1. PENELITIAN DOSEN LEMLIT ANAK RESTORATIVE JUSTICE

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dekade terakhir ini, kasus anak yang melakukan tindak kejahatan
semakin mengkhawatirkan. Sering terdengar berita tentang anak di bawah
umur melakukan tindak kriminal. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan
bahwa tahun 2013 yang lalu, terjadi hampir 4.000 kasus pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh anak. Sebanyak 3.722 anak tersebar di 14 Lembaga
Pemasyarakatan Anak (LP Anak). Terbatasnya jumlah LP Anak, memberi
peluang anak berkonflik hukum berada di LP Dewasa dan Pemuda.
Sementara, tindak kekerasan pada anak selama proses penyidikan maupun di
LP masih banyak terjadi. Anak dinterogasi seperti lazimnya pada orang
dewasa. Anak berkonflik dengan hukum sering tidak mendapat perlindungan
yang wajar, dan tanpa bantuan hukum.1
Di wilayah hukum Polres Tegal pun terjadi fenomena yang sama di
mana setiap tahun terjadi peningkatan jumlah anak yang berkonflik dengan
hukum baik anak sebagai pelaku tindak kejahatan maupun sebagai korban
kejahatan. Menurut data di Polres Tegal, selama tahun 2012 sampai tahun
2014 terjadi 11 kasus anak yang berkonflik dengan hukum.
Pada kasus kejahatan anak yang berkonflik dengan hukum di Polres
Tegal ternyata tidak semuanya dapat didamaikan secara restorative justice.
1
http://www.puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/48df6bda92fc77fb5c4407e88859dc5a.pdf
2
Dan sebagian kasus kejahatan yang dilakukan anak sebagian diteruskan ke
kejaksaan sehingga kewenangan diterapkannya diversi belum dipergunakan
secara maksimal untuk menangani perkara anak yang bermasalah dengan
hukum.
Berdasarkan data temuan di Polres Tegal, maka dari 11 kasus anak yang
berkonflik dengan hukum di Polres Tegal dari tahun 2012 sampai dengan
2014 terdapat 7 kasus yang diselesaikan melalui pendekatan restorative
justice dengan mengundang pihak korban untuk dapat berdamai dan
memaafkan pelaku dan sebagian besar keluarga korban mau memahami dan
hadir di Polres dengan mediasi pihak polisi. Apabila keluarga pelaku ternyata
termasuk keluarga tidak mampu dan tindak pidana yang dilakukan termasuk
kategori
tindak
pidana
ringan
maka
pihak
Polres
langsung
mengembalikannya kepada orang tuanya tanpa meminta ganti rugi dari
keluarga pelaku, sedangkan 4 (empat) kasus anak yang berkonflik hukum di
Polres Tegal tetap diproses dengan diteruskan ke proses penuntutan di
Kejaksaan Negeri Tegal.
Pendekatan restorative justice sebenarnya mulai ditekankan di dalam
Undang-undang Peradilan Anak yang baru yakni Undang-undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memiliki beberapa kriteria
pelaksanaan dilihat dari pelaksana baik dari lembaga musyawarah antar
pelaku dan korban juga pada lembaga penegak hukum.
3
Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru tersebut yakni
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak juga mengamanatkan bahwa Sistem Peradilan Pidana
Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif
Secara umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang nomor 11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa penyidikan terhadap
pelaku tindak pidana anak hanya dapat dilakukan apabila pelaku tindak
pidana telah berusia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun, terhadap anak dibawah umur delapan tahun yang
melakukan tindak pidana akan mendapat pembinaan dan dikembalikan pada
orang tua/wali. Namun dengan adanya Putusan No.1/PUU-VIII/2010 di mana
di dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa 8 (delapan)
tahun pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
diganti menjadi 12 (dua belas tahun). Hal ini kemudian dikuatkan dengan
disahkannya Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak. Akan tetapi sesuai pasal 108 dalam Undang-undang
tersebut baru akan diberlakukan dua tahun setelah disahkan pada Juli tahun
2012 yakni Juli 2014 ini.
Penekanan penggunaan pendekatan restorative justice melalui diversi
pada kepolisian ini pun dipertegas di dalam Bab II tentang Diversi Undangundang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yakni
di dalam Pasal 7 bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
4
perkara anak di pengadilan negeri, wajib diupayakan diversi dan diversi
dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan dengan ancaman pidana
penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak
pidana.
Fakta ini menunjukkan bahwa kepolisian belum menerapkan diversi
dalam penanganan anak, dengan alasan pihak kepolisian tidak dapat
menerapkan diversi secara maksimal dikarenakan beberapa kasus anak yang
berhadapan hukum dan wajib diteruskan ke kejaksaan seperti pemerkosan,
pemerasan, narkoba, curanmor, sedangkan untuk beberapa kasus yang ringan
seperti penganiayaan ringan, pencurian barang yang nilainya relatif kecil,
dapat dilakukan perdamaian secara restorative justice
Retorative justice yang berlandaskan pada hukuman, balas dendam
terhadap pelaku, pengasingan dan perusakan harus digantikan oleh keadilan
restorasi yang berlandaskan pemulihan terhadap korban. Hal ini merupakan
usaha untuk mengubah paradigma legalistik yang sudah terdogma dalam
pemikiran aparat penegakan hukum untuk tidak hanya berpedoman pada teks
hukum belaka. Sedangkan proses hukum formal merupakan jalan terakhir
dalam menangani Anak Konflik Hukum2. Dalam penanganan Anak Konflik
Hukum dikenal adanya konsep Restorative Justice, yang merupakan konsep
penanganan Anak Konflik Hukum dengan melibatkan semua pihak, termasuk
pelaku sendiri3.
2
3
Waluyadi, 2010, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung, hal.12
Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, hal.23
5
B. Perumusan Masalah
1.
Bagaimanakah fakta kondisi perlindungan anak pelaku kejahatan di
Kabupaten Tegal?
2.
Apakah perlindungan dan penanganan anak pelaku kejahatan di Polres
Tegal menggunakan pendekatan Restorative Justice?
3.
Apakah terdapat hambatan-hambatan dalam penanganannya?
C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk memahami dan menganalisis fakta-fakta kondisi perlindungan
anak pelaku kejahatan di Kabupaten Tegal.
2.
Untuk dapat menganalisis dan mengaplikasikan perlindungan dan
penanganan anak pelaku kejahatan di Polres Tegal dengan menggunakan
pendekatan Restorative Justice.
3.
Untuk memahami dan menganalisis hambatan-hambatan di dalam
penanganan dan perlindungan anak pelaku kejahatan di Polres Tegal
menggunakan pendekatan Restorative Justice.
D. Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan
ilmu hukum khususnya hukum pidana anak, sistem peradilan pidana anak
dan hukum acara pidana.
6
2.
Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi konkrit
atau rekomendasi ataupun saran untuk digunakan para pihak yang
berkepentingan baik praktisi, akademisi maupun aparat penegak hukum
dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik
dengan hukum melalui pendekatan restorative justice.
E. Metode Penelitian
1.
Metode Pendekatan
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris di mana
penelitian hukum empiris merupakan salah satu jenis penelitian hukum
yang menganalisis dan mengkaji bekerjanya hukum di dalam masyarakat.
Bekerjanya hukum dalam masyarakat tersebut dapat dikaji dari tingkat
efektivitasnya hukum, kepatuhan terhadap hukum, peranan lembaga atau
institusi hukum di dalam penegakan hukum, implementasi aturan hukum,
pengaruh aturan hukum terhadap masalah sosial tertentu atau sebaliknya,
pengaruh masalah sosial terhadap aturan hukum4. Di dalam penelitian ini
akan mengkaji bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak pelaku
kejahatan melalui pendekatan Restorative Justice.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan hukum sosiologis atau socio legal research, yaitu penelitian
4
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hal. 20
7
hukum yang dilakukan cara meneliti data primer5 atau menurut pendapat
Peter
Mahmud
Marzuki
bahwa
penelitian
sosio
legal
hanya
menempatkan hukum sebagai gejala sosial. Dalam hal demikian, hukum
dipandang dari segi luarnya saja. Oleh karena itulah, di dalam penelitian
sosio legal, hukum selalu dikaitkan dengan masalah sosial. Penelitianpenelitian demikian, merupakan penelitian yang menitikberatkan pada
perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan hukum.6
2.
Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah bersifat deskriptif sesuai dengan
masalah dan tujuan dalam penelitian. Penelitian menggambarkan
sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah yang diteliti. Dengan
kata lain penelitian ini hanya terbatas pada penggambaran satu atau lebih
mengenai perlindungan terhadap anak pelaku kejahatan melalui
pendekatan Restorative Justice di Polres Tegal tanpa perlu mengaitkan
gejala-gejala tersebut dalam suatu penjelasan kausal.
3.
Sumber dan Jenis Data
Sumber data yang digunakan adalah sebagai berikut:
a.
Bahan Hukum Primer, yaitu
1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana
2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
5
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, hal. 14
6
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, hal. 87
8
4) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia
5) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan
Anak
b.
Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang isinya membahas
bahan hukum primer
1) Makalah-makalah
2) Kepustakaan berupa buku literatur yang membahas mengenai
perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum melalui penmdekatan restorative justice.
c.
Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang
bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder,
terdiri dari
1) Kamus hukum
2) Kamus Besar Bahasa Indonesia
3) Artikel-artikel dan laporan-laporan dari media massa (Surat
kabar, jurnal hukum, majalah dan sebagainya)
4.
Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer sebagai data utama. Data
primer merupakan data yang berasal dari data lapangan yang diperoleh
dari para responden yakni orang atau kelompok masyarakat yang
memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan peneliti7 di
7
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Op Cit,. hal. 25
9
mana di dalam penelitian ini berupa wawancara dengan penyidik anak,
anak pelaku kejahatan dan keluarga korban dan keluarga dari anak
pelaku kejahatan. Penelitian ini juga menggunakan data sekunder di
mana data sekunder merupakan data yang tingkatannya kedua, bukan
yang utama8, di mana dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan
adalah dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tertier.
Untuk memperoleh data primer yang relevan guna menjawab
permasalahan penelitian yakni perlindungan terhadap anak pelaku
kejahatan melalui pendekatan Restorative Justice di Polres Tegal
digunakan wawancara sebagai data utama.
Oleh karena itu, pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yakni data primer berupa
wawancara dan bahan-bahan hukum sebagai data sekunder yang dapat
diuraikan sebagai berikut :
a.
Wawancara : pengumpulan data atau pencarian data dengan
menggunakan wawancara secara langsung dan bebas terpimpin.
Sebelum
wawancara
peneliti
mempersiapkan
pokok-pokok
pertanyaan, namun demikian hal tersebut tidak mengurangi
kebebasan dalam proses wawancara, dengan para penyidik di
wilayah hukum Polres Tegal, anak pelaku kejahatan, keluarga
korban dan keluarga anak pelaku kejahatan yang berkaitan dengan
8
Ibid
10
penelitian mengenai perlindungan terhadap anak pelaku kejahatan
melalui pendekatan Restorative Justice, dengan pengambilan sampel
purposive random sampling (sampel bertujuan) yang dilakukan
untuk memperoleh data utama dalam penelitian ini
b.
Studi kepustakaan : pencarian data yang didasarkan bukti-bukti yang
kuat yang dilakukan dengan cara mempelajari beberapa peraturan
perundang-undangan, literatur yang ada hubungannya dengan obyek
penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan dasar atau
landasan yang bersifat teoritis dari permasalahan yang ada sekaligus
untuk kepentingan analisis atas data primer yang telah ditemukan di
dalam penelitian.
5.
Lokasi dan Subyek Penelitian
Lokasi penelitian adalah di Polres Tegal, sedangkan subyek
penelitian adalah penyidik anak di wilayah hukum Polres Tegal.
6.
Jalannya Penelitian
Penelitian ini merupakan salah satu sarana menemukan suatu
kebenaran. Langkah-langkah yang ditempuh penelitian ini terdiri dari 3
(tiga) tahap yaitu
a.
Tahap persiapan
Dalam tahap ini dimulai dengan mengumpulkan bahanbahan kepustakaan dilanjutkan dengan penyusunan dan pengajuan
usulan penelitian, kemudian dikonsultasikan dengan pembimbing
11
untuk memperoleh penyempurnaan serta melakukan penyusunan
instrumen penelitian dan penyusunan ijin penelitian.
b.
Tahap Pelaksanaan
Tahap ini dilakukan dengan dua tahap yaitu
1) Pelaksanaan penelitian lapangan dilakukan dengan mendatangi
responden atau subyek penelitian untuk mengumpulkan data
utama yang diperoleh dengan wawancara dengan kuisioner
yang sudah disiapkan sebelumnya kepada penyidik di wilayah
hukum Polres Tegal, anak pelaku kejahatan, keluarga korban
dan keluarga anak pelaku kejahatan.
2) Pelaksanaan penelitian kepustakaan, kegiatan ini dilakukan
sebagai pengumpulan data sekunder. Data sekunder meliputi
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tertier.
c.
Tahap Penyelesaian
Tahap ini dilakukan berbagia kegiatan meliputi identifikasi
masalah dan mengklasifikasi, menganalisis data penelitian,
penulisan draft penelitian serta konsultasi pembimbing kemudian
dilakukan penyusunan akhir.
7.
Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan, dikelompokkan, diseleksi dna
selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif
12
dengan cara menginterpretasikan data berdasarkan teori-teori hukum,
peraturan perundang-undangan dan pengertian hukum.
F. Sistematika Penulisan
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan
Bab II
Tinjauan Pustaka
A.Pengertian Anak
B. Pengertian Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum
C. Hak dan Kewajiban
D.Restorative Justice
E. Teori Yang Digunakan
Bab III
Hasil Penelitian dan Pembahasan
A.Hasil Penelitian
B. Pembahasan
Bab IV
Penutup
A.Kesimpulan
B. Saran-saran
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian Anak
Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa belum dewasa apabila
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu
telah kawin.
Batas umur seseorang belum atau sudah dewasa (minderjarig)
apabila ia belum berumur 15 (lima belas) tahun kecuali apabila sebelumnya
ia sudah memperlihatkan telah matang untuk bersetubuh (geslachtssrijp)
tetapi tidak kurang dari 9 (sembilan) tahun.9
Pengertian anak dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan
Zakiah Daradjat berpendapat bahwa batas usia anak dan dewasa
berdasarkan pula remaja yang menyatakan pula bahwa masa sembilan tahun
antara tiga belas dan dua puluh satu tahun sebagai masa remaja (adolensi)
merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa di mana
anak-anak mengalami pertumbuhan yang cepat di segala bidang dan mereka
9
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur, hal, 82
14
bukan lagi anak-anak bentuk badan sikap berpikir dan bertindak tetapi
bukan pula orang dewasa.10
Konvensi Hak Anak mendefinisikan anak secara umum sebagai
manusia yang umurnya belum mencapai 18 tahun, namun demikian
diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang
mungkin diterapkan dalam perundangan nasional.
B.
Pengertian Anak Yang Berkonflik dengan Hukum
Anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak, anak korban
dan anak saksi. Pengertian anak adalah anak yang berkonflik dengan hukum
yang dimuat di dalam Pasal 1 angka 3 bahwa Anak yang berkonflik dengan
hukum yang selanjutnya disebut anak, adalah anak yang telah berumur 12
(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana. Adapun perbedaan perumusan pengertian
anak antara Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Sistem Peradilan
Anak dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak adalah anak tidak disyaratkan belum pernah kawin
dan tidak menggunakan istilah anak nakal, namun menggunakan istilah
anak yang berkonflik dengan hukum.11
Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang melakukan
tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan Hukum adalah anak yang
10
Djoko Prakoso, 1986. Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP. Jakarta: Ghalia Indonesia, hal.
84
11
Abintoro Prakoso, 2013, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Yogyakarta: Laksbang
Grafika, hal. 19
15
melakukan perbuatan yang dilarang di masyarakat ; dan disebut sebagai
“anak nakal” ; sebagai pelaku tindak pidana, anak dipandang juga sebagai
korban, setidaknya korban salah asuhan, korban lingkungan yang tidak
bersahabat, atau korban bujukan orang dewasa untuk melakukan
kejahatan12.
Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka
atau dituduh telah melanggar Undang-undang Hukum Pidana13. Fenomena
anak konflik hukum di masyarakat diartikan sebagai perbuatan yang
menyimpang, dengan memberikan anggapan negatif terhadap mereka.
Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku anak konflik hukum. Faktor
yang menonjol antara lain dikarenakan gagalnya orang tua atau masyarakat
dalam memenuhi keinginan anak.
Kondisi ini menimbulkan kecenderungan anak memenuhi keinginan
sendiri dengan cara, kemampuan, dan persepsi yang dianggap tepat baginya.
Dalam penanganan anak konflik hukum sering dijumpai adanya Aparat
Penegak Hukum masih kurang berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak,
sebagaimana
dalam
kaidah-kaidah
perlindungan,
penghargaan,
pengembangan, dan pemenuhan hak anak konflik hukum.
Beberapa ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002, ada beberapa pasal berhubungan dengan masalah perlindungan
anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu:
12
HAL. Abdurrahman, 2004, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Akademika
Pressindo, Jakarta, hal. 137
13
Ibid
16
1.
Pasal 1 angka 2, yang menentukan bahwa perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
2.
Pasal 1 angka 15, menentukan bahwa perlindungan khusus adalah
perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak
yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual,
anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak
korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan
baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak
korban perlakuan salah dan penelantaran.
3.
Pasal 2, menentukan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak
berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip
dasar Konvensi Hak-hak Anak meliputi:
4.
a.
non diskriminasi;
b.
kepentingan yang terbaik bagi anak
c.
hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan;
d.
penghargaan terhadap pendapat anak
Pasal 3, menentukan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
17
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia berkualitas, berakhlak
mulia dan sejahtera.
5.
Pasal 16, menentukan bahwa:
a.
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi.
b.
Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan
hukum.
c.
Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya
dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
6.
Pasal 17, menentukan bahwa: Setiap anak yang dirampas kebebasannya
berhak untuk a) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan
seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan, b)
mendapatkan
perlakuan
secara
manusiawi
dan
penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa, c) memperoleh bantuan hukum atau
bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang
berlaku, d) membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan
anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk
umum
18
7.
Pasal 18, menentukan bahwa setiap anak yang menjadi korban atau
pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan
lainnya.
8.
Pasal 59, menentukan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan
khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan
dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
tereksploitasi
secara
ekonomi
dan/atau
seksual,
anak
yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lain-nya (napza), anak korban
penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik
fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban
perlakuan salah dan penelantaran
9.
Pasal 64, menentukan bahwa: Perlindungan khusus bagi anak yang
berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
meliputi anak yang berhadapan dengan hukum dan anak korban tindak
pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan
hukum dilaksanakan melalui: a. perlakuan atas anak secara manusiawi
sesuai dengan martabat dan hak-hak anak. b. penyediaan petugas
pendamping khusus anak sejak dini. c. penyediaan sarana dan prasarana
khusus. d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi
anak. e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap
19
perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum. f. pemberian
jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau
keluarga. g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media
massa dan untuk menghindari labelisasi
Dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa: “Pemerintah dan Lembaga negara
lainnya wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi
darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau
seksual,
anak
yang
diperdagangkan,
anak
yang
menjadi
korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya,
anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan
baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban
perlakuan salah dan penelantaran
Dalam salah satu poin pasal tersebut menyebut tentang anak yang
berhadapan dengan hukum. Asumsi setiap orang jika mendengar kata anak
yang berhadapan dengan hukum seolah terkooptasi pada pemahaman anak
yang menjadi pelaku tindak pidana. Padahal telah dinyatakan secara tegas
dalam Pasal 64 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak tersebut bahwa: “Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan
dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang
berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Perlindungan
khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan
20
melalui: 1) Perlakuan atas anak secara menusiawi sesuai dengan martabat
dan hak-hak anak. 2) Penyediaan Petugas Pendamping sejak dini. 3)
Penyediaan sarana dan prasarana khusus. 4) Penjatuhan sanksi yang tepat
untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. 5) Pemantauan dan pencatatan
terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan
hukum. 6) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan
orangtua atau keluarga. 7) Perlindungan dari pemberian identitas melalui
media masa untuk menghindari labelisasi.
Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah
segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan
kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika
anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga
akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut.
Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan
menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak.
Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam
pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi
penghukuman. Yang terakhir, institusi penghukuman.14
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan
dengan hukum, yaitu:
14
Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini
Tinduk, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia,
UNICEF, Indonesia, 2003), hal. 2
21
1.
Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan
oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak
menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;
2.
Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran
hukum
C.
Hak dan Kewajiban Anak
Hak dan kewajiban anak diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal
19 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 4 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
mengemukakan bahwa anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Dan anak berhak atas suatu naka sebagai identitas diri dan
status kewaganegaraan. Setiap anak juga berhak untuk beribadah menurut
agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya dalam bimbingan orang tua.
Pasal
7
Undang-undang
Nomor
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan Anak menyebutkan
1.
Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan
diasuh oleh orang tuanya sendiri.
22
2.
Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin
tumbuh kembang anak atau anak dalam keadaan terlantar maka anak
tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak
angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku
Setiap anak juga berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.
Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan kepribadiannya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan
minat dan bakatnya, khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak
memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki
keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan bahwa setiap anak berhak menyatakan dan
didengar pendapatnya menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai
dengan nilai-nilai keseusilaan dan kepatutan. Pasal 11 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa
setiap anak berhak untuk beristiraat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan
minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Sedangkan anak penyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasim
bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejehtaraan sosial
23
Pasal 15 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak mengemukakan bahwa anak berhak untuk memperoleh
perlindungan dari
1.
penyalahgunaan dalam kegiatan pemilu
2.
pelibatan dalam sengketa bersenjata
3.
pelibatan dalam kerusuhan sosial
4.
pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan
5.
pelibatan dalam peperangan
Pasal 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak mengatur bahwa
1.
Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan
berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam
asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar
2.
Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosialnya sesuai dengan negara yang baik dan berguna
3.
Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam
kandungan maupun sesudah dilahirkan
4.
Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya
dengan wajar
Negara,
berkewajiban
pemerintah,
dan
masyarakat,
bertanggung
jawab
keluarga
terhadap
dan
orang
tua
penyelenggaraan
perlindungan anak. Kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah
24
terhadap anak diuraikan dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002
tentang Perlindungan
Anak
bahwa
negara
dan
pemerintah
berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati, dan menjamin hak asasi
setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,
etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan
kondisi fisik dan/atau mental anak. Negara dan pemerintah juga
berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan
prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Pasal 25 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyatakan bahwa kewajiban dan tanggung jawab
masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan
peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Perlindungan hukum bagi anak diatur dalam Pasal 68 Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yaitu sebagai
berikut :
1.
Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau
seksual
merupakan
kewajiban
dan
tanggung
jawab
pemerintah dan masyarakat
2.
Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi tersebut dilakukan
melalui
a. Penyebarluasan
dan/atau
sosialisasi
ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak
yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual
25
b. Pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi dan
c. Perlibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat
pekerja, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat dalam
penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau
seksual
d. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan
menyuruh melakukan atau turut serta melakukan eksploitasi
terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.
D.
Restorative Justice
Penegasan penggunaan Restoratif justice di dalam penanganan anak
yang berhadapan dengan hukum dirumuskan didalam pasal 5 ayat 1
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak juga menentukan bahwa di dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif .
Restorative justice adalah sebuah model yang menekankan kepada
perbaikan atau penggantian kerugian yang diderita korban, pengakuan
pelaku terhadap luka yang diderita oleh masyarakat akibat tindakannya,
konsiliasi dan rekonsiliasi pelaku, korban dan masyarakat. Restorative
justice bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan
masyarakat untuk memperbaiki tindakan melanggar hukum dengan
26
menggunakan
kesadaran
dan
keinsyafan
sebagai
landasan
untuk
memperbaiki kehidupan bermasyarakat.15
Pengertian Restoratiuve Justice di dalam Undang-undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disebut sebagai Keadilan
Restoratif yang diartikan di dalam Pasal 1 ayat (6) bahwa Keadilan
Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan
pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan
Restorative justice dianggap sebagai model pemidanaan modern dan
lebih manusiawi sebagai model pemidanaan terhadap anak, yang lebih
mengedepankan pemulihan atau penggantian kerugian yang dialami korban
daripada penghukuman pelaku. Proses penyelesaian perkara pidana anak
bukan semata-mata menghukum anak namun bersifat mendidik dan yang
penting adalah mengembalikan kondisi dan memulihkannya sebagaimana
sebelum terjadinya tindak pidana. Restorative justice menggeser nilai
filsafati penanganan anak dari penghukuman menuju rekonsiliasi,
pembalasan terhadap pelaku menuju penyembuhan korban, pengasingan
dan kekerasan menuju keperansertaan dan kekerabatan masyarakat
keseluruhan, destruktif yang negatif menuju ke perbaikan, pemberian maaf
yang sarat dengan limpahan kasih.16 Fokus utama peradilan restoratif adalah
untuk kepentingan dan membangun secara positif, maka anak dan keluarga
15
Abintoro Prakoso, 2013, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Yogyakarta: Laksbang
Grafika, hal. 161
16
Abintoro Prakoso, Op Cit, hal. 162
27
merupakan sumber utama. Anak dianggap berkompeten dan mempunyai
kemampuan positif, bersifat preventif dan proaktif17.
Penerapan model
restorasi justice dilaksanakan melalui diversi yang diatur didalam Pasal 6
sampai dengan Pasal 15 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
Pengertian Restorative justice menurut Marlina adalah sebagai
proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan
dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk
dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara18.
Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan
restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan
pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak
pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata cara dan peradilan pidana
yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi
untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih
adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada
pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai
tindakan yang telah dilakukannya.
Pihak pelaku yang melakukan pemaparan sangat mengharapkan
pihak korban untuk dapat menerima dan memahami kondisi dan penyebab
mengapa pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan
17
18
M. Nasir Jamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 47
Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hal. 25
28
kerugian pada korban. Selanjutnya dalam penjelasan pelaku juga
memaparkan tentang bagaimana dirinya bertanggung jawab terhadap korban
dan masyarakat atas perbuatan yang telah dilakukannya.
Selama pihak pelaku memaparkan tentang tindakan yang telah
dilakukannya dan sebab-sebab mengapa sampai tindakan tersebut dilakukan
pelaku, korban wajib mendengarkan dengan teliti penjelasan pelaku. Untuk
selanjutnya pihak korban dapat memberikan tanggapan atas penjelasan
pelaku.
Di samping itu, juga hadir pihak masyarakat yang mewakili
kepentingan kerugian yang diakibatkan oleh telah terjadinya tindak pidana
yang dilakukan oleh pelaku. Dalam paparannya tersebut masyarakat
mengharapkan agar pelaku melakukan suatu perbuatan atau tindakan untuk
memulihkan kembali keguncangan/kerusakan yang telah terjadi karena
perbuatannya.
Keadilan restoratif menurut Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah penyelesaian
perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, keluarga pelaku/korban
dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang
adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan
bukan pembalasan.
Tujuan utama restorative justice adalah perbaikan atau penggantian
kerugian yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang
diderita oleh masyarakat akibat tindakannya, konsiliasi dan rekonsiliasi
29
pelaku,
korban
dan
masyarakat.
Restorative
justice
bertujuan
memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk
memperbaiki tindakan melanggar hukum dengan menggunakan kesadaran
dan
keinsyafan
bermasuyarakat.
kesejahteraan
sebagai
landasan
Restorative
masyarakat,
untuk
justice
memperbaiki
juga
memperbaiki
kehidupan
bertujuan
merestorasi
manusia
sebagai
anggota
masyarakat dengan cara menghadapkan anak sebagai pelaku berupa
pertanggungjawaban kepada korban atas tindakannya. Korban yang
biasanya terabaikan dalam proses peradilan, berperan serta dalam proses
peradilan19.
Restorative justice telah berkembang secara global di seluruh dunia.
Di banyak negara restorative justice menjadi satu dari sejumlah pendekatan
penting dalam kejahatan dan keadilan yang secara terus-menerus
dipertimbangkan di sistem peradilan dan undang-undang
Sesuai dengan penyebaran proses ini di seluruh dunia maka timbul
beberapa inovasi yang memang terbuka untuk restorative justice.
Restorative justice menawarkan solusi terbaik dalam menyelesaikan kasus
kejahatan anak yaitu dengan memberikan keutamaan pada inti permasalahan
dari suatu kejahatan. Penyelesaian yang penting untuk diperhatikan adalah
memperbaiki kerusakan atau kerugian yang disebabkan terjadinya kejahatan
tersebut. Perbaikan tatanan sosial masyarakat yang terganggu karena
peristiwa kejahatan merupakan bagian penting dari konsep restorative
19
Purnianti, Mamik Sri Supatmi dan Ni Made Martini Tinduk, 2005, Yayasan Pemantau Hak
Anak (Children’s Human Rights Foundation), Kumpulan Tulisan, Jakarta, hal. 66
30
justice. Konsep restorative justice bukanlah merupakan sebuah konsep yang
sudah mantap dan sempurna, untuk menerapkannya dengan baik dalam
sebuah tatanan masyarakat suatu negara harus dibangun konsep yang sesuai
dengan akar budaya masyarakat negara tersebut. Ketika konsep ini
diterapkan maka banyak pertimbangan yang harus disesuaikan dengan
budaya dari masyarakat, karena salah satu pihak yang menjadi pelaksananya
adalah masyarakat itu sendiri. Banyak versi konsep restorative justice
diterima, bahwa pengadilan dapat menjatuhkan sanksi restorative sebagai
ganti rugi resmi, melakukan kerja yang hasilnya untuk dana korban, atau
kerja sosial dengan mempertimbangkan contoh sebagai berikut :
1.
Korban dan masyarakat setempat tidak dipersiapkan untuk setuju pada
keadaan yang tidak adil terhadap pelaku. Mediasi antara korban dan
pelaku tidak dapat dipaksakan sehingga seorang hakim hendaknya
memutuskan untuk melaksanakan restorative justice.
2.
Pelaku bisa menolak untuk menerima tindakan restorative justice yang
rasional, karena korban dan masyarakat tidak dapat memaksakan hal
itu. Pilihan hanya untuk hakim untuk menjatuhkan sanksi. Namun
sanksi yang dijatuhkan juga dapat berupa restorative justice.
3.
Ada beberapa pelanggaran yang sungguh-sungguh serius sehingga
berdampak pada masyarakat lokal. Suatu intervensi publik memaksa
atau sanksi oleh peradilan pidana mungkin lebih tepat sebagai rasa
kekhawatiran korban dan masyarakat, sehingga aspek restorative justice
tetap ada walaupun prosesnya dijalankan lembaga peradilan pidana. Isi
31
dari sanksi yang diputuskan harus diutamakan untuk kebaikan dan
penyembuhan semuanya, kalau perlu mungkin pelaku dapat ditahan,
namun itu harus diberi kesempatan restorative justice. Mengapa kita
tidak menyebut hasil dari restorative justice sebagai hukuman? hal itu
karena tidak ada tujuan atau maksud untuk membuat pelaku
memperoleh penderitaan. Kepentingan restorative justice dan beban
hanyalah
sisi
akibat
lain
dari
tindakan
restorative
justice.
Ketidakkenakan pada pelaku mungkin dan kadang merupakan
konsekuensi dari kewajiban restorative justice, tapi tidak bermaksud
mengakibatkan supaya menderita/luka. Restorative justice tidak melihat
apa yang menjadi perasaan pelaku, sepanjang haknya sebagai warga
negara dihormati dan sebuah konstribusi yang wajar dibuat untuk
menyembuhkan kerugian, penderitaan, kegelisahan masyarakat yang
diakibatkan kejadian itu20.
Prinsip-prinsip dalam keadilan restoratif (Restorative Justice)
meliputi hal-hal sebagai berikut :
1.
Membuat pelanggar bertanggungjawab untuk memperbaiki kerugian
yang ditimbulkan oleh kesalahannya
2.
Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan
kapasitas dan kualitasnya di samping mengatasi rasa bersalahnya secara
konstruktif
20
Ibid, hal. 208
32
3.
Melibatkan para korban, orang tua, keluarga besar, sekolah dan teman
sebaya
4.
Menciptaan forum untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah
5.
Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan
reaksi sosial yang formal21
E.
Teori Yang Digunakan
Teori digunakan sebagai pendekatan (approach) untuk menganalisis
dan menerapkan pendekatan restorative justice dalam kasus penyelesaian
tindak pidana anak adalah teori perlindungan hukum dan Model Restorative
Justice.
1.
Teori Perlindungan Hukum
Teori perlindungan hukum merupakan salah satu teori yang
sangat penting untuk dikaji, karena fokus kajian teori ini pada
perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat. Masyarakat
yang disasarkan pada teori ini yaitu masyarakat yang berada pada posisi
yang lemah, baik secara ekonomis maupun lemah dari aspek yuridis.22
Istilah teori perlindungan hukum berasal dari bahasa Inggris,
yaitu legal protection theory, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut
theorie van de wettelijke bescherming dan dalam bahasa Jerman disebut
dengan theorie der rechtliche schutz.23
21
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Modul Keadilan Restoratif, hal.358
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis
dan Disertasi, Jakarta: Rajawali Press, hal. 259
23
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Ibid.
22
33
Secara gramatikal, perlindungan adalah tempat berlindung atau
hal (perbuatan) memperlindungi. Memperlindungi adalah menyebabkan
atau
menyebabkan
berlindung.
Arti
berlindung
meliputi
(1)
menempatkan dirinya supaya tidak terlihat, (2) bersembunyi atau (3)
minta pertolongan. Sementara itu, pengertian melindungi meliputi (1)
menutupi supaya tidak terlihat atau tampak, (2) menjaga, merawat atau
memelihara, (3) menyelamatkan atau memberikan pertolongan24.
Pengertian perlindungan dapat dikaji dari rumusan yang
tercantum dalam perundang-undangan berikut ini. Dalam Pasal 1 angka
5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam rumah Tangga telah disajikan rumusan tentang
perlindungan bahwa perlindungan adalah “segala upaya yang ditujukan
untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak
keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan
atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
pengadilan”.
Tujuan perlindungan adalah memberikan rasa aman bagi korban.
Rasa aman adalah bebas dari bahaya, bebas dari gangguan, tenteram,
tidak merasa takut atau khawatir terhadap suatu hal. Sementara itu,
yang hendak memberikan perlindungan meliputi pihak keluarga,
advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak
lainnya
24
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 526
34
Menurut
Satjipto
Rahardjo,
perlindungan
hukum
adalah
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang
dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat
agar dapat menikmati semua hak yang diberikan oleh hukum25.
Sedangkan Maria Theresia Geme mengartikan perlindungan
sebagai berkaitan dengan tindakan negara untuk melakukan sesuatu
dengan (memberlakukan hukum negara secara eksklusif) dengan tujuan
untuk memberikan jaminan kepastian hak-hak seseorang atau kelompok
orang26.
Secara teoritis, bentuk perlindungan hukum dibagi menjadi dua
bentuk yaitu
a. Perlindungan yang bersifat preventif
Perlindungan hukum yang preventif merupakan perlindungan hukum
yang sifatnya pencegahan. Perlindungan memberikan kesempatan
kepada rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas
pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapat
bentuk yang definitif sehingga perlindungan hukum ini bertujuan
untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat besar artinya bagi
tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Dan
dengan adanya perlindungan hukum yang preventif ini mendorong
pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang
25
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bhakti, hal. 54
Maria Theresia Geme, 2012, Perlindungan Hukum terhadap Masyarakat Hukum Adat dalam
Pengelolaan Cagar Alam Watu Atau Kabupaten Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur, Disertasi
Program Doktor Ilmu Hukum fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, hal. 99
26
35
berkaitan dengan azaz freies ermessen dan rakyat dapat mengajukan
keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan
tersebut.
b. Perlindungan represif
Perlindungan hukum yang represif berfungsi untuk menyelesaikan
apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai
badan yang secara parsial menangani perlindungan hukum bagi rakat
yang dikelompokkan menjadi dua badan yakni pengadilan dalam
lingkup peradilan umum dan instansi pemerintah yang merupakan
lembaga banding administrasi.
Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi
pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi adalah
permintaan banding terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak
yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Instansi
pemerintah yang berwenang untuk mengubah bahkan dapat
membatalkan tindakan pemerintah tersebut.27
2.
Model Restorative Justice
Model restorative justice di negara-negara common law sangatlah
beragam28 sebagaimana dikemukakan oleh Jim Dignan bahwa
penggunaan proses restorative justice di dalam kejahatan ringan yang
dilakukan oleh anak muda adalah dengan cara penggunaan inisiatif
27
Phillipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu,
hal. 2
28
Ridwan Mansyur, 2010, Mediasi Penal terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, Jakarta: Yayasan Gema Yustisia Indonesia, hal. 127
36
polisi atau pun usaha untuk meminimkan penyelesaian di dalam
pengadilan.
Jim Dignan, menjelaskan bahwa restorative justice pada mulanya
berangkat dari usaha Albert Eglash yang berusaha melihat tiga bentuk
yang berbeda dari peradilan pidana. Yang pertama berkaitan dengan
keadilan
retributif,
yang
penekanan
utamanya
adalah
pada
penghukuman pelaku atas apa yang mereka lakukan. Yang kedua
berhubungan dengan ‘keadilan distributif’, yang penekanan utamanya
adalah pada rehabilitasi pelaku kejahatan. Dan yang ketiga adalah
‘keadilan restoratif’, yang secara luas disamakan dengan prinsip
restitusi. Eglash dianggap sebagai orang pertama yang menghubungkan
tiga hal tersebut dengan pendekatan yang mencoba untuk mengatasi
konsekuensi yang berbahaya dari tindakan pelaku kejahatan dengan
berusaha untuk secara aktif melibatkan, baik korban dan pelaku, dalam
suatu proses yang bertujuan untuk mengamankan reparasi bagi korban
dan rehabilitasi pelanggar
Sedangkan proses dari restorative justice dapat dilakukan dengan
cara mediasi antara pelaku dan korban, reparasi (pelaku membetulkan
kembali segala hal yang dirusak), konferensi korban-pelaku (yang
melibatkan keluarga dari kedua belah pihak dan tokoh pemuka dalam
masyarakat), dan victim awareness work (suatu usaha dari pelaku untuk
lebih peduli akan dampak dari perbuatannya).
37
Restorative justice dianggap sebagai salah satu cara untuk
memediasi antara korban dan pelaku kejahatan dalam usaha untuk
menyelesaikan permasalahan, yang mende-pankan kepentingan korban
di atas yang lainnya. Namun demikian, berdasarkan hasil studi empiris
yang telah dilakukan oleh pakar, masih terdapat banyak perdebatan
tentang bentuk ideal dari restorative justice sebagai wadah mediasi
antara korban dan pelaku yang menekankan kepentingan korban dari
pada yang lain.
Lagi pula, dalam ajaran restorative justice, kejahatan jangan
hanya dilihat sebagai pelanggaran terhadap negara dan kepentingan
umum. Konflik juga merepresentasikan terganggu atau terputusnya
hubungan antar individu dalam masyarakat. Hakim harus mampu
menyelesaikan konflik secara adil dan memuaskan para pihak.
Jim Dignan memberikan pandangan bahwa model restorative
justice harus berkaitan dengan tiga poin penting yakni, bahwa pertama,
pendekatan restorative justice harus berkaitan dengan konsep
restorative justice itu sendiri, kedua, fokus pada praktek restorative
justice di lapangan dan ketiga, hubungan antara inisiatif restorative
justice dengan sistem peradilan pidana.29
Selain pandangan Jim Dignan mengenai model restorative justice
tersebut, Jon Braithwaite mempunyai pandangan adanya 2 model
29
Ridwan Mansyur, Op Cit, hal. 130
38
restorative justice yaitu partially integrated twin track model
restorative justice dan a systemic model of restorative justice30.
Model pertama yakni partially integrated twin track model
restorative justice oleh John Braithwaite digambarkan dalam diagram
sebagai berikut :
ASSUMPTION
Incompetent or irrational
INCAPACITATI
Rational actor
Virtuous actor
DETERRENCE
RESTORATIVE JUSTICE
Gambar 2.1. Model 1 dari Restorative Justice Jon Braithwaite
Di dalam model pertama ini, John Braithwaite menggambarkan
bahwa proses restorative justice berjalan beriringan dengan ukuran
kemampuan dan pencegahan, dan bukannya berjalan bersamaan dalam
satu prinsip restorative justice. Maka dari itu, fundamental restorative
justice hanya diperuntukkan bagi pelaku kejahatan yang benar-benar
menginginkan adanya perbaikan sehingga dimungkinkan adanya
30
Braithwaite, The Political agenda of republican criminology, paper yang dipresentasikan pada
British Criminological Society Conference, York tanggal 27 Juli 1991, Jim Dignan, Restorative
Justice and The Law: The Case for an Integrated Systemic Approach, Paper yang dipresentasikan
dalam The Fifth International Conference of the International Network for Research on
Restorative Justice for Juveniles berjudul Positioning Restorative Justice diselenggarakan di
Leuven tanggal 16-19 September 2001, hal. 18-21
39
negosiasi demi restorative justice berlandaskan itikad baik, sehingga
tidak semua pelaku kejahatan dapat masuk ke dalam model ini untuk
menuju negosiasi yang berasaskan restorative justice.
Sedangkan model restorative justice kedua dari Jon Braithwaite
digambarkan di dalam gambar berikut:
ASSUMPTION
Incorrigible actor who is
Determined to inflict serious
Harm on others
Serious or persistence
Repeat offender
Recalcitrant offender
Or unwilling victim
Most offenders
INCAPACITATIO
COURT IMPOSED
PRESUMPTIVE
RESTORATIVE
COURT IMPOSED
INFORMAL RESTORAIVE
JUSTICE PROCESS OR
REPARATIVE OUTCOMES
Gambar 2.2. Model 2 dari Restorative Justice Jon Braithwaite
Di dalam model kedua ini menggambarkan model alternatif.
Model ini lebih cenderung mengarah kepada kepuasan dari korban dan
bukannya penghukuman bagi pelaku kejahatan. Pendekatan yang
dilakukan pada sistem peradilan pidana pada model kedua ini pertama
kali dapat dilakukan di kepolisian maupun badan yang berwenang
seperti kejaksaan atau pun pengadilan. Bentuk restorasi tersebut
misalnya dengan cara pelaku kejahatan menyatakan permintaan
40
maafnya kepada korban atau pun bentuk-bentuk perbaikan bagi korban
yang disetujui oleh pelaku kejahatan dan korbannya. Bagi pelaku
kejahatan yang rasional, ada kalanya pelaku kejahatan mempunyai niat
yang tidak baik dalam bernegosiasi. Oleh karena itu, John Braithwaite
telah
mengantisipasinya
dengan
menggunakan
prinsip
active
deterrence. Prinsip ini pada intinya mengingatkan kepada pelaku
kejahatan bahwa apabila negosiasi gagal, pelaku kejahatan tersebut
akan kembali ke proses penahanan. Jalan keluar bagi pelaku kejahatan
adalah penahanan. Kelemahan dari model ini adalah lebih cenderung
mengarah pada penghukuman bagi pelaku kejahatan dari pada
penyelesaian berdasarkan restorative justice31.
Kedua model ini dapat berjalan beriringan atau pun sebegai
alternatif pilihan bagi para pihak. Namun bagi pelaku kejahatan yang
tergolong residivis tetap harus menggunakan daya paksa yang
dilakukan oleh pengadilan melalui putusan yang bersifat restorasi. Jalan
terakhir bagi pelaku kejahatan yang memang terlalu sering melakukan
kejahatan serupa dan tidak menginginkan perbaikan baik bagi dirinya
maupun korban, maka hanyalah penahanan yang dapat diberikan.32
31
32
Ibid, hal, 18-21
Ibid, hal. 18-21
41
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1.
Struktur Organisasi Kepolisian Resor Tegal
Kepolisian Resor Tegal dipimpin oleh Kepala Kepolisian Rolres
Tegal yang disingkat Kapolres Tegal dalam pelaksanaan tugas dalam
bidang penegakan hukum dalam hal ini hukum pidana yang dibantu oleh
Kasat Reserse Kriminal / Reskrim.
Adapun tugas pokok Kasat Reskrim sesuai dengan Peraturan
Kapolri Nomor 23 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja pada tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor adalah
melaksanakan penyelidikan, penyidikan dan pengawasan penyidikan
tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dan laboratorium forensik
lapangan dan pembinaan,koordinasi dan pengawasan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil.
Dalam melaksanakan tugasnya Kasat Reskrim dibantu oleh
Kepala Urusan Pembinaan Operasional Reskrim yang di singkat KBO
Reskrim dan Kepala Urusan Adminitrasi dan Tata Usaha (Kaurmintu).
Kasat Reskrim Polres Tegal dalam melaksanakan tugasnya
membawahi 6 (enam) unit operasional yang dipimpin oleh seorang
Kepala Unit ( Kanit ) yaitu:
42
a.
Kanit I Idik yaitu melaksanakan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana Umum;
b.
Kanit II Idik yaitu melaksanakan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana Ekonomi;
c.
Kanit III Idik yaitu melaksanakan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana Korupsi;
d.
Kanit IV Idik yaitu melaksanakan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana tertentu;
e.
Kanit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) yaitu melaksanakan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terhadap Perempuan
dan Anak;
f.
Kanit Identifiasi yaitu melaksanakan tugas identifikasi terhadap
barang bukti dan para pelaku dalam suatu tindak pidana.
2.
Visi dan Misi Kepolisian Resor Tegal.
a.
Polri sebagai integral Negara Kesatuan Republik Indonesia terus
menata diri dan memperbaiki citra untuk benar-benar menjadi
pelindung, pelayan masyarakat dan penegak hukum, langkahlangkah untuk mereformasi tubuh Polri mulai digulirkan dari
tingkat pusat sampai daerah. Untuk itu Kepolisian Resor Tegal
beserta jajarannya akan melakukan perubahan-perubahan dalam
pelayanan, pengayoman dan perlindungan masyarakat serta
penegakkan hukum terhadap masyarakat.
43
b.
Pembangunan di Kabupaten Tegal
perlu didukung oleh aparat
keamanan khususnya Kepolisian Resor Tegal dengan Undangundang Kepolisiannya memiliki saripati sebagai pelayanan,
pengayom, pelindung masyarakat dan penegak hukum.
c.
Daerah Hukum Kepolisian Resor Tegal mempunyai tugas sebagai
penyangga
Kabupaten
Tegal
yang
merupakan
salah
satu
pemerintahan di Jawa Tengah dan merupakan daerah industri,
pariwisata dan pertanian di mana perputaran ekonomi dan sirkulasi
uang sangat tinggi. Semua merupakan tugas yang harus menjadi
perhatian serius bagi aparat kepolisian khususnya Kepolisian Resor
Tegal.
3.
Dasar Hukum Unit PPA Tegal
a.
Unit Pelayanan Perempuan dan anak (UPPA) di tingkat Polres di
bawah Kasat reskrim, sebagaimana tercantum dalam pasal 46 huruf
d Bab II Peraturan Kapolri Nomor 23 tahun 2010 tentang Susunan
Organisasi Tata Kerja Tingkat Polres.
b.
Unit Pelayanan Perempuan dan anak (UPPA) di tingkat Polsek di
bawah Kanit Reskrim, sebagaimana tercantum dalam paragraf 3
pasal 111 ayat (3) bab 111 Peraturan Kapolri Nomor 23 tahun 2010
tentang Susunan Organisasi Tata Kerja Tingkat Polsek.
c.
Dengan adanyaa Peraturan Kapolri Nomor 21, 22, 23 Tahun 2010
tentang OTK Polri, uutuk Peraturan Kapolri Nomor 10 tahun 2007
tentang UPPA (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak) dan
44
Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2008 tentang TUK RPK
(pembentukan Ruang Pelayanan Khusus) masih tetap di berlakukan
4.
Tugasdan Fungsi Unit PPA
a.
Tugas UUPA
UPPA bertugas memberikan pelayanan, dalam bentuk perlndungan
terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan
penegakan hukum terhadap pelakunya.
b.
Fungsi UUPA
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
Unit PPA menyelenggarakan fungsi
1) Penyelenggaraan pelayanan dan perlindungan hukum.
2) Penyelenggaraan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
3) Penyelenggaraan kerja sama dan koordinasi dengan instansi
terkait
c.
Lingkup UPPA
Lingkup tugas Unit PPA meliputi tindak pidana terhadap
perempuan dan anak, yaitu
1) Perdagangan orang (human trafficking)
2) Penyelundupan manusia (people smuggling)
3) Kekerasan (secara umum maupun dalam rumah tangga)
4) Susila (perkosaan, pelecehan, cabul)
5) Vice (perjudian dan prostitusi)
6) Adopsi ilegal, pornografi, dan pornoaksi
45
7) Money laundering dari hasil kejahatan tersebut di atas
8) Perlindungan anak (sebagai korban/tersangka)
9) Perlindungan korban, saksi, keluarga, dan teman
10) Kasus – kasus lain dimana pelakunya adalah perempuan dan
anak
5.
Data Kasus Anak yang Ditangani PPA Tegal
Data Kasus Perempuan Dan Anak Yang Ditangani UPPA Polres Tegal
Tahun 2012
NO
TINDAK PIDANA
JUMLAH
1.
Perlindungan Anak
35 Perkara
2.
KDRT
25 Perkara
3.
Bawa Lari Perempuan
1
Perkara
4.
Perkosaan
4
Perkara
5.
Aborsi
1
Perkara
6.
Pornografi
1
Perkara
7.
Perkawinan terhalang
1
Perkara
8.
Pencurian
13 Perkara
9.
Penganiayaan
6
Perkara
10
Perbuatan Tidak Menyenangkan
2
Perkara
11.
Penghinaan
1
Perkara
12.
Pengeroyokan
2
Perkara
13.
Penipuan dan Penggelapan
1
Perkara
JUMLAH
94 Perkara
46
Data Kasus Perempuan Dan Anak Yang Ditangani UPPA Polres Tegal
Tahun 2013
NO
6.
TINDAK PIDANA
JUMLAH
1.
Perlindungan Anak
11 Perkara
2.
KDRT
6 Perkara
3.
Bawa Lari Perempuan
1
4.
Perkosaan
8 Perkara
5.
Aborsi
1 Perkara
6.
Pornografi
- Perkara
7.
Perkawinan terhalang
- Perkara
8.
Pencurian
7 Perkara
9.
Penganiayaan
9 Perkara
10
Perbuatan Tidak Menyenangkan
- Perkara
11.
Penghinaan
1
12.
Pengeroyokan
2 Perkara
13.
Penipuan dan Penggelapan
1
JUMLAH
47 Perkara
Perkara
Perkara
Perkara
Data Perkara Tindak Pidana Yang Dilakukan oleh Anak di Polres Tegal
Di bawah ini disajikan data perkara tindak pidana anak di Polres
Tegal dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2014 dalam tabel sebagai
berikut :
47
Jenis Tindakan
Pidana
Kekerasan
terhadap anak
Pencurian HP
olah anak 16th
Perkelahian
anak
Pengrusakan
sepeda motor
oleh anak 16 th
Perkelahian
anak
Kekerasan
sesama anak
Perkelahian
antar anak
Pencurian oleh
anak
Pasal yang
dilanggar
Pasal 80
UUPA
Pasal 362
KUHP
Pasal 80
UUPA
Pasal 406
KUHP
Pencabulan
oleh anak
10 Pemerasan
oleh anak
11 Pencurian
helm oleh anak
Pasal 81, 82
UUPA
Pasal 368
KUHP
Pasal 362
KUHP
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pasal 80
UUPA Anak
Pasal 80
UUPA
Pasal 170
KUHP
Pasal 362
KUHP
Penyelesaian
Keterangan
Restorative
Justice
Restorative
Justice
Restorative
justice
Restorative
justice
Keluarga pelaku
meminta maaf
kekeluargaan
Restorative
Justice
diversi
damai
Diversi
damai
Korban
memaafkan
Korban
memaafkan
Mediasi
Diteruskan
ke
kejaksaan
diproses
Mall menolak
damai
Dilanjutkan
peradilan
Dikembalik
an kepada
orang tua
Kejahatan berat
Ancaman 5 th
Orang tua
pelaku tergolong
keluarga tidak
mampu
sehingga tidak
mampu
mengembalikan
kerugian korban
Sumber: Unit PPA Polres Tegal
7.
Data Penyelesaian Kasus Perkara Pidana Yang dilakukan Oleh Anak di
Polres Tegal
Data penyelesaian kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak di
Polres Tegal dari tahun 2010 sampai dengan 2013
48
No
Tahun
2012 2013
5
16
2010
8
2011
12
5
8
5
12
10
11
Jumlah
36
Sumber : Unit PPA Polres Tegal
1
2
3
4
8.
Saran Petugas
Diberikan
hukuman sesuai
dengan peraturan
yang berlaku
Diberikan pidana
bersyarat
Dilakukan
restorative justice
demi kepentingan
masa depannya
Dikembalikan
kepada orang tua
nya
Jml
41
%
27.7
10
28
18,9
7
13
42
28,4
7
9
10
37
25
37
26
49
148
100
Data Anak Pelaku Tindak Pidana di Polres Tegal Tahun 2013
No
1
Usia
12 th
Tindak Pidana
Kekerasan
16 th
17 th
Pencurian
Kekerasan
4
5
Nama
Dedi Setiawan
bin Tarlin
Zaenal Arifin
Sarah
Matahemual
Warja
Nursitin
14 th
16 th
6
Sanusi bin Ratmo
15 th
Kekerasan
Pengrusakan
sepeda motor
Perkelahian
7
Ozi
16 th
kekerasan
8
Tarmin
12 th
9
Septian
16 th
10
Nursana
17 th
Perkelahian
antar pelajar
Melakukan
pencurian di
Mall
perampasan
11
Saipul
15 th
Pencabulan
2
3
Sumber; Diolah dari Unit PPA Polres Tegal
Keterangan
restorative
justice
Kekeluargaan
restorative
justice
Berdamai
Kekeluargaan,
Restorative
justice
Restorative
justice
Tidak
dilanjutkan
Mall menolak
berdamai,
pidana berat
hukuman 5 th
Dilanjutkan ke
peradilan
49
9.
Kasus Perkara Anak Yang Diselesaikan melalui Pendekatan Restorative
Justice di Polres Tegal
Peristiwa yang dilaporkan adalah bahwa pada hari Senin tanggal
15 Oktober 2013 pukul 17.00 WIB di rumah pelapor telah terjadi tindak
pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP dengan korban
Pelapor sendiri yang dilakukan oleh tersangka Zaenal Arifin umur 16
tahun, dengan cara tersangka datang ke rumah korban tiba-tiba meminta
untuk tinggal di rumah korban karena tersangka sudah dianggap keluarga
lebih kurang satu bulan selanjutnya tiba-tiba tersangka pergi tidak pamit
dan ternyata tersangka mengambil barang berupa, satu buah HP Nokia
dan atas kejadian tersebut korban merasa dirugikan dan melaporkan ke
Polres Tegal
Maka Polres Tegal dengan pertimbangan untuk kepentingan
penyidikan tindak pidana, dipandang perlu mengeluarkan surat perintah
penyidikan. Dasar dikeluarkannya surat perintah penyidikan adalah
adanya laporan Polisi maka diperintahkan kepada untuk melaksanakan
penyidikan tindak pidana pencurian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
362 KUHP atas nama tersangka Zaenal Arifin umur 16 tahun, pekerjaan
pelajar, alamat Kecamatan Balapulang Kabupaten Tegal dan membuat
Rencana Penyidikan serta melaporkan setiap perkembangan pelaksanaan
penyidikan tindak pidana tersebut kepada Kapolres Tegal.
50
Proses penyidikan dilanjutkan dengan pembuatan Berita Acara
Pemeriksaan Saksi Pelapor. Saksi diperiksa dan dimintai keterangan
selaku Saksi dalam perkara pencurian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 362 KUHP dan dalam berita acara pemeriksaan terhadap saksi
tersebut, saksi memberikan keterangan antara lain bahwa Saksi diperiksa
dalam keadaan sehat jasmani dan rohani dan akan memberikan
keterangan sebenar-benarnya dan Saksi mengerti diperiksa dan dimintai
keterangan selaku saksi dalam perkara pidana mengambil barang milik
orang lain tanpa seizin dari pemiliknya/pencurian biasa yang terjadi di
sumah saksi sendiri di mana tersangka datang ke rumah korban tiba-tiba
meminta untuk tinggal di rumah korban karena tersangka sudah dianggap
keluarga lebih kurang satu bulan selanjutnya tiba-tiba tersangka pergi
tidak pamit dan ternyata tersangka mengambil barang berupa satu buah
HP Nokia dan atas kejadian tersebut korban merasa dirugikan dan
melaporkan ke Polres Tegal.
Namun
setelah
proses
mengajukan Surat permohonan
pemeriksaan
saksi,
Saksi
korban
untuk tidak melanjutkan perkara ini
dibuat oleh pihak korban dalam tindak pidana pencurian
Dalam surat permohonan yang diajukan kepada Kapolres Tegal
ini berisi permohonan bahwa sehubungan dengan adanya Laporan Polisi
yang dilaporkan oleh Saksi Korban atau Pemohon sendiri bahwa telah
terjadi tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP
dengan korban Pelapor sendiri yang dilakukan oleh tersangka Zaenal
51
Arifin, umur 16 tahun, pekerjaan pelajar pendidikan terakhir SD kelas 4,
agama Islam, suku Jawa, warga negara Indonesia, alamat Kecamatan
Balapulang Kabupaten Tegal
Surat permohonan untuk mencabut perkara dengan alasan bahwa
pelaku masih anak-anak dan masa depan masih panjang, anak tersebut
melakukan tindak pidana pencurian namun tidak mengerti akibat
hukumnya. Pemohon juga menyatakan bahwa Pelaku tersebut telah
menyadari kesalahannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi dan
orang tua pelaku juga telah mengganti kerugian materi sebesar Rp.
3.300.000,- dan atas permasalahan tersebut telah diselesaikan secara
kekeluargaan.
Dalam penyelesaian mengenai tindak pidana pencurian yang
dilakukan oleh tersangka yang masih tergolong anak-anak, para pihak
yakni pihak korban dengan pihak para tersangka kemudian membuat 2
(dua) buah surat pernyataan
Kedua surat pernyataan ini merupakan perjanjian antara para
pihak Tersangka dengan pihak korban dalam tindak pidana pencurian
yang terjadi Yang dilaporkan oleh Saksi Korban, di mana peristiwanya
adalah bahwa telah terjadi tindak pidana pencurian yang diatur dalam
Pasal 362 KUHP dengan korban Pelapor sendiri yang dilakukan oleh
tersangka Zaenal Arifin, umur 16 tahun, pekerjaan pelajar pendidikan
terakhir SD kelas 4, agama Islam, suku Jawa, warga negara Indonesia,
alamat Kecamatan Balapulang Kabupaten Tegal
52
Pihak pertama yakni pihak tersangka yakni orang tua yang
mewakili tersangka sedangkan pihak kedua atau Saksi korban di mana
Surat Pernyataan ini berisi bahwa sehubungan Tersangka Zaenal Arifin
anak dari pihak pertama telah melakukan perbuatan kurang baik terhadap
pihak kedua yang mengakibatkan kerugian materi sebesar Rp. 3.300.000
maka kedua belah pihak telah melaksanakan musyawarah kekeluargaan
dengan hasil kesepakatan sebagai berikut :
a.
Pihak kedua menerima dan memaafkan pihak pertama
b.
Pihak pertama siap untuk mengembalikan uang sebesar tersebut di
atas paling lambat 2 (dua) bulan setelah penandatanganan surat
pernyataan ini
c.
Pihak kedua menerima jangka waktu tersebut dan tidak akan
melaporkan kejadian tersebut kepada pihak yang berwajib
d.
Permasalahan ini selesai dan kedua belah pihak akan tetap menjalin
hubungan silaturahmi
Surat pernyataan ini ditandatangani oleh masing-masing pihak
dan bermeterai.
Tahap
berikutnya adalah dibuatnya Berita Acara Restorative
Justice antara Pihak Pelaku Zaenal Arifin dengan Pihak Saksi korban
yang difasilitasi oleh Penyidik Polres Tegal di mana telah melakukan
upaya restorative justice berupa pertemuan musyawarah di Kantor UUPA
Sat Reskrim Polres Tegal yang dihadiri oleh Para Korban/Pelapor dengan
Pihak Terlapor orang tua Tersangka Zaenal Arifin, umur 16 tahun yang
53
beralamat di Kecamatan Balapulang Kabupaten Tegal sebagai Terlapor.
Restorative justice inipun dihadiri oleh Tokoh Masyarakat desa setempat
Dalam perkara Laporan Polisi di mana Pelapor melaporkan
bahwa telah terjadi tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362
KUHP dengan korban Pelapor sendiri yang dilakukan oleh tersangka
Zaenal Arifin, umur 16 tahun, alamat Kecamatan Balapulang Kabupaten
Tegal
Adapun hasil yang didapat dari pertemuan tersebut adalah bahwa
kedua belah pihak yakni terlapor dan pelapor berhasil mencapai
kesepakatan musyawarah dan pihak pelapor menyatakan tidak menuntut
Terlapor dan mencabut laporannya serta tidak akan melanjutkan ke
proses secara hukum pidana
B. Pembahasan
1.
Fakta Kondisi Perlindungan Anak Pelaku Kejahatan di Kabupaten
Tegal
Institusi kepolisian merupakan institusi negara yang pertama kali
melakukan intervensi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
Penangkapan, penahan, penyelidikan, dan penyidikan merupakan
kewenangan kepolisian untuk menegakkan sistem peradilan pidana anak.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satuan Reserse
Kriminal Resort Tegal menyatakan bahwa pada dasarnya kasus yang
dilaporkan ke Polres Tegal tidak semua berkasnya dilimpahkan ke
54
Kejaksaan. Ketika penyidikan dilakukan, terkadang antara pihak korban
dan pelaku melakukan perdamaian seperti pada tahun 2013 dari beberapa
kasus sebagian besar berkasnya yang disampaikan ke kejaksaan.
Biasanya perdamaian ini terjadi karena bantuan pihak ketiga seperti
tokoh adat atau tokoh masyarakat. Perdamaian itu biasanya disertai ganti
rugi yang ditandai dengan kesepakatan antara korban dan pelaku.
Terkadang pihak kepolisian dilibatkan dan tidak dilibatkan namun
apabila perkara tersebut sudah diselesaikan secara damai biasanya pihak
korban, pelaku dan tokoh masyarakat atau pihak-pihak yang terlibat
datang melapor ke Polres Tegal. Namun apabila kasus pencabulan
dimana korban atau orang tua korban tidak bersedia melakukan
perdamaian dengan adanya surat pernyataan yang ditandatangani oleh
orang tua korban maka kasus ini akan diteruskan ke kejaksaan33.
Namun masih banyak kasus yang diteruskan ke kejaksaan dapat
dikatakan kewenangan kepolisian untuk menerapkan keadilan restoratif
dalam penanganan anak yang melakukan tindak pidana belum
dipergunakan secara maksimal. Fakta ini menunjukkan kepolisian belum
menggunakan pendekatan restoratif dalam menangani perkara anak.
Alasan pihak kepolisian tidak menggunakan pendekatan restoratif
secara maksimal dikarenakan ada beberapa kasus anak yang wajib
mereka teruskan ke kejaksaan seperti kasus pencabulan (pemerkosaan)
dan narkoba. Sedangkan untuk kasus tindak pidana ringan seperti kasus
33
Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 19 Agustus 2014
55
pencabulan biasa, penganiayaan atau pencurian biasanya dilakukan
pendekatan restoratif dengan melibatkan keluarga korban dan tokohtokoh masyarakat setempat34.
Sebagaimana dikemukakan Kanit PPA Polres Tegal, bahwa:
“Untuk diterapkannya restorative justice pada tindak pidana yang
dilakukan oleh anak, biasanya dilakukan pada kasus tindak pidana ringan
atau kasus penganiayaan atau pencurian. Namun untuk kasus pencabulan
atau narkoba semua dilimpahkan dan diteruskan ke kejaksaan dan
diproses melalui proses hukum yang berlaku. Namun biasanya yang
pelakunya anak harus diupayakan perdamaian. Perdamaian biasanya
disarankan oleh penyidik, digelar dulu dengan pakar hukum di Polres dan
keputusannya diambil dalam sidang rapat dan biasanya tidak ada
tenggang waktu berapa lama untuk proses perdamaian”35.
Pendapat Kanit PPA Polres Tegal ini diperkuat dengan membaca
Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia di mana dalam konteks penanganan perkara anak,
tidak ada pasal-pasal yang secara khusus mengatur mengenai penerapan
restorative justice dalam proses penyidikan anak pelaku tindak pidana.
Bahkan dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang secara khusus
mengatur tindakan dan metode untuk menangani anak yang melanggar
hukum pidana. Pasal 16 ayat (1) menetapkan bahwa dalam rangka
menyelenggarakan tugas dalam bidang proses pidana, Kepolisian Negara
34
35
Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 19 Agustus 2014
Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 19 Agustus 2014
56
Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan; ... h. mengadakan penghentian penyidikan.
Selanjutnya Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa untuk kepentingan
umum
pejabat
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri.
Pernyataan ini bertentangan dengan Konvensi Hak Anak Pasal 37
huruf b yang mewajibkan negara untuk menjamin bahwa tidak seorang
anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau
dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan
seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan
hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu
terpendek yang tepat. Konstruksi hukum serupa dapat ditemukan pada
Kovenan Hak Sipil dan Politik Pasal 14 ayat (4) yang menyatakan dalam
kasus
orang
di
bawah
umur,
prosedur
yang
dipakai
harus
mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan
rehabilitasi bagi mereka. Oleh karena itu, semestinya setiap anak yang
melakukan tindak pidana tetap harus diterapkan pendekatan restorative
justice tanpa memandang berat kecil dan jenis tindak pidana yang
dilakukan si anak.
Namun terkadang dalam melaksanakan tugasnya, seperti fakta yang
terjadi di Polres Tegal, kepolisian tidak menawarkan penerapan
restorative justice dengan berbagai alasan. Selain pihak keluarga korban
57
juga tidak bersedia melakukan perdamaian, berat dan jenis tindak pidana
maupun karena keengganan pihak kepolisian untuk menerapkan
pendekatanm restorative justice tersebut
Berdasarkan temuan di lapangan, ditemui juga fakta bahwa tidak
dilakukannya pendekatan restorative justice secara maksimal oleh
kepolisian di Polres Tegal dikarenakan kemampuan pihak polisi sendiri
dalam memahami konsep ini masih kurang sehingga dalam penerapannya
jarang dilakukan kecuali pihak keluarga korban atau keluarga pelaku
yang melakukan perdamaian melalui jalur restorative justice.
Sehubungan hal tersebut, Kapolres Tegal mengatakan bahwa:
“Memang dalam beberapa perkara yang melibatkan anak sebagai
pelakunya, terutama kasus-kasus yang kerugian materiilnya kecil, antara
korban dan pelaku memilih penyelesaiannya melalui jalan perdamaian,
karena mereka merasa lebih memperoleh kemudahan dan tidak berlarutlarut, namun sebagian besar kasus tetap diproses penuntutan.
Sesuai dengan tanggapan dari Kasat Reskrim Polres Tegal, yang
mengatakan bahwa: “Mengingat kasus yang ditangani oleh penyidik
Polres Tegal cukup banyak, maka untuk efisiensi dan kecepatan
penanganan perkara, memang ada beberapa kasus yang melibatkan anak
sebagai pelaku, penyidik menerapkan konsep keadilan restoratif yang
tentunya dengan mempertimbangkan dan memperhatikan dari berbagai
aspek, misalnya kerugian yang ditimbulkan kecil, tidak menimbulkan
58
korban jiwa, dan yang paling penting kedua belah pihak sepakat untuk
diselesaikan secara kekeluargaan dan restorative justice”36.
Hal yang sama juga dikemukakan para Penyidik, yang mengatakan
bahwa: “Dalam menangani kasus yang pelakunya anak-anak memang
ada beberapa kasus yang kami selesaikan dengan melalui pendekatan
restorative justice, itupun atas permintaan kedua belah pihak yang telah
sepakat untuk menyelesaikannya secara damai, tapi tidak semua kasus
anak yang kami tangani kami selesaikan melalui pendekatan restorative
justice, terutama kasus-kasus yang menjadi atensi pimpinan seperti
curanmor, penganiayaan berat tetap kami proses sesuai ketentuan yang
berlaku”.
Berdasarkan uraian dan fakta-fakta di atas tentunya kenyataan di
lapangan seseorang
yang menjalani
pemidanaan pada lembaga
pemasyarakatan (yang tujuannya memberikan efek jera), ternyata setelah
kembali ke masyarakat, orang yang bersangkutan justru terdidik menjadi
pelaku tindak pidana jenis lain, bahkan dalam banyak kasus, orang yang
telah menjalani pemidanaan tetap saja mengulangi perbuatan (pidana)
atau recidive pada masa datang. Hal ini juga telah menjadi pertimbangan
sendiri terhadap efektivitas pemidanaan dalam sistem hukum pidana,
sehingga perlu dicari cara lain yang lebih dapat menjamin penyelesaian
kasus pidana secara efektif dan efisien, serta lebih memenuhi prinsip
36
Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 19 Agustus 2014
59
keadilan. Cara penyelesaian perkara pidana dimaksud adalah dengan
pendekatan keadilan restoratif.
Dalam praktiknya penyidikan terhadap perkara pidana yang
melibatkan anak sebagai pelaku di Polres Tegal lebih banyak
menggunakan positivisme yakni ke jalur pengadilan, namun ada
beberapa yang diselesaikan melalui pendekatan restorative justice,
meskipun belum sepenuhnya,
terutama bagi anak pelaku tindak
kejahatan yang ancaman hukumannya kurang dari 7 (tujuh) tahun.
Diharapkan dengan diberlakukannya Undang-undang Sistem Peradilan
Pidana Anak yang baru yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bagi anak pelaku tindak pidana
meskipun ancamannya kurang dari 7 (tujuh) tahun, tetap diterapkan
pendekatan restorative justice, mengingat masa depan anak yang masih
dapat berkembang melalui pendidikan dan pembinaan dari berbagai
pihak.
2.
Perlindungan dan Penanganan Anak Pelaku Kejahatan di Polres
Tegal Yang Menggunakan Pendekatan Restorative Justice
Secara umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 11
tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa penyidikan
terhadap pelaku tindak pidana anak hanya dapat dilakukan apabila pelaku
tindak pidana telah berusia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun, terhadap anak dibawah umur delapan
60
tahun yang melakukan tindak pidana akan mendapat pembinaan dan
dikembalikan pada orang tua/wali.
Penyidikan terhadap anak dalam hal anak nakal dilakukan oleh
Penyidik Anak, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia
atau Pejabat yang ditunjuk olehnya.
Dengan demikian Penyidik Umum tidak dapat melakukan penyidikan
atas Perkara Anak, kecuali dalam hal tertentu, seperti belum ada Penyidik
Anak di tempat tersebut.
Penyidikan terhadap anak Yang Berhadapan dengan Hukum
berlangsung dalam suasana kekeluargaan, dan untuk itu penyidik wajib
meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan
sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, diperiksa dalam suasana kekeluargaan, berarti pada waktu
memeriksa
tersangka
anak,
penyidik
tidak
memakai
pakaian
seragam/dinas, dan melakukan pendekatan secara efektif, aktif, dan
simpatik.
Suasana kekeluargaan itu juga berarti tidak ada pemaksaan,
intimidasi atau sejenisnya selama dalam penyidikan. Salah satu jaminan
terlaksananya suasana kekeluargaan ketika penyidikan dilakukan, adalah
hadirnya Penasehat Hukum, disamping itu, karena yang disidik adalah
anak,
maka
juga
sebenarnya
sangat
penting
kehadiran
orang
tua/wali/orang tua asuhnya, agar tidak timbul ketakutan atau trauma pada
diri si anak.
61
Apabila
dipandang
perlu,
penyidik
juga
dapat
meminta
pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli
agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. Sementara untuk
kepentingan si anak sendiri, maka proses penyidikan wajib dirahasiakan
Tindakan yang dapat dilakukan penyidik oleh seorang penyidik
adalah penangkapan, penahanan, mengadakan pemeriksaan ditempat
kejadian, melaksanakan penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan
interogasi, membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penyitaan,
penyimpanan perkara dan melimpahkan perkara.37
Garis besar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum juga
telah diatur di dalam Bab III Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2010 tentang Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan
dengan Hukum yakni penyidik di dalam menanganai anak sebagai pelaku
kejahatan menerima pelaporan ataupengaduan dari seseorang atau
menemukan sendiri adanya tindak pidana.. setelah menerima pelaporan
atau menemukan sendiri, penyidik segera melakukan penyidikan untuk
mencari keterangan dan barang bukti.
Dalam hal ditemukan cukup bukti segera diterbitkan Surat Perintah
Tugas dan Surat Perintah Penyidikan. Kemudian Kepala Unit PPA
menunjuk penyidik atau beberapa orang penyidik yang disesuaikan
dengan kasus dan jenis kelamin anak.
37
Paramita dan Tamba BIT, Perlindungan Hak Anak dalam Proses Peradilan Pidana pada Tahap
Penyidikan, Jurnal Hukum No 1 Januari 2003, hal. 29
62
Dalam melaksanakan penyidikan, penyidik wajib memberitahukan
kepada BAPAS dan meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing
kemasyarakatan. Apabila perlu dapat meminta pertimbangan atau saran
dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama atau petugas
kemasyarakatan lainnya.
Sebelum melakukan pemanggilan kepada anak, sebagai pelaku
tindak pidana, penyidik wajib memeriksa terlebih dahulu pelapor dan
para saksi termasuk konsultasi dengan ahli. Pemanggilan kepada anak
wajib mempertimbangkan dampak psikologi atau lainnya. Anak yang
diduga sebagai pelaku tindak pidana dipanggil atau tertangkap tangan
langsung dibawa ke ruang pelayanan khusus pada unit PPA.
Dalam hal polisi terpaksa melakukan penangkapan tindakan
tersebut harus dilakukan sebagai upaya terakhir dan janka waktu
penangkapan tidak lebih dari 12 jam
Terhadap
anak
yang
tertangkap
tangan
penyidik
wajib
memberitahukan kepada keluarga, wali, orang tua asuh, penasehat
hukum, advokat dan BAPAS dalam waktu 11x12 jam.
Pemeriksaan awal terhadap anak wajib memperhatikan kondisi
kesehatan dan kesiapan anak. Pemeriksaan terhadap anak dapat
dilakukan apabila anak dalam kondisi kesehatan baik dalam hal anak
dalam kondisi tidak sehat, baik fisik maupun psikis, maka penyidik wajib
menunda pemeriksaan awal terhadap anak.
63
Penyidik melakukan upaya pemulihan terhadap kondisi kesehatan
anak jika perlu merujuk ke puskesmas, rumah sakit, pusat pelayanan
terpadu (PPT), Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan Dan
Anak (P2TP2A) dan psikolog
Waktu pemeriksaan anak untuk pembuatan BAP tidak lebih dari
empat jam sehari dan tidak dilakukan pada malam hari. Diusahakan
untuk menghadirkan orang tua anak, wali dan penasehat hukum dan
selama melakukan pemeriksaan, penyidik wajib memeriksa anak dalam
suasana kekeluargaan dengan pendekatan efektif, afktif/kasih sayang
dengan simpatik.
Dalam proses penilaian terhadap anak dan kasusnya penyidik
mengumpulkan informasi dalam suasana kekeluargaan dan dalam
melakukan penyidikan penyidik wajib segera meminta pertimbangan atau
saran dari pembimbing kemasyarakatan dalam waktu 1x12 jam dan
apabila perlu dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli
pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama atau petugas kemasyarakatan
lainnya
Penentuan identitas anak sebagai pelaku khususnya terkait dengan
unsur anak sedapat mungkin dibuktkan dengan akte kelahiran/surat lahir
atau surat keterangan lainnya yang sah seperti ijazah, buku rapor, kartu
keluarga dan surat keterangan dari RT, RW dan sebagainya
Dalam hal dicapai kesepakatan maka hasil kesepakatan tersebut
ditandatangani oleh penyidik, pembimbing kemasyarakatan, pelaku,
64
orang tua/wali, korban/orang tua/wali, tokoh masyarakat, tokoh agama
dan guru namun dalam hal tidak dicapai kesepakatan, proses hukum tetap
dilanjutkan dan penyidik segera melimpahkan berkas perkara kepada
penuntut umum dengan melampirkan hasil kesepakatan.
Berdasarkan temuan di lapangan dikaitkan dengan pengaturan
perlindungan terhadap anak yang herhadapan dengan hukum, tidak
semuanya dapat didamaikan secara restorative justice. Dan sebagian
kasus kejahatan yang dilakukan anak sebagian diteruskan ke kejaksaan
sehingga penerapan pendekatan restorative justice belum dipergunakan
secara maksimal untuk menangani perkara anak yang bermasalah dengan
hukum.
Fakta ini menunjukkan bahwa pihak penyidik kepolisian belum
sepenuhnya melakukan perlindungan terhadap hak-hak anak terutama
dalam penanganan anak, dengan alasan pihak kepolisian tidak dapat
dikarenakan beberapa kasus anak yang berhadapan hukum wajib
diteruskan ke kejaksaan seperti pemerkosan, pemerasan, Narkoba,
curanmor, sedangkan untuk beberapa kasus yang ringan dapat dilakukan
perdamaian secara restorative justice
Dari data temuan di dalam hasil penelitian seperti kasus perkara
pencurian HP yang dilakukan oleh tersangka Zaenal Arifin yang berusia
16 tahun, diuraikan bahwa ada beberapa perkara anak yang diselesaikan
melalui restorative justice, sebagian lagi diproses melalui proses litigasi
dan sampai kepada penghukuman serta pidana bersyarat. Ada beberapa
65
kasus juga yang mengembalikan pelaku tindak pidana anak yang
dikembalikan kepada orang tuanya oleh pihak penyidik Kepolisian
Resort Tegal melalui pendekatan restorative justice
Kasus anak yang diberikan hukuman sesuai dengan peraturan yang
berlaku, dikenakan kepada tindak pidana berat yang ancaman
hukumannya lebih dari 5 tahun seperti pencabulan, pemerasan, pencurian
dengan pemberatan
Ada juga yang melalui pidana bersyarat dikenakan kepada anak
pelaku tindak pidana apabila anak tersebut melakukan tindak pidana
namun keluarga korban menolak untuk memaafkan dan menolak untuk
berdamai, akhirnya pihak Polres Tegal melanjutkannya dengan proses
litigasi namun pada akhirnya anak tersebut dijatuhkan pidana bersyarat
Sebagian besar kasus anak yang berhadapan dengan hukum di
Polres Tegal yang diselesaikan melalui pendekatan restorative justice
dengan mengundang pihak korban untuk dapat berdamai dan memaafkan
pelaku dan sebagian besar keluarga korban mau memahami dan hadir di
Polres dengan mediasi pihak polisi. Apabila keluarga pelaku ternyata
termasuk keluarga tidak mampu dan tindak pidana yang dilakukan
termasuk kategori tindak pidana ringan maka pihak Polres langsung
mengembalikannya kepada orang tuanya tanpa meminta ganti rugi dari
keluarga pelaku.
66
3.
Hambatan-hambatan dalam Penanganan Anak Pelaku Kejahatan di
Polres Tegal Yang Menggunakan Pendekatan Restorative Justice
Pendekatan restorative justice sebenarnya
mulai ditekankan di
dalam Undang-undang Peradilan Anak yang baru yakni Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memiliki
beberapa kriteria pelaksanaan dilihat dari pelaksana baik dari lembaga
musyawarah antar pelaku dan korban juga pada lembaga penegak
hukum.
Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru tersebut
yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengamanatkan bahwa
Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan
Keadilan Restoratif melalui diversi di mana diversi merupakan
pemikiran tentang pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum
untuk mengambil tindakan-tindakan kebijaksanaan dalam menangani
atau menyelesaikan masalah pelanggaran anak dengan tidak mengambil
jalan formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan/melapaskan
dari proses peradilan pidana atau mengembalikan/menyerahkan kepada
masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya.
Penerapan Pendekatan Restorative Justice melalui diversi tersebut
dapat dilakukan dalam semua tingkatan pemeriksaan yaitu dari
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pada
67
tahap
pelaksanaan
putusan.
Penerapan
ini
dimaksudkan
untuk
mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan
tersebut38, sehingga diharapkan melalui penerapan diversi dampak proses
peradilan yang ditimbulkan dapat diminimalisir, terutama dalam
penanganan anak yang terlibat di dalam tindak pidana. Proses penyidikan
sendiri dari mulai penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan di sidang
pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan, di mana semua proses dan
tahapan peradilan tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kepribadian
anak yang pada akhirnya akan mengganggu proses belajar pendewasaan
anak serta melanggar hak-hak anak, meski anak tersebut diduga
melakukan suatu tindak pidana.
Di dalam proses penyidikan anak sebenarnya Undang-undang telah
menetapkan agar anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan
melalui pendekatan Restorative Justice melalui diversi, di mana
penyidikan merupakan titik tolak yang mempengaruhi kepribadian anak,
ia dapat menjadi baik atau sebaliknya, oleh karena itu, diperlukan adanya
suatu kesatuan khusus kepolisian yang terlatih dalam melayani dan
menanganai tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam diterapkannya
pendekatan Restorative Justice dalam perkara tindak pidana yang
dilakukan oleh anak adalah antara lain sifat dan kondisi perbuatan,
pelanggaran yang sebelumnya dilakukan, derajat keterlibatan anak dalam
38
Wawancara dengan Kepala Unit PPA Polres Tegal, 18 Agustus 2014
68
kasus, sikap anak terhadap perbuatan tersebut, reaksi orangtua dan/atau
keluarga anak terhadap perbuatan tersebut dan
dampak perbuatan
terhadap korban.
Namun dalam penelitian ini di mana Kepolisian Resor Tegal belum
secara maksimal menerapkan pendekatan restorative justice dalam
penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anak di mana dasar
hukum penerapan restorative justice melalui diversi ini dalam proses
penyidikan diatur di dalam Pasal 18 ayat 1 huruf L yang diperluas oleh
Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kemudian pada TR Kabareskrim
Nomor Pol.: TR/1124/XI/2006, Butir DDD. 3 terdapat pengertian
mengenai diversi, yakni suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari
penyelesaian
yang bersifat
proses pidana
formal
ke alternatif
penyelesaian dalam bentuk lain yang di nilai terbaik menurut
kepentingan anak. Polisi dapat mengadakan tindakan lain menurut
hukum yang bertanggung jawab dengan batasan bahwa tindakan tersebut
tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, selaras dengan
kewajiban hukum/ profesi yang mengharuskan dilakukannya tindakan
jabatan tersebut, tindakan tersebut harus patut dan masuk akal dan
termasuk dalam lingkup jabatannya, didasarkan pada pertimbangan yang
layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan menghormati Hak Asasi
Manusia..
69
Sebenarnya ada beberapa jenis diversi yang secara garis besar
terdiri dari tiga jenis yaitu peringatan, informal, dan formal. Peringatan
diberikan oleh Polisi untuk pelanggaran ringan. Informal, untuk
pelanggaran ringan dimana dirasa kurang pantas apabila hanya diberikan
peringatan. Adapun pada diversi formal, korban dan pelaku bertemu
muka, suatu peristiwa yang dikenal dengan Restorative Justice. Namun
dalam penerapan diversi pada penelitian ini Kepolisian Resor Tegal
selaku penyidik menggunakan diversi baik yang formal maupun yang
informal
Di dalam penerapan pendekatan restorative justice oleh pihak
penyidik terhadap anak yang melakukan berhadapan dengan hukum,
ditemui kendala yakni antara lain :
a.
Penerapan pendekatan restorative justice dianggap oleh sebagian
pihak tidak akan menyelesaikan masalah, seperti dari pihak korban
atau pihak penyidik sendiri, apalagi untuk tindak pidana yang
dianggap berat oleh sebagian masyarakat seperti pencurian,
penganiayaan sampai pembunuhan. Seperti di dalam penanganan
terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencurian yang
diselesaikan melalui pendekatan restorative justice oleh Kepolisian
Resor Tegal ini, sebenarnya
melibatkan lebih dari seorang
tersangka, karena tersangka Zaenal Arifin yang berusia 16 tahun
dikenalkan oleh temannya kepada pihak keluarga korban yang telah
merencanakan kejahatannya sebelumnya, bahkan kalau penyidikan
70
ini dikembangkan maka akan melibatkan lebih banyak tersangka
lagi. Oleh karena itu, kalau suatu tindak pidana dapat diselesaikan
secara tuntas, mestinya diselesaikan sampai jalur ke pengadilan, dan
pengadilanlah yang menentukan apakah tindak pidana tersebut dapat
diterapkan pendekatan restorative justice atau tidak.
b.
Meski penerapan pendekatan restorative justice mengandung banyak
keuntungan yang memihak perlindungan HAM anak dan sesuai
dengan ketentuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, oleh karena itu perlu benar-benar
direalisasikan dan direspon oleh pihak terkait demi kepentingan
semua pihak, terutama yang berhubungan dengan proses peradilan
seperti penyidikan, penuntutan hingga ke muka persidangan. Walau
pada dasarnya bisa dilakukan pada setiap tahap pemeriksaan, tetapi
pada kenyataannya tidak semua aparat penegak hukum mau
melaksanakan pendekatan restorative justice ini. Seperti penerapan
pendekatan restorative justice di tingkat penyidikan, tidak semua
anggota kepolisian yang satu suara atau sepakat dalam penerapan
pendekatan restorative justice ini dengan berbagai alasan. Keberatan
juga datang dari pihak korban adalah sebab lain mengapa dalam
perkara yang melibatkan anak yang berkonflik dengan hukum tidak
selalu ditempuh melalui upaya restorative justice. Meski banyak
mengandung kelebihan dan kemanfaatan bagi anak, tak urung
pendekatan restorative justice yang notabene adalah penyelesaian
71
non-litigasi ini pula tidak lepas dari kendala dari berbagai unsur.
Berdasarkan studi di Polres Tegal dari hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tak semua korban atau keluarga korban mau
menerima cara penyelesaian restorative justice ini hingga diperlukan
pendekatan oleh pihak penyidik kepada berbagai pihak, terutama
pihak korban. Alasan yang sering dikemukakan oleh pihak korban
adalah keinginan untuk membuat pelaku kapok jika dimasukkan
dalam penjara. Alasan lain adalah kejahatan yang dilakukan oleh
pelaku adalah kejahatan yang diancam dengan pidana yang berat,
penegak hukum kurang mendukung perdamaian. Selain itu, tidak ada
petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis bagi aparat penegak
hukum untuk mengimplementasi cara penyelesaian non-litigasi ini.
c.
Ketidaksempurnaan penyelesaian melalui penerapan pendekatan
restorative justice ini ‘meninggalkan’ berbagai jejak yang tak jelas
seperti penanganan yang tidak selesai dan kenyamanan dari
masyarakat yang kurang setuju dengan penerapan pendekatan
restorative justice ini. Seperti dalam proses pendekatan restorative
justice terhadap tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak di
Kepolisian Resor Tegal dalam penelitian ini, yang dikhawatirkan
pelaku akan mengulangi lagi perbuatan pencurian tersebut kelak,
karena tidak adanya unsur jera di dalam penerapan restorative
justice.
72
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Fakta kondisi perlindungan anak pelaku kejahatan di Kabupaten Tegal
menunjukkan bahwa masih banyak kasus yang diteruskan ke kejaksaan
sehingga dapat dikatakan kewenangan kepolisian untuk menerapkan
Restorative Justice dalam penanganan anak yang melakukan tindak
pidana belum dipergunakan secara maksimal. Fakta ini menunjukkan
kepolisian belum menggunakan pendekatan restoratif dalam menangani
perkara anak. Tidak dilakukannya pendekatan restorative justice secara
maksimal oleh kepolisian di Polres Tegal dikarenakan kemampuan pihak
polisi sendiri dalam memahami konsep ini masih kurang sehingga dalam
penerapannya jarang dilakukan kecuali pihak keluarga korban atau
keluarga pelaku yang melakukan perdamaian melalui jalur restorative
justice
2.
Perlindungan dan penanganan anak pelaku kejahatan di Polres Tegal
yang menggunakan pendekatan Restorative Justice, berdasarkan temuan
ternyata tidak semuanya dapat didamaikan secara restorative justice. Dan
sebagian kasus kejahatan yang dilakukan anak sebagian diteruskan ke
kejaksaan sehingga penerapan pendekatan restorative justice belum
dipergunakan secara maksimal untuk menangani perkara anak yang
73
bermasalah dengan hukum. Fakta ini menunjukkan bahwa pihak penyidik
kepolisian belum sepenuhnya melakukan perlindungan terhadap hak-hak
anak terutama dalam penanganan anak, dengan alasan pihak kepolisian
tidak dapat dikarenakan beberapa kasus anak yang berhadapan hukum
wajib diteruskan ke kejaksaan seperti pemerkosan, pemerasan, Narkoba,
curanmor, sedangkan untuk beberapa kasus yang ringan dapat dilakukan
perdamaian secara restorative justice
3.
Hambatan-hambatan dalam penanganan anak pelaku kejahatan di Polres
Tegal dengan menggunakan Pendekatan Restorative Justice adalah
a.
Penerapan pendekatan restorative justice dianggap oleh sebagian
pihak tidak akan menyelesaikan masalah, seperti dari pihak korban
atau pihak penyidik sendiri, apalagi untuk tindak pidana yang
dianggap berat oleh sebagian masyarakat seperti pencurian,
penganiayaan sampai pembunuhan.
b.
Tidak semua aparat penegak hukum mau melaksanakan pendekatan
restorative justice ini. Seperti penerapan pendekatan restorative
justice di tingkat penyidikan, tidak semua anggota kepolisian yang
satu suara atau sepakat dalam penerapan pendekatan restorative
justice ini dengan berbagai alasan.
c.
Ketidaksempurnaan penyelesaian melalui penerapan pendekatan
restorative justice ini ‘meninggalkan’ berbagai jejak yang tak jelas
seperti penanganan yang tidak selesai dan kenyamanan dari
74
masyarakat yang kurang setuju dengan penerapan pendekatan
restorative justice ini.
B. Saran
1.
Pendekatan restorative justice terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum sudah ditegaskan di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yakni pada Pasal 5 ayat (1)
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak yang mengamanatkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib
mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif, sehingga pihak penyidik
anak semestinya dapat menerapkan pendekatan ini kepada semua
tersangka yang masuk kategori usia anak agar mengutamakan
pendekatan restorative justice.
2.
Setelah proses penerapan restorative justice kepada para tersangka tindak
pidana yang melibatkan anak-anak, perlu dipikirkan mengenai tindak
lanjut dari penerapan restorative justice, agar para tersangka yang masih
kategori anak-anak tidak mengulangi perbuatannya dan dapat kembali
kepada lingkungan masyarakat, tidak tersisihkan karena perbuatannya,
serta dapat kembali belajar agar dapat mengembangkan dirinya untuk
meraih masa depan
75
DAFTAR PUSTAKA
Abintoro Prakoso, 2013, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Yogyakarta:
Laksbang Grafika
Asri Wijayanti, 2011, Strategi Penulisan Hukum, Bandung, Lubuk Agung
Braithwaite, The Political Agenda of Republican criminology, paper yang
dipresentasikan pada British Criminological Society Conference, York
tanggal 27 Juli 1991, Jim Dignan, Restorative Justice and The Law: The
Case for an Integrated Systemic Approach, Paper yang dipresentasikan
dalam The Fifth International Conference of the International Network for
Research on Restorative Justice for Juveniles berjudul Positioning
Restorative Justice diselenggarakan di Leuven tanggal 16-19 September
2001
Djoko Prakoso, 1986. Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP. Jakarta: Ghalia
Indonesia
H. Abdurrahman, 2004, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV.
Akademika Pressindo
M. Nasir Jamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta: Sinar Grafika
Maidin Gultom, 2010, Perlindungan Hukum terhadap anak dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung; Refika Aditama
Maidin Gultom, 2012, Perlindungan Hukum terhadap anak dan Perempuan,
Bandung: Refika Aditama
Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana
Purnianti, Mamik Sri Supatmi dan Ni Made Martini Tinduk, 2005, Yayasan
Pemantau Hak Anak (Children’s Human Rights Foundation), Kumpulan
Tulisan, Jakarta
Ridwan Mansyur, 2010, Mediasi Penal terhadap Perkara KDRT (Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Yayasan Gema Yustisia Indonesia
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta: Rajawali Press
76
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta: RajaGrafindo Persada
Waluyadi, 2010, Hukum Perlindungan Anak, Bandung: Mandar Maju
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur: Bandung
Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Kitab Undang-undang Hukum acara Pidana
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak
Internet
http://www.puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/48df6bda92fc77fb5c4407e88859
dc5a.pdf
77
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN HASIL PENELITIAN
1.
Judul Penelitian
2.
Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap
b. Jenis Kelamin
c. NIP/NIPY
d. Jabatan Fungsional
e. Fakultas/Jurusan
Jumlah Anggota Peneliti
Nama
3.
4.
5.
: Perlindungan Hukum terhadap Anak
Pelaku Kejahatan melalui Pendekatan
Restorative Justice (Studi Kejahatan Yang
Dilakukan oleh Anak di Polres Tegal)
Jangka Waktu Penelitian
Pembiayaan
: Dyah Irma Permanasari, S.H., M.H.
: Perempuan
: 14861051974
: Asisten Ahli
: Hukum/Ilmu Hukum
: 2 (dua) orang
: 1) DR. Hamidah Abdurrachman. S.H., M.Hum
2) Soesi Idayanti, S.H., M.H.
: 3 bulan (Juni, Juli, Agustus 2014)
: Rp. 4.000.000,- Dana LPPM
Rp. 2.000.000,- Dana dari Peneliti
Rp. 1.000.000,- Dana Kantor Advokat
Dyah Irma Permanasari
& Asfad Romli Association
Rp. 1.000.000,Tegal, Juni 2013
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Peneliti,
Mukhidin, S.H., M.H.
NIPY. 51521071961
Dyah Irma Permanasari, S.H., M.H.
NIPY. 14861051974
Menyetujui
Kepala LPPM
Universitas Pancasakti Tegal
Dr. Dino Rozano, M.Pd
NIP. 19530404 198803 1 001
78
TIM PENYUSUN PENELITIAN
1. Ketua
: Dyah Irma Permanasari, S.H., M.H.
NIPY
: 14861051974
Jabatan Akademik
: Asisten Ahli
Fakultas
: Hukum
2. Anggota
: DR. Hamidah Abdurrachman. M.Hum
NIPY
: 195610221983032002
Jabatan Akademik
: Lektor Kepala
Fakultas
: Hukum
3. Anggota
: Soesi Idayanti, S.H., M.H.
NIPY
: 11552781064
Jabatan Akademik
: Lektor
Fakultas
: Hukum
79
LAPORAN HASIL PENELITIAN
ITAS PANCA
RS
UNIV
KTI
SA
E
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU KEJAHATAN
MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE
(Studi Kejahatan Yang Dilakukan Oleh Anak di Polres Tegal)
TEGAL
Oleh :
Dyah Irma Permanasari, S.H., M.H.
NIPY. 14861051974
DR. Hamidah Abdurrachman. S.H., M.Hum.
NIP. 195610221983032002
Soesi Idayanti, S.H., M.H.
NIPY. 11552781064
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANCASAKTI
TEGAL
2014
80
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa karena atas perkenanNya
penulis dapat menyelesaikan Laporan Hasil Penelitian dengan judul
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK
DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI POLRES TEGAL ini.
Laporan Penelitian ini merupakan salah satu bentuk kewajiban selaku
Dosen pada Universitas Pancasakti Tegal guna menambah wawasan dan wacana
bagi penulis sendiri maupun kepada pembaca dan khususnya lagi kepada dunia
akademik.
Pada kesempatan ini, penulis sampaikan rasa terima kasih kepada pihakpihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penelitian ini,
1.
Rektor Universitas Pancasakti Tegal, yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas
Pancasakti Tegal
2.
Bapak Mukhidin, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Pancasakti Tegal
3.
Bapak DR. Dino Rozano, M.Pd., selaku Kepala LPPM Universitas
Pancasakti Tegal
4.
Segenap Dosen dan Karyawan di Universitas Pancasakti Tegal yang telah
membantu kelengkapan penyelesaian skripsi ini
5.
Pimpinan dan Staf di jajaran Polres Tegal yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di lingkungan
Polres Tegal.
6.
Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu penyelesaian penelitian ini.
Akhir kata, sumbang saran dan kritik dari pembaca sekalian untuk
penyempurnaan penelitian ini sangat diharapkan, dan semoga penelitian ini dapat
bermanfaat. Amiin.
Tegal, Agustus 2014
Peneliti
81
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
..................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN USULAN PENELITIAN .............................
ii
HALAMAN TIM PENYUSUN PENELITIAN
………………………….
iii
KATA PENGANTAR......................................................................................
iv
DAFTAR ISI .................................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN ……………………………………………
1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………
1
B. Perumusan Masalah ……………………………………..
5
C. Tujuan Penelitian ………………………………………..
5
D. Manfaat Penelitian ……………………………………….
5
E. Metode Penelitian ……………………………………….
6
F. Sistematika Penulisan
BAB II
…………………………………..
12
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………..
13
A. Pengertian Anak …………………………………………
13
B. Pengertian Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum …….
14
C. Hak dan Kewajiban
Anak …………………………….
21
……………………………………..
25
E. Teori Yang Digunakan ………………………………….
32
D. Restorative Justice
82
BAB III
HASIL PENELITIAN …………………………………………
41
A. Hasil Penelitian
………………………………………..
41
…………………………………………..
53
PENUTUP …………………………………………………….
72
A. Kesimpulan ………………………………………………
72
B. Saran-saran
………………………………………….
73
Daftar Pustaka ………………………………………………………………
75
B. Pembahasan
BAB IV
LAMPIRAN-LAMPIRAN
83
LAMPIRAN
RINCIAN ANGGARAN PENELITIAN
A. PEMASUKAN
1.
Dana dari LPPM
Rp. 2.000.000,-
2.
Dana dari peneliti pribadi
Rp. 1.000.000,-
3.
Dana dari Kantor Advokat
Dyah Permanasari & Asfad
Romli Association
Rp. 1.000.000,-
Jumlah Pemasukan
Rp. 4.000.000,-
B. PENGELUARAN
1.
2.
3.
4.
Honor Peneliti
a.
Staff Peneliti
Rp. 1.500.000,-
b.
Tenaga Lapangan
Rp.
900.000,-
Alat Tulis
a.
Kertas HVS
Rp.
35.000,-
b.
Tinta
Rp.
30.000,-
c.
Cartridge
Rp.
285.000,-
d.
Flashdisk
Rp.
125.000,-
e.
Buku Tulis
Rp.
50.000,-
f.
Kertas Folio
Rp.
15.000,-
g.
Foto Copy
Rp.
100.000,-
Transport dan Komunikasi
a.
Survey Lapangan
Rp.
500.000,-
b.
Komunikasi
Rp.
300.000,-
Publikasi
a.
Penjilidan
Rp.
60.000,-
b.
Publikasi
Rp.
200.000,-
Jumlah Pengeluaran
Rp. 4.000.000,-
84
85
TIME SCHEDULE PENELITIAN
NO
KEGIATAN
1
1
Persiapan
2
Survey Pendahuluan
3
Penyusunan Proposal
4
Pengajuan Proposal
5
Penelitian Lapangan
6
Wawancara
7
Analisis Data
8
Penyusunan Laporan
9
Publikasi
JUNI
2
3
4
1
JULI
2
3
4
AGUSTUS
1
2
3
4
Download