Dari Desentralisasi Hingga Good governance: Antara Harapan dan Realitas Abd Mu’id Aris Shofa (Universitas Gadjah Mada) Pelaksanaan Desentralisasi Asimetris dalam Tata Kelola Pemerintahan Daerah di Era Demokrasi Andhika Yudha Pratama (Universitas Gadjah Mada) Model Perlindungan Hak Perempuan Korban Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga Arbaiyah Prantiasih, M. Yuhdi , Siti Awaliyah (Universitas Negeri Malang) Model Pembelajaran Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Multikultural dalam Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi A. Rosyid Al Atok, Suparlan Al Hakim, Sri Untari, Margono (Universitas Negeri Malang) Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia di Tengah Kehidupan Sara Gina Lestari (Universitas Gadjah Mada) Strategi Penyelesaian Konflik Tanah Perkebunan Ktut Diara Astawa (Universitas Negeri Malang) Strategi Pembelajaran Model Inkuiri Jurisprudensi untuk Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Sekolah Menengah Atas Sumarno (SMK Negeri 5 Kota Malang) Revolusi Paradigma Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia Sutoyo (Universitas Negeri Malang) Pengembangan Alternasi Pembelajaran PPKn melalui Modul Berbasis Kecakapan Sosial (Social Skills) Zulis Mariastutik (Universitas Negeri Malang) JPPK Nomor 1 Halaman 1-75 Malang Pebruari 2015 ISSN 0215-9902 JURNAL PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN ISSN 0215-9902 Tahun 28, Nomor 1 Pebruari 2015 Terbit dua kali setahun, bulan Pebruari dan Agustus, ISSN 0215-9902 berisi tulisan ilmiah tentang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berupa artikel hasil penelitian, kajian teori, dan penerapanya. Artikel-artikel dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing. Ketua Penyuting Siti Awaliyah Anggota Penyunting Sri Untari A. Rosyid Al Atok Nuruddin Hady Rani Prita Prabawangi Pelaksana Tata Usaha Desinta Dwi Rapita Sudirman Muhammad Mujtaba Habibi Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan diterbitkan oleh jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KNI). Alamat Penyuting dan Tata Usaha: Laboraturium HKn, FIS, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang gedung I-1 Tlp.(0341) 551-312 (4 saluran), Pesawat 287 Fax.(0341) 566962. Langganan 2 nomor setahun Rp. 80.000,- Uang langganan dapat dikirim melalui wesel pos ke alamat tata usaha. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan diterbitkan dalam Laboratorium Jurusan HKn FIS Universitas Negeri Malang. Dekan: Sumarmi, Ketua Jurusan: Suparlan Al Hakim. Sekretaris Jurusan: Margono. Kepala Laboratorium: Nur Wahyu Rochmadi. Terbit pertama kali pada tahun 1988 dengan judul CIVICUS. Penyuting menerima tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Naskah diketik dengan spasi rangkap pada kertas kwarto, panjang 10-20 halaman sebanyak 2 eksemplar (selanjutnya silahkan membaca petunjuk bagi penulis pada sampul dalam belakang). Naskah yang masuk dievaluasi oleh Penyunting ahli/peninjau ahli. Penyuting dapat melakukan perubahan pada tulisan yang dimuat untuk keseragaman format, tanpa mengubah maksud dan isinya. Berkala ini diterbitkan di bawah tim pengembangan Jurnal dan berkala Universitas Negeri Malang. Pembina: Ach. Rofi’udin (Rektor), Ketua: Ali Saukah, Anggota: Suhadi Ibnu, Amat Mukhadis, M. Guntur, Waseso, Margono. JURNAL PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN ISSN 0215-9902 Tahun 28, Nomor 1, Pebruari 2015 DAFTAR ISI Dari Desentralisasi Hingga Good governance: Antara Harapan dan Realitas Abd Mu’id Aris Shofa (Universitas Gadjah Mada) Pelaksanaan Desentralisasi Asimetris dalam Tata Kelola Pemerintahan Daerah di Era Demokrasi Andhika Yudha Pratama (Universitas Gadjah Mada) 1-6 7-14 Model Perlindungan Hak Perempuan Korban Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga Arbaiyah Prantiasih, M. Yuhdi , Siti Awaliyah (Universitas Negeri Malang) 15-19 Model Pembelajaran Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Multikultural dalam Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi A. Rosyid Al Atok, Suparlan Al Hakim, Sri Untari, Margono (Universitas Negeri Malang) 20-30 Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia di Tengah Kehidupan Sara Gina Lestari (Universitas Gadjah Mada) 31-37 Strategi Penyelesaian Konflik Tanah Perkebunan Ktut Diara Astawa (Universitas Negeri Malang) 38-49 Strategi Pembelajaran Model Inkuiri Jurisprudensi untuk Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Sekolah Menengah Atas Sumarno (SMK Negeri 5 Kota Malang) 50-55 Revolusi Paradigma Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia Sutoyo (Universitas Negeri Malang) 56-66 Pengembangan Alternasi Pembelajaran PPKn melalui Modul Berbasis Kecakapan Sosial (Social Skills) Zulis Mariastutik (Universitas Negeri Malang) 67-75 DARI DESENTRALISASI HINGGA GOOD GOVERNANCE: ANTARA HARAPAN DAN REALITAS Abd Mu’id Aris Shofa Program studi Ketahanan Nasional, Universitas Gadjah Mada Jl. Bulak Sumur Yogyakarta email: [email protected] Abstract: The decentralization in Indonesia has existed since colonial era with the enactment of legislation ‘desentralizatie wet’ in 1903. Decentralization was expected to deliver good governance in Indonesia government system. But even reformation has been running nearly 16 years, problems such as corruption, mal-administration, and abuse of power still exist in Indonesia government. These problems can be solved with stategic manner, such as preparation of the legal framework of bureaucratic management by making changes to employment laws, bureaucracy should be managed professionally and separate with political party, positioning adapted to the each potential employee or technical capabilities, there should be prohibition against the politicization of the bureaucracy by political authorities both at central and regional levels, and the last one there must be political will from the government or society. Key word: decentalization, good governace, bureaucratic reform Abstrak: Desentralisasi yang ada di Indonesia sudah ada sejak jaman kolonial dengan diberlakukannya undang-undang desentralizatie wet pada tahun 1903. Dengan diterapkannya desentralisasi diharapkanakan melahirkan good governance dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Akan tetapi era reformasi yang berjalan hampir 16 tahun ini masih terjadi permasalahanpermasalahan, seperti korupsi, mal-administrasi dan penyalahgunaan kekuasaandalam pemerintahan Indonesia. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan cara strategis seperti penyusunan kerangka hukum manajemen birokrasi dengan mengadakan perubahan terhadap undangundang kepegawaian, birokrasi harus dikelola secara profesional dan tidak terikat dengan suatu partai politik, penempatan posisi pegawai yang disesuaikan dengan potensi atau kemampuan teknis masing-masing, harus ada larangan terhadap politisasi birokrasi oleh pejabat politik baik di pusat maupun di daerah, dan yang terakhir harus ada political will dari pemerintah ataupun masyarakat. Kata Kunci: desentralisasi, good governance, reformasi birokrasi Keberadaan pemerintah oleh manusia modern diperlukan untuk mencegah terjadinya kekuasaan yang sentralistik dan otoriter seperti dalam sistem monarkhi. Selain itu, keberadaan pemerintah juga memiliki fokus utamauntuk menghapuskan terjadinya “homo homini lupus bellum omnium contra omnes”, yaitu mencegah manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya dan mencegah agar yang kuat tidak sampai menguasai yang lemah. Saat ini kebijakan pemerintah melalui kebijakan desentralisasi menjadi salah satu aspek yang mendapat perhatian khusus. Sejarah desentraliasi di Indonesia telah mengalami masa yang cukup panjang. Sebelum bangsa Indonesia merdeka, dalam masa pemerintahan kolonial Belanda telah memberlakukan Desentralizatie Wet 1903 yang berlangsung cukup lama. Sementara itu, dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia setelah merdeka tercatat ada beberapa aturan atau undang-undang mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah yang pernah berlaku, antara lain: UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004 dan yang terakhiradalah UU No. 23 Tahun 2014. Dari setiap peraturan yang berlaku, secara substansial 1 2 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 merupakan penjabaran dari amanat UUD 1945 Pasal 18,Pasal 18A dan 18B. Esensi dari peraturan perundang-undangan tersebut tentunya dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi dan sosial politik yang sedang berkembang di masyarakat, oleh karena itu penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia berjalan amat dinamis untuk mewakili semangat perbaikan dalam setiap zamannya. Langkah-langkah sistem desentralisasi yang pernah dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda berakhir seiring dengan kemenangan pasukan Jepang atas pasukan Belanda dalam perang Pasifik. Kekalahan tersebut menyebabkan sistem pemerintahan yang dibangun oleh kolonial Belanda berubah menjadi sistem pemerintahan yang diciptakan oleh Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang menjalankan sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik dan hirarkis komando. Permasalahan paling potensial yang akan muncul jika menggunakan pendekatan sistem sentralistik adalah godaan akan kekuasaan. Lord Acton dalam (Oentarto dkk, 2004:5) mengatakan bahwa “power tends to coorupt and absolute power corrupt absolutely” yaitu, kekuasaan akan cenderung pada praktik korupsi dan kekuasaan yang absolut akan menimbulkan kecenderungan korupsi secara absolut juga. Elit penguasa akan menjadi rawan atas godaan kekuasaan tersebut. Semakin banyak kroni yang dilibatkan, maka akan rawan pula terjadi penyalahgunaan kekuasaan, karena setiap kroni akan meminta ongkos yang tinggi atas dukungan yang telah diberikan kepada elit penguasa. REFORMASI BIROKRASI DAN KORUPSI Proses implementasi otonomi daerah yang sudah berjalan sejak lama, tentu tidak selalu berjalan sesuai dengan tujuan dan rel yang seharusnya dilewati. Awal reformasi yang disambut dengan suka cita dan euphoria oleh masyarakat, diharapakan mampu terbit fajar baru untuk membawa masyarakat kepada kondisi sosial, ekonomi, politik dan moral yang lebih baik. Akan tetapi pembentukan pemerintahan baru yang lebih baik dan demokratis, bersifat terbuka atau transparan kepada masyarakat, yang pada akhirnya melahirkan suatu sistem good governance, demi tercapainya tujuan masyarakat adil dan makmur, ternyata hingga kini masih menjadi sebatas isu nasional dan harapan semu yang sulit untuk diwujudkan. Pertanyaannya adalah mengapa hal itu bisa terjadi, padahal dengan munculnya reformasi, sistem demokrasi kita semakin baik dengan adanya pemilihan presiden dan kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) secara langsung oleh rakyat. Era reformasi dan kebijakan otonomi daerah yang secara massif telah mendesentralisasikan pengelolaan aparat birokrasi kepada pemerintah daerah, ternyata bukan membuat pelayanan publik di daerah menjadi lebih baik dan berkualitas, melainkan sebaliknya, yaitu pelayanan publik semakin rumit dan membuat rakyat semakin sengsara. Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut adalah dengan semakin banyak prilaku korup yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Praktik korupsi yang dulu hanya dilakukan oleh pejabat tinggi di pusat, sekarang sudah menjangkiti hampir semua pejabat daerah (provinsi, kabupaten dan kota), baik korupsi yang dilakukan oleh gubernur, bupati, walikota sampai dengan korupsi yang dilakukan oleh para pegawai. Sehingga masyarakat sipil juga sudah tidak asing dan bahkan ikut dalam tindakan korupsi. Dalam hal pelayanan birokrasi publik, justru di era reformasi saat ini kondisinya semakin terpuruk. Hal ini ditandai dengan adanya penyerahan kewenangan manajemen kepegawaian kepada pembina kepegawaian pada setiap daerah. Namun yang lebih menakutkan lagi apabila para pembina kepegawaian adalah pejabat politik yang menghendaki dukungan politik langsung untuk melanggengkan jabatan politik. Modus yang dipakai adalah mutasi, promosi jabatan besarbesaran, dan penempatan posisi seseorang yang tidak berdasarkan atas kemampuan dan kualitas pejabat tersebut. Sehingga yang terjadi kemudian adalah sistem like or dislike dan bisa juga mengarah pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang pada akhirnya akan melahirkan tindakan korupsi. Prof. Dr. Miftah Thoha (2012:120) menjelaskan bahwa di era otonomi daerah telah melahirkan “raja-raja kecil” yaitu pejabat politik sebagai pemimpin tertinggi dari birokrasi di daerah. Maka tidak mengherankan jika kondisi bangsa kita saat ini terjadi krisis kepemimpinan, krisis keteladanan dan semakin masifnya tindakan korupsi yang terjadi di daerah-daerah. Kekuasaan yang seharusnya adalah untuk pengabdian, justru yang terjadi adalah untuk pengumpulan pundipundi uang dan harta sebanyak-banyaknya dengan Shofa, Dari Desentralisasi Hingga Goodgovernance: Antara Harapan dan Realitas menghalalkan segala cara. Fenomena ini hampir relevan dengan apa yang pernah disampaiakan oleh Dipo Alam (2012) bahwa sepanjang Oktober 2004 sampai September 2012 ada 176 permohonan izin pemeriksaan kepala daerah yang diajukan penegak hukum kepada presiden. Secara normatif praktik korupsi merupakan realitas mal-administrasi, di mana birokrasi menjadi tidak terkendali dan pada akhirnya organisasi birokrasi sulit diukur pelayanannya. RoseAckermen (2006: 35) mengkategorikan korupsi ke dalam tiga dimensi, yaitu: ekonomi, budaya dan politik. Pertama, korupsi dalam dimensi ekonomi berpangkal dari gejala yang salah dalam manjemen negara, di mana institusi-institusi yang dirancang untuk mengatur hubungan antara negara dengan penduduk justru digunakan untuk memperkaya diri dan mendapat tambahan keuntungan bagi yang korup. Kedua, korupsi dalam dimensi budaya, yang mana dalam hal ini korupsi digambarkan sebagai tradisi memberi suap, gratifikasi dan pemberian yang lain. Ketiga, korupsi dalam dimensi politik, korupsi digambarkan sebagai prilaku korup para aktor dalam menjalani hubungan antara negara dengan sektor swasta atau antara aktor politik dengan lembaga negara. Meski sudah banyak regulasi dan lembaga yang dibentuk untuk memberantas korupsi di sektor pelayanan publik serta tindakan mal-administrasi lainnya, tetapi tindakan korup dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) masih lazim terlihat di masyarakat hingga sekarang. GOOD GOVERNANCE SEBAGAI SOLUSI Konsep governance menjadi sangat penting dan banyak di perbincangkan ketika konsep government dianggap kurang bisa menjadi leader dalam mengikuti perubahan yang begitu cepat dalam ranah pelayanan publik. Perubahan yang dimaksud adalah bertambahnya kompleksitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam penye-lenggaraan pemerintahan sekarang ini diperlukan pihak luar pemerintahan yang bisa mendukung kinerja dari pemerintah dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik. Ada 3 hal yang menjadikan governance menjadi konsep yang perlu dikembangkan: Pertama, governance adalah suatu sistem administrasi yang melibatkan banyak pelaku dari pemerintah dan unsur-unsur non pemerintahan. Governance bukanlah sebagai pengganti government tetapi 3 lebih kepada pelengkap dari sebuah pemerintahan. Kebijakan tidak lagi dikembangkan dengan semata-mata mempertimbangkan aspek konstitusional legal formal saja, tetapi juga mmpertimbangkan aspek nilai yang berkembang dalam masyarakat. Kedua, Governance atau tata kelola pemerintahan sengaja di kembangkan untuk merespon masalah dan kepentingan publik. Konsentrasi dari tata kelola pemerintahan adalah kepentingan publik secara kolektif dan bukan pada kepentingan warga negara sebagai individu. Ketiga, Struktur yang dikembangkan bukanlah struktur yang formal, rigid dan kaku, melainkan struktur yang informal, lentur dan longgar. Governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non pemerintah dalam suatu kegiatan kolektif. Pinto dalam Widodo (2008:107) mengatakan bahwa governace adalah praktik penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum dan pembangunan ekonomi pada khususnya. Lembaga Administrasi Negara (2000:1) mengartikan governance sebagai proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and services. Governace dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan atau sebaliknya. UNDP (1997:9) governance diartikan sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk me-manage urusan-urusan bangsa dan negara. Untuk mencapai cita-cita ideal governance maka harus ada 3 hal yang harus dicapai: pertama, Economic governance: yang mencakup proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi aktivitas ekonomi negara atau berhubungan dengan ekonomi lainnya baik secara langsung atau tidak langsung. Karena itu economic governance memiliki pengaruh atau implikasi terhadap equity, poverty, dan quality of life. Kedua, political governance merujuk pada proses pembuatan keputusan dan implementasi kebijakan suatu negara yang legitimate dan authoritative.Karena itu negara harusnya terdiri atas tiga cabang pemerintahan yang terpisah yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang bisa mewakili kepentingan politik yang pluralis. Ketiga, Administrative governance, yakni sistem implementasi kebijakan yang melaksanakan sektor publik secara 4 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 efisien, tidak memihak, akuntabel dan terbuka. Governance berlaku dan berlangsung di semua tingkatan, baik nasional maupun lokal. Sementara itu Good governance dipahami sebagai tata kelola pemerintahan yang baik dengan memenuhi prinsip akuntabilitas, transparansi, responsivitas, kesamaan dan keadilan, efektivitas dan efisien, kepastian hukum, partisipatif dan representatif. Hal tersebut dalam (UNESCAP 2011) dapat dijabarkan sebagai berikut. “(1) Akuntabilitas: prinsip ini mengandung arti bahwa tata kelola pemerintahan adalah suatu sistem penyelenggaraan yang melibatkan kerjasama multistakeholder baik masyarakat sipil maupun sektor swasta. Relasi ini bersifat saling mendukung dan melengkapi dalam memenuhi kebutuhan publik. (2) Transparansi: prinsip ini mengandung arti bahwa pembuatan kebijakan pemerintahan dan pelaksana-annya telah sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini juga mengandung artian bahwa terdapat ketersediaan dan keterbukaan akses informasi yang dapat di lihat oleh semua masyarakat.Sehingga seluruh masyarkat mampu melakukan mekanisme kontrol terhadap penyeleng-garaan pemerintahan. (3) Responsivitas: prinsip ini mengandung arti bahwa tata kelola pemerintahan melalui struktur kelembagaannya di kembangkan untuk tanggap menyikapi tantangan dan mengatasi permasalahan yang dihadapi seluruh elemen masyarakat. (4) Kesamaan dan keadilan: prinsip ini mengandung arti bahwa tata kelola pemerintahan yang baik harus memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya. Hal iniberhubungan dengan bagaimana menciptakan tata kelola pelayanan kepada masyarakat tanpa ada pengecualian dan harus didasarkan atas azas keadilan. Sehingga masyarakat akan merasa di hargai dan dilayani sebagaimana hak masyarakat sebagai warganegara. (5) Efektivitas dan efisiensi: prinsip ini mengandung arti bahwa penyelengga- raan pemerintahan dapat menghasilkan pembangunan yang memenuhi kebutuhan masyarakat dengan pengelolaan pelayanan terbaik. Konsep efisiensi dalam konteks good governance juga mencakup pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam dan kelestarian lingkungan hidup. (6) Kepastian hukum: prinsip ini mengandung arti bahwa tata pemerintahan yang baik harus menjunjung tinggi azas kepastian hukum. Penyelenggaraan pemerintahan harus menjalankan prinsip persamaan semua orang di depan hukum tanpa melihat status sosial, ekonomi, politik ataupun kekuasaan. (7) Partisipatif: prinsip ini mengandung arti bahwa seluruh elemen masyarakat harus terlibat aktif dan menjadi pertimbangan dalam pembuatan kebijakan pemerintah/negara. Mayarakat dapat menggunakan hak politiknya untuk dipilih ataupun memilih melalui pemilu.Selain itu juga masyarakat bebas dalam menyampaikan aspirasinya melalui akses media informasi dan organisasiorganisasi. (8) Representative: prinsip ini mengandung arti bahwa tata pemerintahan yang baik memiliki strategi untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam masyarakat. Terkait pemahaman hal ini sangat di perlukan pemahaman dalam konteks historis, budaya, dan sosial dari kondisi masyarakat.” IMPLEMENTASI DI INDONESIA Semangat reformasi yang bergulir tahun 1998 menjadi tonggak penting bagi kehidupan demokrasi Indonesia. Selain bergantinya rezim kekuasaan yang otoriter, gerakan reformasi juga menyuarakan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Selama rentang waktu 16 tahun perjuangan untuk menghapuskan KKN dengan cara reformasi birokrasi belum mencapai hasil yang maksimal. Sehingga pencapaian good governance belum mampu memenuhi hasrat dari semangat perjuangan awal reformasi. Parameter pengukuran dari kurang maksimalnya dalam mewujudkan good gover- Shofa, Dari Desentralisasi Hingga Goodgovernance: Antara Harapan dan Realitas nance tersebut tidak bisa dilepaskan dari kinerja birokrasi yang kurang profesional dan maraknya kasus korupsi. Selain itu Siti Zuhro (2010:1) melihat birokrasi di Indonesia juga masih tidak rasional, gemuk (kaya struktur miskin fungsi), tidak netral dan tidak transparan. Selain itu implementasi good governance di Indonesia masih belum maksimal dan cenderung stagnan karena para birokrat kita belum mampu memisahkan antara jabatan politik dengan jabatan birokrasi (Azhari, 2011:52). Terwujudnya good governance di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari berhasil tidaknya kinerja birokrasi. Keduanya mempunyai hubungan yang positif, dalam arti saling mempengaruhi. Kinerja birokrasi dan pemberdayaan masyarakat yang semakin bagus dan intensif akan berpengaruh positif terhadap pembangunan bangsa dan negara. Hubungan yang bersinergi antara pemerintah dan masyarakat, akan menghasilkan suatu pemerintahan yang kuat dan didukung oleh masyarakat. Dibutuhkan keberanian melakukan perubahan atau reformasi birokrasi untuk mewujudkan pelayanan tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Strategi yang dilakukan dapat dimulai dari proses rekrutmen sumber daya manusia yang profesional. Birokrasi harus melakukan seleksi fit and proper test dan menjauhkan dari sikap kolusi dan nepotisme, birokrasi perlu memberikan penghargaan dan imbalan gaji sesuai dengan pencapaian prestasi (reward merit system) bukan hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif, dan kurang mendidik (spoil system), yang paling penting juga adalah mengedepankan pola reward and punishment yang mungkin selama ini kurang berjalan. Birokrasi pemerintah harus netral dan bisa membedakan antara jabatan publik dan jabatan politik, sehingga tidak memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, golongan, kelompok atau partai politik. 5 Strategi lain untuk bisa membenahi birokrasi dapat dilakukan mencakup empat aspek penting sebagai berikut: Pertama, penyusunan kerangka hukum manajemen birokrasi dengan mengadakan perubahan terhadap undang-undang kepegawaian. Kedua, birokrasi harus di kelola secara professional dan tidak terikat dengan suatu partai politik.Ketiga, penempatan posisi pegawai yang disesuaiakn dengan potensi atau kemampuan teknis masingmasing. Keempat, harus ada larangan terhadap politisasi birokrasi oleh pejabat politik baik di pusat maupun di daerah (Azhari, 2011:317-318) SIMPULAN Membangun budaya birokrasi dalam sistem pemerintahan yang ideal adalah membangun sikap dan perilaku sistem yang harus diikuti secara konsisten oleh pelakunya untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik dan amanah. Menjawab permasalahan bangsa sekarang ini tentang carut marutnya sistem birokrasi, tidakan korupsi yang semakin massif dan sudah menjadi kebudayaan dari masyarakat Indonesia mengakibatkan tidak terwujudya good governance di masyarakat. Untuk menjawab semua permasalahan yang sedang dihadapi dan keinginan untuk mewujudkan tujuan nasional bangsa Indonesia yang berdaulat adil dan makmur, maka harus ada keberanian atau political will dari semua pihak untuk mau mewujudkan dan mengimplementasikan peraturan-peraturan yang sudah ada secara konsekuen. Selain itu juga harus ada tindakan konkrit dalam upaya reformasi birokrasi demi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan akuntabel (good governance). Usulan tersebut cukup realistis dan penting untuk ditindaklanjuti oleh semua pihak, baik masyarakat maupun para pemimpin demi terwujudnya good governance. DAFTAR RUJUKAN Azhari. 2011. Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 2000. Akuntabilitas dan Good Governance. Jakarta: LAN dan BPKP. Oentarto, dkk. 2004. Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan. Jakarta: Samitra Media Utama. Rose-ackerman, Susan, 2006. Korupsi dan Pemerintahan: Sebab, Akibat dan Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Thoha, Miftah. 2005. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Widodo, Joko. 2005. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Bayumedia Publishing: Malang. Zuhro, R. Siti. 2010. Good Governance dan Reformasi Birokrasi di Indonesia. Jurnal Penelitian Politik LIPI, Vol 7, No. 1. PELAKSANAAN DESENTRALISASI ASIMETRIS DALAM TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH DI ERA DEMOKRASI Andhika Yudha Pratama Program Studi Pertahanan Nasional, Universitas Gadjah Mada Jl. Bulak Sumur Yogyakarta email: [email protected] Abstract: after the fallen of Soeharto centralistic government, there’s revolution wave in Indonesia. Changing in government system was one of cange wanted by people. Centralistic immedietly replaced with Decentralistic.This decentralistic system later creates new variant : asymetrical decentralization. Asymemetrical decentralization are given to special province in order to create public welfare and maintain the unity of NKRI. This paper hopes to give alternative view of asymetrical decentralization in Indonesia. Keywords : asymetrical decentralization, democratic government system Abstrak: pasca runtuhnya pemerintahan sentralistik Soeharto, gelombang perubahan yang terjadi di Indonesia semakin marak. Dari segi perubahan dalam hal tata kelola pemerintahan adalah salah satu tuntutan utama dari masyarakat pasca lengsernya Soeharto sebagai Presiden. Pemerintahansentralistik yang tidak ideal langsung diganti dengan pemerintahan yang desentralistik. Pelaksanaan pemerintahan yang desentralistik kemudian diwujudkan melalui mekanisme otonomi daerah yang merupakan pemberian kewenangan otonomi dari pemerintah pusat kepada daerah otonom. Kewenangan yang dimaksud adalah kemandirian daerah untuk serta-merta mengurus dan mengatur urusan daerah itu sendiri. Ternyata dalam dinamika pelaksanaan desentralisasi ini melahirkan varian baru yang berupa desentralisasi asimetris. Kata Kunci: desentralisasi asimetris, tata kelola pemerintahan, demokrasi Berangkat dari sebuah konsensus besar yang telah disepakati oleh seluruh elemen negeri ini, pemilihan sistem demokrasi sebagai sistem politik Indonesia adalah sesuatu keniscayaan. Kuantitas demografi yang menunjukkan angka yang teramat besar, ditunjang pula dengan aspek geografis yang berjarak serta kondisi sosio-kulutural yang beragam, memang menuntut perlakuan yang sama dalam berbagai segi kehidupan. Wajar jika hal tersebut menjadi pertimbangan dalam hal pemilihan sistem demokrasi sebagai konsensus sistem politik di Indonesia. Kesetaraan dalam partisipasi setiap warga negara yang memang menjadi salah satu aspek yang dibawa oleh sistem demokrasi membuat sistem ini layak dipandang ideal.Belum lagi jika dikaitkan dengan aspek historis yang terjadi di tahun 1998,pecahnya reformasi dengan tuntutan demokratisasi yang kuat dipandang telah membawa era baru dalam dinamika pemerintahan Indonesia. Era sentralistik yang berlangsung hampir 32 tahun sangat dirasakan banyak kalangan telah “mengebiri” jiwa dan semangat berdemokrasi bagi seluruh elemen warga negara.Dengan hanya bertitik fokus pada pusaran kekuasaan di pemerintah pusat yang begitu tertutup, dipandang telah menjauhkan aspek good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) di Indonesia. Menguatkan fakta tersebut, desertasi doktoral dari Kuntjara Jakti dalam Wignosoebroto, dkk (2005: 123-124) mengungkapkan, Dalam pemerintahan orde baru kita dihadapkan adanya kenyataan adanya ketimpangan antar daerah yang sangat besar. Kebobrokan orde Soeharto yang banyak disoroti dari merebaknya praktik KKN, ketidakmerataan pendapatan dan pembangunan yang kesemuanya hanya membentuk jurang disparitas diantara 6 Pratama, Pelaksanaan Desentralisasi Asimetris dalam Tata Kelola Pemerintah Daerah di Era Demokrasi kehidupan sosial masyarakat.Sistem “komando” yang dijalankan tidak mampu menggerakan unit-unit di daerah untuk dapat berkembang secara mandiri dalam hal pengolahan dan pemanfaatan berbagai potensi sumber daya yang ada. Selain itu apa yang dituliskan oleh Huda (2014:4) juga menyumbang alasan bahwa dominasi pemerintah pusat atas urusan-urusan pemerintahan telah mengakibatkan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam negara kesatuan menjadi tidak harmonis. Fenomena tersebut dapat dikategorikan sebagai fenomena yang masif karena pemerintah mampu untuk menutupi “borok-borok” rezim.Dengan cara pencitraan penguasa yang dengan begitu luwes bermain dengan angka pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, swasembada pangan dan jaminan-jaminan lainnya, membawa banyak orang “ter-nina bobokan” dengan hal tersbut. Padahal berapa triliun uang negara menjadi bancakan para elit, praktik KKN yang semakin memperburuk kinerja birokrasi,serta berapa banyak aset negara yang dijual ke pihak asing.Pada intinya pola statis pada pemerintahan sentralistik yang terjadi kala itu gagal membawa Indonesia untuk menjadi negara yang berdaulat adil dan makmur. Oleh karena itu, sebagai bentuk perubahan dalam upaya pembenahan tata pemerintahan yang baik dan adil dar i konteks yur idis dicetuskanlah UU No.22 Tahun 1999 tentang desentralisasi dan otonomi daerah. Langkah strategis ini menuai respon positif, salah satunya dari apa yang dikemukakan oleh Tjiptoherijanto (2009:317), bahwa kejatuhan pemerintahan orde baru di tahun 1998 dan pengimplementasian UU No.22 Tahun 1999 Tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah, merupakan momentum yang telah membuka peluang bagi ter ciptanya reformasi birokrasi di Indonesia. Selain itu respon positif pun muncul dari Thoha (2012: 123) yang mengatakan UU No.22 Tahun 1999 merupakan tonggak dilaksanakannya reformasi terhadap pelaksanaan pemerintahan di daerah yang demokratis.Di antara kedua argumen tersebut, dapat disimpulkan bahwa salah satu yang terpenting dari keruntuhan rezim Soeharto adalah berakhirnya pemerintahan sentralisitik yang dipandang tidak ideal dan efektif. Pelaksanaan otonomi daerah yang ber dasar kan asas 7 desentralisitik yang menjadi titik tekan dalam mengarungi bahtera demokrasi di Indonesia. DESENTRALISASI DAN DESENTRALISASI ASIMETRIS DI INDONESIA Istilah desentralisasi seketika menjadi begitu populer pasca kerjatuhan rezim presiden Soeharto. Dapat pula dikatakan bahwa desentralisasi yang kemudian dijadikan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan antitesa dari pelaksanaan pemerintahan sentralistik yang ketika itu dijalankan oleh pemerintahan Soeharto.Begitu populernya istilah ini dalam wacana dan kajian yang hampir pasti muncul ketika melakukan pembahasan mengenai pemerintahan daerah dan otonomi daerah di Indonesia. Dari segi definisi desentralisasi merupakan bentuk pemberian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melakukan menajerial terhadap urusan di daerahnya yang dapat pula menyangkut pengelolaan, pengolahan dan pemanfaatan potensi daerah. Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 8, desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Sedangkan menurut Joeniarto dalam Huda (2014: 37) menyatakan bahwa desentralisasi adalah wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Dalam pelaksanaan desentralisasi ini pemerintah daerah mendapat begitu besar kewenangan untuk mengurusi segala urusan yang menyangkut hal-hal didaerah kekuasaannya kecuali lima urusan yang tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Selain berkenaan dengan urusan moneter dan fiskal, peradilan, pertahanan dan keamanan, politik luar negeri dan agama pemerintah daerah dapat leluasa berdinamika. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia sebenarnya bukan menjadi sesuatu yang baru. Tercatat pembahasan desntralisasi ini mulai diperbincangkan di tahun 1950-an seiring pembaharuan-pembaharuan terhadap sistem demokrasi di negara-negara berkembang. Agenda besar pelaksanaan desentralisasi, termasuk di Indonesia, adalah sebagai upaya penguatan peran pemerintah dalam menyelenggarakan negara melalui pendayagunaan pemerintah lokal. Dalam perkembangannya desentralisasi tidak begitu saja 8 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 berdiri tunggal. Ada dan dimunculkan varian lain dari pelaksanaan desentralisasi, yaitu desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization). Istilah desentralisasi asimetris menjadi hal yang menarik karena memang istilah ini tidak begitu jamak digunakan dalam berbagai wacana dan kajian. Dimensi terminologinya menjelaskan jika desentralisasi asimetris dapat diartikan sebagai transfer kewenangan khusus yang hanya diberikan kepada daerah tertentu dalam rangka menjaga eksistensi daerah dalam NKRI. Djohermansyah Djohan dalam Huda (2014:63) lebih komprehensif dalam memberikan pemahaman terkait desentralisasi asimetris. Desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) bukanlah pelimpahan kewenangan biasa yang berbentuk transfer kewenangan khusus yang hanya diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Secara empirik merupakan strategi komprehensif pemerintah pusat guna merangkul kembali daerah-daerah yang hendak memisahkan diri dari pangkuan ibu pertiwi. Dia mencoba mengakomodasi tuntutan dan identitas lokal ke dalam sistem pemerintah lokal yang khas. Dengan begitu diharapkan perlawanan terhaap pemerintahan nasional dan keinginan untuk merdeka dapat dieliminasi lewat sistem pemerintahan lokal yang spesifik seperti yang dipraktikkan di beberapa negara antara lain wilayah Quebeq di Kanada, Mindanao di Filipina, Bougainville di Papua New Gunie, dan Bosque di Spanyol. Mereka misalnya, boleh punya bendera, bahasa, partai politik lokal dan bagi hasil sumber-sumber pendapatan yang lebih besar. Sedangkan cara pemberiannya berbedabeda tergantung tendensi masing-masing daerah. Lebih lanjut disebutkan Mandasari (2014:2-3), yaitu Pertama, melalui carasoft, misalnya untuk Daerah Istimewa Yogyakarta dan DKI Jakarta; Kedua, melalui cara hard, misalnya Aceh dan Papua yang tekanan sparatis dan konfliknya tinggi. Ada beberapa hal yang patut digaris bawahi dari pemaknaan dari desentralisasi asimetris ini. Desentralisasi asimetris diberikan sebagai jalan tengah dari potensi negatif (konflik SARA, spartisme, kesenjangan sosial, masalah pemerataan pembangunan) yang berkembang di dalam sosio-kultural masyarakat setempat. Pola pelaksanaan pemerintahan lokal ini yang sedikit tidak mainstream, terbungkus dalam penggunaan istilah daerah khusus, otonomi khusus dan daerah istimewa, istilah tersebut yang jamak digunakan. Desentralisasi asimetris muncul sebagai solusi atas kenyataan bahwa penerapan desentralisasi di masing-masing daerah ternyata tidak dapat dilaksanakan secara merata diseluruh Propinsi di Indonesia. Desentralisasi asimetris menjadi alternatif dari konsep desentralisasi yang salah satunya diterapkan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), Otonomi Khusus (Otsus) Papua, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). DKI JAKARTA IBUKOTA REPUBLIK INDONESIA Pemberian status khusus kepada Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) lebih ditekankan pada aspek historisnya. Keberadaan DKI Jakarta dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari dipilihnya Jakarta sebagai tempat diselenggarakan peristiwa-peristiwa besar bangsa Indonesia. Selain pernah dikenal sebagai Batavia, Jakarta juga menjadi tempat pusat pergerakan seperti lahirnya Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda, hingga Proklamasi kemerdekaan 1945. Konsentrasi pemerintahanan kekuasaan inilah yang kemudian menjadikan Jakarta sebagai Ibukota negara. Dalam perkembangannya, pemberian status keistimewaan Jakarta ini telah ada melalui Penetapan Presiden No.2 Tahun 1961 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya oleh presiden Soekarno. Huda (2014:168) mengungkapkan lebih lanjut bahwa dasar pemberian ini adalah: 1) Jakarta sebagai ibukota negara patut dijadikan indoktrinasi, kota teladan dan kota cita-cita bagi seluruh bangsa Indonesia; 2) sebagai ibukota negara, daerah Jakarta Raya perlu memenuhi syaratsyarat minimun dari kota internasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya; 3) untuk menciptakan tujuan tersebut di atas, maka Jakarta Raya harus diberikan kedudukan yang khusus sebagai daerah Pratama, Pelaksanaan Desentralisasi Asimetris dalam Tata Kelola Pemerintah Daerah di Era Demokrasi yang langsung dikuasai oleh Presiden/ Pemimpin Besar Revolusi. Aturan yang dikeluarkan ini maksud besarnya adalah Jakarta diberikan kewenangan khusus yang langsung berada di bawah Presiden. Memasuki pemerintahan Soeharto, keistimewaan yang diberikan pemerintah pusat kepada DKI Jakarta berupa gubernur yang didampingi oleh 5 orang wakil gubernur. Pasca runtuhnya pemerintahan yang sentralisitik dan kemudian berhembusnya angin bercorak desentralistik yang menghinggapi pemerintahan daerah di Indonesia, DKI Jakarta turut pula mengalami perubahan. Ada hal yang khusus didapatkan oleh DKI Jakarta, seperti yang telah disebutkan oleh Bukhari (2014: 2-3), mimpi besar presiden Soekarno tentang grand design DKI Jakarta sebagai kota internaional membuat pembanguanan di Jakarta begitu intens. Selain Gubernur dilibatkan dalam rapat kabinet presiden yang menyangkut urusan tata kelola ruang di Ibukota, DKI Jakarta tidak perlu melakukan pemilihan kepada daerah tingkat kota. Pemilihan walikota di DKI Jakarta dipilih oleh Gubernur atas pertimbangan DPRD Provinsi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat.Dengan sistem sedemikian rupa, maka Walikota bertanggung jawab kepada Gubernur dengan olah wewenang berupa garis komando. Pelaksanaan desentralisasi asimetris di DKI Jakarta dalam konteks evaluasi sungguh berbeda dengan daerah lainnya, khususnya Papua dan Aceh yang juga menerima status “istimewa”. Menjadi pertimbangan besar dalam pemberian keistimewaan kepada DKI Jakarta adalah lebih kepada aspek historis.Dari segi kesejahteraan dan keutuhan wilayah NKRI, DKI Jakarta dipandang tidak memiliki potensi yang mengkhawatirkan sehingga alasan-alasan tersebut dapat disisihkan dari pembahasan. MUTIARA HITAM PAPUA DAN PAPUA BARAT Pemberian Otonomi Khusus (Otsus) Papua diatur dalam UU No. 21 Tahun 2001 dan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2002. Dasar kebijakan Otsus berangkat dari fakta bahwa berbagai bentuk disparitas serta ketimpangan berbagai sektor di Papua. Ketimpangan ini dapat dilihat dari tingkat kesejahteraan yang rendah, 9 pelayanan publik yang buruk, jaringan infrastruktur yang masih memprihatinkan, hingga persoalan rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM). Belum lagi secara aspek geografis, Papua yang termasuk daerah fountier yang didalamnya ada gerakan sparatisme membuat tingkat kerentanan lepas dari NKRI menjadi tinggi. Berbagai problematika inilah yang menjadi alasan mayor pemberian Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua.Lebih lanjut Rahab (2010:103) menyatakan bahwa pemberian Otsus Papua dianggap sebagai upaya solutif terhadap berbagai masalah serta tawaran bagi masyarakat Papua untuk tetap bersatu dalam pangkuan NKRI. Perbedaan kewenangan Papua muncul sebagai jawaban atas keinginan masyarakat untuk terlibat dalam mewujudkan keadilan, penegakan hukum, penghormatan HAM, menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat dan diakuinya hak-hak dasar penduduk Papua. Hosio (2007:3) mengemukakan bahwa: “tujuan dari UU No. 21 Tahun 2001 setidaknya memuat beberapa hal yaitu: (1) mengurangi kesenjangan antara provinsi Papua dengan provinsi lain, (2) Meningkatkan taraf hidup masyarakat di provinsi papua, (3) memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua. Dari latar belakang dan tujuan dibentuknya Otsus Provinsi Papua, tujuan mendasarnya diharapkan Otsus Papua mampu menyelesaikan akar masalah sesuai dengan aspirasi masyarakatnya”. Titik berat Otsus Papua terdiri atas perlindungan dan penghargaan terhadap moral dan etika, memperhatikan hak-hak dasar penduduk Papua, ditegakkannya supremasi hukum, perlindungan HAM, serta mengutamakan persamaan kedudukan sebagai warga negara. UU No 21 Tahun 2001 sebagai landasan yuridis Otsus Papua mengatur kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Papua yang dilakukan dengan kekhususan yang tercermin pada Pasal 5 ayat (2) bahwa “dalam rangka penyelenggaraan Otsus di Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural orang Papua yang memiliki kewenangan atas hak-hak orang Papua. Selain itu, Otsus Papua memungkinkan terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik 10 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 dengan bercirikan partisipasi rakyat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan pemerintahan dan pembangunan untuk sebesarbesarnya kebutuhan masyarakat”Pelaksanaan Otsus ini dianggap tidak dapat menyelesaikan permasalahan di Papua. Sehingga, muncul wacana perbaikan dan penyempurnaan dengan adanya Rancangan Undang-Undang Otsus Papua. Pelaksanaan Otsus Papua tidak serta-merta dapat memenuhi indikator tujuan. Terhitung sudah 13 tahun pelaksanaan Otsus Papua sejak dikeluarkannya UU No. 21 Tahun 2001. Widjojo dan Aisyah Putri Budiarti (2012:78) mengatakan bahwa “Otsus Papua dapat dikatakan cenderung gagal menjadijalan tengah” bagi konflik Papua yang melingkar sejak 1960-an. Pelaksanaan Otsus Papua dapat ditaksir dari dua hal, yaitu berkenaan dengan pembangunan ekonomi dan penyelesaian gerakan separatis”. Papua yang hingga sekarang ini dikucuri dana Otsus hingga 40 triliun dan kecenderungan tiap tahun meningkat, masih saja menempatkan Papua sebagai kawasan tertinggal. Pernyataan tersebut didasarkan atas Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua yang masih rendah dibandingkan dengan provinsi lainnya. Berdasarkan data yang disajikan BPS dalam jurnal penelitian politik LIPI tahun 2012, IPM di provinsi Papua tahun 2009 sebesar 68,58 (terendah di Indonesia) untuk Papua dan 64,53 (terendah ke-4 di Indonesia) untuk Papua Barat. Data demikian cukup wajar dengan membandingkan tingkat kemiskinan di Papua. Masih merujuk pada sumber yang sama data BPS (dalam Widjojo dan Aisyah Putri Budiarti, 2012: 71-75), data jumlah penduduk miskin di Papua masih menunjukkan prosentase yang cukup besar, yaitu 761,6 (per 1000 orang) di tahun 2010. Dari data tingkat pendidikan tak kalah mengejutkan, dari tahun 2008 hingga 2010, lebih dari 70% penduduk usia sekolah tidak pernah mengenyam pendidikan atau tidak lagi bersekolah. Dari segi kesehatan, dana Otsus belum mampu memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di Papua. Hal ini terlihat dari rasio perbandingan antara jumlah dokter dan jumlah penduduk, yaitu rasionya 1 dokter berbanding 3800 penduduk. Berkaitan dengan kesempatan kerja, dana Otsus masih belum bisa menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan. Tahun 2010 dari jumlah pencari kerja sebesar 158.813 hanya tersedia 5.373 kesempatan kerja. Fakta tersebut membuktikan rendahnya keterserapan dana Otsus bagi pembangunan masyarakat Papua selain praktik korupsi. Hal ini sejalan dengan pandangan P.M. Laksono, dkk(2005:67) “keadaan sosial politik di Papua cukup rumit, sehingga penting untuk memahami sejumlah unsur yang ikut berperan dalam menciptakan kondisi sosial politik sebagai usaha untuk pembangunan masyarakat”. Selain persoalan ekonomi, pelaksanaan Otsus masih dihadapkan pada gerakan separatis yang terus berlangsung. Meminjam pernyataan Kaisiepo dalam Ikrar Nusa Bhakti dan Pigay (2012:12-14) bahwa Papua yang kaya sejak dulu telah menjadi “Pasar Kekerasan”. Cukup wajar jika disparitas ekonomi yang terjadi ditanah yang kaya akan sumber daya alam menimbulkan gejolak separatis. Dalam kurun waktu antara 2000-2009, pemerintah pusat menerima uang sebesar US$7.996.392.017 dari Freeport. Pada kurun yang sama, pemerintah hanya memberikan 20 triliun kepada Papua dimana nilai tersebut tidak besar untuk Papua. Hal tersebut yang menjadi motif gerakan separatis masih langgeng yang disisi lain juga menciptakan ketidakpercayaan kepada pemerintah pusat. DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY) Pemberian status keistimewaan kepada Yogyakarta ada sedikit kemiripan dengan pemberian status istimewa kepada DKI Jakarta. Aspek historislah yang menjadi pertimbangan yang vital bagi pemberian status keistimewaan kepada Yogyakarta. Sebelum kemerdekaan RI, Yogyakarta sudah memiliki kedaulatan penuh sebagai kerajaan yang dipimpin Sri Sultan Hamengkubowono IX (HB IX) dan Sri Paku Alaman XIII (PA XIII) sehingga berdirinya NKRI tidak bisa dilepaskan dengan berdirinya DIY. Secara de facto, status keistimewaannya dinyatakan oleh amanat HB IX dan amanat PA XIII pada 5 September 1945 yang secara masingmasing menyatakan daerah Kasultanan dan Pakualaman sebagai daerah istimewa. Selanjutnya pada 30 Oktober 1945 terbit amanat yang isinya hanya ada satu daerah istimewa di NKRI yaitu Yogyakarta.HB IX dan PA XIII beserta seluruh masyarakat Yogyakarta meresponnya melalui serangkaian perjuangan yang heroik untuk merebut kembali kemerdekaan RI. Yogyakarta dipercaya jadi Ibukota Indonesia karena situasi yang darurat di Jakarta saat itu.Secara yuridis, pengakuan sebagai Daerah Istimewa lahir 3 Maret 1950 dengan dikeluarkannya UU No. 3 Tahun Pratama, Pelaksanaan Desentralisasi Asimetris dalam Tata Kelola Pemerintah Daerah di Era Demokrasi 1950. Hal ini merupakan bentuk pengakuan dan legalisasi secara de jure atas keistimewaan Yogyakarta. Kemudian lebih lanjut, keistimewaan DIY diakui oleh UUD 1945 dan diatur dengan UU No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan di DIY Keistimewaan DIY bertujuan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan demokratis. Perwujudan tata pemerintahan yang baik ini diupayakan dengan cara melembagakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta sebagai warisan budaya bangsa. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2012, kewenangan istimewa meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan Pemerintah Daerah DIY, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang. Kewenangan inilah yang kemudian menjadi ciri khusus dan membedakan pengelolaan pemerintah DIY dengan pengelolaan pemerintah di daerah lainya. Keistimewaan DIY dalam penyusunan penyelenggara pemerintahan dapat ditilik dari Pasal 28 ayat (1) hingga ayat (8). Dalam pasal tersebut diatur mengenai mekanisme penetapan Sultan Hamengkubuwono sebagai gubernur DIY, serta Adipati Paku Alam sebagai wakil gubernur DIY. Inilah yang membedakan kewenangan DIY dengan daerah lain. Jika di daerah lain penentuan jabatan gubernur dilakukan dengan pemilihan, maka di DIY dilakukan dengan penetapan. Secara otomatis, pemangku jabatan Sultan Hamengkubuwono dan Adipati Paku Alam akan diangkat menjadi gubernur dan wakil gubernur.Selain itu, UU No. 13 Tahun 2012 juga memberikan kewenangan khusus bagi Kesultanan dan Kadipaten di DIY untuk mengelola tanah dan tata ruang. Keistimewaan dalam mengatur perihal pertanahan dan tata ruang di DIY diatur pada Pasal 32, 33, 34 dan 35 dalam Undang-Undang tersebut. Diantara kewenangan yang diatur dalam pasal-pasal di atas, yang membedakan kewenangan DIY dibanding daerah lain adalah soal perizinan pemakaian tanah dan pengaturan tata ruang. Pasal 33 Ayat (4), diatur bahwa pemanfaatan atau penggunaan tanah di DIY harus mendapatkan izin dari pihak Kesultanan dan Kadipaten. Hal ini berhubungan dengan Pasal 32 ayat (1) dan (2) bahwa pihak Kesultanan dan Kadipaten adalah lembaga hukum yang sah sebagai pemilik hak atas pemakaian dan 11 kepemilikan tanah di DIY. Tentu saja pemakaian hak kepemilikan dan penggunaan tanah ini harus didasarkan pada tujuan pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Sebelum disahkannya UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, masyarakat Yogyakarta gelisah tentang nasib Sultan dan Paku Alam yang dikhawatirkan tidak akan lagi menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur yang terbatas pada periodesasi masa jabatan kepemimpinan. Hal itu membuat rakyat Yogyakarta turun kejalan untuk menuntut referendum, jika Sultan dan Paku Alam tidak ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, sekalian Yogyakarta memilih merdeka dari NKRI. Setelah disahkannya UU No. 13 Tahun 2012, protes masyarakat terkait status Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY sudah tidak terjadi lagi. Berbeda dengan daerah lain yang menerapkan pemilihan gubernur secara langsung, dengan diterapkannya Sultan dan Paku Alam menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur yang ditetapkan oleh DPRD, maka penghematan terhadap anggaran negara dapat dilakukan. Selain itu, implikasi lain yang timbul dari pemberlakuan penetapani Gubernur dan Wakil Gubernur DIY oleh DPRD adalah tidak terjadinya konflik antara massa pendukung seperti yang marak terjadi didaerah-daerah lain ketika Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih secara langsung dengan sistem kompetitif. Segala sesuatu yang menyangkut Sultan dan Paku Alam, dianggap juga menyangkut dengan eksistensi keberadaan Yogyakarta itu sendiri. Sehingga, apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai lokal masih digalakkan. Yogyakarta dianggap sebagai poros kebudayaan Indonesia yang dapat menarik pengunjungdomestik maupun luar negeri, sehingga mendatangkan nilai ekonomis bagi pendapatan daerah yang dapat digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Kasus lain dengan ditetapkannya UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, hak Sultan atas tanah semakin memperoleh kekuatan hukum yang kuat. Akibatnya, tanah yang dianggap sebagai milik sultan (Sultan Ground), sekalipun sudah ditempati oleh masyarakat bertahun-tahun, akan tetapi kapanpun juga dapat diambil. Situasi seperti ini, biasanya akan membuat masyarakat menjadi vis a vis dengan Sultan. Contoh dalam kasus ini adalah inisiatif pembangunan bandara dan persoalan pertambangan pasir besi di Kulon Progo. 12 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 Masyarakat merasa hak mereka telah diambil oleh pemerintah, yang notabenenya Sultan dan Paku Alam adalah bagian dari Institusi tersebut. Padahal, pada Pasal 7 ayat (3) menyatakan bahwa penyelenggaraan kewenangan dalam urusan Keistimewaan didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat. SERAMBI REPUBLIK ACEH DARUSSALAM luhur kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam memajukan penyelenggaraan pemerintah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan mengaplikasikan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat (Huda, 2014:238-239) NANGGROE Dalam perspekstif historis, Aceh yang dikenal pula dengan sebutan Serambi Mekah mempunyai catatan yang kurang begitu harmonis dengan NKRI. Bukti historis tersebut dapat disebutkan dalam beberapa konflik yang telah terjadi di Aceh sejak sebelum 1949 oleh Daud Bereuh, kemudian Kartosuwiryo dengan Negara Islamnya hingga yang terakhir dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tuntutan untuk menegakkan syariat Islam di atas hukum dan konsensus nasional, bahkan dibeberapa sisi cenderung berdampak distruktif seiring munculnya disintegrasi didalamnya. Berbagai upaya deliberatif atau menggunakan soft power dengan cara diplomasi hingga operasi militer melalui penetapan Daerah Operasi Militer (DOM) telah ditempuh untuk meredam konflik serta guna menjaga keutuhan NKRI. Setidaknya pergolakan di Aceh dengan sparatismenya menjadi potensi besar bagi perpecahan NKRI dan yang pastinya melelahkan bagi pemerintah pusat dalam upaya holistiknya. Terlepas dari perihal konflik yang melekat selama ini, eksistensi Aceh memang harus tetap dijaga dengan cara apapun. Secara yuridis perihal keistimewaan Aceh diatur melalui UU RI No.8 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hal yang medasar dari UU ini adalah pemberian kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia, menumbuhkembangkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai Selain yang telah disebutkan di atas, sebagai penunjang pelaksanaan otonomi daerah di Aceh dibentuklah Wali Naggroe dan Tuha Nanggroe yang merupakan lembaga adat yang mengiringi kehidupan adat di Aceh. Sebagai penguat dari UU No.8 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam maka dikeluarkanlah UU No.11 Tahun 2006. Namun ada hal menarik yang terjadi dalam sejarah Aceh hingga mendapatkan identitas kesitimewaan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Presiden Soekarno pernah menyebutkan Aceh sebagai “Daerah Modal” bagi perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Kenapa demikian, perihal tersebut berkenaan dengan sumbangan Aceh sebagai pengembang dalam bidang bahasa dan budaya yang ketika itu memang efektif untuk membangun intergrasi nasional. Mengutip pernyataan seorang sastrawan Indonesia, Nurcholis Majid dalam Ni’matul Huda (2014:226), mengungkapkan fakta yang menarik bahwa “keAcehan” itu berkembang menjadi bibit “keIndonesiaan”. Lingua Franca (bahasa pemersatu) dari bangsa Indonesia yang ketika itu masih dalam kondisi baby state yang berupa bahasa melayu banyak dikembangkan oleh sastrawan-sastrawan melayu di Aceh dan bisa dikatakan Aceh merupakan pusat pengembangannya. Kemudian yang berkenaan dengan budaya, Aceh dengan adatnya yang kuat menjadi sesuatu yang patut untuk diperhatiakan dalam kacamata keBhinnekaan. Dengan akulturasi tata adat setempat dengan syariat Islam yang begitu kental dari awal republik ini berdiri hingga sekarang, Aceh adalah provinsi satu-satunya di Indonesia yang menjalankan syariat Islam sebagai norma masyarakat secara penuh. Setidaknya otoritas serta kewenangan inilah yang secara spesifik tertuang dalam UU No. 11 Tahun 2006.Lebih lanjut dan spesifik, Bukhari (2014:7), menyebutkan ada beberapa aspek kehidupan yang didasarkan atas syariat Islam, antara lain partai politik lokal, penerapan syariat Islam di bidang ibadah, muamalah, ahwal Pratama, Pelaksanaan Desentralisasi Asimetris dalam Tata Kelola Pemerintah Daerah di Era Demokrasi aslsyakshiyah, jinayah, qadha’, dan dakwah. Selain itu, melalui UU No.11 Tahun 2006 dinyatakan bahwa pemerintah pusat tidak dapat leluasa memberikan kebijakan administratif berkaitan dengan Aceh tanpa konsultasi dan persetujuan kepala pemerintahan Aceh. Hal ini yang dianggap oleh pengkaji Aceh sebagai penanda meningkatnya baragining position Aceh dimata pemerintah pusat. SIMPULAN Pelaksanaan desentralisasi sebagai asas pelaksanaan otonomi daerah adalah sebuah konsekuensi logis dari penerapan demokrasi di Indonesia yang selalu menuntut perubahan kearah bentuk yang dianggap selalu ideal. Kenyataan tersebut semakin menjadi ketika dikomparasikan dengan tragedi runtuhnya rezim Soeharto yang sentralistik. Desentralistik datang dengan bentuknya sebagai penjawab dari tuntutan perubahan tersebut.Pemerintah yang begitu tertutup serta dipandang buruk dan ketika itu berakhir, maka sharing of authority (berbagi kewenangan) yang digadang sebagai bentuk ideal dari itu. Berbagi kewenangan inilah yang harapannya menjadi upaya penguatan pemerintahan lokal yang juga dapat memperkuat pemerintah pusat. Dalam realita bangsa ini, ternyata masingmasing daerah berdinamika dengan potensinya masing-masing. Jika hal tersebut mengarah kedalam sebuah pola positif maka tidak akan menjadi sesuatu yang perlu dikhawatirkan secara serius. Namun, jika dinamika tersebut mengarah terhadap konflik dan disintegrasi nasional maka harus diperlakukan dengan tidak biasa. Desentralisasi asimetris yang datang dengan bentuk yang “istimewa” memberikan sebuah sistem berbagai kewenangan dengan pemerintah pusat yang bertujuan untuk menjaga eksistensi daerah tersebut. DKI Jakarta, DIY (Yogyakarta), NAD (Aceh), dan Papua yang diberikan “keistimewaan” memang dirasa perlu juga tidak lepas dari kekurangan dalam pelaksanaannya. DKI Jakarta dengan impian kota bertaraf 13 internasionalnya sehingga pembangunan begitu intens ternyata telah menciptakan kepadatan penduduk yang luar biasa sebagai dampak dari harapan besar kebanyakan orang untuk mencari kesejahteraan di Jakarta. Kemudian selanjutnya bisa sangat mudah diterka, mulai dari kemacetan, kesemerawutan tata ruang kota, kriminalitas, dan disparitas sosial tumplek blek di Jakarta. Kecuali DKI Jakarta, Aceh dan Papua diberikan lebih pada pertimbangan peredaman atas konflik yang terjadi. Aceh dengan begitu menjunjung tinggi pelaksanaan syariat Islam hingga banyak muncul pergolakan dari oknum masyarakat yang berusaha lepas dari NKRI. Meskipun akhirnya pada tahun 2005 konflik tersebut dapat terselesaikan dengan perjanjian Helinski. Di Papua, salah satu diantara empat daerah yang diberikan status “khusus” yang masih bergejolak secara serius hingga saat ini. Pelaksanaan desentralisasi asimetris di Papua melalui otsusnya harus memang benarbenar di evaluasi secara serius. Terakhir adalah Yogyakarta yang disematkan sebagai daerah istimewa karena selain Yogyakarta adalah kerajaan yang masih eksis juga berbagai perannya untuk membantu Republik Indonesia dalam rangka membentuk pemerintahan darurat. Namun, dalam hal pelaksanaannya meskipun dana keistimewaan yang digelontor begitu besar, tingkat kemiskinan di Yogyakarta masih menjadi permasalahan. Dari semua maksud dan tujuan desentralisasi asimetris di Indonesia hingga pelaksanaannya sekarang, menunjukkan kondisi yang mengharu biru. Desentralisasi yang diraih dengan bayaran heroik untuk menurunkan pemerintahan yang sentralisitik, disisi lain bermaksud positif namun disisi lain juga berdampak kurang baik, disatu daerah dapat menuai hasil yang baik sedangkan di daerah lain masih belum mampu membawa perubahan positif, disatu sisi membawa kesejahteraan namun disisi lain juga berpotensi memelihara konflik. Inilah pelaksanaan desentralisasi asimetris dengan segala dampaknya sebagai sistem yang selalu membawa tujuan integrasi bangsa. DAFTAR RUJUKAN Bhakti, Ikrar Nusa dan Natalius Pigay. 2012. Menemukan Akar Masalah Dan Solusi Atas Konflik Papua: Supenkah?.Jurnal Penelitian Politik LIPI, Vol 9 No. 1. Halaman 1-18. Huda, Ni’matul. 2014. Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI, Kajian Terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus, dan Otsus. Bandung: Nusa Media. 14 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 Laksono, P.M, dkk. 2005. Kekayaan, Agama, dan Kekuasaan: Identitas Konflik di Indonesia (Timur Modern). Yogyakarta: Kanisius. Thoha, Miftah. 2012. Birokrasi Pemerintah Dan Kekuasaan Di Indonesia.Yogyakarta: Matapena Institute. Widjojo, Muridan S dan Aisah Putri Budiarti. 2012. UU Otsus Bagi Papua: Masalah Legitimasi Dan Kemauan Politik. Jurnal Penelitian Politik LIPI, Vol 9 No.1. Halaman 59-80. Wignosoebroto, Soetandyo, dkk. 2005. Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100 tahun. Jakarta: Institue for Local Development Yayasan TIFA. Undang-Undang dan makalah Bukhari, Fitrah. 2014. Memandang Indonesia Dari Daerah Secara Kritis. Makalah ini disampaikan dalam Bedah Buku “Desentralisasi Asimetris dalam NKRI: Kajian terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus dan Otonomi Khusus”. UII Yogyakarta.18 Oktober 2014. Mandasari, Zayati. 2014. Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI (Kajian Terhadap Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta). Makalah ini disampaikan dalam Bedah Buku “Desentralisasi Asimetris dalam NKRI: Kajian terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus dan Otonomi Khusus”. UII Yogyakarta.18 Oktober 2014. Undang-Undang No. 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Propinsi Papua. MODEL PERLINDUNGAN HAK PEREMPUAN KORBAN TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Arbaiyah Prantiasih M. Yuhdi Siti Awaliyah Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang No.5 Malang email: [email protected] Abstract: Violence against women in the quantitative household has increased significantly and is accompanied by an increase in intensity and quality. The purpose of this study was: (1) describe the forms of violence that occur in women in the household, (2) describe the causes of women experiencing domestic violence, (3) describe the form of the rights of women who experience violence, (4) describe the form of protection of the rights of women who experience domestic violence. This study using a design research. These results can be explained that: (1) forms of violence against women in the household is physical violence, psychological violence and neglect, (2) the causes of occurrence of physical violence because the husband is not working; husband husband’s job is erratic and temperamental, (3) the form of the rights of women subjected to violence to obtain protection from KPPA, obtain an integrated service, get a guarantee of their rights whose status as a wife, as a mother or as a child in the household, but it is not optimal to get, get assistance psychologically, medically, (4) the form of the protection of women victims of domestic violence, is providing assistance, providing services, provide a safe home means a temporary shelter for victims. Key words: violence, household, women Abstrak: Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga secara kuantitatif mengalami peningkatan yang signifikan dan disertai dengan peningkatan intensitas serta kualitasnya. Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) bentuk tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga, (2) faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, (3) bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan, (4) bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga. Kajian penulisan menggunakan teknik survey. Hasil penelitian ini dapat dijelaskan bahwa: (1) bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis dan penelantaran, (2) faktor penyebab kekerasan adalah suami tidak bekerja, pekerjaan yang tidak menentu, dan temperamental, (3) hak perempuan yang mengalami KDRT adalah perlindungan dari KPPA, mendapatkan pelayanan secara terpadu, jaminan atas hak-haknya sebagai istri, sebagai ibu atau anak, pendampingan secara psikologis dan secara medis, (4) perlindungan terhadap korban KDRT dilakukan dengan memberikan pendampingan, memberikan pelayanan, menyediakan rumah aman artinya tempat tinggal sementara bagi korban. Kata Kunci: kekerasan, rumah tangga, perempuan Fenomena kekerasan terhadap perempuan dewasa ini tidak semakin mereda, akan tetapi secara kuantitatif mengalami peningkatan signifikan yang disertai pula dengan meningkatkya intensitas dan kualitas kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di masyarakat. Sejumlah kasus-kasus kekerasan berbasis gender ini telah bermunculan di sejumlah media elektronik maupun cetak yang setiap saat selalu bermunculan. Kasus kekerasan terhadap perempuan sulit untuk dihitung karena terus menerus bertambah. 15 16 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 Fakta kekerasan terhadap perempuan terjadi pada semua tingkat ekonomi, pendidikan dan status sosial lainnya. Kekerasan yang menimpa perempuan akan menimbulkan berbagai macam persoalan psikologis, keadilan hukum dan pengabaian hak-hak kemanusiaan. Mereka dilingkupi rasa takut, trauma yang berkepanjangan, bisu dalam penderitaan yang ditanggung sendiri, sementara yang lain menyeruak penuh euforia demokrasi. Ironisnya mereka juga luput dari pengamatan, bahkan dianggap ikhlas menerima tindak kekerasan tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah bentuk tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga, (2) Bagaimanakah faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, (3) Bagaimanakah bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, (4) Bagaimanakah bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan (1) Bentuk tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga, (2) Faktor penyebab perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, (3) Hakhak perempuan yang mengalami tindak kekerasan, (4) Bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga. METODE Desain penelitian dirancang dengan menggunakan pendekatan secara deskriptif kualitatif dan survey untuk mengidentifikasi kasuskasus yang terjadi dan menimpa perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian deskriptif kualitatif dan survey dilakukan untuk mengetahui: bentuk tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga, faktor-faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, bentuk hakhak perempuan yang mengalami tindak kekerasan, serta bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga. Para perempuan korban tindak kekerasan akan diberikan daftar pertanyaan termasuk orang terdekatnya (orang tuanya/Bapak atau ibunya) atau pihak tetangganya yang terdekat. Kemudian ditindaklanjuti dengan wawancara mendalam. Subyek penelitian tahap pertama adalah perempuan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga di wilayah Jawa Timur yaitu Kabupaten Malang, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Probolinggo. Variabel Penelitian Variabel penelitian yang akan diukur dalam tahap pertama penelitian ini meliputi: (1) bentuk tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga, (2) faktor-faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, (3) hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan, (4) bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga. Instrumen Penelitian Intrumen yang digunakan dalam penelitian tahap pertama ini adalah lembar observasi dan pedoman wawancara. Wawancara dipergunakan untuk mengetahui: (1) bentuk tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga, (2) faktor-faktor penyebab perempuan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, (3) bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan, (4) bentuk perlindungan hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga. Analisis Data Data dianalisis dengan teknik analisis model interaktif dari Miles dan Huberman. Teknik analisis penelitian dipergunakan untuk menganalisa data yang diperoleh dari wawancara dengan subyek penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pada paparan data sebelumnya dapat dijelaskan bahwa bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan meliputi (1) kekerasan phisik, (2) kekerasan psikis, dan (3) kekerasan penelantaran rumah tangga. Latar belakang penyebab tindak kekerasan terhadap perempuan meliputi: (1) kekerasan phisik, faktor yang melatar belakangi terjadinya kekerasan phisik terhadap perempuan disebabkan karena: (a) suami tidak bekerja, (b) suami pekerjaannya tidak menentu artinya kadangkadang bekerja, kadang-kadang tidak, (c) suami temperamental artinya perilakunya kasar, sering Prantiasih dkk, Model Perlindungan Hak Perempuan Korban Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga marah, dan mudah emosional; (2) kekerasan psikis, latar belakang penyebab terjadinya kekerasan psikis dalam rumah tangga tidak dapat dipisahkan juga dengan faktor penyebab terjadinya kekerasan phisik, sebab kekerasan psikis yang dapat mengakibatkan ketakutan, rasa tidak berdaya, penderitaan psikis berat pada korban, disebabkan juga karena suami, ibu, dalam rumah tangga yang temperamental artinya perilakunya sering marah dan mudah emosional. Selain itu juga karena pihak suami tidak mempunyai pekerjaan sehingga menyebabkan mudah emosional atau mudah marah; (3) kekerasan penelantaran dalam rumah tangga, berdasarkan kasus yang ada, kekerasan dalam bentuk ini disebabkan juga karena faktor suami yang tidak bekerja atau pekerjaan yang tidak menentu, sehingga pihak istri dan anak selalu mengharapkan pertanggung jawaban dari pihak suami. Hal ini diperkuat lagi bila istri tidak bekerja dan selalu menggantungkan atau mengakibatkan ketergantungan ekonomi pada pihak suami. Akan tetapi sebaliknya apabila istri bekerja, maka istri tidak selalu menggantungkan diri pada suaminya meskipun di dalam rumah tangganya ada masalah. Berdasarkan kasus-kasus yang ditemukan dari hasil penelitian kekerasan phisik maupun psikis terhadap perempun, maka tindakan tersebut merupakan tindakan yang melawan hukum. Sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada Bab 1 pasal 1, bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan terhadap perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara phisik, psikologis termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Demikian juga ketentuan pada pasal 6 UU Nomor 23 Tahun 2004 bahwa kekerasan phisik merupakan perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh atau luka berat. Sedangkan pada pasa 7 UU Nomor 23 Tahun 2004 bahwa kekerasan psikis merupakan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya serta penderitaan psikis berat pada seseorang. Bertolak dari pemaparan kasus-kasus hasil penelitian serta berdasarkan ketentuan pada UU Nomor 23 Tahun 2004 pada Bab 1 pasal 1, pasal 17 6 maupun pada pasal 7, peneliti berpendapat bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta merupakan bentuk diskriminasi yang harus segera dihapuskan. Korban kekerasan dalam rumah tangga kebanyakan adalah perempuan, oleh sebab itu perempuan harus mendapatkan perlindungan dari semua pihak dengan maksud agar terhindar dan terbebas dari kekerasan maupun ancaman kekerasan, penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat pertempuan. Berdasarkan hasil penelitian faktor penyebab terjadinya kekerasan phisik disebabkan karena: (a) suami tidak bekerja, (b) suami tidak menentu pekerjaannya artinya kadang-kadang bekerja, kadang-kadang tidak, (c) suami temperamental artinya perilakunya kasar, sering marah, gampang emosional. Sedangkan kekerasan psikis, latar belakang penyebab terjadinya kekerasan masih ada kesamaan dengan penyebab terjadinya kekerasan phisik, sebab kekerasan psikis yang dapat mengakibatkan ketakutan, rasa tidak berdaya dan megakibatkan penderitaan psikis berat pada korban, disebabkan juga karena suami, ibu dalam rumah tangga yang temperamental sehingga perilakunya seringkali marah dan mudah emosional. Faktor lain yang menjadi penyebab tindak kekerasan terhadap perempuan karena pihak suami tidak mempunyai pekerjaan sehingga mudah emosional dan mudah marah. Berdasarkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut dapat dijelaskan bahwa secara sosiologis kriminologis memandang bahwa suatu perilaku ditentukan oleh nilai dan norma yang berkembang di masyarakat dan suatu tindakan dinyatakan menyimpang tergantung dari reaksi sosial di masyarakat. Contohnya terhadap kekerasan domestik, masyarakat justru sering menyudutkan posisi korban bahkan menyalahkannya. Oleh sebab itu konsekuensinya adalah kasus tindakan destruktif di ranah rumah tangga tetap menjadi rahasia keluarga, kadang-kadang tidak dilaporkan dan kasus-kasus ini oleh pengadilan sering hanya sampai pada tingkat kepolisisan. Mengingat juga banyak kasus rumah tangga yang sempat diadukan ke pengadilan pidana dicabut kembali sebelum diproses atau ditunda tuntutannya dan batal dilaporkan, karena peradilan pidana menganggap korban ikut bertanggung jawab atas kekerasan yang menimpanya. 18 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 Disamping itu dalam sejarah budaya pariarkhi telah mendominasi peradaban manusia dengan terindikasinya berbagai perilaku yang tidak fair dan mencerminkan nilai-nilai kekerasan. Dalam konteks inilah laki-laki potensial menggunakan cara-cara kekerasan untuk menata kehidupan perempuan. Oleh sebab itulah gender equality perlu terus dibangun melalui penyadaran dengan sosialisasi. Sebab kekerasan merupakan kejahatan dan pelanggaran atas hak hidup manusia dan tindak kekerasan tidak dibenarkan dengan mengatasnamakan apapun dan dimanapun dalam kehidupan bermasyarakat. Bertolak dari kasus kekerasan penelantaran rumah tangga dapat dijelaskan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga sering ditoleransi oleh perempuan dan pada saat yang sama sejatinya mereka telah mengesampingkan hakhak dan otonomi mereka sebagai individu demi keutuhan keluarga dan masa depan anak-anak. Ketergantungan ekonomi seringkali membuat perempuan dihadapkan pada keadaan yang sangat dilematis dalam mengambil keputusan. Pelabelan-pelabelan sosial justru dilekatkan pada perempuan yang dianggap tidak mampu menata kehidupan keluarganya. Pendapat yang sama dikemukakan oleh (Kate Millet, 1987:33) bahwa tradisi patriarki memposisikan ayah (suami) sebagai pemilik (ownership) penuh atas istri dan anak-anaknya. Oleh karena itu ayah memiliki kekuasaan penuh atas diri mereka, hal inilah yang mengakibatkan sering terjadinya penyiksaan, penjualan istri, kekerasan terhadap istri dan anakanak dalam rumah tangga. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dijelaskan peneliti bahwa sejarah budaya patriarki telah mendominasi peradaban manusia dengan terindikasinya berbagai perilaku yang tidak fair dan mencerminkan nilai-nilai kekerasan. Didalam konteks inilah laki-laki potensial dapat menggunakan cara-cara kekerasan untuk menata kehidupan perempuan, meskipun diakui masih banyak laki-laki yang tidak mengambil jalan kekerasan untuk menata kehidupan keluarganya. Oleh sebab itu peneliti berpendapat bahwa persoalan kekerasan apapun bentuknya yang ditujukan pada siapapun, menjadi persoalan semua orang dan semua pihak. Akan tetapi sulit rasanya bila persoalan ini hanya ditanggung oleh mereka yang menjadi korban. Hal ini yang seringkali terjadi adalah persoalan kekerasan terhadap perempuan terisolasi seakan hanya menjadi urusan perempuan. Sejatinya penyadaran akan kesetaraan hubungan gender, penghaargaan atas hak-hak individu menjadi sangat penting bagi semua pihak. SIMPULAN Bentuk tindak-tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga meliputi: (a) Kekerasan phisik, (b) Kekerasan psikis, dan (c) Kekerasan penelantaran rumah tangga. Faktor penyebab kekerasan fisik, adalah suami tidak bekerja, suami pekerjaannya tidak menentu artinya kadang-kadang bekerja kadang-kadang tidak, suami temperamental artinya perilaku kasar, sering marah dan mudah emosional. Faktor penyebab tindak kekerasan psikis hampir sama dengan kekerasan fisik. Kekerasan psikis dapat mengakibatkan ketakutan, rasa tidak berdaya dari korban. Penderitaan psikis berat pada korban disebabkan juga karena suami, ibu, dalam rumah tangga yang temperamental dan juga pihak suami yang tidak mempunyai pekerjaan sehingga menyebabkan mudah emosional atau mudah marah. kekerasan penelantaran rumah tangga, disebabkan oleh faktor suami yang tidak bekerja atau pekerjaan yang tidak menentu, sedangkan pihak istri memiliki ketergantungan ekonomi pada suami. Bentuk hak-hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah, (1) mendapatkan perlindungan dari KPPA, (2) mendapatkan informasi tentang keberadaan tempat pengaduan, (3) mendapatkan pelayanan secara terpadu, (4) mendapatkan jaminan atas hak-haknya sebagai istri, sebagai ibu atau sebagai anak dalam rumah tangga, (5) mendapatkan pendampingan secara psikologis, medis dan hukum, (6) mendapatkan penanganan yang berkelanjutan sampai tahap rehabilitasi. Bentuk perlindungan terhadap hak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga ialah (1) memberikan pendampingan korban kekerasan dalam rumah tangga, (2) memberikan pelayanan, (3) menyediakan rumah aman artinya tempat tinggal sementara bagi korban. Prantiasih dkk, Model Perlindungan Hak Perempuan Korban Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga 19 DAFTAR RUJUKAN Millet, Kate, 1987. Sexual Politics. London: Virago Press Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Yogyakarta; Pustaka Widya Tama KEPPRES No 81 Tahun 1998 Tentang Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Yogyakarta: Pustaka Widya Tama MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KARAKTER DENGAN PENDEKATAN MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI PERGURUAN TINGGI A. Rosyid Al Atok Suparlan Al Hakim Sri Untari Margono Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang No.5 Malang email:[email protected] Abstract: This research aims to develop a learning model character education with a multicultural approach used in Civic Education. The resulting learning model is poured in the form of modules and visualized in the form of instructional videos. Framework of a prototype model of learning by taking into account the competence of the subjects that must be owned by the students, faculty competence in multicultural approach, the cultural background of students, and the characteristics of learning the nuances of multicultural material. Strategies that can be used, among others: strategies and learning activities are combined with the concept attainment strategy, the strategy value analysis, and strategies of social analysis. Drafting of the learning can be done through five main stages, namely content analysis, the analysis of cultural background, mapping materials, organizing materials, and then poured in Civic Education learning format. In the implementation of character education learning model with a multicultural approach can be done through the following phases: Exploration Studies, Presentations, Peer Group Analysis, Expert Opinion, and Reflections and Recommendations. Keywords: character education, multicultural, and civic education Abstrak: penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pendidikan karakter menggunakan pendekatan multikultural untuk Pendidikan Kewarganegaraan. Hasil model pembelajaran adalah modul dan gambar dalam bentuk video pembelajaran. Model prototipe pembelajaran mengacu pada kompetensi diri yang dimiliki oleh mahasiswa, kompetensi dosen dalam pendekatan multikultural, latar belakang budaya mahasiswa, dan karakteristik materi pembelajaran yang bernuansa materi multikultural. Strategi yang dapat digunakan diantaranya:strategi dan aktivitas belajar yang dikombinasikan dengan strategi konsep, strategi analisis nilai, dan strategi analisis sosial. Pembelajaran dapat menggunakan lima langkah utama, yaitu analisis isi, analisis latar belakang budaya, peta materi, pengorganisasian materi, dan format pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Implementasi model pendidikan karakter dengan pendekatan multikultural dapat dilakukan melalui beberapa fase, yaitu: studi eksplorasi, presentasi, analsis teman sejawat, pendapat ahli, refleksi dan rekomendasi. Kata kunci: pendidikan karakter, multikultural, pendidikan kewarganegaraan Bangsa Indonesia dewasa ini tengah mengalami semacam split personality (Jalaludin, 2012). Wacana pendidikan karakter pada akhir-akhir ini memperoleh perhatian yang cukup intens dari pemerhati pendidikan maupun pemerintah (Soesetijo, 2010). Dalam Naskah Grand Design Karakter Nasional (2010), dijelaskan ada beberapa alasan mendasar yang melatari pentingnya pembangunan karakter bangsa, baik secara filosofis, ideologis, normatif, historis maupun 20 Atok dkk, Model Pembelajaran Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Multikultural dalam PKn di PT sosiokultural. Dalam kaitan itu, pendidikan karakter di Indonesia harus memiliki orientasi yang jelas. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007), menegaskan bahwa pembangunan karakter bangsa dikonsentrasikan pada terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan dengan watak dan prilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotongroyong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi ipteks. Pembangunan karakter bangsa akan mengerucut pada tiga tataran besar, yaitu (1) untuk menumbuhkan dan memperkuat jati diri bangsa, (2) untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan (3) untuk membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia dan bangsa yang bermartabat (Kebijakan Pembangunan Karakter 2005-2025). Secara demikian pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak. Bidang-bidang garapan pendidikan karakter yang mengarah pada perilaku berkarakter terfokus pada kemampuan olah pikir, olah hati, olah raga dan olah rasa/karsa. Pendekatan multikultural (multicultural approach) diangkat dari munculnya gagasan perlunya pendidikan multi kultural (multicultural education) bagi kehidupan manusia dan keragaman bangsa di dunia. Dalam kaitan ini, Skeel (1995), menegaskan bahwa keanekaragaman manusia, telah melahirkan gagasan mengenai pendidikan multi kultural. Menurutnya, konsep pendidikan multi kultural adalah suatu sikap dalam memandang keunikan manusia dalam interaksi sosial dengan tanpa membedakan ras, kultur, kebiasaan seks, kondisi jasmaniah, atau status ekonomi seseorang. Tujuan pendidikan multikultural, antara lain telah diidentifikasi oleh J.A. Banks (1993) yaitu: (1) untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam; (2) untuk membantu semua peserta didik dalam membangun perlakuan yang positip terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan; (3) memberikan ketahanan peserta didik dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan ketrampilan sosialnya; 21 (4) untuk membantu peserta didik dalam membangun sikap ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran kepada mereka mengenai perspektif perbedaan kelompok. Dalam kaitan itu, Wiriaatmadja (1996), menganjurkan beberapa strategi yang perlu digunakan oleh guru (yang relevan juga dengan dosen), dalam menerapkan pendekatan multikultural. Beberapa anjuran yang disampaikan, meliputi: (1) guru sebaiknya menggunakan metode mengajar yang efektif, dengan mengingat referensi budaya beragam di kelas; (2) guru perlu mengamati dan menyimak keadaan kelasnya, sebelum mengambil keputusan tentang kelas dengan orientasi budaya beragam; (3) diskusi yang relevan dengan pesan-pesan multikultural, juga perlu pengarahan dan bimbingan guru dengan menunjukkan bagaimana penyelenggaraannya agar tidak berkembang menjadi konflik. Dalam kaitan itu, perkuliah pendidikan kewarganegaraan dengan pendekatan multikultural, dosen perlu menyadari bahwa cara-cara yang dicontohkan di atas harus diartikan sebagai upaya menolong mahasiswa yang membutuhkan bantuan dengan “bridging program”, agar mahasiswa mampu mengembangkan cara berpikir dan cara hidup yang baru dan wajar, sehingga kesadaran akan wawasan kebangsaan bisa tumbuh dengan sendirinya dan terekspresikan dalam perilaku sehari-hari, tanpa paksaan atau indoktrinasi. Oleh karena itu, materi perkulihan harus diseleksi, dikemas dan disajikan sedemikian rupa sehingga mahasiswa mampu mencapai tujuan perkuliahan. Pilihan materi perkuliahan yang relevan dengan upaya membangun wawasan kebangsaan mahasiswa, hendaknya mengandung berbagai aspek ragam budaya bangsa, yang dikemas dengan pendekatan multi kultural. Beberapa topik perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan yang relevan dengan pendekatan multi kultural antara lain adalah: (1) Terbentuknya Identitas Kebangsaan Indonesia; (2) Identitas dan integritas kebangsaan Indonesia di Era Global; (3) Sikap yang diperlukan dalam mengembangkan martabat dan harga diri sebagai bangsa Indonesia; (4) Pluralis-multikultural dalam masyarakat Indonesia; (5) eksistensi SARA dalam masyarakat pluralitas-multikultural; (6) Masyarakat pluralis-multikultural dan integrasi nasional; (7) Cara pandang lokal dalam konteks wawasan nasional; (8) Budaya Indonesia dalam perspektif global, dan topik-topik lainnya. 22 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 METODE Sesuai dengan tujuan, pengembangan ini dilaksanakan dalam waktu tiga tahun dengan menggunakan desain pengembangan pengembangan (research and development) sebagaimana disarankan oleh Borg & Gall (1982). Pada penelitian tahun pertama (2013), dilakukan tiga tahap, yaitu tahap eksplorasi, tahap perumusan prototype model dan penyusunan desain pembelajaran, dan tahap penyusunan draft modul pembelajaran. Tahap eksplorasi dilakukan identifikasi ketersediaan daya dukung pergiuruan tinggi dalam mengembangkan model pendidikan karakter dengan pendekatan multicultural dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Ketersediaan daya dukung perguruan tinggi yang dimaksudkan meliputi: (a) kurikulum, deskripsi, dan silabus matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan; (b) kualifikasi dosen pembina matakuliahn Pendidikan Kewarganegaraan; (c) karakteristik kultural mahasiswa; (d) karakteristik belajar mahasiswa; dan (e) ketersediaan media serta sarana pembelajaran. Penggalian data tentang ketersediaan daya dukung dilakukan melalui wawancara terstruktur. Pada tahap perumusan prototype model dan penyusunan desain pembelajaran dilakukan dengan teknik Focus Group Discussion (FGD) dengan menghadirkan para ahli dan praktisi atau dosen pembina matakuliah PKn dari beberapa perguruan tinggi dengan langkah-langkah sebagai berikut: (a) identifikasi nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam deskripsi dan silabus matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan; (b) analisis pengembangan materi, pemilihan metode, dan pengembangan media serta sumber belajar dalam rancangan pembelajaran. Hasil FGD ini selanjutnya dijadikan bahan dalam menyusun desain pembelajaran pendidikan karakter dengan pendekatan multicultural dalam Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi. Penyusunan desain pembelajaran dilakukan oleh Tim Peneliti dengan dibantu oleh tim teknis. Pada tahap penyusunan draft modul pembelajaran pendidikan karakter dengan pendidikan multicultural dalam PKn di perguruan tinggi dilakukan berdasarkan prototype model dan desain pembelajaran yang dihasilkan dari FGD. Penyusunan modul pembelajaran dilakukan oleh Tim Peneliti dengan dibantu tim teknis. Pada tahun kedua (2014), penelitian dirancang untuk menguji coba model pembelajaran pendidikan karakter dalam PKn dengan pendekatan multikultural di perguruan tinggi yang telah dihasilkan pada tahun pertama. Uji coba dilakukan dengan 3 (tiga) tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap refleksi, dan tahap perbaikan model. Tahap persiapan dilaksanakan dengan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan uji coba, seperti penyiapan dosen model, media, bahan, alat evaluasi, dan peralatan pembelajaran yang diperlukan. Tahap pelaksanaan uji coba dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali pembelajaran di beberapa perguruan tinggi yang berbeda. Dalam pelaksanaan uji coba dilakukan pengamatan secara intensif tentang pelaksanaan pembelajaran, penggalian umpan balik dan respon dari mahasiswa melalui angket. Hasil pengamatan dan umpan balik tersebut selanjutnya dijadikan bahan refleksi yang dilaksanakan pada tahap ketiga. Pada penelitian tahun ketiga (2015) dilakukan dalam dua tahap, yaitu: tahap perbaikan desain dan draft modul pembelajaran, dan tahap diseminasi atau penyebarluasan model ke beberapa perguruan tinggi. Perbaikan desain dan modul pembelajaran dilakukan berdasarkan hasil refleksi yang dilakukan pada tahun kedua. Perbaikan dilakukan oleh Tim Peneliti dengan dibantu oleh tim teknis. Diseminasi atau penyebarluasan dilakukan dalam bentuk pelatihan yang diikuti oleh dosendosen pembina matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dari sejumlah perguruan tinggi. Dalam kegiatan pelatihan ini juga dilakukan praktek pembelajaran yang dilakukan oleh dosen model yang disertai dengan observasi dan refleksi. Selama prkatek pembelajaran juga dilakukan pendokumentasian melalui audio visual. Kegiatan diseminasi atau penyebarluasan model ini sekaligus merupakan kegiatan pengabdian pada masyarakat dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Penelitian ini dilakukan di beberapa perguruan tinggi yang ada di Jawa Timur, yaitu di: (1) Universitas Negeri Malang di Malang; (2) Institut Agama Islam Sunan Ampel Surabaya; (3) Universitas Negeri Jember, di Jember; (4) Universitas Darul Ulum, Jombang; (5) Universitas Nusantara PGRI Kediri di Kediri; (6) Universitas Merdeka Pasuruan di Pasuruan; (7) IKIP PGRI Madiun di Madiun. Sumber data penelitian adalah: Atok dkk, Model Pembelajaran Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Multikultural dalam PKn di PT (1) dosen pembina matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan di beberapa perguruan tinggi lokasi penelitian; dan (2) mahasiswa dari perguruan tinggi lokasi panelitian yang; (a) sedang mengikuti matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan; (3) sudah lulus matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah: (1) wawancara terbimbing untuk tahap eksplorasi daya dukung perguruan tinggi; (2) curah pendapat dan diskusi untuk perumusan prototype dan penyusuan desain pembelajaran; (3) observasi (pengamatan) dan angket untuk uji coba model. Sedang analisis data dilakukan secara kualitatif-induktif. Pelaksanaan pengumpulan data dilakukan secara serentak dalam rentang waktu antara tangggal 22 s.d 26 Oktober 2013 di 7 (tujuh) perguruan perguruan tinggi lokasi penelitian, yaitu: (1) Universitas Negeri Malang; (2) Universitas Negeri Jember; (3) Universitas Merdeka Surabaya; (4) Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya; (5) Universitas Pesantren Darul Ulum Jombang; (6) Universitas Nusantara PGRI Kediri; (7) IKIP PGRI Madiun. Pada tahap awal pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan nara sumber koordinator matakuliah PKn di perguruan tinggi setempat. Data yang digali melalui wawancara ini berkaitan dengan ketersediaan daya dukung perguruan tinggi yang bersangkutan dalam pengembangan model pembelajaran pendidikan karakter dengan pendekatan multicultural dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Ada beberapa pertanyaan yang dijadikan acuan dalam wawancara tersebut, misalnya apakah di PT yang bersangkutan disajikan matakuliah PKn? Jika disajikan, untuk program studi apa saja, berapa SKS, disajikan semester berapa. Jika tidak disajikan alasannya apa? Apakah sudah tersedia kurikulum, deskripsi, atau silabus silabus matakuliah PKn? Jika belum tersedia apa sebabnya? Berapa jumlah dosen pembina matakuliah PKn? Bagaimana status dosen tersebut: PNS, dosen tetap yayasan, dosen tidak tetap? Berapa jumlah masing-masing? Jika ada dosen tidak tetap dari mana asal instansi dosen yang bersangkutan? Bagaimana kualifikasi dosen PKn yang ada: latar belakang pendidikan, tingkat pendidikan, sertifikasi yang diperoleh, masa kerja, pangkat/golongan/jabatan fungsional? Bagimana karakteristik sosial 23 buadaya mahasiswa PT yang bersangkutan: keragaman asal daerah, keragaman etnis/ suku, keragaman agama? Bagaimana karakteristik belajar mahasiswa: tingkat dan frekuensi kehadiran kuliah, kemampuan berdiskusi, kebiasaan membaca buku, dan kesungguhan mengerjakan tugas? Bagaimana ketersediaan media dan sarana pembelajaran: ketersediaan buku PKn di perpustakaan, ketersedian video atau film mukltikultural, ketersediaan gambar contoh keaneragaman suku, budaya, dan agama, ketersediaan peralatan audio visual (LCD), ketersediaan internet (teknologi informasi)? Pada tahap awal pengumpulan data dilakukan melalui Fokus Grup Diskusi yang diikuti oleh 2 (dua) dosen pembina matakuliah PKn, 3 (tiga) mahasiswa yang sedang menempuh matakuliah PKn, dan 3 (tiga) mahasiswa yang sudah lulus matakuliah PKn. FGD dipimpin oleh anggota Tim Peneliti dengan langkah-langkah (1) Menyampaikan informasi singkat mengenai maksud dan tujuan FGD, (2) Memberikan kesempatan kepada masing-masing mahasiswa untuk menceritakan pengalaman dan kesan-kesan mereka pada saat mengikuti matakuliah PKn, (3) Memberikan kesempatan kepada masing-masing dosen untuk menyampaikan pengalaman dan kesan-kesan mereka pada saat membina matakuliah PKn, dan (4) Menyimpulkan secara singkat hasil penyampaian pengalaman mereka. Langkah selanjutnya adalah memberikan kesempatan kepada masing-masing dosen dan mahasiswa untuk menganalisis dan menyampaikan pendapat mereka mengenai nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam deskripsi dan silabus matakuliah PKn, dan materi, metode, media, dan sumber belajar yang efektif dan perlu dikembangkan dalam pengemangan model pendidikan karakter dengan pendekatan multikultural dalam pembelajaran PKn di perguruan tinggi. Kegiatan selanjutnya adalah memberikan kesempatan kepada masing-masing peserta (dosen dan mahasiswa) untuk saling menanggapi dan melengkapi pendapat mereka, merumuskan hasil FGD tersebut secara singkat dan lengkap dalm bentuk pointers yang menggambarkan prototype model pendidikan karakter dengan pendekatan multikultural dalam pembelajaran PKN di perguruan tinggi, dan terakhir, menyampaikan hasil rumusan tersebut kepada peserta untuk mendapatkan persetujuan 24 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 bersama. Hasil FGD berupa pointers yang menggambarkan prototype model pendidikan karakter dengan pendekatan multikultural dalam pembelajaran PKN di perguruan tinggi dan akan menjadi bahan utama dalam penyusunan desain pembelajaran. HASIL DAN PEMBAHASAN Daya Dukung Perguruan Tinggi Ketersediaan daya dukung perguruan tinggi menyangkut penyajikan matakuliah PKn, kurikulum dan perangkat pembelajaran, tenaga dosen, dan perangkat pembelajaran. Matakuliah PKn disajikan di semua perguruan tinggi lokasi penelitian sebagai matakuliah yang wajib ditempuh oleh semua mahasiswa yang disajikan pada semester-semester awal antara semester ke 1 s.d 4. Hampir di semua perguruan tinggi disajikan dalam 2 SKS/JS. Hanya di Prodi Kesehatan Universitas Nusantara PGRI Kediri yang disajikan dalam 3 SKS/JS. Di semua perguruan tinggi lokasi sudah tersedia kurikulum dalam bentuk deskripsi, silabus, atau RPS untuk matakuliah PKn yang disusun secara bersama-sama di antara Tim Dosen PKn. Dilihat dari ketersediaan dosen matakuliah PKn, semua perguruan tinggi mempunyai dosen PKn dalam jumlah yang cukup dan kualifikasi yang baik. Di Universitas Negeri Malang 2 (dua) orang dari 22 (dua puluh dua) orang dosen PKn berpendidikan S2. Hampir semuanya penah mengikuti Suscadoswar dan Pentaloka dengan berstatus sebagai dosen tetap. Hanya 1 (satu) orang kolonel yang berasal dari instansi ABRI. Latar belakang pendidikan mereka beraneka ragam, mulai dari Sarjana atau Magister Pendidikan, Hukum, dan Sosial Politik. Di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya setiap program stusi mempunyai 1 (satu) atau 2 (dua) dosen PKn yang pada umumnya berpendidikan S2. Diantara mereka telah mengkoordinasikan dengan bergabung dalam NCCE dengan anggota 17 (tujuh belas) orang dosen. Di Universitas Pesantren Darul Ulum Jombang mempunyai 7 (tujuh) dosen PKn yang semuanya berpendidikan S2 dan tergabung dalam Konsorsium PKn di bawah Wakil Rektor I. Di Universitas Merdeka Pasuruan ada 4 (empat) orang dosen PKn dengan latar belakang pendidikan bidang hukum dan ekonomi. Di Universitas Nusantara PGRI Kediri, dari 8 (delapan) orang dosen PKn, 7 (tujuh) orang berpendidikan S2 dan 1 (satu) orang S3 dengan latar belakang pendidikan bidang hukum, PPKn, dan sospol. Sedang di IKIP PGRI Madiun dari 5 (lima) dosen PKn, 2 (dua) orang berpendidikan S3 dan 3 (tiga) orang Magister dari bidang Pendidikan dan manajemen. Di lihat dari segi karakteristik sosial budaya mahasiswa, ternyata di semua perguruan tingggi lokasi penelitian mahasiswanya cukup homogin. Sebagian besar berasal dari etnis/suku Jawa dan Madura. Namun demikian ada juga sebagian kecil yang berasal dari etnis/suku luar Jawa, seperti NTT, Papua, Kalimantan dan sebagainya. Dilihat dari karakteristik belajarnya, mereka mempunyai disiplin yang cukup tinggi untuk hadir mengikuti perkuliahan, sebab di hampir semua perguruan tinggi lokasi penelitian mensyaratkan kehadiran mahasiswa dalam prosesntase tertentu. Berdiskusi dan mencari sendiri bahan materi kuliah melalui berbagai sumber merupakan karakteristik belajar mereka. Tugas membuat makalah atau bentuk lainnya untuk didiskusikan sudah menjadi tradisi yang dilakukan oleh mahasiswa dengan sungguhsungguh di hampir semua perguruan tinggi lokasi penelitian. Di hampir semua perguruan tinggi lokasi penelitian telah mempunyai produk bahan ajar PKn, baik dalam bentuk buku yang diterbitkan secara umum atau internal, hand out, maupun dalam bentuk lain. Internet adalah teknologi informasi yang sudah tersedia dan dapat diakses secara bebas di semua perguruan tinggi lokasi penelitian. Hanya saja ketersediaan media pembelajaran dalam bentuk film, video, gambar, poster dan sejenisnya yang masih sangat kurang di semua perguruan tinggi lokasi penelitian. Namun demikian, para dosen biasanya mempunyai beberapa jenis media sendiri secara pribadi untuk mendukung efektifitas pembelajaran. Dari deskripsi data di atas dapat disimpulkan bahwa ketersediaan daya dukung di semua perguruan tinggi lokasi penelitian cukup baik. Jumlah dosen PKn yang cukup dengan kualifikasi yang baik dan ketersediaan deskripsi/silabus/RPS merupakan daya dukung utama untuk mengembangkan model pembelajaran pendidikan karakter. Ketersediaan bahan ajar dan sarana teknologi informasi yang cukup baik akan memudahkan mahasiswa dalam mengerjakan tugas-tugas perkuliahan. Begitu pula kebiasaan mahasiswa menggali sendiri informasi atau materi Atok dkk, Model Pembelajaran Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Multikultural dalam PKn di PT kuliah dan berdiskusi juga menjadi factor pendukung yang sangat berarti. Memang dukungan yang media pembelajaran dalam bentuk film, video, gambar, atau poster sangat kurang, namun hal ini bisa diatasi dengan kreativitas dosen untuk menyediakannya secara mandiri. Persepsi dan Saran tentang Perkuliahan PKn Hasil penggalian gagasan dan pemikiran dari para dosen PKn dan mahasiswa yang sudah dan sedang mengikuti perkuliahan PKn di semua perguruan tinggi lokasi melalui Fokus Grup Diskusi (FGD) dapat disimpulkan sebagai berikut. Berdasarkan pengalamannya, sebagian besar mahasiswa menyatakan cukup senang mengikuti matakuliah PKn. Melalui kuliah PKn mereka dapat memahami masalah-masalah kebangsaan, kenegaraan dan kemasyarakatan secara lebih mendalam. Materinya sangat bermanfaat untuk pembentrukan karakter. Kalau dulu pada waktu di SMA mereka hanya mendapatkan materi pelajaran PKn secara normatif dan teoritik yang disampaikan oleh guru melalui ceramah yang monoton, pada saat mengikuti kkuliah PKn di perguruan tinggi sangat berbeda. Materinya ternyata cukup menantang karena berkaitan dengan isu-isu aktual yang kontroversial. Apalagi perkuliahan dilakukan melalui sistem diskusi yang mendorong mereka harus aktif dalam menggali informasi dan mempresentasikan di hadapan teman-teman mahasiswa dan dosen. Tugas-tugas individual yang diberikan oleh dosen menjadikan mereka lebih banyak bekerja daripada berbicara. Memang masih terdapat beberapa dosen yang memberikan kuliah dengan lebih sering menggunakan metode ceramah. Menurut mereka, sebetulnya metode ceramah tidak apa-apa dan memang masih diperlukan sepanjang berkaitan dengan pendalaman konsep tertentu yang memang memerlukan penegasan dan penjelasan dari dosen. Dalam pandangan para dosen PKn, selama ini mahasiswa cukup aktif dan serius dalam mengikuti perkuliahan PKn. Mahasiswa cukup antusias untuk mendiskusikan masalah-masalah aktual yang berkembang dalam masyarakat. Bahkan banyak pemikiran-pemikiran dan gagasan mereka yang cukup brilliant. Biasanya mereka menyampaikan pendapat dan pemikiran secara lugas dan apa adanya. Dalam perkuliahan PKn, sebagian besar dosen selalu mengaitkan materi kulaih dengan masalah-masalah yang hangat, kasus-kasus baru, dan isu-isu kontroversial yang 25 sedang menjadi sorotan dan pembicaraan masyarakat. Kebanyakan mahasiswa berharap agar materi perkuliahan PKn lebih dikembangkan lagi pada studi dan aksi-aksi sosial yang nyata dengan mengembangkan kegiatan perkuliahan di luar kelas, langsung terjun ke masyarakat, di samping lebih mengintensifkan diskusi dan metode-metode lain yang lebih menarik, seperti bermain peran dan sosio darama untuk lebih menumbuhkan penghayatan. Sedang para dosen semua sepakat jika setiap materi PKn selalu dikaitkan dengan nilai-nilai dan aturan moral dan agama. Mereka memandang perlu untuk menidentiifikasi nilai-nilai karakter tertentu terlebih dahulu secara tegas dalam pnyusunan rencana perkuliahan PKn. Nilai-nilai tersebut di antaranya yang berkaitan dengan karakter sebagai individu, seperti kejujuran dan tanggung jawab, nilai-nilai karakter sosial seperti kepedulian dan kebersamaan, nilai-nilai karakter kebangsaaan seperti cinta tanah air dan patriotism, serta nilai-nilai karakter seabagai warga negara seprti demokratis, partisipasi, dan kepatuhan pada hukum. Materi perkuliahan perlu dikaitkan dengan kasus-kasus baru. Untuk itu diperlukan kepekaan dosen untuk memilih isu-isu kontroversial yang tepat dan bermanfaat, sebab tidak semua isu baru dan kontroversial akan dapat mendukung pembentukan karakter secara positif. Ada pun yang berkaitan dengan model dan metode pembelajaran, mereka sepakat untuk menggunakan model atau metode yang lebih memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk beraktualisasi dan mengembangkan potensi diri. Diskusi yang dilakukan oleh mahasiswa pun tidak harus diakhiri dengan konklusi, sebab mahasiswa juga perlu diberi kesempatan utnuk mengambil kesimpulan sendiri yang mungkinn berbeda antara mahasiswa satu dengan lainnya. Prototipe Model Pembelajaran Berdasarkan beberapa pemikiran yang berkembang dalam FGD tersebut, maka prototype model pembelajaran pendidikan karakter dengan pendekatan multicultural dalam PKn di perguruan tinggi dapat dideskripsikan sebagai berikut. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kerakter dengan pendekatan multikultural. Dosen yang akan menerapkan pembelajaran dengan pendekatan multikultural hendaknya telah memiliki jiwa yang multicultural. 26 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 Mahasiswa yang belajar di kelas pembelajaran dengan pendekatan multikultural, seyogyanya diperlakukan secara multikulturalistis. Kelas pembelajaran berbasis multikultural hendaknya mencerminkan praktik keadilan, keterbukaan, kejujuran, manusiawi dan religius yang serta menggambarkan iklim kelas sebagai laboratorium demokrasi dan sosial-budaya. Di samping itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan pembelajaran dengan pendekatan multikultral di antaranya adalah kompetensi matakuliah yang harus dimiliki oleh mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan, yang meliputi kompetensi kognitif atau pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan sikap, etika atau karakter (attitude, ethic atau disposition). Kompetensi dosen dalam menerapkan pendekatan multikultural; apakah dosen juga sudah menampilkan perilaku dan sikap yang mencerminkan jiwa multicultural. Latar kultural mahasiswa; mahasiswa sudah bisa dipastikan memiliki pilihan menarik terhadap potensi budaya yang ada di daerah masing-masing yang harus menjadi pertimbangan dalam mengembangkan model pembelajaran. Beberapa strategi yang dapat dipilih dan digunakan dalam mengembangkan pembelajaraan dengan pendekatan multikultural, antara lain: strategi kegiatan belajar bersama-sama (Cooperative Learning), yang dipadukan dengan strategi pencapaian konsep (Concept Attainment) dan strategi analisis nilai (Value Analysis); strategi analisis sosial (Social Investigation). Beberapa strategi ini dilaksanakan secara simultan, dan harus tergambar dalam langkah-langkah model pembelajaran. Namun demikian, masing-masing strategi pembelajaran secara fungsional memiliki tekanan yang berbeda. Strategi Pencapaian Konsep, digunakan untuk memfasilitasi mahasiswa dalam melakukan kegiatan eksplorasi budaya lokal untuk menemukan konsep budaya apa yang dianggap menarik bagi dirinya dari budaya daerah masingmasing, dan selanjutnya menggali nilai-nilai yang terkandung dalam budaya daerah asal tersebut. Strategi cooperative learning, digunakan untuk menandai adanya perkembangan kemampuan mahasiswa dalam belajar bersama-sama mensosialisasikan konsep dan nilai budaya lokal dari daerahnya dalam komunitas belajar bersama teman. Dalam tataran belajar dengan pendekatan multikultural, penggunaan strategi cooperative learning, diharapkan mampu meningkatkan kadar partisipasi mahasiswa dalam melakukan rekomendasi nilai-nilai lokal serta membangun cara pandang kebangsaan. Dari kemampuan ini, mahasiswa memiliki keterampilan mengembangkan kecakapan hidup dalam menghormati budaya lain, toleransi terhadap perbedaan, akomodatif, terbuka dan jujur dalam berinteraksi dengan teman (orang lain) yang berbeda suku, agama etnis dan budayanya, memiliki empati yang tinggi terhadap perbedaan budaya lain, dan mampu mengelola konflik dengan tanpa kekerasan (conflict non violent). Selain itu, penggunaan strategi cooperative learning dalam pembelajaran dapat meningkatkan kualitas dan efektivitas proses belajar mahasiswa, suasana belajar yang kondusif, membangun interaksi aktif antara mahasiswa dengan guru, dan mahasiswa dengan mahasiswa dalam pembelajaran. Sedangkan strategi analisis nilai, difokuskan untuk melatih kemampuan mahasiswa berpikir secara induktif, dari setting ekspresi dan komitmen nilainilai budaya lokal (cara pandang lokal) menuju kerangka dan bangunan tata pikir atau cara pandang yang lebih luas dalam lingkup nasional (cara pandang kebangsaan). Bertolak dari keempat strategi pembelajaran di atas, pola pembelajaran dengan pendekatan multikultural dilakukan untuk meningkatkan kesadaran diri mahasiswa terhadap nilai-nilai keberbedaan dan keberagaman yang melekat pada kehidupan siswa lokal sebagai faktor yang sangat potensial dalam membangun cara pandang kebangsaan. Dengan kesadaran diri mahasiswa terhadap nilai-nilai lokal, mahasiswa di samping memiliki ketegaran dan ketangguhan secara pribadi, juga mampu melakukan pilihan-pilihan rasional (rational choice) ketika berhadapan dengan isu-isu lokal, nasional dan global. Mahasiswa mampu menatap perspektif global sebagai suatu realitas yang tidak selalu dimaknai secara emosional, akan tetapi juga rasional serta tetap sadar akan jati diri bangsa dan negaranya. Kemampuan akademik tersebut, salah satu indikasinya ditampakkan oleh mahasiswa dalam perolehan hasil pembelajaran yang dialami. Kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan kegiatan belajar mahasiswa adalah laporan kerja (makalah), unjuk kerja dan partisipasi yang ditampilkan oleh mahasiswa dalam pembelajaran dengan cara diskusi dan curah pendapat, yang meliputi rasional Atok dkk, Model Pembelajaran Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Multikultural dalam PKn di PT berpendapat, toleransi dan empati terhadap menatap nilai-nilai budaya daerah asal teman, serta perkembangan prestasi belajar mahasiswa setelah mengikuti tes di akhir pembelajaran. Selain itu, kriteria lain yang dapat digunakan adalah unjuk kerja yang ditampilkan oleh dosen di dalam melaksanakan pendekatan multikultural dalam pembelajarannya. Dosen yang bersangkutan selalu terlibat dalam setiap fase kegiatan pembelajaran, baik dalam kegiatan diskusi dan refleksi hasil temuan awal, penyusunan rencana tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dalam pelaksaan tindakan, diskusi dan refleksi hasil pelaksanaan tindakan, dan penentuan/ penyususunan rencana tindakan selanjutnya dalam pencapain tujuan pembelajaran. Penyusunan rancangan pembelajaran PKn dengan pendekatan multikultural dapat dilakukan melalui lima tahapan utama, yaitu: (1) analisis isi (content analysis); (2) analisis latar kultural (setting analysis); (3) pemetaan materi (maping contents); (4) pengorganisasian materi (contents organizing) pembelajaran PKn. Tahapan proses dalam merumuskan rancangan pembelajaran PKn tersebut adalah pertama, analisis isi, yaitu proses untuk melakukan identifikasi, seleksi, dan penetapan materi pembelajaran PKn. Proses ini bisa ditempuh dengan berpedoman atau menggunakan rambu-rambu materi yang terdapat dalam Silabus Matakuliah, antara lain mengenai materi standar minimal, urutan (sequence) dan keluasan (scope) materi, kompetensi dasar yang dimiliki, serta ketrampilan yang dikembangkan. Di samping itu, dalam menganalisis materi guru hendaknya juga menggunakan pendekatan nilaimoral, yang karakteristiknya meliputi pengetahuan moral, pengenalan moral, pembiasaan moral dan pelakonan moral. Kedua, analisis latar kultural, yang dikembangkan dari pendekatan kultural dan siklus kehidupan (life clycle), yang di dalamnya mengandung dua konsep, yaitu konsep wilayah atau lingkungan (lokal, regional, nasional dan global); dan konsep manusia beserta aktivitasnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Selain itu, analisis latar juga mempertimbangkan nilai-nilai kultural yang tumbuh dan berkembang serta dijunjung tinggi oleh suatu masyarakat serta kemungkinan kemanfaatannya bagi kehidupan siswa. Ketiga, pemetaan materi pembelajaran yang berkaitan erat dengan prinsip yang harus 27 dikembangkan dalam mengajarkan nilai dan moral, yaitu prinsip: dari yang mudah ke sukar; dari yang sederhana ke sulit; dari konkrit ke abstraks; dari lingkungan sempit/dekat menuju lingkungan yang meluas. Pengorganisasian materi, dengan pendekatan multikultural yang dilakukan dengan memperhatikan prinsip “4 W dan 1 H”, yaitu: What (apa), Why (mengapa), When (kapan), Where (di mana) dan How (bagaimana). Dalam rancangan pembelajaran, kelima prinsip ini, harus diwarnai oleh ciri-ciri pembelajaran dengan multikultural, dalam menuju pelakonan (experiences) nilaimoral yang berlandaskan pada asas empatisitas tinggi dan kejujuran serta saling menghargai keunggulan masing-masing. Selain itu, pengorganisasian materi pembelajaran perlu memperhatikan beberapa dimensi yang mampu menggambarkan karakteristik kerja multikultural, antara lain dimensi isi/materi (content integration), dimensi konstruksi pengetahuan (konwledge construction), dimensi pengurangan prasangka (prejudice reduction); dimensi pendidikan yang sama/adil (eguitable pedagogy), dan dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan sruktur sosial (empawering school culture and social structure). Kesemuanya dilakukan dengan memberdayakan metode pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk bermultikultural. Pelaksanaan pembelajaran pendidikan karakter dengan pendekatan multicultural dalam PKn dikemukakan dalam Tabel 1. Berdasarkan prototype di atas maka kerangka modul pembelajaran yang hendak dikembangkan terdiri dari judul, identitas, tujuan pembelajaran, nilai karakter, petunjuk penggunaan modul, kegiatan pembelajaran hingga lima langkah, dan evaluasi. Judul berisikan tema, topik, atau kompetensi yang akan dipelajari. Identitas berisi deskripsi nama dan kode matakuliah (PKn), tema/topik/kompetensi yang dipelajari, identitas prodi/jurusan/fakultas/ perguruan tinggi, waktu yang diperlukan, dan dosen pembina. Tujuan Pembelajaran berisi tentang deskripsi tujuan pembejalaran yang hendak dicapai untuk setiap kegiatan pembelajaran. Nilai karakter berisi tentang deskripsi nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan selama proses pembelajaran. Petunjuk penggunaan modul berisi tentang deskripsi petunjuk mengenai apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa dalam menggunakan modul pembelajaran. Kegiatan belajar satu tentang studi eksplorasi berisi tentang deskripsi mengenai 28 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 Tabel 1: Tahapan Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Multikultural dalam PKn No. Tahap Kegiatan Deskripsi Kegiatan 1. Orientasi Dosen memberikan penjelasan singkat tentang kompetensi dan materi yang akan dipelajari yang berkaitan yang mengandung unsur multikultral. Dosen juga menjelaskan urgensi atau manfaat dari mempelajari kompetensi atau materi tersebut. Selanjutnya dosen menyampaikan tugas yang harus dikerjakan mahasiswa dan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menyamakan persepsi dan pemahaman terhadap tugas yang harus mereka kerjakan. 2. Studi eksplorasi Menugaskan kepada mahasiswa untuk melakukan eksplorasi terhadap materi pembelajaran yang mengandung unsur multikultural yang berasal dari daerah asalnya masing-masing (lokal), baik yang berkaitan dengan diri sendiri maupun lingkungan sosial-budaya (daerah asal), dengan ketentuan: (a) memilih masalah yang menarik bagi mereka, bisa masalah stereotipe, suku, agama, ras/etnis, bahasa daerah, adat-kebiasaan, kesenian dan organisasi sosial setempat; (b) menggambarkan bagaimana ekspresinya (perangkat dan tampilan); (c) menggali nilai-nilai dan landasan filosofik yang digunakan oleh masyarakat asal siswa; dan (d) memproyeksikan prospek nilai-nilai dan filosofi dari masalah terpilih dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dan bernegara. 3. Presentasi Mahasiswa mempresentasikan hasil eksplorasi (bisa individual atau kelompok) terhadap masalah lokal yang menarik bagi dirinya, di hadapan teman atau kelompok lain. 4. Peer group analysis Mahasiswa atau kelompok lain diminta untuk mengalisis dan memberi komentar terhadap presentasi hasil eksplorasi masalah terpilih. Secara bergiliran masing-masing mahasiswa atau kelompok menyajikan hasil analisisnya. Mahasiswa dan dosen merekam pemikiran, komentar, tanggapan, dan masukan yang muncul di antara mereka. 5. Expert opinion Dosen memberikan komentar dan analisis mengenai hasil eksplorasi yang dipresentasikan dan beberapa komentar atau tanggapan yang muncul dari mahasiswa. Kepada mahasiswa juga diberi kesempatan untuk memberikan masukan atau saran berkaitan dengan tampilan atau penyajian mahasiswa lainnya. 6. Refleksi dan rekomendasi Dosen bersama mahasiswa melakukan refleksi dan memberikan rekomendasi terhadap masalah yang dikaji. kegiatan eksplorasi apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa berkaitan dengan materi pembelajaran yang mengandung unsur multikultural yang berasal dari daerah asalnya masing-masing (lokal), baik yang berkaitan dengan diri sendiri maupun lingkungan sosial-budaya (daerah asal). Kegiatan belajar dua tentang presentasi berisi tentang deskripsi tugas presentasi yang harus dilakukan oleh mahasiswa, dan bagaimana presentasi harus dilakukan. Kegiatan belajar tiga Peer Group Analysis berisi tentang deskripsi mengenai tugas mahasiswa atau kelompok selain penyaji untuk mengalisis dan memberi komentar terhadap presentasi hasil eksplorasi masalah terpilih. Bagaimana analisi harus dilakukan oleh oleh masing-masing mahasiswa atau kelompok serta peran dosen dalam analisis tersebut. Kegiatan belajar empat Expert Opinion, berisikan tentang deskripsi tentang bagaimana dosen dalam memberikan komentar dan analisis mengenai hasil eksplorasi yang dipresentasikan dan beberapa komentar atau tanggapan yang muncul dari mahasiswa, dan pemberian kesempatan kepada mahasiswa untuk memberikan masukan atau saran berkaitan dengan tampilan atau penyajian mahasiswa lainnya. Kegiatan belajar lima tentang Refleksi dan Rekomendasi, berisikan tentang deskripsi bagaimana dosen bersama mahasiswa melakukan refleksi dan memberikan rekomendasi terhadap masalah yang dikaji. Evaluasi berisi tentang deskripsi proses, tata cara, teknik, dan waktu pelaksanaan evaluasi hasil pembelajaran. SIMPULAN Ketersediaan daya dukung perguruan tinggi untuk mengembangkan model pembelajaran pendidikan karakter dengan pendekatan multikultural dalam PKn cukup tersedia dengan baik, baik dilihat dari jumlah dan kualifikasi dosen, Atok dkk, Model Pembelajaran Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Multikultural dalam PKn di PT ketersediaan kruikulum/silabus, sarana teknologi informatika, maupun kultur belajar mahasiswa. Satu-satunya daya dukung yang kurang tersedia adalah ketersediaan media pembelajaran berupa film, video, gambar, poster, dan sejenisnya. Persepsi dan kesan dosen dan mahasiswa terhadap perkuliahan PKn cukup positif dan merasakan bahawa matakuliah PKn cukup bermanfaat untuk membentuk karakter mahasiswa dan memahami masalah-masalah kebangsaaan, kenegaraan, dan kemasyarakatan yang aktual. Matakuliah PKn akan semakin menarik dan bermanfaat jika ditekankan pada penanaman nilai dan dikembangkan dalam bentuk studi dan aksi sosial dengan pembelajaran di luar kelas. Kerangka pikir dari prototipe model pembelajaran pendidikan karakter dengan pendekatan multikultural dalam PKn perlu dikembangkan dengan memperhatikan kompetensi matakuliah yang harus dimiliki oleh mahasiswa, kompetensi dosen dalam menerapkan pendekatan multicultural, latar kultural mahasiswa, dan karakteristik materi pembelajaran yang bernuansa multikultural. Sedang strategi yang dapat dipilih dan digunakan antara lain: strategi kegiatan belajar bersama-sama (Cooperative Learning), yang dipadukan dengan strategi pencapaian konsep 29 (Concept Attainment) dan strategi analisis nilai (Value Analysis); strategi analisis sosial (Social Investigation) yang dilaksanakan secara simultan. Adapun penyusunan rancangan pembelajarannya dapat dilakukan melalui lima tahapan utama, yaitu: (1) analisis isi (content analysis); (2) analisis latar kultural (setting analysis); (3) pemetaan materi (maping contents); (4) pengorganisasian materi (contents organizing) pembelajaran PKn; dan (5) menuangkan dalam format pembelajaran. Dalam pelaksanaannya model pembelajaran pendidikan karakter dengan pendekatan multikultural dalam PKn dapat dilakukan melalui tahapan: Studi Eksplorasi, Presentasi, Peer Group Analysis, Expert Opinion, dan Refleksi dan Rekomendasi. Secara umum respon mahasiswa terhadap model pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat dikategorikan sangat baik. Dari 10 (sepuluh) aspek yang dinilai, ada 7 (tujuh) aspek yang mendapatkan penilaian sangat baik, dan 3 (tiga) aspek yang mendapatkan penilaian baik. Tidak ada aspek yang dinilai kurang atau tidak baik. Dengan demikian maka menurut penilaian mahasiswa model pembelajaran yang dikembangkan sangat baik dan sangat layak untuk dijadikan sebagai model pendidikan karakter dalam pembelajaran PKn. DAFTAR RUJUKAN Al-Hakim, S. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Konteks Indonesia. Malang. UM Press. Ali, M. 2003. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Jakarta. PT Kompas Media Nusantara. Banks, J.A. 1993. “Multicultural Educatian: Historical Development, Dimentions and Practrice” In Review of Research in Education, vol. 19, edited by L. DarlingHammond. Washington, D.C.: American Educational Research Association. Banks, J.A. 1994-a. Multiethnic Education: Theory and Practice, 3rd ed. Boston: Allyn and Boston. Jalaludin, 2012. Membangun SDM Bangsa Melalui Pendidikan Karakter. Jurnal Penelitian Pendidikan. UPI. Vol 13 (2):134-149. Puskur, 2011. Pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025. Republik Indonesia. 2010. Grand Design Karakter Nasional. Kementerian Pendidikan Nasional. Republik Indonesia., 2010. Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025. Jakarta. Kementerian Pendidikan Nasional. avage, TV., & Armstrong. 1996. Effective Teaching in Elementery Social Studies: Chalanges for Tomorrow’s Wolds. Philadelphia. Harcourt Brace College Publishers. 30 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 Soesetijo. 2010. Identifikasi Psikologis Siswa Sekolah Dasar Yang Berpotensi untuk Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jurnal Pendidikan. Uniro. Vol 2 (2): 458-268. Wiriatmadja. 2009. Perspektif Multikultural dalam Pengajaran Sejarah. Jurnal Pendidikan. Vol 15 (4): 368-382. BHINNEKHA TUNGGAL IKA: KHASANAH MULTIKULTURAL INDONESIA DI TENGAH KEHIDUPAN SARA Gina Lestari Program Studi Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada Jl. Bulak Sumur Yogyakarta email: [email protected] Abstract: High degree of diversity in Indonesia is an axis that easily burned by confrontation of identity (tribes, religion, and race). That’s why comprehensive understanding regarding Indonesian diversity is needed. Study about culture diversitynot only gives us comprehensive picture but more to that, it can raise dialogue about Indonesia unity in diversity. Multiculturalism was given, but Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity) was heritage that need to be preserved. Keywords : Bhinneka Tunggal Ika, multicultural Abstrak:Tingkat keragaman bangsa Indonesia yang tinggi merupakan sumbu yang mudah tersulut oleh konfrontasi- konfrontasi SARA. Oleh karena itu, butuh sebuah penelaan konfrehensif berkaitan dengan ciri kebhinekaan Indonesia. Suatu kajian tentang keanekaragaman budaya bukan hanya memberikan gambaran komprehensif namun lebih dari itu,dapat menumbuhkan dialog persepsi kerukunan SARA ditengah kehidupan berbangsa. Multikulturalisme merupakan given dari Tuhan, namun Bhineka Tunggal Ika merupakan titipan dari nenek moyang kita yang harus di jaga dan dilestarikan. Kata Kunci: Bhineka Tunggal Ika, Multikultural Negara Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia, hal ini dapat terlihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang begitu kompleks, beragam, dan luas. “Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain yang masingmasing plural (jamak) dan sekaligus juga heterogen “aneka ragam” (Kusumohamidjojo, 2000:45)”. Sebagai negara yang plural dan heterogen, Indonesia memiliki potensi kekayaan multi etnis, multi kultur, dan multi agama yang kesemuanya merupakan potensi untuk membangun negara multikultur yang besar “multikultural nationstate”. Keragaman masyarakat multikultural sebagai kekayaan bangsa di sisi lain sangat rawan memicu konflik dan perpecahan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nasikun (2007: 33) bahwa kemajemukan masyarakat Indonesia paling tidak dapat dilihat dari dua cirinya yang unik, pertama secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat, serta perbedaan kedaerahan, dan kedua secara vertikal ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Pluralitas dan heterogenitas yang tercermin pada masyarakat Indonesia diikat dalam prinsip persatuan dan kesatuan bangsa yang kita kenal dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang mengandung makna meskipun Indonesia berbhinneka, tetapi terintegrasi dalam kesatuan. Hal ini merupakan sebuah keunikan tersendiri bagi bangsa Indonesia yang bersatu dalam suatu kekuatan dan kerukunan beragama, berbangsa dan bernegara yang harus diinsafi secara sadar. Namun, kemajemukan terkadang membawa berbagai persoalan dan potensi konflik yang berujung pada perpecahan. Hal ini menggambarkan bahwa pada dasarnya, tidak mudah mempersatukan suatu keragaman tanpa didukung oleh kesadaran masyarakat multikultural.Terlebih, kondisi masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang paling majemuk di dunia, selain Amerika 31 32 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 Serikat dan India. Sejalan dengan hal tersebut, Geertz (dalam Hardiman, 2002: 4) mengemukakan bahwa Indonesia ini sedemikian kompleksnya, sehingga sulit melukiskan anatominya secara persis. Negeri ini bukan hanya multietnis (Jawa, Batak, Bugis, Aceh, Flores, Bali, dan seterusnya), melainkan juga menjadi arena pengaruh multimental (India, Cina, Belanda, Portugis, Hindhuisme, Buddhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, Kapitalis, dan seterusnya). Negara yang memiliki keunikan multientis dan multimental seperti Indonesia dihadapkan pada dilematisme tersendiri, di satu sisi membawa Indonesia menjadi bangsa yang besar sebagai multicultural nation-state, tetapi di sisi lain merupakan suatu ancaman. Maka bukan hal yang berlebihan bila ada ungkapan bahwa kondisi multikultural diibaratkanseperti bara dalam sekam yang mudah tersulut dan memanas sewaktuwaktu. Kondisi ini merupakan suatu kewajaran sejauh perbedaan disadari dan dihayati keberadaannya sebagai sesuatu yang harus disikapi dengan toleransi. Namun, ketika perbedaan tersebut mengemuka dan menjadi sebuah ancaman untuk kerukunan hidup, hal ini dapat menjadi masalah yang harus diselesaikan dengan sikap yang penuh toleransi. Menyoal tentang rawan terjadi konflik pada masyarakat multikultur seperti Indonesia, memiliki potensi yang besar terjadinya konflik antarkelompok, etnis, agama, dan suku bangsa. Salah satu indikasinya yaitu mulai tumbuh suburnya berbagai organisasi kemasyarakatan, profesi, agama, dan organisasi atau golongan yang berjuang dan bertindak atas nama kepentingan kelompok yang mengarah pada konflik SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). INDONESIA: MULTICULTURAL NATION STATE Indonesia adalah suatu negara multikultural yang memiliki keragaman budaya, ras, suku, agama dan golongan yang kesemuanya merupakan kekayaan tak ternilai yang dimiliki bangsa Indonesia. Selo Soemardjan (Alfian, 1991: 173) mengemukakan bahwa pada waktu disiapkannya Republik Indonesia yang didasarkan atas Pancasila tampaknya para pemimpin kita menyadari realitas bahwa ditanah air kita ada aneka ragam kebudayaan yang masing-masing terwadahkan di dalam suatu suku. Realitas ini tidak dapat diabaikan dan secara rasional harus diakui adanya. Founding Father bangsa menyadari bahwa keragaman yang dimiliki bangsa merupakan realitas yang harus dijaga eksistensinya dalam persatuan dan kesatuan bangsa. Keragaman merupakan suatu kewajaran sejauh disadari dan dihayati keberadaannya sebagai sesuatu yang harus disikapi dengan toleransi. Kemajemukan ini tumbuh dan berkembang ratusan tahun lamanya sebagai warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia. Hefner (dalam Mahfud, 2009: 83) memaparkan bahwa:Pluralisme kultural di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia, dan Singapura sangatlah mencolok, terdapat hanya beberapa wilayah lain di dunia yang memiliki pluralisme kultural seperti itu. Karena itulah dalam teori politik Barat dasawarsa 1930-an dan 1940-an, wilayah ini, khususnya Indonesia dipandang sebagai “lokus klasik” bagi konsep masyarakat majemuk/ plural (plural society) yang diperkenalkan ke dunia Barat oleh JS Furnivall. Pandangan Hefner yang mengatakan bahwa Indonesia merupakan “lokus klasik” (tempat terbaik/ rujukan) bagi konsep masyarakat majemuk bukan sesuatu yang berlebihan. Hal ini terlihat dari keberagaman yang dimiliki Indonesia sebagai bangsa yang unik dimana hanya beberapa wilayah saja di dunia yang dianugrahi keistimewaan ini. Telaah mengenai keberagaman sebuah bangsa kemudian dikenal dengan konsep multikultural. Banyak ahli mengemukakan bahwa konsep multikultural pada dasarnya merupakan konsepharmoni dalam keragaman budaya yang tumbuh seiring dengan kesederajatan diatara budaya yang berbeda.Harmoni ini menuntut setiap individu untuk memiliki penghargaan terhadap kebudayaan individu lain yang hidup dalam komunitasnya. Dalam masyarakat multikultur, setiap individu maupun masyarakat memiliki kebutuhan untuk diakui (politics of recognition) yang menuntut terciptanya penghargaan tertentu secara sosial. Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Menurut Bhiku Parekh (dalam Azra 2006: 62) mengatakan bahwa Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan. Sejalan dengan pandangan tersebut, Musa Asy’arie (dalam Mahfud, 2005: 103) mengatakan Lestari dkk, Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia di Tengah Kehidupan Sara bahwa “multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat”. Kearifan akan tumbuh jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural sebagai kepastian hidup yang kodrati.Kearifan dapat tumbuh baik dalam kehidupan diri sebagai individu yang multidimensional maupun dalam kehidupan masyarakat yang lebih kompleks. Dengan demikian, muncul suatu kesadaran bahwa keanekaragaman dalam realitas dinamika kehidupan adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak, diingkari, apalagi dimusnahkan. “Multikulturalisme adalah landasan budaya yang terkait dengan pencapaian civility (keadaban), yang amat esensial bagi terwujudnya demokrasi yang berkeadaban, dan keadaban yang demokratis (Azra, 2004)”. Kedalam atau civility yang dikemukakan oleh Azra sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara (Tilaar, 2007: 33) yang menyatakan bahwa “kebudayaan Indonesia merupakan puncak-puncak budaya dari masing-masing suku bangsa. Puncak-puncak kebudayaan dari suatu suku bangsa merupakan unsur-unsur budaya lokal yang dapat memperkuat solidaritas nasional”. Solidaritas nasional terbentuk dari keadaban yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Dengan pencapaian civility (keadaban) di masyarakat, maka akan terbentuk suatu kekuatan solidaritas nasional. Pengembangan wawasan multikultural sebagaimana telah dipaparkan di atas mutlak harus dibentuk dan ditanamkan dalam suatu kehidupan masyarakat yang majemuk. Jika hal tersebut tidak ditanamkan dalam suatu masyarakat yang majemuk, maka kemajemukan akan membawa pada perpecahan dan konflik. Indonesia sebagai bangsa yang multikultural harus mengembangkan wawasan multikultural tersebut dalam semua tatanan kehidupan yang harmonis. Menurut Djaka Soetapa (Sopates dkk, 1998: 108) “...kemajemukan itu juga dapat menjadi bencana bagi bangsa Indonesia, karena kemajemukan dapat menjadi sumber dan potensi konflik yang dapat mengganggu dan bahkan mengancam kesatuan dan persatuan bangsa”. DILEMA MULTIKULTURAL BANGSA INDONESIA Keadaan Indonesia yang multikultur akan sangat bergantung pada bagaimana masyarakat 33 Indonesia membawanya. Keadaan ini bisa dibawa pada jalur yang menjadikannya suatu kekayaan dan kekuatan bangsa, namun bisa pula dibawa pada jalur yang akan menjadi pemecah belah dan penyulut konflik di masyarakat. Banyak para pakar yang tertarik untuk mengamati kemajemukan bangsa Indonesia, sehingga muncul berbagai pandangan yang beragam dalam menyikapi identitas Indonesia dan keadaannya yang multikultur. Penulis mencoba memaparkan berbagai pandangan para ahli yang membahas tentang konsep Indonesia sebagai bangsa yang multikultur. Berkaitan dengan hal tersebut, Amirsyah (2012: 51) memandang bahwa kemajemukan masyarakat sebagaimana yang ada di Indonesia adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin disangkal. Tidak ada cara lain bagi bangsa ini kecuali dengan berkomitmen kuat merawat keragaman menjadi sebuah kemungkin dan tidak mentolelir segala bentuk tindakan yang dapat menghancurkan tatanan masyarakat majemuk. Kemungkinan munculnya benih-benih percekcokan pada masyarakat multikultur sangat rawan terjadi jika masyarakat multikultur menyikapi perbedaan sebagai suatu pemisah dan menimbulkan sifat ke-kita-an (yang lain bukan bagian dari kita). Masyarakat yang hidup ribuan tahun dalam keadaan yang multikultur tidak berarti telah immune terhadap kemungkinan-kemungkinan gesekan konflik etnis, budaya, agama, sosial, politik dan ekonomi. Pengalaman lama hidup dalam perbedaan ternyata tidak cukup untuk menanamkan rasa bangga akan perbedaan dan memandangnya sebagai suatu kekayaan bangsa. Menyikapi hal tersebut, Azyumardi Azra (dalam Budimansyah dan Suryadi, 2008: 31) memandang bahwa pembentukan masyarakat multikultural Indonesia yang sehat tidak bisa secara taken for granted atau trial and error. Harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated dan berkesinambungan. Salah satu strategi penting itu adalah pendidikan multikultural yang dapat berlangsung dalam setting pendidikan formal atau informal, langsung atau tidak langsung. Keragaman sebagai rahmat dari Tuhan tidak lepas dari tantangan yang sering kali muncul di tengah kehidupan masyarakat. Menyikapi perbedaan dengan intoleransi, memperdebatkan perbedaan-berbedaan, mempertentangkan orang lain yang tidak sama dengan dia, dan bahkan melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang memicu konflik masal. Hal ini sangat rentan terjadi 34 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 pada masyarakat Indonesia yang dihadapkan pada perubahan dan kebebasan era globalisasi. Will Kymlicka (2002:289) memandang bahwa “suatu masyarakat yang dilandasi keragaman yang sangat luas sulit untuk tetap bersatu kecuali apabila anggota masyarakat itu menghargai keragaman itu sendiri, dan ingin hidup di sebuah negeri dengan beragam bentuk keanggotan budaya dan politik”. Sejalan dengan pendapat tersebut, Wingarta (2012:28) memaparkan bahwa munculnya konflik horisontal yang diwarnai SARA sebagaimana terjadi di Ambon, Poso, Sampit merupakan cermin dari bopeng-bopengnya pemaknaan dari Sasanti Bhineka Tunggal Ika. Para pendiri bangsa (founding fathers) saat itu sadar betul, bahwa kemerdekaan Indonesia dibangun di atas beragamnya suku bangsa, agama, adat-istiadat, sosial budaya, bahasa serta kebiasaan yang sangat multikultur. Konflik bernuansa SARA akhir-akhir ini banyak terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Kebanyakan kasus yang terjadi dipicu oleh tindakan seorang atau kelompok tertentu yang intoleran yang kemudian dibawa pada kelompoknya yang lebih luas dengan mengatasnamakan latar belakang ras, suku, agama, dan budaya. Haris (2012:52) mengatakan bahwa “akibat lebih jauh terjadinya konflik horisontal yang dipicu oleh kecemburuan sosial, ego daerah, ego suku, ego agama, dan lainnya. Kesadaran untuk hidup bersama secara damai sesuai makna Bhineka Tunggal Ika mulai luntur”. Akibat ego seorang atau segelintir orang kemudian dibawa menjadi ego kelompok dan golongan tertentu muncul konflik besar yang membawa bencana bagi semua pihak termasuk pihak yang tidak terlibat. Namun demikian, tantangan keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia memiliki optimisme tersendiri untuk menjadi sebuah potensi bukan bibit konflik. Sejalan dengan hal tersebut, Sujanto (2009: 4) memandang bahwa tentang keragaman dan keberbedaan (kemajemukan) ini. Tuhan pun telah menggambarkan pada diri manusia dengan lima jari tangan yang saling berbeda, yang kalau boleh saya sebut ‘sebagai falsafah lima jari’. Fitrah keragaman jari itupun diciptakan dengan masingmasing ciri, fungsi dan peran dari tiap-tiap jari. Apabila kelima jari itu disatukan (bersatu) akan terbangun suatu kekuatan yang sangat luar biasa yang dapat menyelesaikan semua pekerjaan seberat apapun yang ada di muka bumi ini. Falsafah lima jari merupakan contoh sederhana optimisme perbedaan yang bisa menjadi potensi besar untuk melakukan pekerjaan seberat apapun. Bahkan diharapkan bisa merubah suatu tantangan menjadi sebuah peluang. Untuk mewujudkan hal tersebut, masyarakat harus memiliki pandangan yang kuat tentang persatuan dan kesatuan-Raya. Kaelan (dalam Bestari, 2012:71) mengemukakan bahwa “pandangan hidup Pancasila bagi bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika harus merupakan asas bangsa sehingga tidak boleh mematikan keanekaragaman”.Sejalan dengan hal tersebut, Winataputra (2012: 6) mengemukakan bahwa “Pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara kebangsaan Indonesia, yaitu Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI (Kemko Kesra: 2010) perlu ditransformasikan secara fungsional dalam berbagai ranah kehidupan bermasyarakat dan bernegara”. Untuk mentransformasikan Empat pilar kebangsaan tersebut, dibutuhkan kesadaran dari masyarakat dan didukung oleh kebijakan pemerintah yang mendukung terciptanya Bhineka Tunggal Ika. Aeni (2012: 87) memaparkan bahwa kebijakan yang ditempuh adalah menbangun kesejahteraan berbangsa dan bernegara di atas ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam rangka mewujudkan kehidupan rakyat yang sejahtera, rukun, aman, damai, saling menghormati, demokrasi dalam menghadapi globalisasi yang mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa demi terwujudnya stabilitas nasional yang mantap dan tangguh. Peran kebijakan harus didukung dengan kesadaran sehingga kesejahteraan berbangsa dan bernegara dapat terwujud. Jika hal ini sudah disadari bersama, maka gesekan-gesekan konflik yang bernuansa SARA di masyarakat akan bisa diatasi dan bahkan mengubah kemungkinan konflik tersebut menjadi suatu peluang untuk hidup saling melindungi dalam kerukunan. Dalam modul Konsep Wasantara Lemhannas RI (Winataputra, 2012:2) dikemukakan bahwa Persinggungan unsur-unsur SARA secara positif diharapkan juga dapat meningkatkan mutu kehidupan masingmasing unsur, bermanfaat bagi masing-masing pihak baik secara individu maupun kelompok. Selain itu, masing-masing pihak memiliki keunggulan dalam hal tertentu dari pihak yang lain, sehingga dengan berinteraksi akan terjadi hubungan yang saling menguntungkan. Lestari dkk, Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia di Tengah Kehidupan Sara BHINNEKA TUNGGAL IKA CIRI MULTIKULTURALISME BANGSA Keberagaman budaya Indonesia dilengkapi oleh keragaman lain yang ada pada tatanan hidup masyarakat baik perbedaan ras, agama, bahasa, dan golongan politik yang terhimpun dalam suatu ideologi bersama yaitu Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Kansil dan C. Kansil (2006: 25) mengemukakan bahwa “persatuan dikembangkan atas dasar Bhinneka Tunggal Ika, dengan memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan bangsa”. Sehingga Sasanti Bhineka Tunggal Ika bukan hanya suatu selogan tetapi merupakan pemersatu bangsa Indonesia. Keberagaman bangsa berlangsung selama berabad-abad lamanya, sehingga Indonesia tumbuh dalam suatu keragaman yang komplek. Mahfud (2009:10) berpandangan bahwa pada hakikatnya sejak awal para founding fathers bangsa Indonesia telah menyadari akan keragaman bahasa, budaya, agama, suku dan etnis kita. Singkatnya bangsa Indonesia adalah bangsa multikultural, maka bangsa Indonesia menganut semangat Bhinneka Tunggal Ika, hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan persatuan yang menjadi obsesi rakyat kebanyakan. Kunci yang sekaligus menjadi mediasi untuk mewujudkan citacita itu adalah toleransi. Bhinneka Tunggal Ika sebagai kunci dan pemersatu keragaman bangsa Indonesia merupakan ciri persatuan bangsa Indonesia sebagai negara multikultur. Sujanto (2009:28) memaparkan bahwa “lahirnya Sesanti Bhineka Tunggal Ika, berangkat dari kesadaran adanya kemajemukan tersebut. Bahkan kesadaran perlu adanya persatuan dari keragaman itu terkristalisasi kedalam ‘Soempah Pemoeda’ tahun 1928 dengan keIndonesiaannya yang sangat kokoh”. Untuk memahami konsep Bhinneka Tunggal Ika yang tercetus pada Kongres Sumpah Pemuda, penting kiranya penulis memaparkan konsep Bhinneka Tunggal Ika terlebih dahulu. Sujanto (2009: 9) memaparkan bahwa Sesanti Bhineka Tunggal Ika, Sesanti artinya kelimat bijak (wise-word) yang dipelihara dan digunakan sebagai pedoman atau sumber kajian di masyarakat. Bhinneka Tunggal Ika adalah kalimat (sesanti) yang tertulis dipita lambang negara Garuda Pancasila, yang berarti berbagai keragaman etnis, agama, adatistiadat, bahasa daerah, budaya dan lainya yang mewujud menjadi satu kesatuan tanah air, satu bangsa dan satu bahasa Indonesia. 35 Sebagai kalimat bijak, Bhinneka Tunggal Ika memiliki kekuatan besar untuk mempersatukan perbedaan. Namun, hal ini harus didukung oleh kesadaran kita sebagai masyarakat Indonesia yang mampu mewujudkan kalimat bijak tersebut dalam bingkai kesatuan tanah air dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Dibagian pertama modul Wasantara Lemhannas RI 2007 (Sujanto, 2009:1) menjelaskan bahwa: “Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan pada lembaga negara Republik Indoneisa yang ditetapkan berdasarkan PP No. 66 Tahun 1951 yang mengandung arti walaupun berbeda-beda tetap satu”. Berkaitan dengan hal tersebut, Sujanto (2009:9) memandang bahwa “bangunan wawasan ke-Indonesia-an adalah perwujudan dari keinginan bersama untuk dapat mewujudkan kesatuan/ keesaan, manunggalnya keberagaman menjadi satu-kesatuan yang disepakati yaitu Indonesia”. Sumber asal Sesanti Bhinneka Tunggal Ika sebagai kalimat bijak diambil dari Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Empu Tantular pada abad keempat belas. Analisis historis di atas menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia telah menyadari kemajemukan, multietnik dan multi-agamanya sejak dulu. Kesadaran akan kebhinekaan ini kemudian dibangkitkan kembali pada masa perjuangan kemerdekaan untuk menggali semangat persatuan bangsa Indonesia yang ketika itu sedang menanggung penjajahan kolonial. Penjajahan kolonial memberikan rasa senasib sepenanggungan akan keadaan bangsa yang penuh dengan keterbelakangan.Muncul gagasan dan gerakan-gerakan perlawanan hingga kongres Sumpah Pemuda pun terlaksana sebagai inisiatif pemuda Indonesia ketika itu. “Sasanti Bhinneka Tunggal Ika yang tertulis pada lambang negara Garuda Pancasila, harus teraktualisasi ke dalam kehidupan nyata di masyarakat Indonesia dengan lebih baik”. Peristilahan Bhinneka Tunggl Ika dalam bahasa Jawa dapat dimaknai bahwa walaupun kita berbeda-beda, memiliki latar belakang budaya yang berbeda, berbeda ras, etnis, agama, budaya namun kita adalah saudara yang diikat oleh kedekatan persaudaraan dengan rasa saling memiliki, menghargai, dan saling menjaga. Dalam Bhinneka Tunggal Ika tersurat petuah bijak untuk bersatu dalam keberagaman tanpa mempermasalahkan keberagaman, karena dalam keberagaman ditemukan suatu nilai persatuan yang menyatukan semua perbedaan. Tarmizi Taher (Syaefullah, 2007: 193)berpandangan bahwa semboyan 36 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 Bhinneka Tunggal Ika, memberikan pelajaran agar semua penduduk Indonesia menghayati diri mereka sebagai suatu bangsa, satu tanah air, satu bahasa dan satu tujuan nasional yaitu terciptanya sebuah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dan pedoman utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesadaran akan perbedaan harus disikapi seperti tubuh manusia yang ketika salah satu bagiannya sakit yang lainnya akan ikut merasakan. Sebagaimana dikemukakan oleh Richard Falk (dalam Kymlicka, 2002:183) yang memandang bahwa “keragaman masyarakat meningkatkan mutu hidup, dengan memperkaya pengalaman kita, memperluas sumber daya budaya”. Sejalan dengan hal tersebut, “Bagi Bung Karno keragaman etnis masyarakat Indonesia adalah suatu given. Hal ini bisa dimengerti karena ia sangat dipengaruhi oleh semangat Sumpah Pemuda, yang dengan ikrar itu menyatakan persatuan masyarakat Indonesia” (G. Tan, 2008:44). Keragaman sebagai given (pemberian) yang dapat bermakna bahwa keragaman merupakan rahmat yang diberikan Tuhan kepada bangsa Indonesia untuk dijadikan sebagai modal yang oleh Falk dianggap sebagai sarana untuk meningkatkan mutu hidup. Sujanto (2009:90) berpandangan bahwa Sasanti Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna persaudaraan atau perseduluran harus disosialisasikan kepada seluruh rakyat, melalui lembaga-lembaga yang sudah ada seperti lembaga pemerintah, swasta, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga keagamaan, lembaga kepemudaan, agar terbangun hidup yang rukun, damai, aman, toleran, saling menghormati, bekerjasama dan bergotong-royong dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa. SIMPULAN Keragaman dalam masyarakat majemuk merupakan sesuatu yang alami yang harus dipandang sebagai suatu fitrah. Hal tersebut dapat dianalogikan seperti halnya jari tangan manusia yang terdiri atas lima jari yang berbeda, akan tetapi kesemuanya memiliki fungsi dan maksud tersendiri, sehingga jika semuanya disatukan akan mampu mengerjakan tugas seberat apapun. Untuk menyadari hal tersebut, Bhinneka Tunggal Ika memiliki peran yang sangat penting. Pengembangan multikulturalisme mutlak harus dibentuk dan ditanamkan dalam suatu kehidupan masyarakat yang majemuk. Jika hal tersebut tidak ditanamkan dalam suatu masyarakat yang majemuk, agar kemajemukan tidak membawa pada perpecahan dan konflik. Indonesia sebagai bangsa yang multikultural harus mengembangkan wawasan multikultural tersebut dalam semua tatanan kehidupan yang bernafaskan nilainilaikebhinekaan. Membangun masyarakat multikultur Indonesia harus diawali dengan keyakinan bahwa dengan bersatu kita memiliki kekuatan yang lebih besar. DAFTAR RUJUKAN Azra, A. (2002). Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Azra, A. (2006). “Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Perspektif Multikulturalisme”. Dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press. Jakarta: Rineka Cipta. Aeni, K. (2012). “Peran PKn dalam Pengembangan Pendidikan Karakter dan Pengelolaan Model Sosial di Sekolah” dalam Transformasi Empat Pilar Kebangsaan dalam Mengatasi Fenomena Konflik dan Kekerasan: Peran Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia. Bestari, P. (2012). “Mengapa Harus Empat Pilar?” dalam Transformasi Empat Pilar Kebangsaan dalam Mengatasi Fenomena Konflik dan Kekerasan: Peran Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia. Budimansyah, D. dan Suryadi, K. (2008). PKn dan Masyarakan Multikultural. Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Lestari dkk, Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia di Tengah Kehidupan Sara Hardiman, F. B. (2002). Belajar dari Politik Multikulturalisme. Pengantar dalam Kimlicka. (2002). Kewargaan Multikultur: Teori Liberal Mengenal Hal-Hak Minoritas. Terjemahan oleh Edlina Efmini Eddin dari Jurnal Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority. Jakarta: LP3ES. Haris, H. (2012). “Revitalisasi dan Reinterpretasi Pendidikan Pancasila: Upaya Mengatasi Fenomena Konflik Kekerasan Melalui Sektor Pendidikan” dalam Transformasi Empat Pilar Kebangsaan dalam Mengatasi Fenomena Konflik dan Kekerasan: Peran Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia. Hardiman, F. B. (2002). Belajar dari Politik Multikulturalisme. Pengantar dalam Kimlicka. (2002). Kewargaan Multikultur: Teori Liberal Mengenal Hal-Hak Minoritas. Terjemahan oleh Edlina Efmini Eddin dari Jurnal Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority. Jakarta: LP3ES. Kusumohamidjojo, B. (2000). Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan. Jakarta: Grasindo. Mahfud, C. (2005). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nasikun. (2007). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Tilaar, H. A. R. (2007). Mengindonesiakan Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 37 Wingarta. (2012). “Transformasi (Nilai-Nilai Kebangsaan) Empat Pilar Kebangsaan dalam Mengatasi Fenomena Konflik dan Kekerasan: Peran PKn (Perspektif Kewaspadaan Nasional)” dalam Transformasi Empat Pilar Kebangsaan dalam Mengatasi Fenomena Konflik dan Kekerasan: Peran Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia. Sujanto, B. (2009) Pemahaman Kembali Makna Bhineka Tunggal Ika (Persaudaraan dalam kemajemukan. Jakarta: Sagung Seto. Winataputra, U. S. (2012). “Transformasi Nilai-Nilai Kebangsaan untuk Memperkokoh Jatidiri Bangsa Indonesia: Suatu Pendekatan Pendidikan Kewarganegaraan” dalam Transformasi Empat Pilar Kebangsaan dalam Mengatasi Fenomena Konflik dan Kekerasan: Peran Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia. Kansil, C.S.T. dan S.T Kansil, C. (2006). Modul Pancasila dan Kewarganegaraan. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Syaefullah, A. (2007). Merukunkan Umat Beragama. Jakarta: Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu. Tan, M. G. (2008). Etnis Tionghoa di Indonesia (Kumpulan tulisan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK TANAH PERKEBUNAN Ktut Diara Astawa Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang No.5 Malang email:[email protected] Abstract: Land has important position and function for everyone, especially to achieve life prosperity. Claiming rights over a land usually go with different perception of more than one party involved which cause conflict. This research tries to reveal and describe factors of the conflict, parties that involve, strategy to solve the conflict, and the solution. Research shows us that there are so many factors, so many ways to solve the conflict, and big state role in conflict resolution making process. Keywords : conflict, state role, plantation Abstrak: Tanah mempunyai kedudukan dan fungsi penting bagi setiap orang, terutama sebagai ajang untuk mewujudkan kesejahteraan hidup. Dalam proses penguasaan atas tanah ini sering terjadi perbedaan persepsi dan kepentingan para pihak dalam masyarakat yang menyebabkan terjadinya konflik. Penelitian ini berusaha untuk mengungkap dan bertujuan untuk mendeskripsikan faktorfaktor yang menjadi sumber penyebab konflik, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, strategi yang digunakan oleh para pihak dalam proses konflik, cara penyelesaian konflik. Hasil penelitian menunjukan banyak faktor yang menjadi sumber penyebab konflik, ada banyak carayang dilakukan para pihak untuk penyelesaian konflik, dan peran negara yang sangat besar dalam proses penyelesaian konflik. Kata kunci: konflik, peran negara, tanah perkebunan Konflik tanah perkebunan di samping merupakan warisan Orde Baru juga banyak muncul disebabkan oleh kebijaksanaan pembangunan yang “lapar tanah”, baik untuk fasilitas pemerintahan, proyek besar, proyek konsumtif, maupun pengembangan perkebunan. Dalam proses ambilalih tanah yang “dikuasai” rakyat inilah terjadi konflik kepentingan dan perbedaan persepsi antara petani sebagai pemilik tanah dengan PTPN XII atau pemerintah. Konflik kepentingan ini muncul dalam bentuk perlawanan dan gerakan protes, karena kepentingan petani seringkali dikalahkan. Perlawananpetani sebagai upaya mempertahankan hak-haknya diwujudkan dalam berbagai bentuk mulai dari protes bisu hingga dalam bentuk kekerasan melawan kekerasan. Perlawanan petani dalam bentuk kekerasan ini bisa dimaklumi, karena tingkat kekecewaan mereka yang sudah sangat tinggi dan mendalam seperti bara api dalam sekam. Kekecewaan itu mereka salurkan setelah berbagai saluran formal tidak lagi memberikan harapan.Karena itu kekerasan yang dilakukan dalam memperjuangkan hak-haknya seharusnya tidak dipandang negatif, kekerasan merupakan satu-satunya senjata yang tersisa bagi masyarakat yang tidak pernah didengar keresahannya atas intervensi, represi dan ketidakadilan yang dilakukan baik oleh pejabat yang berwenang maupun para pemilik modal.Petani senantiasa berusaha dengan segala upaya untuk menggagalkan sampai para petani merasa yakin bahwa subsistensi mereka terjamin (Scott, 1989).Selanjutnya Scott (1985) menjelaskan, bahwa akibat meluasnya peranan negara di dalam proses transformasi pedesaan, telah mengubah lapisan masyarakat petani kaya, dimana yang kaya menjadi semakin kaya sedangkan yang miskin tetap tinggal miskin bahkan menjadi lebih miskin. Proses perubahan sedemikian inilah yang melahirkan konflik dan resistensi petani miskin menghadapi hegemoni pemilik modal maupun negara.Protes petani hanyalah respon atas kondisi kurang adil yang tidak memuaskan mereka (Landsberger dan Alexsandrov, 1984), yang 38 Astawa, Strategi Penyelesaian Konflik Tanah Perkebunan formatnya amat ditentukan oleh kepada pihak siapa ketidakpuasan itu tertuju dan dalam tingkat bagaimana ketidakpuasan itu dirasakan.Dalam kondisi tertekan sekian lama yang ambang subsistensi ekonomi petani senantiasa terancam, maka bentuk perlawanan dan protes petani seharihari bisa berubah menjadi aksi radikal kolektif. Dengan latar seperti itulah konflik dalam bentuk perlawanan dan aksi protes petani di awal reformasi merebak ke permukaan dengan intensitas konflik pertanahan khususnya tanah perkebunan yang semakin tinggi, kompleks dan bervariasi.Perlawanan petani untuk mempertahankan hak atas tanah garapan juga dilakukan dalam bentuk aksi pendudukan tanah dan penjarahan hasil produksi perkebunan. Siahaan (dalam Susilo, 1997) menyatakan, salah satu aspek yang paling menarik tentang gerakan-gerakan sosial di Jawa adalah merupakan ekspresi akan protes terhadap keadaan-keadaan sosial yang tidak adil atau berbagai kekacauan termasuk pemerasan dan penindasan oleh mereka yang menggunakan kekuasaan. Selanjutnya Siahaan menyatakan, para petani biasanya bersedia mengambil resiko dengan mengadakan konfrontasi langsung apabila mereka menganggap ketidakadilan tidak lagi dapat ditoleransi, dan apabila tuntutan akan kebutuhan mereka melonjak tiba-tiba dan institusi lokal dan nasional serta kondisi kultural cenderung meminta mereka untuk menggunakan jubah kolektif. Hubungan petani dengan tanah sudah demikian eratnya, karena petani merupakan produsen pertanian dengan penguasaan efektif pada tanah, maka mengganggu tanah berarti mengusik statusnya sebagai produsen pertanian,sebagai tulang punggung hidupnya. Memperhatikan fenomena konflik tanah khususnya tanah perkebunan, di samping banyak merupakan masalah yang baru, juga banyak merupakan masalah lama yang bersifat laten muncul kembali. Memang harus diakui bahwa konflik tanah sifatnya sangat mendasar, kompleks dan variatif, karena menyangkut ekonomi, politik, sosial dan kultural.Bagaimanapun peliknya masalah konflik tanah, khususnya konflik tanah perkebunan perlu diakomodasi dan dicarikan solusinya yang menguntungkan semua pihak terutama masyarakat petani lapisan bawah yang bermukim di sekitar wilayah perkebunan. Fenomena ini sangat menarik untuk diteliti dengan maksud agar diperoleh suatu deskripsi utuh tentang cara penyelesaian konflik tanah 39 perkebunan. Hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan acuan penyelesaian konflik pertanahan yang terjadi di daerah lain atau di waktu yang akan datang, dengan melihat fenomena konflik tanah tidak hanya terjadi di wilayah Malang, tetapi juga banyak terjadi di daerah lain. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang menjadi sumber penyebab konflik, pihak-pihak terlibat dalam konflik, strategi yang digunakan oleh para pihak yang terlibat dalam konflik, cara yang digunakan pihak-pihak yang berkonflik dalam penyelesaian konflik, dan peran negara (pemerintah) dalam proses penyelesaian konflik tanah perkebunan. METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatifdengan beberapa dasar pemikiran antara lain:akan diperoleh informasi dari latar yang alamiah, data atau informasi yang didapat dari subyek maupun informan bersifat rinci, mendalam dan utuh. Sedangkan rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, adalah studi kasus, karena lebih menekankan pada proses, serta cara penyelesaian konflik tanah perkebunan. Subyek penelitian dan informan kunci ditentukan dengan teknik snowball yang dapat melengkapi informasi sesuai dengan tujuan penelitian. Subyek penelitian adalah:kelompok masyarakat petani yang mempunyai hubungan kepemilikan atau penguasaan tanah yang dikuasai oleh pihak Kebun Kalibakar, pihak penguasa PTPN XII meliputi administratur perkebunan dan pegawainya,pihak aparat keamanan (polisi dan tentara) yang diberikan tugas menangani dan mengawasi konflik,aparat pemerintah daerah yang memiliki hubungan secara langsung dalam konflik tanah perkebunan. Instrumen penelitian ini adalah orang (peneliti) yang bersangkutan. Untuk mempermudah pengumpulan atau perekaman data danagar proses pengumpulan data tidak bias, maka dalampengumpulan atau perekaman data digunakan pedoman wawancara dan pedoman observasi. Pengumpulan data dilaksanakan melalui tiga tahap kegiatan yang mencakup: proses memasuki lokasi penelitian (getting in), berada di lokasi penelitian (getting along) dan proses pengumpulan data (logging the data).Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah 40 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 wawancara mendalam, Observasi, dokumentasi, pengecekan keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi, yaitu pengecekan secara berganda terhadap subyek atau sumber data, metode, dan waktu atau tempat.Pelaksanaan teknik pemeriksaan keabsahan data didasarkan pada sifat kriteria yang digunakan yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), ketergantungan (dependability) dan kepastian (conformability). Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif, kemudian dilakukan dalam dua tahap, yaitu: tahap pertama, analisis data pada waktu proses pengumpulan data yang dilakukan dengan digunakan metode interaktif, yang dilakukan melalui tiga kegiatan, yaitu pengumpulan data, reduksi data, dan analisis data, dan tahap kedua, analisis data dilakukan setelah proses pengumpulan data selesai seluruhnya. Untuk menganalisis data ini digunakan teknik analisis kualitatif dengan penerapan analisis domain dan analisis taksonomi. Analisis domain dilakukan untuk memperoleh gambaran atau pengertian yang bersifat umum dan menyeluruh tentang karakteristik cara menyelesaiakan konflik yang digunakan oleh pihak-pihak yang berkonflik. Sedangkan analisis taksonomi, digunakan untuk memperoleh pengertian yang lebih rinci dan mendalam tentang suatu kategori (domain). Pada analisis taksonomi, fokus penelitian ditetapkan terbatas pada domain tertentu yang berguna untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena yang menjadi sasaran utama penelitian. HASIL Beberapa faktor yang menjadi sumber penyebab konflik adalah: Pertama, Pelaksanaan program landreform. Fenomena konflik dalam hubungan petani dengan pihak perkebunan sudah nampak sejak awal tahun 1951, ketika tanah perkebunan yang telah diduduki oleh rakyat diminta kembali oleh pemiliknya. Pelaksanaan program landreform tahun 1964 yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatasi kelangkaan tanah dengan membagikan sebagian tanah perkebunan kepada para petani mengandung konflik laten yang sampai sekarang belum tuntas; Kedua, Diterbitkannya izin perpanjangan HGU No. 1 dan 2 tahun 1992 untuk PTPN XII Kebun Kalibakar, memancing keresahan petani.Para petani memprotes dikeluarkannya izin perpanjangan HGU Kebun Kalibakar oleh Pemerintah, dan meminta agar tanah Kebun Kalibakar dikembalikan kepada petani. Alasannya, karena tanah Kebun Kalibakar dulu pernah digarap oleh nenek moyangnya atas izin pemerintah Jepang tahun 1942, karena perkebunan diterlantarkan oleh pemiliknya; Ketiga, Aksi pendudukan tanah perkebunan yang dilakukan oleh warga yang terkenal dengan sebutan Hutan TT- seluas 22,5 hekta izin Kepala Desa. Dengan alasan bahwa Hutan TT tersebut adalah tanah bandha desa atau tanah titisara yang dipinjam oleh PTPNXII sejak tahun 1960. Karena klaim tanah Hutan TT sebagai tanah bengkok Desa mengalami kegagalan, kemudian, Pihak LSM Kosgoro dan tokoh-tokoh masyarakat Simojayan menyatakan: terdapat kelebihan tanah seluas 579,2830 hektar yang sebagian besar masih dikuasai oleh PTPN XII sampai sekarang. Isu kelebihan tanah yang dikuasai oleh PTPN XII ini menimbulkan kemarahan warga dengan membabat dan menguasai tanah perkebunan; Keempat, Perbedaan persepsi mengenai status hak atas tanah antara para petani dan PTPN XII. Para petani berkeyakinan bahwa tanah perkebunan itu adalah tanah warisan nenek moyangnya, karena nenek moyang mereka menggarap atas ijin pemerintah Jepang. Sementara itu, PTPN XII, menyatakan secara yuridis, pendudukan tanah tidak menghapus hak atas tanah.Hak atas tanah hapus apabila masa berlakunya sudah habis, diserahkan kepada negara atau dicabut oleh negara; Kelima, Rekrutmen tenaga kerja PTPN XII.Rekutmen tenaga kerja (buruh) yang dilakukan oleh pihak PTPN XII dinilai oleh para petani bersifat diskriminatif dan cenderung eksploitatif. Dalam rekrutmen tenaga kerja (buruh), tindakan PTPN XII mengambil tenaga kerja (buruh) dari luar desa, dirasakan para petani sangat merugikan, di samping menimbulkan pengangguran juga menimbulkan kemiskinan, karena sumber daya ekonomi desa dikuras dan sebagian besar dibawa ke luar dari desa; Keenam Pengangguran, tunawisma dan kecemburuan sosial. Dari struktur demografis menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang menghuni desa sangat padat dan keterampilannya hanya terbatas dalam bidang pertanian.Tidak meratanya kesempatan dalam memperoleh lapangan kerja sektor pertanian, mengakibatkan Astawa, Strategi Penyelesaian Konflik Tanah Perkebunan terjadi pengangguran.Perkembangan penduduk yang semakin meningkat dapat mengakibatkan terjadinya fragmentasi pemilikan tanah, bahkan meningkatkan jumlah penduduk tuna kisma dan menyempitnya tanah pertanian.Kecemburuan sosial ini semakin menguat karena tanah yang dikuasai hasil produksi perkebunan yang melimpah mengalir ke luar desa dan warga desa tidak dapat menikmati.Sementara itu pihak PTPXII dirasakan tidak peduli dengan dengan kondisi kemiskinan warga masyarakat di sekitarnya.Kondisi kesenjangan hubungan sosial ini menimbukan kecemburuan sosial dan menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik; Ketujuh, Struktur Sosial Ekonomi Masyarakat, terutama masalah sempitnya penguasaan lahan pertanian, masalah permodalan, masalah pemasaran dan harga hasil pertanian yang cenderung berfluktuasi.Sempitnya penguasaan tanah bagi rumah tangga ini tidak hanya disebabkan oleh redistribusi tanah, tetapi juga oleh kebijakan hasil musyawarah desa untuk mengambil tanah warga yang menguasai tanah lebih dari satu hektar untuk digunakan sebagai tanah kas desa, yang disebut tanah guntingan. Pada kenyataannya, sekarang jni rata-rata rumah tangga petani menguasai tanah sekitar 0,2 hektar. Penguasaan tanah yang sempit sudah tentu sangat berpengaruh terhadap rendahnya pendapatan petani dan pemupukan modal. Terbatasnya kemampuan permodalan (uang) petani mengaki-batkan petani sangat bergantung kepada rentenir (petani kaya), karena petani kecil tidak mempunyai akses terhadap fasilitas kredit yang disediakan pemerintah melalui bank, dan Kedelapan, Tidak ada saluran institusi sosial yang representatif untuk dapat mengakomodasikan nilai, aspirasi dan kepentingan yang bertentangan, sekaligus mampu meredusir konflik menuju ke kesepakatan bersama (konsensus). Aktor utama pihak-pihak yang terlibat konflik tanah perkebunan, adalah pihak masyarakat petani dan pihak PTPN XII. Para pendukung petani berasal dari kelompok kepentingan(interest groups) yang terlibat secara intesif dalam konflik yang terjadi. Kelompok kepentingan pendukung petani ini dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) kelompok advokasi yang diwakili oleh LBH Kosgoro dan. LBH. (2) kelompok organisasi politik yang diwakili oleh PPP dan Golkar. (3) kelompok organisasi sosial yang diwakili oleh Forkotmas (Forum Komunikasi Petani Malang Selatan) dan Papanjati 41 (Paguyuban Petani Jawa Timur). Kelompok advokasi (LBH) terlibat secara intensif atas permintaan para petani untuk memberikan bantuan hukum bagi petani dalam memperjuangkan hak atas tanah yang dikuasai oleh PTPN XII Kebun Kalibakar. Para pendukung PTPN XII terdiri dari, yaitu: (a) kelompok Karyawan (Staf dan nonstaf, buruh, mandor dan centeng); (b) lembaga advokasi yang diwakili oleh BKBH Unibraw Malang, dan (c) komitra (Komite Untuk Warga Miskin dan Penyelamatan Tanah Negara). Dukungan mereka terhadap pihak PTPN XIIdengan alasan untuk menandingi aksi-aksi kekerasan para petani yang terlibat dalam konflik. Bagi para petani, tujuan konflik adalah mendapatkan sumber daya tanah yang sangat penting bagi kelangsungan hidup keluarganya, sedangkan bagi PTPN XII, tujuan konflik adalah mempertahankan tanah yang telah dikuasai secara sah berdasarkan Sertifikat HGU Nomor 1 dan 2 tahun 1992 yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Bagi kedua belah pihak, terutama para petani, tanah tidak hanya mempunyai fungsi ekonomi, tetapi juga mempunyai fungsi sosial dan kultural, sebagai ajang aktivitas dan hubungan kultural. Dalam proses konflik kedua belah pihak terorganisasikan dan dikendalikan dengan baik sehingga cenderung konflik tidak mengandung kekerasan, terutama pengendalian dari elit informal dan LBH Surabaya Perwakilan Malang sebagai kuasa hukum para petani. Dari aspek stratifikasi sosial ekonomi, kemampuan elit informal memobilisasi para petani terutama petani kecil dan buruh tani, mengakibatkan konflik semakin meluas dengan intensitas tinggi. Mereka yakin bahwa dengan cara mobilisasi massa, protes mereka akan didengar oleh penguasa dan akan lebih efektif menguasai tanah untuk dapat mengangkat status sosial ekonominya. Secara internal, warga masyarakat petani memandang dan menilai tanah begitu besar artinya bagi diri maupun kelangsungan hidup keluarganya. Ketika tanah perkebunan yang diharapkan dapat diraih oleh petani ternyata dikuasai kembali pihak PTPN XII, para petani menjadi kecewa dan marah. Para petani menilai penguasaan kembali tanah oleh PTPN XII sebagai ancaman permanen terhadap subsistensi mereka, dan mereka merasa memiliki otoritas moral untuk melakukan protes. Para tokoh masyarakat petani sempat mengalami perpecahan mengenai status tanah perkebunan dan cara memperjuangkan hak atas 42 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 tanahuntuk mewujudkan keinginan memperoleh akses tanah perkebunan. Perpecahan para tokoh petani tersebut, melahirkan dua kelompok, yaitu: (1) kelompok yang mendukung keberadaan PTPN XII, karena tanah perkebunan adalah tanah negara yang pengelolaannya diserahkan kepada PTPN XII; (2) kelompok yang mengakui bahwa tanah yang dikuasai PTPN XII adalah tanah garapan nenek moyangnya yang dikuasai dan harus diserahkan kepada warga setelah habis masa berlaku HGU-nya. Dalam menentukan cara memperoleh hak kembali atas tanah perkebunan, kelompok yang kedua tersebut pecah menjadi dua kelompok, yaitu: kelompok yang setuju menggunakan cara kekerasan dan kelompok yang tidak setuju menggunakan cara kekerasan atau menempuh cara damai (musyawarah). Pertentangan pada kelompok kedua di atas diakhiri dengan “kesepakatan” menempuh cara damai, dan apabila cara damai tidak berhasil, akan ditempuh cara kekerasan dengan melakukan pembabatan dan pendudukan tanah perkebunan. Pihak petani maupun pihak PTPN XII menggunakan strategi yang berbeda dan sangat tergantung pada perkembangan yang terjadi pada proses konflik. Maksudnya, jika ditemukan halhal baru mengenai keadaan pihak yang satu, maka strategi yang digunakan akan berubah sesuai dengan perkembangan dalam proses konflik. Strategi perjuangan para petani untuk mendapatkan tanah, menunjukkan variasi dari cara pendudukan sampai cara mengunakan otoritas pemerintah.Pada awalnya para petani menggunakan cara damai, yaitu meminta kepada PTPN XII untuk mengembalikan tanah perkebunan kepada mereka, sesuai dengan perianjian lisan sekitar tahun 1951. Teryata cara damai tersebut tidak memperoleh tanggapan yang memuaskan bagi petani. Karenanya, para petani bersama tokoh-tokohnya mengubah strategi damai menjadi strategi konfrontasi langsung dengan cara okupasi tanah perkebunan. Cara pendudukan tanah ini dapat dilihat dari klaim para tokoh masyarakat bahwa tanah hutan TT dan sebagian dari tanah Afdeling Petung Ombo sebagai tanah titisara, tanah bengkok desa. Mendapatkan tanah dengan cara okupasi tersebut, nampaknya tidak hanya dipengaruhi oleh hukum adat, tetapi juga dipengaruhi oleh keberhasilan para petani terdahulu memperoleh tanah perkebunan menjadi hak milik melalui cara pendudukan pada zaman pemerintahan Jepang di Indonesia. Para tokoh petani menyadari bahwa pendudukan tanah perkebunan dahulu mendapat izin dan bahkan atas peritah dan pemeritah Jepang, sedangkan pendudukan tanah perkebunan sekarang ini tidak mendapat izin dari pemerintah. Akibatnya, dengan pendudukan tanah sekarang ini, para petani mengalami kesulitan memperoleh legalitas formal dari pemerintah. Untuk mengatasi kesulitan ini, para tokoh petani mengembangkan beberapa cara, yaitu; (a) mencari kelemahan PTPN XII dalam prosedur memperoleh izin perpajangan HGU tanah Kebun Kalibakar. Para tokoh petani menemukan banyak kejanggalan dalam prosedur memperoleh izin perpanjangan HGU, karena itu, mereka menganggap izi perpanjangan HGU tidak sah secara hukum, (b) meminta dukungan Bupati dan DPRD dalam perjuangan memperoleh hak atas tanah Kebun Kalibakar; (c) meminta bantuan LBH sebagai kuasa hukumnya dalam menghadapi reaksi dari pihak PTPN XII. (d) melakukan unjuk rasa ke BPN dan PTPN XII untuk meminta bukti-bukti tentang prosedur perpanjangan izin HGU yang telah dikelurakan oleh pemerintah (BPN). Dalam pertemuan para tokoh petani dengan Pimpinan DPRD II, Pihak Pimpinan DPRD II Malang menyatakan kesediaannya membantu para petani dan menyarankan agar para petani dalam memperjuangkan haknya atas tanah perkebunan mengajukan permohonan sesuai dengan prosedur yang berlaku ke Pemerintah Pusat (Menteri Pertanian dan Agraria/Kepala BPN).Interaksi antara para tokoh petani dengan berbagai institusi di atas mengakibatkan terjadinya perubahan dalam strategi para petani dalam memperjuangkan haknya atas tanah, baik perubahan prosedural maupun substansialnya. Dalam perjuangan lanjutan ini, para tokoh petani menenmpuh beberapa cara, yaitu: (a) menolak segala bentuk kerjasama dan bantuan material yang ditawarkan oleh PTPN XII; (b) membentuk Panitia Permohonan Hak Atas Tanah dan melengkapi administrasi permohonan hak atas tanah; (c) meningkatkan kohesi sosial dengan desa-desa lain untuk memperjuangkan hak atas tanah di bawah koordinasi LBH; (d) membentuk jaringan sosial para petani yang mempunyai masalah petanahan dengan PTPN XII dalam wadah Forum Komunikasi Petani (Forkotmas) dan bergabung dengan Paguyuban Petani Jawa Timur (Papanjati) di bawah koordinasi LBH; (e) mengajukan permohonan hak atas tanah kepada Menteri Astawa, Strategi Penyelesaian Konflik Tanah Perkebunan Agraria/ Kepaia BPN yang tembusannya disampaikam kepada DPR-RI. Strategi PTPN XII dalam mempertahankan lahan Perkebunan yang diklaim oleh para petani sangat bervariansi dan berhubungan secara signifikan dengan strategi yang ditempuh oleh para petani. Dalam usaha mencegah meluasnya pembabatan dan pendudukan tanah perkebunan oleh para petani, pihak PTPN XII menempuh beberapa cara, yaitu: (a) meminta bantuan aparat keamanan (polisi dan militer) untuk menjaga keamanan dan mencegah semakin meluasnya pembabatan dan pendudukan tanah perkebunan; (b) menawarkan sebagian tanah perkebunan (Blok KA) kepada para petani untuk ditanami jagung dan singkong dan membagikan sembako kepada sebagian petani miskin, tetapi semua usaha ini ditolak oleh para petani; (c) menyerahkan tanah hutan TT yang telah diduduki para petani di bawah pengawasan Kodim dan mengusir para petani (okupator) melalui program ABRI masuk desa (AMD) dengan melaksanakan reboisasi; (d) menekan para perangkat desa yang terlibat, melalui aparat pernerintah daerah; (e) menekan kuasa hukum petani (LBH Surabaya Perwakilan Malang dan LBH Kosgoro) melalui Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua DPD Golkar Jawa Timur; (f) meminta kepada Bupati dan BPN untuk memberikan legitimasi bahwa semua tanah yang diklaim para petani secara sah nnilik PTPN XII. Realitasnya, semua usaha itu tidak membuahkan hasil yang memuaskan bagi PTPN XII, karena semakin menguatnya keinginan petani untuk memperjuangkan haknya atas tanah perkebunan. Para petani tetap melakukan pembabatan dan pendudukan tanah, membagi-bagikan tanah dan menanami tanaman jagung dan singkong. Memahami semakin menguatnya perjuangan dan tuntutan para petani tersebut, pihak PTPN XII melakukan perubahan strategi, yaitu: (a) menujuk BKBH Unibraw sebagai kuasa hukumnya dalam menghadapi tuntutan para petani dan bekerjasama dengan Komitra untuk melemahkan keinginan petani menguasai tanah perkebunan; (b) menawarkan program kerjasama usaha tani (KUT) yang didukung oleh Bakorstranasda, yang akhirnya ditolak oleh para petani; (c) mengklasifikasikan kasus pembabatan dan pendudukan tanah menjadi perbuatan perdata dan perbuatan pidana yang memungkinakan para tokoh petani yang dianggap sebagai penggerak (provokator) petani untuk dituntut melalui 43 pengadilan; (d) melaporkan para penggerak petani (provokator) ke Polres agar diproses sesuai hukum yang berlaku. Tetapi semua usaha dalam rangkaian strategi ini tidak membuahkan hasil, bahkan dapat dikatan menemui kegagalan. Hal ini disebabkan, tidak saja karena para petani menolak program KUT yang ditawarkan oleh PTPN XII, tetapi juga kegagalan aparat penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan) untuk menyeret para tokoh petani yang dianggap sebagai provokator ke pengadilan. Berangkat dari semua kegagalan tersebut di atas, kemudian PTPN XII mengubah strateginya dengan menggunakan jalur kelembagaan formal. Melalui kuasa hukumnya (BKBH Unibraw), PTPN XII mengirim surat kepada Menteri Petanian dan Agraria/Kepala BPN untuk menegaskan status kepemilikan tanah perkebunan atas nama PTPN XII Kebun Kalibakar dan menawarkan kerja sama dengan petani dalam bentuk Program Kemitraan. Jalur kelembagaan ini digunakan, dengan alasan bahwa secara struktural-vertikal yang berwenang menyelesaikan konflik tanah perkebunan adalah Pemerintah Pusat. Paling sedikit ada 5 (lima) strategi konflik yang diterapkan dalam proses konflik tanah perkebunan yaitu: bersaing, berkolaborasi, menghindar, mengakomodasi, dan berkompromi. Strategi bersaing, merupakan usaha memenuhi kelompok sendiri, tidak perduli dampaknya terhadap pihak lawan. Akibatnya, konflik semakin tajam, destruktif bahkan menimbulkan kekerasan dan penindasan terhadap lawannya. Kondisi ini terjadi, karena kedua belah pihak mempunyai persepsi, kepentingan dan tujuan yang berbeda, sehingga orientasi mereka masing-masing berbeda dan sukar mencapai konsensus (kebersamaan). Strategi kolaborasi, merupakan upaya dan masingmasing pihak yang berkonflik untuk dapat memuaskan kepentingan semua pihak. Dalam hal ini, kelompok petani dan PTPN XII mencari hasii yang bermanfaat secara timbal balik sehingga melahirkan bentuk kerjasama Usaha Tani. Upaya ini mengalami kegagalan karena adanya tckanan dan sebagian tokoh petani terhadap petani lainnya agar menolak bentuk kerjasama itu.Strategi menghindar, adalah upaya dari pihak yang berkonflik untuk menarik diri dan mengabaikan konflik, menghindari setiap tawaran dari pihak lawan. Strategi ini, terutama diterapkan oleh pihak petani dengan taktik, berpura-pura patuh, mengutus orang yang tidak terlibat konflik untuk menghadiri 44 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 pertemuan dengan pihak lawan dan sebagainya. Strategi menghindar ini, dilakukan tidak lepas dari adanya “iming-iming”, janji-janji dari pihak luar yang sanggup memperjuangkan kepentingan mereka untuk memiliki tanah perkebunan sampai bersertifikat. Bahkan ada pesan dari pihak luar agar para petani yang terlibat dalam konflik tidak melayani tawaran dari pihak PTPN XII termasuk dari pendukungnya.Strategi mengakomodasi, merupakan kesediaan dari salah satu pihak yang berkonflik untuk menaruh kepentingan lawan di atas kepentingannya. Strategi ini diterapkan oleh pihak PTPN XII dengan cara menawarkan bantuan, yaitu: (a) berupa tempat untuk bercocok tanam tanaman pangan di Afdeling Petung Ombo untuk mengatasi krisis pangan bagi petani; (b) berupa bantuan paket sembako yang dibagikan kepada para petani miskin. Tetapi semua tawaran ini ditolak, dengan alasan para petani membutuhkan tanah garapan, bukan sembako.Strategi berkompromi, merupakan upaya untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berkonflik dengan melakukan sharing untuk memcapai kesepakatan. Strategi ini dilakukan atas inisiatif Bakorstanasda Jawa Timur dengan melakukan pertemuan di Makorem yang menghasilkan kesepakatan untuk menyelamatkan perkebunan sebagai aset negara, menghentikan pembabatan dan pendudukan tanah, melaksanakan program KUT untuk membatu meningkatkan kesejahteraan para petani. Tetapi semua hasil kesepakatan ini akhirnya ditolak oleh tokoh-tokoh petani tententu, karena kepentingan mereka dirugikan. Dalam kaitannya dengan cara penyelesaian konflik, paling sedikit ada tiga cara yang digunakan yaitu konsiliasi, mediasi dan arbitrasi dengan perantaraan pihak ketiga. Cara pengendalian konflik dengan konsiliasi, diwujudkan melalui lembaga-lembaga yang memungkinkan tumbuhnya pola pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang berlawanan melalui cara musyawarah. Cara konsiliasi ini bermula dari tawaran direksi PTPN XII, tentang rencana Program Kerjasama Usaha Tani (KUT). Kerjasama ini semula sudah disepakati oleh petani yang akan ditandatangi bersama pada tanggal 12 Oktober 1998 di areal Gunung Kitiran Afdeling Sumbertlogo. Konsiliasi yang melibatkan DPRD II ini, ternyata gagal ditanda tangani karena dipicu oleh kesalah pahaman warga petani tentang isi perjanjian kerjasama yang dinilai sangat merugikan petani, terutama berkaitan dengan klausul masa berlakunya perjanjian hanya dua tahun. Atas kegagalan itu, DPRD melakukan inisiatif dan menyarankan petemuan digelar kembali, namun warga petani meminta penandatanganan perjanian dilakukan di kantor DPRD II Malang 21 Okober 1998. Upaya kedua ini juga mendapat penolakan dari warga, dengan alasan: (1) warga ingin memiliki hak atas tanah; (2) warga menilai KUT tidak menguntungkan karena tetap berada di bawah bayang-bayang PTPN; dan (3) keinginan warga untuk memperoleh hak atas tanah sudah bulat. Sementara itu, penyelesaian konflik dengan mediasi ada banyak lembaga yang merasa terpanggil dan berwenang bertindak sebagai pihak ketiga, yaitu: Bakorstranasda Jawa Timur, LSM (LBH Kosgoro, LBH, BKBH Unibraw). Bakorstranasda Jatim banyak berperan dalam mempertemukan kedua belah pihak pada tanggal 9 Pebruari 1999 di makorem 083. Dalam pertemuan tersebut pihak-pihak berkonflik sepakat membentuk Tim Satgas Terpadu, terutama yang bertugas dalam pendataan tanah, sosialisasi hukum dan membantu menyelesaikan sengketa sesuai dengan prosedur hukum. LBH Kosgoro dan LBH lebih banyak bertindak sebagai kuasa hukum petani, sedangkan BKBH Unibraw bertindak sebagai kuasa hukum PTPN XII. Sedangkan penyelesaian konflik dengan cara arbitrasi melibatkan pihak Kepolisian dan Pengadilan Negeri. Kedua lembaga ini banyak berperan dalam menyelesaikan konflik tanah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Dengan cara arbitrasi ini, maka para petani yang melakukan pendudukan tanah perkebunan dengan aksi pembabatan, penjarahan, pencurian dan perbuatan brutal melawan aparat dikategorikan sebagai perbuatan kriminal. Jika dilihat dari perspektif hukum (normatif), penyelesaian konflik tanah yang dilakukan oleh para petani dan pendukungnya, cenderung menempuh cara non-ligitasi dan menghindari cara ligitasi. Alasannya, jika para petani memilih cara penyelesaian melalui proses hukum untuk membuktikan siapa yang paling berhak atas tanah tersebut sudah diperkirakan para petani akan kalah, karena para petani tidak mempunyai bukti yuridis kepemilikan hak atas tanah, akibatnya para petani dapat diusir dari tanah yang telah didudukinya. Para petani memilih cara non-ligitasi, baik dengan mediasi melalui musyawarah maupun mengajukan permohonan hak atas tanah akan lebih Astawa, Strategi Penyelesaian Konflik Tanah Perkebunan menguntungkan. Jika permohonan para petani untuk memiliki hak atas tanah ditolak oleh pemerintah, maka para petani masih dapat menguasai tanah dengan cara musyawarah, artinya minimal para petani akan dapat menguasai tanah dalam status sebagai penggarap dengan sistem bagi hasil. Cara mediasi melalui musyawarah yang dipilih oleh para petani sebenamya hanyalah bersifat formalitas untuk memberikan kesan umum bahwa mereka bersedia diajak berbicara, berdialog, atau kompromi. Kenyataannya, setiap tawaran dari pihak PTPN XII maupun Pemerintah Daerah selalu ditolak. Karena maksud dan tujuan para petani secara maksimal adalah menguasai tanah dengan status hak milik. Hal ini berarti para petani dan pendukungnya menggunakan strategi menangkalah (win-lose strategy), mendapatkan semuanya, sedangkan yang lain tidak mendapatkannya. Sementara itu, PTPN XII dan pendukungnya, dalam menyelesaikan konflik menggunakan dua cara di atas (ligitasi dan nonligitasi). Cara ligitasi (jalur hukum) yang digunakan oleh PTPN XI dengan melaporkan kasus ini kepada aparat penegak hukum supaya diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Sedangkan cara non-ligitasi ditempuh oleh PTPN XII dalam bentuk, yaitu: (a) mediasi, dan (b) intervensi otoritatif. Bentuk Mediasi melalui musyawarah ditempuh dengan meminta Bakorstranasda mengambil insiatif mengadakan pertemuan sebagai sarana dialog untuk mencapai kesepakatan. Peran negara (Pemerintah) dalam masalah tanah sangat besar, karena secara normatif negara (pemerintah) bahwa seluruh bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat. Dikuasai negara dalam arti negara berhak mengatur dan mendistribusikan tanah sesuai dengan peruntukkannya dalam pembangunan. Dalam kebijakan pengembangan subsektor perkebunan, pemerintah berwenang dan banyak menerbitkan Hak Guna Usaha kepada pengusaha perkebunan untuk meningkatkan devisa negara. Tetapi intervensi Perusahaan Perkebunan ke pedesaan secara normatif tidak hanya untuk meningkatkan devisa negara, tetapi juga harus meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat di sekitarnya. Kenyataannya, kehadiran PTPN XII ditentang oleh warga masyarakat sekitarnya, karena dirasakan oleh warga masyarakat tidak menguntungkan bagi kelangsungan hidup 45 keluarganya sehingga melahirkan konflik antara para petani dan PTPN XII memperebutkan tanah. Dalam mengatasi konflik tersebut, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sangat besar pengaruhnya dalam menengahi konflik untuk mencari titik temu antara kepentingan para petani dan PTPNXII. Pemerintah Daerah berusaha menengahi konflik dengan mempertemukan kedua belak pihak dan berhasil membentuk Tim Satgas Terpadu. Tim Satgas Terpadu yang dibentuk mempunyai tugas membantu menyelesaikan sengketa tanah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Akan tetapi, segala upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk menyelesaiakan konflik mengalami kegagalan yang disebabkan oleh: (a) para wakil petani menilai Pemerintah Daerah tidak netral, terlalu memihak kepada PTPN XII; (b) adanya pihak tertentu yang menekan para petani agar menolak dan membatalkan kesepakatan yang telah dicapai dengan PTPXII; (c) adanya tawaran, “iming-iming” pihak tertentu yang siap membantu para petani untuk memperoleh tanah sampai memperoleh sertifikat hak milik. Pihak petani dan PTPN XII mengirim surat kepada Menteri Pertanian dan Agraria/Kepala BPN untuk menyelesaiakan konflik. Pihak petani memohon kepada Menteri untuk mencabut izin HGU dan membagian tanah kepada para petni dengan status hak milik. Sedangkan pihak PTPN XII menyatakan akan merehabilitasi perkebunan dan menawarkan kerjasama dengan pola kemitraan untuk membantu kesejahteraan para petani. Sebagai jawaban atas permohonan para petani, Menteri melalui Surat No 540.1-1956 tanggal 11 Met 1999, menolak membagikan tanah tanah kepada para petani dan menawarkan pola kemitraan kepada para petani. Keputusan Menteri ini mendapat dukungan dari DPR-RI Komisi 11 dan Pemerintah Daerah. DPR-RI melalui Surat No. PW.06/5061/DPR-RI/2000, mendukung PTPN XII melakukan rehabilitasi kebun melalui pola kemitraan dengan warga, dan menolak warga masyarakat memperoleh hak atas tanah dengan pola kekerasan. Karena menurut mereka, tindakan warga masyarakat dalam bentuk penjarahan dan pembabatan tanaman coklat milik PTPN XII itu sudah merupakan tindakan anarkhis, sehingga tidak boleh dibiarkan. Bila tindakan memperoleh hak dengan cara kekerasan dibiarkan akan menimbulkan preseden buruk di kalangan masyarakat. 46 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 PEMBAHASAN Hasil temuan penelitian mengenai faktorfaktor penyebab konflik di atas, sesuai dengan pandangan Hodge dan Anthony (1991:536) bahwa penyebab konflik adalah: (1) role conflict (perbedaan persepsi terhadap peran); (2) change in delegation (perubahan kewenangan); (3) change in status (perubahan status menjadi naik atau turun); (4) change in goals (perbedaan tujuan atau prioritas pencapaian tujuan); (5) organization overlap (tumpangsuh dalam pelaksanaan tugas); (6) resource competition (kompetisi dalam memperoleh sumber daya yang terbatas), dan (7) culture conflict (konflik karena adanya perbedaan nilai, norma atau pola perilaku). Tetapi dari hasil temuan menunjukkan ada faktorfaktor dari luar yang mendorong terjadinya konflik yang sangat besar pengaruhnya, yaitu krisis ekonomi dan moneter yang berkepanjangan, intervensi organisasi politik dan massa serta pandangan elit politik, misalnya pandangan Gus Dur pada waktu menjadi Presiden menyatakan PTP nyolong tanah rakyat. Dalam perspektif otoritas moral, terjadinya konflik ditentukan oleh kemampuan dari kekuasaan dan sistem sosial untuk memenuhi imperatifimperatif moral yang sudah ada sebelumnya. Moore (1978:14) menjelaskan, problem mengenai ketidakadilan sosial yang telah menyebabkan terjadinya banyak gerakan perlawanan. Ketidakadilan sosial adalah suatu derivasi pengertian dari keberangan moral yang dipengaruhi oleh tiga elemen penting dalam setiap sistem sosial: koordinasi sosial atau kekuasaan pembagian kerja, dan distribusi barang,koordinasi sosial dan kekuasaan sebagai sebuah keharusan bagi masyarakat, selalu dinilai kemampuannya untuk memberikan perlindungan kepada warganya, memelihara perdamaian dan ketertiban di dalam masyarakat. Para anggota masyarakat, sebaliknya, mempunyai tanggungjawab dan tunduk pada kekuasaan. Dengan demikian, perlawanan terhadap kekuasaan terjadi, karena masyarakat merasa bahwa kekuasaan tidak lagi memenuhi kewajiban-kewajiban moralnya yang mendasar. Kesenjangan sosial yang terjadi di lokasi penelitian dapat memicu terjadinya konflik tanah Kebun Kalibakar. Hal ini selaras dengan pandangan kesenjangan sosial Moore (1978:32), yang menegaskan bahwa kesenjangan sosial adalah inhern dalam setiap masyarakat. Pertanyaannya adalah sejauh mana kesenjangan itu bisa dibenarkan atau tidak secara moral. Kegagalan untuk menangani kesenjangan sosial, menurut Moore, akan mengakibatan keberangan moral yang mengambil bentuk pengutukan atau protes secara terang-terangan maupun terselubung. Dengan demikian, berarti pemenuhan hak-hak sosial menjadi penting dalam rangka memelihara kohesi sosial dan apabila dilanggar akan mengakibatkan keberangan moral. Bagi Moore, dalam konteks pembagian kerja, perlindungan terhadap hak milik adalah salah satu di antara masalah yang paling penting, karena ia menentukan apakah pembagian kerja yang sudah ada dalam masyarakat dapat dibenarkan atau tidak secara moral. Di samping kekuasaan dan pembagian kerja, distribusi barang dan jasa di dalam masyarakat memainkan peranan untuk mengimbangi kontradiksi antara kesenjangan sosial dan perlindungan terhadap hak-hak. Distribusi barang ini mengandung gagasan persamaan sebagai ukuran kewajiban moral yang dapat ditafsirkan sebagai keadilan distributif atau tidak. Menurut Moore, persamaan memainkan peranan “sebagai suatu bentuk jaminan sosial”, karena anggota masyarakat selalu dihadapkan pada sumber-sumber yang terbatas. Kegagalan anggota masyarakat untuk memenuhi kewajiban ini akan mengakibatkan kekecewaan dan keberangan moral. Aksi komunitas petani menduduki dan menguasai tanah perkebunan yang dilakukan dengan cara pembabatan, pendudukan paksa, penjarahan, pencurian, pembakaran, brutalisme, menggambarkan bahwa konflik di daerah peneltian bukan lagi menjadi konflik tertutup, melainkan sudah meluas menjadi konflik terbuka. Namun demikian konflik tanah Kebun Kalibakar, sampai dengan sekarang masih merupakan konflik yang bersifat laten. Sifat latensi konflik tersebut disebabkan oleh sikap pihak PTPN XII yang mengabaikan etika subsistensi setempat, suatu faham yang tidak dapat membiarkan keadaan di mana beberapa orang menimbun kekayaan, sementara orang-orang lain menderita kelaparan. Sikap pihak PTPN XII tersebut tidak hanya memancing kemarahan orang-orang yang kelaparan tetapi juga mengakibatkan ketersinggungan tokoh-tokoh masyarakat. Realitas tersebut sesuai dengan pandangan Scott (1994:219) bahwa aksi para petani digerakkan secara langsung oleh anggapan bahwa orang-orang kaya dan orang- Astawa, Strategi Penyelesaian Konflik Tanah Perkebunan orang yang memegang kekuasaan mempunyai kewajiban untuk membagi kekayaan mereka dengan kaum miskin di waktu kekurangan jika tidak, maka orang-orang miskin berhak mengambil apa yang mereka butuhkan dengan kekerasan. Karena itu, menunrt Scott, dari segi norma-norma moral dan etika subsistensi, tidaklah dapat dikatakan bahwa kaum tani telah main hakim sendiri. Dalam perspektif struktural, pihak-pihak yang berkonflik berserta realitasnya dalam konflik tanah Kebun Kalibakar diwarnai oleh distribusi kekuasaan dan wewenang atas sumber daya tanah yang tidak merata di dalam masyarakat. Kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam struktur sosial. Karena kekuasaan senantiasa memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai, maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan. Pertentangan terjadi dalam situasi di mana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan kekuasaannya, sedangkan yang dikuasai berusaha mengadakan perubahanperubahan. Individu (kelompok) yang mempunyai powertermasuk penguasaan resources, kesempatan dan peluang yang lebih besar mengendalikan dan mengontrol kehidupan sosial ekonomi dalam masyarakat. Akibatnya, terjadi ketimpangan dan distribusi yang tidak merata antara individu (kelompok) yang lebih menguasai power, resources, kesempatan dan peluang, dibanding individu (kelompok) yang lainnya. Kenyataan tersebut sesuai dengan pandangan Parriello (1987:29), yang menegaskan bahwa dalam sebuah pertarungan, pihak yang lebih berkuasa cenderung mempertahankan status quo dalam rangka mempertahankan posisi dan kepentingannya. Kondisi ketimpangan dalam penguasaan atas power, resources, kesempatan dan peluang (akses) ini menimbukan masalahmasalah sosial yang menjadi sumber penyebab terjadi konflik di dalam masyarakat. Pada dasarnya setiap individu mempunyai dan merasakan adanya beberapa kebutuhan dasar (basic needs) yang harus dipenuhinya dalam proses hidup bermasyarakat. Tetapi dalam proses pemenuhan kebutuhan dasar (basic neeeds) tersebut individu(terutama yang tidak memiliki power, resources, kesempatan dan peluang) mengalami hambatan struktural, karena kondisi struktur sosial yang timpang. Karena itu, 47 berdasarkan perspektif struktural, masalahmasalah sosial yang timbul (seperti sempitnya penguasaan tanah, hubungan kerja yang eksploitatif, ketidakadilan, fluktuasi harga dan pendapatan, kesempatan dan peluang) lebih disebabkan oleh ketimpangan dalam distribusi kekuasaan dan wewenang. Strategi dan cara penyelesaian konflik yang digunakan oleh para pihak yang berkonflik dalam kasus tanah Kebun Kalibakar dengan konsiliasi, mediasi dan arbitrasi, pada dasarnya selaras dengan pandangan Ralf Dahrendorf, sebagaimana dikutip oleh Nasikun (1993:22-25). Dengan mencermati peran berbagai pihak dalam penyelesaian konflik, nampak dimensi konflik menunjukkan terjadinya pergeseran dari konflik berdimensi ekonomi bergeser menjadi konflik politik, karena melibatkan pemerintah. Secara substansial, tuntutan petani juga berubah, dari perjuangan memperoleh tanah garapan ke perjuangan memperoleh hak milik atas tanah perkebunan. Dilihat dari level konflik, bahwa konflik tanah Kebun Kalibakar nampak bergeser dari konflik dalam tingkat lokal menjadi konflik berlevel nasional. Hal ini selaras dengan pandangan Cobb dan Elder (1972) mengungkapkan adanya tiga dimensi penting dalam konflik politik: (1) luas konflik; (2) intensitas konflik; dan (3) ketampakan konflik. Luas konflik, menunjuk pada jumlah perorangan atau kelompok yang terlibat dalam konflik, dan menunjuk pula pada skala konflik yang terjadi (misalnya: konflik lokal, konflik nasional). Intensitas konflik adalah luas-sempitnya komitmen sosial yang bisa terbangun akibat sebuah konflik. Konflik yang intensitasnya tinggi adalah konflik yang bisa membangun komitmen sosial yang luas, sehingga luas konflik pun mengembang. Adapun ketampakan konflik adalah tingkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat (di luar pihak-pihak yang berkonflik) tentang peristiwa konflik yang terjadi. Sebuah konflik dikatakan memiliki ketampakan yang tinggi manakala peristiwa konflik itu disadari dan diketahui detail keberadaannya oleh masyarakat secara luas. Sebaliknya, sebuah konflik memiliki ketampakan rendah manakala konflik itu terselimuti oleh berbagai hal sehingga tingkat kesadaran dan pengetahuan masyarakat luas terhadap konflik itu sangat terbatas. Sampai sekarang penyelesaian konflik masih mengalami kegagalan. Paling sedikit ada dua 48 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 fenomena yang tampak dari kegagalan upaya penyelesaian pada tingkat lokal, yaitu menurunnya legitimasi sosial PTPN XII dan aparat Pemerintan Daerah, dan menguatnya posisi para petani. Menguatnya posisi petani dapat dilihat dari segi sosial, ekonomi dan politik. Dari segi sosial mereka mempunyai basis sosial yang kuat. Dari segi ekonomi, para petani sudah dapat menikmati hasilnya atas pendudukan dan penguasaan tanah perkebunan untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya. Sedangkan dari segi politik, para petani secara de facto sudah menguasai seluruh tanah perkebunan. Posisi ini ada kecenderungan akan dipertahankan, apabila pemerintah tidak menggunakan cara yang tepat untuk menyelesaikannya. Karena para petani, masih mempunyai keyakinan bahwa memperoleh tanah dengan cara pendudukan ini sangat efektif. Buktinya, dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1986 tanah PTPN XII seluas 4826,8442 hektar berdasarkan Keputusan Mendagri Nomor 49/HGU/DA/88, seluas 2776,3369 hektar (53%) harus dikeluarkan dari HGU karena telah dikuasai penduduk, sehingga masih tersisa seluas 2050,5073 hektar (47%). Tanah perkebunan seluas 2050,5073 hektar (47%) pada awal Pebruari 1999 seluruhnya sudah diduduki kembali oleh warga masyarakat petani sekitar perkebunan. Jadi secara de jure, PTPN XII bisa menang dalam konflik tanah kebun Kalibakar, tetapi secara de facto kalah, karena tanah dikuasai penduduk. Karena itu pilihan PTPN XII untuk melanjutkan pengembangan usaha perkebunan dengan menjalin kerjasama dengan penduduk sekitar perkebunan dalam bentuk kemitraan, kiranya tidak cukup hanya dengan menggunakan instrumen hukum dan menawarkan program kemitraan, karena caraini hanya mampu mengobati gejalanya saja dan belum menyentuh akar masalah yang dihadapi para petani dalam mempertahankan hidupnya. SIMPULAN Beberapa faktor yang menjadi sumber dan penyebab konflik tanah perkebunan adalah: pelaksanaan program landreform, izin perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU), aksi warga masyarakat menduduki tanah hutan TT, perbedaan persepsi mengenai status tanah perkebunan, sistem rekrutmen tenaga kerja PTPN XII yang tidak adil, pengangguran, tunakisma dan kecemburuan sosial, kesenjangan sosial ekonomi antara komunitas kebun Kalibakar dan komunitas petani di sekitar kebun Kalibakar, dan tidak ada saluran institusi sosial yang mampu mengakomodasikan nilai, aspirasi dan kepentingan komunitas petani dalam proses pengelolaan kebun Kalibakar. Dalam proses konflik banyak aktor yang terlibat, aktor utama dari pihak-pihak yang terlibat konflik tanah perkebunan, adalah pihak petani dan pihak PTPN XII. Jumlah warga petani yang terlibat dalam konflik sangat besar yang tersebar di tiga Kecamatan, yaitu Desa Tirtoyudo (1291 KK), Desa Tlogosari (791 KK), Desa Kepatihan (690 KK), Desa Sumber Tangkil (1196 KK), Kecamatan Tirtoyudo, Desa Simojayan (789 KK) Kecamatan Ampelgading, Desa Bumirejo (690 KK) dan Desa Baturetno (824 KK) Kecamatan Dampit.. Strategi berkonflik yang diterapkan oleh para pihak dalam proses konflik tanah kebun Kalibakar, meliputi: strategi bersaing, berkolaborasi, menghindar, mengakomodasi, dan berkompromi. Strategi bersaing, merupakan usaha memenuhi kelompok sendiri, tidak perduli dampaknya terhadap pihak lawan. Strategi berkolaborasi, merupakan upaya dan masing-masing pihak yang berkonflik untuk dapat memuaskan kepentingan semua pihak. Dalam hal ini, kelompok petani dan PTPN XII mencari hasil yang bermanfaat secara timbal balik sehingga melahirkan bentuk kerjasama Usaha Tani. Strategi menghindar, adalah upaya dari pihak kelompok masyarakat petani untuk menarik diri dan menghindari setiap tawaran dari pihak lawan. Strategi menghindar ini, dilakukan tidak lepas dari adanya “iming-iming”, janji-janji dari pihak luar yang sanggup memperjuangkan kepentingan mereka untuk memiliki tanah perkebunan. Strategi mengakomodasi, merupakan kesediaan dari pihak PTPN XII untuk menaruh kepentingan lawan di atas kepentingannya. Strategi berkompromi, merupakan upaya untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berkonflik dengan melakukan sharing untuk memcapai kesepakatan kedua belah pihak yang berkonflik. Dalam kaitannya dengan cara penyelesaian konflik, ada tiga cara yang digunakan yaitu konsiliasi, mediasi dan arbitrasi dengan perantaraan pihak ketiga. Cara penyelesaiian konflik dengan konsiliasi, diwujudkan melalui lembaga legislatif yang memungkinkan tumbuhnya pola pengambilan keputusan bagi pihak-pihak yang berlawanan dengan cara musyawarah. Sementara itu, Astawa, Strategi Penyelesaian Konflik Tanah Perkebunan penyelesaian konflik dengan mediasi ada banyak lembaga yang merasa terpanggil dan berwenang bertindak sebagai pihak ketiga, yaitu: Bakorstranasda, LSM (LBH Kosgoro, LBH, BKBH Unibraw). Sedangkan penyelesaian konflik dengan cara arbitrasi melibatkan pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Malang. Peranan negara (pemerintah) dalam penyelesaian konflik tanah perkebunan, meliputi: (1) mengatur dan mendistribusikan tanah sesuai dengan peruntukannya dalam pembangunan; (2) mengelola sumber daya ekonomi secara langsung, antara lain berbentuk Badan Usaha Milik Negara 49 (BUMN) yang sebagian direpresentasikan melalui PTPN XII; (3) Melalui peraturan hukum, negara (pemerintah) sebagai badan penguasa menentukan semua tanah baik yang sudah ada haknya maupun yang belum dikuasai oleh negara; (4) Dalam kebijakan pengembangan subsektor perkebunan, pemerintah berwenang menerbitkan sertifikat atas tanah, termasuk menerbitkan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) kepada pengusaha perkebunan; (5) Dalam penyelesaian konflik, Pemerintah (Pusat dan Daerah) berkewajiban menengahi konflik untuk mencari titik temu antara kepentingan para petani dan PTPNXII. PUSTAKA RUJUKAN Moore Jr, Bamngton, 1996. Social Origins Of Dictatorship And Democracy; Lord And Peasant In The Making Of The Modern World.Boston: Beacon Press. Scott, James C. 1985. Weapons Of The Weak; Everyday Form Of Peasant Resistence. New Haven: Yaleuniversity Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Scott, James C.I 994. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan Dan Subsistensi Di Asia Tengggara.Jakarta: LP3ES. STRATEGI PEMBELAJARAN MODEL INKUIRI JURISPRUDENSI UNTUK PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DI SEKOLAH MENENGAH ATAS Sumarno SMK Negeri 5 Kota Malang, Jl.Ikan Piranha Atas Kota Malang email: [email protected] Abstrac:Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan in secondary education aimed at developing the potential of learners in all dimensions of citizenship, which include: civic confidence, civic commitment, and civic responsibility. These objectives can be realized by implementing a learning strategy JurisprudentialInquiry model. JurisprudentialInquiry model is a design study that was created and developed by Donald P. Oliver and James Shaver to help students learn to think critically systematic, tolerant, caring and able to determine the position of the various controversies attitudes toward contemporary issues of public policy that is going on in the life society and state. The results showed that students’ academic achievement group that learned with a higher inquiry strategy with that learned with conventional learning. Keywords: civic education and the jurisprudential inquiry model Abstrak:Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan pada jenjang pendidikan menengah bertujuan mengembangkan potensi peserta didik dalam seluruh dimensi kewarganegaraan, yakni meliputi : civic confidence, civic commitment, dan civic responsibility. Tujuan tersebut dapat diwujudkan dengan menerapkan strategi pembelajaran model inkuiri jurisprudensi. Model inkuiri jurisprudensi adalah rancangan pembelajaran yang diciptakan dan dikembangkan oleh Donald Oliver dan James Shaver P. untuk membantu peserta didik belajar berpikir kritis sistematis, bersikap toleran, peduli dan mampu menentukan posisi sikap terhadap berbagai kontroversi isu-isu kontemporer kebijakan publik yang sedang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hasil penelitian menunjukanbahwa prestasi akademik kelompok siswa yang dibelajarkan dengan strategi inkuiri lebih tinggi dengan yang dibelajarkan dengan pembelajaran konvensional. Kata kunci: pendidikan kewarganegaraan, model inkuiri jurisprudensi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada jenjang pendidikan menengah atas dalam Permendikbud Nomor 18A tahun 2013 dinyatakan sebagai mata pelajaran wajib yang bertujuan mengembangkan potensi peserta didik dalam seluruh dimensi kewarganegaraan, mencakup: (1) sikap kewarganegaraan yaitu meliputi keteguhan rasa percaya diri, komitmen dan tanggung jawab kewarganegaraan (civic confidence, civic committment, and civic responsibility); (2) pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge); (3) keterampilan kewarganegaraan berupa kecakapan partisipasi kewarganegaraan (civic competence and civic responsibility). Pertanyaannya adalah, strategi pembelajaran apakah untuk mencapai atau mewujudkan tujuan PPKn tersebut? Berdasarkan kajian teoritis dan hasil riset, salah satu strategi yang perlu diujicobakan adalah pembelajaran model Inkuiri Jurisprudensi (Jurisprudential Inquiry Model). Artikel ini merupakan kajian pustaka dan hasil penelitian penggunaan strategi pembelajaran model Inkuiri Jurisprudensi (Jurisprudential Inqury) untuk pendidikan kewarganegaraan. Inkuiri jurisprudensi (Jurisprudential Inqury Model) merupakan model pembelajaran yang diciptakan dan dikembangkan oleh Donald Oliver dan James T Shaver (Joice, B. 2003:109). Model Inkuiri Jurisprudensial dirancang untuk membantu peserta didik belajar meneliti isuisu kontemporer berkaitan dengan kebijakan dan kepentingan publik secara sistematis. Peserta didik belajar merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis 50 Sumarno, Strategi Pembelajaran Model Inkuiri Jurisprudensi untuk PPKn di SMA tentang kebijakan publik dan menganalisis posisiposisi alternatif sikap sebagai warga negara terhadap kebijakan publik itu. Secara beurutan dalam artikel ini akan diuraikan: (1) asumsi model inkuiri jurisprudensi; (2)sintaksis dan operasional pembelajaran model inkuiri jurisprudensi; (3) efek penggunaan strategi pembelajaran model inkuiri jurisprudensi; (4) hasil penelitian penggunaan model inkuiri jurisprudensi dalam pembelajaran dan diakhiri dengan rangkuman sebagai kesimpulan. ASUMSI PEMBELAJARAN MODEL INKUIRI JURISPRUDENSI Model Inkuiri Jurisprudensi didasarkan pada konsepsi masyarakat dimana setiap orang memiliki pandangan dan prioritas yang berbeda-beda dan nilai-nilai sosial seringkali berbenturan satu dengan lainnya. Untuk mengatasi isu-isu kompleks dan kontroversial dalam konteks masyarakat yang produktif mengharuskan setiap warga negara memiliki kemampuan untuk saling berdiskusi dan menegosiasikan perbedaan mereka. Setiap warga negara seharusnya mampu menganalisis dan mengambil posisi tertentu terhadap isu-isu kontroversial berkaitan dengan kepentingan publik. Posisi yang diambil setiap warga negara haruslah merefleksikan konsepkonsep keadilan dan martabat manusia, dimana kedua hal itu merupakan nilai-nilai yang fundamental dalam masyarakat yang demokratis. Peserta didik sebagai warga negara diminta membayangkan seperti hakim pengadilan tinggi yang sedang mengadakan dengar pendapat tentang sebuah kasus. Tugas hakim adalah menyimak bukti yang disajikan, menganalisis posisi legal yang diambil oleh kedua belah pihak yang berperkara, menimbang posisi dan bukti kedua belah pihak, menilai makna dan ketentuan hukum, dan terakhir, membuat keputusan terbaik. Ini adalah peran yang ingin diambil oleh para peserta didik ketika membahas isu-isu publik. Untuk mampu memainkan peran tersebut, ada tiga jenis kompetensi yang harus dikuasai peserta didik sebagai warga negara. Pertama adalah kompetensi pemahaman terhadap nilai-nilai dasar negara yaitu Pancasila, seperti yang terjabarkan dalam konstitusi negara UUD 1945. Nilai-nilai dasar tersebut menjadi dasar kerangka kerja nilai dan sebagai acuan utama untuk menilai isu-isu publik serta untuk membuat keputusan 51 hukum. Jika kebijakan yang diambil didasarkan pada pertimbangan etika, maka warga negara harus menyadari dan memahami nilai-nilai kunci yang menjadi inti dari system etika masyarakat. Kompetensi kedua adalah seperangkat keterampilanuntuk mengklarifikasi dan mengatasi isu-isu yang ada. Secara umum,isu kontroversi terjadi karena ada dua nilai yang berbenturan atau karena kebijakan publik tidak sesuai dengan nilainilai inti dalam masyarakat. Jika muncul konflik nilai menurut Oliver dan Shaver (dalam Joice, B. 2003: 113 ), maka ada tiga masalah yang akan muncul, yaitu: (1) masalah nilai, peserta didik berusaha untuk mengklarifikasi nilai-nilai atau prinsip hukum mana yang bertentangan, dan kemudian memilih satu diantaranya; (2) masalah fakta, berusaha untuk mengklarifikasi fakta seputar konflik yang terjadi; (3) masalah definisi, yaitu masalah yang terkait dengan klarifikasi makna kata-kata yang kontroversi. Proses klarifikasi dan mengatasi konflik juga terkait dengan usaha untuk mengklarifikasi definisi, menetapkan fakta dan mengidentifikasi nilai-nilai yang penting untuk masing-masing isu publik. Kompetensi ketiga adalah pengetahuan tentang isu-isu publik dan politik kontemporer, yang mengharuskan siswa untuk mengetahui masalah politik, sosial dan ekonomi yang dihadapi masyarakat. Peserta didik menggali isu-isu yang ada dalam kaitannya dengan kasus hukum tertentu dan tidak membahas nilai-nilai secara umum. SINTAKSIS DAN OPERASIONAL MODEL INKUIRI JURISPRUDENSI Strategi pembelajaran model inkuiri jurisprudensi terdiri enam tahapan (Joyce, B. 2003.74) yaitu : (1) orientasi kasus; (2) mengidentifikasi isu dalam kasus ; (3) mengambil posisi terhadap kasus; (4) menjelajahi argumen yang mendasari posisi yang diambil; (5) menetapkan posisi pilihan dan kualifikasi; serta (6) pengujian argumen dengan fakta-fakta, definisi, dan konsekuensi. Pada tahap kesatu, guru memperkenalkan siswa suatu kasus sebagai bahan ajar dengan membaca cerita atau narasi sejarah, menonton insiden yang difilmkan dan menggambarkan kontroversi nilai, kebijakan, undang-undang, atau mendiskusikan insiden kontroversi dalam kehidupan para siswa, sekolah, atau masyarakat. Ruang lingkup materi yang relevan dibelajarkan 52 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 dengan strategi ini, yaitu: konflik antar kelompok etnik, konflik agama dengan ideologi, jaminan keamanan indivindu, konflik antar kelompok ekonomi, kesejahteraan dan keamanan negara (Joyce,B. 2003.116). Pada tahap kedua, orientasi kegiatan siswa adalah meninjau fakta-fakta dengan menguraikan peristiwa dalam kasus, menganalisis siapa yang melakukan apa dan mengapa bertindak kontroversi. Pada tahap kedua, para siswa mensintesis fakta dari kasus dan nilai-nilai yang terlibat (misalnya, kebebasan berbicara, melindungi kesejahteraan umum, otonomi daerah, atau kesempatan yang sama), dan mengidentifikasi konflik antar nilai-nilai. Pada dua tahap pertama, para siswa belum diminta untuk mengekspresikan pendapat mereka atau mengambil sikap. Pada tahap ketiga, mereka diminta untuk mengambil posisi terhadap masalah atau kasus dan menyatakan argumen posisi mereka. Dalam kasus ketidakadilan, misalnya, pebelajar mungkin mengambil posisi bahwa pemerintah pusat tidak boleh mengatur semua bidang pembangunan di daerah, karena ini merupakan suatu pelanggaran yang tidak dapat diterima prinsip otonomi daerah. Pada tahap keempat, mengeksplorasi posisi. Guru menggunakan gaya konfrontatif menguji posisi pebelajar. Guru berperan seperti Socrates, guru dapat menggunakan salah satu dari empat pola argumentasi: (1) meminta pebelajar untuk mengidentifikasi titik di mana nilai yang dilanggar; (2) klarifikasi konflik nilai melalui analogi; (3) meminta pebelajar untuk membuktikan konsekuensi yang diinginkan atau tidak diinginkan dari posisi; (4) meminta pebelajar untuk menetapkan prioritas nilai; (5) menegaskan prioritas satu nilai atas yang lain dan menunjukkan pelanggaran berat terhadap suatu nilai. Pada tahap kelima, siswa melakukan kegiatan memilih posisi. Tahap ini sering mengalir secara alami dari dialog dalam tahap empat, tapi kadang-kadang guru mungkin perlu meminta siswa untuk menyatakan kembali posisi mereka. Sementara tahap kelima menjelaskan alasan dalam posisi nilai, pada tahap enam dilanjutkan menguji posisi dengan mengidentifikasi asumsi faktual di balik itu dan memeriksa dengan hatihati. Guru membantu siswa memeriksa apakah posisi mereka terus di bawah kondisi yang paling ekstrim. Strategi pembelajaran inkuiri jurisprudensi dengan enam tahapan tersebut dapat dikategorikan menjadi dua tahapan pokok, yaitu tahapan analisis (fase satu, dua, dan tiga) dan tahapan argumentasi (fase empat, lima, dan enam). Kegiatan analisis, pembahasan nilai dan isu-isu, mempersiapkan argumentasi dilakukan secara hati-hati dalam eksplorasi. Strategi situasi konfrontasi digunakan untuk menghasilkan sikap yang terkuat. Sintaksis pembelajaran model inkuiri jurisprudensi sebagaimana diuraikan di atas dapat diiktisarkan seperti tabel 1. EFEK PEMBELAJARAN MODEL INKUIRI JURISPRUDENSI Efek lansung strategi pembelajaran model inkuiri jurisprudensi yaitu peserta didik menguasai kemampuan menganalisa masalah, kemampuan untuk melakukan dialog intensif dengan orang lain, memotivasi untuk terlibat kegiatan sosial dan membangkitkan keinginan melakukan aksi sosial. Memelihara nilai-nilai pluralisme dan penghormatan terhadap sudut pandang orang lain dan juga mendukung penggunaan emosi dalam merespon kebijakan sosial. Peserta didik menguasai keterampilan dalam mengidentifikasi permasalahan kebijakan, penerapan nilai-nilai sosial, penggunaan analogi untuk mengeksplorasi isu-isu, dan kemampuan untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah faktual dan nilai. Hal ini dapat meningkatkan respon emosi pebelajar dalam hal kebijakan sosial, meskipun strategi ini membawa ke dalam bermacam-macam tanggapan emosional siswa . Strategi pembelajaran model inkuiri jurisprudensijuga mengondisikan peserta didik memahami nilai-nilai yang dipelajari dan membuat keputusan posisi sikap yang diambil terhadap suatu kontoversi nilai. Peseta didik belajar mengasah kemampuan menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasikan, merangkum, menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan konsep-konsep konkret atau abtrak kemudian belajar membuat keputusan sikap terhadap nilai-nilai yang dibicarakan. Sebagai contoh siswa dihadapkan pada persoalan larangan di sekolah membawa alat komunikasi handphone, pebelajar berhadapan dengan konflik nilai-nilai yaitu kedisiplinan, efektifitas dan efisiensi, aktualisasi diri, dan kepedulian. Hasil belajar lain yang juga ingin dicapai adalah kemampuan untuk melakukan dialog Sumarno, Strategi Pembelajaran Model Inkuiri Jurisprudensi untuk PPKn di SMA 53 Tabel 1. Sintaks model pembelajaran inkuiri jurisprudensi (diadaptasi dari : Joyce ,B. Weil, M. 2003. Models of Teching) Tahap Satu: Orientation to the Case Tahap Dua:Identifying the Issues ï‚· Guru memperkenalkan bahan ajar berbagai fakta ï‚· Siswa mensintesa fakta masalah kebijakan publik . kasus kebijakan yang kontroversi. ï‚· Siswa memilih salah satu isu kebijakanuntuk materi ï‚· Guru menyampaikan ulasan fakta secara garis besar. diskusi. ï‚· Siswa mengidentifikasi nilai-nilai dan nilai-nilai yang konflik. ï‚· Siswa menyusun pertanyaan-pertanyaan faktual dan definisi Tahap 3:Taking Positions ï‚· Siswa mengartikulasikan atau mengambil posisi terhadap isu yang didiskusikan. ï‚· Siswa menentukan posisiawal terhadap isu-isu sosial ataukonsekuensi dari keputusan tersebut. Tahap Lima:Refining and Qualifying the Positions ï‚· Siswa menyatakan posisi dan alasan untuk posisi dalam sejumlah situasi yang sama. ï‚· Siswa memenuhi persyaratan posisi yang diambil. dengan orang lain. Kemampuan tersebut akan mengembangkan kemampuan keterlibatan sosial dan memunculkan hasrat untuk melakukan tindakan sosial, mengembangkan nilai-nilai pluralisme dan penghargaan pada sudut pandang orang lain. Model inkuiri jurisprudensi juga mendorong penggunaan nalar dan bukan emosi dalam menanggapi kontroversi kebijakan sosial, walaupun strategi itu sendiri memunculkan respons emosional siswa. Efek pebelajar dan dampak pengiring: model inkuiri juridprudensial dapat digambarkan berikut 1. PENELITIAN PENGGUNAAN MODEL INKUIRI JURISPRUDENSI Penelitian penerapan model ini dilakukan Gopal dan SS.Patil (2015), dengan judul “ Effectiveness of Juriprudential Inquiry Model of Teachhing on The Academic Achievement of Social Science Among secondary School Student”. Bagaimanakah pengaruh penggunaan strategi pembelajaran model inkuiri jurisprudensi terhadap prestasi akademik pengetahuan sosial di sekolah lanjutan atas. Hasil penelitian menunjukan Tahap 4:Exploring the Stance(s),Patterns of Argumentation ï‚· Menetapkan titik letak pelanggaran nilai (faktual). ï‚· Membuktikan posisi nilai yang diinginkan atau tidak diinginkan. ï‚· Memperjelas konflik nilai dengan analogi ï‚· Menegaskan prioritas satunilai di atas yang lain dan menunjukkan dukungannya. Tahap Enam:Testing Factual AssumptionsBehind Qualified Positions ï‚· Mengidentifikasi asumsi faktual menentukan apakah mereka relevan. ï‚· Menentukan konsekuensi dan memeriksa validitas faktual yang akan benar-benar terjadi?. Framework for Analyzing Social Issues Jurisprudential Inquiry Model Ability to Assume Role of the “Other” Competence in Social Dialogue Empathy/Pluralism Facts about Social Problems Capacity for Social Involvement for Social Action Gambar 1. Bagan Efek Pembelajaran Strategi Inkuiri Juriprudensi (Diadaptasi dari: Joyce B. Weil, M. 2003. Models of Teching, New Delhi: Prentice-Hall of India Private Limited. bahwa prestasi akademik kelompok siswa yang dibelajarkan dengan strategi inkuiri lebih tinggi dengan yang dibelajarkan dengan pembelajaran tradisional. Penelitian lain dilakukan oleh Nwafor C.E (2014) dengan judul, “ Use of Jurisprudential 54 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 Innovative Approach in teaching Basic Science: An alternative to Lecture Methode”. Penggunaan strategi pembelajaran model inkuiri Jurisprudensi untuk pembelajaran pengetahuan dasar, hasil penelitian menunjukan bahwa pendekatan ini meningkatkan kemampuan guru dalam membantu kesulitan belajar individu, memfasilitasi proses belajar dan memberikan dukungan serta dorongan yang diperlukan peserta didik. Veer Pal Singh (2010)juga melakukan penelitian berjudul, “Effectiveness of Jurisprudential Inquiry Model of Teaching on Value Inclination of School Students”. Veer Pal Singh meneliti efektivitas strategi pembelajaran model inkuiri jurisprudensi untuk pengajaran nilai pada siswa sekolah menengah yang memiliki perbedaan kecerdasan dan status sosial ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi inkuiri jurisprudensi lebih efektif dibandingkan metode konvensional dalam mengembangkan kemampuan mengidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan nilai. Faktor kecerdasan dan sosial ekonomi berpengaruh signifikan dalam pembelajaran kasus nilai-nilai kewarganegaraan. Berdasarkan kajian konseptual operasional dan hasil penelitian sebagaimana diuraikan di atas maka strategi pembelajaran model inkuiri jurisprudensi perlu dan layak diujicobakan dalam pembelajaran PPKn dalam konteks yang lebih luas sebagai upaya inovasi pembelajaran PPKn di sekolah menengah atas. SIMPULAN Strategi pembelajaran model Inkuiri Jurisprudensi adalah rancangan atau desain pembelajaran yang diciptakan dan dikembangkan oleh Donald Oliver dan James Shaver P. (1966/ 1974) untuk membantu peserta didik belajar berpikir kritis sistematis dan mampu menentukan sikap posisi terhadap kontroversi isu-isu kontemporer kebijakan publik yang sedang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Strategi pembelajaran ini meliputi enam tahap kegiatan yaitu : (1) orientasi kasus; (2) mengidentifikasi isu; (3) mengambil posisi; (4) menjelajahi sikap yang mendasari posisi yang diambil; (5) posisi pilihan dan kualifikasi; serta (6) pengujian asumsi tentang fakta-fakta, definisi, dan konsekuensi. Efek lansung strategi pembelajaran model inkuiri jurisprudensi adalah penguasaan kemampuan menganalisa masalah, kemampuan untuk melakukan dialog intensif dengan orang lain, memotivasi untuk terlibat kegiatan sosial dan membangkitkan keinginan melakukan aksi sosial. Memelihara nilai-nilai pluralisme dan penghormatan terhadap sudut pandang orang lain dan juga mendukung penggunaan emosi dalam merespon kebijakan sosial. Peserna didik menguasai keterampilan mengidentifikasi permasalahan kebijakan; penerapan nilai-nilai sosial; penggunaan analogi untuk mengeksplorasi isu-isu; dan kemampuan untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah faktual dan nilai. Hal ini dapat meningkatkan respon emosi peserta didik dalam hal kebijakan sosial, meskipun strategi ini membawa ke dalam bermacam-macam tanggapan emosional peserta didik. Strategi pembelajaran model inkuiri jurisprudensi mengondisikan peserta didik memahami nilai-nilai dan membuat keputusan posisi sikap yang diambil terhadap suatu kontroversi nilai yang dipelajari. Peserta didik belajar mengasah kemampuan menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasikan, merangkum, menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan konsep-konsep konkret atau abtrak kemudian belajar membuat keputusan sikap terhadap nilainilai yang dibicarakan. Hasil beberapa penelitian menunjukkan penggunaan strategi pembelajaran model Inkuiri Jurisprudensi dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik. DAFTAR RUJUKAN Gopal and Patil, S.S. 2015.Effectiveness of Juriprudential Inquiry Model of Teachhing on The Academic Achievement of Social Science Among secondary School Student. International Multidciplinary Research Journal, (Online), Vol. 4. Nomor.12 Hal.15, (https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl# q=.Effectiveness+of+Juriprudential+ I n qu i r y+ M od el+ o f + Tea c hhi ng+ on + T h e+ Aca demic + Achi evement + of+ Socia l+ S cience+ Among+ secondary+School+Student isrj.org/Article.aspx?ArticleID=5886), diakses 10 April 2015. Sumarno, Strategi Pembelajaran Model Inkuiri Jurisprudensi untuk PPKn di SMA Huda, M. 2014. Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Joice, B. 2003. Models of Teaching. New Delhi: Pretice-Hall of India. Nwafor,C.E. 2014. Use of Jurisprudential Innovative Approach in teaching Basic Science: An alternative to Lecture Methode. International researchers, (Online), Vol. 3.Nomor.1.Hal. 62-67, (http://iresearcher. o r g / C u r r en t % 2 0 I s s u e% 2 0 Vo l u me %20No.3%20Issue% 20No.1.html), diakses 9 April 2015. 55 Wena, Made. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif. Jakarta Timur: PT. Bumi Aksara. Veer Pal, Singh. 2010. Effectiveness of Jurisprudential Inquiry Model of Teaching on Value Inclination of School Students, Journal of Educational Research.,(Online), Volume 47 Number 2, Hal. 45-71, (https:/www. google.com/search?q=Veer+Pal%2C+ Singh.+2010. Journal+of+Educational+ R e s e a r c h . % 2 C + Vo l u m e + 4 7 ++Number+2%2C++Hal.+45-71.&ie=utf8&oe=utf-8), diakses 17 April 2015. REVOLUSI PARADIGMA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Sutoyo Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang Jl. Semarang No.5 Malang email:[email protected] Abstract: The occurrence of manyenvironmental casesinIndonesia, can not be seenfromthe technical aspectsorjuridicalper se,but itis necessary to studyaspects of theunderlying. The occurrence of manyenvironmental cases, both national and local, mostlysourced fromhuman behaviorirresponsible, do notcare about the environmentandselfish. It is strongly associatedwith theworldview(paradigm) stakeholders, whichon averageis afollowerAnthropocentrismparadigmthat putsthe environmentsimplyas a meansto meet human needs(shallowecologicalmovement). theAnthropocentrismparadigmmust berevolutionized, ashas beenproven to havedamaged power environment is veryhigh.Religiousparadigmaccording to religious teachingsembraced byeverycitizen, is expected tobe asolution to thesharedenvironmental problemshappened. Withthereligiousparadigm ofprotection effortsandenvironmental managementis an obligation thatmust be carried outbased onthe beliefoncommandments of the Lord. Key word: revolution, anthropocentrism paradigm, religious paradigm. Abstrak: Terjadinya berbagai kasus lingkungan hidup di Indonesia, tidak dapat dipandang dari aspek teknis atau yuridis semata, tetapi perlu dikaji aspek yang melatarbelakanginya. Terjadinya berbagai kasus lingkungan hidup baik nasional maupun lokal, sebagian besar bersumber dari perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli terhadap lingkungan dan hanya mementingkan diri sendiri. Hal ini sangat terkait dengan cara pandang (paradigma) para pemangku kepentingan (stake holder), yang rata-rata merupakan penganut Paradigma Antroposentrisme yang menempatkan lingkungan hidup hanya sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan manusia (shallow ecological movement). Paradigma Antroposentrisme tersebut harus segera direvolusi, karena telah terbukti memiliki daya rusak lingkungan yang sangat tinggi. Paradigma religi sesuai ajaran agama yang dianut oleh setiap WNI, diharapkan dapat menjadi solusi atas berbagi permasalahan lingkungan hidup yang terjadi. Dengan paradigma religi maka upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan berdasarkan keyakinan atas perintah Tuhan. Kata Kunci: revolusi, paradigma antroposentrisme, paradigma religi Upaya perlindungan lingkungan hidup merupakan suatu kewaijiban yang harus dilakukan, mengingat lingkungan hidup adalah sumber kehidupan. Terjadinya berbagai kasus lingkungan hidup di Indonesia, tidak dapat dipandang dari aspek teknis atau yuridis semata, tetapi perlu dikaji aspek yang melatarbelakanginya. Sumber terjadinya kerusakan lingkungan adalah perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli terhadap lingkungan dan hanya mementingkan diri sendiri. Hal ini sangat terkait dengan cara pandang (paradigma) para pemangku kepentingan (stake holder), yang rata-rata merupakan penganut Paradigma Antroposentrisme dengan menempatkan lingkungan hidup hanya sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan manusia (shallow ecological movement). Paradigma Antroposentrisme tersebut harus segera direvolusi, karena telah terbukti memiliki daya rusak lingkungan yang sangat tinggi. Solusi yang penulis tawarkan untuk merevolusi paradigma Antroposentrisme dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah: dengan menggunakan paradigma yang 56 Sutoyo, Revolusi Paradigma Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia mendasarkan pada keyakinan agama yang dianut oleh masing-masing warga Negara Indonesia. Paradigma ini disebut sebagai paradigma religi. Bangsa Indonesia memiliki falsafah hidup dan sekaligus merupakan dasar Negara berupa Pancasila. Sila pertama Pancasila menyatakan: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila ini menegaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berTuhan, yang menyatakan kepercayaan dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia percaya dan meyakini bahwa seluruh kehidupan yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dijaga kelestariannya. Seluruh ajaran agama yang dianut oleh bangsa Indonesia mengajarkan tentang perintah untuk menjaga dan melindungi lingkungan hidup serta memanfaatkanya dengan cara yang bijaksana. Seluruh ajaran agama melarang adanya perusakan lingkungan hidup. Apabila upaya perlindungan lingkungan dapat dilakukan berdasarkan keyakinan atas dasar perintah Tuhan, maka upaya ini akan dapat mencapai hasil yang sempurna. Karena keyakinan akan menuntun setiap orang untuk menjalankan semua perintah dan menjahui semua yang dilarang. Jika Arne Naes dengan Deep ecologynyatelah berhasil menjadikan gerakan perlindungan lingkungan sebagai gaya hidup (life style), maka tentunya jika upaya perlindungan lingkungan yang didasarkan atas keyakinan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa, akan dapat memberikan hasil yang lebih efektif dari pada sekedar gaya hidup/life style. Keyakinan tersebut akan menjadi kekuatan moral (morall force) yang menuntun semua stake holder (Pemerintah, pengusaha, masyarakat) untuk mewujudkan upaya perlindungan lingkungan dalam kehidupan seharihari, apapun halangan yang dihadapi. PARADIGMA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT BERBAGAI AJARAN AGAMA YANG DIANUT OLEH WARGA NEGARA INDONESIA Bangsa Indonesia adalah bangsa besar, dengan penduduk lebih dari dua ratus lima puluh juta jiwa. Bangsa Indonesia memiliki keyakinan yang teguh kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ada enam agama yang secara resmi hidup di Indonesia, yang dipeluk oleh para pengikutnya, yaitu: Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. 57 Uraian berikut ini akan mengaji paradigma perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menurut berbagai ajaran agama yang ada di Indonesia, yang dianut oleh para pemeluknya. Paradigma Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Menurut Ajaran Agama Islam Islam sebagai salah satu agama yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia, mempunyai ajaran yang berisi paradigma perlindungan dan pengelolaan lingkungan lingkungan hidup. Kebenaran ajaran Islam, telah banyak teruji dan sejalan dengan hasil penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dalam pandangan Islam, bahwa dimensi alam semesta secara makro berpusat pada dua tempat, yakni langit dan bumi. Langit sangatlah luas, karena keterbatasan akal dan kemampuan manusia, manusia tidak dapat mengetahui seluruh isi langit, melainkan hanya sebagian kecil. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Hadid ayat 4, yang artinya: “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari padanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” {Q.S. Al-Hadid (57):4}. Allah S.W.T. telah menciptakan alam semesta dengan perhitungan yang sangat cermat dan tepat, sehingga menjadi ekosistem yang benarbenar sempurna bagi seluruh makluk yang ada di dalamnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan tidaklah Kami bermain-main menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya. Tidaklah Kami menciptakan keduanya melainkan dengan haq (benar), tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. {Q.S. AdDukhan (44): 38,39} “Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu tidak sekali-kali melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang ?” {Q.S. Al-Mulk (67): 3} 58 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 “DIA menciptakan langit tanpa tiang sebagaimana kamu melihatnya, dan DIA meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi agar bumi tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembangbiakkan segala macam jenis makluk bergerak yang bernyawa di bumi. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik” {Q.S. Luqman (31): 10} Kesempurnaan alam semesta ciptaan Allah SWT, disertai dengan hukum-hukum yang berlaku di dalamnya, yang disebut dengan SUNNATULLAH atau hukum alam (natural of law). ALLAH S.W.T. selalu mendorong manusia agar menggunakan akal fikirannya untuk mempelajari ciptaan-Nya. Banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang berisi perintah agar manusia selalu berfikir dan berusaha meningkatkan kemampuannya. Bahkan dalam ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W. (Q.S. Al-Alaq) berisi perintah agar manusia “membaca” (Iqro’). Hanya dengan berfikir, maka manusia akan dapat mengenal ALLAH S.W.T. dengan penuh kesadaran, karena mampu membuktikan kebenaran ajaran Agama Islam. ALLAH S.W.T. murka kepada orang-orang yang tidak mau menggunakan akalnya {(Q.S. Yunus (10): 100}. ALLAH S.W.T. berfirman yang artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang ALLAH S.W.T. turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)- dan Dia sebarkan di bumi segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tandatanda (keesaan dan kebesaran ALLAH S.W.T.) bagi kaum yang memikirkan.” {Q.S. Al-Baqoroh (2):164} “Dan pada penciptaan dirimu dan pada makluk yang bergerak yang bernyawa yang bertebaran (di bumi) terdapat tanda-tanda (kebesaran ALLAH S.W.T.) untuk kaum yang meyakini” {Q.S. Al-Jasiyah (45): 4} Setelah ALLAH S.W.T. menciptakan langit dan bumi, maka dicarilah makluk yang sanggup mengemban amanah untuk menjaga ciptaan tersebut. Manusia sebagai makluk yang sempurna, yang telah dianugerahi akal pikiran dan hati, yang dapat membedakan perbuatan yang baik dan buruk, menyatakan kesanggupannya untuk mengemban amanah tersebut. ALLAH S.W.T. berfiman: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gununggunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” {Q.S. Al-Ahzab (33): 72). Kesanggupan manusia untuk memegang amanah tersebut, disertai dengan peringatan dan perintah agar manusia tidak membuat kerusakan di bumi dan mampu menciptakan keadilan. ALLAH S.W.T. telah menggariskan suatu aklaq bahwa perbuatan pemaksaan dan kecurangan terhadap alam sangat dicela, perbuatan tersebut akan membawa mala petaka bagi manusia. Kenikmatan dunia dan akherat dapat dikejar secara seimbang, tanpa meninggalkan perbuatan baik dan menghindarkan kerusakan di muka bumi. Tuhan mengingatkan bahwa masa manusia untuk tinggal dan beriteraksi dengan lingkunganya di bumi, dalam relung waktu yang terbatas. Firman ALLAH S.W.T. yang terkait dengan hal tersebut antara lain: “… dan bagimu ada tempat kediaman di bumi, kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan” {Q.S. Al-Baqarah (2): 36} “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-NYA dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat ALLAH S.W.T. sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” {Q.S. Al-A’raf (7): 56} “Dan carilah (pahala) negeri akherat dengan apa yang telah dianugerahkan ALLAH S.W.T. kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana ALLAH S.W.T. telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu sekalian berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya ALLAH S.W.T. tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” {Q.S. Al-Qasas (28):77} Sutoyo, Revolusi Paradigma Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia “Dan janganlah menuruti perintah orang-orang yang melampaui batas, yang berbuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan” {Q.S. Asy-Syu’ara (26): 151-152} “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena peruatan tangan manusia; ALLAH S.W.T. menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” {Q.S. Ar-Ruum (30): 41} “Apakah mereka tidak memperhatikan berapa bayak generasi sebelum mereka yang telah kami binasakan, padahal (generasi itu), telah Kami teguhkan kedudukannya di bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah kami berikan kepadamu. Kami curahkan hujan yang lebat untuk mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosadosa mereka sendiri, dan kami ciptakan generasi yang lain setelah generasi mereka” {Q.S. AlAn’am (6):6} “Sesungguhnya ALLAH S.W.T. menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. Dan apabila kamu menetapkan hukum dianatara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya ALLAH S.W.T. memberi pengajaran yang sebaikbaiknya kepadamu. Sesungguhnya ALLAH S.W.T. Maha Mendengar lagi Maha Melihat” {Q.S. An-Nisa’ (4):58} “Wahai Dawud ! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan ALLAH S.W.T.. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan ALLAH S.W.T. akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan” {Q.S. Shaad (38): 26} Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan upaya perlindungan lingkungan. Begitu banyaknya ayat-ayat dalam Al-Qur’an, Sabda Nabi Muhammad S.A.W., Ijma dan Qiyas para ulama yang berisi perintah agar manusia (khusunya umat Islam), menjaga dan memelihara keseimbangan lingkungan. Islam diturunkan ke dunia adalah sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Karena kesempurnaan ajaran Agama Islam akan menuntun manusia dapat menciptakan kehidupan yang adil, serasi, selaras, seimbang bagi manusia, alam dan seluruh makluk yang ada di alam semesta. 59 Paradigma Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Menurut Ajaran Agama Kristen Ajaran agama Kristen sangat memperhatikan aspek perlindungan dan kelestaraian lingkungan. Alam semesta merefleksikan penciptaan Tuhan yang sangat sempurna. Sabda Tuhan dalam Injil: “Kemuliaan Tuhan dalam pekerjaan tanganNya dan dalam Taurat-Nya. Langit menceritakan Kemuliaan Allah, dan Cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya”(Mazmur 19:I-2)” Terdapat dua aspek penting mengenai lingkungan dalam Kristen yaitu kepemilikan Allah dan kepelayanan manusia. Allah sebagai sang pencipta menempatkan manusia sebagai ciptaan Tuhan yang hidup bersama makhluk ciptaannya yang lain (lingkungan sekeliling manusia). Manusia mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan dengan alam semesta. Manusia berhubungan dengan hewan. Tuhan telah meciptakan suatu lingkungan hidup yang terdiri dari manusia dan segala disekelilingnya, baik selain manusia dengan manusia untuk membentuk suatu komunitas makhluk ciptaannya, dan di dalam komunitas ini manusia bertanggung jawab. Tuhan berfirman dalam Kitab Kejadian 2:19-20 yang berbunyi: “Lalu Tuhan Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara. Di bawanyalah semuanya kepada manusia untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang di berikan manusia itu kepada tiaptiap makhluk yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu.” Firman Tuhan dalam Kitab Kejadian 2:15 yang berbunyi: “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkanya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu”. Mengusahakan di sini berarti memanfaatkan alam untuk kebutuhan dan kesejahteraan manusia. Memelihara berarti menjaga alam agar tidak hancur dan tetap lestari. Untuk itu manusia diperintahkan agar menggunakan akal budinya dengan penyerahan dan ketekunan sepenuhnya. Dalam Matius 22: 37 tertulis Tuhan berfirman: “Hendaklah engkau mengasihi Allah Tuhanmu dengan sebulat-bulat hatimu dan dengan segenap jiwamu dan sepenuh akal budimu” Bumi adalah taman Allah dan manusia adalah penjaganya. Manusia dan lingkungan hidup adalah sesama ciptaan yang telah dipulihkan hubungannya oleh Tuhan Yesus Kristus, maka manusia, khususnya manusia baru dalam Kristus (2 Kor. 60 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 5:7), seharusnya membangun hubungan solider dengan alam. Hubungan solider berarti memperlakukan alam dengan penuh belas kasihan. Manusia harus merasakan penderitaan alam sebagai penderitaannya dan kerusakan alam sebagai kerusakannya juga. Seluruh makhluk dan lingkungan sekitar tidak boleh diperlakukan semena- mena, tidak dirusak, tidak dicemari dan semua isinya tidak dibiarkan musnah atau punah. Manusia tidak boleh bersikap kejam terhadap alam, khususnya terhadap sesama makhluk. Manusia dan alam harus secara bersama menjaga dan memelihara ekosistem.Tuhan berfirman kepada Ayub yang berbunyi: “Siapakah yang menghadapi aku, yang aku biarkan tetap selamat? Apa yang ada di seluruh kolong langit, adalah kepunyaanku” (Ayub 41:2) Perlakuan manusia yang buruk terhadap alam terungkap dalam istilah seperti: “tanah yang terkutuk”, “susah payah kerja”, dan “semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkan bumi” (Kitab Kejadian 3:17-19). Dengan perlakuan tersebut, maka manusia selalu dibayangi oleh rasa kuatir akan hari esok yang mendorongnya cenderung rakus dan materialistik (baca Matius 6:19-25 par.). Menurut pandangan Kristen bahwa akar kerusakan lingkungan alam dewasa ini terletak dalam sikap rakus manusia yang dirumuskan oleh John Stott sebagai “economic gain by environmental loss”. Manusia berdosa memandang alam tidak hanya untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi lebih untuk memenuhi keserakahannya. Manusia berdosa adalah manusia yang hakikatnya berubah dari “a needy being” menjadi “a greedy being”(Sabda, 2012). Kerusakan lingkungan merupakan kegagalan manusia dalam melaksanakan tugas kepemimpinan atas alam. Pada hakekatnya kegagalan tersebut bersumber dari kegagalan dalam mengendalikan dirinya, khususnya keinginan- keinginannya (keserakahannya). Paradigma Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Menurut Ajaran Agama Katolik Manusia melakukan perenungan untuk lebih mengerti lingkungannya dan mencoba untuk lebih memahami dengan segenap akal budi dan nuraninya, mengahayati bahwa lingkungan telah memberikan manfaat yang besar bagi kehidupanya. Dengan perenungan dan penghayatan tersebut, manusia menemukan kesadaran hakiki yang mampu melihat hubungan keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Moral lingkungan hidup pada dasarnya bermula dari kesadaran hakiki manusia dalam menghadapi situasi hidup dan lingkungannya. Dalam ajaran Agama Katolik, sebagaimana termuat dalam Kitab Perjanjian Lama (PL), bahwa kosmos dipandang sebagai yang berbeda dari Tuhan. Dunia dilukiskan sebagai keadaan keindahan yang tidak sanggup diungkapkan secara penuh oleh gaya sastra, mazmur-mazmur dan kebijaksanaan. Kosmos dan segala kandungannya diciptakan oleh sabda Tuhan. Bukan faham filosofis yang diterima, karena peristiwa penciptaan disingkapkan kepada pemikiran manusia. Gagasan ini adalah ajaran iman yang keberadaannya terus menerus diperteguh pada waktu berhadapan dengan percobaanpercobaan baru. Tradisi Yahwista (Y) melukiskan: kosmos sebagai peristiwa yang tertuju pada Yahweh sebagai tempat kehadiran Tuhan bagi manusia. Manusia mempunyai hubungan yang tak terpisahkan dengan alam semesta. Manusia hidup berdekatan dengan hewan (Kitab Kejadian 2:1920). Tradisi Priester (P) (Kitab Kejadian 1:1; 2:4a), menitik beratkan pada tiga peristiwa penciptaan dunia, yaitu: tatanan, waktu dan hidup. Sorotan atas Kejadian 1-11 sebenarnya bukan gagasan Creatio Ex Nihilo, melainkan tindakan keteraturan Yahweh. Sekarang tatanan kosmos dikaitkan dengan tatanan moral dan sosial; ketidakteraturan moral; kekerasan, air bah. Selanjutnya dalam Mazmur 19:2-5b, berisi tentang kosmos sebagai buah tangan Tuhan. Kosmos bukan hanya undangan untuk percaya kepada Allah sebagai pencipta, melainkan desakan untuk terus menerus memuji dan memuliakan Tuhan melalui doa-doa. Kosmos bukan hanya mengungkapkan kebesaran Tuhan tetapi mendorong manusia untuk beriman dan memuji Tuhan. Sedangkan dalam Kitab Perjanjian Baru, tidak menggambarkan konsep kosmologis khusus sebagai bagian pewartaan integral dari injil. Gambaran tentang kosmos dalam Perjanjian Baru di pandang sebagai sarana untuk mewartakan Injil. Perjanjian Baru tidak berbicara tentang kosmos dirinya, sebagai benda belaka, namun pembicaraan tentang kosmos dikaitkan dengan dunia manusia, tempat Tuhan bertindak dan Sutoyo, Revolusi Paradigma Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia manusia melakukan sesuatu secara bertanggung jawab. Dunia dan sejarah selalu berada di bawah kuasa tindakan penciptaan dan penyelamatan Illahi. Kodrat dan kebebasan manusia kembali memasuki tingkat penciptaan Illahi yang menyelamatkan. Pengakuan iman akan penciptaan langit dan bumi oleh Tuhan (Kisah 17:24; 4:24). Penciptaan berdimensi Kristosentris (Kolose 1:1517), tidak ada unsur satu pun di atas permukaan bumi yang dapat terpisah dari kuasa Kristus. Tuhan telah menciptakan dunia dalam Kristus sebagai titik tolak keteguhan, dasar primordial dan kekal awal dan akhir (Wahyu 1:18). Kalau begitu dunia tidak bisa dipandang lepas dari Tuhan dalam Yesus Kristus. Dunia kita terus menerus dilalui dan diresapi kekuatan Illahi yang selalu menang. Semua yang diciptakan dikuduskan oleh Firman Allah dan doa adalah baik, maka harus diterima dengan syukur. Tanggung jawab orang Kristen secara khusus dihadapan dunia terutama melihat apa yang dikehendaki Allah. Dengan demikian orang Kristen mengubah bentuk dunia dari dalam, menghadapi semua keadaan di dunia oleh Roh Allah. Untuk mengubah membebaskan dunia, umat Allah harus melakukan tindak pembaharuan hati dan dengan tingkah laku sesuai dengan kehendak Allah. Dalam surat- Nya kepada Jemaat di Roma 8:18-27, Paulus menyoroti dunia yang diciptakan Tuhan sebagai suatu keseluruhan. Pandangan dan sikap manusia terhadap alam semesta berdimensi Antroposentrik, tetapi bukanlah Antroposentrik Subyektif yang hanya memandang alam semesta memiliki nilai sejauh menjamin keuntungan manusia. Tempat kita dalam tatanan penciptaan ditentukan oleh dan hubungan manusia dengan segala ciptaan dalam keterkaitannya dengan Tuhan. Kita seharusnya memandang segala sesuatu di atas permukaan bumi sebagai sarana untuk menemukan tujuan tertinggi untuk memuji dan memuliakan Tuhan bukan untuk manusia. Seluruh peristiwa penciptaan ditandai dengan awal yang menggembirakan. Sejak semula Tuhan telah menyatakan keindahan ciptaan-Nya. Jagad raya terang, lautan, tumbuhan, hewan, semua diciptakan-Nya dalam keadaan baik (bdk Kej 1). Semua unsur dalam alam saling terkait dalam hubungan secara organik.1 1 61 Paradigma Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Menurut Ajaran Agama Hindu Paradigma perlindungan dan pengelolaan lingkungan menurut ajaran Agama Hindu pada dasarnya berpangkal pada kitab suci Weda, dan kerangka dasar dari agama Hindu yaitu, Tattwa,Susila dan Upacara. Ajaran Tattwa memberikan petunjuk filosofis yang mendalam menge­nai pokok­pokok keyakinan maupun mengenai konsepsi ketuhanan, sedangkan ajaran susila merupakan kerangka untuk bertingkah laku yang baik sesuai dengan dharma, dan upacara yang merupakan kerangka untuk menghubungkan diri dengan Tuhan dalam bentuk persembahan. Esensi dari upacara pada dasarnya adalah yadnya korban suci dengan hati tulus ikhlas, serta dasar hukum dari yandnya adalah “Rna” (Dewa Rna, Rsi Rna dan Pitra Rna).Konsep dasar agama Hindu mengenai hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan hidup dimulai dari konsep “Rta” dan “ Yadnya”. Rta, manusia merupakan bagian imanen (tak terpisahkan) dari alam yang setiap tahap dalam kehidupannya dikuasai oleh fenomena dan hukum alam. Semua yang ada ini tunduk pada alam semesta, tidak ada sesuatu apapun yang luput dari hukum yang berlaku dalam dirinya. Matahari terbit di timur dan tengelam di barat, air mengalir ketempat yang lebih rendah, api membakar, angin berhem­bus, manusia lapar, haus dan akhirnya mati, karena memang demiki­anlah hukum yang berlaku pada dirinya. Umat Hindu memikul kewajiban untuk menjaga lingkungan agar tetap dalam keadaan harmoni. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Kitab Atharwaweda (XII:1): ‘satyam brhad rtam nram diksha tapa brahma yajna prthirviam dharayanti’ satya, rta, diksa, tapa, brahma dan yajna inilah yang menegakkan bumi, satya adalah kebenaran, yang diwujudkan dengan berbuat kebajikan, rta adalah hukum yang sepatutnya secara sadar haruslah ditaati, diksa adalah kesucian yang diwujudkan dengan trikaya parisudha (berpikir, berkata dan berbuat diatas kebenaran), yajna adalah persembahan (korban suci), brahma adalah brahman yang tiada lain adalah Tuhan / Sanghyang Widhi sendiri (widhi tattwa), tapa adalah pengendalian yang selalu mampu mewujudkan ) http://forest4betterlife.blogspot.com/2013/07/perspektif agama-katolik-terhadap.html 62 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 kebenaran berdasarkan dharma sehingga dari satya mewujudkan siwam, dari siwam mewujudkan sundaram (kebenaran, kesucian, keindahan). Yadnya, hubungan antara manusia dengan alam pada hakekatnya adalah untuk menciptakan keadaan yang harmonis, seimbang antara unsurunsur yang ada pada alam dan unsur-unsur yang dimiliki oleh manusia. Keseimban­gan inilah yang harus selalu dijaga, dan salah satu cara yang ditempuh adalah dengan melakukan yadnya. Untuk menjaga kontek hubungan yang baik antara manusia dengan lingkungannya, masyarakat Bali misalnya, melakukan upacara Tumpek Bubuh dan Tumpek Kandang. Dasar filosofis upacara Tumpek Bubuh adalah konsepsi / sikap untuk memberi sebelum menikmati, dalam konteks dengan pelestarian sumber daya hayati, sebelum manusia menikmati dan menggunakan tumbuh-tumbuhan sebagai bagian menu makanan haruslah diawali dengan proses penanaman dan pemeliharaan, misalnya seorang petani sebelum menikmati nasi, ia terlebih dahulu menanam padi. Sedangkan upacara Tumpek Kandang, secara filosofis mendorong agar manusia selalu mencintai segala jenis satwa, dan berpegang pada ajaran bahwa manusia dengan ling­kungan ibarat singa dengan hutan, singa adalah penjaga hutan dan hutanpun menjaga singa. Dalam Kitab Suci Bhagawadgita, III:10, dinyatakan: ‘sahayajnah prajah srstva, puro’vaca prajapatih, anena prosavisyadhvam, esa vo’stv istakamadhuk’ Dahulu kala Tuhan menciptakan manusia dengan yajna dan berkata : ‘dengan yajna pulalah hendaknya engkau berkembang, dan biarlah ini (bumi) menjadi sapi perahanmu, dengan maksud bahwa bumi / alam / lingkungan ini menjadi sapi perahanmu untuk dapat memenuhi keinginan manusia untuk dapat hidup yang layak dan harmoni, selalu dipelihara dengan baik dan diusahakan seoptimal mungkin bagi kemakmuran bersama. ‘annad bhavanti bhutani, parjanyad annasambhawah,yajna bhavati parjanyo, yajnah karma samudbhawah’ Karena makanan mahluk hidup, karena hujan makanan tumbuh, karena yajna persembahan hujan turun, dan dari persembahan melahirkan karma perbuatan. Manusia sebagai komponen sentral dalam sistem lingkungan ini sudah sepantasnya selalu menjaga keseimbangan diantara komponen-komponen lingkungan yang lainnya. Dalam Kitab Bhagawadgita ada disebutkan: ‘Istan bhogan hi vo deva, desvante yadnya bhavitah, Tair dattan aoradayai bhyo, yo blunte stena eva sah’ Dipelihara oleh yadnya, para dewa akan memberi kesenangan yang kami ingini, ia yang menikmati ini tanpa memberikan balasan kepadanya adalah pencuri. Apabila manusia hanya ingin mencari kesenangan tanpa terlebih dahulu memberi kesenangan terhadap makhluk lain adalah pencuri. Manusia yang semena-mena menjadikan sumber hidupnya sebagai obyek kesenangan tidak disertai tindakan memelihara sama dengan perila­ku pencuri. Mengambil tanpa sebelumnya memberi, menikmati dengan tidak memberi, menggunakan tanpa sikap memelihara, sama dengan perilaku pencuri. Hubungan timbal balik antara manusia dan alam harus selalu dija­ga, salah satu cara yang dipakai untuk menjaga hubungan timbal balik ini adalah dengan upacara (caru). Ada beberapa jenis dan tingkatan caru tersebut yaitu, ekasatha, pancasatha, pancakelud, rsighana, baliksumpah, labuh gentuh, pancawalikrama dan tawur ekadasarudra(ibgiwiyana, 2012). Paradigma Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Menurut Ajaran Agama Budha Paradigma perlindungan dan pengelolaan lingkungan menurut ajaran Agama Budha tercermin dari ayat suci ini: “Bagai seekor lebah yang tidak merusak kuntum bunga, baik warna maupun baunya, pergi setelah memperoleh madu, begitulah hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa” (Dhp. 49). Dalam ekosistem, lebah tidak hanya mengambil keuntungan dari bunga, tetapi juga sekaligus membayarnya dengan membantu penyerbukan. Perilaku lebah memberi inspirasi, bagaimana seharusnya menggunakan sumber daya alam yang terbatas. Membedakan sesuatu yang hidup dari benda mati, tetapi menurut prinsip saling bergantungan pada kehidupan mengandung unsur-unsur yang tidak hidup. Apabila meneliti ke dalam diri sendiri, akan melihat bahwa manusia memerlukan dan memiliki mineral atau unsur anorganik lainnya. Ujar Thich Nhat Hanh (Wijaya-Mukti, 2004:419), Sutoyo, Revolusi Paradigma Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia jangan berpikir benda-benda ini tidak hidup. Atom selalu bergerak, elektron pun bergerak. Manusia adalah bagian integral dari keseluruhan masyarakat dan alam semesta. Muncul dari alam, dipelihara oleh alam, dan kembali ke alam. Thich mengatakan dalam kehidupan lampau adalah tumbuh-tumbuhan, dan bahkan dalam kehidupan ini terus menjadi pohon-pohon. Tanpa pohon-pohon, tidak dapat punya orang, oleh karena itu, pohon-pohon dan orang-orang berada dalam tali-temali. Manusia bagaikan pohon dan udara, belukar dan awan. Bila pepohonan tidak dapat hidup, manusia tidak dapat hidup pula. Terdapat kontinuitas dari dunia dalam dan dunia luar, dan dunia adalah “diri-luas” (largeself). Manusia harus menjadi “diri-luas” tersebut dan peduli terhadapnya. Memandang sehelai kertas, melihat hal-hal lain pula, awan, hutan, penebang kayu. Saya ada, maka itu Anda ada. Anda ada, maka itu saya ada. Manusia saling talitemali, itulah tatanan antar makhluk. Agganna-sutta meriwayatkan hubungan timbal-balik antara perilaku manusia dan evolusi perkembangan tumbuh-tumbuhan. Jenis padi (sali) yang pertama dikenal berupa butiran yang bersih tanpa sekam. Padi dipetik pada sore hari, berbuah kembali keesokan harinya. Dipetik pagipagi, berbutir masak kembali di sore hari. Semula manu­sia mengumpulkan padi secukupnya untuk sekali makan. Kemudian timbul dalam pikiran manusia, bukankah lebih baik mengumpulkan padi yang cukup untuk makan siang dan makan malam sekaligus? Pikiran berikutnya yang timbul mudah diterka lebih baik lagi kalau dikumpulkan untuk dua hari, empat hari, delapan hari, dan seterusnya. Sejak itu manusia mulai menimbun padi. Padi yang telah dituai tidak tumbuh kembali. Maka, akibat keserakahannya, manusia harus menanam dan menunggu cukup lama hingga padi yang ditanamnya berbuah. Batang-batang padi mulai tumbuh berumpun. Lalu butir-butir padi pun berkulit sekam (D. III. 88-90). Sikap yang terpusat pada diri manusia dan anggapan bahwa dunia ini disediakan untuknya saja, tidak membuat hidup manusia menjadi lebih baik. Individualisme dan kapitalisme ataupun lawannya sosialisme dan komunisme membayar kemajuan duniawi dengan permasalahan lingkungan. Lingkungan hidup menjadi tidak terpelihara rusak dan justru mengancam kehidupan manusia sendiri. Hal itu terjadi karena kehidupan non-materi atau kemajuan rohani tidak memperoleh tempat yang wajar. 63 Falsafah hidup Buddhis menghendaki keseimbangan antara pemenuhan kepentingan materi dan spiritual. Keseimbangan hidup semacam itu, menurut Cakkavatti-sihanadasutta, sekalipun kepadatan penduduk bertambah karena tingkat kematian menurun atau harapan hidup manusia meningkat, manusia masih dapat cukup makan (D.Ill.75). Buddha mendekati lingkungan alam dan hubungan manusia yang alami dilukiskan dalam kitab suci berguna untuk menciptakan suatu atmosfir menyenangkan dalam kehidupan di atas bumi. Buddhisme menunjukkan cara pemecahan masalah krisis lingkungan. Sehubungan dengan pengamatan ekologis Buddhis memperkuat sikap ramah kepada alam dan meneliti hubungan tumbuh-tumbuhan, orang, dan binatang satu sama lain dari sudut persahabatan dan keselarasan. Tiga peristiwa utama menyangkut kehidupan Buddha, kelahiran, penerangan, dan kematian, mengambil tempat di bawah pohon terbuka. Buddha menasehatkan kepada biarawan untuk mencari-cari tempat yang luas di tengah hutan dan kaki pohon untuk praktek meditasi. Udara menyenangkan, tenang dalam suatu lingkungan alami dipertimbangkan sebagai sarana untuk pertumbuhan spiritual. Perhatian Buddha untuk hutan dan pohon digarisbawahi dalam Vanaropa Sutta (S.I.32), di mana konon penanaman kebun (aramaropa) dan hutan (vanaropa) adalah tindakan yang berjasa, menganugerahkan jasa siang malam sebagai penolong. Dengan jelas Buddha menimbang rasa bagi aspek hutan dan pohon yang bermanfaat. ‘Vana’ atau hutan dalam Dhammapada digunakan oleh Buddha sebagai perumpamaan kata-kata penuh arti diberlakukan bagi konteks dunia saat ini: tebanglah hutan (nafsu) sampai habis, jangan tinggalkan satu pohon pun. Dari hutan itulah tumbuh rasa takut (Dhp.283). Dalam Vinaya Buddha menetapkan bahwa seorang bhikkhu yang menyebabkan kerusakan pada tanaman dinyatakan bersalah. Ajaran Buddha mengenai sikap menghormati dan tanpa kekerasan, tidak hanya berlaku terhadap semua makhluk hidup, tetapi juga terhadap tumbuhtumbuhan. Buddha Gotama dan siswa-Nya tidak merusak biji-bijian yang masih dapat tumbuh dan tidak akan merusak tumbuh-tumbuhan. (D.I.5). Di musim hujan (Vassa) para bhikkhu melakukan “rakatan dan tidak melakukan perjalanan menghindari kemungkinan dan menginjak tunas- 64 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 tunas tanaman atau mengganggu kehidupan “binatang-binatang kecil yang muncul setelah hujan (Vin.I.137). Peradaban menghendaki hidup ini memanfaatkan sumber alam yang tersedia. Namun karena hidup manusia bukan benalu, maka ia seharusnya berusaha memulihkan sumber alam yang telah dipakainya.Orang yang pandai dan bijaksana akan berusaha meningkatkan kesejahteraan atau mencapai sukses yang sebesarbesamya hanya dengan menggunakan sumber daya yang mi­nimal, seperti ia meniupkan napasnya membuat api kecil menjadi besar(Ja.I.123). Buddhisme menekankan manusia untuk hidup selaras dengan lingkungan, yang berarti bahwa manusia adalah bagian dari alam dan hidup di alam. Oleh karena itu manusia ditekankan untuk tidak merusak alam dan berusaha menjaga kelestarian alam.2 Paradigma Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Menurut Ajaran Agama Konghucu Manusia wajib menggunakan kecerdasaanya itu untuk menempuh jalan hidupnya sendiri dan dapat menyelamatkan kelestarian kehidupan di dunia. Hubungan antara manusia bergantung pada berkembangnya sifat cinta kasih, kebajikan atau ren ( ), dan sifat keadilan atau yi ( ) pada anggota masyarakat. Dua sifat ini telah diberikan Tuhan kepada manusia, tetapi manusia harus belajar untuk memperkuat dan melaksanakannya. Apabila sekelompok manusia telah berkembang sifat kebajikan dan keadilan, mereka dapat bekerja sama dan hidup rukun. Apabila sifat kebajikan dan keadilan ini belum berkembang dalam masyarakat, tidak ada kerukunan dan kedamaian dalam masyarakat itu. Manusia hidup dalam alam, mendapat makan dari alam, hubungan manusia dengan alam bergantung pada pemahaman manusia terhadap gejala alam dan hukum alam, yang disebut pengetahuan alam. Manusia yang mempunyai pengetahuan alam yang banyak dan mendalam dapat memanfaatkan sumber daya alam untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Masyarakat yang kurang pengetahuan alamnya hanya dapat memanfaatkan sedikit saja sumber daya alam. San Cai, atau Tiga Entitas Utama merupakan ontologi dari filsafat dan agama Khonghucu, bukan 1 bersifat fisik, tetapi bersifat abstrak. Ajaran Khonghucu mengakui bahwa Tuhan sebagai asalusul alam semesta dan juga mengendalikan sistem pergerakan alam. Manusia mempunyai kehendak bebas untuk menentukan pilihan dan juga mempunyai tanggungjawab atas perbuatannya sendiri. Dengan ontologi San Cai itu, agama Khonghucu menekankan pada tanggungjawab manusia kepada Tuhan, Sang Pencipta, tanggung jawab kepada sesama manusia, dan kepada bumi tempat hidupnya. Konsep ini dikenal dengan ungkapan Tian Ren He Yi ( ) atau Tuhan dan Manusia bersatu. Guna menjelaskan pengertian San Cai, lebih mudah dimulai dari Di Dao atau hubungan manusia dengan alam, dilanjutkan hubungan manusia dengan manusia atau Ren Dao, dan hubungan manusia dengan Tuhan atau Tian Dao. Di Dao (Hubungan manusia dengan alam) Alam dan bumi adalah tempat hidup manusia dan makhluk hidup lain. Tubuh manusia berasal dari unsur-unsur kimiawi yang berasal dari bumi. Dengan perkataan lain, tubuh manusia berasal dari bumi dan mendapatkan makanan dari bumi, sedangkan roh manusia diperoleh dari Tuhan. Manusia mempunyai roh dan raga, oleh karena itu, manusia wajib menjaga kelestarian alam agar sumber kehidupannya tidak habis. Dalam kepercayaan orang Tionghua zaman purba, bumi dijaga oleh Malaikat Bumi, disebut Fu De Zheng Shen ( ), artinya dewa yang memberi rejeki dan menjaga perilaku kebajikan manusia. Pemujaan terhadap Malaikat Bumi ini tetap dilestarikan oleh agama Khonghucu. Mitos Malaikat Bumi ini menyangkut dua kepentingan yaitu menjaga kelestarian alam dan menjaga perilaku manusia. Sampai sekarang banyak kelenteng dibuat oleh masyarakat penganut agama Khonghucu untuk menghormati Malaikat Bumi. Agama Khonghucu mengajarkan agar masyarakat mempelajari sifat-sifat benda yang berada di bumi, dan dapat memanfaatkannya untuk meringankan beban hidup. Agama Khonghucu mengajarkan sebagai berikut “Karena manusia sudah dapat membuat perahu maka tidak perlu menyeberangi sungai dengan berenang. Orang melakukan perjalanan jauh tidak perlu berjalan kaki ) http://sukhawardhana.blogspot.com/2012/10/pengembangan-kesadaran-lingkungan.html Sutoyo, Revolusi Paradigma Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia karena sudah ada kereta yang ditarik kuda”.. Itu artinya agama Khonghucu sangat menghargai teknologi karena dapat meringankan pekerjaan manusia. Teknologi berkaitan dengan ilmu pengetahuan alam, yaitu memanfaatkan sumber daya alam, air, angin, dan hasil tambang untuik meringankan hidup manusia. Dalam usaha menyejahterakan hidup manusia, pemanfaatan sumber daya alam adalah usaha yang sangat penting. Menurut van Peursen (1976), teknologi adalah memperbesar fungsi anggota badan manusia, misalnya, kapak membantu fungsi tangan. Kereta membantu fungsi kaki. Kaca mata membantu fungsi mata. Ren Dao (Hubungan Kemanusiaan) Hubungan antar-manusia adalah hubungan yang sangat penting. Hubungan itu perlu dijaga keselarasannya supaya semua bisa bekerja sama dengan baik. Manusia dalam berinteraksi perlu memperhatikan kedudukan dan kehormatan orang lain. Hubungan antar-manusia perlu dilandasi kebajikan atau cinta kasih dan keadilan. Tian Dao (Hubungan manusia dengan Tuhan) Adanya pengakuan terhadap sifat-sifat Tuhan membuktikan bahwa agama Khonghucu mengakui adanya kesadaran transenden. Orang yang beriman menyadari bahwa ketaatannya kepada hukum Tuhan ikut menentukan posisi orang tersebut dalam kehidupan duniawi. Artinya, orang yang beriman kepada Tuhan diyakini akan mendapat kedudukan baik di dunia ini. Kepatuhan dan rasa hormat kepada Tuhan akan membimbing perilaku manusia, dan perilaku itu berpengaruh langsung kepada nasib manusia, sebaliknya, orang yang tidak beriman perilakunya hanya mengikuti emosi dan ambisinya. Peran agama terhadap kehidupan manusia amat penting. Agama tidak hanya memberikan harapan kepada manusia, tetapi juga menyalurkan emosi manusia yang tersumbat. Dalam hidupnya, manusia mengalami banyak maalah yang tidak dapat diatasi.. Apabila menghadapi masalah seperti itu, untuk mencari jawabannya manusia dapat masuk ke dunia yang lebih tinggi yaitu dunia transenden, atau Tian Dao.( ). Dalam dunia transenden semua masalah yang ruwet diberi makna sendiri. Tuhan memiliki sifat-sifat sebagai berikut. 1) Kekuasaan Tuhan itu mutlak, atau Tian Zhi ( ), tidak terpengaruh oleh apa pun.Tidak 2) 3) 4) 5) 6) 7) 65 ada yang dapat menggugat keputusan Tuhan. Tuhan sebenarnya sudah berlaku adil, semua makhluk hidup disediakan makanan, tetapi mereka harus mengambilnya sendiri dengan bekerja, yang malas tidak mendapat rejeki. Tuhan Yang Maha Pencipta, atau Tian Gong ( ). Tuhan telah menciptakan alam dan isinya, manusia sebagai makhluk paling cerdas selayaknya dapat memelihara alam ini karena menjadi sumber hidupnya. Kenyataanya, tidak semua manusia dapat menjaga kelestarian alam. Manusia yang sudah berbudaya tinggi dan menguasai ilmu pengetahuan tentang lingkungan hidup dapat melestarikan alam karena mereka telah mempunyai cukup pengetahuan tentang fungsi dan manfaat alam dan isinya. Tuhan memberi manusia pancaindra dan memfungsikannya agar manusia dapat mengenal dunia luar, dan memanfaatkan fasilitas yang ada di alam ini untuk meringankan hidupnya, sifat ini disebut Tian Jun ( ). Akan tetapi, manusia juga perlu pengetahuan, perlu belajar, agar dapat memanfaatkan pancaindra secara optimal. Manusia tidak hanya mampu memahami benda-benda, tetapi juga dapat menciptakan simbol dan huruf sehingga dapat menyimpan pengalaman dan memindahkannya kepada orang lain yang berada di ruang dan waktu yang berbeda. Tuhan memberi manusia organ tubuh dan mengatur fungsinya agar manusia selalu sehat dan bahagia, sifat itu disebut Tian Guan ( ). Manusia wajib belajar menjaga tubuhnya sendiri agar selalu sehat. Untuk itu, manusia perlu pengetahuan tentang kesehatan. Tuhan memberi manusia perasaan agar dapat membedakan antara penderitaan dan kesenangan, sifat itu disebut Tian Qing ( ). Setiap manusia dapat merasakan penderitaan dan kesenangan, tetapi untuk mengendalikan diri agar tidak jatuh dalam penderitaan dan bisa memperoleh kesenangan yang benar, perlu belajar dalam waktu lama. Tuhan memberi manusia makanan agar dapat hidup dan berumur panjang, sifat itu disebut Tian Yang ( ). Namun, manusia harus belajar memilih makanan yang menyehatkan, bukan hanya makanan yang enak dan membuat perut kenyang. Tuhan memberi manusia alam semesta yang tertib 66 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 dan manusia juga harus membuat masyarakat yang tertib. Tuhan memberikan ketertiban di alam semesta ini, Ketertiban dari Tuhan itu disebut Tian Zheng ( ). Manusia diperintah agar menjaga kelestarian alam, menjadikan alam ini sebagai tempat yang aman dan nyaman, tetapi manusia perlu belajar hidup tertib. Dalam masyarakat yang kurang berbudaya, orangorangnya belum mampu menertibkan hidupnya sendiri, belum mandiri, dan tidak dapat menjaga kelestarian lingkungan alam maupun lingkungan sosial (spocjournal, 2010). Seluruh agama yang berkembang dan diyakini oleh masyarakat Indonesia memiliki paradigma perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dituangkan dalam ajaran-ajarannya. Paradigma tersebut seharusnya dapat menuntun para pemeluknya untuk senantiasa menjaga dan melestarikan lingkungan, agar kehidupan yang baik tetap dapat terjaga kelangsungannya sepanjang masa. SIMPULAN Bangsa Indonesia memiliki falsafah hidup dan sekaligus merupakan dasar Negara berupa Pancasila. Sila pertama Pancasila menyatakan: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila ini menegaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berTuhan, yang menyatakan kepercayaan dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia percaya dan meyakini bahwa seluruh kehidupan yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dijaga kelestariannya. Seluruh ajaran agama yang dianut oleh bangsa Indonesia mengajarkan tentang perintah untuk menjaga dan melindungi lingkungan hidup serta memanfaatkanya dengan cara yang bijaksana. Seluruh ajaran agama melarang adanya perusakan lingkungan hidup. Apabila upaya perlindungan lingkungan dapat dilakukan berdasarkan keyakinan atas dasar perintah Tuhan, maka upaya ini akan dapat mencapai hasil yang sempurna. Karena keyakinan akan menuntun setiap orang untuk menjalankan semua perintah dan menjahui semua yang dilarang. Jika Arne Naes dengan Deep ecologynyatelah berhasil menjadikan gerakan perlindungan lingkungan sebagai gaya hidup (life style), maka tentunya jika upaya perlindungan lingkungan yang didasarkan atas keyakinan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa, akan dapat memberikan hasil yang lebih efektif dari pada sekedar gaya hidup/life style. Keyakinan tersebut akan menjadi kekuatan moral (morall force) yang menuntun semua stake holder (Pemerintah, pengusaha, masyarakat) untuk mewujudkan upaya perlindungan lingkungan dalam kehidupan seharihari, apapun halangan yang dihadapi Daftar Rujukan http://www.sabda.org/reformed/etika_lingkungan_hidup_dari_perspektif_teologi_kristen http://forest4betterlife.blogspot.com/2013/07/ perspektif-agama-katolik-terhadap.html http://ibgwiyana.wordpress.com/2012/04/05/ konsep-konsep-ajaran-agama-hindu-dalampengelolaan-lingkungan-hidup-wana-kertih2/ http://sukhawardhana.blogspot.com/2012/10/ pengembangan-kesadaran-lingkungan.html http://www.spocjournal.com/filsafat/193-san-caitiga-entitas-utama-ontologi-dari-filsafatdan-agama-khonghucu.html http://forest4betterlife.blogspot.com/2013/07/ perspektif-agama-katolik-terhadap.html http://sukhawardhana.blogspot.com/2012/10/ pengembangan-kesadaran-lingkungan.html PENGEMBANGAN ALTERNASI PEMBELAJARAN PPKn MELALUI MODUL BERBASIS KECAKAPAN SOSIAL (SOCIAL SKILLS) Zulis Mariastutik Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang No 5 Malang email:[email protected] Abstract: In order to improve the quality and increase the understanding of material behavior as the impact of learning on the Civic. More action to obtaining maximum result that is innovative teaching materials. Efforts to develop teaching materials made using this procedure Borg and Gall Research and development. Product development is a substance produced by alternations Civics learning modules based social skills (social skills), the material used is a matter of social norms , the character that was instilled religious values , living with others, honesty, discipline, and responsibility. Results of the study of social skills-based module products in design validation matter experts showed 84.37 % and 97.91 % of the media show, both validators of creative and media experts show valid with the revised of product design. After the product have been revision, Product quality testing small groups of students, 89.58 % of the test group 89.84 % and a total of 89.7%. In interest of student learning trial on small groups of students 87 %, the big group total 89.4 % and all total 88.8%. Test the quality of the product is also done on the 97.5 % of the teacher. Based on the advice given by the material, the material produced using the curriculum in 2013. Keywords: Abstrak: Peningkatan kualitas pemahaman materi dan perbaikan perilaku sebagai dampak pembelajaran pada mata pelajaran PPKn, diperlukan tindakan untuk memperoleh hasil yang maksimal dengan cara inovasi bahan ajar. Salah satu upaya dalam mengembangkan bahan ajar dapat dilakukan dengan menggunakan prosedur penelitian Borg and Gall Research and development. Produk pengembangan yang dihasilkan adalah bahan alternasi pembelajaran PPKn melalui modul berbasis kecakapan sosial (social skills), materi yang digunakan adalah materi norma sosial, nilai karakter yang ditanamkan adalah nilai religious, hidup bersama orang lain, jujur, disiplin, dan tanggung jawab. Hasil penelitian produk modul berbasis kecakapan sosial pada validasi desain ahli materi menunjukkan 84,37% dan ahli media menunjukkan 97,91% , kedua validator dari ahli materi dan media menujukkan desain produk valid dengan revisi. Setelah itu dilakukan revisi produk. Pada kualitas produk uji coba kelompok kecil pada siswa 89,58%, uji coba kelompok besar 89,84% dan total keseluruhan 89,7%. Pada minat belajar siswa uji coba kelompok kecil pada siswa 87%, kelompok besar 89,4% dan total keseluruhan 88,8%. Uji kualitas produk juga dilakukan pada guru yaitu 97,5%. Berdasarkan saran yang diberikan oleh ahli materi, bahan ajar yang dihasilkan menggunakan kurikulum 2013. Kata Kunci: pembelajaran PPkn, modul berbasis kecakapan sosial Sebagai upaya meningkatkan kualitas manusia, pendidikan menempatkan pilihan utama dan faktor dominan untuk mewujudkannya. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan mengacu pada pasal 1 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan mengembangkan pola-pola interaksi dengan didasarkan perkembangan zaman dan wawasan yang luas serta mendalam tanpa 67 68 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 meninggalkan nilai-nilai perilaku yang telah ada. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) mempunyai tujuan dalam membekali siswa diantaranya, (1) Dapat memahami dan mampu melaksanakan hak dan kewajiban sacara santun, jujur, dan demokratis serta ikhlas sebagai warganegara terdidik dalam kehidupannya selaku warganegara Republik Indonesia yang bertanggung jawab; (2) Mengetahui dan paham tentang berbagai masalah dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta mampu mengatasi dengan menerapkan pemikiran yang berlandaskan Pancasila, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional secara kritis dan bertanggung jawab; (3) Memupuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan serta patriotisme yang cinta tanah air, rela berkorban bagi nusa dan bangsa PPKn merupakan mata pelajaran yang mengajarkan bagaimana bentuk perilaku yang baik untuk diterapkan oleh siswa di masyarakat. Sehingga pemahaman tentang materi menjadi faktor keberhasilan utama pembelajaran PPKn, sedangkan lingkungan masyarakat menjadi tempat ukuran keberhasilan pembelajaran PPKn. Dalam proses pemahaman mata pelajaran PPKn, siswa sering mengalami kebingungan dalam pemahaman materi norma pelajaran PPKn. Kerasnya kehidupan yang siswa alami, serta kurang tegasnya aturan-aturan masyarakat dalam pergaulan membuat siswa mengalami kebingungan, sehingga mereka membuat suatu solusi perilaku sendiri yang dianggap itu benar. Salah satu upaya dalam meningkatkan pemahaman materi pada pelajaran PPKn yaitu dengan adanya bahan ajar yang dapat mendukung ketercapaian pembelajaran PPKn. Disamping ada buku bahan ajar inti diperlukan pula alternasi inovasi bahan ajar. Alternasi pembelajaran yang dihasilkan adalah modul berbasis kecakapan sosial (social skills). Bahan ajar ini diharapkan dapat (1) meningkatkan pemahaman siswa terhadap hakikat norma, macam-macam norma, perilaku yang sesuai norma, (2) menghayati dan mengaplikasi perilaku yang sesuai dengan norma, (3) berkembang secara positif dengan karakter masyarakat Indonesia, (4) mampu berinteraksi dengan baik dan bersikap positif terhadap perubahan yang terjadi pada masyarakat, (5) mengembangakan nilai-nilai perilaku sesuai norma sosial kepada masyarakat. Alternasi bahan ajar yang diajar mengenai materi norma sosial yang tumbuh dan berkembang di masyarakat secara universal. Materi norma menjadi sorotan dalam penerapannya di masyarakat. Guru PPKn sebagai agen perubahan dalam sektor pendidikan dan penanaman nilai secara universal menjadikan guru memiliki tuntutan untuk melaksanakan tugas mengajarkan norma kepada siswa. Alternasi bahan ajar juga perlu digunakan oleh guru untuk membantu dan mempermudah dalam melaksanakan dan mensosialisasikan norma sosial kepada siswa. Karena pada dasarnya bahan ajar merupakan komponen penting dalam pembelajaran. Penguatan tentang norma sosial harus lebih ditekankan, walaupun materi norma telah ada dan diterapkan pada pembelajaran di sekolah. Norma dapat pula dikembangkan dan dikuatkan pada siswa. Penguatan ini dilakukan untuk mengembangkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan norma sosial yang berlaku dimasyarakat. dengan menuntut siswa untuk cakap dalam berinteraksi dengan masyarakat yang heterogen atau homogen pada masa sekarang dan masa depan. Disisi lain bahan ajar berbasis kecakapan sosial (sosial skills) ini mencakup kecakapan komunikasi dengan empati dan kecakapan bekerja sama yang dapat membantu pembentukkan karakter pada siswa. Bahan ajar ini menggunakan konsep kurikulum 2013 dengan proses pembelajaran langsung dan tidak langsung. Proses pembelajaran tidak langsung, yang diuraikan oleh kemendikbud (2013:16) merupakan proses pendidikan yang terjadi selama proses pembelajaran langsung tetapi tidak dirancang dalam kegiatan khusus, berkenaan dengan pengembangan nilai dan sikap. Proses pembelajaran tidak langsung adalah proses yang dilakukan selama proses pembelajaran langsung dan tidak bersentuhan langsung dengan sumber belajar, akan tetapi lebih bersifat mengembangkan nilai dan sikap. Dalam proses pembelajaran langsung sesuai dengan Kompetensi Inti 1). Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya, 2). Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya. Kompetnsi Dasar yang digunakan 1.1 Menghargai Mariastutik, Perkembangan Alternasi Pembelajaran PPKn melaui Modul Berbasis Kecakapan Sosial perilaku beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia dalam kehidupan di sekolah dan masyarakat. 2.2 Menunjukkan perilaku sesuai norma-norma dalam berinteraksi dengan kelompok sebaya dan masyarakat. Dalam proses pembelajaran tidak langsung Kompetensi Inti yang digunakan sebagai berikut 3. Memahami pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, terkait fenomena dan kejadian tampak mata. 4. Mencoba, mengolah, dan menyajikan dalam ranah konkret (menggunakan, menguraikan, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori. Kompetensi Inti yang digunakan sebagai berikut 3.4 Memahami norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 4.4 Menyajikan hasil pengamatan tentang norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Norma merupakan materi yang membahas tentang aturan-aturan yang berlaku dimasyarakat. Norma dapat mengakibatkan seseorang (individu) atau masyarakat patuh terhadap aturan, mewujudkan masyarakat yang selaras serasi dan seimbang. Norma menjadi materi pembelajaran yang bermanfaat bagi siswa dalam pembentukan pribadi berperilaku baik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Hal ini disesuaikan dengan perkembangan zaman yang semakin pesat dengan perubahan masyarakat yang terjadi secara nyata. Perubahan dimasyarakat haruslah sesuai dan tidak melanggar peraturan-peraturan yang berlaku dimasyarakat. Norma sosial adalah norma yang berkembang dalam suatu kehidupan sosial masyarakat tertentu. Penguatan tentang norma sosial harus lebih ditekankan, walaupun materi norma telah ada dan diterapkan pada pembelajaran di sekolah. Penguatan ini dilakukan untuk mengembangkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan norma sosial yang berlaku dimasyarakat yang heterogen dan homogen. Pada teori pembelajaran berbasis sosial (social learning) menurut Bandura dalam (Saefullah, 2012:216) menyatakan bahwa. “Prinsip dasar belajar pada teori ini adalah yang dipelajari individu terutama 69 dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Serta pentingnya conditioning dengan melalui pemberian reward dan punishment, seseorang individu akan berpikir dan memutuskan perilaku sosial yang perlu dilakukan”. Alternasi pembelajaran mata pelajaran PPKn melalui Modul berbasis kecakapan social, secara garis besar mempelajari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan berdasarkan kurikulum. Hal yang perlu diperhatikan dalam modul haruslah disesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan teknologi, dengan tidak mengesampingkan ketentuan-ketentuan bahan ajar yang disesuaikan dengan kebutuhan (siswa dan guru). Dari berbagai penjelasan tersebut. Bahan ajar yang dihasilkan adalah modul berbasis kecakapan sosial sebagai alternasi pembelajaran PPKn. Modul yang dirancang dengan memperhatikan kriteria modul sebagai bahan alternasi pembelajaran PPKn. Dengan asumsi bahwa modul itu tidak hanya bisa sebagai bahan ajar pendukung bahkan juga bisa menjadi bahan ajar utama terutama materi norma. Modul yang dirancang pada mata pelajaran PPKn memuat materi dengan informasi tentang tata cara menjadi warga negara yang baik, menjadi individu yang bermoral, selain itu mendorong siswa untuk menjadi individu yang mudah bersosialisasi, mencintai tanah air, menjaga dan mengembangkan budaya nusantara. METODE Model pengembangan modul berbasis kecakapan sosial (sosial skills) dengan materi norma sosial sebagai bahan alternasi pelajaran PPKn dalam mengoptimalkan potensi siswa SMP menggunakan model pengembangan prosedural. Pengembangan prosedural adalah model yang bersifat deskriptif yaitu menggariskan langkahlangkah yang harus diikuti untuk menghasilkan produk. Model pengembangan prosedural yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti metode penelitian dan pengembangan (Research and 70 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 Development/R&D). Metode Penelitian dan pengembangan adalah metode yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan produk tersebut. Dalam konteks produk yang dihasilkan adalah modul sebagai bahan alternasi pembelajaran. Adapun langkahlangkah penelitian pengembangan yang digunakan sebagai berikut, 1) Potensi dan masalah, ini dengan melihat bentuk potensi yang ada dan masalah yang sedang terjadi. (dilakukan oleh peneliti), 2) Melakukan pengumpulan data dari berbagai informasi, analisa data dai potensi dan masalah, analisa dan kajian pustaka (dilakukan oleh peneliti), 3) desain produk ini dilakukan untuk membuat rancangan produk awal dengan penyusunan materi yang sesuai dengan potensi, masalah dan analisa data yang telah ditemukan (rancangan dibuat oleh peneliti), 4) validasi desain ini dilakukan oleh 2 validator yang terdiri dari 1 validator materi dan 1 validator media, 5) revisi desain dilakukan setelah mendapat validator dari ahli materi dan media. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan produk yang sesuai, 6) uji coba produk dilakukan pada kelompok kecil siswa (10 siswa), 7) revisi produk, setelah uji coba produk pada kelompok kecil yang mendapatkan sampel produk dan untuk mengukur tingkat kualitas dari produk, 8) uji coba pemakaian dilakukan untuk mendapatkan penilaian akhir dari uji coba produk, dengan malibatkan kelompok besar siswa kelas VII , 9) revisi produk dilakukan setalah uji coba produk yang terakhir pada kelompok besar siswa kelas VII, 10) produk hasil, produk terakhir yang akan digunakan untuk pembelajaran dengan melalui berbagai tahapan. Analisis data yang digunakan adalah dengan teknik presentase. Rumus yang digunakan adalah Keterangan: P = Persen skor = Jumlah jawaban tiap responden dari tiap item pertanyaan = Total skor jawaban jika seluruh responden menjawab benar Tabel I: Kriteria Validitas Analisis Persentase Persentase (dalam persen) Kriteria Validitas 85-100 70-84 55-69 50-54 0-49 Sangat valid, tidak perlu revisi Valid, tidak perlu revisi Cukup valis, tidak perlu revisi Kurang valid, perlu revisi Tidak valid, revisi total Kriteria validitas analisis presentase mengadopsi pada bentuk penilaian skala penilaian. Hal ini dilakukan untuk mengukur kevalidan produk yang akan dikembangkan. Data yang diperoleh dari angket akan di ukur dengan kriteria validitas analisis diatas. Pada analisis data angket ahli materi berkaitan dengan kualitas modul berbasis kecakapan sosial memperoleh nilai 84,37%. Analisis data angket ahli media berkaitan dengan kualitas modul berbasis kecakapan sosial memperoleh nilai 97,91%. Analisis data angket siswa berkaitan dengan kualitas modul berbasis kecakapan sosial pada kelompok kecil memperoleh nilai 89,58% dan kelompok besar memperoleh nilai 89,84% dengan nilai total 89,7%. Analisis data angket siswa berkaitan minat belajar PPKn dengan menggunakan modul berbasis kecakapan sosial pada kelompok kecil memperoleh nilai 87% dan kelompok besar memperoleh nilai 89,4% dengan nilai total 88,8%. Kriteria kualitas isi modul berbasis kecakapan sosial oleh ahli materi dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Bahasa yang digunakan dalam mengidentifikasi materi norma sosial mudah dipahami, (2) Bahasa yang digunakan dalam menjelaskan, menguraikan perilaku sesuai norma mudah dipahami, (3) Gambar dalam modul berbasis kecakapan sosial jelas dan mudah dipahami, (4) Kesesuaian gambar dengan penjelasan materi, (5) Penjelasan pengertian materi norma sosial mudah dipahami, (6) Contoh-contoh kasus pelanggaran norma digambarkan dengan jelas, (7) Akibat pelanggaran norma digambarkan dengan jelas, (8) Penjelasan perilaku sesuai norma sosial digambarkan dengan jelas, (9) Penggambaran contoh perilaku sesuai norma sosial, (10) Video sesuai dengan penggambaran contoh perilaku norma sosial, (11) Bentuk evaluasi sesuai dengan materi norma sosial, (12) Urutan materi yang digambarkan pada modul berbasis kecakapan sosial mudah diikuti, (13) Materi dalam modul Mariastutik, Perkembangan Alternasi Pembelajaran PPKn melaui Modul Berbasis Kecakapan Sosial berbasis kecakapan sosial sesuai dengan kurikulum yang berlaku, (14) Materi dalam modul berbasis kecakapan sosial sesuai dengan kompetensi inti, (15) Materi dalam modul berbasis kecakapan sosial sesuai dengan kompetensi dasar, (16) Materi dalam modul berbasis kecakapan sosial sesuai dengan semua indikator yang ditetapkan. Kriteria penilaian yang dilakukan oleh ahli media terbagi menjadi 3 bagian, (1) Penilaian pada tampilan cover pada butir ini terbagi menjadi empat poin dapat diuraikan sebagai berikut: (a) Kesesuaian gambar cover dengan konsep, (b) Kelengkapan identitas pengembangan, (c) Kelengkapan informasi tentang materi, (d) Kemenarikan warna pada cover; (2) Kualitas tampilan modul berbasis kecakapan sosial (social skills). Pada point ini terbagi menjadi sebelas point, antara lain: (a) Penyusunan gambar cuku jelas, (b) Pengaturan gambar satu dengan gambar yang lain yang rapi dan tidak tumpang tindih, (c) Gambar sesuai materi, (d) Gambar pada modul dapat membuat siswa tertarik untuk membaca modul berulang-ulang, (e) Frame modul tersusun secara rapi, (f) Bentuk ukuran modul memberikan kemudahan dalam membaca, (g) Keterbacaan huruf atau kalimat dalam teks, (h) Karakteristik kata mutiara menarik, (i) Tampilan berwarna menarik, (j) Video sebagai bentuk gambaran contoh dapat menyampaikan pesan materi, (k) Tampilan video menarik. Penilaian kesesuaian isi dengan materi. Pada point ini terbagi menjadi sembilan bagian, antara lain: (1) Cover sesuai dengan materi, (2) Petunjuk penggunaan modul berbasis kecakapan sosial disajikan secara jelas, (3) Bahasa yang digunakan mudah dipahami, (4) Kesesuaian video dengan materi norma, (5) Kesesuaian modul berbasis kecakapan sosial dengan kompetensi inti, (6) Kesesuaian modul berbasis kecakapan sosial dengan kompetensi dasar, (7) Kesesuaian modul berbasis kecakapan sosial dengan indikator, (8) Materi yang disampaikan dapat dijangkau oleh siswa, (9) Materi norma sosial digambarkan secara rinci dan jelas dalam modul berbasis kecakapan sosial. Kualitas modul berbasis kecakapan sosial pada kelompok kecil dan kelompok besar, yaitu (1) kualitas modul berbasis kecakapan sosial, (a) Bahasa yang digunakan dalam modul berbasis kecakapan sosial untuk menjelaskan materi norma sosial, (b) Gambar dalam modul berbasis kecakapan sosial jelas dan dapat dipahami dengan 71 baik, (c) Gambaran macam-macam norma sosial disampaikan dengan jelas, (d) Contoh pelanggaran norma sosial digambarkan dengan jelas, (e) Penjelasan tentang perilaku sesuai norma sosial disampaikan dengan jelas, (f) Contoh perilaku dsampaikan dengan jelas, (g) Gambar pada modul berbasis kecakapan sosial membuat saya tertarik membaca modul, (h) Gambar dengan materi tidak tumpang tindih, (i) Gambar dengan gambar yang lain tidak tumpang tindih, (j) Urutan materi yang digambarkan pada modul berbasis kecakapan sosial mudah diikuti, (k) Tampilan modul berbasis kecakapan sosial tersusun rapi, (l) Cover modul berbasis kecakapan sosial menarik, (m) Video sebagai contoh norma, ditampilkan dengan jelas, (n) Tampilan video memudahkan pemahaman materi “Norma Sosial”. Penilaian minat belajar PPKn dengan menggunakan modul berbasis kecakapan sosial, yang dilakukan pada uji coba kelompok kecil dan kelompok besar antara lain (a) Saya tertarik mengikuti pembelajaran PPKn dengan media modul berbasis kecakapan sosial, (b) Penyajian modul berbasis kecakapan sosial dalam bentuk yang kreatif dan inovatif menumbuhkan ketertarikan saya pada pelajaran PPKn, terutama materi “Norma Sosial” mudah dipahami, (c) Saya lebih senang belajar PPKn dengan menggunakan modul berbasis kecakapan sosial dari pada hanya dengan buku teks/modul inti saja, (d) Penjelasan materi “Norma Sosial” melalui modul berbasis kecakapan sosial lebih menyenangkan, (e) Penjelasan materi “Norma Sosial” melalui modul berbasis kecakapan sosial lebih luas materinya, (f) Pembelajaran PPKn dengan menggunakan modul berbasis kecakapan sosial membuat saya lebih bersemangat untuk mempelajari PPKn lebih dalam, (g) Contoh norma dalam bentuk video membuat saya lebih bersemangat memahami PPKn khususnya materi “Norma Sosial”, (h) Saya tidak bosan belajar PPKn dengan menggunakan modul berbasis kecakapan sosial pada materi “Norma Sosial”, (i) Pembelajaran PPKn dengan menggunakan modul berbasis kecakapan sosial membuat saya lebih memperhatikan pelajaran PPKn di kelas, (j) Saya bersungguh-sungguh memperhatikan pelajaran PPKn yang disampaikan pada modul berbasis kecakapan sosial, (k) Pembelajaran yang disampaikan dengan menggunakan modul berbasis kecakapan sosial membuat saya lebih mudah untuk memahami materi yang disampaikan. 72 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa yang dilakukan berdasarkan kriteria validitas diketahui bahwa produk yang diuji pada ahli materi, ahli media, guru, dan siswa menyatakan bahwa produk dinyatakan valid. Dinyatakan valid dengan alasan (1) Nilai yang diperoleh pada uji validasi materi 84,37%, (2) media memperoleh nilai 97,91%, (3) uji coba kualitas pada kelompok kecil 89,58%, (4) uji coba kualitas pada kelompok besar 89,84%, (5) mengukur minat belajar dengan produk yang dihasilkan pada kelompok kecil 87%, (6) mengukur minat belajar dengan produk yang dihasilkan pada kelompok besar 89,4%. Berdasarkan pada tabel 1 kriteria penilaian valid dari produk, apabila nilai pada rentangan 84100 dapat dinyatakan bahwa produk yang dihasilkan termasuk kriteria sangat valid. Sisi lain yaitu dapat diproduksi secara masal dan dapat digunakan dalam pembelajaran PPKn. Produk yang dihasilkan adalah berupa modul berbasis kecakapan sosial pada materi norma sosial dengan spesifikasi sebagai berikut : 1. Materi tentang norma sosial, gambar contoh norma sosial, bentuk evaluasi, dan CD yang berisi video yang mencerminkan perilaku norma sosial yang ringan dan nyata. 2. Modul berbasis kecakapan sosial memiliki komponen : a.Kompetensi Inti, b. Kompetensi dasar, c. Materi, d. Indikator, e.Latihan soal, f. Gambar animasi maupun gambar faktual, g. Video. Modul pembelajaran bersifat menarik menyerupai buku cerita atau komik yang atraktif. Modul pembelajaran dapat digunakan oleh siswa untuk alternatif belajar mandiri, sedangkan bagi guru dapat digunakan sebagai alternatif atau pilihan lain sebagai bahan ajar. Ahli media dan materi tidak hanya mengisi angket penilaian produk, saran yang diberikan oleh ahli media sebagai berikut, secara umum modul memperoleh nilai valid. Perlu dilakukan inovasi pasca cetak (penjilidan, cetak cover, wadah kid) dan materi cermati apa LKS sudah sesuai dengan KD pada kurikulum 2013 yang berkaitan dengan norma. Berdasarkan saran yang diberikan oleh ahli materi dan media dilakukan perbaikan media, menurut ahli media menyesuaikan LKS dengan KD pada kurikulum 2013 yang berkaitan dengan norma. Hasil pengembangan modul berbasis kecakapan sosial (Social skills) yang dikembangkan dalam bentuk buku dilengkapi CD yang berisi video contoh perilaku. Dalam penggunaannya modul berbasis kecakapan sosial ini tidak jauh beda dengan sumber belajar utama atau buku pembelajaran yang berisi materi norma. Namun ada sedikit pembeda, hal ini dikarenakan produk yang dihasilkan adalah modul berbasis kecakapan sosial sebagai alternasi atau pilihan lain selain pilihan utama. Tentunya materi yang dikembangkan mendalam, meluas dan mudah menyesuaikan dengan karakter individu (siswa) dan proses pembelajaran. Ada beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan pembuatan modul berbasis kecakapan sosial. Fakta kondisi masyarakat dengan segudang persolan dan menjadi penghambat pembentukan norma sosial. Fakta tersebut memotivasi pengembang mengembangkan kondisi yang baik yang tertuang dalam modul berbasis kecakapan sosial. Pertimbangan berdasar pada kurikulum 2013 agar modul dapat diterapkan pada kurikulum 2013. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang membangun nilai dan sikap individu. Maka kurikulum 2013 dianggap relevan dengan karakter yang akan dibangun dalam pembelajaran. Karakter modul harus bisa menyesuaikan karakter siswa dan kemampuan guru. Apabila modul dapat disesuaikan dengan karakter siswa, diharapkan mampu menyampaikan informasi materi kepada siswa. kemampuan menjadi dasar pertimbangan pembuatan modul. Materi norma dan bahasa yang digunakan harus mampu membantu guru dalam pemahaman konsep materi dalam modul. Kondisi kelas dan letak sekolah yang merupakan kondisi dengan penuh konflik masyarakat. Modul yang dihasilkan diharapkan mampu menjadi modul yang dapat menyesuaikan dan memberikan penerangan konsep tentang bermasyarakat yang baik dengan memahami norma yang berlaku dimasyarakat. Pengembangan modul berbasis kecakapan sosial diharapkan mampu menanamkan nilai-nilai moral yang baik dalam pembelajaran dan kehidupan di masyarakat. Mampu merubah pola pikir dan kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat sekitar lingkungan sekolah SMP Negeri 2 Sumobito. Modul ini juga diharapkan mampu menjadi bahan ajar di lingkungan pendidikan lain. Mariastutik, Perkembangan Alternasi Pembelajaran PPKn melaui Modul Berbasis Kecakapan Sosial Modul berbasis kecakapan sosial ini memiliki misi dalam pendidikan. Misi tersebut adalah menjadikan individu yang memiliki nilai dan sikap yang baik. Membantu siswa hidup mandiri. Memberikan kemampuan untuk menyesuaikan diri pada lingkungan masyarakat homogen atau heterogen. Memudahkan individu diterima dilingkungan manapun. Menjadikan individu memiliki jiwa kepemimpinan, tanggung jawab, disiplin, santun, dan sportif. Pengembangan produk modul berbasis kecakapan sosial yang dihasilkan diuraikan dalam poin berikut. (a) Modul berbasis kecakapan sosial, modul berbasis kecakapan sosial yang digunakan oleh siswa dengan ciri utama lengkap dan mandiri mendorong pemahaman kesadaran diri, percaya diri, komunikasi, tenggang rasa & kepedulian, hubungan antar personal, pemahaman dan pemecahan masalah, menemukan& mengembangkan kebiasaan positif, kemandirian, kepemimpinan terhadap lingkungan sosial (Keluarga, Sekolah, Masyarakat). Modul memiliki karakter sebagai berikut (1). Self Intruction yaitu siswa mampu membelajarkan diri sendiri, tidak tergantung pada pihak/media lain, (2). Self Contained yaitu seluruh materi pembelajaran dari suatu unit kompetisi atau sub kompetensi yang dipelajari terdapat dalam salah satu modul sacara utuh, (3). Stand Alone yaitu modul yang dikembangkan tidak tergantung pada media lain atau tidak harus digunakan bersama media lain, (4). Adaptive yaitu modul hendknya memiliki daya adaptif yang tinggi terhadap perkembangan ilmu dan teknologi, (5). User Friendly yaitu modul hendaknya bersahabat dengan pemakainya. Selain itu modul berbasis kecakapan sosial dibuat untuk dijadikan pembelajaran yang mandiri, mudah digunakan, serta merangsang siswa untuk inovatif, kreatif dan berfikir mendalam serta mampu memecahkan masalah dalam menghadapi masalah atau menyesuaikan diri dengan lingkungan yang heterogen dan homogen. Siswa dikatakan berhasil dalam pendidikan apabila siswa dapat menempatkan diri sendiri terhadap orang lain. Penilaian masyarakat menjadi tolak ukur penilaian terhadap siswa dan sekolah sebagai lingkungan pendidikan yang berprestasi. Maka dari itu kebutuhan pemahaman mengenai lingkungan sosial sangatlah penting untuk siswa dan lingkungan pendidikan. Spesifik produk yang dihasilkan setelah melalui proses validasidari validator, produk yang dihasilkan adalah modul berbasis kecakapan sosial 73 sebagai alternasi pembelajaran PPKn. Modul berbasis kecakapan sosial merupakan bahan ajar yang dikombinasikan dan menunjukan kecakapan sosial. Modul yang dihasilkan diharapkan mampu membangun kecakapan dalam berinteraksi, menyesuaikan diri, maupun mengendalikan diri dalam lingkungan sosial. Jika setiap siswa bisa melakukan hal tersebut, maka tugas guru PPKn telah terpenuhi dengan baik untuk mambangun dan mendidik moral anak bangsa. Modul yang dihasilkan dapat menjadi alternatif bahan pembelajaran PPKn, artinya modul ini bisa menjadi bahan ajar utama dalam pembelajaran, maupun bahan ajar pendamping dalam proses pembelajaran. Modul didesain fleksibel, yang mampu menyesuaikan dengan metode pembelajaran yang beragam, kondisi siswa dan kemampuan guru. Berikut uraian materi yang digunakan pada modul berbasis kecakapan sosial. Banyak keuntungan jika setiap individu dapat menjadi solusi setiap masalah yang dihadapinya. Konflik sosial dapat ditekan, kenakalan remaja dapat ditekan, serta dapat memunculkan generasi bangsa yang memiliki tanggung jawab, disiplin, dan mampu bersosialisasi dengan orang lain diluar dirinya dan keluarga. Dalam modul spesifikasi produk yang dihasilkan meliputi komponen (1) Materi norma yang digunakan, Kesesuaian antara kecakapan sosial dengan materi norma yang digunakan menjadi pertimbangan khusus bagi peneliti. Materi yang disesuaikan dengan kecakapan sosial adalah materi norma sub materi norma sosial. Norma sosial merupakan suatu aturan dasar yang bersifat universal atau umum menjadi patokan mengenai tingkah laku sikap individu pada suatu anggota kelompok dalam batasan wilayah tertentu. Norma sosial sebagai patokan perilaku yang seharusnya dilakukan dalam berinteraksi dengan orang lain. Alasan menggunakan materi norma karena norma merupakan penanaman nilai dan sikap pada individu. Norma mampu membuat individu patuh terhadap nilai dan sikap yang ada. Nilai dan sikap dikembangkan secara langsung dan tidak langsung mampu membentuk karakter individu yang baik sesuai niali-nilai luhur pancasila. (2) Kompetensi yang digunakan dalam modul berbasis kecakapan sosial. Kurikulum yang digunakan sebagai acuan pengembangan modul berbasis kecakapan sosial adalah kurikulum 2013. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang mengembangkan nilai dan sikap terhadap individu. Kompetensi yang digunakan dalam pembelajaran 74 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 yang tidak langsung yaitu kompeten inti 1.) Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya, 2.) Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disipli, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya. Kompetensi Dasar yang digunakan 1.1 Menghargai perilaku beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia dalam kehidupan di sekolah dan masyarakat. 2.2 Menunjukkan perilaku sesuai normanorma dalam berinteraksi dengan kelompok sebaya dan masyarakat. Proses pembelajaran tidak langsung menggunakan kompetensi inti dan kompetansi dasar. Berikut kompetensi yang digunakan yaitu kompetensi Inti yang digunakan sebagai berikut 3. Memahami pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, terkait fenomena dan kejadian tampak mata. 4. Mencoba, mengolah, dan menyajikan dalam ranah konkret (menggunakan, menguraikan, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/ teori. Kompetensi Inti yang digunakan sebagai berikut 3.4 Memahami norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 4.4 Menyajikan hasil pengamatan tentang norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Komponen spesifikasi produk selanjutnya yaitu komponen cara penggunaan. Langkah yang dapat dilakukan oleh guru dalam penggunaan modul berbasis kecakapan sosial ini sebagai berikut: (1) Modul diberikan kepada siswa secara berkelompok. Karena modul sebagai alternasi sumber belajar jadi sifatnya menyesuaikan dengan materi yang diajar, kondisi kelas, siswa dan kemampuan guru, (2) Mintalah siswa untuk membaca modul tersebut dan berikan waktu yang cukup, (3) Lakukan kegiatan pembelajaran sesuai RPP yang telah disediakan, (4) Berikan evaluasi yang telah disediakan pada modul. Jika siswa telah mengerjakan soal evaluasi atau uji pemahaman konsep, minta siswa untuk mengumpulkannya, (5) Koreksi hasil evaluasi siswa, (6) Jangan lupa memberikan penghargaan pada siswa berupa penghargaan, hadiah ataupun yang lainnya. SIMPULAN Pengembangan alternasi pembelajaran PPKn yaitu melalui modul berbasis kecakapan sosial (social skills). Pengembangan produk yang dilakukan yaitu membuat bahan ajar modul alternasi pembelajaran PPKn berbasis kecakapan sosial (social skills). Produk yang dihasilkan berdasarkan dari penilaian ahli materi, ahli media, uji coba produk pada kelompok kecil dan kelompok besar, dan uji kualitas produk pada guru. Penilaian dan revisi dari validator membuat kesempurnaan dalam produk modul yang dihasilkan. Produk yang dirancang dapat membantu siswa dalam belajar bersama dengan guru atau belajar secara mandiri. Modul berbasis kecakapan sosial (social skills). Menempatkan norma sosial sebagai materi pembelajaran. Materi norma sosial merupakan aturan yang ada pada masyarakat tertentu berlaku universal dan berasal dari kebiasaan masyarakat. Dengan adanya modul berbasis kecakapan sosial (social skills) mampu mendorong siswa untuk berperilaku sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Karena perilaku siswa yang telah berada di masyarakat menjadi tolak ukur keberhasilan guru dalam pembelajaran. Selain itu, modul yang dibuat mampu membantu guru dalam sosialisasi pembelajaran PPKn khususnya materi norma. Dalam rangka upaya peningkatan moralitas masyarakat Indonesia, lingkungan pendidikan harus bisa maksimal dalam proses belajar mengajar. Lingkungan pendidikan terdiri dari 3 lingkungan pendidikan antara lain, (1) lingkungan keluarga, (2) lingkungan sekolah, (3) lingkungan masyarakat. Lingkungan keluarga sebagai tonggak utama keberhasilan pendidikan di sekolah, hendaknya lebih maksimal lagi dalam penanganan pendidikan. Disamping itu diperlukan pula pendidikan untuk keluarga (orang tua), agar mampu mensosialisasikan teori moralitas yang telah diberikan di sekolah. DAFTAR RUJUKAN Depdiknas. 2006. Pengembangan Bahan Ajar. (online). (http.//depdiknas.go.id), diakses 4 Mei 2013. Saefullah, K.H. U., 2012. Psikologi Perkembangan dan Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia. Mariastutik, Perkembangan Alternasi Pembelajaran PPKn melaui Modul Berbasis Kecakapan Sosial Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2012. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas & Peraturan Pemerintah R.I Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan serta Wajib Belajar. Bandung: Citra Umbara. 5 Permendiknas No. 34 Tahun 2006 Tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik Yang Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau bakat Istimewa. Kopertis12. (Online). (http:// www. Kopertis12.or.id), diakses 15 Mei 2013. Petunjuk Bagi Penulis 1. Naskah belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain, diketik dengan spasi rangkap pada kertas kuarto. Panjang 10-20 halaman dan diserahkan paling lambat 3 bulan sebelum penerbitan dalam bentuk ketikan diatas kertas kuarto sebanyak 2 eks, dan disket. Berkas naskah disimpan pada disket yang ditulis/diketik dengan menggunakan pengolah kata Word Perfect, MS Word. 2. Artikel yang dimuat dalam jurnal ini meliputi tulisan tentang hasil penelitian, gagasan konseptual, kajian dan aplikasi teori, tinjauan kepustakaan dan resensi buku baru. 3. Semua karangan ditulis dalam bentuk esai, disertai judul sub-bab ( heading) masingmasing bagian sajian tanpa judul sub-bab. Peringkat judul sub-bab dinyatakan dengan huruf yang berbeda (semua huruf dicetak tebal/bold). Cetak miring dan letaknya pada halaman, bukan dengan angka, sebagai berikut: PERINGKAT 1 (huruf besar semua tebal rata tepi kiri) Peringkat 2 (huruf besar-kecil tebal rata tepi kiri) Peringkat 3 (huruf besar-kecil dengan cetak miring/tebal rata tepi kiri) 4. Setiap karangan harus disertai (a) abstrak (50-75 kata), (b) kata-kata kunci, (c) identitas pengarang (tanpa gelar akademik), (d) pendahuluan (tanpa judul sub-bab) yang berisi latar belakang dan tujuan ruang lingkup tulisan, dan daftar rujukan. Hasil penelitian disajikan dengan sistematika sebagai berikut: (a) judul, (b) nama peneliti, (c) abstrak (50-75 kata), (d) kata-kata kunci, (e) pendahuluan (tanpa judul sub-bab) yang berisi pembahasan kepustakaan dan tujuan penelitian, (f) metode penelitian, (g) hasil, (h) pembahasan, (i) kesimpulan dan saran, (j) daftar rujukan. 5. Daftar rujukan disajikan mengikuti tata cara seperti contoh berikut dan diurutkan secara alpabetis dan kronologis. Cornel, L. dan Weeks, K. 1985. Planning Career Leaders: Lesson from the States, Atlanta. GA: Career leader Clearing House. Kanafi, A. 1989. Partisipasi dalam Siaran Pedesaan dan Adopsi Inovasi. Forum Penelitian. (1):33-47 6. Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Artikel, dan Makalah (Universitas Negeri Malang, 2010). Naskah diketik dengan memperhatikan aturan tentang penggunaan tanda baca dan ejaan yang dimuat dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan.