BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum
(Rechtstaat) dan bukan negara atas kekuasaan (Machtsstaat), maka kedudukan
hukum harus ditempatkan di atas segala-galanya. Setiap perbuatan harus sesuai
dengan aturan hukum tanpa kecuali.1
Pembangunan dalam bidang hukum khususnya pembangunan hukum pidana,
tidak hanya mencakup pembangunan yang bersifat struktural, yakni pembangunan
lembaga-lembaga hukum yang bergerak dalam suatu meknisme, tetapi harus juga
mencakup pembangunan substansial berupa produk-produk yang merupakan hasil
suatu sistem hukum dalam bentuk peraturan hukum pidana, dan yang bersifat
kultural, yakni sikap-sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi berlakunya sistem
hukum.
Upaya pembangunan dan pembaharuan hukum harus dilakukan secara terarah
dan terpadu. Kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum dan penyusunan
perundang-undangan baru sangat dibutuhkan. Instrumen hukum dalam bentuk
1
Jimly, Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Halaman : 69.
2
perundang-undangan ini sangat diperlukan untuk mendukung penegakkan hukum
pidana dalam mencegah dan menanggulangi perjudian sebagai perilaku yang
menyimpang harus terus dilakukan. Hal ini sangat beralasan karena perjudian
merupakan ancaman yang nyata terhadap norma-norma sosial yang dapat
menimbulkan
ketegangan
individual
maupun
ketegangan-ketegangan
sosial.
Perjudian merupakan ancaman riil bagi berlangsungnya ketertiban sosial, dengan
demikian perjudian dapat menghambat pembangunan nasional. Hal tersebut karena
perjudian mendidik orang untuk mencari nafkah dengan tidak sewajarnya dan
membentuk watak “pemalas”. Sedangakan pembangunan membutuhkan individu
yang giat bekerja keras dan bermental kuat. Sangat beralasan jika perjudian harus
dicarikan cara dan solusi yang rasional untuk suatu pemecahannya. Karena sudah
jelas perjudian merupakan problema sosial yang dapat mengganggu fungsi sosial dari
masyarakat. Salah satu usaha rasional dalam mencegah dan menanggulangi perjudian
adalah dengan pendekatan kebijakan hukum pidana.
Pada saat ini kita dapat melihat dalam berbagai media cetak maupun media
elektronik, banyak terjadi kasus perjudian. Perjudian pada dasarnya terdiri atas
perjudian legal dan tindak pidana perjudian (selanjutnya disebut perjudian). Perjudian
dibagi menjadi dua jenis yaitu perjudian online dan perjudian manual. Macam-macam
judi manual antara lain yaitu sabung ayam, gaple, togel, judi hewan, dan sebagainya.
Hal ini merupakan permasalahan yang sangat serius. Perjudian dalam penertibannya
membuat resah masyarakat. Rasa aman yang merupakan hak setiap orang mulai
3
terganggu, sehingga dapat mengganggu kestabilan masyarakat itu sendiri. Mengingat
pentingnya hal itu maka perjudian masyarakat ini tidak dapat kita pandang sebelah
mata dan harus ditanggulangi secara serius.
Peranan kepolisian sangatlah penting dalam mencegah dan memanggulangi
perjudian. Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia menyebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam mencegah dan menanggulangi perjudian harus dibutuhkan kerjasama antara
kepolisian dengan masyarakat. Hal ini diperlukan karena mencegah dan
menanggulangi perjudian bukanlah hal yang mudah apabila seluruhnya dibebankan
kepada pihak kepolisian. Tugas kepolisian melindungi masyarakat namun dalam
kenyataannya banyak akses-akses yang timbul dalam perjudian antara lain kejahatan,
pencurian, pembunuhan, penganiayaan dan lain-lain.
Perjudian merupakan gejala sosial yang berkembang dalam masyarakat dan
hasil konstruksi sosial budaya. Perjudian manual misalnya togel, sabung ayam, dan
lain-lain. Perjudian sudah membudaya dikalangan masyarakat sehingga sulit untuk
mencari jalan keluarnya dari permasalahan ini.
4
Penyebab timbulnya perjudian karena memang gejala-gejala seperti itu secara
patologis (ilmu tentang penyakit sosial atau penyakit masyarakat) disebutkan bahwa
apabila dibiarkan maka akan mempengaruhi kehidupan masyarakat dan masyarakat
itu sendiri tidak akan menjalankan fungsi-fungsi dalam kemasyarakatan. Apabila
gejala-gejala tersebut dibiarkan maka akan menjurus ke pelanggaran hukum.
Penggunaan hukum pidana ini sesuai dengan fungsi hukum sebagai social
control atau pengendalian sosial yaitu suatu proses yang telah direncanakan lebih
dahulu dan berencana untuk menganjurkan, mengajak, menyuruh atau bahkan aparat
hukum yang terkait harus mengambil tindakan tegas agar masyarakat menjauhi dan
akhirnya berhenti melakukan perjudian.2
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas maka dalam mencegah dan
menanggulangi perjudian diperlukan adanya kebijakan hukum pidana ( penal policy).
Kebijakan tersebut harus dikonsentrasikan pada dua arah, yang pertama mengarah
pada kebijakan aplikatif yaitu kebijakan untuk bagaimana mengoperasionalisasikan
peraturan perundang-undangan hukum pidana yang berlaku pada saat ini dalam
rangka menangani masalah tindak pidana perjudian. Sedangkan yang kedua adalah
kebijakan formulatif atau kebijakan yang mengarah pada pembaharuan hukum pidana
(penal law reform) yaitu kebijakan untuk bagaimana merumuskan peraturan pada
undang-undang hukum pidana (berkaitan pula dengan konsep KUHP Baru) yang
2
Media Hukum.Hukum online.com. diunduh tanggal 20 Oktober 2012.
5
tepatnya dalam rangka mencegah dan menanggulangi perjudian pada masa
mendatang.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas maka
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian
di wilayah POLRES Banyumas?
2. Faktor-faktor apa yang menghambat dan mendorong dalam mencegah dan
menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui bagaimana peranan kepolisian dalam mencegah dan
menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas.
b.
Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menghambat dan mendorong dalam
mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas.
6
2. Kegunaan penelitian
a. Kegunaan teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
pengembangan pustaka hukum yang berkaitan dengan Hukum Pidana
terutama yang berkaitan dengan masalah mencegah dan menanggulangi
perjudian.
b. Kegunaan praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan
informasi kepada masyarakat dan kepolisian tentang peranan kepolisian
dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES
Banyumas. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi suatu sumbangan
pemikiran untuk masyarakat terutama yang berkaitan dengan masalah
mencegah dan menanggulangi perjudian.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Peranan Kepolisian Republik Indonesia
1. Pengertian peranan
Menurut W. J. S. Poerwodarminto, peran adalah perangkat tingkah
laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat.
Peranan adalah bagian yang dimiliki seseorang, ia berusaha menjalankan
dengan baik semua hal yang dibebankan oleh seseorang dalam suatu
peristiwa,3 dan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, peranan yaitu bagian
dari tugas utama yang harus dilaksanakan.4
Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status).
Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya maka telah menjalankan suatu peranan. Setiap orang
mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan
hidupnya dan hal itu sekaligus berarti bahwa peranan tersebut menentukan
3
W. J. S. Poerwodarminto, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
Halaman : 473.
4
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, Halaman : 66.
8
apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa
yang diberikan oleh masyarakat kepadanya.5
Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi , penyesuaian diri dan
sebagai suatu proses. Peranan lebih tepatnya
adalah bahwa seseorang
menduduki suatu posisi atau tempat dalam masyarakat, serta dalam
menjalankan suatu peranan. Suatu peranan mencakup paling sedikit 3 hal,
yaitu:6
a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan
rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam
kehidupan kemasyarakatan.
b. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh
individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai prilaku individu yang penting
bagi struktur sosial masyarakat.
Pembahasan perihal aneka macam peranan yang melekat pada
individu-individu dalam masyarakat penting hal-hal sebagai berikut:
a. Peranan-peranan tertentu harus dilaksanakan apabila struktur
masyarakat hendak dipertahankan kelangsungannya.
b. Peranan tersebut seyogyanya dilekatkan pada individu-individu
yang oleh masyarakat dianggap mampu melaksanakannya. Mereka
5
Soerjono Soekanto, 1982, Suatu Pengantar Sosiologi, Radar Jaya Offset , Jakarta,
Halaman: 237.
6
Ibid. Halaman: 238-239.
9
harus terlebih dulu terlatih dan mempunyai hasrat untuk
melaksanakannya.
c. Dalam masyarakat kadangkala dijumpai individu-individu yang
tak mampu melaksanakan perannya sebagaimana diharapkan oleh
masyarakat.
Karena
mungkin
pelaksanaannya
memerlukan
pengorbanan arti kepentingan-kepentingan pribadi yang terlalu
banyak.
d. Apabila semua orang sanggup dan mampu melaksanakan
peranannya, belum tentu masyarakat akan dapat memberikan
peluang-peluang yang seimbang. Bahkan seringkali terlihat betapa
masyarakat terpaksa membatasi peluang-peluang tersebut.
Peranan “role” merupakan aspek dinamis kedudukan atau status.
Apabila melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya
makan dia menjalankan suatu peranannya. Pentingnya peranan adalah karena
ia mengatur perilaku seseorang. Peranan yang melekat pada diri seseorang
harus dibedakan dengan posisi pergaulan dengan kemasyarakatan. Posisi
seseorang dalam masyarakat yaitu “Social Position” merupakan unsur statis
yang menunjukan tempat individu pada organisasi masyarakat.7
7
Ibid. Halaman: 242.
10
Menzies mengemukakan ada tiga langkah untuk analisis suatu hal
dengan berlandaskan peran, yaitu:8
1. Mengindikasikan berbagai harapan yang sangat penting berkaitan
dengan topik yang hendak dikaji;
2. Memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat disosialisasikan
kesengajaan dalam harapan-harapan tersebut dan bagaimana mereka
membangun adalah self conception.
3. Mendiskusikan tindakan yang muncul dari harapan tersebut dengan
asumsi situasi yang melingkupi secara internal tidak berubah.
Di Indonesia terdapat kecenderungan untuk lebih mementingkan
kedudukan daripada peranan. Gejala tersebut terutama disebabkan adanya
kecenderungan kuat untuk lebih mementingkan nilai materialisme daripada
spiritualisme. Nilai materialisme di dalam kebanyakan hal diukur dengan
adanya atribut-atribut atau ciri-ciri tertentu yang bersifat lahiriah dan di dalam
kebanyakan hal bersifat komsumtif.9
Dipandang dari sudut sosiologis, peranan (role) akan senantiasa
berkaitan dengan kedudukan atau status, dengan demikian memahami peranan
kepolisian tidak terlepas dari kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan
yang dianut. Pada negara Demokrasi, fungsi kepolisian dapat dikelompokkan
ke dalam tiga fungsi yang menuntut watak dan cara kerja yang berbeda satu
sama lain, yakni fungsi memerangi kejahatan (fighting crime), fungsi
melindungi warga (protecting people), dan fungsi memelihara ketertiban
8
Menzeis, dalam Skripsi Sarjana oleh Novia, 2007, Pemberdayaan Masyarakat Desa,
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Purwokerto, Halaman : 7-8.
9
Soerjono Soekanto, Op. Cit, Halaman : 146.
11
umum (preservation law and other). Fungsi-fungsi kepolisian demikian itu
kemudian melahirkan empat peranan yang harus diemban, yakni peran
sebagai badan penegak hukum (law enforcement agency), peran sebagai
pemelihara ketertiban (law and other maintenance), peran sebagai juru damai
(peace keeping official), dan peran sebagai pelayanan publik (public servant).
Peranan tersebut diharapkan bermuara kepada output melindungi (to protect),
dan melayani (to serve) warga, sehingga polisi dapat menjadi penjaga nilainilai sipil dalam iklim kehidupan demokrasi. 10
2. Pengertian peranan Kepolisian Republik Indonesia
Secara universal peran polisi dalam masyarakat dirumuskan sebagai
penegak hukum atau “Law Enforcement Officer” dan pemeliharaan ketertiban
atau “Order Maintanance”. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya
peranan sebagai pembasmi kejahatan atau “Crime Fighter”. Sebagai polisi
mandiri dalam tugasnnya harus bersikap professional dan bertindak sesuai
dengan undang-undang yang berlaku, yang selalu mengedepankan tindakan
preventif.11
Marc Ancel menyatakan bahwa “modern criminal science” terdiri
dari tiga komponen yaitu “criminology”, “criminal law”, dan “penal policy”.
10
M. Karjati, 1976, Polisi (Status, Tugas, Kewajiban, dan Wewenang), Politea, Bogor,
Halaman : 23.
11
Sadjijono, 2008, Seri Hukum Kepolisian POLRI dan Good Governance, Laksbang
Mediatama, Halaman : 154.
12
Dikemukakan oleh Marc Ancel, bahwa penal policy adalah suatu ilmu
sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan
untuk memberi pedoman tidak hanya karena pembuat undang-undang, tetapi
juga karena pengadilan yang menetapkan undang-undang dan juga kepada
para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.12
Dilihat sebagai bagian dari politik hukum, dengan demikian maka
politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau
membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.
Dengan demikian terlihat pula dalam definisi ”penal policy” dari Marc Ancel
yang telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya yang secara singkat dapat
dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”.
Dengan demikian yang dimaksud dengan “peraturan hukum positif” (the
positive rules) dalam definisi Marc Ancel itu jelas adalah peraturan
perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian istilah “penal policy”
adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana. 13
Pada Pasal 1 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dijelaskan peran serta
12
Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, Halaman : 23-24.
13
Ibid. Halaman : 27-28.
13
wewenang kepolisian. Peranan kepolisian di masyarakat adalah sebagai mitra
yang saling membutuhkan, polisi atau petugas kepolisian di Indonesia
mempunyai fungsi dan struktur kehidupan masyarakat sebagai pengayom
masyarakat dan penegak hukum, yaitu mempunyai tanggung jawab khusus
untuk memelihara ketertiban masyarakat dan menangani kejahatan, baik
dalam bentuk tindakan terhadap pelaku kejahatan maupun dalam bentuk
upaya mencegah dan menanggulangi kejahatan agar masyarakat dapat hidup
dan bekerja dalam keadaan aman dan tentram.
Peranan kepolisian dalam menegakkan hukum dan melindungi
masyarakat dari berbagai gangguan rasa tidak aman yang bersal dari tindak
pidana kejahatan dalam kenyataannya tidak dapat dipungkiri. Pada dasarnya
hubungan kepolisian dengan masyarakat terbagi dalam 3 (tiga) kategori,
yaitu:14
a. Posisi seimbang atau setara, dimana polisi dan masyarakat menjadi
mitra yang saling bekerja sama dalam rangka menyelesaikan
berbagai masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
b. Posisi kepolisian yang dianggap masyarakat sebagai mitranya,
sehingga beberapaa kebutuhan rasa aman harus dipahami dan
dipenuhi.
c. Posisi kepolisian sebagai pelindung dan pengayom masyarakat,
sekaligus sebagai aparat penegak hukum yang dapat dipercaya.
14
http://jawara-agotax.blogspot.com/2011/04/peranan-kepolisian.html di unduh tanggal 30
Oktober 2012.
14
3. Fungsi dan tugas pokok Kepolisian Republik Indonesia
Fungsi merupakan suatu kegiatan atau aktifitas yang berkaitan dengan
tugas pokok yang wajib dilaksanakan. Tugas pokok yang dilaksanakan
tersebut untuk mencapai tujuan dari organisasi dimaksud. Maka fungsi
kepolisian berkaitan erat dengan tugas dan wewenang lembaga lembaga
kepolisian yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan dari bentuknya
organisasi tersebut. Sebab tujuan di bentuknya lembaga kepolisian adalah
untuk menciptakan kondisi aman, tentram dan tertib dalam masyarakat. Di
dalam menyelenggarakan tugas dan wewenang tersebut dicapai melalui tugas
preventif dan tugas represif.
Menurut Bisri Ilham, dalam menjalankan fungsi sebagai aparat
penegak hukum polisi wajib memahami asas-asas hukum yang digunakan
sebagai bahan pertimbangan
dalam pelaksanaan tugas, yaitu sebagai
berikut:15
1. Asas Legalitas, dalam melaksanakan tugasnya sebagai penegak
hukum wajib tunduk pada hukum.
2. Asas Kewajiban, merupakan kewajiban polisi dalam menangani
permasalahan dalam masyarakat yang bersifat diskresi, karena
belum diatur dalam hukum.
3. Asas Partisipasi, dalam rangka mengamankan lingkungan
masyarakat, polisi mengkoordinasikan pengamanan swakarsa
untuk mewujudkan ketaatan hukum di kalangan masyarakat.
4. Asas Preventif, selalu mengedepankan tindakan pencegahan
daripada penindakan (represif) kepada masyarakat.
15
Bisri Ilham, 2004, Sistem Hukum Indonesia, Grafindo Persada, Jakarta, Halaman : 32.
15
5. Asas Subsidaritas, melakukan tugas instansi lain agar tidak
menimbulkan permasalahan yang lebih besar sebelum ditangani
oleh instansi yang membidangi.
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, polisi masih mempunyai fungsi yang lain yaitu:
1. Fungsi Kepolisian dalam Pembangunan Bidang Politik dan Bidang
Hukum.
Fungsi kepolisian bersangkut paut dengan hak dan kewajiban
warga negara secara langsung, kesadaran politik masyarakat, termasuk
didalamnya kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara akan
memberikan corak persepsi masyarakat terhadap peranan fungsi
kepolisian termasuk dalam perlindungan hak-haknya dalam hubungan
dengan kewajiban-kewajibannya. Sementara itu, berkaitan dengan
fungsional antar pengemban fungsi kepolisian menurut kualitas sikap
profesionalisme aparatur negara yang setara sehingga pembangunan
dan pembinaan pun harus dalam satu perencanaan yang terpadu,
khususnya aparatur penegak hukum yang termasuk dalam Criminal
Justice System.
2. Fungsi Kepolisian dan Pembangunan Bidang Pertahanan Keamanan.
Tataran fungsi kepolisian tidak hanya mencakup tugas represif
saja tetapi kewajiban umumnya menjangkau tataran bidang tugas
16
preventif bimbingan masyarakat, dan preventif dalam rangka
mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Untuk melaksanakan tugas dalam membina keamanan dan ketertiban
masyarakat, polisi berkewajiban dengan segala usaha, ketekunan dan
kecermatan. Kewajiban polisi pada hakekatnya dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu:16
a. Kewajiban Preventif (Pencegahan) yaitu melaksanakan segala usaha,
pekerjaan dan kegiatan dalam penyelenggaraan, melindungi negara
dan badan hukum, kesejahteraan, kesentausaan, kemanan, dan
ketertiban umum. Orang-orang dan harta bendanya terhadap serangan
dan budaya dengan jalan mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang
walaupun tidak dilakukan dengan pidana, akan tetapi mengakibatkan
terganggunya keamanan dan ketertiban umum.
b. Kewajiban Represif (memberantas) yaitu kewajiban melakukan segala
usaha, pekerjaan dan kegiatan untuk membantu tugas kehakiman guna
memberantas perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana dan telah
dilakukan secara penyidikan, penangkapan, dan penahanan yang
berbuat salah, memeriksa, menggeledah, dan membuat berita acara
pemeriksaan pendahuluan serta mengajukan kepeda jaksa untuk
dituntut pidana di muka hakim yang berwajib.
Berdasarkan hal tersebut, maka fungsi utama kepolisian adalah untuk
menghentikan sesuatu yang seharusnya tidak boleh terjadi dan mendorong
seseorang agar berbuat lebih baik. Namun menurut Sadjijono secara umum
fungsi kepolisian adalah untuk menegakkan hukum, memelihara keamanan
16
M. Karjati, Op. Cit, Halaman: 15.
17
dan ketertiban masyarakat, mendeteksi, dan mencegah terjadinya kejahatan
dan memerangi kejahatan dalam arti:17
a. Menegakkan hukum dan bersamaan dengan itu menegakkan
keadilan sesuai dengan hukum yang berlaku;
b. Memerangi kejahatan yang mengganggu dan merugikan
masyarakat, warga masyarakat dan negara;
c. Mengayomi dan melindungi masyarakat, warga masyarakat dan
negara dari ancaman dan tindak kejahatan yang mengganggu dan
merugikan;
d. Memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Berkaitan dengan fungsi kepolisian, dalam Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
menyebutkan, bahwa:
(1) Pengemban fungsi kepolisian adalah kepolisian negara Republik
Indonesia yang dibantu oleh:
a. Kepolisian khusus,
b. Penyidik pegawai negeri sipil, dan/atau,
c. Bentuk-bentuk pengamanan swakarasa.
(2) Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a, b, dan c, melaksanakan fungsi kepolisian sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia memuat pokok pikiran tentang subyek yang
menyelenggarakan fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia dengan istilah pengemban fungsi kepolisian. Pengemban fungsi
kepolisian ditemukan melalui penguraian dimensi fungsi kepolisian yang
17
Sadjijono, Op. Cit, Halaman : 197.
18
terdiri dari dimensi yuridis dan sosiologis. Dalam dimensi yuridis fungsi
kepolisian yang terdiri atas fungsi kepolisian umum dan fungsi kepolisian
khusus.
Menurut Pudi Rahardi fungsi kepolisian umum berkaitan dengan
kewenangan
kepolisian
berdasarkan
undang-undang
atau
peraturan
perundang-undangan yang meliputi semua lingkungan kuasa hukum, yaitu: 18
a. Lingkungan kuasa soal-soal yang termasuk dalam kompetensi
hukum publik;
b. Lingkungan kuasa orang;
c. Lingkungan kuasa tempat;
d. Lingkungan kuasa waktu.
Dalam hal ini, pengemban fungsi kepolisian umum, sesuai dengan undangundang ini adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, sehingga tugas dan
wewenangnya dengan sendirinya akan mencakup keempat lingkungan kuasa
tersebut. Selain dilihat dari tataran fungsi kepolisian, kewenangan Kepolisian
Negara Republik Indonesia juga mencakup tataran represif, preventif, dan preemtif.
4. Tugas dan wewenang Kepolisian Republik Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa tugas dan
wewenang kepolisisan diatur di dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 19. Pasal
18
Pudi Rahardi, 2007, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri), Laksbang
Mediatama, Surabaya, Halaman : 57-58.
19
13 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian
Negara Republik Indonesia adalah:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan
bahwa wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;
b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang
dapat menggangu ketertiban umum;
c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan
administrasi kepolisisan;
f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan;
g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret
seseorang;
i. Mencari keterangan dan barang bukti;
j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan
dalam rangka pelayanan masyarakat;
l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan
putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan
masyarakat.
m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
5. Politik Kriminal (Criminal Policy)
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan
kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan
20
dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara
bertindak (pemerintah, organisasi) dan penyataan cita-cita tujuan, prinsip atau
maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai
sasaran dan haluan.19
Sudarto dalam Barda Nawawi Arief mengemukakan tiga arti
mengenai kebijakan kriminal, yaitu:20
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode menjadi
dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak
hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan
polisi.
c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen),
ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundangundangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk
menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Barda Nawawi Arief, menerangkan bahwa kebijakan atau upaya
penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari
upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai
kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan,
bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Maka
dapat dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga bagian integral
dari politik sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan
19
Tim Penyusun Departemen Pendidikan, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bina
Aksara, Jakarta, Halaman : 569.
20
Barda Nawawi Arief, Op. Cit, Halaman : 2-3.
21
sosial. Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan
kebijakan, dalam arti:21
a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik
sosial.
b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan
kejahatan dengan upaya penal dan non-penal.
Penegasan perlunya upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan
diintergrasikan dengan keseluruhan kebijakan sosial dan perencanaan
pembangunan (nasional), terungkap dalam pernyataan Sudarto, bahwa
apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi-segi
negatif dari perkembangan masyarakat atau modernisasi (antara lain
pencegahan dan penanggulangan kejahatan), maka hendaknya dilihat dari
hubungan keseluruhan politik criminal atau social defense planning, dan harus
merupakan bagian integral dari rencana pembangunan.22
Menurut Hamdan, politik kebijakan hukum pidana merupakan bagian
dari kebijakan pengakan hukum (law enforcement policy). Hal ini tentunya
dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang
terdiri dari sistem kepolisian, subsistem kejaksaan, subsistem pengadilan dan
subsistem lembaga pemasyarakatan. Dalam hal penanggulangan kejahatan
(politik kriminal) digunakan pula dua kebijakan, yaitu: 23
21
Ibid. Halaman : 5.
Ibid. Halaman : 6.
23
Hamdan, 1996, Politik Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Halaman : 24.
22
22
a. Penal, yaitu dengan menggunakan sanksi pidana (jadi termasuk
bidang politik hukum pidana)
b. Non-Penal, yaitu termasuk didalamnya dengan menggunakan
sanksi administratif, sanksi perdata, dll.
B. Perjudian
1. Pengertian dan istilah tindak pidana
Tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang
hukum lainnya, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata
usaha pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan
suatu hukuman pidana.24
Tentang penggolongan tindak-tindak pidana harus dimulai dengan
mencari persamaan sifat semua tindak pidana. Dari persamaan sifat ini
kemudian dapat dicari ukuran-ukuran atau kriteria untuk membedakan suatu
golongan tindak pidana dari golongan lain dan dari setiap golongan ini
mungkin bisa dipecah lagi ke dalam dua atau lebih subgolongan.
Sifat-sifat yang ada dalam setiap tindak pidana adalah sifat melanggar
hukum ( wederrechtelijkheid, onrechtmatigheid). Tidak ada suatu tindak
pidana tanpa sifat melanggar hukum.
24
Wirjono, Prodjodikoro, 2003, Tindak-Tindak PIdana Tertentu Di Indonesia, PT. Refika
Aditama, Bandung, Halaman: 1.
23
2. Pengertian tindak pidana perjudian
Tindak pidana perjudian adalah permainan dimana pemain bertaruh
untuk memilih satu pilihan di antara beberapa pilihan dimana hanya satu
pilihan saja yang benar dan menjadi pemenang. Pemain yang kalah taruhan
akan memberikan taruhannya kepada si pemenang. Peraturan dan jumlah
taruhan
ditentukan
sebelum
pertandingan
dimulai.
Judi
pemenuhan
prestasinya digantungkan terjadinya suatu peristiwa atau masing-masing
pihak mempunyai kepentingan yang berbeda. Macam- macam perjudian
manual antara lain togel, gaple, sabung ayam, judi hewan dan sebagainya.
Tindak pidana perjudian unsur pokoknya yaitu adanya permainan dan
taruhan. Masalah undian juga termasuk perjudian, ada undian yang legal dan
ada undian yang illegal. Undian yang legal berdasarkan UU Nomor 22 Tahun
1954 bahwa tiap-tiap penyelenggara undian harus mendapat ijin dari menteri
sosial yang pelaksanaannya diserahkan pada daerah. Setiap 2 tahun sekali ijin
tersebut harus ditinjau kembali apakah masih sesuai dengan kondisi
masyarakat di daerahnya atau tidak. Undian yang illegal yang tidak sesuai
dengan aturan yang berlaku.
Pada tanggal 8 Januari Tahun 1975 yang menyatakan bahwa menurut
Putusan Mahkamah Agung No. 130/ K/ KR/ 1972 tentang Lotre Buntut
merupakan tindak pidana perjudian yang memenuhi syarat Pasal 303 bis
24
KUHP. Sekarang lotre buntut disebut sebagai judi online. Setelah adanya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, judi online tidak termasuk dalam Pasal 303 ayat (3) KUHP lagi
karena dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sudah diatur ketentuan
pidana judi online yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2).
Tindak pidana merupakan suatu hal yang sangat penting dan mendasar
dalam hukum pidana. Moeljatno lebih sering menggunakan kata perbuatan
daripada tindakan. Menurut beliau” perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar aturan tersebut”. 25
Unsur atau elemen perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
Kelakuan dan akibat (=perbuatan).
Hal ikhwal atau perbuatan yang menyertai perbuatan.
Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
Unsur melawan hukum yang obyektif.
Unsur melawan hukum yang subyektif.
Lebih lanjut dalam penjelasan mengenai perbuatan pidana terdapat
syarat formil dan syarat materiil. Syarat formil dalam perbuatan pidana adalah
adanya asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 KUHP, sedangkan syarat
materiil adalah perbuatan tersebut harus benar-benar dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut karena
25
Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Halaman: 63.
25
bertentangan denganatau menghambat akan terciptanya tata dalam pergaulan
masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat.
Peran hukum terasa sekali dalam mewarnai tata kehidupan
bermasyarakat. Dengan wibawa dan daya guna itu semakin berperan serta
dalam upaya menstrukturisasi kehidupan sosial, sehingga struktur kehidupan
sosial masyarakat dapat diubah dan dikembangakan ke arah kehidupan
bersama yang lebih maju, lebih menjamin kesejahteraan dan kemakmuran
bersama yang berkeadilan yang menjadi tujuan hidup bersama dalam
masyarakat.
Selain daripada itu hukum berperan signifikan dalam mendorong
proses pembangunan suatu masyarakat sebagai rekayasa sosial dan hukumpun
mengendalikan baik para pelaksana penegak hukum maupun mereka yang
harus mematuhi hukum, yang mana kesemuanya berada dalam proses
pengendalian sosial agar gerak kerja hukum menjadi sesuai dengan
hakekatnya sebagai sarana ketertiban, keadilan dan pengamanan serta
menunjang pembangunan.
Hukum lahir dalam pergaulan masyarakat dan tumbuh berkembang di
tengah masyarakat, sehingga hukum mempunyai peran penting di dalam
mengatur hubungan antar individu maupun hubungan antar kelompok.
26
Hukum berusaha menjamin keadilan di dalam pergaulan hidup manusia,
sehingga tercipta ketertiban dan keadilan.
Berkaitan dengan masalah judi ataupun perjudian yang sudah semakin
merajalela dan merasuk sampai ke tingkat masyarakat yang paling bawah
sudah selayaknya apabila permasalahan ini bukan lagi dianggap masalah
sepele. Masalah judi maupun perjudian lebih tepat disebut kejahatan dan
merupakan tindakan kriminal yang menjadi kewajiban semua pihak untuk ikut
serta mencegah dan menanggulangi perjudian sampai tingkat yang paling
tinggi.
Judi atau perjudian dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1974 tentang Penertiban Perjudian disebut “Sebagai tindak pidana perjudian
dan identik dengan kejahatan, tetapi pengertian dari tidak pidana perjudian
pada dasarnya tidak disebutkan secara jelas dan terinci baik dalam KUHP
maupun dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban
Perjudian jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974”.26 Dalam penjelasan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1974 disebutkan adanya pengklasifikasian terhadap segala
macam bentuk tindak pidana perjudian sebagai kejahatan, dan memberatkan
26
Wantjik, Saleh, 1976, Perlengkapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ghalia
Indonesia, Jakarta, Halaman: 69.
27
ancaman hukumnya. Ancaman hukuman yang berlaku sekarang ternyata
sudah tidak sesuai lagi dan tidak membuat pelakunya jera.
3. Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perjudian
Tindak pidana perjudian yang terjadi di masyarakat karena adanya
faktor-faktor yang mendukung, beberapa faktor-faktot penyebab terjadinya
tindak pidana perjudian, yaitu:27
a. Faktor sosial ekonomi
Bagi masyarakat dengan status sosial dan ekonomi yang
rendah, perjudian seringkali dianggap sebagai sarana untuk
meningkatkan taraf hidup mereka. Dengan modal yang sangat
kecil mereka akan mendapatkan keuntungan yang besar atau
menjadi kaya dalam sekejap tanpa usaha yang besar. Kondisi
sosial masyarakat yang menerima perjudian juga berperan besar
terhadap tumbuhnya perilaku dalam komunitas.
b. Faktor situasional
Situasi yang bisa dikategorikan sebagai pemicu perjudian
diantaranya adalah tekanan dari teman-teman atau kelompok atau
lingkungan untuk berpartisipasi dalam perjudian dan metodemetode pemasaran yang dilakukan oleh pengelola perjudian.
Tekanan kelompok membuat calon penjudi merasa tidak enak,
jika tidak menuruti apa yang diinginkan oleh kelompoknya.
c. Faktor belajar
Sangatlah masuk akal jika faktor belajar memiliki efek
yang besar terhadap pelaku perjudian, terutama menyangkut
keinginan untuk terus berjudi. Yang memang pada awalnya hanya
mencoba, akan tetapi karena penasaran dan berkeyakinan bahwa
kemenangan akan terjadi kepada siapapun, termasuk dirinya,
sehingga membuatnya melakukan perjudian berulang kali.
27
http://cesar-note.blogspot.com/2012/04/faktor-faktor-terjadinya perjudian.html di unduh
tanggal 2 November 2012
28
d. Faktor persepsi tentang probabilitas kemenangan
Persepsi pelaku yang dalam membuat suatu evaluasi
terhadap peluang menang yang akan diperolehnya jika ia
melakukan perjudian. Dalam benak penjudi tertanam pikiran
“kalau sekarang belum menang pasti di kesempatan berikutnya
akan menang, begitu seterusnya”.
e. Faktor persepsi terhadap keterampilan
Penjudi yang merasa dirinya sangat terampil dalam salah
satu atau beberapa jenis permainan judi akan cenderung
menganggap bahwa keberhasilan atau kemenangan dalam
permainan judi adalah karena keterampilan yang dimilikinya. Bagi
mereka kekalahan dalam perjudian tidak pernah dihitung sebagai
kekalahan tetapi dianggap sebagai “hampir menang”, sehingga
mereka terus menerus memburu kemenangan yang menurut
mereka pasti didapatkan.
4. Upaya mencegah dan menanggulangi tindak pidana perjudian
Salah satu upaya untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana
perjudian adalah dengan cara melakukan kebijakan hukum pidana, artinya
hukum pidana digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi penyakit
masyarakat. Upaya untuk mencegah dan menanggulangi perjudian dapat
dilakukan melalui upaya penal (saran hukum pidana) maupun upaya nonpenal (sarana di luar hukum pidana). Sehubungan dengan kebijakan
penegakan hukum pidana ini, Muladi mengemukakan bahwa apabila dilihat
29
dari suatu proses kebijakan, penegakan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap:28
1. Tahap formulasi, yaitu penegakan hukum in abstracto oleh badan
pembuat undang-undang. Tahap ini dapat juga disebut tahap
kebijakan legislatif.
2. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparataparat penegak hukum dari Kepolisian sampai Pengadilan. Tahap
kedua ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara
kongkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat
disebut tahap kebijakan ekstra administratif.
Ketiga tahap itu dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang
sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan
suatu jalinan mata rantai aktivitas yang merupakan perwujudan dari kebijakan
(pembangunan) nasional. Jadi tegasnya kebijaan pembangunan harus
diusahakan terwujud pada ketiga tahap kebijakan penegakan hukum pidana
itu. Inilah makna dari konsekuensi dari pernyataan bahwa penegakkan hukum
pidana merupakan bagian integral dari kebijakan sosial seperti diuraikan di
muka. Jadi tersimpul di dalamnya pengertian social enginerring by criminal
law.29
Kecenderungan kejahatan serta strategi-strategi dalam mencegah dan
menanggulangi perjudian perlu diperhatikan. Polisi dan instansi penegak
hukum harus memperhatikan perkembangan tindak pidana perjudian,
28
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, Halaman : 13-14.
29
Loc. cit.
30
sehingga dalam upaya mencegah dan menanggulangi tindak pidana perjudian
dapat dilaksanakan dengan baik. Usaha mencegah dan menanggulangi tindak
pidana perjudian harus ditingkatkan lagi, terutama usaha yang dilakukan
pihak kepolisian menyangkut kegiatan yang berkaitan dengan tindak pidana
perjudian serta melakukan kerjasama antara instansi penegak hukum.
Dinyatakan oleh March Ancel, bahwa sistem hukum pidana pada
abad XX masih tetap harus diciptakan. Sistem demikian hanya dapat disusun
dan disempurnakan oleh usaha semua orang yang beritikad baik dan juga oleh
ahli di bidang ilmu-ilmu sosial.30
Pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah sematamata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara
yuridis normatif dan sistemik-dogmatik. Disamping pendekatan yuridis
normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis
faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif.
Bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin
sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan
pembangunan nasional pada umumnya.31
30
31
Barda Nawawi Arief, Op. Cit, Halaman : 27.
Ibid, Halaman: 23-24.
31
C. Perjudian Ditinjau dari Hukum Pidana
Salah satu syarat untuk hidup sejahtera dalam masyarakat adalah tunduk
kepada tata tertib atas peraturan di masyarakat atau negara, kalau tata tertib dalam
masyarakat itu berlaku lemah dan berkurang maka kesejahteraan dalam
masyarakat yang bersangkutan akan mundur dan mungkin kacau sama sekali.
Untuk mendapat gambaran dari hukum pidana, maka lebih dahulu dilihat
pengertian dari pada hukum pidana. Menurutt Moeljatno dalam bukunya Asasasas Hukum Pidana, “hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum
yang berlaku disuatu negara, yang dasar aturan-aturan untuk:32
1. Menentukan perbuatan-perbuatan yang mana tidak boleh
dilakukannya, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan itu.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.
Dikatakan bahwa hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara, karena disamping hukum pidana itu masih
ada hukum-hukum yang lain misalnya hukum perdata, hukum tata negara, hukum
administrasi negara, hukum islam dan sebagainya.
32
Moeljatno, Op. Cit, Halaman : 1.
32
Membicarakan hukum pidana tidak lepas kaitannya dengan subyek yang
dibicarakan oleh hukum pidana itu. Adapun yang menjadi subyek dalam hukum
pidana itu adalah manusia selaku anggota masyarakat. Manusia selaku subyek
hukum yang mendukung hak dan kewajiban di dalam menjalankan aktivitas yang
berhubungan dengan masyarakat tidak jarang menyimpang dari norma yang ada.
Adapun penyimpangan itu berupa tingkah laku yang dapat digolongkan dalam
pelanggaran dan kejahatan yang sebetulnya dapat membahayakan keselamatan
diri sendiri, masyarakat menjadi resah, aktivitas hubungannya menjadi terganggu,
yang menyebabkan didalam masyarakat tersebut sudah tidak terdapat lagi
ketertiban dan ketentraman.
Sebagaimana diketahui secara garis besar adanya ketertiban itu dipenuhi
oleh adanya peraturan atau tata tertib, ketentuan-ketentuan yang bersangkutan
dengan tata tertib ini dalam kaidah atau norma yang tertuang posisinya di dalam
masyarakat sebagai norma hukum. Dengan adanya tatanan norma tersebut, maka
posisi yang ditekankan adalah norma hukum, meskipun norma lain tidak kalah
penting perannya dalam kehidupan masyarakat.
Untuk menjaga ketertiban dan ketetntraman tersebut, hukum pidana
diharapkan selain difungsikan di hukum lainnya yang terdapat di dalam
masyarakat. Norma hukum sedikit atau banyak berwawasan pada objek peraturan
yang bersifat memaksa dan dapat disebut hukum. Adapun maksud disusunnya
hukum dan peraturan lainnya adalah untuk mencapai ketertiban dan kesejahteraan
33
dalam masyarakat. Dan oleh sebab itu pembentukan peraturan atau hukum
kebiasaan atau hukum nasional hendaklah selalu benar-benar ditunjukan untuk
kepentingan umum.
34
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif dengan pendekatan yuridis sosiologis (social legal approach).
Penelitian ini menitikberatkan hukum sebagai pranata sosial yang secara riil
dikaitkan dengan variable-variabel sosial yang lain. Dalam hal ini hukum
dipandang sebagai suatu fenomena sosial yang dalam interaksinya tidak terlepas
dari fakor-faktor non hukum.33
Penelitian yuridis sosiologis dengan pendekatan kuantitatif dimaksudkan
untuk menemukan penjelasan atau makna terhadap sebuah realitas atau fakta. 34
Dalam penelitian ini, peneliti akan terfokus pada peranan kepolisian dalam
mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah Polres Banyumas dan faktorfaktor yang menghambat dan mendorong peranan kepolisian tersebut.
33
Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, Halaman : 133.
34
Ronny Hanitijo Soemitro, 1982, Metodologo Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,
Halaman : 11.
35
B. Metode Pengambilan Data
Penelitian ini digunakan beberapa metode penelitian antara lain: survey
lapangan, studi pustaka, dan studi dokumentasi. Survey lapangan merupakan
prosedur penentuan informan melalui wawancara. Survey lapangan dimaksudkan
untuk mengetahui keadaan nyata objek penelitian. Studi pustaka merupakan cara
memperoleh data-data dengan memfokuskan pada data yang ada pada pustakapustaka baik yang terorganisir maupun yang tidak. Studi pustaka dimaksudkan
untuk mencari data-data sekunder yang dibutuhkan guna menjelaskan data-data
primer, sedangkan studi dokumentasi memperoleh data yang bersifat dokumendokumen resmi. Studi dokumen bertujuan menerangkan data primer dan juga data
sekunder. Digunakannya rancangan penelitian di atas didasarkan pada
pertimbangan bahwa dalam penelitian ini diperlukan data primer sebagai data
utama ditunjang dengan data-data yang bersifat sekunder.
C. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi
penelitian deskriptif. Spesifikasi penelitian deskriptif oleh Soerjono Soekanto
dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum dijelaskan sebagai berikut :
Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
36
gejala–gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya
tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.35
Spesifikasi penelitian secara deskriptif bertujuan untuk memperoleh
gambaran suatu realitas yang terjadi di lapangan mengenai peranan kepolisian
dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah Polres Banyumas dan
faktor-faktor yang mengambat dan mendorong peranan kepolisian tersebut.
D. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada lembaga yang terkait, yaitu di wilayah
hukum POLRES Banyumas, Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto, dan Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto. Sebagai alasan pengambilan lokasi tersebut merupakan
sumber dari pencarian data primer. Data sekunder berupa peraturan perundangundangan dan juga dokumentasi yang diperoleh dari Polres Banyumas tergolong
lengkap dan siap untuk dilakukan penelitian, dengan demikian validitas mutu
dapat dicapai.
35
Soerjono, Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, Halaman : 10.
37
E. Informan Penelitian
Informan dalam penelitian ini yaitu :
a. Kasat Reskrim Polres Banyumas;
b. Kasat Intel Polres Banyumas;
c. Kasat Binmas Polres Banyumas;
d. Pemain judi.
F. Teknik Penentuan Informan
Dalam
penelitian ini tidak semua sampel diberikan peluang atau
kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi subyek penelitian. Pengambilan
sampel yang digunakan dalam penelitian ini dengan cara “purposive sampling”
Purposive sampling yaitu salah satu strategi pengambilan sampel sebagai
sumber data dengan pertimbangan tertentu.36 Pertimbangan tertentu ini adalah
subyek yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, yaitu tentang
peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah
POLRES Banyumas dan faktor-faktor yang mengambat dan mendorong peranan
kepolisian tersebut. Dalam purposive sampling, penulisan kelompok subyek atas
ciri-ciri atau sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut erat dengan
36
Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung,
Halaman : 218.
38
ciri-ciri atau sifat-sifat populasi sebelumnya. Ciri-ciri yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah:
a. Informan merupakan Kasat Reskrim, Kasat Intel, Kasat Binmas POLRES
Banyumas, Pemain judi.
b. Semua informan mengetahui tentang peranan kepolisian dalam mencegah
dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut di atas, informan dalam penelitian ini yaitu:
a. Kasat Reskrim POLRES Banyumas;
b. Kasat Intel POLRES Banyumas;
c. Kasat Binmas POLRES Banyumas;
d. Pemain judi.
G. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini sumber data penelitian meliputi:
a. Data Primer
Sumber data primer atau data dasar (primary data atau basic data)
adalah data primer diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni
perilaku warga masyarakat, melalui penelitian.37 Dalam penelitian ini
37
Soerjono, Soekanto, 1981, Op. Cit., Halaman : 10.
39
sumber data primer berdasarkan pendapat langsung dari responden yang
meliputi pendapat para pejabat di lingkungan POLRES Banyumas.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu berupa dokumen-dokumen resmi dan
buku-buku literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan, hasilhasil penelitian yang berwujud laporan, peraturan perundang-undangan.
Menurut Soerjono Soekanto & Sri Mamudji dalam Pengantar Penelitian
Hukum, ciri-ciri umum dari data sekunder, adalah sebagai berikut:38
a) Pada umumnya dara sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat
dipergunakan segera,
b) Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi oleh
peneliti-peneliti
terdahulu,
sehingga
peneliti
kemudian
tidak
mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan, pengelolaan, analisa,
maupun konstruksi data,
c) Tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.
Data sekunder dibidang hukum dipandang dari sudut kekuatan
mengikatnya dapat dibedakan menjadi:
a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat
autoritarif artinya memiliki suatu otoritas, mutlak, dan
mengikat. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar,
38
Loc. Cit.
40
peraturan perundang-undangan, catatn resmi, lembaran negara,
penjelasan, risalah, putusan hakim dan yurisprudensi.
b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya
dari kalangan hukum dalam bentuk buku-buku atau artikel.
Bahan hukum sekunder digunakan dengan pertimbangan
bahwa data primer tidak dapat menjelaskan realitas secara
lengkap sehingga diperlukan bahan hukum primer dan
sekunder untuk melengkapi deskripsi suatu realitas.
H. Teknik Pengumpulan Data
a. Data Primer
Data Primer , yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lokasi
penelitian yaitu di wilayah hukum POLRES Banyumas dengan menggunakan
metode:
1) Wawancara (Interview)
Wawancara
adalah
percakapan
dengan
maksud
tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
41
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.39
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawancara
semistruktur yaitu jenis wawancara campuran antara wawancara
struktur yang untuk mengetahui informasi baku dimana peneliti
memiliki panduan wawancara dan wawancara tak terstruktur
dimana wawancara berjalan mengalir sesuai topik atau dikatakan
wawancara terbuka. Pemilihan wawancara semi terstrukrur
ditujukan untuk mendapatkan informan yang lengkap selain
informan dari wawancara yang menggunakan panduan.
2) Observasi
Observasi yang digunakan adalah observasi tak terlihat
(nonparticipant observation) berperan atau keterlibatan pasif
dalam penelitian ini dilakukan oleh peneliti ketika peneliti tidak
terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku yang
diamati,
jadi
peneliti
hanya
mengamati
saja.
Observasi
dimaksudkan untuk melihat gejala-gejala, aktivitas, dan hal lain
yang dapat mendukung metode wawancara.
39
186.
Lexy J. Maleong, 2008, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosda Karya, Jakarta, Halaman :
42
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara melakukan
studi pustaka dan studi dokumen terhadap peraturan perundang-undangan,
buku-buku literarur dan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan
dengan objek atau materi penelitian. Studi pustaka merupakan cara
memperoleh data-data dengan memfokuskan pada data yang ada pada
pustaka-pustaka baik yang terorganisir maupun yang tidak. Studi pustaka
dimaksudkan untuk mencari data sekunder yang dibutuhkan guna
menjelaskan data primer.
I. Instrumen Penelitian
a. Instrument penelitian yang utama adalah peneliti, karena penelitilah yang
berperan aktif dilapangan yang ditunjang oleh instrument lainnya. Maleong
menyebutkan bahwa manusia adalah sebagai instrument penelitian karena
didasarkan pada manusialah yang menentukan semua tahapan penelitian;40
b. Dengan instrument outline interview yang diajukan kepada informan tertentu.
Kemudian digunakan catatan lapangan dan kamera;
c. Pengumpulan data dengan memanfaatkan buku-buku untuk memperoleh data
sekunder yang menunjang kelengkapan penelitian. Dalam pengumpulan data
tersebut digunakan instrument kartu perpustakaan, katalog perpustakaan, dan
form perpustakaan
40
Ibid. Halaman : 163.
43
J. Teknik Pengolahan Data
Dalam penelitian ini, data yang telah terkumpul akan diolah dengan
menggunakan Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari
catatan tertulis di lapangan. Pada tahap Reduksi data, data tersebut dirangkum,
dipilih hal-hal yang pokok.
Display data merupakan cara analisis data lapangan dengan membuat
berbagai macam Matriks. Agar dapat diperoleh gambaran keseluruhan atau
bagian-bagian tertentu dari data penelitian.41 Pada langkah ini peneliti berusaha
menyusun data yang relevan sehingga dapat menjadi informasi yang dapat
disimpulkan dan memiliki makna tertentu. Kemudian tahap berikutnya adalah
penarikan kesimpulan yang merupakan konklusi akhir dari tahapan analisis. 42
K. Teknik Pengujian Data
Cara yang digunakan untuk menguji validitas, kesahihan, keabsahan atau
kebenaran data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini adalah triangulasi
sumber.
Menurut Maleong, triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan
data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
41
42
Sugiyono, Op.Cit., Halaman : 92.
Ibid. Halaman : 99.
44
pengecekan atau sebagai pembandingan data itu.43 Triangulasi dilakukan bila
terdapat data yang bertentangan, tidak sejalan, atau berbeda mengenai hal yang
sama dari dua atau lebih sumber data serta pengecekan terhadap data yang tidak
jelas, sehingga dapat diperoleh data yang dapat dipercaya kebenarannya.
Menurut Maleong, sebagaimana yang dikutip oleh Patton membagi
triangulasi menjadi empat jenis, yaitu:
a. Triangulasi sumber, yaitu membandingkan dan mengecek kembali
derajat kepercayaan data yang diperoleh melalui waktu dan alat
berbeda dalam metode kualilatif;
b. Triangulasi metode, yaitu dengan menggunakan dua strategi, yaitu
pertama, mengecek kembali derajat kepercayaan data melalui
beberapa teknik pengumpulan data, yang kedua mengecek kembali
derajat kepercayaan data yang diperoleh dengan metode yang sama;
c. Triangulasi peneliti, yaitu dengan mengecek kembali derajat
kepercayaan data yang diperoleh dengan metode yang sama;
d. Triangulasi teori, yaitu dengan mengecek kembali derajat kepercayaan
data yang diperoleh melalui penelitian tentang topik yang sama dan
datanya dianalisis dengan menggunakan beberapa perspektif teoritis
yang tersedia.44
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa peneliti menggunakan triangulasi
sumber dalam menguji data. Menurut Patton, cara yang digunakan untuk menguji
validitas data dengan menggunakan triangulasi sumber adalah sebagai berikut:
a) Membandingkan data hasil penelitian dengan data hasil
wawancara;
b) Membandingkan data hasil wawancara dengan isi dokumen;
43
44
Lexy J. Maleong, Op.Cit, Halaman : 178.
Loc. Cit.
45
c) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum
dengan yang dikatakan orang secara pribadi;
d) Mengadakan perbincangan dengan banyak pihak untuk
mencapai pemahaman tentang suatu atau berbagai hal.
Alasan digunakan triagulasi sumber saja, karena sangat sulit bagi
seorang peneliti pemula untuk melaksanakan semua jenis teknik triangulasi
tersebut. Maleong, mengemukakan bahwa triangulasi yang paling banyak
digunakan untuk pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian kualilatif
adalah melalui sumber atau triangulasi sumber.45
L. Teknik Penyajian Data
Teknik penyajian data dalam penelitian ini akan diteliti dan disajikan
dalam bentuk uraian yang bersifat deskriptif sistematis yaitu menggambarkan apa
yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata
secara sistematis, logis dan rasional.46 Dalam arti keseluruhan bahan hukum yang
diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok
permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh
didasarkan pada norma hukum atau kaidah–kaidah hukum serta doktrin hukum
yang relevan dengan pokok permasalahan.
45
46
Loc. Cit.
Soerjono, Soekanto, 1981, Op. Cit., Halaman : 32.
46
M. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu menguraikan
data secara bermutu, dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis , tidak
tumpang tindih dan efektif, dan kemudian dilakukan pembahasan. Berdasarkan
hasil pembahasan diambil kesimpulan secara induktif sebagai jawaban terhadap
permasalahan yang diteliti.47
Penelitian ini menggunakan metode content analysis. content analysis
merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi.48 Sehingga salam
hal ini content analysis digunakan untuk mengambil makna yang terkandung
dalam suatu data hasil dari penelitian yang kemudian dikaitkan dengan suatu
teori sehingga menjadi suatu rangkaian kata yang bermakna dan dapat dimengerti
oleh pembaca.
Oleh karena itu maka diperlukan pula penafsiran hukum, penafsiran,
hukum yang digunakan dalam analisa penelitian ini adalah:
a. Penafsiran Yuridis
-
Penafsiran gramatikal yaitu cara penafsiran hukum berdasarkan
bunyi ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada arti
47
: 49.
48
Noeng Muhadjir, 1996, Metode Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta, Halaman
Ibid. Halaman : 49.
47
perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam suatu
kalimat,
-
Penafsiran analogis yaitu memberi tafsiran pada sesuatu
hukum dengan memberikan ibarat (qiyas) pada kata tersebut
sesuai dengan asas hukumnya.
b. Penafsiran Metodologis
Penafsiran atau interpretasi data adalah memahami data secara
mendalam, data ditafsirkan menjadi kategori yang berarti
sudah menjadi bagian dari teori dan dilengkapi dengan
penyusunan hipotesis kerja sebagai teori yang nantinya
diformalisasikan , baik secara deskriptif maupun secara
proporsional.49
49
Lexy J. Maleong, Op.Cit., Halaman: 28.
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di
wilayah POLRES Banyumas merupakan data primer yang diperoleh secara
langsung melalui wawancara yang dilakukan oleh penulis terhadap informan
yang berjumlah 4 orang, yaitu AKP. Djunaidi, S.H. selaku Kasat Reskrim
POLRES Banyumas dengan kode informan POL/1, AKP. Susanto, S.H.
selaku Kasat Intel POLRES Banyumas dengan kode informan POL/2, AKP.
Sunarto, S.H. selaku Kasat Binmas POLRES Banyumas dengan kode
informan POL/3 dan 1 orang pemain judi dengan kode informan PJ. Hasil
dari penelitian tersebut disajikan oleh penulis dalam bentuk matriks data
sebagai berikut.
49
Matriks 1. Peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian menurut AKP. Djunaidi, S.H.
selaku Kasat Reskrim POLRES Banyumas.
Kode
Hasil wawancara
Substansi
Implikasi
informan
POL/1
“Menurut saya peranan kepolisian dalam 
Penegakan
mencegah dan menanggulangi perjudian
preventif dan pre-emtif
sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang 
Penegakan hukum preventif
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
dengan
Negara Republik Indonesia, dimana salah
penyuluhan terhadap tokoh
satunya berupa penegakan hukum. Ada
masyarakat
dua bentuk penegakan hukum yaitu 
Penegakan hukum pre-emtif
penegakan
dengan melakukan himbauan
preventif
hukum
dan
yang
berbentuk
pre-emtif.
Penegakan
hukum yang berbentuk preventif yaitu
dengan
melaksanakan
penyuluhan,
hukum
secara 
Tindakan Preventif

Tindakan Pre-emtif
melakukan
kepada masyarakat
50
sedangkan penegakan hukum pre-emtif
yaitu
dengan
memberikan
himbauan
kepada masyarakat.”
“Menurut
saya
upaya
penal
dalam Upaya penal dalam mencegah
Tindakan Represif
mencegah dan menanggulangi perjudian dan menanggulangi perjudian
di wilayah POLRES Banyumas yang dengan melakukan penindakan
dilakukan
oleh
kepolisian
yaitu secara langsung
melakukan penindakan secara langsung,
sebagai contoh pada tahun 2012 terjadi
lebih dari 100 tindak pidana perjudian di
wilayah POLRES Banyumas”
dalam 
Tindakan Preventif
mencegah dan menanggulangi perjudian mencegah dan menanggulangi 
Tindakan Pre-emtif
“Menurut saya upaya non penal dalam Upaya
non-penal
di wilayah POLRES Banyumas yaitu perjudian dengan melakukan
dengan
melakukan
tindakan
secara tindakan secara preventif dan
51
preventif dan pre-emtif”
pre-emtif
“Menurut saya pembinaan riil yang Pembinaan riil dengan cara
dilakukan
pihak
kepolisian
dalam memngumpulkan
mencegah dan menanggulangi perjudian masyarakat
di wilayah POLRES Banyumas yaitu pembinaan
mengumpulkan tokoh masyarakat untuk
dilakukan pembinaan”
( Sumber: Data primer yang diolah)
untuk
tokoh
dilakukan
Tindakan Preventif
52
Matriks 2. Peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian menurut AKP. Susanto, S.H.
selaku Kasat Intel POLRES Banyumas.
Kode
Hasil wawancara
Substansi
Implikasi
informan
POL/2
“Menurut saya pada dasarnya tugas 
Penegakan hukum preventif 
Tindakan Preventif
pokok, fungsi, dan peranan kepolisian
dengan
melakukan 
Tindakan pre-emtif
pada
penyuluhan terhadap tokoh
umumnya
semuanya
sama
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2
masyarakat
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara 
Penegakan hukum pre-emtif
Republik Indonesia. Salah satu peranan
dengan melakukan himbauan
kepolisian yaitu dalam penegakan hukum,
kepada masyarakat
dimana penegakan hukum tersebut secara 
Patroli
preventif dan pre-emtif. Kemudian fungsi
tertentu
intel juga melaksanakan patroli di daerah-
terjadinya tindak pidana
daerah tertentu yang berpotensi terjadinya
di
daerah-daerah
yang
berpotensi
53
tindak pidana”
“Menurut
saya
upaya
penal
dalam Upaya penal dalam mencegah
Tindakan Represif
mencegah dan menanggulangi perjudian dan menanggulangi perjudian
di wilayah POLRES Banyumas yang dengan melakukan penindakan
dilakukan
oleh
kepolisian
yaitu secara langsung.
melakukan penindakan secara langsung,
sebagai contoh pada tahun 2012 terjadi
lebih dari 100 tindak pidana perjudian di
wilayah POLRES Banyumas”
dengan 
Tindakan Preventif
mencegah dan menanggulangi perjudian memberikan penyuluhan dan 
Tindakan Pre-emtif
“Menurut saya upaya non-penal dalam Upaya
non-penal
di wilayah POLRES Banyumas yaitu himbauan kepada masyarakat
melaksanakan tindakan preventif dengan
cara memberikan penyuluhan kepada
masyarakat dan tindakan pre-emtif dengan
54
cara
memberikan
himbauan
kepada
masyarakat”
“Menurut saya pembinaan riil yang 
Pembinaan
dilakukan
dengan cara mengumpulkan
pihak
kepolisian
dalam
riil
dilakukan
mencegah dan menanggulangi perjudian
tokoh
di wilayah POLRES Banyumas yaitu
dilakukan pembinaan
dengan
cara
mengumpulkan
tokoh
masyarakat untuk dilakukan pembinaan
(Sumber: Data primer yang diolah)
masyarakat
untuk
Tindakan Prefentif
55
Matriks 3. Peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian menurut AKP. Sunarto, S.H.
selaku Kasat Binmas POLRES Banyumas.
Kode
Hasil wawancara
Substansi
Implikasi
informan
POL/3
“Menurut
saya
peranan
kepolisian Penegakan
hukum
pre-emtif
Tindakan Pre-emtif
berbentuk pre-emtif yaitu dengan cara dengan melakukan himbauan
memberikan himbauan kepada masyarakat kepada
agar menjaga keamanan dan ketertiban menjaga
masyarakat
agar
keamanan
dan
lingkungan. penyuluhan dalam bentuk ketertiban lingkungan
forum
di
desa
dengan
para
tokoh
masyarakat setempat. Biasanya karena
adanya gejolak dari para pemuda”
“Menurut
saya
upaya
penal
dalam Upaya penal dalam mencegah
mencegah dan menanggulangi perjudian dan menanggulangi perjudian
di wilayah POLRES Banyumas yang dengan memberikan pembinaan
Tindakan Represif
56
dilakukan
oleh
kepolisian
yaitu kepada masyarakat agar tidak
memberikan pembinaan, apabila sudah melakukan tindak pidana.
dilakukan pembinaan tetapi tetap saja
melaksanakan
perjudian,
maka
dapat
ditindak oleh salah satu fungsi kepolisian
antara lain fungsi reskrim atau shabara ”
dalam 
Tindakan Preventif
mencegah dan menanggulangi perjudian mencegah dan menanggulangi 
Tindakan Pre-emtif
“Menurut saya upaya non penal dalam Upaya
non-penal
di wilayah POLRES Banyumas yaitu perjudian dengan memberikan
memberikan himbauan dan penyuluhan himbauan
kepada masyarakat”
pihak
penyuluhan
kepada masyarakat
“Menurut saya pembinaan riil yang Pembinaan
dilakukan
dan
kepolisian
dalam pembinaan
mencegah dan menanggulangi perjudian serta
riil
jasmani,
dilakukan
rohani,
mental yang dilakukan
di wilayah POLRES Banyumas yaitu oleh staf korlap ketika berada
Tindakan Represif
57
memberikan
pembinaan
riil
terhadap dalam tahanan.
pelaku tindak pidana perjudian dilakukan
pembinaan jasmani, rohani, serta mental
yang dilakukan oleh staf korlap ketika
berada dalam tahanan”
(Sumber: Data primer yang diolah)
58
Matriks 4. Faktor-faktor yang menghambat dan mendorong dalam mencegah dan menanggulangi perjudian
menurut AKP. Djunaidi, S.H. selaku Kasat Reskrim POLRES Banyumas.
Kode
Hasil wawancara
Substansi
Implikasi
informan
POL/1
“Menurut saya faktor penghambat dalam Etnis tertentu yang menganggap Tradisi
mencegah dan menanggulangi perjudian perjudian sebagai sebuah tradisi
adalah faktor tradisi, hal ini karena adanya menjadi
salah
satu
etnis
tertentu
faktor
yang dalam
mencegah
mengangggap bahwa perjudian sebagai menanggulangi
sebuah tradisi”
penghambat
dan
perjudian
di
wilayah POLRES Banyumas
“Menurut saya kemajuan teknologi yang Kemajuan
teknologi
yang Kemajuan Teknologi
sangat pesat menjadi faktor penghambat sangat pesat, sehingga menjadi
dalam mencegah dan
menanggulangi faktor
penghambat
dalam
perjudian, maka perjudian dapat dilakukan mencegah dan menanggulangi
oleh siapa saja, baik manual maupun perjudian di wilayah POLRES
59
online”
Banyumas
(Sumber: Data primer yang diolah)
Matriks 5. Faktor-faktor yang menghambat dan mendorong dalam mencegah dan menanggulangi perjudian
menurut AKP. Susanto, S.H. selaku Kasat Intel POLRES Banyumas
Kode
Hasil wawancara
Substansi
Implikasi
informan
POL/2
“Menurut saya faktor penghambat dalam
Faktor
penghambat
yaitu
mencegah dan menanggulangi perjudian karena hukuman yang terlalu
yaitu pelaku tidak merasa jera dengan ringan
sehingga
membuat
hukuman yang dijatuhkan, ditambah lagi pelaku tidak merasa jera
dengan
desakan
ekonomi
sehingga
dimungkinkan dapat melakukan perjudian
Ekonomi
60
lagi”
“Menurut saya faktor pendorong dalam Faktor
pendorong
yaitu
mencegah dan menanggulangi perjudian POLRES melakukan kerja sama
yaitu POLRES melakukan kerjasama dengan
dengan
tokoh
masyarakat
sekitar. sekitar
POLRES melakukan penyuluhan kepada
tokoh masyarakat mengenai bahaya atau
dampak yang ditimbulkan oleh penyakit
masyarakat, kemudian
POLRES juga
menghimbau kepada masyarakat agar
bersama-sama
melakukan
pengawasan
terhadap tindak pidana yang terjadi di
lingkungan sekitar mereka.”
(Sumber: Data primer yang diolah)
tokoh
masyarakat
Kerjasama
61
Matriks 6. Faktor-faktor yang menghambat dan mendorong dalam mencegah dan menanggulangi perjudian
menurut AKP. Sunarto, S.H. selaku Kasat Binmas POLRES Banyumas
Kode
Hasil wawancara
Substansi
Implikasi
informan
POL/3
“Menurut saya faktor penghambat dalam Faktor
penghambat
tidak
mencegah dan menanggulangi perjudian adanya
kendala,
tetapi
yaitu pada dasarnya tidak ada, hal ini melakukan penindakan secara
karena
fungsi
Binmas
penindakan secara langsung .”
(Sumber: Data primer yang diolah)
melakukan langsung
Penindakan
62
Matriks 7. Keterangan pelaku tindak pidana perjudian terkait dengan pembinaan kepolisian terhadap pelaku
tindak pidana perjudian
Kode
Hasil wawancara
Substansi
Implikasi
informan
Pelaku TP
“Menurut saya pembinaan perseorangan
Pembinaan
tidak ada, melainkan hanya pembinaan masyarakat
dari tokoh masyarakat yang sudah diberi
penyuluhan dari pihak kepolisian”
(Sumber: Data primer yang diolah)
dari
tokoh
Pembinaan
63
B. Pembahasan
1. Peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di
wilayah POLRES Banyumas.
Data pada matriks satu baris kesatu di atas menggambarkan bahwa
peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian sesuai
dengan peranan kepolisian berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dirumuskan
sebagai berikut:
Pasal 13
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.
Berdasarkan Pasal 13 huruf (b) undang-undang tersebut dapat dilihat
bahwa salah satu peranan kepolisian adalah menegakkan hukum, dimana
penegakan hukum dapat berbentuk penegakan hukum secara preventif dan
penegakan hukum secara pre-emtif. Penegakan hukum secara preventif yaitu
dengan melaksanakan penyuluhan, sedangkan penegakan hukum secara preemtif yaitu dengan memberikan himbauan kepada masyarakat. Penegakan
hukum secara preventif yang berbentuk penyuluhan merupakan tugas dari
fungsi kepolisian di bagian Binmas (pembinaan masyarakat). Penegakan
hukum pre-emtif yang berbentuk himbauan kepada masyarakat diperlukan
64
guna mencegah meluasnya dampak dari perjudian. Penegakan hukum tersebut
dapat dilaksanakan atas dasar info masyarakat, penyelidikan, dan penindakan.
Data matriks satu baris kedua dan ketiga di atas menggambarkan
upaya penal dan non penal yang dilakukan kepolisian dalam mencegah dan
menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas. Menurut Hamdan,
politik kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan pengakan
hukum (law enforcement policy). Hal ini tentunya dilaksanakan melalui
sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang terdiri dari sistem
kepolisian, subsistem kejaksaan, subsistem pengadilan dan subsistem lembaga
pemasyarakatan. Dalam hal penanggulangan kejahatan (politik kriminal)
digunakan pula dua kebijakan, yaitu:50
a. Penal, yaitu dengan menggunakan sanksi pidana (jadi termasuk
bidang politik hukum pidana)
b. Non-Penal, yaitu termasuk didalamnya dengan menggunakan
sanksi administratif, sanksi perdata, dll.
Upaya penal yang dilakukan oleh kepolisian dalam mencegah dan
menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas yaitu dengan cara
penindakan secara langsung. Sebagai contoh adalah pada tahun 2012 lebih
dari 100 tindak pidana perjudian terjadi di wilayah POLRES Banyumas, tetapi
50
Hamdan, Op. Cit, Halaman : 24.
65
hukuman yang diberikan lebih sering pidana minimal atau paling lama 3
bulan penjara. Hukuman tersebut dirasakan terlalu ringan sehingga tidak
membuat jera pelaku perjudian.
Upaya non-penal yang dilakukan oleh kepolisan dalam mencegah dan
menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas yaitu dengan
melakukan tindakan preventif dan pre-emtif sebagaimana dijelaskan di atas.
Selain menggambarkan peranan kepolisian serta upaya penal dan nonpenal dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES
Banyumas, matriks 1 pada baris keempat tersebut menggambarkan pembinaan
riil yang dilakukan pihak kepolisian. Pembinaan riil tersebut dilakukan
dengan cara mengumpulkan tokoh masyarakat untuk dilakukan pembinaan.
Pembinaan tersebut tidak terfokus terhadap perjudian saja, tetapi lebih kepada
pembinaan atas penyakit masyarakat pada umumnya. Pihak kepolisian tidak
mengumpulkan seluruh masyarakat, tetapi hanya tokoh masyarakat saja.
Tokoh masyarakat tersebut diberikan penyuluhan dan selanjutnya bertugas
menyampaikan hasil penyuluhan tersebut kepada masyarakat, misalnya pada
saat rapat yang secara rutin diadakan di lingkungan sekitar.
Data pada matriks dua baris kesatu di atas menggambarkan bahwa
peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian pada
dasarnya sama dengan tugas pokok, fungsi, dan peranan kepolisian yaitu
66
berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa penegakan hukum dapat
berbentuk penegakan hukum secara preventif dan penegakan hukum secara
pre-emtif. Berdasarkan keterangan dari Kasat Intel POLRES Banyumas dapat
diketahui bahwa penegakan hukum secara preventif lebih tepat menjadi tugas
dari fungsi Shabara (Satuan Bhayangkara). Shabara melakukan patrol
mengelilingi daerah yang rawan akan terjadinya tindak pidana perjudian.
Dengan adanya patroli tersebut maka terjadi tukar pikiran antara masyarakat
dengan pihak kepolisian. Hal tersebut sesuai dengan hubungan kepolisian
dengan masyarakat terbagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu:51
a. Posisi seimbang atau setara, dimana polisi dan masyarakat menjadi
mitra yang saling bekerja sama dalam rangka menyelesaikan
berbagai masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
b. Posisi kepolisian yang dianggap masyarakat sebagai mitranya,
sehingga beberapaa kebutuhan rasa aman harus dipahami dan
dipenuhi.
c. Posisi kepolisian sebagai pelindung dan pengayom masyarakat,
sekaligus sebagai aparat penegak hukum yang dapat dipercaya.
Kasat Intel juga menambahkan bahwa penegakan hukum secara preemtif dilakukan oleh fungsi Binmas. Binmas melakukan himbauan kepada
masyarakat. Namun, sasaran dari himbauan tersebut tidak hanya perjudian
saja tetapi juga pada penyakit masyarakat pada umumnya. Selain itu Binmas
51
http://jawara-agotax.blogspot.com/2011/04/peranan-kepolisian.html di unduh tanggal 30
Oktober 2012.
67
memberikan penyuluhan ke sekolah-sekolah dan universitas setempat,
kemudian memberikan nomor telepon penting (110). Pemberian nomor
telepon tersebut bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan
laporan ketika terjadi suatu tindak pidana. Hal ini menunjukan bahwa
masyarakat ikut dilibatkan dalam proses penegakan hukum, dimana
penegakan hukum yang dimaksud adalah penegakan hukum secara pre-emtif.
Terkait dengan upaya penal matriks dua pada baris kedua dan ketiga di
atas, upaya penal yang dilakukan oleh fungsi Intel yaitu dengan cara
melakukan penyidikan dan penangkapan terhadap pelaku perjudian baik
manual maupun online. Kemudian upaya non-penal yang dijelaskan oleh
fungsi Intel yaitu memberikan penyuluhan kepada masyarakat secara umum
maupun khusus yang dilakukan oleh fungsi-fungsi kepolisian khususnya pada
fungsi Binmas.
Pada matriks dua baris keempat di atas terkait dengan pembinaan riil
terhadap pelaku perjudian, Kasat Intel menjelaskan bahwa pembinaan riil
tersebut dilakukan pada saat di ruang tahanan. Pembinaan tersebut tidak
terbatas pada pelaku tindak pidana perjudian saja, tetapi dilakukan terhadap
seluruh pelaku tindak pidana yang berada di tahanan. Kemudian dilakukan
pembinaan terhadap mantan narapidana, namun yang menjadi kendala pada
umumnya
adalah
apabila
terbelit
dalam
kesulitan
ekonomi,
maka
dimungkinkan mantan narapidana tersebut mengulangi tindak pidana tersebut.
68
Data pada matriks tiga baris kesatu di atas menggambarkan bahwa
peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian pada
dasarnya sama dengan tugas pokok, fungsi, dan peranan kepolisian yaitu
berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa penegakan hukum dapat
berbentuk penegakan hukum secara preventif dan penegakan hukum secara
pre-emtif. Berdasarkan keterangan dari Kasat Binmas POLRES Banyumas
dapat
diketahui
bahwa
peranan
kepolisian
dalam
mencegah
dan
menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas khususnya fungsi
binmas adalah dengan penegakan hukum secara pre-emtif. Penegakan hukum
secara pre-emtif yang dimaksud adalah dengan memberikan himbauan dan
penyuluhan dalam bentuk forum di desa bersama dengan para tokoh
masyarakat setempat. Forum tersebut diadakakan karena adanya gejolak dari
para pemuda untuk melakukan suatu tindak pidana. Kemudian setelah
diperoleh himbauan dan penyuluhan dari kepolisian yaitu dari fungsi Binmas,
tokoh masyarakat yang terlibat dalam forum tersebut menyampaikan langsung
kepada para pemuda di sekitarnya agar tidak melakukan suatu tindak pidana
khususnya dalam hal ini adalah tindak pidana perjudian.
Terkait dengan upaya penal yang terdapat pada matriks tiga baris
kedua dan ketiga di atas, upaya penal yang dilakukan oleh fungsi Binmas
69
yaitu dengan cara memberikan penyuluhan kepada masyarakat, dan apabila
sudah dilakukan pembinaan tetapi tetap saja melakukan perjudian, maka dapat
ditindak oleh salah satu fungsi kepolisian antara lain Reskrim dan Shabara.
Kemudian, untuk upaya non-penal yang dilakukan oleh fungsi Binmas yaitu
dengan memberikan himbauan dan penyuluhan kepada masyarakat.
Pada matriks tiga baris keempat di atas terkait dengan pembinaan riil
terhadap pelaku perjudian, Kasat Binmas menjelaskan bahwa pembinaan riil
tersebut dilakukan pada saat di ruang tahanan. Pembinaan tersebut antara lain
pembinaan jasmani, rohani, dan mental yang dilakukan oleh staff koordinator
lapangan. Pembinaan tersebut dilakukan pada saat hari pertama dan ke dua
pelaku tindak pidana masuk sel. Pembinaan tersebut dilakukan dengan tetap
memperlakukan pelaku tindak pidana tersebut secara manusiawi.
2. Faktor-faktor yang menghambat dan mendorong dalam mencegah dan
menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas
Berdasarkan data pada matriks empat baris kesatu di atas, dapat
diketahui bahwa hambatan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi
perjudian di wilayah POLRES Banyumas antara lain karena ada salah satu
etnis tertentu yang menganggap perjudian sebagai sebuah tradisi. Salah satu
contoh yaitu di daerah Banyumas, Kedung Banteng sering dilakukan judi
masal sebagai sebuah tradisi di lingkungan tersebut.
70
Perubahan-perubahan sosial yang serba cepat dan berkembang yang
tidak sama dalam kebudayaan, mengakibatkan ketidakmampuan banyak
individu untuk menyesuaikan diri, mengakibatkan timbulnya disharmoni
dalam masyarakat, konflik-konflik eksternal dan internal, dan terjadinya
disorganisasi
dalam
masyarakat.
Perbuatan-perbuatan
ini
berupa
penyimpangan dari pola umum yang berlaku. Perbuatan yang dimaksud
adalah perjudian yang merupakan budaya masyarakat yang dibenarkan
menurut budaya mereka, walaupun prilaku tersebut dianggap keliru oleh
norma-norma budaya yang lebih besar.
Bersadarkan data pada matriks empat baris kedua di atas, dapat
diketahui bahwa kemajuan teknologi yang sangat pesat dapat menjadi
hambatan dalam mencegah dan menanggulangi perjudian. Hal tersebut dapat
terjadi karena perjudian dapat dilakukan oleh siapa saja, baik manual maupun
online.
Misalnya pada saat ini mudahnya mengakses internet sehingga
seseorang dengan mudah melakukan perjudian secara online. Kemudian
mudahnya seseorang memiliki handphone juga dapat memicu perjudian
dengan menggunakan sms. Sebagai contoh adalah judi togel pada saat ini
mulai berkembang yang tadinya menggunakan kertas sekarang bisa
menggunakan sms. Penggunaan sms sebagai media judi togel dapat terjadi
karena lebih efisien dan praktis, selain itu penggunaan sms sulit dilacak oleh
pihak kepolisian.
71
Berdasarkan data pada matriks lima baris kesatu di atas, dapat
diketahui bahwa hambatan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi
perjudian di wilayah POLRES Banyumas adalah pelaku tidak merasa jera
dengan hukuman yang dijatuhkan, ditambah lagi dengan desakan ekonomi
sehingga dapat melakukan perjudian. Hal tersebut sesuai dengan salah satu
dari beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perjudian sebagaimana
telah dikemukakan pada bagian Tinjauan Pustaka sebelumnya. Faktor-faktor
tersebut dijelaskan sebagi berikut:
a. Faktor sosial ekonomi
Bagi masyarakat dengan status sosial dan ekonomi yang
rendah, perjudian seringkali dianggap sebagai sarana untuk
meningkatkan taraf hidup mereka. dengan modal yang sangat kecil
mereka akan mendapatkan keuntungan yang besar atau menjadi
kaya dalam sekejap tanpa usaha yang besar. Kondisi sosial
masyarakat yang menerima perjudian juga berperan besar terhadap
tumbuhnya perilaku dalam komunitas.
b. Faktor situasional
Situasi yang bisa dikategorikan sebagai pemicu perjudian
diantaranya adalah tekanan dari teman-teman atau kelompok atau
lingkungan untuk berpartisipasi dalam perjudian dan metode-
72
metode pemasaran yang dilakukan oleh pengelola perjudian.
Tekanan kelompok membuat calon penjudi merasa tidak enak,
jika tidak menuruti apa yang diinginkan oleh kelompoknya.
c. Faktor belajar
Sangatlah masuk akal jika faktor belajar memiliki efek
yang besar terhadap pelaku perjudian, terutama menyangkut
keinginan untuk terus berjudi. Yang memang pada awalnya hanya
mencoba, akan tetapi karena penasaran dan berkeyakinan bahwa
kemenangan akan terjadi kepada siapapun, termasuk dirinya,
sehingga membuatnya melakukan perjudian berulang kali.
d. Faktor persepsi tentang probabilitas kemenangan
Persepsi pelaku yang dalam membuat suatu evaluasi
terhadap peluang menang yang akan diperolehnya jika ia
melakukan perjudian. Dalam benak penjudi tertanam pikiran
“kalau sekarang belum menang pasti di kesempatan berikutnya
akan menang, begitu seterusnya”.
e. Faktor persepsi terhadap keterampilan
Penjudi yang merasa dirinya sangat terampil dalam salah
satu atau beberapa jenis permainan judi akan cenderung
73
menganggap
bahwa
keberhasilan
atau
kemenangan
dalam
permainan judi adalah karena keterampilan yang dimilikinya. Bagi
mereka kekalahan dalam perjudian tidak pernah dihitung sebagai
kekalahan tetapi dianggap sebagai “hampir menang”, sehingga
mereka terus menerus memburu kemenangan yang menurut
mereka pasti didapatkan.
Berdasarkan data pada matriks lima baris kedua di atas, dapat
diketahui bahwa yang menjadi faktor pendorong kepolisian dalam mencegah
dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas adalah
POLRES melakukan kerjasama dengan tokoh masyarakat sekitar. Bentuk
kerja sama antara POLRES dengan tokoh masyarakat antara lain POLRES
melakukan penyuluhan kepada tokoh masyarakat mengenai bahaya atau
dampak yang ditimbulkan oleh penyakit masyarakat. Kemudian POLRES
juga menghimbau kepada masyarakat agar bersama-sama melakukan
pengawasan terhadap tindak pidana yang terjadi di lingkungan sekitar.
Berdasarkan data yang terdapat dalam matriks enam di atas, dapat
diketahui bahwa hambatan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi
perjudian di wilayah POLRES Banyumas pada dasarnya tidak ada, karena
fungsi binmas melakukan penindakan secara langsung, yaitu dengan
memeberikan penyuluhan kepada tokoh masyarakat.
74
Penanganan bukan merupakan fungsi Binmas melainkan fungsi dari
Reskrim dan Intel. Fungsi Binmas itu sendiri terdiri atas 4 fungsi, yaitu:
a. Unit Ketertiban Masyarakat
Memberikan ketertiban pada masyarakat seperti linmas, pos
kamling, pemuda dan anak-anak terlantar. Sebagai contoh adalah
Binmas memberikan pelatihan kepada linmas untuk meningkatkan
kesadaran atau kemampuan linmas dalam menjaga kemanan di
lingkungan masyarakat. Binmas mengaktifkan kembali pos
kamling yang tidak aktif. Binmas memberikan penyuluhan kepada
pemuda dan anak-anak terlantar agar tidak melakukan suatu
kejahatan.
b. Unit Polisi Masyarakat
Melakukan pendekatan dengan cara mengikuti kegiatan-kegiatan
masyarakat, forum kemitraan antara polisi, mahasiswa dan
masyarakat.
c. Unit Keamanan Swakarsa
Pembinaan terhadap swakarsa yaitu pos kamling agar lingkungan
RT aman, maka dilakukannya fungsi swakarsa. Selain itu
75
dilakukan pembinaan terhadap satpam, polsus (polisi khusus yang
bertugas di kereta api), linmas, KPU, satpol PP, dan polisi hutan.
d. Unit Kaurmintu (urusan administrasi umum)
Mengurus semua surat-surat yang masuk maupun keluar dari
seluruh kegiatan unit-unit Binmas.
Berdasarkan data matriks tujuh di atas dapat dilihat bahwa keterangan
mengenai pembinaan kepolisian terhadap pelaku tindak pidana pada
kenyataannya tidak ada, yang ada hanya pembinaan dari tokoh masyarakat
yang sudah diberi penyuluhan dari pihak kepolisian.
Berdasarkan keterangan tersebut, dapat dilihat adanya ketidaksesuaian
antara keterangan dari pihak kepolisian dengan keterangan dari pelaku tindak
pidana perjudian. Pihak kepolisian menerangkan bahwa pelaku tindak pidana
tersebut diberikan pembinaan jasmani dan rohani ketika berada di dalam
tahanan. Pembinaan tersebut dilakukan oleh staff koordinator lapangan. Hal
yang bertentangan adalah berdasarkan keterangan dari pelaku tindak pidana
tersebut tidak ada pembinaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian kepada
pelaku tindak pidana perjudian selama berada di dalam tahanan. Pada saat
pelaku tindak pidana perjudian tersebut berada di POLRES hanya dilakukan
pemeriksaan saja tanpa adanya pembinaan dari pihak kepolisian.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut di atas maka
dapat
diketahui
bahwa
peranan
kepolisian
dalam
mencegah
dan
menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas mempunyai dua
76
output yaitu output bagi masyarakat dan output bagi penegak hukum. Output
bagi masyarakat yaitu upaya untuk mengurangi perjudian, karena perjudian
selaian bertentangan dengan norma agama juga bertentangan dengan norma
hukum. Kemudian, output bagi penegak hukum yaitu dapat menjadi acuan
dan model dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di masyarakat
77
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di
wilayah POLRES Banyumas adalah dilakukan melalui upaya-upaya:
Upaya penal dan upaya non-penal. Upaya penal berupa penindakan secara
langsung terhadap pelaku tindak pidana perjudian. Sedangkan upaya nonpenal yaitu memberikan pembinaan terhadap masyarakat yang biasa
melakukan tindak pidana perjudian.
2. Faktor-faktor yang menghambat dan mendorong dalam mencegah dan
menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas adalah sebagai
berikut:
a. Faktor penghambat
Faktor yang menghambat dalam mencegah dan menanggulangi
perjudian di wilayah POLRES Banyumas adalah:
-
Faktor budaya
Kebiasaan melakukan tindak pidana perjudian yang diwariskan
dari dulu hingga sekarang secara turun temurun.
78
-
Faktor teknologi
Masyarakat yang melakukan tindak pidana perjudian kurang
memahami dengan adanya teknologi informatika.
-
Faktor sanksi pidana
Sanksi pidana dalam Pasal 303 KUHP dan Pasal 27 ayat (2)
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tetang ITE
menjelaskan
bahwa
sebagai
pedoman
hakim
dalam
menentukan putusan bukan sebagai penetapan pidana.
-
Faktor ekonomi
Pendapatan kapita rendah sehingga dapat melakukan tindak
pidana perjudian sebagai tambahan pemasukan ekonomi.
b. Faktor pendorong
Faktor yang mendorong dalam mencegah dan menanggulangi
perjudian di wilayah POLRES Banyumas adalah faktor kerjasama
antara kepolisian dengan tokoh masyarakat yang secara aktif dan
positif ikut serta dalam memberantas dan menanggulangi perjudian,
karena perjudian biasa terjadi dalam lingkungan masyarakat sosial.
79
B. Saran
Terkait dengan jenis perjudian yang bukan hanya judi manual,
melainkan termasuk juga judi online, maka POLRES Banyumas diharapkan
dapat menambah sarana dan prasaran dalam rangka mengantisipasi jenis
perjudian tersebut. Sebagai contoh, POLRES Banyumas dapat menambahkan
fasilitas berupa fasilitas penyadapan untuk menanggulangi terjadinya tindak
pidana perjudian transnasional.
.
Download