Policy Brief : Analisa Penyebab Angka Kematian Bayi, 2015. ANALISA PENYEBAB ANGKA KEMATIAN BAYI (AKB) Intervensi program KKB dalam mencapai sasaran MDG’s Viya Yanti Mala Peneliti Tingkat Pertama Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Prov. Sumsel Jl. Demang Lebar Daun Pakjo Palembang Pos-el : [email protected] Ringkasan Eksekutif Hasil SDKI 2012 provinsi Sumatera Selatan menyebutkan bahwa kematian anak selama lima tahun sebelum survei (2008-2012) adalah 28 kematian per 1000 kelahiran hidup. Artinya, setiap 1 dari 28 anak yang lahir di Sumatera Selatan meninggal sebelum mencapai umur 1 tahun. Angka kematian anak dan balita masing-masing adalah 9 dan 36 kematian per 1000 kelahiran hidup. Kondisi ini menunjukkan bahwa angka kematian bayi telah turun lebih dari separuhnya, sebagai perbandingan pada SDKI tahun 1990-1994, Angka kematian bayi adalah 60 kematian per 1.000 kelahiran hidup dan angka kematian anak 35 per 1.000 kelahiran, sedangkan angka kematian balita 92 kematian per 1.000 kelahiran. Pada SDKI 2012, angka kematian bayi turun lebih dari separuhnya menjadi 29 kematian per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan untuk kematian anak dan balita, telah menurun sangat tajam menjadi 9 dan 37 per 1.000 kelahiran hidup. Sejumlah faktor mempengaruhi kematian bayi dan anak, dalam kerangka teori klasik tentang determinan kematian bayi dan anak oleh Moesley and Chen (1984) bahwa faktor sosial ekonomi secara tidak langsung turut mempengaruhi melalui 5 faktor utama, yaitu : faktor maternal, kontaminasi lingkungan, defisiensi nutrisi, kecelakaan, dan faktor pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit. Faktor maternal disini mencakup umur ibu, jarak kelahiran, paritas dan berbagai kondisi kesehatan ibu yang mempengaruhi kesehatan anaknya. Data SDKI 2012 menyebutkan, dipandang dari karakteristik sosial ekonomi, angka tertinggi kematian bayi berdasarkan wilayah tempat tinggal sebesar 33% berada di pedesaan, hal ini menunjukkan bahwa lingkungan memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Pendidikan ibu juga memiliki hubungan yang terbalik dengan resiko kematian anak, karena pendidikan memberikan kesempatan bagi ibu untuk mendapatkan informasi perawatan kehamilan dan anak yang lebih baik. Resiko kematian bayi tertinggi pada posisi ibu yang tidak sekolah sebesar 86%, sedangkan ibu dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi sebesar 10%. Dari segi ekonomi, 34% kematian bayi berada pada kuintil kekayaan terbawah, dibandingkan pada kuintil kekayaan teratas sebesar 18%. Terkait dengan tujuan MDG’s dalam menurunkan angka kematian anak di indonesia pada tahun 2015 yakni turun hingga 1/3 (sepertiga) dari angka pada tahun 1990 atau hanya 23 kematian per 1.000 kelahiran hidup, nampaknya sulit dilakukan. Tulisan ini memuat hasil analisa SDKI 2012 terhadap permasalahan kematian bayi dan anak melalui pendekatan teori Moesley and Chen dengan intervensi program Keluarga Berencana sebagai salah satu upaya dalam menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Pendahuluan Angka kematian bayi (AKB) merupakan salah satu indikator status kesehatan masyarakat yang terkait dengan berbagai indikator kesehatan dan indikator pembangunan lainnya. AKB tidak hanya menggambarkan keberhasilan pembangunan sektor kesehatan, tetapi juga terkait langsung dengan angka ratarata harapan hidup penduduk di suatu daerah. Oleh karena itu, pengukuran dan analisa kematian bayi merupakan cara strategis dalam menilai pencapaian kinerja bidang kesehatan dan pembangunan umum lainnya di suatu daerah (Pusat kesehatan Reproduksi – Fakultas Kedokteran UGM, 2010). Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah menetapkan Penurunan kematian bayi dalam tujuan ke 4 pada MDG’s (Millenium Development Goal’s) atau Sasaran 1 Policy Brief : Analisa Penyebab Angka Kematian Bayi, 2015. Pembangunan Milenium. Sementara itu, penurunan angka kematian ibu, berada pada tujuan ke 5. 92 100 80 60 40 20 0 60 35 SDKI 1994 53 52 49 42 29 37 30 18 19 11 9 SDKI 1997 Kematian bayi SDKI 2002 SDKI 2007 SDKI 2012 Kematian anak Sumber : SDKI 2012 Prov. Sumsel Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa angka kematian bayi merosot tajam dibandingkan pada SDKI 1994, dimana lebih dari separuh kematian bayi dapat ditekan. Keadaan ini turut pula didukung dengan semakin baik dan memadainya akses dan pelayanan kesehatan pra dan pasca melahirkan, tingkat pendidikan yang semakin tinggi, gizi yang baik, tersedianya layanan dan program yang mendukung kesehatan dan keselamatan persalinan dan faktor pendukung lainnya. Untuk mendukung tercapainya sasaran MDG’s point empat dan lima, maka pemerintah meluncurkan program JAMPERSAL (Jaminan Persalinan) yang menyediakan layanan gratis bagi wanita yang tidak memiliki asuransi untuk pemeriksaaan kehamilan, persalinan, perawatan masa nifas, serta perawatan bayi lahir sampai umur 28 hari (Bina Kesehatan Anak, Kementrian Kesehatan, 2012). Meski dukungan terhadap program penurunan AKB (Angka Kematian bayi) semakin gencar, Namun untuk mencapai tujuan MDG’s tahun 2015 dengan menurunkan angka kematian bayi menjadi 23 kematian per 1.000 kelahiran, merupakan tantangan berat bagi provinsi Sumatera Selatan khususnya karena kematian bayi tidak saja berhubungan dengan faktor kesehatan semata, tetapi juga karakteristik sosial ekonomi di dalamnya sangat berpengaruh. FAKTOR –FAKTOR APA SAJA YANG MEMPENGARUHI KEMATIAN BAYI DAN ANAK ? Melalui teori Mosley and Chen (1984), kematian bayi dan anak dapat dijelaskan menggunakan pendekatan faktor sosial ekonomi berdasarkan hasil analisa SDKI 2012 berikut (SDKI 2012 Prov. Sumsel, BKKBN Prov Sumsel, 2013) : 1. Perbedaan sosial ekonomi pada kematian bayi dan anak Berdasarkan hasil survey, terdapat perbedaan yang besar untuk tingkat kematian bayi dan anak di daerah perkotaan dan perdesaan, dimana dua pertiga kematian bayi terjadi di perdesaan (33% berbanding 18%). Pendidikan ibu juga turut mempengaruhi, survey menunjukkan bahwa pendidikan ibu mempunyai hubungan yang terbalik dengan resiko kematian anak. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi umumnya berhubungan dengan resiko kematian yang rendah. Hal ini karena pendidikan membuat ibu mendapatkan informasi tentang perawatan kehamilan dan anak yang lebih baik. Kematian bayi pada ibu yang tidak berpendidikan 9 kali lebih besar daripada ibunya perguruan tinggi (86% berbanding 10%). Resiko angka kematian anak juga berhubungan dengan status ekonomi dari rumah tangga. Pada angka kematian bayi, tingkat mortalitas anak dikuintil teratas adalah setengah dari anak di kuintil terendah (yaitu 18 persen berbanding 34 persen). Sedangkan untuk angka kematian balita, tingkat mortalitas anak di kuintil teratas adalah sepertiga dari anak di kuintil terendah (18 persen berbanding 54 persen). 2. Perbedaan Demografis Pada Kematian Bayi dan Anak Hasil Survey memperlihatkan bahwa jenis kematian bayi balita perempuan lebih rendah daripada bayi laki-laki, kecuali kematian pada anak. Data menyebutkan bahwa pada bayi laki-laki terjadi 33 kematian dibanding bayi perempuan 24 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Umur ibu saat melahirkan juga memiliki resiko dengan kematian bayi. Anak dari ibu yang sangat muda dan sangat tua saat melahirkan menggambarkan resiko kematian yang tinggi. Pada ibu dengan usia melahirkan kurang dari 20 tahun, terjadi kematian bayi 54 dari 1.000 dan diatas 40 tahun terjadi 46 dari 1.000 kelahiran. Angka kematian anak yang tinggi pada wanita yang melahirkan di umur yang sangat muda dan tua kemungkinan berhubungan dengan faktor biologis yang mengakibatkan terjadinya komplikasi selama kehamilan dan saat persalinan. Jarak kelahiran yang panjang (diatas 4 tahun) beresiko lebih rendah mengalami kematian (21 per 1.000) 2 Policy Brief : Analisa Penyebab Angka Kematian Bayi, 2015. dibandingkan jarak kelahiran yang pendek (2 tahun) sebanyak 68 per 1.000 kelahiran hidup. Unicef dan WHO (2004) menyatakan bahwa berat badan bayi saat dilahirkan merupakan faktor penting untuk kelangsungan hidup si bayi. Dari hasil survey, dapat dikatakan bahwa bayi yang dilahirkan dengan berat badan sangat kecil mempunyai resiko 5 kali untuk mengalami kematian dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat badan bayi ratarata atau besar. 3. Perilaku Fertilitas Dengan Resiko Tinggi Banyak studi menemukan adanya hubungan yang kuat antara peluang kematian anak dan pola fertilitas. Secara umum, peluang anak meninggal adalah lebih tinggi pada anak yang dilahirkan oleh ibu yang berumur terlalu tua atau muda, dilahirkan setelah jarak kelahiran yang pendek, atau dilahirkan oleh ibu dengan paritas yang tinggi. Untuk analisis ini ibu dikelompokkan terlalu muda bila umurnya di bawah 18 tahun dan terlalu tua bila berumur diatas 34 tahun saat kelahiran anak. Hasil penelitian menunjukkan, diantara anak yang lahir selama periode lima tahun sebelum survei, 36 persen dari mereka tidak dalam kategori resiko tinggi, 25 persen lainnya berada dalam salah satu kategori resiko tinggi yang dapat dihindari, 18 persen berada dalam kategori resiko tinggi tunggal, dan 7 persen berada dalam kategori resiko tinggi ganda. Sisanya 39 persen berada pada kategori resiko yang tidak dapat dihindari, yaitu kelahiran pertama pada wanita umur 18-34 tahun. Jadi 61 persen kelahiran di Sumatera Selatan berada dalam kategori resiko tinggi. Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan Selama ini berbagai upaya penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) telah dilakukan dengan mengacu pada strategi peningkatan kelangsungan hidup dan perkembangan anak (child survival, growth and development) yang dilaksanakan secara terpisah dengan strategi penurunan angka kematian ibu melalui program Making Pregnancy Safer atau MPS. Selain itu, penurunan AKB seringkali hanya dilihat dari perspektif kesehatan secara sempit, yaitu melihat intervensi-intervensi klinis (pengobatan penyakit dan imunisasi) yang tidak dikaitkan dengan peran faktor ibu, keluarga, masyarakat, sosial ekonomi, budaya dan kebijakan serta program-program nasional secara luas, khususnya di bidang kesehatan dan gizi masyarakat (Pusat kesehatan Reproduksi – Fakultas Kedokteran UGM, 2010). BKKBN selaku pengemban tugas dalam Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga melalui Undang-Undang No. 52 tahun 2009, memiliki peran penting dalam mewujudkan sumber daya yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan nasional yang pada akhirnya mewujudkan keluarga yang berkualitas. Untuk itu, peran BKKBN dalam menurunkan AKB dapat ditempuh dengan cara memperbaiki kesehatan ibu, dimana data menyebutkan bahwa anak dari ibu yang melahirkan di usia terlalu muda dan terlalu tua serta jarak kelahiran yang pendek memiliki resiko kematian yang tinggi. Untuk itu, perlunya pengaturan kelahiran melalui program Keluarga Berencana sehingga dapat terhindar dari resiko 4 T ; terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering hamil, dan terlalu banyak anak melalui program berikut : 1. Penundaan Usia Perkawinan (PUP) Tujuan program PUP adalah memberikan pengertian dan kesadaran kepada remaja agar di dalam merencanakan keluarga mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan, sosial, ekonomi serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran. PUP merupakan bagian dari program Keluarga Berencana Nasional, yang dapat memberikan dampak pada peningkatan umur kawin pertama sehingga dapat menurunkan TFR. 2. Peningkatan pengetahuan remaja terhadap Kesehatan Reproduksi (KRR) melalui PIK R/Mahasiswa. Program PIK Remaja merupakan bagian dari Program Generasi Berencana (GenRe) yaitu 3 Policy Brief : Analisa Penyebab Angka Kematian Bayi, 2015. suatu program yang dikembangkan dalam rangka penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja/mahasiswa sehingga remaja memiliki perencanaan kehidupan berkeluarga untuk mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera serta menjadi contoh, model, idola, dan sumber informasi bagi teman sebayanya. kelahiran sehingga dapat membantu menekan angka kematian ibu dan bayi. Disamping itu, perlunya peningkatan layanan konseling bagi klien agar dapat memilih kontrasepsi jangka panjang yang sesuai dengan umur dan tujuan ber-KB (menunda, menjarangkan, atau mengakhiri kehamilan). 3. Program Pelayanan BKB Holistik Integratif Bina Keluarga Balita (BKB) merupakan suatu wadah kegiatan keluarga yang mempunyai anak balita untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan orang tua dan anggota keluarga lain dalam pembinaan tumbuh kembang anak, yang dilakukan semenjak anak dalam kandungan dengan tujuan agar dapat menjaga kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak balita. Upaya pemenuhan kebutuhan dasar oleh pemerintah dilakukan dalam bentuk Pos Pelayanan Terpadu (posyandu), Bina Keluarga Balita (BKB), Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang pelayanannya dilaksanakan secara Holistik Integratif. (BKKBN, 2013). Daftar Pustaka : 1. BKKBN Prov. Sumsel, 2013. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 Prov. Sumatera Selatan. 2. Pusat Kesehatan Reproduksi Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta. 2010. Kajian Angka Kematian Bayi Di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah Tahun 2010. (http://www.pskespro.chnrl.net/wp.../LAPOR AN-KAJIAN-AKB-SULTENG.pdf), diakses pada 07 April 2015. 3. BKKBN, Jakarta , 2013. Panduan Pelaksanaan Kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB) Yang Terintegrasi Dalam Rangka Penyelenggaraan Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif. (http://www.bkkbn.go.id/.../Pedoman%20Holi stik%20Integratif.pdf), diakses pada 09 April 2015. Adapun mekanismenya sebagai berikut : a. Pelayanan Posyandu; fokus kegiatannya pada layanan kesehatan ibu hamil, perbaikan gizi, dan peningkatan kualitas bayi dan balita. b. Pelayanan Bina Keluarga Balita (BKB); fokus kegiatannya pada layanan kepada keluarga tentang pengasuhan dan pembinaan tumbuh kembang anak. c. Pelayanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD); fokus kegiatannya layanan pada anak untuk mengembangkan seluruh potensi anak melalui kegiatan bermain. 4. Pemakaian Kontrasepsi dengan pilihan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) Kontrasepsi adalah salah satu alat yang efektif untuk mengatur kelahiran, jarak kehamilan serta mencegah kehamilan yang tidak diinginkan bagi pasangan usia subur, termasuk menjaga kesehatan reproduksi perempuan. Data SDKI 2012 menyebutkan, peluang anak meninggal adalah lebih tinggi pada anak yang dilahirkan oleh ibu yang berumur terlalu tua atau muda, dilahirkan setelah jarak kelahiran yang pendek, atau dilahirkan oleh ibu dengan paritas yang tinggi. Kondisi ini menyadarkan kita pentingnya penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) seperti IUD, MOW, MOP, dan implant dalam merencanakan kehamilan dan mengatur 4. BKKBN, 2011. Pendewasaan Usia Perkawinan dan Hak-hak Reproduksi bagi Remaja Indonesia. Jakarta. BKKBN. Policy Brief ini ditulis oleh Viya Yanti Mala Isi sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis. Informasi dan keterangan lebih lanjut hubungi : Bidang Pelatihan dan Pengembangan Perwakilan BKKBN Provinsi Sumatera Selatan. Jl. Demang Lebar Daun, Pakjo. Palembang. Telp. 0711 355348 Isi I 4