POLITIK HUKUM PENERAPAN HUKUMAN MATI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN NARKOTIKA DI INDONESIA SUSILO WARDANI Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto ABSTRAK Salah satu persoalan besar yang tengah dihadapi bangsa Indonesia adalah maraknya penyalahgunaan narkotika, dan sanksi terberat dalam kejahatan narkotika di Indonesia adalah pidana mati. Pelaksanaan pidana mati telah menimbulkan kontroversi. Inti dari kontroversi adalah melihat hukuman mati tersebut masih relevan atau tidak relevan diberlakukan di era modern yang ditandai dengan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Politik hukum Indonesia telah menentukan bahwa penerapan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan narkotika di Indonesia masih diperlukan untuk melindungi masyarakat luas tetapi harus selektif dan dengan mempertimbangkan subyek, pelaku, jenis perbuatan serta korbanserta dalam pelaksanaannya harus melihat beberapa aspek untuk menjadi pertimbangan yaitu aspek filosofis, yuridis maupun psikologis. Kata Kunci : penyalahgunaan narkotika, pidana mati, politik hukum A. Pendahuluan Perkembangan narkotika dan psikotropika di Indonesia secara historis diawali dengan perkembangan peredaran narkotika yang diatur dalam Verdovende Middelen Ordonnantie (Staatsblad No 278 jo No 536) yang lebih dikenal dengan sebutan peraturan obat bius. Peraturan ini hanya mengatur mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, sedangkan tentang pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak diatur. Masalah narkotika dan psikotropika telah menjadi masalah dunia dan segala usaha dari masing-masing negara secara internal telah dilakukan untuk menanggulangi bahaya narkotika dan psikotropika (Siswanto Sunarso, 2004: 107). Narkotika dan psikotropika merupakan hasil proses kemajuan teknologi untuk dipergunakan kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Penyalahgunaan narkoba dewasa ini telah menyerang berbagai lapisan masyarakat, dan yang lebih mengkhawatirkan penyalahgunaan narkoba tertinggi justru terjadi pada kelompok para pekerja produktif, pelajar dan Dinamika Kontemporer Hukuman Mati di Indonesia -------ISBN 978-602-73912-0-8 Susilo Wardani, Politik Hukum Penerapan Hukuman Mati.... mahasiswa yang merupakan generasi bangsa untuk masa depan Indonesia. Fakta penyalahgunaan narkoba sudah sangat mengkhawatirkan apalagi banyak peredaran narkoba yang dikendalikan dari napi yang ada di lembaga pemasyarakatan (lapas). Terjadinya fenomena penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika dan narkotika, menuntut perlunya tindakan nyata untuk pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika dan narkotika tersebut. Perdebatan soal praktik hukuman mati cukup panjang diperbincangkan khususnya di lndonesia, apalagi pada momen-momen menjelang eksekusi.Begitu kabar tersebut mencuat, sejumlah LSM dalam maupun luar negeri langsung menyuarakan resistensinya. Presiden Perancis Francois Hollande bahkan mengancam dengan pernyataan pelaksanaan hukuman mati terhadapwarga negaranya yang terlibat kasus narkoba di Indonesia akan menganggu hubungan bilateral Perancis dengan Indonesia. Meski mendapat kecaman, eksekusi mati terhadap 10 (sepuluh) terpidana mati tetap dilaksanakan, karena saat ini sudah gawat narkoba dan hukuman mati adalah salah satu upaya memberantas narkoba di Indonesia. Bahkan selama ini Indonesia telah menjadi pasar target narkoba yang disebabkan rusaknya keluarga dan kaum muda. Di negera-negara dimana penerapan hukuman mati masih dimungkinkan demi hukum, gerakan sosial politik untuk penghapusan pidana mati banyak pula diperjuangkan oleh lembaga lembaga advokasi Hak Asasi Manusia. Para Human Rights Defenders ini menggolongkan hukuman mati sebagai pelanggaran prinsip Hak Asasi Manusia yang bernilai universal yang mana hak-hak kodrati manusia juga untuk hidup tidaklah boleh dirampas dan tidak bisa dicabut oleh kekuasaan politik manapun juga. Disisi lain hukuman mati dapat menjadi jawaban dari sejumlah kejahatan kategori berat, diantaranya narkotika dan psikotropika dengan harapan ke depan tidak ada yang mengulangi kejahatan tersebut.Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, Pasal 28 ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai 67 Susilo Wardani, Politik Hukum Penerapan Hukuman Mati.... pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.Alasan atas dilakukannya hukuman mati adalah pencegahan pembunuhan banyak orang di mana hukuman mati ini memberi efek jera bagi orang-orang lain yang mengetahuinya dan agar tidak terulang lagi karena takut akan hukuman. Selain itu masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati. Eksekusi hukuman mati di Indonesia merupakan politik hukum suatu negara. Negara kita masih menerapkan hukuman mati untuk tindakantindakan kejahatan tertentu.Politik hukum nasional adalah arah yang harus ditempuh dalam pembuatan dan penegakan hukumserta upaya menjadikan hukum sebagaiproses guna mencapai cita-cita dan tujuanbangsa dan negara, cita hukum dan kaidahpenuntun hukum di Indonesia sebagaimanaterkandung dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 (UUD 1945), yang menempatkanPancasila sebagai paradigma politik hukumdan merupakan platform kehidupan bersamabagi bangsa Indonesia yang sangat majemukdan tetap terikat erat sebagai bangsa yangbersatu (Mahfud M.D, 2006: 30-31). Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana politik hukum Indonesia dalam penerapan hukuman mati terhadap terpidana narkobadengan banyaknya kontroversi mengenai hukuman mati terhadap terpidana narkoba. B. Tinjauan Umum Tentang Politik Hukum Terkait Hukuman Mati Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu (menjadikan sesuatu sebagai Hukum). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukumdan penerapannya. Politik hukum menurut Mahfud MD adalah “legal policy” atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan demikian politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan 68 Susilo Wardani, Politik Hukum Penerapan Hukuman Mati.... tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 (Mahfud MD, 2012: 1). Satjipto Raharjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu di masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar yaitu: 1) tujuan apa yang hendak dicapai; 2) cara-cara apa dan yang mana dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tertentu; 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah; 4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuanserta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik (Satjipto Raharjo, 1991: 352-353). Politik Hukum bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan mana yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhankebutuhan baru didalam kehidupan masyarakat.PolitikHukumadalahkebijakanpemerintahmengenaihukummana yang akandipertahankan, hukummana yang akandiganti, hukummana yang akandirevisidanhukummana yang akandihilangkanInti politik hukum nasional adalah menyangkut pembentukan dan pelaksanaan hukum suatu negara. Pembentukan adalah menyangkut perumusan hukum materiil mengenai hukuman mati. Sedangkan pelaksanaan hukum adalah pelaksanaan dan penerapan dari hukum materiill tersebut, artinya eksekusi hukuman mati merupakan persoalan politik hukum pelaksanaan hukum suatu negara. Hukuman mati yang ada di Indonesia adalah bentuk konsistensi penegakan hukum di Indonesia, sebagai bagian dari pelaksanaan politik hukum nasional dalam penegakan hukum positif.Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.Berdasarkan catatan lembaga HAM Internasional, Indonesia termasuk salah satu negara yang masih menerapkan ancaman hukuman mati pada sitem hukum pidananya.Hukuman mati 69 Susilo Wardani, Politik Hukum Penerapan Hukuman Mati.... sebenarnya adalah menghilangkan nyawa secara sah melalui pihak yang berwenang dan menghilangkan nyawa orang lain karena melakukan kejahatan-kejahatan yang berat pada asasnya adalah perbuatan yang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia, karena diperkenankan oleh undangundang yang berlaku. Selain itu menghilangkan nyawa penjahat yang telah melakukan kejahatan-kejahatan berat adalah dibenarkan baik dari segi moral maupun agama (Rahmad Ghani, 2007). Hukuman mati (death penalty) di dalam pelaksanaannya masih mengandung perdebatan. Perdebatan hukuman mati telah berabad-abad lamanya, tidaklah benar pendapat yang menghapuskan hukuman mati mendominasi dunia dewasa ini. Di Amerika Serikat yang terdiri dari 50 negara bagian, hanya 12 negara bagian yang menghapuskan hukuman mati, 38 negara bagian masih mempertahankan hukumann mati (Ahmad Ali, 2008:2). Indonesia sebagai negara hukum, berdiri berdasarkan hukum yang ada. Dalam pelaksanaannya sebagai negara hukum, banyak prodan kontra ketika negara hukum ini berusaha menegakkan hukum dan menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwa. Batas hukuman mati adalah penghilangan nyawa seseorang yang telah melakukan kesalahan yang telah terbukti bersalah dengan keputusan pengadilan akan hukuman tersebut. Dalam KUHP dikenal dua macam hukuman yaitu hukuman badan dan hukuman pembayaran sejumlah uang. Hukuman badan berupa hukuman mati, hukuman seumur hidup, hukuman penjara dan hukuman kurungan. Sedangkan hukuman pembayaran sejumlah uang berupa hukuman denda dan hukuman membayar biaya perkara. Dari jenis-jenis hukuman badan tersebut, hukuman terberat adalah hukuman mati. Seorang terpidana yang dijatuhi hukuman mati akan dilaksanakan dengan menghilangkan nyawa terpidana. Berbagai cara eksekusi hukuman mati dilakukan dengan memenggal kepala, digantung, disetrum, dan ditembak, sedangkan negara kita menganut pelaksanaan hukuman mati dengan cara ditembak mati. Sampai sekarang hukuman mati masih memegang peranan penting karena selain di KUHP, di luar KUHP juga menganut ancaman hukuman mati bagi para pelanggarnya. Hal ini 70 Susilo Wardani, Politik Hukum Penerapan Hukuman Mati.... menunjukkan bahwa hukuman mati masih dipandang sebagai obat yang mujarab yang berdampak pada pencegahan kejahatan karena dirasakan sebagai sesuatu yang menakutkan dan mengerikan. Oleh karena itu keputusan Presiden menolak grasi dari terpidana mati menjadi dasar dan bagian dari proses hukuman eksekusi hukuman mati. Konsistensi hukuman mati dalam kasus narkoba diperkuat oleh Putusan MK atas perkara No. 2/PUU-V/2007 dan Perkara No. 3/PUU-V/2007 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang menolak permohonan untuk membatalkan hukuman mati. Dukungan terhadap hukuman mati karena dapat menimbulkan efek jera bagi pengedar nasional dan internasional. Hukuman mati ini sangat relevan dengan situasi darurat narkotika saat ini, meskipun masih ada perdebatan tetapi kita harus tunduk pada politik hukum nasional (Nasional, 29 Januari 2015). C. PRO DAN KONTRA HUKUMAN MATI Pidana mati adalahsuatu upaya yang radikal untuk meniadakan orangorang yang tak dapat diperbaiki lagi, dan dengan adanya pidana mati ini maka hilanglah pula kewajiban mereka dalam penjara-penjara yang besar. Pada dasarnya pelaksanaan hukuman mati terus menuai kontroversi baik yang pro maupun yang kontra. Lambroso dan Garofalo merupakan dua tokoh utama pendukung hukuman mati. Mereka berpendapat bahwa pidana mati adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. Hartawi A. M. juga berpendapat bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana mati sebagai suatu social defence, pidana mati adalah suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman bahaya besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, telah atau akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggu ketertiban (Andi Hamzah dan Sumangelipu: 27-29). UUD 1945 hasil amandemen, khususnya Pasal 28 A menyatakan “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal 28 A dihubungkan dengan Pasal 28 I yang berbunyi : “Hak untuk hidup, hak tidak disika, hak kemerdekaan berpikir dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk 71 Susilo Wardani, Politik Hukum Penerapan Hukuman Mati.... diakui sebagai pribadi di hadapan undang-undang dan hak untuk tidak dituntut atas dasar undang-undang yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dikurangi dalam keadaan apapun”. Dalam formulasi “hak untuk hidup” dicontohkan terhadap penjahatpenjahat yang beratyaitu: pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu adalah suatu kejahatan yang mengerikan terhadap hak manusia yang mendasar yaitu hak untuk hidup. Namun suatu negara yang diatur oleh undang-undang yang memutuskan mati seseorang penjahat yang bersalah berdasarkan keputusan pengadilan yang sah tentu tidak bisa dianalogikan sebagai “pembunuhan yang direncanakan” terhadap pelaku hukuman mati, ketika si tentara membela negaranya dan membunuh tentara musuh. Seorang polisi, ketika dalam situas berbahaya yang ekstrem membunuh seorang penjahat bersenjata yang berbahaya atau ketika seorang warga membunuh seseorang dalam situasi membela diridengan tujuan menyelamatkan nyawanya sendiri atau keluarganya. Kelompok yang tidak setuju terhadap hukuman mati bisa dianggap melakukankesalahan ketika mereka membiarkan hidup pelaku kejahatan berat kejam, pengedar narkotika, teroris dan “pembunuhan yang direncanakan” dicakup oleh hak ini (Nelvitia Purba dan Sri Sulistyawati, 2015: 91). Menurut Sahetapy (1982: 196-216) salah satu sarjana Indonesia yang kontra terhadap pidana mati menyatakan bahwa hukuman tidak hanya ditentukan oleh berat ringannyakejahatan yang dilakukan melainkan juga bertalian erat dengan skala nilai-nilai sosial. Hal ini berarti bahwatujuan pidana mencerminkan jiwa, pandangan hidup, serta struktur sosial budaya bangsa yang bersangkutan dan tujuan adanya pemidanaan yang paling utama adalah tujuan pembalasan dan memberikan rasa takut, namun menurutnya kedua hal tersebut kurang relevan, pemberian pembalasan harus dikaitkan dengan konteks sosial budaya masyarakat. Untuk Indonesia yang menganut budaya Pancasila yang terkenal dengan budaya pemaafnya, sementara tujuam memberi rasa takut sudah kurang relevankarena angka kejahatan tidak mengalami penurunan walaupun diberlakukan. 72 penerapan hukuman mati telah Susilo Wardani, Politik Hukum Penerapan Hukuman Mati.... Hukuman mati adalah bertentangan dengan prinsip yang diatur di dalam International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik) tentang hak untuk hidup (rights to live) yaitu pada bagian III. Pasal 6 ayat (1) yaitu setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Meskipun kemudian Pasal 6 (2) ICCPR menyatakan “bagi negarayang belum menghapus ketentuan hukuman, putusan tersebut berlaku hanya pada kejahatan yang termasuk kategori yang serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan kovenan ini dan hanya dapat dilaksanakan merujuk pada putusanfinal (final judgement) yang diputuskan oleh pengadilan yang berkompeten. Pasal 6 (5) menyatakan hukuman mati tidak dapat dilaksanakan bagi kejahatan yang dilakukan oleh orang di bawah umur 18 tahun dan juga tidak berlaku pada perempuan hamil (Muchsin, 2007: 21). Beberapa sarjana juga berpendapat bahwa ancaman hukuman mati tidak pernah bisa dibuktikan efektifnya untuk mengurangi angka kejahatan termasuk narkotika. Arief Sidharta mengemukakan bahwa hukum pidana seharusnya berfungsi sebagai upaya resosialisai bagi penjahat supaya dapat mengembalikan kepatuhan seseorang ketika berada di tengah-tengah masyarakat dan hal ini berkaitan dengan tujuan dari lembaga pemasyarakatan agar setelah dipenjara si penjahat dapat memperbaiki diri. Hukuman mati menurt Sidharta juga tidak terbukti menimbulkan efek jeraketika melaksanakan hukuman seumur hidup tanpa risiko. Risiko lain dari pelaksanaan hukuman mati adalah ketika di kemudian hari ternyata terbukti ada kesalahan dalam menjatuhkan keputusan dari pelaksanakan hukuman mati yang telah dilakukan maka pemerintah hanya meminta maaf dan tidak dapat mengembalikan nyawa yang telah hilang. D. PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DAN SANKSINYA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 Soerdjono Dirjosisworo (1990: 3) mengatakan bahwa pengertian narkotika adalah „zat yang bisa menimbulkan pengaruh bagi yang menggunakannya dengan memasukkan ke dalam tubuh‟. Pengaruh tersebut 73 Susilo Wardani, Politik Hukum Penerapan Hukuman Mati.... bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertjuan dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia di bidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain. Dalam peraturan yang ada NAPZA (narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lainnya) tidak dapat digunakan secara ilegal untuk kepentingan yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dalam hukum nasional cukup jelas mengatur bahwa obat-obatan tersebut hanya dapat digunakan secara legal dalam hal pengobatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan. Berdasarkan Konvensi Wina 1988 tentang pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika tersebut, dibutuhkan ratifikasi sebagai tindak lanjut berlakunya konvensi internasional di suatu negara. Pemerintah Indonesia telah menerbitkan dua undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Tujuan kedua undang-undang tersebut adalah menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan narkotikadan dan ilmu psikotropika pengetahuan, guna kepentingan mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika serta pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Di negara maju, narkoba yang umum adalah heroin, kokain, amfetamin, steroid, dan tranquillizers (obat penenang).Di negara berkembang, narkoba yang umum disuntikkan adalah heroin, kokain dan beberapa amfetamin serta obat farmasi lainnya. HIV menyebar di antara kelompok IDU (injection drug user), terutama karena penggunaan ulang atau bersama jarum suntik dan semprit, yang telah tercemar dengan darah yang mengandung HIV. Seberapa luas dan cepat epidemi HIV diantara IDU juga tergantung pada tingkat pembauran sosial pada suatu masyarakat. Ketidaktahuan generasi muda pada narkoba serta gejolak kepribadian dan ketersediaan narkoba merupakan pokok permasalahan dalam memerangi narkoba (Siswanto Sunarso, 2004). Subyek hukum yang dapat dipidana kasus penyalahgunaan narkotika adalah orang perorangan (individu) dan korporasi (badan hukum). 74 Susilo Wardani, Politik Hukum Penerapan Hukuman Mati.... Sedangkan, jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku delik penyalahgunaan narkotika adalah pidana penjara, pidana seumur hidup, sampai pidana mati, yang secara kumulatif ditambah dengan pidana denda. Tindak pidana narkotika dalam sistem hukum Indonesia dikualifikasi sebagai kejahatan. Hal ini karena tindak pidana narkotika dipandang sebagai bentuk kejahatan yang menimbulkan akibat serius bagi masa depan bangsa ini, merusak kehidupan dan masa depan terutama generasi muda serta pada gilirannya kemudian dapat mengancam eksistensi bangsa dan negara ini. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa pada dasarnya mengklasifikasi pelaku tindak pidana (delict) penyalahgunaan narkotika menjadi dua yaitu pelaku tindak pidana yang berstatus sebagai pengguna (Pasal 116, 121 dan 127) dan bukan pengguna narkotika (Pasal 112, 113. 114, 119 dan 129) dan untuk status pengguna narkotika dibedakan menjadi dua yaitu pengguna untuk diberikan kepada orang lain dan untuk dirinya sendiri (Pasal 27). Penggunaan narkotika untuk dirinya maksudnya adalah penggunaan narkotika yang dilakukan seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Jika orang yang bersangkutan menderita kemudian mengalami ketergantungan maka ia harus menjalani rehabilitasi baik secara medis maupun sosialdan pengobatan serta masa rehabilitasinya akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana. Sedangkan pelaku tindak pidanayang berstatus sebagai bukan pengguna diklasifikasi menjadi empat yaitu pengolah, pembawa, pengantar dan pengedar. Dalam UU Nomor 35 tahun 2009 tentangNarkotika pada Bab XV Ketentuan Pidana, disebutkan mengenai sanksi hukum terhadap tindak pidana narkotika. Sanksi hukum itu beragam yaitu pidana (hukuman) penjara, hukuman denda dan hukuman mati. Adanya beragam jenis sanksi hukum terhadap penyalahguna atau kejahatan narkotika sangat terkait dengan golongan narkotika. Pengertian Narkotika menurut UU No 35 Tahun 2009 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintesis yang dapat menyebabkanpenurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan 75 Susilo Wardani, Politik Hukum Penerapan Hukuman Mati.... rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibeda-bedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.Mengenai sanksi pidana mati dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan di dalam Pasal 113, 114, 118,119 121 dan 144. Dari uraian sanksi pidana dalam UU No 35 Tahun 2009tentang narkotika, tindak pidana narkotika diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan sanksi pidana mati sebagai sanksi hukuman yang maksimal karena dampaknya sangat merugikan negara terlebih individu sendiri. Mengingat tindak pidana narkoba dan psikotropika termasuk dalam jenis tindak pidana khususmaka ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkansecara kumulatif dengan menjatuhkan 2 (dua) jenis pidana pokok sekaligus,misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan pidana denda.Dalam KUHP, penjatuhan dua hukuman pokok sekaligus memang tidakdimungkinkan sehingga tidak ada hukuman yang dijatuhkan berupa pidanapenjara dan pidana denda karena KUHP hanya menghendaki salah satu pidanapokok saja. Namun demikian, sebagai tindak pidana yang bersifat khusus,maka untuk tindak pidana narkoba dan psikotropika, hakim diperbolehkanuntuk menghukum terdakwa dengan dua pidana pokok sekaligus yang padaumumnya berupa pidana badan (berupa pidana mati, pidana seumur hidup ataupidana penjara) dengan tujuan agar pemidanaan itu memberatkan pelakunyaagar tindak pidana dapat ditanggulangi di masyarakat. E. PENERAPAN HUKUMAN MATI DALAM KEJAHATAN NARKOBA MENURUT SISTEM HUKUM DI INDONESIA Pengaturan narkoba di Indonesia dimulai sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius (verdoovende Middelen Ordonantie, Stb 1927 No. 278 jo No 536) lalu diganti dengan UU No. 7 Tahun 1976 tentang Narkotika, yang kemudian diganti dengan UU No. 22 Tahun 1997, dan terakhir diganti dengan UU No. 35 Tahun 2009. Pengaturan narkoba tersebut dilatarbelakangi oleh penggunaan narkoba itu sendiri yaitu untuk kepentingan penelitian dan kepentingan medis, narkoba memang legal. Namun menjadi ilegal jika diluar kepentingan tersebut. Atas alasan penyalahgunaan narkoba dan peredaran gelap maka para produsen dan pengedar narkoba diseret ke pengadilan untuk dijatuhi pidana. 76 Susilo Wardani, Politik Hukum Penerapan Hukuman Mati.... Adanya beragam jenis sanksi hukum terhadap penyalahguna atau kejahatan narkotika sangat terkait dengan golongan narkotika. Adapun yang dimaksud penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat ditarik kesimpulan bahwa hukuman tindak pidana narkotika adalah beragam, pidana penjara, denda dan hukuman mati. Hukuman mati tidak dikenakan terhadap penyalahguna narkotika Golongan I, II maupun III yang digunakan diri sendiri (Pasal 127). Sedangkan penyahguna narkotika yang dapat dikenai hukuman mati adalah penyalahguna golongan I dan II untuk kepentingan selain diri sendiri. Ancaman hukuman mati dalam KUHP terdapat dalam pasal-pasal: makar membunuh Kepala Negara (Pasal 104); mengajak negara asing guna menyerang Indonesia [Pasal 111 ayat (2)]; memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam perang [Pasal 124 ayat (3)]; Membunuh Kepala Negara negara sahabat [Pasal 140 ayat (1)]; Pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu [Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340]; Pencurian dengan kekerasan ... yang mengakibatkan luka berat atau kematian [Pasal 365 ayat (4)]; Pembajakan ...sehingga ada orang mati (Pasal 444); Dalam waktu perang menganjurkan huru hara (Pasal 124 bis); Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang (Pasal 127 dan Pasal 129); Pemerasan dengan pemberatan [Pasal 368 ayat (2)]; Dalam memori penjelasan disebutkan bahwa negara berhak untuk menjalankan semua peraturan atau ketentuan pasal-pasal tersebut di atas, termasuk pidana mati sebagai “kriterium keharusan” dengan maksud negara dapat memenuhi kewajibannya untuk menjaga ketertiban hukum dan kepentingan umum. Andi Hamzah menyatakan bahwa hukuman mati adalah pidana yang terberat dari semua pidana, sehingga hanya diancamkan kepada kejahatankejahatan yang amat berat saja yaitu perbuatan yang mengakibatkan matinya orang lain yang diserang dan perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya besar atau mempunyai akibat-akibat yang berpengaruh besar terhadap perikehidupan manusia dan kehidupan negara di bidang politik, ekonomi, 77 Susilo Wardani, Politik Hukum Penerapan Hukuman Mati.... sosial, budaya serta ketahanan nasional (Andi Hamzah dan Siti Rahayu, 1983: 32). Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2-3/PUU-V/2007 terkait pengujian konstitusionalitas hukuman mati yang dijatuhkan pada 30 Oktober 2007, MK memutuskan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945, namun dalam kesimpulan akhirnya MK berpendapat agar di masa mendatang dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional, beberapa hal harus sungguh-sungguh menjadi perhatian, yaitu: 1. pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif; 2. pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidanaberkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun; 3. pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa; 4. eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh (http://panmohamadfaiz.com/2015/02/22/pendekatan-mk-terhadapkonstitusionalitas-hukuman-mati). Dalam putusan Mahkamah Konstitusi telah dijelaskan bahwa penerapan sanksi pidana mati bagi para pelaku tindak pidana narkotika tidak melanggar hak asasi manusia, akan tetapi justru pelaku tersebut telah melanggar hak asasi manusia lain, yang memberikan dampak terhadap kehancuran generasi muda yang akan datang.Pelaksanaan pidana mati tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena “ hak setiap orang untuk hidup” sebagaimana tertera dalam Pasal 28 a dan 28 i ayat (1) harus dibaca dan ditafsirkan dalam kesatuan dengan Pasal 28 j ayat (2) yaitu dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai 78 Susilo Wardani, Politik Hukum Penerapan Hukuman Mati.... agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Menurut Hukum Islam, hukuman tindak pidana narkotika tidak disebutkan secara khusus baik dalam Al Quran maupun Hadits. Namun terdapat Ayat Al Quran yang terkait dengan hukuman pidana seperti eksekusi mati yang antara lain disebutkan dalam QS al-Maidah (5) ayat 32-22; AlBaqarah (2) ayat 178, dan al-Israa‟ (17) ayat 33. Dalam surat Al-Maidah diterangkan tentang pelanggaran terhadap hak hidup seseorang merupakan perbuatan yang mengancam kemanusiaan. Dalam ayat 33 disebutkanbahwa hukuman terhadap orang yang melakukan perbuatan memerangi Allah dan Rasulnya, berbuat kerusakan di bumi. Hukuman tersebut berupa hukuman mati, disalib, dipotong tangan dan buang di suatu tempat atau dipenjara. Pengertian berbuat kerusakan di bumi berwujud pada semua kejelekan (keburukan) bahkan bahkan banyak kalangan salaf, berkata” bahwa menahan (menimbun) dirham dan dinar itu termasuk berbuat kerusakan di bumi”. Dengan demikian berbuat kerusakan di bumi berakibat hukuman mati. Berbuat kerusakan di bumi dapat bersifat langsung dan terasa akibatnya, seperti pembunuhan, pembakaran dan perusakan jembatan. Selain itu juga berwujud perusakan tidak langsung terhadap kehidupan dan akal manusia seperti tindak pidana narkotika yang sangat mengancam kehidupan dan akal sehingga dapat digolongkan ke dalam perbuatan merusak kehidupan. Dengandemikian perbuatan tindak pidana narkotika dapat digolongkan ke dalam perbuatan melakukan kerusakan di bumi (Ahmad Ali MD, 2011: 5051). Untuk kejahatan penyalahgunaan narkoba menurut penulis, sanksi hukuman mati tetap harus diterapkan secara konsisten dalam peradilan di Indonesia, mengingat tingkat kejahatan narkotika semakin meningkat dalam kualitas maupun kuantitas, maka hukuman mati masih tetap diperlukan sebagai salah satu shock therapybagi para pelaku kejahatan dan masyarakat lain untuk tidak melakukan perbuatan pidana yang bisa dikenakan hukuman mati. Namun dalam pemberlakukan hukuman mati, hakim dalam memutuskan apakah terdakwa layak dihukum mati harus hati-hati dan benar- 79 Susilo Wardani, Politik Hukum Penerapan Hukuman Mati.... benar selektif atas kejahatan apa saja yang layak untuk dikenai hukuman mati.Selain itu dalam tindak kejahatan narkotika, pelaksanaan hukuman mati inipun telah mempunyai dasar pijakan yuridis berupa peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam konteks ini, telah ada UU Narkotika yang menentukan hukuman pidana atas pelaku tindak pidana tersebut sebagaimana disebutkan bahwa penyalahguna narkotika golongan I dan Golongan II dengan syarat-syarat yang ditentukan dapat dikenai hukuman mati. Dalam vonis hukuman mati, dapat terjadi kemungkinan-kemungkinan kesalahan dalam menjatuhkan keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa. Di mana orang yang telah dieksekusi bukanlah yang bersalah atau menjadi kambing hitam dari pelaku sesungguhnya. Kesalahan inilah yag harus dihindari dan menjadi kelemahan dalam vonis hukuman mati. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya Manusia (SDM) yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman didalam pelaksanaannya. Menurut ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Berdasarkan ketentuan tersebut maka dakam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan sesuai dan adil dengan kesalahan yang dilakukannya. Hukuman mati masih diperlukan dan dibutuhkan dalam sistem hukum pidana Indonesia karena berfungsi memberikan efek jera kepada anggota masyarakat yang lain. Namun dalam pelaksanaannya harus melihat beberapa aspek untuk menjadi pertimbangan yaitu pertimbangkan filosofis, yuridis maupun psikologis. Berdasarkan pertimbangan aspek filosofis, mengenai untuk apa dan kepada siapa hukum itu dimaksudkan. Hukum itu ditujukan 80 Susilo Wardani, Politik Hukum Penerapan Hukuman Mati.... kepada manusia untuk menciptakan kemaslahatan yaitu berupa ketentraman, ketertiban dan kedamaian masyarakat. Pertimbangan yuridis artinya suatu hukuman mepunyai dasar pijakan berupa perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini adalah UU tentang Narkotika yang menentukan hukuman pidana atas pelaku tindak pidana tersebut. Kemudian pertimbangan aspek sosiologis yang menjadi penting ketika suatu hukuman hendak diterapkan artinya masyarakat sepakat dengan peraturan. Sebagai bentuk sepakat adalah tidak adanya penolakan yang ekstrem terhadap hukuman mati sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. RUU KUHP sebagai Ius Constituendum,masih mengakui pidana mati meskipundalam rancangan tersebut pidana mati bukanmerupakan pidana pokok. Seorang terpidanamati yang belum dieksekusi dalam kurunwaktu 10 tahun, dengan persyaratan tertentupidananya dapat diubah menjadi pidanapenjara seumur hidup. Dengan demikian,jika RUU KUHP disetujui maka di masa yangakan datang hukum positif di Indonesia tetapmengatur mengenai pidana mati walaupunmekanisme yang digunakan berbeda denganketentuan saat ini. F. Kesimpulan Tindak pidana narkotika dapat digolongkan ke dalam sebagai tindakan kejahatan yang sangat mengancam kehidupan dan aktivitas akal.Latar belakang terjadinya penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana narkotika adalah banyaknya peredaran gelap narkotika yang sangat berbahaya bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa dan dapat melemahkan ketahanan nasional serta berdampak bagi kehidupan sosial, ekonomi, politik yang akhirnya dapat membahayakan diri sendiri, orang lain, bangsa dan negara. Terkait dengan tindak pidana narkotika terdapat dua undang-undang yang berkaitan dengan narkoba yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor35Tahun 2009 tentang Narkotika. Sanksi pidana dalam UU Narkotika adalah Pasal 114 ayat 2. Dalam Putusan MK dijelaskan bahwa penerapan sanksi pidana mati tidak melanggar hak asasi manusia, akan tetapi justru pelaku tersebut telah 81 Susilo Wardani, Politik Hukum Penerapan Hukuman Mati.... melanggar hak asasi manusia lain, yang memberikan dampak terhadap kehancuran generasi muda yang akan datang. Oleh karenanya eksistensi hukuman mati menimbulkan berbagai kontroversi. Kelompok yang pro hukuman mati memandang bahwa hukuman mati masih diperlukan untuk mengatur tertib masyarakat Hukuman mati masih diperlukan untuk melindungi masyarakat luas tetapi harus selektif dan mempertimbangkan subyek pelaku, jenis perbuatan, serta korban. Sebaliknya kelompok yang kontra menilai hukuman mati bertentangan dengan HAM. Hukuman mati masih diperlukan dan dibutuhkan dalam sistem hukum pidana Indonesia karena berfungsi memberikan efek jera kepada anggota masyarakat yang lain. Namun dalam pelaksanaannya harus melihat beberapa aspek untuk menjadi pertimbangan yaitu pertimbangkan filosofis, yuridis maupun psikologis. Eksekusi terhadap terpidana mati merupakan konsistensi dalam politik hukumyang telah mengakui hukuman mati. Namundemikian, tulisan ini merekomendasikanke depan agar penerapan pidana mati perludilakukan secara hati-hati, terutama untukmenyeleksi tindak pidana apa saja yang layak dihukum dengan pidana mati dantidak mendapatkan pengampunan melaluipemberian grasi oleh Presiden, serta teknis pelaksanaan eksekusinya. DAFTAR PUSTAKA Ali, Ahmad MD, 2011, Sanksi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXVI No 319 September 2011: Jakarta Gani A, Rahmad, 2007,Makna Yuridis Pelaksanaan Hukuman Mati, Semarang, UNDIP. Hamzah, Andi dan Sumangelipu, 1993, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Di Masa Depan, Jakarta, Ghalia Indonesia. Hamzah, Andi dan Rahayu, Siti,1983, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia,Jakarta, AkademikaPressindo. Hamzah, 1991, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Jakarta, Pradnya Paramita. Muchsin, 2007, Kontroversi Seputar Hukuman Mati di Indonesia. Jakarta, Majalah Hukum Varia Peradilan No 256 Maret 2007. 82 Susilo Wardani, Politik Hukum Penerapan Hukuman Mati.... M.D.,Moh. Mahfud, 2012, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Raja GrafindoPersada. Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Keenam, Jakarta, Rineka Cipta. Purba, Nelvitia dan Sulistyawati, Sri, 2014, Pelaksanaan Hukuman Mati Perspektif Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana di Indonesia, Yogyakarta, Graha Ilmu. Raharjo, Satjipto, 1991, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti. Sahetapy, J.E, 2007, Pidana Mati Dalam Negara Pancasila, Bandung, PT Citra Aditya Bakti. Sunarso, Siswanto, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada. ------------, 2006,Membangun PolitikHukum, Menegakkan Konstitusi,Jakarta, LP3ES. -------------, 1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta, CV Rajawali. ------------, Hakim MA: Hukuman Mati Sesuai Dengan Politik Hukum Nasional, Nasional, tanggal 29 Januari 2015. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Internet (http://panmohamadfaiz.com/2015/02/22/pendekatan-mk-terhadapkonstitusionalitas-hukuman-mati). 83