Marine Cadastre - IPB Repository

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
ICOZM (Integrated Coastal and Ocean Zone Management) atau sering
disingkat ICZM merupakan cabang ilmu baru di Indonesia, bahkan menurut
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 1994, juga merupakan
cabang ilmu baru di dunia. ICZM adalah: “pengelolaan pemanfaatan sumberdaya
alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara
melakukan penilaian menyeluruh tentang kawasan pesisir beserta sumberdaya
alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan
sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap
kegiatan pemanfaatnya, guna mencapai pembangunan yang optimal dan
berkelanjutan” (Dahuri et al., 2001).
Senada dengan pengertian di atas dinyatakan bahwa ICM:
“can be defined as a continuous and dynamic process by which decisions
are made for the sustainable use, development, and protection of coastal
and marine areas and resources. Integrated coastal management is a
process that recognizes the distinctive character of the coastal area - itself a
valuable resource - and the importance of conserving it for current and
future generations” Cicin-Sain dan Knecht (1998).
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa:
“The major functions of integrated coastal management are: (1) area
planning; (2) promotion of economic development; (3) stewardship of
resources; (4) conflict resolution; (5) protection of public safety; dan (6)
proprietorship of public submerged lands and waters”. (Cicin-Sain and
Knecht, ibid.)
Wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan dan interaksi antara daratan
dan lautan, sehingga menjadikan wilayah ini dalam posisi yang sangat rentan,
unik, bernilai, dan tertekan. Mengingat posisi alam dan topografi wilayah pesisir
sebagai “penampung” limpahan kegiatan di darat, maka respons sistem pesisir
terhadap aktifitas manusia di darat tersebut sangat sensitif. Kegiatan di daratan
seperti pertanian, pembangunan perkotaan dan
industri, kehutanan dan
9
pertambangan, perumahan dan lain sebagainya menyumbang lebih dari 70 % dari
seluruh polusi wilayah pantai dan lautan, mulai dari transpor erosi dan sedimen,
material dan bahan-bahan kimia serta bahan beracun lainnya (Collier, 2002).
Mengingat demikian besarnya pengaruh daratan terhadap pesisir, maka
konsep pembangunan pesisir tidak hanya bersifat sektoral (melainkan multisektor
dan interdisiplin) dan berbasis lautan, namun harus pula berbasis daratan,
sehingga merupakan suatu konsep pembangunan wilayah yang integral (Clark,
1995).
Hal inilah yang belum banyak (kalau tidak dapat dikatakan belum ada)
dilakukan di Indonesia, di mana perencanaan tata ruang dan pembangunan
wilayah masih bersifat parsial.
Sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta sumberdaya buatan
merupakan obyek-obyek yang dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan
pengelolaan dan pemanfaatan ruang pesisir dan lautan.
Sumberdaya non-hayati
dan sumberdaya hayati yang menjadi obyek utama penelitian ini adalah: pasir
laut, ekosistem mangrove dan terumbu karang, karena sumberdaya inilah yang
mendominasi keberadaannya pada lokasi studi.
1) Ekosistem laut: sebuah contoh kegagalan kebijakan publik panambangan
pasir laut
Penambangan pasir laut telah mengakibatkan meningkatnya kekeruhan air
laut, perubahan sirkulasi air laut akibat pengerukan dasar laut, rusaknya
bagan-bagan ikan dan keramba budidaya ikan nelayan akibat gelombang arus
kapal
pengangkut
pasir,
serta
bermigrasinya
ikan
tangkap
yang
mengakibatkan kerugian nelayan setempat.
Kegiatan penambangan pasir laut telah berlangsung selama lebih kurang tiga
puluh tahun sejak tahun 1970. Kegiatan ini dihentikan sementara dengan
terbitnya Inpres Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pengendalian Penambangan
Pasir Laut. Namun, aktifitas tersebut dibuka kembali melalui Keppres Nomor
33 Tahun 2003, dan kemudian karena menimbulkan kontroversi lagi maka
kegiatan ini ditutup kembali dengan diterbitkannya Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor: 117/MPP/KEP/II/ 2003.
10
2) Ekosistem mangrove: sebuah contoh kegagalan kebijakan publik,
khususnya karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum
Kegagalan pengawasan dan penegakan hukum merupakan suatu kegagalan
kebijakan publik dalam pengelolaan sumberdaya dan wilayah. Berdasarkan
hasil penelitian Global Environment Facility/ United Nations Development
Program/International Maritime Organization (GEF/UNDP/IMO) Regional
Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the
East Asian Seas di Selat Malaka, termasuk wilayah pesisir dan laut pulau
Bintan (Chua, 1999), maka kerusakan wilayah dan sumberdaya mangrove
telah mengakibatkan kehilangan (dan dampak lebih besar lagi apabila diukur
dampak berganda dari kerusakan dimaksud), yaitu:
a. Nilai fungsi pemijahan dan pembesaran ikan pada mangrove,
b. Nilai fungsi penyaringan karbon pada mangrove,
c. Nilai fungsi pencegahan erosi pada mangrove,
d. Nilai persepsi keberadaan sumberdaya dan ekosistem mangrove, dan
e. Nilai manfaat pelestarian sumberdaya dan ekosistem untuk mangrove.
3) Ekosistem terumbu karang: sebuah contoh kegagalan kebijakan publik,
khususnya karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum
Demikian pula kegagalan pengawasan dan penegakan hukum merupakan
suatu kegagalan kebijakan publik dalam pengelolaan sumberdaya dan wilayah
pada ekosistem terumbu karang telah mengakibatkan kehilangan (dan dampak
lebih besar lagi apabila diukur dampak berganda dari kerusakan dimaksud),
yaitu:
a. Nilai fungsi produksi organik dan penyaringan karbon pada terumbu
karang,
b. Nilai fungsi perlindungan garis pantai oleh terumbu karang,
c. Nilai keanekaragaman terumbu karang,
d. nilai persepsi keberadaan sumberdaya dan ekosistem pada terumbu karang
e. Nilai eko-turisme terumbu karang, dan
f. Nilai manfaat pelestarian sumberdaya dan ekosistem terumbu karang.
11
2.2. Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut
Dalam perspektif (definisi) konsepsional, pemanfaatan ruang dalam teori
ICOZM adalah merupakan bagian atau sebagai implementasi dari perencanaan
tata ruang. Perencanaan adalah seni dalam pengambilan keputusan di bidang
sosial secara rasional, suatu aplikasi formulasi dan implementasi program dan
kebijakan ke depan, suatu proses di mana masyarakat mengontrol dan
mengarahkan diri mereka sendiri, suatu proses rasionalisasi kepentingan publik,
atau suatu upaya untuk mengaitkan pengetahuan ilmiah dan teknis kepada proses
arahan sosial atau transformasi sosial. Perencanaan yang baik adalah perencanaan
yang berbasis (kepentingan) masyarakat.
Apabila tujuan utama dari sistem perencanaan atas tanah adalah untuk
mengatur perkembangan dan penggunaan tanah untuk kepentingan publik, maka
definisi formal atas perencanaan tata ruang laut
sejauh ini belum banyak
dikembangkan (Canning and Gilliland, 2003).
Dalam bahasa sederhana
perencanaan tata ruang laut adalah suatu perencanaan stratejis untuk mengatur,
mengelola dan melindungi lingkungan laut dari kompleksnya, kumulatifnya dan
sangat potensialnya konflik penggunaan sumberdaya dan ruang laut. Perencanaan
tata ruang laut harus dapat memasukkan mekanisme untuk mencapai integrasi dari
beberapa sektor yang berbeda. Isu utama dari definisi tersebut adalah elemenelemen yang dibutuhkan dalam perencanaan tata ruang laut, yaitu yang meliputi:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
Data dan informasi lingkungan laut;
Skala perencaraan ruang;
Sektor-sektor kelautan yang disertakan;
Penilaian lingkungan stratejis terhadap lingkungan laut secara keseluruhan;
Pendapatan dari ijin-ijin kelautan;
Pengaturan praktis dalam pengelolaan kegiatan-kegiatan kelautan;
Tanggungjawab dalam pembangunan, implementasi, monitoring, dan
penegakan hukum dari rencana tata ruang laut;
8) Meyakinkan keterlibatan para lintas pemangku kepentingan.
Adapun prinsip-prinsip dalam arahan dan pengembangan perencanaan tata
ruang laut yang harus dipegang, adalah:
1) Konservasi dan pembangunan berkelanjutan, yang terdiri dari prinsip-prinsip:
a. Pembangunan berkelanjutan,
b. Manajemen terpadu,
c. Konservasi keanekaragaman biologi;
12
d.
e.
f.
g.
Ilmu pengetahuan yang kuat,
Prinsip keselamatan,
Keterlibatan pemangku kepentingan, dan
Prinsip-prinsip “pencemar membayar” dan “pengguna membayar”.
2) Pendekatan ekosistem, yang terdiri dari prinsip-prinsip:
a. Menyediakan dan berkerja di dalam suatu rangkaian tujuan ekosistem
yang jelas,
b. Pemanfaatan lebih besar dari penilaian lingkungan dan sosial-ekonomi,
c. Penggunaan manajemen strategis yang lebih baik dari aktifitas manusia di
lingkungan laut,
d. Pengambilan keputusan dan aksi manajemen yang mempertimbangkan
keanekaragaman biologi dan memperteguh arah pembangunan yang
berkelanjutan,
e. Memanfaatkan pengetahuan ilmiah dalam proses pengambilan keputusan,
f. Mengembangkan penelitian dan monitoring yang lebih terfokus, dan
g. Melibatkan para lintas pemangku kepentingan secara penuh.
3) Integrasi: diperlukan pemaduan seluruh program dan kepentingan yang ada di
sektor
kelautan
berkelanjutan.
untuk
dapat
menangulangi
masalah-masalah
yang
Langkah-langkah menuju integrasi dalam perancanaan tata
ruang laut diawali dari komunikasi, kemudian dilanjutkan dengan kerjasama,
koordinasi, harmonisasi dan barulah kemudian integrasi.
Kebijakan penataan ruang laut pada umumnya, dan pengelolaan sumberdaya
pesisir dan lautan khususnya dewasa ini masih bersifat parsial, baik ditinjau dari
sisi cara pandang sektoralisme parsial: baik sektor kegiatan maupun sektor
wilayah (keruangan), pembangunan daratan terpisah dengan pembangunan
kelautan (Kusumastanto 2002a), maupun dari sudut pandang pengutamaan
strategi tertentu saja (Nikijuluw, 2002). Konsep kebijakan penataan ruang pesisir
dan lautan yang berkeadilan mengandung implikasi yang luas.
Pertama, berkeadilan di sini dapat diukur dari aspek keadilan di antara para
lintas pemangku kepentingan, yaitu tripartit “good ocean governance”: negara,
sektor privat, dan masyarakat.
Negara sebagai pemegang hak penguasaan
tertinggi atas bumi, air, dan ruang angkasa berikut seluruh kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya harus dapat merencanakan pengelolaan sumberdaya ini
secara adil, bijaksana, dan berkelanjutan serta dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Prinsip-prinsip desentraliasi kewenangan dan pelaksanaan
otonomi daerah juga merupakan indikator utama kepemerintahan yang baik
13
tersebut, termasuk pula penghargaan atas kearifan lokal dan pengakuan atas hakhak masyarakat hukum adat atas ruang dan sumberdaya pesisir dan lautan.
Kedua, berkeadilan di sini mempunyai konotasi pula menurut aspek
keruangan. Perencanaan ruang dan pembangunan di sektor daratan tidak boleh
merugikan atau berdampak merusak ruang dan ekosistem pesisir dan lautan.
Ketiga, berkeadilan di sini harus pula dapat dipandang dari sisi resolusi konflik,
yaitu bagaimana perencanaan tata ruang pesisir dan lautan dapat menghindari
serta menyelesaikan konflik atas ruang dan penggunaan ruang pesisir dan lautan.
Pengembangkan konsep pembangunan wilayah pesisir dan laut yang
berkeadilan harus menggunakan perspektif tata ruang dan ekologi sebagai arus
utamanya bersama-sama dengan prinsip keadilan dalam aspek tripartit lintas
pemangku kepentingan, aspek keadilan dan kesetaraan kewilayahan, serta aspek
keadilan dalam menghindari dan menyelesaikan konflik. Artinya bahwa, konsep
perencanaan tata ruang daratan, pesisir, dan lautan harus menjadi satu kesatuan
perencanaan dengan memaksimalkan saling menguntungkan serta meminimalkan
kerugian dan kerusakan. Untuk itu maka prinsip utama yang harus dipedomani
adalah, lakukan sinergi perencanaan dan pembangunan wilayah daratan dan
pesisir, melalui prinsip kesetaraan dan kesesuaian tata ruang dan ekologi, sesuai
dengan daya dukung lingkungan dan sumberdaya alamnya, dan diselenggarakan
dalam rangka untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Konsep “milik bersama” dalam doktrin “mare liberum” (kebebasan di laut)
Grotius mengakibatkan “dilema kepemilikan bersama” dan “tragedi kepemilikan
bersama” karena menganggap sumberdaya sebagai “res nullius” (tidak dimiliki
dan oleh karenanya “akses bebas”). Doktrin ini awalnya lahir dari masalah di
wilayah luar landas kontinen (200 mil laut), namun sungguh tidak dapat
dibenarkan adanya doktrin “akses bebas” dan terjadinya “tragedi tragedi
kepemilikan bersama” di wilayah pesisir, maka doktrin ini berlaku pula di wilayah
ini. Namun, sejak terbitnya artikel yang ditulis oleh Garret Hardin pada tahun
1968 yang berjudul “Tragedy of the Commons”, konsep tersebut terus dikritik dan
akhirnya UNCLOS 1982 mematahkan doktrin “mare liberum”, sumberdaya
lautan disepakati sebagai “res communes” atau “properti bersama” dalam konsep
laut sebagai “warisan umat manusia”.
14
Faham Grotius yang masih mengilhami banyak orang dewasa ini, yang tidak
menyetujui adanya partisi (boundary) atau persil laut, karena menganggap setiap
orang berhak dan bebas mengakses, memanfaatkan, dan mengeksploitasi laut
sebagai milik bersama.
Sedangkan di pihak lain, sebagaimana telah banyak
dilakukan dewasa ini, penerapan konsep tentang perlunya partisi atau persil laut
justru dilakukan sebagai langkah awal menuju pentadbiran lautan (ocean
governance).
Kepemerintahan di lautan dimulai dari perencanaan, pemanfaatan, dan
pengelolaan ruang dan sumberdaya laut secara terpadu dan berkelanjutan,
melindungi hak-hak bersama, hak privat dan hak masyarakat tertentu, serta
melindungi ekosistem, taman-taman laut dan kawasan lindung lainnya.
Praktek masa lalu atas kasus-kasus pengkaplingan laut tertentu yang
melanggar azas “akses publik” dan kelestarian alam dan ekosistemnya, telah
menyebabkan pemahaman yang kurang tepat mengenai konsep persil-persil laut.
Warisan umat manusia itu seharusnya dijaga (agar tidak terjadi konflik dan tidak
melampaui batas daya dukungnya) dan dimanfaatkan bersama untuk dapat
memberikan kesejahteraan manusia baik sekarang maupun yang akan datang.
Namun sering terlihat adanya praktek-praktek ‘konsep’ pemilikan oleh
negara, perseorangan dan badan hukum atas persil laut dan pesisirnya secara
eksklusif berupa real estat pantai, bangunan dan jasa kelautan, hotel dan resort.
Termasuk dalam hal ini adalah berbagai kegiatan pengurukan pantai berbasis
legitimasi perijinan (ijin lokasi) atau hak kepemilikan (hak guna bangunan atau
hak pakai atas tanah) yang mengejar keuntungan dengan mengabaikan bahkan
merusak ekosistem di lokasi pengurukan maupun daerah di sekitarnya.
Pengurukan pantai terlanjur diartikan sebagai reklamasi, suatu penggunaan
terminologi
yang
menyesatkan,
karena
reklamasi (dari bahasa Inggeris:
“reclamation”) berarti: (1) pemulihan kembali tanah tandus (waste land) atau
kering
melalui irigasi dan pemupukan,
atau
menghasilkan barang yang berguna (useful) dari
(2)
suatu
proses untuk
sisa-sisa produksi (waste
products) (Webster’s New World College Dictionary, 1997).
Paradigma laut sejak awal abad ke 17, tepatnya tahun 1609, melalui gagasan
Grotius (Hugo de Groot, yaitu yang pada waktu itu adalah seorang pelajar
15
berkebangsaan Belanda) tentang “mare liberum” yaitu kebebasan laut, masih
membayangi pola pikir saat ini.
Padahal konsep ini telah mengakibatkan
“common property dilemmas” serta melahirkan “tragedy of the commons” di
mana-mana.
Menimbulkan konflik-konflik maritim, overfishing, kerusakan
ekosistem pesisir dan lautan, polusi, dan pembuangan limbah-limbah berbahaya di
lautan. Sesungguhnya ide dasar kebebasan laut ini adalah untuk memberikan
legitimasi negara-negara kolonial Eropa untuk menguasai samudera, yang pada
akhirnya menguasai dunia mengembangkan wilayah-wilayah jajahannya. Motto
mereka: “who command the sea, control the world”. “Mare liberum” inilah awal
dari kolonialisme di negara-negara Asia, Afrika, danAmerika Selatan oleh negaranegara barat dengan teknologi perkapalan jarak jauh.
Doktrin “freedom of the seas” ini sesungguhnya merupakan reaksi atas
doktrin “mare clausum” (laut tertutup), yang terkait dengan pernyataan Paus
Alexander VI, Inter Caertera 1493, Treaty Tordessillas 1494, dan klaim Portugal
serta Spanyol yang memiliki hegemoni atas wilayah lautan di dunia.
Hugo
Grotius, sebagaimana kebanyakan orang Belanda pada masa itu, perlu menentang
doktrin yang memberikan hegemoni wilayah laut dunia kepada Portugal dan
Spanyol karena Belanda mempunyai kepentingan yang sangat besar, khususnya
bagi perusahaan VOC (Dutch East India Company) atas wilayah lautan Hindia
(East Indies). Setelah itu, khususnya sejak akhir Perang Dunia II, muncul doktrin
bahwa lautan dan sumberdaya lautan adalah warisan umat manusia, sehingga
semua bangsa di dunia ini mempunyai hak yang sama untuk menikmati kekayaan
yang berada di lautan, tidak terkecuali, kendatipun negara tersebut tidak memiliki
laut. Doktrin “the sea is a common heritage of mankind ” ini semakin menguat
sejak “Pacem in Maribus”, sebuah Konferensi Institut Kelautan Internasional
yang didirikan pada tahun 1972 (Rais et al., 2004, Cicin-Sain and Knecht, 1998).
Perdebatan
lain
terus
berlangsung
antara
konsep
imperium
atau
souvereignity (kedaulatan) dan konsep dominium (kepemilikan). Demikian pula
tentang bentuk kedaulatan dan kepemilikan, apakah mutlak, atau bersifat
stewardship atau trusteeship. Pada tahun 1982 dunia internasional sepakat atas
Konvensi PBB Tentang Hukum Laut (UNCLOS) di mana Indonesia telah
meratifikasinya melalui UU No. 17 Tahun 1985. Dalam konvensi ini dengan
16
tegas telah diatur mengenai laut wilayah teritorial, wilayah tambahan, dan Zona
Ekonomi Eksklusif suatu negara berikut hak-hak, batasan-batasan serta
kewajibannya.
Dengan adanya UNCLOS 1982 maka doktrin “ocean space as a common”
tidak berfungsi lagi, karena telah ada perangkat hukum pentadbiran lautan yang
telah disepakati tersebut, antara lain tentang penetapan Laut Teritorial, Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan landas kontinen suatu negara. Sejak berlakunya
Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 ini, maka mulailah berkembang konsep
“marine cadastre”. Konsep ini mengarah kepada obyek wilayah laut teritorial,
tidak dapat diterapkan azas “marine cadastre” di ZEE, karena tidak ada “tenure
system” pada zona ini dan bukan merupakan wilayah kedaulatan suatu negara.
Selanjutnya dalam konferensi Pacem in Maribus (PIM) ke XIX di Lisbon
pada tanggal 18-21 November 1991 ditetapkan sebuah tema: “Ocean Governance:
National,
Regional,
Global
Institutional
Mechanisms
for
Sustainable
Development in the Oceans” atau “Pentadbiran Lautan: Mekanisme Kelembagaan
Nasional, Regional, dan Global Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Lautan”
(Rais et al., 2004).
Pertentangan serta kesesuaian kepentingan dan pemanfaatan secara
ekonomi, ekologi, dan sosial-politik atas ruang pesisir dan lautan merupakan isu
pokok yang telah berkembang selama beberapa abad ini. Meskipun Konvensi
PBB tentang Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982 telah banyak diratifikasi
dan dipedomani oleh sebagian besar negara-negara di dunia, dan bahkan telah
dikeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan untuk wilayah pesisir
dan laut teritorial nasional, namun pandangan berdasarkan doktrin-doktrin
kelautan di masa lalu (mare liberum dan mare clausum) masih tetap mewarnai
cara pandang dan pola pikir serta tindakan para lintas pemangku kepentingan
(stakeholders) di wilayah ini. Berkenaan dengan itu diperlukan suatu pemahaman
yang benar, agar lautan sebagai warisan seluruh umat manusia
dapat dijaga
kelestariannya, sehingga pembangunan pesisir dan lautan dapat terus berlangsung
dalam siklus berkelanjutan untuk kesejahteraan umat manusia.
Konflik kepentingan di wilayah pesisir (daratan pesisir dan perairan laut)
terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan intensitas
17
kegiatan manusia di wilayah tersebut. Berdasarkan publikasi Vallega pada tahun
1990 dan dari hasil penelitian Couper pada tahun 1993 di Laut Mediterania, maka
dari 29 kegiatan dan pemanfaatan perairan pesisir dan apabila masing-masing
kegiatan diurutkan dalam suatu matriks kegiatan, maka ditemukan 100 pasang
kegiatan yang saling bertentangan bertentangan (konflik) dan 60 pasang kegiatan
yang saling membahayakan satu dengan lainnya (Cicin-Sain and Knecht, 1998)
(Gambar 2).
Gambar 2. Interaksi antara penggunaan dan aktifitas ruang pesisir dan laut di
Laut Mediterania menurut Couper, 1993 dan Vallega, 1990
sebagaimana gambar dan teks aslinya (Cicin-Sain and Knecht,
1998)
Relasi:
▲ Saling bertentangan
x Saling membahayakan
■ Membahayakan terhadap kegiatan I
□ Membahayakan terhadap kegiatan J
√ Saling menguntungkan
● Menguntungkan terhadap kegiatan I
○ Menguntungkan terhadap kegiatan J
18
Telah dikemukakan di atas bahwa penyebab utama dari konflik-konflik
tersebut adalah karena tidak adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang dan
alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan. Pada sisi lain
terdapat berbagai kendala dalam optimalisasi pemanfaatan rencana tata ruang
yang juga merupakan masalah utama, yaitu:
1) Belum merupakan satu kesatuan dengan produk rencana pembangunan daerah
lainnya, seperti Propeda;
2) Sering terlambat terhadap proses pembangunan daerah;
3) Kualitas rencana tata ruang yang masih rendah;
4) Sering kali tidak diperkuat oleh aturan perundangan atau belum ada
penegakan hukumnya;
5) Belum tersosialisasi dengan baik terhadap seluruh pelaku pembangunan; dan
6) Kualitas sumberdaya pelaku pembangunan di daerah masih perlu peningkatan
(Kusumastanto, 2001).
Dua tipe utama konflik atas sumberdaya pesisir dan lautan adalah: (1)
konflik di antara para pengguna perihal penggunaan atau ketidak-penggunaan
wilayah pesisir dan lautan tertentu, dan (2) konflik di antara instansi pemerintah
yang menjalankan program pesisir dan lautan (Cicin-Sain and Knecht 1998).
“Pengguna” yang dimaksudkan di sini adalah baik pengguna langsung (seperti:
operator penambangan dan transportasi minyak dan nelayan), maupun pengguna
tak langsung atau pengguna potensial (misalnya kelompok-kelompok lingkungan
yang mempromosikan nilai-nilai non-komersil pesisir dan lautan, angota-anggota
masyarakat yang tinggal di tempat lain, serta generasi mendatang).
Karena
sebagian besar sumberdaya kelautan merupakan kekayaan publik, dan terdapat
pula kepentingan-kepentingan strategis dari publik dan sosial dalam pengelolaan
bagian daratan dari wilayah pesisir, maka hak-hak dan kepentingan-kepentingan
para pengguna tak langsung tersebut harus pula diperhitungkan.
“
Konflik antar instansi pemerintah” ini dapat berupa konflik di antara
lembaga pemerintah pada level yang sama baik di tingkat nasional, provinsi, dan
lokal; maupun konflik antar tingkatan lembaga pemerintah yang berbeda. Konflik
ini berawal dari berbagai sebab, yaitu karena perbedaan misi dan mandat,
perbedaan persepsi dan keterampilan personel, perbedaan partner eksternal
instansi pemerintah, dan kurangnya komunikasi dan informasi.
Ada beberapa
19
tipikal manifestasi konflik di antara para pengguna, yaitu: (1) kompetisi pada
ruang pesisir dan lautan; (2) efek bertentangan dari suatu kegiatan (seperti
pengeboran minyak), dengan kegiatan lainnya (seperti perikanan); (3) pengaruh
yang bertentangan dalam ekosistem; dan (4) pengaruh pada ekosistem pesisir,
seperti kompetisi dalam wilayah pelabuhan.
Dalam konteks pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia,
Kusumastanto (2001) berpendapat bahwa penyebab utama dari konflik-konflik
tersebut adalah karena tidak adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang dan
alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan. Contoh-contoh
“kecil” konflik dimaksud adalah: konflik penggunaan ruang di Pantai Indah
Kapuk Jakarta, konflik nelayan tradisional dan nelayan trawl, konflik antara
kepentingan konservasi dengan pariwisata di taman laut Kepulauan Seribu, serta
kontroversi “pengurukan” pantai Manado.
Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, diperlukan perencanaan dan
pengelolan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu, agar pemanfaatn ruang dan
sumberdaya pesisir dan lautan dapat berlangsung secara berkelanjutan untuk
kesejahteraan masyarakat. Khusus berkaitan dengan resolusi konflik, maka pada
intinya perencanaan dan pengelolaan pesisir dan lautan secara terpadu ini tipikal
berfungsi sentral untuk mengatasi konflik di antara pengguna dan instansi di
pesisir dan lautan (Cicin-Sain and Knecht, 1998). Senada pula dinyatakan bahwa
masalah pengelolaan pesisir sesungguhnya pertama-tama harus terpusat kepada
isu-isu konflik (Kay and Alder 1999).
Dalam sejarah sistem politik di Indonesia, periodisasi kebijakan umumnya
dibagi ke dalam tiga era, yaitu era orde lama, era orde baru dan era reformasi.
Namun dalam konteks pembangunan kelautan, dikhotomi tersebut tidak banyak
berpengaruh, karena kebijakan kelautan di masa lalu dan masa yang sedang
berlangsung saat ini masih berorientasi kepada paradigma lama.
Pada masa lalu orientasi pembangunan mengutamakan pertumbuhan
ekonomi. Sistem kebijakan bersifat social exclusion (sentralistik otoriter) yang
menyebabkan timbulnya masyarakat marginal yang miskin dan mempunyai posisi
tawar yang lemah.
Pelayanan birokrasi bersifat normatif, fungsi pemerintah
20
sebagai provider, dan pengambilan keputusan bersifat top-down (Budiharsono
2001).
Konsep mengejar pertumbuhan ekonomi banyak mengabaikan aspek
kelestarian dan daya dukung lingkungan dengan cara mengekploitasi secara besarbesaran sumberdaya pesisir dan lautan yang ada. Konsep pembangunan ini pula
telah mengabaikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan,
hak-hak masyarakat atas sumberdaya di wilayahnya, serta mengembangkan rezim
open access yang mengakibatkan terjadinya moral hazard (Kusumastanto 2003a).
Strategi masa depan perencanaan dan pengelolaan pesisir memerlukan
pergeseran landasan epistemologi pembangunan dari konsep pembangunan
berkelanjutan Michael Redclif kepada konsep penguatan pengetahuan lokal
Feyereban serta Friberg dan Hettne.
Kegagalan doktrin pembangunan
berkelanjutan dapat menghancurkan sumberdaya alam pulih di negara dunia
ketiga, seperti hutan dan sumberdaya perikanan, karena beban biaya yang
ditimbulkan ditanggung sendiri oleh negara berkembang, sementara negara maju
tetap meningkatkan aktifitas ekonomi dengan merusak lingkungan hidup. Melalui
landasasan epistemologi pembangunan yang bercirikan kearifan lokal ini, maka
(communal) property rights atas sumberdaya kelautan diakui, sehingga
berkembangnya
moral hazard akibat rezim open access atas sumberdaya
kelautan seperti pada era Orde Baru dapat dihindari (Kusumastanto, 2003a);
Sejalan dengan itu, strategi masa depan perencanaan dan pengelolaan
pesisir memerlukan pula pergeseran dari paradigma eksklusi sosial (sentralisitik
otoriter) kepada paradigma inklusi sosial (masyarakat sebagai main stakeholder
serta diakuinya indegenous knowledge) dalam pembangunan sumberdaya pesisir
dan laut. Dalam konsep ini diperhatikan hak-hak kepemilikan (property right)
masyarakat, hak ulayat masyarakat hukum adat, hak-hak perolehan rakyat
(entitlement), dan manfaat sosial (social benefit) terbesar diberikan kepada
masyarakat (Budiharsono, 2001).
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa strategi masa depan
perencanaan dan pengelolaan pesisir harus bersifat holistik; dari sisi keruangan
harus meliputi perencanaan dan pengelolaan mulai wilayah hulu dan hilir
(daratan) hingga lautan secara terpadu, dari sisi kewenangan harus dimulai dari
21
kewenangan daerah dan kearifan lokal; melibatkan semua lintas pemangku
kepentingan; berwawasan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam melalui
pendekatan konsep carrying capacity; dan digunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat melalui penyelenggaraan good ocean governance.
Banyak keberhasilan kebijakan publik di sektor kelautan dan perikanan yang
dapat dikemukakan. Misalnya di bidang kelembagaan, kebijakan nasional sektor
kelautan dan perikanan dapat ditangani oleh suatu lembaga, yaitu Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP).
Namun demikian sebagaimana ditunjukkan
dalam Tabel 1, tidak semua kebijakan publik tersebut membuahkan keberhasilan,
masih tersisa pula kegagalan yang memerlukan solusi untuk mengatasinya.
Tabel 1. Kegagalan kebijakan publik di sektor kelautan dan perikanan (disarikan
dari Kusumastanto, 2003a)
No
Isu Pokok
Kegagalan Kebijakan Baik Yang Ada Mapun Yang Berpotensi Terjadi
(Kebijakan Tidak Memuaskan)
1
Pasir laut dan
penambangan laut
Kerusakan lingkungan, eksploitasi ilegal, berkurangnya mata pencaharian
nelayan, konflik kepentingan pusat dan daerah, indikasi KKN
2
Perikanan tangkap
Pencurian ikan oleh kapal asing, pengawasan yang lemah, konflik nelayan
tradisional dengan nelayan modern dan nelayan asing
3
Pulau kecil
Rusaknya ekosistem pulau kecil, indikasi terancam tenggelamnya sebanyak
4.000 pulau pada tahun 2012
4
Pariwisata bahari
Kerusakan habitat terumbu karang (sekitar 70% dengan estimasi kerugian sekitar
US$ 45 juta), rusaknya sebagian besar hutan mangrove
5
Perikanan budidaya
Matinya udang, ikan mas, ikan koi di pulau Jawa akibat virus dengan kerugian
sekitar Rp. 90 milyar
6
Pelabuhan umum dan
perikanan serta lemahnya
Armada Laut Nasional
Pendangkalan beberapa pelabuhan tradisional, belum terdesentralisasinya
perijinan pelabuhan, daya saing angkutan laut nasional yang rendah
7
Embargo hasil perikanan
Adanya ancaman embargo ikan budidaya khususnya dari Singapura dan Jerman,
belum dicabutnya embargo udang dari Amerika Serikat, ancaman embargo ikan
tuna
8
Sumberdaya manusia
kelautan
Rendahnya pengetahuan dan keterampilan nelayan dalam pemanfaatan
sumberdaya laut, rendahnya daya saing pelaut Indonesia
9
Degradasi lingkungan
pesisir dan laut
Terjadinya pencemaran sumberdaya hayati laut oleh logam berat dan buang
limbah yang menghancurkan industri pertambakan, terjadinya abrasi pantai di
beberapa daerah
10
Keamanan laut
Nelayan merasa tidak aman melakukan penangkapan ikan di laut, perusahaan
merasa tidak aman melakukan pengangkutan barang di laut
11
Kelembagaan (retribusi
hasil perikanan)
Ketidakjelasan kewenangan untuk memungut retribusi hasil perikanan dalam era
otonomi daerah
12
Pelanggaran HAM
Penggunaan tenaga anak-anak dalam bisnis kelautan
22
Masalah kebijakan publik timbul apabila kondisi sumberdaya alam dan
lingkungan tidak sama dengan yang diharapkan, atau dengan kata lain ada
perbedaan antara harapan dengan kenyataan.
Pentingnya peranan analisis
kebijakan nampak jelas di sini serta merupakan kebutuhan untuk menuju
pencapaian suatu “good ocean governance”.
2.3. Konsep “Marine Cadastre”
Aspek hukum konsep “Marine Cadastre” ke dalam merupakan bagian dari
konstitusi dan sistem hukum negara yang bersangkutan, sedangkan keluar
merupakan bagian dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan internasional yang
tertuang di dalam United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS).
Demikian pula, ditinjau dari aspek keilmuan studi “Marine Cadastre”, konsep ini
merupakan bagian integral dari dasar teori dan konsep Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, atau sering pula disebut Integrated Coastal
and Ocean Zone Management (ICOZM), atau Integrated Coastal and Ocean
Management (ICOM).
“Marine cadastre” belum lama dikenal karena memang masih merupakan
konsepsi baru.
Demikian pula belum banyak peneliti yang tertarik atau
mendalami topik ini.
Sudah banyak penelitian yang mendalami bidang
pengelolaan dan penataan ruang pesisir dan laut dari berbagai aspek atau
pendekatan, namun masih sulit sekali didapatkan penelitian yang mengaitkan
bidang ini dengan konsep kadaster, yaitu: hak, batasan, dan kewajiban dalam
penguasaan dan pemanfaatan ruang.
Sistem penguasaaan lahan mengenal adanya konsep batas lahan. Demikian
pula dalam sistem pesisir dan laut, konsepsi batas-batas (boundary system)
penguasaan dan pemanfaaatan lahan pesisir dan lautan mengenal pula sistem
batas, zonasi, atau persil.
Sesungguhnya sistem batas-batas perencanaan,
penguasaan, pemanfaatan dan pemantauan atau pengawasan ini telah dikenal
sejak lama.
Pengukuran, pemetaan, dan pendaftaran persil atau zonasi laut
bukanlah merupakan hal yang baru.
23
Misalnya di Jepang, dokumen tentang hak penguasaan dan hak ulayat laut
telah dikenal sejak Era Feodal (1603 – 1867). Formalisasi keberadaan hak ulayat
laut pada masa kekaisaran Edo dipercaya didasarkan oleh tradisi yang berlaku
sebelumnya. Setelah restorasi Meiji pada tahun 1868, maka pada tahun 1876
pemerintah Jepang mengambil alih seluruh kepemilikan atas perusahaan
perikanan, kemudian menerbitkan lisensi dan perijinan perikanan perorangan
dengan disertai pajak (Ruddle, 1992).
Filosofi kadaster adalah “the boundary of use” atau “the boundary of
tenure”, yaitu batas atau zonasi penguasaan, penggunaan, serta pemilikan lahan.
Sejarah dan filosofi kadaster dapat ditarik kembali jauh ke masa sekitar 2.000
tahun sebelum Masehi di tepi Sungai Nil, Mesir,
di mana terhampar luas daerah-
daerah pertanian yang subur. Penduduk di sekitar sungai ini telah menikmati
hidup yang cukup makmur dari hasil pertanian serta perdagangan melalui
transportasi sungai. Namun suatu ketika terjadilah banjir besar akibat meluapnya
air sungai yang cukup deras arusnya sehingga merusak tanah pertanian, rumah
dan bangunan lainnya (permukiman penduduk) di sekitar sungai termasuk
merusak batas-batas tanahnya. Pasca kerusakan akibat bencana alam tersebut,
penduduk setempat membentuk tim untuk melakukan pengukuran pengembalian
(rekonstruksi) batas-batas tanah yang telah hilang. Rekonstruksi batas-batas lahan
ini tidak hanya untuk pengembalian batas penggunaan dan pemilikan lahan saja,
namun juga dimaksudkan untuk memungut kembali pajak-pajak tanahnya. Sejak
itu dikenallah kadaster sebagai suatu kegiatan bahkan institusi yang melakukan
pengukuran, pemetaan dan pendaftaran tanah.
Bentuk-bentuk persil laut dimaksud selama ini dikenal sebagai: pemintakat
(zonasi) laut, batas budidaya ikan–kerang–rumput (biota) laut
(aquaculture),
batas penambangan pasir laut, batas alur pelayaran, batas laut lindung, batas
wilayah hak ulayat laut dan sebagainya. Lebih jauh lagi dalam konteks penetapan
batas administrasi pemerintahan dan batas
kedaulatan negara, yaitu batas-
batas wilayah laut Kabupaten dan Kota, Propinsi, batas wilayah laut Negara
(territorial sea), batas wilayah tambahan (contiguous zone), dan batas ZEE,
semuanya adalah merupakan penerapan dari konsep persil-persil laut.
24
Gambar 3. Persil-persil laut: ijin-ijin penambangan pasir laut di Riau (kanan) dan
blok-blok penambangan minyak dasar laut (blok Ambalat) di
wilayah perbatasan antara Kalimantan Timur dan Sarawak, Malaysia
(Rais, 2002a; dan KOMPAS, 1 November 2004)
Isu-isu “mengkapling” laut acapkali dilempar sebagai isu yang berkonotasi
negatif tanpa mengindahkan substansi atau pokok masalahnya.
Kapling atau
zonasi atau persil laut justru sangat diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya
pesisir dan laut, baik sebagai jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum
bagi
pengelolanya,
arahan,
evaluasi,
pemantauan,
maupun
perencanaan
pemanfaatan dan pengelolaan ruang dan sumberdaya pesisir dan laut. Gambar 3
di atas menunjukkan beberapa “fakta” pengkaplingan laut dewasa ini di Indonesia,
yaitu kapling ijin-ijin penambangan pasir laut di Riau dan “claim” Pemerintah
Indonesia atas “kapling laut” yang diberi nama Blok Ambalat, yang di pihak lain
oleh Pemerintah Malaysia diklaim pula sebagai Blok YZ.
Konsep “marine cadastre” merupakan pengembangan dari Kadaster Darat
atau “land cadastre”. Federasi Surveyor Internasional (FIG: Federation
Internationale des Geometres) memberikan definisi dan ilustarsi kadaster sebagai
berikut (Gambar 4):
“A Cadastre is normally a parcel based and up-to-date land information
system containing a record of interests in land (i.e. rights, restrictions, and
responsibilities). It usually includes a geometric description of land parcels linked
to other records describing the nature of the interests, and ownership or control
of those interests, and often the value of the parcel and its improvements. It may
be established for fiscal purposes (e.g. valuation and equitable taxation), legal
purposes (conveyance), to assist in the management of land and land use (e.g. for
planning and other administrative purposes), and enables sustainable
development and environmental protection” (FIG, 1995).
25
Gambar 4. Ilustrasi konsep kadaster (FIG, 1995)
Cukup banyak definisi tentang “marine cadastre”, namun beberapa
pengertian berikut ini cukup mewakili konsep-konsep dimaksud, yaitu antara lain
adalah:
a. U.S. DOC: United States Department of Communication–NOAA: National
Oceanic and Atmospheric Administration (2002):
“The U.S. Marine Cadastre is an information system, encompassing both
nature and spatial extent of interests in property, value and use of marine
areas. Marine or maritime boundaries share a common element with their
land-based counterparts in that, in order to map a boundary, one must
adequately interpret the relevant law and its spatial context. Marine
boundaries are delimited, not demarcated, and generally there is no physical
evidence of the boundary”.
b. Rais (2002a):
“Marine Cadastre atau Kadaster Laut adalah penerapan prinsip-prinsip
kadaster di wilayah laut, yaitu mencatat: penggunaan ruang laut oleh
aktifitas masyarakat dan pemerintah; ruang laut yang dilindungi,
dikonservasi, taman nasional, taman suaka margasatwa, dan sebagainya; dan
penggunaan ruang laut oleh komunitas adat.”
26
c. Binns (2004):
“A Marine Cadastre is a spatial boundary management tool, which describes,
visualises, and realises legally defined boundaries and associated rights,
restrictions, and responsibilities in marine environment, allowing them to be
more effectively assessed, administered and managed”.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, serta ditambah dengan
beberapa referensi konsep dari Universitas Melbourne Australia, Universitas New
Brunswick, Canada, dan FIG: International Federation of Surveyors, maka
dapatlah dirumuskan suatu definisi operasional “marine cadastre” sehubungan
dengan penelitian ini, yaitu:
“Marine Cadastre” adalah sistem penyelenggaraan administrasi publik
yang mengelola dokumen legal dan administratif, baik yang bersifat spasial
maupun tekstual, mengenai kepentingan berupa: hak, kewajiban, dan batasannya,
termasuk catatan mengenai nilai, pajak, serta hubungan hukum dan perbuatan
hukum yang ada dan berkaitan dengan penguasaan dan pemanfaatan ruang
perairan pesisir dan laut.
“Marine Cadastre” diselenggarakan dalam rangka mewujudkan tertib
hukum, tertib administrasi, tertib penggunaan dan tertib pemeliharaan ekosistem
laut serta mendukung tertib perencanaan, penataan, dan pengelolaan wilayah laut
secara spasial terpadu.
Sebagai suatu bagian dari sistem hukum (“legal
cadastre”), maka “marine cadastre” ditujukan untuk mengelola dan menyediakan
data, informasi, dan dokumen jaminan kepastian hukum atas pemanfaatan ruang
pesisir dan laut.
“Marine Cadastre” merupakan pengembangan dari “land cadastre”, namun
tidak semua aspek “land cadastre” dapat diterapkan ke dalam konsep “marine
cadastre”. Berikut adalah perbedaan dan kesamaan di antara keduanya (Tabel 2).
Beberapa konsep dasar “marine cadastre” melengkapi pengertian tersebut
misalnya dapat dikemukakan tentang sistem batas. Dalam beberapa hal batas
persil laut dapat ditandai dengan benda fisik di permukaan maupun di dasar laut
dangkal, namun dalam banyak hal batas persil laut hanya ditetapkan dalam sistem
koordinat geografis namun tidak dibangun tanda-tanda fisik batas di laut.
27
Tabel 2. Perbedaan dan persamaan antara kadaster pertanahan (Land Cadastre)
dengan kadaster kelautan (Marine Cadastre) (dari berbagai sumber serta
modifikasi dari BPN – LPPM ITB, 2003)
No
Unsur & Aspek
“Land Cadastre”
“Marine Cadastre”
1
Kepemilikan
Dikenal adanya Hak Milik atas (persil)
tanah (Pasal 16 UUPA);
Tidak dikenal hak milik pribadi atas bidang atau
persil laut, yang ada adalah pembagian
kewenangan pengelolaan wilayah laut, baik
diberikan kepada Negara, publik, masyarakat
hukum Adat, badan usaha, maupun perseorangan
(Rais, 2002.a);
2
Penguasaan &
pemanfaatan
Dikenal hak-hak sementara yaitu: HGB,
HGU, HP (Pasal 28, 35, dan 41 UUPA);
Dikenal Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan dan
Penangkapan Ikan (Pasal 47 UUPA);
Hak Atas Ruang (UU No.24/1992 jo. PP 69/1996)
Lisensi, konsesi dan perijinan eksploitasi
sumberdaya laut (undang-undang sektoral);
Hak Membuka Tanah dan Memungut
Hasil Hutan (Pasal 46 UUPA);
3
Administrasi
Mencatat batas administratif (desa,
kabupaten/kota, provinsi) dan batas setiap
bidang tanah baik yang ada haknya
maupun tidak;
Dikenalnya NIB (Nomor Identifikasi
Bidang) tanah, Daftar Tanah, dan Sistem
Buku Tanah;
Merupakan produk hukum (sertipikat hak
atas tanah) dan produk fiskal (PBB &
BPHTB);
4
Kelembagaan
BPN (Badan Pertanahan Nasional)
sebagai “Legal Land Cadastre”
Direktorat PBB & BPHTB Ditjen. Pajak
Departemen Keuangan sebagai “Fiscal
Land Cadastre”
Mencatat persil pesisir dan laut serta batas-batas
terkait, hak atas persil termasuk hak adat atau
ulayat;
Batas-batasnya adalah batas yuridiksi (laut
teritorial); batas administratif (provinsi, kabupaten,
dan lainnya); batas laut, selat dan teluk; batas estat
laut (pemanfaatan ruang laut untuk kepentingan
ekonomi masyarakat, perseorangan, dan badan
hukum);
Merupakan ruang laut 3-dimensi yang
menggambarkan stratifikasi hak pada permukaan
laut, kolom air (laut), dasar laut dan tanah di
bawahnya (Rais, 2002.a)
Belum ada UU yang secara spesifik mengatur
perihal “Marine Cadastre”
UU terkait:
UUPA 1960, UU No. 11 Tahun 1967
(Pertambangan), UU No. 5 Tahun 1990
(Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya), UU No. 24 Tahun 1992 (Penataan
Ruang), UU No. 23 Tahun 1997 (Pengelolaan
Lingkungan Hidup), dan UU No. 32 Tahun 2004
(Pemerintahan Daerah);
Belum ada peraturan perundang-undangan yang
secara spesifik mengatur perihal kelembagaan
“Marine Cadastre”:
Opsi:
BPN sepanjang menyangkut administrasi
(manajemen) hak-hak (property rights) atas
ruang pesisir dan laut;
DKP menyangkut perihal administrasi dan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut (coastal
and sea resources);
5
Teknis
Skala peta 1:1.000 dan 1: 500 untuk
perkotaan dan 1:2.000 atau 1:2.500 untuk
perdesaan, serta 1:5.000 atau 1:10.000
untuk lokasi perkebunan besar;
Skala peta 1:1.000 atau 1:2.500 untuk wilayah “tidal
interface”;
Warna dan legenda peta minimalis;
Warna dan legenda peta: berwarna dan banyak
legenda maritim
“Maritime boundary system” (sistem batas):
• Batas yuridiksi nasional sampai batas laut
territorial;
“Fixed boundary system” untuk batasbatas persil tanah dan batas administarsi
(lihat butir 2 di atas)
Skala 1:50.000 – 1:100.000 untuk wilayah laut
kabupaten/kota dan provinsi serta laut teritorial;
skala 1:100.000 – 1:1.000.000 untuk landas
kontinen dan ZEE;
28
No
Unsur & Aspek
“Land Cadastre”
“Marine Cadastre”
•
•
•
Peta Kadaster Darat: menggambarkan
batas-batas zonasi lahan yang diukur dan
berbagai jenis hak dan penggunaannya
Sistem koordinat menggunakan proyeksi
TM 3o (Transverse Mercator dengan lebar
zone 3o) dengan referensi datum WGS1984 (a = 6.378.137 m dan f = 1/298,26);
Ruang tanah (lahan) dalam referensi 2dimensi (ukuran luas, panjang dan lebar);
6
Terminologi
Dikenal adanya Tanah Negara dan Tanah
Hak
Batas adminsitratif dan batas zona khusus (laut
lindung, kawasan konservasi, zona perikanan,
dan sebagainya);
Batas estat laut (batas pemanfaatan dan
penggunaan laut untuk kepentingan ekonomi
oleh masyarakat, perseorangan, dan badan
hukum);
Batas kewenangan Negara sesuai UNCLOS
(Landas Kontinen dan Zona Ekonomi
Eksklusif);
Peta Kadaster laut: memuat informasi persil-persil
pesisir dan laut serta batas-batasnya yang terkait,
hak dan ketentuan hukum lainnya atas persil
tersebut termasuk hak adat dan hak ulayat, serta
kewenangan yuridiksi yang menyangkut
sumberdayanya (Rais, 2002.a)
Rais (2003: hal.27-28) mengusulkan agar semua
peta di Indonesia kompatibel, maka sistem yang
digunakan sebaiknya sistem koordinat geosentris
dengan Datum Geodesi Nasional Indonesia (DGNI)
1995 yang mengacu kepada WGS 1984 (a =
6,378,137 m and f = 1/298,26);
Ruang laut dalam referensi 3-dimensi yang
menggambarkan stratifikasi hak (rights) pada
permukaan laut, kolom air, dasar laut dan tanah di
bawahnya (Rais, 2002.a);
Dikenal pula adanya Tanah Negara, yaitu tanah
yang tertutup oleh air laut dan dasar laut (sea bed)
dan tanah di bawahnya, serta Laut Negara (untuk
menghindari istilah Laut Provinsi, Laut Kabupaten,
atau Laut Kota berkaitan dengan UU No. 32 Tahun
2004) (a.l. Rais, 2002.a);
Sesuai ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juncto UUPA, UNCLOS
juncto UU No. 17/1985, laut dapat dipartisi dalam persil-persil untuk penguasaan
dan pemanfaatannya. Contoh, untuk ruang usaha ekonomis seperti bididaya ikan,
rumput laut, kerang, penambangan dasar laut dan di bawah dasar laut; sebagai
ruang laut konservasi seperti laut lindung dan taman nasional; sebagai ruang laut
wisata dan rekreasi seperti arena selam, surfing, sailing dan fishing-sport; serta
sebagai ruang laut publik seperti alur pelayaran, pelabuhan dan sebagainya (Rais,
2002).
Konsep “marine cadastre” di Australia melingkupi pengggunaan dasar laut
(sea floor), misalnya untuk jalur pipa dan kabel bawah laut sebagaimana dalam
(Binns, 2004). Bahkan di Kanada penyelenggaraan “marine cadastre” merupakan
barometer keberhasilan dari sebagian indikator ‘good governance’ (Nichols et al.,
2001).
29
Konsep diagram “marine cadastre” yang banyak dijadikan referensi adalah
gambaran yang dikemukakan Melbourne University, Australia (Gambar 5).
Model ini banyak digunakan oleh berbagai pihak dan peneliti sebagai referensi.
Konsepsi ini memberikan pendekatan holistik dalam gagasannya, yaitu dengan
menghubungkan keterkaitan tiga pintakat kegiatan:
1) Kegiatan terestrial (aktifitas urban dan kegiatan industri serta pertanian),
2) Kegiatan pesisir (pertanian, turisme dan rekreasi, serta hak-hak masyarakat
adat), dan
Gambar 5. Diagram Konsepsi “Marine cadastre”: hak cipta © The
University of Melbourne sebagaimana gambar dan teks
aslinya (Collier, 2002)
30
3) Kegiatan kelautan (kawasan lindung laut, budidaya laut, eksploitasi mineral
dan energi, pelayaran, wilayah tangkapan ikan, kabel dan pipa dasar laut, harta
karun, serta tempat pembuangan limbah di lautan).
2.4. Relevansi Konsep “Marine Cadastre” Dengan Teori ICZOM
Clark (1992) mengemukakan bahwa: “ICZM is a planning and coordinating
process which deals with development management coastal reasources”. Lewat
definisi-definisi teori dasar ICZM tersebut di atas, dapat ditarik benang merah
yang tajam antara konsep dan teori dasar ICZM dimaksud dengan konsep “marine
cadastre”, teristimewa pada aspek-aspek: penataaan ruang dan sumberdaya secara
komprehensif, perencanaan pemanfaatan sumberdaya dan kawasan, media
penyelesaian konflik, dan pengakuan hak-hak penguasaan dan pemanfaatan ruang
pesisir dan laut. Relevansi ini kemudian lebih menonjol lagi pada tataran praktik
ICZM, khususnya pada aspek penataan ruang pesisir dan lautan, serta aspek
penguasaan dan pemanfaatan (tenurial) (Gambar 6).
Melalui gambaran di atas maka nampak setidaknya terdapat 8 (delapan)
komponen grand theory ICZOM yang terkait erat dengan konsep “marine
cadastre”, yaitu:
1) ICZOM adalah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir, dengan cara:
a. Melakukan penilaian menyeluruh tentang kawasan pesisir beserta
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya;
menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian;
b. Merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya, guna
mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan (Dahuri et al.
2001);
2) ICOZM menurut Clark, adalah:
c. A planning and coordinating process which deals with development
management and coastal resources and which is focused on the land/water
interface;
31
d. ICM menurut Cicin-Sain and Knecht:
“can be defined as a continuous and dynamic process by which decisions
are made for sustainable use, development, and protection of coastal and
marine areas and resources; ... is a process that recognizes the distinctive
character of the coastal area - itself a valuable resource - and the
importance of conserving it for current and future generations; … has
major functions as:
• Tata Ruang dan proses
koordinasi
• Orientasi Kebijakan dan
Pengembangan Manajemen
Strategis untuk Isu-isu Konflik
Pemanfaatan Sumberdaya
(Clark, 1992)
• Penilaian Spasial
Komprehensif
• Penentuan Tujuan, Sasaran &
Perencanaan Pemanfaatan
Kawasan (Dahuri et al., 2001)
•
•
•
•
Tata Ruang
Arahan Pemanfaatan
Resolusi Konflik
Arahan Kesesuaian
(Cicin Sain and Knecht, 1998)
Teori Dasar
ICOZM
Hak
“Marine Cadastre”
Philosofi: Batas
Pemilikan
Batasan
Kewajiban
Gambar 6. Relevansi Konsep “Marine Cadastre” Dengan Teori Dasar dan
Praksis ICOZM
e. Area planning: plan for present and future uses of coastal and marine
areas; provide a long-term vision; Promotion of economic development:
promote appropriate uses of coastal and marine areas (e.g., marine
aquaculture, ecotourism);
32
f. Stewardship of resources: protect the ecological base of coastal and marine
areas, preserve biological diversity, and ensure sustainability of uses;
g. Conflict resolution: harmonize and balance existing and potential uses,
address conflicts among coastal and marine uses; Protection of public
safety: protect public safety in coastal and marine areas typically prone to
significant natural, as well as human-made, hazards;
h. Proprietorship of public submerged lands and waters: as governments are
often outright owners of specific coastal and marine areas, manage
government-held areas and resources wisely and with good economic
returns to public (Cicin-Sain and Knecht, 1998).
2.5. Sejarah “Marine Cadastre”: Munculnya Filosofi “The Boundary of
Tenure”
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kadaster adalah kantor tempat
pendaftaran hak milik (Badudu dan Zain, 2001). Selanjutnya dalam pengertian
modern, kadaster dikenal sebagai suatu sistem informasi pertanahan publik. Bab
Pendahuluan telah menguraikan perihal asal mula dikenalnya kadaster, yaitu
kembali ke tahun 2.000 S.M. di tepian sungai Nil, Mesir, di mana dalam sejarah
tercatat pernah dilaksanakan kegiatan rekonstruksi batas-batas kepemilikan tanah
akibat banjir besar yang melanda tempat permukiman dan daerah pertanian
penduduk. Sejak peristiwa di sekitar sungai Nil inilah, yaitu diselenggarakannya
pengukuran, pemetan dan pencatatan serta pendaftaran kembali tanah-tanah
pertanian yang kemudian dikenal dengan nama “kadaster”.
Demikian pula
selanjutnya dikenal konsep “the boundary of tenure” atau “the boundary of use”
sebagai dasar filosofi kadaster.
Sejarah kadaster kemudian berkembang seiring dengan perkembangan ilmu,
khususnya matematika. Dalam sejarah dicatat pula bahwa pada tahun 1.500 SM
di Mesir mulai dikenal pengukuran sudut secara matematis dengan cara
33
mengamati lintasan sinar matahari pada permukaan batu ukur (stone tablet)
dengan menggunakan mistar vertikal (Gnomon) di atasnya. Namun alat ukur
sudut yang pertama dikenal adalah instrumen yang mereka kembangkan kemudian
yang disebut Groma, yaitu empat butir batu yang tergantung oleh tali pada keempat ujung batang kayu yang terikat saling tegak lurus. Alat ini dipakai selama
ribuan tahun termasuk untuk pembangunan piramid dan bangunan-bangunan
kekaisaran Romawi.
Sejak itu pula dikenal seorang yang bernama Lucius
Aebutius Faustus sebagai “Agremèntor” atau juru ukur tanah yang pertama
(Wallis, 2005).
Periode berikutnya, Eratosthenes (275-195 SM) dikenal sebagai “bapak”
konsep geometri (Lelgemann, 2005), yang kemudian digunakan pula sebagai
dasar pemodelan (pengukuran dan pemetaan) batas tanah. Sedangkan alat ukur
sudut pertama yang merupakan cikal bakal theodolite yang dikenal sekarang
adalah Dioptra, yang dalam bahawa Yunani artinya instrumen untuk melihat
dengan jelas, dibuat sekitar tahun 150 SM (Wallis, 2005).
“The mile stone” sejarah kadaster berikutnya adalah program Napoleon
Bonaparte (1789–1821) untuk mendaftarkan seluruh bidang tanah di Perancis
guna mengatur perekonomian dan membiayai perangnya melalui pungutan pajak
tanah dan hasil bumi serta kekayaan penduduk. Napoleon berhasil membangun
kadaster di Perancis dalam masa pemerintahannya, bahkan ia sempat
mengeluarkan “fatwa” yang cukup terkenal, yaitu: “Barang siapa dapat
membangun suatu kadaster yang baik, sungguh layak dibuatkan patung baginya”.
Pengenalan istilah kadaster di Indonesia pertama kali dilakukan oleh
pemerintah jajahan Belanda ketika membentuk Kadastrale Dienst (Dinas
Kadaster) pada tahun 1823, yaitu sebuah dinas di bawah Departemen Kehakiman.
Pemerintah pendudukan Jepang merubah nama dinas ini menjadi Jawatan
Pendaftaran Tanah dan Kantor Pendaftaran Tanah.
Setelah kemerdekaan,
Pemerintah Indonesia membentuk Kementerian Agraria berdasarkan Keppres
Nomor 55 Tahun 1955, namun baru dua tahun kemudian, yaitu melalui Keppres
Nomor 190 Tahun 1957, Jawatan Pendaftaran Tanah yang semula di bawah
Departemen Kehakiman dialihkan dalam lingkungan tugas Kementerian Agraria.
34
Sedikitnya ada delapan tonggak sejarah batas laut dan delapan periode
konsep awal sejarah batas laut dan konsep awal “marine cadastre” sebagaimana
disarikan dalam Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Sejarah Batas Laut dan Konsep Awal “Marine Cadastre” (dari berbagai
sumber utamanya Soebroto et al., 1983 dan BPN-LPPM ITB, 2003)
Sejarah Batas Laut
Konsep Awal “Marine Cadastre”
Tahun
Peristiwa
Tahun
1945
Pemerintah Amerika Serikat
mengumumkan yuridiksinya atas kekayaan
sumberdaya alam yang berada di dasar
laut dan tanah di bawahnya di sepanjang
landas kontinen yang mengelilingi
pantainya. Pengumuman ini menggugah
negara-negara pantai lainnya untuk
berbuat yang sama.
1982
Lahirnya UNCLOS 1982 merupakan “tonggak
sejarah” yang melahirkan konsep “Marine
Cadastre” berangkat dari filsofi dan isu “the
boundary of use”.
1989
Sue Nichols, Kandidat Ph.D. di Universitas New
Brunswick, Kanada menulis tentang “Water
Boundaries – Coastal” dan ide awal konsep
“Marine Cadastre”.
1991
Konferensi Pacem in Maribus di Lisbon
menetapkan tema “Ocean Governance” yang
merupakan ‘cikal bakal’ pula dari
berkembangnya konsep “Marine Cadastre”.
1999
Konsep ini mulai ramai dibicarakan dalam
seminar, workshop, dan juga dalam proyekproyek penelitian, antara lain:
1957
Deklarasi Djuanda: Pengumunan
Pemerintah tentang Perairan Indonesia
dalam suatu Konsep Wawasan Nusantara
sebagai konsekuensi logis dan geografis
bagi sebuah negara kepulauan
(archipelagic state). Deklarasi yang
dikeluarkan pada tanggal 13 Desember
1957 ini sekaligus merupakan “kontra”
undang-undang pemerintah kolonial
Belanda: “Territoriale Zee- en Maritiem
Kringen Ordonantie 1939” (Ordonansi Laut
Wilayah dan Lingkungan Maritim).
1958
Konferensi PBB tentang Hukum Laut ke I
digelar di Geneva.
1960
Digelar Konferensi PBB tentang Hukum
Laut ke II di Geneva;
Pada tahun yang sama, terbit Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang
(PERPU) Nomor 4 Tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia yang sekaligus
merupakan “pengukuhan” Deklarasi
Djuanda 1957.
Peristiwa
• Canadian Center for Marine Communication
menerbitkan Draft MGDI: Marine Geospatial
Data Infrastructure;
• Sue Nichols dan David Monahan menulis
tentang: Fuzzy Boundaries of the Sea;
• Sue Nichols, David Monahan, dan Michel
Sutherland menulis tentang menawarkan
konsep Good Ocean Governance;
• Terminologi “Marine Cadastre” mulai
dikenalkan, antara lain Sue Nichols,
Hoogsteden dan Robertson, serta Grant;
2000
Sebuah proyek “Marine Cadastre” dilaksanakan
di Kanada oleh beberapa peneliti, yaitu Sam
Ng’ang’a, Sue Nichols, Michel Sutherland, dan
Sarah Cockburn;
35
Sejarah Batas Laut
Tahun
1969
1973
1980
Peristiwa
Pemerintah Indonesia pada tanggal 17
Februari 1969 menerbitkan Pernyataan
atau Pengumuman tentang Landas
Kontinen dalam perairan laut Indonesia.
Konsep Awal “Marine Cadastre”
Tahun
Peristiwa
2001
Kelompok Kerja 2 PCGIAP – FIG
mengeluarkan Resolusi No. 6 tentang “Marine
Cadastre” diawali dari PCGIAP Meeting 7th di
Tsukuba, Jepang (24 – 27 April 2001) dan
pertemuan lanjutan di Penang, Malaysia (11 –
12 September 2001). Dalam kedua pertemuan
ini Williamson dan Widodo menyampaikan pula
presentasi perihal konsep “Marine Cadastre”.
Terbit UU Nomor 1 Tahun 1973 Tanggal
6 Januari 1973 tentang Landas Kontinen
Indonesia;
Dalam tahun yang sama mulai digelar
Konferensi PBB tentang Hukum Laut ke
III digelar di New York; Sidang ini
berlangsung bertahap selama 9
(sembilan) tahun hingga sidang yang ke
12 pada tahun 1982.
2002
Tercatat banyak seminar, workshop maupun
penelitian mendalami konsep “Marine
Cadastre”, bahkan US DOC-NOAA telah
menetapkan kebijakan tentang “US Marine
Cadastre”; Beberapa penulis telah pula secara
intensif membahas konsep ini, misalnya:
• Collier, Leahly, dan Williamson mengusulkan
konsep “Australian Marine Cadastre”;
• Jacub Rais menawarkan konsep “Marine
Cadastre” untuk Indonesia;
• Beberapa “statement” dalam surat khabar
juga menyoroti perihal “Marine Cadastre”,
antara lain: Budi Sulistyo dan Sarwono
Kusumaatmadja dalam harian KOMPAS;
2003
LPPM ITB Bandung berkerjasama dengan BPN
menghasilkan dokumen “Studi Pengembangan
Kadaster Kelautan di Indonesia”;
Sementara itu Widodo menyampaikan makalah
tentang “Spatial Data Infrastructure and Marine
Cadastre” dalam sebuah FIG Weekly Meeting di
Paris;
• Secara berurutan Tamtomo dan Widodo
menyampaikan makalah tentang “Marine
Cadastre” dalam 3rd FIG Regional
Conference di Jakarta;
• Telah terbit buku “Menata Ruang Laut”
terbitan Pradnya Paramita ditulis oleh Rais
et al. termasuk perihal “Marine Cadastre”;
• Telah diselenggarakan sebuah seminar oleh
FT UGM “Kadaster Laut dan Peran
Geodesi-Geomatika Untuk Masyarakat” di
Yogyakarta;
• Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat
mencanang-kan “Implementation Plan for a
Multipurpose Marine Cadastre” (US DOI –
MMS, 2004)
Pengumuman Pemerintah Indonesia
tanggal 21 Maret 1980 tentang Zona
Ekonomi Eksklusif
1982
Ditandatanganinya United Nations
Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS) oleh 119 negara di dunia
pada tanggal 7 Oktober 1982.
1983
Terbit UU Nomor 5 Tahun 1983 tanggal
18 Oktober 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif.
1985
1996
Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982
melalui UU Nomor 17 Tahun 1985
tanggal 31 Desember 1985.
Terbit UU Nomor 16 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia sebagai pengganti
dan penyempurnaan PERPU Nomor 4
Tahun 1960.
1999
Terbit UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah khususnya yang
mengatur batas wilayah laut provinsi dan
kabupaten/kota.
2004
Terbit UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagai pengganti
UU Nomor 22 Tahun 1999.
2004
2005
Jacub Rais dan J.P.Tamtomo menulis tentang
kasus Blok Ambalat: “Make Marine Cadastre
Not War” (KOMPAS, 11-04-2005)
36
2.6. Tujuan dan Manfaat Penyelenggaraan “Marine Cadastre”
Tujuan penyelenggaraan “marine cadastre” oleh suatu negara, adalah untuk:
1) Mengadministrasikan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan laut berikut
sumberdaya alam dan buatan serta termasuk pula semua kepentingan, hak,
batasan dan kewajiban yang ada di wilayah itu;
2) Mewujudkan ketertiban wilayah, yaitu tertib administrasi, tertib hukum, tertib
tata ruang wilayah, tertib pemanfaatan dan penggunaan ruang dan sumberdaya
wilayah, serta tertib pemeliharaan wilayah dan ekosistem wilayah;
3) Memberikan perspektif manajemen sumberdaya alam kepada pemerintah dan
mengembangkannya agar manfaat dan kegunaan “marine cadastre” menjadi
lebih nyata bagi para pemangku kepentingan, seperti: pemerintah dan daerah,
sektor industri, serta masyarakat akademis (US DOI–MMS, 2004) dan
masyarakat disektor pesisir dan kelautan khususnya;
4) Menyediakan infrastruktur data spasial yang komprehensif di mana hak,
batasan, dan kewajiban di lingkungan pesisir dan kelautan dapat dinilai,
diadministrasikan, dan dikelola (US DOI–MMS, 2004);
5) Menyediakan informasi wilayah laut yang berguna untuk: (1) mengidentifikasi
masalah dan prioritas; (2) merumuskan dan menerapkan kebijakan dan strategi
pembangunan kelautan yang sesuai dan tepat sasaran; (3) membantu
perencanaan tata guna ruang dalam aktifitas pembangunan kelautan; (4)
menyediakan suatu proses perijinan yang proporsional dalam mendukung
pembangunan perekonomian sektor kelautan; (5) dapat menerapkan suatu
sistem pengelolaan pajak yang tepat dan efisien; dan (6) mengawasi tata guna
ruang untuk dapat mengidentifikasi permasalahan baru dan mengevaluasi
pengaruh dari suatu kebijakan kelautan (BPN – LPPM ITB, 2003). Direktorat
Jenderal Pajak telah memungut PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) atas
bangunan-bangunan kelautan seperti penambangan minyak “offshore”,
rumpon dan bagan-bagan ikan, dan bangunan kelautan, jasa kelautan serta
akuakultur lainnya.
Manfaat dari penyelenggaraan “marine cadastre” bagi suatu negara, adalah:
1) Tersedianya
mekanisme
untuk
mendefinisikan,
menggambarkan,
menganalisis, dan menghitung, serta menyatakan hak kedaulatan dari setiap
37
jengkal lahan di wilayah pesisir dan lepas pantai berikut kekayaan alam atau
sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya;
2) Tersedianya mekanisme untuk mengidentifikasi tumpang tindih dan konflik
hak, kepentingan, dan tanggungjawab di wilayah pesisir dan lautan serta untuk
mendorong dan menyelenggarakan kepemerintahan yang baik di bidang
kelautan (good ocean governance) (US DOI – MMS, 2004);
3) Tersedianya serta meningkatnya akses terhadap sumber-sumber ekonomi dan
efisiensi penggunaan sumberdaya dan ruang laut sekaligus meningkatkan
perlindungan terhadap terjadinya degradasi lingkungan akibat kegiatan
pembangunan kelautan (BPN – LPPM ITB, 2003);
Sementara itu, dalam pengembangan konsep “Multi-Purpose Marine
Cadastre”, maka Tamtomo (2006) telah mengenalkan konsep Total Asset Value
(TAV), yaitu agregat nilai Total Real Property Value (TRPV) ditambah dengan
Total Economic Value (TEV) dari suatu “persil laut”, khususnya persil pada
perairan pesisir (near shore parcel).
2.7. Aspek Yuridis Dalam Penyelenggaraan “Marine Cadastre”
Kadaster, ditinjau dari definisi dan pengertiannya sendiri, adalah sebuah
institusi hukum. Pertama, karena di dalam sistem kadaster dikandung tiga pilar
utama, yaitu 3R (FIG, 1995, Dale and McLaughlin, 1988), yang terdiri dari:
rights: hak-hak, restrictions: batasan atas penguasaan dan penggunaan hak-hak
tersebut,
dan
responsibilities:
tanggungjawab
terhadap
penguasaan
dan
penggunaan hak-hak tersebut. Oleh karena itu maka kadaster memenuhi syarat
sebagai sebuah struktur hukum.
Kedua, karena tujuan kadaster adalah mewujudkan ketertiban dalam
penyelenggaraan administrasi dan praktik hukum atas penggunaan hak,
pemenuhan kewajiban, dan implementasi batasan tersebut (Larsson, 1991); maka
dengan sendirinya kadaster merupakan dan menjalankan fungsi-fungsi hukum.
Sehubungan dengan itu, maka “marine cadastre”, meskipun tidak dengan serta
merta dapat langsung dipersamakan dengan kadaster daratan karena adanya
perbedaan sifat dan karakteristik obyek dan subyek hukumnya, merupakan
institusi hukum pula, karena “marine cadastre” memenuhi kedua syarat tersebut
38
di atas. Apabila “marine cadastre” telah mempunyai dasar hukum bagi legitimasi
penyelenggaraannya, maka dengan sendirinya ia akan mempunyai implikasi
hukum dalam pelaksanaannya.
Cockburn dan Nichols (2002) menyatakan bahwa setidaknya ada 4 (empat)
hal yang akan berimplikasi dan oleh karena itu harus dipertimbangkan. Pertama,
jenis-jenis hak apakah yang ada dalam konteks kelautan. Kedua, rezim hukum
apa yang mengatur atau menentukan hak-hak tersebut.
Ketiga, apakah dapat
ditentukan atau diletakkan hirarki atas hak-hak tersebut, dan Ke-empat, adalah
bagaimana dapat diletakkan hubungan di antara hak-hak tersebut satu dengan
lainnya (Gambar 7).
Kerangka Hukum “Marine Cadastre”
KewenanganNegara
Wilayah
Hak
Administrasi
Berpengaruh pada:
Hak Privat
• Hak Guna Usaha
• Hak Penambangan
• Hak Kabel Laut
Hak Publik
• Hak Akses
• Hak Penangkapan Ikan
• Navigasi, dsb.
Gambar 7. Kerangka Hukum Pelaksanaan “Marine Cadastre” (Cockburn
dan Nichols, 2002: p.3)
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu kiranya dapat
dipahami beberapa karakteristik serta doktrin yang membedakan “land cadastre”
dengan “marine cadastre”. Untuk itu perlu merujuk kembali pada Tabel 3 tentang
perbedaan dan persamaan antara kadaster pertanahan dengan kadaster kelautan
(marine cadastre). Selebihnya, Cockburn, Nichols dan Monahan (2003) mengajak
untuk memahami tentang konsepsi persil laut dibandingkan dengan persil tanah.
39
Di laut di mana sumberdaya dan kegiatan, dan oleh karena itu hak, batasan, dan
kewajiban, dapat ada atau timbul seiring dengan waktu dan ruang, serta dapat
bergerak atau berpindah sesuai perubahan waktu dan ruang, maka konsepsi persil
laut menjadi kompleks.
Pertama, kepemilikan individual secara penuh, sebagaimana dikenal dalam
persil tanah, tidaklah dikenal dalam konteks ruang lautan (sama dengan pendapat
Rais, 2002: “ ... the ocean is an heritage of human kind, available to anyone but
owned by none ...”, tidak ada hak milik pribadi di lautan, yang ada adalah
kewenangan pengelolaan saja). Hak penguasaan dari negara, hak-hak publik, dan
hukum internasional adalah faktor-faktor yang akan banyak mempengaruhi hakhak privat, dan dapat dipastikan pula bahwa kepemilikan pribadi yang eksklusif
atas atas kolom (persil) laut tidak mendapat pengakuan.
Kedua, dapat dikatakan hanya sedikit sekali aktifitas di sektor kelautan
yang hanya menggunakan permukaan air laut saja sebagai ruang kegiatan
utamanya. Hampir semua kegiatan kelautan sesungguhnya berada pada volume
atau kolom laut, sehingga dengan demikian hampir semua hak-hak kelautan,
seperti akuakultur, penambangan laut, perikanan laut, dan hak-hak berlabuh dan
bahkan navigasi laut secara inheren memiliki sifat-sifat tiga dimensi (bandingkan
dengan persil tanah yang bersifat dua dimensi). Demikian pula kemungkinan
berlapis-lapisnya beberapa hak yang mungkin ada pada ruang laut sangat terbuka,
mengingat banyak kemungkinan sesuatu hak pada kolom permukaan air laut
bagian atas berlapis dengan sesuatu hak lainnya pada kolom air di bawahnya, dan
bahkan sesuatu hak pada dasar laut (seabed). Untuk mengawasi dan mengatur
aktifitas kelautan, gambaran mengenai hak-hak yang ada dalam ruang atau kolom
laut yang lebih akurat sangatlah diperlukan.
Ketiga, adanya suatu kenyataan bahwa tidak semua atau bahkan pada
umumnya batas persil atau kolom laut tidak dapat ditandai dengan batas fisik,
khususnya persil laut yang terletak dilepas pantai. Batas-batas tersebut hanya
dapat ditandai dalam peta atau publikasi lainnya. Nichols dan Monahan (1999)
menamakan sistem penetapan batas persil laut dengan “fuzzy boundary system”,
sedangkan
Hoogsteden and Robertson. (1999) justru mengatakannya sebagai
“seamless boundary system” (tegas).
40
Dalam konteks sistem penguasaan dan pemilikan properti (property
tenureships) di Indonesia, maka “state of the arts” konsep “marine cadastre”
harus pula mencerminkan kekhasan sistem dimaksud. Dengan kata lain harus ada
keberanian untuk meletakkan konsep ini secara aktual, agar dapat menampung
kebutuhan masyarakat dan pembangunan, dengan pertimbangan bahwa:
1) Ruang perairan laut teritorial adalah ruang perairan yang dihitung dari ratarata air laut surut terendah sejauh 12 nautical miles ke arah laut;
2) Adanya sistem penguasaan atau pemilikan dalam wilayah perairan pantai
dangkal (shallow shore-water), misalnya: rumah-rumah nelayan di atas air
laut, bagan-bagan dan keramba ikan, pelantar (“jalan” di atas air laut sebagai
akses publik yang dikenal di Kepulauan Riau), dan sebagainya;
3) Adanya kekosongan hukum dalam pengaturan hak-hak kepemilikan di
wilayah ini, padahal sistem kepemilikan lahan telah berlaku di masyarakat.
Sejalan dengan itu, maka obyek “Marine Cadsatre” dalam perspektif hukum
agraria Indonesia harus dapat membedakan antara ruang perairan pantai dan
ruang laut. Perlunya pemilahan kedua wilayah ini secara spesifik karena adanya
perbedaan substansial di antara keduanya, meskipun keduanya merupakan satu
wilayah yang tidak terpisahkan. Perbedaan dimaksud adalah:
1) Ruang perairan pantai merupakan wilayah yang sangat rentan (fragile), baik
ditinjau dari aspek fisik dan ekosistem (merupakan wilayah “tumpahan”
seluruh dampak aktifitas di daratan yang terbuang atau mengalir ke laut),
maupun ditinjau dari aspek hukum dan sosial-ekonomi, yaitu sangat
berhubungan
erat
dengan
penguasaan,
pemilikan,
penggunaan,
dan
pemanfaatan tanah (land tenureships) daratan pesisir;
2) Ruang perairan pantai merupakan wilayah perairan laut dangkal, termasuk
wilayah yang pada saat air laut surut nampak sebagai ruang daratan, dan oleh
karena itu tenureship system
lahan ini dapat dicirikan oleh tipologi atau
karakteristik tenureships daratan (land-based tenure) maupun ruang laut (seabased tenure) secara seimbang; Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas,
maka jenis-jenis hak yang dapat dipunyai oleh perseorangan serta badan
hukum publik dan privat, adalah hak-hak menurut UU No. 5 Tahun 1960
(UUPA) dan peraturan perundang-undangan lainnya.
41
3) Ruang laut, yaitu ruang laut teritorial di luar perairan pantai, di lain pihak,
umumnya tidak berkaitan langsung dengan tenureship system di daratan;
Hak-hak yang sesuai di wilayah ini adalah Hak Guna Perairan, kecuali untuk
konstruksi pengeboran minyak lepas pantai (rigs) dan bagan-bagan ikan dapat
diberikan dengan Hak Guna Bangunan.
Dalam bab hasil penelitian dan pembahasan akan ditelaah mengenai hakhak di wilayah perairan pantai dan laut dalam konteks lokus penelitian khususnya,
dan di Indonesia pada umumnya.
2.8. Pemetaan dan Penetapan Hak-Hak di Wilayah Pesisir dan Laut Dalam
Kerangka “Marine Cadastre”
Beberapa negara di dunia telah melaksanakan “marine cadastre” dalam
pengelolaan sumberdaya dan wilayah pesisir dan lautan. Negara-negara dimaksud
antara lain: Canada, Amerika Serikat, dan Australia.
Di Negara Belanda,
meskipun tidak menggunakan nomenklatur “marine cadastre”, namun batas laut
teritorial negara ini telah diukur dan dipetakan serta didaftar dalam Kantor
Kadaster Belanda, semacam Badan Pertanahan Nasional di Indonesia.
Dalam Gambar 8 berikut ini adalah contoh pelaksanaan “marine cadastre”
pada pilot proyek di Negara Bagian Victoria, Australia. Peta ini menggambarkan
berbagai representasi hak yang cukup lengkap, yaitu hak-hak publik, privat, dan
kolektif (adat), serta hak-hak atas pengelolaan sumberdaya dan lingkungan hidup.
Hak-Hak Guna Dasar Laut (sea-bed rights) untuk jalur pipa dan kabel
bawah laut dipetakan dalam bentuk garis-garis warna hijau. Hak-Hak Ulayat Laut
dan hak-hak masyarakat tradisional (native title claims) di wilayah pesisir dan laut
dipetakan dalam bentuk persil-persil pesisir dan laut. Hak Pengelolaan untuk
National Marine Parks dipetakan dalam bentuk persil-persil laut berwarna merah
muda.
Hak atas wilayah laut teritorial negara dipetakan dalam zona-zona
berwarna coklat muda (cream), sedangkan wilayah laut tambahan (contiguous
zone) dipetakan dalam zona-zona berwarna tekstur hijau muda, dan keduanya
dipetakan dengan garis batas zona berwarna hitam.
Gambar 8. Peta “Marine Cadastre” di Negara Bagian Victoria, Australia (Binns, 2005)
(Tanpa
Skala)
Skala
۞
U
42
Gambar 9. Peta “Marine Cadastre” di Florida Sanctuary, USA (US-DOC NOAA, 2002)
43
44
Demikian pula, sebagaimana tersaji dalam Gambar 9 adalah contoh
pelaksanaan “marine cadastre”. Peta ini menggambarkan secara lebih khusus
kepada pengadministrasian sumberdaya dan lingkungan pesisir dan laut di Negara
Bagian Florida, Amerika Serikat.
Hak atas wilayah laut teritorial (Florida State Waters) dipetakan dalam
zona-zona dengan garis berwarna biru muda. Hak Negara atas Taman Nasional
(National Park Boundaries) dipetakan dalam persil atau zona yang dibatasi oleh
garis berwarna merah, yang meliputi batas di darat dan di laut dalam satu kesatuan
zona (tidak dipisahkan).
Pengadministrasian wilayah taman nasional ini
merupakan “state of the art” dari suatu pelaksanaan “marine cadastre”, di mana
dalam hal-hal tertentu, antara “land cadastre” dan “marine cadastre” dapat
diintegrasikan ke dalam satu peta.
Hak-hak pengelolaan negara untuk taman-taman suaka marga satwa laut
(National Wildlife Refuge) dipetakan dalam zona-zona atau persil-persil berwarna
hijau. Sementara itu, zona-zona lindung laut (Ecological Reserves) dipetakan
dengan zona warna ungu muda, dan zona-zona pengelolaan laut (Existing
Management Areas) dipetakan dalam warna hijau muda.
Penerapan konsep
“marine cadastre” di Amerika Serikat dan Australia ini harus dapat menjadi
teladan bagi Indonesia, terlebih karena negara ini merupakan negara kepulauan
yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan.
Download