Pillar Buletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia 108 Daftar Isi Sepuluh Hukum: Hukum Ketujuh (Part 3)..............1 Juli 2012 Meja Redaksi..................................2 Antony dan Hidup yang Menyangkal Diri............................6 Let’s Take Time to Ponder...........9 Pokok Doa......................................9 Athanasius: Melawan Dunia bagi Dunia....................................10 Grace and Peace to You, Father John Chrysostom........................12 Sepuluh Hukum Heretic Thoughts – ‘Truthful’ Life? Truthful Thoughts – Heretic Life? A Lifetime Struggle.........................................14 Liputan Foto Kebaktian Pembaruan Iman Nasional (KPIN) 2012 ...............................16 Penasihat: Pdt. Benyamin F. Intan Pdt. Sutjipto Subeno Ev. Alwi Sjaaf Redaksi: Pemimpin Redaksi: Ev. Edward Oei Wakil Pemimpin Redaksi: Ev. Diana Ruth Redaksi Pelaksana: Adhya Kumara Heruarto Salim Heryanto Tjandra Desain: Mellisa Gunawan Redaksi Bahasa: Darwin Kusuma Juan Intan Kanggrawan Lukas Yuan Utomo Mildred Sebastian Yana Valentina Redaksi Umum: Budiman Thia Erwan Hadi Salim Suroso Randy Sugianto Yesaya Ishak GRII CIMB Niaga Cab. Pintu Air Jakarta Acc. 234-01-00256-00-4 Sekretariat GRII Reformed Millennium Center Indonesia (RMCI) Jl. Industri Blok B14 Kav. 1. Jakarta 10720 Telp: 021 - 65867811 www.buletinpillar.org [email protected] Hukum Ketujuh (Part 3) K ita telah membahas hukum ketujuh dari beberapa aspek. Di dalamnya kita melihat bahwa kesucian seks akan menjamin kelestarian umat manusia sampai akhir zaman. Ketidaksucian seks merupakan ancaman bagi kesehatan pribadi dan kesejahteraan seluruh umat manusia. Prinsip dari perintah yang penting ini bukan hanya ada di dalam Alkitab, tetapi juga ditanam Tuhan di dalam hati nurani manusia. Tidak ada satu bangsa pun yang menyetujui bahwa manusia boleh melampiaskan nafsu seks semaunya. Berhubungan seks adalah sesuatu yang sangat nikmat karena berdasarkan anugerah Tuhan manusia bisa menikmati kenikmatan seks sedemikian tinggi yang melampaui semua makhluk lainnya. Namun untuk itu, manusia juga dituntut untuk menjaga kesucian seksnya. Jika dilanggar, Tuhan akan menghukum orang itu. Lagi pula manusia tidak mungkin mencintai dua orang di saat yang sama dengan kadar cinta yang sama, tetapi dia Oleh Pdt. Dr. Stephen Tong mampu mencintai dua, empat, enam, sepuluh, bahkan belasan anaknya dengan kadar cinta yang sama. Fenomena ajaib yang tidak dapat dijelaskan, hanya dapat diakui oleh para psikolog dari dahulu hingga sekarang. Kasih sejati antara suami istri tidak dapat dipisahkan dari kejujuran, kesehatian, dan kekekalan. Itulah hikmat Allah saat menciptakan manusia. Kalau ciptaan Allah ini tahu hidup sesuai kehendak-Nya, pasti ia akan menikmati kebahagiaan sempurna, kepuasan yang tidak akan disesali selamanya. Oleh karena itu, bangsa yang menghormati pernikahan akan diberkati Tuhan. Rasio dan Kesucian Di Taiwan ada gereja yang sebelumnya Reformed kemudian berubah menjadi Liberal dan merestui pernikahan homoseks dan lesbian. Di Malaysia ada pendeta dengan gelar Doktor dari Amerika Serikat menulis makalah bahwa homoseks tidak bertentangan Berita Seputar GRII 1. STT-Reformed Injili Internasional mengadakan rangkaian Intensive Course dan Seminar sebagai berikut: a. Intensive Course “Puritan Theology: Reforming Church & Society”, dibawakan oleh Prof. Paul C. H. Lim, Ph.D. pada tanggal 2-6 Juli 2012. b. Seminar “Christian Community Life in the Epistle of John”, dibawakan oleh Prof. Flavien Pardigon, Ph.D. pada tanggal 8 Juli 2012. c. Intensive Course “Ecclesiology”, dibawakan oleh Prof. Flavien Pardigon, Ph.D. pada tanggal 9-13 Juli 2012. d. Seminar “The Work of Christ”, dibawakan oleh Prof. Gerald L. Bray, Ph.D. pada tanggal 15 Juli 2012. e. Intensive Course “Christology”, dibawakan oleh Prof. Gerald L. Bray, Ph.D. pada tanggal 16-20 Juli 2012. f. Seminar “The Holy Spirit in Christian Life”, dibawakan oleh Prof. Gerald L. Bray, PhD. pada tanggal 22 Juli 2012. g. Intensive Course “Justification by Faith”, dibawakan oleh Prof. Gerald L. Bray, Ph.D. pada tanggal 23-27 Juli 2012. Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Sekretariat STT-Reformed Injili Internasional (021) 6586 7809, email: [email protected]. 2. STT-Reformed Injili Internasional akan mengadakan Ujian Penerimaan Mahasiswa Baru gelombang ke-3 pada tanggal 10 Agustus 2012. Informasi dan formulir pendaftaran dapat diperoleh di Sekretariat STT-Reformed Injili Internasional (021) 6586 7809, email: [email protected] dan dikembalikan paling lambat tanggal 26 Juli 2012. Hukum Ketujuh (Part 3) dengan Alkitab. Ini semua membuktikan kebenaran perkataan Martin Luther: “Rasio manusia bagaikan pelacur”. Rasio sering kali tidak setia kepada kebenaran, bagai perempuan yang mau melakukan hubungan seks dengan siapapun yang memberinya uang. Rasio adalah organ yang membedakan manusia dari makhluk yang lain. Rasio bisa memikirkan makna, mencari jawaban, menganalisis sebab-akibat, dan menyimpulkan dalil yang ada di alam. Tetapi rasio juga bisa menyetujui hal yang tidak beres, namun dianggap cukup beralasan meskipun alasannya sangat miring, licik, dan tidak jujur. Itu adalah tindakan orang yang kurang pandai atau yang mendewakan rasio, tetapi tidak berani setia kepada kebenaran. Martin Luther sangat peka akan hal ini dan dia menyebut “Rasio bagai pelacur”. Pertanggungjawaban Kesetiaan Kepada siapa kita harus setia? Kepada Allah karena Dia adalah Sumber Kasih yang mengasihi kita terlebih dahulu dan menuntut kita mengasihi Dia dengan sepenuh hati, bagai seorang gadis yang menikah dan mencintai suaminya. Hubungan Kristus dengan jemaat-Nya digambarkan sebagai hubungan kasih suami dan istri. Kristus terlebih dahulu mengasihi kita, maka kita harus setia, memelihara kesucian diri, dan tidak keluar dari jalur yang Dia tetapkan. Begitu pula rasio kita harus mengasihi Kristus, Sumber Kebenaran, Inisiator Wahyu, Penunjuk Jalan Kekekalan dengan sepenuhnya. Merenungkan dan menaati prinsip-prinsip yang tercantum dalam firman Tuhan adalah kembalinya sang anak hilang untuk setia kepada kebenaran yang sejati. Inilah iman. Iman tidak membunuh rasio, melainkan membawanya kembali setia kepada kebenaran yang asli. Dengan demikian orang Kristen membawa rasionya taat sepenuhnya kepada Sumber Kebenaran, kepada Tuhan Pencipta rasio. Orang Kristen yang menggunakan rasio untuk memuaskan perasaan bukanlah orang Kristen yang sejati, karena orang Kristen yang sejati justru mengajak umat manusia untuk mempelajari, menaati, dan menjalankan kehendak Tuhan yang telah Dia wahyukan kepada kita dengan sepenuh hati. Demikian pula tubuh kita hanya setia kepada suami atau istri yang Tuhan berikan saat kita membentuk rumah tangga. Kesucian seks akan menjamin kebahagiaan seluruh umat manusia dan menjadi berkat bagi keturunannya. Jika mereka tidak peduli akan hal ini, jangan harap mereka bisa mendidik anak-anak mereka dengan baik. Saya sudah beberapa kali mendengar ada anak-anak yang menemukan gambar-gambar porno di komputer dan kamera papanya. Setelah itu, mereka mulai menonton dan malah mengajak teman-teman mereka. Ketika seorang remaja putri yang melakukan hubungan seks di hotel ditanya, dia mengatakan bahwa dia mencontoh papa mamanya. Pendidikan yang baik bukan berdasarkan pengetahuan melainkan teladan. Saat skandal perzinahanmu terbongkar, seberapa engkau kaya ataupun pandai, reputasimu akan merosot tajam. Gosip skandal seks jauh lebih cepat daripada pemberitaan Injil. Menghormati Perkawinan Tuhan sangat membenci orang yang tidak setia dalam pernikahan. Di dalam kitab Ibrani 13, Tuhan menuntut orang menghormati perkawinan. Itu berarti: 1) menghormati hubungan yang paling intim antara pria dan wanita; 2) mengakui institusi yang Tuhan tetapkan; 3) memperhatikan kesehatan seluruh umat manusia; dan 4) mendidik anak-anak buah pernikahan kita dengan baik. Jangan main-main, hidup suci ditandai dengan kesungguhanmu menghargai pernikahanmu, setia kepada pasangan hidupmu. Itulah yang membuat hidupmu diperkenan Tuhan, menjadi teladan dunia, dan menjadi fondasi pendidikan bagi keturunanmu, sehingga mereka akan hidup takut akan Tuhan dan menghormati orang tua. Tuhan membenci perzinahan, karena perzinahan adalah salah satu investasi setan di dalam gereja. Langkah pertama seseorang masuk ke dalam Kerajaan Allah adalah pertobatan yang dihasilkan oleh iman. Karena iman datang dari mendengar firman, dan firman disampaikan oleh orang yang sungguhsungguh memberitakan Injil, maka orang yang memberitakan Injil haruslah orang yang sungguh-sungguh sudah bertobat terlebih dahulu. Ayat “Serukan nama Tuhan, dan ia pun diselamatkan” (Rm. 10:9, 13) sering kali disalah mengerti dan diselewengkan. Paulus mengatakan hal ini kepada jemaat Roma yang saat itu berada di dalam ancaman dipenggal kepala jika menyerukan nama Tuhan. Siapapun saat itu yang menyebut Yesus Tuhan akan dihukum mati. Maka, pengakuan ini bukan pengakuan biasa, dan memang tidak setiap orang bisa mengeluarkan seruan itu. Jadi pernyataan ini jangan dikontraskan dengan pernyataan Tuhan Yesus di dalam kitab Matius 7:22. Hanya orang yang digerakkan oleh Roh Dari Meja Redaksi Salam pembaca PILLAR yang setia, Ada satu kutipan yang sangat terkenal dari seorang filsuf Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, “Aus der Geschichte lernt man nur, dass man aus der Geschichte nichts lernt” (Dari sejarah manusia belajar bahwa manusia tidak belajar apa-apa dari sejarah). Tentunya pembahasan tentang sejarah Bapa-bapa Gereja selama beberapa edisi terakhir ini bertujuan untuk kita mengerti sejarah dan mendapatkan hikmat dari pelajaran sejarah tersebut. Di edisi ini PILLAR membahas sejarah tokoh Gereja abad ke-4, seperti Athanasius dan Antony. Ada banyak mutiara-mutiara hikmat yang tetap bisa kita temukan dan syukuri dari kehidupan dan pemikiran mereka, bahkan dari tokoh yang dicap sesat oleh Gereja seperti Pelagius misalnya. Kiranya perjuangan dan warisan kisah mereka menjadi cermin hidup bagi kita untuk menghidupi panggilan kita di dalam konteks dan zaman kita sekarang ini. Sudahkah Anda mengunjungi website PILLAR di www.buletinpillar.org? Di sana Anda bisa mendapatkan edisi-edisi lampau dan ikut serta dalam diskusi dengan memberikan tanggapan pada setiap artikel, sehingga dapat mengertinya secara lebih mendalam. Selain itu, tersedia renungan mingguan yang hanya diterbitkan secara online. Daftarkan email Anda agar renungan mingguan ini dikirimkan kepada Anda secara rutin! Demikian juga, jika Anda mempunyai masukan, pertanyaan, artikel, ataupun resensi buku, Anda bisa mengirimkannya ke [email protected]. Redaksi PILLAR 2 Pillar No.108/Juli/12 Hukum Ketujuh (Part 3) Kudus yang berani dan beriman untuk menyerukan nama Yesus sebagai Tuhan. Saat ini justru banyak gereja yang katanya mengabarkan Injil, tetapi sebenarnya sedang memberitakan jalan yang lebar, yaitu orang akan mendapat banyak harta, akan sukses secara ekonomi, hidupnya lancar, dan akan sehat selalu. Inilah Theologi Kemakmuran. Mereka tidak mengajak orang untuk bertobat dari dosa dan hidup suci mengikuti kehendak Tuhan. Theologi Kemakmuran bukanlah penginjilan. Sudah terlalu jarang kebaktian-kebaktian besar yang meneriakkan pertobatan dari dosa, memberitakan Injil salib Kristus yang menebus manusia berdosa. Orang yang tidak percaya pada Injil tidak mungkin mengabarkan Injil. Gereja yang tidak lagi memberitakan Injil sejati mungkin untuk sementara terlihat besar, tetapi itu justru mengingatkan kita akan peringatan Tuhan Yesus, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, Tuhan, Tuhan, akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Saat itu banyak orang yang berseru kepada-Ku, “Bukankah aku pernah bernubuat demi nama-Mu; dan mengusir setan demi nama-Mu; dan mengadakan mujizat demi nama-Mu?” Maka Yesus akan berkata kepada mereka, “Enyahlah dari hadapan-Ku pembuat kejahatan. Aku tidak pernah mengenal engkau” (Mat. 7:21-23). Banyak khotbah hari ini yang hanya ingin menyenangkan telinga. Khotbah yang begitu lunak, begitu banyak meneriakkan pengampunan. Kalau berzinah itu bukan engkau yang berzinah, tetapi karena ada roh zinah di dalam hatimu. Maka kita harus mengusir keluar roh zinah itu, dan engkau sendiri diselamatkan. Jadi siapa yang berzinah kalau begini? Jelas yang berzinah adalah manusianya, bukan setan atau roh zinah. Kini gereja tidak lagi berani menuding kehidupan yang berdosa, karena takut nanti jemaat pergi dan perongkosan gereja akan defisit. Contoh Bileam Tuhan membenci dosa, khususnya dosa perzinahan, sehingga siapapun juga yang berdosa harus bertobat. Di Alkitab ditulis ada orang yang membenci orang Israel karena merasa dirinya terancam. Maka utusan Balak menemui Nabi Bileam untuk mengutuk Israel, dan memberikan uang yang banyak. Bileam tergiur, tetapi ketika dia mau mengutuk orang Israel, yang keluar dari mulutnya selalu berkat. Utusan itu melapor kepada raja. Maka kali ini utusan itu membawa lebih banyak hadiah emas dan perak untuk Bileam. Sering kali pendeta-pendeta, khususnya yang berasal dari keluarga miskin atau yang hidup sangat miskin karena honornya terlalu kecil, tergoda dengan tawaran kekayaan yang besar. Bileam mencoba untuk mengutuk lagi. Bileam adalah nabi yang tidak setia kepada Tuhan karena dia lebih menyukai kemakmuran dan kesuksesan duniawi ketimbang mengatakan kata-kata yang benar sesuai dengan kehendak Tuhan. Maka Tuhan membalikkan lidahnya. Akhirnya, ketika dia mau pergi untuk mengutuk Israel, dia dihadapkan dengan malaikat Tuhan dengan pedang terhunus. Bileam tidak melihat, tetapi keledainya mogok. Dia mencambuk keledainya, tetapi keledainya tetap bergeming. Di sini kita belajar, ketika manusia tidak melihat visi, binatang yang kemudian diizinkan Tuhan untuk melihat visi. Celaka sekali. Keledai tidak berani maju karena melihat malaikat menghadang jalan mereka. Bileam mencambuk lagi dengan keras dan Tuhan menyuruh keledai itu berbicara, “Mengapa engkau memukulku?” Bileam mengatakan bahwa keledainya tidak mau taat. Tetapi bukankah sejak dahulu keledai itu tidak pernah tidak patuh? Saat terjadi fenomena yang berlawanan dengan keinginanmu, engkau perlu introspeksi, memeriksa diri, dan bukan marah-marah. Saat itu Bileam baru melihat bahwa ada malaikat yang menghadang. Dia ketakutan dan berpaling. Dia tidak jadi mengutuki Israel karena Tuhan tidak mengizinkan hambaNya mengatakan sesuatu di luar kehendakNya. Tetapi karena dia sudah menerima banyak uang, dia mulai memikirkan cara lain. Allah paling benci perzinahan, sehingga jika ia berhasil membuat orang Israel berzinah, maka ia tidak perlu mengutuk mereka karena Allah sendiri yang akan menghukum mereka. Betapa lebih besar dosa orang yang menjerumuskan orang lain ke dalam dosa, ketimbang diri sendiri berbuat dosa. Dengan cara demikian dia bisa cuci tangan dan membiarkan orang lain berdosa, mirip seperti tindakan Pilatus cuci tangan. Bagaimana pandainya engkau, tidak mungkin lebih pandai dari setan, si penggoda. Maka, peliharalah hatimu, pupuklah rasa takut pada Tuhan seumur hidupmu. Jika orang Kristen tidak hidup suci, siapakah saksi Tuhan yang suci di dunia ini? Hanya orang yang telah ditebus dengan darah Kristus yang mungkin untuk sungguhsungguh hidup suci sesuai kehendak-Nya. Bileam mengira bahwa dirinya mampu mempermainkan Israel, uang, kuasa, bahkan mempermainkan Tuhan. Bileam memiliki theologi yang benar. Dia tahu bahwa Allah itu suci, adil, dan membenci dosa. Allah membenci dan menghukum orang yang berzinah. Apa gunanya belajar kedokteran, jika hanya untuk menolong orang kaya dan membiarkan orang miskin mati? Apa gunanya belajar hukum, jika bertujuan mencari celah hukum agar bisa melanggar hukum tanpa bisa dihukum? Apa gunanya belajar theologi, tahu doktrin yang benar, tetapi hatinya tidak beres, demi uang berani menjual kebenaran, membenci orang pilihan Tuhan? Bileam mencari perempuan-perempuan Filistin yang cantik dan menyuruh mereka untuk menggoda orang Israel. Dia mengerti theologi untuk mempermainkan theologi. Ada orang belajar theologi Reformed untuk memperkaya diri. Bileam adalah seorang nabi, tetapi dia menyodorkan siasat Iblis, menyelundupkan perempuan kafir yang cantik untuk menghancurkan Kerajaan Tuhan. Pria-pria Israel tergiur dengan perempuan-perempuan cantik itu, lalu satu per satu tidur dengan mereka. Allah benci sekali pada perbuatan mereka dan menghukum dengan penyakit sampar. Banyak orang Israel mati. Bileam merasa sukses dan Balak memberinya banyak uang. Demi uang, Bileam mengorbankan anak-anak Tuhan. Hal itu tidak diketahui orang lain, tetapi Tuhan tahu. Tuhan mencatat peristiwa ini di dalam Alkitab. Bileam telah menyebabkan orang Israel berzinah. Nabi yang seharusnya mengajar umat Tuhan hidup suci, malah membuat siasat untuk menghancurkan mereka. Saat itu ada seorang pemuda yang menyaksikan banyak orang Israel mati kena sampar, dia bangkit membela kebenaran Tuhan. Ketika ia menyaksikan pria Israel membawa pelacur dan mau berzinah dengannya, dia menikam perut mereka dengan tombak dan matilah pria dan pelacur itu. Lalu berhentilah kutukan murka Tuhan ini. Tuhan begitu membenci perzinahan, maka setelah Daud berzinah, Nabi Natan menegur dia. Tidak peduli bahwa Daud adalah raja yang berkuasa untuk membunuhnya, dia taat kepada Tuhan dan menegur dia. Dia menuding Daud dan menyatakan bahwa Daud sudah berdosa. Meskipun Daud adalah seorang raja, tetapi dia takut akan Tuhan, maka dia bertobat. Natan mewakili Tuhan berkata, “Tuhan mengampuni dosamu, tetapi hukuman dosa tidak ditarik kembali. Banyak keturunanmu akan mati oleh pedang.” Allah akan mengampuni dosanya dan Allah tidak menarik hukuman atas dosa, adalah dua hal berbeda. Paku memang sudah dicabut, tetapi lubang bekas paku tetap membekas di sana. Sebab itu jangan bermain-main. Ketika seseorang berzinah lalu bertobat maka Tuhan akan mengampuni dosamu, tetapi mungkin anakmu dan istrimu akan menderita, dan keturunanmu akan dizinahi orang lain. Engkau bermain dengan istri orang, mungkin istrimu akan dipermainkan banyak pria, dan anak perempuanmu mendapat suami yang tidak setia. Dosa bisa diampuni, tetapi sering kali hukuman atas dosa itu tetap Pillar No.108/Juli/12 3 Hukum Ketujuh (Part 3) berlaku. Oleh karena itu, hendaklah kamu kudus, sama seperti Tuhan Allahmu kudus. Sifat Kesucian Allah Sifat kesucian Allah merupakan satu tonggak iman Kristen yang sangat penting. Paulus menegaskan, “Bersihkan dirimu dari segala kenajisan tubuh dan kenajisan jiwamu.” Najis tubuh berarti makanan dan minuman yang tidak seharusnya kita makan dan minum, bisa juga dimengerti dengan tidak mandi dan tidak memelihara kebersihan, tetapi terlebih lagi adalah kenajisan dengan berzinah. Inilah kenajisan tubuh yang paling keji, yang paling Tuhan benci. Tuhan berkata, “Akulah Tuhan yang suci, yang membawamu menjalani jalan sempit, yang menuntut hanya setia kepada satu Allah saja.” Itu sebabnya, orang yang mencintai Tuhan, mencintai sesama, mencintai pasangan hidupnya, harus mendasari cintanya di atas cinta yang suci. Hanya cinta yang suci yang sanggup memelihara kita untuk tidak bercabang hati dan tidak meluapkan emosi sesuka hati. Cinta yang tidak suci akan mendatangkan murka Allah atas kita. Ada orang yang suka membicarakan tentang Roh Kudus, berkhotbah hal-hal yang terdengar begitu luar biasa, bahkan sampai ke hal supernatural, menyembuhkan dengan mujizat, bernubuat, mengusir setan demi nama Tuhan, hingga menarik banyak orang, tetapi hidupnya tidak kudus. Akibatnya muncul perdebatan, apakah nama Tuhan yang mereka sebut tetap sah, ketika mereka tidak suci. Di abad ke-4, banyak hamba Tuhan yang murtad karena takut dianiaya oleh orang Romawi. Namun, setelah agama Kristen disahkan, mereka kembali menjadi hamba Tuhan dan membaptis orang. Banyak orang mempertanyakan apakah baptisan yang mereka lakukan adalah sah. Salah seorang Bapa Gereja yang agung, yaitu Agustinus, seorang theolog besar pada zaman itu, berkata, “Kalau mereka kembali berkhotbah, firman yang mereka sampaikan tetap adalah firman Tuhan, nama Yesus yang mereka pakai tetap nama Tuhan. Jadi baptisan yang mereka lakukan dalam nama Allah Tritunggal tetap sah. Yang perlu diingat adalah jangan ikuti teladan hidup mereka yang tidak beres.” Di sini Agustinus memisahkan antara hidup pribadi dengan firman Tuhan. Hidup pribadi bisa saja tidak beres, tetapi firman Tuhan tetap beres, nama Tuhan tetap berkuasa, tidak boleh dicemooh hanya karena hidup orang yang menyebutnya kurang beres. Kehormatan dan Kesucian Apa jadinya orang yang hidupnya tidak suci tetapi memperalat nama Tuhan untuk menarik massa? Saya heran mengapa banyak pengkhotbah televisi terkenal di Amerika 4 Pillar No.108/Juli/12 Serikat tidak beres di dalam urusan uang dan seks. Dengan kata lain, mereka hidup tidak beres, tetapi ketika mereka berseruseru akan nama Tuhan, banyak orang mau mengikuti mereka. Maka, banyak orang menyimpulkan bahwa yang penting adalah memiliki daya tarik, tidak terlalu penting untuk hidup suci. Pengkhotbah Jimmy Swaggart mencari pelacur, dan perbuatan bejatnya direkam oleh pegawainya yang dia pecat. Hasil rekamannya dikirim ke sinode gerejanya di Colorado. Dia terpaksa mengakui perbuatannya karena rekaman itu. Dia tidak boleh naik mimbar selama dua tahun. Tetapi ribuan pendengarnya tetap mencari dia. Satu tahun kemudian dia mengumumkan keluar dari gerejanya dan mendirikan gereja sendiri. Sampai sekarang dia masih berkhotbah, tetapi pendengarnya tinggal seratus atau dua ratus orang saja. Saya tidak mengatakan orang yang berzinah tidak bisa dipakai Tuhan. Daud berzinah, tetapi masih dipakai Tuhan. Dia menulis Mazmur yang menggetarkan dan menjadi berkat bagi banyak orang. Itu karena dia sungguh-sungguh bertobat dan memilih hidup setia kepada Tuhan ketimbang meninggikan diri. Sangat berbeda dari Saul yang membela diri. Dia mengatakan bahwa binatang-binatang yang ia biarkan hidup akan dipersembahkan untuk Tuhan. Ketaatan lebih penting ketimbang persembahan. Jangan kita pikir memberikan persembahan menyebabkan kita boleh tidak taat kepada Tuhan. Tuhan bukan pengemis. Dia tidak butuh persembahanmu. Karena Saul tidak taat dan tidak menghormati Tuhan, maka Tuhan mencabut kedudukannya sebagai raja. Anehnya, Saul masih minta dijunjung tinggi agar orang Israel tidak menghina dia. Ketika mengajar theologi, saya berulang kali mengingatkan mahasiswa saya, “Hormat dari orang tidak bisa dipaksakan, tetapi dihasilkan.” Kalau kita pantas dihormati, maka orang dengan sendirinya akan menghormati. Ketika orang menemukan engkau tidak pantas dihormati, mereka tidak akan menghormatimu. Oleh karena itu, engkau harus berjuang mendapatkan kehormatan dari cara hidupmu. Engkau tidak bisa membonceng kehormatan orang lain untuk dirimu. Setiap orang harus taat kepada Tuhan dan mendapatkan kehormatannya sendiri. Persembahan tidak sepenting ketaatan. Memang mungkin orang yang hidupnya tidak beres memakai nama Tuhan untuk melakukan berbagai mujizat, karena Tuhan setia kepada diri-Nya. Sama seperti seorang yang memalsukan tanda tangan pada cek tetap bisa dibayar jika tidak ketahuan oleh pegawai bank. Tetapi perbuatan itu akan menyeret engkau ke pengadilan. Itu yang Tuhan Yesus katakan di dalam Matius 7:21-23. Tuhan mengatakan, “Aku tidak mengenal engkau. Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu pembuat kejahatan!” Betapa mengerikannya. Orang yang menyangka dirinya dekat Tuhan, banyak melayani, bahkan kelihatan seperti pelayanannya diberkati, tetapi dirinya dibuang oleh Tuhan. Kitab Suci bukan hanya untuk dibaca, melainkan untuk dihayati dan ditaati. Di Amerika Selatan, seorang Karismatik melatih anaknya yang berusia 4 tahun untuk menghafal puluhan cerita Alkitab, dan berhasil membuat kagum banyak orang. Lalu dia memutar video khotbah pengkhotbah-pengkhotbah besar, menyuruh anak itu memperhatikan gaya, gerak-gerik, intonasinya, lalu minta pada gereja-gereja untuk memberikan anaknya kesempatan berkhotbah. Banyak orang kagum luar biasa, mengira Tuhan membangkitkan generasi muda menjadi hamba Tuhan yang besar. Sekarang, anak itu sudah berumur tiga puluh tahun lebih dan mengakui, “Sebenarnya aku tidak percaya Tuhan. Tetapi saat itu aku disuruh meniru dan ternyata khotbahku membuat banyak orang menangis dan percaya Tuhan. Aku hanya senang, setelah khotbah aku menghitung uang yang kudapat.” Sekarang dia tidak berkhotbah lagi. Betapa mudahnya manusia ditipu oleh nabi palsu. Tuhan berkata, “Aku adalah Tuhan yang suci, hendaklah kau suci dalam segala hal yang kau perbuat.” Mari kita menjadi orang Kristen yang bertanggung jawab dan mau sungguh-­sungguh setia pada Tuhan. Di Mazmur tertulis, “Kematian orang suci sangat berharga di mata Tuhan.” Allah sangat menghargai orang yang hidupnya suci, meneladani Yesus, Tuhannya. Tubuh dan Kesucian Perintah Tuhan yang ada kaitan dengan kesucian tubuh hanya satu: Jangan berzinah. Sesungguhnya, tidak ada filsafat, kebudayaan, atau agama manapun yang menilai tubuh manusia lebih tinggi dari Alkitab, yaitu: “Tubuhmu adalah Bait Allah”. Menurut kebudayaan Tionghoa, tubuh kita hanyalah kantong kulit yang berbau busuk. Memang Konfusius mengajarkan, “Manusia tidak boleh merusak tubuh, bunuh diri, karena kulit bahkan bulu-bulu di tubuh kita peroleh dari orang tua.” Di dalam filsafat Gerika, sebelum zaman Sokrates, ada aliran Sofisme yang mengajarkan teori soma-sema (tubuh adalah penjara jiwa). Ajaran ini mirip dengan ajaran orang Tionghoa yang mengatakan: “Kekuatanku tidak sepadan dengan kemauanku.” Tetapi Alkitab tidak menyebut tubuh kita sebagai kantong kulit yang berbau busuk atau penjara jiwa kita, atau seperti ajaran agama Hindu dan Buddha bahwa tubuh manusia bagaikan rumah keong. Ketika mati, jiwanya akan keluar dan masuk ke dalam tubuh yang Hukum Ketujuh (Part 3) lain di dalam reinkarnasi. Alkitab juga tidak menyebut tubuh adalah tenda, tempat tinggal sementara seperti konsep orang Timur Tengah. Memang konsep ini mirip seperti kalimat Paulus dan Petrus, bahwa tenda kita yang sementara di dunia ini bersifat fana, dan kita akan pindah ke tempat yang kekal. Tetapi Paulus mengatakan bahwa tubuh kita adalah bait Allah, istana sang Pencipta, tempat Roh Kudus tinggal. Oleh karena itu, 1) Tubuh kita adalah bait Allah. Kita harus menjaga kekudusannya agar layak menjadi tempat tinggal Allah yang suci. 2) Tubuh kita sudah dibeli dengan lunas atau dengan harga yang sangat tinggi. Allah ingin tinggal di dalam kita, itu sebabnya Dia mengutus Anak-Nya untuk menjadi Penebus kita, mencurahkan darah dan menyerahkan nyawa-Nya di kayu salib. Itulah harga termahal yang Ia berikan untuk menebus kita menjadi milik-Nya. Allah tinggal di dalam kita sebagai Tuhan bukan sebagai pembantu. Maka kita berseru, “Tuhanku, Allahku, masuklah dalam hatiku dan perintahlah hidupku.” Maka Paulus berkata, “Muliakanlah Tuhan dengan tubuhmu karena Dia telah membelimu dengan harga yang mahal.” Jika kita memperhatikan tubuh kita bahwa ini adalah Bait Allah, layakkah kita memakai tubuh ini untuk berbuat dosa? Kita harus menguduskannya untuk Tuhan. Demikian pula alat kelamin kita, nafsu seks kita, harus dikuduskan karena semua itu milik Tuhan. Kita tidak boleh berdosa. Pimpinan sinode berkata, “Saudara-saudara, Tuhan memercayakan domba-dombaNya kepadamu. Kalau sepotong daging di tubuhmu saja tidak mampu engkau kendalikan, mana mungkin kau mengatur pekerjaan Tuhan?” Roma 6 mengatakan tentang bagaimana kita harus mempersembahkan anggota tubuh kita, karena anggota tubuh kita harus menjadi alat keadilan, kebenaran, dan kebajikan. Di dalam kitab Roma 12, Paulus kembali mengajak kita untuk mempersembahkan seluruh tubuh sebagai korban yang hidup. Istilah ini hanya muncul satu kali di dalam Alkitab. Paulus tidak merujuk kepada korban yang disembelih, tetapi korban yang hidup. Di sini Paulus melihat bahwa korban yang disembelih sudah berakhir dengan korban Kristus. Pada tahun 70, Jenderal Titus, representasi dari Kerajaan Romawi menyerbu Yerusalem. Ini adalah daerah yang paling keras kepala, sehingga di situ paling banyak ditempatkan prajurit Romawi. Saat itu, di dalam kisah benteng Masada, ada 970 orang prajurit Israel yang bertahan dan tidak mau menyerah kepada tentara Romawi. Masada adalah dataran yang tinggi sekali sehingga sulit untuk dijangkau oleh tentara Romawi. Mereka yang mencoba mendaki mudah sekali untuk dibunuh. Akhirnya, orang Romawi membangun sebuah menara perang dan berhasil naik dan masuk. Tetapi ternyata mereka tidak bisa merayakan kemenangan gemilang dengan berperang dan mengalahkan orang Israel, karena mereka semua sudah bunuh diri terlebih dahulu. Sejak saat itu, orang Israel tidak memiliki imam lagi. Bait Allah sudah dihancurkan dan semua orang Israel dibunuh atau sudah melarikan diri. Inilah sikap perjuangan orang Israel yang tidak pernah mau menyerah, sehingga tentaranya menduduki peringkat ketiga terkuat di dunia. Paulus berkata, “Muliakanlah Tuhan dengan tubuhmu karena Dia telah membelimu dengan harga yang mahal.” Jika kita memperhatikan tubuh kita bahwa ini adalah Bait Allah, layakkah kita memakai tubuh ini untuk berbuat dosa? Kita harus menguduskannya untuk Tuhan. Demikian pula alat kelamin kita, nafsu seks kita, harus dikuduskan karena semua itu milik Tuhan. Kita tidak boleh berdosa. Jumlah mereka tidak banyak, tetapi mereka mempunyai tekad yang bulat, berani mati, dan tidak kenal menyerah. Di zaman Tuhan Yesus, wilayah Yudea dijaga oleh sekitar 180.000 tentara karena orang Israel adalah orang yang begitu keras dan berani mati. Sikap ini beda sekali dengan orang Kristen zaman ini yang begitu pengecut dan penakut. Ketika diserang oleh ajaran sesat, tidak ada yang berani untuk berdiri tegak melawan semua ajaran sesat itu. Akibatnya gereja lumpuh, tidak mempunyai kuasa, keberanian di dalam memperjuangkan kebenaran, dan pendirian iman yang sejati. Bait Allah sudah tidak ada, imam tidak ada, maka Paulus berkata, “Persembahkan tubuhmu sebagai korban yang hidup.” Kuduskanlah seluruh tubuhmu, termasuk alat kelaminmu untuk Tuhan. Jangan berzinah. Apa itu Perzinahan? Ada beberapa kategori perzinahan: 1) Perzinahan yang merusak seluruh masyarakat, merusak rumah tangga, yang dibenci oleh Tuhan. 2) Perzinahan yang merusak hukum alam, tidak taat kepada sifat ciptaan Tuhan. 3) Perzinahan yang dilakukan karena melakukan sebelum tiba waktunya, yaitu melakukan hubungan seks sebelum menikah, suatu hal yang tidak diperkenan Tuhan. Itu sebab, kekristenan tidak menyetujui hubungan seks pranikah. Orang harus menunggu hingga malam pengantin barulah boleh menikmati hubungan seksual karena pernikahan itu sah, diberkati Tuhan lewat hamba-Nya yang disaksikan oleh orang-orang kudus. Saya menghimbau para pemuda-pemudi agar: 1) Jangan menodai tempat tidur sebelum menikah. Peliharalah kesucian tubuhmu. Tuhan akan memberikanmu sukacita yang paling sempurna di malam pengantin. 2) Setelah menikah secara resmi, jangan bercabang hati, melirik ke sana sini. Belajar untuk setia, mencintai pasangan hidupmu dengan tekun, laksanakan janji nikahmu di hadapan Tuhan. Pernikahan orang Kristen dan non-Kristen berbeda. Cinta orang non-Kristen berasal dari dua sumber, yaitu “aku” dan “engkau”, sehingga ada dua dasar berbeda yang tidak mungkin tidak akan mengandung unsur egois dan berpusat pada diri. Sementara cinta orang Kristen diawali doa, “Tuhan, berilah aku cinta yang dari sorga.” Maka, “aku” dan “engkau” sama-sama saling mencintai berdasarkan cinta Tuhan, sebagai landasan tunggal. Akankah pernikahan menemui godaan? Pasti, karena setan tidak akan tinggal diam sehingga dia akan terus berusaha membuat orang Kristen jatuh, khususnya di dalam urusan seks, uang, reputasi, dan kekuasaan. Maka fokuskan pandanganmu kepada Tuhan. Laluilah seumur hidupmu dengan menang atas cobaan, godaan, dan hidup suci hingga engkau bertemu Tuhan. Di dalam kitab Ibrani 13 tertulis, “Hendaklah setiap orang menghormati pernikahan, tidak mencemarkan tempat tidurnya, karena barangsiapa berbuat cabul, akan dituntut Tuhan.” 3) Tidak menyetujui cinta yang melawan kodrat Allah, seperti homoseks dan lesbian. Meskipun dunia semakin terjerumus dengan menyetujui konstitusi pasangan homo dan lesbian, orang Kristen harus mengerti bahwa pria berahi dengan pria, wanita dengan wanita, bukanlah kehendak Tuhan dan harus kita jauhi, kita tolak. Semua perilaku ini akan mendatangkan murka Tuhan yang sangat besar, seperti yang terjadi pada Sodom dan Gomora. Di akhir zaman, salah satu sebab dunia dihakimi adalah karena melanggar hukum seks yang Tuhan tetapkan. Kaum homo dan lesbian tidak mungkin menurunkan keturunan. Demikian juga, jangan mencari pelacur karena mungkin mereka menularkan penyakit yang membahayakan keluarga. Terlebih lagi, melayani nafsu seks di luar pernikahan yang sah tidak diperkenan Tuhan dan Alkitab. Biarlah kita menjaga kesucian diri di dalam hidup rohani dan jasmani kita. Jangan berzinah! Amin. Pillar No.108/Juli/12 5 S ebagian besar informasi tentang kehidupan Antony dicatat oleh Athanasius sekalipun ada beberapa Bapa-bapa Gereja yang menyebutkan nama Antony di dalam tulisan mereka. Walaupun Athanasius mungkin mempunyai agenda tersendiri di dalam menulis tentang kehidupan Antony khususnya dalam perdebatannya melawan Arianisme,1 tulisan Life of Antony menginspirasi kehidupan banyak orang Kristen. Gregg mengamati bahwa hanya dalam periode beberapa dekade saja Life of Antony telah mendapatkan rekomendasi bukan hanya di kalangan orang-orang Kristen berbahasa Yunani di daerah Timur Tengah, tetapi juga di antara orang-orang Kristen berbahasa Latin di daerah Gaul dan Italia.2 Athanasius mencatat bahwa Antony mendorong orang-orang untuk mengambil kehidupan soliter. Dalam karyanya, Athanasius menuliskan bahwa semenjak masa Antony, ada banyak biara di gunung-gunung dan padangpadang gurun dibuat menjadi kota bagi para biarawan.3 Houghton melihat Mesir, tempat kelahiran Antony, sebagai tempat berawalnya gerakan Monastik di mana Antony sebagai perintisnya.4 Keunikan dari kehidupan soliter Antony adalah dia menjalankan hal tersebut di padang gurun saat orang-orang sezamannya melakukannya di pinggiran desa tempat tinggal mereka.5 Pengaruh Antony sangat besar dan jikalau bukan karena Athanasius, contoh kehidupannya tidak akan diketahui oleh generasi selanjutnya. Konteks Sejarah Karya Life of Antony ditulis sekitar tahun 356-358 M, tidak lama setelah kabar tentang kematian Antony didengar oleh Athanasius, di masa pertentangan antara Athanasius dan Arius tentang dua natur Kristus yang berawal sekitar 319 M. Masa itu juga merupakan masa pelarian Athanasius dalam menghindari tentara kerajaan yang ingin menangkapnya berkaitan dengan pertentangan tersebut. Selain itu, gereja di Alexandria juga berada dalam kekacauan karena ancaman dan kebrutalan dari tentara yang memburu Athanasius.6 Antony (254-356 M) hidup sezaman dengan Athanasius (295-373 M). Mereka hidup pada masa pemerintahan Konstantin (272-337 M) yang mengeluarkan ketetapan Milan pada 6 Pillar No.108/Juli/12 tahun 313 M. Ketetapan ini memberikan kebebasan beragama dalam Kerajaan Roma khususnya bagi orang-orang Kristen yang mengalami banyak penganiayaan pada masamasa sebelumnya.7 Antony adalah orang Mesir yang dilahirkan dalam keluarga Kristen yang kaya. Orang tuanya meninggal pada saat dia berumur 18 atau 20 tahun dan meninggalkan harta kekayaan yang besar dan seorang adik perempuan yang masih muda. Antony terinspirasi oleh para rasul yang mengikut Tuhan Yesus dan orang-orang percaya dalam gereja mula-mula yang menjual harta milik mereka untuk dibagibagikan kepada orang yang membutuhkan. Saat Antony memikirkan tindakan mereka, dia mendengar perkataan Tuhan Yesus dalam Matius 19:21 dibacakan. Ayat itu berbunyi, “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Oleh karena itu dalam ketaatannya – seakan-akan seperti Tuhan Yesus sendiri yang mengatakan hal tersebut kepadanya – Antony mengambil langkah untuk menjual dan membagi-bagikan semua harta miliknya.8 Setelah itu, Antony mendedikasikan dirinya di dalam disiplin kehidupan soliter. Ketaatannya yang serius memimpin dia dalam kehidupan soliter di kuburan, padang gurun, dan gunung-gunung. Tidak seperti beberapa orang setelahnya yang mengambil keputusan menjalani kehidupan monastik untuk melarikan diri dari beban kehidupan seperti tanggung jawab finansial,9 Antony menjalankan kehidupan soliter untuk mengikut Tuhan. Kehidupan Asketis Harmless mengidentifikasi tiga tema theologis di dalam karya Life of Antony yang mungkin dapat mewakili pandangan Athanasius atau pandangan Antony sendiri. Namun tentunya tidak salah apabila keyakinan dan pandangan Antony dideduksi melalui perkataan dan tindakan yang dicatat oleh Athanasius dan juga di dalam tulisan-tulisan Bapabapa Gereja yang lain. Tiga tema tersebut adalah supremasi Kristus atas setan-setan, kemanusiaan yang diperbarui, dan sebuah model ortodoksi.10 Dari ketiga tema tersebut, tema kedua sangat nyata dalam kehidupan asketis Antony karena kehidupannya yang unik inilah yang memberikan inspirasi bagi banyak orang. Life of Antony sebenarnya lebih menunjukkan sebuah cara hidup di dalam bentuk cerita dibandingkan pengajaran yang sistematis. Kehidupan asketis Antony adalah sebuah bentuk radikal hidup yang menyangkal diri. Hal ini sangat mungkin dapat dengan mudah dianggap oleh beberapa orang sebagai fanatisme yang tidak sehat atau panggilan yang hanya diberikan kepada beberapa orang Kristen. Sekalipun begitu, tanpa harus merasa diwajibkan untuk mengikuti bentuk kehidupan asketis Antony, setiap orang Kristen harus meneladani keinginan Antony yang besar untuk mengikut Tuhan yang ditunjukkan di dalam perkataan dan perbuatannya. Sebelum kematiannya, seperti yang dicatat oleh Athanasius, Antony menasihati beberapa biarawan untuk: “… not to grow idle in their labors, nor to become faint in their training, but to live as though dying daily … zealously to guard the soul from foul thoughts, eagerly to imitate the Saints, and to have nothing to do with the Meletian schismatics, … nor have any fellowship with the Arians … observe the traditions of the fathers, and chiefly the holy faith in the Lord Jesus Christ, which they have learned from the Scripture …”11 Harmless mengamati bahwa latihan Antony yang di kemudian hari dimengerti sebagai asketisisme sebenarnya adalah istilah yang dipakai bagi seorang atlit yang dengan keras melatih dirinya. Latihan tersebut termasuk melakukan pekerjaan di siang hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, menjalankan kehidupan doa terus-menerus pada saat malam tiba, melakukan diet makanan yang ketat, membiasakan diri melakukan refleksi untuk mengatasi perasaan atau memori tentang masa lalu yang mungkin menjadi gangguan, dan merenungkan apa yang sudah didengar melalui pembacaan firman Tuhan. Sehingga bagi Antony, ingatannya bisa menggantikan buku-buku.12 Disiplin inilah yang pada akhirnya membawa dia ke dalam kehidupan asketis di padang gurun. Foster melihat bahwa Antony pergi ke padang gurun untuk menemukan Tuhan.13 Athanasius mencatat bahwa setiap hari Antony dan Hidup yang Menyangkal Diri Antony berusaha untuk menjadikan dirinya layak untuk datang di hadapan Tuhan dengan hati yang murni dan siap untuk tunduk pada kehendak Tuhan saja.14 Ini adalah tujuan yang dia tetapkan di dalam pikirannya pada saat dia memulai kehidupan asketis dengan berpegang pada perkataan Paulus yang mengatakan, “Jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor. 12:10). Tujuan ini diingatnya setiap hari karena dia juga mengingat perkataan Paulus yang lain yang mengatakan, “Tiap-tiap hari aku berhadapan dengan maut” (1Kor. 15:31).15 Dalam keyakinannya, dia mengatakan, “if we too live as though dying daily, we shall not sin ... for our life is naturally uncertain, and Providence allots it to us daily.”16 Antony menetapkan pandangannya pada halhal yang kekal. Dia sering kali mengatakan, “it behoved a man to give all his time to his soul rather than his body, yet to grant a short space to the body through its necessities; but all the more earnestly to give up the whole remainder to the soul and seek its profit, that it might not be dragged down by the pleasures of the body, but on the contrary, the body might be in subjection to the soul.”17 Perenungan dari Kehidupan Asketis Antony Kehidupan asketis Antony mungkin dapat dipandang berlebihan dan terkesan memisahkan diri. Namun setiap orang Kristen harus bertanya seberapa jauh seharusnya seorang Kristen berjuang untuk dapat bersekutu dengan Tuhan. Nouwen mengamati kehidupan pada saat ini dan dia menulis: “ … it is clear that we are usually surrounded by so much outer noise that it is hard to truly hear our God when he is speaking to us. We have often become deaf, unable to know when God calls us and unable to understand in which direction He calls us.”18 Pandangan Antony yang kukuh pada hal-hal yang kekal terus menguatkan dia untuk fokus pada Tuhan dalam ketaatan dan tidak diikat oleh hal-hal yang bersifat sementara.19 Antony mengakui kelemahannya sebagai manusia yang sangat mudah untuk terbawa dalam kenikmatan dunia sehingga dia butuh untuk terus-menerus berada dalam kehidupan soliter di padang gurun supaya tetap berhubungan dengan Tuhan seperti seekor ikan yang membutuhkan air untuk bisa hidup. Dalam kehidupannya yang soliter, Antony mendengarkan Tuhan. Fokus ini juga yang mungkin menyebabkan Antony memberikan peringatan terhadap disiplin yang berlebihan.20 Lebih jauh lagi, Antony tidak dapat dituduh memisahkan diri. Ada hal-hal di dalam karya Athanasius yang mengindikasikan hal yang sebaliknya. Gregg mengamati bahwa kita mendapatkan kesan yang kuat bahwa Antony banyak terlibat dalam kehidupan orang banyak di mana Antony dikunjungi oleh banyak orang yang ingin mendapatkan sesuatu darinya. Oleh sebab itu, sekalipun Antony menjauhkan diri dari kumpulan banyak orang, bukan berarti dia memisahkan diri sehingga tidak ada orang yang dapat menemukan di mana dia berada.21 Prinsip Antony untuk taat dan berfokus pada Tuhan di dalam kehidupannya dapat ditemukan di dalam karya Calvin yang berjudul “On the Christian life” khususnya dalam pembahasannya mengenai kehidupan yang menyangkal diri sebagai rangkuman kehidupan Kristen. Calvin menulis: “… Let this, then be the first step, to abandon ourselves, and devote the whole energy of our minds to the service of God. By service, I mean not only that which consists in verbal obedience, but that by which the mind, divested of its own carnal feelings, implicitly obeys the call of the Spirit of God … The Christian ought indeed, to be so trained and disposed as to consider that during his whole life he has to do with God. For this reason, as he will bring all things to the disposal and estimate of God, so he will religiously direct his whole mind to him.”22 Tentunya amat disayangkan bahwa disiplin Antony yang ketat di dalam kehidupan asketisnya sepertinya gagal untuk mensyukuri berkat-berkat Tuhan yang mungkin terkesan duniawi. Sekalipun berkat-berkat ini tidak sepenuhnya ditolak, sepertinya berkat-berkat tersebut lebih dipandang sebagai hal-hal yang berpotensi besar untuk menjauhkan orangorang Kristen dari Tuhan. Secara seimbang, Calvin menasihati orang-orang Kristen untuk tidak terikat pada dirinya dan harta miliknya kecuali yang berasal dari berkat Tuhan. Calvin mengakui bahwa hanya dengan melihat halhal tersebut sebagai berkat Tuhan dapat memberikan jalan dari keterikatan yang bersifat daging. Dengan kata lain, Calvin dengan hati-hati mengingatkan adanya berkat-berkat Tuhan yang mungkin terkesan duniawi yang seharusnya diterima dengan sukacita dan dimanfaatkan oleh orang-orang Kristen sebagai penatalayan (stewards) atas hal-hal yang dipercayakan.23 Calvin membawa tema penatalayanan di dalam pembahasannya mengenai kehidupan yang menyangkal diri yang mungkin tidak terlihat di dalam Life of Antony. Penatalayanan adalah aspek penting di dalam kehidupan Kristen sehingga hidup yang menyangkal diri tidak menjadi tujuan akhir tetapi tetap berpusat pada Tuhan dan kehendak-Nya. Namun, di dalam mensyukuri berkat-berkat Tuhan, sikap dan cara hidup Antony tetaplah sebuah contoh yang baik untuk direnungkan, khususnya bagi orang-orang Kristen yang pernah mendengar kritik John Wesley bagi orang-orang percaya sezamannya yang mengalami kemunduran spiritual karena kemakmuran yang meningkat. Di dalam salah satu khotbahnya yang berjudul “The Danger of Riches”, Wesley dengan sarkastis mengatakan, “Are not you who have been successful in your endeavours to increase in substance, insensibly sunk into softness of mind, if not of body too? You no longer rejoice to “endure hardship, as good soldiers of Jesus Christ.” You no longer “rush into the kingdom of heaven, and take it as by storm.” You do not cheerfully and gladly “deny yourselves, and take up your cross daily.” You cannot deny yourself the poor pleasure of a little sleep, or of a soft bed, in order to hear the word that is able to save your souls! Indeed, you “cannot go out so early in the morning: besides it is dark, nay, cold, perhaps rainy too. Cold, darkness, rain, all these together, — I can never think of it.” You did not say so when you were a poor man. You then regarded none of these things. It is the change of circumstances which has occasioned this melancholy change in your body and mind; You are but the shadow of what you were! What have riches done for you? ... Am not I grown old as well as you? Am not I in my seventy-eighth year? Yet by the grace of God, I do not slack my pace yet. Neither would you, if you were a poor man still. You are so deeply hurt that you have well nigh lost your zeal for works of mercy, as well as of piety. You once pushed on through cold or rain, or whatever cross lay in your way, to see the poor, the sick, the distressed. You went about doing good, and found out those who were not able to find you. You cheerfully crept down into their cellars, and limbed up into their garrets, to supply all their wants, and spend and be spent in assisting his saints. You found out every scene of human misery, and assisted according to your power ... Do you now tread in the same steps? What hinders? Do you fear spoiling your silken coat? Or is there another lion in the way? Are you afraid of catching vermin? And are you not afraid lest the roaring lion should catch you?”24 Ada garis tipis yang memisahkan antara mensyukuri berkat Tuhan dengan kemunduran secara spiritual. Wesley menegur generasinya berkaitan dengan masalah ini. Antony sangat berhati-hati di dalam hal ini sehingga dia mengambil langkah untuk melakukan disiplin dan ketaatan yang ketat sekalipun dia mewarisi kekayaan yang besar ketika dia masih muda. Sungguh, contoh dan pengajaran Antony di dalam kehidupan yang soliter menjadi teladan yang baik di dalam kehidupan yang menyangkal diri khususnya bagi generasi orang-orang Kristen yang hidup pada zaman Konstantin di mana kekristenan dan gereja Pillar No.108/Juli/12 7 Antony dan Hidup yang Menyangkal Diri mendapatkan posisi politik yang baik di dalam Kerajaan Roma dan akibatnya mengalami kemunduran secara spiritual.25 Penutup: Sebuah Perenungan untuk Masa Kini Kehidupan Antony adalah sebuah model kehidupan yang menyangkal diri. Walaupun bentuk tindakan Antony bukanlah hal yang bersifat deskriptif, tindakan-tindakan Antony seharusnya mendorong setiap orang Kristen untuk berpikir lebih jauh mengenai apa artinya ketika Tuhan Yesus meminta para murid-muridNya untuk menyangkal diri mereka. Adalah hal yang umum bagi setiap orang terikat dengan diri sendiri sehingga sekalipun bagi orangorang Kristen, tidak jarang sebenarnya diri sendiri telah mengambil posisi Tuhan di dalam hidup mereka. Mungkin ada kritik yang bisa diberikan terhadap Antony di dalam perkataan dan tindakannya, namun Tuhan telah memakai hidupnya untuk memberikan inspirasi kepada banyak orang percaya. Tuhan memang tidak memanggil setiap orang percaya untuk mengikuti langkah Antony. Tetapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan bagi setiap orang percaya untuk dipanggil oleh Tuhan dan mengambil langkah yang serupa. Misalnya menjual dan membagi-bagikan seluruh harta milik sebagai sebuah langkah ketaatan. Orang-orang Kristen seharusnya tidak dengan mudahnya menyingkirkan tindakan-tindakan yang mungkin terkesan radikal dan mengabstraksi prinsip-prinsip rohani dari tindakan-tindakan tersebut, karena prinsip-prinsip rohani seharusnya diaplikasikan di dalam keseharian di mana tindakan-tindakan radikal semacam itu termasuk di dalamnya. Seperti yang sudah ditunjukkan di dalam Life of Antony, anugerah Allah selalu cukup bagi setiap orang yang percaya dan taat kepada-Nya. Bagi kita hari ini, di manakah tindakan ketaatan kita dalam keseharian kita menjalankan firman Tuhan? Alasan-alasan macam apakah yang kita munculkan agar kita dapat terlepas dari kehidupan penuh ketaatan yang demikian? Akhirnya, kepada siapakah sebenarnya hati kita tertuju? Kiranya Tuhan menolong kita agar mampu dan berani menjalankan kehidupan penuh ketaatan yang menyatakan Kristuslah Tuhan dan Juruselamat kita satu-satunya. Soli Deo Gloria. Victor Wibowo Pemuda GRII Singapura Endnotes: 1. W. Harmless, S.J., Desert Christians: an Introduction to the Literature of Early Monasticism (New York, NY: Oxford University Press, 2004), 96-97. 2. R. C. Gregg (ed.), Athanasius: The Life of Antony and the Letter to Marcellinus (Mahwah, NJ: Paulist Press, 1980), 3. 3.Gregg, Antony, 42-43. 4. S. M. Houghton, Sketches from Church History (Carlisle, PA: The Banner of Truth Trust, 1980), 28. Jerome mencatat seorang bernama Paulus yang juga mungkin sebagai perintis gerakan monastik. (Lihat Jerome, “The Life of Paulus, the First Hermit” dalam P. Schaff (ed.), NPNF2-06. Jerome: The Principal Works of St. Jerome by St. Jerome (Grand Rapids, MI: Christian Classics Ethereal Library),n.p.[dikutip 19 Juni 2012]. Online: http:// www.ccel.org/ccel/schaff/npnf206.vi.i.html). Sekalipun ada perdebatan ini, umumnya pengaruh Antony dalam gerakan monastik tidak diragukan. 5Harmless, Desert, 60. 6Harmless, Desert, 59. 7. Konstantin memerintah dari tahun 306-337 AD. Keputusan pribadinya untuk menjadi orang Kristen menjadi salah satu momen penting di dalam sejarah kekristenan. Lihat “Constantine the Great”, Wikipedia, n.p. [dikutip 17 Juni 2012] Online: http://en.wikipedia.org/wiki/Constantine_the_ Great. 8. Antony memercayakan saudara perempuannya pada sebuah biara untuk dibesarkan di dalam iman. 9.Harmless, Desert, 10. 10.Harmless, Desert, 85. 11. Meletian adalah sebuah sekte yang ditemukan oleh Meletius yang menolak untuk menerima kembali pimpinan gereja yang telah menyangkal iman mereka pada masa penganiayaan. Pada akhirnya Meletian berpihak pada Arianisme. Untuk perkataan terakhir Antony, lihat Athanasius, “Life of Antony” in P. Schaff (ed.), NPNF2-04. Athanasius: Select Works and Letters (Grand Rapids, MI: Christian Classics Ethereal Library), n.p. [dikutip 18 Juni 2012]. Online: http://www.ccel.org/ccel/schaff/ npnf204.xvi.ii.xlii.html. 12.Harmless, Desert, 62. Antony tidak berpendidikan dan mungkin tidak bisa membaca sehingga dia hanya bisa mengetahui Kitab Suci ketika dibacakan oleh orang lain. 13. R. Foster, Streams of Living Water (Trowbridge: Eagle Publishing, 2005), 35. 14.Athanasius, Antony, n.p. [dikutip 18 Juni 2012]. Online: http://www.ccel.org/ccel/schaff/npnf204. xvi.ii.vi.html. 15. Dalam bahasa Inggris, bagian ini diterjemahkan “I die every day”. Terjemahan dalam bahasa Inggris akan lebih tepat untuk menerjemahkan bahasa aslinya καθ᾿ ἡμέραν ἀποθνῄσκω yang secara literal dapat diterjemahkan “aku meninggal tiap-tiap hari.” Perkataan inilah yang diingat oleh Antony. 16.Athanasius, Antony, n.p. [dikutip 18 Juni 2012]. Online: http://www.ccel.org/ccel/schaff/npnf204. xvi.ii.xi.html. 17.Athanasius, Antony, n.p. [dikutip 18 Juni 2012]. Online: http://www.ccel.org/ccel/schaff/npnf204. xvi.ii.xiii.html. 18. H.J.M. Nouwen, “Bringing Solitude into Our Lives” in R.J. Foster and J.B. Smith, Devotional Classics: Selected Readings for Individuals and Groups (New York, NY: Harper Collins Publishers, 2005), 81. 19. Dualisme antara yang kudus dan yang tidak kudus, kekal dan sementara mungkin merupakan isu yang menjadi ketegangan di dalam kehidupan orang-orang Kristen. Antony tidak dapat dituduh dengan dualisme ini karena pada saat dia memikirkan tentang hal-hal yang kekal, di dalamnya tercakup kebijaksanaan, keadilan, pengendalian diri, keberanian, pengertian, kasih, kebaikan bagi orang-orang miskin, iman dalam Kristus, bebas dari kemarahan, dan keramahan. (LIhat Athanasius, Antony, n.p. [dikutip 18 Juni2020]. Online: http://www.ccel.org/ccel/schaff/npnf204. xvi.ii.xi.html). Hal-hal kekal tidak hanya seputar doa, pembacaan firman Tuhan, penginjilan, ataupun aktivitas-aktivitas yang semata-mata berkaitan dengan gereja tetapi menyangkut mengaplikasikan firman Tuhan di dalam keseharian. 20. Ada beberapa perkataan Antony yang dicatat oleh sumber lain yang memberikan keseimbangan di dalam kehidupan Antony yang ketat. Lihat Harmless, Desert, 168. 21.Gregg, Antony, 9. 22. J. Calvin, On The Christian Life (Grand Rapids, MI: Christian Classics Ethereal Library), n.p. [dikutip 19 Juni 2012]. Online: http://www.ccel.org/ccel/ calvin/chr_life.iv.html. 23.Calvin, Christian, n.p. [dikutip 19 Juni 2012]. 24. J. Wesley, Sermons on Several Occasion (Grand Rapids, MI: Christian Classics Ethereal Library), n.p. [dikutip 19 Juni 2012]. Online: http://www.ccel. org/ccel/wesley/sermons.vi.xxxiv.html. 25. Lihat tulisan Cyprianus yang berjudul “On The Lapsed” yang menjelaskan tentang kondisi Gereja yang menurun secara spiritual pada saat kedamaian ada di dalam Gereja, dalam P. Schaff (ed.), Fathers of the Third Century: Hippolytus, Cyprian, Caius, Novatian, Appendix (Grand Rapids, MI: Christian Classics Ethereal Library), n.p. [dikutip 19 Juni 2012]. Online: http://www.ccel.org/ccel/schaff/ anf05.iv.v.iii.html khususnya poin 5-12. Grace and Peace to You, Father John Chrysostom Sambungan dari halaman 13 10. 2 Thess. 3:10 11. John Chrysostom, On wealth and Poverty (New York, NY: St Vladimir Seminary Press, 1984), 22, 27-28. 12. John Chrysostom, 36. 13. John Chrysostom, 37-38. 14. John Chrysostom, 12, 23. 15. John Chrysostom, 37-38. 16. John Chrysostom, 40. 17. 1 Sam. 2:7. 18. Heb. 13:5; Ps. 37:7, 16; Prov. 23:4, 5; 1 Cor. 10:31. 19. St. John was born in an upper-class and well-to-do family. His father was a high-ranking officer. He was introduced to ascetic life through women, from whom he received all his early education. See Hans von Campenhausen, The Fathers of the 8 Pillar No.108/Juli/12 20. 21. Greek Church (New York NY: Pantheon, 1959), 141. Rom. 5:10; Rom. 5:6; 2 Cor. 5:18; 1 John 4:10. “For nearly three hundred years Christians were a minority in the Roman Empire. In the opinion of modern scholarship, Christians made up no more than 10 percent in the Latin West, and perhaps no more than 15 percent in the Greek East. Within seventy years, however, from 313, when the Edict of Milan was issued, to the laws of Theodosius I in 380, Christianity became the dominant and soon after, the official state religion. Constantine’s conversion and religious policies contributed greatly to the Christianization of the empire.” See Demetrios J. Constantelos, “The Hellenic Background”, 189. Of course there were many factors involved in this complex process such as miracle works that supported the truth of the teaching, the inherent truth in the Christian 22. 23. 24. 25. 26. doctrine, zealous evangelism work, and ultimately works of Holy Spirit that enabled conversion to take place. However, in term of socio-cultural factor, in my opinion, this two are the two major factors. Zeno of Cyprus the founder of Stoicism, inspired by the ethical teaching of Socrates, taught that the only real good is virtue and the only real evil is moral weakness. Stoicism emphasized the practical concerns of ethics, including compassion and philanthropic work. See Demetrios J. Constantelos, “The Hellenic Background”, 190. Ibid., 190. Ibid., 187. Luke 6:44; Matt. 7:16, 20; 12:33. James 2:14-17. 14 Juli 1789 I ngatkah Anda akan tanggal di atas? Atau Anda hanya ingat tanggal 14 Juli saja karena hari itu adalah ulang tahun orang tua, pacar, atau anjing kesayangan Anda? Tanggal di atas adalah hari dimulainya Revolusi Perancis yang ditandai dengan peristiwa jatuhnya penjara Bastille persis pada tanggal tersebut. Tanggal di atas sekaligus menjadi La Fête Nationale (The National Celebration) karena Perancis memang tidak memiliki hari kemerdekaan. Pada abad ke-17, Perancis menjadi salah satu negara penting di dunia. Dengan jumlah penduduk yang banyak, tanah yang subur, dan kemampuan berniaga, Perancis menjadi negara yang makmur pada pertengahan abad ke-17. Perancis juga dikagumi karena pencapaian budayanya. Tetapi saat itu, sesungguhnya Perancis sedang menuju kehancuran. Siapakah yang dapat melihat hal itu di tengah kondisi ‘kemajuan’ tersebut? Louis XIV yang dikenal sebagai Sun King terkenal dengan doktrin absolutismenya lewat ucapan “L’etat, c’est moi” (Saya adalah negara). Louis XIV sebenarnya bukan raja yang buruk. Ia mampu membangun salah satu bentuk pemerintahan birokrasi modern yang pertama, mendirikan istana Versailles yang tersohor itu, membentuk sebuah organisasi militer yang kuat di Perancis, dan meningkatkan jumlah tentaranya. Bahkan pada masa pemerintahannya, Perancis mulai melakukan ekspansi ke Dunia Baru. Tetapi di sisi lain, ia menganggap toleransi yang diberikan terhadap kaum Huguenot sebagai sebuah ancaman. Di akhir pemerintahannya, Perancis memasuki apa yang dikenal sebagai Abad Pencerahan. Namun apa yang terjadi adalah Perancis sedang memasuki ‘abad kegelapan’ yang baru. Orang-orang Huguenot kemudian dipaksa untuk keluar dari Perancis dan semangat humanisme Abad Pencerahan membawa Perancis masuk ke dalam kekelaman. Menyusul kekacauan agama yang terjadi, mulai timbul kekacauan ekonomi, yang kemudian diikuti oleh kekacauan sosial. Louis XVI, pengganti Louis XV yang memiliki hobi bersenang-senang, berusaha melakukan reformasi dalam perpajakan dan administrasi. Tetapi ia frustrasi dengan hak-hak istimewa kaum bangsawan yang menolak untuk membayar dengan adil beban pajak mereka. Kepemimpinannya yang lemah membuatnya tak berdaya. Sementara itu kaum borjuis ingin meningkatkan status sosial dan politik mereka. Mereka ingin menjadi kelas menengah yang berpengaruh sehingga dapat meraih keuntungan yang lebih besar dari sistem perekonomian bebas. Sedangkan kaum petani yang merupakan populasi terbesar, hampir tidak memedulikan soal prestige maupun politik. Kehidupan mereka sangat berat, sering ditandai oleh penyakit dan kelaparan. Yang mereka inginkan hanyalah tanah yang lebih luas dan kebebasan dari pajak yang tidak adil. Di tengah keputusasaan, mereka menginginkan hanya satu hal yaitu perubahan. Tetapi siapa yang berdiri untuk memperjuangkan keadilan bagi mereka? Gereja Perancis sibuk mengurusi kepentingan mereka sendiri. Tidak heran jika kekacauan agama, politik, dan sosial terus meningkat. Puncaknya adalah gerombolan penduduk Paris menyerbu penjara Bastille tanggal 14 Juli 1789. Tujuan penyerbuan ini adalah untuk mendapatkan senjata lebih banyak dan membebaskan beberapa tawanan. Penjara Bastille awalnya adalah kastil atau benteng pertahanan yang didirikan untuk menghadapi serangan Inggris. Tetapi kemudian berubah fungsi menjadi penjara sekaligus simbol kelaliman rezim. Dalam peristiwa penyerbuan tersebut, 98 orang penyerang terbunuh, juga bangsawan kepala penjara, Marquis de Launay dan 8 orang pasukannya. Gerombolan yang mengamuk ini lalu memotong kepala de Launay dan menyulakannya pada tiang bambu yang diarak keliling kota. Menakutkan! Okay, lalu mengapa saya mengajak melihat fakta sejarah yang mungkin agak membosankan bagi sebagian Anda? Kondisi negara kita. Keadaan rakyat kita. Apakah Anda hanya peduli dengan kepentingan Anda dan kelompok sendiri? Pernahkah Anda sungguh-sungguh melihat keadaan sekeliling dan memikirkan panggilan Anda sebagai orang Kristen di Indonesia? Dua ayat berikut ini kiranya mendorong Anda untuk merenungkan situasi Indonesia saat ini dan berdoa meminta Tuhan memakai diri yang tidak layak untuk menjadi saluran berkat. Belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda! (Yes. 1:17) “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” (Yer. 29:7) Soli Deo Gloria. Ev. Maya Sianturi Pembina Remaja GRII Pusat Kepala SMAK Calvin POKOK DOA 1. Bersyukur untuk rangkaian KPIN NTT dan Sumba yang telah diadakan pada tanggal 4-14 Juni 2012. Berdoa bagi puluhan ribu orang yang telah mendengarkan berita Injil dan yang telah menerima panggilan Tuhan untuk bertobat. Berdoa kiranya setiap jiwa yang telah mengambil keputusan untuk memperbarui iman mereka diberikan kekuatan dan disertai oleh Roh Kudus dalam kehidupan kerohanian mereka selanjutnya dan dimampukan untuk memelihara iman mereka sampai kepada kesudahan. 2. Berdoa untuk NRETC VI yang akan diadakan pada 5-8 Juli 2012. Berdoa untuk persiapan akhir dari setiap panitia dan hamba Tuhan yang akan membawakan firman. Berdoa kiranya Roh Kudus mengurapi setiap pembicara yang akan membawakan firman, sehingga mereka diberikan kuasa untuk dapat memenangkan para remaja bagi Kristus. Berdoa untuk perjalanan setiap remaja terutama yang berasal dari luar kota, kiranya Tuhan memelihara mereka di dalam perjalanan mereka menuju Jakarta dan dapat kembali ke tempat asal dengan selamat, dan berdoa kiranya firman yang telah diterima di dalam acara ini dapat berakar dan bertumbuh di dalam hati setiap remaja dan pada akhirnya mereka menjadi laskar Kristus bagi Kerajaan Allah. Pillar No.108/Juli/12 9 S ejarah Gereja mengungkapkan kepada kita bahwa dalam setiap masa dan zaman, (selalu) bermunculan bidat demi bidat, yang jika kita perhatikan, penyebab utamanya adalah adanya oknum tokoh Gereja yang lebih menitikberatkan atau mementingkan suatu pengajaran (baca: doktrin) melampaui doktrin lain, mengabaikan keharmonisan dan integrasi suatu doktrin dengan doktrin lain. Salah satu contoh, Marcionisme (abad 2-7 m) — yang didirikan oleh Marcion — yang mengatakan bahwa Allah Perjanjian Lama lebih rendah daripada Allah Perjanjian Baru karena Perjanjian Lama tidak selaras dengan ajaran Kristus. Allah Perjanjian Lama hanyalah demiurge1 sedangkan Allah Perjanjian Barulah Allah yang sejati, yang tertinggi. Beberapa pemikiran dari paham ini — seperti pengontrasan yang berlebihan antara hukum (Taurat) dan Injil — masih “terwariskan” sampai hari ini.2 Kita dapat menemukan sebagian orang Kristen zaman ini yang memisahkan secara ekstrem Taurat dan Injil lebih dari apa yang Paulus sendiri ajarkan. Sejak Perjanjian Baru dan zaman Gereja mula-mula yang mengungkapkan kesaksiankesaksian tentang siapakah Yesus Kristus, dilanjutkan oleh Bapa-bapa Gereja, semuanya secara terus-menerus menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah (seutuhnya) Allah yang sekaligus (seutuhnya) manusia. Dan bahwa inkarnasi tidak mengurangi keilahian-Nya sebagai Anak Allah ataupun menjadikan-Nya sebagai manusia super (superman). Sebagai contoh, Justin Martyr, apologet Kristen abad ke-2 yang menegaskan diperanakkannya Kristus oleh Bapa dan inkarnasi-Nya menjadi manusia melalui (seorang) perawan. 3 Juga Melito dari Sardis yang menegaskan keilahian sekaligus kemanusiaan Kristus dengan mengungkapkan fakta-fakta tentang Kristus secara paradoksikal (di antaranya, hamba sekaligus Anak, berada di rahim Maria sekaligus senatur dengan Bapa, berada di bumi sekaligus di sorga, bertubuh jasmani sekaligus tak terbatas keilahian-Nya, sebagai manusia yang membutuhkan makanan sekaligus Allah yang memelihara seluruh alam semesta).4 Ironisnya, bidat-bidat awal muncul menyerang ajaran sehat (ortodoks) sejak Gereja mulamula, khususnya dalam Kristologi, padahal Bapa-bapa Gereja pun percaya bahwa kesatuan keilahian dan kemanusiaan Yesus 10 Pillar No.108/Juli/12 Kristus adalah prasyarat mutlak dan hal yang penting untuk menggenapi keselamatan umat manusia. Ada yang menyangkal kemanusiaan seutuhnya Yesus karena mereka percaya bahwa Yesus adalah roh adanya dan Ia hanya tampak/kelihatan seperti manusia saja (bidat ini dikenal sebagai Docetisme).5 Di sisi lain, ada juga bidat yang mengajarkan sebaliknya, yaitu menyangkal inkarnasi Allah menjadi manusia. Bagi mereka, Yesus hanyalah seorang manusia biasa yang di dalam diri-Nya hadirat dan kuasa Allah berkarya dengan begitu hebatnya (dikenal sebagai Ebionisme).6 Kemudian ada bidat yang menerima keilahian dan kemanusiaan Kristus, namun menganggap bahwa keilahian-Nya itu tidaklah penuh/ utuh, yaitu Arianisme. Bidat ini didirikan oleh Arius, yang percaya bahwa Allah itu satu adanya dan hanya satu, tidak pernah keberadaan-Nya berbagian/terbagi dengan (pribadi) yang lain. Namun Allah yang kekal dan tak-memperanakkan ini menciptakan seorang Anak. Maka Sang Anak adalah yang diciptakan. Arius memaparkan bahwa “Allah telah memperanakkan satu-satunya Anak yang diperanakkan sebelum masa kekekalan…. Ia menjadikan-Nya ada berdasarkan kehendakNya sendiri, tak dapat berubah dan berganti. Ia adalah ciptaan Allah yang sempurna, namun tidak seperti ciptaan yang lain; Ia adalah keturunan yang sempurna, namun tidak seperti yang diperanakkan yang lain…. Seturut kehendak Allah, Ia diciptakan sebelum segala masa dan zaman, dan mendapatkan hidup dan keberadaan-Nya dari Sang Bapa.”7 Meskipun Arius menegaskan keunikan Yesus Kristus sebagai Anak, namun ia menyatakan bahwa Anak adalah yang diciptakan. Dengan demikian, ada suatu masa ketika Anak tidak (baca: belum) ada, “… being created and founded before ages, did not exist before his generation,”8 ungkapnya. Oleh sebab itu bagi Arius, Anak adalah (Pribadi yang) tidak kekal, tidak saling-kekal (co-eternal), atau tidak saling-tak-bermuasal (co-unoriginate) dengan Bapa 9 dan Anak memiliki natur (baca: substansi) yang berbeda dengan Bapa. Implikasi ini sesuai dengan keyakinannya bahwa Allah adalah hanya satu adanya dan tak-berbagi. Dan sebagaimana bidat-bidat lain, ia pun mencari dasar “alkitabiah” untuk mendukung keyakinannya ini, di antaranya dari Yohanes 14:28 (“… for the Father is greater than I”) dan Kolose 1:15 (“the firstborn of all creation”).10 Pandangan Arius tersebut membuat Kaisar Constantine I khawatir, karena isu theologis seperti ini dapat berisiko memecah belah kekaisarannya. Maka pada tahun 325 ia menginisiasikan pelaksanaan konsili (yang dikenal sebagai Konsili Nicea I) yang dihadiri oleh para uskup yang diutus dari gereja-gereja yang berada di wilayah kekuasaan Romawi, di mana agenda utamanya adalah membahas dan memutuskan untuk mencapai konsensus dalam masalah natur (yaitu substansi) Anak dan relasi-Nya dengan Allah Bapa, yang pada dasarnya merupakan isu tentang (Allah) Tritunggal. Dalam konsili ini dihadiri oleh tiga macam kelompok peserta, yaitu pihak pro-Arian, pihak anti-Arian (kedua belah pihak ini masing-masing sedikit jumlahnya), dan sebagian besar peserta yang tidak berpihak. Akhirnya, konsili ini mengakui bahwa keilahian Anak adalah penuh dan utuh, sekaligus juga memutuskan untuk mengutuk beberapa hal yang dipercaya oleh kaum Arianisme sebagai bidat. Dan hasil dari konsili ini diformulasikan dalam bentuk Pengakuan Iman (Kredo) Nicea (The Creed of Nicea). Sebagian besar dari para peserta bersedia menandatangani kredo ini. Di antara lebih dari 300 peserta, hanya dua orang saja yang menolak untuk menandatanganinya. Maka, Arius diasingkan dengan peringatan agar menghentikan ajaran dan pandangannya yang sesat tersebut. Dengan demikian, Gereja dapat berjalan dengan doktrin yang teguh tentang keilahian yang sejati dari Anak Allah.11 Patut kita camkan bahwa Konsili Nicea tidak menciptakan doktrin keilahian Kristus — seperti yang diduga oleh sebagian kalangan, termasuk kaum Arianis — namun menegaskan kembali apa yang telah dipercayai dan dipegang oleh umat Tuhan sebagai warisan Gereja sejak para rasul Perjanjian Baru.12 Dalam hal ini, salah satu dari Bapa-bapa Gereja, yaitu Athanasius dari Alexandria berjuang dengan gigih mempertahankan doktrin yang sehat melawan ajaran yang coba menyangkal dan menggugurkannya. Ia lebih dikenal sebagai Athanasius yang kadang kala dijuluki sebagai St. Athanasius the Great. Lahir di Alexandria, Mesir, menjelang pergantian abad ketiga menuju abad keempat, sekitar tahun 295.13 Menjabat sebagai seorang Uskup Alexandria yang ke-20 (pada abad ke-4) selama 45 tahun, namun sepertiga masa jabatannya ia mengalami pembuangan yang diperintahkan oleh beberapa kaisar Romawi karena perjuangannya mempertahankan ajaran dan iman yang ortodoks14 yang telah diwariskan sejak para rasul. 15 Ia adalah seorang theolog terkenal sekaligus apologet yang mempertahankan doktrin Tritunggal dan inkarnasi Firman menjadi manusia melawan Arianisme. Apologianya yang begitu sengit dan respected, baik oleh kawan maupun lawan, membuatnya dijuluki “Athanasius melawan dunia bagi dunia” (Lat. Athanasius contra mundum). Athanasius menentang bidat ini dengan begitu gigih, sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar masa pelayanannya dihabiskan untuk mempertahankan dan membela Kristologi ortodoks melawan Arianisme, terutama mengenai kesetaraan Anak dan Bapa, serta inkarnasi Anak menjadi manusia. Kegigihan dan sikapnya yang tidak mau berkompromi terhadap segala ajaran yang mendukung Arianisme — termasuk jika harus “melawan” para kaisar Romawi pada saat itu — membuatnya dijuluki sebagai “santo yang keras kepala”. Perjuangannya begitu berat, pada saat ia mulai menjabat sebagai Uskup Alexandria, pada saat yang sama Constantine mulai berganti haluan mendukung Arius. Hal ini disebabkan sang kaisar mengalami tekanan para uskup yang diam-diam bersimpati pada Arius. Constantine memulihkan kembali Arius ke dalam jabatannya sebagai imam (presbyter) di Alexandria serta memerintahkan Athanasius untuk menerimanya kembali. Athanasius menolaknya kecuali Arius mengiyakan satu kata — yaitu homoousios16 — sebagai pernyataan relasi antara Bapa dan Anak. Karena Arius menolak maka Athanasius pun menolaknya serta mengabaikan perintah dan ancaman kaisar. Singkatnya, Athanasius pun dilucuti dari jabatannya dan dibuang ke kota paling Barat dari Kekaisaran Romawi, yaitu Trier, Jerman. Kisah ini tidak berhenti di sini. Selanjutnya dapat dilihat bahwa pengganti Constantine — yaitu anaknya, Constantius — yang pada awalnya memulangkan dan memulihkan Athanasius kembali sebagai Uskup Alexandria, di kemudian hari relasi mereka menjadi buruk. Sang kaisar baru yang menginginkan perdamaian dan keseragaman dalam agama (yaitu gereja) dan di bawah paksaan ayahnya, mengganti kata homoousios dalam Kredo Nicea menjadi homoiousios yang artinya “substansi yang mirip” (“of a similar substance”) yang waktu itu diterima baik termasuk oleh banyak dari kalangan yang memegang (doktrin) Tritunggal. Dalam hal ini, Athanasius menolak keras dan menggolongkan mereka (juga) sebagai bidat dan menyejajarkan mereka sebagai antikristus.17 Polemik dan perseteruan yang rumit di antara mereka terus berlangsung episode demi episode. Kemungkinan dalam pembuangannya ke Trier, Athanasius menulis On the Incarnation of the Word, yang kemudian menjadi karya klasik Kristen yang agung yang ditulisnya sebagai Bapa Gereja abad permulaan, yang berisi apologianya dalam Kristologi, yang mengungkapkan signifikansi inkarnasi Allah menjadi manusia demi keselamatan manusia dan menekankan18 keilahian Yesus Kristus. Bukunya ini mengungkapkan pula refleksi secara eksegesis nas-nas Alkitab yang berkaitan dengan Kristus dan keilahian-Nya, serta relasi antar-Pribadi Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Tujuannya jelas, yaitu mencelikkan (dan menegaskan) bahwa Anak adalah diperanakkan, bukan diciptakan. Tulisannya yang lain, yang juga merupakan karya klasik Kristen yang agung, sekaligus lebih direct menghadapi Arianisme adalah Against the Arians, yang merupakan karya polemisnya melawan kaum Arian sekaligus semi-Arian.19 Athanasius meninggal di Alexandria pada tahun 373, di mana tujuh tahun terakhir masa hidupnya ia jalani dengan damai dan tenang. Meskipun Valens, kaisar Romawi saat itu, adalah pendukung penuh Arianisme dan pernah membuangnya sekali, namun kemudian mengizinkannya untuk pulang. Setelah akhir hidupnya — di mana dia tidak pernah mengenyam buah perjuangannya selama hidupnya — kaisar yang baru, Theodosius,20 menjadi seorang pendukung penuh iman ortodoks dan trinitarian yang diperjuangkan (dan dimenangkan) oleh Athanasius dan sahabat-sahabatnya. Theodosius memerintahkan dilaksanakannya Konsili kedua di Constantinople (yaitu Konsili Contantinople), dengan agenda dan tujuan untuk menegaskan kembali Kredo Nicea, di mana pada akhirnya ditetapkan sebagai pengakuan iman universal bagi seluruh umat Kristen.21 Dari sekelumit kisah Athanasius dan perjuangannya membela iman di atas, paling tidak kita dapat mempelajari, pertama, bahwa “hanya” karena perbedaan satu kata “saja” (atau bahkan satu huruf saja) dalam Kredo Nicea — yaitu antara homoousios dan homoiousios—yang memiliki bunyi yang mirip namun memiliki arti yang sangat berbeda, maka terjadi perbedaan (baca: pertentangan) yang begitu tajam antara dua paham (baca: doktrin), yang meminjam ungkapan dari Olson yang mengatakan, “… is the difference between the divine and the creaturely”.22 Kedua, meskipun acap kali diabaikan — yaitu dengan sedikit banyak mengenal karakter atau kepribadian pendirinya. Dengan mempelajari karakter/kepribadiannya akan membantu kita memperoleh gambaran seperti, mengapa dapat muncul ajaran semacam itu, mengapa ajaran semacam itu dapat berkembang secara luas, bahkan pesat, dan mendapat dukungan langsung maupun tak langsung dari pihak penguasa (baik penguasa/tokoh politik maupun gereja). Arius adalah seorang yang berpenampilan asketis, bermoral murni, dan berpendirian teguh. Carroll, seorang sejarawan Katolik, mengatakan bahwa ia adalah seorang yang santun dalam berbicara, para wanita memujanya karena terpesona dengan sikap anggunnya dan penampilan asketisnya, orang-orang terkesan dengan kehebatan intelektualnya.23 Karakter seperti ini sedikit banyak membuat kebanyakan orang “terlena” serta tidak menyikapi secara kritis apa yang dia ajarkan. Apalagi konteks bergereja saat itu, masih kental dengan dikotomi (yang wujudnya berupa separasi) kaum pejabat gereja (yaitu para imam atau pekerja gereja) dengan kaum awam, yang tampak dari dimonopolinya Alkitab, penafsiran Alkitab, dan pengajaran (doktrin) oleh kaum imam, sedangkan kaum awam berada pada posisi hanya menerima dan menelan apa yang disajikan oleh pejabat gereja. Sehingga tidak heran bahwa — meskipun bidat — ajaran yang melawan salah satu ajaran yang paling krusial dari rasul-rasul dan Bapa-bapa Gereja ini dapat berkembang di Kekaisaran Romawi yang membuat Constantine mau tidak mau segera mengadakan Konsili untuk membendung (dan menghentikan) pengaruhnya yang dapat merusak keutuhan kekaisarannya (meskipun tentu dengan menggunakan alasan gerejawi). Hal ini mengajarkan (serta memperingatkan) kepada kita salah satu prinsip yang dikumandangkan oleh para Reformator untuk kembali kepada (hanya) firman/Alkitab saja (dikenal sebagai sola Scriptura) sebagai satu-satunya tolok ukur iman dan kehidupan kaum pilihan, bukan pada kehebatan dan nalar manusiawi yang mempesona yang — sering kali — membutakan hati untuk kembali kepada kebenaran (baca: firman). Kita harus kritis dan berhati-hati menghadapi berbagai macam pengajaran, karena sering kali bidat-bidat menyelubungi diri di balik argumentasi-argumentasi yang (terdengar) logis dan mirip dengan ajaran yang benar, ditambah dengan pesona pribadi sang tokoh/pendirinya. Faktor-faktor ini sangat mungkin dapat mengaburkan pertimbangan nalar kita. Terakhir, kita perlu meneladani spirit dan perjuangan Athanasius yang dengan gigih dan tanpa kompromi membela kesejatian iman dan doktrin yang ortodoks. Khususnya di dalam zaman kita, di mana kebenaran dianggap sebagai sesuatu yang subjektif, relatif, dan kontekstual. Meskipun dianggap kaku, kontroversial, tidak bersedia untuk harmonis, eksklusif, dan seterusnya, namun apakah kita lebih mementingkan persaudaraan dengan “saudara seiman” di mana mereka — sadar ataupun tidak — sedang melawan kebenaran sejati atau kesetiaan kita hanya kita berikan kepada Allah dan firman-Nya? Mari kita melihat bagaimana Athanasius bukan sematamata menghadapi serangan Arianisme sebagai musuh utama gereja, namun ia pun mengalami manipulasi (sekaligus ”penganiayaan”) dari beberapa penguasa Romawi saat itu. Hidupnya, pelayanannya, perjuangannya begitu berat, meskipun demikian ia tetap setia dan tidak kompromi. Boleh dikatakan bahwa pada hari ini Saksi Yehova bukanlah salah satu bentuk kekristenan ortodoks, bukanlah sesuatu yang berlebihan.24 Tanpa perjuangannya yang gigih seperti itu — tentunya dengan tidak melupakan kedaulatan Bersambung ke halaman 15 Pillar No.108/Juli/12 11 L et me introduce myself. I am your fellow followers of Christ, from a small island in southern east part of Asia. I live a very different time and culture from you, about 1.600 years after your time. It is my great pleasure to know you and read your writings. I indebted this opportunity to my teacher who stimulated my curiosity to know more about you and your teachings. Reading your book is like drinking fresh water from oasis after wandering in a desert. Through this letter, I want to thank you for three things that I find remarkable through the reflection upon and meditation on your homilies on Lazarus and the Rich Man. I believe these will not only be beneficial to me but also for my contemporary brothers and sisters. Visual Preaching When I read your sermon on Lazarus and the Rich Man, I really enjoyed your use of extensive rhetorical device of ekpharasis to “draw a picture with words and paint a story.”1 That makes your sermon came alive and became powerful and brought me to the full experience of the reading. It brought me into the story, not as a reader of your sermon, but as a spectator of every event in the story. I think the church in my time needs this kind of preaching technique to enhance the delivery of the message, although that should not be the only method. The challenges that churches of my time face are basically similar to yours, although ours are a little more sophisticated due to our rapid technological advancement especially over the last one century. This does not only bring comfort to our life, but also lure and vice to our faith as well. Maybe we are currently building our modern Babel Tower in our age. However, there are also many amazing things. As a result of our advancement in technology, we have defeated the problem of space. With our technology, you can travel from Constantinople to Rome in hours, instead of weeks or months. Or if you don’t want to be physically present in Rome, you can still communicate with Bishop of Rome using our modern tool, called telephone which allows sound to travel between spaces. With 12 Pillar No.108/Juli/12 our latest technology, you even can call for Council without needing to bring them to the same place. What they need to do is to use the tool at the same time from their own place, wherever they are, to communicate with one another. Indeed, these technologies change the way we evangelize the world – both in terms of quantity and extent of space – in a way that is far beyond your imagination due to limitation in your time. However, this same technology also amused us to death, especially our spiritual death. The dominant culture in our age is no longer Hellenistic but what we termed as postmodern. In my time, churches are facing similar threat from our modern theater, but in a worse degree. Instead of having to fight the temptation to watch theater and horse-racing 177 days of the year2, we are now subjected to a similar temptation 365 days of the year in our home.3 As the result, our generation degenerates into self-centered people with short-attention span. So great is our generation’s dependence on visual simulation, especially image and moving object that we lost the ability to visualize things through text reading and hearing.4 This is one way creative visual preaching can help this generation’s visualsaturated audience to have better grasp of the word of God.5 Rich and Poverty Besides your preaching style, your message about the rich, poor, and almsgiving is also very relevant to every Christian in my time. More than one-third of the world population of my time are categorized as poor.6 What I mean by poor is being economically or structurally poor, not the voluntary.7 I have to admit that in my time, voluntary poor as ascetics is no longer seen as a relevant part of religious life especially Christianity, although to be fair there is a small number of monasteries scattered throughout the world. Therefore, unlike the monasteries of your time, the impact of these modern monasteries to the society is very minimal. In your homily on Lazarus and the Rich Man, you bring forth the correct understanding of the poor and the rich, the problem of luxury life and the real virtue of poverty life. The main issue here is never the social status; instead it is about the heart of man. It is man who considers the appearances but God will look at the heart.8 Man will not be condemned because of his wealth and also not be saved because of his poverty.9 To be rich is not a sin and to be poor is not a virtue, especially if it comes from laziness. After all, does not St. Paul say to the churches in Thessalonians, “Man shall not eat if he does not work”?10 However, the rich man’s major mistake in this story is his coldness toward the poor at his gate – a position that allows him to extend a helping hand. However, he does not only fail to give alms and neglect his duty to help him, he is in fact enjoying a luxurious life, wearing purple linen clothes and having a sumptuous feast. As said in your sermon, “This cruelty is the worst kind of wickedness; it is an inhumanity without rival. For it is not the same thing for one who lives in poverty not to help those in need, as for one who enjoys luxury to neglect others who are wasting away with hunger. … Let us do the same; let us accustom ourselves to eat only enough to live, not enough to be distracted and weighed down. For we were not born, we do not live, in order to eat and drink; but we eat in order to live.”11 Let us remember that the wicked and greedy are like robber-chiefs who use the gold and silver from his prowling to acquire lands, clothes and slaves. Will they be called fortunate because of that wealth or unfortunate, because of the penalty which awaits him? Although he now can enjoy the extravagant feasting and luxury clothes, but we call him miserable because of his future expected sufferings.12 On the other hand, Lazarus lives his life in a way that is the exact opposite of the rich man. He endures many tests of virtue: he is poor, he is ill, he has no one to help him, he lives outside a house whose owner can relieve all his troubles but does not even bother with a word of comfort, he sees the man who neglects him while enjoying a life of luxury, and he is also considered cursed because of his poverty and illness. “Not for two or three days but for his whole life he saw himself in this situation and the rich man in the opposite.”13 However, he endures patiently without complains and uses his sufferings to Grace and Peace to You, Father John Chrysostom build up his spiritual strength, proving his righteousness.14 It is for this reason that Christ set him before us: “so that whatever troubles we encounter in seeing this man’s greater measure of tribulation, we may gain enough comfort and consolation from his wisdom and patience. He stands forth as single teacher of the whole world for those who suffer any misfortune whatever, offering himself for all to see, and surpassing all of them in the excess of his own troubles.”15 At the end, who are the real poor and the real rich in this story? I honestly like the way you aptly explain it: “… if you see someone greedy of many things, you should consider him the poorest of all, even he has acquired everyone’s money. If, on the other hand, you see someone with few needs, you should count him the richest of all, even he has acquired nothing. For we are accustomed to judge poverty and affluence by the disposition of the mind, not by the measure of one’s substance.”16 It is the LORD who makes some poor and others rich; he brings some down and lifts others up.17 Therefore, let everyone be content with what God has given to him and use it for the goodness of the others who in need, and above all things do it for the glory of God.18 Self Exemplary Life The most important one that I learn from you is how you apply what you teach and preach in your life. I believe this is a very important lesson to churches in my time. Sometimes, I think that many pagans refuses to join the Christian community in my time not because of a lack of evangelism or that the message that we teach is uninteresting, or that the good news that we share is unimportant for them. Instead, our hypocritical life becomes a stumbling block to them. We, including myself, often fail to be salt and light to our world. Instead of attracting the world to the truth, justice, love and mercy of God, we are repelling them through our failure to imitate our Lord. In contrast, you have applied what you preached and expected others to follow your example. Even though you had the chance to live as a rich man – enjoying the luxurious feasting and drinking and delighting in theater; you decided to enter voluntary poverty to be similar with people that you love and serve.19 You lead your people through example of your life. As a church leader, you led your flock not only through the pulpit but also through your life. Unsurprisingly, many followed your teaching, some give alms to the poor while others willingly give up their wealth for the benefit of many. This is a reflection of love that God has shown by sending His Son to be a ransom of our sin and reconciling us to Him while we were still His enemy.20 Furthermore, this love of Christ within the church radiated outside the church wall and enlightened the darkness in which people live. In my opinion, it is the sincere life of the early churches and Christians, especially in matters of compassion towards the poor, sick, elderly and needy that brought numbers of conversion in the 4th century, besides the conversion of Emperor Constantine and the religious freedom as guaranteed in Edict of Milan.21 Please correct me, Father if I make any wrong assumption on this. It is argued by Constantelos, modern theologian in my time, that since the 4th century BC Hellenistic culture has already emphasized on philanthropic work as “benevolence and humanitarianism as a natural bond of love for the common good”.22 Aeschylus introduced the theocentric concept to Hellenic philanthropic work by emphasizing it as the work of gods toward humanity, and human in turn shall imitate god’s philanthropic work. Aeschylus wrote, “Prometheus, the demigod, decided to bring the earth fire and empower humans with knowledge and skills because of his great philanthropia for the future of human kind. He was bound to a crag and had his liver eaten daily … because of his love to humanity.”23 What a benevolent teaching of Hellenic philanthropic! However, what about the application of this teaching? Emperor Julian in his letter to Arsacius, chief priest of Hellenic religion in Galatia, complained, “The Hellenic religion does not yet prosper as I desire, and it is the fault of those who profess it. … The worship of the gods is not enough. Worship must be accompanied with benevolence to strangers and the poor, with care to the hungry, with the establishment of hostels (xenones) where strangers may find shelter. … Our philanthropy should benefit not only our own people but also others in need.” He adds, “that the impious Galileans support not only their own poor but also ours.”24 Let us remind ourselves of what Jesus has already taught, “By their fruits you will recognize the tree.”25 Great teaching will be in vain if it turns out to be mere information and knowledge without any real application.26 Closing Lastly, I want to thank you again for your contribution to Christianity through your administrative work as a bishop, your exemplary life as a Christian, and especially through your writings as a theologian and preacher that last until my time. I don’t know how you will receive this letter. However, if you miraculously receive this letter, please remember me and my contemporary Christian in your prayer. May the grace of the Lord Jesus Christ, and the love of God, and the fellowship of the Holy Spirit be with us. Amen. Wiryi Aripin Pemuda GRII Singapura Bibliography: 1. Campenhausen, Hans Von. The Fathers of the Greek Church (New York NY: Pantheon, 1959). 2. Carman, Francine. “Poverty and Wealth as Theater: John Chrysostom’s Homilies on Lazarus and the Rich Man.” Wealth and Poverty in Early Church and Society edited by Susan R. Holman (Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2008). 3. Chrysostom, John. On wealth and Poverty (New York, NY: St Vladimir Seminary Press, 1984). 4. Hughes, R. Kent. “Preaching God’s Word to the Church Today.” The Coming Evangelical Crisis edited by John H. Armstrong (Chicago, IL: Moody, 1996). 5. Mayer, Wendy. “Poverty and Generosity toward the Poor in the Time of John Chrysostom.” Wealth and Poverty in Early Church and Society edited by Susan R. Holman (Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2008). 6. Shah, Anup. “Poverty Facts and Stats.” Global Issues, Accessed: 30 Oct. 2010. <http://www. globalissues.org/article/26/poverty-facts-andstats> Endnotes: 1. Francine Carman, “Poverty and Wealth as Theater: John Chrysostom’s Homilies on Lazarus and the Rich Man”, Wealth and Poverty in Early Church and Society edited by Susan R. Holman (Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2008), 164. 2. St. John was fighting against the theater, a central institution in society, that became “a competing community and way of life” to church, brought to the declination numbers in church and deformation of character and community of Christians. In one of his sermon, he repeatedly complaint against “absent or inattentive members of his congregation, eager to rush to shows – even those accompanying the catechumens during Lent repair the racetrack soon afterward”. See Francine Carman, “Poverty and Wealth”, 159-160. 3. I mean here is television and internet. I don’t consider watching television or surfing internet as evil, but the problem is that we give more time than we suppose to give to this activity. 4. R. Kent Hughes, “Preaching God’s Word to the Church Today”, The Coming Evangelical Crisis, edited by John H. Armstrong (Chicago, IL: Moody, 1996), 92. 5. Other medias like presentation, drama, video, etc. can be very useful tools for this purpose. However, these shall not replace the importance of preached word since God has chosen this way to convey His message to His people. 6. Anup Shah, “Poverty Facts and Stats.” Global Issues, Accessed: 30 Oct. 2010. <http://www. globalissues.org/article/26/poverty-facts-andstats> 7. “(Voluntary) ‘Poverty’ is a voluntary detachment from wealth, leading to the removal of all luxury from one’s life. This is to the point not just moderation (which is listed in On virginity as a separate virtue), but of complete simplicity. It is a poverty that is not a reduction to the point of neediness (as often the case for the economic poor), but rather a removal of all that is superfluous. … What distinguishes the voluntary poor from the involuntary poor in this regard is that the first can deny all of these essentials (food, clothing, and private or public baths) precisely because they have unrestricted access to them. It is in this sense that the ascetic life can be described as a state of voluntary poverty, and why, for the ascetic of this time and those who admired them, personal wealth and voluntary poverty were entirely compatible.” See Wendy Mayer, “Poverty and Generosity toward the Poor in the Time of John Chrysostom”, Wealth and Poverty in Early Church and Society edited by Susan R. Holman (Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2008), 147-149. 8. 1 Sam. 16:7; Luke 16:15; Prov. 24:12. 9. St. John Chrysostom has mentioned in his sermon that poor one has better chance to be saved. This statement may be difficult to accept in modern time, but considering the socio-cultural at that time where asceticism (voluntary poor) was regarded highly in the Christian community, it is easier to understand. Bersambung ke halaman 8 Pillar No.108/Juli/12 13 “Orang Kristen sama orang dunia hidupnya nggak ada bedanya!” “Buat apa saya jadi orang Kristen? Hidup mereka nggak lebih baik dari saya.” “Lihat deh hidup mereka, masih berani pula mengaku kenal Tuhan!” Kalimat-kalimat menusuk yang sangat klasik, bukan? Klasik, sudah begitu sering kita dengar, sebuah stereotype yang terus ditempelkan pada Gereja Tuhan sepanjang sejarah. Tidakkah hati kita gelisah mendengarnya? Apakah kalimat-kalimat itu benar? Lebih jauh lagi, apakah kita yang membuat stereotype itu kembali ‘panjang umur’ di zaman ini? Mari belajar dari sejarah. Pelagius (354-420 M), salah seorang Bapa Gereja yang selalu dituding sebagai penyesat, adalah seorang yang bertubuh besar dan kuat, tetapi dikenal sangat lembut. Ia mempunyai reputasi yang sangat baik mengenai hidupnya yang kudus dan saleh. Pelagius tidak secara resmi ditahbiskan sebagai biarawan, namun ia banyak menjadi penasihat rohani bagi masyarakat Roma saat itu. Lalu apa kaitan permasalahan di atas dengan Pelagius? Permasalahan kehidupan orang Kristen yang bobrok adalah duka dan pergumulan Pelagius yang paling besar. Pada akhir abad ke-4, Pelagius berpindah dari Britania ke Roma, di mana kekristenan diakui dan diresmikan sebagai agama negara. Oh, betapa indahnya negeri yang mengakui Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat! Tetapi kenyataan yang ia lihat di depan matanya ternyata sangat 14 Pillar No.108/Juli/12 berbeda dengan apa yang ia bayangkan mengenai sebuah negara yang menyebut dirinya Kristen. Manusia hidup seenaknya sambil menyebut diri anak-anak Allah. Pelagius kemudian dibuat lebih terkejut melihat orang-orang bahkan membenarkan diri dan ‘membaptis’ dosa-dosanya dengan memanfaatkan pengertian-pengertian theologis! Doktrin mengenai dosa asal (original sin) yang diturunkan dari Adam, misalnya, dimanfaatkan untuk mengatakan bahwa dosa asal adalah sesuatu yang tak bisa mereka hindari dan tak bisa mereka atasi. Natur keberdosaan akan terus melekat pada diri mereka, jadi tentu saja mereka masih terus melakukan dosa! Doktrin anugerah pun dimanfaatkan untuk berkata bahwa jikalau memang Tuhan sendirilah yang akan memilih manusia dan menentukan siapa yang akan diberi anugerah keselamatan dan siapa yang tidak, mengapa mereka harus berusaha hidup benar? Kalau anugerah diberikan, toh nanti pasti bisa hidup benar. Kalau anugerah tidak diberikan, manusia bisa apa? Demikianlah orang-orang di sekitar Pelagius mengajukan pembelaan diri yang begitu ‘rohani’ atas dosa-dosanya. Pelagius murka. Dengan latar belakang pergumulan yang demikian, Pelagius kemudian menarik kesimpulan-kesimpulan yang salah mengenai doktrin-doktrin tersebut. Ia pun menjadi sangat antipati terhadap tulisan-tulisan Agustinus di dalam The Confessions yang sangat menekankan mengenai dosa asal, ketidakberdayaan manusia, kedaulatan mutlak Allah atas manusia, dan anugerah Tuhan. Pelagius tidak bisa menerima konsep bahwa manusia seolaholah menjadi boneka di tangan Allah, yang seutuhutuhnya bergantung pada anugerah Tuhan tanpa mempunyai kekuatan untuk menentukan pilihanpilihannya sendiri. Pelagius menilai doktrin ini akan membuahkan akibat yang sangat fatal, yang jelas sudah terjadi pada orangorang di Roma saat itu: kekristenan palsu. Pelagius mengatakan, “Orang-orang Kristen, di atas segalanya, harus berjuang sekuat tenaga untuk hidup benar.” Maka, melawan Agustinus, ia kemudian menekankan bahwa manusia mempunyai kehendak bebas (freewill) dan dapat menentukan sendiri untuk memakai kebebasan tersebut dengan benar. Ia menolak paham mengenai original sin sebagai suatu kuasa yang dapat membuat orang terus berdosa bahkan setelah orang itu dibaptiskan. Ia juga menolak pemikiran bahwa dosa Adam telah membuat seluruh umat manusia secara otomatis ikut menjadi orang berdosa. Pelagius melihat dosa Adam sebagai sesuatu yang sangat buruk karena dengan demikian Adam menjadi contoh yang sangat buruk bagi generasi selanjutnya untuk melawan Allah, tidak lebih dari itu. Menurut Pelagius, ada kemungkinan bagi manusia untuk hidup tanpa dosa, asalkan manusia sungguh-sungguh berjuang untuk itu. Baginya, adalah sebuah ketidakadilan jika Allah memerintahkan sesuatu yang melebihi kemampuan manusia dan kemudian menghukum manusia karena gagal menjalankannya. Bagaimana mungkin Kristus memerintahkan manusia untuk menjadi sempurna seperti Bapa, jikalau Ia tahu manusia tidak mungkin melakukannya? Maka kekristenan, bagi Pelagius, adalah perjuangan manusia untuk hidup sempurna. Manusia dibaptiskan supaya dosa-dosa masa lalunya dibersihkan melalui salib Kristus, selanjutnya merupakan pilihan bebas manusia sendiri untuk menjauh dari dosa. Pengorbanan Kristus di kayu salib merupakan contoh dari ketaatan mutlak kepada Allah, tetapi adalah bagian kita sendiri untuk menentukan apakah kita mau meneladani-Nya atau tidak. Pelagius tidak menerima pemikiran bahwa anugerah Allah dapat secara langsung memengaruhi hati manusia dan mengubahnya ke arah yang benar. Menurutnya hal itu akan merupakan penyangkalan terhadap kuasa manusia untuk dapat dengan bebas memilih yang benar dan yang salah. Dengan pemikirannya yang demikian, Pelagius menjatuhkan dirinya ke dalam masalah besar pada zaman itu. Penekanannya yang timpang pada kehendak bebas dan kemungkinan kesempurnaan manusia dinilai merupakan penyangkalan terhadap anugerah Allah dan kuasa salib Kristus. Pelagius dan pengikutnya dijatuhi hukuman pada tahun 415 M, kemudian Heretic Thoughts -‘Truthful’ Life? Truthful Thoughts - Heretic Life? A Lifetime Struggle Pelagius dibuang ke pengasingan, suatu kenyataan yang ia terima dengan tenang sebagai harga yang harus dibayarnya demi apa yang ia anggap benar. Maka istilah Pelagianisme yang kita kenal hari ini merupakan karikatur dari keseluruhan pergumulan Pelagius: sebuah konsep yang salah bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk memilih dan memperjuangkan keselamatan bagi dirinya sendiri tanpa memerlukan anugerah Allah. Betapa berbahaya buah pemikiran Pelagius! Ia telah mengecilkan cakupan kedaulatan Allah, mengecilkan makna dari kejatuhan manusia dalam dosa, dan dengan demikian mengecilkan pula signifikansi dari kematian dan kebangkitan Kristus. Pemikirannya telah merendahkan Allah dan meninggikan manusia. Tetapi mari kita berhenti sejenak. Kita bisa dengan mudah memaki dan meneriakkan “Dasar sesat!” kepada Pelagius, toh apa yang ia pikirkan memang sudah teruji merupakan penyesatan. Namun kalau kita mau melihat sedikit lebih jauh, ia adalah orang yang pada zamannya mempunyai kepekaan akan kebobrokan orang Kristen dan dengan hati yang jujur berusaha membangunkan Gereja dari penipuan diri yang mengatasnamakan kebenaran. Pelagius, sekali lagi, adalah orang yang sampai hari ini dikenal sebagai orang yang sangat menjaga hidupnya kudus dan berteriak memanggil masyarakat Roma saat itu untuk hidup kudus sesuai dengan yang Alkitab perintahkan. Bagaimana dengan kita? Sambungan dari halaman 11 dan pengaturan Allah atas sejarah dan Gereja-Nya — bukan tidak mungkin hari ini Saksi Yehova (juga bidat-bidat lain, baik yang sejenis maupun berbeda jenis) akan terhitung sebagai (representasi) kekristenan yang ortodoks dan sebaliknya kita (dan kekristenan ortodoks dan Injili lain) dikecam dan dikutuk sebagai bidat. Kita patut bersyukur kepada Allah karena pemeliharaan-Nya kepada gereja sepanjang masa dan berterima kasih kepada Athanasius yang dengan penuh keberanian memberikan teladan memperjuangkan kebenaran sejati dengan setia dan tanpa kompromi. Amin. Ev. Sanny Erlando Hamba Tuhan GRII Endnotes: 1. Yaitu sosok ilah “pencipta” dan “pemelihara” alam semesta. Marcionism sebagai salah satu bentuk Gnosticism, percaya bahwa demiurge adalah ilah, tetapi ia adalah ilah (jenis) yang jahat, karena ia mencipta alam semesta yang material, yang Paling sedikit ada dua hal yang dapat kita pelajari dari sejarah singkat mengenai Pelagius ini. Yang pertama, penyesatan sesungguhnya tidak hanya datang dalam bentuk sebuah konsep pemikiran yang kemudian diadopsi dan disebarkan kepada orang-orang lain. Penyesatan bisa datang dalam bentuk lain: hidup orang Kristen. Kita akhirnya harus melihat dan mengakui bahwa yang awalnya membuat Pelagius meragukan dan akhirnya melawan doktrin yang benar adalah konteks orang-orang Kristen saat itu yang mengetahui kebenaran namun justru memanfaatkannya untuk hidup semakin rusak! Pelagius akhirnya mengeluarkan pemikiran demikian yang masih banyak memengaruhi orang-orang Kristen sampai zaman ini. Bayangkan, sudah berapa jauh penyesatan yang diakibatkan oleh kebobrokan hidup orang yang mengaku Kristen di Roma saat itu? Melintasi zaman! Yang kedua, coba kita refleksikan betapa i r o n i sn y a k e n y a t a a n b a h w a Pe l a g i u s mempunyai pemikiran yang sesat sekaligus hidup yang saleh. Memang pada akhirnya, hidup Pelagius pun tidak dapat dikatakan sungguh-sungguh benar karena kesalahan konsep yang mendasari hidupnya, tetapi mengapa yang terjadi harus demikian? Orang yang mempunyai pemikiran yang sesat justru adalah orang yang berjuang untuk hidup benar. Tidakkah hal ini sangat menyedihkan? firman Tuhan di dalam pengertian doktrin yang ketat, apa yang kita perbuat dengan hidup kita? Apakah kita akan mengulang sejarah, menjadi orang-orang yang mengaku Kristen dan mengerti doktrin yang benar, namun justru menghidupi hidup yang menyesatkan orang lain dan generasi-generasi selanjutnya di depan kita? Mari menyatakan bahwa kebenaran Allah sungguh-sungguh sanggup membuat manusia hidup dengan benar. Karena Allah kita adalah Allah yang hidup, satu-satunya Allah yang benar dan berdaulat, maka keutuhan pemikiran yang benar sekaligus hidup yang benar harus ternyatakan melalui Gereja-Nya. Kiranya kita, yang menyebut diri umat Allah, tidak terus-menerus hidup sebagai orangorang yang mempermalukan Dia. Kiranya kita menjadi umat Allah yang berani mempelajari kebenaran sedalam-dalamnya, sekaligus berani berjuang mematikan kuasa dosa yang terus mencoba menjatuhkan kita, dan di dalam anugerah Tuhan, menjadi orang-orang yang hidup kudus dan benar di hadapanNya. Mari berjuang memiliki doktrin dan pemikiran yang benar, sekaligus hidup yang benar, sehingga itulah yang menjadi gambaran Gereja Tuhan di dalam zaman ini dan di masa depan. Kiranya nama Tuhan dipermuliakan! Lydiawati Shu Pemudi FIRES Sekali lagi, kita harus belajar dari sejarah. Jikalau kita adalah orang-orang yang dianugerahkan Tuhan pada zaman ini untuk sejak muda sudah mendengar kebenaran jahat menurut pemahaman gnostik (bdk. http:// en.wikipedia.org/wiki/Demiurge diakses pada 14 Juni 2012). 2. William Edgar dan K. Scott Oliphint (para editor), Christian Apologetics Past and Present: A Primary Source Reader, vol. I, To 1500 (Wheaton: Crossway Books, 2009), 86. 3. Gregg R. Allison, Historical Theology: An Introduction to Christian Doctrine (Grand Rapids: Zondervan, 2011), 367; dikutip dari Justin Martyr, Dialogue with Trypho, a Jew, 105, dalam Alexander Roberts, James Donaldson, Philip Schaff, dan Henry Wace (para editor), Ante-Nicene Fathers, 10 vol. (Peabody: Hendrickson, 1994), 1:251. 4. Allison, 367; dikutip dari Melito dari Sardis, From the Discourse on the Cross, dalam Ante-Nicene Fathers, 8:756. 5. Allison, 366. 6. Allison, 367. 7. Allison, 368-69; dikutip dari Arius, Letter to Alexander, dalam Alexander Roberts, James Donaldson, Philip Schaff, dan Henry Wace (para editor), Nicene-and Post-Nicene Fathers (NPNF), 14 vol. (Peabody: Hendrickson, 1994), 4:458. 8. Allison, 369; dikutip dari Letter to Alexander, dalam NPNF, 4:458. 9. Allison, 369; dikutip dari Letter to Alexander, dalam NPNF, 4:458. 10. http://en.wikipedia.org/wiki/Arius#cite_noteCarroll_a-7 diakses pada 22 Juni 2012. Kutipankutipan Alkitab diambil dari terjemahan English Standard Version (ESV). 11. Allison, 369-71. 12.Bdk. http://en.wikipedia.org/wiki/First_Council_ of_Nicaea diakses pada 22 Juni 2012. 13. 14. Edgar dan Oliphint, 173. Dimengerti sebagai norma-norma atau kredo-kredo yang diakui/diterima. Lih. http://en.wikipedia. org/wiki/Orthodoxy diakses 18 Juni 2012. 15. Roger E. Olson, The Story of Christian Theology (Downers Grove: IVP, 1999), 161. 16.Yun. homo = Ing. “same”; Yun. ousia = Ing. “essence, being.” Yun. homoousios = Ing. “same essence/being” = “sama esensi/keberadaan.” Lih. http://en.wikipedia.org/wiki/Homoousios diakses pada 23 Juni 2012. 17. Olson, 161-64. 18. Tentunya dalam konteks melawan Arianisme dan tidak dipahami sebagai mementingkan suatu aspek dan mengabaikan yang lain. Karena seperti diuraikan di awal artikel bahwa ketidakseimbangan penekanan menjadi bibit lahirnya bidat dalam Gereja. 19. Olson, 167. 20. Dianggap/diakui sebagai seorang santo oleh Gereja Ortodoks Timur. Lih. http://en.wikipedia.org/ wiki/Theodosius_I diakses pada 23 Juni 2012. 21. Olson, 167. 22. Olson, 165. 23. http://en.wikipedia.org/wiki/Arius#cite_noteCarroll_a-7diakses pada 22 Juni 2012; dikutip dari Warren H. Carroll, A History of Christendom, vol. 2 (Christendom Press, 2004), 10. 24. Lih. Olson, 161-62. Pillar No.108/Juli/12 15 KEBAKTIAN PEMBARUAN IMAN NASIONAL 2012 KPIN Palangkaraya yang diadakan pada tanggal 1 Juni 2012 merupakan salah satu bagian kebaktian dari seluruh rangkaian KPIN Kalimantan Tengah yang diadakan pada tanggal 29 Mei - 1 Juni 2012. Selain Palangkaraya, kota lain yang disinggahi oleh KPIN Kalteng adalah Kapuas, Katingan, Buntok, dan Banjarmasin. KPIN Tarakan, Kalimantan Timur – 11 April 2012 KPIN Alor merupakan salah satu KPIN yang diadakan di dalam KPIN NTT pada tanggal 6 Juni 2012. Kesaksian oleh Ev. Michael Liu yang disusul dengan altar call telah memanggil ribuan orang untuk maju dan bertobat di dalam setiap acara KPIN. Selain Alor, KPIN NTT juga diadakan di Kupang, Rote, dan Soe dari tanggal 4 - 8 Juni 2012. KPIN Malinau, Kalimantan Timur – 12 April 2012 KPIN Sumba yang diadakan pada tanggal 11 - 14 Juni 2012 telah menjadi kebaktian terbesar yang pernah diadakan di tempat-tempat tersebut sepanjang sejarah. KPIN Sumba terdiri dari KPIN Tambolaka, KPIN Waibakul, KPIN Waikabubak (Foto), dan KPIN Waingapu. 16 Pillar No.108/Juli/12