PENDAHULUAN Latar Belakang Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk mikroorganisme. Gangguan atau kerusakan pada struktur anatomi kulit dengan hilangnya fungsi yang berturut-turut dapat digambarkan sebagai luka (Yolanda dkk., 2014). Luka yang timbul tersebut memiliki risiko yang tinggi terhadap mortalitas dan morbiditas sehingga luka menjadi masalah klinis yang menantang bagi para dokter maupun bagi petugas kesehatan lainnya (Kaur dkk., 2014). Luka bakar adalah kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti air, api, bahan kimia, listrik, dan radiasi. Luka bakar akan mengakibatkan tidak hanya kerusakan kulit, tetapi juga mempengaruhi seluruh sistem tubuh. Luka bakar masih merupakan problem yang berat. Perawatan dan rehabilitasinya masih sukar dan memerlukan ketekunan, biaya mahal, tenaga terlatih, dan terampil. Pengetahuan tentang tahap-tahap kesembuhan luka mempunyai arti penting bagi para praktisi, sehingga luka yang terjadi pada pasien dapat teratasi secara tepat dan efektif (Gabriel dan Mussman, 2009). Proses kesembuhan luka meliputi 4 fase yaitu fase hemostatis, fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase remodeling yang berlangsung secara kompleks dan dinamis, melibatkan interaksi berbagai sel, penggabungan respon vaskuler dan biomolekul seperti growth factor (Kondo dan Ishida, 2010). Proses kesembuhan luka berujung pada perbaikan dan regenerasi jaringan. Pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan ikat akan menimbulkan bekas 1 2 luka (Menetrey dkk., 2000). Selain itu, fibrosis atau deposisi kolagen yang abnormal pada luka dapat menimbulkan jaringan parut atau scar atau disebut juga keloid. Kesembuhan luka normal disebut kesembuhan luka akut. Jika luka tidak dirawat dengan baik, akan terjadi fase inflamasi dan angiogenesis yang berkepanjangan sehingga akan berkembang menjadi luka kronis yang sulit disembuhkan (Orstead dkk, 2011). Sasidharan dkk. (2010) melaporkan terdapat hampir 6 juta orang di dunia menderita luka kronis. Bekas luka ataupun jaringan parut abnormal selain dapat mengganggu secara estetika, secara fungsional juga dapat menimbulkan rasa tidak nyaman (Sukasah, 2007). Beberapa terapi luka antara lain dengan jahit primer, skin graft, flap, kultur sel, dan spray cell. Pada dekade ini terapi sel punca banyak diperbincangkan dalam berbagai kepentingan medis. Terkait masalah luka, terapi sel punca dianggap merupakan metode yang aman dan efektif. Keberadaan sel punca mesenkimal (SPM) pada kulit normal dan regulasinya dalam proses kesembuhan luka normal ataupun abnormal menjadikan aplikasi SPM eksogen sebagai pilihan terapi yang menjanjikan (Sellheyer dan Kahrl, 2010). Sel punca mesenkimal (SPM) merupakan sel multipoten yang memiliki kapasitas multiliniage differentiation dan mengatur respon inflamasi, melepaskan biomolekul aktif dari sinyal parakrin yang berpengaruh terhadap migrasi dan proliferasi sel (Maxson dkk., 2012). Berbagai studi mengenai faktor yang disekresikan oleh sel punca menunjukkan bahwa faktor tersebut dapat memperbaiki jaringan yang rusak. Faktor tersebut disebut sebagai ekstrak media penumbuh sel punca. Beberapa 3 pemakaian klinis ekstrak media penumbuh sel punca mesenkimal yang berasal dari jaringan adiposa mampu meregenerasi folikel rambut dengan hasil yang baik. Ekstrak media penumbuh sel punca mengandung banyak growth factor sebagai agen regeneratif (Pawitan, 2014). Salah satu growth factor yang disekresikan oleh SPM dan memiliki peran penting dalam kesembuhan luka adalah basic fibroblast growth factor (bFGF) atau fibroblast growth factor-2 (FGF-2) yang menstimuli proliferasi fibroblas, sintesis matriks ekstraseluler dan angiogenesis (Gnecchi dkk., 2008). Penggunaan human bFGF rekombinan untuk terapi kesembuhan luka sudah dicoba secara klinis sejak tahun 1990 dan produk ini dirilis pada tahun 2001 dalam bentuk spray. Selain itu, non-human bFGF rekombinan juga telah dicoba secara klinis untuk mengobati luka dan terbukti potensial mereduksi pembentukan scar dan juga memperlihatkan efek terapi terhadap ulser dekubitus serta ulser kulit akibat luka bakar (Okabe dkk., 2013). Namun demikian, peranan bFGF yang terkandung dalam ekstrak media penumbuh sel punca mesenkimal (EMPSPM) yang berasal dari tali pusar selama proses regenerasi kulit normal yang mengalami luka bakar belum diketahui. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pola distribusi basic fibroblast growth factor (bFGF) pada proses regenerasi luka bakar kulit yang diberi EMPSPM ? 2. Bagaimana peranan basic fibroblast growth factor (bFGF) dalam proses regenerasi luka bakar kulit yang diberi ekstrak media penumbuh sel punca mesenkimal (EMPSPM) ? 4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan, pola distribusi dan peranan basic fibroblast growth factor (bFGF) pada proses regenerasi struktur luka bakar kulit yang diberi ekstrak media penumbuh sel punca mesenkimal (EMPSPM). Manfaat Penelitian Penelitian yang bertujuan mengetahui keberadaan dan pola distribusi basic fibroblast growth factor (bFGF) ini diharapkan dapat menjelaskan peranan bFGF dalam proses regenerasi luka bakar kulit yang diberi ekstrak media penumbuh sel punca mesenkimal (EMPSPM). Hasil penelitian dapat dijadikan landasan dalam penerapan ekstrak media penumbuh sel punca mesenkimal (EMPSPM) sebagai alternatif terapi luka bakar pada kulit. Keaslian Penelitian Ekstrak media penumbuh sel punca mesenkimal (EMPSPM) sebagai agen terapi kesembuhan luka sudah banyak diteliti. Chen dkk. (2008) melakukan studi imunohistokimia mengenai salah satu endothelial marker (CD68) menggunakan EMPSPM yang berasal dari sum sum tulang untuk penyembuhan luka eksisi kulit. Hal yang sama dilakukan Mishra dan Banerjee (2012) dalam studi imonohistokimia mengenai cytokeratin. Sebelumnya, Kim dkk. (2010) juga mempublikasikan hasil penelitian mengenai imunolokalisasi beberapa endotelial marker seperti von willebdand factor (vWF), CD31 dan vimentin dalam proses 5 kesembuhan luka eksisi tikus diabetes yang diterapi menggunakan EMPSPM yang berasal dari pembuluh darah tali pusat (human cord blood/hCB). Penelitian mengenai imunolokalisasi vWF dalam proses penyembuhan luka kulit pada tikus yang telah diinduksi diabetes juga pernah dilakukan oleh Shrestha dkk. (2003) menggunakan EMPSPM yang berasal dari hCB. Liu dkk. (2014) melakukan penelitian mengenai luka bakar kulit tikus dengan parameter CD31, vWF dan vascular endothelial growth factor (VEGF) menggunakan sel punca mesenkimal tali pusat fetus yang ditransplantasikan. Berbagai macam growth factor dalam EMPSPM berperan sebagai agen regeneratif yang berfungsi dalam proses kesembuhan luka kulit. Namun, belum pernah dilakukan penelitian mengenai peranan basic fibroblast growth factor (bFGF) pada kulit normal yang mengalami luka bakar yang diberi EMPSPM.