108 SEPUlUh HUkUM

advertisement
Pillar
Buletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia
108
Daftar Isi
Sepuluh Hukum:
Hukum Ketujuh (Part 3)..............1
Juli 2012
Meja Redaksi..................................2
Antony dan Hidup yang
Menyangkal Diri............................6
Let’s Take Time to Ponder...........9
Pokok Doa......................................9
Athanasius: Melawan Dunia
bagi Dunia....................................10
Grace and Peace to You, Father
John Chrysostom........................12
Sepuluh Hukum
Heretic Thoughts – ‘Truthful’
Life? Truthful Thoughts –
Heretic Life? A Lifetime
Struggle.........................................14
Liputan Foto Kebaktian
Pembaruan Iman Nasional
(KPIN) 2012 ...............................16
Penasihat:
Pdt. Benyamin F. Intan
Pdt. Sutjipto Subeno
Ev. Alwi Sjaaf
Redaksi:
Pemimpin Redaksi:
Ev. Edward Oei
Wakil Pemimpin Redaksi:
Ev. Diana Ruth
Redaksi Pelaksana:
Adhya Kumara
Heruarto Salim
Heryanto Tjandra
Desain:
Mellisa Gunawan
Redaksi Bahasa:
Darwin Kusuma
Juan Intan Kanggrawan
Lukas Yuan Utomo
Mildred Sebastian
Yana Valentina
Redaksi Umum:
Budiman Thia
Erwan
Hadi Salim Suroso
Randy Sugianto
Yesaya Ishak
GRII
CIMB Niaga
Cab. Pintu Air Jakarta
Acc. 234-01-00256-00-4
Sekretariat GRII
Reformed Millennium Center
Indonesia (RMCI)
Jl. Industri Blok B14 Kav. 1. Jakarta 10720
Telp: 021 - 65867811
www.buletinpillar.org
[email protected]
Hukum Ketujuh (Part 3)
K
ita telah membahas hukum ketujuh dari
beberapa aspek. Di dalamnya kita melihat
bahwa kesucian seks akan menjamin
kelestarian umat manusia sampai akhir zaman.
Ketidaksucian seks merupakan ancaman bagi
kesehatan pribadi dan kesejahteraan seluruh umat
manusia. Prinsip dari perintah yang penting ini bukan
hanya ada di dalam Alkitab, tetapi juga ditanam
Tuhan di dalam hati nurani manusia. Tidak ada satu
bangsa pun yang menyetujui bahwa manusia boleh
melampiaskan nafsu seks semaunya. Berhubungan
seks adalah sesuatu yang sangat nikmat karena
berdasarkan anugerah Tuhan manusia bisa menikmati
kenikmatan seks sedemikian tinggi yang melampaui
semua makhluk lainnya. Namun untuk itu, manusia
juga dituntut untuk menjaga kesucian seksnya. Jika
dilanggar, Tuhan akan menghukum orang itu. Lagi
pula manusia tidak mungkin mencintai dua orang di
saat yang sama dengan kadar cinta yang sama, tetapi dia
Oleh Pdt. Dr. Stephen Tong
mampu mencintai dua, empat, enam, sepuluh, bahkan
belasan anaknya dengan kadar cinta yang sama.
Fenomena ajaib yang tidak dapat dijelaskan, hanya
dapat diakui oleh para psikolog dari dahulu hingga
sekarang. Kasih sejati antara suami istri tidak dapat
dipisahkan dari kejujuran, kesehatian, dan kekekalan.
Itulah hikmat Allah saat menciptakan manusia. Kalau
ciptaan Allah ini tahu hidup sesuai kehendak-Nya,
pasti ia akan menikmati kebahagiaan sempurna,
kepuasan yang tidak akan disesali selamanya. Oleh
karena itu, bangsa yang menghormati pernikahan
akan diberkati Tuhan.
Rasio dan Kesucian
Di Taiwan ada gereja yang sebelumnya Reformed
kemudian berubah menjadi Liberal dan merestui
pernikahan homoseks dan lesbian. Di Malaysia ada
pendeta dengan gelar Doktor dari Amerika Serikat
menulis makalah bahwa homoseks tidak bertentangan
Berita Seputar GRII
1. STT-Reformed Injili Internasional mengadakan rangkaian Intensive Course dan Seminar sebagai berikut:
a. Intensive Course “Puritan Theology: Reforming Church & Society”, dibawakan oleh Prof. Paul C. H. Lim,
Ph.D. pada tanggal 2-6 Juli 2012.
b. Seminar “Christian Community Life in the Epistle of John”, dibawakan oleh Prof. Flavien Pardigon, Ph.D.
pada tanggal 8 Juli 2012.
c. Intensive Course “Ecclesiology”, dibawakan oleh Prof. Flavien Pardigon, Ph.D. pada tanggal 9-13 Juli
2012.
d. Seminar “The Work of Christ”, dibawakan oleh Prof. Gerald L. Bray, Ph.D. pada tanggal 15 Juli 2012.
e. Intensive Course “Christology”, dibawakan oleh Prof. Gerald L. Bray, Ph.D. pada tanggal 16-20 Juli
2012.
f. Seminar “The Holy Spirit in Christian Life”, dibawakan oleh Prof. Gerald L. Bray, PhD. pada tanggal 22
Juli 2012.
g. Intensive Course “Justification by Faith”, dibawakan oleh Prof. Gerald L. Bray, Ph.D. pada tanggal 23-27
Juli 2012.
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Sekretariat STT-Reformed Injili Internasional (021) 6586 7809,
email: [email protected].
2. STT-Reformed Injili Internasional akan mengadakan Ujian Penerimaan Mahasiswa Baru gelombang ke-3 pada
tanggal 10 Agustus 2012. Informasi dan formulir pendaftaran dapat diperoleh di Sekretariat STT-Reformed
Injili Internasional (021) 6586 7809, email: [email protected] dan dikembalikan paling lambat
tanggal 26 Juli 2012.
Hukum Ketujuh (Part 3)
dengan Alkitab. Ini semua membuktikan
kebenaran perkataan Martin Luther:
“Rasio manusia bagaikan pelacur”. Rasio
sering kali tidak setia kepada kebenaran,
bagai perempuan yang mau melakukan
hubungan seks dengan siapapun yang
memberinya uang. Rasio adalah organ yang
membedakan manusia dari makhluk yang
lain. Rasio bisa memikirkan makna, mencari
jawaban, menganalisis sebab-akibat, dan
menyimpulkan dalil yang ada di alam. Tetapi
rasio juga bisa menyetujui hal yang tidak
beres, namun dianggap cukup beralasan
meskipun alasannya sangat miring, licik, dan
tidak jujur. Itu adalah tindakan orang yang
kurang pandai atau yang mendewakan rasio,
tetapi tidak berani setia kepada kebenaran.
Martin Luther sangat peka akan hal ini dan
dia menyebut “Rasio bagai pelacur”.
Pertanggungjawaban Kesetiaan
Kepada siapa kita harus setia? Kepada
Allah karena Dia adalah Sumber Kasih yang
mengasihi kita terlebih dahulu dan menuntut
kita mengasihi Dia dengan sepenuh hati,
bagai seorang gadis yang menikah dan
mencintai suaminya. Hubungan Kristus
dengan jemaat-Nya digambarkan sebagai
hubungan kasih suami dan istri. Kristus
terlebih dahulu mengasihi kita, maka kita
harus setia, memelihara kesucian diri, dan
tidak keluar dari jalur yang Dia tetapkan.
Begitu pula rasio kita harus mengasihi
Kristus, Sumber Kebenaran, Inisiator
Wahyu, Penunjuk Jalan Kekekalan dengan
sepenuhnya. Merenungkan dan menaati
prinsip-prinsip yang tercantum dalam
firman Tuhan adalah kembalinya sang anak
hilang untuk setia kepada kebenaran yang
sejati. Inilah iman. Iman tidak membunuh
rasio, melainkan membawanya kembali
setia kepada kebenaran yang asli. Dengan
demikian orang Kristen membawa rasionya
taat sepenuhnya kepada Sumber Kebenaran,
kepada Tuhan Pencipta rasio. Orang Kristen
yang menggunakan rasio untuk memuaskan
perasaan bukanlah orang Kristen yang sejati,
karena orang Kristen yang sejati justru
mengajak umat manusia untuk mempelajari,
menaati, dan menjalankan kehendak Tuhan
yang telah Dia wahyukan kepada kita dengan
sepenuh hati.
Demikian pula tubuh kita hanya setia kepada
suami atau istri yang Tuhan berikan saat
kita membentuk rumah tangga. Kesucian
seks akan menjamin kebahagiaan seluruh
umat manusia dan menjadi berkat bagi
keturunannya. Jika mereka tidak peduli akan
hal ini, jangan harap mereka bisa mendidik
anak-anak mereka dengan baik. Saya sudah
beberapa kali mendengar ada anak-anak
yang menemukan gambar-gambar porno di
komputer dan kamera papanya. Setelah itu,
mereka mulai menonton dan malah mengajak
teman-teman mereka. Ketika seorang
remaja putri yang melakukan hubungan
seks di hotel ditanya, dia mengatakan
bahwa dia mencontoh papa mamanya.
Pendidikan yang baik bukan berdasarkan
pengetahuan melainkan teladan. Saat
skandal perzinahanmu terbongkar, seberapa
engkau kaya ataupun pandai, reputasimu
akan merosot tajam. Gosip skandal seks
jauh lebih cepat daripada pemberitaan Injil.
Menghormati Perkawinan
Tuhan sangat membenci orang yang
tidak setia dalam pernikahan. Di dalam
kitab Ibrani 13, Tuhan menuntut orang
menghormati perkawinan. Itu berarti: 1)
menghormati hubungan yang paling intim
antara pria dan wanita; 2) mengakui institusi
yang Tuhan tetapkan; 3) memperhatikan
kesehatan seluruh umat manusia; dan 4)
mendidik anak-anak buah pernikahan kita
dengan baik. Jangan main-main, hidup
suci ditandai dengan kesungguhanmu
menghargai pernikahanmu, setia kepada
pasangan hidupmu. Itulah yang membuat
hidupmu diperkenan Tuhan, menjadi teladan
dunia, dan menjadi fondasi pendidikan bagi
keturunanmu, sehingga mereka akan hidup
takut akan Tuhan dan menghormati orang
tua. Tuhan membenci perzinahan, karena
perzinahan adalah salah satu investasi setan
di dalam gereja.
Langkah pertama seseorang masuk ke
dalam Kerajaan Allah adalah pertobatan
yang dihasilkan oleh iman. Karena iman
datang dari mendengar firman, dan firman
disampaikan oleh orang yang sungguhsungguh memberitakan Injil, maka orang
yang memberitakan Injil haruslah orang
yang sungguh-sungguh sudah bertobat
terlebih dahulu. Ayat “Serukan nama
Tuhan, dan ia pun diselamatkan” (Rm.
10:9, 13) sering kali disalah mengerti dan
diselewengkan. Paulus mengatakan hal ini
kepada jemaat Roma yang saat itu berada
di dalam ancaman dipenggal kepala jika
menyerukan nama Tuhan. Siapapun saat itu
yang menyebut Yesus Tuhan akan dihukum
mati. Maka, pengakuan ini bukan pengakuan
biasa, dan memang tidak setiap orang bisa
mengeluarkan seruan itu. Jadi pernyataan
ini jangan dikontraskan dengan pernyataan
Tuhan Yesus di dalam kitab Matius 7:22.
Hanya orang yang digerakkan oleh Roh
Dari Meja Redaksi
Salam pembaca PILLAR yang setia,
Ada satu kutipan yang sangat terkenal dari seorang filsuf Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, “Aus der Geschichte lernt man nur,
dass man aus der Geschichte nichts lernt” (Dari sejarah manusia belajar bahwa manusia tidak belajar apa-apa dari sejarah). Tentunya
pembahasan tentang sejarah Bapa-bapa Gereja selama beberapa edisi terakhir ini bertujuan untuk kita mengerti sejarah dan mendapatkan
hikmat dari pelajaran sejarah tersebut.
Di edisi ini PILLAR membahas sejarah tokoh Gereja abad ke-4, seperti Athanasius dan Antony. Ada banyak mutiara-mutiara hikmat yang
tetap bisa kita temukan dan syukuri dari kehidupan dan pemikiran mereka, bahkan dari tokoh yang dicap sesat oleh Gereja seperti
Pelagius misalnya. Kiranya perjuangan dan warisan kisah mereka menjadi cermin hidup bagi kita untuk menghidupi panggilan kita di
dalam konteks dan zaman kita sekarang ini.
Sudahkah Anda mengunjungi website PILLAR di www.buletinpillar.org? Di sana Anda bisa mendapatkan edisi-edisi lampau dan ikut serta
dalam diskusi dengan memberikan tanggapan pada setiap artikel, sehingga dapat mengertinya secara lebih mendalam. Selain itu, tersedia
renungan mingguan yang hanya diterbitkan secara online. Daftarkan email Anda agar renungan mingguan ini dikirimkan kepada Anda
secara rutin!
Demikian juga, jika Anda mempunyai masukan, pertanyaan, artikel, ataupun resensi buku, Anda bisa mengirimkannya ke
[email protected].
Redaksi PILLAR
2
Pillar No.108/Juli/12
Hukum Ketujuh (Part 3)
Kudus yang berani dan beriman untuk
menyerukan nama Yesus sebagai Tuhan.
Saat ini justru banyak gereja yang katanya
mengabarkan Injil, tetapi sebenarnya
sedang memberitakan jalan yang lebar, yaitu
orang akan mendapat banyak harta, akan
sukses secara ekonomi, hidupnya lancar,
dan akan sehat selalu. Inilah Theologi
Kemakmuran. Mereka tidak mengajak
orang untuk bertobat dari dosa dan hidup
suci mengikuti kehendak Tuhan. Theologi
Kemakmuran bukanlah penginjilan. Sudah
terlalu jarang kebaktian-kebaktian besar
yang meneriakkan pertobatan dari dosa,
memberitakan Injil salib Kristus yang
menebus manusia berdosa. Orang yang
tidak percaya pada Injil tidak mungkin
mengabarkan Injil. Gereja yang tidak lagi
memberitakan Injil sejati mungkin untuk
sementara terlihat besar, tetapi itu justru
mengingatkan kita akan peringatan Tuhan
Yesus, “Bukan setiap orang yang berseru
kepada-Ku, Tuhan, Tuhan, akan masuk
ke dalam Kerajaan Sorga.” Saat itu banyak
orang yang berseru kepada-Ku, “Bukankah
aku pernah bernubuat demi nama-Mu;
dan mengusir setan demi nama-Mu; dan
mengadakan mujizat demi nama-Mu?”
Maka Yesus akan berkata kepada mereka,
“Enyahlah dari hadapan-Ku pembuat
kejahatan. Aku tidak pernah mengenal
engkau” (Mat. 7:21-23). Banyak khotbah
hari ini yang hanya ingin menyenangkan
telinga. Khotbah yang begitu lunak, begitu
banyak meneriakkan pengampunan. Kalau
berzinah itu bukan engkau yang berzinah,
tetapi karena ada roh zinah di dalam hatimu.
Maka kita harus mengusir keluar roh zinah
itu, dan engkau sendiri diselamatkan. Jadi
siapa yang berzinah kalau begini? Jelas yang
berzinah adalah manusianya, bukan setan
atau roh zinah. Kini gereja tidak lagi berani
menuding kehidupan yang berdosa, karena
takut nanti jemaat pergi dan perongkosan
gereja akan defisit.
Contoh Bileam
Tuhan membenci dosa, khususnya dosa
perzinahan, sehingga siapapun juga yang
berdosa harus bertobat. Di Alkitab ditulis
ada orang yang membenci orang Israel
karena merasa dirinya terancam. Maka
utusan Balak menemui Nabi Bileam untuk
mengutuk Israel, dan memberikan uang
yang banyak. Bileam tergiur, tetapi ketika
dia mau mengutuk orang Israel, yang
keluar dari mulutnya selalu berkat. Utusan
itu melapor kepada raja. Maka kali ini
utusan itu membawa lebih banyak hadiah
emas dan perak untuk Bileam. Sering kali
pendeta-pendeta, khususnya yang berasal
dari keluarga miskin atau yang hidup sangat
miskin karena honornya terlalu kecil,
tergoda dengan tawaran kekayaan yang
besar. Bileam mencoba untuk mengutuk
lagi. Bileam adalah nabi yang tidak setia
kepada Tuhan karena dia lebih menyukai
kemakmuran dan kesuksesan duniawi
ketimbang mengatakan kata-kata yang
benar sesuai dengan kehendak Tuhan. Maka
Tuhan membalikkan lidahnya. Akhirnya,
ketika dia mau pergi untuk mengutuk
Israel, dia dihadapkan dengan malaikat
Tuhan dengan pedang terhunus. Bileam
tidak melihat, tetapi keledainya mogok. Dia
mencambuk keledainya, tetapi keledainya
tetap bergeming. Di sini kita belajar, ketika
manusia tidak melihat visi, binatang yang
kemudian diizinkan Tuhan untuk melihat
visi. Celaka sekali. Keledai tidak berani maju
karena melihat malaikat menghadang jalan
mereka. Bileam mencambuk lagi dengan
keras dan Tuhan menyuruh keledai itu
berbicara, “Mengapa engkau memukulku?”
Bileam mengatakan bahwa keledainya tidak
mau taat. Tetapi bukankah sejak dahulu
keledai itu tidak pernah tidak patuh? Saat
terjadi fenomena yang berlawanan dengan
keinginanmu, engkau perlu introspeksi,
memeriksa diri, dan bukan marah-marah.
Saat itu Bileam baru melihat bahwa ada
malaikat yang menghadang. Dia ketakutan
dan berpaling. Dia tidak jadi mengutuki Israel
karena Tuhan tidak mengizinkan hambaNya mengatakan sesuatu di luar kehendakNya. Tetapi karena dia sudah menerima
banyak uang, dia mulai memikirkan cara
lain. Allah paling benci perzinahan, sehingga
jika ia berhasil membuat orang Israel
berzinah, maka ia tidak perlu mengutuk
mereka karena Allah sendiri yang akan
menghukum mereka. Betapa lebih besar
dosa orang yang menjerumuskan orang
lain ke dalam dosa, ketimbang diri sendiri
berbuat dosa. Dengan cara demikian dia
bisa cuci tangan dan membiarkan orang
lain berdosa, mirip seperti tindakan Pilatus
cuci tangan. Bagaimana pandainya engkau,
tidak mungkin lebih pandai dari setan,
si penggoda. Maka, peliharalah hatimu,
pupuklah rasa takut pada Tuhan seumur
hidupmu.
Jika orang Kristen tidak hidup suci, siapakah
saksi Tuhan yang suci di dunia ini? Hanya
orang yang telah ditebus dengan darah
Kristus yang mungkin untuk sungguhsungguh hidup suci sesuai kehendak-Nya.
Bileam mengira bahwa dirinya mampu
mempermainkan Israel, uang, kuasa, bahkan
mempermainkan Tuhan. Bileam memiliki
theologi yang benar. Dia tahu bahwa Allah
itu suci, adil, dan membenci dosa. Allah
membenci dan menghukum orang yang
berzinah. Apa gunanya belajar kedokteran,
jika hanya untuk menolong orang kaya dan
membiarkan orang miskin mati? Apa gunanya
belajar hukum, jika bertujuan mencari celah
hukum agar bisa melanggar hukum tanpa
bisa dihukum? Apa gunanya belajar theologi,
tahu doktrin yang benar, tetapi hatinya tidak
beres, demi uang berani menjual kebenaran,
membenci orang pilihan Tuhan? Bileam
mencari perempuan-perempuan Filistin
yang cantik dan menyuruh mereka untuk
menggoda orang Israel. Dia mengerti
theologi untuk mempermainkan theologi.
Ada orang belajar theologi Reformed
untuk memperkaya diri. Bileam adalah
seorang nabi, tetapi dia menyodorkan
siasat Iblis, menyelundupkan perempuan
kafir yang cantik untuk menghancurkan
Kerajaan Tuhan. Pria-pria Israel tergiur
dengan perempuan-perempuan cantik itu,
lalu satu per satu tidur dengan mereka.
Allah benci sekali pada perbuatan mereka
dan menghukum dengan penyakit sampar.
Banyak orang Israel mati. Bileam merasa
sukses dan Balak memberinya banyak
uang. Demi uang, Bileam mengorbankan
anak-anak Tuhan. Hal itu tidak diketahui
orang lain, tetapi Tuhan tahu. Tuhan
mencatat peristiwa ini di dalam Alkitab.
Bileam telah menyebabkan orang Israel
berzinah. Nabi yang seharusnya mengajar
umat Tuhan hidup suci, malah membuat
siasat untuk menghancurkan mereka. Saat
itu ada seorang pemuda yang menyaksikan
banyak orang Israel mati kena sampar, dia
bangkit membela kebenaran Tuhan. Ketika
ia menyaksikan pria Israel membawa pelacur
dan mau berzinah dengannya, dia menikam
perut mereka dengan tombak dan matilah
pria dan pelacur itu. Lalu berhentilah
kutukan murka Tuhan ini.
Tuhan begitu membenci perzinahan, maka
setelah Daud berzinah, Nabi Natan menegur
dia. Tidak peduli bahwa Daud adalah raja
yang berkuasa untuk membunuhnya, dia
taat kepada Tuhan dan menegur dia. Dia
menuding Daud dan menyatakan bahwa
Daud sudah berdosa. Meskipun Daud
adalah seorang raja, tetapi dia takut akan
Tuhan, maka dia bertobat. Natan mewakili
Tuhan berkata, “Tuhan mengampuni
dosamu, tetapi hukuman dosa tidak ditarik
kembali. Banyak keturunanmu akan mati
oleh pedang.” Allah akan mengampuni
dosanya dan Allah tidak menarik hukuman
atas dosa, adalah dua hal berbeda. Paku
memang sudah dicabut, tetapi lubang bekas
paku tetap membekas di sana. Sebab itu
jangan bermain-main. Ketika seseorang
berzinah lalu bertobat maka Tuhan akan
mengampuni dosamu, tetapi mungkin
anakmu dan istrimu akan menderita,
dan keturunanmu akan dizinahi orang
lain. Engkau bermain dengan istri orang,
mungkin istrimu akan dipermainkan banyak
pria, dan anak perempuanmu mendapat
suami yang tidak setia. Dosa bisa diampuni,
tetapi sering kali hukuman atas dosa itu tetap
Pillar No.108/Juli/12
3
Hukum Ketujuh (Part 3)
berlaku. Oleh karena itu, hendaklah kamu
kudus, sama seperti Tuhan Allahmu kudus.
Sifat Kesucian Allah
Sifat kesucian Allah merupakan satu tonggak
iman Kristen yang sangat penting. Paulus
menegaskan, “Bersihkan dirimu dari segala
kenajisan tubuh dan kenajisan jiwamu.”
Najis tubuh berarti makanan dan minuman
yang tidak seharusnya kita makan dan
minum, bisa juga dimengerti dengan tidak
mandi dan tidak memelihara kebersihan,
tetapi terlebih lagi adalah kenajisan dengan
berzinah. Inilah kenajisan tubuh yang paling
keji, yang paling Tuhan benci.
Tuhan berkata, “Akulah Tuhan yang suci,
yang membawamu menjalani jalan sempit,
yang menuntut hanya setia kepada satu Allah
saja.” Itu sebabnya, orang yang mencintai
Tuhan, mencintai sesama, mencintai
pasangan hidupnya, harus mendasari
cintanya di atas cinta yang suci. Hanya
cinta yang suci yang sanggup memelihara
kita untuk tidak bercabang hati dan tidak
meluapkan emosi sesuka hati. Cinta yang
tidak suci akan mendatangkan murka Allah
atas kita. Ada orang yang suka membicarakan
tentang Roh Kudus, berkhotbah hal-hal yang
terdengar begitu luar biasa, bahkan sampai
ke hal supernatural, menyembuhkan dengan
mujizat, bernubuat, mengusir setan demi
nama Tuhan, hingga menarik banyak orang,
tetapi hidupnya tidak kudus. Akibatnya
muncul perdebatan, apakah nama Tuhan
yang mereka sebut tetap sah, ketika mereka
tidak suci. Di abad ke-4, banyak hamba
Tuhan yang murtad karena takut dianiaya
oleh orang Romawi. Namun, setelah agama
Kristen disahkan, mereka kembali menjadi
hamba Tuhan dan membaptis orang.
Banyak orang mempertanyakan apakah
baptisan yang mereka lakukan adalah sah.
Salah seorang Bapa Gereja yang agung,
yaitu Agustinus, seorang theolog besar pada
zaman itu, berkata, “Kalau mereka kembali
berkhotbah, firman yang mereka sampaikan
tetap adalah firman Tuhan, nama Yesus
yang mereka pakai tetap nama Tuhan. Jadi
baptisan yang mereka lakukan dalam nama
Allah Tritunggal tetap sah. Yang perlu
diingat adalah jangan ikuti teladan hidup
mereka yang tidak beres.” Di sini Agustinus
memisahkan antara hidup pribadi dengan
firman Tuhan. Hidup pribadi bisa saja tidak
beres, tetapi firman Tuhan tetap beres,
nama Tuhan tetap berkuasa, tidak boleh
dicemooh hanya karena hidup orang yang
menyebutnya kurang beres.
Kehormatan dan Kesucian
Apa jadinya orang yang hidupnya tidak
suci tetapi memperalat nama Tuhan untuk
menarik massa? Saya heran mengapa banyak
pengkhotbah televisi terkenal di Amerika
4
Pillar No.108/Juli/12
Serikat tidak beres di dalam urusan uang
dan seks. Dengan kata lain, mereka hidup
tidak beres, tetapi ketika mereka berseruseru akan nama Tuhan, banyak orang mau
mengikuti mereka. Maka, banyak orang
menyimpulkan bahwa yang penting adalah
memiliki daya tarik, tidak terlalu penting
untuk hidup suci. Pengkhotbah Jimmy
Swaggart mencari pelacur, dan perbuatan
bejatnya direkam oleh pegawainya yang
dia pecat. Hasil rekamannya dikirim ke
sinode gerejanya di Colorado. Dia terpaksa
mengakui perbuatannya karena rekaman
itu. Dia tidak boleh naik mimbar selama
dua tahun. Tetapi ribuan pendengarnya
tetap mencari dia. Satu tahun kemudian dia
mengumumkan keluar dari gerejanya dan
mendirikan gereja sendiri. Sampai sekarang
dia masih berkhotbah, tetapi pendengarnya
tinggal seratus atau dua ratus orang saja.
Saya tidak mengatakan orang yang berzinah
tidak bisa dipakai Tuhan. Daud berzinah,
tetapi masih dipakai Tuhan. Dia menulis
Mazmur yang menggetarkan dan menjadi
berkat bagi banyak orang. Itu karena dia
sungguh-sungguh bertobat dan memilih
hidup setia kepada Tuhan ketimbang
meninggikan diri. Sangat berbeda dari Saul
yang membela diri. Dia mengatakan bahwa
binatang-binatang yang ia biarkan hidup akan
dipersembahkan untuk Tuhan. Ketaatan
lebih penting ketimbang persembahan.
Jangan kita pikir memberikan persembahan
menyebabkan kita boleh tidak taat kepada
Tuhan. Tuhan bukan pengemis. Dia tidak
butuh persembahanmu. Karena Saul tidak
taat dan tidak menghormati Tuhan, maka
Tuhan mencabut kedudukannya sebagai
raja. Anehnya, Saul masih minta dijunjung
tinggi agar orang Israel tidak menghina dia.
Ketika mengajar theologi, saya berulang kali
mengingatkan mahasiswa saya, “Hormat
dari orang tidak bisa dipaksakan, tetapi
dihasilkan.” Kalau kita pantas dihormati,
maka orang dengan sendirinya akan
menghormati. Ketika orang menemukan
engkau tidak pantas dihormati, mereka
tidak akan menghormatimu. Oleh karena
itu, engkau harus berjuang mendapatkan
kehormatan dari cara hidupmu. Engkau
tidak bisa membonceng kehormatan orang
lain untuk dirimu. Setiap orang harus
taat kepada Tuhan dan mendapatkan
kehormatannya sendiri. Persembahan tidak
sepenting ketaatan. Memang mungkin orang
yang hidupnya tidak beres memakai nama
Tuhan untuk melakukan berbagai mujizat,
karena Tuhan setia kepada diri-Nya. Sama
seperti seorang yang memalsukan tanda
tangan pada cek tetap bisa dibayar jika
tidak ketahuan oleh pegawai bank. Tetapi
perbuatan itu akan menyeret engkau ke
pengadilan. Itu yang Tuhan Yesus katakan
di dalam Matius 7:21-23. Tuhan mengatakan,
“Aku tidak mengenal engkau. Enyahlah
dari hadapan-Ku, hai kamu pembuat
kejahatan!” Betapa mengerikannya. Orang
yang menyangka dirinya dekat Tuhan,
banyak melayani, bahkan kelihatan seperti
pelayanannya diberkati, tetapi dirinya
dibuang oleh Tuhan. Kitab Suci bukan hanya
untuk dibaca, melainkan untuk dihayati dan
ditaati.
Di Amerika Selatan, seorang Karismatik
melatih anaknya yang berusia 4 tahun
untuk menghafal puluhan cerita Alkitab,
dan berhasil membuat kagum banyak
orang. Lalu dia memutar video khotbah
pengkhotbah-pengkhotbah besar, menyuruh
anak itu memperhatikan gaya, gerak-gerik,
intonasinya, lalu minta pada gereja-gereja
untuk memberikan anaknya kesempatan
berkhotbah. Banyak orang kagum luar
biasa, mengira Tuhan membangkitkan
generasi muda menjadi hamba Tuhan yang
besar. Sekarang, anak itu sudah berumur
tiga puluh tahun lebih dan mengakui,
“Sebenarnya aku tidak percaya Tuhan.
Tetapi saat itu aku disuruh meniru dan
ternyata khotbahku membuat banyak orang
menangis dan percaya Tuhan. Aku hanya
senang, setelah khotbah aku menghitung
uang yang kudapat.” Sekarang dia tidak
berkhotbah lagi. Betapa mudahnya manusia
ditipu oleh nabi palsu. Tuhan berkata, “Aku
adalah Tuhan yang suci, hendaklah kau suci
dalam segala hal yang kau perbuat.” Mari kita
menjadi orang Kristen yang bertanggung
jawab dan mau sungguh-­sungguh setia pada
Tuhan. Di Mazmur tertulis, “Kematian orang
suci sangat berharga di mata Tuhan.” Allah
sangat menghargai orang yang hidupnya
suci, meneladani Yesus, Tuhannya.
Tubuh dan Kesucian
Perintah Tuhan yang ada kaitan dengan
kesucian tubuh hanya satu: Jangan berzinah.
Sesungguhnya, tidak ada filsafat, kebudayaan,
atau agama manapun yang menilai tubuh
manusia lebih tinggi dari Alkitab, yaitu:
“Tubuhmu adalah Bait Allah”. Menurut
kebudayaan Tionghoa, tubuh kita hanyalah
kantong kulit yang berbau busuk. Memang
Konfusius mengajarkan, “Manusia tidak
boleh merusak tubuh, bunuh diri, karena
kulit bahkan bulu-bulu di tubuh kita
peroleh dari orang tua.” Di dalam filsafat
Gerika, sebelum zaman Sokrates, ada aliran
Sofisme yang mengajarkan teori soma-sema
(tubuh adalah penjara jiwa). Ajaran ini
mirip dengan ajaran orang Tionghoa yang
mengatakan: “Kekuatanku tidak sepadan
dengan kemauanku.” Tetapi Alkitab tidak
menyebut tubuh kita sebagai kantong
kulit yang berbau busuk atau penjara jiwa
kita, atau seperti ajaran agama Hindu dan
Buddha bahwa tubuh manusia bagaikan
rumah keong. Ketika mati, jiwanya akan
keluar dan masuk ke dalam tubuh yang
Hukum Ketujuh (Part 3)
lain di dalam reinkarnasi. Alkitab juga tidak
menyebut tubuh adalah tenda, tempat tinggal
sementara seperti konsep orang Timur
Tengah. Memang konsep ini mirip seperti
kalimat Paulus dan Petrus, bahwa tenda kita
yang sementara di dunia ini bersifat fana,
dan kita akan pindah ke tempat yang kekal.
Tetapi Paulus mengatakan bahwa tubuh
kita adalah bait Allah, istana sang Pencipta,
tempat Roh Kudus tinggal. Oleh karena itu,
1) Tubuh kita adalah bait Allah. Kita harus
menjaga kekudusannya agar layak menjadi
tempat tinggal Allah yang suci. 2) Tubuh
kita sudah dibeli dengan lunas atau dengan
harga yang sangat tinggi. Allah ingin tinggal
di dalam kita, itu sebabnya Dia mengutus
Anak-Nya untuk menjadi Penebus kita,
mencurahkan darah dan menyerahkan
nyawa-Nya di kayu salib. Itulah harga
termahal yang Ia berikan untuk menebus
kita menjadi milik-Nya. Allah tinggal di
dalam kita sebagai Tuhan bukan sebagai
pembantu. Maka kita berseru, “Tuhanku,
Allahku, masuklah dalam hatiku dan
perintahlah hidupku.” Maka Paulus berkata,
“Muliakanlah Tuhan dengan tubuhmu
karena Dia telah membelimu dengan harga
yang mahal.” Jika kita memperhatikan tubuh
kita bahwa ini adalah Bait Allah, layakkah
kita memakai tubuh ini untuk berbuat dosa?
Kita harus menguduskannya untuk Tuhan.
Demikian pula alat kelamin kita, nafsu
seks kita, harus dikuduskan karena semua
itu milik Tuhan. Kita tidak boleh berdosa.
Pimpinan sinode berkata, “Saudara-saudara,
Tuhan memercayakan domba-dombaNya kepadamu. Kalau sepotong daging
di tubuhmu saja tidak mampu engkau
kendalikan, mana mungkin kau mengatur
pekerjaan Tuhan?”
Roma 6 mengatakan tentang bagaimana kita
harus mempersembahkan anggota tubuh
kita, karena anggota tubuh kita harus menjadi
alat keadilan, kebenaran, dan kebajikan. Di
dalam kitab Roma 12, Paulus kembali
mengajak kita untuk mempersembahkan
seluruh tubuh sebagai korban yang hidup.
Istilah ini hanya muncul satu kali di dalam
Alkitab. Paulus tidak merujuk kepada
korban yang disembelih, tetapi korban
yang hidup. Di sini Paulus melihat bahwa
korban yang disembelih sudah berakhir
dengan korban Kristus. Pada tahun 70,
Jenderal Titus, representasi dari Kerajaan
Romawi menyerbu Yerusalem. Ini adalah
daerah yang paling keras kepala, sehingga
di situ paling banyak ditempatkan prajurit
Romawi. Saat itu, di dalam kisah benteng
Masada, ada 970 orang prajurit Israel yang
bertahan dan tidak mau menyerah kepada
tentara Romawi. Masada adalah dataran yang
tinggi sekali sehingga sulit untuk dijangkau
oleh tentara Romawi. Mereka yang mencoba
mendaki mudah sekali untuk dibunuh.
Akhirnya, orang Romawi membangun
sebuah menara perang dan berhasil naik
dan masuk. Tetapi ternyata mereka tidak
bisa merayakan kemenangan gemilang
dengan berperang dan mengalahkan orang
Israel, karena mereka semua sudah bunuh
diri terlebih dahulu. Sejak saat itu, orang
Israel tidak memiliki imam lagi. Bait Allah
sudah dihancurkan dan semua orang Israel
dibunuh atau sudah melarikan diri. Inilah
sikap perjuangan orang Israel yang tidak
pernah mau menyerah, sehingga tentaranya
menduduki peringkat ketiga terkuat di dunia.
Paulus berkata, “Muliakanlah
Tuhan dengan tubuhmu karena
Dia telah membelimu dengan
harga yang mahal.” Jika kita
memperhatikan tubuh kita
bahwa ini adalah Bait Allah,
layakkah kita memakai tubuh
ini untuk berbuat dosa? Kita
harus menguduskannya untuk
Tuhan. Demikian pula alat
kelamin kita, nafsu seks kita,
harus dikuduskan karena
semua itu milik Tuhan. Kita
tidak boleh berdosa.
Jumlah mereka tidak banyak, tetapi mereka
mempunyai tekad yang bulat, berani mati,
dan tidak kenal menyerah. Di zaman Tuhan
Yesus, wilayah Yudea dijaga oleh sekitar
180.000 tentara karena orang Israel adalah
orang yang begitu keras dan berani mati.
Sikap ini beda sekali dengan orang Kristen
zaman ini yang begitu pengecut dan penakut.
Ketika diserang oleh ajaran sesat, tidak ada
yang berani untuk berdiri tegak melawan
semua ajaran sesat itu. Akibatnya gereja
lumpuh, tidak mempunyai kuasa, keberanian
di dalam memperjuangkan kebenaran, dan
pendirian iman yang sejati. Bait Allah sudah
tidak ada, imam tidak ada, maka Paulus
berkata, “Persembahkan tubuhmu sebagai
korban yang hidup.” Kuduskanlah seluruh
tubuhmu, termasuk alat kelaminmu untuk
Tuhan. Jangan berzinah.
Apa itu Perzinahan?
Ada beberapa kategori perzinahan: 1)
Perzinahan yang merusak seluruh masyarakat,
merusak rumah tangga, yang dibenci oleh
Tuhan. 2) Perzinahan yang merusak hukum
alam, tidak taat kepada sifat ciptaan Tuhan. 3)
Perzinahan yang dilakukan karena melakukan
sebelum tiba waktunya, yaitu melakukan
hubungan seks sebelum menikah, suatu hal
yang tidak diperkenan Tuhan. Itu sebab,
kekristenan tidak menyetujui hubungan seks
pranikah. Orang harus menunggu hingga
malam pengantin barulah boleh menikmati
hubungan seksual karena pernikahan itu
sah, diberkati Tuhan lewat hamba-Nya yang
disaksikan oleh orang-orang kudus.
Saya menghimbau para pemuda-pemudi
agar:
1) Jangan menodai tempat tidur sebelum
menikah. Peliharalah kesucian tubuhmu.
Tuhan akan memberikanmu sukacita yang
paling sempurna di malam pengantin.
2) Setelah menikah secara resmi, jangan
bercabang hati, melirik ke sana sini. Belajar
untuk setia, mencintai pasangan hidupmu
dengan tekun, laksanakan janji nikahmu di
hadapan Tuhan. Pernikahan orang Kristen
dan non-Kristen berbeda. Cinta orang
non-Kristen berasal dari dua sumber, yaitu
“aku” dan “engkau”, sehingga ada dua
dasar berbeda yang tidak mungkin tidak
akan mengandung unsur egois dan berpusat
pada diri. Sementara cinta orang Kristen
diawali doa, “Tuhan, berilah aku cinta yang
dari sorga.” Maka, “aku” dan “engkau”
sama-sama saling mencintai berdasarkan
cinta Tuhan, sebagai landasan tunggal.
Akankah pernikahan menemui godaan?
Pasti, karena setan tidak akan tinggal diam
sehingga dia akan terus berusaha membuat
orang Kristen jatuh, khususnya di dalam
urusan seks, uang, reputasi, dan kekuasaan.
Maka fokuskan pandanganmu kepada
Tuhan. Laluilah seumur hidupmu dengan
menang atas cobaan, godaan, dan hidup
suci hingga engkau bertemu Tuhan. Di
dalam kitab Ibrani 13 tertulis, “Hendaklah
setiap orang menghormati pernikahan,
tidak mencemarkan tempat tidurnya, karena
barangsiapa berbuat cabul, akan dituntut
Tuhan.”
3) Tidak menyetujui cinta yang melawan
kodrat Allah, seperti homoseks dan lesbian.
Meskipun dunia semakin terjerumus dengan
menyetujui konstitusi pasangan homo dan
lesbian, orang Kristen harus mengerti bahwa
pria berahi dengan pria, wanita dengan
wanita, bukanlah kehendak Tuhan dan harus
kita jauhi, kita tolak. Semua perilaku ini akan
mendatangkan murka Tuhan yang sangat
besar, seperti yang terjadi pada Sodom dan
Gomora. Di akhir zaman, salah satu sebab
dunia dihakimi adalah karena melanggar
hukum seks yang Tuhan tetapkan. Kaum
homo dan lesbian tidak mungkin menurunkan
keturunan. Demikian juga, jangan mencari
pelacur karena mungkin mereka menularkan
penyakit yang membahayakan keluarga.
Terlebih lagi, melayani nafsu seks di luar
pernikahan yang sah tidak diperkenan Tuhan
dan Alkitab. Biarlah kita menjaga kesucian
diri di dalam hidup rohani dan jasmani kita.
Jangan berzinah! Amin.
Pillar No.108/Juli/12
5
S
ebagian besar informasi tentang
kehidupan Antony dicatat oleh Athanasius
sekalipun ada beberapa Bapa-bapa
Gereja yang menyebutkan nama Antony di
dalam tulisan mereka. Walaupun Athanasius
mungkin mempunyai agenda tersendiri
di dalam menulis tentang kehidupan
Antony khususnya dalam perdebatannya
melawan Arianisme,1 tulisan Life of Antony
menginspirasi kehidupan banyak orang
Kristen. Gregg mengamati bahwa hanya dalam
periode beberapa dekade saja Life of Antony
telah mendapatkan rekomendasi bukan hanya
di kalangan orang-orang Kristen berbahasa
Yunani di daerah Timur Tengah, tetapi juga di
antara orang-orang Kristen berbahasa Latin di
daerah Gaul dan Italia.2
Athanasius mencatat bahwa Antony
mendorong orang-orang untuk mengambil
kehidupan soliter. Dalam karyanya, Athanasius
menuliskan bahwa semenjak masa Antony, ada
banyak biara di gunung-gunung dan padangpadang gurun dibuat menjadi kota bagi para
biarawan.3 Houghton melihat Mesir, tempat
kelahiran Antony, sebagai tempat berawalnya
gerakan Monastik di mana Antony sebagai
perintisnya.4 Keunikan dari kehidupan soliter
Antony adalah dia menjalankan hal tersebut
di padang gurun saat orang-orang sezamannya
melakukannya di pinggiran desa tempat
tinggal mereka.5 Pengaruh Antony sangat
besar dan jikalau bukan karena Athanasius,
contoh kehidupannya tidak akan diketahui
oleh generasi selanjutnya.
Konteks Sejarah
Karya Life of Antony ditulis sekitar tahun
356-358 M, tidak lama setelah kabar tentang
kematian Antony didengar oleh Athanasius,
di masa pertentangan antara Athanasius dan
Arius tentang dua natur Kristus yang berawal
sekitar 319 M. Masa itu juga merupakan
masa pelarian Athanasius dalam menghindari
tentara kerajaan yang ingin menangkapnya
berkaitan dengan pertentangan tersebut.
Selain itu, gereja di Alexandria juga berada
dalam kekacauan karena ancaman dan
kebrutalan dari tentara yang memburu
Athanasius.6
Antony (254-356 M) hidup sezaman dengan
Athanasius (295-373 M). Mereka hidup pada
masa pemerintahan Konstantin (272-337 M)
yang mengeluarkan ketetapan Milan pada
6
Pillar No.108/Juli/12
tahun 313 M. Ketetapan ini memberikan
kebebasan beragama dalam Kerajaan Roma
khususnya bagi orang-orang Kristen yang
mengalami banyak penganiayaan pada masamasa sebelumnya.7 Antony adalah orang Mesir
yang dilahirkan dalam keluarga Kristen yang
kaya. Orang tuanya meninggal pada saat dia
berumur 18 atau 20 tahun dan meninggalkan
harta kekayaan yang besar dan seorang adik
perempuan yang masih muda.
Antony terinspirasi oleh para rasul yang
mengikut Tuhan Yesus dan orang-orang
percaya dalam gereja mula-mula yang
menjual harta milik mereka untuk dibagibagikan kepada orang yang membutuhkan.
Saat Antony memikirkan tindakan mereka,
dia mendengar perkataan Tuhan Yesus dalam
Matius 19:21 dibacakan. Ayat itu berbunyi,
“Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah,
juallah segala milikmu dan berikanlah itu
kepada orang-orang miskin, maka engkau
akan beroleh harta di sorga, kemudian
datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Oleh
karena itu dalam ketaatannya – seakan-akan
seperti Tuhan Yesus sendiri yang mengatakan
hal tersebut kepadanya – Antony mengambil
langkah untuk menjual dan membagi-bagikan
semua harta miliknya.8 Setelah itu, Antony
mendedikasikan dirinya di dalam disiplin
kehidupan soliter. Ketaatannya yang serius
memimpin dia dalam kehidupan soliter di
kuburan, padang gurun, dan gunung-gunung.
Tidak seperti beberapa orang setelahnya yang
mengambil keputusan menjalani kehidupan
monastik untuk melarikan diri dari beban
kehidupan seperti tanggung jawab finansial,9
Antony menjalankan kehidupan soliter untuk
mengikut Tuhan.
Kehidupan Asketis
Harmless mengidentifikasi tiga tema theologis
di dalam karya Life of Antony yang mungkin
dapat mewakili pandangan Athanasius atau
pandangan Antony sendiri. Namun tentunya
tidak salah apabila keyakinan dan pandangan
Antony dideduksi melalui perkataan dan
tindakan yang dicatat oleh Athanasius
dan juga di dalam tulisan-tulisan Bapabapa Gereja yang lain. Tiga tema tersebut
adalah supremasi Kristus atas setan-setan,
kemanusiaan yang diperbarui, dan sebuah
model ortodoksi.10 Dari ketiga tema tersebut,
tema kedua sangat nyata dalam kehidupan
asketis Antony karena kehidupannya yang
unik inilah yang memberikan inspirasi bagi
banyak orang. Life of Antony sebenarnya lebih
menunjukkan sebuah cara hidup di dalam
bentuk cerita dibandingkan pengajaran yang
sistematis. Kehidupan asketis Antony adalah
sebuah bentuk radikal hidup yang menyangkal
diri. Hal ini sangat mungkin dapat dengan
mudah dianggap oleh beberapa orang sebagai
fanatisme yang tidak sehat atau panggilan
yang hanya diberikan kepada beberapa orang
Kristen. Sekalipun begitu, tanpa harus merasa
diwajibkan untuk mengikuti bentuk kehidupan
asketis Antony, setiap orang Kristen harus
meneladani keinginan Antony yang besar
untuk mengikut Tuhan yang ditunjukkan di
dalam perkataan dan perbuatannya.
Sebelum kematiannya, seperti yang dicatat
oleh Athanasius, Antony menasihati beberapa
biarawan untuk:
“… not to grow idle in their labors,
nor to become faint in their training,
but to live as though dying daily …
zealously to guard the soul from
foul thoughts, eagerly to imitate
the Saints, and to have nothing to do
with the Meletian schismatics, … nor
have any fellowship with the Arians …
observe the traditions of the fathers,
and chiefly the holy faith in the Lord
Jesus Christ, which they have learned
from the Scripture …”11
Harmless mengamati bahwa latihan Antony
yang di kemudian hari dimengerti sebagai
asketisisme sebenarnya adalah istilah yang
dipakai bagi seorang atlit yang dengan keras
melatih dirinya. Latihan tersebut termasuk
melakukan pekerjaan di siang hari untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, menjalankan
kehidupan doa terus-menerus pada saat
malam tiba, melakukan diet makanan yang
ketat, membiasakan diri melakukan refleksi
untuk mengatasi perasaan atau memori
tentang masa lalu yang mungkin menjadi
gangguan, dan merenungkan apa yang sudah
didengar melalui pembacaan firman Tuhan.
Sehingga bagi Antony, ingatannya bisa
menggantikan buku-buku.12
Disiplin inilah yang pada akhirnya membawa
dia ke dalam kehidupan asketis di padang
gurun. Foster melihat bahwa Antony pergi
ke padang gurun untuk menemukan Tuhan.13
Athanasius mencatat bahwa setiap hari
Antony dan Hidup yang Menyangkal Diri
Antony berusaha untuk menjadikan dirinya
layak untuk datang di hadapan Tuhan dengan
hati yang murni dan siap untuk tunduk pada
kehendak Tuhan saja.14 Ini adalah tujuan yang
dia tetapkan di dalam pikirannya pada saat dia
memulai kehidupan asketis dengan berpegang
pada perkataan Paulus yang mengatakan,
“Jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor.
12:10). Tujuan ini diingatnya setiap hari
karena dia juga mengingat perkataan Paulus
yang lain yang mengatakan, “Tiap-tiap hari
aku berhadapan dengan maut” (1Kor. 15:31).15
Dalam keyakinannya, dia mengatakan,
“if we too live as though dying daily,
we shall not sin ... for our life is
naturally uncertain, and Providence
allots it to us daily.”16
Antony menetapkan pandangannya pada halhal yang kekal. Dia sering kali mengatakan,
“it behoved a man to give all his time
to his soul rather than his body, yet
to grant a short space to the body
through its necessities; but all the
more earnestly to give up the whole
remainder to the soul and seek its
profit, that it might not be dragged
down by the pleasures of the body, but
on the contrary, the body might be in
subjection to the soul.”17 Perenungan dari Kehidupan Asketis Antony
Kehidupan asketis Antony mungkin dapat
dipandang berlebihan dan terkesan
memisahkan diri. Namun setiap orang Kristen
harus bertanya seberapa jauh seharusnya
seorang Kristen berjuang untuk dapat
bersekutu dengan Tuhan. Nouwen mengamati
kehidupan pada saat ini dan dia menulis:
“ … it is clear that we are usually
surrounded by so much outer noise
that it is hard to truly hear our God
when he is speaking to us. We have
often become deaf, unable to know
when God calls us and unable to
understand in which direction He
calls us.”18
Pandangan Antony yang kukuh pada hal-hal
yang kekal terus menguatkan dia untuk
fokus pada Tuhan dalam ketaatan dan
tidak diikat oleh hal-hal yang bersifat
sementara.19 Antony mengakui kelemahannya
sebagai manusia yang sangat mudah untuk
terbawa dalam kenikmatan dunia sehingga
dia butuh untuk terus-menerus berada
dalam kehidupan soliter di padang gurun
supaya tetap berhubungan dengan Tuhan
seperti seekor ikan yang membutuhkan air
untuk bisa hidup. Dalam kehidupannya yang
soliter, Antony mendengarkan Tuhan. Fokus
ini juga yang mungkin menyebabkan Antony
memberikan peringatan terhadap disiplin yang
berlebihan.20 Lebih jauh lagi, Antony tidak
dapat dituduh memisahkan diri. Ada hal-hal di
dalam karya Athanasius yang mengindikasikan
hal yang sebaliknya. Gregg mengamati bahwa
kita mendapatkan kesan yang kuat bahwa
Antony banyak terlibat dalam kehidupan
orang banyak di mana Antony dikunjungi oleh
banyak orang yang ingin mendapatkan sesuatu
darinya. Oleh sebab itu, sekalipun Antony
menjauhkan diri dari kumpulan banyak orang,
bukan berarti dia memisahkan diri sehingga
tidak ada orang yang dapat menemukan di
mana dia berada.21
Prinsip Antony untuk taat dan berfokus
pada Tuhan di dalam kehidupannya dapat
ditemukan di dalam karya Calvin yang
berjudul “On the Christian life” khususnya
dalam pembahasannya mengenai kehidupan
yang menyangkal diri sebagai rangkuman
kehidupan Kristen. Calvin menulis:
“… Let this, then be the first step,
to abandon ourselves, and devote
the whole energy of our minds to
the service of God. By service, I
mean not only that which consists in
verbal obedience, but that by which
the mind, divested of its own carnal
feelings, implicitly obeys the call
of the Spirit of God … The Christian
ought indeed, to be so trained and
disposed as to consider that during his
whole life he has to do with God. For
this reason, as he will bring all things
to the disposal and estimate of God,
so he will religiously direct his whole
mind to him.”22
Tentunya amat disayangkan bahwa disiplin
Antony yang ketat di dalam kehidupan
asketisnya sepertinya gagal untuk mensyukuri
berkat-berkat Tuhan yang mungkin terkesan
duniawi. Sekalipun berkat-berkat ini tidak
sepenuhnya ditolak, sepertinya berkat-berkat
tersebut lebih dipandang sebagai hal-hal yang
berpotensi besar untuk menjauhkan orangorang Kristen dari Tuhan. Secara seimbang,
Calvin menasihati orang-orang Kristen untuk
tidak terikat pada dirinya dan harta miliknya
kecuali yang berasal dari berkat Tuhan. Calvin
mengakui bahwa hanya dengan melihat halhal tersebut sebagai berkat Tuhan dapat
memberikan jalan dari keterikatan yang
bersifat daging. Dengan kata lain, Calvin
dengan hati-hati mengingatkan adanya
berkat-berkat Tuhan yang mungkin terkesan
duniawi yang seharusnya diterima dengan
sukacita dan dimanfaatkan oleh orang-orang
Kristen sebagai penatalayan (stewards) atas
hal-hal yang dipercayakan.23 Calvin membawa
tema penatalayanan di dalam pembahasannya
mengenai kehidupan yang menyangkal diri
yang mungkin tidak terlihat di dalam Life of
Antony. Penatalayanan adalah aspek penting
di dalam kehidupan Kristen sehingga hidup
yang menyangkal diri tidak menjadi tujuan
akhir tetapi tetap berpusat pada Tuhan dan
kehendak-Nya.
Namun, di dalam mensyukuri berkat-berkat
Tuhan, sikap dan cara hidup Antony tetaplah
sebuah contoh yang baik untuk direnungkan,
khususnya bagi orang-orang Kristen yang
pernah mendengar kritik John Wesley bagi
orang-orang percaya sezamannya yang
mengalami kemunduran spiritual karena
kemakmuran yang meningkat. Di dalam
salah satu khotbahnya yang berjudul “The
Danger of Riches”, Wesley dengan sarkastis
mengatakan,
“Are not you who have been successful
in your endeavours to increase in
substance, insensibly sunk into
softness of mind, if not of body too?
You no longer rejoice to “endure
hardship, as good soldiers of Jesus
Christ.” You no longer “rush into the
kingdom of heaven, and take it as by
storm.” You do not cheerfully and
gladly “deny yourselves, and take up
your cross daily.” You cannot deny
yourself the poor pleasure of a little
sleep, or of a soft bed, in order to
hear the word that is able to save
your souls! Indeed, you “cannot go
out so early in the morning: besides
it is dark, nay, cold, perhaps rainy
too. Cold, darkness, rain, all these
together, — I can never think of it.”
You did not say so when you were a
poor man. You then regarded none
of these things. It is the change of
circumstances which has occasioned
this melancholy change in your body
and mind; You are but the shadow of
what you were! What have riches done
for you? ... Am not I grown old as well
as you? Am not I in my seventy-eighth
year? Yet by the grace of God, I do
not slack my pace yet. Neither would
you, if you were a poor man still.
You are so deeply hurt that you have
well nigh lost your zeal for works of
mercy, as well as of piety. You once
pushed on through cold or rain, or
whatever cross lay in your way, to
see the poor, the sick, the distressed.
You went about doing good, and found
out those who were not able to find
you. You cheerfully crept down into
their cellars, and limbed up into their
garrets, to supply all their wants, and
spend and be spent in assisting his
saints. You found out every scene of
human misery, and assisted according
to your power ... Do you now tread in
the same steps? What hinders? Do you
fear spoiling your silken coat? Or is
there another lion in the way? Are you
afraid of catching vermin? And are you
not afraid lest the roaring lion should
catch you?”24
Ada garis tipis yang memisahkan antara
mensyukuri berkat Tuhan dengan kemunduran
secara spiritual. Wesley menegur generasinya
berkaitan dengan masalah ini. Antony sangat
berhati-hati di dalam hal ini sehingga dia
mengambil langkah untuk melakukan disiplin
dan ketaatan yang ketat sekalipun dia
mewarisi kekayaan yang besar ketika dia
masih muda. Sungguh, contoh dan pengajaran
Antony di dalam kehidupan yang soliter
menjadi teladan yang baik di dalam kehidupan
yang menyangkal diri khususnya bagi generasi
orang-orang Kristen yang hidup pada zaman
Konstantin di mana kekristenan dan gereja
Pillar No.108/Juli/12
7
Antony dan Hidup yang Menyangkal Diri
mendapatkan posisi politik yang baik di dalam
Kerajaan Roma dan akibatnya mengalami
kemunduran secara spiritual.25
Penutup: Sebuah Perenungan untuk Masa
Kini
Kehidupan Antony adalah sebuah model
kehidupan yang menyangkal diri. Walaupun
bentuk tindakan Antony bukanlah hal yang
bersifat deskriptif, tindakan-tindakan Antony
seharusnya mendorong setiap orang Kristen
untuk berpikir lebih jauh mengenai apa artinya
ketika Tuhan Yesus meminta para murid-muridNya untuk menyangkal diri mereka. Adalah hal
yang umum bagi setiap orang terikat dengan
diri sendiri sehingga sekalipun bagi orangorang Kristen, tidak jarang sebenarnya diri
sendiri telah mengambil posisi Tuhan di dalam
hidup mereka. Mungkin ada kritik yang bisa
diberikan terhadap Antony di dalam perkataan
dan tindakannya, namun Tuhan telah memakai
hidupnya untuk memberikan inspirasi kepada
banyak orang percaya.
Tuhan memang tidak memanggil setiap
orang percaya untuk mengikuti langkah
Antony. Tetapi hal tersebut tidak menutup
kemungkinan bagi setiap orang percaya
untuk dipanggil oleh Tuhan dan mengambil
langkah yang serupa. Misalnya menjual dan
membagi-bagikan seluruh harta milik sebagai
sebuah langkah ketaatan. Orang-orang
Kristen seharusnya tidak dengan mudahnya
menyingkirkan tindakan-tindakan yang
mungkin terkesan radikal dan mengabstraksi
prinsip-prinsip rohani dari tindakan-tindakan
tersebut, karena prinsip-prinsip rohani
seharusnya diaplikasikan di dalam keseharian
di mana tindakan-tindakan radikal semacam
itu termasuk di dalamnya. Seperti yang
sudah ditunjukkan di dalam Life of Antony,
anugerah Allah selalu cukup bagi setiap orang
yang percaya dan taat kepada-Nya. Bagi kita
hari ini, di manakah tindakan ketaatan kita
dalam keseharian kita menjalankan firman
Tuhan? Alasan-alasan macam apakah yang
kita munculkan agar kita dapat terlepas dari
kehidupan penuh ketaatan yang demikian?
Akhirnya, kepada siapakah sebenarnya hati
kita tertuju? Kiranya Tuhan menolong kita agar
mampu dan berani menjalankan kehidupan
penuh ketaatan yang menyatakan Kristuslah
Tuhan dan Juruselamat kita satu-satunya.
Soli Deo Gloria.
Victor Wibowo
Pemuda GRII Singapura
Endnotes:
1. W. Harmless, S.J., Desert Christians: an Introduction
to the Literature of Early Monasticism (New York,
NY: Oxford University Press, 2004), 96-97.
2. R. C. Gregg (ed.), Athanasius: The Life of Antony
and the Letter to Marcellinus (Mahwah, NJ: Paulist
Press, 1980), 3.
3.Gregg, Antony, 42-43.
4. S. M. Houghton, Sketches from Church History
(Carlisle, PA: The Banner of Truth Trust, 1980), 28.
Jerome mencatat seorang bernama Paulus yang
juga mungkin sebagai perintis gerakan monastik.
(Lihat Jerome, “The Life of Paulus, the First
Hermit” dalam P. Schaff (ed.), NPNF2-06. Jerome:
The Principal Works of St. Jerome by St. Jerome
(Grand Rapids, MI: Christian Classics Ethereal
Library),n.p.[dikutip 19 Juni 2012]. Online: http://
www.ccel.org/ccel/schaff/npnf206.vi.i.html).
Sekalipun ada perdebatan ini, umumnya pengaruh
Antony dalam gerakan monastik tidak diragukan.
5Harmless, Desert, 60.
6Harmless, Desert, 59.
7. Konstantin memerintah dari tahun 306-337 AD.
Keputusan pribadinya untuk menjadi orang Kristen
menjadi salah satu momen penting di dalam sejarah
kekristenan. Lihat “Constantine the Great”,
Wikipedia, n.p. [dikutip 17 Juni 2012] Online:
http://en.wikipedia.org/wiki/Constantine_the_
Great.
8. Antony memercayakan saudara perempuannya pada
sebuah biara untuk dibesarkan di dalam iman.
9.Harmless, Desert, 10.
10.Harmless, Desert, 85.
11. Meletian adalah sebuah sekte yang ditemukan oleh
Meletius yang menolak untuk menerima kembali
pimpinan gereja yang telah menyangkal iman
mereka pada masa penganiayaan. Pada akhirnya
Meletian berpihak pada Arianisme. Untuk perkataan
terakhir Antony, lihat Athanasius, “Life of Antony”
in P. Schaff (ed.), NPNF2-04. Athanasius: Select
Works and Letters (Grand Rapids, MI: Christian
Classics Ethereal Library), n.p. [dikutip 18 Juni
2012]. Online: http://www.ccel.org/ccel/schaff/
npnf204.xvi.ii.xlii.html.
12.Harmless, Desert, 62. Antony tidak berpendidikan
dan mungkin tidak bisa membaca sehingga dia hanya
bisa mengetahui Kitab Suci ketika dibacakan oleh
orang lain.
13. R. Foster, Streams of Living Water (Trowbridge:
Eagle Publishing, 2005), 35.
14.Athanasius, Antony, n.p. [dikutip 18 Juni 2012].
Online: http://www.ccel.org/ccel/schaff/npnf204.
xvi.ii.vi.html.
15. Dalam bahasa Inggris, bagian ini diterjemahkan “I
die every day”. Terjemahan dalam bahasa Inggris
akan lebih tepat untuk menerjemahkan bahasa
aslinya καθ᾿ ἡμέραν ἀποθνῄσκω yang secara literal
dapat diterjemahkan “aku meninggal tiap-tiap hari.”
Perkataan inilah yang diingat oleh Antony.
16.Athanasius, Antony, n.p. [dikutip 18 Juni 2012].
Online: http://www.ccel.org/ccel/schaff/npnf204.
xvi.ii.xi.html.
17.Athanasius, Antony, n.p. [dikutip 18 Juni 2012].
Online: http://www.ccel.org/ccel/schaff/npnf204.
xvi.ii.xiii.html.
18. H.J.M. Nouwen, “Bringing Solitude into Our Lives”
in R.J. Foster and J.B. Smith, Devotional Classics:
Selected Readings for Individuals and Groups (New
York, NY: Harper Collins Publishers, 2005), 81.
19. Dualisme antara yang kudus dan yang tidak kudus,
kekal dan sementara mungkin merupakan isu yang
menjadi ketegangan di dalam kehidupan orang-orang
Kristen. Antony tidak dapat dituduh dengan dualisme
ini karena pada saat dia memikirkan tentang hal-hal
yang kekal, di dalamnya tercakup kebijaksanaan,
keadilan, pengendalian diri, keberanian, pengertian,
kasih, kebaikan bagi orang-orang miskin, iman dalam
Kristus, bebas dari kemarahan, dan keramahan.
(LIhat Athanasius, Antony, n.p. [dikutip 18 Juni2020].
Online: http://www.ccel.org/ccel/schaff/npnf204.
xvi.ii.xi.html). Hal-hal kekal tidak hanya seputar
doa, pembacaan firman Tuhan, penginjilan, ataupun
aktivitas-aktivitas yang semata-mata berkaitan
dengan gereja tetapi menyangkut mengaplikasikan
firman Tuhan di dalam keseharian.
20. Ada beberapa perkataan Antony yang dicatat oleh
sumber lain yang memberikan keseimbangan di
dalam kehidupan Antony yang ketat. Lihat Harmless,
Desert, 168.
21.Gregg, Antony, 9.
22. J. Calvin, On The Christian Life (Grand Rapids, MI:
Christian Classics Ethereal Library), n.p. [dikutip
19 Juni 2012]. Online: http://www.ccel.org/ccel/
calvin/chr_life.iv.html.
23.Calvin, Christian, n.p. [dikutip 19 Juni 2012].
24. J. Wesley, Sermons on Several Occasion (Grand
Rapids, MI: Christian Classics Ethereal Library), n.p.
[dikutip 19 Juni 2012]. Online: http://www.ccel.
org/ccel/wesley/sermons.vi.xxxiv.html.
25. Lihat tulisan Cyprianus yang berjudul “On The
Lapsed” yang menjelaskan tentang kondisi Gereja
yang menurun secara spiritual pada saat kedamaian
ada di dalam Gereja, dalam P. Schaff (ed.), Fathers
of the Third Century: Hippolytus, Cyprian, Caius,
Novatian, Appendix (Grand Rapids, MI: Christian
Classics Ethereal Library), n.p. [dikutip 19 Juni
2012]. Online: http://www.ccel.org/ccel/schaff/
anf05.iv.v.iii.html khususnya poin 5-12.
Grace and Peace to You, Father John Chrysostom
Sambungan dari halaman 13
10. 2 Thess. 3:10
11. John Chrysostom, On wealth and Poverty (New
York, NY: St Vladimir Seminary Press, 1984), 22,
27-28.
12. John Chrysostom, 36.
13. John Chrysostom, 37-38.
14. John Chrysostom, 12, 23.
15. John Chrysostom, 37-38.
16. John Chrysostom, 40.
17. 1 Sam. 2:7.
18. Heb. 13:5; Ps. 37:7, 16; Prov. 23:4, 5; 1 Cor.
10:31.
19. St. John was born in an upper-class and well-to-do
family. His father was a high-ranking officer. He
was introduced to ascetic life through women,
from whom he received all his early education.
See Hans von Campenhausen, The Fathers of the
8
Pillar No.108/Juli/12
20.
21.
Greek Church (New York NY: Pantheon, 1959),
141.
Rom. 5:10; Rom. 5:6; 2 Cor. 5:18; 1 John 4:10.
“For nearly three hundred years Christians were
a minority in the Roman Empire. In the opinion
of modern scholarship, Christians made up no
more than 10 percent in the Latin West, and
perhaps no more than 15 percent in the Greek
East. Within seventy years, however, from 313,
when the Edict of Milan was issued, to the laws
of Theodosius I in 380, Christianity became the
dominant and soon after, the official state religion.
Constantine’s conversion and religious policies
contributed greatly to the Christianization of the
empire.” See Demetrios J. Constantelos, “The
Hellenic Background”, 189. Of course there were
many factors involved in this complex process
such as miracle works that supported the truth of
the teaching, the inherent truth in the Christian
22.
23.
24.
25.
26.
doctrine, zealous evangelism work, and ultimately
works of Holy Spirit that enabled conversion to
take place. However, in term of socio-cultural
factor, in my opinion, this two are the two major
factors.
Zeno of Cyprus the founder of Stoicism, inspired
by the ethical teaching of Socrates, taught that
the only real good is virtue and the only real
evil is moral weakness. Stoicism emphasized the
practical concerns of ethics, including compassion
and philanthropic work. See Demetrios J.
Constantelos, “The Hellenic Background”, 190.
Ibid., 190.
Ibid., 187.
Luke 6:44; Matt. 7:16, 20; 12:33.
James 2:14-17.
14 Juli 1789
I
ngatkah Anda akan tanggal di atas? Atau Anda hanya ingat
tanggal 14 Juli saja karena hari itu adalah ulang tahun orang
tua, pacar, atau anjing kesayangan Anda? Tanggal di atas adalah
hari dimulainya Revolusi Perancis yang ditandai dengan peristiwa
jatuhnya penjara Bastille persis pada tanggal tersebut. Tanggal di
atas sekaligus menjadi La Fête Nationale (The National Celebration)
karena Perancis memang tidak memiliki hari kemerdekaan.
Pada abad ke-17, Perancis menjadi salah satu negara penting di
dunia. Dengan jumlah penduduk yang banyak, tanah yang subur, dan
kemampuan berniaga, Perancis menjadi negara yang makmur pada
pertengahan abad ke-17. Perancis juga dikagumi karena pencapaian
budayanya. Tetapi saat itu, sesungguhnya Perancis sedang menuju
kehancuran. Siapakah yang dapat melihat hal itu di tengah kondisi
‘kemajuan’ tersebut?
Louis XIV yang dikenal sebagai Sun King terkenal dengan doktrin
absolutismenya lewat ucapan “L’etat, c’est moi” (Saya adalah
negara). Louis XIV sebenarnya bukan raja yang buruk. Ia mampu
membangun salah satu bentuk pemerintahan birokrasi modern yang
pertama, mendirikan istana Versailles yang tersohor itu, membentuk
sebuah organisasi militer yang kuat di Perancis, dan meningkatkan
jumlah tentaranya. Bahkan pada masa pemerintahannya, Perancis
mulai melakukan ekspansi ke Dunia Baru. Tetapi di sisi lain, ia
menganggap toleransi yang diberikan terhadap kaum Huguenot
sebagai sebuah ancaman. Di akhir pemerintahannya, Perancis
memasuki apa yang dikenal sebagai Abad Pencerahan. Namun apa
yang terjadi adalah Perancis sedang memasuki ‘abad kegelapan’
yang baru.
Orang-orang Huguenot kemudian dipaksa untuk keluar dari Perancis
dan semangat humanisme Abad Pencerahan membawa Perancis masuk
ke dalam kekelaman. Menyusul kekacauan agama yang terjadi, mulai
timbul kekacauan ekonomi, yang kemudian diikuti oleh kekacauan
sosial.
Louis XVI, pengganti Louis XV yang memiliki hobi bersenang-senang,
berusaha melakukan reformasi dalam perpajakan dan administrasi.
Tetapi ia frustrasi dengan hak-hak istimewa kaum bangsawan
yang menolak untuk membayar dengan adil beban pajak mereka.
Kepemimpinannya yang lemah membuatnya tak berdaya. Sementara
itu kaum borjuis ingin meningkatkan status sosial dan politik
mereka. Mereka ingin menjadi kelas menengah yang berpengaruh
sehingga dapat meraih keuntungan yang lebih besar dari sistem
perekonomian bebas. Sedangkan kaum petani yang merupakan
populasi terbesar, hampir tidak memedulikan soal prestige maupun
politik. Kehidupan mereka sangat berat, sering ditandai oleh penyakit
dan kelaparan. Yang mereka inginkan hanyalah tanah yang lebih luas
dan kebebasan dari pajak yang tidak adil. Di tengah keputusasaan,
mereka menginginkan hanya satu hal yaitu perubahan. Tetapi siapa
yang berdiri untuk memperjuangkan keadilan bagi mereka? Gereja
Perancis sibuk mengurusi kepentingan mereka sendiri.
Tidak heran jika kekacauan agama, politik, dan sosial terus meningkat.
Puncaknya adalah gerombolan penduduk Paris menyerbu penjara
Bastille tanggal 14 Juli 1789. Tujuan penyerbuan ini adalah untuk
mendapatkan senjata lebih banyak dan membebaskan beberapa
tawanan. Penjara Bastille awalnya adalah kastil atau benteng
pertahanan yang didirikan untuk menghadapi serangan Inggris. Tetapi
kemudian berubah fungsi menjadi penjara sekaligus simbol kelaliman
rezim.
Dalam peristiwa penyerbuan tersebut, 98 orang penyerang terbunuh,
juga bangsawan kepala penjara, Marquis de Launay dan 8 orang
pasukannya. Gerombolan yang mengamuk ini lalu memotong kepala
de Launay dan menyulakannya pada tiang bambu yang diarak keliling
kota. Menakutkan!
Okay, lalu mengapa saya mengajak melihat fakta sejarah yang mungkin
agak membosankan bagi sebagian Anda? Kondisi negara kita. Keadaan
rakyat kita. Apakah Anda hanya peduli dengan kepentingan Anda dan
kelompok sendiri? Pernahkah Anda sungguh-sungguh melihat keadaan
sekeliling dan memikirkan panggilan Anda sebagai orang Kristen di
Indonesia?
Dua ayat berikut ini kiranya mendorong Anda untuk merenungkan
situasi Indonesia saat ini dan berdoa meminta Tuhan memakai diri
yang tidak layak untuk menjadi saluran berkat.
Belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah
orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara
janda-janda! (Yes. 1:17)
“Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan
berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya
adalah kesejahteraanmu.” (Yer. 29:7)
Soli Deo Gloria.
Ev. Maya Sianturi
Pembina Remaja GRII Pusat
Kepala SMAK Calvin
POKOK DOA
1.
Bersyukur untuk rangkaian KPIN NTT dan Sumba yang telah diadakan pada tanggal 4-14 Juni 2012. Berdoa bagi puluhan ribu orang
yang telah mendengarkan berita Injil dan yang telah menerima panggilan Tuhan untuk bertobat. Berdoa kiranya setiap jiwa yang telah
mengambil keputusan untuk memperbarui iman mereka diberikan kekuatan dan disertai oleh Roh Kudus dalam kehidupan kerohanian
mereka selanjutnya dan dimampukan untuk memelihara iman mereka sampai kepada kesudahan.
2.
Berdoa untuk NRETC VI yang akan diadakan pada 5-8 Juli 2012. Berdoa untuk persiapan akhir dari setiap panitia dan hamba Tuhan yang
akan membawakan firman. Berdoa kiranya Roh Kudus mengurapi setiap pembicara yang akan membawakan firman, sehingga mereka
diberikan kuasa untuk dapat memenangkan para remaja bagi Kristus. Berdoa untuk perjalanan setiap remaja terutama yang berasal dari
luar kota, kiranya Tuhan memelihara mereka di dalam perjalanan mereka menuju Jakarta dan dapat kembali ke tempat asal dengan
selamat, dan berdoa kiranya firman yang telah diterima di dalam acara ini dapat berakar dan bertumbuh di dalam hati setiap remaja
dan pada akhirnya mereka menjadi laskar Kristus bagi Kerajaan Allah.
Pillar No.108/Juli/12
9
S
ejarah Gereja mengungkapkan kepada
kita bahwa dalam setiap masa dan
zaman, (selalu) bermunculan bidat
demi bidat, yang jika kita perhatikan,
penyebab utamanya adalah adanya oknum
tokoh Gereja yang lebih menitikberatkan
atau mementingkan suatu pengajaran (baca:
doktrin) melampaui doktrin lain, mengabaikan
keharmonisan dan integrasi suatu doktrin
dengan doktrin lain. Salah satu contoh,
Marcionisme (abad 2-7 m) — yang didirikan
oleh Marcion — yang mengatakan bahwa Allah
Perjanjian Lama lebih rendah daripada Allah
Perjanjian Baru karena Perjanjian Lama tidak
selaras dengan ajaran Kristus. Allah Perjanjian
Lama hanyalah demiurge1 sedangkan Allah
Perjanjian Barulah Allah yang sejati, yang
tertinggi. Beberapa pemikiran dari paham
ini — seperti pengontrasan yang berlebihan
antara hukum (Taurat) dan Injil — masih
“terwariskan” sampai hari ini.2 Kita dapat
menemukan sebagian orang Kristen zaman
ini yang memisahkan secara ekstrem Taurat
dan Injil lebih dari apa yang Paulus sendiri
ajarkan.
Sejak Perjanjian Baru dan zaman Gereja
mula-mula yang mengungkapkan kesaksiankesaksian tentang siapakah Yesus Kristus,
dilanjutkan oleh Bapa-bapa Gereja, semuanya
secara terus-menerus menyatakan bahwa
Yesus Kristus adalah (seutuhnya) Allah yang
sekaligus (seutuhnya) manusia. Dan bahwa
inkarnasi tidak mengurangi keilahian-Nya
sebagai Anak Allah ataupun menjadikan-Nya
sebagai manusia super (superman). Sebagai
contoh, Justin Martyr, apologet Kristen abad
ke-2 yang menegaskan diperanakkannya
Kristus oleh Bapa dan inkarnasi-Nya menjadi
manusia melalui (seorang) perawan. 3
Juga Melito dari Sardis yang menegaskan
keilahian sekaligus kemanusiaan Kristus
dengan mengungkapkan fakta-fakta tentang
Kristus secara paradoksikal (di antaranya,
hamba sekaligus Anak, berada di rahim Maria
sekaligus senatur dengan Bapa, berada di bumi
sekaligus di sorga, bertubuh jasmani sekaligus
tak terbatas keilahian-Nya, sebagai manusia
yang membutuhkan makanan sekaligus Allah
yang memelihara seluruh alam semesta).4
Ironisnya, bidat-bidat awal muncul menyerang
ajaran sehat (ortodoks) sejak Gereja mulamula, khususnya dalam Kristologi, padahal
Bapa-bapa Gereja pun percaya bahwa
kesatuan keilahian dan kemanusiaan Yesus
10
Pillar No.108/Juli/12
Kristus adalah prasyarat mutlak dan hal yang
penting untuk menggenapi keselamatan umat
manusia. Ada yang menyangkal kemanusiaan
seutuhnya Yesus karena mereka percaya
bahwa Yesus adalah roh adanya dan Ia hanya
tampak/kelihatan seperti manusia saja (bidat
ini dikenal sebagai Docetisme).5 Di sisi lain,
ada juga bidat yang mengajarkan sebaliknya,
yaitu menyangkal inkarnasi Allah menjadi
manusia. Bagi mereka, Yesus hanyalah seorang
manusia biasa yang di dalam diri-Nya hadirat
dan kuasa Allah berkarya dengan begitu
hebatnya (dikenal sebagai Ebionisme).6
Kemudian ada bidat yang menerima keilahian
dan kemanusiaan Kristus, namun menganggap
bahwa keilahian-Nya itu tidaklah penuh/
utuh, yaitu Arianisme. Bidat ini didirikan
oleh Arius, yang percaya bahwa Allah itu
satu adanya dan hanya satu, tidak pernah
keberadaan-Nya berbagian/terbagi dengan
(pribadi) yang lain. Namun Allah yang kekal
dan tak-memperanakkan ini menciptakan
seorang Anak. Maka Sang Anak adalah yang
diciptakan. Arius memaparkan bahwa “Allah
telah memperanakkan satu-satunya Anak yang
diperanakkan sebelum masa kekekalan…. Ia
menjadikan-Nya ada berdasarkan kehendakNya sendiri, tak dapat berubah dan berganti.
Ia adalah ciptaan Allah yang sempurna,
namun tidak seperti ciptaan yang lain; Ia
adalah keturunan yang sempurna, namun
tidak seperti yang diperanakkan yang lain….
Seturut kehendak Allah, Ia diciptakan sebelum
segala masa dan zaman, dan mendapatkan
hidup dan keberadaan-Nya dari Sang Bapa.”7
Meskipun Arius menegaskan keunikan Yesus
Kristus sebagai Anak, namun ia menyatakan
bahwa Anak adalah yang diciptakan. Dengan
demikian, ada suatu masa ketika Anak tidak
(baca: belum) ada, “… being created and
founded before ages, did not exist before
his generation,”8 ungkapnya. Oleh sebab itu
bagi Arius, Anak adalah (Pribadi yang) tidak
kekal, tidak saling-kekal (co-eternal), atau
tidak saling-tak-bermuasal (co-unoriginate)
dengan Bapa 9 dan Anak memiliki natur
(baca: substansi) yang berbeda dengan Bapa.
Implikasi ini sesuai dengan keyakinannya
bahwa Allah adalah hanya satu adanya dan
tak-berbagi. Dan sebagaimana bidat-bidat
lain, ia pun mencari dasar “alkitabiah” untuk
mendukung keyakinannya ini, di antaranya
dari Yohanes 14:28 (“… for the Father is
greater than I”) dan Kolose 1:15 (“the
firstborn of all creation”).10
Pandangan Arius tersebut membuat Kaisar
Constantine I khawatir, karena isu theologis
seperti ini dapat berisiko memecah belah
kekaisarannya. Maka pada tahun 325 ia
menginisiasikan pelaksanaan konsili (yang
dikenal sebagai Konsili Nicea I) yang dihadiri
oleh para uskup yang diutus dari gereja-gereja
yang berada di wilayah kekuasaan Romawi,
di mana agenda utamanya adalah membahas
dan memutuskan untuk mencapai konsensus
dalam masalah natur (yaitu substansi) Anak
dan relasi-Nya dengan Allah Bapa, yang pada
dasarnya merupakan isu tentang (Allah)
Tritunggal. Dalam konsili ini dihadiri oleh
tiga macam kelompok peserta, yaitu pihak
pro-Arian, pihak anti-Arian (kedua belah pihak
ini masing-masing sedikit jumlahnya), dan
sebagian besar peserta yang tidak berpihak.
Akhirnya, konsili ini mengakui bahwa keilahian
Anak adalah penuh dan utuh, sekaligus juga
memutuskan untuk mengutuk beberapa hal
yang dipercaya oleh kaum Arianisme sebagai
bidat. Dan hasil dari konsili ini diformulasikan
dalam bentuk Pengakuan Iman (Kredo) Nicea
(The Creed of Nicea). Sebagian besar dari para
peserta bersedia menandatangani kredo ini. Di
antara lebih dari 300 peserta, hanya dua orang
saja yang menolak untuk menandatanganinya.
Maka, Arius diasingkan dengan peringatan
agar menghentikan ajaran dan pandangannya
yang sesat tersebut. Dengan demikian, Gereja
dapat berjalan dengan doktrin yang teguh
tentang keilahian yang sejati dari Anak Allah.11
Patut kita camkan bahwa Konsili Nicea tidak
menciptakan doktrin keilahian Kristus —
seperti yang diduga oleh sebagian kalangan,
termasuk kaum Arianis — namun menegaskan
kembali apa yang telah dipercayai dan
dipegang oleh umat Tuhan sebagai warisan
Gereja sejak para rasul Perjanjian Baru.12
Dalam hal ini, salah satu dari Bapa-bapa
Gereja, yaitu Athanasius dari Alexandria
berjuang dengan gigih mempertahankan
doktrin yang sehat melawan ajaran yang
coba menyangkal dan menggugurkannya. Ia
lebih dikenal sebagai Athanasius yang kadang
kala dijuluki sebagai St. Athanasius the
Great. Lahir di Alexandria, Mesir, menjelang
pergantian abad ketiga menuju abad keempat,
sekitar tahun 295.13 Menjabat sebagai seorang
Uskup Alexandria yang ke-20 (pada abad ke-4)
selama 45 tahun, namun sepertiga masa
jabatannya ia mengalami pembuangan yang
diperintahkan oleh beberapa kaisar Romawi
karena perjuangannya mempertahankan
ajaran dan iman yang ortodoks14 yang telah
diwariskan sejak para rasul. 15 Ia adalah
seorang theolog terkenal sekaligus apologet
yang mempertahankan doktrin Tritunggal dan
inkarnasi Firman menjadi manusia melawan
Arianisme. Apologianya yang begitu sengit dan
respected, baik oleh kawan maupun lawan,
membuatnya dijuluki “Athanasius melawan
dunia bagi dunia” (Lat. Athanasius contra
mundum).
Athanasius menentang bidat ini dengan
begitu gigih, sehingga dapat dikatakan
bahwa sebagian besar masa pelayanannya
dihabiskan untuk mempertahankan dan
membela Kristologi ortodoks melawan
Arianisme, terutama mengenai kesetaraan
Anak dan Bapa, serta inkarnasi Anak menjadi
manusia. Kegigihan dan sikapnya yang tidak
mau berkompromi terhadap segala ajaran yang
mendukung Arianisme — termasuk jika harus
“melawan” para kaisar Romawi pada saat itu
— membuatnya dijuluki sebagai “santo yang
keras kepala”. Perjuangannya begitu berat,
pada saat ia mulai menjabat sebagai Uskup
Alexandria, pada saat yang sama Constantine
mulai berganti haluan mendukung Arius. Hal
ini disebabkan sang kaisar mengalami tekanan
para uskup yang diam-diam bersimpati pada
Arius. Constantine memulihkan kembali Arius
ke dalam jabatannya sebagai imam (presbyter)
di Alexandria serta memerintahkan Athanasius
untuk menerimanya kembali. Athanasius
menolaknya kecuali Arius mengiyakan
satu kata — yaitu homoousios16 — sebagai
pernyataan relasi antara Bapa dan Anak.
Karena Arius menolak maka Athanasius pun
menolaknya serta mengabaikan perintah dan
ancaman kaisar. Singkatnya, Athanasius pun
dilucuti dari jabatannya dan dibuang ke kota
paling Barat dari Kekaisaran Romawi, yaitu
Trier, Jerman. Kisah ini tidak berhenti di sini.
Selanjutnya dapat dilihat bahwa pengganti
Constantine — yaitu anaknya, Constantius
— yang pada awalnya memulangkan dan
memulihkan Athanasius kembali sebagai
Uskup Alexandria, di kemudian hari relasi
mereka menjadi buruk. Sang kaisar baru yang
menginginkan perdamaian dan keseragaman
dalam agama (yaitu gereja) dan di bawah
paksaan ayahnya, mengganti kata homoousios
dalam Kredo Nicea menjadi homoiousios
yang artinya “substansi yang mirip” (“of a
similar substance”) yang waktu itu diterima
baik termasuk oleh banyak dari kalangan
yang memegang (doktrin) Tritunggal. Dalam
hal ini, Athanasius menolak keras dan
menggolongkan mereka (juga) sebagai
bidat dan menyejajarkan mereka sebagai
antikristus.17 Polemik dan perseteruan yang
rumit di antara mereka terus berlangsung
episode demi episode. Kemungkinan dalam
pembuangannya ke Trier, Athanasius menulis
On the Incarnation of the Word, yang
kemudian menjadi karya klasik Kristen yang
agung yang ditulisnya sebagai Bapa Gereja
abad permulaan, yang berisi apologianya
dalam Kristologi, yang mengungkapkan
signifikansi inkarnasi Allah menjadi manusia
demi keselamatan manusia dan menekankan18
keilahian Yesus Kristus. Bukunya ini
mengungkapkan pula refleksi secara eksegesis
nas-nas Alkitab yang berkaitan dengan Kristus
dan keilahian-Nya, serta relasi antar-Pribadi
Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Tujuannya
jelas, yaitu mencelikkan (dan menegaskan)
bahwa Anak adalah diperanakkan, bukan
diciptakan. Tulisannya yang lain, yang juga
merupakan karya klasik Kristen yang agung,
sekaligus lebih direct menghadapi Arianisme
adalah Against the Arians, yang merupakan
karya polemisnya melawan kaum Arian
sekaligus semi-Arian.19 Athanasius meninggal
di Alexandria pada tahun 373, di mana tujuh
tahun terakhir masa hidupnya ia jalani
dengan damai dan tenang. Meskipun Valens,
kaisar Romawi saat itu, adalah pendukung
penuh Arianisme dan pernah membuangnya
sekali, namun kemudian mengizinkannya
untuk pulang. Setelah akhir hidupnya — di
mana dia tidak pernah mengenyam buah
perjuangannya selama hidupnya — kaisar
yang baru, Theodosius,20 menjadi seorang
pendukung penuh iman ortodoks dan trinitarian
yang diperjuangkan (dan dimenangkan)
oleh Athanasius dan sahabat-sahabatnya.
Theodosius memerintahkan dilaksanakannya
Konsili kedua di Constantinople (yaitu Konsili
Contantinople), dengan agenda dan tujuan
untuk menegaskan kembali Kredo Nicea,
di mana pada akhirnya ditetapkan sebagai
pengakuan iman universal bagi seluruh umat
Kristen.21
Dari sekelumit kisah Athanasius dan
perjuangannya membela iman di atas, paling
tidak kita dapat mempelajari, pertama,
bahwa “hanya” karena perbedaan satu kata
“saja” (atau bahkan satu huruf saja) dalam
Kredo Nicea — yaitu antara homoousios dan
homoiousios—yang memiliki bunyi yang mirip
namun memiliki arti yang sangat berbeda,
maka terjadi perbedaan (baca: pertentangan)
yang begitu tajam antara dua paham (baca:
doktrin), yang meminjam ungkapan dari
Olson yang mengatakan, “… is the difference
between the divine and the creaturely”.22
Kedua, meskipun acap kali diabaikan — yaitu
dengan sedikit banyak mengenal karakter atau
kepribadian pendirinya. Dengan mempelajari
karakter/kepribadiannya akan membantu
kita memperoleh gambaran seperti, mengapa
dapat muncul ajaran semacam itu, mengapa
ajaran semacam itu dapat berkembang
secara luas, bahkan pesat, dan mendapat
dukungan langsung maupun tak langsung
dari pihak penguasa (baik penguasa/tokoh
politik maupun gereja). Arius adalah seorang
yang berpenampilan asketis, bermoral murni,
dan berpendirian teguh. Carroll, seorang
sejarawan Katolik, mengatakan bahwa ia
adalah seorang yang santun dalam berbicara,
para wanita memujanya karena terpesona
dengan sikap anggunnya dan penampilan
asketisnya, orang-orang terkesan dengan
kehebatan intelektualnya.23 Karakter seperti
ini sedikit banyak membuat kebanyakan
orang “terlena” serta tidak menyikapi secara
kritis apa yang dia ajarkan. Apalagi konteks
bergereja saat itu, masih kental dengan
dikotomi (yang wujudnya berupa separasi)
kaum pejabat gereja (yaitu para imam atau
pekerja gereja) dengan kaum awam, yang
tampak dari dimonopolinya Alkitab, penafsiran
Alkitab, dan pengajaran (doktrin) oleh kaum
imam, sedangkan kaum awam berada pada
posisi hanya menerima dan menelan apa yang
disajikan oleh pejabat gereja. Sehingga tidak
heran bahwa — meskipun bidat — ajaran yang
melawan salah satu ajaran yang paling krusial
dari rasul-rasul dan Bapa-bapa Gereja ini
dapat berkembang di Kekaisaran Romawi yang
membuat Constantine mau tidak mau segera
mengadakan Konsili untuk membendung
(dan menghentikan) pengaruhnya yang
dapat merusak keutuhan kekaisarannya
(meskipun tentu dengan menggunakan
alasan gerejawi). Hal ini mengajarkan (serta
memperingatkan) kepada kita salah satu
prinsip yang dikumandangkan oleh para
Reformator untuk kembali kepada (hanya)
firman/Alkitab saja (dikenal sebagai sola
Scriptura) sebagai satu-satunya tolok ukur
iman dan kehidupan kaum pilihan, bukan
pada kehebatan dan nalar manusiawi yang
mempesona yang — sering kali — membutakan
hati untuk kembali kepada kebenaran (baca:
firman). Kita harus kritis dan berhati-hati
menghadapi berbagai macam pengajaran,
karena sering kali bidat-bidat menyelubungi
diri di balik argumentasi-argumentasi yang
(terdengar) logis dan mirip dengan ajaran yang
benar, ditambah dengan pesona pribadi sang
tokoh/pendirinya. Faktor-faktor ini sangat
mungkin dapat mengaburkan pertimbangan
nalar kita.
Terakhir, kita perlu meneladani spirit dan
perjuangan Athanasius yang dengan gigih dan
tanpa kompromi membela kesejatian iman
dan doktrin yang ortodoks. Khususnya di dalam
zaman kita, di mana kebenaran dianggap
sebagai sesuatu yang subjektif, relatif,
dan kontekstual. Meskipun dianggap kaku,
kontroversial, tidak bersedia untuk harmonis,
eksklusif, dan seterusnya, namun apakah kita
lebih mementingkan persaudaraan dengan
“saudara seiman” di mana mereka — sadar
ataupun tidak — sedang melawan kebenaran
sejati atau kesetiaan kita hanya kita berikan
kepada Allah dan firman-Nya? Mari kita
melihat bagaimana Athanasius bukan sematamata menghadapi serangan Arianisme sebagai
musuh utama gereja, namun ia pun mengalami
manipulasi (sekaligus ”penganiayaan”)
dari beberapa penguasa Romawi saat itu.
Hidupnya, pelayanannya, perjuangannya
begitu berat, meskipun demikian ia tetap
setia dan tidak kompromi.
Boleh dikatakan bahwa pada hari ini Saksi
Yehova bukanlah salah satu bentuk kekristenan
ortodoks, bukanlah sesuatu yang berlebihan.24
Tanpa perjuangannya yang gigih seperti itu —
tentunya dengan tidak melupakan kedaulatan
Bersambung ke halaman 15
Pillar No.108/Juli/12
11
L
et me introduce myself. I am your fellow
followers of Christ, from a small island in
southern east part of Asia. I live a very
different time and culture from you, about
1.600 years after your time.
It is my great pleasure to know you and read
your writings. I indebted this opportunity to
my teacher who stimulated my curiosity to
know more about you and your teachings.
Reading your book is like drinking fresh
water from oasis after wandering in a desert.
Through this letter, I want to thank you for
three things that I find remarkable through
the reflection upon and meditation on your
homilies on Lazarus and the Rich Man. I
believe these will not only be beneficial to
me but also for my contemporary brothers
and sisters.
Visual Preaching
When I read your sermon on Lazarus and
the Rich Man, I really enjoyed your use of
extensive rhetorical device of ekpharasis
to “draw a picture with words and paint a
story.”1 That makes your sermon came alive
and became powerful and brought me to the
full experience of the reading. It brought
me into the story, not as a reader of your
sermon, but as a spectator of every event
in the story.
I think the church in my time needs this
kind of preaching technique to enhance the
delivery of the message, although that should
not be the only method. The challenges that
churches of my time face are basically similar
to yours, although ours are a little more
sophisticated due to our rapid technological
advancement especially over the last one
century. This does not only bring comfort to
our life, but also lure and vice to our faith
as well. Maybe we are currently building our
modern Babel Tower in our age.
However, there are also many amazing things.
As a result of our advancement in technology,
we have defeated the problem of space.
With our technology, you can travel from
Constantinople to Rome in hours, instead
of weeks or months. Or if you don’t want
to be physically present in Rome, you can
still communicate with Bishop of Rome using
our modern tool, called telephone which
allows sound to travel between spaces. With
12
Pillar No.108/Juli/12
our latest technology, you even can call for
Council without needing to bring them to the
same place. What they need to do is to use the
tool at the same time from their own place,
wherever they are, to communicate with one
another. Indeed, these technologies change
the way we evangelize the world – both in
terms of quantity and extent of space – in
a way that is far beyond your imagination
due to limitation in your time. However, this
same technology also amused us to death,
especially our spiritual death.
The dominant culture in our age is no
longer Hellenistic but what we termed as
postmodern. In my time, churches are facing
similar threat from our modern theater, but
in a worse degree.
Instead of having to fight the temptation to
watch theater and horse-racing 177 days of
the year2, we are now subjected to a similar
temptation 365 days of the year in our home.3
As the result, our generation degenerates into
self-centered people with short-attention
span. So great is our generation’s dependence
on visual simulation, especially image and
moving object that we lost the ability to
visualize things through text reading and
hearing.4 This is one way creative visual
preaching can help this generation’s visualsaturated audience to have better grasp of
the word of God.5
Rich and Poverty
Besides your preaching style, your message
about the rich, poor, and almsgiving is also
very relevant to every Christian in my time.
More than one-third of the world population of
my time are categorized as poor.6 What I mean
by poor is being economically or structurally
poor, not the voluntary.7 I have to admit that
in my time, voluntary poor as ascetics is no
longer seen as a relevant part of religious
life especially Christianity, although to be
fair there is a small number of monasteries
scattered throughout the world. Therefore,
unlike the monasteries of your time, the
impact of these modern monasteries to the
society is very minimal.
In your homily on Lazarus and the Rich Man,
you bring forth the correct understanding of
the poor and the rich, the problem of luxury
life and the real virtue of poverty life. The
main issue here is never the social status;
instead it is about the heart of man. It is man
who considers the appearances but God will
look at the heart.8 Man will not be condemned
because of his wealth and also not be saved
because of his poverty.9 To be rich is not a
sin and to be poor is not a virtue, especially
if it comes from laziness. After all, does not
St. Paul say to the churches in Thessalonians,
“Man shall not eat if he does not work”?10
However, the rich man’s major mistake in this
story is his coldness toward the poor at his
gate – a position that allows him to extend
a helping hand. However, he does not only
fail to give alms and neglect his duty to help
him, he is in fact enjoying a luxurious life,
wearing purple linen clothes and having a
sumptuous feast. As said in your sermon, “This
cruelty is the worst kind of wickedness; it is
an inhumanity without rival. For it is not the
same thing for one who lives in poverty not
to help those in need, as for one who enjoys
luxury to neglect others who are wasting
away with hunger. … Let us do the same; let
us accustom ourselves to eat only enough
to live, not enough to be distracted and
weighed down. For we were not born, we do
not live, in order to eat and drink; but we eat
in order to live.”11 Let us remember that the
wicked and greedy are like robber-chiefs who
use the gold and silver from his prowling to
acquire lands, clothes and slaves. Will they
be called fortunate because of that wealth
or unfortunate, because of the penalty which
awaits him? Although he now can enjoy the
extravagant feasting and luxury clothes, but
we call him miserable because of his future
expected sufferings.12
On the other hand, Lazarus lives his life in
a way that is the exact opposite of the rich
man. He endures many tests of virtue: he is
poor, he is ill, he has no one to help him, he
lives outside a house whose owner can relieve
all his troubles but does not even bother with
a word of comfort, he sees the man who
neglects him while enjoying a life of luxury,
and he is also considered cursed because of
his poverty and illness. “Not for two or three
days but for his whole life he saw himself
in this situation and the rich man in the
opposite.”13 However, he endures patiently
without complains and uses his sufferings to
Grace and Peace to You, Father John Chrysostom
build up his spiritual strength, proving his
righteousness.14 It is for this reason that Christ
set him before us: “so that whatever troubles
we encounter in seeing this man’s greater
measure of tribulation, we may gain enough
comfort and consolation from his wisdom and
patience. He stands forth as single teacher
of the whole world for those who suffer any
misfortune whatever, offering himself for all
to see, and surpassing all of them in the excess
of his own troubles.”15
At the end, who are the real poor and the
real rich in this story? I honestly like the way
you aptly explain it: “… if you see someone
greedy of many things, you should consider
him the poorest of all, even he has acquired
everyone’s money. If, on the other hand, you
see someone with few needs, you should
count him the richest of all, even he has
acquired nothing. For we are accustomed to
judge poverty and affluence by the disposition
of the mind, not by the measure of one’s
substance.”16 It is the LORD who makes some
poor and others rich; he brings some down
and lifts others up.17 Therefore, let everyone
be content with what God has given to him
and use it for the goodness of the others who
in need, and above all things do it for the
glory of God.18
Self Exemplary Life
The most important one that I learn from you
is how you apply what you teach and preach
in your life. I believe this is a very important
lesson to churches in my time. Sometimes, I
think that many pagans refuses to join the
Christian community in my time not because
of a lack of evangelism or that the message
that we teach is uninteresting, or that the
good news that we share is unimportant for
them. Instead, our hypocritical life becomes
a stumbling block to them. We, including
myself, often fail to be salt and light to our
world. Instead of attracting the world to the
truth, justice, love and mercy of God, we are
repelling them through our failure to imitate
our Lord.
In contrast, you have applied what you
preached and expected others to follow your
example. Even though you had the chance
to live as a rich man – enjoying the luxurious
feasting and drinking and delighting in theater;
you decided to enter voluntary poverty to be
similar with people that you love and serve.19
You lead your people through example of your
life. As a church leader, you led your flock
not only through the pulpit but also through
your life. Unsurprisingly, many followed your
teaching, some give alms to the poor while
others willingly give up their wealth for the
benefit of many. This is a reflection of love
that God has shown by sending His Son to be
a ransom of our sin and reconciling us to Him
while we were still His enemy.20
Furthermore, this love of Christ within the
church radiated outside the church wall and
enlightened the darkness in which people
live. In my opinion, it is the sincere life of
the early churches and Christians, especially
in matters of compassion towards the poor,
sick, elderly and needy that brought numbers
of conversion in the 4th century, besides the
conversion of Emperor Constantine and the
religious freedom as guaranteed in Edict of
Milan.21 Please correct me, Father if I make
any wrong assumption on this.
It is argued by Constantelos, modern theologian
in my time, that since the 4th century BC
Hellenistic culture has already emphasized
on philanthropic work as “benevolence and
humanitarianism as a natural bond of love for
the common good”.22 Aeschylus introduced the
theocentric concept to Hellenic philanthropic
work by emphasizing it as the work of gods
toward humanity, and human in turn shall
imitate god’s philanthropic work. Aeschylus
wrote, “Prometheus, the demigod, decided
to bring the earth fire and empower humans
with knowledge and skills because of his
great philanthropia for the future of human
kind. He was bound to a crag and had his
liver eaten daily … because of his love to
humanity.”23 What a benevolent teaching of
Hellenic philanthropic! However, what about
the application of this teaching?
Emperor Julian in his letter to Arsacius,
chief priest of Hellenic religion in Galatia,
complained, “The Hellenic religion does not
yet prosper as I desire, and it is the fault
of those who profess it. … The worship of
the gods is not enough. Worship must be
accompanied with benevolence to strangers
and the poor, with care to the hungry, with
the establishment of hostels (xenones) where
strangers may find shelter. … Our philanthropy
should benefit not only our own people but
also others in need.” He adds, “that the
impious Galileans support not only their own
poor but also ours.”24
Let us remind ourselves of what Jesus
has already taught, “By their fruits you
will recognize the tree.”25 Great teaching
will be in vain if it turns out to be mere
information and knowledge without any real
application.26
Closing
Lastly, I want to thank you again for your
contribution to Christianity through your
administrative work as a bishop, your
exemplary life as a Christian, and especially
through your writings as a theologian and
preacher that last until my time. I don’t know
how you will receive this letter. However, if
you miraculously receive this letter, please
remember me and my contemporary Christian
in your prayer. May the grace of the Lord Jesus
Christ, and the love of God, and the fellowship
of the Holy Spirit be with us. Amen.
Wiryi Aripin
Pemuda GRII Singapura
Bibliography:
1. Campenhausen, Hans Von. The Fathers of the
Greek Church (New York NY: Pantheon, 1959).
2.
Carman, Francine. “Poverty and Wealth as
Theater: John Chrysostom’s Homilies on Lazarus
and the Rich Man.” Wealth and Poverty in Early
Church and Society edited by Susan R. Holman
(Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2008).
3.
Chrysostom, John. On wealth and Poverty (New
York, NY: St Vladimir Seminary Press, 1984).
4.
Hughes, R. Kent. “Preaching God’s Word to the
Church Today.” The Coming Evangelical Crisis
edited by John H. Armstrong (Chicago, IL: Moody,
1996).
5.
Mayer, Wendy. “Poverty and Generosity toward the
Poor in the Time of John Chrysostom.” Wealth and
Poverty in Early Church and Society edited by Susan
R. Holman (Grand Rapids, MI: Baker Academic,
2008).
6.
Shah, Anup. “Poverty Facts and Stats.” Global
Issues, Accessed: 30 Oct. 2010. <http://www.
globalissues.org/article/26/poverty-facts-andstats>
Endnotes:
1.
Francine Carman, “Poverty and Wealth as Theater:
John Chrysostom’s Homilies on Lazarus and the
Rich Man”, Wealth and Poverty in Early Church
and Society edited by Susan R. Holman (Grand
Rapids, MI: Baker Academic, 2008), 164.
2. St. John was fighting against the theater, a
central institution in society, that became “a
competing community and way of life” to church,
brought to the declination numbers in church
and deformation of character and community of
Christians. In one of his sermon, he repeatedly
complaint against “absent or inattentive members
of his congregation, eager to rush to shows – even
those accompanying the catechumens during Lent
repair the racetrack soon afterward”. See Francine
Carman, “Poverty and Wealth”, 159-160.
3. I mean here is television and internet. I don’t
consider watching television or surfing internet as
evil, but the problem is that we give more time
than we suppose to give to this activity.
4.
R. Kent Hughes, “Preaching God’s Word to the
Church Today”, The Coming Evangelical Crisis,
edited by John H. Armstrong (Chicago, IL: Moody,
1996), 92.
5.
Other medias like presentation, drama, video, etc.
can be very useful tools for this purpose. However,
these shall not replace the importance of preached
word since God has chosen this way to convey His
message to His people.
6.
Anup Shah, “Poverty Facts and Stats.” Global
Issues, Accessed: 30 Oct. 2010. <http://www.
globalissues.org/article/26/poverty-facts-andstats>
7.
“(Voluntary) ‘Poverty’ is a voluntary detachment
from wealth, leading to the removal of all luxury
from one’s life. This is to the point not just
moderation (which is listed in On virginity as
a separate virtue), but of complete simplicity.
It is a poverty that is not a reduction to the
point of neediness (as often the case for the
economic poor), but rather a removal of all that
is superfluous. … What distinguishes the voluntary
poor from the involuntary poor in this regard is
that the first can deny all of these essentials (food,
clothing, and private or public baths) precisely
because they have unrestricted access to them.
It is in this sense that the ascetic life can be
described as a state of voluntary poverty, and why,
for the ascetic of this time and those who admired
them, personal wealth and voluntary poverty were
entirely compatible.” See Wendy Mayer, “Poverty
and Generosity toward the Poor in the Time of John
Chrysostom”, Wealth and Poverty in Early Church
and Society edited by Susan R. Holman (Grand
Rapids, MI: Baker Academic, 2008), 147-149.
8.
1 Sam. 16:7; Luke 16:15; Prov. 24:12.
9.
St. John Chrysostom has mentioned in his sermon
that poor one has better chance to be saved. This
statement may be difficult to accept in modern
time, but considering the socio-cultural at that
time where asceticism (voluntary poor) was
regarded highly in the Christian community, it is
easier to understand.
Bersambung ke halaman 8
Pillar No.108/Juli/12
13
“Orang Kristen sama orang dunia hidupnya
nggak ada bedanya!”
“Buat apa saya jadi orang Kristen? Hidup
mereka nggak lebih baik dari saya.”
“Lihat deh hidup mereka, masih berani pula
mengaku kenal Tuhan!”
Kalimat-kalimat menusuk yang sangat klasik,
bukan? Klasik, sudah begitu sering kita dengar,
sebuah stereotype yang terus ditempelkan
pada Gereja Tuhan sepanjang sejarah.
Tidakkah hati kita gelisah mendengarnya?
Apakah kalimat-kalimat itu benar? Lebih jauh
lagi, apakah kita yang membuat stereotype
itu kembali ‘panjang umur’ di zaman ini? Mari
belajar dari sejarah.
Pelagius (354-420 M), salah seorang Bapa
Gereja yang selalu dituding sebagai penyesat,
adalah seorang yang bertubuh besar dan kuat,
tetapi dikenal sangat lembut. Ia mempunyai
reputasi yang sangat baik mengenai hidupnya
yang kudus dan saleh. Pelagius tidak secara
resmi ditahbiskan sebagai biarawan, namun
ia banyak menjadi penasihat rohani bagi
masyarakat Roma saat itu. Lalu apa kaitan
permasalahan di atas dengan Pelagius?
Permasalahan kehidupan orang Kristen yang
bobrok adalah duka dan pergumulan Pelagius
yang paling besar. Pada akhir abad ke-4,
Pelagius berpindah dari Britania ke Roma,
di mana kekristenan diakui dan diresmikan
sebagai agama negara. Oh, betapa indahnya
negeri yang mengakui Kristus sebagai Tuhan
dan Juruselamat! Tetapi kenyataan yang
ia lihat di depan matanya ternyata sangat
14
Pillar No.108/Juli/12
berbeda dengan apa yang ia bayangkan
mengenai sebuah negara yang menyebut
dirinya Kristen. Manusia hidup seenaknya
sambil menyebut diri anak-anak Allah.
Pelagius kemudian dibuat lebih terkejut
melihat orang-orang bahkan membenarkan
diri dan ‘membaptis’ dosa-dosanya dengan
memanfaatkan pengertian-pengertian
theologis!
Doktrin mengenai dosa asal (original sin)
yang diturunkan dari Adam, misalnya,
dimanfaatkan untuk mengatakan bahwa
dosa asal adalah sesuatu yang tak bisa
mereka hindari dan tak bisa mereka atasi.
Natur keberdosaan akan terus melekat pada
diri mereka, jadi tentu saja mereka masih
terus melakukan dosa! Doktrin anugerah pun
dimanfaatkan untuk berkata bahwa jikalau
memang Tuhan sendirilah yang akan memilih
manusia dan menentukan siapa yang akan
diberi anugerah keselamatan dan siapa yang
tidak, mengapa mereka harus berusaha hidup
benar? Kalau anugerah diberikan, toh nanti
pasti bisa hidup benar. Kalau anugerah tidak
diberikan, manusia bisa apa? Demikianlah
orang-orang di sekitar Pelagius mengajukan
pembelaan diri yang begitu ‘rohani’ atas
dosa-dosanya. Pelagius murka.
Dengan latar belakang pergumulan yang
demikian, Pelagius kemudian menarik
kesimpulan-kesimpulan yang salah mengenai
doktrin-doktrin tersebut. Ia pun menjadi
sangat antipati terhadap tulisan-tulisan
Agustinus di dalam The Confessions yang
sangat menekankan mengenai dosa asal,
ketidakberdayaan manusia,
kedaulatan mutlak Allah
atas manusia, dan anugerah
Tuhan. Pelagius tidak
bisa menerima konsep
bahwa manusia seolaholah menjadi boneka di
tangan Allah, yang seutuhutuhnya bergantung pada
anugerah Tuhan tanpa
mempunyai kekuatan
untuk menentukan pilihanpilihannya sendiri. Pelagius
menilai doktrin ini akan
membuahkan akibat yang
sangat fatal, yang jelas
sudah terjadi pada orangorang di Roma saat itu:
kekristenan palsu.
Pelagius mengatakan, “Orang-orang Kristen,
di atas segalanya, harus berjuang sekuat
tenaga untuk hidup benar.” Maka, melawan
Agustinus, ia kemudian menekankan bahwa
manusia mempunyai kehendak bebas
(freewill) dan dapat menentukan sendiri
untuk memakai kebebasan tersebut dengan
benar. Ia menolak paham mengenai original
sin sebagai suatu kuasa yang dapat membuat
orang terus berdosa bahkan setelah orang
itu dibaptiskan. Ia juga menolak pemikiran
bahwa dosa Adam telah membuat seluruh
umat manusia secara otomatis ikut menjadi
orang berdosa. Pelagius melihat dosa Adam
sebagai sesuatu yang sangat buruk karena
dengan demikian Adam menjadi contoh yang
sangat buruk bagi generasi selanjutnya untuk
melawan Allah, tidak lebih dari itu.
Menurut Pelagius, ada kemungkinan bagi
manusia untuk hidup tanpa dosa, asalkan
manusia sungguh-sungguh berjuang untuk
itu. Baginya, adalah sebuah ketidakadilan
jika Allah memerintahkan sesuatu yang
melebihi kemampuan manusia dan
kemudian menghukum manusia karena
gagal menjalankannya. Bagaimana mungkin
Kristus memerintahkan manusia untuk
menjadi sempurna seperti Bapa, jikalau Ia
tahu manusia tidak mungkin melakukannya?
Maka kekristenan, bagi Pelagius, adalah
perjuangan manusia untuk hidup sempurna.
Manusia dibaptiskan supaya dosa-dosa masa
lalunya dibersihkan melalui salib Kristus,
selanjutnya merupakan pilihan bebas manusia
sendiri untuk menjauh dari dosa. Pengorbanan
Kristus di kayu salib merupakan contoh dari
ketaatan mutlak kepada Allah, tetapi adalah
bagian kita sendiri untuk menentukan apakah
kita mau meneladani-Nya atau tidak. Pelagius
tidak menerima pemikiran bahwa anugerah
Allah dapat secara langsung memengaruhi
hati manusia dan mengubahnya ke arah yang
benar. Menurutnya hal itu akan merupakan
penyangkalan terhadap kuasa manusia untuk
dapat dengan bebas memilih yang benar dan
yang salah.
Dengan pemikirannya yang demikian, Pelagius
menjatuhkan dirinya ke dalam masalah besar
pada zaman itu. Penekanannya yang timpang
pada kehendak bebas dan kemungkinan
kesempurnaan manusia dinilai merupakan
penyangkalan terhadap anugerah Allah dan
kuasa salib Kristus. Pelagius dan pengikutnya
dijatuhi hukuman pada tahun 415 M, kemudian
Heretic Thoughts -‘Truthful’ Life? Truthful Thoughts - Heretic Life? A Lifetime Struggle
Pelagius dibuang ke pengasingan, suatu
kenyataan yang ia terima dengan tenang
sebagai harga yang harus dibayarnya demi
apa yang ia anggap benar.
Maka istilah Pelagianisme yang kita kenal
hari ini merupakan karikatur dari keseluruhan
pergumulan Pelagius: sebuah konsep yang salah
bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
memilih dan memperjuangkan keselamatan
bagi dirinya sendiri tanpa memerlukan
anugerah Allah. Betapa berbahaya buah
pemikiran Pelagius! Ia telah mengecilkan
cakupan kedaulatan Allah, mengecilkan
makna dari kejatuhan manusia dalam dosa,
dan dengan demikian mengecilkan pula
signifikansi dari kematian dan kebangkitan
Kristus. Pemikirannya telah merendahkan
Allah dan meninggikan manusia.
Tetapi mari kita berhenti sejenak. Kita bisa
dengan mudah memaki dan meneriakkan
“Dasar sesat!” kepada Pelagius, toh apa yang
ia pikirkan memang sudah teruji merupakan
penyesatan. Namun kalau kita mau melihat
sedikit lebih jauh, ia adalah orang yang
pada zamannya mempunyai kepekaan akan
kebobrokan orang Kristen dan dengan hati
yang jujur berusaha membangunkan Gereja
dari penipuan diri yang mengatasnamakan
kebenaran. Pelagius, sekali lagi, adalah
orang yang sampai hari ini dikenal sebagai
orang yang sangat menjaga hidupnya kudus
dan berteriak memanggil masyarakat Roma
saat itu untuk hidup kudus sesuai dengan
yang Alkitab perintahkan. Bagaimana dengan
kita?
Sambungan dari halaman 11
dan pengaturan Allah atas sejarah dan
Gereja-Nya — bukan tidak mungkin hari ini
Saksi Yehova (juga bidat-bidat lain, baik yang
sejenis maupun berbeda jenis) akan terhitung
sebagai (representasi) kekristenan yang
ortodoks dan sebaliknya kita (dan kekristenan
ortodoks dan Injili lain) dikecam dan dikutuk
sebagai bidat. Kita patut bersyukur kepada
Allah karena pemeliharaan-Nya kepada gereja
sepanjang masa dan berterima kasih kepada
Athanasius yang dengan penuh keberanian
memberikan teladan memperjuangkan
kebenaran sejati dengan setia dan tanpa
kompromi. Amin.
Ev. Sanny Erlando
Hamba Tuhan GRII
Endnotes:
1.
Yaitu sosok ilah “pencipta” dan “pemelihara” alam
semesta. Marcionism sebagai salah satu bentuk
Gnosticism, percaya bahwa demiurge adalah ilah,
tetapi ia adalah ilah (jenis) yang jahat, karena
ia mencipta alam semesta yang material, yang
Paling sedikit ada dua hal yang dapat kita
pelajari dari sejarah singkat mengenai Pelagius
ini. Yang pertama, penyesatan sesungguhnya
tidak hanya datang dalam bentuk sebuah
konsep pemikiran yang kemudian diadopsi
dan disebarkan kepada orang-orang lain.
Penyesatan bisa datang dalam bentuk lain:
hidup orang Kristen. Kita akhirnya harus
melihat dan mengakui bahwa yang awalnya
membuat Pelagius meragukan dan akhirnya
melawan doktrin yang benar adalah konteks
orang-orang Kristen saat itu yang mengetahui
kebenaran namun justru memanfaatkannya
untuk hidup semakin rusak! Pelagius akhirnya
mengeluarkan pemikiran demikian yang masih
banyak memengaruhi orang-orang Kristen
sampai zaman ini. Bayangkan, sudah berapa
jauh penyesatan yang diakibatkan oleh
kebobrokan hidup orang yang mengaku Kristen
di Roma saat itu? Melintasi zaman!
Yang kedua, coba kita refleksikan betapa
i r o n i sn y a k e n y a t a a n b a h w a Pe l a g i u s
mempunyai pemikiran yang sesat sekaligus
hidup yang saleh. Memang pada akhirnya,
hidup Pelagius pun tidak dapat dikatakan
sungguh-sungguh benar karena kesalahan
konsep yang mendasari hidupnya, tetapi
mengapa yang terjadi harus demikian? Orang
yang mempunyai pemikiran yang sesat justru
adalah orang yang berjuang untuk hidup
benar. Tidakkah hal ini sangat menyedihkan?
firman Tuhan di dalam pengertian doktrin yang
ketat, apa yang kita perbuat dengan hidup
kita? Apakah kita akan mengulang sejarah,
menjadi orang-orang yang mengaku Kristen
dan mengerti doktrin yang benar, namun
justru menghidupi hidup yang menyesatkan
orang lain dan generasi-generasi selanjutnya
di depan kita?
Mari menyatakan bahwa kebenaran Allah
sungguh-sungguh sanggup membuat manusia
hidup dengan benar. Karena Allah kita
adalah Allah yang hidup, satu-satunya Allah
yang benar dan berdaulat, maka keutuhan
pemikiran yang benar sekaligus hidup yang
benar harus ternyatakan melalui Gereja-Nya.
Kiranya kita, yang menyebut diri umat Allah,
tidak terus-menerus hidup sebagai orangorang yang mempermalukan Dia. Kiranya kita
menjadi umat Allah yang berani mempelajari
kebenaran sedalam-dalamnya, sekaligus
berani berjuang mematikan kuasa dosa yang
terus mencoba menjatuhkan kita, dan di
dalam anugerah Tuhan, menjadi orang-orang
yang hidup kudus dan benar di hadapanNya. Mari berjuang memiliki doktrin dan
pemikiran yang benar, sekaligus hidup yang
benar, sehingga itulah yang menjadi gambaran
Gereja Tuhan di dalam zaman ini dan di masa
depan. Kiranya nama Tuhan dipermuliakan!
Lydiawati Shu
Pemudi FIRES
Sekali lagi, kita harus belajar dari sejarah.
Jikalau kita adalah orang-orang yang
dianugerahkan Tuhan pada zaman ini untuk
sejak muda sudah mendengar kebenaran
jahat menurut pemahaman gnostik (bdk. http://
en.wikipedia.org/wiki/Demiurge diakses pada 14
Juni 2012).
2.
William Edgar dan K. Scott Oliphint (para editor),
Christian Apologetics Past and Present: A Primary
Source Reader, vol. I, To 1500 (Wheaton: Crossway
Books, 2009), 86.
3.
Gregg R. Allison, Historical Theology: An
Introduction to Christian Doctrine (Grand Rapids:
Zondervan, 2011), 367; dikutip dari Justin Martyr,
Dialogue with Trypho, a Jew, 105, dalam Alexander
Roberts, James Donaldson, Philip Schaff, dan
Henry Wace (para editor), Ante-Nicene Fathers,
10 vol. (Peabody: Hendrickson, 1994), 1:251.
4.
Allison, 367; dikutip dari Melito dari Sardis, From
the Discourse on the Cross, dalam Ante-Nicene
Fathers, 8:756.
5.
Allison, 366.
6.
Allison, 367.
7. Allison, 368-69; dikutip dari Arius, Letter to
Alexander, dalam Alexander Roberts, James
Donaldson, Philip Schaff, dan Henry Wace (para
editor), Nicene-and Post-Nicene Fathers (NPNF),
14 vol. (Peabody: Hendrickson, 1994), 4:458.
8. Allison, 369; dikutip dari Letter to Alexander,
dalam NPNF, 4:458.
9. Allison, 369; dikutip dari Letter to Alexander,
dalam NPNF, 4:458.
10. http://en.wikipedia.org/wiki/Arius#cite_noteCarroll_a-7 diakses pada 22 Juni 2012. Kutipankutipan Alkitab diambil dari terjemahan English
Standard Version (ESV).
11. Allison, 369-71.
12.Bdk. http://en.wikipedia.org/wiki/First_Council_
of_Nicaea diakses pada 22 Juni 2012.
13.
14.
Edgar dan Oliphint, 173.
Dimengerti sebagai norma-norma atau kredo-kredo
yang diakui/diterima. Lih. http://en.wikipedia.
org/wiki/Orthodoxy diakses 18 Juni 2012.
15. Roger E. Olson, The Story of Christian Theology
(Downers Grove: IVP, 1999), 161.
16.Yun. homo = Ing. “same”; Yun. ousia = Ing.
“essence, being.” Yun. homoousios = Ing. “same
essence/being” = “sama esensi/keberadaan.” Lih.
http://en.wikipedia.org/wiki/Homoousios diakses
pada 23 Juni 2012.
17. Olson, 161-64.
18. Tentunya dalam konteks melawan Arianisme dan
tidak dipahami sebagai mementingkan suatu
aspek dan mengabaikan yang lain. Karena seperti
diuraikan di awal artikel bahwa ketidakseimbangan
penekanan menjadi bibit lahirnya bidat dalam
Gereja.
19. Olson, 167.
20. Dianggap/diakui sebagai seorang santo oleh Gereja
Ortodoks Timur. Lih. http://en.wikipedia.org/
wiki/Theodosius_I diakses pada 23 Juni 2012.
21. Olson, 167.
22. Olson, 165.
23. http://en.wikipedia.org/wiki/Arius#cite_noteCarroll_a-7diakses pada 22 Juni 2012; dikutip dari
Warren H. Carroll, A History of Christendom, vol.
2 (Christendom Press, 2004), 10.
24. Lih. Olson, 161-62.
Pillar No.108/Juli/12
15
KEBAKTIAN PEMBARUAN IMAN NASIONAL 2012
KPIN Palangkaraya yang diadakan pada tanggal 1 Juni 2012 merupakan salah satu bagian kebaktian
dari seluruh rangkaian KPIN Kalimantan Tengah yang diadakan pada tanggal 29 Mei - 1 Juni 2012.
Selain Palangkaraya, kota lain yang disinggahi oleh KPIN Kalteng adalah Kapuas, Katingan, Buntok, dan Banjarmasin.
KPIN Tarakan, Kalimantan Timur – 11 April 2012
KPIN Alor merupakan salah satu KPIN yang diadakan di dalam KPIN NTT pada tanggal 6 Juni 2012.
Kesaksian oleh Ev. Michael Liu yang disusul dengan altar call telah memanggil ribuan orang untuk maju
dan bertobat di dalam setiap acara KPIN. Selain Alor, KPIN NTT juga diadakan di
Kupang, Rote, dan Soe dari tanggal 4 - 8 Juni 2012.
KPIN Malinau, Kalimantan Timur – 12 April 2012
KPIN Sumba yang diadakan pada tanggal 11 - 14 Juni 2012 telah menjadi kebaktian terbesar yang pernah diadakan
di tempat-tempat tersebut sepanjang sejarah. KPIN Sumba terdiri dari KPIN Tambolaka, KPIN Waibakul,
KPIN Waikabubak (Foto), dan KPIN Waingapu.
16
Pillar No.108/Juli/12
Download