Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1.Pengertian Manajemen
Ada beberapa pengertian manajemen yang dikemukakkan para ahli sebagai
berikut:
Pengertian manajemen menurut Assauri (2004:12), yaitu:
“Manajemen adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan untuk mencapai
tujuan dengan menggunakan atau mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan
orang lain.”
Pengertian manajemen menurut Handoko (2003:8), sebagai berikut:
“Proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan.
Usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber data
organisasi
lainnya
agar
mencappai
tujuan
organisasi
yang
telah
ditetapkan.”
Pengertian manajemen menurut George R. Terry (2003:9), didefinisikan
sebagai berikut:
“Manajemen merupakan sebuah kegiatan pelaksanaannya disebut manajer.
Manajemen mencakup kegiatan untuk mencapai tujuan, dilakukan oleh
individu-individu yang menyumbangkan upayanya yang terbaik melalui
tindakan-tindakan yang telah ditetapkan sebelumnya.”
Pengertian manajemen oleh Hasibuan (2003:2), yaitu:
“Manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber
daya manusia dan ilmu sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien
untuk mencapai suatu tujuan tertentu.”
9
10
Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan yang dimaksud
dengan manajemen adalah suatu ilmu, seni, kegiatan, atau usaha dalam mengatur
proses pemanfaatan segala sumber daya yang ada secara efektif dan
mengkoordinasikannya dengan kegiatan-kegiatan yang lain agar dapat mencapai
tujuan organisasi secara efisien.
1.2.Manajemen Operasi dan Produksi
1.2.1. Pengertian Manajemen Operasi
Menurut Heizer dan Render (2009:4), yang dimaksud dengan manajemen
operasional adalah”
“Serangkaian aktivitas yang menghasilkan nilai dalam bentuk barang atas
hasa dengan mengubah input menjadi output.”
Menurut Sumayang (2003:7), manajemen operasional adalah:
“Suatu pengelolaan proses pengubahan atau proses konversi dimana
sumber-sumber daya yang berlaku sebagai input diubah menjadi barang
atau jasa. Barang atau jasa tersebut dinamakan output.”
Menurut Ishak (2010:11), manajemen operasional adalah:
“Manajemen operasi merupakan penghasil dari produk atau jasa yang
akan di pasarkan kepada konsumen.”
Jadi, dapat disimpulkan dari beberapa penjelasan dari para ahli diatas,
Manajemen Operasional adalah ilmu yang mempelajari serangkaian prises
pengubahan input menjadi output yang bernilai untuk memenuhi kebutuhan
konsumen.
11
1.2.2. Pengertian Produksi
Adapun kegiatan produksi merupakan yang paling penting dalam
sebuah organisasi industri. Produksi memiliki beberapa definisi yang
dikemukakkan oleh beberapa ahli sebagai berikut:
Menurut Assauri (2004:11), pengertian produksi adalah:
“Produksi adalah kegiatan yang mentransformasikan masukan input
menjadi keluaran output, tercakup semua aktifitas atau kegiatan yang
menghasilkan barang-atau jasa, serta kegiatan-kegiatan lain yang
mendukung atau menunjang usaha untuk menghasilkan produk
tersebut.”
Menurut Gaspersz (2011:13), produksi adalah:
“Produksi merupakan fungsi pokok dalam setiap organisasi, yang
mencakup aktivitas yang bertanggung jawab untuk menciptakan nilai
tambah produk yang merupakan output dari setiap organisasi industri
itu.”
Sedangkan menurut Jay Heizer dan Barry Render (2009:2)
pengertian produksi adalah
“Produksi adalah penciptaan barang dan jasa.”
Dari definisi yang dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa produksi adalah kegiatan yang mentransformasikan masukan (input)
menjadi keluaran (output), tercakup semua aktifitas atau kegiatan yang
menghasilkan barang atau jasa untuk menciptakan nilai tambah produk.
12
Sistem produksi memiliki beberapa karakteristik berikut:
1. Mempunyai komponen-komponen atau elemen-elemen
yang saling berkaitan satu sama lain dan membentuk satu
kesatuan yang utuh. Hal ini berkaitan dengan komponen
struktursi yang membangun sistem produksi tersebut.
2. Mempunyai tujuan yang mendasari keberadaannya, yaitu
menghasilkan produk (barang atau jasa) berkualitas yang
dapat dijual dengan harga kompetitif di pasar.
3. Mempunyai aktivitas berupa proses transformasi nilai
tambah input dan output secara efektif dan efisien.
4. Mempunyai
mekanisme
pengoperasiannya,
berupa
yang
mengendalikan
optimalisasi
pengalokasian
sumber-sumber daya.
Adapun fungsi produksi menurut Assauri (2004:23) terdiri
dari 4 hal utama, yaitu:
1. Proses pengolahan, merupakan merode atau teknik yang
digunakan untuk pengolahan masukan (input)
2. Jasa-jasa penunjang, merupakan sarana yang berupa
pengorganisasian yang perlu untuk menetapkan teknik dan
metode yang akan dijalankan, sehingga proses pengolahan
dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
3. Perencanaan,
merupakan
penetapan
keterkaitan
dan
pengorganisasian dari kegiatan produksi dan operasi yang
akan dilakukan dalan satu dasar waktu atau periode
tertentu.
4. Pengendalian atau pengawasan, merupakan fungsi untuk
menjamin terlaksananya kegiatan sesuai dengan yang
direncanakan,
sehingga
maksud
dan
tujuan
untuk
13
penggunaan
pengolahan
masukan
(input)
pada
kenyataannya dapat dilaksanakan.
Kegiatan atau usaha tersebut dilakukan seoptimal mungkin
untuk mengelola sumber daya dalam mengubah input menjadi output
yang mempunyai nilai tambah untuk mencapai tujuan dan sasaran
organisasi agar output barang atau jasa yang di hasilkan tersebut
mempunyai kualitas yang mampu bersaing dengan baik, oleh karena
itu perlu dilakukan kegiatan pengendalian kualitas.
1.2.3. Pengertian Proses Produksi
Menurut Ginting (2007:10), proses produksi merupakan
cara, mrtode, dan teknik untuk menciptakan atau menambah
kegunaan suatu produk dengan mengoptimalkan sumber daya
produksi (tenaga kerja, mesin, bahan baku, dan dana) yang ada.
Menurut
Gaspersz (2004:4), pengertian proses produksi
adalah :
“ Proses produksi adalah integrasi sekuasial dari tenaga kerja,
material, informasi, metode kerja dan mesin atau peralatan dalam
suatu lingkungan yang kompetitif dipasar.”
Sedangkan, menurut Ahyari (2002:123) , pengertian proses
produksi adalah
“Proses produksi merupakan suatu cara, metode atau teknik
bagaimana kegiatan penciptaan faedah baru atau penambahan
faedah tersebut dilaksanakan.”
Dari definisi proses produksi diatas, dapat disimpulkan bahwa
proses produksi merupakan cara, metode, dan teknik untuk
14
menciptakan atau menambah kegunaan suatu barang dengan
menggunakan sumber-sumber daya ( tenaga kerja, mesin, bahan dan
dana) yang ada.
2.3.Manajemen Kualitas
2.3.1. Pengertian Kualitas
Masalah kualitas adalah masalah yang sangat penting dan industri,
baik industri barang maupun jasa. Kualitas berarti menyangkut kepuasan
konsumen. Untuk itu produksi perlu dikontrol, yang berarti performance dari
penghasil barang atau jasas tersebut harus diperhatikan. Dalam hal kualitas itu
sendiri menyangkut pekerja, mesin, material, metode kerja dan lingkungan
kerja.
Menurut Heizer dan Render (2008:92) pengertian kualitas adalah
sebagai berikut :
“Kualitas adalah totalitas bentuk dan karakteristik barang atau jasa
yang menunjukkan kemampuannya untuk memuaskan kebutuhankebutuhan yang Nampak jelas maupun tersembunyi.”
Menutut Yamit (2010:347) pengertian kualitas adalah sebagai berikut:
“Sesuatu istilah relatif yang sangat bergantung pada situasi ditinjau dari
pandangan konsumen, secara subjektif orang mengatakan kualitas
adalah sesuatu yang cocok dengan selera (fitness for use).”
Sedangkan
menurut
istilah
pembendaharaan
International
Organization for Standardization (ISO) dikatakan bahwa :
“ Kualitas adalah keseluruhan cirri dan karakteristik produk atau jasa
yang kemampuannya dapat memuaskan kebutuhan, baik yang di
nyatakan secara tegas maupun tersamar.”
15
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
yang dimaksud dengan kualitas adalah keseluruhan karakteristik dari produk
yang tercermin dalam aspek pemasaran, proses produksi dan pemeliharaan
sehingga produk tersebut mampu memberikan kepuasan pada konsumen.
Meskipun sulit menetapkan kualitas yang diharapkan konsumen,
perusahaan tetap dapat menetapkan standar kualitas yang didapat dari riset
konsumen maupun perusahaan sendiri yang menentukan kebijakannya. Oleh
karena itu standar kualitas disetiap perusahaan berbeda-beda sesuai dengan
produk yang dihasilkan dan kemampuan perusahaan.
2.3.2. Dimensi Kualitas
Menurut Nasution (2005:4), mengidentifikasikan 8 (delapan) dimensi
kualitas suatu barang, yaitu:
1. Performance
Berkaitan dengan aspek fungsional dari produk dan merupakan
karakteristik utama yang dipertimbangkan pelanggan ketika ingin
membeli suatu produk.
2. Reliability
Berkaitan
dengan
kemungkinan
suatu
produk
melaksanakan
fungsinya secara berhasil dalam periode waktu tertentu dibawah
kondisi tertentu.
3. Features
Merupakan aspek yang menambah fungsi dasar, berkaitan dengan
pilihan-pilihan dan perkembangannya.
4. Conformance
Berkaitan dengan tingkat kesesuaian produk terhadap spesifikasi
yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan keinginan pelanggan.
16
5. Durability
Merupakan ukuran masa pakai suatu produk. Karakteristik ini
berkaitan dengan daya tahan dari produk tersebut.
6. Service ability
Merupakan
karakteristik
yang
berkaitan
dengan
kecepatan,
keramahan/kesopanan, kompetensi, kemudahan serta akurasi dalam
perbaikan.
7. Esthetics
Merupakan karakteristik yang bersifat subjektif sehingga berkaitan
dengan pertimbangan pribadi dan refleksi dari preferensi atau pilihan
individual.
8. Perceived quality
Bersifat subjektif, berkaitan dengan perasaan pelanggan dalam
mengkonsumsi produk tersebut.
2.3.3. Ukuran Kualitas
Terdapat 3 (tiga) ukuran kualitas yang dapat digunakan untuk
barang, diantaranya:
1. Kualitas Design (Design Quality)
Kualitas desain barang sangat berhubungan dengan sifat-sifat
keunggulan pada saat barang pertama diharapkan.
2. Kualitas Penampilan (Performance Quality)
Aspek ini mencakup performa produk dimasa yang akan datang,
dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor, yaitu:
a. Keadaaan produk.
b. Perawatan produk.
3. Kualitas yang memenuhi (Conformance Quality)
17
Berhubungan dengan apakah produk yang di hasilkan memenuhi
spesifikasi yang telah di tetapkan/diharapkan, dengan kata lain sejauh
mana kualitas produk yang dicapai.
Terlepas dari komponen yang dijadikan objek pengaturan
kualitas, secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Fasilitas Operasional, seperti kondisi fisik bangunan.
b. Peralatan dan perlengkapan (Tools and equipment).
c. Bahan baku atau material.
d. Pekerja ataupun staf organisasi.
Secara khusus, faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas di
uraikan sebagai berikut:
a. Pasar atau tingkatan persaingan;
b. Tujuan organisasi;
c. Pengujian produk;
d. Desain produk
e. Proses produksi;
f. Kualitas input;
g. Perawatan perlengkapan;
h. Standar kualitas;
i. Umpan balik konsumen.
2.4.Pengendalian Kualitas
2.4.1. Pengertian Pengendalian
Menurut
Assauri
(2008:25),
pengendalian
dan
pengawasan
merupakan:
“Kegiatan yang dilakukan untuk menjamin agar kegiatan
produksi dan operasi yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang
18
direncanakan,
dan
apabila
terjadi
penyimpangan,
maka
penyimpangan tersebut dapat dikoreksi, sehingga apa yang
diharapkan dapat tercapai.”
2.4.2. Pengertian Pengendalian Kualitas
Setelah mengetahui pengertian pengendalian dan kualitas, berikut
adalah pengertian pengendalian kualitas yang dikemukakkan oleh para
ahli.
Menurut Gasperz (2005:4) mengatakan pengendalian kualitas adalah
“Aktifitas
yang
berorientasi
pada
tindakan
pencegahan
kerusakan, dan bukan berfokus pada upaya untuk mendeteksi
kerusakan saja.”
Sedangkan menurut Assauri (2008:210) pengertian pengendalian
kualitas adalah sebagai berikut :
“Pengawasan mutu merupakan uasaha untuk mempertahankan
mutu/kualitas dari barang yang dihasilkan, agar sesuai spesifikasi
produk yang telah di tetapkan berdasarkan kebijakan pimpinan
perusahaan.”
2.4.3. Tujuan Pengendalian Kualitas
Tujuan dari pengendalian kualitas menurut Assauri (2008:210) adalah:
1. Agar barang hasil produksi dapat mencapai standar
kualitas yang telah ditetapkan.
2. Mengusahakan agar biaya inspeksi dapat menjadi sekecil
mungkin.
19
3. Mengusahakan agar biasya desain dari produk dan proses
dengan
menggunakan kualitas produksi tertentudapat
menjadi sekecil mungkin.
4. Mengusahakan agar biaya produksi dapat serendah
mungkin.
Dengan demikian, tujuan utama pengendalian kualitas
adalah untuk mendapatkan jaminan bahwa kualitas produk
atau jasa yang di hasilkan sesuai dengan standar kualitas
yang telah ditetapkan dengan menggunakan biaya yang
ekonomis atau serendah mungkin.
2.4.4. Langkah-langkah Pengendalian Kualitas
Menurut
Schroeder
(2000:135),
untuk
mengimplementasikan
perencanaan, pengendalian, dan pengembangan kualitas melalui siklus
kualitas, diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menentukan karakteristik kualitas.
2. Memutuskan bagaimana cara megukur setiap karakter.
3. Menetapkan standar kualitas.
4. Menentukan tes yang tepat untuk tiap-tiap standar.
5. Mencari dan memperbaiki kasus produk berkualitas
rendah.
6. Terus-menerus melakukan perbaikan.
2.4.5. Faktor-faktor Pengendalian Kualitas
Menurut Assauri (2008:302), faktor-faktor yang mempengaruhi
pengendalian kualitas adalah:
1. Kemampuan proses
Batas-batas yang ingin di capai haruslah disesuaikan
dengan kemampuan proses yang ada. Tidak ada gunanya
20
mengendalikan suatu proses dalam batas-batas yang
melebihi kemampuan atau kesanggupan proses yang ada.
2. Spesifikasi yang berlaku
Spesifikasi hasil produksi yang ingin di capai harus dapat
berlaku, bila ditinjau dari segi kemampuan proses
dan
keinginan atau kebutuhan konsumen yang ingin dicapai
dari hhasil produksi tersebut. Dalam hal ini haruslah dapat
dipastikan dahulu apa spesifikasi tersebut dapat berlaku
dari kedua segi yang telah disebutkan diatas sebelum
pengendalian kualitas pada proses dapat dimulai.
3. Tingkat ketidaksesuaian yang dapat di terima
Tujuan dilakukan pengendalian suatu proses adalah dapat
mengurangi produk yang berada di bawah standar
seminimal
mungkin.
Tingkat
pengendalian
yang
diberlakukan tergantung pada banyaknya produk yang
berada di bawah standar yang dapat di terima.
4. Biaya kualitas
Biaya kualitas sangat mempengaruhi tigkat pengendalian
kualitas dalam menghasilkan produk dimana biaya kualitas
mempunyai hubungan yang positif dengan terciptanya
produk yang berkualitas. Apabila ingin menghasilkan
produk yang berkualitas tinggi maka dibutuhkan biaya
kualitas yang relative lebih besar.
Jenis-jenis biaya kualitas antara lain:
a. Biaya Pencegahan (preventive cost)
Biaya ini merupakan biaya yang terjadi untuk
mencegah
terjadinya
kerusakan
produk
yang
dihasilkan. Biaya ini meliputi biaya yang berhubungan
dengan perancangan dan pemeliharaan sistem kualitas.
21
b. Biaya deteksi/ penilaian (detection/ appraisal cost)
Biaya yang timbul untuk menentukan apakah produk
atau jasa yang dihasilkan telah sesuai dengan
persyaratan-persyaratan
kualitas
sehingga
dapat
menghindari kesalahan dan kerusakan sepanjang proses
produksi.
c. Biaya kegagalan internal (internal failure cost)
Merupakan
biaya
yang
terjadi
karena
adanya
ketidaksesuaian dengan persyaratan dan terdeteksi
sebelum barang atau jasa tersebut dikirim e pihak luar
(pelanggan atau konsumen).
d. Biaya kegagalan eksternal (eksternal failure cost)
Merupakan biaya terjadi karena produk atau jasa tidak
sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diketahui
setelah produk tersebut dikirimkan kepada pelanggan
atau konsumen.
2.4.6. Tahapan Pengendalian Kualitas
Untuk memperoleh hasil pengendalian kualitas yang efektif, maka
pengendalian terhadap kualitas suatu produk dapat dilaksanakan
dengan menggunakan teknik-teknik pengendalian kualitas, karena
tidak semua hasil produksi sesuai dengan standar yang telah di
tetapkan.
Menurut Prawirosentono (2007:72), terdapat beberapa standar
kualitas yang dapat ditentukan oleh perusahaan dalam upaya menjaga
output barang hasil produksi, diantaranya:
1. Standar kualitas bahan baku yang akan digunakan.
2. Standar proses produksi (mesin dan tenaga kerja yang
melaksanakannya).
22
3. Standar kualitas barang setengah jadi.
4. Standar kualitas barang jadi.
5. Standar administrasi, pengepakan dan pengiriman produk
akhir tersebut sampai ke tangan konsumen.
Menurut Assauri (2008:210) menyatakan bahwa tahapan
pengendalian/pengawasan kualitas terdiri dari 2(dua) tingkatan antara
lain:
1. Pengawasan selama pengolahan (proses)
Yaitu dengan mengambil contoh atau sampel produk pada
jarak
waktu
yang
sama,
dan
dilanjutkan
dengan
pengecekan sistematiis untuk melihat apakah proses
dimulai dengan baik atau tidak. Apabila proses mulainya
salah, maka keterangan kesalahan ini dapat diteruskan pada
pelaksana semula untuk penyesuaian kembali.
Pengawasan yang dilakukan hanya terhadap sebagian pada
bagian lain. Pengawasan yang dilakukan terhadap proses
ini termasuk pengawasan atas bahan-bahan yang akan
digunakan untuk proses.
2. Pengawasan atas barang yang telah diselesaikan
Walaupun telah diadakan pengawasan kualitas dalam
tingkat-tingkat proses, tetapi hal ini tidak dapat menjamin
bahwa tidak ada hasil yang rusak atau kurang baik maupun
tercampur dengan hasil yang baik. Untuk menjaga supaya
hsil barang yang cukup baik atau paling sedikit rusaknya,
tidak keluar atau lolos dari pabrik sampai ke konsumen
atau pembeli, maka diperlukan adanya pengawasan atas
produk akhir.
23
2.5.
Sistem Manajemen Mutu
Menurut Purnama (2006:51) mengemukakan TQM (Manajemen Mutu) ialah
sistem terstruktur dengan serangkaian alat, teknik, dan filosofi yang
didesain untuknmenciptakan budaya perusahaan yang memiliki fokus
terhadap konsumen, melibatkan partisipasi aktif para pekerja, dan
perbaikan kualitas yang berkesinambungan yang menunjang tercapainya
kepuasan konsumen secara total dan terus-menerus.
Menurut Gaspersz (2008:266) mengemukakan TQM (Management Mutu)
ialah pendekatan
manajemen sistematik
yang berorientasi
pada
organisasi, pelanggan, dan pasar melalui kombinasi antara pencarian fakta
praktis dan penyelesaian masalah, guna menciptakan peningkatan secara
signifikan dalam kualitas, produktivitas, dan kinerja lain dariperusahaan.
Sedangkan menurut Nawari (2005:46) Manajemen mutu terpadu
adalah manajemen fungsional dengan pendekatan yang terus menerus
difokuskan pada peningkatan kualitas, agar produknya sesuai dengan
standar kualitas dari masyarakat yang dilayani dalam pelaksanaan tugas
pelayanan umum (public service) dan pembangunan masyarakat
(community development).
Dari beberapa pernyataan tentang pengertian manajemen mutu terpadu
dapat disimpulkan bahwa Manajemen Mutu Terpadu merupakan suatu
sistem pendekatan terstruktur yang berorientasi yang berorientasi pada
organisasi, pelanggan, dan pasar guna mencapai peningkatan kualitas
yang terus menerus dan berkesinambungan.
24
2.6.
Hazard Analysis Critical Control Point System (HACCP)
2.6.1. Pengertian HACCP
Menurut Thaher (2005),
Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP) merupakan sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi, dan
mengendalikan bahaya yang nyata bagi keamanan pangan dari unsurunsur bahaya yang meliputi bahaya kimia, biologi, dan fisika yang
berpotensi menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan.
Sistem keamanan pangan berdasarkan HACCP didasarkan pada ilmu
pengetahuan dan sistematika dalam mengklasifikasi bahaya serta tindakan
pengendaliannya. HACCP adalah piranti untuk menilai suatu bahaya
spesifik dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada
pencegahan
daripada
mengendalikan
pengujian
produk
akhir
(Thaheer,2005).
Metoda HACCP adalah metode pengendalian kualitas pangan yang
telah diakui oleh dunia internasional. Penerapan metoda terutama prinsip
dasarnya bukan hanya cocok untuk perusahaan besar saja, tetapi juga
pada usaha makanan kecil dan menengah (UKM). International
Comission On Microbiological Specification For Food (IC MSI) tahun
1998 menjelaskan konsep HACCP dapat dan harus diterapkan pada
seluruh mata rantai produksi makanan yaitu industri pangan produksi
makanan katering atau jasa boga, makanan untuk hotel dan restoran,
bahkan dalam pembuatan makanan jajanan. Penerapan metode ini dapat
mengurangi resiko bahaya dalam kegiatan produksi sehingga produk yang
dihasilkan lebih terjamin mutu dan keamanannya. Selain itu, kepercayaan
konsumen akan timbul terhadap keamanan pangan produk yang di
konsumsi, sehingga dapat meningkatkan penjualan produk.
25
2.6.2. Tujuan HACCP
Tujuan utama menerapkan HACCP menurut Thaheer (2005) adalah
sebagai berikut:
1. Memberikan jaminan mutu;
2. Meningkatkan mutu produk;
3. Meminimalkan kecacatan produk dan keluhan konsumen;
4. Memberikan efisiensi jaminan mutu.
2.6.3. Penerapan HACCP
Setalah ditetapkan tujuan penelitian dan pengumpulan data, maka
tahapan selanjutnya adalah mengacu pada tahapan yang terdapat pada
metode penerapan HACCP, yaitu 5 langkah awal dan 7 prinsip HACCP.
Dua belas langkah pedoman penerapan HACCP ini telah diadopsi oleh
Badan Statistika Nasional.
Lima langkah awal penerapan HACCP (Thaheer, 2005) yaitu:
1. Membentuk tim HACCP.
Tim HACCP adalah kelompok dalam perusahaan yang bertugas untuk
merancang menerapkan, dan mengendalikan sistem HACCP, yang
merupakan perwakilan dalam seluruh bagian yang ada di perusahaan.
2. Mendeskripsikan Produk.
Mendeskripsikan perincian informasi lengkap mengenai produk yang
berisi tentang komposisi, pengemasan, konsisi penyimpanan, daya tahan,
cara pendistribusian, cara penyajian, dan berbagai informasi umum
lainnya.
3. Mengidentifikasi rencana penggunaan.
Menidentifikasi sasaran konsumen, karena analisis resiko tingkat bahaya
suatu produk akan berkaitan dengan sasaran konsumennya.
4. Membuat diagram alir/bagan alir.
26
Bagan air memuat semua tahapan didalam operasional produksi sehingga
mampu menggambarkan kondisi nyata proses produksi.
5. Mengkonfirmasi bagan alir di lapangan.
Bagan alir yang dibuat perlu di evaluasi dan di pastikan melalui
pengamatan langsung dan dilakukan pemeriksaan kedalam setiap proses
dengan sangat hati-hati dan teliti.
Setelah kelima tugas awal diselesaikan, maka Tim HACCP dapat
menerapkan tujuh prinsip HACCP dengan tahapan sebagai berikut
(Thaheer,2005):
1. Prinsip 1 : Berkaitan dengan analisa bahaya.
Analisa bahaya dalam konteks keamanan pangan adalah perangkat
biologis, kimiawi, dan fisik yang dapat menyebabkan pangan menjadi
tidak aman untuk di konsumsi manusia. Bahaya kimia sangat dikenali
oleh
sebagian
besar
konsumen,
padahal
pada
kenyataannya
memberikan resiko kesehatan tidak fatal dan umumnyya memberikan
pengaruh pada waktu jangka panjang. Bahaya biologis lebih besar
kemungkinan bahaya yang ditimbulkannya dalam bentuk keracunan
makanan. Adapun bahaya fisik yang mudah dikenali dan dihindari
oleh konsumen. Pada tabel 2.1 merupakan bahaya dalam produk
pangan dibedakan menurut tingkat resiko bahayanya sebagai berikut :
27
Tabel 2.1. Daftar Kategori Resiko Produk Pangan
Produk-produk kategori I (resiko tinggi)
I
Produk-produk yang mengandung ikan, telur, sayur, serelia
dan/atau berkomposisi susu yang perlu direfrigasi.
II
Daging segar, ikan mentah dan produk-produk olahan susu.
III
Produk-produk dengan nilai pH 4.6 atau lebih yang disterilisasi
dalam wadah yang ditutup secara hermetic.
Produk-produk Kategori II (resiko sedang)
I
Produk-produk kering atau beku yang mengandung ikan,
daging, telur, sayuran atau serela atau yang
berkomposisi/penggantinya dan produk lain yang tidak
termasuk regulasi hygine pangan.
II
Sandwich dan kue pie daging untuk konsumsi segar.
III
Produk-produk berbasis lemak misalnya cokelat, margarine, dan
mayones.
Produk-produk kategori III (resiko rendah)
I
Produk asam (nilai pH <4.6) seperti acar, buah-buahan,
konsentrat buah, sari buah, dan minuman asam.
II
Sayuran mentah yang tidak diolah dan tidak dikemas
III
Selai, marinade, dan conserves
IV
Produk konfeksionari berbasis gula
V
Minyak dan lemak makan
Sumber : Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta-IPB, 2007.
Penyusunan analisis penyusunan rencana kerja HACCP juga
dikelompokkan kedalam beberapa bagian menurut jenis bahan atau
produk yang dihasilkan berdasarkan tingkatterjadinya bahaya serta
resiko. Pengelompokkan
jenis bahaya dan kategori resiko pada
28
produk pangan dapat dilihat pada tabel 2.2 dan tabel 2.3, serta daftar
signifikansi bahaya ada produk pangan dapat dilihat pada tabel 2.4,
berikut :
Tabel 2.2. Karakteristik Bahaya
Kelompok
Karakteristik Bahaya
Bahaya
Bahaya A
Kelompok produk pangan yang tidak steril dan dibuat
untuk dikonsumsi kelompok tertentu .
Bahaya B
Produk
mengandung
bahan
ingredient
sensitive
terhadap bahaya biologi, kimia, atau fisik.
Bahaya C
Dalam proses tidak memiliki tahap pengolahan
terkendali
secara
efektif
membunuh
mikroba
berbahaya atau menghilangkan bahaya kimia atau
fisik.
Bahaya D
Produk
kemungkinan
mengalami
rekontaminasi
setelah pengolahan sebelum pengemasan.
Bahaya E
Kemungkinan terdapat potensi rerjadinya kesalahan
penanganan selama distribusi atau oleh konsumen
yang menyebabkan produk menjadi berbahaya untuk
dikonsumsi.
Bahaya F
Tidak
adanya
tahap
pemanasan
akhir
setelah
pengemasan atau di tangan konsumen atau tidak ada
pemanasan akhir atau
tahap pemusnahan mikroba
setelah pengemasan sebelum memasuki pabrik (untuk
bahan baku) atau tidak ada cara apapun bagi
konsumen untuk mendeteksi, menghilangkan atau
menghancurkan bahaya kimia atau fisik.
Sumber : Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta-IPB, 2007
29
Tabel 2.3. Pengelompokkan Produk berdasarkan Penetapan Kategori
Resiko
Karekteristik
Kategori
Bahaya
Resiko
Jenis Bahaya
0
0
Tidak mengandung bahaya A sampai F.
(+)
I
Mengandung satu bahaya B sampai F.
(++)
II
Mengandung dua bahaya B sampai F.
(+++)
III
Mengandung tiga bahaya B sampai F.
(++++)
(+++++)
Mengandung empat bahaya B sampai
IV
F.
V
Mengandung lima bahaya B sampai F.
A+ (kategori
khusus) dengan
atau tanpa bahata
Kategori resiko paling tinggi (semua
VI
produk yang mempunyai bahaya A).
B-F
Sumber : Departemen Ilmu dan Teknomogi Pangan, Fateta-IPB,2007
Tabel 2.4 Signifikansi Bahaya
Tingkat Keparahan (
severity)
R
S
T
Peluang Terjadi
R R
S
S
(Reasonably likely to occur)
S R
S
T
T R
S
T
30

Umumnya dianggap signifikan dan akan di teruskan/
dipertimbangkan dalam penetapan CCP. Keterangan : R=
rendah, S=sedang, T=tinggi.
Sumber: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional,2002.
2. Prinsip 2 : Menentukan Titik Kendali Kritis (TKK)
Tahap ini merupakan kunci dalam menurunkan atau mengeliminasi
bahaya yang teridentifikasi. Titik kendali kritis didefinisikan sebagai
tahapan dimana pengetahuan tentang proses produksi dan semua
potensi bahaya serta signifikansi bahaya dari analisa bahata serta
tindakan pencegahannya telah ditetapkan.
3. Prinsip 3 : Menetapkan batas kritis (critical limits) pada tiap TKK.
Critical limits merupakan batas pada tiap titik kendali kritis yang
ditetapkan berdasarkan referensi dan standar teknis serta observasi unit
produksi.
4. Prinsip 4 : Menetapkan sistem pemantauan dan pengendalian TKK.
Monitoring
merupakan
upaya
yang
dilakukan
untuk
mendokumentasikan laporan keadaan titik kendali kritis yang
dilakukan melalui pengujian atau observasi.
5. Prinsip 5: Menetapkan tindakan perbaikan yang dilakukan jika hasil
pemantauan menunjukkan bahwa suatu titik kendali kritis tidak dapat
terkendali.
Tindakan koreksi merupakan upaya spesifik yang harus ditetapkan
pada setiap titik kritis dalam sistem HACCP yang berguna untuk
mengambil tindakan jika terjadi penyimpangan terhadap titik kendali
kritis.
6. Prinsip 6 : Menetapkan prosedur verifikasi untuk memastikan bahwa
sistem HACCP bekerja secara efektif.
31
Verifikasi merupakan cara pemeriksaan menyeluruh apakah sistem
HACCP telah berjalan dengan benar dan lancar.
7. Prinsip 7: Penetapan dokumentasi mengenai semua prosedur dan
catatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan penerapannya.
Dokumentasi yang efisien dan akurat sangat penting sebagai bukti
bahwa batas-batas kritis telah terpenuhi dan tindakan koreksi yang
benar telah diambil pada saat batas terlampaui serta hasil kegiatan
tercatat dengan baik.
Tujuh (7) prinsip penyusunan dan implementasi sistem
HACCP dapat dilihat pada Gambar 2.1. sebagai berikut :
Gambar 2.1. Langkah Penyusunan dan Implementasi sistem HACCP
Identifikasi masalah (fisik, kimia,
biologi)
Penentuan titik-titik kendali kritis (CCP)
Penentuan batas kritis CCP
Tindakan Koreksi
Tindakan Verifikasi
Dokumentasi
Bila terjadi penyimpangan
32
2.6.4. Good Manufacturing Practice (GMP) dan Standard Sanitasion
Operating Procedures (SSOP)
Dalam penerapannya, HACCP memiliki persyaratan dasar yang
menjadi faktor penunjang keefektifan penerapan HACCP sebagai sebuah
sistem pengendalian mutu yaitu GMP dan SSOP.
Good Manufacturing Practice (GMP) merupakan suatu pedoman cara
memproduksi makanan dengan tujuan agar produsen memenuhi
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan
produk
makanan
bermutu
sesuai
dengan
tuntutan
konsumen
(Thaher,2005). Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian Republik
Indonesia tentang pedoman GMP Nomor 75/M-IND/PER/7/2010
persyaratan yang ditetapkan dalam industri pengolahan pangan secara
um,um, yaitu lokasi, bangunan, mesin dan peralatan, bahan, pengawasan
proses, produk akhir, laboraturium, karyawan, pengemas, label dan
keterangan produk, penyimpanan, pemeliharaan dan program sanitasi,
pengangkutan, dokumentasi dan pencatatan, pelatihan, penarikan produk,
serta pelaksanaan program.
Sedangkan, Standard Sanitation Operating Procedures (SSOP)
merupakan suatu prosedur standar yang dapat mencakup seluruh area
dalam memproduksi suatu produk pangan mulai dari kebijakan
perusahaan, tahapan kegiatan sanitasi, petugas yang bertanggung jawab
melakukan sanitasi, cara pemantauan, hingga pendokumentasiannya
(Thaher, 2005)
2.7.
Produk Cacat
Pengendalian kualitas dilakukan bukan hanya pada proses produksi
(in-inspection), tetapi juga pada penerimaan material (receiving
inspection). Dari berbagai isnpeksi ini, yang merupakan action dari
33
pengendalian kualitas, dapat diketahui produk-produk gagal yang dapat
menyebabkan laba berkurang bahkan menyebabkan kerugian.
Seperti yang dilakukan oleh Horngren dan Foster (2003:626) yang
mendefinisikan produk cacat sebagai berikut:
“Produk cacat adalah unit produksi apakah penuh atau sebagian
selesai yang tidak memenuhi standar yang dibutuhkan oleh
pelanggan untuk unit yang baik dan dibuang atau dijual untuk
mengurangi harga.”
Kecacatan padaa industri manufaktur terkadang disebabkan oleh 6
(enam) kategori penyebab, yaitu machine, method, material, man,
measurement, environment (Kusnadi :2011).
Perlakuan terhadap produk cacat ini dapat digolongkan kedalam tiga
jenis, yaitu:
a. Dijual langsung
Perlakuan ini adalah menjual langsung produk gagal atau cacat yang
tidak lulus tahap inspeksi, namun masih layak untuk dijual kepada
konsumen yang siap menampung produk cacat jenis ini.
b. Dikerjakan kembali (rework)
Jenis produk cacat ini dapat dimasukkan kedalam proses produksi
kembali untuk diproses ulang, untuk menghasilkan produk yang tidak
cacat lagi. Tentunya akan menambah biaya proses ulang, baik untuk
lrmbur maupun biaya lainnya yang timbul akibat pengerjaan kembali
produk ini.
c. Dibuang langsung (scrap)
Perlakuan produk gagal jenis ini diberikan pada produk gagal yang
sudah tidak dapat dijual langsung dan tidak dapat diperbaiki lagi.
Artinya produk cacat jenis ini adalah produk yang tingkat
34
kegagalannya paling tinggi, sehingga produk ini biasanya langsung
dibuang atau dimusnahkan.
2.8.
Pengertian Efisiensi dan Efektivitas
Menurut
Bayangkara
(2011:13)
menjelaskan
,
“Efisiensi
merupakan ukuran proses yang menghubungkan antara input dan
output dalam operasional perusahaan”. Efisien menggambarkan
perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (input) sebagai
perwujudan kemampuan perusahaan dalam menggunakan sumber-sumber
daya yang mereka miliki, guna menghasilkan keluaran yang di harapkan.
Sedangkan efektivitas menurut Bayangkara (2011:11), “Efektivitas
dapat di pahami sebagai tingkat keberhasilan suatu perusahaan
untuk mencapai tujuannya”. Apabila suatu organisasi mencapai tujuan,
maka organisasi tersebut dapat dikatakan efektif. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa efektivitas merupakan derajat keberhasilan suatu
organisasi dalam mencapai tujuannya.
2.9.
Penelitian Terdahulu
Tabel 2.5.
Data Penelitian Terdahulu
No
1
Penulis
Freshty Yulia
Tahun
2008
Arthatiani
Hasil
Judul Penelitian
Penerapan Manajemen
Penerapan
Mutu
Mutu
Terpadu
pada
Manajemen
Terpadu
sistem
Maya Food Industries di
HACCP
dibagian
Kota Pekalongan
produksi
dapat
mengurangi cacat produk
dari 0,7% menjadi 0,46%
2
Ayunita
Wardani
Kusuma
2015
Efektifitas pelaksanaan
Penerapan sistem HACCP
Quality Control pada
pada bagian produksi di
bagian produksi di PT.
PT.
Indohamafish
35
Indohamafish
di
terbilang
cukup
efektif
Pengambengan. Vol: 5
dengan presentase 85%
No: 1 Tahun 2015
dengan didasarkan pada
masing-masing
skor
indikator, yaitu indikator
analisis
bahaya
(85%),
penentuan
titik
kritis(88%),
penetapan
batas kritis (87%), sistem
pengendalian CCP (86%),
prosedur verifikasi (86%),
dokumentasi
(84%)
berada
pada
sangat
efektif
kriteria
dan
indikator perbaikan (78%)
berada
pada
kriteria
efektif
3
Novianingdyah
Pramesti,
Widha
(2013)
Nasir
Setyanto,
Rahmi Yuniarti
Analisis
persyaratan
Momen
perpindahan
dasar konsep HACCP
dalam
dengan
rekomendasi
susu pasteurisasi pada tata
perencanaan ulang tata
letak usulan adalah 1.092
letak
fasilitas
(studi
meter
perhari
kasus
KUD
Dau
dibandingkan
dengan
Malang).
sistem
produksi
momen perpindahan pada
tata
letak
awal
sebesar
1.365,9
perhari.
Maka
disimpulkan
yaitu
meter
dapat
bahwa
tingkat efisien meningkat
sebesar 20,05%.
2.10.
Kerangka pemikiran
Untuk dapat menciptakan suatu produk yang berkualitas, produk
tersebut harus memiliki standar yang sebelumnya telah ditentukan oleh
36
pihak perusahaan yang mengacu pada standar nasional ataupun
internasional seperti SNI, ISO, OHSAS, HACSP, dan lainnya. Standar
tersebut akan menjadi nilai tambah bagi produk tersebut karena
masyarakat menginginkan produk yang terbaik dan tidak membahayakan
jika di konsumsi atau digunakan karena secara otomatis produk yang
telah memiliki standar atau sertifikasi nasional maupun internasional
sudah terjamin kualitasnya dan aman jika dikonsumsi ataupun digunakan.
Masalah yang sering di hadapi oleh para produsen adalah masalah yang
berkaitan dengan adanya produk-produk cacat yang dihasilkan sehingga
produk tersebut tidak sesuai dengan standard an tidak dapat dipasarkan.
Jika hal tersebut terjadi, maka perusahaan yang akan mengalami kerugian
akibat produknya tidak dapat dijual karena tidak memenuhi standar
kualitasnya.
Begitu pula dengan PT.Tama Cokelat Indonesia, salah satu perusahaan
yang bergerak dibidang kuliner yang menjadikan cokelat menjadi produk
utamanya. Perusahaan yang berdomisili di Garut, Jawa Barat ini
menciptakan berbagai produk cokelat isi yang sangat lezat. PT.Tama
Cokelat Indonesia sendiri mengalami permasalahan tentang produk cacat
yang di hasilkan. Saat pertama kali beroperasi hingga periode produksi
2013-2014, PT.Tama Cokelat Indonesia hanya mengandalkan perasaan
saat membuat produk-produk cokelatnya yang sebagian besar masih
menggunakan tenaga manusia atau masih manual proses produksinya.
Hingga saat pertengahan tahun 2014, PT.Tama Cokelat Indonesia
mendapatkan sertifikasi Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP) yang merupakan standar jaminan mutu pangan berskala
internasional dan di terapkan pada proses produksinya hingga saat ini.
Setelah PT.Tama Cokelat Indonesia menggunakan metode HACCP dalam
proses produksinya, terjadi penurunan jumlah produk cacat yang di
hasilkan.
37
Mengacu kepada penelitian sebelumnya yang dilakukn oleh Freshty
Yulia (2008) dengan judul Penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada
Maya Food Industries di Pekalongan, menyatakan bahawa metode
HACCP
yang digunakan dalam proses produksi dapat mengurangi
produk cacat dari yang semula 0,7% menjadi 0,46%.
Penelitian yang dilakukan oleh Novianingdyah Pramesti, dkk (2013),
bahwa HACCP dapat
membantu meningkatkan tingkat momen
perpindahan pada tata letak saat proses pasteurisasi dan meningkatkan
tingkat efisien perpindahan sebesar 20,05%.
Selanjutnya, pada penelitian yang dilakukan oleh Ayunita Kusuma
Wardani (2015) tingkat keefektifan penggunaan metode HACCP pada
perusahaan PT. Indohamafish terbilang cukup efektif dengan presentase
85%.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dijelaskan diatas,
adanya persamaan hasil yaitu pengaruh yang positif terhadap proses
produksinya, serta konsep teori juga memiliki kesamaan sehingga penulis
mengikuti paradigma penelitian sebelumnya, untuk mengetahui dan
membuktikan kembali bahwa pengaruh HACCP terhadap proses produksi
dan dapat menghasilkan tingkat efisiensi jumlah produk cacat pada PT.
Tama Cokelat Indonesia.
38
2.11.
Kerangka Teori
Gambar 2.2
Kerangka Teori
Grand Theory
Manajemen Operasional
Manajemen Kualitas
Proses Produksi
Mid Theory
Pengendalian Kualitas
Produk Cacat
Manajemen Mutu
Terpadu
HACCP
Keterangan :
= tidak diteliti
= diteliti
Produk tidak
Cacat
Applied Theory
39
2.12.
Paradigma Penelitian
Gambar 2.3
Paradigma Penelitian
Metode HACCP (X)
Produk Cacat (Y)
Indikator:


Analisis Bahaya
Pengendalian
titik kritis
Indikator:
Proses
Produksi




Ukuran produk
Produk rusak
Tampilan
produk
Tekstur produk
Secara hipotesis statistik dapat dinyatakan sebagai berikut:
Hox. y ; t = o
Tidak ada pengaruh Metode HACCP terhadap jumlah produk yang
cacat
Hax.y : t ≠ o
cacat
Ada pengaruh yang Metode HACCP terhadap jumlah produk yang
Download