingan berpasangan yang diskrit maupun kontinu. Perbandinganperbandingan ini dapat diambil dari ukuran aktual atau skala dasar yang mencerminkan kekuatan perasaan dan preferensi relatif. Metode ini adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas persoalan dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan dengan memecahkan persoalan tersebut kedalam bagian-bagiannya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki, memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang pentingnya tiap variabel dan mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel yang mana yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. Analytical Hierarchy Process (AHP) mempunyai landasan aksiomatik yang terdiri dari : 1. Resiprocal Comparison, yang mengandung arti bahwa matriks perbandingan berpasangan yang terbentuk harus bersifat berkebalikan.Misalnya, jika A adalah k kali lebih penting dari pada B maka B adalah 1/k kali lebih penting dari A. 2. Homogenity, yaitu mengandung arti kesamaan dalam melakukan perbandingan. Misalnya, tidak dimungkinkan membandingkan jeruk dengan bola tenis dalam hal rasa, akan tetapi lebih relevan jika membandingkan dalam hal berat. 3. Dependence, yang berarti setiap level mempunyai kaitan (complete hierarchy) walaupun mungkin saja terjadi hubungan yang tidak sempurna (incomplete hierarchy). 4. Expectation, yang berarti menonjolkon penilaian yang bersifat ekspektasi dan preferensi dari pengambilan keputusan. Penilaian dapat merupakan data kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif. 30 Secara umum pengambilan keputusan dengan metode AHP didasarkan pada langkah-langkah berikut: 1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan 2. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan kriteria–kriteria dan alternatif–alternatif pilihan yang ingin di rangking (Gambar 3 dan 4). Gambar 4. Struktur hierarki yang complete Gambar 5. Struktur hierarki yang incomplete 3. Membentuk matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing–masing tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan pilihan atau judgement dari pembuat keputusan dengan menilai tingkat tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. 4. Menormalkan data yaitu dengan membagi nilai dari setiap elemen di dalam matriks yang berpasangan dengan nilai total dari setiap kolom. 31 5. Menghitung nilai eigen vector dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten maka pengambilan data (preferensi) perlu diulangi. Nilai eigen vector yang dimaksud adalah nilai eigen vector maksimum yang diperoleh dengan menggunakan matlab maupun dengan manual. 6. Mengulangi langkah 3, 4, dan 5 untuk seluruh tingkat hierarki. 7. Menghitung eigen vector dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai eigen vector merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk mensintesis pilihan dalam penentuan prioritas elemen–elemen pada tingkat hierarki terendah sampai pencapaian tujuan. 8. Menguji konsistensi hierarki. Jika tidak memenuhi dengan CR < 0, 100; maka penilaian harus diulang kembali. Rasio konsistensi (CR) merupakan batas ketidakkonsistenan (inconsistency) yang ditetapkan Saaty. Rasio Konsistensi (CR) dirumuskan sebagai perbandingan indeks konsistensi (RI). Angka pembanding pada perbandingan berpasangan adalah skala 1 sampai 9 (Tabel 4). Tabel 4. Skala angka Saaty Tingkat Kepentingan 1 Definisi Keterangan Sama penting (Equal importance) Kedua elemen yang sama 3 Sedikit lebih penting (Weak importance of one over another) Pengalaman dan penilaian sangat memihak satu elemen dibandingkan dengan pasangannya 5 Lebih penting (Essential or importance) Satu elemen sangat disukai dan secara praktis dominasinya sangat nyata, dibandingkan dengan elemen pasangannya strong mempunyai pengaruh 7 Sangat penting (Demonstrated importance) Satu elemen terbukti sangat disukai dan secara praktis dominasinya sangat, dibandingkan dengan elemen pasangannya 9 Mutlak lebih penting (Extreme importance) Satu elemen mutlak lebih disukai dibandingkan dengan pasangannya, pada tingkat keyakinan tertinggi Nilai tengah diantara dua penilaian (Intermediate values between the two adjacent judgments) Nilai diantara dua pilihan yang berdekatan 2, 4, 6, 8 Sumber: Saaty (1993)