BAB IV KESIMPULAN Proses perumusan kebijakan

advertisement
BAB IV
KESIMPULAN
Proses perumusan kebijakan pengaktifan kembali Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
dapat dijelaskan melalui relasi antar aktor dan kepentingan yang terlibat. Di Jepang sendiri,
terdapat dua kelompok/koalisi yang memiliki pandangan dan kepentingan yang bertolak
belakang akan keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Pasca bencana Fukushima
Daiichi yang menimpa Jepang pada tahun 2011, semakin banyak pula pihak yang tidak
menyetujui penggunaan energi nuklir sebagai sumber energi di Jepang. Namun di sisi lain,
terdapat pula pihak yang secara konsisten mendukung dan memelihara penggunaan energi
nuklir sebagai sumber energi di dalam negeri. Pihak yang menolak penggunaan energi nuklir
–selanjutnya disebut kelompok anti nuklir –terdiri dari partai politik pengusung kebijakan
anti nuklir (Democratic Party of Japan dan Japanese Communist Party), Organisasi Non
Profit seperti Metropolitan Coalition Against Nukes dan Sayonara Nuclear Power serta
komunitas masyarakat di sekitar kompleks PLTN yang merasa terancam dengan operasional
PLTN. Sedangkan pihak yang mendukung penggunaan energi nuklir –selanjutnya disebut
kelompok pro nuklir –beranggotakan Shinzo Abe dan kebinetnya, Liberal Democratic Party,
Ministry of Economy, Trade and Industry serta perusahaan listrik dan kelompok bisnis
(Keidanren).
Sesuai dengan policy advocacy coalition framework di dalam sebuah perumusan
kebijakan akan terdapat dua atau lebih koalisi/kelompok yang membawa ide pokok serta
kepentingan masing-masing secara konsisten dalam jangka waktu yang cukup lama. Dalam
hal ini, kelompok anti nuklir meyakini bahwa pemanfaatan energi nuklir dalam PLTN
membahayakan kehidupan masyarakat Jepang. Selain karena kondisi geografis Jepang yang
sangat riskan tertimpa bencana alam, kelompok ini juga meyakini bahwa pemerintah dan
pihak perusahaan pengelola PLTN belum manpu menjamin keamanan PLTN dan
keselamatan masyarakat di sekitarnya berdasarkan serangkaian bencana nuklir yang terjadi
(puncaknya bencana Fukushima Daiichi 2011). Sedangkan kelompok pro nuklir meyakini
bahwa energi nuklir memberikan banyak manfaatn bagi Jepang yang minim sumber daya
alam. Pemanfaatan energi nuklir sebagai sumber energi dapat mencukupi kebutuhan energi
nasional (khususnya energi listrik) yang berdampak pula pada menurunnya impor energi fosil
dan keuntungan bagi pihak pengelola PLTN. Menurut perhitungan ekonomi dari kelompok
43
ini, energi nuklir merupakan pilihan yang paling efisien untuk dimanfaatkan Jepang
dibanding energi alternatif lainnya.
Interaksi kedua kelompok untuk mempengaruhi sistem kebijakan energi kemudian
menjadi kunci yang menentukan pihak mana yang berhasil mendominasi sistem. Dalam arena
pemilu, partai yang mengusung kebijakan anti nuklir (DPJ dan JCP) tidak mampu bersaing
dengan partai Liberal Democratic Party dikarenakan adanya hambatan internal dan eksternal
seperti perpecahan faksi di dalam partai DPJ, kekecewaan masyarakat Jepang terhadap
pemerintahan DPJ, serta popularitas JCP yang memang rendah sebagai 3rd party. Keduanya
bahkan tidak mampu menjadi oposisi yang signifikan dalam diet nasional maupun dewan
lokal, sehingga mosi kelompok anti nuklir untuk menghentikan ketergantungan Jepang akan
PLTN tidak teradvokasikan dengan baik di dalam pemerintahan. Sedangkan di sisi lain,
gerakan masyarakat anti nuklir mulai dari level komunitas masyarakat lokal di sekitar
kompleks PLTN hingga level nasional juga mengalami kendala akibat pergeseran isu.
Meskipun pasca bencana Fukushima Daiichi mayoritas masyarakat Jepang menolak energi
nuklir namun ketika dihadapkan pada kondisi perekonomian yang memburuk, isu-isu
ekonomi nasional seperti harga energi listrik yang melonjak, jaminan sosial, lapangan
pekerjaan hingga kenaikan impor menjadi lebih penting di mata publik. Penurunan perhatian
publik akan kebijakan energi nuklir berdampak pada penurunan massa dalam setiap aksi
protes yang diinisasi oleh gerakan masyarakat anti nuklir dan juga preferensi partai yang
dipilih ketika pemilu.
Dari sisi kelompok pro nuklir, kelemahan yang dimiliki oleh kelompok anti nuklir
merupakan suatu peluang yang harus dimanfaatkan dengan baik. LDP sejak masa kampanye
secara implisit mendukung pengaktifan kembali operasional PLTN, namun masyarakat
melihat bahwa partai ini menawarkan paket kebijakan yang dapat menyelamatkan
perekonomian Jepang. Publik Jepang dihadapkan oleh pilihan the lesser of two evil memilih
LDP dengan paket kebijakan ekonominya (yang mendukung pengaktifan kembali PLTN)
atau DPJ dan 3rd party lainnya yang kinerjanya mengecewakan namun memiliki visi untuk
menghentikan operasional PLTN secara permanen. Dengan mengandalkan pengalihan isu,
LDP berhasil menjadi partai pemerintah dengan dipimpin oleh Perdana Menteri Shinzo Abe.
Naiknya LDP secara otomatis membuka kembali peluang perusahaan listrik dan kelompok
bisnis untuk menyalurkan kepentingannya ke dalam pemerintahan. METI yang juga menjadi
bagian dari kelompok ini secara legal formal memiliki kewenangan untuk menyusun
kebijakan energi Jepang, kebijakan pengaktifan kembali PLTN yang dirancang oleh
44
kementerian tidak terlepas dari imput proposal yang diberikan oleh kelompok bisnis
(mencakup perusahaan listrik). Proses pengesahan di Diet pun berjalan lancar karena LDP
mengisi hampir 70% kursi Diet.
Kebijakan pengaktifan kembali Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pada saat
pemerintahan Shinzo Abe kemudian merupakan hasil dari kerjasama yang baik antara tiga
aktor utama (Shinzo Abe& METI, LDP serta perusahaan listrik/ kelompok bisnis) yang telah
lama terjalin sejak awal energi nuklir diperkenalkan sebagai sumber energi di Jepang.
Sedangkan kelompok anti nuklir yang mendapatkan momen pergerakan pasca bencana
Fukushima Daiichi semakin terhimpit oleh aksi persuasif pemerintahan Shinzo Abe untuk
meyakinkan masyarakat Jepang bahwa Jepang masih membutuhkan energi nuklir untuk dapat
bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan domestiknya. Mengkaji proses perumusan
kebijakan pengaktifan kembali PLTN yang terwujud di bawah pemerintahan Shinzo Abe
memberikan pemahaman terkait dengan continuity and change di dalam kebijakan energi
Jepang. Sebagai negara yang minim sumber daya alam, Jepang secara konsisten mencari
energi alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan energi domestiknya. Namun di sisi lain
letak geografis Jepang yang membuatnya rawan bencana alam khususnya gempa dan tsunami
memberikan pertimbangan tersendiri terkait dengan opsi energi yang aman dan efisien untuk
dimanfaatkan oleh Jepang.
Beberapa poin continuity yang didapatkan setelah melakukan analisis terhadap
kebijakan pengaktifan kembali PLTN diantaranya adalah kedekatan pemerintah (khususnya
ketika dikuasai oleh Liberal Democratic Party) dengan kelompok bisnis dalam relasi benefit
dan pengaruh. Selain itu dari kasus ini, terlihat pula bahwa opini publik di Jepang masih
memegang peranan yang lemah di bawah pemerintahan LDP terlebih lagi dalam
mempengaruhi kebijakan energi di dalam negeri. Sedangkan poin change dalam kasus ini
adalah momentum bencana alam seperti Fukushima Daiichi dapat sangat menentukan posisi
tawar kelompok anti nuklir dalam mempengaruhi kebijakan dimana opini publik sempat
sangat berpengaruh pasca bencana Fukushima Daiichi dibawah pemerintahan Democratic
Party of Japan. Sehingga proses perumusan kebijakan energi menjadi arena pertemuan antara
dua kelompok dengan kepentingan yang berbeda dan hasil dari interaksi keduanya akan
dipengaruhi oleh poin-poin yang telah dijabarkan sebelumnya.
45
Download