nilai fungsional struktural kesenian ronggeng gunung dalam

advertisement
1
NILAI FUNGSIONAL STRUKTURAL KESENIAN
RONGGENG GUNUNG DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT BANJARSARI KABUPATEN CIAMIS
1
Ulfah Kurniawaty, 2Siti Nurbayani, 3Mirna Nur Alia A
Mahasiswa Prodi Pendidikan Sosiologi, FPIPS UPI, Jl. Dr. Setiabudi No. 299
Bandung
Dosen MKDU/ Prodi Pendidikan Sosiologi/ Pascasarjana
Dosen Prodi Pendidikan Sosiologi
E-mail: [email protected]
Abstrak: Nilai Fungsional Struktural Kesenian Ronggeng Gunung dalam
Kehidupan Masyarakat Banjarsari Kabupaten Ciamis. Penelitian ini
dilatarbelakangi karena kesenian tradisional yang kaya akan nilai kalah oleh
kesenian modern, seperti dangdut dan band. Penelitian ini memiliki tujuan untuk
mengetahui nilai fungsional struktural kesenian Ronggeng Gunung dengan
menggunakan pendekatan kualitatif dan metode etnografi. Temuan penelitian:1)
Nilai fungsional struktural bagian nayaga terdapat dalam lagunya. 2) Nilai
fungsional struktural bagian penari terdapat pada gerakan memutar dan eredan.
3) Nilai fungsional struktural ronggeng gunung adalah nilai solidaritas dan
pengendalian sosial 4) Cara mempertahankan nilai fungsional struktural
ronggeng gunung dengan mendirikan sanggar seni.
Kata kunci: Nilai Fungsional Struktural, Kesenian Ronggeng Gunung,
Pengendalian
Sosial
dan
Solidaritas
Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan, baik itu dari
kesenian, bahasa, agama, mata pencaharian. Khususnya dalam kesenian Indonesia
memiliki ciri khas yaitu seni tradisional. Seni tradisional setiap daerah memiliki
ciri khas, untuk cakupan Jawa Barat saja kesenian tradisional sangatlah
bermacam-macam. Seni tradisional khas Bandung, Cirebon, Tasik, Garut, Ciamis
dan daerah lainnya. Kesenian yang dijadikan sebagai objek penelitian di sini
adalah kesenian khas Jawa barat khususnya Kabupaten Ciamis yang merupakan
salah satu kesenian tradisional yaitu Ronggeng Gunung.
Kesenian Ronggeng Gunung merupakan kesenian tradisional berupa tarian
yang berasal dari Banjarsari Kabupaten Ciamis. Berbicara mengenai kesenian
tradisional khususnya Ronggeng Gunung pada saat ini keberadaanya mulai
tergeser oleh kesenian modern. Saat ini masyarakat pada umumnya baik dari
kalangan muda atau tua lebih mengenal dengan kesenian modern dibandingkan
dengan kesenian tradisional, padahal kesenian tradisional merupakan aset yang
sangat berharga bagi masyarakat. Berharga di sini adalah dimana kesenian
tradisional merupakan hasil cipta, karsa dan karya masyarakat daerah yang harus
dijaga dan dilestarikan.
2
Selain dilihat dari segi tergesernya kesenian tradisional oleh kesenian
modern, ada hal lain yang menyebabkan Ronggeng Gunung terancam
keberadaanya . Pertama saat ini adanya penurunan yang drastis baik dari pegiat
seni ataupun dari penikmat seninya. Kedua kesenian lainnya yang sifatnya lebih
modern seperti girl band, band ataupun hiburan yang lebih menarik dan lebih
praktis bahkan bisa lebih murah. Ketiga yang menyebabkan Ronggeng Gunung
kurang diminati adalah dari pelestari ronggeng sendiri mulai berkurang,
maksudnya adalah yang melestarikannya hanya berasal dari satu keluarga saja,
seperti dalam bagian sinden adalah ibu penari, pemukul kendang dan gong adalah
ayah penari, dan bonang adalah saudara penari. Keempat yang menjadi penyebab
Ronggeng Gunung kurang diminati lagi adalah adanya pergeseran nilai,
contohnya sawer. Sawer dicap negatif oleh masyarakat, mereka menganggap
bahwa ketika ada yang memberi sawer pada penari maka ada hal lain yang
diinginkan, contohnya seperti hal yang menjurus pada sex.
Beberapa pemaparan di atas menjelaskan bahwa Ronggeng Gunung kini
mulai tidak diminati, akan tetapi pada kenyataanya rongeng masih tetap
dipertahankan oleh masyarakat, karena menurut Melati (2014) dalam
penelitiannya menyebutkan “suatu tarian tercipta karena adanya sudut pandang
pemikiran masyarakatnya, dan mewakili perasaan atau tingkah laku kebiasaan,
adat dari masyarakatnya”. Jika dilihat dari kutipan jurnal Melati peneliti akan
menguraikan satu persatu apa yang dimaksud kutipan dari jurnal tersebut, pertama
bahwa tarian berasal dari sudut pandang pemikiran masyarakat, jadi ketika tarian
tercipta maka ada proses berfikir tidak hanya asal membuat suatu tarian atau
gerakan-gerakan saja, proses berfikir berarti ada hal yang berharga atau bernilai.
Kedua suatu tarian tercipta bukan untuk gerakan tanpa dasar, tetapi tarian tercipta
karena adanya perasaan yang sesuai dengan kebiasaan adat masyarakat.
Rongeng masih tetap dipertahankan oleh masyarakat, dimana jika dilihat
dari segi bertahannya suatu kesenian mulai dari abad 16 hingga abad 21
(sekarang) merupakan suatu kelebihan dari Ronggeng Gunung, jika suatu hal
tetap dipertahankan maka ada hal yang sifatnya penting atau berharga karena
suatu budaya yang merupakan warisan atau hasil cipta masyarakat haruslah dijaga
dan dilestarikan. Meninjau kembali pada kutipan jurnal Melati bahwa suatu tarian
tercipta dari hasil berfikir, proses berfikir disini ada hal yang tidak begitu saja
tercipta dengan kata lain ada suatu hal yang dianggap berharga atau bernilai yaitu
fungsi dari Ronggeng Gunung itu sendiri. Keberadaan Ronggeng yang masih
bertahan hingga kini karena fungsi yang Ronggeng miliki masih berguna dan
dirasakan masyarakat khususnya masyarakat Banjarsari.
Berdasarkan pemaparan di atas peneliti memiliki ketertarikan terhadap
nilai fungsional struktural yang ada pada kesenian ronggeng gunung dalam
kehidupan masyarakat Banjarsari sehingga masyarakat masih tetap
mempertahankan kesenian tersebut.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode etnografi.
Alasan menggunakan pendekatan kualitatif adalah karena untuk mendapatkan
data mengenai nilai fungsional struktural ronggeng gunung yaitu dengan cara
langsung mengamati sekaligus menjadi observasi pasrtisipan. Peneliti tidak bisa
3
hanya mengandalkan studi literatur atau jawaban-jawaban singkat dari angket
akan tetapi peneliti harus tahu bagaimana fungsi dan struktur memiliki nilai dan
memiliki pengaruh dalam kehidupan masyarakat untuk mengatahui nilai tersebut
peneliti langsung ke lapangan dan merasakan nilai dari kesenian Ronggeng
Gunung.
Metode yang digunakan adalah metode etnografi alasannya adalah peneliti
ingin mengetahui secara mendalam bagaimana suatu kesenian dapat menghasilkan
suatu nilai dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, lalu ada hal yang tidak
bisa diteliti dengan metode lain selain metode etnografi. Metode ini difokuskan
pada tahap-tahap analisis etnografi menurut Spradley seperti analisis domain,
analisis taksonomi, analisis komponen dan analisis tema budaya, beberapa macam
analisis tersebut tidak ada di metode lain. Dalam metode etnografi ini peneliti
secara bertahap dalam menganalisis data yaitu dengan mengkerucutkan seperti
sebuah segitiga atau segitiga terbalik. Tujuannya pengkerucutan adalah agar dapat
menghasilkan data yang detail. Metode ini menggunakan teknik observasi
partisipan, wawancara, dokumentasi dan studi literatur dan untuk menguji
keabsahan data dengan cara memperpanjang penelitian, meningkatkan ketekunan
serta triangulasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Kesenian Ronggeng Gunung merupakan sebuah seni berbentuk tarian dan
didalamnya memiliki struktur atau bagian seperti nayaga dan penari. Nayaga
terbagai menjadi tiga bagian pertama pemukul kendang, pemukul kenong,
pemukul gong dan sinden. Setiap bagian tersebut memiliki fungsinya masingmasing seperti pemukul kendang berfungsi untuk memukul kendang begitupun
yang lainnya, hanya saja ada satu bagian yang tidak memegang alat yaitu sinden,
sinden disini berfungsi untuk menyanyi. Lagu yang biasanya dinyanyikan oleh
sinden dalam Ronggeng Gunung ada 18 lagu, hanya saja masyarakat Banjarsari
menyebut lagu ronggeng gunung itu adalah sisindiran dan wangsalan. 18
wangsalan itu diantaranya adalah kudupturi, ladrang, sisigaran, golewang,
kawungan banter, parut, dengdet, ondai, liring, kawungan kulonan, manangis,
mangonet, urung-urung, tunggul kawung, trondol, cacar burung, kidung, raja
pulang, wangsalan ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu pembuka,inti dan penutup,
untuk bagian pembuka yaitu wangsalan ladrang dan kudupturi, bagian inti adalah
wangsalan golewang, kawungan banter, parut, ondai, liring, kawungan kulonan,
manangis, mangonet, urung-urung, tunggul kawung, trondol, cacar burung,
kidung dan bagian penutup adalah wangsalan dengdet, raja pulang dan sisigaran.
Setiap wangsalan menurut BR selaku sinden Ronggeng Gunung, memiliki
makna tetapi jika dilihat maknanya hampir sama yaitu berisi tentang kehidupan
sehari-hari, mulai dari percintaan, humor, keagamaan, kejujuran, keadilan, kasih
sayang, saling menghormati, nasionalisme. Wangsalan dalam Ronggeng Gunung
tidak pernah menggunkan bahasa yang terlalu sulit akan tetapi lirik dalam
wangsalan adalah lirik yang menggambarkan kehidupan masyarakat. Seperti
salah satu wangsalan berjudul Kawung Pugur di bawah ini
Malela dianggo pala
Dianggo pager jayanti
Rek bela ulah kapalang
Urang silih beuli ati
4
Manuk sepuh manu haur
Euntreup dina luhur pager
Hirup anu jadi paur
Laku lampah anu teu bener
Wayang mana wayang mana
Wayang teh wayang ponggawa
Palay mana palay mana
Palay jembar anu bela
Itu seueur parapatan
Jalanna ka alun alun
Bilih seueur kalepatan
Hapunten anu kasuhun
Isi dan makna dari wangsalan ini adalah kita sebagai manusia tidak boleh
takut dengan kesalahan, selalu membela pada kebenaran. Nilai yang ada dalam
wangsalan tersebut adalah nilai kebenaran, keadilan dan kebijaksanaan. Selain
wangsalan kawung pugur ada wangsalan lain yang merupakan gambaran
kehidupan masyarakat sekitar yaitu kawungan, liriknya seperti di bawah ini
Kawung pugur sisi lembur
Ditinggur ku dadap ngora
Bujang guyur salelembur
Kaedanan ku rangda ngora
Isuk iwung sore iwung
Ti beurang longgaranana
Isuk bingung sore bingung
Hoream mikiranana
Isi dari wangsalan ini adalah seorang pemuda yang tergila-gila oleh janda,
pemuda tersebut selalu memikirkan janda tersebut sepanjang waktu. Dari 18
wangsalan dua diantaranya tertera di atas. Ke dua wangsalan tersebut telah
menggambarkan bahwa isi dari wangsalan tidak pernah lepas dari gambaran
kehidupan sehari-hari, untuk wangsalan yang pertama menggambarkan nilai yang
sifatnya positif dan untuk wangsalan kedua lebih pada ke nilai humoris dan
hiburan.
Bagian selanjutnya selain nayaga yang memiliki nilai adalah penari,
menurut N yang merupakan penari dalam Ronggeng Gunung menyebutkan bahwa
tarian dalam ronggeng lebih fokus pada gerakan kaki dan gerakan tangan,
gerakan kaki ini seperti maju dan mundur saja tidak ada gerakan yang rumit. N
menegaskan bahwa dalam tarian Ronggeng Gunung itu tidak erotis seperti
ronggeng lainnya hal ini didukung dengan bentuk tarian serta baju yang biasa N
kenakan yaitu baju yang sopan. Tarian Ronggeng Gunung menurut N terbagi
menjadi dua yaitu tarian yang bentuknya memutar dimana tarian ini dilakukan
oleh perempuan dan tarian yang menyerupai gerakan pencak silat atau dikenal
dengan istilah eredan dalam Ronggeng Gunung ini biasanya dilakukan oleh lakilaki.
5
Gerakan memutar ini dimulai dengan pertama-tama sinden memanggil
salah seorang dan digaet oleh sang penari, lalu si orang yang digaet diajari
bagaimana caranya menari, lalu satu persatu orang maju kedepan dan melakukan
bergerak dengan cara memutar, lamanya putaran dalam Ronggeng Gunung ini
tergantung dari penari apakah ia sanggup untuk berapa jam serta kesanggupan dari
si sinden ketika menyanyi wangsalan. Hal ini menurutnya ketika dalam
pementasan ronggeng, terkadang menari itu dilakukan beberapa jam tergantung
dengan kondisi lapangan yang dipakai penari, cuaca dan fisik sang penari.
Menurut N biasanya dalam Ronggeng Gunung dibagi menjadi beberapa
babak. Jika penari seperti yang dikatakan di atas yaitu ketika keadaan yang
mendukung beberapa babakpun dilakukan tanpa berhenti akan tetapi jika kondisi
tidak mendukung menari dalam satu babak hanya dengan waktu sekitar 30 menit.
Menurut N ketika menari dengan gerakan memutar ia merasakan kedekatan antar
satu sama lain. Selain merasakan kedekatan dari banyak orang yang mengikuti
gerakan memutar ini N sering mendapatkan saweran dari para pangibing yang
ikut menari di depan. Menurutnya sawer itu merupakan hadiah atau penghargaan
bagi si penari. Berbeda pandangan dengan masyarakat dimana masyarakat
menganggap bahwa ketika ada yang meberikan sawer maka antara pemberi sawer
dan penerima sawer memiliki maksud tertentu, seperti sesuatu yang berhubungan
dengan seksual.
Gerakan yang kedua adalah gerakan yang menyerupai gerakan pencak
silat. Gerakan ini menurut narasumber ke dua yaitu O yang merupakan penari
laki-laki khusus di gerakan eredan, menurutnya gerakan yang meyerupai pencak
silat tidak berubah dari mulai adanya seni Ronggeng Gunung ada, karena pada
awalnya seni Ronggeng Gunung gerakannya seperti pencak silat untuk
mengalahkan para bajo, hal ini dilakukan dengan cara dimana penari laki-laki
ditutupi kepalanya dengan sarung atau iket. Gerakan pencak silat ini disebut juga
dengan eredan, ngered atau dalam bahasa Indonesia adalah bertarung. Gerakan ini
mula-mulanya masyarakat dijadi menjadi dua bagian yaitu bagian A dan bagian
B, sebagai contoh bagian Dadang dan bagian Eko, ketika eredan ini mulai mereka
layaknya penonton bola atau suporter bola saling menjagokan bagiannya masingmasing, saling beradu mulut tetapi ada yang menjadi kelebihannya adalah ketika
tarian yang sifatnya bertarung ini tidak memiliki ekor permasalahan yang
berkelanjutan.
Gerakan eredan berubah semenjak jaman G30 S PKI, perubahannya
adalah dimana pada jaman dulu untuk gerakan ini menggunakan senjata tajam
dalam gerakannya sedangkan sekarang tidak menggunakan senjata tajam, dan
untuk krubun semapat dilarang ketika G 30 S PKI, tetapi setelah itu krubun
dipakai lagi ketika eredan hingga sekarang.
Ke dua bagian tersebut seperti nayaga dan penari merupakan satu
kesatuan, dan telah disebutkan sebelumnya bahwa wangsalan dalam nayaga
memiliki nilai begitu juga dengan penari dan dua-duanya memiliki nilai postif.
Akan tetapi jika melihat kondisi Ronggeng Gunung sekarang sangat
mengkhawatirkan, maka dari itu peneliti mewawancarai beberapa masyarakat
yang dibagi menjadi beberapa kategori yaitu sesepuh, anak muda dan kaum
terpelajar. Mereka dimintai pendapat mengenai keadaan ronggeng pada saat ini,
dari beberapa jawaban dari setiap informan memiliki simpulan bahwa mereka
sam-sama menyadari bahwa Ronggeng Gunung memiliki manfaat bagi
6
kehidupannya, seperti untuk mendekatkan, sebagai tempat silaturahmi dan seperti
datang ke pengajian karena banyak nasehat yang ada pada wangsalan Ronggeng
Gunung, akan tetapi pada saat ini sangat disayangkan bahwa ronggeng Gunung
telah kalah oleh kesenian modern, walaupun Ronggeng Gunung kalah oleh
kesenian modern mereka sangat menantikan setiap pementasan Ronggeng
Gunung karena mereka sadara bahwa Ronggeng Gunung memiliki manfaat untuk
kehidupan.
Melihat kondisi Ronggeng Gunung saat ini maka sanggar merupakan cara
untuk mempertahankan sekaligus melestarikan Ronngeng Gunung. Sanggar
Panggugah Rasa merupakan padepokan kesenian Ronggeng Gunung yang terletak
di Desa Ciulu, menurut pengurus sanggar KS awal mulanya sanggar ini didirikan
sebagai bentuk penghargaan kepada pelestari budaya sekaligus pelaku budaya
yaitu Bi Raspi, sebagai pelaku budaya Ronggeng Gunung merupakan bagian
sinden. Penghargaan ini diberikan secara langsung oleh gubernur kepada bi Raspi.
Sebenarnya penghargaan ini berupa uang untuk dibangunnya suatu sanggar
sebagai bentuk pelestarian. Maka dari itu didirikanlah suatu bangunan yaitu
sanggar Panggugah Rasa, dimana sanggar ini sengaja didirikan oleh bi Raspi di
tegah-tengah perumahan masayarakat agar masyarakat bisa melestarikan kesenian
Ronggeng Gunung tersebut.
Menurut KS dengan adanya sanggar ronggeng Panggugah Rasa ini bi
Raspi merasa diberi tanggung jawab untuk melestarikan kesenian Ronggeng
Gunung dengan wadah yang telah disediakan yaitu sanggar Panggugah Rasa.
Sanggar ini sengaja ditempatkan di tengah pemukiman warga agar warga bisa
tertarik untuk mempelajari sekaligus melestarikan kesenian Ronggeng Gunung.
Sanggar Panggugah Rasa ini terbuka untuk umum siapa saja yang ingin
latihan dengan maestro Ronggeng Gunung atau hanya ingin melihat proses latihan
Ronggeng Gunung terbuka untuk umum, umum disini adalah bagi masyarakat
yang ingin belajar bukan hanya dari Desa Ciulu tetapi bisa dari mana juga. KS
mengutarakan beberapa tahun kebelakang untuk masyarakat luar daerah Ciulu
saja sudah ada yang tertarik diantaranya orang Amerika yang sengaja tinggal
beberapa bulan untuk mempelajari bagaimana Ronggeng Gunung. Selain orang
Amerika yang jauh-jauh datang ke Banjarsari banyak masyarakat dari luar daerah
seperti Bandung, Jakarta, Solo dan masih banyak masyarakat luar yang ingin
belajar Ronggeng Gunung.
Selain terbuka untuk umum sanggar Panggugah Rasa tidak pernah
memungut biaya sedikitpun untuk proses latihan atau belajar untuk mengetahui
bagaimana kesenian Ronggeng Gunung. Oleh karena itu KS berharap dengan
adanya sanggar ini Ronggeng Gunung akan tetap terjaga, jangan sampai anak atau
cucu dari masyarakat Banjarsari atau umumnya Kabupaten Ciamis sudah tidak
mengenal atau asing ketika disebutkan dengan kesenian Ronggeng Gunung.
Karena sanggar ini didirikan untuk tetap melestarikan Ronggeng Gunung secara
umum dan khususnya untuk daerah sekitar sanggar bisa dan tertarik untuk
mempelajari kesenian Ronggeng Gunung.
Menurut KS sanggar ini disebut sebagai sarana untuk melestarikan karena
melihat generasi penerus ronggeng saat ini hanya berasal dari keluarga itu-itu saja,
seperti pengurus dari sanggar juga masih dalam lingkup satu keluarga besar. Hal
ini terbukti seperti yang dituturan oleh BR sang sinden mengatakan bahwa dia
menjadi sinden dari mulai tahun 1972 dan hingga sekarang belum ada yang
7
menggantikan adapun yang mencoba belajar adalah anak dari sinden yaitu N yang
sekarang ia menjadi penari sinden. Serta nayaga yang lainnyapun masih dalam
satu kekerabatan.
Setelah sanggar ini berdiri menurut KS mulai terbukti dengan adanya satu
atau dua orang yang ingin belajar dan masyarakat sekitar masih tetap mengenali
Ronggeng Gunung. Menurut KS untuk kisaran Desa Banjarsari saja masyarakat
masih mengenal dengan Ronggeng Gunung, selain itu di luar Banjarsari juga
sebagian masyarakat masih mengenal mengenai kesenian Ronggeng Gunung.
Tentu saja hal tersebut terbukti selain orang luar yang datang ingin belajar seperti
yang dipaparkan diatas ada yang lain yaitu ketika peneliti sengaja mewawancarai
warga di luar desa tersebut. Menurut RM dia mengenal Ronggeng Gunung karena
ketika Ronggeng Gunung pentas di daerah-daerah, RM sengaja pergi ke tempat
tersebut untuk datang sebagai apresiator.
PEMBAHASAN
Ronggeng Gunung memiliki bagian-bagian atau yang disebut dengan
struktur, bagian dalam Ronggeng Gunung terbagi menjadi dua bagian yang
pertama adalah nayaga, dimana nayaga tersebut terdiri dari sinden, pemukul
kendang, pemukul kenong dan pemukul gong dan kedua adalah bagian penari
dimana penari dalam ronggeng itu terdiri dari penari perempuan dan penari lakilaki.
Setiap bagian Ronggeng Gunung memiliki fungsinya masing-masing dan
saling keterkaitan antara satu sama lain, seperti bagian penari yang berfungsi
untuk menari, bagian nayaga yang terdiri dari pemukul kendang fungsinya untuk
memukul kendang, pemukul gong memiliki fungsi memukul gong dan pemukul
kenong berfungsi memukul kenong serta sinden berfungsi untuk menyanyi.
Bagian-bagian ini tidak pernah lepas dari yang namanya fungsi karena biasanya
suatu struktur tidak pernah lepas dari fungsi, karena fungsi menurut Merton
(1989, hlm 4) adalah “sebagai akibat atau konsekuensi logis, objektif (nyata, lepas
dari maksud atau motivasi orang) dari suatu struktur”, maka dari itu Merton
menyebutnya dengan fungsional struktural.
Suatu struktur seperti nayaga dan penari saling berkaitan antara satu sama
lain, memiliki fungsi masing-masing yang saling berkaitan, seperti postulat
pertama yang diungkapkan Merton (1989, hlm 13) adalah kesatuan fungsional
masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari
sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan atau konsistensi
internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak
dapat diatasi atau diatur. Yang menjadi titik fokusnya adalah kesatuan fungsional
dapat dibatasi apabila suatu keaadaan dimana seluruh bagian dalam sistem sosial
bekerja
Ronggeng Gunung yang merupakan suatu kesenian yang dimainkan oleh
sekelompok orang ini memiliki fungsi dan struktur, seperti nayaga yang terdiri
dari empat bagian walaupun hanya terdiri dari empat orang saja setiap bagian
memiliki fungsinya lalu penari yang dibagi menjadi dua yaitu perempuan dan
laki-laki, hal ini serupa dengan apa yang dikatan oleh Robert King Merton dalam
Ritzer (2010, hlm 136) mengatakan bahwa struktural fungsional bukan hanya
masyarakat akan tetapi setiap objek lain diantaranya adalah peran sosial, pola
institusional, proses sosial, pola kultur, emosi yang terpola secara kultural, norma
8
sosial, organisasi kelompok, kelompok struktur sosial, perlengkapan untuk
pengendalian sosial dan sebagainya
Dalam pembahasan ini Ronggeng Gunung lebih dilibatkan dengan
kehidupan masyarakat, seperti bagaimana peran Ronggeng Gunung yaitu bagian
nayaga dan penari dalam kehidupan masyarakat, karena Ronggeng Gunung
merupakan wujud kebudayaan, dimana budaya menurut Koentjaraningrat (2009,
hlm. 162) adalah “ pikiran, karsa dan hasil karya manusia. Ronggeng Gunung
disebut dengan budaya karena merupakan hasil karya manusia, dimana hasil pikir,
karsa dan karya manusia ini memiliki nilai bukan tiba-tiba tercipta.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya menurut Merton setiap struktur
memiliki fungsi dan hal tersebut saling berkaitan antara satu sama lain. Hal ini
berlaku pada bagian nayaga dan penari dalam Ronggeng Gunung. Pertama
nayaga,fokus pembahasan pada bagian ini adalah sinden dan wangsalannya
karena dalam sinden terdapat nilai-nilai yang masih dirasakan oleh masyarakat.
Seperti yang telah dipaparkan dalam hasil penemuan di lapangan mengenai
wangsalan. Wangsalan memiliki ciri diantaranya adalah setiap lirik selalu
memiliki pesan atau makna, untuk makna telah dipaparkan dalam hasil penemuan
langsung oleh sinden, mengenai nilai yang ada dalam wangsalan ini jika dilihat
memang kaya akan nilai. Nilai yang didapat dari kawung pugur ini diantaranya
adalah nilai kejujuran, nilai keadilan, kebijaksanaan dan afektif. Dari wangsalan
kawung pugur ini masyarakat diberitahu bahwa sesama manusia haruslah saling
mengingatkan mana yang salah, mana yang benar, mana yang tidak baik dan
mana yang baik, jangan pernah takut untuk membela kebenaran dan di akhir
ketika kita sudah mengingatkan kepada orang yang salah, bersikaplah bijaksana,
haruslah meminta maaf walaupun bukan kita yang salah. Wangsalan ini menjadi
pedoman bagi masyarakat, menjadi pengingat, menjadi penasehat bahwa kita
haruslah menjadi orang yang benar, orang yang amanah, orang yang adil.
Masyarakat dituntun pada nilai-nilai tersebut yang diberitahukan melalui
wangsalan. Selanjutnya wangsalan kawungan, kawungan merupakan wangsalan
yang membuat masyarakat menjadi dekat dan mengenal satu sama lain, karena
dari saling menyindir satu sama lain masyarakat menjadi lebih dekat, saling sikutmenyikut yang dalam arti bukan adu fisik tetapi sindiran yang berupa fisik, ada
juga sindiran yang berupa verbal seperti “ tah si kang asep kaedanan ku randa
ngora” atau “tah si asep kaedanan ku ceu eroh”. Kawungan merupakan
wangsalan yang sifatnya guyon atau humor yang akhirnya membuat masyarakat
menjadi dekat satu sama lain.
Kedua penari, dari hasil penemuan bahwa dalam tarian terbagia menjadi
dua yaitu gerakan memutar dan gerakan eredan, ke dua gerakan ini membuat
masyarakat menjadi dekat, untuk gerakan memutar sudah jelas orang-orang
bersatu ditenga-tengah, dan untuk gerakan eredan adalah mengeratkan keakraban
mereka, mengeratkan keakraban disini adalah mereka pertama-tama menjagokan
masing-masing jagoannya saling adu mulut, akan tetapi diakhir ketika sudah
diketahui siapa yang menang maka mereka bersatu dan menari bersama di depan.
Nayaga dan penari memiliki nilai yang berpengaruh dalam kehidupan
masyarakat, nilai tersebut adalah solidaritas dan pengendalian sosial.
Pengendalian sosial ada pada wangsalan dan solidaritas ada pada gerakan.
Pertama mengapa wangsalan disebut sebagai pengendali sosial ? karena
menurut Joseph S. Roucek dalam Soekanto (1990, hlm 205) mengartikan
9
pengendalian sosial sebagai proses, baik direncanakan maupun tidak
direncanakan, yang bersifat mendidik, mengajak, bahkan memaksa warga-warga
masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku.
Pengendalian sosial sebagai titik kelanjutan dari proses sosialisasi dan
berhubungan dengan cara dan metode yang digunakan untuk mendorong
seseorang agar berperilaku selaras dengan kehendak kelompok atau masyarakat
yang jika dijalankan secara efektif, perilaku individu akan konsisten dengan tipe
perilaku yang diharapkan.
Seperti dalam wangsalan kawung pugur adalah salah satu bentuk
pengendalian sosial, dimna kita sebgai manusia harus adil harus melakukan hal
yang benar dan jangan pernah takut ketika kita tidak berbuat salah. Pada
wangsalan kawung pugur pengendalian sosial lebih bersifat mengajak, mendidik
masyarakat bahwa kita sebagai masyarakat haruslah berperilaku benar. Pada
umumnya nilai-nilai yang ada pada Ronggeng Gunung tidak ada yang memaksa,
semuanya hanya mengajak mendidik dan menasehati karena media yang
digunakan Ronggeng Gunung dalam mengendalikan sosial adalah wangsalan
maka masyarakat tidak pernah merasa terpaksa dikendalikan perilakunya.
Bagian selanjutnya yang memiliki nilai adalah penari, nilai yang ada pada
penari adalah solidaritas, disebut solidaritas karena dari tarian ini masyarakat
menjadi dekat jika dilihat dari gerakan memutar dan maasyarakat menjadi akrab
ketika gerakan eredan. Ke dua gerakan ini disebut memiliki nilai solidaritas
karena solidaritas menurut menurut Emile Durkheim (1986, hlm 91) adalah suatu
keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan
moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman
emosional bersama. Solidaritas menekanakan pada keadaan hubungan antar
individu dan kelompok dan mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan
dengan didukung nilai-nilai moral dan kepercayaan yang hidup
dalam
masyarakat.
Selain memiliki nilai yang positif, ronggeng gunung juga memiliki fungsi
laten yang menurut Robert K Merton selalu ada fungsi manifest dan laten dalam
suatu struktur begitupun dengan Ronggeng Gunung, Ronggeng Gunung memiliki
fungsi laten terutama bagian tarian atau orang yang menari. Penari yang menjadi
fungsi laten disini adalah penari perempuan. Fungsi laten yang terdapat di penari
disini adalah ada pandangan negatif terhadap ronggeng ketika adanya sawer.
Ketika peneliti bertanya kepada salah satu penari ronggeng yang berinisial
N lalu dibandingkan dengan pendapat dari masyarakat sangatlah berbeda, pertama
peneliti akan bahas dari penari itu sendiri. Penari menjalankan perannya sebagai
seorang penari dengan cara menggerakan tangan dan kakinya, fungsi manifest
yang dihasilkan adalah dari gerakan yang memutar yang menimbulkan solidaritas,
namun disini fungsi laten muncul ketika ada sawer. Menurut penari sendiri sawer
dipandang sebagai bentuk penghargaan, bentuk upah karena mereka menghargai
apa yang telah dilakukan, penari tersebut mengatakan bahwa itu hadiah, upah atau
apresiasi.
Apresiasi, upah atau hadiah mereka menamakan sawer seperti itu, yang
menjadi alasan dinamakan sawer karena mereka berfikir bahwa mereka telah
bekerja, mereka telah mengeluarkan keringat jadi sawer merupakan bentuk
hadiah, upah atau apresiasi sehingga mereka berfikir bahwa itu merupakan
penghargaan yang mereka terima, penari berfikir bahwa orang yang memberikan
10
sawer telah menghargai apa yang penari lakukan. Jadi fungsi dari sawer itu
menurut penari sendiri merupakan bentuk suatu penghargaan, upah, hadiah atau
apresiasi, yang membuat mereka berfikir seperti itu adalah karena orang yang
telah memberikan sawer telah menghargai penari, apa yang penari lakukan
mereka tetap menghargainya dalam bentuk uang.
Pandangan antara penari dan masyarakat sangatlah berbeda, terlebih pada
fungsi laten atau sesuatu yang tidak diharapakan dari kenyatannya. Seperti contoh
ketika sedang ada pementasan berlangsung khusunya ketika yang sedang
menarinya itu adalah wanita biasanya yang ikut menari adalah laki-laki walaupun
perempuan juga ada tetapi tidak sebanyak laki-laki. Ketika penari sedang
menjalankan perannnya biasanya laki-laki ketika di tengah-tengah tarian selalu
memberikan saweran, saweran biasanya berupa uang.
Pandangan masyarakat berubah ketika tadinya para penari hanya menari
dan laki laki ngibing berubah menjadi para penari diberi sawer oleh para laki-laki,
pandangan masyarakat menjadi negatif hal ini diutarakan oleh salah satu informan
dari Desa Ciulu yaitu E berpendapat bahwa ketika laki-laki memberikan saweran
akan ada buntut atau kemauan dibelakangnya, atau ada kemauan yang diselipkan
dari uang tersebut. Seperti yang diketahui pada umumnya bahwa ketika laki-laki
meberikan sawer maka akan ada buntut dibelakang seperti ada hal-hal yang
berbau pemuas nafsu belaka. Selain buntut yang terjadi di belakang pandangan
masyarakat adalah ketika mereka memberikan sawer pada penari bisa seenaknya
meraba-raba fisik penari pada saat itu juga, meskipun pada kenyatannya hal itu
benar-benar tidak ada hanya saja opini dan pandangan masyarakat berpendapat
seperti itu.
Pandangan dari masyarakat ini menjadikan penari dalam Ronggeng
Gunung ini memiliki fungsi laten, dimana fungsi ini adalah sesuatu yang tidak
diharapakan atau tidak dimaksudkan untuk itu. Pandangan dari masyarakat ini
sebenarnya tidak terjadi ketika penampilan Ronggeng Gunung sedang
berlangsung, hal tersebut tidak ada hubungannya antara sawer dengan buntut
dibelakangnya, ini hanya pandangan masyarakat saja yang negatif. Padahal pada
kenyatannya sawer ini menurut para penari adalah bentuk penghargaan, mereka
berpikir bahwa orang yang telah memberikan sawer telah menghargai para penari.
Nayaga dan penari memang memiliki nilai positif yang dirasakan
masyarakat dalam kehidupan, walaupun disisi lain memiliki fungsi laten tetapi
nilai fungsional struktural yang fungsional lebih mendominasi, maka untuk
mempertahankan nilai tersebut maka langakah awalnya adalah dengan cara
melestarikan kesenian ronggeng gunung iti sendiri. Cara yang digunakan untuk
melestarikan ronggeng gunung adalah didirikannya suatu sanggar yaitu sanggar
Panggugah Rasa yang telah dijelaskan pada temuan. Sanggar ini seperti wadah
untuk mempertahankan nilai fungsional struktural Ronggeng Gunung. Akan tetapi
jika kita ingin mempertahankan nilai fungsional struktural dari kesenian
Ronggeng Gunung maka terlebih dahulu masyarakat haruslah melestarikan
kesenian Ronggeng Gunung itu sendiri. Sanggar merupakan jawaban dari hal
tersebut.
Hal yang bersangkutan dengan mempertahankan melalui sanggar sejalan
dalam teorinya Talcot Parson yaitu AGIL, menurutnya (1990, hlm 185) AGIL
ada dalam suatu sistem, bagaimana suatu sitem tetap berfungsi dengan saling
keterkaitan antar satu sama lain. AGIL disini adalah pertama adalah Adaptation
11
dimana adaptation ini merupakan suatu keharusan bagi setiap sistem sosial untuk
menghadapi lingkungannnya, lingkungan disini bisa berupa fisik dan sosial, untuk
bisa bertahan suatu sistem harus bisa menyesuaikan diri dengan ke dua
lingkungan tersebut meskipun dalam keadaan yang tidak mendukung. Jika dalam
Ronggeng Gunung dimana Ronggeng Gunung yang diwadahi oleh sanggar.
Sanggar harus bisa menyesuaikan dengan kebutuhan Ronggeng Gunung dan
sanggar yang harus menyesuaikan dengan lingkungan sosial.
Kedua Goal Attainment atau pencapaian tujuan, dalam hal ini sistem harus
memiliki tujuan yang terarah untuk mencapai suatu tujuan utamanya. Hal ini
memiiliki syarat dimana sistem haruslah bisa mengatur, menentukan dan memiliki
sumber daya untuk menetapkan tujuan yang sifatnya kolektif. Tujuannya disini
adalah bagaimana sanggar agar dapat dapat mempertahankan eksistensinya
Ronggeng Gunung ditengah-tengah kesenian yang lebih menarik dan lebih
modern.
Ketiga integration dimana hal ini merupakan persyaratan untuk terjadinya
hubungan yang terintegrasi antara para anggota, hal ini bisa diperkuat dengan
ikatan emosional atau yang disebut solidaritas. Integrasi disini adalah masyarakat
harus tahu bahwa Ronggeng Gunung itu harus dilestarikan karena Ronggeng
Gunung merupakan kebudayaan yang mesti dipertahankan, hal ini dipertahankan
karena memiliki nilai dan fungsi yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat,
nilai ini dirasakan bukan hanya oleh para sesepuh akan tetapi oleh generasi
sekarangpun mereka masih merasakan bagaimana Ronggeng Gunung
berpengaruh dalam kehidupannya. Integrasi disini juga dimana antara sanggar
Ronggeng Gunung dan masyarakat harus satu pikiran, satu pandangan dan
sepemahaman dengan tujuan didirikannya sanggar sehingga tujuan akan tercapai
yaitu untuk melestarikan kesenian Ronggeng Gunung.
Keempat adalah latency yaitu pemeliharaan atau mempertahankan sebuah
sistem. Pemeliharaan dan mempertahankan berbicara bagaimana cara
mempertahankan dan siapa yang harus mempertahankan, karena kembali lagi
bagaiamana mau mempertahankan nilai fungsioanl struktural jika
ronggengnyapun sudah tidak ada.
Upaya mempertahankan nilai fungsional struktural Ronggeng Gunung
adalah dengan mendirikannnya suatu sanggar yaitu sanggar Panggugah Rasa.
Dengan sanggar Panggugah Rasa ini para pelaku budaya bisa merekrut atau
mebuka latihan untuk para masyarakat yang ingin belajar Ronggeng Gunung ini,
hal ini dilakukan secara gratis dan terbuka untuk umum. Hal ini bisa
mempertahankan nilai fungsioanl struktural Ronggeng Gunung karena dengan
cara latihan mereka bisa mengetahui nilai-nilai apa yang ada pada wangsalan
Ronggeng Gunung serta fungsi dari tarian Ronggeng Gunung, terlebih lagi
apabila latihan ini dilakukan scera rutin maka nilai dan fungsi dari setiap struktur
akan dirasakan oleh orang yang mengikuti latihann ini. Intinya sanggar
Panggugah Rasa memiliki peran penting dalam mempertahankan kesenian
Ronggeng Gunung sekaligus nilai fungsional struktural yang ada pada Ronggeng
Gunung.
SIMPULAN
Pertama nilai fungsional struktural nayaga dalam kehidupan masyarakat
Banjarsari ada pada sinden dan wawangsalan, disebut ada pada sinden karena
12
dalam nayaga terdapat bagian-bagian lain seperti pemukul kendang, gong dan
kenong atau yang disebut ketuk tilu serta sinden, tetapi bagian yang memiliki nilai
fungsional struktural disini adalah sinden. Nilai tersebut ada pada lagu atau orang
Banjarsari menyebutnya sisindiran (wawangsalan), dalam wawangsalan ini
terdapat nilai-nilai kehidupan yang menjadi pedoman atau penasehat bagi
masyarakat Banjarsari dimana nilai-nilai itu diantaranya nilai kejujuran, religi,
nasionalisme, keadilan, kebijaksanaan, humor, kasih sayang yang secara tidak
sadar sisindiran tersebut sebagai pengendali perilaku masyarakat Banjarsari.
Kedua nilai fungsional struktural bagian penari dalam kehidupan
masyarakat Banjarsari dilihat dari gerakan ronggeng gunung yang memutar dan
dilakukan secara rampak membuat bertambahnya kekerabatan dan kedekatan
yang meningkat atau yang disebut solidaritas. Gerakan satu lagi eredan dimana
gerakan ini lebih seperti pertarungan dimana terdapat dua kubu yang mendukung
jagoannya masing-masing, mereka eredan dan diakhir jika sudah diketahui ada
pemenang bukan berbuntut masalah akan tetapi lebih ke meningkatkan kedekatan
dan keakraban mereka karena pada akhir eredan ini dari ke dua kubu berkumpul
dan menari bersama, kesolidaritasan ini dirasakan oleh masyarakat Banjarsari.
Ketiga nilai fungsional struktural kesenian ronggeng gunung dalam
kehidupan masyarakat baik itu nayaga dan penari adalah nilai solidaritas dan
kontrol sosial, untuk kontrol sosial terdapat dalam isi dari sisindiran yang
merupakan bagian dari nayaga, sedangkan nilai solidaritas terdapat pada gerakan
ronggeng gunung yaitu gerakan memutar dan gerakan eredan.
Terakhir cara untuk mempertahankan nilai fungsional struktural ronggeng
gunung adalah dengan melestarikan terlebih dahulu kesenian tersebut, karena
tidak akan ada nilai fungsional struktural jika ronggeng gunung sudah tidak ada.
Maka dari itu cara untuk melestarikan kesenian ronggeng gunung adalah dengan
didirikannya sanggar Panggugah Rasa sebagai sarana atau wadah untuk
melestarikan ronggeng gunung sekaligus nilai yang terkandung di dalammnya.
DAFTAR PUSTAKA
Durkheim E. (1986). Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas.
Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Melati, D. (2014). “Ronggeng
Gunung Sebagai Identitas
Masyarakat
Ciamis”
Merton KR. (1989). Robert K
Merton Analisa Fungsional. Jakarta Utara:
CV
Rajawali
Parsons T. (1990). Talcott Parsons dan
Pemikirannya.Yogyakarta: PT
Tiara Wacana
Yogya
Soekanto, S. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta Utara: Raja Grafndo
Persada
Spradley, J. (2006). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana
Download