1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtstaat) dan bukan negara atas kekuasaan (Machtsstaat), maka kedudukan hukum harus ditempatkan di atas segala-galanya. Setiap perbuatan harus sesuai dengan aturan hukum tanpa kecuali.1 Pembangunan dalam bidang hukum khususnya pembangunan hukum pidana, tidak hanya mencakup pembangunan yang bersifat struktural, yakni pembangunan lembaga-lembaga hukum yang bergerak dalam suatu meknisme, tetapi harus juga mencakup pembangunan substansial berupa produk-produk yang merupakan hasil suatu sistem hukum dalam bentuk peraturan hukum pidana, dan yang bersifat kultural, yakni sikap-sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi berlakunya sistem hukum. Upaya pembangunan dan pembaharuan hukum harus dilakukan secara terarah dan terpadu. Kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum dan penyusunan perundang-undangan baru sangat dibutuhkan. Instrumen hukum dalam bentuk 1 Jimly, Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Halaman : 69. 2 perundang-undangan ini sangat diperlukan untuk mendukung penegakkan hukum pidana dalam mencegah dan menanggulangi perjudian sebagai perilaku yang menyimpang harus terus dilakukan. Hal ini sangat beralasan karena perjudian merupakan ancaman yang nyata terhadap norma-norma sosial yang dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial. Perjudian merupakan ancaman riil bagi berlangsungnya ketertiban sosial, dengan demikian perjudian dapat menghambat pembangunan nasional. Hal tersebut karena perjudian mendidik orang untuk mencari nafkah dengan tidak sewajarnya dan membentuk watak “pemalas”. Sedangakan pembangunan membutuhkan individu yang giat bekerja keras dan bermental kuat. Sangat beralasan jika perjudian harus dicarikan cara dan solusi yang rasional untuk suatu pemecahannya. Karena sudah jelas perjudian merupakan problema sosial yang dapat mengganggu fungsi sosial dari masyarakat. Salah satu usaha rasional dalam mencegah dan menanggulangi perjudian adalah dengan pendekatan kebijakan hukum pidana. Pada saat ini kita dapat melihat dalam berbagai media cetak maupun media elektronik, banyak terjadi kasus perjudian. Perjudian pada dasarnya terdiri atas perjudian legal dan tindak pidana perjudian (selanjutnya disebut perjudian). Perjudian dibagi menjadi dua jenis yaitu perjudian online dan perjudian manual. Macam-macam judi manual antara lain yaitu sabung ayam, gaple, togel, judi hewan, dan sebagainya. Hal ini merupakan permasalahan yang sangat serius. Perjudian dalam penertibannya membuat resah masyarakat. Rasa aman yang merupakan hak setiap orang mulai 3 terganggu, sehingga dapat mengganggu kestabilan masyarakat itu sendiri. Mengingat pentingnya hal itu maka perjudian masyarakat ini tidak dapat kita pandang sebelah mata dan harus ditanggulangi secara serius. Peranan kepolisian sangatlah penting dalam mencegah dan memanggulangi perjudian. Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam mencegah dan menanggulangi perjudian harus dibutuhkan kerjasama antara kepolisian dengan masyarakat. Hal ini diperlukan karena mencegah dan menanggulangi perjudian bukanlah hal yang mudah apabila seluruhnya dibebankan kepada pihak kepolisian. Tugas kepolisian melindungi masyarakat namun dalam kenyataannya banyak akses-akses yang timbul dalam perjudian antara lain kejahatan, pencurian, pembunuhan, penganiayaan dan lain-lain. Perjudian merupakan gejala sosial yang berkembang dalam masyarakat dan hasil konstruksi sosial budaya. Perjudian manual misalnya togel, sabung ayam, dan lain-lain. Perjudian sudah membudaya dikalangan masyarakat sehingga sulit untuk mencari jalan keluarnya dari permasalahan ini. 4 Penyebab timbulnya perjudian karena memang gejala-gejala seperti itu secara patologis (ilmu tentang penyakit sosial atau penyakit masyarakat) disebutkan bahwa apabila dibiarkan maka akan mempengaruhi kehidupan masyarakat dan masyarakat itu sendiri tidak akan menjalankan fungsi-fungsi dalam kemasyarakatan. Apabila gejala-gejala tersebut dibiarkan maka akan menjurus ke pelanggaran hukum. Penggunaan hukum pidana ini sesuai dengan fungsi hukum sebagai social control atau pengendalian sosial yaitu suatu proses yang telah direncanakan lebih dahulu dan berencana untuk menganjurkan, mengajak, menyuruh atau bahkan aparat hukum yang terkait harus mengambil tindakan tegas agar masyarakat menjauhi dan akhirnya berhenti melakukan perjudian.2 Berdasarkan kenyataan tersebut di atas maka dalam mencegah dan menanggulangi perjudian diperlukan adanya kebijakan hukum pidana ( penal policy). Kebijakan tersebut harus dikonsentrasikan pada dua arah, yang pertama mengarah pada kebijakan aplikatif yaitu kebijakan untuk bagaimana mengoperasionalisasikan peraturan perundang-undangan hukum pidana yang berlaku pada saat ini dalam rangka menangani masalah tindak pidana perjudian. Sedangkan yang kedua adalah kebijakan formulatif atau kebijakan yang mengarah pada pembaharuan hukum pidana (penal law reform) yaitu kebijakan untuk bagaimana merumuskan peraturan pada undang-undang hukum pidana (berkaitan pula dengan konsep KUHP Baru) yang 2 Media Hukum.Hukum online.com. diunduh tanggal 20 Oktober 2012. 5 tepatnya dalam rangka mencegah dan menanggulangi perjudian pada masa mendatang. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas? 2. Faktor-faktor apa yang menghambat dan mendorong dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui bagaimana peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas. b. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menghambat dan mendorong dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas. 6 2. Kegunaan penelitian a. Kegunaan teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan pustaka hukum yang berkaitan dengan Hukum Pidana terutama yang berkaitan dengan masalah mencegah dan menanggulangi perjudian. b. Kegunaan praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan informasi kepada masyarakat dan kepolisian tentang peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi suatu sumbangan pemikiran untuk masyarakat terutama yang berkaitan dengan masalah mencegah dan menanggulangi perjudian. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peranan Kepolisian Republik Indonesia 1. Pengertian peranan Menurut W. J. S. Poerwodarminto, peran adalah perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Peranan adalah bagian yang dimiliki seseorang, ia berusaha menjalankan dengan baik semua hal yang dibebankan oleh seseorang dalam suatu peristiwa,3 dan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, peranan yaitu bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.4 Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka telah menjalankan suatu peranan. Setiap orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya dan hal itu sekaligus berarti bahwa peranan tersebut menentukan 3 W. J. S. Poerwodarminto, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Halaman : 473. 4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Halaman : 66. 8 apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya.5 Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi , penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Peranan lebih tepatnya adalah bahwa seseorang menduduki suatu posisi atau tempat dalam masyarakat, serta dalam menjalankan suatu peranan. Suatu peranan mencakup paling sedikit 3 hal, yaitu:6 a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan. b. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai prilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Pembahasan perihal aneka macam peranan yang melekat pada individu-individu dalam masyarakat penting hal-hal sebagai berikut: a. Peranan-peranan tertentu harus dilaksanakan apabila struktur masyarakat hendak dipertahankan kelangsungannya. b. Peranan tersebut seyogyanya dilekatkan pada individu-individu yang oleh masyarakat dianggap mampu melaksanakannya. Mereka 5 Soerjono Soekanto, 1982, Suatu Pengantar Sosiologi, Radar Jaya Offset , Jakarta, Halaman: 237. 6 Ibid. Halaman: 238-239. 9 harus terlebih dulu terlatih dan mempunyai hasrat untuk melaksanakannya. c. Dalam masyarakat kadangkala dijumpai individu-individu yang tak mampu melaksanakan perannya sebagaimana diharapkan oleh masyarakat. Karena mungkin pelaksanaannya memerlukan pengorbanan arti kepentingan-kepentingan pribadi yang terlalu banyak. d. Apabila semua orang sanggup dan mampu melaksanakan peranannya, belum tentu masyarakat akan dapat memberikan peluang-peluang yang seimbang. Bahkan seringkali terlihat betapa masyarakat terpaksa membatasi peluang-peluang tersebut. Peranan “role” merupakan aspek dinamis kedudukan atau status. Apabila melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya makan dia menjalankan suatu peranannya. Pentingnya peranan adalah karena ia mengatur perilaku seseorang. Peranan yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi pergaulan dengan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat yaitu “Social Position” merupakan unsur statis yang menunjukan tempat individu pada organisasi masyarakat.7 7 Ibid. Halaman: 242. 10 Menzies mengemukakan ada tiga langkah untuk analisis suatu hal dengan berlandaskan peran, yaitu:8 1. Mengindikasikan berbagai harapan yang sangat penting berkaitan dengan topik yang hendak dikaji; 2. Memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat disosialisasikan kesengajaan dalam harapan-harapan tersebut dan bagaimana mereka membangun adalah self conception. 3. Mendiskusikan tindakan yang muncul dari harapan tersebut dengan asumsi situasi yang melingkupi secara internal tidak berubah. Di Indonesia terdapat kecenderungan untuk lebih mementingkan kedudukan daripada peranan. Gejala tersebut terutama disebabkan adanya kecenderungan kuat untuk lebih mementingkan nilai materialisme daripada spiritualisme. Nilai materialisme di dalam kebanyakan hal diukur dengan adanya atribut-atribut atau ciri-ciri tertentu yang bersifat lahiriah dan di dalam kebanyakan hal bersifat komsumtif.9 Dipandang dari sudut sosiologis, peranan (role) akan senantiasa berkaitan dengan kedudukan atau status, dengan demikian memahami peranan kepolisian tidak terlepas dari kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan yang dianut. Pada negara Demokrasi, fungsi kepolisian dapat dikelompokkan ke dalam tiga fungsi yang menuntut watak dan cara kerja yang berbeda satu sama lain, yakni fungsi memerangi kejahatan (fighting crime), fungsi melindungi warga (protecting people), dan fungsi memelihara ketertiban 8 Menzeis, dalam Skripsi Sarjana oleh Novia, 2007, Pemberdayaan Masyarakat Desa, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Purwokerto, Halaman : 7-8. 9 Soerjono Soekanto, Op. Cit, Halaman : 146. 11 umum (preservation law and other). Fungsi-fungsi kepolisian demikian itu kemudian melahirkan empat peranan yang harus diemban, yakni peran sebagai badan penegak hukum (law enforcement agency), peran sebagai pemelihara ketertiban (law and other maintenance), peran sebagai juru damai (peace keeping official), dan peran sebagai pelayanan publik (public servant). Peranan tersebut diharapkan bermuara kepada output melindungi (to protect), dan melayani (to serve) warga, sehingga polisi dapat menjadi penjaga nilainilai sipil dalam iklim kehidupan demokrasi. 10 2. Pengertian peranan Kepolisian Republik Indonesia Secara universal peran polisi dalam masyarakat dirumuskan sebagai penegak hukum atau “Law Enforcement Officer” dan pemeliharaan ketertiban atau “Order Maintanance”. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya peranan sebagai pembasmi kejahatan atau “Crime Fighter”. Sebagai polisi mandiri dalam tugasnnya harus bersikap professional dan bertindak sesuai dengan undang-undang yang berlaku, yang selalu mengedepankan tindakan preventif.11 Marc Ancel menyatakan bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga komponen yaitu “criminology”, “criminal law”, dan “penal policy”. 10 M. Karjati, 1976, Polisi (Status, Tugas, Kewajiban, dan Wewenang), Politea, Bogor, Halaman : 23. 11 Sadjijono, 2008, Seri Hukum Kepolisian POLRI dan Good Governance, Laksbang Mediatama, Halaman : 154. 12 Dikemukakan oleh Marc Ancel, bahwa penal policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya karena pembuat undang-undang, tetapi juga karena pengadilan yang menetapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.12 Dilihat sebagai bagian dari politik hukum, dengan demikian maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Dengan demikian terlihat pula dalam definisi ”penal policy” dari Marc Ancel yang telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”. Dengan demikian yang dimaksud dengan “peraturan hukum positif” (the positive rules) dalam definisi Marc Ancel itu jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian istilah “penal policy” adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana. 13 Pada Pasal 1 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dijelaskan peran serta 12 Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Halaman : 23-24. 13 Ibid. Halaman : 27-28. 13 wewenang kepolisian. Peranan kepolisian di masyarakat adalah sebagai mitra yang saling membutuhkan, polisi atau petugas kepolisian di Indonesia mempunyai fungsi dan struktur kehidupan masyarakat sebagai pengayom masyarakat dan penegak hukum, yaitu mempunyai tanggung jawab khusus untuk memelihara ketertiban masyarakat dan menangani kejahatan, baik dalam bentuk tindakan terhadap pelaku kejahatan maupun dalam bentuk upaya mencegah dan menanggulangi kejahatan agar masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tentram. Peranan kepolisian dalam menegakkan hukum dan melindungi masyarakat dari berbagai gangguan rasa tidak aman yang bersal dari tindak pidana kejahatan dalam kenyataannya tidak dapat dipungkiri. Pada dasarnya hubungan kepolisian dengan masyarakat terbagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu:14 a. Posisi seimbang atau setara, dimana polisi dan masyarakat menjadi mitra yang saling bekerja sama dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi di masyarakat. b. Posisi kepolisian yang dianggap masyarakat sebagai mitranya, sehingga beberapaa kebutuhan rasa aman harus dipahami dan dipenuhi. c. Posisi kepolisian sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, sekaligus sebagai aparat penegak hukum yang dapat dipercaya. 14 http://jawara-agotax.blogspot.com/2011/04/peranan-kepolisian.html di unduh tanggal 30 Oktober 2012. 14 3. Fungsi dan tugas pokok Kepolisian Republik Indonesia Fungsi merupakan suatu kegiatan atau aktifitas yang berkaitan dengan tugas pokok yang wajib dilaksanakan. Tugas pokok yang dilaksanakan tersebut untuk mencapai tujuan dari organisasi dimaksud. Maka fungsi kepolisian berkaitan erat dengan tugas dan wewenang lembaga lembaga kepolisian yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan dari bentuknya organisasi tersebut. Sebab tujuan di bentuknya lembaga kepolisian adalah untuk menciptakan kondisi aman, tentram dan tertib dalam masyarakat. Di dalam menyelenggarakan tugas dan wewenang tersebut dicapai melalui tugas preventif dan tugas represif. Menurut Bisri Ilham, dalam menjalankan fungsi sebagai aparat penegak hukum polisi wajib memahami asas-asas hukum yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pelaksanaan tugas, yaitu sebagai berikut:15 1. Asas Legalitas, dalam melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum wajib tunduk pada hukum. 2. Asas Kewajiban, merupakan kewajiban polisi dalam menangani permasalahan dalam masyarakat yang bersifat diskresi, karena belum diatur dalam hukum. 3. Asas Partisipasi, dalam rangka mengamankan lingkungan masyarakat, polisi mengkoordinasikan pengamanan swakarsa untuk mewujudkan ketaatan hukum di kalangan masyarakat. 4. Asas Preventif, selalu mengedepankan tindakan pencegahan daripada penindakan (represif) kepada masyarakat. 15 Bisri Ilham, 2004, Sistem Hukum Indonesia, Grafindo Persada, Jakarta, Halaman : 32. 15 5. Asas Subsidaritas, melakukan tugas instansi lain agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar sebelum ditangani oleh instansi yang membidangi. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, polisi masih mempunyai fungsi yang lain yaitu: 1. Fungsi Kepolisian dalam Pembangunan Bidang Politik dan Bidang Hukum. Fungsi kepolisian bersangkut paut dengan hak dan kewajiban warga negara secara langsung, kesadaran politik masyarakat, termasuk didalamnya kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara akan memberikan corak persepsi masyarakat terhadap peranan fungsi kepolisian termasuk dalam perlindungan hak-haknya dalam hubungan dengan kewajiban-kewajibannya. Sementara itu, berkaitan dengan fungsional antar pengemban fungsi kepolisian menurut kualitas sikap profesionalisme aparatur negara yang setara sehingga pembangunan dan pembinaan pun harus dalam satu perencanaan yang terpadu, khususnya aparatur penegak hukum yang termasuk dalam Criminal Justice System. 2. Fungsi Kepolisian dan Pembangunan Bidang Pertahanan Keamanan. Tataran fungsi kepolisian tidak hanya mencakup tugas represif saja tetapi kewajiban umumnya menjangkau tataran bidang tugas 16 preventif bimbingan masyarakat, dan preventif dalam rangka mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat. Untuk melaksanakan tugas dalam membina keamanan dan ketertiban masyarakat, polisi berkewajiban dengan segala usaha, ketekunan dan kecermatan. Kewajiban polisi pada hakekatnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:16 a. Kewajiban Preventif (Pencegahan) yaitu melaksanakan segala usaha, pekerjaan dan kegiatan dalam penyelenggaraan, melindungi negara dan badan hukum, kesejahteraan, kesentausaan, kemanan, dan ketertiban umum. Orang-orang dan harta bendanya terhadap serangan dan budaya dengan jalan mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang walaupun tidak dilakukan dengan pidana, akan tetapi mengakibatkan terganggunya keamanan dan ketertiban umum. b. Kewajiban Represif (memberantas) yaitu kewajiban melakukan segala usaha, pekerjaan dan kegiatan untuk membantu tugas kehakiman guna memberantas perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana dan telah dilakukan secara penyidikan, penangkapan, dan penahanan yang berbuat salah, memeriksa, menggeledah, dan membuat berita acara pemeriksaan pendahuluan serta mengajukan kepeda jaksa untuk dituntut pidana di muka hakim yang berwajib. Berdasarkan hal tersebut, maka fungsi utama kepolisian adalah untuk menghentikan sesuatu yang seharusnya tidak boleh terjadi dan mendorong seseorang agar berbuat lebih baik. Namun menurut Sadjijono secara umum fungsi kepolisian adalah untuk menegakkan hukum, memelihara keamanan 16 M. Karjati, Op. Cit, Halaman: 15. 17 dan ketertiban masyarakat, mendeteksi, dan mencegah terjadinya kejahatan dan memerangi kejahatan dalam arti:17 a. Menegakkan hukum dan bersamaan dengan itu menegakkan keadilan sesuai dengan hukum yang berlaku; b. Memerangi kejahatan yang mengganggu dan merugikan masyarakat, warga masyarakat dan negara; c. Mengayomi dan melindungi masyarakat, warga masyarakat dan negara dari ancaman dan tindak kejahatan yang mengganggu dan merugikan; d. Memberikan pelayanan kepada masyarakat. Berkaitan dengan fungsi kepolisian, dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan, bahwa: (1) Pengemban fungsi kepolisian adalah kepolisian negara Republik Indonesia yang dibantu oleh: a. Kepolisian khusus, b. Penyidik pegawai negeri sipil, dan/atau, c. Bentuk-bentuk pengamanan swakarasa. (2) Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, dan c, melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memuat pokok pikiran tentang subyek yang menyelenggarakan fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan istilah pengemban fungsi kepolisian. Pengemban fungsi kepolisian ditemukan melalui penguraian dimensi fungsi kepolisian yang 17 Sadjijono, Op. Cit, Halaman : 197. 18 terdiri dari dimensi yuridis dan sosiologis. Dalam dimensi yuridis fungsi kepolisian yang terdiri atas fungsi kepolisian umum dan fungsi kepolisian khusus. Menurut Pudi Rahardi fungsi kepolisian umum berkaitan dengan kewenangan kepolisian berdasarkan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang meliputi semua lingkungan kuasa hukum, yaitu: 18 a. Lingkungan kuasa soal-soal yang termasuk dalam kompetensi hukum publik; b. Lingkungan kuasa orang; c. Lingkungan kuasa tempat; d. Lingkungan kuasa waktu. Dalam hal ini, pengemban fungsi kepolisian umum, sesuai dengan undangundang ini adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, sehingga tugas dan wewenangnya dengan sendirinya akan mencakup keempat lingkungan kuasa tersebut. Selain dilihat dari tataran fungsi kepolisian, kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia juga mencakup tataran represif, preventif, dan preemtif. 4. Tugas dan wewenang Kepolisian Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa tugas dan wewenang kepolisisan diatur di dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 19. Pasal 18 Pudi Rahardi, 2007, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri), Laksbang Mediatama, Surabaya, Halaman : 57-58. 19 13 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Menerima laporan dan/atau pengaduan; b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum; c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administrasi kepolisisan; f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. Mencari keterangan dan barang bukti; j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat. m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. 5. Politik Kriminal (Criminal Policy) Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan 20 dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak (pemerintah, organisasi) dan penyataan cita-cita tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran dan haluan.19 Sudarto dalam Barda Nawawi Arief mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu:20 a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundangundangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Barda Nawawi Arief, menerangkan bahwa kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Maka dapat dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga bagian integral dari politik sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan 19 Tim Penyusun Departemen Pendidikan, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, Halaman : 569. 20 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, Halaman : 2-3. 21 sosial. Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti:21 a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial. b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan upaya penal dan non-penal. Penegasan perlunya upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan diintergrasikan dengan keseluruhan kebijakan sosial dan perencanaan pembangunan (nasional), terungkap dalam pernyataan Sudarto, bahwa apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi-segi negatif dari perkembangan masyarakat atau modernisasi (antara lain pencegahan dan penanggulangan kejahatan), maka hendaknya dilihat dari hubungan keseluruhan politik criminal atau social defense planning, dan harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan.22 Menurut Hamdan, politik kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan pengakan hukum (law enforcement policy). Hal ini tentunya dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang terdiri dari sistem kepolisian, subsistem kejaksaan, subsistem pengadilan dan subsistem lembaga pemasyarakatan. Dalam hal penanggulangan kejahatan (politik kriminal) digunakan pula dua kebijakan, yaitu: 23 21 Ibid. Halaman : 5. Ibid. Halaman : 6. 23 Hamdan, 1996, Politik Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Halaman : 24. 22 22 a. Penal, yaitu dengan menggunakan sanksi pidana (jadi termasuk bidang politik hukum pidana) b. Non-Penal, yaitu termasuk didalamnya dengan menggunakan sanksi administratif, sanksi perdata, dll. B. Perjudian 1. Pengertian dan istilah tindak pidana Tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lainnya, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana.24 Tentang penggolongan tindak-tindak pidana harus dimulai dengan mencari persamaan sifat semua tindak pidana. Dari persamaan sifat ini kemudian dapat dicari ukuran-ukuran atau kriteria untuk membedakan suatu golongan tindak pidana dari golongan lain dan dari setiap golongan ini mungkin bisa dipecah lagi ke dalam dua atau lebih subgolongan. Sifat-sifat yang ada dalam setiap tindak pidana adalah sifat melanggar hukum ( wederrechtelijkheid, onrechtmatigheid). Tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 24 Wirjono, Prodjodikoro, 2003, Tindak-Tindak PIdana Tertentu Di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, Halaman: 1. 23 2. Pengertian tindak pidana perjudian Tindak pidana perjudian adalah permainan dimana pemain bertaruh untuk memilih satu pilihan di antara beberapa pilihan dimana hanya satu pilihan saja yang benar dan menjadi pemenang. Pemain yang kalah taruhan akan memberikan taruhannya kepada si pemenang. Peraturan dan jumlah taruhan ditentukan sebelum pertandingan dimulai. Judi pemenuhan prestasinya digantungkan terjadinya suatu peristiwa atau masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda. Macam- macam perjudian manual antara lain togel, gaple, sabung ayam, judi hewan dan sebagainya. Tindak pidana perjudian unsur pokoknya yaitu adanya permainan dan taruhan. Masalah undian juga termasuk perjudian, ada undian yang legal dan ada undian yang illegal. Undian yang legal berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1954 bahwa tiap-tiap penyelenggara undian harus mendapat ijin dari menteri sosial yang pelaksanaannya diserahkan pada daerah. Setiap 2 tahun sekali ijin tersebut harus ditinjau kembali apakah masih sesuai dengan kondisi masyarakat di daerahnya atau tidak. Undian yang illegal yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Pada tanggal 8 Januari Tahun 1975 yang menyatakan bahwa menurut Putusan Mahkamah Agung No. 130/ K/ KR/ 1972 tentang Lotre Buntut merupakan tindak pidana perjudian yang memenuhi syarat Pasal 303 bis 24 KUHP. Sekarang lotre buntut disebut sebagai judi online. Setelah adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, judi online tidak termasuk dalam Pasal 303 ayat (3) KUHP lagi karena dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sudah diatur ketentuan pidana judi online yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2). Tindak pidana merupakan suatu hal yang sangat penting dan mendasar dalam hukum pidana. Moeljatno lebih sering menggunakan kata perbuatan daripada tindakan. Menurut beliau” perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar aturan tersebut”. 25 Unsur atau elemen perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah: 1. 2. 3. 4. 5. Kelakuan dan akibat (=perbuatan). Hal ikhwal atau perbuatan yang menyertai perbuatan. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. Unsur melawan hukum yang obyektif. Unsur melawan hukum yang subyektif. Lebih lanjut dalam penjelasan mengenai perbuatan pidana terdapat syarat formil dan syarat materiil. Syarat formil dalam perbuatan pidana adalah adanya asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 KUHP, sedangkan syarat materiil adalah perbuatan tersebut harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut karena 25 Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Halaman: 63. 25 bertentangan denganatau menghambat akan terciptanya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat. Peran hukum terasa sekali dalam mewarnai tata kehidupan bermasyarakat. Dengan wibawa dan daya guna itu semakin berperan serta dalam upaya menstrukturisasi kehidupan sosial, sehingga struktur kehidupan sosial masyarakat dapat diubah dan dikembangakan ke arah kehidupan bersama yang lebih maju, lebih menjamin kesejahteraan dan kemakmuran bersama yang berkeadilan yang menjadi tujuan hidup bersama dalam masyarakat. Selain daripada itu hukum berperan signifikan dalam mendorong proses pembangunan suatu masyarakat sebagai rekayasa sosial dan hukumpun mengendalikan baik para pelaksana penegak hukum maupun mereka yang harus mematuhi hukum, yang mana kesemuanya berada dalam proses pengendalian sosial agar gerak kerja hukum menjadi sesuai dengan hakekatnya sebagai sarana ketertiban, keadilan dan pengamanan serta menunjang pembangunan. Hukum lahir dalam pergaulan masyarakat dan tumbuh berkembang di tengah masyarakat, sehingga hukum mempunyai peran penting di dalam mengatur hubungan antar individu maupun hubungan antar kelompok. 26 Hukum berusaha menjamin keadilan di dalam pergaulan hidup manusia, sehingga tercipta ketertiban dan keadilan. Berkaitan dengan masalah judi ataupun perjudian yang sudah semakin merajalela dan merasuk sampai ke tingkat masyarakat yang paling bawah sudah selayaknya apabila permasalahan ini bukan lagi dianggap masalah sepele. Masalah judi maupun perjudian lebih tepat disebut kejahatan dan merupakan tindakan kriminal yang menjadi kewajiban semua pihak untuk ikut serta mencegah dan menanggulangi perjudian sampai tingkat yang paling tinggi. Judi atau perjudian dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian disebut “Sebagai tindak pidana perjudian dan identik dengan kejahatan, tetapi pengertian dari tidak pidana perjudian pada dasarnya tidak disebutkan secara jelas dan terinci baik dalam KUHP maupun dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974”.26 Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 disebutkan adanya pengklasifikasian terhadap segala macam bentuk tindak pidana perjudian sebagai kejahatan, dan memberatkan 26 Wantjik, Saleh, 1976, Perlengkapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, Halaman: 69. 27 ancaman hukumnya. Ancaman hukuman yang berlaku sekarang ternyata sudah tidak sesuai lagi dan tidak membuat pelakunya jera. 3. Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perjudian Tindak pidana perjudian yang terjadi di masyarakat karena adanya faktor-faktor yang mendukung, beberapa faktor-faktot penyebab terjadinya tindak pidana perjudian, yaitu:27 a. Faktor sosial ekonomi Bagi masyarakat dengan status sosial dan ekonomi yang rendah, perjudian seringkali dianggap sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Dengan modal yang sangat kecil mereka akan mendapatkan keuntungan yang besar atau menjadi kaya dalam sekejap tanpa usaha yang besar. Kondisi sosial masyarakat yang menerima perjudian juga berperan besar terhadap tumbuhnya perilaku dalam komunitas. b. Faktor situasional Situasi yang bisa dikategorikan sebagai pemicu perjudian diantaranya adalah tekanan dari teman-teman atau kelompok atau lingkungan untuk berpartisipasi dalam perjudian dan metodemetode pemasaran yang dilakukan oleh pengelola perjudian. Tekanan kelompok membuat calon penjudi merasa tidak enak, jika tidak menuruti apa yang diinginkan oleh kelompoknya. c. Faktor belajar Sangatlah masuk akal jika faktor belajar memiliki efek yang besar terhadap pelaku perjudian, terutama menyangkut keinginan untuk terus berjudi. Yang memang pada awalnya hanya mencoba, akan tetapi karena penasaran dan berkeyakinan bahwa kemenangan akan terjadi kepada siapapun, termasuk dirinya, sehingga membuatnya melakukan perjudian berulang kali. 27 http://cesar-note.blogspot.com/2012/04/faktor-faktor-terjadinya perjudian.html di unduh tanggal 2 November 2012 28 d. Faktor persepsi tentang probabilitas kemenangan Persepsi pelaku yang dalam membuat suatu evaluasi terhadap peluang menang yang akan diperolehnya jika ia melakukan perjudian. Dalam benak penjudi tertanam pikiran “kalau sekarang belum menang pasti di kesempatan berikutnya akan menang, begitu seterusnya”. e. Faktor persepsi terhadap keterampilan Penjudi yang merasa dirinya sangat terampil dalam salah satu atau beberapa jenis permainan judi akan cenderung menganggap bahwa keberhasilan atau kemenangan dalam permainan judi adalah karena keterampilan yang dimilikinya. Bagi mereka kekalahan dalam perjudian tidak pernah dihitung sebagai kekalahan tetapi dianggap sebagai “hampir menang”, sehingga mereka terus menerus memburu kemenangan yang menurut mereka pasti didapatkan. 4. Upaya mencegah dan menanggulangi tindak pidana perjudian Salah satu upaya untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perjudian adalah dengan cara melakukan kebijakan hukum pidana, artinya hukum pidana digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi penyakit masyarakat. Upaya untuk mencegah dan menanggulangi perjudian dapat dilakukan melalui upaya penal (saran hukum pidana) maupun upaya nonpenal (sarana di luar hukum pidana). Sehubungan dengan kebijakan penegakan hukum pidana ini, Muladi mengemukakan bahwa apabila dilihat 29 dari suatu proses kebijakan, penegakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap:28 1. Tahap formulasi, yaitu penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini dapat juga disebut tahap kebijakan legislatif. 2. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparataparat penegak hukum dari Kepolisian sampai Pengadilan. Tahap kedua ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif. 3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara kongkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan ekstra administratif. Ketiga tahap itu dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang merupakan perwujudan dari kebijakan (pembangunan) nasional. Jadi tegasnya kebijaan pembangunan harus diusahakan terwujud pada ketiga tahap kebijakan penegakan hukum pidana itu. Inilah makna dari konsekuensi dari pernyataan bahwa penegakkan hukum pidana merupakan bagian integral dari kebijakan sosial seperti diuraikan di muka. Jadi tersimpul di dalamnya pengertian social enginerring by criminal law.29 Kecenderungan kejahatan serta strategi-strategi dalam mencegah dan menanggulangi perjudian perlu diperhatikan. Polisi dan instansi penegak hukum harus memperhatikan perkembangan tindak pidana perjudian, 28 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, Halaman : 13-14. 29 Loc. cit. 30 sehingga dalam upaya mencegah dan menanggulangi tindak pidana perjudian dapat dilaksanakan dengan baik. Usaha mencegah dan menanggulangi tindak pidana perjudian harus ditingkatkan lagi, terutama usaha yang dilakukan pihak kepolisian menyangkut kegiatan yang berkaitan dengan tindak pidana perjudian serta melakukan kerjasama antara instansi penegak hukum. Dinyatakan oleh March Ancel, bahwa sistem hukum pidana pada abad XX masih tetap harus diciptakan. Sistem demikian hanya dapat disusun dan disempurnakan oleh usaha semua orang yang beritikad baik dan juga oleh ahli di bidang ilmu-ilmu sosial.30 Pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah sematamata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistemik-dogmatik. Disamping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif. Bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.31 30 31 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, Halaman : 27. Ibid, Halaman: 23-24. 31 C. Perjudian Ditinjau dari Hukum Pidana Salah satu syarat untuk hidup sejahtera dalam masyarakat adalah tunduk kepada tata tertib atas peraturan di masyarakat atau negara, kalau tata tertib dalam masyarakat itu berlaku lemah dan berkurang maka kesejahteraan dalam masyarakat yang bersangkutan akan mundur dan mungkin kacau sama sekali. Untuk mendapat gambaran dari hukum pidana, maka lebih dahulu dilihat pengertian dari pada hukum pidana. Menurutt Moeljatno dalam bukunya Asasasas Hukum Pidana, “hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang dasar aturan-aturan untuk:32 1. Menentukan perbuatan-perbuatan yang mana tidak boleh dilakukannya, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan itu. 2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Dikatakan bahwa hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, karena disamping hukum pidana itu masih ada hukum-hukum yang lain misalnya hukum perdata, hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum islam dan sebagainya. 32 Moeljatno, Op. Cit, Halaman : 1. 32 Membicarakan hukum pidana tidak lepas kaitannya dengan subyek yang dibicarakan oleh hukum pidana itu. Adapun yang menjadi subyek dalam hukum pidana itu adalah manusia selaku anggota masyarakat. Manusia selaku subyek hukum yang mendukung hak dan kewajiban di dalam menjalankan aktivitas yang berhubungan dengan masyarakat tidak jarang menyimpang dari norma yang ada. Adapun penyimpangan itu berupa tingkah laku yang dapat digolongkan dalam pelanggaran dan kejahatan yang sebetulnya dapat membahayakan keselamatan diri sendiri, masyarakat menjadi resah, aktivitas hubungannya menjadi terganggu, yang menyebabkan didalam masyarakat tersebut sudah tidak terdapat lagi ketertiban dan ketentraman. Sebagaimana diketahui secara garis besar adanya ketertiban itu dipenuhi oleh adanya peraturan atau tata tertib, ketentuan-ketentuan yang bersangkutan dengan tata tertib ini dalam kaidah atau norma yang tertuang posisinya di dalam masyarakat sebagai norma hukum. Dengan adanya tatanan norma tersebut, maka posisi yang ditekankan adalah norma hukum, meskipun norma lain tidak kalah penting perannya dalam kehidupan masyarakat. Untuk menjaga ketertiban dan ketetntraman tersebut, hukum pidana diharapkan selain difungsikan di hukum lainnya yang terdapat di dalam masyarakat. Norma hukum sedikit atau banyak berwawasan pada objek peraturan yang bersifat memaksa dan dapat disebut hukum. Adapun maksud disusunnya hukum dan peraturan lainnya adalah untuk mencapai ketertiban dan kesejahteraan 33 dalam masyarakat. Dan oleh sebab itu pembentukan peraturan atau hukum kebiasaan atau hukum nasional hendaklah selalu benar-benar ditunjukan untuk kepentingan umum. 34 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan yuridis sosiologis (social legal approach). Penelitian ini menitikberatkan hukum sebagai pranata sosial yang secara riil dikaitkan dengan variable-variabel sosial yang lain. Dalam hal ini hukum dipandang sebagai suatu fenomena sosial yang dalam interaksinya tidak terlepas dari fakor-faktor non hukum.33 Penelitian yuridis sosiologis dengan pendekatan kuantitatif dimaksudkan untuk menemukan penjelasan atau makna terhadap sebuah realitas atau fakta. 34 Dalam penelitian ini, peneliti akan terfokus pada peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah Polres Banyumas dan faktorfaktor yang menghambat dan mendorong peranan kepolisian tersebut. 33 Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Halaman : 133. 34 Ronny Hanitijo Soemitro, 1982, Metodologo Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Halaman : 11. 35 B. Metode Pengambilan Data Penelitian ini digunakan beberapa metode penelitian antara lain: survey lapangan, studi pustaka, dan studi dokumentasi. Survey lapangan merupakan prosedur penentuan informan melalui wawancara. Survey lapangan dimaksudkan untuk mengetahui keadaan nyata objek penelitian. Studi pustaka merupakan cara memperoleh data-data dengan memfokuskan pada data yang ada pada pustakapustaka baik yang terorganisir maupun yang tidak. Studi pustaka dimaksudkan untuk mencari data-data sekunder yang dibutuhkan guna menjelaskan data-data primer, sedangkan studi dokumentasi memperoleh data yang bersifat dokumendokumen resmi. Studi dokumen bertujuan menerangkan data primer dan juga data sekunder. Digunakannya rancangan penelitian di atas didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam penelitian ini diperlukan data primer sebagai data utama ditunjang dengan data-data yang bersifat sekunder. C. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian deskriptif. Spesifikasi penelitian deskriptif oleh Soerjono Soekanto dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum dijelaskan sebagai berikut : Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau 36 gejala–gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.35 Spesifikasi penelitian secara deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran suatu realitas yang terjadi di lapangan mengenai peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah Polres Banyumas dan faktor-faktor yang mengambat dan mendorong peranan kepolisian tersebut. D. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada lembaga yang terkait, yaitu di wilayah hukum POLRES Banyumas, Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, dan Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Sebagai alasan pengambilan lokasi tersebut merupakan sumber dari pencarian data primer. Data sekunder berupa peraturan perundangundangan dan juga dokumentasi yang diperoleh dari Polres Banyumas tergolong lengkap dan siap untuk dilakukan penelitian, dengan demikian validitas mutu dapat dicapai. 35 Soerjono, Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, Halaman : 10. 37 E. Informan Penelitian Informan dalam penelitian ini yaitu : a. Kasat Reskrim Polres Banyumas; b. Kasat Intel Polres Banyumas; c. Kasat Binmas Polres Banyumas; d. Pemain judi. F. Teknik Penentuan Informan Dalam penelitian ini tidak semua sampel diberikan peluang atau kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi subyek penelitian. Pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini dengan cara “purposive sampling” Purposive sampling yaitu salah satu strategi pengambilan sampel sebagai sumber data dengan pertimbangan tertentu.36 Pertimbangan tertentu ini adalah subyek yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, yaitu tentang peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas dan faktor-faktor yang mengambat dan mendorong peranan kepolisian tersebut. Dalam purposive sampling, penulisan kelompok subyek atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut erat dengan 36 Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, Halaman : 218. 38 ciri-ciri atau sifat-sifat populasi sebelumnya. Ciri-ciri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah: a. Informan merupakan Kasat Reskrim, Kasat Intel, Kasat Binmas POLRES Banyumas, Pemain judi. b. Semua informan mengetahui tentang peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas. Berdasarkan ciri-ciri tersebut di atas, informan dalam penelitian ini yaitu: a. Kasat Reskrim POLRES Banyumas; b. Kasat Intel POLRES Banyumas; c. Kasat Binmas POLRES Banyumas; d. Pemain judi. G. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini sumber data penelitian meliputi: a. Data Primer Sumber data primer atau data dasar (primary data atau basic data) adalah data primer diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni perilaku warga masyarakat, melalui penelitian.37 Dalam penelitian ini 37 Soerjono, Soekanto, 1981, Op. Cit., Halaman : 10. 39 sumber data primer berdasarkan pendapat langsung dari responden yang meliputi pendapat para pejabat di lingkungan POLRES Banyumas. b. Data Sekunder Sumber data sekunder yaitu berupa dokumen-dokumen resmi dan buku-buku literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan, hasilhasil penelitian yang berwujud laporan, peraturan perundang-undangan. Menurut Soerjono Soekanto & Sri Mamudji dalam Pengantar Penelitian Hukum, ciri-ciri umum dari data sekunder, adalah sebagai berikut:38 a) Pada umumnya dara sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan segera, b) Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian tidak mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan, pengelolaan, analisa, maupun konstruksi data, c) Tidak terbatas oleh waktu maupun tempat. Data sekunder dibidang hukum dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi: a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritarif artinya memiliki suatu otoritas, mutlak, dan mengikat. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar, 38 Loc. Cit. 40 peraturan perundang-undangan, catatn resmi, lembaran negara, penjelasan, risalah, putusan hakim dan yurisprudensi. b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari kalangan hukum dalam bentuk buku-buku atau artikel. Bahan hukum sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa data primer tidak dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukan bahan hukum primer dan sekunder untuk melengkapi deskripsi suatu realitas. H. Teknik Pengumpulan Data a. Data Primer Data Primer , yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian yaitu di wilayah hukum POLRES Banyumas dengan menggunakan metode: 1) Wawancara (Interview) Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara 41 (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.39 Dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawancara semistruktur yaitu jenis wawancara campuran antara wawancara struktur yang untuk mengetahui informasi baku dimana peneliti memiliki panduan wawancara dan wawancara tak terstruktur dimana wawancara berjalan mengalir sesuai topik atau dikatakan wawancara terbuka. Pemilihan wawancara semi terstrukrur ditujukan untuk mendapatkan informan yang lengkap selain informan dari wawancara yang menggunakan panduan. 2) Observasi Observasi yang digunakan adalah observasi tak terlihat (nonparticipant observation) berperan atau keterlibatan pasif dalam penelitian ini dilakukan oleh peneliti ketika peneliti tidak terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku yang diamati, jadi peneliti hanya mengamati saja. Observasi dimaksudkan untuk melihat gejala-gejala, aktivitas, dan hal lain yang dapat mendukung metode wawancara. 39 186. Lexy J. Maleong, 2008, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosda Karya, Jakarta, Halaman : 42 b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara melakukan studi pustaka dan studi dokumen terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku literarur dan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek atau materi penelitian. Studi pustaka merupakan cara memperoleh data-data dengan memfokuskan pada data yang ada pada pustaka-pustaka baik yang terorganisir maupun yang tidak. Studi pustaka dimaksudkan untuk mencari data sekunder yang dibutuhkan guna menjelaskan data primer. I. Instrumen Penelitian a. Instrument penelitian yang utama adalah peneliti, karena penelitilah yang berperan aktif dilapangan yang ditunjang oleh instrument lainnya. Maleong menyebutkan bahwa manusia adalah sebagai instrument penelitian karena didasarkan pada manusialah yang menentukan semua tahapan penelitian;40 b. Dengan instrument outline interview yang diajukan kepada informan tertentu. Kemudian digunakan catatan lapangan dan kamera; c. Pengumpulan data dengan memanfaatkan buku-buku untuk memperoleh data sekunder yang menunjang kelengkapan penelitian. Dalam pengumpulan data tersebut digunakan instrument kartu perpustakaan, katalog perpustakaan, dan form perpustakaan 40 Ibid. Halaman : 163. 43 J. Teknik Pengolahan Data Dalam penelitian ini, data yang telah terkumpul akan diolah dengan menggunakan Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Pada tahap Reduksi data, data tersebut dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok. Display data merupakan cara analisis data lapangan dengan membuat berbagai macam Matriks. Agar dapat diperoleh gambaran keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari data penelitian.41 Pada langkah ini peneliti berusaha menyusun data yang relevan sehingga dapat menjadi informasi yang dapat disimpulkan dan memiliki makna tertentu. Kemudian tahap berikutnya adalah penarikan kesimpulan yang merupakan konklusi akhir dari tahapan analisis. 42 K. Teknik Pengujian Data Cara yang digunakan untuk menguji validitas, kesahihan, keabsahan atau kebenaran data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber. Menurut Maleong, triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan 41 42 Sugiyono, Op.Cit., Halaman : 92. Ibid. Halaman : 99. 44 pengecekan atau sebagai pembandingan data itu.43 Triangulasi dilakukan bila terdapat data yang bertentangan, tidak sejalan, atau berbeda mengenai hal yang sama dari dua atau lebih sumber data serta pengecekan terhadap data yang tidak jelas, sehingga dapat diperoleh data yang dapat dipercaya kebenarannya. Menurut Maleong, sebagaimana yang dikutip oleh Patton membagi triangulasi menjadi empat jenis, yaitu: a. Triangulasi sumber, yaitu membandingkan dan mengecek kembali derajat kepercayaan data yang diperoleh melalui waktu dan alat berbeda dalam metode kualilatif; b. Triangulasi metode, yaitu dengan menggunakan dua strategi, yaitu pertama, mengecek kembali derajat kepercayaan data melalui beberapa teknik pengumpulan data, yang kedua mengecek kembali derajat kepercayaan data yang diperoleh dengan metode yang sama; c. Triangulasi peneliti, yaitu dengan mengecek kembali derajat kepercayaan data yang diperoleh dengan metode yang sama; d. Triangulasi teori, yaitu dengan mengecek kembali derajat kepercayaan data yang diperoleh melalui penelitian tentang topik yang sama dan datanya dianalisis dengan menggunakan beberapa perspektif teoritis yang tersedia.44 Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa peneliti menggunakan triangulasi sumber dalam menguji data. Menurut Patton, cara yang digunakan untuk menguji validitas data dengan menggunakan triangulasi sumber adalah sebagai berikut: a) Membandingkan data hasil penelitian dengan data hasil wawancara; b) Membandingkan data hasil wawancara dengan isi dokumen; 43 44 Lexy J. Maleong, Op.Cit, Halaman : 178. Loc. Cit. 45 c) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan yang dikatakan orang secara pribadi; d) Mengadakan perbincangan dengan banyak pihak untuk mencapai pemahaman tentang suatu atau berbagai hal. Alasan digunakan triagulasi sumber saja, karena sangat sulit bagi seorang peneliti pemula untuk melaksanakan semua jenis teknik triangulasi tersebut. Maleong, mengemukakan bahwa triangulasi yang paling banyak digunakan untuk pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian kualilatif adalah melalui sumber atau triangulasi sumber.45 L. Teknik Penyajian Data Teknik penyajian data dalam penelitian ini akan diteliti dan disajikan dalam bentuk uraian yang bersifat deskriptif sistematis yaitu menggambarkan apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata secara sistematis, logis dan rasional.46 Dalam arti keseluruhan bahan hukum yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh didasarkan pada norma hukum atau kaidah–kaidah hukum serta doktrin hukum yang relevan dengan pokok permasalahan. 45 46 Loc. Cit. Soerjono, Soekanto, 1981, Op. Cit., Halaman : 32. 46 M. Metode Analisis Data Dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu, dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis , tidak tumpang tindih dan efektif, dan kemudian dilakukan pembahasan. Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan secara induktif sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.47 Penelitian ini menggunakan metode content analysis. content analysis merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi.48 Sehingga salam hal ini content analysis digunakan untuk mengambil makna yang terkandung dalam suatu data hasil dari penelitian yang kemudian dikaitkan dengan suatu teori sehingga menjadi suatu rangkaian kata yang bermakna dan dapat dimengerti oleh pembaca. Oleh karena itu maka diperlukan pula penafsiran hukum, penafsiran, hukum yang digunakan dalam analisa penelitian ini adalah: a. Penafsiran Yuridis - Penafsiran gramatikal yaitu cara penafsiran hukum berdasarkan bunyi ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada arti 47 : 49. 48 Noeng Muhadjir, 1996, Metode Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta, Halaman Ibid. Halaman : 49. 47 perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam suatu kalimat, - Penafsiran analogis yaitu memberi tafsiran pada sesuatu hukum dengan memberikan ibarat (qiyas) pada kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya. b. Penafsiran Metodologis Penafsiran atau interpretasi data adalah memahami data secara mendalam, data ditafsirkan menjadi kategori yang berarti sudah menjadi bagian dari teori dan dilengkapi dengan penyusunan hipotesis kerja sebagai teori yang nantinya diformalisasikan , baik secara deskriptif maupun secara proporsional.49 49 Lexy J. Maleong, Op.Cit., Halaman: 28. 48 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas merupakan data primer yang diperoleh secara langsung melalui wawancara yang dilakukan oleh penulis terhadap informan yang berjumlah 4 orang, yaitu AKP. Djunaidi, S.H. selaku Kasat Reskrim POLRES Banyumas dengan kode informan POL/1, AKP. Susanto, S.H. selaku Kasat Intel POLRES Banyumas dengan kode informan POL/2, AKP. Sunarto, S.H. selaku Kasat Binmas POLRES Banyumas dengan kode informan POL/3 dan 1 orang pemain judi dengan kode informan PJ. Hasil dari penelitian tersebut disajikan oleh penulis dalam bentuk matriks data sebagai berikut. 49 Matriks 1. Peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian menurut AKP. Djunaidi, S.H. selaku Kasat Reskrim POLRES Banyumas. Kode Hasil wawancara Substansi Implikasi informan POL/1 “Menurut saya peranan kepolisian dalam Penegakan mencegah dan menanggulangi perjudian preventif dan pre-emtif sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Penegakan hukum preventif Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dengan Negara Republik Indonesia, dimana salah penyuluhan terhadap tokoh satunya berupa penegakan hukum. Ada masyarakat dua bentuk penegakan hukum yaitu Penegakan hukum pre-emtif penegakan dengan melakukan himbauan preventif hukum dan yang berbentuk pre-emtif. Penegakan hukum yang berbentuk preventif yaitu dengan melaksanakan penyuluhan, hukum secara Tindakan Preventif Tindakan Pre-emtif melakukan kepada masyarakat 50 sedangkan penegakan hukum pre-emtif yaitu dengan memberikan himbauan kepada masyarakat.” “Menurut saya upaya penal dalam Upaya penal dalam mencegah Tindakan Represif mencegah dan menanggulangi perjudian dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas yang dengan melakukan penindakan dilakukan oleh kepolisian yaitu secara langsung melakukan penindakan secara langsung, sebagai contoh pada tahun 2012 terjadi lebih dari 100 tindak pidana perjudian di wilayah POLRES Banyumas” dalam Tindakan Preventif mencegah dan menanggulangi perjudian mencegah dan menanggulangi Tindakan Pre-emtif “Menurut saya upaya non penal dalam Upaya non-penal di wilayah POLRES Banyumas yaitu perjudian dengan melakukan dengan melakukan tindakan secara tindakan secara preventif dan 51 preventif dan pre-emtif” pre-emtif “Menurut saya pembinaan riil yang Pembinaan riil dengan cara dilakukan pihak kepolisian dalam memngumpulkan mencegah dan menanggulangi perjudian masyarakat di wilayah POLRES Banyumas yaitu pembinaan mengumpulkan tokoh masyarakat untuk dilakukan pembinaan” ( Sumber: Data primer yang diolah) untuk tokoh dilakukan Tindakan Preventif 52 Matriks 2. Peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian menurut AKP. Susanto, S.H. selaku Kasat Intel POLRES Banyumas. Kode Hasil wawancara Substansi Implikasi informan POL/2 “Menurut saya pada dasarnya tugas Penegakan hukum preventif Tindakan Preventif pokok, fungsi, dan peranan kepolisian dengan melakukan Tindakan pre-emtif pada penyuluhan terhadap tokoh umumnya semuanya sama berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 masyarakat Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Penegakan hukum pre-emtif Republik Indonesia. Salah satu peranan dengan melakukan himbauan kepolisian yaitu dalam penegakan hukum, kepada masyarakat dimana penegakan hukum tersebut secara Patroli preventif dan pre-emtif. Kemudian fungsi tertentu intel juga melaksanakan patroli di daerah- terjadinya tindak pidana daerah tertentu yang berpotensi terjadinya di daerah-daerah yang berpotensi 53 tindak pidana” “Menurut saya upaya penal dalam Upaya penal dalam mencegah Tindakan Represif mencegah dan menanggulangi perjudian dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas yang dengan melakukan penindakan dilakukan oleh kepolisian yaitu secara langsung. melakukan penindakan secara langsung, sebagai contoh pada tahun 2012 terjadi lebih dari 100 tindak pidana perjudian di wilayah POLRES Banyumas” dengan Tindakan Preventif mencegah dan menanggulangi perjudian memberikan penyuluhan dan Tindakan Pre-emtif “Menurut saya upaya non-penal dalam Upaya non-penal di wilayah POLRES Banyumas yaitu himbauan kepada masyarakat melaksanakan tindakan preventif dengan cara memberikan penyuluhan kepada masyarakat dan tindakan pre-emtif dengan 54 cara memberikan himbauan kepada masyarakat” “Menurut saya pembinaan riil yang Pembinaan dilakukan dengan cara mengumpulkan pihak kepolisian dalam riil dilakukan mencegah dan menanggulangi perjudian tokoh di wilayah POLRES Banyumas yaitu dilakukan pembinaan dengan cara mengumpulkan tokoh masyarakat untuk dilakukan pembinaan (Sumber: Data primer yang diolah) masyarakat untuk Tindakan Prefentif 55 Matriks 3. Peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian menurut AKP. Sunarto, S.H. selaku Kasat Binmas POLRES Banyumas. Kode Hasil wawancara Substansi Implikasi informan POL/3 “Menurut saya peranan kepolisian Penegakan hukum pre-emtif Tindakan Pre-emtif berbentuk pre-emtif yaitu dengan cara dengan melakukan himbauan memberikan himbauan kepada masyarakat kepada agar menjaga keamanan dan ketertiban menjaga masyarakat agar keamanan dan lingkungan. penyuluhan dalam bentuk ketertiban lingkungan forum di desa dengan para tokoh masyarakat setempat. Biasanya karena adanya gejolak dari para pemuda” “Menurut saya upaya penal dalam Upaya penal dalam mencegah mencegah dan menanggulangi perjudian dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas yang dengan memberikan pembinaan Tindakan Represif 56 dilakukan oleh kepolisian yaitu kepada masyarakat agar tidak memberikan pembinaan, apabila sudah melakukan tindak pidana. dilakukan pembinaan tetapi tetap saja melaksanakan perjudian, maka dapat ditindak oleh salah satu fungsi kepolisian antara lain fungsi reskrim atau shabara ” dalam Tindakan Preventif mencegah dan menanggulangi perjudian mencegah dan menanggulangi Tindakan Pre-emtif “Menurut saya upaya non penal dalam Upaya non-penal di wilayah POLRES Banyumas yaitu perjudian dengan memberikan memberikan himbauan dan penyuluhan himbauan kepada masyarakat” pihak penyuluhan kepada masyarakat “Menurut saya pembinaan riil yang Pembinaan dilakukan dan kepolisian dalam pembinaan mencegah dan menanggulangi perjudian serta riil jasmani, dilakukan rohani, mental yang dilakukan di wilayah POLRES Banyumas yaitu oleh staf korlap ketika berada Tindakan Represif 57 memberikan pembinaan riil terhadap dalam tahanan. pelaku tindak pidana perjudian dilakukan pembinaan jasmani, rohani, serta mental yang dilakukan oleh staf korlap ketika berada dalam tahanan” (Sumber: Data primer yang diolah) 58 Matriks 4. Faktor-faktor yang menghambat dan mendorong dalam mencegah dan menanggulangi perjudian menurut AKP. Djunaidi, S.H. selaku Kasat Reskrim POLRES Banyumas. Kode Hasil wawancara Substansi Implikasi informan POL/1 “Menurut saya faktor penghambat dalam Etnis tertentu yang menganggap Tradisi mencegah dan menanggulangi perjudian perjudian sebagai sebuah tradisi adalah faktor tradisi, hal ini karena adanya menjadi salah satu etnis tertentu faktor yang dalam mencegah mengangggap bahwa perjudian sebagai menanggulangi sebuah tradisi” penghambat dan perjudian di wilayah POLRES Banyumas “Menurut saya kemajuan teknologi yang Kemajuan teknologi yang Kemajuan Teknologi sangat pesat menjadi faktor penghambat sangat pesat, sehingga menjadi dalam mencegah dan menanggulangi faktor penghambat dalam perjudian, maka perjudian dapat dilakukan mencegah dan menanggulangi oleh siapa saja, baik manual maupun perjudian di wilayah POLRES 59 online” Banyumas (Sumber: Data primer yang diolah) Matriks 5. Faktor-faktor yang menghambat dan mendorong dalam mencegah dan menanggulangi perjudian menurut AKP. Susanto, S.H. selaku Kasat Intel POLRES Banyumas Kode Hasil wawancara Substansi Implikasi informan POL/2 “Menurut saya faktor penghambat dalam Faktor penghambat yaitu mencegah dan menanggulangi perjudian karena hukuman yang terlalu yaitu pelaku tidak merasa jera dengan ringan sehingga membuat hukuman yang dijatuhkan, ditambah lagi pelaku tidak merasa jera dengan desakan ekonomi sehingga dimungkinkan dapat melakukan perjudian Ekonomi 60 lagi” “Menurut saya faktor pendorong dalam Faktor pendorong yaitu mencegah dan menanggulangi perjudian POLRES melakukan kerja sama yaitu POLRES melakukan kerjasama dengan dengan tokoh masyarakat sekitar. sekitar POLRES melakukan penyuluhan kepada tokoh masyarakat mengenai bahaya atau dampak yang ditimbulkan oleh penyakit masyarakat, kemudian POLRES juga menghimbau kepada masyarakat agar bersama-sama melakukan pengawasan terhadap tindak pidana yang terjadi di lingkungan sekitar mereka.” (Sumber: Data primer yang diolah) tokoh masyarakat Kerjasama 61 Matriks 6. Faktor-faktor yang menghambat dan mendorong dalam mencegah dan menanggulangi perjudian menurut AKP. Sunarto, S.H. selaku Kasat Binmas POLRES Banyumas Kode Hasil wawancara Substansi Implikasi informan POL/3 “Menurut saya faktor penghambat dalam Faktor penghambat tidak mencegah dan menanggulangi perjudian adanya kendala, tetapi yaitu pada dasarnya tidak ada, hal ini melakukan penindakan secara karena fungsi Binmas penindakan secara langsung .” (Sumber: Data primer yang diolah) melakukan langsung Penindakan 62 Matriks 7. Keterangan pelaku tindak pidana perjudian terkait dengan pembinaan kepolisian terhadap pelaku tindak pidana perjudian Kode Hasil wawancara Substansi Implikasi informan Pelaku TP “Menurut saya pembinaan perseorangan Pembinaan tidak ada, melainkan hanya pembinaan masyarakat dari tokoh masyarakat yang sudah diberi penyuluhan dari pihak kepolisian” (Sumber: Data primer yang diolah) dari tokoh Pembinaan 63 B. Pembahasan 1. Peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas. Data pada matriks satu baris kesatu di atas menggambarkan bahwa peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian sesuai dengan peranan kepolisian berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dirumuskan sebagai berikut: Pasal 13 Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan Pasal 13 huruf (b) undang-undang tersebut dapat dilihat bahwa salah satu peranan kepolisian adalah menegakkan hukum, dimana penegakan hukum dapat berbentuk penegakan hukum secara preventif dan penegakan hukum secara pre-emtif. Penegakan hukum secara preventif yaitu dengan melaksanakan penyuluhan, sedangkan penegakan hukum secara preemtif yaitu dengan memberikan himbauan kepada masyarakat. Penegakan hukum secara preventif yang berbentuk penyuluhan merupakan tugas dari fungsi kepolisian di bagian Binmas (pembinaan masyarakat). Penegakan hukum pre-emtif yang berbentuk himbauan kepada masyarakat diperlukan 64 guna mencegah meluasnya dampak dari perjudian. Penegakan hukum tersebut dapat dilaksanakan atas dasar info masyarakat, penyelidikan, dan penindakan. Data matriks satu baris kedua dan ketiga di atas menggambarkan upaya penal dan non penal yang dilakukan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas. Menurut Hamdan, politik kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan pengakan hukum (law enforcement policy). Hal ini tentunya dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang terdiri dari sistem kepolisian, subsistem kejaksaan, subsistem pengadilan dan subsistem lembaga pemasyarakatan. Dalam hal penanggulangan kejahatan (politik kriminal) digunakan pula dua kebijakan, yaitu:50 a. Penal, yaitu dengan menggunakan sanksi pidana (jadi termasuk bidang politik hukum pidana) b. Non-Penal, yaitu termasuk didalamnya dengan menggunakan sanksi administratif, sanksi perdata, dll. Upaya penal yang dilakukan oleh kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas yaitu dengan cara penindakan secara langsung. Sebagai contoh adalah pada tahun 2012 lebih dari 100 tindak pidana perjudian terjadi di wilayah POLRES Banyumas, tetapi 50 Hamdan, Op. Cit, Halaman : 24. 65 hukuman yang diberikan lebih sering pidana minimal atau paling lama 3 bulan penjara. Hukuman tersebut dirasakan terlalu ringan sehingga tidak membuat jera pelaku perjudian. Upaya non-penal yang dilakukan oleh kepolisan dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas yaitu dengan melakukan tindakan preventif dan pre-emtif sebagaimana dijelaskan di atas. Selain menggambarkan peranan kepolisian serta upaya penal dan nonpenal dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas, matriks 1 pada baris keempat tersebut menggambarkan pembinaan riil yang dilakukan pihak kepolisian. Pembinaan riil tersebut dilakukan dengan cara mengumpulkan tokoh masyarakat untuk dilakukan pembinaan. Pembinaan tersebut tidak terfokus terhadap perjudian saja, tetapi lebih kepada pembinaan atas penyakit masyarakat pada umumnya. Pihak kepolisian tidak mengumpulkan seluruh masyarakat, tetapi hanya tokoh masyarakat saja. Tokoh masyarakat tersebut diberikan penyuluhan dan selanjutnya bertugas menyampaikan hasil penyuluhan tersebut kepada masyarakat, misalnya pada saat rapat yang secara rutin diadakan di lingkungan sekitar. Data pada matriks dua baris kesatu di atas menggambarkan bahwa peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian pada dasarnya sama dengan tugas pokok, fungsi, dan peranan kepolisian yaitu 66 berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa penegakan hukum dapat berbentuk penegakan hukum secara preventif dan penegakan hukum secara pre-emtif. Berdasarkan keterangan dari Kasat Intel POLRES Banyumas dapat diketahui bahwa penegakan hukum secara preventif lebih tepat menjadi tugas dari fungsi Shabara (Satuan Bhayangkara). Shabara melakukan patrol mengelilingi daerah yang rawan akan terjadinya tindak pidana perjudian. Dengan adanya patroli tersebut maka terjadi tukar pikiran antara masyarakat dengan pihak kepolisian. Hal tersebut sesuai dengan hubungan kepolisian dengan masyarakat terbagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu:51 a. Posisi seimbang atau setara, dimana polisi dan masyarakat menjadi mitra yang saling bekerja sama dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi di masyarakat. b. Posisi kepolisian yang dianggap masyarakat sebagai mitranya, sehingga beberapaa kebutuhan rasa aman harus dipahami dan dipenuhi. c. Posisi kepolisian sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, sekaligus sebagai aparat penegak hukum yang dapat dipercaya. Kasat Intel juga menambahkan bahwa penegakan hukum secara preemtif dilakukan oleh fungsi Binmas. Binmas melakukan himbauan kepada masyarakat. Namun, sasaran dari himbauan tersebut tidak hanya perjudian saja tetapi juga pada penyakit masyarakat pada umumnya. Selain itu Binmas 51 http://jawara-agotax.blogspot.com/2011/04/peranan-kepolisian.html di unduh tanggal 30 Oktober 2012. 67 memberikan penyuluhan ke sekolah-sekolah dan universitas setempat, kemudian memberikan nomor telepon penting (110). Pemberian nomor telepon tersebut bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan laporan ketika terjadi suatu tindak pidana. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat ikut dilibatkan dalam proses penegakan hukum, dimana penegakan hukum yang dimaksud adalah penegakan hukum secara pre-emtif. Terkait dengan upaya penal matriks dua pada baris kedua dan ketiga di atas, upaya penal yang dilakukan oleh fungsi Intel yaitu dengan cara melakukan penyidikan dan penangkapan terhadap pelaku perjudian baik manual maupun online. Kemudian upaya non-penal yang dijelaskan oleh fungsi Intel yaitu memberikan penyuluhan kepada masyarakat secara umum maupun khusus yang dilakukan oleh fungsi-fungsi kepolisian khususnya pada fungsi Binmas. Pada matriks dua baris keempat di atas terkait dengan pembinaan riil terhadap pelaku perjudian, Kasat Intel menjelaskan bahwa pembinaan riil tersebut dilakukan pada saat di ruang tahanan. Pembinaan tersebut tidak terbatas pada pelaku tindak pidana perjudian saja, tetapi dilakukan terhadap seluruh pelaku tindak pidana yang berada di tahanan. Kemudian dilakukan pembinaan terhadap mantan narapidana, namun yang menjadi kendala pada umumnya adalah apabila terbelit dalam kesulitan ekonomi, maka dimungkinkan mantan narapidana tersebut mengulangi tindak pidana tersebut. 68 Data pada matriks tiga baris kesatu di atas menggambarkan bahwa peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian pada dasarnya sama dengan tugas pokok, fungsi, dan peranan kepolisian yaitu berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa penegakan hukum dapat berbentuk penegakan hukum secara preventif dan penegakan hukum secara pre-emtif. Berdasarkan keterangan dari Kasat Binmas POLRES Banyumas dapat diketahui bahwa peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas khususnya fungsi binmas adalah dengan penegakan hukum secara pre-emtif. Penegakan hukum secara pre-emtif yang dimaksud adalah dengan memberikan himbauan dan penyuluhan dalam bentuk forum di desa bersama dengan para tokoh masyarakat setempat. Forum tersebut diadakakan karena adanya gejolak dari para pemuda untuk melakukan suatu tindak pidana. Kemudian setelah diperoleh himbauan dan penyuluhan dari kepolisian yaitu dari fungsi Binmas, tokoh masyarakat yang terlibat dalam forum tersebut menyampaikan langsung kepada para pemuda di sekitarnya agar tidak melakukan suatu tindak pidana khususnya dalam hal ini adalah tindak pidana perjudian. Terkait dengan upaya penal yang terdapat pada matriks tiga baris kedua dan ketiga di atas, upaya penal yang dilakukan oleh fungsi Binmas 69 yaitu dengan cara memberikan penyuluhan kepada masyarakat, dan apabila sudah dilakukan pembinaan tetapi tetap saja melakukan perjudian, maka dapat ditindak oleh salah satu fungsi kepolisian antara lain Reskrim dan Shabara. Kemudian, untuk upaya non-penal yang dilakukan oleh fungsi Binmas yaitu dengan memberikan himbauan dan penyuluhan kepada masyarakat. Pada matriks tiga baris keempat di atas terkait dengan pembinaan riil terhadap pelaku perjudian, Kasat Binmas menjelaskan bahwa pembinaan riil tersebut dilakukan pada saat di ruang tahanan. Pembinaan tersebut antara lain pembinaan jasmani, rohani, dan mental yang dilakukan oleh staff koordinator lapangan. Pembinaan tersebut dilakukan pada saat hari pertama dan ke dua pelaku tindak pidana masuk sel. Pembinaan tersebut dilakukan dengan tetap memperlakukan pelaku tindak pidana tersebut secara manusiawi. 2. Faktor-faktor yang menghambat dan mendorong dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas Berdasarkan data pada matriks empat baris kesatu di atas, dapat diketahui bahwa hambatan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas antara lain karena ada salah satu etnis tertentu yang menganggap perjudian sebagai sebuah tradisi. Salah satu contoh yaitu di daerah Banyumas, Kedung Banteng sering dilakukan judi masal sebagai sebuah tradisi di lingkungan tersebut. 70 Perubahan-perubahan sosial yang serba cepat dan berkembang yang tidak sama dalam kebudayaan, mengakibatkan ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri, mengakibatkan timbulnya disharmoni dalam masyarakat, konflik-konflik eksternal dan internal, dan terjadinya disorganisasi dalam masyarakat. Perbuatan-perbuatan ini berupa penyimpangan dari pola umum yang berlaku. Perbuatan yang dimaksud adalah perjudian yang merupakan budaya masyarakat yang dibenarkan menurut budaya mereka, walaupun prilaku tersebut dianggap keliru oleh norma-norma budaya yang lebih besar. Bersadarkan data pada matriks empat baris kedua di atas, dapat diketahui bahwa kemajuan teknologi yang sangat pesat dapat menjadi hambatan dalam mencegah dan menanggulangi perjudian. Hal tersebut dapat terjadi karena perjudian dapat dilakukan oleh siapa saja, baik manual maupun online. Misalnya pada saat ini mudahnya mengakses internet sehingga seseorang dengan mudah melakukan perjudian secara online. Kemudian mudahnya seseorang memiliki handphone juga dapat memicu perjudian dengan menggunakan sms. Sebagai contoh adalah judi togel pada saat ini mulai berkembang yang tadinya menggunakan kertas sekarang bisa menggunakan sms. Penggunaan sms sebagai media judi togel dapat terjadi karena lebih efisien dan praktis, selain itu penggunaan sms sulit dilacak oleh pihak kepolisian. 71 Berdasarkan data pada matriks lima baris kesatu di atas, dapat diketahui bahwa hambatan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas adalah pelaku tidak merasa jera dengan hukuman yang dijatuhkan, ditambah lagi dengan desakan ekonomi sehingga dapat melakukan perjudian. Hal tersebut sesuai dengan salah satu dari beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perjudian sebagaimana telah dikemukakan pada bagian Tinjauan Pustaka sebelumnya. Faktor-faktor tersebut dijelaskan sebagi berikut: a. Faktor sosial ekonomi Bagi masyarakat dengan status sosial dan ekonomi yang rendah, perjudian seringkali dianggap sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup mereka. dengan modal yang sangat kecil mereka akan mendapatkan keuntungan yang besar atau menjadi kaya dalam sekejap tanpa usaha yang besar. Kondisi sosial masyarakat yang menerima perjudian juga berperan besar terhadap tumbuhnya perilaku dalam komunitas. b. Faktor situasional Situasi yang bisa dikategorikan sebagai pemicu perjudian diantaranya adalah tekanan dari teman-teman atau kelompok atau lingkungan untuk berpartisipasi dalam perjudian dan metode- 72 metode pemasaran yang dilakukan oleh pengelola perjudian. Tekanan kelompok membuat calon penjudi merasa tidak enak, jika tidak menuruti apa yang diinginkan oleh kelompoknya. c. Faktor belajar Sangatlah masuk akal jika faktor belajar memiliki efek yang besar terhadap pelaku perjudian, terutama menyangkut keinginan untuk terus berjudi. Yang memang pada awalnya hanya mencoba, akan tetapi karena penasaran dan berkeyakinan bahwa kemenangan akan terjadi kepada siapapun, termasuk dirinya, sehingga membuatnya melakukan perjudian berulang kali. d. Faktor persepsi tentang probabilitas kemenangan Persepsi pelaku yang dalam membuat suatu evaluasi terhadap peluang menang yang akan diperolehnya jika ia melakukan perjudian. Dalam benak penjudi tertanam pikiran “kalau sekarang belum menang pasti di kesempatan berikutnya akan menang, begitu seterusnya”. e. Faktor persepsi terhadap keterampilan Penjudi yang merasa dirinya sangat terampil dalam salah satu atau beberapa jenis permainan judi akan cenderung 73 menganggap bahwa keberhasilan atau kemenangan dalam permainan judi adalah karena keterampilan yang dimilikinya. Bagi mereka kekalahan dalam perjudian tidak pernah dihitung sebagai kekalahan tetapi dianggap sebagai “hampir menang”, sehingga mereka terus menerus memburu kemenangan yang menurut mereka pasti didapatkan. Berdasarkan data pada matriks lima baris kedua di atas, dapat diketahui bahwa yang menjadi faktor pendorong kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas adalah POLRES melakukan kerjasama dengan tokoh masyarakat sekitar. Bentuk kerja sama antara POLRES dengan tokoh masyarakat antara lain POLRES melakukan penyuluhan kepada tokoh masyarakat mengenai bahaya atau dampak yang ditimbulkan oleh penyakit masyarakat. Kemudian POLRES juga menghimbau kepada masyarakat agar bersama-sama melakukan pengawasan terhadap tindak pidana yang terjadi di lingkungan sekitar. Berdasarkan data yang terdapat dalam matriks enam di atas, dapat diketahui bahwa hambatan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas pada dasarnya tidak ada, karena fungsi binmas melakukan penindakan secara langsung, yaitu dengan memeberikan penyuluhan kepada tokoh masyarakat. 74 Penanganan bukan merupakan fungsi Binmas melainkan fungsi dari Reskrim dan Intel. Fungsi Binmas itu sendiri terdiri atas 4 fungsi, yaitu: a. Unit Ketertiban Masyarakat Memberikan ketertiban pada masyarakat seperti linmas, pos kamling, pemuda dan anak-anak terlantar. Sebagai contoh adalah Binmas memberikan pelatihan kepada linmas untuk meningkatkan kesadaran atau kemampuan linmas dalam menjaga kemanan di lingkungan masyarakat. Binmas mengaktifkan kembali pos kamling yang tidak aktif. Binmas memberikan penyuluhan kepada pemuda dan anak-anak terlantar agar tidak melakukan suatu kejahatan. b. Unit Polisi Masyarakat Melakukan pendekatan dengan cara mengikuti kegiatan-kegiatan masyarakat, forum kemitraan antara polisi, mahasiswa dan masyarakat. c. Unit Keamanan Swakarsa Pembinaan terhadap swakarsa yaitu pos kamling agar lingkungan RT aman, maka dilakukannya fungsi swakarsa. Selain itu 75 dilakukan pembinaan terhadap satpam, polsus (polisi khusus yang bertugas di kereta api), linmas, KPU, satpol PP, dan polisi hutan. d. Unit Kaurmintu (urusan administrasi umum) Mengurus semua surat-surat yang masuk maupun keluar dari seluruh kegiatan unit-unit Binmas. Berdasarkan data matriks tujuh di atas dapat dilihat bahwa keterangan mengenai pembinaan kepolisian terhadap pelaku tindak pidana pada kenyataannya tidak ada, yang ada hanya pembinaan dari tokoh masyarakat yang sudah diberi penyuluhan dari pihak kepolisian. Berdasarkan keterangan tersebut, dapat dilihat adanya ketidaksesuaian antara keterangan dari pihak kepolisian dengan keterangan dari pelaku tindak pidana perjudian. Pihak kepolisian menerangkan bahwa pelaku tindak pidana tersebut diberikan pembinaan jasmani dan rohani ketika berada di dalam tahanan. Pembinaan tersebut dilakukan oleh staff koordinator lapangan. Hal yang bertentangan adalah berdasarkan keterangan dari pelaku tindak pidana tersebut tidak ada pembinaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian kepada pelaku tindak pidana perjudian selama berada di dalam tahanan. Pada saat pelaku tindak pidana perjudian tersebut berada di POLRES hanya dilakukan pemeriksaan saja tanpa adanya pembinaan dari pihak kepolisian. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas mempunyai dua 76 output yaitu output bagi masyarakat dan output bagi penegak hukum. Output bagi masyarakat yaitu upaya untuk mengurangi perjudian, karena perjudian selaian bertentangan dengan norma agama juga bertentangan dengan norma hukum. Kemudian, output bagi penegak hukum yaitu dapat menjadi acuan dan model dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di masyarakat 77 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Peranan kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas adalah dilakukan melalui upaya-upaya: Upaya penal dan upaya non-penal. Upaya penal berupa penindakan secara langsung terhadap pelaku tindak pidana perjudian. Sedangkan upaya nonpenal yaitu memberikan pembinaan terhadap masyarakat yang biasa melakukan tindak pidana perjudian. 2. Faktor-faktor yang menghambat dan mendorong dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas adalah sebagai berikut: a. Faktor penghambat Faktor yang menghambat dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas adalah: - Faktor budaya Kebiasaan melakukan tindak pidana perjudian yang diwariskan dari dulu hingga sekarang secara turun temurun. 78 - Faktor teknologi Masyarakat yang melakukan tindak pidana perjudian kurang memahami dengan adanya teknologi informatika. - Faktor sanksi pidana Sanksi pidana dalam Pasal 303 KUHP dan Pasal 27 ayat (2) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tetang ITE menjelaskan bahwa sebagai pedoman hakim dalam menentukan putusan bukan sebagai penetapan pidana. - Faktor ekonomi Pendapatan kapita rendah sehingga dapat melakukan tindak pidana perjudian sebagai tambahan pemasukan ekonomi. b. Faktor pendorong Faktor yang mendorong dalam mencegah dan menanggulangi perjudian di wilayah POLRES Banyumas adalah faktor kerjasama antara kepolisian dengan tokoh masyarakat yang secara aktif dan positif ikut serta dalam memberantas dan menanggulangi perjudian, karena perjudian biasa terjadi dalam lingkungan masyarakat sosial. 79 B. Saran Terkait dengan jenis perjudian yang bukan hanya judi manual, melainkan termasuk juga judi online, maka POLRES Banyumas diharapkan dapat menambah sarana dan prasaran dalam rangka mengantisipasi jenis perjudian tersebut. Sebagai contoh, POLRES Banyumas dapat menambahkan fasilitas berupa fasilitas penyadapan untuk menanggulangi terjadinya tindak pidana perjudian transnasional. .