BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tingkat Sosial Ekonomi Pengertian sosial ekonomi jarang dibahas secara bersamaan. Pengertian sosial dan pengertian ekonomi sering dibahas secara terpisah. Pengertian sosial dalam ilmu sosial menunjuk pada objeknya yaitu masyarakat. Sedangkan pada Departemen Sosial menunjukkan pada kegiatan yang ditunjukkan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dalam bidang kesejahteraan yang ruang lingkup pekerjaan dan kesejahteraan sosial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sosial berarti segala sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat (KBBI, 1996: 958). Sedangkan dalam konsep sosiologi, manusia sering disebut sebagai makhluk sosial yang artinya manusia tidak dapat hidup wajar tanpa adanya bantuan orang lain di sekitarnya, sehingga kata sosial sering diartikan sebagai hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat. Sementara istilah ekonomi sendiri berasal dari kata Yunani yaitu “oikos” yang berarti keluarga atau rumah tangga dan “nomos” yaitu peraturan, aturan, hukum. Maka secara garis besar ekonomi diartikan 7 sebagai aturan rumah tangga atau manajemen rumah tangga. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekonomi berarti ilmu yang mengenai asas-asas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan (KBBI, 1996: 251). Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosial ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan tersebut berkaitan dengan penghasilan. Hal ini disesuaikan dengan penelitian yang akan dilakukan. Untuk melihat kedudukan sosial ekonomi Melly G. Tan mengatakan adalah pekerjaan, penghasilan, dan pendidikan. Berdasarkan ini masyarakat tersebut dapat digolongkan ke dalam kedudukan sosial ekonomi rendah, sedang, dan tinggi (Koentjaraningrat, 1981: 35). 2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Sosial Ekonomi Faktor sosial ekonomi terdiri dari tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan jumlah tanggungan dalam keluarga. 1. Tingkat Pendidikan Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, tentang pembaharuan sistem pendidikan nasional, pembaharuan dimaksud adalah memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan 8 pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Pendidikan nasional mempunyai misi antara lain: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; 2. Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; 3. Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; 4. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; 5. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan bentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya 9 potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 2. Tingkat Pendapatan Salah satu konsep pendapatan yang penting dalam seluruh ekonomi adalah konsep pendapatan. Dalam hal ini konsep pendapatan yang biasanya diwujudkan dalam bentuk Gross National Product (GNP) ataupun dalam bentuk pendapatan perkapita biasanya dijadikan tolok ukur akan keberhasilan dalam sebuah perekonomian. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pendapatan maka ada baiknya penulis mengemukakan beberapa ahli, antara lain: Menurut Sumitro Djojohadikusumo (1960:16), memberikan batasan pendapatan sebagai berikut: ”Jumlah barang-barang dan jasa-jasa yang mempengaruhi tingkat kehidupan”. Simanjuntak (1981;21) mengemukakan bahwa pendapatan yaitu: Semua penghasilan yang diterima oleh setiap orang dalam kegiatan ekonomi pada suatu periode. Pendapatan adalah penghasilan yang berupa upah atau gaji, bunga, denda, keuntungan, dan suatu arus uang yang diukur pada suatu periode waktu tertentu. 10 Selanjutnya Winardi (1969: 88) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pendapatan adalah: Cara normal untuk memperoleh suatu pendapatan terdiri dari pada tindakan melakukan prestasi ekonomi bernilai dengan perkataan lain. Dengan jalan menyelenggarakan jasa-jasa atau produksi benda-benda untuk mana terdapat permintaan yang bertenaga. Dari ketiga batasan yang dikemukakan di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pendapatan diartikan semua barang dan jasa serta uang yang diperoleh atau diterima oleh masyarakat dalam satu tahun dan biasanya diwujudkan dalam skop nasional (National Income) dan adakalanya dalam skop individual yang lazim disebut pendapatan perkapita (personal income). 3. Jumlah Tanggungan Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap belajar anak adalah jumlah tanggungan orang tua siswa. Jika orang tua siswa memiliki latar belakang sosial ekonomi yang cukup maka akan terpenuhi segala kebutuhan, sebaliknya jika sosial ekonomi kurang maka hanya sebagian saja yang mampu dipenuhi oleh orang tua. Slameto menjelaskan bahwa keadaan ekonomi keluarga erat hubungannya dengan belajar anak. Anak sedang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya, misalnya makanan, pakaian, perlindungan kesehatan dan lain-lain juga kebutuhan fasilitas 11 belajar seperti ruang belajar, meja, kursi, penerangan, alat tulis menulis, buku-buku dan lain-lain. Fasilitas belajar ini hanya dapat terpenuhi jika mempunyai cukup uang. Jika siswa hidup dalam keluarga yang miskin maka kebutuhan siswa akan kurang terpenuhi akibatnya kesehatan siswa akan terganggu sehingga akan berdampak pada belajar siswa yang juga akan terganggu. Sardiman (1998) mengemukakan sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan sebagai berikut: Pemenuhan kebutuhan siswa di samping bertujuan untuk memberikan materi kegiatan secepat mungkin, juga materi pelajaran yang sudah diselesaikan dengan kebutuhan biasanya menjadi lebih menarik. Dengan demikian maka akan lebih membantu pelaksanaan proses belajar mengajar. Adapun yang menjadi kebutuhan jasmaniah adalah seperti makan, minum, tidur, pakaian, dan lain-lain. Keadaan ekonomi yang memadai dapat diukur dengan tingkat pendapatan orang tua, jumlah keluarga, dan besarnya beban tanggung jawab biaya yang dikeluarkan untuk masa waktu tertentu. Kemampuan orang tua siswa secara positif dapat mendukung kemampuan belajar siswa sebagai peserta didik yang dilihat dan peningkatan prestasi belajar atau minimal mampu berada pada standar nilai prestasi yang cukup membanggakan. 12 2.1.3 Pola Asuh Berdasarkan tata bahasanya, pola asuh terdiri dari kata pola dan asuh. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata pola berarti model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur yang tetap), sedangkan kata asuh mengandung arti menjaga, merawat, mendidik anak agar dapat berdiri sendiri. Orang tua adalah pendidik utama dan pertama sebelum anak memperoleh pendidikan keluargalah anak di pertama sekolah, kalinya karena dari belajar. Jadi keluarga tidak hanya berfungsi sebatas sebagai penerus keturunan saja, tetapi lebih dari itu adalah pembentuk kepribadian anak. Menurut Kohn, pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya. Tarsis Tarmudji menyatakan bahwa pola asuh merupakan interaksi antara orang tua dengan anaknya selama mengadakan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan dengan norma-norma yang ada di masyarakat. 13 Menurut Bjorklund dan Bjorklund, dkk. (1992) dalam Daeng Ayub Natuna (2007: 144) bahwa pola asuh orang tua adalah cara-cara orang tua berinteraksi secara umum dengan anaknya. Dalam hal ini banyak macam klasifikasi yang dapat dilakukan, salah satunya adalah klasifikasi berikut: otoriter, permisif, dan otoritatif. M. Shochib (1998: 14) mengatakan bahwa, pola pertemuan antara orang tua sebagai pendidik dan anak sebagai terdidik dengan maksud bahwa orang tua mengarahkan anaknya sesuai dengan tujuannya, yaitu membantu anak memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri. Orang tua dengan anaknya sebagai pribadi dan sebagai pendidik, dapat menyingkap pola asuh orang tua dalam mengembangkan disiplin diri anak yang tersirat dalam situasi dan kondisi yang bersangkutan. Alex Sobur (1991: 23) mengatakan bahwa sebenarnya anak-anak yang diasuh secara langsung oleh ibu dan ayah adalah anak-anak yang beruntung, karena mereka tidak hanya mengalami satu tetapi beberapa pendekatan yang membuatnya dewasa. Proses pendewasaan ini akan banyak menentukan pembentukan kepribadian anak kelak. Ia akan memiliki cara berpikir dan kehidupan perasaan yang kaya dan seimbang karena terbiasa menghadapi dua macam individu yang berbeda secara dekat dan terus menerus. Pola asuh terhadap anak hendaknya disesuaikan dengan proses berpikir manusia, Piaget (dalam 14 Bell, 1981), manusia berpendapat merupakan bahwa suatu proses berpikir perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual konkrit ke abstrak berurutan melalui empat tahap perkembangan sebagai berikut: 1. Periode sensori motor (0-2) tahun. Karakteristik periode ini merupakan gerakan-gerakan sebagai akibat reaksi langsung dari rangsangan. 2. Periode pra operasional (2-7) tahun. Operasi yang dimaksud di sini adalah suatu proses berpikir atau logik, dan merupakan aktifitas mental, bukan aktifitas sensori motor. 3. Periode operasi kongkret (7-12) tahun. Dalam periode ini anak berpikirnya sudah dikatakan menjadi operasional. Periode ini disebut operasi konkrit sebab berpikir logiknya didasarkan atas manipulasi fisik dari objek-objek. 4. Periode formal (<12) tahun. Periode ini merupakan tahap terakhir dari keempat periode perkembangan intelektual. Periode operasi formal ini disebut juga periode operasi hipotetik-deduktif yang merupakan tahap tertinggi dari perkembangan intelektual. 1. Macam-macam Pola Asuh a. Pola Asuh Permissif Definisi pola asuh permissif menurut beberapa ahli yaitu: Hurlock (2006) mengemukakan bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh permissif memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut: orang tua cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak tanpa ada batasan 15 dan aturan dari orang tua, tidak adanya hadiah ataupun pujian meski anak berperilaku sosial baik, tidak adanya hukuman meski anak melanggar peraturan. Gunarsa (2000) mengemukakan bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh permissif memberikan kekuasaan penuh pada anak, tanpa dituntut kewajiban dan tanggung jawab, kurang kontrol terhadap perilaku anak dan hanya berperan sebagai pemberi fasilitas, serta kurang berkomunikasi dengan anak. Dalam pola asuh ini, perkembangan kepribadian anak menjadi tidak terarah, dan mudah mengalami kesulitan jika harus menghadapi larangan-larangan yang ada di lingkungannya. Prasetya dalam Anisa (2005) menjelaskan bahwa pola asuh permisif atau biasa disebut pola asuh penelantar yaitu dimana orang tua lebih memprioritaskan kepentingannya sendiri, perkembangan kepribadian anak terabaikan, dan orang tua tidak mengetahui apa dan bagaimana kegiatan anak sehari-harinya. Dariyo dalam Anisa (2005) juga menambahkan bahwa pola asuh permissif yang diterapkan orang tua, dapat menjadikan anak kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial yang berlaku. Namun bila anak mampu menggunakan kebebasan secara bertanggung jawab, maka dapat menjadi seorang yang mandiri, kreatif, dan mampu mewujudkan aktualitasnya. 16 b. Pola Asuh Otoriter Definisi pola asuh otoriter menurut beberapa ahli yaitu: Hurlock (2006) mengemukakan bahwa orang tua yang mendidik anak dengan menggunakan pola asuh otoriter memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut: orang tua menerapkan peraturan yang ketat, tidak adanya kesempatan untuk mengemukakan pendapat, anak harus mematuhi segala peraturan yang dibuat oleh orang tua, berorientasi pada hukuman (fisik maupun verbal), dan orang tua jarang memberikan hadiah ataupun pujian. Menurut Gunarsa (2000), pola asuh otoriter yaitu pola asuh di mana orang tua menerapkan aturan dan batasan yang mutlak harus ditaati, tanpa memberi kesempatan pada anak untuk berpendapat, jika anak tidak mematuhi akan diancam dan dihukum. Pola asuh otoriter ini dapat menimbulkan akibat hilangnya kebebasan pada anak, inisiatif dan aktivitasnya menjadi kurang, sehingga anak menjadi tidak percaya diri pada kemampuannya. Senada dengan Hurlock, Dariyo dalam Anisa (2005), menyebutkan bahwa anak yang dididik dalam pola asuh otoriter, cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan yang semu. 17 c. Pola Asuh Demokratis Definisi pola asuh demokratis menurut beberapa ahli yaitu: Hurlock (2006) mengemukakan bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis memperlihatkan ciri-ciri adanya kesempatan anak untuk berpendapat mengapa ia melanggar peraturan sebelum hukuman dijatuhkan, hukuman diberikan kepada perilaku salah, dan memberi pujian ataupun hadiah kepada perilaku yang benar. Gunarsa (2000) mengemukakan bahwa dalam menanamkan disiplin kepada anak, orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis memperlihatkan dan menghargai kebebasan yang tidak mutlak, dengan bimbingan yang penuh pengertian antara anak dan orang tua, memberi penjelasan secara rasional dan objektif jika keinginan dan pendapat anak tidak sesuai. Dalam pola asuh ini, anak tumbuh rasa tanggung jawab, mampu bertindak sesuai dengan norma yang ada. Dariyo dalam Anisa (2005) mengatakan bahwa pola asuh demokratis ini, di samping memiliki sisi positif dari anak, terdapat juga sisi negatifnya, di mana anak cenderung merongrong kewibawaan otoritas orang tua, karena segala sesuatu itu harus dipertimbangkan oleh anak kepada orang tua. Diakui dalam praktiknya di masyarakat, tidak digunakan pola asuh yang tunggal, dalam kenyataan 18 ketiga pola asuh tersebut digunakan secara bersamaan di dalam mendidik, membimbing, dan mengarahkan anaknya, adakalanya orang tua menerapkan pola asuh otoriter, demokratis dan permissif. Dengan demikian, secara tidak langsung tidak ada jenis pola asuh yang murni diterapkan dalam keluarga, tetapi orang tua cenderung menggunakan ketiga pola asuh tersebut. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Dariyo dalam Anisa (2005), bahwa pola asuh yang diterapkan orang tua cenderung mengarah pada pola asuh situasional, di mana orang tua tidak menerapkan salah satu jenis pola asuh tertentu, tetapi memungkinkan orang tua menerapkan pola asuh secara fleksibel, luwes, dan sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu. d. Tipe Penelantar Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anakanaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biaya pun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya. 19 2. Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh a. Faktor Internal Fakor internal, misalnya latar belakang keluarga orang tuanya, usia orang tua dan anak, pendidikan dan wawasan orang tua, jenis kelamin orng tua dan anak, karakter anak dan konsep peranan orang tua dalam keluarga. b. Faktor Eksternal Faktor eksternal, misalnya adalah tradisi yang berlaku dalam lingkungannya, sosial ekonomi dalam lingkungannya, dan semua hal yang berasal dari luar lingkungan keluarga yang dapat mempengaruhi pola asuh keuarganya. 2.1.4 Sikap Pada umumnya rumusan-rumusan mengenai sikap mempunyai persamaan unsur, yaitu adanya kesediaan untuk merespon terhadap suatu situasi. Triandis, 1971 (dalam Slameto, 2010) mendefinisikan sebagai berikut: “An attitude is an idea charget with emotion which predis proses a class of actions to a particular class of social situations.” Slameto (2010) mengatakan, sikap terbentuk melalui bermacam-macam cara, antara lain: 1. melalui pengalaman yang berulang-ulang, atau dapat pula melalui suatu pengalaman yang disertai perasaan yang mendalam (pengalaman traumatik); 20 2. melalui imitasi, peniruan dapat terjadi tanpa disengaja, dapat pula dengan disengaja. Dalam hal terakhir individu harus mempunyai minat dan rasa kagum terhadap mode, di samping itu diperlukan pula pemahaman dan kemampuan untuk mengenal dan mengingat model yang hendak ditiru; peniruan akan terjadi lebih lancar bila dilakukan secara kolektif daripada perorangan; 3. melalui sugesti, di sini seseorang membentuk suatu sikap terhadap objek tanpa suatu alasan dan pemikiran yang jelas, tapi semata-mata karena pengaruh yang datang dari seseorang atau sesuatu yang mempunyai wibawa dalam pandangannya; 4. melalui identifikasi, di sini seseorang meniru orang lain atau organisasi/badan tertentu didasari suatu keterikatan emosional sifatnya; meniru dalam hal ini lebih banyak dalam arti berusaha menyamai; identifikasi ini sering terjadi antara anak dengan ayah, pengikut dengan pemimpin, siswa dengan guru, antara anggota suatu kelompok dengan anggota lainnya dalam kelompok tersebut yang dianggap paling mewakili kelompok yang bersangkutan. Berkowitz tahun 1972 pernah mendaftarkan lebih dari tiga puluh definisi tentang sikap (Azwar, 2004), namun secara garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga kelompok pemikiran, yaitu: 1. Kelompok pertama yang diwakili oleh Louis Thurstone (1928), Rensis Likert (1932), Charles Osgood (1975), mengatakan bahwa “sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan, baik perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun parasaan tidak mendukung dan tidak memihak (unfavorable) terhadap objek sikap tertentu”. 2. Kelompok kedua yang diwakili oleh Chave (1928), Bogardus (1931), La Piere (1934), Mead 21 (1934), dan Girdon Allport (1935), mengatakan bahwa, ”sikap adalah semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respons”; 3. Kelompok ketiga adalah yang mengatakan bahwa, “sikap merupakan konstalasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif”. Termasuk dalam kelompok ini Secord & Backman (1964) mengatakan bahwa, “sikap adalah sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (efeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya”. Para ahli psikologi sosial mutakhir mengklasifikasikan pemikiran terhadap sikap dengan dua pendekatan atau pemandangan (Azwar, 2006). Pertama mengatakan bahwa sikap sebagai kombinasi reaksi afektif, perilaku kognitif terhadap suatu objek. Pemikiran ini terkenal dengan pendekatan skema triadik atau pendekatan tricomponent. Kedua, karena tidak puas terhadap penjelasan dan terdapatnya inkonsistensi antara komponen kognitif, afektif, dan perilaku, maka muncul pemikiran bahwa konsep sikap tersebut hanya terdiri dari satu komponen (single component) yaitu pada aspek afektif saja. 1. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap Slameto (2010) mengatakan, ada banyak hal yang menyebabkan sulitnya mengubah suatu sikap, antara lain: 22 (1) Adanya dukungan dari lingkungan terhadap sikap yang bersangkutan. Manusia selalu ingin mendapatkan respon dan penerimaan dari lingkungan, dan karena itu ia akan berusaha menampilkan sikap-sikap yang dibenarkan oleh lingkungannya. Keadaan semacam ini membuat orang tidak cepat mengubah sikapnya; (2) Adanya peranan tertentu dari suatu sikap dalam kepribadian sesorang (misalnya „egodefensive); (3) Bekerjanya asas selektivitas. Seseorang cenderung tidak mempersepsi data-data baru yang mengandung informasi yang bertentangan dengan pandanganpandangan dan sikap-sikapnya yang telah ada. Kalaupun sampai dipersepsi, biasanya tidak bertahan lama, yang bertahan lama adalah informasi yang sejalan dengan pandangan atau sikapnya yang sudah ada; (4) Bekerjanya prinsip mempertahankan keseimbangan. Bila kepada seseorang disajikan informasi yang dapat membawa suatu perubahan dalam dunia psikologinya, maka informasi itu akan dipersepsi sedemikian rupa, sehingga hanya akan menyebabkan perubahan-perubahan yang se-perlunya saja; (5) Adanya kecenderungan seseorang untuk menghindari kontak dengan data yang bertentangan dengan sikapsikap yang telah ada (misalnya tidak mau menghadiri ceramah mengenai hal yang tidak disetujuinya); (6) Adanya sikap yang tidak kaku pada sementara orang untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya sendiri. Sedangkan Azwar (1995) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah: (1) Pengaruh orang tua. Orang tua sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan anak-anaknya. Sikap orang tua akan dijadikan role model bagi anak-anaknya. Misalnya, orang tuanya pemusik, maka akan cenderung melahirkan anak-anak yang senang musik; (2) Pengaruh kebudayaan. Burrhus Frederic skin, seperti yang dikutip Azwar sangat menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi seseorang. 23 Kepribadian merupakan pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement yang kita alami (Hergenhan dalam Azwar, 1995). Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi individu dalam suatu masyarakat. Kebudayaanlah yang menanamkan garis pengaruh sikap individu terhadap berbagai masalah; (3) Lembaga pendidikan dan lembaga agama. Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai sesuatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap individu terhadap sesuatu hal. Apabila terdapat sesuatu hal yang bersifat kontroversial, pada umumnya orang akan mencari informasi lain untuk memperkuat posisi sikapnya atau mungkin juga orang tersebut tidak mengambil sikap memihak. Dalam hal seperti itu, ajaran moral yang diperoleh dari lembaga pendidikan atau lembaga agama seringkali menjadi determinan tunggal yang menentukan sikap. a. Komponen Sikap Djamarah (2000) berpendapat bahwa sesuatu yang belum diketahui dapat mendorong siswa untuk mencari tahu. Siswa pun mempunyai keyakinan dan 24 pendirian serta mengambil sikap tentang apa yang harus dilakukan. Jadi, sikap siswa dapat dipengaruhi oleh motivasi sehingga ia dapat menentukan sikap dalam belajar. Dari pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa munculnya sikap seorang siswa diiringi oleh minatnya terhadap suatu objek. Kemudian diyakini bahwa objek yang menarik minat siswa tersebut misalnya proses pembelajaran akan terjadi atas dasar motivasi siswa sehingga akan menentukan sikap siswa itu untuk belajar. Menurut Walgito (2004), sikap mengandung tiga komponen, yaitu: kognitif (konseptual), afektif (emosional), konatif (perilaku) atau action component. 1. Komponen kognitif yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana orang mempersepsi objek sikap; 2. Komponen afektif yaitu yang berhubungan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap; 3. Komponen konatif yaitu komponen yang berkaitan dengan kecenderungan untuk berperilaku terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Di antara ketiga komponen sikap tersebut dapat dijelaskan bahwa komponen sikap afektif perlu mendapatkan penekanan secara khusus karena sikap 25 afektif ini merupakan sumber motif yang terdapat di dalam diri siswa. Slameto (2010), mengemukakan beberapa metode yang dipergunakan untuk mengubah sikap, antara lain: 1. Dengan mengubah komponen kognitif dari sikap yang bersangkutan. Caranya dengan memberi informasi-informasi baru mengenai objek sikap, sehingga komponen kognitif menjadi luas. Hal ini akhirnya diharapkan akan merangsang komponen efektif dan komponen tingkah lakunya; 2. Dengan cara mengadakan kontak langsung dengan objek sikap. Dalam cara ini komponen afektif turut pula dirangsang. Cara ini paling sedikit akan merangsang orang-orang yang bersikap anti untuk berpikir lebih jauh tentang objek sikap yang tidak mereka senangi; 3. Dengan memaksa orang menampilkan tingkah laku baru yang tidak konsisten dengan sikapsikap yang sudah ada. Kadang-kadang ini dapat dilakukan melalui kekuatan hukum. Dalam hal ini kita berusaha langsung mengubah komponen tingkah lakunya. Meskipun terdapat banyak faktor yang menyebabkan sikap cenderung bertahan, namun dalam kenyataannya tetap terjadi perubahan-perubahan sikap sebagaimana yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari. b. Peraturan Sekolah Setiap sekolah mempunyai aturan-aturan yang disebut tata tertib. Dalam tata tertib berisi aturan26 aturan yang harus ditaati oleh warga sekolah. Tata tertib bertujuan agar tercipta suasana yang tenang dan nyaman dalam belajar. Aturan sekolah ada yang secara tertulis dan tidak tertulis. Peraturan atau pedoman, pegangan, patokan tingkah laku, sering disebut dengan norma (William Chang, 2003: 83). Norma adalah formulasi warga masyarakat akan nilai-nilai yang dianutnya. Norma-norma itu mempunyai dua macam isi, dan menurut isinya berwujud: perintah dan larangan. Apakah yang dimaksud perintah dan larangan menurut isi norma tersebut? Perintah merupakan kewajiban bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang baik, sedangkan larangan merupakan kewajiban bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang tidak baik. Ada bermacam-macam norma yang berlaku di masyarakat. Macam-macam norma yang telah dikenal luas ada empat, yaitu: 1. Norma Agama Peraturan hidup yang harus diterima manusia sebagai perintah-perintah, larangan–larangan dan ajaran-ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Pelanggaran terhadap norma ini akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Esa berupa “siksa” kelak di akhirat. Contoh norma agama ini di antaranya 27 ialah: (a) “Kamu dilarang membunuh”; (b) “Kamu dilarang mencuri”.; (c) “Kamu harus patuh kepada orang tua”; (d) “Kamu harus beribadah”; dan (e) “Kamu jangan menipu”. 2. Norma Kesusilaan Peraturan hidup yang berasal dari suara hati sanubari manusia. Pelanggaran norma kesusilaan ialah pelanggaran perasaan yang berakibat penyesalan. Norma kesusilaan bersifat umum dan universal, dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Contoh norma ini di antaranya ialah: (a) “Kamu tidak boleh mencuri milik orang lain”; (b) “Kamu harus berlaku jujur”; (c) “Kamu harus berbuat baik terhadap sesama manusia”; (d) “Kamu dilarang membunuh sesama manusia”. 3. Norma Kesopanan Norma yang timbul dan diadakan oleh masyarakat itu sendiri untuk mengatur pergaulan sehingga masing-masing anggota masyarakat saling hormat menghormati. Akibat dari pelanggaran terhadap norma ini ialah dicela sesamanya, karena sumber norma ini adalah keyakinan masyarakat yang bersangkutan. Hakikat norma kesopanan adalah kepantasan, kepatutan, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan sering disebut sopan santun, tata krama atau adat istiadat. Norma kesopanan tidak 28 berlaku bagi seluruh masyarakat dunia, melainkan bersifat khusus dan setempat (regional) dan hanya berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap sopan bagi segolongan masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian. Contoh norma ini di antaranya ialah: (a) “Berilah tempat terlebih dahulu kepada wanita di dalam kereta api, bus dan lain-lain, terutama wanita yang tua, hamil atau membawa bayi”; (b) “Jangan makan sambil berbicara”; (c) “Janganlah meludah di lantai atau di sembarang tempat”; dan (d) “Orang muda harus menghormati orang yang lebih tua”. Kebiasaan merupakan norma yang keberadaannya dalam masyarakat diterima sebagai aturan yang mengikat walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah. Kebiasaan adalah tingkah laku dalam masyarakat yang dilakukan berulang-ulang mengenai sesuatu hal yang sama, yang dianggap sebagai aturan hidup. Kebiasaan dalam masyarakat sering disamakan dengan adat istiadat. Adat istiadat adalah kebiasaan-kebiasaan sosial yang sejak lama ada dalam masyarakat dengan maksud mengatur tata tertib. Ada pula yang menganggap adat istiadat sebagai peraturan sopan santun yang turun temurun. Pada umumnya adat istiadat merupakan tradisi. Adat bersumber pada sesuatu yang suci (sakral) dan berhubungan dengan tradisi rakyat yang telah turun temurun, sedangkan kebiasaan tidak merupakan tradisi rakyat. 29 4. Norma Hukum Peraturan-peraturan yang timbul dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara, isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaanya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara. Sumbernya bisa berupa peraturan perundang–undangan, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, dan agama. Keistimewaan norma hukum terletak pada sifatnya yang memaksa, sanksinya berupa ancaman hukuman. Penataan dan sanksi terhadap pelanggaran peraturanperaturan hukum bersifat heteronom, artinya dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar, yaitu kekuasaan negara. Contoh norma ini di antaranya ialah: (a) “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa/ nyawa orang lain, dihukum karena membunuh dengan hukuman setinggi-tingginya 15 tahun”; (b) “Orang yang ingkar janji suatu perikatan yang telah diadakan, diwajibkan mengganti kerugian”, misalnya jual beli; (c) “Dilarang mengganggu ketertiban umum”. Hukum biasanya dituangkan dalam bentuk peraturan yang tertulis, atau disebut juga perundang– undangan. Perundang–undangan baik yang sifatnya nasional maupun lembaga formal peraturan yang diberi daerah dibuat kewenangan oleh untuk membuatnys. Oleh karena itu, norma hukum sangat mengikat bagi warga Negara. 30 c. Hubungan antar-Norma Kehidupan manusia dalam bermasyarakat selain diatur oleh hukum juga diatur oleh norma-norma agama, kesusilaan, dan kesopanan, serta kaidahkaidah lainnya. Kaidah-kaidah sosial itu mengikat dalam arti dipatuhi oleh anggota masyarakat di mana kaidah itu berlaku. Hubungan antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya itu saling mengisi. Artinya kaidah sosial mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat dalam hal-hal hukum tidak mengaturnya. Selain saling mengisi, juga saling memperkuat. Suatu kaidah hukum, misalnya “kamu tidak boleh membunuh” diperkuat oleh kaidah sosial lainnya. Kaidah agama, kesusilaan, dan adat juga berisi suruhan yang sama. Dengan demikian, tanpa adanya kaidah hukum pun dalam masyarakat sudah ada larangan untuk membunuh sesamanya. Hal yang sama juga berlaku untuk “pencurian”, “penipuan”, dan lain-lain pelanggaran hukum. Hubungan antara norma agama, kesusilaan, kesopanan dan hukum yang tidak dapat dipisahkan itu dibedakan karena masing-masing memiliki sumber yang berlainan. Norma Agama sumbernya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Norma kesusilaan sumbernya suara hati (insan kamil). Norma kesopanan sumbernya keyakinan masyarakat yang bersangkutan dan norma hukum sumbernya peraturan perundang-undangan. 31 Di dalam setiap masyarakat terdapat pola perilaku (pattern of behavior). Pola perilaku merupakan cara-cara masyarakat bertindak atau berkelakuan sama dan harus diikuti oleh semua anggota masyarakat tersebut. Setiap manusia dalam masyarakat selalu mengikuti pola-pola perilaku masyarakat sekitarnya. Selain dipengaruhi oleh tindakan bersama, pola-pola perilaku masyarakat sangat dipengaruhi kebudayaan masyarakatnya. Pola perilaku berbeda dengan kebiasaan. Kebiasaan merupakan cara bertindak seorang anggota masyarakat yang kemudian diakui dan mungkin diikuti oleh orang lain. Pola perilaku dan norma-norma yang dilakukan dan dilaksanakan apabila berhubungan dengan orang lain, disebut social organization. Sedangkan kebiasaan, tidak perlu dilakukan seseorang di dalam hubungannya dengan orang lain. Khususnya dalam mengatur hubungan antar manusia, kebudayaan dinamakan pula struktur normatif atau designs for living yaitu garis-garis atau petunjuk dalam hidup. Artinya, kebudayaan adalah suatu garis-garis pokok tentang perilaku atau blueprint for behavior, yang menetapkan peraturan-peraturan tentang apa yang harus dilakukan, apa yang seharusnya dilakukan, dan apa yang dilarang (Koentjaraningrat: 1990). Unsur-unsur normatif yang merupakan bagian dari kebudayaan adalah sebagai berikut: (1) Unsurunsur yang menyangkut penilaian (valuational elements), misalnya apa yang baik dan buruk, apa 32 yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, apa yang sesuai dengan keinginan dan apa yang tidak sesuai dengan keinginan; (2) Unsur-unsur yang berhubungan dengan apa yang seharusnya (prescriptive elements), misalnya bagaimana orang harus berperilaku; (c) Unsur-unsur yang menyangkut kepercayaan (cognitive elements), misalnya harus mengadakan upacara adat pada saat kelahiran, perkawinan dan sebagainya. Jadi kaidah-kaidah kebudayaan adalah peraturan tentang tingkah laku atau tindakan yang harus dilakukan dalam suatu keadaan tertentu. Berlakunya kaidah dalam suatu kelompok manusia tergantung pada kekuatan kaidah tersebut sebagai petunjuk tentang bagaimana seseorang harus berperilaku. Artinya sampai seberapa jauh kaidah-kaidah tersebut diterima oleh anggota kelompok, sebagai petunjuk perilaku yang pantas. 2.2 Rumusan Hipotesis Hasil penelitian studi eksplorasi faktor-faktor pembetukan siswa adalah: Penelitian yang dilakukan oleh Kristiadi (2000) yang meneliti 52 responden dengan menggunakan skala sikap yang memiliki koefisien reliabilitas Alpha () sebesar 0,79 diperoleh koefisien korelasi sebesar -0,521. Artinya bahwa tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua siswa memberikan sumbangan tinggi 33 kategori sikap yang bersifat negatif. Sumbangan tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua terhadap sikap siswa sebesar 27%. Penelitian yang dilakukan Yuniati (2003) yang meneliti 59 responden dengan menggunakan skala sikap yang memiliki koefisien reliabilitas Alpha () sebesar 0,94 diperoleh koefisien korelasi sebesar -0,96. Dari penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua siswa berbalikan terhadap sikap siswa. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua semakin tinggi kategori sikap siswa yang bersifat negatif. Sumbangan tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua terhadap sikap siswa sebesar 92%. Penelitian yang dilakukan Sasongkowati (2000) yang meneliti 122 responden dengan menggunakan skala sikap yang memiliki koefisien reliabilitas Alpha () sebesar 0.95 diperoleh koefisien korelasi sebesar -0,78. Artinya bahwa tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua siswa memberikan sumbangan berbalikan terhadap sikap siswa. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua semakin tinggi kategori sikap siswa yang bersifat negatif. Sumbangan tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua terhadap sikap siswa sebesar 60%. 34 2.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang dan teori-teori yang ada, hipotesis yang akan diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Ada hubungan signifikan antara tingkat sosial ekonomi orang tua dengan sikap siswa terhadap peraturan sekolah; 2. Ada hubungan signifikan antara pola asuh keluarga dengan sikap siswa terhadap peraturan sekolah. 2.4 Model Tingkat social ekonomi Orang tua (X1) Sikap Siswa (Y) Pola Asuh (X1) Keterangan bagan: X1 = simbol untuk variabel tingkat sosial ekonomi orang tua X2 = simbol untuk variabel pola asuh Y = simbol untuk variabel sikap siswa 35