196 BAB VI PENUTUP 6. 1. Kesimpulan Sejak

advertisement
BAB VI
PENUTUP
6. 1. Kesimpulan
Sejak diberlakukannya otonomi daerah di kabupaten Tulang Bawang
ternyata melahirkan perpolitikan lokal yang dinamis, membedakan diri sama
sekali dengan era-era sebelumnya baik Orde Lama maupun Orde Baru.
Perpolitikan lokal satu sisi menarik partisipasi publik yang sedemikian besar dan
pada saat yang sama menjadi arena pertarungan politik dan identitas yang
dilatarbelakangi
persoalan
etnisitas.
Persoalan
etnisitas
yang
dimaksud
menyangkut problem kuasa politik atas sekelompok etnik tertentu oleh kelompok
etnik lain. Pada kasus Tulang Bawang Barat, tidak lain sebagai manifestasi dari
“balas dendam” politik terhadap dominasi pendatang transmigran Jawa atas orang
Lampung yang berlangsung dalam kurun lama yakni semenjak Orde Lama dan
dikuatkan lagi secara hegemonik pada Orde baru.
Masyarakat asli Lampung Tulang Bawang Barat pada masa pra-Otonomi
Daerah mengalami apa yang mereka rasakan sebagai marginalisasi yakni
etnifikasi oleh kelompok pendatang-transmigran Jawa yang secara kuantitatif
mencapai angka 70 % dari total populasi dibandingkan jumlah mereka yang hanya
20 % saja. Sedangkan suku-suku lain seperti transmigran Bali, Sunda atau
pendatang Batak, Minang dan lain-lain berkisar ± 10 % saja.
Kondisi demikian menyebabkan situasi orang Lampung berada dalam
kepungan heterogenitas budaya yang dominan. Umumnya, jika suatu kelompok
masyarakat dapat dengan mudah diidentifikasi melalui ciri-khas kebudayaan yang
196
197
merujuk pada nilai-nilai maupun bahasanya serta pada kesempatan yang sama
dijadikan sebagai aturan main sehingga Tulang Bawang Barat dikenal dengan
“kelampungannya” maka hal tersebut tidak terjadi pada masa itu. Yang terjadi
adalah bahwa Tulang Bawang kental dengan ciri-khas Jawa baik dari sisi budaya,
bahasa maupun tampilan postur birokrasi baik sipil maupun militer, dari tingkat
desa, kecamatan hingga kabupaten maupun gubernuran, mulai dari struktur
POLSEK, POLRES, KORAMIL hingga KODIM maupun KODAM.
Situasi tersebut memang tidak dapat dipisahkan dari sejarah kontak
masyarakat lampung dengan pendatang-transmigran Jawa sejak era kolonial
Belanda ditambah lagi dengan gaya kepemimpinan sentralistik otoritarianisme
Orde Baru. Transmigrasi dengan para transmigrannya menjadikan mereka
mengalami marginalisasi di tanahnya sendiri dan membuat mereka tidak berkuasa
atas wilayahnya atau sebagaimana diisitilahkan Sokefeld sebagai etnifikasi.
Sedangkan Avtar Brah menggambarkan sebagai pribumi diasporian yang
mengalami keterasingan. Dalam konteks ruang diaspora ini, baik masyarakat asli
Lampung
maupun
pendatang-transmigran
Jawa
mengalami
ketegangan-
ketegangan identitas dan psikologis yang senantiasa hadir dan menghilang.
Semenjak otonomi daerah, terdapat pergeseran sikap orang asli Lampung
menghadapi marginalisasi yang mereka alami. Resistensi yang dilakukan pertamatama bukanlah perlawanan politik dengan merebut posisi-posisi strategis jabatan
partai politik yang akan dipergunakan untuk kendaraan politik.
Melainkan
strategi budaya dengan modal budaya yang mereka miliki yakni filsafat Piil
Pesenggiri sebagai modal pembentukan identitas kolektif mereka demi
198
menghadapi dominasi pendatang transmigran Jawa yang mayoritas. Piil
Pesenggiri dikontekstualisasikan menurut tafsiran akan kebutuhan jaman yakni
otonomi daerah. Dalam hal ini Comaroff menyebutnya sebagai alat perjuangan
melawan marginalisasi. Oleh karena itu penelitian ini menunjukkan terdapat 3
pokok temuan yakni :
Pertama. Gerakan sosial budaya dengan konstruksi identitas diri orangorang Lampung dan identitas pendatang berdasarkan tafsir kontesktual Piil
Pesenggiri. Filsafat Piil Pesenggiri yang pada mulanya bersifat etis-normatif dan
berfungsi sebagai ajaran
nilai-nilai moralitas mengalami ideologisasi. Pada
modus pertama ini, mereka berusaha mendefinisikan siapa mereka dan siapa
pendatang Jawa melalui pemaknaan ulang akan doktrin Nemui Nyimah; siapa
kami dan siapa pendatang; tuan rumah berhadap-hadapan dengan tamu.
Konstruksi identitas bersifat bipolar. Vis a vis : orang Lampung berhadap-hadapan
dengan orang Jawa (atau pendatang lain). Identitas tidak bersifat cair dan justru
menggumpal saling berhadap-hadapan. Mengikuti alur gerakan tersebut pada
gilirannya menjadi pintu masuk pada arena perpolitikan lokal sebagai implikasi
gerakan pertama yakni hak kepemimpinan kekuasaan birokrasi Tulang Bawang
Barat. Siapa yang harus menjadi Bupati, Ketua DPRD, Anggota DPRD, Camat,
Kepala Dinas dan seterusnya. Hak kekuasaan ini secara langsung merupakan
implementasi dari modus pertama dan terjemahan kongkrit dari Piil Pesenggiri
yang mereka yakini. Pada pokok kedua ini pula nepotisme patron client semakin
menyubur.
199
Disamping modus tersebut, terjadi pula resistensi orang Lampung yang
berbentuk aksi sosial lapangan yang bersifat tidak terstruktur dan terorganisir.
Pada pola ini, aksi massa atas nama putra daerah sering terjadi dan bersifat
sporadis. Biasanya dipicu masalah konflik tanah. Mereka dengan menggerakkan
orang-orang lokal dan “LSM” bentukan mereka sendiri biasanya menduduki
rumah atau tanah yang diklaim miliki mereka. Bagi kelompok pendatang
trasnmigran, meskipun pola jenis ini tidak termasuk sebagai gerakan sistematis
kekuasaan akan tetapi implikasi psikologisnya, sesungguhnya jauh lebih terasa
dibanding pergerakan politik terutama bagi kalangan masyarakat bawah yang
hirau terhadap hingar-bingar politik. Bagi mereka keamanan sosial dan
ketenangan hidup jauh lebih berarti dibandingkan dengan pertarungan politik.
Bersamaan dengan perebutan basis-basis kekuasaan, produk-produk
kebijakan publik seperti pengajaran bahasa Lampung diwajibkan di sekolahansekolahan, simbol-simbol daerah, kegiatan seni tradisi orang Lampung secara
masif dihidupkan. Terdapat keinginan utama untuk membumikan lagi simbol dan
adat budaya Lampung yang telah lama hilang dan tergantikan oleh dominasi
budaya Jawa. Konteks ini, sesungguhnya masyarakat asli Lampung menginginkan
pengakuan dari komunitas lain yang tinggal di sana.
Belajar dari yang mereka alami nampaknya orang Lampung belajar dari
pengetahuan para pendatang. Mereka mempelajari pengetahuan pendatang dengan
membentuk organisasi-organisasi adat dan berstrategi untuk kemudian bagaimana
mengalahkan mereka. Dengan mengambil pengetahuan para pendatang mereka
200
meningkatkan
kapasitas
diri
bagaimana
berkompetisi
dalam
internal
masyarakatnya maupun ketika berhadapan dengan orang lain.
Kedua,
bahwa kelompok masyarakat transmigran (tidak hanya yang
berasal dari Jawa) secara historis terstreototipkan sebagai kelompok kelas
rendahan dalam struktur sosial masyarakat Lampung. Sejak mula kedatangan
mereka di tanah asal sampai dengan di tanah tujuan tetap dianggap sebagai warga
kelas dua. Barangkali sama dengan cara pandang sebagaian dari kita terhadap
label transmigran. Konstruksi label transmigran memuat anggapan negatif tentang
kelas sosial yang berasal dari golongan rendahan atau kelompok marginal miskin,
pengangguran atau secara keseluruhan kelas ekonomi lemah.
Demikianlah sejarah sendiri telah secara lama melakukan marginalisasi
identitas mereka. Di masyarakat Tulang Bawang Barat, kelompok lokal (pribumi)
pun melakukan cara pandang yang sama. Masyarakat asli Lampung Tulang
Bawang mennggolongkan kelompok transmigran menjadi dua jenis kelompok :
a). Kelompok mereka yang dianggap kelas satu, sehingga layak untuk dijadikan
sebagai “orang Lampung” atau “dilampungkan” dengan cara pemberianpemberian gelar. Pada kelompok ini, meliputi orang-orang Jawa (maupun non
Jawa) yang dianggap memiliki derajat
ketokohan tertentu, berhasil secara
ekonomi dan biasanya adalah mereka-mereka yang menjabat jabatan publik
seperti birokrat desa, PEMDA, instansi militer, pengusaha dan sejenisnya.
b). Kelompok transmigran yang tetap dianggap sebagai warga kelas dua, yakni
kelompok sosial baik Jawa maupun non Jawa yang tidak memiliki jabatan publik
tertentu. Tidak terdapat kriterium khusus untuk menentukan sebagai kelompok a
201
atau b. Akan tetapi dapat dilihat bahwa yang termasuk dalam kelompok ini adalah
mereka yang dianggap tidak memiliki derajat ketokohan tertentu meskipun secara
finansial cukup
Ketiga, orang Jawa dengan etika Jawanya menanggapi perlawanan balik
masyarakat asli Lampung dengan sikap khas Jawa yakni mengedepankan
keselarasan, pragmatis dan pada titik tekan tertentu masuk ke dalam situasi
apatisme politik. Mayoritas responden memberi pernyataan bahwa mereka lebih
baik “mengalah” demi keluarga dan apa yang telah mereka perjuangkan selama
puluhan tahun dari pada melakukan perlawanan tetapi akan kehilangan properti
yang telah dimiliki.
6.2. Saran
Memaparkan catatan dinamika perpolitikan lokal Kabupaten Tulang
Bawang menggiring pada kesimpulan bahwa identitas keindonesiaan sebagai
syarat terwujudnya “kemauan politik bersama” sebagaimana gagasan yang biasa
berkembang dalam diskursus nasionalisme belum terbentuk. Merujuk pada
pendapat Furnivall dan Miller sebuah “kemauan bersama” di Tulang Bawang
Barat hanya dirasakan pada level ekonomi yang berlangsung di pasar-pasar
dimana transaksi perniagaan berlangsung. Keluar dari arena pasar, yang tersisa
hanya kehidupan sosial dengan dua polarisasi identitas kolektif yang satu
mencurigai yang lain, merasa dirinya lebih besar, memiliki hak utama karena
klaim kepemilikan sedangkan kelompok lain pasrah, nrimo,
tidak terlalu
peduli/pasif demi menjaga keselamatan diri dan keselarasan jagad gedenya.
202
Untuk itu terdapat saran yang barangkali relevan dan patut untuk direnungkan
bersama :
Pertama, pembentukan identitas keindonesiaan sebagai antitesis dari
identitas kelokalan. Bagaimanapun juga Pemerintah kolonial Belanda, Soekarno
(Orde Lama) maupun Soeharto (Orde Baru) memiliki andil terbentuknya
polarisasi bipolar pendatang transmigran Jawa vis a vis masyarakat lokal
Lampung dengan pembangunan pemukiman yang bersifat enclave, membentuk
kantong-kantong etnik sehingga setelah sekian puluh bahkan ratusan tahun tidak
terjadi pembauran sosial dan akulturasi budaya secara alamiah. Orang Jawa
tumbuh dengan kejawaannya, orang Bali tumbuh dengan kebalianya dan orang
Lampung meredup dengan sendirinya karena keterdesakan populasi maupun
etnifikasi. Gelora ide kebangsaan sejak Soekarno melalui demagogi dan retorika
berapi-api yang disiarkan lewat radio nampaknya hanya sekilas menyentuh
kesadaran diri transmigran sebagai orang Indonesia (baca : Wong Jowo Indonesia)
yang hidup di tengah-tengah masyarakat “bukan seperti mereka” di tanah air
Indonesia dan tidak sempat mengguratkan identitas diri sebagai orang Indonesia
akibat pemukiman enclave, kesibukannya menaklukan alam dan memperbaiki
derajat kualitas hidup yang keras. Ide kebangsaan/nasionalisme dan identitas
keindonesiaan hanya lirih terdengar dari seberang pulau Jawa dan tidak
membekas banyak dalam memori kolektifnya. Mereka tetap merasa sebagai orang
Jawa di tanah bukan pulau Jawa.
Era Orde Baru Soeharto, ide kebangsaan
dan identitas keindonesiaan
nampaknya “lebih berhasil” karena dilakukan secara koersif-sentralistik ala
203
militer dan birokrasi otoritarianistik. Disini KORAMIL, KODIM, kantor-kantor
aparat pemerintahan menjadi agen langsung penerjemah, penafsir dan penopang
dari ide identitas keindonesiaan. Tidak ketinggalan, partai-partai politik semisal
GOLKAR, PPP maupun PDI melakukan hal yang sama meskipun hasilnya jauh
berbeda dengan hasil yang dilakukan dari lembaga-lembaga pertama. Penataranpenataran P4, propaganda keberhasilan ekonomi melalui siaran-siaran RRI,
KELOMPENCAPIR menjadi salah satu medium pemerintahan Soeharto
memperkenalkan gagasan keindonesiaan. Akan tetapi masyarakat lokal Lampung
menanggapi cara Orde Baru dengan berbeda. Bagi mereka identitas keindonesiaan
yang diperkenalkan dan dipromosikan Orde Baru bertolak belakang dengan
praktik di lapangan dimana menurutnya, telah terjadi ide dan gerakan Jawanisasi.
Camat, wedana, bupati hingga gubernur dipilih dari orang Jawa. Polisi-polisi dan
BABINSA dan KORAMIL, KODIM juga kebanyakan berasal dari Jawa. Belum
lagi seragam batik yang wajib dipergunakan tiap hari Jumat oleh birokrat-birokrat
juga guru-guru dan murid sekolah. Yang mereka rasakan jauh dari rasa
“keindonesiaan” tetapi “jawanisasi”.
Merujuk pada Benedict Anderson, definisi bangsa/nation adalah
komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara
inheren sekaligus berkedaulatan. Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena
anggota bangsa sekecil apapun tidak akan tahu dan takkan kenal sebagian besar
anggota lainnya dan tidak akan bertatap muka dengan mereka. Tetapi masingmasing membayangkan dalam sebuah arena imajiner yang disatukan oleh
bayangan akan kebersamaan mereka. Kebangsaan bersifat terbatas karena anggota
204
suku-suku bangsa baik yang jumlah populasinya besar maupun kecil memiliki
garis demarkasi yang jelas tetapi elastis. Orang Lampung adalah orang Lampung,
dan Jawa tetaplah Jawa tetapi mereka dalam figura keindonesiaan.
Oleh sebab
itu, pembangunan proyek identitas keindonesiaan adalah suatu proses budaya
yang terus menerus. Ia harus dikerjakan, diolah, didisain sedemikian rupa
sehingga sampai pada arah dan tujuan yang dicita-citakan oleh UUD 1945.
Ketiga, otonomi daerah, identitas keindonesiaan, nasionalisme adalah
produk modernitas berlawanan dengan identitas kelokalan, kepemimpinan adat
/kesukuan yang adalah produk tradisional. Jika modernitas mengandalkan
rasionalitas yang identik dengan produk pencerahan maka kebalikannya,
tradisionalitas lebih pada dogma kesukuan maupun agama yang terkadang bersifat
jumud dan anti-kritik dan cocok diberlakukan pada masyarakat tradisional
homogen. Sebagai produk modernitas yang mengandalkan rasionalitas maka
proyek pembangunan identitas kebangsaan/keindonesiaan sebagai instrumen
untuk melawan tumbuhnya politik identitas sempit ala otonomi daerah adalah
pendidikan. Proyek identitas adalah proyek yang tidak pernah berhenti selama
negara yang bersangkutan masih berdiri tegak. Oleh sebab itu, mengajar dan
mendidik dan membentuk “orang Indonesia” merupakan proses yang bersifat long
life education. Di sekolahan,
pasar-pasar,
lingkungan kantor, pusat-pusat
perniagaan keindonesiaan hendaknya diutamakan daripada kesukuan. Orangorang Jawa sudah harus mulai menghargai masyarakat Lampung dengan
meninggalkan kejawaanya ketika beranjak dari pintu rumah mereka dengan
berbahasa Indonesia. Demikianpun orang Lampung hendaknya mulai menyadari
205
bahwa mereka bukanlah tuan rumah abadi yang berkuasa absolut atas kontrol
pemerintahan daerah dan klaim kepemilikan tanah. Otonomi daerah hendaknya
tidak menjadi pintu masuk tirani politik yang menampilkan diri dengan wajah
kearifan lokal Piil Pesenggiri kepada para pendatang. Piil Pesenggiripun
hendaknya jangan dijadikan instrumen intimidasi sosial demi menekan, menakutnakuti dan merebut tanah yang sudah menjadi milik orang lain. Piil Pesenggeri
bukanlah ideologi yang beralih rupa menjadi “senjata tajam” yang lantas
kemudian dipergunakan untuk menikam orang lain. Piil Pesenggiri bukan pula
ideologi komunitas tetapi hanya sebatas filsafat, etika dan nilai-nilai tradisi yang
memungkinkan dalam dirinya alpa, salah atau sudah tidak up to date.
Selanjutnya, otonomi daerah seyogyanya dijadikan arena fair play
layaknya pertandingan sepakbola dimana mereka yang terbaiklah yang dapat
menjadi juara, bukan karena dasar pertimbangan klub yang bertanding pemilik
stadion atau banyaknya suporter di sudut-sudut tribun.
Suksesnya jalur pendidikan akan kesadaran identitas keindonesiaan
ditunjukkan oleh narasumber-narasumber asal Lampung maupun Jawa yang telah
mengenyam pendidikan tinggi. Bagi mereka, Piil Pesenggiri menjadi salah kaprah
jika dijadikan modal sosial untuk melakukan penetrasi dan marginalisasi terhadap
suku-suku lain di tanah Tulang Bawang. Pun pada saat yang sama, anak-anak
transmigran/PUJAKESUMA merasa bahwa identitasnya sudah mencair bukan
lagi sebagai orang Jawa dan orang Lampung tetapi sebagai orang Indonesia.
Mereka dengan modal pendidikannya telah berhasil keluar dari selubung
206
kepompong lokalitas kesukuan dan bermetamorfosa menjadi kupu-kupu
Indonesia.
Keempat, Dalam era multikultural, globalisasi menggiring hampir semua
negara ke dalam situasi multikultur. Hampir tidak terdapat sebuah negara dengan
penduduk homogen yang terdiri dari satu jenis etnik saja. Tiap-tiap negara
memiliki ragam penduduk dan ragam budaya dengan nilai-nilai yang berbeda.
Tentu saja, pertanyaannya tidak berhenti pada “sejauh mana masyarakat
memenuhi
norma-norma
keadilan,
kebebasan
individu
dan
demokrasi
permusyawaratan ?”. Tetapi pada bagaimana prinsip demokrasi dijunjung dengan
tetap
mengijinkan
kearifan
lokal
hidup
berkembang.
Multikulturalisme
memberikan jawaban tepat akan problematika politik sosial Tulang Bawang
Barat.
Secara garis besar, multikulturalisme melompati definisi lama pluralisme
yakni
sekedar pengakuan terhadap keanekaragaman, kemajemukan dan
kebinekaan yang sudah terkonstruksi jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka.
Kerajaan-kerajaan kuno Indonesia bahkan Orde Baru mengakui hal tersebut,
bahwa di sana terdapat berbagai macam ras, suku agama, golongan dan
kelompok-kelompok budaya tertentu. Fakta Tulang Bawang era Soeharto
menyisakan persoalan etnifikasi orang Lampung dan memberikan ruang bagi
timbulnya “Jawanisasi”. Multikulturalisme
disamping mengakui potensi
keragaman, ia juga memberikan peluang berekspresi menurut jati diri masingmasing
dengan saling berkomunikasi satu sama lain dengan meniadakan
dominasi maupun mematikan oleh satu kepada yang lain. Identitas kultural
207
sebagai orang Jawa dan orang Lampung diakui dan tetap memperoleh hak-hak
yang sama untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial-politik. Antara komunitas
Lampung dan Jawa serta suku-suku lainnya yang hidup di sana, bersifat egaliter,
berdiri
sama
tinggi
dan
duduk
sama
rendah.
Tidak
terdapat
hak
istimewa/previledge sebagai tuan rumah/pribumi dan pendatang/tamu. Arena
kontestasi bersifat terbuka dan hanya merupakan pertarungan kualitas
kepemimpinan.
Download