1 NILAI FUNGSIONAL STRUKTURAL KESENIAN RONGGENG GUNUNG DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT BANJARSARI KABUPATEN CIAMIS 1 Ulfah Kurniawaty, 2Siti Nurbayani, 3Mirna Nur Alia A Mahasiswa Prodi Pendidikan Sosiologi, FPIPS UPI, Jl. Dr. Setiabudi No. 299 Bandung Dosen MKDU/ Prodi Pendidikan Sosiologi/ Pascasarjana Dosen Prodi Pendidikan Sosiologi E-mail: [email protected] Abstrak: Nilai Fungsional Struktural Kesenian Ronggeng Gunung dalam Kehidupan Masyarakat Banjarsari Kabupaten Ciamis. Penelitian ini dilatarbelakangi karena kesenian tradisional yang kaya akan nilai kalah oleh kesenian modern, seperti dangdut dan band. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui nilai fungsional struktural kesenian Ronggeng Gunung dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan metode etnografi. Temuan penelitian:1) Nilai fungsional struktural bagian nayaga terdapat dalam lagunya. 2) Nilai fungsional struktural bagian penari terdapat pada gerakan memutar dan eredan. 3) Nilai fungsional struktural ronggeng gunung adalah nilai solidaritas dan pengendalian sosial 4) Cara mempertahankan nilai fungsional struktural ronggeng gunung dengan mendirikan sanggar seni. Kata kunci: Nilai Fungsional Struktural, Kesenian Ronggeng Gunung, Pengendalian Sosial dan Solidaritas Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan, baik itu dari kesenian, bahasa, agama, mata pencaharian. Khususnya dalam kesenian Indonesia memiliki ciri khas yaitu seni tradisional. Seni tradisional setiap daerah memiliki ciri khas, untuk cakupan Jawa Barat saja kesenian tradisional sangatlah bermacam-macam. Seni tradisional khas Bandung, Cirebon, Tasik, Garut, Ciamis dan daerah lainnya. Kesenian yang dijadikan sebagai objek penelitian di sini adalah kesenian khas Jawa barat khususnya Kabupaten Ciamis yang merupakan salah satu kesenian tradisional yaitu Ronggeng Gunung. Kesenian Ronggeng Gunung merupakan kesenian tradisional berupa tarian yang berasal dari Banjarsari Kabupaten Ciamis. Berbicara mengenai kesenian tradisional khususnya Ronggeng Gunung pada saat ini keberadaanya mulai tergeser oleh kesenian modern. Saat ini masyarakat pada umumnya baik dari kalangan muda atau tua lebih mengenal dengan kesenian modern dibandingkan dengan kesenian tradisional, padahal kesenian tradisional merupakan aset yang sangat berharga bagi masyarakat. Berharga di sini adalah dimana kesenian tradisional merupakan hasil cipta, karsa dan karya masyarakat daerah yang harus dijaga dan dilestarikan. 2 Selain dilihat dari segi tergesernya kesenian tradisional oleh kesenian modern, ada hal lain yang menyebabkan Ronggeng Gunung terancam keberadaanya . Pertama saat ini adanya penurunan yang drastis baik dari pegiat seni ataupun dari penikmat seninya. Kedua kesenian lainnya yang sifatnya lebih modern seperti girl band, band ataupun hiburan yang lebih menarik dan lebih praktis bahkan bisa lebih murah. Ketiga yang menyebabkan Ronggeng Gunung kurang diminati adalah dari pelestari ronggeng sendiri mulai berkurang, maksudnya adalah yang melestarikannya hanya berasal dari satu keluarga saja, seperti dalam bagian sinden adalah ibu penari, pemukul kendang dan gong adalah ayah penari, dan bonang adalah saudara penari. Keempat yang menjadi penyebab Ronggeng Gunung kurang diminati lagi adalah adanya pergeseran nilai, contohnya sawer. Sawer dicap negatif oleh masyarakat, mereka menganggap bahwa ketika ada yang memberi sawer pada penari maka ada hal lain yang diinginkan, contohnya seperti hal yang menjurus pada sex. Beberapa pemaparan di atas menjelaskan bahwa Ronggeng Gunung kini mulai tidak diminati, akan tetapi pada kenyataanya rongeng masih tetap dipertahankan oleh masyarakat, karena menurut Melati (2014) dalam penelitiannya menyebutkan “suatu tarian tercipta karena adanya sudut pandang pemikiran masyarakatnya, dan mewakili perasaan atau tingkah laku kebiasaan, adat dari masyarakatnya”. Jika dilihat dari kutipan jurnal Melati peneliti akan menguraikan satu persatu apa yang dimaksud kutipan dari jurnal tersebut, pertama bahwa tarian berasal dari sudut pandang pemikiran masyarakat, jadi ketika tarian tercipta maka ada proses berfikir tidak hanya asal membuat suatu tarian atau gerakan-gerakan saja, proses berfikir berarti ada hal yang berharga atau bernilai. Kedua suatu tarian tercipta bukan untuk gerakan tanpa dasar, tetapi tarian tercipta karena adanya perasaan yang sesuai dengan kebiasaan adat masyarakat. Rongeng masih tetap dipertahankan oleh masyarakat, dimana jika dilihat dari segi bertahannya suatu kesenian mulai dari abad 16 hingga abad 21 (sekarang) merupakan suatu kelebihan dari Ronggeng Gunung, jika suatu hal tetap dipertahankan maka ada hal yang sifatnya penting atau berharga karena suatu budaya yang merupakan warisan atau hasil cipta masyarakat haruslah dijaga dan dilestarikan. Meninjau kembali pada kutipan jurnal Melati bahwa suatu tarian tercipta dari hasil berfikir, proses berfikir disini ada hal yang tidak begitu saja tercipta dengan kata lain ada suatu hal yang dianggap berharga atau bernilai yaitu fungsi dari Ronggeng Gunung itu sendiri. Keberadaan Ronggeng yang masih bertahan hingga kini karena fungsi yang Ronggeng miliki masih berguna dan dirasakan masyarakat khususnya masyarakat Banjarsari. Berdasarkan pemaparan di atas peneliti memiliki ketertarikan terhadap nilai fungsional struktural yang ada pada kesenian ronggeng gunung dalam kehidupan masyarakat Banjarsari sehingga masyarakat masih tetap mempertahankan kesenian tersebut. METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode etnografi. Alasan menggunakan pendekatan kualitatif adalah karena untuk mendapatkan data mengenai nilai fungsional struktural ronggeng gunung yaitu dengan cara langsung mengamati sekaligus menjadi observasi pasrtisipan. Peneliti tidak bisa 3 hanya mengandalkan studi literatur atau jawaban-jawaban singkat dari angket akan tetapi peneliti harus tahu bagaimana fungsi dan struktur memiliki nilai dan memiliki pengaruh dalam kehidupan masyarakat untuk mengatahui nilai tersebut peneliti langsung ke lapangan dan merasakan nilai dari kesenian Ronggeng Gunung. Metode yang digunakan adalah metode etnografi alasannya adalah peneliti ingin mengetahui secara mendalam bagaimana suatu kesenian dapat menghasilkan suatu nilai dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, lalu ada hal yang tidak bisa diteliti dengan metode lain selain metode etnografi. Metode ini difokuskan pada tahap-tahap analisis etnografi menurut Spradley seperti analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponen dan analisis tema budaya, beberapa macam analisis tersebut tidak ada di metode lain. Dalam metode etnografi ini peneliti secara bertahap dalam menganalisis data yaitu dengan mengkerucutkan seperti sebuah segitiga atau segitiga terbalik. Tujuannya pengkerucutan adalah agar dapat menghasilkan data yang detail. Metode ini menggunakan teknik observasi partisipan, wawancara, dokumentasi dan studi literatur dan untuk menguji keabsahan data dengan cara memperpanjang penelitian, meningkatkan ketekunan serta triangulasi. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Kesenian Ronggeng Gunung merupakan sebuah seni berbentuk tarian dan didalamnya memiliki struktur atau bagian seperti nayaga dan penari. Nayaga terbagai menjadi tiga bagian pertama pemukul kendang, pemukul kenong, pemukul gong dan sinden. Setiap bagian tersebut memiliki fungsinya masingmasing seperti pemukul kendang berfungsi untuk memukul kendang begitupun yang lainnya, hanya saja ada satu bagian yang tidak memegang alat yaitu sinden, sinden disini berfungsi untuk menyanyi. Lagu yang biasanya dinyanyikan oleh sinden dalam Ronggeng Gunung ada 18 lagu, hanya saja masyarakat Banjarsari menyebut lagu ronggeng gunung itu adalah sisindiran dan wangsalan. 18 wangsalan itu diantaranya adalah kudupturi, ladrang, sisigaran, golewang, kawungan banter, parut, dengdet, ondai, liring, kawungan kulonan, manangis, mangonet, urung-urung, tunggul kawung, trondol, cacar burung, kidung, raja pulang, wangsalan ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu pembuka,inti dan penutup, untuk bagian pembuka yaitu wangsalan ladrang dan kudupturi, bagian inti adalah wangsalan golewang, kawungan banter, parut, ondai, liring, kawungan kulonan, manangis, mangonet, urung-urung, tunggul kawung, trondol, cacar burung, kidung dan bagian penutup adalah wangsalan dengdet, raja pulang dan sisigaran. Setiap wangsalan menurut BR selaku sinden Ronggeng Gunung, memiliki makna tetapi jika dilihat maknanya hampir sama yaitu berisi tentang kehidupan sehari-hari, mulai dari percintaan, humor, keagamaan, kejujuran, keadilan, kasih sayang, saling menghormati, nasionalisme. Wangsalan dalam Ronggeng Gunung tidak pernah menggunkan bahasa yang terlalu sulit akan tetapi lirik dalam wangsalan adalah lirik yang menggambarkan kehidupan masyarakat. Seperti salah satu wangsalan berjudul Kawung Pugur di bawah ini Malela dianggo pala Dianggo pager jayanti Rek bela ulah kapalang Urang silih beuli ati 4 Manuk sepuh manu haur Euntreup dina luhur pager Hirup anu jadi paur Laku lampah anu teu bener Wayang mana wayang mana Wayang teh wayang ponggawa Palay mana palay mana Palay jembar anu bela Itu seueur parapatan Jalanna ka alun alun Bilih seueur kalepatan Hapunten anu kasuhun Isi dan makna dari wangsalan ini adalah kita sebagai manusia tidak boleh takut dengan kesalahan, selalu membela pada kebenaran. Nilai yang ada dalam wangsalan tersebut adalah nilai kebenaran, keadilan dan kebijaksanaan. Selain wangsalan kawung pugur ada wangsalan lain yang merupakan gambaran kehidupan masyarakat sekitar yaitu kawungan, liriknya seperti di bawah ini Kawung pugur sisi lembur Ditinggur ku dadap ngora Bujang guyur salelembur Kaedanan ku rangda ngora Isuk iwung sore iwung Ti beurang longgaranana Isuk bingung sore bingung Hoream mikiranana Isi dari wangsalan ini adalah seorang pemuda yang tergila-gila oleh janda, pemuda tersebut selalu memikirkan janda tersebut sepanjang waktu. Dari 18 wangsalan dua diantaranya tertera di atas. Ke dua wangsalan tersebut telah menggambarkan bahwa isi dari wangsalan tidak pernah lepas dari gambaran kehidupan sehari-hari, untuk wangsalan yang pertama menggambarkan nilai yang sifatnya positif dan untuk wangsalan kedua lebih pada ke nilai humoris dan hiburan. Bagian selanjutnya selain nayaga yang memiliki nilai adalah penari, menurut N yang merupakan penari dalam Ronggeng Gunung menyebutkan bahwa tarian dalam ronggeng lebih fokus pada gerakan kaki dan gerakan tangan, gerakan kaki ini seperti maju dan mundur saja tidak ada gerakan yang rumit. N menegaskan bahwa dalam tarian Ronggeng Gunung itu tidak erotis seperti ronggeng lainnya hal ini didukung dengan bentuk tarian serta baju yang biasa N kenakan yaitu baju yang sopan. Tarian Ronggeng Gunung menurut N terbagi menjadi dua yaitu tarian yang bentuknya memutar dimana tarian ini dilakukan oleh perempuan dan tarian yang menyerupai gerakan pencak silat atau dikenal dengan istilah eredan dalam Ronggeng Gunung ini biasanya dilakukan oleh lakilaki. 5 Gerakan memutar ini dimulai dengan pertama-tama sinden memanggil salah seorang dan digaet oleh sang penari, lalu si orang yang digaet diajari bagaimana caranya menari, lalu satu persatu orang maju kedepan dan melakukan bergerak dengan cara memutar, lamanya putaran dalam Ronggeng Gunung ini tergantung dari penari apakah ia sanggup untuk berapa jam serta kesanggupan dari si sinden ketika menyanyi wangsalan. Hal ini menurutnya ketika dalam pementasan ronggeng, terkadang menari itu dilakukan beberapa jam tergantung dengan kondisi lapangan yang dipakai penari, cuaca dan fisik sang penari. Menurut N biasanya dalam Ronggeng Gunung dibagi menjadi beberapa babak. Jika penari seperti yang dikatakan di atas yaitu ketika keadaan yang mendukung beberapa babakpun dilakukan tanpa berhenti akan tetapi jika kondisi tidak mendukung menari dalam satu babak hanya dengan waktu sekitar 30 menit. Menurut N ketika menari dengan gerakan memutar ia merasakan kedekatan antar satu sama lain. Selain merasakan kedekatan dari banyak orang yang mengikuti gerakan memutar ini N sering mendapatkan saweran dari para pangibing yang ikut menari di depan. Menurutnya sawer itu merupakan hadiah atau penghargaan bagi si penari. Berbeda pandangan dengan masyarakat dimana masyarakat menganggap bahwa ketika ada yang meberikan sawer maka antara pemberi sawer dan penerima sawer memiliki maksud tertentu, seperti sesuatu yang berhubungan dengan seksual. Gerakan yang kedua adalah gerakan yang menyerupai gerakan pencak silat. Gerakan ini menurut narasumber ke dua yaitu O yang merupakan penari laki-laki khusus di gerakan eredan, menurutnya gerakan yang meyerupai pencak silat tidak berubah dari mulai adanya seni Ronggeng Gunung ada, karena pada awalnya seni Ronggeng Gunung gerakannya seperti pencak silat untuk mengalahkan para bajo, hal ini dilakukan dengan cara dimana penari laki-laki ditutupi kepalanya dengan sarung atau iket. Gerakan pencak silat ini disebut juga dengan eredan, ngered atau dalam bahasa Indonesia adalah bertarung. Gerakan ini mula-mulanya masyarakat dijadi menjadi dua bagian yaitu bagian A dan bagian B, sebagai contoh bagian Dadang dan bagian Eko, ketika eredan ini mulai mereka layaknya penonton bola atau suporter bola saling menjagokan bagiannya masingmasing, saling beradu mulut tetapi ada yang menjadi kelebihannya adalah ketika tarian yang sifatnya bertarung ini tidak memiliki ekor permasalahan yang berkelanjutan. Gerakan eredan berubah semenjak jaman G30 S PKI, perubahannya adalah dimana pada jaman dulu untuk gerakan ini menggunakan senjata tajam dalam gerakannya sedangkan sekarang tidak menggunakan senjata tajam, dan untuk krubun semapat dilarang ketika G 30 S PKI, tetapi setelah itu krubun dipakai lagi ketika eredan hingga sekarang. Ke dua bagian tersebut seperti nayaga dan penari merupakan satu kesatuan, dan telah disebutkan sebelumnya bahwa wangsalan dalam nayaga memiliki nilai begitu juga dengan penari dan dua-duanya memiliki nilai postif. Akan tetapi jika melihat kondisi Ronggeng Gunung sekarang sangat mengkhawatirkan, maka dari itu peneliti mewawancarai beberapa masyarakat yang dibagi menjadi beberapa kategori yaitu sesepuh, anak muda dan kaum terpelajar. Mereka dimintai pendapat mengenai keadaan ronggeng pada saat ini, dari beberapa jawaban dari setiap informan memiliki simpulan bahwa mereka sam-sama menyadari bahwa Ronggeng Gunung memiliki manfaat bagi 6 kehidupannya, seperti untuk mendekatkan, sebagai tempat silaturahmi dan seperti datang ke pengajian karena banyak nasehat yang ada pada wangsalan Ronggeng Gunung, akan tetapi pada saat ini sangat disayangkan bahwa ronggeng Gunung telah kalah oleh kesenian modern, walaupun Ronggeng Gunung kalah oleh kesenian modern mereka sangat menantikan setiap pementasan Ronggeng Gunung karena mereka sadara bahwa Ronggeng Gunung memiliki manfaat untuk kehidupan. Melihat kondisi Ronggeng Gunung saat ini maka sanggar merupakan cara untuk mempertahankan sekaligus melestarikan Ronngeng Gunung. Sanggar Panggugah Rasa merupakan padepokan kesenian Ronggeng Gunung yang terletak di Desa Ciulu, menurut pengurus sanggar KS awal mulanya sanggar ini didirikan sebagai bentuk penghargaan kepada pelestari budaya sekaligus pelaku budaya yaitu Bi Raspi, sebagai pelaku budaya Ronggeng Gunung merupakan bagian sinden. Penghargaan ini diberikan secara langsung oleh gubernur kepada bi Raspi. Sebenarnya penghargaan ini berupa uang untuk dibangunnya suatu sanggar sebagai bentuk pelestarian. Maka dari itu didirikanlah suatu bangunan yaitu sanggar Panggugah Rasa, dimana sanggar ini sengaja didirikan oleh bi Raspi di tegah-tengah perumahan masayarakat agar masyarakat bisa melestarikan kesenian Ronggeng Gunung tersebut. Menurut KS dengan adanya sanggar ronggeng Panggugah Rasa ini bi Raspi merasa diberi tanggung jawab untuk melestarikan kesenian Ronggeng Gunung dengan wadah yang telah disediakan yaitu sanggar Panggugah Rasa. Sanggar ini sengaja ditempatkan di tengah pemukiman warga agar warga bisa tertarik untuk mempelajari sekaligus melestarikan kesenian Ronggeng Gunung. Sanggar Panggugah Rasa ini terbuka untuk umum siapa saja yang ingin latihan dengan maestro Ronggeng Gunung atau hanya ingin melihat proses latihan Ronggeng Gunung terbuka untuk umum, umum disini adalah bagi masyarakat yang ingin belajar bukan hanya dari Desa Ciulu tetapi bisa dari mana juga. KS mengutarakan beberapa tahun kebelakang untuk masyarakat luar daerah Ciulu saja sudah ada yang tertarik diantaranya orang Amerika yang sengaja tinggal beberapa bulan untuk mempelajari bagaimana Ronggeng Gunung. Selain orang Amerika yang jauh-jauh datang ke Banjarsari banyak masyarakat dari luar daerah seperti Bandung, Jakarta, Solo dan masih banyak masyarakat luar yang ingin belajar Ronggeng Gunung. Selain terbuka untuk umum sanggar Panggugah Rasa tidak pernah memungut biaya sedikitpun untuk proses latihan atau belajar untuk mengetahui bagaimana kesenian Ronggeng Gunung. Oleh karena itu KS berharap dengan adanya sanggar ini Ronggeng Gunung akan tetap terjaga, jangan sampai anak atau cucu dari masyarakat Banjarsari atau umumnya Kabupaten Ciamis sudah tidak mengenal atau asing ketika disebutkan dengan kesenian Ronggeng Gunung. Karena sanggar ini didirikan untuk tetap melestarikan Ronggeng Gunung secara umum dan khususnya untuk daerah sekitar sanggar bisa dan tertarik untuk mempelajari kesenian Ronggeng Gunung. Menurut KS sanggar ini disebut sebagai sarana untuk melestarikan karena melihat generasi penerus ronggeng saat ini hanya berasal dari keluarga itu-itu saja, seperti pengurus dari sanggar juga masih dalam lingkup satu keluarga besar. Hal ini terbukti seperti yang dituturan oleh BR sang sinden mengatakan bahwa dia menjadi sinden dari mulai tahun 1972 dan hingga sekarang belum ada yang 7 menggantikan adapun yang mencoba belajar adalah anak dari sinden yaitu N yang sekarang ia menjadi penari sinden. Serta nayaga yang lainnyapun masih dalam satu kekerabatan. Setelah sanggar ini berdiri menurut KS mulai terbukti dengan adanya satu atau dua orang yang ingin belajar dan masyarakat sekitar masih tetap mengenali Ronggeng Gunung. Menurut KS untuk kisaran Desa Banjarsari saja masyarakat masih mengenal dengan Ronggeng Gunung, selain itu di luar Banjarsari juga sebagian masyarakat masih mengenal mengenai kesenian Ronggeng Gunung. Tentu saja hal tersebut terbukti selain orang luar yang datang ingin belajar seperti yang dipaparkan diatas ada yang lain yaitu ketika peneliti sengaja mewawancarai warga di luar desa tersebut. Menurut RM dia mengenal Ronggeng Gunung karena ketika Ronggeng Gunung pentas di daerah-daerah, RM sengaja pergi ke tempat tersebut untuk datang sebagai apresiator. PEMBAHASAN Ronggeng Gunung memiliki bagian-bagian atau yang disebut dengan struktur, bagian dalam Ronggeng Gunung terbagi menjadi dua bagian yang pertama adalah nayaga, dimana nayaga tersebut terdiri dari sinden, pemukul kendang, pemukul kenong dan pemukul gong dan kedua adalah bagian penari dimana penari dalam ronggeng itu terdiri dari penari perempuan dan penari lakilaki. Setiap bagian Ronggeng Gunung memiliki fungsinya masing-masing dan saling keterkaitan antara satu sama lain, seperti bagian penari yang berfungsi untuk menari, bagian nayaga yang terdiri dari pemukul kendang fungsinya untuk memukul kendang, pemukul gong memiliki fungsi memukul gong dan pemukul kenong berfungsi memukul kenong serta sinden berfungsi untuk menyanyi. Bagian-bagian ini tidak pernah lepas dari yang namanya fungsi karena biasanya suatu struktur tidak pernah lepas dari fungsi, karena fungsi menurut Merton (1989, hlm 4) adalah “sebagai akibat atau konsekuensi logis, objektif (nyata, lepas dari maksud atau motivasi orang) dari suatu struktur”, maka dari itu Merton menyebutnya dengan fungsional struktural. Suatu struktur seperti nayaga dan penari saling berkaitan antara satu sama lain, memiliki fungsi masing-masing yang saling berkaitan, seperti postulat pertama yang diungkapkan Merton (1989, hlm 13) adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Yang menjadi titik fokusnya adalah kesatuan fungsional dapat dibatasi apabila suatu keaadaan dimana seluruh bagian dalam sistem sosial bekerja Ronggeng Gunung yang merupakan suatu kesenian yang dimainkan oleh sekelompok orang ini memiliki fungsi dan struktur, seperti nayaga yang terdiri dari empat bagian walaupun hanya terdiri dari empat orang saja setiap bagian memiliki fungsinya lalu penari yang dibagi menjadi dua yaitu perempuan dan laki-laki, hal ini serupa dengan apa yang dikatan oleh Robert King Merton dalam Ritzer (2010, hlm 136) mengatakan bahwa struktural fungsional bukan hanya masyarakat akan tetapi setiap objek lain diantaranya adalah peran sosial, pola institusional, proses sosial, pola kultur, emosi yang terpola secara kultural, norma 8 sosial, organisasi kelompok, kelompok struktur sosial, perlengkapan untuk pengendalian sosial dan sebagainya Dalam pembahasan ini Ronggeng Gunung lebih dilibatkan dengan kehidupan masyarakat, seperti bagaimana peran Ronggeng Gunung yaitu bagian nayaga dan penari dalam kehidupan masyarakat, karena Ronggeng Gunung merupakan wujud kebudayaan, dimana budaya menurut Koentjaraningrat (2009, hlm. 162) adalah “ pikiran, karsa dan hasil karya manusia. Ronggeng Gunung disebut dengan budaya karena merupakan hasil karya manusia, dimana hasil pikir, karsa dan karya manusia ini memiliki nilai bukan tiba-tiba tercipta. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya menurut Merton setiap struktur memiliki fungsi dan hal tersebut saling berkaitan antara satu sama lain. Hal ini berlaku pada bagian nayaga dan penari dalam Ronggeng Gunung. Pertama nayaga,fokus pembahasan pada bagian ini adalah sinden dan wangsalannya karena dalam sinden terdapat nilai-nilai yang masih dirasakan oleh masyarakat. Seperti yang telah dipaparkan dalam hasil penemuan di lapangan mengenai wangsalan. Wangsalan memiliki ciri diantaranya adalah setiap lirik selalu memiliki pesan atau makna, untuk makna telah dipaparkan dalam hasil penemuan langsung oleh sinden, mengenai nilai yang ada dalam wangsalan ini jika dilihat memang kaya akan nilai. Nilai yang didapat dari kawung pugur ini diantaranya adalah nilai kejujuran, nilai keadilan, kebijaksanaan dan afektif. Dari wangsalan kawung pugur ini masyarakat diberitahu bahwa sesama manusia haruslah saling mengingatkan mana yang salah, mana yang benar, mana yang tidak baik dan mana yang baik, jangan pernah takut untuk membela kebenaran dan di akhir ketika kita sudah mengingatkan kepada orang yang salah, bersikaplah bijaksana, haruslah meminta maaf walaupun bukan kita yang salah. Wangsalan ini menjadi pedoman bagi masyarakat, menjadi pengingat, menjadi penasehat bahwa kita haruslah menjadi orang yang benar, orang yang amanah, orang yang adil. Masyarakat dituntun pada nilai-nilai tersebut yang diberitahukan melalui wangsalan. Selanjutnya wangsalan kawungan, kawungan merupakan wangsalan yang membuat masyarakat menjadi dekat dan mengenal satu sama lain, karena dari saling menyindir satu sama lain masyarakat menjadi lebih dekat, saling sikutmenyikut yang dalam arti bukan adu fisik tetapi sindiran yang berupa fisik, ada juga sindiran yang berupa verbal seperti “ tah si kang asep kaedanan ku randa ngora” atau “tah si asep kaedanan ku ceu eroh”. Kawungan merupakan wangsalan yang sifatnya guyon atau humor yang akhirnya membuat masyarakat menjadi dekat satu sama lain. Kedua penari, dari hasil penemuan bahwa dalam tarian terbagia menjadi dua yaitu gerakan memutar dan gerakan eredan, ke dua gerakan ini membuat masyarakat menjadi dekat, untuk gerakan memutar sudah jelas orang-orang bersatu ditenga-tengah, dan untuk gerakan eredan adalah mengeratkan keakraban mereka, mengeratkan keakraban disini adalah mereka pertama-tama menjagokan masing-masing jagoannya saling adu mulut, akan tetapi diakhir ketika sudah diketahui siapa yang menang maka mereka bersatu dan menari bersama di depan. Nayaga dan penari memiliki nilai yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, nilai tersebut adalah solidaritas dan pengendalian sosial. Pengendalian sosial ada pada wangsalan dan solidaritas ada pada gerakan. Pertama mengapa wangsalan disebut sebagai pengendali sosial ? karena menurut Joseph S. Roucek dalam Soekanto (1990, hlm 205) mengartikan 9 pengendalian sosial sebagai proses, baik direncanakan maupun tidak direncanakan, yang bersifat mendidik, mengajak, bahkan memaksa warga-warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku. Pengendalian sosial sebagai titik kelanjutan dari proses sosialisasi dan berhubungan dengan cara dan metode yang digunakan untuk mendorong seseorang agar berperilaku selaras dengan kehendak kelompok atau masyarakat yang jika dijalankan secara efektif, perilaku individu akan konsisten dengan tipe perilaku yang diharapkan. Seperti dalam wangsalan kawung pugur adalah salah satu bentuk pengendalian sosial, dimna kita sebgai manusia harus adil harus melakukan hal yang benar dan jangan pernah takut ketika kita tidak berbuat salah. Pada wangsalan kawung pugur pengendalian sosial lebih bersifat mengajak, mendidik masyarakat bahwa kita sebagai masyarakat haruslah berperilaku benar. Pada umumnya nilai-nilai yang ada pada Ronggeng Gunung tidak ada yang memaksa, semuanya hanya mengajak mendidik dan menasehati karena media yang digunakan Ronggeng Gunung dalam mengendalikan sosial adalah wangsalan maka masyarakat tidak pernah merasa terpaksa dikendalikan perilakunya. Bagian selanjutnya yang memiliki nilai adalah penari, nilai yang ada pada penari adalah solidaritas, disebut solidaritas karena dari tarian ini masyarakat menjadi dekat jika dilihat dari gerakan memutar dan maasyarakat menjadi akrab ketika gerakan eredan. Ke dua gerakan ini disebut memiliki nilai solidaritas karena solidaritas menurut menurut Emile Durkheim (1986, hlm 91) adalah suatu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas menekanakan pada keadaan hubungan antar individu dan kelompok dan mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan didukung nilai-nilai moral dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Selain memiliki nilai yang positif, ronggeng gunung juga memiliki fungsi laten yang menurut Robert K Merton selalu ada fungsi manifest dan laten dalam suatu struktur begitupun dengan Ronggeng Gunung, Ronggeng Gunung memiliki fungsi laten terutama bagian tarian atau orang yang menari. Penari yang menjadi fungsi laten disini adalah penari perempuan. Fungsi laten yang terdapat di penari disini adalah ada pandangan negatif terhadap ronggeng ketika adanya sawer. Ketika peneliti bertanya kepada salah satu penari ronggeng yang berinisial N lalu dibandingkan dengan pendapat dari masyarakat sangatlah berbeda, pertama peneliti akan bahas dari penari itu sendiri. Penari menjalankan perannya sebagai seorang penari dengan cara menggerakan tangan dan kakinya, fungsi manifest yang dihasilkan adalah dari gerakan yang memutar yang menimbulkan solidaritas, namun disini fungsi laten muncul ketika ada sawer. Menurut penari sendiri sawer dipandang sebagai bentuk penghargaan, bentuk upah karena mereka menghargai apa yang telah dilakukan, penari tersebut mengatakan bahwa itu hadiah, upah atau apresiasi. Apresiasi, upah atau hadiah mereka menamakan sawer seperti itu, yang menjadi alasan dinamakan sawer karena mereka berfikir bahwa mereka telah bekerja, mereka telah mengeluarkan keringat jadi sawer merupakan bentuk hadiah, upah atau apresiasi sehingga mereka berfikir bahwa itu merupakan penghargaan yang mereka terima, penari berfikir bahwa orang yang memberikan 10 sawer telah menghargai apa yang penari lakukan. Jadi fungsi dari sawer itu menurut penari sendiri merupakan bentuk suatu penghargaan, upah, hadiah atau apresiasi, yang membuat mereka berfikir seperti itu adalah karena orang yang telah memberikan sawer telah menghargai penari, apa yang penari lakukan mereka tetap menghargainya dalam bentuk uang. Pandangan antara penari dan masyarakat sangatlah berbeda, terlebih pada fungsi laten atau sesuatu yang tidak diharapakan dari kenyatannya. Seperti contoh ketika sedang ada pementasan berlangsung khusunya ketika yang sedang menarinya itu adalah wanita biasanya yang ikut menari adalah laki-laki walaupun perempuan juga ada tetapi tidak sebanyak laki-laki. Ketika penari sedang menjalankan perannnya biasanya laki-laki ketika di tengah-tengah tarian selalu memberikan saweran, saweran biasanya berupa uang. Pandangan masyarakat berubah ketika tadinya para penari hanya menari dan laki laki ngibing berubah menjadi para penari diberi sawer oleh para laki-laki, pandangan masyarakat menjadi negatif hal ini diutarakan oleh salah satu informan dari Desa Ciulu yaitu E berpendapat bahwa ketika laki-laki memberikan saweran akan ada buntut atau kemauan dibelakangnya, atau ada kemauan yang diselipkan dari uang tersebut. Seperti yang diketahui pada umumnya bahwa ketika laki-laki meberikan sawer maka akan ada buntut dibelakang seperti ada hal-hal yang berbau pemuas nafsu belaka. Selain buntut yang terjadi di belakang pandangan masyarakat adalah ketika mereka memberikan sawer pada penari bisa seenaknya meraba-raba fisik penari pada saat itu juga, meskipun pada kenyatannya hal itu benar-benar tidak ada hanya saja opini dan pandangan masyarakat berpendapat seperti itu. Pandangan dari masyarakat ini menjadikan penari dalam Ronggeng Gunung ini memiliki fungsi laten, dimana fungsi ini adalah sesuatu yang tidak diharapakan atau tidak dimaksudkan untuk itu. Pandangan dari masyarakat ini sebenarnya tidak terjadi ketika penampilan Ronggeng Gunung sedang berlangsung, hal tersebut tidak ada hubungannya antara sawer dengan buntut dibelakangnya, ini hanya pandangan masyarakat saja yang negatif. Padahal pada kenyatannya sawer ini menurut para penari adalah bentuk penghargaan, mereka berpikir bahwa orang yang telah memberikan sawer telah menghargai para penari. Nayaga dan penari memang memiliki nilai positif yang dirasakan masyarakat dalam kehidupan, walaupun disisi lain memiliki fungsi laten tetapi nilai fungsional struktural yang fungsional lebih mendominasi, maka untuk mempertahankan nilai tersebut maka langakah awalnya adalah dengan cara melestarikan kesenian ronggeng gunung iti sendiri. Cara yang digunakan untuk melestarikan ronggeng gunung adalah didirikannya suatu sanggar yaitu sanggar Panggugah Rasa yang telah dijelaskan pada temuan. Sanggar ini seperti wadah untuk mempertahankan nilai fungsional struktural Ronggeng Gunung. Akan tetapi jika kita ingin mempertahankan nilai fungsional struktural dari kesenian Ronggeng Gunung maka terlebih dahulu masyarakat haruslah melestarikan kesenian Ronggeng Gunung itu sendiri. Sanggar merupakan jawaban dari hal tersebut. Hal yang bersangkutan dengan mempertahankan melalui sanggar sejalan dalam teorinya Talcot Parson yaitu AGIL, menurutnya (1990, hlm 185) AGIL ada dalam suatu sistem, bagaimana suatu sitem tetap berfungsi dengan saling keterkaitan antar satu sama lain. AGIL disini adalah pertama adalah Adaptation 11 dimana adaptation ini merupakan suatu keharusan bagi setiap sistem sosial untuk menghadapi lingkungannnya, lingkungan disini bisa berupa fisik dan sosial, untuk bisa bertahan suatu sistem harus bisa menyesuaikan diri dengan ke dua lingkungan tersebut meskipun dalam keadaan yang tidak mendukung. Jika dalam Ronggeng Gunung dimana Ronggeng Gunung yang diwadahi oleh sanggar. Sanggar harus bisa menyesuaikan dengan kebutuhan Ronggeng Gunung dan sanggar yang harus menyesuaikan dengan lingkungan sosial. Kedua Goal Attainment atau pencapaian tujuan, dalam hal ini sistem harus memiliki tujuan yang terarah untuk mencapai suatu tujuan utamanya. Hal ini memiiliki syarat dimana sistem haruslah bisa mengatur, menentukan dan memiliki sumber daya untuk menetapkan tujuan yang sifatnya kolektif. Tujuannya disini adalah bagaimana sanggar agar dapat dapat mempertahankan eksistensinya Ronggeng Gunung ditengah-tengah kesenian yang lebih menarik dan lebih modern. Ketiga integration dimana hal ini merupakan persyaratan untuk terjadinya hubungan yang terintegrasi antara para anggota, hal ini bisa diperkuat dengan ikatan emosional atau yang disebut solidaritas. Integrasi disini adalah masyarakat harus tahu bahwa Ronggeng Gunung itu harus dilestarikan karena Ronggeng Gunung merupakan kebudayaan yang mesti dipertahankan, hal ini dipertahankan karena memiliki nilai dan fungsi yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, nilai ini dirasakan bukan hanya oleh para sesepuh akan tetapi oleh generasi sekarangpun mereka masih merasakan bagaimana Ronggeng Gunung berpengaruh dalam kehidupannya. Integrasi disini juga dimana antara sanggar Ronggeng Gunung dan masyarakat harus satu pikiran, satu pandangan dan sepemahaman dengan tujuan didirikannya sanggar sehingga tujuan akan tercapai yaitu untuk melestarikan kesenian Ronggeng Gunung. Keempat adalah latency yaitu pemeliharaan atau mempertahankan sebuah sistem. Pemeliharaan dan mempertahankan berbicara bagaimana cara mempertahankan dan siapa yang harus mempertahankan, karena kembali lagi bagaiamana mau mempertahankan nilai fungsioanl struktural jika ronggengnyapun sudah tidak ada. Upaya mempertahankan nilai fungsional struktural Ronggeng Gunung adalah dengan mendirikannnya suatu sanggar yaitu sanggar Panggugah Rasa. Dengan sanggar Panggugah Rasa ini para pelaku budaya bisa merekrut atau mebuka latihan untuk para masyarakat yang ingin belajar Ronggeng Gunung ini, hal ini dilakukan secara gratis dan terbuka untuk umum. Hal ini bisa mempertahankan nilai fungsioanl struktural Ronggeng Gunung karena dengan cara latihan mereka bisa mengetahui nilai-nilai apa yang ada pada wangsalan Ronggeng Gunung serta fungsi dari tarian Ronggeng Gunung, terlebih lagi apabila latihan ini dilakukan scera rutin maka nilai dan fungsi dari setiap struktur akan dirasakan oleh orang yang mengikuti latihann ini. Intinya sanggar Panggugah Rasa memiliki peran penting dalam mempertahankan kesenian Ronggeng Gunung sekaligus nilai fungsional struktural yang ada pada Ronggeng Gunung. SIMPULAN Pertama nilai fungsional struktural nayaga dalam kehidupan masyarakat Banjarsari ada pada sinden dan wawangsalan, disebut ada pada sinden karena 12 dalam nayaga terdapat bagian-bagian lain seperti pemukul kendang, gong dan kenong atau yang disebut ketuk tilu serta sinden, tetapi bagian yang memiliki nilai fungsional struktural disini adalah sinden. Nilai tersebut ada pada lagu atau orang Banjarsari menyebutnya sisindiran (wawangsalan), dalam wawangsalan ini terdapat nilai-nilai kehidupan yang menjadi pedoman atau penasehat bagi masyarakat Banjarsari dimana nilai-nilai itu diantaranya nilai kejujuran, religi, nasionalisme, keadilan, kebijaksanaan, humor, kasih sayang yang secara tidak sadar sisindiran tersebut sebagai pengendali perilaku masyarakat Banjarsari. Kedua nilai fungsional struktural bagian penari dalam kehidupan masyarakat Banjarsari dilihat dari gerakan ronggeng gunung yang memutar dan dilakukan secara rampak membuat bertambahnya kekerabatan dan kedekatan yang meningkat atau yang disebut solidaritas. Gerakan satu lagi eredan dimana gerakan ini lebih seperti pertarungan dimana terdapat dua kubu yang mendukung jagoannya masing-masing, mereka eredan dan diakhir jika sudah diketahui ada pemenang bukan berbuntut masalah akan tetapi lebih ke meningkatkan kedekatan dan keakraban mereka karena pada akhir eredan ini dari ke dua kubu berkumpul dan menari bersama, kesolidaritasan ini dirasakan oleh masyarakat Banjarsari. Ketiga nilai fungsional struktural kesenian ronggeng gunung dalam kehidupan masyarakat baik itu nayaga dan penari adalah nilai solidaritas dan kontrol sosial, untuk kontrol sosial terdapat dalam isi dari sisindiran yang merupakan bagian dari nayaga, sedangkan nilai solidaritas terdapat pada gerakan ronggeng gunung yaitu gerakan memutar dan gerakan eredan. Terakhir cara untuk mempertahankan nilai fungsional struktural ronggeng gunung adalah dengan melestarikan terlebih dahulu kesenian tersebut, karena tidak akan ada nilai fungsional struktural jika ronggeng gunung sudah tidak ada. Maka dari itu cara untuk melestarikan kesenian ronggeng gunung adalah dengan didirikannya sanggar Panggugah Rasa sebagai sarana atau wadah untuk melestarikan ronggeng gunung sekaligus nilai yang terkandung di dalammnya. DAFTAR PUSTAKA Durkheim E. (1986). Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Melati, D. (2014). “Ronggeng Gunung Sebagai Identitas Masyarakat Ciamis” Merton KR. (1989). Robert K Merton Analisa Fungsional. Jakarta Utara: CV Rajawali Parsons T. (1990). Talcott Parsons dan Pemikirannya.Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya Soekanto, S. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta Utara: Raja Grafndo Persada Spradley, J. (2006). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana